MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK

advertisement
MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL
TINDAK PIDANA KORUPSI
Himawan Ahmed Sanusi
Abstract
Corruption is considered a very serious challenge in Indonesia. The country
has in the past acquired a reputation of being one of the most corruption-prone
countries in the world.. Corruption is classified as an extra ordinary crime that
required extra ordinary measure.. Asset recovery procedure is new solution has
been the base principle of United Nations Convention Againt Coruption 2003.
Key words: procedure, asset recovery , corruption
I.
PENDAHULUAN
Tindak pidana korupsi dikualifikasikan sebagai kejahatan yang luar
biasa (extra ordinary crime) sehingga memerlukan penanganan yang luar
biasa pula (extra ordinary measure), untuk itu peran serta seluruh komponen
masyarakat dalam hal pencegahan dan penindakan perkara korupsi sangat
diperlukan. Hal ini dipertegas oleh Basrief Arief (2006 : 87), yang
menyatakan bahwa meningkatnya aktivitas tindak pidana korupsi yang tidak
terkendali, tidak saja akan berdampak terhadap kehidupan nasional, tetapi
juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Oleh karena
itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan
biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Metode
konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan
persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka penanganannya pun juga
harus menggunakan cara-cara luar biasa.
Cita-cita pemberantasan korupsi yang terkandung dalam peraturan
perundang-undangan, untuk saat ini setidaknya memuat tiga isu utama, yaitu
pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset
MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
25
recovery). Amanat undang-undang itu bermakna, pemberantasan korupsi
tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para
koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan
“kerugian” keuangan negara akibat dari tindak pidana korupsi. Tetapi, jika
kegagalan terjadi dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi,
maka dapat mengurangi rasa jera terhadap para koruptor.
Upaya pengembalian aset negara “yang dicuri” (stolen asset recovery)
dari hasil tindak pidana korupsi sangatlah tidak mudah untuk dilakukan.
Para pelaku tindak pidana korupsi memiliki akses yang cukup luas dan sulit
dijangkau dalam menyimpan maupun melakukan pencucian uang (money
laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Pernyataan serupa juga
terungkap
oleh
sebuah
lembaga
internasional,
Basel
Institute
on
Governance, International Centre for Asset Recovery mengemukakan bahwa
“asset recovery is a difficult task and is fraught with the complicity of the
banks involved, the navigation of a costly international legal labyrinth and
the fact that those implicated in public looting are usually those with the
most power and influence”. Dapat diartikan bahwa pengembalian aset
merupakan masalah yang begitu rumit untuk ditelusuri jalan keluarnya, dan
akan mencakup masalah perbankan, juga berhubungan dengan adanya fakta
pengambilan uang rakyat karena jabatan atau pengaruh yang melekat pada
pelaku tindak pidana korupsi. Pengembalian aset menjadi issue penting
karena pencurian aset negara di negara-negara berkembang yang dilakukan
oleh orang-orang yang pernah berkuasa di negara yang bersangkutan
merupakan masalah serius. Di Indonesia, korupsi telah menyebabkan
kerugian besar dari keuangan negara.
Majalah Keadilan Volume 12 Nomor : 2 Desember 2012
26
II.
PERMASALAHAN
Berdasarkan
uraian
di
atas,
yang
menjadi
permasalahan
adalah
bagaimanakah mekanisme atau prosedur pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi yang dapat digunakan oleh penegak hukum di Indonesia?
III.
PEMBAHASAN
Menurut Purwaning M.Yanuar (2007 : 206) Mekanisme atau prosedur
yang dapat diterapkan untuk proses pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi dapat berupa; (i) pengembalian aset melalui jalur pidana, (ii)
pengembalian aset melalui jalur perdata, (iii) pengembalian aset melalui
jalur administrasi atau politik. Dalam proses pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung dan KPK sebagai
aparat berwenang dalam penegakan hukum juga mengenal dua mekanisme
pengembalian aset, yaitu; (i) pengembalian aset melalui perampasan aset
tanpa pemidanaan, serta (ii) pengembalian aset secara sukarela.
Hanya saja KPK untuk mengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
diberikan wewenang sebatas pengembalian aset dengan jalur pidana dan
penyerahan secara sukarela, apabila diharuskan menempuh jalur di luar
pidana maka kejaksaan selaku pengacara negara menerapkan mekanisme
selanjutnya, baik secara perdata maupun mekanisme jalur administratif dan
politik. Berikut ini adalah penjabaran dari ke 5 (lima) mekanisme yang
diterapkan Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):
1. Pengembalian Aset Melalui Jalur Pidana
Kejaksaan dan KPK menerapkan mekanisme jalur pidana yang
hampir sama dalam proses maupun prosedurnya, meskipun ada beberapa hal
pembeda secara praktis di antara keduanya. Dasar hukum yang sama
digunakan keduanya adalah penggunaan prosedur beracara yang digunakan
dalam penyidikan dan penyelidikan suatu perkara pidana, yaitu berdasarkan
MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
27
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diundangkan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Dalam hal pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi Kejaksaan
dan KPK tetap menggunakan ketentuan pokok dari tindak pidana korupsi
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupi. Selain itu, keduanya
tidak terlepas dari masing-masing
ketentuan lembaga atau komisi yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor
16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang
Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketentuanketentuan ini tdiatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 bahwa
”perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barangbarang tersebut”.
Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 bahwa “pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”. Dilengkapi dengan pengaturan
pada Pasal 38 ayat (5), (6), (7) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 bahwa “(5). dalam hal terdakwa
meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup
kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka
hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang
yang telah disita. (6). penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding. (7). setiap orang yang
Majalah Keadilan Volume 12 Nomor : 2 Desember 2012
28
berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah
menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).”
Gambaran prosedur penanganan atau proses pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi melalui jalur pidana dapat berupa:
a.
Penelusuran Aset
Penelusuran aset atau pelacakan aset (asset tracing) pengertiannya
tidak dikenal dalam hukum perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Dalam kerangka hukum acara pidana, kegiatan
pelacakan memiliki kaitan yang erat dengan tindakan penyelidikan dan
penyidikan meskipun tidak disebutkan. Sebagaimana dicantumkan dalam
Pasal 1 butir 2 KUHAP memberikan definisi Penyidikan. Suatu penelusuran
atau pelacakan aset tidak selalu dalam rangka pengungkapan tindak pidana,
tetapi juga dapat semata-mata untuk menemukan aset hasil kejahatan dengan
tanpa mengungkapkan kejahatannya. Penelusuran aset ditujukan untuk
membawa penyelidik, penyidik, dan penuntut kepada informasi yang aset
hasil tindak pidana korupsi disimpan atau disembunyikan. Hal tersebut tidak
begitu saja langsung dapat dipulihkan. Jika aset yang disembunyikan berada
di Indonesia, maka masih akan membutuhkan proses hukum lanjutan seperti
pembuktian hak kepemilikan harta benda atau aset terkait. Akan tetapi,
apabila keberadaan aset di luar Indonesia, maka akan menimbulkan problem
yang lebih kompleks. Lebih ditekankan lagi bahwa tujuan dari penelusuran
aset ini adalah hanya semata-mata untuk mengindentifikasi aset, tempat atau
lokasi penyimpanan aset, bukti-bukti terkait kepemilikan aset, serta
hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan. Tahapan ini dapat juga
berupa pengumpulan alat-alat bukti. Dalam mempermudah terlaksananya
MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
29
tahapan ini sangat dibutuhkan hubungan kerjasama lembaga, badan, komisi,
atau firma hukum dan firma akuntansi.
b.
Pembekuan aset
Setelah informasi dikumpulkan dan keseluruhannya berkenaan
dengan aset-aset hasil tindak pidana korupsi, barulah langkah selanjutnya
melakukan pembekuan aset. Pembekuan aset atau asset freezing dalam
hukum acara pidana tidak disebutkan pengertiannya. Jika dilihat dari
tujuannya, tindakan pembekuan kurang lebih sama dengan penyitaan, yang
keduanya mempunyai maksud untuk mengamankan aset agar pada waktunya
dapat dikembalikan kepada yang berhak. Pembekuan atau freezing dalam
Black Law Dictionary (Bryan A Garner : 336) memiliki arti sebagai
berikut:”temporally prohibiting the transfer, conversion, disposition, or
movement of property or temporally assuming custody or control of property
on the basis of an order issued by court or competent authority”. Pembekuan
diartikan sebagai larangan sementara untuk melakukan transfer, konfersi,
disposisi, atau penempatan atau pemindahan atas harta kekayaan atau
pelarangan untuk menempatkan sementara dalam pengampuan atau
pengawasan harta kekayaan berdasarkan putusan pengadilan atau perintah
otoritas tertentu.
c. Penyitaan
Pengertian penyitaan lebih dikenal dalam hukum acara pidana
maupun hukum acara perdata. Dalam hukum acara pidana, penyitaan
didefinisikan sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 Butir 16 KUHAP yaitu
“serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan
di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau
tidak
berwujud
untuk
kepentingan
pembuktian
dalam penyidikan,
penuntutan, dan peradilan”.
Majalah Keadilan Volume 12 Nomor : 2 Desember 2012
30
Penyitaan menekankan pada pengungkapan suatu tindak pidana,
sementara dalam konteks pengembalian aset penyitaan dimaksudkan sebagai
bagian atau proses dalam rangka pengembalian aset kepada pihak yang
berhak. Dalam kaitan ini, maka penyitaan dalam pengembalian aset lebih
memiliki kesamaan dengan hukum penyitaan dalam hukum acara perdata.
Pengertian penyitaan juga dapat ditemukan dalam Black Law Dictionary
(Bryan A Garner : 246) bahwa penyitaan atau confiscation adalah “a penalty
or a measure, or ordered by court following proceedings in relation to
acriminal offences resulting in final deprivation of property”. Dengan kata
lain, penyitaan didefinisikan sebagai hukuman atau langkah atau perintah
pengadilan berkaitan dengan hasil kejahatan atau kejahaatan-kejahatan. Jika
dihubungkan dengan pengembalian aset makna itu tidaklah tepat, karena
penyitaan bukanlah merupakan hukuman dan juga bukan merupakan
tindakan yang datang dari pengadilan, karena tujuan dari pengaturan hukum
pengembalian aset adalah suatu bentuk penyederhanaan. Dengan demikian
penyitaan dapat dilakukan oleh penyidik (dalam hal penyitaan bersama
dengan penyidikan perkara pidana) dan oleh jaksa selaku pengacara negara
apabila penyitaan tidak bersamaan dengan pengungkapan tindak pidananya.
d.
Perampasan
Terminologi perampasan dalam KUHAP dikenal dengan kata
“rampas” yang diatur dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP bahwa dalam hal
putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada
pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam
putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang
bukti itu dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak
sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Dengan demikian, perampasan aset
MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
31
atau asset seizure adalah tindakan pengadilan melalui putusannya untuk
mengambil alih secara hukum kepemilikan ataupun penguasaan dari satu
pihak untuk diserahkan kepada pihak lainnya.
e.
Pengelolaan aset
Pengelolaan aset adalah serangkaian proses yang dilakukan oleh
suatu lembaga berupa pemeliharaan atau perawatan aset terkait kejahatan
selama proses hukum terhadap aset tersebut belum mempunyai kekuatan
hukum yang tetap. Pengelolaan aset ini merupakan suatu hal yang sangat
penting mengingat bahwa aset yang dirampas dapat saja berupa aset yang
harus dipelihara seperti mobil, gedung, dan barang lainnya yang jika tidak
diurus bisa mengalami kerusakan dan penurunan nilai. Apabila aset yang
telah disita dan dirampas berupa tanah atau perusahaan, maka lembaga yang
bertugas untuk itu akan memutuskan apakah aset tersebut akan disewakan
atau dimanfaatkan untuk kegiatan usaha lainnya atau bahkan segera dilelang.
f.
Penyerahan aset
Penyerahan aset merupakan serangkaian proses yang dilakukan
oleh lembaga pengelola aset untuk menyerahkan aset yang telah dikelola
kepada jaksa penuntut umum selaku eksekutor setelah status hukum aset
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jaksa penuntut umum yang
kemudian menyerahkan aset tersebut kepada negara atau pihak ketiga
berdasarkan putusan pengadilan.
g.
Pengawasan pemanfaatan aset
Tindakan pengawasan pemanfaatan aset merupakan serangkaian
tindakan berupa suatu prosedur yang dilakukan oleh lembaga pengelolaan
aset yang disertai dengan kerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan
terhadap aset-aset yang telah diserahkan kepada negara.
Keberhasilan dalam pengembalian aset tidak akan terlepas dari
kinerja aparat penegak hukumnya. Kejaksaan Agung dan KPK dalam
Majalah Keadilan Volume 12 Nomor : 2 Desember 2012
32
menangani pengembalian aset tindak pidana korupsi membentuk suatu organ
khusus di bawah kinerja lembaganya masing-masing. Pembentukan ini
bermaksud untuk mengoptimalkan pengembalian aset dan pembagian tugas
dalam suatu struktur kelembagaan. Organ, unit, divisi, atau tim masingmasing lembaga memiliki peran dan kewenangannya yang berbeda.
2.
Pengembalian Aset Melalui Jalur Perdata
Perlu ditekankan lagi bahwa, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak
memiliki
kewenangan
untuk
menggunakan
jalur
perdata
dalam
pengembalian aset. Apabila ditemukan dikemudian harinya pada saat
sebelum atau sesudah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
suatu aset dianggap perlu dan harus menempuh jalur hukum keperdataan,
maka Komisi Pemberantasan Korupsi akan melimpahkan perkaranya kepada
Kejaksaan agar berkerjasama dalam pengembalian aset. Hal ini didasari atas
kewenangan kejaksaan sebagai pengacara negara atas aset tersebut.
Pengembalian aset Tindak Pidana Korupsi Melalui Jalur Perdata
terdapat pada ketentuan-ketentuan pada Pasal 32 ayat (1), Pasal 34, Pasal
38B ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 tahun 2001 bahwa “dalam hal penyidik menemukan dan
berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak
terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
tersebut kepada jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata
atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana
korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana
korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta
benda tersebut dirampas untuk negara. (3). tuntutan perampasan harta benda
MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
33
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada
saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.,” serta ketentuan dari
Pasal 20 UNCAC 2003, Pasal 3 Butir 2 UNCAC 2003 makna “Kerugian
Negara” bahwa tunduk pada konstitusinya dan prinsip-prinsip dasar dari
sistem hukumnya, setiap negara peserta wajib mengadopsi tindakantindakan legeslatif dan tindakan-tindakan yang lain sejauh diperlukan untuk
menetapkan sebagai suatu tindak pidana, bila dilakukan dengan sengaja,
memperkaya secara tidak sah, yaitu suatu kenaikan yang berarti dari asetaset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal
berkaitan dengan pendapatanya yang sah”. Pasal 3 Butir 2 UNCAC 2003
bahwa ”dalam rangka melaksanakan konvensi ini, tidak perlu, kecuali
ditentukan dalam konvensi ini, bahwa kejahatan-kejahatan yang ditentukan
dalam konvensi ini mengakibatkan kerugian negara atau kerusakan pada
kekayaan negara, kecuali ditentukan lain dalam konvensi ini.
Prosedur beracara perdata akan diterapkan kejaksaan dengan merujuk
kepada ketentuan perundang-undangan beracara pidana atau dikenal dalam
Kitab undang-Undang hukum Acara Perdata (KUHAPerdata). Perdata yang
berkaitan dengan subjek hukum perdata dan objek keperdataan dengan suatu
sengketa akan mengarah pada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata beserta ketentuan Khusus lainnya dalam hukum perdata.
Menurut Purwaning M.Yanuar (2007 : 248), pengajuan gugatan
perdata dinilai seperti senjata yang sangat ampuh untuk langsung menyerang
para pelaku tindak pidana dalam upaya pengembalian aset-aset hasil tindak
pidana korupsi selain mendapatkan hukuman pidana. Hal tersebut harus
dilaksanakan apabila aset yang disebutkan dalam putusan sebelumnya
melalui jalur pidana, tidak sebanding dengan aset yang telah dikorupsi, atau
ditemukan lagi adanya aset lain yang belum terindikasi sebagai hasil tindak
pidana korupsi. Menurut George Kegoro, Seorang Sekertaris Law Society
Majalah Keadilan Volume 12 Nomor : 2 Desember 2012
34
Kenya, upaya melalui jalur gugatan perdata memang dapat memberikan
hasil yang signifikan dalam pengembalian asset, misalnya dalam kasus
Kuwait yang Menggugat Group Torras di Pengadilan Inggris.
3. Pengembalian Aset Melalui Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan
Pengembalian aset melalui perampasan aset tanpa pemidanaan atau
dikenal istilah lainnya sebagai Non-Conviction Based yang menurut
Theodore S. Greenberg,dkk (2001: 1) merupakan perampasan aset tanpa
adanya pemidanaan pelaku. Pada bulan september 2007 Bank Dunia
bermitra dengan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai narkoba dan
kejahatan meluncurkan Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) sebagai
pelaksanaan dari UNCAC 2003. Perampasan Aset NCB merupakan alat
penting untuk memulihkan hasil dan instrumentalisasi korupsi. Ini
merupakan mekanisme yang sah
dalam melaksanakan penahanan,
perampasan dan perampasan aset curian tanpa perlu adanya pemidanaan
kejahatan, karena ini merupakan esensial keberhasilan pemulihan aset ketika
dihadapkan pada situasi pelaku kejahatan telah meninggal dunia, telah
melarikan diri dari yurisdiksinya, kebal terhadap investigasi atau penuntutan,
atau intinya terlalu kuat untuk dituntut. Bahkan jumlah yurisdiksi telah
bertambah dalam mendirikan rezim Permapasan Aset NCB dan rezim-rezim
demikian telah direkomendasikan pada tingkat wilayah dan multilateral oleh
sejumlah organisasi. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa melawan
Korupsi (UNCAC) mengundang negara-negara untuk mempertimbangkan
izin bagi perampasan aset NCB terhadap aset curian apabila pihak yang
melakukan kejahatan tidak dapat dituntut.
Lebih lanjut Theodore S. Greenberg,dkk (2001: 1) menjelaskan
keberadaan StAR ini memiliki peranan penting termasuk bagi Indonesia
yang dapat membantu dalam hal menghasilkan dan menyebarkan
MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
35
pengetahuan mengenai pemulihan aset dan mendukung pelaksanaan
langkah-langkah yang mengurangi hambatan untuk pemulihan aset. StAR ini
pula dapat mendukung upaya nasional untuk membangun kapasitas
kelembagaan untuk pemulihan aset, seperti rezim perampasan yang efektif
atau kapasitas untuk menanggapi serta mengajukan permintaan bantuan
hukum timbal balik internasional yang disertai dengan pemantauan dana
yang telah dipulihkan apabila diminta oleh pihak berwenang.
Secara umum, perampasan aset tanpa pemidanaan merupakan
tindakan yang terpisah dari setiap proses peradilan pidana dan memerlukan
bukti bahwa harta benda tersebut hasil dari tindak pidana. Perampasan aset
tanpa pemidanaan dapat berguna dalam berbagai konteks, terutama ketika
perampasan pidana tidak memungkinkan atau tidak tersedia. Keadaan
lainnya yang dapat mendukung dan dapat memanfaatkan konteks ini adalah
apabila
pelanggar
merupakan
buronan.
Hukuman
pidana
tidak
memungkinkan apabila terdakwa merupakan buronan. Pelanggar telah tiada
atau meninggal dunia sebelum adanya penghukuman, kematian mengakhiri
suatu proses peradilan pidana. Pelanggar sedemikian berkuasanya sehingga
penyelidikan
atau
penuntutan
pidana
tidak
realistis
atau
tidak
memungkinkan. Pelanggar tidak dikenal dan asetnya ditemukan (misalkan,
aset ditemukan dalam tangan seorang kurir yang tidak terlibat dalam
pelanggaran pidana). Apabila aset tersebut diperoleh dari suatu tindak
kejahatan, seorang pemilik atau pelanggar mungkin tidak berkeinginan
untuk menghadapi proses peradilan perdata pemulihan, dikarenakan
khawatir ini akan menuju kesuatu penuntutan pidana. Keraguan demikian
sangat mempersulit penuntutan pidana terhadap seorang pelanggar, bahkan
tidak mungkin. Situasi dimana harta benda yang berkaitan dipegang oleh
pihak ketiga yang tidak dituntut dengan pelanggaran kejahatan namun,
menyadari atau membutakan diri terhadap fakta bahwa harta benda tersebut
Majalah Keadilan Volume 12 Nomor : 2 Desember 2012
36
adalah hasil kejahatan. Meskipun perampasan pidana tidak dapat mencapai
harta benda yang dipegang oleh pihak ketiga yang bonafid, perampasan aset
tanpa pemidanaan dapat menyita harta benda dari pihak ketiga tanpa
pembelaan yang bonafid pula. Dapat juga suatu situasi, apabila tiada bukti
yang layak untuk melanjutkan dengan penuntutan pidana.
4.
Pengembalian Aset Melalui Jalur Administrasi atau Politik.
Terdapat jalur pendekatan lain yaitu jalur politik atau administratif
melalui upaya diplomatik, dan diskusi atau negosiasi bilateral. Pendekatan
ini lamban, tidak praktis, sangat bergantung kepada itikad baik, dan tidak
menjamin kemandirian pihak bank. Masalah pengembalian aset sebenarnya
merupakan salah satu kejahatan yang merupakan kejahatan lintas negara.
Sudah pasti bahwa apabila kita berbicara mengenai lintas negara, maka
persoalan pengembalian aset akan menyangkut mengenai kedaulatan negara.
Secara historis pembentukan UNCAC 2003 dalam Pasal 51 hingga Pasal 59
banyak negara yang pro dan kontra menyangkut mengenai persoalan suatu
kedaulatan negara. Oleh sebab itu, ketentuan tersebut hanya mengetur
mengenai
mekanisme,
bentuk
kerjasama,
proses
pembekuan,
dan
pengembalian asetnya. Tersirat dalam pembukaan BAB V UNCAC 2003
ada kata-kata ‘... in accordance with its domestic law...” artinya sudah
mempersoalkan mengenai masalah kedaulatan suatu negara.
5. Pengembalian Aset secara Sukarela
Menurut Lilik Mulyadi (2007 : 107) Pengembalian Aset secara
sukarela merupakan bentuk prosedur lain dalam pengembalian aset yang
secara langsung diserahkan oleh pelaku tindak pidana korupsi atas putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
jelasnya menyebutkan suatu pengembalian aset itu tidak dapat dilakukan
dengan cara mencicil atau angsuran, peristiwa ini terjadi pada perkara
MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
37
Abdulah Puteh yang didasari data Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara
(LHKPN) yang dikeluarkan KPK, tercatat harta kekayaannya senilai Rp 13,5
miliar. Semuanya dalam bentuk tanah, rumah dan barang lainnya dan bukan
dana tunai. Permohonan utang kepada sebuah bank pun dilakukan untuk
membayar uang pengganti korupsi dan denda Rp 500 juta. Terpidana kasus
korupsi pembelian helikopter MI-2 Rostov buatan Rusia itu terpaksa harus
mengagunkan sejumlah aset tanah miliknya untuk memperoleh utang kepada
Bank Mega untuk memenuhi perintah pengadilan. Akhirnya, mantan
gubernur Nanggroe Aceh Darusalam membayar denda dengan cara
berhutang di bank. Hal itu terjadi lantaran palu hakim Mahkamah Agung
menetapan Abdulah Puteh wajib membayar Rp 6,564 miliar dalam putusan
No. 1344K/Pid/2005. Namun, lain halnya dengan terpidana korupsi dana
reboisasi Probosutedjo yang sanggup membayar uang pengganti sebesar Rp
100,9 miliar dan denda Rp 30 juta. Penandatanganan dilakukan di Lembaga
Pemasyarakan Cipinang, Jakarta, tempat Probo menjalani hukuman. Surat
kesanggupan ditandatangani Probo dan Jaksa Penuntut Umum I Ketut
Murtika, sebagai penerima pernyataan kesanggupan.
Kedua contoh di atas menunjukkan, pada situasi tertentu persoalan
pengambalian aset tindak pidana korupsi tidak selalu akan dihadapkan
dengan kerumitan dan sengketa sebagai bentuk perlawanan putusan hakim.
Secara sadar dan melalui bantuan ahli waris ataupun keluarga dalam
menjalani putusan pengadilan seorang terpidana dapat secara sukarela
menyerahkan aset yang telah dinialai haram tersebut. Selanjutnya Kejaksaan
Agung dan KPK, tentu mendapat kemudahan dalam perwujudan eksekusi
putusan pengadilan. Secara praktis tetap saja tidak semua pelaku korupsi mau
mengembalikan aset secara sukarela.
Majalah Keadilan Volume 12 Nomor : 2 Desember 2012
38
IV.
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa
mekanisme yang pernah diterapkan oleh penegak hukum dalam proses
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat berupa; (i)
pengembalian aset melalui jalur pidana, (ii) pengembalian aset melalui jalur
perdata, (iii) pengembalian aset melalui perampasan aset tanpa pemidanaan,
(iv) pengembalian aset melalui jalur administrasi atau politik, serta (v)
pengembalian aset secara sukarela.
MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
39
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU
Basrief Arief. 2006. Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta).
Jakarta: PT. Adika Remaja Indonesia.
Bryan A Garner. 1999. Black’s Law Dictionary. United States of America:
West Group.
Komisi Pemberantasan Korupsi RI. 2008. Memahami Untuk membasmi.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi Publisher.
Lilik Mulyadi. 2007. Tindak Pidana Korupsi (Normatif, Teorits, Praktik, dan
Masalahnya). Bandung: PT Alumni.
Purwaning M Yanuar. 2007. Pengembalian Aset Hasil Korupsi. Bandung: PT
Alumni.
Theodore S. Greenberg. Linda m Samuell, dkk. 2009. Stolen Asset Recovery
Good Practice Guide untuk Perampasan Aset Tanpa
Pemidanaan(Non-Conviction Based/ NCB Asset Forfeiture).
Woshington DC : Bank Dunia.
B.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
www.baselgovernance.org/icar/
Majalah Keadilan Volume 12 Nomor : 2 Desember 2012
40
Download