fakultas hukum universitas sumatera utara medan 2016

advertisement
PERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENGEMBALIAN
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DARI TINDAK PIDANA KORUPSI
JURNAL
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara
OLEH :
DEBORA S TAMPUBOLON
NIM : 120200267
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
HALAMAN PERSETUJUAN
JURNAL SKRIPSI
PERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENGEMBALIAN
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DARI TINDAK PIDANA KORUPSI
DEBORA S TAMPUBOLON
120200267
DIKETAHUI OLEH :
KETUA DEPARTEMEN HUUM PIDANA
(Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum)
NIP: 195703261986011001
EDITOR
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H.,M.Hum)
NIP: 1951022061980021001
PERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENGEMBALIAN
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DARI TINDAK PIDANA KORUPSI
ABSTRAKSI
Debora S. Tampubolon1
Syafruddin Kalo2
Nurmalawaty3
Pemberantasan korupsi pada dewasa ini menjadi pembicaraan yang
semakin hangat di masyarakat. Dalam kenyataannya, masyarakat semakin terbuka
matanya dan mulai menyuarakan harapan dalam pencegahan dan pemberantasan
kejahatan luar biasa ini. Para koruptor yang dijerat oleh undang-undang korupsi
maupun yang berkaitan dengan hal itu seperti undang-undang pencucuian uang,
menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap pemberantasan korupsi. Tidak
hanya itu, masalah lain yang perlu diingat adalah sejauh mana pemerintah dalam
mengembalikan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi,
mengingat salah satu pengertian korupsi atau jenis korupsi dalam Pasal 2 dan 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menggunakan rumusan “dapat merugikan keuangan dan
atau perekonomian negara”.
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya ilmiah ialah
metode pendekatan normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Teknik
pengumpulan data sesuai dengan metodenya yaitu library resources yang
berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin bahan-bahan melalui kepustakaan,
dan juga media elektronik online untuk mendapatkan informasi lebih yang
mungkin tidak dapat didapat dibuku-buku atau dokumen lain. Analisis data yang
penulis lakukan terhadap bahan-bahan hukum tersebut diatas adalah metode
analisis kualitatif .
Pemberian kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang selanjutnya disebut KPK yang cukup luas dan bersifat mandiri akan
menjadi angin segar bagi pencari keadilan dan kebebasan dari belenggu korupsi.
Koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK akan sangat membantu dalam
pemberantasan korupsi. Instrumen nasional dan internasional semakin diperkuat
pemerintah, perluasan kerja sama bilateral dan multilateral diharapkan dapat
memberikan jalan untuk menangkap aset dan pelaku yang lari ke luar negeri.
Dibarengi lagi dengan kemampan jaksa dalam menuntut tindak pidana korupsi
melalui instrumen dalam undang-undang pencucian uang, memperluas jeratan
untuk para tikus pembobol kantung rakyat itu.
1
Mahasiswa Fakultas Hukum USU
Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU
3
Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU
2
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Chaerudin dalam bukunya “Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi”, bahwa masalah penegakan hukum menjadi salah satu
agenda dari sejumlah masalah dalam Pembangunan nasional sebagaimana
dinyatakan dalam Bab I Sub A Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang
Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional
Tahun
2004-2009,
menyatakan sebagai berikut :
“...masih banyak peraturan perundang-undangan yang belum
mencerminkan keadilan, kesetaraan dan penghormatan serta perlindungan
terhadap hak asasi manusia, masih besarnya tumpang tindih peraturan
perundangan di tingkat pusat dan daerah dan menghambat iklim usaha dan
pada gilirannya menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat,
belum ditegakkannya hukum secara tegas, adil dan tidak diskriminatif,
serta memihak kepada rakyat kecil serta belum dirasakan putusan hukum
oleh masyarakat sebagai putusan yang adil dan tidak memihak melalui
proses yang transparan.”
Perpres Nomor 7 Tahun 2005 diatas mengadopsi pemikiran Friedman
mengenai sistem hukum yang dituangkan didalam Bab 9 Tentang Pembenahan
Sistem dan Politik Hukum yang meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan
budaya hukum. Ketiga hal ini dapat pula digunakan sebagai kajian untuk melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum..4
Berangkat dari masalah di atas, jika melihat pada dewasa ini tindak pidana
yang dari dulu hingga saat ini sangat hangat serta gencar diberitakan tidak hanya
dalam lingkup nasional, tetapi merambah kancah internasional salah satunya
adalah tindak pidana korupsi, yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan
4
Chaerudin, dan kawan-kawan , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak
Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama,2008), hal.59
masyarakat. Terkait dengan tindak pidana tersebut, defenisi korupsi itu sendiri
beraneka ragam karena sudah sangat banyak ahli yang menerjemahkannya sesuai
dengan keadaan dan situasi yang berbeda.
Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, Suyatno berpandangan
bahwa pengawal peraturan perundang-undangan seperti polisi, hakim, inspektur,
jaksa, dan pembela ikut menentukan sukses atau tidaknya pemberantasan korupsi.
Apabila didalam penegakan hukum itu masih terjadi mercenary corruption5, maka
yang terjadi ialah terbentuknya multiplier effect (efek penggandaan) korupsi. 6
Chairuman Harahap dalam bukunya “Merajut Kolektivitas Melalui
Penegakan Supremasi Hukum”:
“Korupsi sebagai kejahatan luar biasa menurut telah merugikan suatu bangsa,
menurunkan derajat pemerintahnya sendiri, dan menghambat perkembangan
perekonomian rakyat. Bisa dikatakan kejahatan dalam bentuk korupsi ini
korbannya adalah negara, tidak lagi individu atau pun badan hukum saja.
Bahkan tidak lagi pada tingkat nasional, tetapi sampai lintas batas negara.
Kompleksitas masalah KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), khususnya
korupsi di Indonesia telah merasuk ke dalam budaya dan telah berlangsung
demikian lama. Oleh karena itu upaya pemberantasan –terlebih yang
menyangkut pada instansi pemerintah – adalah sesuatu yang amat sulit, kalau
bukan mustahil. Pesimisme ini bukannya tidak berdasar, karena instansi
pemerintah sebagai leading sector dalam total kehidupan bernegara dan
berbangsa terutama dinegara berkembang. Kaum birokrasi yang
mengendalikan pemerintah ini mendapat legitimasi dan kewenangan yang
besar dalam melakukan apa saja, termasuk untuk menentukan retorika politik
mengenai masalah KKN.”7
5
Suyatno, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal.
hal. 18. Suyatno mengutip defenisi korupsi yang dikemukakan oleh Benveniste (1991) dalam
bukunya “Birokrasi”. Salah satu defenisi korupsi adalah mercenary corruption, yaitu jenis tindak
pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan.
6
Ibid, hal. 21.
7
H. Chairuman Harahap, Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum,
(Bandung: Citra Pustaka Media, 2003), hal. 132.
Untuk mengantisipasi berkembang biaknya kejahatan yang merugikan
halayak banyak ini, segala usaha dilakukan pemerintah baik dalam membentuk
peraturan dan badan/institusi/lembaga yang secara khusus menangani kejahatan
ini. Di Indonesia dikenal sebuah badan atau lembaga anti korupsi yang
independen, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan payung hukum
lembaganya
Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002
tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau selanjutnya disebut dengan UU KPK.
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang senyatanya telah merugikan
keuangan negara, menghambat pembangunan, menurunkan kualitas bangsa
Indonesia dimata dunia tidaklah lagi dapat dianggap sepele dan ditindaklanjuti
sebagaimana adanya saja tanpa ada perkembangan. Dunia pada dewasa ini telah
memiliki sejumlah teknis dan prosedur yang semakin berkembang mengikuti
dinamisnya tindak pidana dalam hal ini korupsi agar dapat memberantas dan
menanggulanginya. Pemerintah tidak bisa hanya menghukum para pelaku korupsi,
tetapi harus dapat mengembalikan sejumlah kerugian yang ditimbulkan dari
tindak pidana korupsi melalui mekanisme yang diatur dalam perundangundangan. Sebab, jika hanya dengan menghukum badani kepada para pelaku
korupsi, tidak akan bisa mengembalikan keadaan perekonimian bangsa yang
sudah diserap oleh oknum-oknum tersebut. Pengembalian keuangan negara
memang bukanlah hal mudah. Bahkan mungkin akan adanya pengenyampinganpengenyampingan dari aturan yang berlaku agar dapat ditelusuri aliran dan
dirampas serta dikembalikan kepada negara sebagai pemegang yang berhak.
Marwan Effendy, dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi dan Good
Governance”, mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah juga telah merancang
kebijakan-kebijakan yang dapat membantu lembaga independen ini untuk
memberantas korupsi baik segi nasional maupun internasional. Tidak hanya dalam
penyelidikan, penyidikan, penuntutan saja lembaga ini dibutuhkan. Tujuan
pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya tidak semata-mata hanya
menghukum para pelakunya saja, tetapi juga bagaimana mengembalikan
keuangan negara tersebut. Salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum dalam rangka mengamankan aset guna pengembalian keuangan
negara yang telah diselewengkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi adalah
dengan melakukan penyitaan atas berbagai aset atau harta kekayaan milik para
pelaku tersebut. Baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak yang diduga
berasal dari hasil korupsi maupun yang bukan dari hasil korupsi yang dipandang
perlu untuk dilakukan penyitaan guna pengembalian keuangan. 8 Sebab, apa yang
menjadi milik negara, haruslah dikembalikan, agar dapat menjaga keseimbangan
yang sempat goyah akibat kejahatan itu, dan selayaknyalah sudah menjadi tugas
peraturan untuk memayungi setiap kebijakan yang dibuat untuk mengembalikan
keseimbangan dalam masyarakat tadi, lembaga yng dimaksud dapat leluasa
melaksanakan hak dan kewajibannya yang sudah dilindungi oleh aturan tadi.
Berdasarkan uraian singkat latar belakang diatas, judul yang sesuai untuk
mendalami permasalahan dalam skripsi ini, yaitu Peran Komisi Pemberantasan
8
Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance (3), (Jakarta: PT.
Timpani Publishing, 2010), hal.86-87.
Korupsi Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana
Korupsi.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dirangkum diatas, maka skripsi ini
berusaha menyederhanakan permasalahan dalam pembahasannya. Permasalahan
yang menjadi topik utama diantaranya :
1.
Bagaimana konsep kerugian keuangan negara kaitannya dengan tindak
pidana korupsi?
2.
Bagaimana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
pengembalian keuangan negara dari tindak pidana korupsi ?
C.
Metode Penelitian
Skripsi ini disusun melalui penelitian dengan metode pendekatan yuridis
normatif atau penelitian normatif, atau penelitian hukum kepustakaan atau
penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan
cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder.9 Sumber penelitian yang
dirangkum berasal dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer
merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.
Sedangkan bahan hukum sekunder adalah berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan berupa dokumen-dokumen resmi. Teknik atau metode pengumpulan
data sesuai dengan metodenya yaitu library resources yang berusaha
mengumpulkan sebanyak mungkin bahan-bahan melalui kepustakaan, dan juga
media elektronik online untuk mendapatkan informasi lebih yang mungkin tidak
9
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal.14
dapat didapat dibuku-buku atau dokumen lain. Analisis data yang dilakukan
terhadap bahan-bahan hukum tersebut diatas adalah metode analisis kualitatif
dengan cara :
a.
Mengumpulkan setiap bahan yang diperlukan, mulai dari bahan primer
sampar tersier;
b.
Menelaah bahan dan memilah bahan yang akan dijadikan rujukan yang
utama sampai dengan rujukan tambahan;
c.
Memahami dan mempelajari lebih dalam lagi bahan-bahan utama yang
menjadi dasar pembahasan isu-isu yang menjadi permasalahan;
d.
Menyusun setiap jawaban dari permasalahan melalui bahan-bahan yang ada;
e.
Menarik kesimpulan dari setiap jawaban sebagai tahap akhir analisis bahan.
II.
PEMBAHASAN
Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
“Pasal 2
1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
2)
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
“Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Sebelum frasa merugikan keuangan negara terdapat kata “dapat” yang
menjadikan pasal ini masuk ke dalam delik formil sesuai penjelasan Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999:
“...Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan
atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat.”
Marwan Effendy, mengacu pada pengertian delik formil diatas, berarti
kata “dapat” didalam rumusan kedua pasal ini, tidak dapat ditafsikan secara
sempit, mengingat kata “dapat” padanannya adalah kata “bisa”, atau dengan kata
lain “potensi”, bukan “mungkin”. Jadi kata “dapat” mengandung adanya suatu
kepastian dan terukur, tidak bersifat abstrak. Untuk menentukan dapat tidaknya
atau bisa tidaknya keuangan negara perlu diketahui berapa potensi dari kerugian
tersebut (potential loss). Artinya perkiraan besar potential loss yang ditimbulkan
oleh perbuatan tersangka atau terdakwa terukur. Untuk mendapatkan ukuran
potential loss tentunya diperlukan audit terlebih dahulu.10 Pendapat hakim
Mahkamah Konstitusi dalam poin konsideran Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 003/PUU-IV/2006, yang antara lain:
“Menimbang ...... bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan,
bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat”
menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss,
10
Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana (4),
(Sumber Ilmu Jaya, 2005), hal. 91.108.
jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan
ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya
menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan
bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan
dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya
akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1)
sepanjang menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
.......Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai
delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan
sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian
yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum frasa
”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat dilihat
dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa
“membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara
dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP.
Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan pidana tersebut
telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang
dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata terjadi.”
Sebuah naskah publikasi yang berjudul “Penggalian Putusan Hakim:
Penerapan Unsur Memperkaya Dan/Atau Menguntungkan Dalam UndangUndang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak
Pidana Korupsi” oleh Anto Widi Nugroho, bahwa mengenai unsur “merugikan
keuangan negara” aparat penegak hukum bekerjasama dengan instansi terkait
yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik menghitung kerugian negara.
Namun demikian, kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara (kerugian
negara) bukanlah menjadi syarat untuk terjadinya tidak pidana korupsi Pasal 2
secara sempurna, melainkan akibat kerugian negara dapat timbul dari perbuatan
memperkaya
diri
dengan
melawan
hukum
tersebut.
Ukurannya
dapat
menimbulkan kerugian yang didasarkan pada pengalaman dan logika/akal orang
pada umumnya dengan memperhatikan berbagai aspek sekitar perbuatan yang
dikategorikan memperkaya diri tersebut. Oleh karena kerugian ini tidak perlu
timbul, maka cukup menurut akal orang pada umumnya bahwa dari suatu
perbuatan dapat menimbulkan kerugian negara tanpa merinci dan menyebut
adanya bentuk dan jumlah kerugian negara tertentu sebagaimana pada tindak
pidana materiil. Untuk membuktikan bahwa hal itu dapat merugikan negara,
semua bergantung pada kemampuan hakim dalam menganalisis dan menilai
aspek-aspek yang menyertai atau ada di sekitar perbuatan dalam rangkaian
peristiwa yang terjadi.11
Sebelumnya, dalam Penjelasan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, disebutkan bahwa ada kerugian
keuangan negara dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang
berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Menurut Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2006, dalam Pasal 1 angka 1, bahwa Badan Pemeriksa Keuangan, yang
selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK berdasarkan kewenangannya
adalah pemeriksaan keuangan negara, yang dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara pada:
“Pasal 2
11
Anto Widi Nugroho, Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya
Dan/Atau Menguntungkan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi (diakses dari http://eprints.ums.ac.id/31461/
12/Naskah_Publikasi.pdf, pada tanggal 23 Maret 2016, pukul 00:03 WIB).
1) Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan
negara;
2) BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara.”
Pemeriksaan tersebut menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 meliputi:
“Pasal 4
1. Pemeriksaan keuangan, yaitu pemeriksaan atas laporan keuangan;
2. Pemeriksaan kinerja, yaitu pemeriksaan atas pengelolaan keuangan
negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi
serta pemeriksaan aspek efektivitas;
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu pemeriksaan yang tidak
termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan kinerja.”
W. Riawan Tjandra mendefenisikan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini
dengan pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan
investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah.
Sehubungan pemeriksaan investigatif (audit investigatif), W. Riawan Tjandra
mengutip pendapat Priyatno, tujuan dari audit investigatif adalah untuk
mengungkapkan adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Dengan audit investigasi tersebut, menurut Riawan Tjandra pada akhirnya dapat
ditarik kesimpulan tentang adanya indikasi tindak pidana korupsi melihat pada
kasus yang bersangkutan dengan didukung oleh bukti-bukti yang relatif kuat dan
bukti-bukti tersebut bisa langsung digunakan sebagai bukti dalam proses hukum
selanjutnya.
Dari proses pelaksanaan audit investigasi tersebut, menurut Narendra akan
dihasilkan bukti berupa Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) dan Lampiran
Bukti Audit. Berkaitan dengan pembuktian menurut hukum pidana, menurut
Narendra maka bukti dokumen merupakan salah satu bukti audit yang dapat
memenuhi kriteria alat bukti surat sebagaimana dimaksud dalam pasal 187
KUHAP. Akan tetapi tidak seluruh bukti audit dokumen dapat menjadi alat bukti
surat yang bersifat mandiri, karena adakalanya dokumen tersebut untuk menjadi
alat bukti surat harus didukung dengan kesesuaian dari alat bukti lainnya. Untuk
membuktikan ada tidaknya kerugian keuangan negara auditor harus memeriksa
dokumen-dokumen dan catatan keuangan yang terkait dengan keluar masuknya
uang, karena dokumen-dokumen dan catatan keuangan merupakan satu-satunya
bukti yang paling relevan untuk dasar penghitungan kerugian negara.12
Permasalahan berikutnya adalah konsep pengembalian kerugian keuangan
negara dari tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK. KPK dalam
melaksanakan peran tersebut tentu dibarengi tugas dan wewenang. Mengenai
tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, undang-undang juga memuat
poin-poin tersebut dalam Bab II tentang Tugas, Wewenang dan Kewajiban.
Kewenangan KPK sendiri ada berdasarkan tugas yang diamanatkan dalam Pasal
6, yaitu:
“Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.”
12
Narendra Aryo B, Laporan Audit Investigasi Sebagai Bukti Permulaan Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi (Jurnal), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=263413&val=6466&title=LAPORAN%20A
UDIT%20INVESTIGASI%20SEBAGAI%20BUKTI%20PERMULAAN%20PENYIDIKAN%20
TINDAK%20PIDANA%20KORUPSI, pada 31 Januari 2016, pukul 11:34 WIB).
Marwan Effendy dalam bukunya “Kejaksaan Dan Penegakan Hukum”,
bahwa letak keberhasilan pemberantasan korupsi tidak terletak pada banyaknya
pelaku korupsi (koruptor) yang dibawa ke pengadilan untuk diadili atas tindak
pidana korupsi, tetapi yang lebih penting adalah untuk mengajak orang untuk
tidak berperilaku koruptif serta mengembalikan kerugian negara melalui uang
pengganti, harta yang disita dan dirampas untuk negara serta denda yang
dijatuhkan sebagai
pidana diharapkan
akan
dapat
mengurangi
bahkan
menghilangkan salah satu motif dasar pelaku korupsi maupun calon pelaku tindak
pidana yaitu untuk mendapatkan keuntungan yang ekonomis. Namun, penyitaan
dan perampasan terhadap harta pelaku tersebut hendaknya disertai dengan
langkah-langkah yang konstruktif untuk menjaga kestabilan nilai dan harta atau
barang yang telah disita/dirampas sehungga tujuan semula untuk mengembalikan
kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan si koruptor dapat tercapai.13
Mengenai jumlah uang pengganti, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
nomor 5 tahun 2014 Tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak
Pidana Korupsi. Apabila dikaitkan dengan kewenangan penuntutan dari penuntut
umum untuk melakukan tuntutan atas uang pengganti yang dihubungkan dengan
kerugian negara yang diakibatkan, maka penuntut umum dalam hal ini akan
berpedoman pada Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Se003/A/Ja/02/2010 Tahun 2010 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak
Pidana Korupsi.
13
Marwan Effendy, Kejaksaan dan Penegakan Hukum (2) (Jakarta: Timpani Publishing,
2010), hal. 42.
Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas tentang pengembalian
kerugian keuangan negara atau dalam beberapa peraturan perundang-undangan
(UNCAC 2003, RUU Pengembalian aset, dsb) disebut sebagai aset, bahwa dalam
hukum nasional, terutama dalam KUHP dan KUHAP, tidak secara tegas dan jelas
menerangkan pengembalian aset, namun apabila dikaitkan dengan hal tersebut,
akan mengarah kepada proses penyitaan. Hal ini dikarenakan pengembalian yang
artinya dapat berupa memulihkan keadaan atau memulangkan, atau pemulihan,
dapat terjadi melalui proses penyitaan.
Dalam perkara korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diatur dalam Pasal 32,
33, 34 dan 38 mengenai gugatan perdata serta ketentuan Pasal 38 ayat (5), 38 ayat
(6), 38B ayat (2) dengan jalur pidana melalui proses penyitaan dan perampasan,
diantaranya:
“Pasal 32
1)
Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau
lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka
penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan
perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk
mengajukan gugatan;
2)
Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak
menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan
negara.”
“Pasal 33
Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka
penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”
“Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di
sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita
acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap
ahli warisnya.”
“Pasal 38 ayat (5)
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan
terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan
tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum
menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.”
“Pasal 38 ayat (6)
Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat
dimohonkan upaya banding.”
“Pasal 38B
Ayat (2)
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak
pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak
pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian
harta benda tersebut dirampas untuk negara.”
Apabila dirinci pengembalian aset dari jalur kepidanaan ini menurut Lilik
Mulyadi, dilakukan melalui proses persidangan bahwa hakim di samping
menjatuhkan pidana pokok, juga dapat menjatuhkan pidana tambahan. Pidana
tambahan dapat dijatuhkan hakim dalam kapasitasnya yang berkolerasi dengan
pengembalian aset melalui prosedur pidana ini dapat berupa:14
1)
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau
barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tempat tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula harga barang yang menggantikan barang-barang tersebut
14
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT
Alumni, 2007), hal 237-239.
(Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001);
2)
Pembayaran uang pengganti yang sebanyak-banyaknya sama dengan harta
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang
pengganti, paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak
mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana
penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2),
(3), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001).
3)
Pidana denda dalam aspek Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mempergunakan perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat kumulatif
(pidana penjara atau pidana denda), kumulatif-alternatif (pidana penjara dan atau
pidana denda) dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) bersifat
determinate sentence dan indifinite sentence;
4)
Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa
meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat
bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi.
Penetapan hakim atas perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum
banding dan setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan
kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30
hari terhitung sejak tanggal pengumuman (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);
5)
Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak
dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh Penuntut Umum pada saat membacakan
tuntutan dalam perkara pokok (Pasal 38B ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Gambaran prosedur penanganan atau proses pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi melalui jalur pidana yang dapat dilakukan KPK melalui
kewenangan penyelidikan dan penyidikan, menurut Himawan dalam sebuah karya
tulis ilmiah di Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Mayarakat Universitas Prof.
Dr. Hazairin S.H., Bengkulu yang berjudul “Mekanisme Pengembalian Aset Hasil
Tindak Pidana Korupsi”, yaitu berupa:15
1)
Penelusuran Aset
2)
Pembekuan aset
3)
Penyitaan
4)
Perampasan
5)
Pengelolaan aset
6)
Penyerahan aset
15
Himawan Ahmed Sanusi, Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi, Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Mayarakat, Universitas Prof. Dr. Hazairin S.H.,
Bengkulu (diakses dari http://www.lppm-unihaz.ac.id/downloadKTI1.php?id=2, pada tanggal 14
September 2015, pukul 22:11 WIB).
7)
Pengawasan pemanfaatan aset
Pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi 2003
(United Nations Convention Against Corruption, 2003) atau lazim disebut
UNCAC 2003, pendekatan restoratif berupa pengembalian aset diatur dalam Bab
V Pasal 51-58 tentang “Asset Recovery” (Pengembalian Aset) merupakan prinsip
mendasar yang diharapkan negara-negara peserta konvensi wajib saling
memberikan kerja sama dan bantuan seluas-luasnya mengenai hal ini.16 Konvensi
tersebut telah membuat terobosan besar mengenai asset recovery yang menurut
Lilik Mulyadi meliputi sistem pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi
dalam Pasal 52 UNCAC, sistem pengembalian aset secara langsung (civil
recovery ) dalam Pasal 53
UNCAC, sistem pengembalian aset secara tidak
langsung (criminal recovery ) dan kerja sama internasional untuk tujuan penyitaan
dalam Pasal 55 UNCAC.17
Menurut Lilik Mulyadi, ketentuan esensial yang teramat penting dalam
konteks ini adalah ditujukan khusus terhadap pengembalian aset-aset hasil korupsi
dari negara ketempatan (custodial state) kepada negara asal (country of origin)
aset korupsi. Pengembalian aset korupsi melalui kerja sama internasional
diberikan justifikasi normatif tentang “International Cooperation” (Pasal 43
sampai pada Pasal 50), termasuk didalamnya ketentuan mengenai ekstradisi,
mutual legal assistance in criminal matters (perjanjian bantuan timbal balik dalam
masalah pidana), transfer proceedings (pemindahan proses pidana), transfer of
sentenced person (pemindahan narapidana), dan joint investigation (penyidikan
16
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT
Alumni, 2007), hal. 243
17
Ibid.
bersama). Implementasi dimensi ini menurut Lilik Mulyadi tampak pemerintah
Indonesia telah mengesahkan perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Korea
Selatan, Malaysia, Australia, Thailand, Hong Kong, dan Filipina serta
mengesahkan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan
Pemerintah Australia dan sebagainya.18
Khusus terhadap jalur pidana yaitu asset recovery secara tidak langsung,
menurut Lilik Mulyadi dengan melihat ketentuan dalam UNCAC, proses
pengembalian aset lazimnya melalui empat tahapan:19
a.
Pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi aset, bukti
kepemilikan aset, lokasi penyimpanan dalam kapasitas hubungan dengan delik
yang dilakukan;
b.
Pembekuan atau perampasan aset yang menurut Bab I Pasal 2 huruf f
UNCAC 2003, aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk
mentransfer, mengkonvensi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau
untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab mengurus dan
memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau
penetapan dari otoritas lain yang berkompeten;
c.
Penyitaan aset yang menurut Bab I Pasal 2 huruf g UNCAC 2003 diartikan
sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan
atau otoritas lain yang berkompeten;
d.
Pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada negara korban.
18
19
Ibid, 243-244.
Ibid, hal. 245.
Demikian jauhnya kewenangan KPK dalam upaya pengembalian kerugian
keuangan negara dari tindak pidana korupsi. Untuk lebih pasti, berikut
dilampirkan beberapa data pengembalian kerugian keuangan negara dari korupsi.
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian yang telah penulis uraikan lewat permasalah pada
bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal diantaranya :
1.
Saat ini delik kerugian keuangan negara dalam Pasal 2 maupun Pasal 3,
mengalami perubahan rumusan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dengan adanya kata “dapat” sebelum frasa
merugikan keuangan negara menyebabkan delik tersebut menjadi delik
formil. Artinya, tidak perlu dibuktikan secara sempurna seluruh unsur-unsur
yang terkandung didalamnya, atau dengan kata lain tidak perlu timbul akibat
dari suatu perbuatan, cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur lain seperti
melawan hukum, memperkaya diri sendiri/ orang lain/ korporasi.
Sehubungan dengan
itu, dalam penjelasan Pasal 32 undang-undang
tersebut, bahwa dalam hal beberapa unsur tindak pidana tidak terbukti
sementara secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, yang mana
telah nyata ditemukan dan dihitung oleh pejabat atau instansi yang
berwenang, dalam hal ini, BPK memiliki kewenangan untuk melakukan
audit
(audit investigasi untuk melakukan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu), yang mana hasil audit tersebut dapat dijadikan sebagai bukti
permulaan dan sebagai perluasan bukti petunjuk dalam hal terjadinya tindak
pidana korupsi.
2.
KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, apabila dikaitkan dengan
pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi, akan
fokus ke dalam tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi. Melalui kewenangan ini, pengembalian kerugian
keuangan negara dapat dilakukan melalui jalur pidana ataupun perdata.
Dalam jalur pidana, KPK melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan
terdakwa, maupun
tuntutan denda (nominalnya telah diatur secara
minimum khusus maupun maksimum khusus dalam Pasal 2 dan Pasal 3
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dan ganti kerugian yang
nilainya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan negara
yang diakibatkan (PERMA 5 Tahun 2014). Berhubung tindak pidana
korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga harus dilakukan dengan
penanganan yang luar biasa, menyebabkan kewenangan pengembalian
tindak pidana pun diperluas dengan instrumen perdata.
B.
1.
Saran
Perlunya perbaikan dalam regulasi terutama peraturan-peraturan yang
saling kontradiktif dan masih berlaku (tidak dicabut atau dinyatakan tidak
berkekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah), yang menyebabkan
berbagai penafsiran dan mempersulit proses penegakan hukum, dalam hal
ini kaitannya dengan kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi;
2.
Setelah melihat beberapa data kerugian keuangan negaa yang semakin
meningkat, perlu penguatan yang lebih kepada kewenangan KPK sendiri,
dengan tidak memotong-motong kewenangannya seperti yang dirancang
pada saat ini yaitu untuk merevisi Undang-Undang KPK. Jika memang
perlu perbaikan, seyogianya peningkatan dan memperkuat kewenangan
KPK, bukan melemahkan;
3.
Pemberantasan dan pencegahan korupsi pada dasarnya bukan hanya
kewenangan KPK saja, tetapi semua masyarakat Indonesia. Berkaitan
dengan hal itu, perlu dilakukan revolusi mental seperti slogan Presiden
Jokowi untuk memperbaiki keadaan bangsa Indonesia saat ini.
4.
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melawan
hukum formil dapat membantu pengembalian kerugian keuangan negara
akibat tindak pidana korupsi. Namun, apabila masih hanya bersifat potensi
kerugian akan sangat sulit dalam pengembalian ekrugian keuangan negara,
karena masih bersifat abstrak. Untuk itu masih perlu penjelasan lebih
lanjut mengenai kerugian keuangan negara dan konsep pengembaliannya
seperti misalnya dalam Pasal 32 tentang gugatan perdata apabila tidak
terpenuhi satu untuk dalam delik tersebut.
5.
Pada dasarnya, perubahan peraturan perundang-undangan yang terjadi
dalam undang-undang korupsi dari tahun 1999 sampai tahun 2001
menunjukkan
ketidakmampuan
pemerintah
atau
negara
dalam
mengantisipasi jenis kejahatan yang semakin berkembang. Perlu juga
disadari bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime seperti halnya
kejahatan pelanggaran HAM berat yang dapat diberlakukan asas non
retroaktif, bukan memilih hukuman yang paling menguntungkan terdakwa.
DAFTAR PUSTAKA
Anto Widi Nugroho, Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya
Dan/Atau Menguntungkan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi
(diakses dari http://eprints.ums.ac.id/31461/ 12/Naskah_Publikasi.pdf,
pada tanggal 23 Maret 2016, pukul 00:03 WIB).
Chaerudin, dan kawan-kawan , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama,2008)
H. Chairuman Harahap, Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi
Hukum, (Bandung: Citra Pustaka Media, 2003)
Himawan Ahmed Sanusi, Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi, Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Mayarakat, Universitas
Prof. Dr. Hazairin S.H., Bengkulu (diakses dari http://www.lppmunihaz.ac.id/downloadKTI1.php?id=2, pada tanggal 14 September 2015,
pukul 22:11 WIB).
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung:
PT Alumni, 2007)
Marwan Effendy, Kejaksaan dan Penegakan Hukum (2) (Jakarta: Timpani
Publishing, 2010)
Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance (3), (Jakarta:
PT. Timpani Publishing, 2010)
Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana
(4), (Sumber Ilmu Jaya, 2005)
Narendra Aryo B, Laporan Audit Investigasi Sebagai Bukti Permulaan
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Jurnal), Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya
(diakses
dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=263413&val=6466&t
itle=LAPORAN%20AUDIT%20INVESTIGASI%20SEBAGAI%20BUK
TI%20PERMULAAN%20PENYIDIKAN%20TINDAK%20PIDANA%2
0KORUPSI, pada 31 Januari 2016, pukul 11:34 WIB).
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: Rajawali Press, 2007)
Suyatno, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005)
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:
DEBORA SINTYA TAMPUBOLON
NIM
:
120200267
Fakultas
:
HUKUM
Dengan ini menyatakan,
Bahwa skripsi
KORUPSI
yang berjudul
DALAM
PERAN
KOMISI
PENGEMBALIAN
PEMBERANTASAN
KERUGIAN
KEUANGAN
NEGARA DARI TINDAK PIDANA KORUPSI benar bebas dari plagiat, dan
apabila pernyataan ini terbukti tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi
sesuai ketentuan yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Medan, Agustus 2016
Debora S Tampubolon
Download