KAJIAN FUNGSI DAN MAKNA TRADISI JISI ZUXIAN YANJIU (PENGHORMATAN LELUHUR) DALAM SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA: PENELITIAN KUALITATIF DI MEDAN SKRIPSI SARJANA O L E H NAMA: RENY SYAFRIDA NIM: 080710003 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN SASTRA CINA MEDAN 2012 i KAJIAN FUNGSI DAN MAKNA TRADISI JISI ZUXIAN YANJIU (PENGHORMATAN LELUHUR) DALAM SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA: PENELITIAN KUALITATIF DI MEDAN SKRIPSI SARJANA O L E H NAMA: RENY SYAFRIDA NIM: 080710003 Disetujui oleh: Pembimbing I, Pembimbing II, Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Chen Su Su UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN SASTRA CINA MEDAN 2012 ii PENGESAHAN DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya< Universitas Sumatera Utara, Medan Pada Tanggal : Hari : Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan, Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP Panitia Ujian: Tanda Tangan 1. 2. 3. 4. 5. iii DISETUJUI OLEH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA, Dr. THYRHAYA Zein, M.A. NIP 1965 iv KATA PENGANTAR v vi ABSTRAK vii DAFTAR ISI viii ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9). Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Dan hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, di mana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang sangat kaya dengan beraneka ragam budaya yang menjadi bagian dari suku bangsa atau subsuku bangsa tersebut. Kemajemukan kebudayaan tersebut tentunya akan melahirkan orientasi yang majemuk pula, karenaa salah satu fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah sebagai sumber nilai yang menjadi objek orientasi (Bangun 1981:12). Setiap kebudayaan memiliki sistem religi atau sistem kepercayaan, termasuk dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa. Mereka selalu melestarikan kebudayaan dari leluhur mereka terdahulu, masyarakat mengembangkan dan membangun sistem kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu. Sistem keyakinan mempengaruhi 1 dalam kebiasaan bagaimana memandang hidup dan kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah menghormati leluhur atau moyangnya. Penghormatan kepada leluhur ini merupakan fenomena budaya yang universal yang terdapat dalam sebahagian besar masyarakat di dunia, termasuk masyarakat Tionghoa (Cina). dalam masyarakat Batak Toba penghormatan kepada leluhur dilakukan dengan cara membuat tugu-tugu bagi para leluhurnya. Dalam masyarakat Jawa penghormatan kepada nenek moyangnya melakukan doa dan disertai dengan sesajian berbagai makanan seperti apem dan lain-lainnya. Begitu juga dengan pembangunan makam dengan bahan-bahan semen, keramik, batu-batuan, nisan, dan lainnya. Dalam kebudayaan Karo, penghormatan kepada leluhur ini, setelah dikubur dalam periode tertentu, maka tulang belulang lelehur dipindahkan ke kuburan baru. Ritual ini disebut dengan ngampaken tulan-tulan. Hampir sama dengan suku karo, orang Toraja di Sulawesi melakukan penghormatan kepada leluhurnya dengan cara mengangkat jenazah leluhurnya ke kawasan pegunungan yang tinggi, dengan melibatkan upacara dan pemotongan kerbau. Wujud penghormatan kepada leluhur, selain dengan cara upacara, juga menyertakan nama-nama leluhur ke dalam nama seseorang. Misalnya orang Tionghoa dan Korea memakai nama marga di depan namanya. Misalnya di Korea nama Park Jo Bong, berarti ia keturunan marga Park yang diturunkan secara patrialineal (pihak ayah). Begitu jga na Tionghoa Lim Swie King, berarti ia adalah keturunan marga Lim yang diturunkan secara patrilineal. Demikian juga orang Arab yang selalu menggunakan nama leluhurnya dengan cara memakai bin atau binti. Misalnya Abdullah bin Hasyim bin Amru. Berarti Abdullah adalah anak laki-laki dari Hasyim, dan cucu dari Amru. Dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal pun, penghormatan leluhur ini salah satu caranya adalah menyertakan nama klen atau 2 marga yang ditarik secara matrilineal. Misalnya Hajizar Koto, berarti ia adalah anak dari seorang imbu yang bermarga Koto. Demikian pentingnya penghormatan kepada leluhur ini, sampai-sampai agama pun menganjurkan untuk menghormati kedua orang tua. Dalam agama Islam misalnya diajarkan agar seorang anak menghormati ibunya. Ajaran ini sering menggunakan salah satu hadits Nabi Muhammad yaitu bahwa surga di bawah telapak kaki ibu. Kemudian seorang wanita pun harus menghargai suaminya, bahwa surga seorang isteri terletak pada keridhaan dan keikhlasan seorang suami. Artinya pihak ayah dan ibu haruslah dihormati. Demikian juga yang terjadi dalam masyarakat Tionghoa. Implementasi budaya khas Tionghoa adalah suatu konsekuensi logis, karena orang Tionghoa memposisikan diri sebagai etnik yang mempunyai budaya, kebiasaan dan tradisi sendiri. Apabila kita melihat suatu ekspresi kegiatan budaya di kalangan masyarakat Tionghoa, kita sulit memisahkan dan membedakan dengan jelas apakah itu ekspresi tradisi, agama, atau kepercayaan. Dalam Bahasa Mandarin, kepercayaan disebut sebagai Xin Yang dan agama disebut sebagai Zong Jiau. Kepercayaan tradisional adalah Tri-Dharma yang merupakan gabungan antara Taoisme, Konfusianisme, dan Budhisme. Namun seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Tionghoa pun telah menganut berbagai agama lainnya seperti Islam yang banyak dianut di kawasan Provinsi Xinjiang republik Rakyat China (RRC). Begitu juga agama Kristen Protestan terutama Methodist dan Katholik, banyak dianut masyarakat Tionghoa di China, Hongkong, Makao, Taiwan (Formosa), dan juga perantauan China di Eropa dan Amerika. 3 Kepercayaan tradisional yakni hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan juga bagian dari budaya (sinkretisme budaya). Kepercayaan ini malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas-batas tertentu. Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap memegang teguh kepercayaan tradisional ini. Dalam kepercayaan tradisional ini dikenal konsep tiga alam sebagai inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa, tiga alam ini mempunyai peranannya masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Ketiga alam tersebut tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya. Ketiga alam ini terdiri atas Alam Langit, Alam Bumi, dan Alam Baka. Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia ini. Dalam perkembangannya, kepercayaan mengenai Alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Budha. Ini ditandai dengan kepercayaan roh yang hidup di Alam Baka dan akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia tapi mereka lupa dengan kehidupan sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya. Tiga alam ini mempunyai hubungan antar satu sama lain dan dapat berinteraksi. (www.wikipedia.com) Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan ritual penghormatan leluhur yaitu penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Hal ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh. Leluhur orang Tionghoa sebelum mengenal agama dan filsafat telah terlebih dahulu mengenal penghormatan pada leluhur. Penghormatan leluhur ini kemudian menjadi 4 titik tolak dan dasar daripada kepercayaan tradisional Tionghoa yang muncul lebih dulu daripada semua agama yang ada di Tiongkok. Evolusi kepercayaan tradisional Tionghoa ini kemudian mempercayai bahwa manusia setelah meninggal akan menuju ke alam baka, namun bagi manusia yang dianggap mempunyai kontribusi dan jasa besar bagi masyarakat dapat pengecualian untuk berdomisili di Alam Langit. Alam langit, alam baka juga dipercaya mempunyai pemerintahan, kehidupan interaksi masyarakat yang mirip dengan alam manusia. Atas dasar kepercayaan inilah, uang emas dan uang perak diciptakan. Uang emas (kim cua) adalah diperuntukkan bagi dewa-dewi di alam langit. Uang perak (gin cua) diperuntukkan bagi roh manusia di alam baka. Uang perak juga diperuntukkan bagi roh manusia yang gentanyangan di alam manusia (hantu). Bangsa Tionghoa merupakan suatu bangsa yang memiliki kebudayaan yang sangat tinggi. Mereka telah mengenal peradaban sejak beberapa ribu tahun sebelum masehi. Kebudayaan, kepercayaan, dan tradisi tetap mereka pelihara. Hal-hal tersebut bahkan dapat kita lihat pada orang-orang Tionghoa yang telah menetap di Indonesia pada saat ini. Jika kita mengunjungi rumah keluarga Tionghoa tradisional, diruang tamunya akan terlihat sebuah meja khusus yang diatasnya terletak berbagai jenis peralatan sembahyang serta foto-foto anggota keluarga yang telah meninggal. Dengan menyaksikan benda-benda tersebut akan langsung terpikir oleh kita betapa orang tua serta leluhur yang telah meninggal sangat dihormati dan dihargai oleh keluarga yang masih hidup. Religi tradisional yang merupakan salah satu unsur kebudayaan Tionghoa tetap dipegang hingga saat ini adalah penghormatan leluhur. Penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa merupakan suatu bentuk religi yang menekankan pada pengaruh roh leluhur terhadap kehidupan 5 nyata. Suatu bentuk religi yang merupakan perkembangan dari animisme di mana manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Mahluk-mahluk halus tadi, bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap oleh pancaindra manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat diperbuat manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan manusia sehingga menjadi obyek dari penghormatan dan penyembahannya, dengan berbagai upacara berupa doa, sajian atau korban. Penghormatan leluhur pada masyarakat etnik Tionghoa dilakukan berdasarkan beberapa tujuan yaitu: (a) Kelestarian dengan masa lampau. (b) Penghormatan terhadap kebijaksanaan orang-orang tua. (c) Harapan akan berkat yang diberikan oleh orang-orang yang telah meninggal. (d) Meredakan kesedihan, dengan cara merawat dan memelihara roh leluhur dengan memberikan sesajian dan doa bagi kebahagiaan mereka. (e) Ketakutan akan kutukan roh jahat. Prinsip dasar dari hal-hal tersebut diatas adalah: (1) Roh atau jiwa dari orang yang telah meninggal tetap memperhatikan dan tetap mengasihi orang-orang yang masih hidup. (2) Adanya rasa ketidaktentraman dan ketakutan akan orang yang telah meninggal, oleh karena itu mereka berusaha menentramkan roh-roh tersebut. Praktik penghormatan leluhur di China kemungkinan besar sudah berlangsung sejak zaman Huang Di ( 皇 帝 ) dan terus mengalami perkembangan sampai sekarang. Penghormatan leluhur dilakukan dengan kepercayaan akan kelangsungan keluarga dan penghormatan terhadap orangtua yang sudah meninggal. 6 Penghormatan leluhur ini merupakan salah satu kewajiban keluarga yang tidak dapat dipisahkan dari praktek pemberian sesaji, tata ibadah upacara dan doa yang dilakukan dihadapan papan tempat arwah leluhur atau shen wei ( 神 位 )dirumah rumah, kelenteng dan di perkuburan. Dilihat dari segi tata kehidupan moral dalam masyarakat Tionghoa, penghormatan leluhur merupakan suatu bentuk manifestasi dari ‘bakti’ atau xiao (孝) , penghormatan bagi orang tua “xiao jing fu mu” ( 孝经父母) sebagai ajaran yang ditanamkan Konfusius. Menurut Konfusius, kewajiban dari seorang anak adalah menghormati orang tua, “ketika orangtua masih hidup layani mereka menurut tata cara kesopanan, ketika meninggal kuburkan mereka dengan tata cara kesopanan, dan berikan mereka upacara kurban menurut tata cara kesopanan.” Dengan demikian konfusius menanamkan laku bakti anak terhadap orang tua secara terus menerus walaupun orang tua telah meninggal. Kepercayaan masyarakat Tionghoa tentang kehidupan setelah meninggal sangat kuat. Mereka percaya bahwa roh-roh ini membutuhkan hal-hal yang sama sebagaimana manusia di dunia ini. Segala kebutuhan tersebut hanya bisa diperoleh dari sanak keluarga yang masih hidup. Demikian sekilas tentang keberadaan penghormatan leluhur pada masyarakat Tionghoa secara umum. Seperti difahami bahwa orang-orang Tionghoa negeri asalnya adalah Daratan Tiongkok, yang kini menjadi negara bangsa yang disebut Dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Selain itu terdapat juga kawasan budaya Tionghoa seperti Hongkong, Makao, Taiwan, dan lainnya. Pada masa sekarang orang-orang Tionghoa juga melakukan migrasi ke seluruh dunia yang disebut sebagai diaspora Cina (Tionghoa). Termasuk juga keberadaan mereka di Indonesia, 7 dan khususnya kota Medan seperti yang menjadi fokus kajian penulis dalam skripsi ini. Masyarakat Tionghoa di Kota Medan memiliki strategi dalam mempertahankan kebudayaannya, termasuk dalam upacara penghormatan leluhur mereka. Bagaimanapun sedikit banyaknya upacara ini mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan kebudayaan di Kota Medan yang heteroge Sejauh penelitian penulis, perubahan tentang upacara penghormataan kepada leluhur di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Medan adalah sudah semakin berkurangnya pemahaman dan penghayatan nilai-nilai ini di kalangan generasi muda. Menurut penjelasan para informan, kegiatan upacara penghormatan kepada para leluhur hanya dipahami dan dihayati nilai-nilainya oleh para generasi relatif tua saja. Tidak demikian yang terjadi dalam generasi mudanya. Dari latar belakang di atas, untuk mengetahui lebih dalam penulis tertarik untuk memfokuskan tentang kebudayaan Tionghoa khususnya religi tradisional in, yaitu penghormatan kepada leluhur. Dengan demikian penulis membuat judul penelitian ini: Kajian Fungsi dan Makna Tradisi Jisi Zuxian Yanjiu (Penghormatan Leluhur) Dalam Kepercayaan Masyarakat Tionghoa: Penelitian Kualitatif di Medan. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang dikemukakan penulis diatas, beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah untuk memfokuskan pembahasan masalah pada: 1. Bagaimana fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan leluhur pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan? Pokok masalah ini nantinya akan 8 dijawab oleh penjelasan-penjelasan seputar fungsi social dan budaya penghormatan leluhur dalam budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medantropologi Untuka mengkaji funsi sosiobudaya ini penulis menggunakan teori fungsionalisme yang lazim digunakan dalam disiplin antropologi dan sosiologi. 2. Apa saja makna (budaya) tradisi penghormatan leluhur pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan? Pokok masalah ini nantinya akan dijawab dengan menguraikan makna-makna budaya yang terkandung di dalam upacara penghormatan kepada leluhur. Makna-makna yang akan penulis uraikan adalah mencakup makna perilaku budaya, makna benda dan peralatan upacara, makna waktu upcara, dan hal-hal sejenis. Untuk memperkuat dua pokok masalah penelitian di atas, maka penulis juga akan mendeksripsikan bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi penghormatan kepada leluhur? Deskripsi ini akan berisi persiapan, pelaksanaan upacara, dan pasca pelaksanaan upacara. Ini penting untuk memberikan dimensi umum bagaimana pelaksanaan upacara penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Ini diperlukan untuk dapat memahami lebih jauh apa yang melatarbelakangi upacara yang dilakukan seperti itu. 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan kepada leluhur pada masyarakat Tionghoa. 9 2. Untuk mengetahui makna tradisi penghormatan kepada leluhur pada masyarakat Tionghoa. Untuk menambah tujuan utama di atas, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui tata cara pelaksanaan tradisi penghormatan kepada leluhur. Juga untuk mengetahui nilai religius dan budaya yang terdapat pada tradisi penghormatan kepercayaan masyarakat Tionghoa. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun memberikan informasi bagi masyarakat secara umum tentang upacara religi tradisional ini. Secara keilmuan, penelitian ini akan menyumbangkan data-data etnografis yang dapat digunakan dalam rangka mengembangkan metode teori terhadap ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Tionghoa, termasuk di Program Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini juga akan mengungkap makna-makna sosiobudaya yang dapat dijadikan dasar dalam kebijakan pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan masyarakat Tionghoa. Bagaimana pun dalam kegiatan yang penuh makna budaya ini juga mengandung filsafat hidup masyarakat Tionghoa. Penelitian ini juga akan berguna dalam mengungkapkan sistem alam (kosmologi) dalam kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa. 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Konsep Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989: 33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Poerwadarminta sebagai editor (1995:456) dikatakan bahwa, konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal hal lain Dalam hal ini, defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar. Selain itu adalah untuk menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian. 2.1.1.1 Penghoramatan Leluhur Semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan religi didasarkan atas suatu getaran jiwa yang biasanya disebut dengan emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini biasanya dialami setiap manusia, walaupun getaran emosi itu hanya berlangsung beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang kembali. Emosi 11 keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan bersifat religi. Sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri khusus untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur-unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain yaitu: sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang menganut religi itu. Penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa merupakan suatu sistem religi, oleh karena selain memiliki emosi keagamaan, juga memiliki unsur-unsur sistem keyakinan, yang memusatkan perhatian kepada konsep tentang roh-roh leluhur; sistem upacara keagamaan, suatu umat yang menganut religi tersebut. Sistem upacara mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus yaitu: (1) tempat upacara keagamaan; (2) saat saat upacara keagamaan dijalankan; (3) benda-benda dan alat upacara; dan (4) pelaku upacara. Keempat unsur upacara ini disusun oleh dua dimensi yaitu waktu (saat upacara) dan ruang (mencakup tempat, benda dan alat, serta pelaku) upacara. Penghormatan leluhur merupakan suatu bentuk religi yang menekankan pada pengaruh roh leluhur terhadap kehidupan nyata. Suatu bentuk religi yang merupakan perkembangan dari animisme dimana manusia percaya bahwa mahlukmahluk halus menempati alam sekeliling manusia. Kepercayaan terhadap roh leluhur dalam religi suku bangsa Tionghoa sudah sangat tua, dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang tertua, yang kemudian terdesak kebelakang oleh keyakinan kepada mahluk-mahluk halus lain seperti dewa dewa alam, roh nenek moyang, hantu dan lain-lain. Penghormatan 12 leluhur dilakukan pada tempat tempat tertentu yaitu dirumah abu, kelenteng, vihara dan dirumah tempat tinggal keluarga serta kuburan-kuburan. 2.1.1.2 Kepercayaan Kepercayaan dalam bahasa inggris dinamakan trust or believe ini merupakan suatu bentuk nyata dalam kehidupan dimana menjadi bagian yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Sedangkan kepercayaan Tradisional adalah kepercayaan yang telah ada sejak dahulu dan menjadi bagian dari hidup mereka dan secara turun temurun masih dijalankan dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan orang Cina, ada tiga ajaran yang mereka anut yaitu Toisme, Konfusianisme, dan Buddha. Ketiga ajaran ini sudah saling menyatu (sinkretisme) dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian). Dalam kehidupannya, orang Cina memang sangat toleran terhadap soal-soal agama. Setiap agama dianggap baik dan bermanfaat, begitu pula dengan ajaran Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha yang mempunyai banyak kesamaan-kesamaan pandangan dan saling membutuhkan sehingga ketiga ajaran tersebut berpadu menjadi satu. 2.1.1.3 Masyarakat Tionghoa Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dimana setiap anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama (Koentjaningrat, 1985:60). Masyarakat manusia juga merupakan sistem hubungan sosial (social relation system) yang utama. Hubungan ini ditentukan oleh kebudayaan manusia. Untuk mencapai persatuan dan integrasi melalui kebudayaan anggota masyarakat perlu belajar dan 13 memperoleh warisan kebudayaan, termasuk apa yang diharapkan oleh mereka dalam suatu keadaan tertentu. Tionghoa adalah adat istiadat yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhinghuo dalam Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Suku bangsa Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya. 2.1.2 Landasan Teori Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan. Sebagai pedomaan dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang akan diuraikan sebagai berikut: 2.1.2.1 Teori Fungsionalisme Untuk mengkaji fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa ini, peneliti menggunakan teori fungsionalisme 14 yang ditawarkan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud. Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah gurubesar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan yang kelak memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dri Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengnai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160). Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganlisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teri fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944). Selanjutnya Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. 15 Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi medasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dai para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan. Dari teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh malinowski itu, penulis berasumsi bahwa tradisi penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa pastilah berfungsi, kalau tidak kegiatan atau lembaga sosiobudaya ini pastilah mati atau menjelma dalam bentuk yang lainnya. Kegiatan sosiobudaya menghormati leluhur ini memainkan peran dalam konteks kesinambungan dan integrasi kebudayaan Tionghoa secara umum. 1.5.2.2 Teori Semiotik Dalam membahas makna-makna yang terkandung dalam penghormatan leluhur dan pada masyarakat etnik Tionghoa, secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap 16 mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular (Endaswara, 2008:64) Menurut Barthes dalam (Kusumarini, 2006), “denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.” Barthes adalah penerus pemikiran Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Berthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi 17 penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. 2.1.3 Tinjauan Pustaka Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (KBBI,2003:912). 1.5.3.1 Penelitian Terdahulu Laya Pirevia Maengkom, skripsi (1987): Suatu Tradisi dalam Keluarga Cina. Skripsi ini menjelaskan tentang tata cara penghormatan leluhur pada Suatu keluarga Etnik Tionghoa yang merupakan unit sosial dasar dimana setiap anggotanya ikut ambil bagian dalam pemeliharaan religi tradisional tersebut. Dalam penghormatan leluhur ini penulisnya juga menguraikan bahwa tradisi ini bukan hanya merupakan suatu kepercayaan atau religi saja tetapi juga mempunyai fungsi sosial dan turut berperan dalam kehidupan keluarga. Dari uraian di atas, peneliti lebih mengarah pada aspek antropologi budaya. Dalam hal ini maksudnya penulis menekankan hasil pengamatan melalui ilmu-ilmu budaya, terutama pada pelaksanaan upacara dan peran penghormatan leluhur pada satu keluarga Tionghoa. Tedy Jusuf (2000) dalam tulisannya yang berjudul Sekilas Budaya Tionghoa Indonesia. Buku ini menjelaskan tentang budaya dan adat istiadat Tionghoa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Isi buku ini merupakan sublimasi dari budaya berbagai subetnik Tionghoa, dan dicoba ditulis dalam kaidah- 18 kaidah yang mungkin dapat disepakati. Selain itu buku ini dibuat untuk menginventarisasikan budaya Tionghoa Indonesia yang masih hidup dan masih terpelihara dalam masyarakat Tionghoa. 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Kualitatif Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu frase penelitian kualitatif di Kota Medan, maka sepenuhnya penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian analisis fungsi dan makna tradisi penghormatan kepada leluhur dalam etnik Tionghoa melalui antropologi budaya dengan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesis-hipotesis, mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29). Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis suatu keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat mengenai fakta dari makna penghormatan leluhur dan pada masyarakat Tionghoa. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penyelidikan kualitatif sebagai berikut. 20 QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1). Menurut Denzin dan Lincoln seperti kutipan di atas, yang dimaksud dengan penelitian kualitatifr adalah adalah suatu metode yang telah lama dikembangkan di dalam ilmu pengetahuan manusia. Di dalam ilmu sosiologi karya-karya penelitian kualitatif dihasilkan oleh aliran-aliran para ilmuwan dari Universitas Chichago, terutama pada dekade 1920an dan 1930an. Hasil penelitian ini merupakan kajian terhadap kehidupan manusia dalam kebudayaannya. Dalam disiplin ilmu antropologi, dalam periode yang sama, para ilmuwannya mendisain penelitian dengan cara mengamati dan meneliti adat istiadat dan kebudayaan di luar kebudayaan sang peneliti, artinya studi lintas budaya. Penelitian kualitatif ini biasanya dilakukan dengan menggunakan lintas disiplin, lapangan kajian, dan bidang kajian. Peristilahan yang digunakan dalam pendekatan penelitian ini juga melibatkan seperangkat konsep dan asumsi yang kompleks dan saling terjalin. Lebih jauh Nelson mengkonsepkan mengenai apa itu penelitian kualitatif itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang diuraikan berikut ini. Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is 21 inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg 1992:4). Menurut Nelson dan Grossberg seperti dikemukakan di atas, penelitian kualitatif adalah kajian keilmuan yang bersifat interdisiplin, transdisiplin, dan kadangkala kounterdisiplin,. Pendekatannya selalu melibatkan ilmu-ilmu kemanusiaan, social, dan eksakta. Penelitian kualitatif melibatkan berbagai bahan kajian pada saat yang sama. Penelitian ini menggunakan multiparadigmatik. Para pendukung metode ini sangat peka terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat yang diteliti, serta berbagai metode pendekatan. Para penelitinya sangat mendukung perspektif alamiah atau seperti apa adanya. Begitu juga dengan menafsirkan apa yang terjadi dalam pengalaman manusia. Kadangkala penelitian kualitatif ini inheren dengan politik yang dibentuk oleh berbagai posisi etika dan politik. Dalam rangka penelitian terhadap fungsi dan makna penghormatan leluhur pada kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan ini, maka metode penelitian yang penulis pergunakan adalah metode kualitatif, yaitu dengan cara mengkaji kegiatan ritual (upacara) ini apa adanya. Kemudian menginterpretasikan kegiatan tersebut berdasarkan etika penelitian yang didasari oleh multidisiplin ilmu. dalam hal ini ilmu yang digunakan adalah mencakup ilmu kemanusiaan (antropologi, sosiologi,filsafat, dan budaya), juga ilmu-ilmu bantu lainnya. Untuk menginterpretasikan makna-makna yang terjadi, maka penulis melakukan pendekatan wawancara kepada informan kunci. Selanjutnya untuk menguaraikan fungsi sosiobudaya penulis merenungkan dan mengkaji dalam perspektif holistik dan mendalam. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini akan mengungkapkan kebenaran realita yang ada serta hal-hal yang melatarbelakangi kegiatan penghormatan leluhur ini. 22 3.2 Teknik Pengumpulan Data Langkah dalam tehnik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengumpulkan data: Wawancara, Observasi Lapangan dan Studi kepustakaan. Sebelum tehnik wawancara dilakukan, peneliti membuat pedoman sesuai wawancara yang diberikan kepada beberapa tokoh masyarakat Tionghoa. Untuk mengumpulkan data pertama penulis menemui informan yaitu seorang pengusaha Ban. Penulis datang dan bertanya langsung tentang religi tradisional ini. Kemudian sang informan menjelaskan secara keseluruhan tentang religi tradisonal ini. Dari hasil wawancara ini diperoleh keterangan tentang religi tradisional budaya Tionghoa. Penulis juga menemui seorang pengurus rumah abu leluhur yang bernama Bapak Aweng yang merupakan salah satu keturunan etnik Tionghoa yang tinggal di Binjai. Secara langsung penulis mengajukan pertanyaan pertanyaan yang sesuai dengan objek penelitian penulis. Akan tetapi penulis mendapatkan data yang sangat sedikit dari Bapak Aweng ini. Maka untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini penulis mengunjungi ke Vihara Maitreya Jln. Boulevard Utara No.8 Kompleks Cemara Asri Medan. Penulis bertemu dengan Bapak Hendra, salah seorang pengurus Vihara. Melalui wawancara dengan beliaulah memperoleh informasi tentang religireligi tradisional masyarakat Tionghoa. Bapak Hendra dengan senang hati menceritakan religi-religi tersebut, daan mereka sangat senang saat penulis menanyakan tentang kebudayaan mereka, karena bagi mereka kebudayaan Khas Tionghoa adalah kebudayaan yang sangat tua, dan hingga kini masih banyak orang yang ingin mengetahui tentang kebudayaan Tionghoa. 23 3.2.1.1 Wawancara Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah tehnik wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik bertanya dan pencatat data hasil wawancara.” Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa rumah pada keluarga etnik Tionghoa, Rumah Abu, dan Vihara yang ada dikota Medan. Penulis menggunakan metode wawancara terutama dengan informan kunci yaitu orang yang banyak mengetahui dan mengerti tentang penghormatan leluhur. Biasanya mereka adalah orang-orang yang memiliki dan mengurus meja abu. Metode wawancara yang penulis gunakan adalah: 1. Wawancara tak berencana atau unstandardized interview. Walaupun dalam wawancara masalah-masalah yang dipertanyakan tidak menggunakan daftar pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu pedoman yang berisikan garis besar pokok masalah yang ingin penulis peroleh informasinya. 2. Wawancara sambil lalu atau Casual Interview. Bentuk wawancara ini penulis gunakan juga terhadap beberapa pengurus kelenteng yang masih memelihara meja abu. 3.2.2 Observasi Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berati tidak melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Dalam mengumpulkan 24 data salah satu tehnik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan secara langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini penulis hanya mengadakan dua kali pengamatan/observasi secara langsung terhadap ritual penghormatan leluhur ini. 3.2.3 Studi Kepustakaan Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna melengkapi apa yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, jurnal, makalah, artikel dan berita-berita dari situs internet. 3.3 Data dan Sumber Data Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi setiap penulis untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada upacara-upacara keagamaan budaya khas masyarakat Tionghoa di kota Medan. Data-data yang digunakan diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah berasal dari informan kunci sebagai berikut: Sumber Data Primer : A Shin Profesi : Pengusaha Ban Alamat : Jln. Ir.H.Juanda Baru no 89 Medan 25 Sumber Data Primer : Bapak Aweng Profesi : Pengurus Rumah Abu Alamat : Medan Yang dimaksud dengan informan kunci atau informan pangkal, juga disebut narasumber kunci (key informant) adalah seorang pemberi data, yang memiliki kapasitas dan kapabilitas terhadap permasalah yang diajukan dalam penelitian. Data yang diperoleh informan kunci inilah yang menjadi bahan kajian utama dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian, penelitian kualitatif sangat bergantung dari data yang diperoleh dari informan kunci. Selanjutnya sumber data sekunder adalah sebagai berikut. Sumber data sekunder: Sekilas Budaya Tionghoa Halaman : Percetakan : Penerbit : 3.4 Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh pertanyaan. Adapun proses yang dilakukan adalah: 1. Mewawancarai beberapa keluarga Tionghoa dan beberapa tokoh masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi penghormatan leluhur . 26 2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling penting dan penyusunannya secara sistematis. 3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat penelitian ini. 3.4.1 Lokasi Penelitian` Lokasi penelitian berada di beberapa tempat di Kota Medan khususnya di jalan Ir. H. Juanda Baru dan Jl. Boulevard Utara No.8 Komplek Vihara Cemara Asri Medan. Pemilihan lokasi penelitian ini, karena disini terdapat masyarakat Tionghoa yang masih melakukan tradisi penghormatan leluhur, sehingga penulis lebih mudah untuk mewawancarai masyarakat Tionghoa. 27 BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA MEDAN DALAM KONTEKS MASYARAKAT TIONGHOA DUNIA Pada Bab IV ini penulis akan mendeskripsikan gambaran umum masyarakat Tionghoa di Kota Medan dalam konteks masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, khususnya negeri asalnya Daratan Cina. Ini dilakukan dalam rangka mengungkapkan fenomena di balik perilaku sosiobudaya yaitu penghormatan leluhur. Adanya aktivitas budaya bagaimanapun haruslah didukung ole hide-ide atau gagasan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Kerja keilmuan seperti ini adalah lazim digunakan dalam disiplin antropologi. Disiplin ini adalah mengkaji manusia dengan kebudayaannya yang mengandung unsur-unsur: agama, bahasa, teknologi, ekonomi, pendidikan, organisasi social, dan kesenian. Dalam tulisan ini berarti bahwa mengkaji perilaku penghormatan kepada leluhur, tidak bisa dilepaskan bahkan harus dilihat secara holistic bersama-sama dengan unsure kebudayaan lainnya. Kerja seperti ini dalam antropologi lazim disebut sebagai studi etnografi. Etnografi berasal dari istilah ethnic yang arti harfiahnya suku bangsa dan graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung bahan-bahan kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, dengan hanya beberapa ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlah relatif besar, berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog yang membuat 28 karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Minangkabau misalnya, maka seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Minangkabau Desa Sungai Puar, atau lebih besar sedikit, masyarakat Minangkabau Kabupaten Lima Puluh Koto, atau masyarakat Minangkabau Pasisie, atau Minangkabau rantau termasuk di Negeri Sembilan Malaysia, dan seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda dengan etnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia. Jadi pendekatan etnografi melihat manusia dengan kebudayaan yang dihasilkannya secara meluas. Demikian pula yang penulis lakukan dalam studi ini. 2.1 Latar Belakang Sosial Masyarakat Tionghoa Masyarakat Tionghoa di Indonesia memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan etnik dan ras lainnya. Namun demikian, di kalangan masyarakat Tionghoa dan etnik-etnik di Indonesia juga setuju bahwa orang Tionghoa memiliki asal-usul tempat budayanya yang kemudian migrasi ke Indonesia beberapa abad yang lalu. tempat asal atau wilayah budaya awal mereka adalah daratan Cina. Secara umum Etnik Tionghoa di Indonesia membuat linkungannya sendiri untuk dapat hidup secara ekslusif dengan tetap mempertahankan kebudayaan atau tradisi leluhur. Ong Hok Khan (dalam Ning, 1992) menyatakan bahwa ekslusivisme orang 29 Tionghoa itu disebabkan oleh kehendak mereka sendiri, bukan disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai kelompok minoritas. Etnik Tionghoa adalah salah satu kelompok masyarakat nonpribumi yang berimigrasi ke Indonesia. Selain prang Tionghoa, ada juga masyarakat Tamil, sikh, Hindustan, Arab, dan Eropa, yang datang dengan berbagai kepentingan sosial ke Indonesia ini, baik dari masa sebelum Indonesia merdeka atau sesudahnya. Etnik Tionghoa ini memasuki Indonesia melalui gelombang-gelombang migrasi yang besar baik dari Malaysia (Malaya) ataupun Dataran Cina. Mereka didatangkan ke Medan dan Sumatera Utara, karena tenaganya dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda di abad ke-19. Seperti diketahui Sumatera Utara memiliki tembakau Deli yang dikelola oleh pengusaha Belanda yang diketuai oleh Jacobus Nienhuijs. Sebahagian orang Tionghoa ada yang beradaptasi dengan masyarakat setempat. Namun ada pula yang berperilaku eksklusif, yang mengakibatkan kehidupan mereka terpisah dari kelompok masyarakat pribumi. 2.2 Latar Belakang Budaya Masyarakat Tionghoa Budaya Tionghoa telah masuk ke Indonesia lebih dari seribu tahun yang lalu, melalui arus perpindahan penduduk dan perdagangan orang-orang Tionghoa yang berasal dari China Selatan. Orang-orang Tionghoa yang masuk mulai mendirikan pemukiman. Adat istiadat, agama, budaya masyarakat Tionghoa yang mereka bawa kemudian terserap ke dalam budaya dan kepercayaan penduduk asli. Selain itu masyarakat Tionghoa melakukan akulturasi dan beradaptasi dengan masyarakat Indonesia. Mereka berhasil dalam berbisnis serta mempertahankan identitas budayanya, termasuk bahasa dan keyakinan terhadap agama mereka. Begitu 30 juga tradisi menghormati leluhurnya, yang menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dengan system religi mereka. 2.3 Struktur Kekerabatan Masyarakat Tionghoa Dalam proses interaksi sosial dan mempertahankan keberadaan diri dan keturunannya, masyarakat Tionghoa menggunakan sistem kekerabatannya yang khas. Saat kehidupan etnik Tionghoa sudh menetap, mereka membentuk perkampungan yang mula-mula terdiri dari garis keturunan ayah. Mulai dari semua saudara laki-laki ayah dengan anak laki-lakinya dan keluarga kakek dengan saudara laki-lakinya. Hal ini yang kemudian menjadi dasar pengelompokan sistem kekluargaan patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga batin melainkan keluarga luas yang viriolokal. Dalam sistem keluarga inti yang memegang peranan penting adalah sang ayah dan semua anak laki-lakinya. Saat ayah meninggal dunia, putra tertuanya yang akan menggantikan posisi sang ayah di dalam keluarganya. Jikalau anak laki-laki dari etnik Tionghoa menjadi anak angkat dari marga lain, maka hubungannya dengan garis keturunan ayahnya akan terputus. Si anak ini akan mengikuti garis keturunan ayah angkatnya. Dengan sistem seperti itu, maka kedekatan dengan kerabat ayah diutamakan, tetapi dalam perkembangannya kedekatan dengan kerabat ibu juga tidak memiliki batasan. 2.4 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan dalam Konteks Indonesia 2.4.1 Asal-Usul Masyarakat Tionghoa di Indonesia Para imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia, sebahagian besarnya berasal dari kelompok etnik Han. Daerah budaya mereka ini adalah di daerah yang 31 sekarang merupakan Provinsi Fujian dan Guangdong di Cina Selatan, daerah ini dikenal dengan keragaman wilayahnya (Suryadinata, 2008:12). Sejumlah besar etnik Han, yakni juga kelompok etnik terbesar di dunia, tinggal di Asia Tenggara (Skinner, 1963:101). Sebahagian besar orang Tionghoa Indonesia, baik yang merupakan keturunan patrilineal dari para imigran awal maupun para imigran baru, lahir di Cina daratan (Gernet, 1996:6). Sebagai kelompok pertama orang Tionghoa yang menetap dalam jumlah yang besar, bangsa Hokkien dari Fujian Selatan merupakan kelompok imigran yang mendominasi hingga pertengahan abad ke-19. Kebudayaan maritim sambil berdagang mereka dipercaya muncul dari kegiatan berdagang mereka sewaktu di Indonesia. Keturunan suku Hokkien adalah kelompok etnik yang dominan di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan pantai barat Sumatera. Selain itu ada juga suku Tiochiu, bangsa yang menetap di sebelah selatan daerah Hokkien, dapat dijumpai di seluruh pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Suku Tiochiu ini memilih bekerja sebagai buruh perkebunan di Sumatera, tetapi kemudian menjadi pedagang di daerah dimana tidak derdapatnya bangsa Hokkien (Skinner, 1963:97). Selanjutnya Bangsa Hakka. Tidak seperti bangsa Hokkien dan Tiochiu, bangsa Hakka berasal dari daerah pedalaman Pegunungan Guangdong dan tidak mengenal budaya maritim (Skinner, 1963:97). Dikarenakan daerahnya yang sangat tidak produktif dalam menghasilkan sumber daya alam di daerah asal mereka, bangsa Hakka memutuskan untuk hijrah keluar dari daerah mereka akibat desakan ekonomi. Gelombang migrasi mereka terjadi di sekitar tahun 1850 hingga 1930 dan merupakan yang paling miskin di antara kelompok imigran Tionghoa. Meskipun pada awalnya mereka menetap di pusat pertambangan di Kalimantan Barat dan Pulau Bangka, 32 bangsa Hakka kemudian didapati bertumbuh dengan pesat di daerah Batavia dan Jawa Barat pada akhir abad ke-19 (Skinner, 1963:102). Yang terakhir adalah suku bangsa Kanton. Seperti halnya bangsa Hakka, orang-orang Kanton terkenal sebagai pekerja tambang di seluruh Asia Tenggara. Migrasi mereka di abad ke-19 sebagian besar langsung diarahkan menuju daerah tambang timah di Bangka, lepas pantai timur Sumatera. Mereka juga terkenal sebagai pengrajin tradisional yang sangat terampil. Bangsa Kanton mendapatkan keuntunguan yakni pengetahuan tentang kesuksesan mesin dan industri dari bangsa Eropa ketika mereka di Guangdong dan Hongkong. Mereka bermigrasi ke Jawa di waktu yang sama dengan bangsa Hakka, namun untuk tujuan yang berbeda. Di kotakota di Indonesia mereka berprofesi sebagai pengrajin, pekerja mesin, dan memiliki usaha kecil seperti restoran dan hotel. Orang-orang Kanton tersebar merata di seluruh Nusantara namun jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang jumlah orang-orang Hokkien atau Hakka. Kepentingan peran mereka kemudian dinilai sebagai kepentingan sekunder di dalam komunitas Tionghoa (Skinner, 1963:102). 2.4.2 Awal Kedatangan Bangsa Tionghoa ke Indonesia Migrasi awal suku bangsa Tionghoa ke Indonesia diperkirakan ketika kedatangan bangsa Mongolia di bawah arahan Kubilai Khan masuk melalui daerah maritim Asia Tenggara di tahun 1293. Bangsa Mongol kemudian memperkenalkan kemajuan teknologi Tionghoa, yang pada saat itu mencakup teknologi pembuatan kapal dan dalam hal alat tukar, yakni uang berbentuk koin. Kedatangan mereka diyakini memicu timbulnya kerajaan baru, yakni Majapahit (Reid, 2001:17). Beberapa sumber mengindikasikan bahwa para pedagang Tionghoa pertama kali tiba di daerah Ternate dan Tidore, di Kepulauan Maluku untuk membeli cengkeh, namun 33 kemudian mereka diusir keluar oleh para pedagang Jawa seiring berkembangnya ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit (Reid, 2001: 20-21). Kemudian di abad ke-15, para pedagang Muslim Tionghoa dari pantai timur Cina tiba di daerah-daerah pesisir Indonesia dan Malaysia. Para pedagang-pedagang ini dipimpin oleh Laksamana Mahmmud Cheng Ho (yang beragama Islam), yang mengepalai berbagai ekspedisi di Asia Tenggara sekitar tahun 1405-1430. Dalam buku The Overall Survey of the Ocean's Shores ( 瀛 涯 勝 覽 ), Ma Huan mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pedagang Muslim Tionghoa di Nusantara dan peninggalan yang diwarisi oleh Cheng Ho dan anak buahnya (Ma, 2005: 113-124). Para pedagang ini bermukim di sepanjang pesisir pantai Jawa, namun kemudian tidak ada data yang mendokumentasikan keberadaan para pedagang ini setelah abad ke-16. Para Muslim Tionghoa ini diperkirakan telah melebur ke dalam polulasi Muslim di Asia Tenggara (Tan, 2005: 796). Dari tahun 1450 hingga 1520, ketertarikan Kerajaan Ming terhadap Asia Tenggara mencapai titik yang rendah. Perdagangan yang dilakukan, baik secara legal maupun ilegal, jarang yang mencapai kepulauan ini (Reid, 1999: 52). Bangsa Portugis juga tidak menyebutkan adanya kependudukan orang Tionghoa ketika mereka tiba di Indonesia pada awal abad ke-16 (Reid, 2001:33). Kegiatan perdagangan dari utara mulai kembali terjadi ketika pemerintah Cina melegalkan perdagangan swasta di tahun 1567 dan mulai mengizinkan lima puluh kapal yang berlayar per tahun. Beberapa tahun kemudian uang mulai mengalir ke kawasan itu, dimulai dari Jepang, Meksiko, dan Eropa, dan kegiatan perdagangan mulai berkembang lagi. Koloni Cina yang berbeda-beda berdatangan ke ratusan pelabuhan di Asia Tenggara, termasuk juga ke pelabuhan lada di Banten (Reid, 1999: 52). 34 Para pedagang Tionghoa kemudian memboikot para pedagang Portugis ketika Malaka jatuh ke tangan bangsa Portugis. Di tahun 1511, para pedagang Muslim membantu etnik Tionghoa di Jawa dalam rangka menduduki kembali daerah kota dengan menggunakan kapal. Partisipasi orang Tionghoa-Jawa dalam mengambil alih Malaka dicatat dalam buku “The Malay Annals of Semarang and Cirebon” (Guillot, Lombard & Ptak, 1998: 179). Pedagang Tionghoa memilih untuk terlibat kerja sama dalam bisnis dengan orang Melayu dan Jawa ketimbang dengan orang Portugis (Borschberg, 2004:12). 2.4.3 Kedudukan Masyarakat Tionghoa di Masa Penjajahan Belanda Sejalan dengan kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia di awal abad ke-17, mayoritas masyarakat Tionghoa bermukim di sepanjang pantai timur Jawa. Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang, namun mereka juga melakukan kegiatan bercocok tanam. Pemerintah kolonial mengontrak banyak dari mereka sebagai pengrajin yang terampil dalam pembangunan Batavia (sekarang Jakarta) di pantai barat laut Jawa (Tan, 2005: 796). Satu pelabuhan buatan dipilih oleh pemerintah Belanda sebagai markas baru bagi Pemerintah Hindia Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) di tahun 1609 oleh Jan Pieterszoon Coen. Daerah ini menjadi pusat utama untuk perdagangan dengan masyarakat Tionghoa dan India. Daerah Batavia menjadi rumah terbesar bagi komunitas Tionghoa di Nusantara hingga saat ini (Heidhues, 1999:152). Coen dan para gubernur jenderal lainnya mempromosikan masuknya para imigran Tionghoa ke pemukiman yang baru “untuk kepentingan kedua negara tersebut dan untuk tujuan mengumpulkan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala” (Phoa, 1992:9). Jumlah penduduk di pelabuhan tempat masyarakat Tionghoa 35 bermukim berkembang pesat dari 300-400 jiwa di tahun 1619 menjadi setidaknya 10.000 jiwa di tahun 1740 (Phoa, 1992:7). Walau begitu, pemerintah Belanda juga menerapkan sistem klasifikasi rasial yang memisahkan penduduk keturunan Tionghoa dari mereka yang merupakan pribumi (Chang, 2010:2). Mayoritas dari masyarakat Tionghoa yang menetap di Nusantara telah memutuskan hubungan dengan daerah asal mereka, yakni Cina, dan menyambut dengan baik perlakuan yang menyenangkan serta perlindungan yang ditawarkan oleh pihak Belanda (Phoa, 1992:8). Beberapa dari mereka menjadi “petani pajak,” pedagang perantara di dalam struktur pemerintahan VOC, ditugaskan untuk mengutip pajak ekspor-impor, mengatur penjualan tanah, dan mengatur kegiatan panen sumber daya alam (Phoa, 1992:10). Seswudah meletusnya peristiwa pembantaian besar-besaran di Batavia pada tahun 1740 dan kemudian diikuti dengan meletusnya perang, pemerintah Belanda terpaksa membatasi kuota jumlah populasi etnik Tionghoa yang ingin masuk ke Indonesia. Amoy yang merupakan pelabuhan di Provinsi Fujian, Cina Selatan, dijadikan satu-satunya pelabuhan untuk bermigrasi ke Nusantara, dan jumlah kru serta penumpang dari kapal-kapal yang hendak berlayara dibatasi sesuai dengan ukuran kapal. Penetapan kuota ini ditetapkan pada waktu itu untuk pemenuhan keperluan akan pekerja, seperti pada saat di bulan Juli 1802, ketika pabrik gula dekat Batavia sangat membutuhkan kehadiran tenaga kerja (Hellwig dan Tagliacozzo, 2009: 168). Ketika VOC dinasionalisasikan oleh Pemerintah Belanda pada 31 Desember 1799, kebebasan yang sebelumnya dirasakan etnik Tionghoa di bawah kerjasama dengan pihak koloni dihapuskan oleh pemerintah Belanda. Salah satu bentuk penghapusan yang didapatkan adalah pemerintah VOC mengubah monopoli yang 36 selama ini diterapkan oleh etnik Tionghoa terhadap perdaganan garam (Phoa, 1992:11). Satu proses sosial regulasi pada tahun 1816 memperkenalkan sebuah syarat bagi penduduk pribumi dan orang Tionghoa yang hendak melakukan perjalanan di dalam wilayah pemerintahan Belanda harus mengurus izin perjalanan terlebih dahulu. Khusus bagi mereka yang kedapatan tidak membawa surat izin beresiko besar untuk ditangkap dan ditahan oleh petugas. Gubernur jenderal juga memperkenalkan sebuah resolusi di tahun 1852 yang berisikan larangan bagi “orang Asia dari daerah yang tidak sama, seperti Melayu, Bugis, dan Tionghoa” untuk hidup dalam lingkungan yang sama sebagai penduduk asli (Phoa, 1992:12). Setelah berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) yang menghabiskan dana sangat banyak, pemerintah Belanda memperkenalkan sistem agraria dan budidaya pertanian baru yang memaksa para petani untuk “menghasilkan produksi sebagian dari lahan mereka dan mengembangkan tanaman yang cocok untuk pasar Eropa.” Sistem tanam paksa memulihkan perekonomian Belanda, tetapi di lain sisi mengakhiri sistem pajak tanah yang telah dilakukan dibawah pemerintahan VOC. Orang Tionghoa dianggap sebagai penduduk sementara dan menghadapi kesulitan dalam memperoleh hak atas tanah. Bangsa Eropa yang ada disitu diprioritaskan dalam memilih areal perkebunan, sementara para pejabat kolonial percaya bahwa daerah-daerah yang tersisa harus dilindungi dan dilestarikan bagi penduduk pribumi. Sistem sewa jangka pendek dan yang dapat diperpanjang kemudian diperkenalkan sebagai tindakan sementara, namun sebagian besar etnik Tionghoa memilih untuk menetap di lahan-lahan tersebut ketika berakhirnya kontrak dan akhirnya menjadi penghuni liar (Phoa, 1992:13) Pada paruh kedua abad ke-19, pemerintah kolonial kemudian bereksperimen dengan sebuah ide, yakni “Politik 37 Etis” untuk melindungi para penduduk pribumi dan kemudian menjadikan etnik Tionghoa sebagai “musuh utama negara”. Di bawah kebijakan baru ini pemerintah kolonial meningkatkan pembatasan pada kegiatan perekonomian etnik Tionghoa (Heidhues, 2001:179). Di Kalimantan bagian barat, masyarakat Tionghoa mendirikan pemukiman pertambangan besar pertama mereka pada tahun 1760 dan menggulingkan kependudukan Belanda dan para pangeran Melayu lokal, termasuk membentuk republik mereka sendiri di Republik Lanfang. Pada tahun 1819 mereka terlibat konflik dengan pemerintah Belanda yang baru dan dipandang sebagai sesuatu yang “tidak sesuai” dengan tujuan mereka, namun di lain sisi sangat diperlukan untuk kepentingan pengembangan kawasan ini (Phoa, 1992:14). Kepulauan Bangka Belitung (Bangka Biliton) juga menjadi contoh dari pemukiman utama etnik Tionghoa di daerah pinggiran. Tercatat hanya 28 orang etnik Tionghoa yang tinggal di pulau itu di tahun 1851, namun di tahun 1915 jumlah populasinya meningkat pesat menjadi hampir 400.000 jiwa. Industri perikanan dan tembakau menjadi mata pencaharian utama dan berkembang pada masa itu. Para kuli didatangkan ke wilayah ini sesudah akhir abad ke 19. Sebagian besar kuli disewa dari daerah Negeri-Negeri Selat1 karena kendala perekrutan yang terjadi di Cina pada saat itu (Phoa, 1992:16). 2.5 Etnografi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan 2.5.1 Tinjauan Historis Masyarakat Tionghoa di Medan 1 Negeri-negeri Selat (Straits Settlements) adalah sekelompok wilayah kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Britania yang diberikan pemerintahan terkelompok sejak tahun 1926. Negeri-Negeri Selat ini terdiri dari negeri Penang, Melaka, dan Singapura. Ketiga negeri ini dahulu di bawah jajahan Britania (Inggris). Kini semua negara-negera merdeka bekas jajahan Inggris membentuk sebuah persekutuan yang disebut dengan Commonwealth Countries atau Negara-Negara Persemakmuran Inggris. Di dalamnya termasuklah Malaysia, Singapura, Australia, Bangladesh, India, Pakistan, Selandia Baru, Kanada, dan lain-lainnya. 38 Dalam bukunya yang bertajuk The Overall Survey of the Ocean's Shores (瀛涯 勝覽), Ma Huan mengungkapkan bahwa daerah Haru (Sumatera Timur) dapat dicapai dari Malaka dalam waktu pelayaran empat hari empat malam. Ma Huan menggambarkan keadaan demografi pada saat memasuki negeri itu yakni terdapat teluk air tawar, di sebelah barat ada pegunungan besar, di sebelah timur laut ada laut, sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasai, dan di sebelah selatan negerinya merupakan daratan. Di dalam peta yang digambar oleh Mao K’un, Ma Huan menceritakan bahwa kota Haru terletak di Delitua (Fatima, 1991). Sejalan dengan Ma Huan, Anderson pada tahun 1823 pernah memasuki daerah Deli melalui Fresh Water Channel (Terusan Air Tawar), kota Cina―saat itu labuhan Deli―merupakan pelabuhan bagi Haru hingga abad ke ke-13 dimana pada akhirnya pelabuhan itu hancur. Banyak dugaan yang menjelaskan kehancuran pelabuhan itu, yakni akibat penyerangan Kerajaan Majapahit pada tahun 1350 M, atau diakibatkan oleh meletusnya Gunung Sibayak yang menyebabkan gempa dahsyat dan menimbun semua ritus-ritus Tionghoa tersebut (Fatima, 1991). Hingga kemudian ketika memasuki masa kolonial Belanda, daerah Deli didatangi oleh orang-orang Tionghoa dikarenakan terdapatnya banyak perkebunan di sana. Meskipun pada saat itu bangsa Tionghoa sebagian besar berprofesi sebagai buruh perkebunan, namun menurut catatan sejarah terdapat orang Tionghoa yang pertama kali diangkat menjadi Mayor oleh pemerintah Belanda, dia adalah Tjong Yong Hian, dan berselang beberapa lama kemudian, Tjong A Fie diangkat sebagai Mayor menggantikan posisi Tjong Yong Hian (Fatima, 1991:67). Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia, setiap keturunan Tionghoa kemudian diintegrasikan serta dibaurkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia berdasarkan asas-asas Pancasila. Sejak saat itu juga, bangsa 39 Tionghoa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, termasuk ke daerah Sumatera. Pemerintahan Pantai Timur Sumatera dibagi ke dalam lima wilayah, yaitu Deli dan Serdang, Langkat, Asahan, Bengkalis, Simalungun dan Karo. Pada tahun 1980-an daerah ini dikenal sebagai daerah yang miskin dengan jumlah penduduk yang sangat sedikit. Hingga akhirnya pengusaha Belanda, J. Nienhuis menemukan wilayah Deli dan merintis usaha perkebunan tembakau, sejak saat itulah wilayah Deli semakin dikenal. Akibatnya, banyak pendatang-pendatang Tionghoa yang tertarik untuk bekerja di perkebunan yang ada di Sumatera, khususnya Deli. Adanya perluasan dalam bidang perkebunan tembakau, karet, dan teh, serta dimulainya kegiatan pengeboran minyak di Langkat pada tahun 1920-an menyebabkan ribuan etnik Tionghoa berbondong-bondong dan kemudian bermukim di Pantai Timur Sumatera untuk memulai usaha seperti berdagang dan bertukang. Kebanyakan dari mereka datang dengan kondisi yang melarat, namun sesuai dengan etos kerja mereka yang sangat giat dan gigih, perlahan tapi pasti berubah menjadi pedagang yang sangat makmur. Bahkan sampai saat ini mereka mengukuhkan diri sebagai pedagang yang sukses. Mereka memperluas jenis usaha mereka demi meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga dapat terus bertahan hingga kini. Hingga saat ini jumlah etnik Tionghoa di kota Medan kian bertambah, bahkan di kota Medan sendiri terdapat daerah-daerah tertentu yang jumlah masyarakat Tionghoa-nya banyak dijumpai. Berikut ini gambaran penduduk Tionghoa menurut wilayah administrasi di kota Medan dilihat secara per kepala 2 adalah sebagai berikut. 2 Hasil pengolahan data SP 2000 BPS Kota Medan 40 Tabel 1: Statistik Penduduk Masyarakat Tionghoa di Medan Tahun 2000 Kecamatan Medan Tuntungan Medan Johor Medan Amplas Medan Denai Medan Area Medan Kota Medan Maimun Medan Polonia Medan Baru Medan Selayang Medan Sunggal Medan Helvetia Medan Petisah Medan Barat Medan Timur Medan Perjuangan Medan Tembung Medan Deli Medan Labuhan Medan Marelan Medan Kota Belawan Jumlah 2.5.2 Pria 77 4.958 368 3.011 14.877 12.245 4.402 3.269 572 519 6.110 1.388 8.502 9.198 9.885 6.146 5.600 3.470 2.603 1.713 1.792 100.705 Wanita 58 4.757 355 2.957 15.369 12.988 4.484 3.343 588 465 5.920 1.286 8.814 9.717 10.309 6.379 5.386 3.193 2.520 1.545 1.701 102.134 Bahasa Empat kelompok bahasa utama yang ada di Indonesia adalaha Hokkien, Mandarin, Hakka, dan Kanton, sedangkan orang Tiochiu berbicara dengan dialek yang hampir sama dengan bahasa Hokkien. Tercatat sekitar 2 juta penutur asli bahasa dari ragam dialek Tionghoa yang berbeda terdapat di Indonesia pada tahun 1982, yakni 700.000 penutur rumpun bahasa Min Nan (termasuk didalamnya bahasa 41 Hokkien dan Tiochiu); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton, dan 20.000 penutur rumpun bahasa Dong Min (termasuk Xinghua). Sisanya, diperkirakan 20.000 berbicara dalam bahasa Indonesia (Lewis, 2005: 391). Banyak orang Indonesia, termasuk orang Tionghoa percaya adanya pengaruh dialek bahasa Melayu dalam bahasa Tionghoa di Indonesia, secara lokal dikenal sebagai bahasa Melayu-Tionghoa atau Melayu-Cina. Pertumbuhan karya sastra “peranakan” di paruh kedua abad ke-19 memunculkan semacam varian dalam bahasa Tionghoa. Karya sastra ini dipopulerkan melalui kisah-kisah silat (seni bela diri) yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa atau ditulis dalam bahasa Melayu dan Indonesia. Para ahli bahasa yang membahas tentang bahasa Melayu-Tionghoa kemudian mencatat bahwa tidak semua etnik Tionghoa menggunakan dialek Melayu yang sama di setiap daerah di Nusantara (Kahin, 1991:55). Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa meski pemerintah kolonial Belanda merupakan pihak yang pertama kali memperkenalkan ortografi berbahasa Melayu di tahun 1901, namun surat-surat kabar Tionghoa tidak mengikuti standar ini hingga masa setelah kemerdekaan (Kahin, 1991:61). Dilihat dari faktor-faktor ini, etnik Tionghoa dianggap memainkan sebuah “peranan penting” dalam perkembangan bahasa Indonesia modern (Kahin, 1991:65). 2.5.4 Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa Hanya sedikit saja ditemukan karya ilmiah yang membahas tentang kehidupan beragama etnik Tionghoa-Indonesia. Buku keluaran Prancis di tahun 1977 berjudul Les Chinois de Jakarta: Temples et V́ ie Collective (“The Chinese of Jakarta: Temples and Collective Life”) adalah satu-satunya studi yang membahas 42 kehidupan beragama orang Tionghoa di Indonesia (Coppel, 2002: 256). Kementerian Agama menetapkan agama yang resmi diakui di Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Atas dasar Undang-Undang Administrasi Kependudukan Tahun 2006 mengakibatkan tidak mungkinnya masyarakat Indonesia memilih agama di luar dari enam kepercayaan yang telah diresmikan negara untuk dicantumkan di kartu tanda pengenalnya. Menurut data sensus tahun 2000, hampir 90 persen orang-orang Tionghoa Indonesia memeluk agama Buddha dan Kristen Katolik dan Protestan (Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008:30). Perpindahan agama dari “agama tradisional Tionghoa” menjadi agama Kristen banyak terjadi pada generasi muda. Tidak jarang didapati di dalam sebuah keluarga yang anak-anaknya sudah memeluk Kristen, namun orangtua mereka masih memeluk agama tradisional (Kahin, 1991:122). Gelombang pertama perpindahan dari agama tradisional menjadi agama Kristen terjadi di rentang tahun 1950 hingga 1960an, sebagai respon adanya intoleransi terhadap budaya Tionghoa, dan jumlah orang Tionghoa yang memeluk agama Katolik selama periode ini meningkat hingga lebih dari 400 persen. Gelombang kedua terjadi setelah pemerintah mencabut status agama Khonghucu sebagai agama yang diakui oleh negara di tahun 1970an. Diperkirakan pada tahun 2006 bahwa 70 persen dari populasi Tionghoa memeluk agama Kristen. Pengamat demografi Aris Ananta melaporkan pada tahun 2008 “bukti bersifat anekdot” menunjukkan bahwa sebagian besar etnik Tionghoa yang beragama Buddha menjadi agama Kristen sejalan dengan meningkatnya taraf pendidikan mereka. Indonesia, yang hampir 90 persen penduduknya adalah beragama Muslim, etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam sangatlah sedikit. Sensus di tahun 2003 menyebutkan bahwa hanya 5,41 persen etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam 43 (Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008: 30). Asosiasi seperti Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) telah berdiri sejak akhir abad ke-19. PITI kemudian dibentuk kembali di tahun 1963 sebagai organisasi modern, namun acapkali mengalami periode tidak aktif (Ma, 2005: 120). Khonghucu menduduki posisi terakhir dengan menyumbang 3,91 persen dari total populasi Tionghoa Indonesia (Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008: 30). Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan bahwa 95 persen penganut Khonghucu di Indonesia adalah etnik Tionghoa. Meskipun pada akhirnya pemerintah telah kembali menetapkan Khonghucu sebagai agama yang diakui resmi di Indonesia, masih banyak pemerintah daerah yang tidak mematuhi keputusan itu dan menolak masyarakat etnik Tionghoa untuk menetapkan agama Khonghucu di kartu tanda pengenal mereka (Suryadinata, 2008:10). 44 BAB V FUNGSI, MAKNA, DAN DESKRIPSI UPACARA PENGHORMATAN LELUHUR DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA TERMASUK DI KOTA MEDAN 5.1 Latar Belakang Pemikiran Penghormatan Leluhur 5.1.1 Konsep Supranatural Religi yang tertua di China, seperti juga pada masyarakat agrikultur lainnya memusatkan perhatian pada penghormatan kepada leluhur, kekuatan alam, serta kesuburan. Di awal peradaban masyarakat pada masa itu, dunia ini penuh dengan kekuatan-kekuatan yang memanifestasikan dirinya pada kehidupan binatangbinatang dan tumbuhan, di langit dan di air, pada proses kelahiran, pertumbuhan, penyakit, dan kematian. Dikatakan bahwa di dunia ini tidak hanya terdiri dari orang-orang yang masih hidup saja tetapi juga roh-roh dari orang-orang yang telah meninggal, yang memelihara sumber kehidupan dan menjaga kesuburan makanan dan pertumbuhan. Orang-orang yang meninggal dianggap masih aktif. Mereka memperlihatkan restu mereka dengan memberikan kesuburan bagi tanaman dan binatang, serta keberhasilan dan perburuan, dan peperangan. Tempat yang disediakan untuk penghormatan bagi mereka menjadi tempat yang suci, yang menganugerahkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi setiap keluarga. 45 Penghormatan terhadap leluhur bersesuaian dan merupakan cabang dari kepercayaan akan adanya roh-roh. Penghormatan leluhur memiliki asumsi dasar bahwa manusia dapat berkomunikasi secara langsung dengan roh-roh dari orangorang yang telah meninggal. Konsep awal mengenai jiwa diakui pada masa dinasti Zhou dimana tubuh manusia dihuni oleh dua jiwa kehidupan (life-soul). Kematian berarti pemisahan kedua jiwa tersebut dari tubuh. Jiwa kehidupan perlahan-lahan akan mati. Jiwa kepribadian, bagaimanapun juga dapat bebas dan hidup terus sepanjang orang mengingatnya dan menjaganya dari kelaparan dengan memberikan sesaji atau persembahan. Pada masa dinasti Zhou, ide ini tersusun dan terbentuk menjadi bentuk penghormatan leluhur hingga sekarang. Seperti diketahui, bahwa masyarakat Tionghoa percaya kepada suatu kekuatan tertinggi yang dinamakan Tian ( 天 ) atau Tuhan. Tian menempati kedudukan tertinggi pada struktur hierarki dalam dunia roh. Di samping itu, dunia ini tersusun dari dua buah kekuatan yang saling mengimbangi yaitu Yin dan Yang. Ying mewakili kewanitaan, kegelapan, dingin, kelembapan, kelembutan, dan kepasifan. Sedangkan Yang mewakili kejantanan, terang, kehangatan, kekeringan, kekerasan, keaktifan dan lain sebagainya. Segala kejaiban alam merupakan hasil dari interaksi dari kedua kekuatan ini yang terus menerus saling mempengaruhi. Dalam kitab Li Ji tercantum bahwa manusia adalah hasil dari substansi kebajikan. Yang merupakan perpaduan dari langit dan bumi. Manusia juga terbentuk dari komposisi dan kerja sama dari Yin dan Yang, serta persatuan dari gui (hantu) dan shen (leluhur). Gui (hantu) adalah jiwa material (material soul) yang terbentuk dari substansi Yin. Pada manusia yang masih hidup, dia bekerja dengan sebutan po. Pada waktu mati, gui akan kembali ke bumi. Sedangkan shen adalah jiwa imaterial (immaterial soul) yang terbentuk dari substansi Yang. Ketika bekerja secara aktif 46 dalam tubuh manusia yang masih hidup. Disebut qi atau nafas dan hun. Dalam kitab Li Ji juga tercantum bahwa hun atau qi kembali ke akhirat dan tubuh atau po kembali ke bumi; qi atau hun ketika terpisah dari tubuh akan hidup terus sebagai roh. Dalam percakapan tentang jiwa manusia, Konfusius menyatakan bahwa upacara syukur terhadap gui dan shen diperlihatkan dalam dua buah upacara ibadah persembahan. Ibadah dilakukan dalam persembahan pagi hari. Pengucapan syukur kepada qi dilakukan dengan pembakaran sesaji. Daging persembahan dibakar untuk menghasilkan aroma, keharumannya lebih dinyatakan lagi oleh nyala kayu yang wangi. Dengan cara ini setiap orang diajarkan untuk mengingat kembali leluhurnya terdahulu. Ibadah pengucapan syukur kepada po dilakukan dengan mempersembahkan gandum, padi sisertai hati, paru-paru, kepala, jantung dari binatang-binatang kurban, serta dua mangkuk arak biasa dan arak yang harum. Persembahan ini mengajarkan manusia untuk saling mencintai sesamanya. Perwujudan kasih sayang antara atasan dan bawahan ini merupakan upacara yang terpenting. Persembahan yang dilakukan untuk qi atau shen dikirim melalui substansi yang sama. Substansi ini sendiri merupakan komposisi dari api, panas dan terang sebagaimana yang dipancarkan Yang. Di samping itu juga, tempat persembahan diterangi oleh bakaran kayu dan berlangsung pada saat matahari mulai bersinar. Dipihak lain, barang-barang persembahan yang ditujukan bagi po tidak dibakar karena bagian ini adalah kompisisi dari materai dimana penguapan dari makanan dan minuman lain tidak diperlukan. Perasaan syukur kepada shen dan gui ini diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara korban atau sesaji. Animisme di Tiongkok yang berkembang dalam masyarakatnya sudah ada sejak mengenal peradaban, tetap berakar dengan adanya upacara-upacara 47 sembahyang dan persembahan sesaji bagi dewa-dewa alam raya dan roh-roh nenek moyang. Sebahagian besar kehidupan masyarakat lebih banyak memperhatikan bagaimana memuja roh-roh ini. Penyakit, kemalangan, ketidakberuntungan, semuanya merupakan hasil dari kegiatan dalam dunia roh. Oleh karena itu, dirasakan sangat perlu untuk dilakukan upacara-upacara keagamaan untuk menenangkan rohroh atau jiwa-jiwa ini. Dalam kehidupan tradisional masyarakat Tionghoa, masyarakat percaya bahwa roh-roh leluhur, baik di kuburan-kuburan ataupun di akhirat tetap bersama dan selalu menjaga serta mengawasi mereka. Keberuntungan serta kemalangan sebuah keluarga diawasi oleh arwah leluhur mereka. Ketika roh-roh sedang senang, keluarga akan menerima berkatnya, tetapi pada saat mereka diabaikan, kesulitan akan dialami. Roh-roh ini harus diundang dan diikut sertakan dalam setiap acaraacara khusus seperti perayaan-perayaan tradisional, upacara perkawinan dan kelahiran. Pada kesempatan-kesempatan tersebut juga harus dilakukan upacara sembahyang bagi mereka di kuburan, rumah abu, atau pun pada meja abu leluhur. Hubungan kekeluargaan ini sangat nyata dilakukan pada saat tahun baru, dimana keluarga yang masih hidup merasakan bahwa leluhur mereka benar benar tengah bersama mereka. Orang Tionghoa percaya bahwa kesejahteraan dari roh-roh orang yang telah meninggal tergantung dari penghormatan dan persembahan yang diberikan oleh keturunan-keturunan yang masih hidup, sehingga adanya keturunan dianggap sangat penting guna meneruskan upacara penghormatan terhadap leluhur. Upacara penghormatan dan persembahan bagi leluhur dilakukan oleh anak laki-laki dalam keluarga. Oleh karena itu tidak ada yang lebih penting daripada memiliki seorang anak laki-laki. Penghormatan leluhur juga dilakukan karena terdapat unsur ketakutan 48 dan kekhawatiran pada roh-roh yang mati, dimana mereka dapat kembali untuk membalas dendam pada keluarga yang tidak setia dalam melakukan ibadah. Menurut kepercayaan, roh-roh ini memiliki sifat-sifat duniawi. Mereka menjadi halus setelah berada dalam dunia roh, namun tetap dilengkapi dengan sifatsifat mereka semula. Roh-roh ini tetap mempunyai kebutuhan seperti layaknya ketika mereka masih hidup. Barang-barag miniatur yang terbuat dari kertas yang menyerupai rumah, mobil, pakaian, uang dan lain-lain dikirim ke dunia roh melalui pembakaran yang disertai dengan doa-doa. Hal ini hanya dilakukan sekali yaitu pada waktu seorang meninggal dunia. Selanjutnya mereka tetap membutuhkan perhatian dari sanak keluarganya yang masih hidup dalam bentuk sembahyang serta sesaji. Benda-benda yang dikirim tidak hanya terbatas untuk roh-roh dari keluarga yang telah meninggal saja. Namun ditujukan pula bagi roh-roh pengemis yang berkemungkinan besar telah diabaikan oleh keluarga mereka atau bagi roh-roh yang tidak memiliki keluarga yang masih hidup, roh-roh dari orang yang meninggal di laut, kelaparan atau diluar negeri. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa mereka dapat memanggil shen atau hun kembali kerumah asalnya melalui shen wei. Shen wei dibuat ketika seseorang meninggal dunia. Shen wei diperlukan sebagai tempat bagi hun. Ketika tubuh seseorang yang meninggal dimakamkan, roh nya akan menempaatkan diri pada shen wei sebagai kediamannya. Shen wei diletakan di rumah, dengan kepercayaan bahwa kekuatan dari hun dapat menjadi pelindung rumah serta keluarga yang ditinggalkan. Saji-sajian yang dimaksudkan sebagai persembahan diletakkan diatas meja abu leluhur dihadapan papan leluhur pada saat-saat tertentu seperti pada hari-hari raya tradisional, hari kelahiran dan kematian leluhur. Setiap hari teh disediakan dan diletakkan dihadapan shen wei. Menurut kepercayaan, aroma dari teh tersebut 49 dinikmati oleh roh-roh dari leluhur. Sesajian yang diberikan, berbeda-beda menurut tingkatan ekonomi dalam masyarakat, tergantung dari kemampuan keluarganya. Pada umumnya, persembahan yang diberikan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk tukar-menukar, dimana dengan mempersembahkan saji-sajian bagi leluhur serta rohroh lainnya diharapkan akan menerima berkat, kebahagiaan dan panjang umur. Konfusius menyalahkan sikap semacam itu. Ia percaya bahwa persembahan kurban tradisional dilakukan bukan disebabkan karena mengharapkan sesuatu dari roh-roh tersebut melainkan merupakan suatu hal yan patut dilakukan, seperti layaknya seorang yang menjamu sahabat-sahabatnya. Konfusius mengajarkan etika moral dan harmonisasi dalan hubungan manusia. Pengaruh kemanusiaan dalam filsafatnya menyebabkan pemikiran supernatural dalam masyarakat Tionghoa semakin lama semakin berkurang. Konfusius tidak pernah menyinggung tentang gagasan akan kehidupan setelah mati, namun ia tidak melarang adanya upacara penghormatan leluhur. Penghormatan leluhur tidak di pandangnya sebagai suatu hal yang bersifat religius tetapi sebagai bentuk peringatan serta perwujudan kasih sayang terhadap orang tua serta leluhur yang telah meninggal dan juga untuk memelihara tradisi keluarga dan menjadi contoh bagi anak dan cucu yang masih hidup. 5.1.2 Konsep Bakti Tata kehidupan moral yang berlaku dalam msyarakat Tionghoa didasarkan atas Konfusianisme, yaitu mengajarkan tentang falsafah moral. Konfusius meletakkan dasar berpikir humanistis dalam masyarakat. Sistem etika yang diajarkan Konfusius menyangkut keselarasan hubungan manusia. Di antara segala bentuk hubungan sosial, Konfusius memberikan penekanan pada hubungan moral dalam 50 keluarga, dimana keluarga sebagai kelompok sosial terkecil merupakan inti kesejahteraan dalam masyarakat. Keluarga merupakan inti dari kehidupan tradisional masyarakat. Sikap serta penghormatan terhadap orang tua dan nenek moyang, mendasari praktik ajaran moral keluarga, selanjutnya diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan akhirnya menjadi dasar dalam kehidupan di seluruh negara. Oleh karena itu, perwujudan dalam mempraktekan ajaran Konfusius akan tampak nyata dalam upacara-upacara tradisional. Dalam kehidupan keluarga, hubungan antara ayah dan anak laki-laki menduduki tempat tempat terpenting, yang merupakan pusat dari sebuat konsep moral yaitu bakti atau (孝). Bakti sudah merupakan suatu konsep etika yang penting pada masyarakat Tionghoa dan sudah ada sebelum masa Konfusius. Bakti merupakan prinsip dan ajaran moral yang melibatkan hubungan antara ayah dan anak laki-laki dan juga pada hubungan-hubungan sosial lainnya yang lebih luas. Dalam masyarakat Tionghoa, kewajiban seorang pria terutama adalah terhadap orangtuanya. Seorang anak laki-laki tidak boleh berhenti berkorban bagi orangtua dan juga bagi leluhurnya. Seorang anak yang berbakti tidak terbatas pada saat orangtua masih hidup saja tetapi diteruskan ketika mereka telah meninggal. Sikap bakti seorang anak terhadap orang tua dan leluhurnya terus diwujudkan dalam bentuk pembangunan kuil-kuil leluhur taupun pembuatan meja abu leluhur dirumah-rumah setiap keluarga untuk tempat ibadah persembahyangan bagi mereka. Konfusius menganjurkan sikap bakti ini dan mewujudkannya sebagai sikap perkabungan bagi orang tua dan leluhur dalam jangka waktu yang panjang. Tata ibadah sembahyang bagi leluhur dilakukan untuk mengenang kembali cinta kasih orangtua serta nenek-nenek dan kakek yang telah tiada. Mengenang kembali 51 kebajikan dan jasa yang telah dilakukan para leluhur guna dijadikan suri tauladan bagi perilaku dan tindakan-tindakan anak serta cucu selanjutnya. Kedua buah konsep diatas merupakan latar belakang dan dasar pemikiran bagi penghormatan leluhur dalam masyarakat Tionghoa. Penghormatan leluhur yang telah menjadi tradisi setelah sekian lama, secara tidak langsung juga turut berperan dalam setiap keluarga Tionghoa. 5.2 Fungsi Penghormatan Leluhur 5.2.1 Kelangsungan Garis Keturunan Sebagian besar aktivitas rumah tangga dalam keluarga Tionghoa selalu berhubungan dengan roh leluhur. Keluarga Tionghoa baik secara keseluruhan maupun secara individu melakukan berbagai hal untuk menyenangkan roh-roh leluhur mereka. Dalam masyarakat Tionghoa, keluarga merupakan suatu kesatuan dasar dalam setiap organisasi sosial yang memiliki arti yang sangat penting dan patut mendapat perhatian secara khusus. Komposisi keluarga memperlihatkan banyak variasi. Menurut tradisi, ada tiga bentuk keluarga yang dapat dibedakan dengan jelas yaitu: pertama, keluarga inti yang terdiri dari suami, istri atau istri-istri dan anak-anak. Kedua, stem family yang terdiri dari orangtua, anak-anak yang belum menikah, seorang anak laki-laki yang telah menikah beserta isteri dan anak-anaknya. Ketiga keluarga luas terdiri dari orangtua, anak-anak yang belum menikah, beserta anak laki-laki yang telah menikah dan istri-istri dan anak-anak mereka. Keluarga ideal bagi orang Tionghoa adalah sebuah keluarga luas sebanyak lima generasi yang tinggal di bawah satu atap, dipimpin oleh seorang kepala keluarga, menggunakan dapur dan sumber keuangan yang sama. 52 Keluarga Tionghoa menganut garis keturunan dari pihak ayah atau disebut patrilineal. Garis keturunan sangat penting bagi mereka guna menjaga kelangsungan keluarga. Oleh karena itu, anak laki-laki sangat penting untuk meneruskan garis keturunan. Hubungan antara ayah dan anak laki-laki merupakan hubungan yang terpenting diantara hubungan-hubungan keluarga lainnya. Seorang ayah memiliki kekuasaan atas hidup dan mati anak laki-lakinya, dan anak laki-laki berkewajiban hormat dan menyokong kehidupan orang tuanya. Perkabungan dan penghormatan terhadap orang tua setelah meninggal meruakan bagian yang integral daripada tanggung jawab anak laki-laki. Orang Tionghoa memiliki suatu pemikiran tentang “kelangsungan garis keturunan.” Kelangsungan keluarga merupakan manifestasi perilaku turun temurun dan kelangsungan dari generasi ke generasi yang tak henti-hentinya. Hal ini berarti keturunan merupakan suatu kesatuan, sebuah tali yang panjang, yang bermula dari masa lampau, dan terentang kemasa yang akan datang. Tali tersebut pada suatu saat akan tebal atau tipis tergantung dari banyaknya helai, ataupun seratnya. Helai melambangkan keluarga, dan serat melambangkan laki-laki yang ada. Namun selama serat masih ada, tali itu akan tetap terentang. Serat tali tersebut bukan hanya sembarang serat tetapi mewakili tali tersebut secara keseluruhan. Hal ini berarti, setiap individu yang hidup merupakan personifikasi dari nenek moyangnya dan merupakan awal dari keturunan yang belum dilahirkan. Seorang ada karena leluhurnya, dan keturunan-keturunannya ada hanya melalui dia. Jika seorang lakilaki meninggal tanpa anak, seluruh garis keluarga dari leluhur dan keturunan yang belum dilahirkan akan hilang bersamanya. Dengan kata lain, seorang individu (lakilaki) yang hidup sekarang merupakan manifestasi dari seluruh garis keluarga. 53 Salah satu dari fungsi utama keluarga adalah melakukan penghormatan kepada leluhur. Penghormatan leluhur dipandang sebagai perwujudan dari bakti anak terhadap orang tua dan leluhurnya. Hal ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, digunakan untuk memperkuat kedudukan keluarga. Adanya penghormatan kepada leluhur menyebabkan timbulnya pendorong tambahan bagi orang tua untuk memiliki anak laki-laki guna melaksanakan ritus dan upacara penghormatan leluhur sekaligus juga untuk melindungi dan menyelamatkan kehidupan abadi orangtua serta kakeknenek mereka. Oleh karena itu ada hal-hal yang menyebabkan seseorang dianggap tidak berbakti, dan terutama adalah apabila seseorang tidak memiliki keturunan lakilaki. Apabila terjadi pembagian warisan dalam rumah tangga, tempat penghormatan leluhur atau meja abu serta papan leluhur diwariskan pada anak lakilaki tertua, sehingga pada waktu upacara sembahyang semua anak akan berkumpul dirumah saudara tuanya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, jika anak lakilaki tertua tidak sanggup lagi mengurus meja abu dalam rumah tangganya, maka meja abu tersebut dapat diwariskan pada anak laki-laki yang lainnya ataupun juga pada anak wanita serta suaminya dengan pola tempat tinggal matrilokal. Pelaksanaan upacara penghormatan leluhur dalam keluarga dipimpin oleh ayah sebagai kepala keluarga. Kewajiban ini kemudian diwariskan kepada anak lakilaki yang sulung. Demikianlah selanjutnya diwariskan secara turun temurun. Anak perempuan tidak memegang peranan penting dalam penghormatan leluhur, karena setelah menikah mereka tidak lagi ikut serta mengambil bagian dalam upacara penghormatan bagi leluhurnya tetapi akan mengikuti suami dan dengan demikian mereka akan mengurus penghormatan leluhur pihak suami. 54 Bagi bangsa-bangsa yang menganut prinsip patrilineal, anak laki-laki dianggap penting guna menjaga kelangsungan keluarganya, namun dalam masyarakat Tionghoa, anak laki-laki memiliki fungsi lainnya. Anak laki-laki bukan saja dibutuhkan untuk melanjutkan xing atau shen nya dalam logat Hokkian, melainkan juga untuk menggantikan ayahnya ‘merawat abu’. Seorang anak laki-laki didominasi oleh keluarga dan kelangsungan keluarga, oleh karena itu segala tindakan dan aktivitas dilakukan selalu berhubungan dengan leluhur. 5.2.2 Fungsi Saling Ketergantungan Leluhur dan Keturunan Kelangsungan keturunan memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan keluarga Tionghoa. Hidup seorang individu merupakan kelanjutan dari kehidupan leluhurnya dan awal dari kehidupan keturunan selanjutnya. Kelangsungan suatu keluarga dari generasi ke generasi merupakan suatu kesatuan bagaikan tali yang terentang dan tidak terputus. Saling bertanggung-jawab antara orang tua dan anak bagi keluarga pada umumnya bukanlah merupakan suatu yang janggal. Namun dalam masyarakat Tionghoa, tanggung-jawab diantara keduanya tetap berlaku dan berlangsung terus walaupun orang tua telah meninggal. Kematian tidaklah membebaskan seorang anak laki-laki dari kewajibannya terhadap orang tua. Ketika orang tua masih hidup, seorang anak berkewajiban melayani dan menghormati orang tua mereka, ketika meninggal anak tersebut berkewajiban untuk melayani dan memuja serta bersembahyang bagi mereka. Sebagai imbalan akan sembahyang dan saji-sajian, maka seluruh keturunan akan mendapat berkat dan bantuan dari orang tua dan leluhur yang telah meninggal dalam kekuatan supernatural. Hal ini merupakan suatu hubungan timbal balik yang 55 tetap berlangsung terus. Rasa saling membutuhkan antara orang tua dan anak lakilaki penting bagi kelangsungan dan keutuhan keluarga. Ketika anak laki-laki masih muda dan belum mengerti apa-apa, ia dirawat, diberi makan, pakaian, rumah, dan pendidikan oleh orang tua. Ketika ia tumbuh menjadi besar, ia mulai berdiri sendiri dan dibebani tanggung –jawab untuk mengurus keluarga. Kedua orang tuanya semakin lama akan menjadi tua kemudian tibalah giliran anak tersebut untuk merawat, memberi makan, pakaian dan perlindungan bagi kedua orangtuanya. Bagi anak perempuan, hubungan timbal balik ini dilakukan secara tidak langsung. Segala sesuatu yang diterimanya dari orang tua pada waktu kecil dikembalikan melalui perlakuannya terhadap orang tua pihak suami. Bertolak dari kepercayaan akan supernatural, orang-orang Tionghoa percaya bahwa leluhur serta orang tua yang telah meninggal tetap hidup dan ikut campur tangan dalam kehidupan keluarga yang telah ditinggalkan. Roh-roh leluhur dan orang tua akan tetap hidup dalam dunianya sendiri. Mereka tetap mebutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal dan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Segala kebutuhan tersebut hanya didapat melalui persembahan yang diberikan oleh anakcucu mereka yang masih hidup. Orangtua mereka yang telah meninggal membutuhkan penghormatan dari anak-anak mereka agar tetap hidup dalam jalan kebahagiaan. Akan tetapi anak-anak juga memerlukan bantuan supernatural dari orang tua mereka. Sudah merupakan suatu kepercayaan bahwa berkat dan kebahagiaan merupakan pemberian orangtua. Perlindungan yang diberikan orang tua ketika masih hidup tetap diberikan walaupun mereka telah meninggal. Oleh karena itulah maka meja abu leluhur tetap menghiasi hampir pada setiap rumah keluarga Tionghoa, agar 56 supaya berkat dan kebahagiaan dari orang tua serta leluhur tetap melingkupi anakcucu dan keturunan selanjutnya. 5.2.3 Fungsi Solidaritas Keluarga Selain memiliki fungsi ritual, penghormatan kepada leluhur juga memiliki fungsi sosial yang perlu lebih jauh diketengahkan, dimana dapat dikatakan fungsi sosial tersebut bahkan lebih penting dari fungsi lainnya. Pemeliharaan abu leluhur juga dilakukan untuk tetap mempertahankan kehidupan solidaritas keluarga dan klen. Upacara penghormatan leluhur yang dihadiri oleh seuruh keluarga, dilakukan paling sedikit satu kali dalam setahun pada hari raya yang terpenting yaitu pada Tahun Baru Imlek. Pada kesempatan tersebut, keluarga yang bertempat tinggal dalam satu kota ataupun yang menetap didaerah lain berusaha datang kerumah orangtua. Jika kedua orang tua telah meninggal, mereka mengunjungi saudara lakilaki tertua yang tetap memegang meja abu orangtua dan leluhur untuk melakukan ibadah sembahyang bersama. Seluruh pengeluaran untuk upacara tersebut ditanggung oleh saudara laki-laki mereka yang memelihara meja abu tersebut, namun jika ia tidak sanggup maka biaya akan ditanggung bersama oleh seluruh keluarga. Hal ini menyebabkan hubungan, ikatan dan solidaritas antar anggota keluarga tetap terjalin erat. Bantuan dan pertolongan yang diberikan keluarga pada umumnya terdiri dari tiga cara yang berbeda yaitu: (1) bantuan yang tidak menyangkut benda-benda material; (2) benda-benda material seperti uang, barang, tanah, dan sebagainya; (3) pekerjaan dalam perusahaan atau usaha dagang, beasiswa, dan lain-lainnya. 57 Saling membantu dan solidaritas dalam keluarga timbul oleh karena kesadaran mereka akan satu darah yang mengalir dalam tubuh mereka masing-masing. Kesadaran ini diperkuat juga oleh adanya pemeliharaan abu leluhur yang secara tidak langsung membantu mereka untuk tetap saling bertemu dan mengakrabkan diri diantara seluruh keluarga. 5.3 Pelaksanaan Upacara Penghormatan Leluhur 5.3.1 Upacara Penghormatan Leluhur Secara Umum Rumah abu orang-orang Tionghoa khususnya di Indonesia merupakan perkumpulan klen dimana aggotanya adalah orang-orang Tionghoa yang berasal dari sub suku bangsa mana saja asalkan mempunyai nama keluarga yang sama. Yang dimaksud dengan sub bangsa disini adalah orang-orang Tionghoa yang berasal dari propinsi-propinsi yang berbeda, membawa serta ciri kebudayaan yang khas dari kampung halamannya daan memiliki perbedaan dialek bahasa seperti misalnya Hokkian, Hakka, dan Kanton. Pada saat-saat tertentu seluruh anggota klen tersebut berkumpul. Selain untuk melakukan upacara penghormatan leluhur bersama, rumah abu ini juga bertujuan untuk mempererat persaudaraan serta solidaritas keluarga. Upacara-upacara penghormatan leluhur yang dilakukan oleh orang Tionghoa biasanya berkenaan dengan suatu peristiwa atau perayaan tertentu. Dalam kebudayaan Tionghoa banyak terdapat perayaan-perayaan tradisional yang berkaitan dengan religi yang dianut. Di antara perayaan-perayaan itu, ibadah yang khusus ditujukan kepada leluhur ialah: (a) setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek yang disebut Ce it cap go – Chu yi shi wu ( 初 一 十 五 ); (b) hari wafat leluhur/ orang tua; (c) sembahyang Tahun Baru; (d) sembahyang Ceng Beng – Qing Ming ( 清 明 ) ; (e) sembahyang arwah umum – Cioko – Qiang guo atau biasa disebut juga sembahyang rebutan. Cioko dilakukan pada tanggal 15 bulan 7 Imlek ditujukan bagi arwah atau 58 roh yang tidak memiliki keluarga lagi ataupun roh-roh yang terlantar, yang tidak disembahyangi oleh sanak keluarga lagi. Semua upacara tersebut di atas pada umumnya dilakukan dirumah-rumah keluarga terutama yang memelihara abu. Walaupun demikian, banyak keluarga yang tidak memelihara abu juga melakukan upacara sembahyang dengan meletakkan meja menghadap pintu rumahnya. Semua upacara yang dilakukan tersebut bertepatan dengan suatu perayaan tertentu yang erta kaitannya dengan peredaran alam. Dalam upacara religi biasanya dipergunakan benda sebagai alat upacara seperti patung-patung, alat-alat bunyi-bunyian dan sebagainya. Peralatan ritus upacara leluhur dirumah tempat tinggal lebih sederhana daripada di rumah abu. Dalam upacara diperlukan dupa atau hio xiang (香), lilin, papan leluhur atau papan arwah yang disebut sien ci-shen zu (神主) atau shen wei (神位), tempat menancapkan dupa atau hio lou-xiang lu (香炉) yang banyaknya tergantung dari jumlah leluhur yang disembahyangi, kotak panjang-bundar tempat berisikaa batang dupa, dan lainlainnya. Segala peralatan ritus upacara tersebut di atas diletakkan diatas meja abu leluhur yang merupakan sebuah meja khusus diperuntukkan bagi abu leluhur. Meja abu umumnya terdiri dari dua atau tiga buah meja berwarna merah lak. Meja yang tinggi berukuran 6 ½ kaki dan lebar 2 ½ kaki, dan meja yang rendah berukuran panjang/lebar 3 kaki. Jika tidak ada shen wei, pada dinding dibelakang meja abu biasanya digantungkan potret leluhur atau orang tua. Bersama dengan potret-potret tersebut biasanya juga terdapat gambar pemandangan, diapit oleh dua panji yang bertuliskan huruf-huruf Cina. Keseluruhan gambar dengan panji-panji tersebut dinamakan shan-shui (山水), maksud dari gambar itu adalah pelambang tempat tinggal leluhur dimana abunya diletakkan dihadapan lukisan tersebut. Pada keluarga yang 59 cukup mampu, meja abu yang dihiasi dengan sebuah atau lebih jambangan yang berisi bunga-bunga segar. Bagi orang-orang yang kurang mampu biasanya altar dihias dengan bunga-bunga yang terbuat dari kertas yang kemudian akan diganti dengan yang baru pada hari-hari menjelang Tahun Baru Imlek. Persembahan yang ditujukan bagi leluhur dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu persembahan yang dibakar dan tidak dibakar. Persembahan tersebut berbentuk sajian makanan, minuman serta benda-benda yang terbuat dari kertas. Persembahan yang tidak dibakar, yang berupa berbagai jenis makanan dan minuman akan tetap utuh selama upacara berlangsung dan pada akhir upacara akan menjadi santapan bagi seluruh keluarga. Persembahan yang dibakar terdiri dari sebagian kecil sajian yang tersedia serta uang-uang kertas tiruan. Kedua bentuk persembahan ini memiliki arti simbolis. Jika ditelusuri menurut dasar pemikiran orang Tionghoa seperti yang telah diterangkan sebelumnya, persembahan saji-sajian makanan dan minuman tersebut merupakan tindakan pengucapan syukur yang ditujukan bagi Po (material soul) oleh karena jenis persembahan ini tidak dibakar. Sedangkan jenis persembahan yang menggunakan api (dibakar) ditujukan bagi qi (immaterial soul). Pelaku atau orang-orang yang melakkan upacara penghormatan leluhur adalah orang-orang yang masih terikat dalam suatu keluarga atau marga. Penghormatan leluhur yang dilakukan keluarga, dipimpin laki-laki tertua dalam keluarga. Jika ia sudah terlalu lemah dan sudah tidak sanggup lagi memimpin upacara maka tugas tersebut diserahkan pada anak laki-lakinya yang sulung; upacara ini ditujukan terbatas pada leluhur yang terdekat saja dan pelaku upacara juga terbatas pada anggota keluarga yaitu istri, anak serta cucu-cucu. Penghormatan leluhur di rumah abu dihadiri oleh anggota keluarga besar atau Klen, dan yang dipuja 60 adalah leluhur yang lebih jauh. Pimpinan upacara ditunjuk seorang yang dianggap paling tua dan paling dihormati. 5.3.2 Sembahyang Ce It Cap Go Sembahyang ce it cap go dilakukan pada setiap tanggal 1 dan 15 Imlek. Di Indonesia upacara ini disebut juga sembahyang tuang teh. Tradisi penghormatan leluhur pada setiap tanggal tersebut bermula sebelum masuknya penanggalan tarikh Masehi di China. Sebelum orang Tionghoa mengenal hari Minggu dalam penanggalan tarikh Masehi, mereka memakai tanggal 1 dan 15 dalam penanggalan China/Imlek sebagai hari untuk beristirahat. Pada tanggal-tanggal tersebut, keluarga-keluarga yang ‘memelihara abu’ membakar batangan hio dihadapan ‘abu’ atau shen wei dan juga dihadapan patung dewa yang dipuja di dalam rumahnya pada waktu pagi dan sore hari. Upacara ini biasanya dilakukan pada sore hari, 1 hari sebelum tanggal 1 dan 15 Imlek kemudian di pagi dan sore hari pada tanggal-tanggal tersebut. Sembahyang pagi biasanya dilakukan pada pukul 6 atau 6.30, sore hari dilakukan pada pukul 18.00. Tata ibadah yang dilakukan pada setiap tanggal 1 dan 15 Imlek ini merupakan bentuk dasar dari upacara-upacara pada setiap sembahyang. 5.3.2.1 Tempat Upacara Sembahyang ini dilakukan pada setiap tempat tinggal keluarga Tionghoa yang masih memiliki meja abu. Upacara berlangsung dihadapan abu leluhur. Meja 61 abu biasanya diletakkan di ruang tengah, ruangan tempat berkumpul seluruh keluarga. Dengan demikian, tempat upacara penghormatan leluhur ini berpusat tempatnya di rumah keluarga. Ini memngingatkan kita bahwa hubungan leluhur dengan keturunannya adalah dalam konteks membina keluarga, terutama keluarga luas, yang didukung oleh keluarga inti. 5.3.2.2 Peralatan Upacara Di atas meja abu diletakkan potret orang tua atau kakek-nenek yang telah meninggal, 2 batang lilin, lampu listrik berbentuk lilin, kotak tempat menyimpan hio, gelas-gelas berisi teh, serta sajian sederhana berupa kue dan buah-buahan. 5.3.2.3 Jalannya Upacara Pada ibadah ini, sembahyang biasanya dilakukan oleh istri atau anak perempuan dalam keluarga. Ketika upacara akan dimulai, segala keperluan sembahyang disiapkan. Sajian berupa teh serta kue dan buah-buahan diletakkan di atas meja abu, kemudian dua batang lilin dinyalakan. Pada mulanya pintu muka dibuka lebar lalu, tiga batang hio dinyalakan. Dengan ketiga batang hio tersebut, dilakukan soja di depan pintu menghadap ke luar sambil memanjatkan doa kepada Tuhan meminta izin untuk mengundang leluhur agar datang kerumah tersebut dan mencicipi hidangan yang disediakan. Ketiga batang hio tersebut ditaruh pada sebuah tempat kecih khusus yang ditempelkan pada dinding di muka pintu luar. Selanjutnya dinyalakan hio untuk leluhur. Hio yang ditujukan bagi leluhur berjumlah dua batang. Dihadapan meja abu, dilakukan soja dengan hio sambil memanjatkan doa bagi leluhur berisi puji syukur dan hormat serta harapan agar para 62 leluhur berkenan menerima persembahan yang diberikan. Kemudian hio ditancapkan pada hio lou. Selanjutnya upacara selesai. Persembahan yang diberikan seperti teh dan kue setiap kali diganti pada waktu sembahyang dilakukan kecuali buah-buahan. Lilin dan hio yang telah habis juga diganti dengan yang baru pada saat sembahyang. Persembahan yang diletakkan pada sore hari tanggal 15 Imlek diangkat pagi-pagi pada keesokan harinya. 5.4 Sembahyang Tahun Baru Perayaan Tahun Baru China merupakan suatu perayaan yang diadakan sehubungan dengan kedatangan musim semi didaratan China, dihitung sesuai dengan perhitungan lunar yang dianut masyarakat Tionghoa, yang jatuh tepat pada tanggal 1 bulan 1 Imlek. Dalam penanggalan Masehi, Tahun Baru Imlek biasanya dirayakan setiap tanggal 28 atau 29 januari. Menjelang Tahun Baru, setiap keluarga sibuk mengatur persediaan untuk menyambut pergantian tahun. Satu hari sebelum Tahun Baru, yaitu pada tanggal 29 bulan 12 Imlek dilakukan upacara sembahyang khusus ditujukan bagi leluhur. Sembahyang ini biasanya disebut juga sembahyang Tahun Baru – da nian ye (大年夜). Tidak semua keluarga Tionghoa melakukan sembahyang leluhur atau sembahyang Tahun Baru itu pada “hari sembahyang” atau oleh orang Tionghoa disebut hari Ji kao kao tersebut. Ada juga yang menyelenggarakannya beberapa hari dimuka Tahun Baru dengan maksud agar segala sesuatu yang bertalian dengan tahun baru cepat selesai. Lagipula harga barang-barang keperluan untuk itu belum meningkat setinggi harga-harga pada waktu satu hari dimuka Tahun Baru. Keluarga yang menjadi obyek penelitian penulis pada sembahyang Tahun Baru ini telah tinggal di Indonesia. Hampir semua anggota keluarga yang hadir pada 63 saat itu mengakui tidak mengerti dan memahami seluk beluk mengenai upacara penghormatan leluhur ini. Mereka hanya mengikuti apa yang diajarkan dan dicontohkan orang tua mereka tanpa mengetahu arti yang tersirat dalam upacara ritual tersebut. 5.4.1 Tempat Upacara Sembahyang Tahun Baru dilakukan disetiap tempat tinggal keluarga dan upacara ini berlangsung di hadapan meja abu dan abu leluhur. Biasanya meja abu leluhur diletakkan di ruang tengah, ruangan yang agak luas tempat berkumpulnya seluruh keluarga. Bagi keluarga yang tidak memiliki meja abu, sajian persembahan biasanya diletakkan diatas meja di ruang makan bersama-sama dengan potret leluhur. 5.4.2 Peralatan Upacara Keluarga yang menjadi obyek penelitian penulis tidak memiliki meja abu leluhur. Oleh karena itu mereka meletakkan sajian pada sebuah meja panjang di ruang makan. Selain sesajian, diatas meja diletakkan potret orang tua yang telah meninggal. Lilin berwarnah merah yang melambangkan kebahagiaan, gelas berisi beras untuk tempat menancapkan hio, poci-poci teh. Selain itu juga digunakan hio berwarna merah, tempat pembakaran kemenyaan berkaki empat, dua buah uang logam kuno, uang-uang kertas emas dan perak tiruan, serta kertas-kertas bergambarkan kebutuhan rumah tangga seperti baju, celana, panci, teko, dan sebagainya. Saji-sajian ini dihidangkan lebih istimewa daripada hari-hari biasa.sajian berupa buah-buahan, kue-kue kecil, kue keranjang, minuman serta makanan 64 kesukaan leluhur. Ada jenis makanan yang harus selalu disajikan berupa: binatang berkaki empat misalnya babi yang mewakili tanah; burung atau ayam yang mewakili udara dan ikan yang mewakili air. Ketiganya disebut sam seng. Keluarga-keluarga tertentu mempunyai kebiasaan bersantap bersamaan dengan arwah atau roh leluhur. Ketika upacara sembahyang selesai, mereka langsung bersantap mengambil makanan yang telah disembahyangi. 5.4.3 Jalannya Upacara Pada Imlek malam, dilakukan upacara sembahyang kepada Tuhan – Tian oleh kepala keluarga, meminta izin untuk mengundang arwah leluhur agar dapat datang ke tempat tinggal mereka dan dapat bersama-sama merayakan kedatangan hari raya Tahun Baru. Segala persiapan dilakukan pada pagi harinya. Setelah makanan selesai dimasak, diletakkan diatas meja bersama-sama dengan segala peralatan sembahyang oleh ibu rumah tangga dibantu anak-anak perempuannya. Setelah semua dianggap lengkap, ia memanggil suaminya untuk memulai upacara. Pada mulanya kepala keluarga melakukan pemasangan dua batang lilin berwarna merah. Kemenyan dibakar pada suatu tempat kemudian dibawa berkeliling meja sesaji serta seluruh rumah sebanyak dua kali. Menurut kepercayaan mereka, asap dari kemenyan ini dianggap penting untuk memanggil roh agar cepat datang. Sebelum sembahyang kepada leluhur terlebih dahulu bersembahyang kepada Tuhan menghadap keluar. Tiga batang hio berwarna merah dibakar. Dengan ketiga batang hio ditangan dilakukan soja pai – bai (拜), kemudian hio ditancapkan dimuka pintu. Selanjutnya kembali dilakukan soja sambil mengucapkan doa agar diperkenankan melakukan sujud kepada leluhur. Setelah selesai pengucapan doa, bersoja kemudian masuk menuju meja abu. Dua batang hio kemudian kembali dibakar. Setelah bersoja, 65 hio kemudian ditancapkan pada tempat hio lalu mengucapkan doa kepada leluhur yang berisi rasa hormat, cinta serta puji-pujian akan teladan yang telah diberikan dan berjanji akan menjunjung serta melanjutkan bakti mereka. Setelah berdoa, sikap ini dilanjutkan dengan bersujud kui pai dimuka meja abu. Sikap doa yang dilakukan oleh ayah sebagai kepala keluarga diikuti oleh anggota keluarga lainnya yaitu anak laki-laki, istri, anak perempuan. Cucu-cucu menyusul kemudian. Namun urutan ini tidak terlalu diperhatikan lagi pada saat sekarang. Wanita tidak diharuskan bersujud, mereka hanya bersembahyang dengan hio. Anak-anak kecil berusia sekitar 4-5 tahun dibimbing oleh ayah mereka membakar hio serta mengucapkan doa. Dimuka pintu, dengan menghadap keluar mereka memegang hio sambil bersoja sebanyak dua kali sambil memohon kepada kakek-nenek serta para leluhur supya datang dan bersama-sama merayakan Tahun Baru. Selanjutnya mereka memasuki ruangan meja abu, bersoja tiga kali lalu berdoa sejenak mengucapkan selamat Tahun Baru kepada kakek-nenek. Kemudian hio ditancapkan. Setelah semua mendapat gilirannya, ssegala macam santapan makanan dibiarkan selama 1-2 jam, tindakan ini memiliki maksud tertentu yaitu membiarkan para roh leluhur bersantap sejenak. Sementara itu, seorang anggota keluarga menyalakan rokok kesukaan leluhur. Untuk mengetahui kapan para roh selesai bersantap dilakukan popoi – xiao pei (笑配) yaitu melemparkan dua buah uang logam. Jika kedua muka uang logam tersebut menampakkan gambar yang sama berarti roh belum selesai bersantap, maka harus menunggu lagi sejenak baru diulangi lagi popoi sampai kedua muka uang logam menampakkan dua sisi yang berbeda. 66 Setelah acara santap para roh leluhur selesai, kepala keluarga diikuti oleh anggota keluarga yang lain membakar uang kertas emas atau kim cua dan uang kertas perak atau gin cua (hanya bersifat simbolis yang melambangkan uang sesungguhnya) yang telah dilipat. Bakaran uang kertas diletakkan dimuka pintu halaman muka. Setelah itu diambil sedikit makanan dari sesajian yang diletakkan pada tempat pembakaran uang kertas. Setiap minuman yang disediakan juga ditaburkan berputar ditempat yang sama. Bersamaan dengan maksud yang diinginkan yaitu sebagai bekal bagi roh leluhur yang akan kembali ke tempat asalnya semula. Akhir daripada upacara leluhur ini adalah makan bersama seluruh keluarga. 5.4.4 Pelaku Upacara Pada saat upacara ini berlangsung, hampir semua anggota keluarga berusaha hadir kecuali memang benar-benar berhalangan. Upacara dipimpin oleh ayah. Anakanak yang telah menetap sendiri bersama keluarga masing-masing datang berkunjung ke rumah orang tua mereka. Pertemuan-pertemuan semacam ini memiliki fungsi sosial yaitu tetap menjaga eratnya hubungan setiap anggotanya juga menjaga solidaritas keluarga. 5.5 Sembahyang Ceng Beng Hari Raya Ceng Beng merupakan suatu hari besar bagi masyarakat Tionghoa yang dirayakan bersama seluruh keluarga. Menurut kepercayaan, pada saat itu keluarga yang telah meninggal juga ikut berpartisipasi. Hari Raya ini berhubungan dengan keadaan perubahan alam didaratan Cina yaitu hari dimana telah terjadi pergantian musim, dari musim salju ke musim semi dimana cuacanya bersih dan 67 terang, oleh karena itu dinamakan Qing Ming atau Ceng Beng dalam logat Hokkian yang berarti segar dan terang. Pada hari raya ini, setiap keluarga Tionghoa membersihkan kuburan, ada yang memperjelas kembali nama-nama yang tertulis diatas batu nisan. Setiap keluarga membawa saji-sajian yang diletakkan di atas pelataran kuburan leluhur, serta bersembahyang bagi keluarga mereka yang telah tiada. Keluarga yang berhalangan hadir atau datang kekuburan biasanya melakukan upacara sembahyang di rumah. 5.6 Makna Penghormatan Leluhur Penghormatan kepada leluhur dalam kebudayaan Tionghoa ini, khususnya dalam studi kasus di Kota Medan, memiliki makna-makna budaya. makna-makna itu mencakup makna aktivitas dan makna benda-benda dan peralatan upacara. makna kegiatan atau aktivitas upacara ini dilatarbelakangi oleh ajaran filsafat khususnya Konfusius dan sistem religi, baik itu Konghucu maupun Buddha. Sedangkan bendabenda upacara memiliki makna-makna khusus, namun intinya semua benda dan peralatan upacara ini adalah sebagai sarana komunikasi dengan leluhur yang dihormati dalam aktivitas pemujaan. Makna-makna budaya yang terkandung di dalam aktivitas penghormatan leluhur (jisi zuxian yanjiu) adalah seperti uraian berikut ini. Bahwa kegiatan penghormatan leluhur ini memiliki makna integrasi keluarga dan kerabat. Bahwa manusia Tionghoa dalam hidupnya di dunia ini perlu memelihara identitas keluarganya yang ditarik berdasarkan garis keturunan pihak ayah (patrilineal). Makna integrasi ini terekspresikan dalam nama keluarag (klen). Bahwa seorang Tionghoa perlu menjaga integritas kebersamaan sosial ini. 68 Selain itu, makna aktivitas jisi zuxian yanjiu secara umum adalah sebagai ekspresi kosmologis dalam sistem religi masyarakat Tionghoa, yang di dalamnya terdapat ajaran Konfusius dan Buddhisme. Masyarakat Tionghoa meyakini adanya alam dunia dan alam baka atau akhirat, tempat bersemayamnya para leluhur. Juga adanya unsur-unsur roh dan loain-lainnya. Upacara ini memiliki makna sebagai ketaatan religius dan juga imolementasi penghayatan kepercayaannya tersebut. Selanjutnya makna benda dan peralatan upacara, dapat dideskripsikan sebagai berikut. Rumah abu adalah bermakna sebagai wujud kehadiran leluhur yang telah meninggal dalam kehidupan nyata, terutama dalam hidup keturunannya. Rumah abu adalah simbol dari leluhur. Rumah abu ini sebagai simbol leluhur diperkuat pula dengan dipampangkannya foto leluhur di tempat tersebut. Dengan demikian walau leluhur telah meninggal dunia, ia dipandang tetap hidup kekal di alam akhirat dan berkomunikasi dengan keturunannya. Leluhur ini dapat menolong kesejahteraan dan keselamatan keturunannya. Dalam upacara diperlukan dupa atau hio xiang (香), yang memiliki makna sebagai simbol hubungan antara dunia nyata dengan dunia akhirat. Hio ini merupakan sarana penghubung antara alam dunia nyata ini dengan alam gaib dan alam baka. Hio memiliki makna komunikasi kosmologi. Kemudian lilin memiliki makna sebagai penerang dalam kegelapan. Lilin yang dinyalakan ini adalah lambang dari kesucian, ketulusan, dan pengabdian. Bertindaklah sebagai lilin, yaitu rela berkorban untuk menjadi penerang kepada seluruh alam dan manusia. Dalam konteks yang lebih luas, diajarkan kepada orang Tionghoa selalulah berlaku dermawan dan sosial dengan cara menyantuni orang yang kurang mampu dan semoga menjadi penerang kepada semua orang di dunia ini, 69 bukan hanya sekedar berguna kepada sesame agama atau religi tetapi kepada semua makhluk. Selain itu benda upacara adalah berupa papan leluhur atau papan arwah yang disebut sien ci-shen zu (神主) atau shen wei (神位),. Papan leluhur ini adalah simbol dari kehadiran leluhur dalam kehidupan keturunannya. Papan leluhur juga mengingatkan bahwa leluhur itu tetap hidup terus di alam baka di depan Thien, dengan harapan kketurunan ditempatkan di tempat yang baik. 70 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Telah diuraikan dalam pendahuluan bahwa salah satu aspek dari kebudayaan adalah religi. Khusus dalam skripsi ini peneliti mengetengahkan tentang religi tradisional masyarakat Tionghoa yaitu penghormatan leluhur yang dilakukan keluarga dihadapan abu leluhur. Permasalahan yang menjadi perhatian peneliti adalah masihkah penghormatan terhadap leluhur ini memiliki arti dan nilai religius tersendiri ini bagi setiap orang yang menjadi anggota dalam suatu keluarga dan secara langsung ikut ambil bagian dalam praktek upacara pada saat sekarang ini. Dari hasil pengamatan, peneliti melihat kecenderungan bergesernya nilai-nilai religius pada generasi muda saat ini. Pengetahuan kaum muda yaitu anak-anak dari keluarga Tionghoa (rata-rata berusia tidak lebih dari 40 tahun) yang masih memelihara abu leluhur sangat kurang. Mereka sudah tidak lagi menaruh perhatian secara khusus terhadap penghormatan leluhur. Upacara-upacara penghormatan mereka lakukan tanpa mengetahui dan memahaminya secara mendalam. Segala sesuatunya mereka lakukan hanya berdasarkan kebiasaan yang telah diajarkan orang tua dan dilakukan sejak kecil, dan juga untuk menghargai dan menghormati orangtua mereka. Sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa mereka tidak akan meneruskan pemeliharaan meja abu 71 leluhur dan bermaksud akan membakar meja abu keluarga jika orang tua telah tiada, gejala semacam ini akan timbul karena banyak faktor, dan salah satu faktor yang jelas adalah karena kemajuan tekhnologi dan modernisasi yang menyebabkan orang tidak lagi memperhatikan nilai-nilai tradisi yang diwariskan nenek moyang. Dengan adanya sikap semacam ini, kemungkinan besar pada suatu hari nanti tradisi religi penghormatan leluhur pada keluarga-keluarga Tionghoa yang tinggal di Indonesia akan hilang. Di samping Pergeseran nilai religius, peneliti juga melihat munculnya perubahan-perubahan dan penyederhanaan dalam pelaksanaan ritus keagamaannya. Upacara Ceng Beng pada awalnya dilakukan di kuburan-kuburan saja, namun sekarang telah banyak keluarga hanya melakukan upacara dirumah atau dirumah abu. Hal tersebut dilakukan karena jarak lokasi perkuburan yang jauh dari tempat tinggal ataupn juga karena sebagian besar keluarga Tionghoa telah mengangkat jenazah kerabat mereka dari kuburan setempat lalu kemudian membakarnya (kremasi). Pembakaran jenazah tersebut disebabkan karena keluarga almarhum tidak mau direpotkan lagi oleh hal-hal yang berhubungan dengan perawatan kuburan. Dengan adanya pengangkatan jenazah tersebut menyebabkan tradisi upacara yang sedianya dilakukan dipekuburan ini semakin lama semakin berkurang pengikutnya, dan bukannya tidak mungkin suatu waktu kelak akan habis. Kesimpulan lain yang didapatkan dari pengamatan yaitu mengenai peran penghormatan leluhur ini dalam keluarga. Secara keseluruhan upacara religi ini mepunyai fungsi sosial mengintensifikasikan dan mendorong solidaritas di antara para anggota suatu keluarga atau Klen yang mengingatkan mereka bahwa mereka sebenarnya adalah kerabat yang berasal dari leluhur yang sama. Keluarga-keluarga yang berasal dari leluhur dan marga yang sama saling memberikan bantuan dan 72 pertolongan dimana pada umumnya terdiri dari tiga cara yang berbeda, yaitu: (1) bantuan material; (2) bantuan non material; dan (3) pekerjaan, beasiswa dan lain-lain. Jadi disini upacara religi bisa dianggap sebagai salah satu alat atau sarana untuk tercapainya solidaritas di antara para anggotanya. 5.2 Saran Dari hasil penelitian mengenai religi tradisional khas budaya Tionghoa ini, penulis melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan demi kelestarian budaya ini sebagai wujud kepedulian kita terhadap khasanah Budaya Tradisional Tionghoa. Penulis berharap, khususnya terhadap masyarakat Etnik Tionghoa agar tetap melestarikan tradisi budaya mereka demi eksistensi pemeliharaannya yang menjadi bagian dari kekayaan budaya nasional. Khususnya bagi generasi muda etnik Tionghoa, diharapkan agar turut melestarikan tradisi budaya mereka agar keberadaannya tetap terjaga dan terpelihara. Skripsi ini kiranya juga menjadi rujukan bagi mahasiswa-mahasiswa yang ingin melanjutkan penelitian tentang upacara-upacara tradisional budaya etnik Tionghoa. Akhir kata, penulis menyadari, bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya dengan segaala kerendahan hati penulis akan menerima dengan tangan terbuka segala kritikan maupun saran demi kesempurnaan skripsi ini. 73 DAFTAR PUSTAKA a. Buku dan Artikel Abdurrahmat, H. Fathoni, 2006. Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: Rhineka Cipta. Benny, H. Hoed, 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo. Harsojo. 1977. Pengantar Antropologi Budaya. Jakarta : Bina Cipta. Ihromi, T.O.2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor. J. Moleong, Lexy. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Roskarya. Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cistra. Koentjaningrat. 1986. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press). Leo Suryadinata, 1992. Pribumi Indonesians: The Chinese Minorities and China A Study of Perceptions and Politics. Singapore: Heinemann Asia. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Poerwadarminta (ed.) , 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. Wang Gungwu, 1981. Community and Nation: Essays on Southeast Asia and the Chinese. Kuala Lumpur: Heinemann. 74 b. Internet www.baiduwenhua.cn www.wikipedia.com www.sumut.go.id. www.google.com DAFTAR INFORMAN 75 76