Lalai Urus Orbit Satelit, Negara Rugi Rp 7 Triliun 19-06-07 Jakarta, Kompas - Orbit satelit memiliki nilai strategis dan ekonomi. Akan tetapi, karena kelalaian mengurus administrasi, Indonesia kehilangan orbit satelit 105,5 derajat Bujur Timur (BT) dan nilai kerugian diperkirakan mencapai 720 juta dollar AS atau sekitar Rp 7 triliun. Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Djoko Susilo, mengingatkan hal itu dalam rapat kerja dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh di Gedung DPR, Senin (18/6). "Harus ada kajian yang mendalam dari kasus kehilangan slot orbit 150,5. Kalau kita kehilangan minyak, sudah ribut. Ini kekayaan angkasa, tidak banyak yang tahu saja," ucapnya. Atas dasar itu, Djoko juga meminta M Nuh sebagai menteri baru memberi sanksi kepada pejabat terkait, yaitu Pelaksana Tugas Direktur Kelembagaan Internasional Ikhsan Baidirius. "Direkturnya terlalu banyak ke luar negeri. Setiap bulan dua kali ke luar negeri, tetapi slot 150,5 yang sangat strategis hilang. Negara ini sudah miskin, sekarang 720 juta dollar AS amblas," tegas Djoko. Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika Basuki Yusuf Iskandar dalam rapat memastikan bahwa kerugian itu memang ada. Namun, menurut perkiraannya tidak sebesar yang disampaikan Djoko. "Bahwa kita rugi itu pasti. Tetapi, bicara jumlahnya mesti duduk bersama," ucapnya. M Nuh sebagai menteri baru menjanjikan akan melakukan kajian tentang potensi kerugian finansial yang disampaikan Djoko. Orbit satelit adalah milik internasional yang dikelola International Telecommunication Union (ITU). Badan internasional ini lalu memberikan pengelolaannya kepada sebuah negara. Pemerintah memberikan pengelolaan orbit satelit kepada operator satelit untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dikelola PT Indosat Slot orbit 150,5 BT dikelola oleh PT Indosat sejak tahun 1993. Namun, semenjak Palapa C1 mengalami kerusakan tahun 1999, slot orbit ini kosong dan kini baru diisi satelit sewaan milik Intelsat. Pada November 2004 terjadi interferensi dengan satelit negara lain. ITU telah mengirim surat soal temuan interferensi itu dan Indonesia harus menanggapinya dalam jangka waktu enam bulan. Namun, Indonesia tidak menanggapinya. Akibatnya, pada Agustus 2005 status orbit 150,5 diambil kembali ITU. Kasus ini terjadi pada masa Direktorat Jenderal Postel di bawah Departemen Perhubungan. Menhub dijabat Hatta Rajasa, sedangkan Dirjen Postel dijabat Basuki. Ironisnya lagi, kata Djoko, hal ini baru disadari pemerintah pada Mei 2007 saat Menkominfo dijabat Sofyan A Djalil. (sut)