PERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DARI TINDAK PIDANA KORUPSI JURNAL Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH : DEBORA S TAMPUBOLON NIM : 120200267 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 HALAMAN PERSETUJUAN JURNAL SKRIPSI PERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DARI TINDAK PIDANA KORUPSI DEBORA S TAMPUBOLON 120200267 DIKETAHUI OLEH : KETUA DEPARTEMEN HUUM PIDANA (Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum) NIP: 195703261986011001 EDITOR (Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H.,M.Hum) NIP: 1951022061980021001 PERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DARI TINDAK PIDANA KORUPSI ABSTRAKSI Debora S. Tampubolon1 Syafruddin Kalo2 Nurmalawaty3 Pemberantasan korupsi pada dewasa ini menjadi pembicaraan yang semakin hangat di masyarakat. Dalam kenyataannya, masyarakat semakin terbuka matanya dan mulai menyuarakan harapan dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan luar biasa ini. Para koruptor yang dijerat oleh undang-undang korupsi maupun yang berkaitan dengan hal itu seperti undang-undang pencucuian uang, menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap pemberantasan korupsi. Tidak hanya itu, masalah lain yang perlu diingat adalah sejauh mana pemerintah dalam mengembalikan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, mengingat salah satu pengertian korupsi atau jenis korupsi dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggunakan rumusan “dapat merugikan keuangan dan atau perekonomian negara”. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya ilmiah ialah metode pendekatan normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Teknik pengumpulan data sesuai dengan metodenya yaitu library resources yang berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin bahan-bahan melalui kepustakaan, dan juga media elektronik online untuk mendapatkan informasi lebih yang mungkin tidak dapat didapat dibuku-buku atau dokumen lain. Analisis data yang penulis lakukan terhadap bahan-bahan hukum tersebut diatas adalah metode analisis kualitatif . Pemberian kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut KPK yang cukup luas dan bersifat mandiri akan menjadi angin segar bagi pencari keadilan dan kebebasan dari belenggu korupsi. Koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK akan sangat membantu dalam pemberantasan korupsi. Instrumen nasional dan internasional semakin diperkuat pemerintah, perluasan kerja sama bilateral dan multilateral diharapkan dapat memberikan jalan untuk menangkap aset dan pelaku yang lari ke luar negeri. Dibarengi lagi dengan kemampan jaksa dalam menuntut tindak pidana korupsi melalui instrumen dalam undang-undang pencucian uang, memperluas jeratan untuk para tikus pembobol kantung rakyat itu. 1 Mahasiswa Fakultas Hukum USU Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU 3 Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU 2 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Chaerudin dalam bukunya “Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi”, bahwa masalah penegakan hukum menjadi salah satu agenda dari sejumlah masalah dalam Pembangunan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Bab I Sub A Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, menyatakan sebagai berikut : “...masih banyak peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, masih besarnya tumpang tindih peraturan perundangan di tingkat pusat dan daerah dan menghambat iklim usaha dan pada gilirannya menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat, belum ditegakkannya hukum secara tegas, adil dan tidak diskriminatif, serta memihak kepada rakyat kecil serta belum dirasakan putusan hukum oleh masyarakat sebagai putusan yang adil dan tidak memihak melalui proses yang transparan.” Perpres Nomor 7 Tahun 2005 diatas mengadopsi pemikiran Friedman mengenai sistem hukum yang dituangkan didalam Bab 9 Tentang Pembenahan Sistem dan Politik Hukum yang meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga hal ini dapat pula digunakan sebagai kajian untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum..4 Berangkat dari masalah di atas, jika melihat pada dewasa ini tindak pidana yang dari dulu hingga saat ini sangat hangat serta gencar diberitakan tidak hanya dalam lingkup nasional, tetapi merambah kancah internasional salah satunya adalah tindak pidana korupsi, yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan 4 Chaerudin, dan kawan-kawan , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama,2008), hal.59 masyarakat. Terkait dengan tindak pidana tersebut, defenisi korupsi itu sendiri beraneka ragam karena sudah sangat banyak ahli yang menerjemahkannya sesuai dengan keadaan dan situasi yang berbeda. Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, Suyatno berpandangan bahwa pengawal peraturan perundang-undangan seperti polisi, hakim, inspektur, jaksa, dan pembela ikut menentukan sukses atau tidaknya pemberantasan korupsi. Apabila didalam penegakan hukum itu masih terjadi mercenary corruption5, maka yang terjadi ialah terbentuknya multiplier effect (efek penggandaan) korupsi. 6 Chairuman Harahap dalam bukunya “Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum”: “Korupsi sebagai kejahatan luar biasa menurut telah merugikan suatu bangsa, menurunkan derajat pemerintahnya sendiri, dan menghambat perkembangan perekonomian rakyat. Bisa dikatakan kejahatan dalam bentuk korupsi ini korbannya adalah negara, tidak lagi individu atau pun badan hukum saja. Bahkan tidak lagi pada tingkat nasional, tetapi sampai lintas batas negara. Kompleksitas masalah KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), khususnya korupsi di Indonesia telah merasuk ke dalam budaya dan telah berlangsung demikian lama. Oleh karena itu upaya pemberantasan –terlebih yang menyangkut pada instansi pemerintah – adalah sesuatu yang amat sulit, kalau bukan mustahil. Pesimisme ini bukannya tidak berdasar, karena instansi pemerintah sebagai leading sector dalam total kehidupan bernegara dan berbangsa terutama dinegara berkembang. Kaum birokrasi yang mengendalikan pemerintah ini mendapat legitimasi dan kewenangan yang besar dalam melakukan apa saja, termasuk untuk menentukan retorika politik mengenai masalah KKN.”7 5 Suyatno, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. hal. 18. Suyatno mengutip defenisi korupsi yang dikemukakan oleh Benveniste (1991) dalam bukunya “Birokrasi”. Salah satu defenisi korupsi adalah mercenary corruption, yaitu jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. 6 Ibid, hal. 21. 7 H. Chairuman Harahap, Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum, (Bandung: Citra Pustaka Media, 2003), hal. 132. Untuk mengantisipasi berkembang biaknya kejahatan yang merugikan halayak banyak ini, segala usaha dilakukan pemerintah baik dalam membentuk peraturan dan badan/institusi/lembaga yang secara khusus menangani kejahatan ini. Di Indonesia dikenal sebuah badan atau lembaga anti korupsi yang independen, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan payung hukum lembaganya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau selanjutnya disebut dengan UU KPK. Berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang senyatanya telah merugikan keuangan negara, menghambat pembangunan, menurunkan kualitas bangsa Indonesia dimata dunia tidaklah lagi dapat dianggap sepele dan ditindaklanjuti sebagaimana adanya saja tanpa ada perkembangan. Dunia pada dewasa ini telah memiliki sejumlah teknis dan prosedur yang semakin berkembang mengikuti dinamisnya tindak pidana dalam hal ini korupsi agar dapat memberantas dan menanggulanginya. Pemerintah tidak bisa hanya menghukum para pelaku korupsi, tetapi harus dapat mengembalikan sejumlah kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi melalui mekanisme yang diatur dalam perundangundangan. Sebab, jika hanya dengan menghukum badani kepada para pelaku korupsi, tidak akan bisa mengembalikan keadaan perekonimian bangsa yang sudah diserap oleh oknum-oknum tersebut. Pengembalian keuangan negara memang bukanlah hal mudah. Bahkan mungkin akan adanya pengenyampinganpengenyampingan dari aturan yang berlaku agar dapat ditelusuri aliran dan dirampas serta dikembalikan kepada negara sebagai pemegang yang berhak. Marwan Effendy, dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi dan Good Governance”, mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah juga telah merancang kebijakan-kebijakan yang dapat membantu lembaga independen ini untuk memberantas korupsi baik segi nasional maupun internasional. Tidak hanya dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan saja lembaga ini dibutuhkan. Tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya tidak semata-mata hanya menghukum para pelakunya saja, tetapi juga bagaimana mengembalikan keuangan negara tersebut. Salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam rangka mengamankan aset guna pengembalian keuangan negara yang telah diselewengkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi adalah dengan melakukan penyitaan atas berbagai aset atau harta kekayaan milik para pelaku tersebut. Baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak yang diduga berasal dari hasil korupsi maupun yang bukan dari hasil korupsi yang dipandang perlu untuk dilakukan penyitaan guna pengembalian keuangan. 8 Sebab, apa yang menjadi milik negara, haruslah dikembalikan, agar dapat menjaga keseimbangan yang sempat goyah akibat kejahatan itu, dan selayaknyalah sudah menjadi tugas peraturan untuk memayungi setiap kebijakan yang dibuat untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat tadi, lembaga yng dimaksud dapat leluasa melaksanakan hak dan kewajibannya yang sudah dilindungi oleh aturan tadi. Berdasarkan uraian singkat latar belakang diatas, judul yang sesuai untuk mendalami permasalahan dalam skripsi ini, yaitu Peran Komisi Pemberantasan 8 Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance (3), (Jakarta: PT. Timpani Publishing, 2010), hal.86-87. Korupsi Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dirangkum diatas, maka skripsi ini berusaha menyederhanakan permasalahan dalam pembahasannya. Permasalahan yang menjadi topik utama diantaranya : 1. Bagaimana konsep kerugian keuangan negara kaitannya dengan tindak pidana korupsi? 2. Bagaimana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pengembalian keuangan negara dari tindak pidana korupsi ? C. Metode Penelitian Skripsi ini disusun melalui penelitian dengan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian normatif, atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder.9 Sumber penelitian yang dirangkum berasal dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan berupa dokumen-dokumen resmi. Teknik atau metode pengumpulan data sesuai dengan metodenya yaitu library resources yang berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin bahan-bahan melalui kepustakaan, dan juga media elektronik online untuk mendapatkan informasi lebih yang mungkin tidak 9 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal.14 dapat didapat dibuku-buku atau dokumen lain. Analisis data yang dilakukan terhadap bahan-bahan hukum tersebut diatas adalah metode analisis kualitatif dengan cara : a. Mengumpulkan setiap bahan yang diperlukan, mulai dari bahan primer sampar tersier; b. Menelaah bahan dan memilah bahan yang akan dijadikan rujukan yang utama sampai dengan rujukan tambahan; c. Memahami dan mempelajari lebih dalam lagi bahan-bahan utama yang menjadi dasar pembahasan isu-isu yang menjadi permasalahan; d. Menyusun setiap jawaban dari permasalahan melalui bahan-bahan yang ada; e. Menarik kesimpulan dari setiap jawaban sebagai tahap akhir analisis bahan. II. PEMBAHASAN Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001: “Pasal 2 1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); 2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” “Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Sebelum frasa merugikan keuangan negara terdapat kata “dapat” yang menjadikan pasal ini masuk ke dalam delik formil sesuai penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999: “...Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.” Marwan Effendy, mengacu pada pengertian delik formil diatas, berarti kata “dapat” didalam rumusan kedua pasal ini, tidak dapat ditafsikan secara sempit, mengingat kata “dapat” padanannya adalah kata “bisa”, atau dengan kata lain “potensi”, bukan “mungkin”. Jadi kata “dapat” mengandung adanya suatu kepastian dan terukur, tidak bersifat abstrak. Untuk menentukan dapat tidaknya atau bisa tidaknya keuangan negara perlu diketahui berapa potensi dari kerugian tersebut (potential loss). Artinya perkiraan besar potential loss yang ditimbulkan oleh perbuatan tersangka atau terdakwa terukur. Untuk mendapatkan ukuran potential loss tentunya diperlukan audit terlebih dahulu.10 Pendapat hakim Mahkamah Konstitusi dalam poin konsideran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, yang antara lain: “Menimbang ...... bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, 10 Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana (4), (Sumber Ilmu Jaya, 2005), hal. 91.108. jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. .......Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata terjadi.” Sebuah naskah publikasi yang berjudul “Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya Dan/Atau Menguntungkan Dalam UndangUndang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi” oleh Anto Widi Nugroho, bahwa mengenai unsur “merugikan keuangan negara” aparat penegak hukum bekerjasama dengan instansi terkait yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik menghitung kerugian negara. Namun demikian, kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara (kerugian negara) bukanlah menjadi syarat untuk terjadinya tidak pidana korupsi Pasal 2 secara sempurna, melainkan akibat kerugian negara dapat timbul dari perbuatan memperkaya diri dengan melawan hukum tersebut. Ukurannya dapat menimbulkan kerugian yang didasarkan pada pengalaman dan logika/akal orang pada umumnya dengan memperhatikan berbagai aspek sekitar perbuatan yang dikategorikan memperkaya diri tersebut. Oleh karena kerugian ini tidak perlu timbul, maka cukup menurut akal orang pada umumnya bahwa dari suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian negara tanpa merinci dan menyebut adanya bentuk dan jumlah kerugian negara tertentu sebagaimana pada tindak pidana materiil. Untuk membuktikan bahwa hal itu dapat merugikan negara, semua bergantung pada kemampuan hakim dalam menganalisis dan menilai aspek-aspek yang menyertai atau ada di sekitar perbuatan dalam rangkaian peristiwa yang terjadi.11 Sebelumnya, dalam Penjelasan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, disebutkan bahwa ada kerugian keuangan negara dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, dalam Pasal 1 angka 1, bahwa Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK berdasarkan kewenangannya adalah pemeriksaan keuangan negara, yang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara pada: “Pasal 2 11 Anto Widi Nugroho, Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya Dan/Atau Menguntungkan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi (diakses dari http://eprints.ums.ac.id/31461/ 12/Naskah_Publikasi.pdf, pada tanggal 23 Maret 2016, pukul 00:03 WIB). 1) Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara; 2) BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.” Pemeriksaan tersebut menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 meliputi: “Pasal 4 1. Pemeriksaan keuangan, yaitu pemeriksaan atas laporan keuangan; 2. Pemeriksaan kinerja, yaitu pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas; 3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan kinerja.” W. Riawan Tjandra mendefenisikan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini dengan pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. Sehubungan pemeriksaan investigatif (audit investigatif), W. Riawan Tjandra mengutip pendapat Priyatno, tujuan dari audit investigatif adalah untuk mengungkapkan adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Dengan audit investigasi tersebut, menurut Riawan Tjandra pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan tentang adanya indikasi tindak pidana korupsi melihat pada kasus yang bersangkutan dengan didukung oleh bukti-bukti yang relatif kuat dan bukti-bukti tersebut bisa langsung digunakan sebagai bukti dalam proses hukum selanjutnya. Dari proses pelaksanaan audit investigasi tersebut, menurut Narendra akan dihasilkan bukti berupa Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) dan Lampiran Bukti Audit. Berkaitan dengan pembuktian menurut hukum pidana, menurut Narendra maka bukti dokumen merupakan salah satu bukti audit yang dapat memenuhi kriteria alat bukti surat sebagaimana dimaksud dalam pasal 187 KUHAP. Akan tetapi tidak seluruh bukti audit dokumen dapat menjadi alat bukti surat yang bersifat mandiri, karena adakalanya dokumen tersebut untuk menjadi alat bukti surat harus didukung dengan kesesuaian dari alat bukti lainnya. Untuk membuktikan ada tidaknya kerugian keuangan negara auditor harus memeriksa dokumen-dokumen dan catatan keuangan yang terkait dengan keluar masuknya uang, karena dokumen-dokumen dan catatan keuangan merupakan satu-satunya bukti yang paling relevan untuk dasar penghitungan kerugian negara.12 Permasalahan berikutnya adalah konsep pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK. KPK dalam melaksanakan peran tersebut tentu dibarengi tugas dan wewenang. Mengenai tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, undang-undang juga memuat poin-poin tersebut dalam Bab II tentang Tugas, Wewenang dan Kewajiban. Kewenangan KPK sendiri ada berdasarkan tugas yang diamanatkan dalam Pasal 6, yaitu: “Pasal 6 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.” 12 Narendra Aryo B, Laporan Audit Investigasi Sebagai Bukti Permulaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Jurnal), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=263413&val=6466&title=LAPORAN%20A UDIT%20INVESTIGASI%20SEBAGAI%20BUKTI%20PERMULAAN%20PENYIDIKAN%20 TINDAK%20PIDANA%20KORUPSI, pada 31 Januari 2016, pukul 11:34 WIB). Marwan Effendy dalam bukunya “Kejaksaan Dan Penegakan Hukum”, bahwa letak keberhasilan pemberantasan korupsi tidak terletak pada banyaknya pelaku korupsi (koruptor) yang dibawa ke pengadilan untuk diadili atas tindak pidana korupsi, tetapi yang lebih penting adalah untuk mengajak orang untuk tidak berperilaku koruptif serta mengembalikan kerugian negara melalui uang pengganti, harta yang disita dan dirampas untuk negara serta denda yang dijatuhkan sebagai pidana diharapkan akan dapat mengurangi bahkan menghilangkan salah satu motif dasar pelaku korupsi maupun calon pelaku tindak pidana yaitu untuk mendapatkan keuntungan yang ekonomis. Namun, penyitaan dan perampasan terhadap harta pelaku tersebut hendaknya disertai dengan langkah-langkah yang konstruktif untuk menjaga kestabilan nilai dan harta atau barang yang telah disita/dirampas sehungga tujuan semula untuk mengembalikan kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan si koruptor dapat tercapai.13 Mengenai jumlah uang pengganti, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung nomor 5 tahun 2014 Tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi. Apabila dikaitkan dengan kewenangan penuntutan dari penuntut umum untuk melakukan tuntutan atas uang pengganti yang dihubungkan dengan kerugian negara yang diakibatkan, maka penuntut umum dalam hal ini akan berpedoman pada Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Se003/A/Ja/02/2010 Tahun 2010 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi. 13 Marwan Effendy, Kejaksaan dan Penegakan Hukum (2) (Jakarta: Timpani Publishing, 2010), hal. 42. Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas tentang pengembalian kerugian keuangan negara atau dalam beberapa peraturan perundang-undangan (UNCAC 2003, RUU Pengembalian aset, dsb) disebut sebagai aset, bahwa dalam hukum nasional, terutama dalam KUHP dan KUHAP, tidak secara tegas dan jelas menerangkan pengembalian aset, namun apabila dikaitkan dengan hal tersebut, akan mengarah kepada proses penyitaan. Hal ini dikarenakan pengembalian yang artinya dapat berupa memulihkan keadaan atau memulangkan, atau pemulihan, dapat terjadi melalui proses penyitaan. Dalam perkara korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diatur dalam Pasal 32, 33, 34 dan 38 mengenai gugatan perdata serta ketentuan Pasal 38 ayat (5), 38 ayat (6), 38B ayat (2) dengan jalur pidana melalui proses penyitaan dan perampasan, diantaranya: “Pasal 32 1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan; 2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.” “Pasal 33 Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.” “Pasal 34 Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.” “Pasal 38 ayat (5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.” “Pasal 38 ayat (6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.” “Pasal 38B Ayat (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.” Apabila dirinci pengembalian aset dari jalur kepidanaan ini menurut Lilik Mulyadi, dilakukan melalui proses persidangan bahwa hakim di samping menjatuhkan pidana pokok, juga dapat menjatuhkan pidana tambahan. Pidana tambahan dapat dijatuhkan hakim dalam kapasitasnya yang berkolerasi dengan pengembalian aset melalui prosedur pidana ini dapat berupa:14 1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tempat tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga barang yang menggantikan barang-barang tersebut 14 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 237-239. (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); 2) Pembayaran uang pengganti yang sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti, paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). 3) Pidana denda dalam aspek Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempergunakan perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat kumulatif (pidana penjara atau pidana denda), kumulatif-alternatif (pidana penjara dan atau pidana denda) dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) bersifat determinate sentence dan indifinite sentence; 4) Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pengumuman (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); 5) Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Penuntut Umum pada saat membacakan tuntutan dalam perkara pokok (Pasal 38B ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Gambaran prosedur penanganan atau proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui jalur pidana yang dapat dilakukan KPK melalui kewenangan penyelidikan dan penyidikan, menurut Himawan dalam sebuah karya tulis ilmiah di Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Mayarakat Universitas Prof. Dr. Hazairin S.H., Bengkulu yang berjudul “Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”, yaitu berupa:15 1) Penelusuran Aset 2) Pembekuan aset 3) Penyitaan 4) Perampasan 5) Pengelolaan aset 6) Penyerahan aset 15 Himawan Ahmed Sanusi, Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Mayarakat, Universitas Prof. Dr. Hazairin S.H., Bengkulu (diakses dari http://www.lppm-unihaz.ac.id/downloadKTI1.php?id=2, pada tanggal 14 September 2015, pukul 22:11 WIB). 7) Pengawasan pemanfaatan aset Pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption, 2003) atau lazim disebut UNCAC 2003, pendekatan restoratif berupa pengembalian aset diatur dalam Bab V Pasal 51-58 tentang “Asset Recovery” (Pengembalian Aset) merupakan prinsip mendasar yang diharapkan negara-negara peserta konvensi wajib saling memberikan kerja sama dan bantuan seluas-luasnya mengenai hal ini.16 Konvensi tersebut telah membuat terobosan besar mengenai asset recovery yang menurut Lilik Mulyadi meliputi sistem pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi dalam Pasal 52 UNCAC, sistem pengembalian aset secara langsung (civil recovery ) dalam Pasal 53 UNCAC, sistem pengembalian aset secara tidak langsung (criminal recovery ) dan kerja sama internasional untuk tujuan penyitaan dalam Pasal 55 UNCAC.17 Menurut Lilik Mulyadi, ketentuan esensial yang teramat penting dalam konteks ini adalah ditujukan khusus terhadap pengembalian aset-aset hasil korupsi dari negara ketempatan (custodial state) kepada negara asal (country of origin) aset korupsi. Pengembalian aset korupsi melalui kerja sama internasional diberikan justifikasi normatif tentang “International Cooperation” (Pasal 43 sampai pada Pasal 50), termasuk didalamnya ketentuan mengenai ekstradisi, mutual legal assistance in criminal matters (perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana), transfer proceedings (pemindahan proses pidana), transfer of sentenced person (pemindahan narapidana), dan joint investigation (penyidikan 16 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 243 17 Ibid. bersama). Implementasi dimensi ini menurut Lilik Mulyadi tampak pemerintah Indonesia telah mengesahkan perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Korea Selatan, Malaysia, Australia, Thailand, Hong Kong, dan Filipina serta mengesahkan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan Pemerintah Australia dan sebagainya.18 Khusus terhadap jalur pidana yaitu asset recovery secara tidak langsung, menurut Lilik Mulyadi dengan melihat ketentuan dalam UNCAC, proses pengembalian aset lazimnya melalui empat tahapan:19 a. Pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi aset, bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan dalam kapasitas hubungan dengan delik yang dilakukan; b. Pembekuan atau perampasan aset yang menurut Bab I Pasal 2 huruf f UNCAC 2003, aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk mentransfer, mengkonvensi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten; c. Penyitaan aset yang menurut Bab I Pasal 2 huruf g UNCAC 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten; d. Pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada negara korban. 18 19 Ibid, 243-244. Ibid, hal. 245. Demikian jauhnya kewenangan KPK dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi. Untuk lebih pasti, berikut dilampirkan beberapa data pengembalian kerugian keuangan negara dari korupsi. III. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian yang telah penulis uraikan lewat permasalah pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal diantaranya : 1. Saat ini delik kerugian keuangan negara dalam Pasal 2 maupun Pasal 3, mengalami perubahan rumusan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan adanya kata “dapat” sebelum frasa merugikan keuangan negara menyebabkan delik tersebut menjadi delik formil. Artinya, tidak perlu dibuktikan secara sempurna seluruh unsur-unsur yang terkandung didalamnya, atau dengan kata lain tidak perlu timbul akibat dari suatu perbuatan, cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur lain seperti melawan hukum, memperkaya diri sendiri/ orang lain/ korporasi. Sehubungan dengan itu, dalam penjelasan Pasal 32 undang-undang tersebut, bahwa dalam hal beberapa unsur tindak pidana tidak terbukti sementara secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, yang mana telah nyata ditemukan dan dihitung oleh pejabat atau instansi yang berwenang, dalam hal ini, BPK memiliki kewenangan untuk melakukan audit (audit investigasi untuk melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu), yang mana hasil audit tersebut dapat dijadikan sebagai bukti permulaan dan sebagai perluasan bukti petunjuk dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi. 2. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, apabila dikaitkan dengan pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi, akan fokus ke dalam tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Melalui kewenangan ini, pengembalian kerugian keuangan negara dapat dilakukan melalui jalur pidana ataupun perdata. Dalam jalur pidana, KPK melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan terdakwa, maupun tuntutan denda (nominalnya telah diatur secara minimum khusus maupun maksimum khusus dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dan ganti kerugian yang nilainya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan (PERMA 5 Tahun 2014). Berhubung tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga harus dilakukan dengan penanganan yang luar biasa, menyebabkan kewenangan pengembalian tindak pidana pun diperluas dengan instrumen perdata. B. 1. Saran Perlunya perbaikan dalam regulasi terutama peraturan-peraturan yang saling kontradiktif dan masih berlaku (tidak dicabut atau dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah), yang menyebabkan berbagai penafsiran dan mempersulit proses penegakan hukum, dalam hal ini kaitannya dengan kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi; 2. Setelah melihat beberapa data kerugian keuangan negaa yang semakin meningkat, perlu penguatan yang lebih kepada kewenangan KPK sendiri, dengan tidak memotong-motong kewenangannya seperti yang dirancang pada saat ini yaitu untuk merevisi Undang-Undang KPK. Jika memang perlu perbaikan, seyogianya peningkatan dan memperkuat kewenangan KPK, bukan melemahkan; 3. Pemberantasan dan pencegahan korupsi pada dasarnya bukan hanya kewenangan KPK saja, tetapi semua masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan hal itu, perlu dilakukan revolusi mental seperti slogan Presiden Jokowi untuk memperbaiki keadaan bangsa Indonesia saat ini. 4. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melawan hukum formil dapat membantu pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Namun, apabila masih hanya bersifat potensi kerugian akan sangat sulit dalam pengembalian ekrugian keuangan negara, karena masih bersifat abstrak. Untuk itu masih perlu penjelasan lebih lanjut mengenai kerugian keuangan negara dan konsep pengembaliannya seperti misalnya dalam Pasal 32 tentang gugatan perdata apabila tidak terpenuhi satu untuk dalam delik tersebut. 5. Pada dasarnya, perubahan peraturan perundang-undangan yang terjadi dalam undang-undang korupsi dari tahun 1999 sampai tahun 2001 menunjukkan ketidakmampuan pemerintah atau negara dalam mengantisipasi jenis kejahatan yang semakin berkembang. Perlu juga disadari bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime seperti halnya kejahatan pelanggaran HAM berat yang dapat diberlakukan asas non retroaktif, bukan memilih hukuman yang paling menguntungkan terdakwa. DAFTAR PUSTAKA Anto Widi Nugroho, Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya Dan/Atau Menguntungkan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi (diakses dari http://eprints.ums.ac.id/31461/ 12/Naskah_Publikasi.pdf, pada tanggal 23 Maret 2016, pukul 00:03 WIB). Chaerudin, dan kawan-kawan , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama,2008) H. Chairuman Harahap, Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum, (Bandung: Citra Pustaka Media, 2003) Himawan Ahmed Sanusi, Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Mayarakat, Universitas Prof. Dr. Hazairin S.H., Bengkulu (diakses dari http://www.lppmunihaz.ac.id/downloadKTI1.php?id=2, pada tanggal 14 September 2015, pukul 22:11 WIB). Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Alumni, 2007) Marwan Effendy, Kejaksaan dan Penegakan Hukum (2) (Jakarta: Timpani Publishing, 2010) Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance (3), (Jakarta: PT. Timpani Publishing, 2010) Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana (4), (Sumber Ilmu Jaya, 2005) Narendra Aryo B, Laporan Audit Investigasi Sebagai Bukti Permulaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Jurnal), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=263413&val=6466&t itle=LAPORAN%20AUDIT%20INVESTIGASI%20SEBAGAI%20BUK TI%20PERMULAAN%20PENYIDIKAN%20TINDAK%20PIDANA%2 0KORUPSI, pada 31 Januari 2016, pukul 11:34 WIB). Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Press, 2007) Suyatno, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005) SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : DEBORA SINTYA TAMPUBOLON NIM : 120200267 Fakultas : HUKUM Dengan ini menyatakan, Bahwa skripsi KORUPSI yang berjudul DALAM PERAN KOMISI PENGEMBALIAN PEMBERANTASAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DARI TINDAK PIDANA KORUPSI benar bebas dari plagiat, dan apabila pernyataan ini terbukti tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Medan, Agustus 2016 Debora S Tampubolon