reny syafrida - PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI USU MEDAN

advertisement
KAJIAN FUNGSI DAN MAKNA TRADISI JISI ZUXIAN YANJIU
(PENGHORMATAN LELUHUR) DALAM SISTEM KEPERCAYAAN
MASYARAKAT TIONGHOA: PENELITIAN KUALITATIF DI MEDAN
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: RENY SYAFRIDA
NIM: 080710003
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA CINA
MEDAN
2012
i
KAJIAN FUNGSI DAN MAKNA TRADISI JISI ZUXIAN YANJIU
(PENGHORMATAN LELUHUR) DALAM SISTEM KEPERCAYAAN
MASYARAKAT TIONGHOA: PENELITIAN KUALITATIF DI MEDAN
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: RENY SYAFRIDA
NIM: 080710003
Disetujui oleh:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
Chen Su Su
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA CINA
MEDAN
2012
ii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah
satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu
Budaya< Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal :
Hari
:
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP
Panitia Ujian:
Tanda Tangan
1.
2.
3.
4.
5.
iii
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Dr. THYRHAYA Zein, M.A.
NIP 1965
iv
KATA PENGANTAR
v
vi
ABSTRAK
vii
DAFTAR ISI
viii
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9). Dalam
bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau
bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa
Indonesia.
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem, dimana sistem itu
terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Dan hal ini
berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, di mana pergerakan yang
dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun
sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat.
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang sangat kaya dengan
beraneka ragam budaya yang menjadi bagian dari suku bangsa atau subsuku bangsa
tersebut. Kemajemukan kebudayaan tersebut tentunya akan melahirkan orientasi
yang majemuk pula, karenaa salah satu fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah
sebagai sumber nilai yang menjadi objek orientasi (Bangun 1981:12).
Setiap kebudayaan memiliki sistem religi atau sistem kepercayaan, termasuk
dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa. Mereka selalu melestarikan kebudayaan
dari leluhur mereka terdahulu, masyarakat mengembangkan dan membangun sistem
kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu. Sistem keyakinan mempengaruhi
1
dalam kebiasaan bagaimana memandang hidup dan kehidupan. Termasuk di
dalamnya adalah menghormati leluhur atau moyangnya.
Penghormatan kepada leluhur ini merupakan fenomena budaya yang
universal yang terdapat dalam sebahagian besar masyarakat di dunia, termasuk
masyarakat Tionghoa (Cina). dalam masyarakat Batak Toba penghormatan kepada
leluhur dilakukan dengan cara membuat tugu-tugu bagi para leluhurnya. Dalam
masyarakat Jawa penghormatan kepada nenek moyangnya
melakukan doa dan
disertai dengan sesajian berbagai makanan seperti apem dan lain-lainnya. Begitu juga
dengan pembangunan makam dengan bahan-bahan semen, keramik, batu-batuan,
nisan, dan lainnya. Dalam kebudayaan Karo, penghormatan kepada leluhur ini,
setelah dikubur dalam periode tertentu, maka tulang belulang lelehur dipindahkan ke
kuburan baru. Ritual ini disebut dengan ngampaken tulan-tulan. Hampir sama
dengan suku karo, orang Toraja di Sulawesi melakukan penghormatan kepada
leluhurnya dengan cara mengangkat jenazah leluhurnya ke kawasan pegunungan
yang tinggi, dengan melibatkan upacara dan pemotongan kerbau.
Wujud penghormatan kepada leluhur, selain dengan cara upacara, juga
menyertakan nama-nama leluhur ke dalam nama seseorang. Misalnya orang
Tionghoa dan Korea memakai nama marga di depan namanya. Misalnya di Korea
nama Park Jo Bong, berarti ia keturunan marga Park yang diturunkan secara
patrialineal (pihak ayah). Begitu jga na Tionghoa Lim Swie King, berarti ia adalah
keturunan marga Lim yang diturunkan secara patrilineal. Demikian juga orang Arab
yang selalu menggunakan nama leluhurnya dengan cara memakai bin atau binti.
Misalnya Abdullah bin Hasyim bin Amru. Berarti Abdullah adalah anak laki-laki
dari Hasyim, dan cucu dari Amru. Dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal
pun, penghormatan leluhur ini salah satu caranya adalah menyertakan nama klen atau
2
marga yang ditarik secara matrilineal. Misalnya Hajizar Koto, berarti ia adalah anak
dari seorang imbu yang bermarga Koto.
Demikian pentingnya penghormatan kepada leluhur ini, sampai-sampai
agama pun menganjurkan untuk menghormati kedua orang tua. Dalam agama Islam
misalnya diajarkan agar seorang anak menghormati ibunya. Ajaran ini sering
menggunakan salah satu hadits Nabi Muhammad yaitu bahwa surga di bawah telapak
kaki ibu. Kemudian seorang wanita pun harus menghargai suaminya, bahwa surga
seorang isteri terletak pada keridhaan dan keikhlasan seorang suami. Artinya pihak
ayah dan ibu haruslah dihormati. Demikian juga yang terjadi dalam masyarakat
Tionghoa.
Implementasi budaya khas Tionghoa adalah suatu konsekuensi logis, karena
orang Tionghoa memposisikan diri sebagai etnik yang mempunyai budaya,
kebiasaan dan tradisi sendiri. Apabila kita melihat suatu ekspresi kegiatan budaya di
kalangan masyarakat Tionghoa, kita sulit memisahkan dan membedakan dengan
jelas apakah itu ekspresi tradisi, agama, atau kepercayaan.
Dalam Bahasa Mandarin, kepercayaan disebut sebagai Xin Yang dan agama
disebut sebagai Zong Jiau. Kepercayaan tradisional adalah Tri-Dharma yang
merupakan gabungan antara Taoisme, Konfusianisme, dan Budhisme. Namun seiring
dengan perkembangan zaman, masyarakat Tionghoa pun telah menganut berbagai
agama lainnya seperti Islam yang banyak dianut di kawasan Provinsi Xinjiang
republik Rakyat China (RRC). Begitu juga agama Kristen Protestan terutama
Methodist dan Katholik, banyak dianut masyarakat Tionghoa di China, Hongkong,
Makao, Taiwan (Formosa), dan juga perantauan China di Eropa dan Amerika.
3
Kepercayaan tradisional yakni hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis
dan juga bagian dari budaya (sinkretisme budaya). Kepercayaan ini malah
mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas-batas tertentu.
Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka
tetap memegang teguh kepercayaan tradisional ini. Dalam kepercayaan tradisional
ini dikenal konsep tiga alam sebagai inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa.
Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa, tiga alam ini mempunyai
peranannya masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Ketiga alam
tersebut tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya. Ketiga
alam ini terdiri atas Alam Langit, Alam Bumi, dan Alam Baka.
Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa
kehidupan setelah meninggal lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia
ini. Dalam perkembangannya, kepercayaan mengenai Alam Baka ini kemudian
terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Budha. Ini ditandai dengan kepercayaan roh
yang hidup di Alam Baka dan akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia tapi
mereka lupa dengan kehidupan sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah
kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir kembali
sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya. Tiga alam ini mempunyai
hubungan antar satu sama lain dan dapat berinteraksi. (www.wikipedia.com)
Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan ritual
penghormatan leluhur yaitu penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari
dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Hal ini dikarenakan pengaruh ajaran
Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh.
Leluhur orang Tionghoa sebelum mengenal agama dan filsafat telah terlebih dahulu
mengenal penghormatan pada leluhur. Penghormatan leluhur ini kemudian menjadi
4
titik tolak dan dasar daripada kepercayaan tradisional Tionghoa yang muncul lebih
dulu daripada semua agama yang ada di Tiongkok.
Evolusi kepercayaan tradisional Tionghoa ini kemudian mempercayai bahwa
manusia setelah meninggal akan menuju ke alam baka, namun bagi manusia yang
dianggap mempunyai kontribusi dan jasa besar bagi masyarakat dapat pengecualian
untuk berdomisili di Alam Langit. Alam langit, alam baka juga dipercaya
mempunyai pemerintahan, kehidupan interaksi masyarakat yang mirip dengan alam
manusia. Atas dasar kepercayaan inilah, uang emas dan uang perak diciptakan. Uang
emas (kim cua) adalah diperuntukkan bagi dewa-dewi di alam langit. Uang perak
(gin cua) diperuntukkan bagi roh manusia di alam baka. Uang perak juga
diperuntukkan bagi roh manusia yang gentanyangan di alam manusia (hantu).
Bangsa Tionghoa merupakan suatu bangsa yang memiliki kebudayaan yang
sangat tinggi. Mereka telah mengenal peradaban sejak beberapa ribu tahun sebelum
masehi. Kebudayaan, kepercayaan, dan tradisi tetap mereka pelihara. Hal-hal
tersebut bahkan dapat kita lihat pada orang-orang Tionghoa yang telah menetap di
Indonesia pada saat ini.
Jika kita mengunjungi rumah keluarga Tionghoa tradisional, diruang tamunya
akan terlihat sebuah meja khusus yang diatasnya terletak berbagai jenis peralatan
sembahyang serta foto-foto anggota keluarga yang telah meninggal. Dengan
menyaksikan benda-benda tersebut akan langsung terpikir oleh kita betapa orang tua
serta leluhur yang telah meninggal sangat dihormati dan dihargai oleh keluarga yang
masih hidup. Religi tradisional yang merupakan salah satu unsur kebudayaan
Tionghoa tetap dipegang hingga saat ini adalah penghormatan leluhur.
Penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa merupakan
suatu bentuk religi yang menekankan pada pengaruh roh leluhur terhadap kehidupan
5
nyata. Suatu bentuk religi yang merupakan perkembangan dari animisme di mana
manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus menempati alam sekeliling tempat
tinggal manusia. Mahluk-mahluk halus tadi, bertubuh halus sehingga tidak dapat
tertangkap oleh pancaindra manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat
diperbuat manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan
manusia sehingga menjadi obyek dari penghormatan dan penyembahannya, dengan
berbagai upacara berupa doa, sajian atau korban.
Penghormatan
leluhur
pada
masyarakat
etnik
Tionghoa
dilakukan
berdasarkan beberapa tujuan yaitu:
(a) Kelestarian dengan masa lampau.
(b) Penghormatan terhadap kebijaksanaan orang-orang tua.
(c) Harapan akan berkat yang diberikan oleh orang-orang yang telah
meninggal.
(d) Meredakan kesedihan, dengan cara merawat dan memelihara roh leluhur
dengan memberikan sesajian dan doa bagi kebahagiaan mereka.
(e) Ketakutan akan kutukan roh jahat.
Prinsip dasar dari hal-hal tersebut diatas adalah:
(1) Roh atau jiwa dari orang yang telah meninggal tetap memperhatikan dan
tetap mengasihi orang-orang yang masih hidup.
(2) Adanya rasa ketidaktentraman dan ketakutan akan orang yang telah
meninggal, oleh karena itu mereka berusaha menentramkan roh-roh tersebut.
Praktik penghormatan leluhur di China kemungkinan besar sudah
berlangsung sejak zaman Huang Di ( 皇 帝 ) dan terus mengalami perkembangan
sampai sekarang. Penghormatan leluhur dilakukan dengan kepercayaan akan
kelangsungan keluarga dan penghormatan terhadap orangtua yang sudah meninggal.
6
Penghormatan leluhur ini merupakan salah satu kewajiban keluarga yang tidak dapat
dipisahkan dari praktek pemberian sesaji, tata ibadah upacara dan doa yang
dilakukan dihadapan papan tempat arwah leluhur atau shen wei ( 神 位 )dirumah
rumah, kelenteng dan di perkuburan.
Dilihat dari segi tata kehidupan moral dalam masyarakat Tionghoa,
penghormatan leluhur merupakan suatu bentuk manifestasi dari ‘bakti’ atau xiao (孝) ,
penghormatan bagi orang tua “xiao jing fu mu” (
孝经父母)
sebagai ajaran yang
ditanamkan Konfusius. Menurut Konfusius, kewajiban dari seorang anak adalah
menghormati orang tua, “ketika orangtua masih hidup layani mereka menurut tata
cara kesopanan, ketika meninggal kuburkan mereka dengan tata cara kesopanan, dan
berikan mereka upacara kurban menurut tata cara kesopanan.” Dengan demikian
konfusius menanamkan laku bakti anak terhadap orang tua secara terus menerus
walaupun orang tua telah meninggal.
Kepercayaan masyarakat Tionghoa tentang kehidupan setelah meninggal
sangat kuat. Mereka percaya bahwa roh-roh ini membutuhkan hal-hal yang sama
sebagaimana manusia di dunia ini. Segala kebutuhan tersebut hanya bisa diperoleh
dari sanak keluarga yang masih hidup.
Demikian sekilas tentang keberadaan penghormatan leluhur pada masyarakat
Tionghoa secara umum. Seperti difahami bahwa orang-orang Tionghoa negeri
asalnya adalah Daratan Tiongkok, yang kini menjadi negara bangsa yang disebut
Dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Selain itu terdapat juga kawasan budaya
Tionghoa seperti Hongkong, Makao, Taiwan, dan lainnya. Pada masa sekarang
orang-orang Tionghoa juga melakukan migrasi ke seluruh dunia yang disebut
sebagai diaspora Cina (Tionghoa). Termasuk juga keberadaan mereka di Indonesia,
7
dan khususnya kota Medan seperti yang menjadi fokus kajian penulis dalam skripsi
ini.
Masyarakat
Tionghoa
di
Kota
Medan
memiliki
strategi
dalam
mempertahankan kebudayaannya, termasuk dalam upacara penghormatan leluhur
mereka. Bagaimanapun sedikit banyaknya upacara ini mengalami perkembangan
yang disesuaikan dengan kebudayaan di Kota Medan yang heteroge
Sejauh penelitian penulis, perubahan tentang upacara penghormataan kepada
leluhur di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Medan adalah sudah semakin
berkurangnya pemahaman dan penghayatan nilai-nilai ini di kalangan generasi muda.
Menurut penjelasan para informan, kegiatan upacara penghormatan kepada para
leluhur hanya dipahami dan dihayati nilai-nilainya oleh para generasi relatif tua saja.
Tidak demikian yang terjadi dalam generasi mudanya.
Dari latar belakang di atas, untuk mengetahui lebih dalam penulis tertarik
untuk memfokuskan tentang kebudayaan Tionghoa khususnya religi tradisional in,
yaitu penghormatan kepada leluhur. Dengan demikian penulis membuat judul
penelitian ini: Kajian Fungsi dan Makna Tradisi Jisi Zuxian Yanjiu
(Penghormatan Leluhur)
Dalam Kepercayaan Masyarakat Tionghoa:
Penelitian Kualitatif di Medan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dikemukakan penulis diatas, beberapa masalah yang
akan dikaji dalam penelitian ini adalah untuk memfokuskan pembahasan masalah
pada:
1. Bagaimana fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan leluhur pada
masyarakat Tionghoa di Kota Medan? Pokok masalah ini nantinya akan
8
dijawab oleh penjelasan-penjelasan seputar fungsi social dan budaya
penghormatan leluhur dalam budaya masyarakat Tionghoa di Kota
Medantropologi
Untuka
mengkaji
funsi
sosiobudaya
ini
penulis
menggunakan teori fungsionalisme yang lazim digunakan dalam disiplin
antropologi dan sosiologi.
2. Apa saja makna (budaya) tradisi penghormatan leluhur pada masyarakat
Tionghoa di Kota Medan? Pokok masalah ini nantinya akan dijawab dengan
menguraikan makna-makna budaya yang terkandung di dalam upacara
penghormatan kepada leluhur. Makna-makna yang akan penulis uraikan
adalah mencakup makna perilaku budaya, makna benda dan peralatan
upacara, makna waktu upcara, dan hal-hal sejenis.
Untuk memperkuat dua pokok masalah penelitian di atas, maka
penulis juga akan mendeksripsikan bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi
penghormatan kepada leluhur? Deskripsi ini akan berisi persiapan,
pelaksanaan upacara, dan pasca pelaksanaan upacara. Ini penting untuk
memberikan dimensi umum bagaimana pelaksanaan upacara penghormatan
leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Ini
diperlukan untuk dapat memahami lebih jauh apa yang melatarbelakangi
upacara yang dilakukan seperti itu.
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan kepada leluhur
pada masyarakat Tionghoa.
9
2. Untuk mengetahui makna tradisi penghormatan kepada leluhur pada
masyarakat Tionghoa.
Untuk menambah tujuan utama di atas, penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui tata cara pelaksanaan tradisi penghormatan kepada leluhur. Juga untuk
mengetahui nilai religius dan budaya yang terdapat pada tradisi penghormatan
kepercayaan masyarakat Tionghoa.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun memberikan
informasi bagi masyarakat secara umum tentang upacara religi tradisional ini. Secara
keilmuan, penelitian ini akan menyumbangkan data-data etnografis yang dapat
digunakan dalam rangka mengembangkan metode teori terhadap ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Tionghoa, termasuk di Program Sastra
China, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini juga akan
mengungkap makna-makna sosiobudaya yang dapat dijadikan dasar dalam kebijakan
pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan masyarakat Tionghoa. Bagaimana pun
dalam kegiatan yang penuh makna budaya ini juga mengandung filsafat hidup
masyarakat Tionghoa. Penelitian ini juga akan berguna dalam mengungkapkan
sistem alam (kosmologi) dalam kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Konsep
Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian
(Singarimbun, 1989: 33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Poerwadarminta
sebagai editor (1995:456) dikatakan bahwa, konsep diartikan sebagai rancangan ide
atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari
objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal hal lain
Dalam hal ini, defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang
digunakan secara mendasar. Selain itu adalah untuk menyamakan persepsi tentang
apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan
tujuan penelitian.
2.1.1.1
Penghoramatan Leluhur
Semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan religi didasarkan atas
suatu getaran jiwa yang biasanya disebut dengan emosi keagamaan. Emosi
keagamaan ini biasanya dialami setiap manusia, walaupun getaran emosi itu hanya
berlangsung beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang kembali. Emosi
11
keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan bersifat
religi.
Sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri khusus
untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut
pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur-unsur penting
dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain yaitu: sistem keyakinan,
sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang menganut religi itu.
Penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa merupakan
suatu sistem religi, oleh karena selain memiliki emosi keagamaan, juga memiliki
unsur-unsur sistem keyakinan, yang memusatkan perhatian kepada konsep tentang
roh-roh leluhur; sistem upacara keagamaan, suatu umat yang menganut religi
tersebut.
Sistem upacara mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus
yaitu: (1) tempat upacara keagamaan; (2) saat saat upacara keagamaan dijalankan;
(3) benda-benda dan alat upacara; dan (4) pelaku upacara. Keempat unsur upacara
ini disusun oleh dua dimensi yaitu waktu (saat upacara) dan ruang (mencakup
tempat, benda dan alat, serta pelaku) upacara.
Penghormatan leluhur merupakan suatu bentuk religi yang menekankan pada
pengaruh roh leluhur terhadap kehidupan nyata. Suatu bentuk religi yang
merupakan perkembangan dari animisme dimana manusia percaya bahwa mahlukmahluk halus menempati alam sekeliling manusia.
Kepercayaan terhadap roh leluhur dalam religi suku bangsa Tionghoa sudah
sangat tua, dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang tertua, yang
kemudian terdesak kebelakang oleh keyakinan kepada mahluk-mahluk halus lain
seperti dewa dewa alam, roh nenek moyang, hantu dan lain-lain. Penghormatan
12
leluhur dilakukan pada tempat tempat tertentu yaitu dirumah abu, kelenteng, vihara
dan dirumah tempat tinggal keluarga serta kuburan-kuburan.
2.1.1.2
Kepercayaan
Kepercayaan dalam bahasa inggris dinamakan trust or believe ini merupakan
suatu bentuk nyata dalam kehidupan dimana menjadi bagian yang paling berharga
bagi kehidupan manusia. Sedangkan kepercayaan Tradisional adalah kepercayaan
yang telah ada sejak dahulu dan menjadi bagian dari hidup mereka dan secara turun
temurun masih dijalankan dari generasi ke generasi.
Dalam kehidupan orang Cina, ada tiga ajaran yang mereka anut yaitu Toisme,
Konfusianisme, dan Buddha. Ketiga ajaran ini sudah saling menyatu (sinkretisme)
dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian). Dalam
kehidupannya, orang Cina memang sangat toleran terhadap soal-soal agama. Setiap
agama dianggap baik dan bermanfaat, begitu pula dengan ajaran Taoisme,
Konfusianisme, dan Buddha yang mempunyai banyak kesamaan-kesamaan
pandangan dan saling membutuhkan sehingga ketiga ajaran tersebut berpadu menjadi
satu.
2.1.1.3
Masyarakat Tionghoa
Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan bertingkah
laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dimana setiap
anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama (Koentjaningrat, 1985:60).
Masyarakat manusia juga merupakan sistem hubungan sosial (social relation system)
yang utama. Hubungan ini ditentukan oleh kebudayaan manusia. Untuk mencapai
persatuan dan integrasi melalui kebudayaan anggota masyarakat perlu belajar dan
13
memperoleh warisan kebudayaan, termasuk apa yang diharapkan oleh mereka dalam
suatu keadaan tertentu.
Tionghoa adalah adat istiadat yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia
berasal dari kata zhinghuo dalam Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian
dilafalkan sebagai Tionghoa. Suku bangsa Tionghoa di Indonesia merupakan
keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang
sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa
kerajaan kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti
yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan
dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
2.1.2 Landasan Teori
Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori
hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu
pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan
untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam
memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan.
Sebagai pedomaan dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan
teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas
dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang
akan diuraikan sebagai berikut:
2.1.2.1 Teori Fungsionalisme
Untuk mengkaji fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan leluhur dalam
kebudayaan masyarakat Tionghoa ini, peneliti menggunakan teori fungsionalisme
14
yang ditawarkan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang
dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan
antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat
tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh
fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.
Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh
seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw
Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga
bangsawan Polandia. Ayahnya adalah gurubesar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi
tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan yang kelak
memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti
dan Alam dri Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar
membaca buku mengnai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi
tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W.
Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).
Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganlisis
fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teri fungsionalisme
kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan
untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di
University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku
mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H.
Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).
Selanjutnya Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi
teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa
semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat.
15
Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan
bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan
sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi
beberapa fungsi medasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut
Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi
beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar
yaitu kebutuhan sekunder dai para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah
seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily
comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari
kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan
kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan
sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.
Dari teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh malinowski itu, penulis
berasumsi bahwa tradisi penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat
Tionghoa pastilah berfungsi, kalau tidak kegiatan atau lembaga sosiobudaya ini
pastilah mati atau menjelma dalam bentuk yang lainnya. Kegiatan sosiobudaya
menghormati leluhur ini memainkan peran dalam konteks kesinambungan dan
integrasi kebudayaan Tionghoa secara umum.
1.5.2.2 Teori Semiotik
Dalam membahas makna-makna yang terkandung dalam penghormatan
leluhur dan pada masyarakat etnik Tionghoa, secara lebih mendetail, penulis
menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik
berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model
penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap
16
mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan
dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah
disiplin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau
semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular
(Endaswara, 2008:64)
Menurut Barthes dalam (Kusumarini, 2006), “denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.”
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi
kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan
makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Berthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara
teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara
konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup
denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir
dari pengalaman cultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan
Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang
diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai
suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi
setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
17
penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk tanda baru.
Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang
menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
2.1.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah menyelidiki
atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon
(KBBI,2003:912).
1.5.3.1 Penelitian Terdahulu
Laya Pirevia Maengkom, skripsi (1987): Suatu Tradisi dalam Keluarga Cina.
Skripsi ini menjelaskan tentang tata cara penghormatan leluhur pada Suatu keluarga
Etnik Tionghoa yang merupakan unit sosial dasar dimana setiap anggotanya ikut
ambil bagian dalam pemeliharaan religi tradisional tersebut. Dalam penghormatan
leluhur ini penulisnya juga menguraikan bahwa tradisi ini bukan hanya merupakan
suatu kepercayaan atau religi saja tetapi juga mempunyai fungsi sosial dan turut
berperan dalam kehidupan keluarga.
Dari uraian di atas, peneliti lebih mengarah pada aspek antropologi budaya.
Dalam hal ini maksudnya penulis menekankan hasil pengamatan melalui ilmu-ilmu
budaya, terutama pada pelaksanaan upacara dan peran penghormatan leluhur pada
satu keluarga Tionghoa.
Tedy Jusuf (2000) dalam tulisannya yang berjudul Sekilas Budaya Tionghoa
Indonesia. Buku ini menjelaskan tentang budaya dan adat istiadat Tionghoa yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Isi buku ini merupakan
sublimasi dari budaya berbagai subetnik Tionghoa, dan dicoba ditulis dalam kaidah-
18
kaidah yang mungkin dapat disepakati. Selain itu buku ini dibuat untuk
menginventarisasikan budaya Tionghoa Indonesia yang masih hidup dan masih
terpelihara dalam masyarakat Tionghoa.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Kualitatif
Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu frase penelitian kualitatif di Kota
Medan, maka sepenuhnya penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian analisis fungsi dan makna
tradisi penghormatan kepada leluhur dalam etnik Tionghoa melalui antropologi
budaya dengan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Penelitian ini
bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat sifat individu, keadaan
gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan
tertentu antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam masyarakat. Dalam hal ini
mungkin sudah ada hipotesis-hipotesis, mungkin juga belum, tergantung dari sedikit
banyaknya pengetahuan tentang masalah bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).
Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang
bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi
yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang
kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan
populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan
dan menganalisis suatu keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat
mengenai fakta dari makna penghormatan leluhur dan pada masyarakat Tionghoa.
Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penyelidikan kualitatif
sebagai berikut.
20
QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in
human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the
1920s and 1930s established the importance of qualitative research
for the study of human group life. In anthropology, during the same
period, ... charted the outlines of the field work method, where in the
observer went to a foreign setting to study customs and habits of
another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in
its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A
complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions
surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).
Menurut Denzin dan Lincoln seperti kutipan di atas, yang dimaksud dengan
penelitian kualitatifr adalah adalah suatu metode yang telah lama dikembangkan di
dalam ilmu pengetahuan manusia. Di dalam ilmu sosiologi karya-karya penelitian
kualitatif dihasilkan oleh aliran-aliran para ilmuwan dari Universitas Chichago,
terutama pada dekade 1920an dan 1930an. Hasil penelitian ini merupakan kajian
terhadap kehidupan manusia dalam kebudayaannya. Dalam disiplin ilmu antropologi,
dalam periode yang sama, para ilmuwannya mendisain penelitian dengan cara
mengamati dan meneliti adat istiadat dan kebudayaan di luar kebudayaan sang
peneliti, artinya studi lintas budaya. Penelitian kualitatif ini biasanya dilakukan
dengan menggunakan lintas disiplin, lapangan kajian, dan bidang kajian. Peristilahan
yang digunakan dalam pendekatan penelitian ini juga melibatkan seperangkat konsep
dan asumsi yang kompleks dan saling terjalin.
Lebih jauh Nelson mengkonsepkan mengenai apa itu penelitian kualitatif itu
menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang diuraikan
berikut ini.
Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and
sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the
social and physical sciences. Qualitative research is many things at the
same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are
sensitive to the value of the multimethod approach. They are
commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive
understanding of human experience. At the same time, the field is
21
inherently political and shaped by multiple ethical and political
positions (Nelson dan Grossberg 1992:4).
Menurut Nelson dan Grossberg seperti dikemukakan di atas, penelitian
kualitatif adalah kajian keilmuan yang bersifat interdisiplin, transdisiplin, dan
kadangkala
kounterdisiplin,.
Pendekatannya
selalu
melibatkan
ilmu-ilmu
kemanusiaan, social, dan eksakta. Penelitian kualitatif melibatkan berbagai bahan
kajian pada saat yang sama. Penelitian ini menggunakan multiparadigmatik. Para
pendukung metode ini sangat peka terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat yang
diteliti, serta berbagai metode pendekatan. Para penelitinya sangat mendukung
perspektif alamiah atau seperti apa adanya. Begitu juga dengan menafsirkan apa
yang terjadi dalam pengalaman manusia. Kadangkala penelitian kualitatif ini inheren
dengan politik yang dibentuk oleh berbagai posisi etika dan politik.
Dalam rangka penelitian terhadap fungsi dan makna penghormatan leluhur
pada kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan ini, maka metode penelitian
yang penulis pergunakan adalah metode kualitatif, yaitu dengan cara mengkaji
kegiatan ritual (upacara) ini apa adanya. Kemudian menginterpretasikan kegiatan
tersebut berdasarkan etika penelitian yang didasari oleh multidisiplin ilmu. dalam hal
ini ilmu yang digunakan adalah mencakup ilmu kemanusiaan (antropologi,
sosiologi,filsafat, dan budaya), juga ilmu-ilmu bantu lainnya.
Untuk menginterpretasikan makna-makna yang terjadi, maka penulis
melakukan pendekatan wawancara kepada informan kunci. Selanjutnya untuk
menguaraikan fungsi sosiobudaya penulis merenungkan dan mengkaji dalam
perspektif holistik dan mendalam. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini akan
mengungkapkan kebenaran realita yang ada serta hal-hal yang melatarbelakangi
kegiatan penghormatan leluhur ini.
22
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Langkah
dalam
tehnik
pengumpulan
data
ini
dilakukan
dengan
mengumpulkan data: Wawancara, Observasi Lapangan dan Studi kepustakaan.
Sebelum tehnik wawancara dilakukan, peneliti membuat pedoman sesuai
wawancara yang diberikan kepada beberapa tokoh masyarakat Tionghoa. Untuk
mengumpulkan data pertama penulis menemui informan yaitu seorang pengusaha
Ban. Penulis datang dan bertanya langsung tentang religi tradisional ini. Kemudian
sang informan menjelaskan secara keseluruhan tentang religi tradisonal ini. Dari
hasil wawancara ini diperoleh keterangan tentang religi tradisional budaya Tionghoa.
Penulis juga menemui seorang pengurus rumah abu leluhur yang bernama
Bapak Aweng yang merupakan salah satu keturunan etnik Tionghoa yang tinggal di
Binjai. Secara langsung penulis mengajukan pertanyaan pertanyaan yang sesuai
dengan objek penelitian penulis. Akan tetapi penulis mendapatkan data yang sangat
sedikit dari Bapak Aweng ini.
Maka untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini
penulis mengunjungi ke Vihara Maitreya Jln. Boulevard Utara No.8 Kompleks
Cemara Asri Medan. Penulis bertemu dengan Bapak Hendra, salah seorang pengurus
Vihara. Melalui wawancara dengan beliaulah memperoleh informasi tentang religireligi tradisional masyarakat Tionghoa. Bapak Hendra dengan senang hati
menceritakan religi-religi tersebut, daan mereka sangat senang saat penulis
menanyakan tentang kebudayaan mereka, karena bagi mereka kebudayaan Khas
Tionghoa adalah kebudayaan yang sangat tua, dan hingga kini masih banyak orang
yang ingin mengetahui tentang kebudayaan Tionghoa.
23
3.2.1.1
Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah tehnik
wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung kepada
subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat
Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara
umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik
bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”
Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa rumah pada
keluarga etnik Tionghoa, Rumah Abu, dan Vihara yang ada dikota Medan. Penulis
menggunakan metode wawancara terutama dengan informan kunci yaitu orang yang
banyak mengetahui dan mengerti tentang penghormatan leluhur. Biasanya mereka
adalah orang-orang yang memiliki dan mengurus meja abu.
Metode wawancara yang penulis gunakan adalah:
1. Wawancara tak berencana atau unstandardized interview. Walaupun dalam
wawancara masalah-masalah yang dipertanyakan tidak menggunakan daftar
pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu pedoman yang berisikan garis
besar pokok masalah yang ingin penulis peroleh informasinya.
2. Wawancara sambil lalu atau Casual Interview. Bentuk wawancara ini penulis
gunakan juga terhadap beberapa pengurus kelenteng yang masih memelihara
meja abu.
3.2.2 Observasi
Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan
pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berati tidak
melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Dalam mengumpulkan
24
data salah satu tehnik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan secara
langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti.
Dalam
penelitian
ini
penulis
hanya
mengadakan
dua
kali
pengamatan/observasi secara langsung terhadap ritual penghormatan leluhur ini.
3.2.3 Studi Kepustakaan
Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir
dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Kegiatan ini
dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna melengkapi apa
yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil wawancara.
Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah
dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber bacaan yang menjadi
tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, jurnal, makalah,
artikel dan berita-berita dari situs internet.
3.3 Data dan Sumber Data
Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi
setiap penulis untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada upacara-upacara
keagamaan budaya khas masyarakat Tionghoa di kota Medan. Data-data yang
digunakan diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data
primer adalah berasal dari informan kunci sebagai berikut:
Sumber Data Primer : A Shin
Profesi
: Pengusaha Ban
Alamat
: Jln. Ir.H.Juanda Baru no 89 Medan
25
Sumber Data Primer : Bapak Aweng
Profesi
: Pengurus Rumah Abu
Alamat
: Medan
Yang dimaksud dengan informan kunci atau informan pangkal, juga disebut
narasumber kunci (key informant) adalah seorang pemberi data, yang memiliki
kapasitas dan kapabilitas terhadap permasalah yang diajukan dalam penelitian. Data
yang diperoleh informan kunci inilah yang menjadi bahan kajian utama dalam
penelitian kualitatif. Dengan demikian, penelitian kualitatif sangat bergantung dari
data yang diperoleh dari informan kunci.
Selanjutnya sumber data sekunder adalah sebagai berikut.
Sumber data sekunder: Sekilas Budaya Tionghoa
Halaman
:
Percetakan
:
Penerbit
:
3.4 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau
menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh pertanyaan.
Adapun proses yang dilakukan adalah:
1. Mewawancarai beberapa keluarga Tionghoa dan beberapa tokoh masyarakat
Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan tulisan ini, serta
mendapatkan informasi tentang tradisi penghormatan leluhur .
26
2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat
mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling penting
dan penyusunannya secara sistematis.
3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat kesimpulan
dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat penelitian ini.
3.4.1 Lokasi Penelitian`
Lokasi penelitian berada di beberapa tempat di Kota Medan khususnya di
jalan Ir. H. Juanda Baru dan Jl. Boulevard Utara No.8 Komplek Vihara Cemara Asri
Medan. Pemilihan lokasi penelitian ini, karena disini terdapat masyarakat Tionghoa
yang masih melakukan tradisi penghormatan leluhur, sehingga penulis lebih mudah
untuk mewawancarai masyarakat Tionghoa.
27
BAB IV
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA MEDAN DALAM
KONTEKS MASYARAKAT TIONGHOA DUNIA
Pada Bab IV ini penulis akan mendeskripsikan gambaran umum masyarakat
Tionghoa di Kota Medan dalam konteks masyarakat Tionghoa di seluruh dunia,
khususnya negeri asalnya Daratan Cina. Ini dilakukan dalam rangka mengungkapkan
fenomena di balik perilaku sosiobudaya yaitu penghormatan leluhur. Adanya
aktivitas budaya bagaimanapun haruslah didukung ole hide-ide atau gagasan budaya
yang diwariskan secara turun-temurun.
Kerja keilmuan seperti ini adalah lazim digunakan dalam disiplin antropologi.
Disiplin ini adalah mengkaji manusia dengan kebudayaannya yang mengandung
unsur-unsur: agama, bahasa, teknologi, ekonomi, pendidikan, organisasi social, dan
kesenian. Dalam tulisan ini berarti bahwa mengkaji perilaku penghormatan kepada
leluhur, tidak bisa dilepaskan bahkan harus dilihat secara holistic bersama-sama
dengan unsure kebudayaan lainnya. Kerja seperti ini dalam antropologi lazim disebut
sebagai studi etnografi.
Etnografi berasal dari istilah ethnic yang arti harfiahnya suku bangsa dan
graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis
karya antropologis khusus dan penting yang mengandung bahan-bahan kajian pokok
dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok
etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil,
dengan hanya beberapa ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang
berjumlah relatif besar, berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog yang membuat
28
karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang
besar ini.
Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Minangkabau misalnya, maka seorang
antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Minangkabau Desa Sungai Puar,
atau lebih besar sedikit, masyarakat Minangkabau Kabupaten Lima Puluh Koto, atau
masyarakat Minangkabau Pasisie, atau Minangkabau rantau termasuk di Negeri
Sembilan Malaysia, dan seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi,
yaitu etnologi.
Arti etnologi berbeda dengan etnografi.
Istilah etnologi adalah
dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang
mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan
antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh para ilmuwannya atau
dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia. Jadi pendekatan etnografi melihat
manusia dengan kebudayaan yang dihasilkannya secara meluas. Demikian pula yang
penulis lakukan dalam studi ini.
2.1 Latar Belakang Sosial Masyarakat Tionghoa
Masyarakat Tionghoa di Indonesia memiliki kebudayaan yang berbeda
dengan kebudayaan-kebudayaan etnik dan ras
lainnya.
Namun demikian, di
kalangan masyarakat Tionghoa dan etnik-etnik di Indonesia juga setuju bahwa orang
Tionghoa memiliki asal-usul tempat budayanya yang kemudian migrasi ke Indonesia
beberapa abad yang lalu. tempat asal atau wilayah budaya awal mereka adalah
daratan Cina.
Secara umum Etnik Tionghoa di Indonesia membuat linkungannya sendiri untuk
dapat hidup secara ekslusif dengan tetap mempertahankan kebudayaan atau tradisi
leluhur. Ong Hok Khan (dalam Ning, 1992) menyatakan bahwa ekslusivisme orang
29
Tionghoa itu disebabkan oleh kehendak mereka sendiri, bukan disebabkan oleh
pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai kelompok minoritas.
Etnik Tionghoa adalah salah satu kelompok masyarakat nonpribumi yang
berimigrasi ke Indonesia. Selain prang Tionghoa, ada juga masyarakat Tamil, sikh,
Hindustan, Arab, dan Eropa, yang datang dengan berbagai kepentingan sosial ke
Indonesia ini, baik dari masa sebelum Indonesia merdeka atau sesudahnya.
Etnik Tionghoa ini memasuki Indonesia melalui gelombang-gelombang
migrasi yang besar baik dari Malaysia (Malaya) ataupun Dataran Cina. Mereka
didatangkan ke Medan dan Sumatera Utara, karena tenaganya dibutuhkan di
perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah kolonial
Belanda di abad ke-19. Seperti diketahui Sumatera Utara memiliki tembakau Deli
yang dikelola oleh pengusaha Belanda yang diketuai oleh Jacobus Nienhuijs.
Sebahagian orang Tionghoa ada yang beradaptasi dengan masyarakat setempat.
Namun ada pula yang berperilaku eksklusif, yang mengakibatkan kehidupan mereka
terpisah dari kelompok masyarakat pribumi.
2.2 Latar Belakang Budaya Masyarakat Tionghoa
Budaya Tionghoa telah masuk ke Indonesia lebih dari seribu tahun yang lalu,
melalui arus perpindahan penduduk dan perdagangan orang-orang Tionghoa yang
berasal dari China Selatan. Orang-orang Tionghoa yang masuk mulai mendirikan
pemukiman. Adat istiadat, agama, budaya masyarakat Tionghoa yang mereka bawa
kemudian terserap ke dalam budaya dan kepercayaan penduduk asli.
Selain itu masyarakat Tionghoa melakukan akulturasi dan beradaptasi dengan
masyarakat Indonesia. Mereka berhasil dalam berbisnis serta mempertahankan
identitas budayanya, termasuk bahasa dan keyakinan terhadap agama mereka. Begitu
30
juga tradisi menghormati leluhurnya, yang menjadi bahagian yang tidak terpisahkan
dengan system religi mereka.
2.3 Struktur Kekerabatan Masyarakat Tionghoa
Dalam proses interaksi sosial dan mempertahankan keberadaan diri dan
keturunannya, masyarakat Tionghoa menggunakan sistem kekerabatannya yang khas.
Saat kehidupan etnik Tionghoa sudh menetap, mereka membentuk perkampungan
yang mula-mula terdiri dari garis keturunan ayah. Mulai dari semua saudara laki-laki
ayah dengan anak laki-lakinya dan keluarga kakek dengan saudara laki-lakinya. Hal
ini yang kemudian menjadi dasar pengelompokan sistem kekluargaan patrilineal.
Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga batin melainkan keluarga luas
yang viriolokal.
Dalam sistem keluarga inti yang memegang peranan penting adalah sang
ayah dan semua anak laki-lakinya. Saat ayah meninggal dunia, putra tertuanya yang
akan menggantikan posisi sang ayah di dalam keluarganya. Jikalau anak laki-laki
dari etnik Tionghoa menjadi anak angkat dari marga lain, maka hubungannya
dengan garis keturunan ayahnya akan terputus. Si anak ini akan mengikuti garis
keturunan ayah angkatnya. Dengan sistem seperti itu, maka kedekatan dengan
kerabat ayah diutamakan, tetapi dalam perkembangannya kedekatan dengan kerabat
ibu juga tidak memiliki batasan.
2.4
Masyarakat Tionghoa di Kota Medan dalam Konteks Indonesia
2.4.1
Asal-Usul Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Para imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia, sebahagian besarnya
berasal dari kelompok etnik Han. Daerah budaya mereka ini adalah di daerah yang
31
sekarang merupakan Provinsi Fujian dan Guangdong di Cina Selatan, daerah ini
dikenal dengan keragaman wilayahnya (Suryadinata, 2008:12). Sejumlah besar etnik
Han, yakni juga kelompok etnik terbesar di dunia, tinggal di Asia Tenggara (Skinner,
1963:101). Sebahagian besar orang Tionghoa Indonesia, baik yang merupakan
keturunan patrilineal dari para imigran awal maupun para imigran baru, lahir di Cina
daratan (Gernet, 1996:6).
Sebagai kelompok pertama orang Tionghoa yang menetap dalam jumlah yang
besar, bangsa Hokkien dari Fujian Selatan merupakan kelompok imigran yang
mendominasi hingga pertengahan abad ke-19. Kebudayaan maritim sambil
berdagang mereka dipercaya muncul dari kegiatan berdagang mereka sewaktu di
Indonesia. Keturunan suku Hokkien adalah kelompok etnik yang dominan di
Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan pantai barat Sumatera.
Selain itu ada juga suku Tiochiu, bangsa yang menetap di sebelah selatan
daerah Hokkien, dapat dijumpai di seluruh pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau,
dan Kalimantan Barat. Suku Tiochiu ini memilih bekerja sebagai buruh perkebunan
di Sumatera, tetapi kemudian menjadi pedagang di daerah dimana tidak derdapatnya
bangsa Hokkien (Skinner, 1963:97).
Selanjutnya Bangsa Hakka. Tidak seperti bangsa Hokkien dan Tiochiu,
bangsa Hakka berasal dari daerah pedalaman Pegunungan Guangdong dan tidak
mengenal budaya maritim (Skinner, 1963:97). Dikarenakan daerahnya yang sangat
tidak produktif dalam menghasilkan sumber daya alam di daerah asal mereka, bangsa
Hakka memutuskan untuk hijrah keluar dari daerah mereka akibat desakan ekonomi.
Gelombang migrasi mereka terjadi di sekitar tahun 1850 hingga 1930 dan merupakan
yang paling miskin di antara kelompok imigran Tionghoa. Meskipun pada awalnya
mereka menetap di pusat pertambangan di Kalimantan Barat dan Pulau Bangka,
32
bangsa Hakka kemudian didapati bertumbuh dengan pesat di daerah Batavia dan
Jawa Barat pada akhir abad ke-19 (Skinner, 1963:102).
Yang terakhir adalah suku bangsa Kanton. Seperti halnya bangsa Hakka,
orang-orang Kanton terkenal sebagai pekerja tambang di seluruh Asia Tenggara.
Migrasi mereka di abad ke-19 sebagian besar langsung diarahkan menuju daerah
tambang timah di Bangka, lepas pantai timur Sumatera. Mereka juga terkenal sebagai
pengrajin tradisional
yang sangat terampil. Bangsa Kanton mendapatkan
keuntunguan yakni pengetahuan tentang kesuksesan mesin dan industri dari bangsa
Eropa ketika mereka di Guangdong dan Hongkong. Mereka bermigrasi ke Jawa di
waktu yang sama dengan bangsa Hakka, namun untuk tujuan yang berbeda. Di kotakota di Indonesia mereka berprofesi sebagai pengrajin, pekerja mesin, dan memiliki
usaha kecil seperti restoran dan hotel. Orang-orang Kanton tersebar merata di seluruh
Nusantara namun jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang jumlah orang-orang
Hokkien atau Hakka. Kepentingan peran mereka kemudian dinilai sebagai
kepentingan sekunder di dalam komunitas Tionghoa (Skinner, 1963:102).
2.4.2
Awal Kedatangan Bangsa Tionghoa ke Indonesia
Migrasi awal suku bangsa Tionghoa ke Indonesia diperkirakan ketika
kedatangan bangsa Mongolia di bawah arahan Kubilai Khan masuk melalui daerah
maritim Asia Tenggara di tahun 1293. Bangsa Mongol kemudian memperkenalkan
kemajuan teknologi Tionghoa, yang pada saat itu mencakup teknologi pembuatan
kapal dan dalam hal alat tukar, yakni uang berbentuk koin. Kedatangan mereka
diyakini memicu timbulnya kerajaan baru, yakni Majapahit (Reid, 2001:17).
Beberapa sumber mengindikasikan bahwa para pedagang Tionghoa pertama kali tiba
di daerah Ternate dan Tidore, di Kepulauan Maluku untuk membeli cengkeh, namun
33
kemudian mereka diusir keluar oleh para pedagang Jawa seiring berkembangnya
ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit (Reid, 2001: 20-21).
Kemudian di abad ke-15, para pedagang Muslim Tionghoa dari pantai timur
Cina tiba di daerah-daerah pesisir Indonesia dan Malaysia. Para pedagang-pedagang
ini dipimpin oleh Laksamana Mahmmud Cheng Ho (yang beragama Islam), yang
mengepalai berbagai ekspedisi di Asia Tenggara sekitar tahun 1405-1430. Dalam
buku The Overall Survey of the Ocean's Shores (
瀛 涯 勝 覽
), Ma Huan
mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pedagang Muslim
Tionghoa di Nusantara dan peninggalan yang diwarisi oleh Cheng Ho dan anak
buahnya (Ma, 2005: 113-124). Para pedagang ini bermukim di sepanjang pesisir
pantai Jawa, namun kemudian tidak ada data yang mendokumentasikan keberadaan
para pedagang ini setelah abad ke-16. Para Muslim Tionghoa ini diperkirakan telah
melebur ke dalam polulasi Muslim di Asia Tenggara (Tan, 2005: 796).
Dari tahun 1450 hingga 1520, ketertarikan Kerajaan Ming terhadap Asia
Tenggara mencapai titik yang rendah. Perdagangan yang dilakukan, baik secara legal
maupun ilegal, jarang yang mencapai kepulauan ini (Reid, 1999: 52). Bangsa
Portugis juga tidak menyebutkan adanya kependudukan orang Tionghoa ketika
mereka tiba di Indonesia pada awal abad ke-16 (Reid, 2001:33). Kegiatan
perdagangan dari utara mulai kembali terjadi ketika pemerintah Cina melegalkan
perdagangan swasta di tahun 1567 dan mulai mengizinkan lima puluh kapal yang
berlayar per tahun. Beberapa tahun kemudian uang mulai mengalir ke kawasan itu,
dimulai dari Jepang, Meksiko, dan Eropa, dan kegiatan perdagangan mulai
berkembang lagi. Koloni Cina yang berbeda-beda berdatangan ke ratusan pelabuhan
di Asia Tenggara, termasuk juga ke pelabuhan lada di Banten (Reid, 1999: 52).
34
Para pedagang Tionghoa kemudian memboikot para pedagang Portugis
ketika Malaka jatuh ke tangan bangsa Portugis. Di tahun 1511, para pedagang
Muslim membantu etnik Tionghoa di Jawa dalam rangka menduduki kembali daerah
kota dengan menggunakan kapal. Partisipasi orang Tionghoa-Jawa dalam mengambil
alih Malaka dicatat dalam buku “The Malay Annals of Semarang and Cirebon”
(Guillot, Lombard & Ptak, 1998: 179). Pedagang Tionghoa memilih untuk terlibat
kerja sama dalam bisnis dengan orang Melayu dan Jawa ketimbang dengan orang
Portugis (Borschberg, 2004:12).
2.4.3
Kedudukan Masyarakat Tionghoa di Masa Penjajahan Belanda
Sejalan dengan kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia di awal abad ke-17,
mayoritas masyarakat Tionghoa bermukim di sepanjang pantai timur Jawa.
Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang, namun mereka juga melakukan
kegiatan bercocok tanam. Pemerintah kolonial mengontrak banyak dari mereka
sebagai pengrajin yang terampil dalam pembangunan Batavia (sekarang Jakarta) di
pantai barat laut Jawa (Tan, 2005: 796).
Satu pelabuhan buatan dipilih oleh pemerintah Belanda sebagai markas baru
bagi Pemerintah Hindia Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) di
tahun 1609 oleh Jan Pieterszoon Coen. Daerah ini menjadi pusat utama untuk
perdagangan dengan masyarakat Tionghoa dan India. Daerah Batavia menjadi rumah
terbesar bagi komunitas Tionghoa di Nusantara hingga saat ini (Heidhues,
1999:152). Coen dan para gubernur jenderal lainnya mempromosikan masuknya para
imigran Tionghoa ke pemukiman yang baru “untuk kepentingan kedua negara
tersebut dan untuk tujuan mengumpulkan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala”
(Phoa, 1992:9). Jumlah penduduk di pelabuhan tempat masyarakat Tionghoa
35
bermukim berkembang pesat dari 300-400 jiwa di tahun 1619 menjadi setidaknya
10.000 jiwa di tahun 1740 (Phoa, 1992:7). Walau begitu, pemerintah Belanda juga
menerapkan sistem klasifikasi rasial yang memisahkan penduduk keturunan
Tionghoa dari mereka yang merupakan pribumi (Chang, 2010:2).
Mayoritas dari masyarakat Tionghoa yang menetap di Nusantara telah
memutuskan hubungan dengan daerah asal mereka, yakni Cina, dan menyambut
dengan baik perlakuan yang menyenangkan serta perlindungan yang ditawarkan oleh
pihak Belanda (Phoa, 1992:8). Beberapa dari mereka menjadi “petani pajak,”
pedagang perantara di dalam struktur pemerintahan VOC, ditugaskan untuk
mengutip pajak ekspor-impor, mengatur penjualan tanah, dan mengatur kegiatan
panen sumber daya alam (Phoa, 1992:10).
Seswudah meletusnya peristiwa pembantaian besar-besaran di Batavia pada
tahun 1740 dan kemudian diikuti dengan meletusnya perang, pemerintah Belanda
terpaksa membatasi kuota jumlah populasi etnik Tionghoa yang ingin masuk ke
Indonesia. Amoy
yang merupakan pelabuhan di Provinsi Fujian, Cina Selatan,
dijadikan satu-satunya pelabuhan untuk bermigrasi ke Nusantara, dan jumlah kru
serta penumpang dari kapal-kapal yang hendak berlayara dibatasi sesuai dengan
ukuran kapal. Penetapan kuota ini ditetapkan pada waktu itu untuk pemenuhan
keperluan akan pekerja, seperti pada saat di bulan Juli 1802, ketika pabrik gula dekat
Batavia sangat membutuhkan kehadiran tenaga kerja (Hellwig dan Tagliacozzo,
2009: 168).
Ketika VOC dinasionalisasikan oleh Pemerintah Belanda pada 31 Desember
1799, kebebasan yang sebelumnya dirasakan etnik Tionghoa di bawah kerjasama
dengan pihak koloni dihapuskan oleh pemerintah Belanda. Salah satu bentuk
penghapusan yang didapatkan adalah pemerintah VOC mengubah monopoli yang
36
selama ini diterapkan oleh etnik Tionghoa terhadap perdaganan garam (Phoa,
1992:11).
Satu proses sosial regulasi pada tahun 1816 memperkenalkan sebuah syarat
bagi penduduk pribumi dan orang Tionghoa yang hendak melakukan perjalanan di
dalam wilayah pemerintahan Belanda harus mengurus izin perjalanan terlebih
dahulu. Khusus bagi mereka yang kedapatan tidak membawa surat izin beresiko
besar untuk ditangkap dan ditahan oleh petugas. Gubernur jenderal juga
memperkenalkan sebuah resolusi di tahun 1852 yang berisikan larangan bagi “orang
Asia dari daerah yang tidak sama, seperti Melayu, Bugis, dan Tionghoa” untuk hidup
dalam lingkungan yang sama sebagai penduduk asli (Phoa, 1992:12).
Setelah berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) yang menghabiskan dana
sangat banyak, pemerintah Belanda memperkenalkan sistem agraria dan budidaya
pertanian baru yang memaksa para petani untuk “menghasilkan produksi sebagian
dari lahan mereka dan mengembangkan tanaman yang cocok untuk pasar Eropa.”
Sistem tanam paksa memulihkan perekonomian Belanda, tetapi di lain sisi
mengakhiri sistem pajak tanah yang telah dilakukan dibawah pemerintahan VOC.
Orang Tionghoa dianggap sebagai penduduk sementara dan menghadapi
kesulitan dalam memperoleh hak atas tanah. Bangsa Eropa yang ada disitu
diprioritaskan dalam memilih areal perkebunan, sementara para pejabat kolonial
percaya bahwa daerah-daerah yang tersisa harus dilindungi dan dilestarikan bagi
penduduk pribumi. Sistem sewa jangka pendek dan yang dapat diperpanjang
kemudian diperkenalkan sebagai tindakan sementara, namun sebagian besar etnik
Tionghoa memilih untuk menetap di lahan-lahan tersebut ketika berakhirnya kontrak
dan akhirnya menjadi penghuni liar (Phoa, 1992:13) Pada paruh kedua abad ke-19,
pemerintah kolonial kemudian bereksperimen dengan sebuah ide, yakni “Politik
37
Etis” untuk melindungi para penduduk pribumi dan kemudian menjadikan etnik
Tionghoa sebagai “musuh utama negara”. Di bawah kebijakan baru ini pemerintah
kolonial meningkatkan pembatasan pada kegiatan perekonomian etnik Tionghoa
(Heidhues, 2001:179).
Di Kalimantan bagian barat, masyarakat Tionghoa mendirikan pemukiman
pertambangan besar pertama mereka pada tahun 1760 dan menggulingkan
kependudukan Belanda dan para pangeran Melayu lokal, termasuk membentuk
republik mereka sendiri di Republik Lanfang. Pada tahun 1819 mereka terlibat
konflik dengan pemerintah Belanda yang baru dan dipandang sebagai sesuatu yang
“tidak sesuai” dengan tujuan mereka, namun di lain sisi sangat diperlukan untuk
kepentingan pengembangan kawasan ini (Phoa, 1992:14).
Kepulauan Bangka Belitung (Bangka Biliton) juga menjadi contoh dari
pemukiman utama etnik Tionghoa di daerah pinggiran. Tercatat hanya 28 orang etnik
Tionghoa yang tinggal di pulau itu di tahun 1851, namun di tahun 1915 jumlah
populasinya meningkat pesat menjadi hampir 400.000 jiwa. Industri perikanan dan
tembakau menjadi mata pencaharian utama dan berkembang pada masa itu. Para kuli
didatangkan ke wilayah ini sesudah akhir abad ke 19. Sebagian besar kuli disewa
dari daerah Negeri-Negeri Selat1 karena kendala perekrutan yang terjadi di Cina pada
saat itu (Phoa, 1992:16).
2.5 Etnografi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan
2.5.1 Tinjauan Historis Masyarakat Tionghoa di Medan
1
Negeri-negeri Selat (Straits Settlements) adalah sekelompok wilayah kekuasaan Perusahaan
Hindia Timur Britania yang diberikan pemerintahan terkelompok sejak tahun 1926. Negeri-Negeri
Selat ini terdiri dari negeri Penang, Melaka, dan Singapura. Ketiga negeri ini dahulu di bawah jajahan
Britania (Inggris). Kini semua negara-negera merdeka bekas jajahan Inggris membentuk sebuah
persekutuan yang disebut dengan Commonwealth Countries atau Negara-Negara Persemakmuran
Inggris. Di dalamnya termasuklah Malaysia, Singapura, Australia, Bangladesh, India, Pakistan,
Selandia Baru, Kanada, dan lain-lainnya.
38
Dalam bukunya yang bertajuk The Overall Survey of the Ocean's Shores (瀛涯
勝覽),
Ma Huan mengungkapkan bahwa daerah Haru (Sumatera Timur) dapat dicapai
dari Malaka dalam waktu pelayaran empat hari empat malam. Ma Huan
menggambarkan keadaan demografi pada saat memasuki negeri itu yakni terdapat
teluk air tawar, di sebelah barat ada pegunungan besar, di sebelah timur laut ada laut,
sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasai, dan di sebelah selatan negerinya
merupakan daratan. Di dalam peta yang digambar oleh Mao K’un, Ma Huan
menceritakan bahwa kota Haru terletak di Delitua (Fatima, 1991).
Sejalan dengan Ma Huan, Anderson pada tahun 1823 pernah memasuki
daerah Deli melalui Fresh Water Channel (Terusan Air Tawar), kota Cina―saat itu
labuhan Deli―merupakan pelabuhan bagi Haru hingga abad ke ke-13 dimana pada
akhirnya pelabuhan itu hancur. Banyak dugaan yang menjelaskan kehancuran
pelabuhan itu, yakni akibat penyerangan Kerajaan Majapahit pada tahun 1350 M,
atau diakibatkan oleh meletusnya Gunung Sibayak yang menyebabkan gempa
dahsyat dan menimbun semua ritus-ritus Tionghoa tersebut (Fatima, 1991).
Hingga kemudian ketika memasuki masa kolonial Belanda, daerah Deli
didatangi oleh orang-orang Tionghoa dikarenakan terdapatnya banyak perkebunan di
sana. Meskipun pada saat itu bangsa Tionghoa sebagian besar berprofesi sebagai
buruh perkebunan, namun menurut catatan sejarah terdapat orang Tionghoa yang
pertama kali diangkat menjadi Mayor oleh pemerintah Belanda, dia adalah Tjong
Yong Hian, dan berselang beberapa lama kemudian, Tjong A Fie diangkat sebagai
Mayor menggantikan posisi Tjong Yong Hian (Fatima, 1991:67).
Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia, setiap keturunan Tionghoa
kemudian diintegrasikan serta dibaurkan ke dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia berdasarkan asas-asas Pancasila. Sejak saat itu juga, bangsa
39
Tionghoa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, termasuk ke daerah Sumatera.
Pemerintahan Pantai Timur Sumatera dibagi ke dalam lima wilayah, yaitu Deli dan
Serdang, Langkat, Asahan, Bengkalis, Simalungun dan Karo. Pada tahun 1980-an
daerah ini dikenal sebagai daerah yang miskin dengan jumlah penduduk yang sangat
sedikit. Hingga akhirnya pengusaha Belanda, J. Nienhuis menemukan wilayah Deli
dan merintis usaha perkebunan tembakau, sejak saat itulah wilayah Deli semakin
dikenal. Akibatnya, banyak pendatang-pendatang Tionghoa yang tertarik untuk
bekerja di perkebunan yang ada di Sumatera, khususnya Deli.
Adanya perluasan dalam bidang perkebunan tembakau, karet, dan teh, serta
dimulainya kegiatan pengeboran minyak di Langkat pada tahun 1920-an
menyebabkan ribuan etnik Tionghoa berbondong-bondong dan kemudian bermukim
di Pantai Timur Sumatera untuk memulai usaha seperti berdagang dan bertukang.
Kebanyakan dari mereka datang dengan kondisi yang melarat, namun sesuai dengan
etos kerja mereka yang sangat giat dan gigih, perlahan tapi pasti berubah menjadi
pedagang yang sangat makmur. Bahkan sampai saat ini mereka mengukuhkan diri
sebagai pedagang yang sukses. Mereka memperluas jenis usaha mereka demi
meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga dapat terus bertahan hingga kini.
Hingga saat ini jumlah etnik Tionghoa di kota Medan kian bertambah,
bahkan di kota Medan sendiri terdapat daerah-daerah tertentu yang jumlah
masyarakat Tionghoa-nya banyak dijumpai. Berikut ini gambaran penduduk
Tionghoa menurut wilayah administrasi di kota Medan dilihat secara per kepala 2
adalah sebagai berikut.
2
Hasil pengolahan data SP 2000 BPS Kota Medan
40
Tabel 1:
Statistik Penduduk Masyarakat Tionghoa di Medan Tahun 2000
Kecamatan
Medan Tuntungan
Medan Johor
Medan Amplas
Medan Denai
Medan Area
Medan Kota
Medan Maimun
Medan Polonia
Medan Baru
Medan Selayang
Medan Sunggal
Medan Helvetia
Medan Petisah
Medan Barat
Medan Timur
Medan Perjuangan
Medan Tembung
Medan Deli
Medan Labuhan
Medan Marelan
Medan Kota Belawan
Jumlah
2.5.2
Pria
77
4.958
368
3.011
14.877
12.245
4.402
3.269
572
519
6.110
1.388
8.502
9.198
9.885
6.146
5.600
3.470
2.603
1.713
1.792
100.705
Wanita
58
4.757
355
2.957
15.369
12.988
4.484
3.343
588
465
5.920
1.286
8.814
9.717
10.309
6.379
5.386
3.193
2.520
1.545
1.701
102.134
Bahasa
Empat kelompok bahasa utama yang ada di Indonesia adalaha Hokkien,
Mandarin, Hakka, dan Kanton, sedangkan orang Tiochiu berbicara dengan dialek
yang hampir sama dengan bahasa Hokkien. Tercatat sekitar 2 juta penutur asli bahasa
dari ragam dialek Tionghoa yang berbeda terdapat di Indonesia pada tahun 1982,
yakni 700.000 penutur rumpun bahasa Min Nan (termasuk didalamnya bahasa
41
Hokkien dan Tiochiu); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa
Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton, dan 20.000 penutur rumpun bahasa Dong
Min (termasuk Xinghua). Sisanya, diperkirakan 20.000 berbicara dalam bahasa
Indonesia (Lewis, 2005: 391).
Banyak orang Indonesia, termasuk orang Tionghoa percaya adanya pengaruh
dialek bahasa Melayu dalam bahasa Tionghoa di Indonesia, secara lokal dikenal
sebagai bahasa Melayu-Tionghoa atau Melayu-Cina. Pertumbuhan karya sastra
“peranakan” di paruh kedua abad ke-19 memunculkan semacam varian dalam bahasa
Tionghoa. Karya sastra ini dipopulerkan melalui kisah-kisah silat (seni bela diri)
yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa atau ditulis dalam bahasa Melayu dan
Indonesia.
Para ahli bahasa yang membahas tentang bahasa Melayu-Tionghoa kemudian
mencatat bahwa tidak semua etnik Tionghoa menggunakan dialek Melayu yang sama
di setiap daerah di Nusantara (Kahin, 1991:55). Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa
meski pemerintah kolonial Belanda merupakan pihak yang pertama kali
memperkenalkan ortografi berbahasa Melayu di tahun 1901, namun surat-surat kabar
Tionghoa tidak mengikuti standar ini hingga masa setelah kemerdekaan (Kahin,
1991:61). Dilihat dari faktor-faktor ini, etnik Tionghoa dianggap memainkan sebuah
“peranan penting” dalam perkembangan bahasa Indonesia modern (Kahin, 1991:65).
2.5.4
Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa
Hanya sedikit saja ditemukan karya ilmiah yang membahas tentang
kehidupan beragama etnik Tionghoa-Indonesia. Buku keluaran Prancis di tahun 1977
berjudul Les Chinois de Jakarta: Temples et V́ ie Collective (“The Chinese of
Jakarta: Temples and Collective Life”) adalah satu-satunya studi yang membahas
42
kehidupan beragama orang Tionghoa di Indonesia (Coppel, 2002: 256). Kementerian
Agama menetapkan agama yang resmi diakui di Indonesia, yaitu Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Atas dasar Undang-Undang Administrasi
Kependudukan Tahun 2006 mengakibatkan tidak mungkinnya masyarakat Indonesia
memilih agama di luar dari enam kepercayaan yang telah diresmikan negara untuk
dicantumkan di kartu tanda pengenalnya.
Menurut data sensus tahun 2000, hampir 90 persen orang-orang Tionghoa
Indonesia memeluk agama Buddha dan Kristen Katolik dan Protestan (Ananta,
Arifin, dan Bakhtiar, 2008:30). Perpindahan agama dari “agama tradisional
Tionghoa” menjadi agama Kristen banyak terjadi pada generasi muda. Tidak jarang
didapati di dalam sebuah keluarga yang anak-anaknya sudah memeluk Kristen,
namun orangtua mereka masih memeluk agama tradisional (Kahin, 1991:122).
Gelombang pertama perpindahan dari agama tradisional menjadi agama
Kristen terjadi di rentang tahun 1950 hingga 1960an, sebagai respon adanya
intoleransi terhadap budaya Tionghoa, dan jumlah orang Tionghoa yang memeluk
agama Katolik selama periode ini meningkat hingga lebih dari 400 persen.
Gelombang kedua terjadi setelah pemerintah mencabut status agama Khonghucu
sebagai agama yang diakui oleh negara di tahun 1970an. Diperkirakan pada tahun
2006 bahwa 70 persen dari populasi Tionghoa memeluk agama Kristen. Pengamat
demografi Aris Ananta melaporkan pada tahun 2008 “bukti bersifat anekdot”
menunjukkan bahwa sebagian besar etnik Tionghoa yang beragama Buddha menjadi
agama Kristen sejalan dengan meningkatnya taraf pendidikan mereka.
Indonesia, yang hampir 90 persen penduduknya adalah beragama Muslim,
etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam sangatlah sedikit. Sensus di tahun 2003
menyebutkan bahwa hanya 5,41 persen etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam
43
(Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008: 30). Asosiasi seperti Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia (PITI) telah berdiri sejak akhir abad ke-19. PITI kemudian dibentuk
kembali di tahun 1963 sebagai organisasi modern, namun acapkali mengalami
periode tidak aktif (Ma, 2005: 120).
Khonghucu menduduki posisi terakhir dengan menyumbang 3,91 persen dari
total populasi Tionghoa Indonesia (Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008: 30). Majelis
Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan bahwa 95 persen
penganut Khonghucu di Indonesia adalah etnik Tionghoa. Meskipun pada akhirnya
pemerintah telah kembali menetapkan Khonghucu sebagai agama yang diakui resmi
di Indonesia, masih banyak pemerintah daerah yang tidak mematuhi keputusan itu
dan menolak masyarakat etnik Tionghoa untuk menetapkan agama Khonghucu di
kartu tanda pengenal mereka (Suryadinata, 2008:10).
44
BAB V
FUNGSI, MAKNA, DAN DESKRIPSI UPACARA PENGHORMATAN
LELUHUR DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA
TERMASUK DI KOTA MEDAN
5.1 Latar Belakang Pemikiran Penghormatan Leluhur
5.1.1 Konsep Supranatural
Religi yang tertua di China, seperti juga pada masyarakat agrikultur lainnya
memusatkan perhatian pada penghormatan kepada leluhur, kekuatan alam, serta
kesuburan. Di awal peradaban masyarakat pada masa itu, dunia ini penuh dengan
kekuatan-kekuatan yang memanifestasikan dirinya pada kehidupan binatangbinatang dan tumbuhan, di langit dan di air, pada proses kelahiran, pertumbuhan,
penyakit, dan kematian.
Dikatakan bahwa di dunia ini tidak hanya terdiri dari orang-orang yang masih
hidup saja tetapi juga roh-roh dari orang-orang yang telah meninggal, yang
memelihara sumber kehidupan dan menjaga kesuburan makanan dan pertumbuhan.
Orang-orang yang meninggal dianggap masih aktif. Mereka memperlihatkan restu
mereka dengan memberikan kesuburan bagi tanaman dan binatang, serta
keberhasilan dan perburuan, dan peperangan. Tempat yang disediakan untuk
penghormatan bagi mereka menjadi tempat yang suci, yang menganugerahkan
kemakmuran dan kebahagiaan bagi setiap keluarga.
45
Penghormatan terhadap leluhur bersesuaian dan merupakan cabang dari
kepercayaan akan adanya roh-roh. Penghormatan leluhur memiliki asumsi dasar
bahwa manusia dapat berkomunikasi secara langsung dengan roh-roh dari orangorang yang telah meninggal. Konsep awal mengenai jiwa diakui pada masa dinasti
Zhou dimana tubuh manusia dihuni oleh dua jiwa kehidupan (life-soul). Kematian
berarti pemisahan kedua jiwa tersebut dari tubuh. Jiwa kehidupan perlahan-lahan
akan mati. Jiwa kepribadian, bagaimanapun juga dapat bebas dan hidup terus
sepanjang orang mengingatnya dan menjaganya dari kelaparan dengan memberikan
sesaji atau persembahan. Pada masa dinasti Zhou, ide ini tersusun dan terbentuk
menjadi bentuk penghormatan leluhur hingga sekarang.
Seperti diketahui, bahwa masyarakat Tionghoa percaya kepada suatu
kekuatan tertinggi yang dinamakan Tian ( 天 ) atau Tuhan. Tian menempati
kedudukan tertinggi pada struktur hierarki dalam dunia roh. Di samping itu, dunia
ini tersusun dari dua buah kekuatan yang saling mengimbangi yaitu Yin dan Yang.
Ying mewakili kewanitaan, kegelapan, dingin, kelembapan, kelembutan, dan
kepasifan. Sedangkan Yang mewakili kejantanan, terang, kehangatan, kekeringan,
kekerasan, keaktifan dan lain sebagainya. Segala kejaiban alam merupakan hasil dari
interaksi dari kedua kekuatan ini yang terus menerus saling mempengaruhi.
Dalam kitab Li Ji tercantum bahwa manusia adalah hasil dari substansi
kebajikan. Yang merupakan perpaduan dari langit dan bumi. Manusia juga terbentuk
dari komposisi dan kerja sama dari Yin dan Yang, serta persatuan dari gui (hantu) dan
shen (leluhur). Gui (hantu) adalah jiwa material (material soul) yang terbentuk dari
substansi Yin. Pada manusia yang masih hidup, dia bekerja dengan sebutan po. Pada
waktu mati, gui akan kembali ke bumi. Sedangkan shen adalah jiwa imaterial
(immaterial soul) yang terbentuk dari substansi Yang. Ketika bekerja secara aktif
46
dalam tubuh manusia yang masih hidup. Disebut qi atau nafas dan hun. Dalam kitab
Li Ji juga tercantum bahwa hun atau qi kembali ke akhirat dan tubuh atau po kembali
ke bumi; qi atau hun ketika terpisah dari tubuh akan hidup terus sebagai roh.
Dalam percakapan tentang jiwa manusia, Konfusius menyatakan bahwa
upacara syukur terhadap gui dan shen diperlihatkan dalam dua buah upacara ibadah
persembahan. Ibadah dilakukan dalam persembahan pagi hari. Pengucapan syukur
kepada qi dilakukan dengan pembakaran sesaji. Daging persembahan dibakar untuk
menghasilkan aroma, keharumannya lebih dinyatakan lagi oleh nyala kayu yang
wangi. Dengan cara ini setiap orang diajarkan untuk mengingat kembali leluhurnya
terdahulu.
Ibadah
pengucapan
syukur
kepada
po
dilakukan
dengan
mempersembahkan gandum, padi sisertai hati, paru-paru, kepala, jantung dari
binatang-binatang kurban, serta dua mangkuk arak biasa dan arak yang harum.
Persembahan ini mengajarkan manusia untuk saling mencintai sesamanya.
Perwujudan kasih sayang antara atasan dan bawahan ini merupakan upacara yang
terpenting. Persembahan yang dilakukan untuk qi atau shen dikirim melalui substansi
yang sama. Substansi ini sendiri merupakan komposisi dari api, panas dan terang
sebagaimana yang dipancarkan Yang.
Di samping itu juga, tempat persembahan diterangi oleh bakaran kayu dan
berlangsung pada saat matahari mulai bersinar. Dipihak lain, barang-barang
persembahan yang ditujukan bagi po tidak dibakar karena bagian ini adalah
kompisisi dari materai dimana penguapan dari makanan dan minuman lain tidak
diperlukan. Perasaan syukur kepada shen dan gui ini diwujudkan dalam bentuk
upacara-upacara korban atau sesaji.
Animisme di Tiongkok yang berkembang dalam masyarakatnya sudah ada
sejak mengenal peradaban, tetap berakar dengan adanya upacara-upacara
47
sembahyang dan persembahan sesaji bagi dewa-dewa alam raya dan roh-roh nenek
moyang. Sebahagian besar kehidupan masyarakat lebih banyak memperhatikan
bagaimana memuja roh-roh ini. Penyakit, kemalangan, ketidakberuntungan,
semuanya merupakan hasil dari kegiatan dalam dunia roh. Oleh karena itu, dirasakan
sangat perlu untuk dilakukan upacara-upacara keagamaan untuk menenangkan rohroh atau jiwa-jiwa ini.
Dalam kehidupan tradisional masyarakat Tionghoa, masyarakat percaya
bahwa roh-roh leluhur, baik di kuburan-kuburan ataupun di akhirat tetap bersama
dan selalu menjaga serta mengawasi mereka. Keberuntungan serta kemalangan
sebuah keluarga diawasi oleh arwah leluhur mereka. Ketika roh-roh sedang senang,
keluarga akan menerima berkatnya, tetapi pada saat mereka diabaikan, kesulitan
akan dialami. Roh-roh ini harus diundang dan diikut sertakan dalam setiap acaraacara khusus seperti perayaan-perayaan tradisional, upacara perkawinan dan
kelahiran. Pada kesempatan-kesempatan tersebut juga harus dilakukan upacara
sembahyang bagi mereka di kuburan, rumah abu, atau pun pada meja abu leluhur.
Hubungan kekeluargaan ini sangat nyata dilakukan pada saat tahun baru, dimana
keluarga yang masih hidup merasakan bahwa leluhur mereka benar benar tengah
bersama mereka.
Orang Tionghoa percaya bahwa kesejahteraan dari roh-roh orang yang telah
meninggal tergantung dari penghormatan dan persembahan yang diberikan oleh
keturunan-keturunan yang masih hidup, sehingga adanya keturunan dianggap sangat
penting guna meneruskan upacara penghormatan terhadap leluhur. Upacara
penghormatan dan persembahan bagi leluhur dilakukan oleh anak laki-laki dalam
keluarga. Oleh karena itu tidak ada yang lebih penting daripada memiliki seorang
anak laki-laki. Penghormatan leluhur juga dilakukan karena terdapat unsur ketakutan
48
dan kekhawatiran pada roh-roh yang mati, dimana mereka dapat kembali untuk
membalas dendam pada keluarga yang tidak setia dalam melakukan ibadah.
Menurut kepercayaan, roh-roh ini memiliki sifat-sifat duniawi. Mereka
menjadi halus setelah berada dalam dunia roh, namun tetap dilengkapi dengan sifatsifat mereka semula. Roh-roh ini tetap mempunyai kebutuhan seperti layaknya ketika
mereka masih hidup. Barang-barag miniatur yang terbuat dari kertas yang
menyerupai rumah, mobil, pakaian, uang dan lain-lain dikirim ke dunia roh melalui
pembakaran yang disertai dengan doa-doa. Hal ini hanya dilakukan sekali yaitu pada
waktu seorang meninggal dunia.
Selanjutnya mereka tetap membutuhkan perhatian dari sanak keluarganya
yang masih hidup dalam bentuk sembahyang serta sesaji. Benda-benda yang dikirim
tidak hanya terbatas untuk roh-roh dari keluarga yang telah meninggal saja. Namun
ditujukan pula bagi roh-roh pengemis yang berkemungkinan besar telah diabaikan
oleh keluarga mereka atau bagi roh-roh yang tidak memiliki keluarga yang masih
hidup, roh-roh dari orang yang meninggal di laut, kelaparan atau diluar negeri.
Masyarakat Tionghoa percaya bahwa mereka dapat memanggil shen atau hun
kembali kerumah asalnya melalui shen wei. Shen wei dibuat ketika seseorang
meninggal dunia. Shen wei diperlukan sebagai tempat bagi hun. Ketika tubuh
seseorang yang meninggal dimakamkan, roh nya akan menempaatkan diri pada shen
wei sebagai kediamannya. Shen wei diletakan di rumah, dengan kepercayaan bahwa
kekuatan dari hun dapat menjadi pelindung rumah serta keluarga yang ditinggalkan.
Saji-sajian yang dimaksudkan sebagai persembahan diletakkan diatas meja
abu leluhur dihadapan papan leluhur pada saat-saat tertentu seperti pada hari-hari
raya tradisional, hari kelahiran dan kematian leluhur. Setiap hari teh disediakan dan
diletakkan dihadapan shen wei. Menurut kepercayaan, aroma dari teh tersebut
49
dinikmati oleh roh-roh dari leluhur. Sesajian yang diberikan, berbeda-beda menurut
tingkatan ekonomi dalam masyarakat, tergantung dari kemampuan keluarganya.
Pada umumnya, persembahan yang diberikan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk
tukar-menukar, dimana dengan mempersembahkan saji-sajian bagi leluhur serta rohroh lainnya diharapkan akan menerima berkat, kebahagiaan dan panjang umur.
Konfusius menyalahkan sikap semacam itu. Ia percaya bahwa persembahan
kurban tradisional dilakukan bukan disebabkan karena mengharapkan sesuatu dari
roh-roh tersebut melainkan merupakan suatu hal yan patut dilakukan, seperti
layaknya seorang yang menjamu sahabat-sahabatnya. Konfusius mengajarkan etika
moral dan harmonisasi dalan hubungan manusia. Pengaruh kemanusiaan dalam
filsafatnya menyebabkan pemikiran supernatural dalam masyarakat Tionghoa
semakin lama semakin berkurang.
Konfusius tidak pernah menyinggung tentang gagasan akan kehidupan
setelah mati, namun ia tidak melarang adanya upacara penghormatan leluhur.
Penghormatan leluhur tidak di pandangnya sebagai suatu hal yang bersifat religius
tetapi sebagai bentuk peringatan serta perwujudan kasih sayang terhadap orang tua
serta leluhur yang telah meninggal dan juga untuk memelihara tradisi keluarga dan
menjadi contoh bagi anak dan cucu yang masih hidup.
5.1.2 Konsep Bakti
Tata kehidupan moral yang berlaku dalam msyarakat Tionghoa didasarkan
atas Konfusianisme, yaitu mengajarkan tentang falsafah moral. Konfusius
meletakkan dasar berpikir humanistis dalam masyarakat. Sistem etika yang diajarkan
Konfusius menyangkut keselarasan hubungan manusia. Di antara segala bentuk
hubungan sosial, Konfusius memberikan penekanan pada hubungan moral dalam
50
keluarga, dimana keluarga sebagai kelompok sosial terkecil merupakan inti
kesejahteraan dalam masyarakat.
Keluarga merupakan inti dari kehidupan tradisional masyarakat. Sikap serta
penghormatan terhadap orang tua dan nenek moyang, mendasari praktik ajaran moral
keluarga, selanjutnya diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan akhirnya menjadi
dasar dalam kehidupan di seluruh negara. Oleh karena itu, perwujudan dalam
mempraktekan ajaran Konfusius akan tampak nyata dalam upacara-upacara
tradisional. Dalam kehidupan keluarga, hubungan antara ayah dan anak laki-laki
menduduki tempat tempat terpenting, yang merupakan pusat dari sebuat konsep
moral yaitu bakti atau (孝).
Bakti sudah merupakan suatu konsep etika yang penting pada masyarakat
Tionghoa dan sudah ada sebelum masa Konfusius. Bakti merupakan prinsip dan
ajaran moral yang melibatkan hubungan antara ayah dan anak laki-laki dan juga pada
hubungan-hubungan sosial lainnya yang lebih luas.
Dalam masyarakat Tionghoa, kewajiban seorang pria terutama adalah
terhadap orangtuanya. Seorang anak laki-laki tidak boleh berhenti berkorban bagi
orangtua dan juga bagi leluhurnya. Seorang anak yang berbakti tidak terbatas pada
saat orangtua masih hidup saja tetapi diteruskan ketika mereka telah meninggal.
Sikap bakti seorang anak terhadap orang tua dan leluhurnya terus diwujudkan
dalam bentuk pembangunan kuil-kuil leluhur taupun pembuatan meja abu leluhur
dirumah-rumah setiap keluarga untuk tempat ibadah persembahyangan bagi mereka.
Konfusius menganjurkan sikap bakti ini dan mewujudkannya sebagai sikap
perkabungan bagi orang tua dan leluhur dalam jangka waktu yang panjang. Tata
ibadah sembahyang bagi leluhur dilakukan untuk mengenang kembali cinta kasih
orangtua serta nenek-nenek dan kakek yang telah tiada. Mengenang kembali
51
kebajikan dan jasa yang telah dilakukan para leluhur guna dijadikan suri tauladan
bagi perilaku dan tindakan-tindakan anak serta cucu selanjutnya.
Kedua buah konsep diatas merupakan latar belakang dan dasar pemikiran
bagi penghormatan leluhur dalam masyarakat Tionghoa. Penghormatan leluhur yang
telah menjadi tradisi setelah sekian lama, secara tidak langsung juga turut berperan
dalam setiap keluarga Tionghoa.
5.2 Fungsi Penghormatan Leluhur
5.2.1 Kelangsungan Garis Keturunan
Sebagian besar aktivitas rumah tangga dalam keluarga Tionghoa selalu
berhubungan dengan roh leluhur. Keluarga Tionghoa baik secara keseluruhan
maupun secara individu melakukan berbagai hal untuk menyenangkan roh-roh
leluhur mereka. Dalam masyarakat Tionghoa, keluarga merupakan suatu kesatuan
dasar dalam setiap organisasi sosial yang memiliki arti yang sangat penting dan patut
mendapat perhatian secara khusus.
Komposisi keluarga memperlihatkan banyak variasi. Menurut tradisi, ada tiga
bentuk keluarga yang dapat dibedakan dengan jelas yaitu: pertama, keluarga inti
yang terdiri dari suami, istri atau istri-istri dan anak-anak. Kedua, stem family yang
terdiri dari orangtua, anak-anak yang belum menikah, seorang anak laki-laki yang
telah menikah beserta isteri dan anak-anaknya. Ketiga keluarga luas terdiri dari
orangtua, anak-anak yang belum menikah, beserta anak laki-laki yang telah menikah
dan istri-istri dan anak-anak mereka. Keluarga ideal bagi orang Tionghoa adalah
sebuah keluarga luas sebanyak lima generasi yang tinggal di bawah satu atap,
dipimpin oleh seorang kepala keluarga, menggunakan dapur dan sumber keuangan
yang sama.
52
Keluarga Tionghoa menganut garis keturunan dari pihak ayah atau disebut
patrilineal. Garis keturunan sangat penting bagi mereka guna menjaga kelangsungan
keluarga. Oleh karena itu, anak laki-laki sangat penting untuk meneruskan garis
keturunan. Hubungan antara ayah dan anak laki-laki merupakan hubungan yang
terpenting diantara hubungan-hubungan keluarga lainnya. Seorang ayah memiliki
kekuasaan atas hidup dan mati anak laki-lakinya, dan anak laki-laki berkewajiban
hormat dan menyokong kehidupan orang tuanya. Perkabungan dan penghormatan
terhadap orang tua setelah meninggal meruakan bagian yang integral daripada
tanggung jawab anak laki-laki.
Orang Tionghoa memiliki suatu pemikiran tentang “kelangsungan garis
keturunan.” Kelangsungan keluarga merupakan manifestasi perilaku turun temurun
dan kelangsungan dari generasi ke generasi yang tak henti-hentinya. Hal ini berarti
keturunan merupakan suatu kesatuan, sebuah tali yang panjang, yang bermula dari
masa lampau, dan terentang kemasa yang akan datang. Tali tersebut pada suatu saat
akan tebal atau tipis tergantung dari banyaknya helai, ataupun seratnya. Helai
melambangkan keluarga, dan serat melambangkan laki-laki yang ada. Namun selama
serat masih ada, tali itu akan tetap terentang. Serat tali tersebut bukan hanya
sembarang serat tetapi mewakili tali tersebut secara keseluruhan. Hal ini berarti,
setiap individu yang hidup merupakan personifikasi dari nenek moyangnya dan
merupakan awal dari keturunan yang belum dilahirkan. Seorang ada karena
leluhurnya, dan keturunan-keturunannya ada hanya melalui dia. Jika seorang lakilaki meninggal tanpa anak, seluruh garis keluarga dari leluhur dan keturunan yang
belum dilahirkan akan hilang bersamanya. Dengan kata lain, seorang individu (lakilaki) yang hidup sekarang merupakan manifestasi dari seluruh garis keluarga.
53
Salah satu dari fungsi utama keluarga adalah melakukan penghormatan
kepada leluhur. Penghormatan leluhur dipandang sebagai perwujudan dari bakti anak
terhadap orang tua dan leluhurnya. Hal ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat,
digunakan untuk memperkuat kedudukan keluarga. Adanya penghormatan kepada
leluhur menyebabkan timbulnya pendorong tambahan bagi orang tua untuk memiliki
anak laki-laki guna melaksanakan ritus dan upacara penghormatan leluhur sekaligus
juga untuk melindungi dan menyelamatkan kehidupan abadi orangtua serta kakeknenek mereka. Oleh karena itu ada hal-hal yang menyebabkan seseorang dianggap
tidak berbakti, dan terutama adalah apabila seseorang tidak memiliki keturunan lakilaki.
Apabila
terjadi
pembagian
warisan
dalam
rumah
tangga,
tempat
penghormatan leluhur atau meja abu serta papan leluhur diwariskan pada anak lakilaki tertua, sehingga pada waktu upacara sembahyang semua anak akan berkumpul
dirumah saudara tuanya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, jika anak lakilaki tertua tidak sanggup lagi mengurus meja abu dalam rumah tangganya, maka
meja abu tersebut dapat diwariskan pada anak laki-laki yang lainnya ataupun juga
pada anak wanita serta suaminya dengan pola tempat tinggal matrilokal.
Pelaksanaan upacara penghormatan leluhur dalam keluarga dipimpin oleh
ayah sebagai kepala keluarga. Kewajiban ini kemudian diwariskan kepada anak lakilaki yang sulung. Demikianlah selanjutnya diwariskan secara turun temurun. Anak
perempuan tidak memegang peranan penting dalam penghormatan leluhur, karena
setelah menikah mereka tidak lagi ikut serta mengambil bagian dalam upacara
penghormatan bagi leluhurnya tetapi akan mengikuti suami dan dengan demikian
mereka akan mengurus penghormatan leluhur pihak suami.
54
Bagi bangsa-bangsa yang menganut prinsip patrilineal, anak laki-laki dianggap
penting guna menjaga kelangsungan keluarganya, namun dalam masyarakat
Tionghoa, anak laki-laki memiliki fungsi lainnya. Anak laki-laki bukan saja
dibutuhkan untuk melanjutkan xing atau shen nya dalam logat Hokkian, melainkan
juga untuk menggantikan ayahnya ‘merawat abu’. Seorang anak laki-laki didominasi
oleh keluarga dan kelangsungan keluarga, oleh karena itu segala tindakan dan
aktivitas dilakukan selalu berhubungan dengan leluhur.
5.2.2 Fungsi Saling Ketergantungan Leluhur dan Keturunan
Kelangsungan keturunan memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan
keluarga Tionghoa. Hidup seorang individu merupakan kelanjutan dari kehidupan
leluhurnya dan awal dari kehidupan keturunan selanjutnya. Kelangsungan suatu
keluarga dari generasi ke generasi merupakan suatu kesatuan bagaikan tali yang
terentang dan tidak terputus.
Saling bertanggung-jawab antara orang tua dan anak bagi keluarga pada
umumnya bukanlah merupakan suatu yang janggal. Namun dalam masyarakat
Tionghoa, tanggung-jawab diantara keduanya tetap berlaku dan berlangsung terus
walaupun orang tua telah meninggal. Kematian tidaklah membebaskan seorang anak
laki-laki dari kewajibannya terhadap orang tua. Ketika orang tua masih hidup,
seorang anak berkewajiban melayani dan menghormati orang tua mereka, ketika
meninggal anak tersebut berkewajiban untuk melayani dan memuja serta
bersembahyang bagi mereka.
Sebagai imbalan akan sembahyang dan saji-sajian, maka seluruh keturunan
akan mendapat berkat dan bantuan dari orang tua dan leluhur yang telah meninggal
dalam kekuatan supernatural. Hal ini merupakan suatu hubungan timbal balik yang
55
tetap berlangsung terus. Rasa saling membutuhkan antara orang tua dan anak lakilaki penting bagi kelangsungan dan keutuhan keluarga. Ketika anak laki-laki masih
muda dan belum mengerti apa-apa, ia dirawat, diberi makan, pakaian, rumah, dan
pendidikan oleh orang tua. Ketika ia tumbuh menjadi besar, ia mulai berdiri sendiri
dan dibebani tanggung –jawab untuk mengurus keluarga. Kedua orang tuanya
semakin lama akan menjadi tua kemudian tibalah giliran anak tersebut untuk
merawat, memberi makan, pakaian dan perlindungan bagi kedua orangtuanya. Bagi
anak perempuan, hubungan timbal balik ini dilakukan secara tidak langsung. Segala
sesuatu yang diterimanya dari orang tua pada waktu kecil dikembalikan melalui
perlakuannya terhadap orang tua pihak suami.
Bertolak dari kepercayaan akan supernatural, orang-orang Tionghoa percaya
bahwa leluhur serta orang tua yang telah meninggal tetap hidup dan ikut campur
tangan dalam kehidupan keluarga yang telah ditinggalkan. Roh-roh leluhur dan orang
tua akan tetap hidup dalam dunianya sendiri. Mereka tetap mebutuhkan makanan,
pakaian, tempat tinggal dan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Segala
kebutuhan tersebut hanya didapat melalui persembahan yang diberikan oleh anakcucu mereka yang masih hidup. Orangtua mereka yang telah meninggal
membutuhkan penghormatan dari anak-anak mereka agar tetap hidup dalam jalan
kebahagiaan. Akan tetapi anak-anak juga memerlukan bantuan supernatural dari
orang tua mereka.
Sudah merupakan suatu kepercayaan bahwa berkat dan kebahagiaan
merupakan pemberian orangtua. Perlindungan yang diberikan orang tua ketika masih
hidup tetap diberikan walaupun mereka telah meninggal. Oleh karena itulah maka
meja abu leluhur tetap menghiasi hampir pada setiap rumah keluarga Tionghoa, agar
56
supaya berkat dan kebahagiaan dari orang tua serta leluhur tetap melingkupi anakcucu dan keturunan selanjutnya.
5.2.3 Fungsi Solidaritas Keluarga
Selain memiliki fungsi ritual, penghormatan kepada leluhur juga memiliki
fungsi sosial yang perlu lebih jauh diketengahkan, dimana dapat dikatakan fungsi
sosial tersebut bahkan lebih penting dari fungsi lainnya. Pemeliharaan abu leluhur
juga dilakukan untuk tetap mempertahankan kehidupan solidaritas keluarga dan klen.
Upacara penghormatan leluhur yang dihadiri oleh seuruh keluarga, dilakukan
paling sedikit satu kali dalam setahun pada hari raya yang terpenting yaitu pada
Tahun Baru Imlek. Pada kesempatan tersebut, keluarga yang bertempat tinggal
dalam satu kota ataupun yang menetap didaerah lain berusaha datang kerumah
orangtua. Jika kedua orang tua telah meninggal, mereka mengunjungi saudara lakilaki tertua yang tetap memegang meja abu orangtua dan leluhur untuk melakukan
ibadah sembahyang bersama. Seluruh pengeluaran untuk upacara tersebut
ditanggung oleh saudara laki-laki mereka yang memelihara meja abu tersebut, namun
jika ia tidak sanggup maka biaya akan ditanggung bersama oleh seluruh keluarga.
Hal ini menyebabkan hubungan, ikatan dan solidaritas antar anggota keluarga tetap
terjalin erat.
Bantuan dan pertolongan yang diberikan keluarga pada umumnya terdiri dari
tiga cara yang berbeda yaitu: (1) bantuan yang tidak menyangkut benda-benda
material; (2) benda-benda material seperti uang, barang, tanah, dan sebagainya; (3)
pekerjaan dalam perusahaan atau usaha dagang, beasiswa, dan lain-lainnya.
57
Saling membantu dan solidaritas dalam keluarga timbul oleh karena kesadaran
mereka akan satu darah yang mengalir dalam tubuh mereka masing-masing.
Kesadaran ini diperkuat juga oleh adanya pemeliharaan abu leluhur yang secara tidak
langsung membantu mereka untuk tetap saling bertemu dan mengakrabkan diri
diantara seluruh keluarga.
5.3
Pelaksanaan Upacara Penghormatan Leluhur
5.3.1 Upacara Penghormatan Leluhur Secara Umum
Rumah abu orang-orang Tionghoa khususnya di Indonesia merupakan
perkumpulan klen dimana aggotanya adalah orang-orang Tionghoa yang berasal dari
sub suku bangsa mana saja asalkan mempunyai nama keluarga yang sama. Yang
dimaksud dengan sub bangsa disini adalah orang-orang Tionghoa yang berasal dari
propinsi-propinsi yang berbeda, membawa serta ciri kebudayaan yang khas dari
kampung halamannya daan memiliki perbedaan dialek bahasa seperti misalnya
Hokkian, Hakka, dan Kanton. Pada saat-saat tertentu seluruh anggota klen tersebut
berkumpul. Selain untuk melakukan upacara penghormatan leluhur bersama, rumah
abu ini juga bertujuan untuk mempererat persaudaraan serta solidaritas keluarga.
Upacara-upacara penghormatan leluhur yang dilakukan oleh orang Tionghoa
biasanya berkenaan dengan suatu peristiwa atau perayaan tertentu. Dalam
kebudayaan Tionghoa banyak terdapat perayaan-perayaan tradisional yang berkaitan
dengan religi yang dianut. Di antara perayaan-perayaan itu, ibadah yang khusus
ditujukan kepada leluhur ialah: (a) setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek yang disebut
Ce it cap go – Chu yi shi wu ( 初 一 十 五 ); (b) hari wafat leluhur/ orang tua; (c)
sembahyang Tahun Baru; (d) sembahyang Ceng Beng – Qing Ming ( 清 明 ) ; (e)
sembahyang arwah umum – Cioko – Qiang guo atau biasa disebut juga sembahyang
rebutan. Cioko dilakukan pada tanggal 15 bulan 7 Imlek ditujukan bagi arwah atau
58
roh yang tidak memiliki keluarga lagi ataupun roh-roh yang terlantar, yang tidak
disembahyangi oleh sanak keluarga lagi.
Semua upacara tersebut di atas pada umumnya dilakukan dirumah-rumah
keluarga terutama yang memelihara abu. Walaupun demikian, banyak keluarga yang
tidak memelihara abu juga melakukan upacara sembahyang dengan meletakkan meja
menghadap pintu rumahnya. Semua upacara yang dilakukan tersebut bertepatan
dengan suatu perayaan tertentu yang erta kaitannya dengan peredaran alam.
Dalam upacara religi biasanya dipergunakan benda sebagai alat upacara
seperti patung-patung, alat-alat bunyi-bunyian dan sebagainya. Peralatan ritus
upacara leluhur dirumah tempat tinggal lebih sederhana daripada di rumah abu.
Dalam upacara diperlukan dupa atau hio xiang (香), lilin, papan leluhur atau papan
arwah yang disebut sien ci-shen zu (神主) atau shen wei (神位), tempat menancapkan
dupa atau hio lou-xiang lu (香炉) yang banyaknya tergantung dari jumlah leluhur yang
disembahyangi, kotak panjang-bundar tempat berisikaa batang dupa, dan lainlainnya.
Segala peralatan ritus upacara tersebut di atas diletakkan diatas meja abu
leluhur yang merupakan sebuah meja khusus diperuntukkan bagi abu leluhur. Meja
abu umumnya terdiri dari dua atau tiga buah meja berwarna merah lak. Meja yang
tinggi berukuran 6 ½ kaki dan lebar 2 ½ kaki, dan meja yang rendah berukuran
panjang/lebar 3 kaki. Jika tidak ada shen wei, pada dinding dibelakang meja abu
biasanya digantungkan potret leluhur atau orang tua. Bersama dengan potret-potret
tersebut biasanya juga terdapat gambar pemandangan, diapit oleh dua panji yang
bertuliskan huruf-huruf Cina. Keseluruhan gambar dengan panji-panji tersebut
dinamakan shan-shui (山水), maksud dari gambar itu adalah pelambang tempat tinggal
leluhur dimana abunya diletakkan dihadapan lukisan tersebut. Pada keluarga yang
59
cukup mampu, meja abu yang dihiasi dengan sebuah atau lebih jambangan yang
berisi bunga-bunga segar. Bagi orang-orang yang kurang mampu biasanya altar
dihias dengan bunga-bunga yang terbuat dari kertas yang kemudian akan diganti
dengan yang baru pada hari-hari menjelang Tahun Baru Imlek.
Persembahan yang ditujukan bagi leluhur dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian yaitu persembahan yang dibakar dan tidak dibakar. Persembahan tersebut
berbentuk sajian makanan, minuman serta benda-benda yang terbuat dari kertas.
Persembahan yang tidak dibakar, yang berupa berbagai jenis makanan dan minuman
akan tetap utuh selama upacara berlangsung dan pada akhir upacara akan menjadi
santapan bagi seluruh keluarga. Persembahan yang dibakar terdiri dari sebagian kecil
sajian yang tersedia serta uang-uang kertas tiruan. Kedua bentuk persembahan ini
memiliki arti simbolis. Jika ditelusuri menurut dasar pemikiran orang Tionghoa
seperti yang telah diterangkan sebelumnya, persembahan saji-sajian makanan dan
minuman tersebut merupakan tindakan pengucapan syukur yang ditujukan bagi Po
(material soul) oleh karena jenis persembahan ini tidak dibakar. Sedangkan jenis
persembahan yang menggunakan api (dibakar) ditujukan bagi qi (immaterial soul).
Pelaku atau orang-orang yang melakkan upacara penghormatan leluhur
adalah orang-orang yang masih terikat dalam suatu keluarga atau marga.
Penghormatan leluhur yang dilakukan keluarga, dipimpin laki-laki tertua dalam
keluarga. Jika ia sudah terlalu lemah dan sudah tidak sanggup lagi memimpin
upacara maka tugas tersebut diserahkan pada anak laki-lakinya yang sulung; upacara
ini ditujukan terbatas pada leluhur yang terdekat saja dan pelaku upacara juga
terbatas pada anggota keluarga yaitu istri, anak serta cucu-cucu. Penghormatan
leluhur di rumah abu dihadiri oleh anggota keluarga besar atau Klen, dan yang dipuja
60
adalah leluhur yang lebih jauh. Pimpinan upacara ditunjuk seorang yang dianggap
paling tua dan paling dihormati.
5.3.2 Sembahyang Ce It Cap Go
Sembahyang ce it cap go dilakukan pada setiap tanggal 1 dan 15 Imlek. Di
Indonesia upacara ini disebut juga sembahyang tuang teh. Tradisi penghormatan
leluhur pada setiap tanggal tersebut bermula sebelum masuknya penanggalan tarikh
Masehi di China.
Sebelum orang Tionghoa mengenal hari Minggu dalam penanggalan tarikh
Masehi, mereka memakai tanggal 1 dan 15 dalam penanggalan China/Imlek sebagai
hari untuk beristirahat. Pada tanggal-tanggal tersebut, keluarga-keluarga yang
‘memelihara abu’ membakar batangan hio dihadapan ‘abu’ atau shen wei dan juga
dihadapan patung dewa yang dipuja di dalam rumahnya pada waktu pagi dan sore
hari. Upacara ini biasanya dilakukan pada sore hari, 1 hari sebelum tanggal 1 dan 15
Imlek kemudian di pagi dan sore hari pada tanggal-tanggal tersebut. Sembahyang
pagi biasanya dilakukan pada pukul 6 atau 6.30, sore hari dilakukan pada pukul
18.00. Tata ibadah yang dilakukan pada setiap tanggal 1 dan 15 Imlek ini merupakan
bentuk dasar dari upacara-upacara pada setiap sembahyang.
5.3.2.1 Tempat Upacara
Sembahyang ini dilakukan pada setiap tempat tinggal keluarga Tionghoa
yang masih memiliki meja abu. Upacara berlangsung dihadapan abu leluhur. Meja
61
abu biasanya diletakkan di ruang tengah, ruangan tempat berkumpul seluruh
keluarga. Dengan demikian, tempat upacara penghormatan leluhur ini berpusat
tempatnya di rumah keluarga. Ini memngingatkan kita bahwa hubungan leluhur
dengan keturunannya adalah dalam konteks membina keluarga, terutama keluarga
luas, yang didukung oleh keluarga inti.
5.3.2.2 Peralatan Upacara
Di atas meja abu diletakkan potret orang tua atau kakek-nenek yang telah
meninggal, 2 batang lilin, lampu listrik berbentuk lilin, kotak tempat menyimpan hio,
gelas-gelas berisi teh, serta sajian sederhana berupa kue dan buah-buahan.
5.3.2.3 Jalannya Upacara
Pada ibadah ini, sembahyang biasanya dilakukan oleh istri atau anak
perempuan dalam keluarga. Ketika upacara akan dimulai, segala keperluan
sembahyang disiapkan. Sajian berupa teh serta kue dan buah-buahan diletakkan di
atas meja abu, kemudian dua batang lilin dinyalakan.
Pada mulanya pintu muka dibuka lebar lalu, tiga batang hio dinyalakan.
Dengan ketiga batang hio tersebut, dilakukan soja di depan pintu menghadap ke luar
sambil memanjatkan doa kepada Tuhan meminta izin untuk mengundang leluhur
agar datang kerumah tersebut dan mencicipi hidangan yang disediakan. Ketiga
batang hio tersebut ditaruh pada sebuah tempat kecih khusus yang ditempelkan pada
dinding di muka pintu luar.
Selanjutnya dinyalakan hio untuk leluhur. Hio yang ditujukan bagi leluhur
berjumlah dua batang. Dihadapan meja abu, dilakukan soja dengan hio sambil
memanjatkan doa bagi leluhur berisi puji syukur dan hormat serta harapan agar para
62
leluhur berkenan menerima persembahan yang diberikan. Kemudian hio ditancapkan
pada hio lou. Selanjutnya upacara selesai.
Persembahan yang diberikan seperti teh dan kue setiap kali diganti pada
waktu sembahyang dilakukan kecuali buah-buahan. Lilin dan hio yang telah habis
juga diganti dengan yang baru pada saat sembahyang. Persembahan yang diletakkan
pada sore hari tanggal 15 Imlek diangkat pagi-pagi pada keesokan harinya.
5.4
Sembahyang Tahun Baru
Perayaan Tahun Baru China merupakan suatu perayaan yang diadakan
sehubungan dengan kedatangan musim semi didaratan China, dihitung sesuai dengan
perhitungan lunar yang dianut masyarakat Tionghoa, yang jatuh tepat pada tanggal 1
bulan 1 Imlek. Dalam penanggalan Masehi, Tahun Baru Imlek biasanya dirayakan
setiap tanggal 28 atau 29 januari.
Menjelang Tahun Baru, setiap keluarga sibuk mengatur persediaan untuk
menyambut pergantian tahun. Satu hari sebelum Tahun Baru, yaitu pada tanggal 29
bulan 12 Imlek dilakukan upacara sembahyang khusus ditujukan bagi leluhur.
Sembahyang ini biasanya disebut juga sembahyang Tahun Baru – da nian ye (大年夜).
Tidak semua keluarga Tionghoa melakukan sembahyang leluhur atau sembahyang
Tahun Baru itu pada “hari sembahyang” atau oleh orang Tionghoa disebut hari Ji kao
kao tersebut. Ada juga yang menyelenggarakannya beberapa hari dimuka Tahun
Baru dengan maksud agar segala sesuatu yang bertalian dengan tahun baru cepat
selesai. Lagipula harga barang-barang keperluan untuk itu belum meningkat setinggi
harga-harga pada waktu satu hari dimuka Tahun Baru.
Keluarga yang menjadi obyek penelitian penulis pada sembahyang Tahun
Baru ini telah tinggal di Indonesia. Hampir semua anggota keluarga yang hadir pada
63
saat itu mengakui tidak mengerti dan memahami seluk beluk mengenai upacara
penghormatan leluhur ini. Mereka hanya mengikuti apa yang diajarkan dan
dicontohkan orang tua mereka tanpa mengetahu arti yang tersirat dalam upacara
ritual tersebut.
5.4.1 Tempat Upacara
Sembahyang Tahun Baru dilakukan disetiap tempat tinggal keluarga dan
upacara ini berlangsung di hadapan meja abu dan abu leluhur. Biasanya meja abu
leluhur diletakkan di ruang tengah, ruangan yang agak luas tempat berkumpulnya
seluruh keluarga. Bagi keluarga yang tidak memiliki meja abu, sajian persembahan
biasanya diletakkan diatas meja di ruang makan bersama-sama dengan potret leluhur.
5.4.2 Peralatan Upacara
Keluarga yang menjadi obyek penelitian penulis tidak memiliki meja abu
leluhur. Oleh karena itu mereka meletakkan sajian pada sebuah meja panjang di
ruang makan. Selain sesajian, diatas meja diletakkan potret orang tua yang telah
meninggal. Lilin berwarnah merah yang melambangkan kebahagiaan, gelas berisi
beras untuk tempat menancapkan hio, poci-poci teh. Selain itu juga digunakan hio
berwarna merah, tempat pembakaran kemenyaan berkaki empat, dua buah uang
logam kuno, uang-uang kertas emas dan perak tiruan, serta kertas-kertas
bergambarkan kebutuhan rumah tangga seperti baju, celana, panci, teko, dan
sebagainya.
Saji-sajian ini dihidangkan lebih istimewa daripada hari-hari biasa.sajian
berupa buah-buahan, kue-kue kecil, kue keranjang, minuman serta makanan
64
kesukaan leluhur. Ada jenis makanan yang harus selalu disajikan berupa: binatang
berkaki empat misalnya babi yang mewakili tanah; burung atau ayam yang mewakili
udara dan ikan yang mewakili air. Ketiganya disebut sam seng.
Keluarga-keluarga tertentu mempunyai kebiasaan bersantap bersamaan
dengan arwah atau roh leluhur. Ketika upacara sembahyang selesai, mereka langsung
bersantap mengambil makanan yang telah disembahyangi.
5.4.3 Jalannya Upacara
Pada Imlek malam, dilakukan upacara sembahyang kepada Tuhan – Tian oleh
kepala keluarga, meminta izin untuk mengundang arwah leluhur agar dapat datang
ke tempat tinggal mereka dan dapat bersama-sama merayakan kedatangan hari raya
Tahun Baru. Segala persiapan dilakukan pada pagi harinya. Setelah makanan selesai
dimasak, diletakkan diatas meja bersama-sama dengan segala peralatan sembahyang
oleh ibu rumah tangga dibantu anak-anak perempuannya. Setelah semua dianggap
lengkap, ia memanggil suaminya untuk memulai upacara.
Pada mulanya kepala keluarga melakukan pemasangan dua batang lilin
berwarna merah. Kemenyan dibakar pada suatu tempat kemudian dibawa berkeliling
meja sesaji serta seluruh rumah sebanyak dua kali. Menurut kepercayaan mereka,
asap dari kemenyan ini dianggap penting untuk memanggil roh agar cepat datang.
Sebelum sembahyang kepada leluhur terlebih dahulu bersembahyang kepada Tuhan
menghadap keluar. Tiga batang hio berwarna merah dibakar. Dengan ketiga batang
hio ditangan dilakukan soja pai – bai (拜), kemudian hio ditancapkan dimuka pintu.
Selanjutnya kembali dilakukan soja sambil mengucapkan doa agar diperkenankan
melakukan sujud kepada leluhur. Setelah selesai pengucapan doa, bersoja kemudian
masuk menuju meja abu. Dua batang hio kemudian kembali dibakar. Setelah bersoja,
65
hio kemudian ditancapkan pada tempat hio lalu mengucapkan doa kepada leluhur
yang berisi rasa hormat, cinta serta puji-pujian akan teladan yang telah diberikan dan
berjanji akan menjunjung serta melanjutkan bakti mereka. Setelah berdoa, sikap ini
dilanjutkan dengan bersujud kui pai dimuka meja abu.
Sikap doa yang dilakukan oleh ayah sebagai kepala keluarga diikuti oleh
anggota keluarga lainnya yaitu anak laki-laki, istri, anak perempuan. Cucu-cucu
menyusul kemudian. Namun urutan ini tidak terlalu diperhatikan lagi pada saat
sekarang. Wanita tidak diharuskan bersujud, mereka hanya bersembahyang dengan
hio.
Anak-anak kecil berusia sekitar 4-5 tahun dibimbing oleh ayah mereka
membakar hio serta mengucapkan doa. Dimuka pintu, dengan menghadap keluar
mereka memegang hio sambil bersoja sebanyak dua kali sambil memohon kepada
kakek-nenek serta para leluhur supya datang dan bersama-sama merayakan Tahun
Baru. Selanjutnya mereka memasuki ruangan meja abu, bersoja tiga kali lalu berdoa
sejenak mengucapkan selamat Tahun Baru kepada kakek-nenek. Kemudian hio
ditancapkan.
Setelah semua mendapat gilirannya, ssegala macam santapan makanan
dibiarkan selama 1-2 jam, tindakan ini memiliki maksud tertentu yaitu membiarkan
para roh leluhur bersantap sejenak. Sementara itu, seorang anggota keluarga
menyalakan rokok kesukaan leluhur.
Untuk mengetahui kapan para roh selesai bersantap dilakukan popoi – xiao
pei (笑配) yaitu melemparkan dua buah uang logam. Jika kedua muka uang logam
tersebut menampakkan gambar yang sama berarti roh belum selesai bersantap, maka
harus menunggu lagi sejenak baru diulangi lagi popoi sampai kedua muka uang
logam menampakkan dua sisi yang berbeda.
66
Setelah acara santap para roh leluhur selesai, kepala keluarga diikuti oleh
anggota keluarga yang lain membakar uang kertas emas atau kim cua dan uang
kertas perak atau gin cua (hanya bersifat simbolis yang melambangkan uang
sesungguhnya) yang telah dilipat. Bakaran uang kertas diletakkan dimuka pintu
halaman muka. Setelah itu diambil sedikit makanan dari sesajian yang diletakkan
pada tempat pembakaran uang kertas. Setiap minuman yang disediakan juga
ditaburkan berputar ditempat yang sama. Bersamaan dengan maksud yang
diinginkan yaitu sebagai bekal bagi roh leluhur yang akan kembali ke tempat asalnya
semula. Akhir daripada upacara leluhur ini adalah makan bersama seluruh keluarga.
5.4.4 Pelaku Upacara
Pada saat upacara ini berlangsung, hampir semua anggota keluarga berusaha
hadir kecuali memang benar-benar berhalangan. Upacara dipimpin oleh ayah. Anakanak yang telah menetap sendiri bersama keluarga masing-masing datang berkunjung
ke rumah orang tua mereka. Pertemuan-pertemuan semacam ini memiliki fungsi
sosial yaitu tetap menjaga eratnya hubungan setiap anggotanya juga menjaga
solidaritas keluarga.
5.5 Sembahyang Ceng Beng
Hari Raya Ceng Beng merupakan suatu hari besar bagi masyarakat Tionghoa
yang dirayakan bersama seluruh keluarga. Menurut kepercayaan, pada saat itu
keluarga yang telah meninggal juga ikut berpartisipasi. Hari Raya ini berhubungan
dengan keadaan perubahan alam didaratan Cina yaitu hari dimana telah terjadi
pergantian musim, dari musim salju ke musim semi dimana cuacanya bersih dan
67
terang, oleh karena itu dinamakan Qing Ming atau Ceng Beng dalam logat Hokkian
yang berarti segar dan terang.
Pada hari raya ini, setiap keluarga Tionghoa membersihkan kuburan, ada
yang memperjelas kembali nama-nama yang tertulis diatas batu nisan. Setiap
keluarga membawa saji-sajian yang diletakkan di atas pelataran kuburan leluhur,
serta bersembahyang bagi keluarga mereka yang telah tiada. Keluarga yang
berhalangan hadir atau datang kekuburan biasanya melakukan upacara sembahyang
di rumah.
5.6 Makna Penghormatan Leluhur
Penghormatan kepada leluhur dalam kebudayaan Tionghoa ini, khususnya
dalam studi kasus di Kota Medan, memiliki makna-makna budaya. makna-makna itu
mencakup makna aktivitas dan makna benda-benda dan peralatan upacara. makna
kegiatan atau aktivitas upacara ini dilatarbelakangi oleh ajaran filsafat khususnya
Konfusius dan sistem religi, baik itu Konghucu maupun Buddha. Sedangkan bendabenda upacara memiliki makna-makna khusus, namun intinya semua benda dan
peralatan upacara ini adalah sebagai sarana komunikasi dengan leluhur yang
dihormati dalam aktivitas pemujaan.
Makna-makna budaya yang terkandung di dalam aktivitas penghormatan
leluhur (jisi zuxian yanjiu) adalah seperti uraian berikut ini. Bahwa kegiatan
penghormatan leluhur ini memiliki makna integrasi keluarga dan kerabat. Bahwa
manusia Tionghoa dalam hidupnya di dunia ini perlu memelihara identitas
keluarganya yang ditarik berdasarkan garis keturunan pihak ayah (patrilineal).
Makna integrasi ini terekspresikan dalam nama keluarag (klen). Bahwa seorang
Tionghoa perlu menjaga integritas kebersamaan sosial ini.
68
Selain itu, makna aktivitas jisi zuxian yanjiu secara umum adalah sebagai
ekspresi kosmologis dalam sistem religi masyarakat Tionghoa, yang di dalamnya
terdapat ajaran Konfusius dan Buddhisme. Masyarakat Tionghoa meyakini adanya
alam dunia dan alam baka atau akhirat, tempat bersemayamnya para leluhur. Juga
adanya unsur-unsur roh dan loain-lainnya. Upacara ini memiliki makna sebagai
ketaatan religius dan juga imolementasi penghayatan kepercayaannya tersebut.
Selanjutnya makna benda dan peralatan upacara, dapat dideskripsikan sebagai
berikut. Rumah abu adalah bermakna sebagai wujud kehadiran leluhur yang telah
meninggal dalam kehidupan nyata, terutama dalam hidup keturunannya. Rumah abu
adalah simbol dari leluhur. Rumah abu ini sebagai simbol leluhur diperkuat pula
dengan dipampangkannya foto leluhur di tempat tersebut. Dengan demikian walau
leluhur telah meninggal dunia, ia dipandang tetap hidup kekal di alam akhirat dan
berkomunikasi dengan keturunannya. Leluhur ini dapat menolong kesejahteraan dan
keselamatan keturunannya.
Dalam upacara diperlukan dupa atau hio xiang (香), yang memiliki makna
sebagai simbol hubungan antara dunia nyata dengan dunia akhirat. Hio ini
merupakan sarana penghubung antara alam dunia nyata ini dengan alam gaib dan
alam baka. Hio memiliki makna komunikasi kosmologi.
Kemudian lilin memiliki makna sebagai penerang dalam kegelapan. Lilin
yang dinyalakan ini adalah lambang dari kesucian, ketulusan, dan pengabdian.
Bertindaklah sebagai lilin, yaitu rela berkorban untuk menjadi penerang kepada
seluruh alam dan manusia. Dalam konteks yang lebih luas, diajarkan kepada orang
Tionghoa selalulah berlaku dermawan dan sosial dengan cara menyantuni orang
yang kurang mampu dan semoga menjadi penerang kepada semua orang di dunia ini,
69
bukan hanya sekedar berguna kepada sesame agama atau religi tetapi kepada semua
makhluk.
Selain itu benda upacara adalah berupa papan leluhur atau papan arwah yang
disebut sien ci-shen zu (神主) atau shen wei (神位),. Papan leluhur ini adalah simbol
dari kehadiran leluhur dalam kehidupan keturunannya. Papan leluhur juga
mengingatkan bahwa leluhur itu tetap hidup terus di alam baka di depan Thien,
dengan harapan kketurunan ditempatkan di tempat yang baik.
70
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Telah diuraikan dalam pendahuluan bahwa salah satu aspek dari kebudayaan
adalah religi. Khusus dalam skripsi ini peneliti mengetengahkan tentang religi
tradisional masyarakat Tionghoa yaitu penghormatan leluhur yang dilakukan
keluarga dihadapan abu leluhur.
Permasalahan
yang
menjadi
perhatian
peneliti
adalah
masihkah
penghormatan terhadap leluhur ini memiliki arti dan nilai religius tersendiri ini bagi
setiap orang yang menjadi anggota dalam suatu keluarga dan secara langsung ikut
ambil bagian dalam praktek upacara pada saat sekarang ini. Dari hasil pengamatan,
peneliti melihat kecenderungan bergesernya nilai-nilai religius pada generasi muda
saat ini. Pengetahuan kaum muda yaitu anak-anak dari keluarga Tionghoa (rata-rata
berusia tidak lebih dari 40 tahun) yang masih memelihara abu leluhur sangat kurang.
Mereka sudah tidak lagi menaruh perhatian secara khusus terhadap penghormatan
leluhur.
Upacara-upacara penghormatan mereka lakukan tanpa mengetahui dan
memahaminya secara mendalam. Segala sesuatunya mereka lakukan hanya
berdasarkan kebiasaan yang telah diajarkan orang tua dan dilakukan sejak kecil, dan
juga untuk menghargai dan menghormati orangtua mereka. Sebagian besar dari
mereka menyatakan bahwa mereka tidak akan meneruskan pemeliharaan meja abu
71
leluhur dan bermaksud akan membakar meja abu keluarga jika orang tua telah tiada,
gejala semacam ini akan timbul karena banyak faktor, dan salah satu faktor yang
jelas adalah karena kemajuan tekhnologi dan modernisasi yang menyebabkan orang
tidak lagi memperhatikan nilai-nilai tradisi yang diwariskan nenek moyang. Dengan
adanya sikap semacam ini, kemungkinan besar pada suatu hari nanti tradisi religi
penghormatan leluhur pada keluarga-keluarga Tionghoa yang tinggal di Indonesia
akan hilang.
Di samping Pergeseran nilai religius, peneliti juga melihat munculnya
perubahan-perubahan dan penyederhanaan dalam pelaksanaan ritus keagamaannya.
Upacara Ceng Beng pada awalnya dilakukan di kuburan-kuburan saja, namun
sekarang telah banyak keluarga hanya melakukan upacara dirumah atau dirumah abu.
Hal tersebut dilakukan karena jarak lokasi perkuburan yang jauh dari tempat tinggal
ataupn juga karena sebagian besar keluarga Tionghoa telah mengangkat jenazah
kerabat mereka dari kuburan setempat lalu kemudian membakarnya (kremasi).
Pembakaran jenazah tersebut disebabkan karena keluarga almarhum tidak mau
direpotkan lagi oleh hal-hal yang berhubungan dengan perawatan kuburan. Dengan
adanya pengangkatan jenazah tersebut menyebabkan tradisi upacara yang sedianya
dilakukan dipekuburan ini semakin lama semakin berkurang pengikutnya, dan
bukannya tidak mungkin suatu waktu kelak akan habis.
Kesimpulan lain yang didapatkan dari pengamatan yaitu mengenai peran
penghormatan leluhur ini dalam keluarga. Secara keseluruhan upacara religi ini
mepunyai fungsi sosial mengintensifikasikan dan mendorong solidaritas di antara
para anggota suatu keluarga atau Klen yang mengingatkan mereka bahwa mereka
sebenarnya adalah kerabat yang berasal dari leluhur yang sama. Keluarga-keluarga
yang berasal dari leluhur dan marga yang sama saling memberikan bantuan dan
72
pertolongan dimana pada umumnya terdiri dari tiga cara yang berbeda, yaitu: (1)
bantuan material; (2) bantuan non material; dan (3) pekerjaan, beasiswa dan lain-lain.
Jadi disini upacara religi bisa dianggap sebagai salah satu alat atau sarana untuk
tercapainya solidaritas di antara para anggotanya.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian mengenai religi tradisional khas budaya Tionghoa ini,
penulis melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan demi kelestarian budaya ini
sebagai wujud kepedulian kita terhadap khasanah Budaya Tradisional Tionghoa.
Penulis berharap, khususnya terhadap masyarakat Etnik Tionghoa agar tetap
melestarikan tradisi budaya mereka demi eksistensi pemeliharaannya yang menjadi
bagian dari kekayaan budaya nasional.
Khususnya bagi generasi muda etnik Tionghoa, diharapkan agar turut
melestarikan tradisi budaya mereka agar keberadaannya tetap terjaga dan terpelihara.
Skripsi ini kiranya juga menjadi rujukan bagi mahasiswa-mahasiswa yang ingin
melanjutkan penelitian tentang upacara-upacara tradisional budaya etnik Tionghoa.
Akhir kata, penulis menyadari, bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari
sempurna, oleh karenanya dengan segaala kerendahan hati penulis akan menerima
dengan tangan terbuka segala kritikan maupun saran demi kesempurnaan skripsi ini.
73
DAFTAR PUSTAKA
a.
Buku dan Artikel
Abdurrahmat, H. Fathoni, 2006. Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: Rhineka Cipta.
Benny, H. Hoed, 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Harsojo. 1977. Pengantar Antropologi Budaya. Jakarta : Bina Cipta.
Ihromi, T.O.2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor.
J. Moleong, Lexy. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Roskarya.
Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cistra.
Koentjaningrat. 1986. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia
(UI Press).
Leo Suryadinata, 1992. Pribumi Indonesians: The Chinese Minorities and China A
Study of Perceptions and Politics. Singapore: Heinemann Asia.
Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Poerwadarminta (ed.) , 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe:
Free Press.
Wang Gungwu, 1981. Community and Nation: Essays on Southeast Asia and the
Chinese. Kuala Lumpur: Heinemann.
74
b. Internet
www.baiduwenhua.cn
www.wikipedia.com
www.sumut.go.id.
www.google.com
DAFTAR INFORMAN
75
76
Download