ANALISIS DAYA SAING LADA INDONESIA DI PASAR

advertisement
ANALISIS DAYA SAING LADA INDONESIA DI PASAR
INTERNASIONAL
Oleh :
Barirah Marlinda
A14304016
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
BARIRAH MARLINDA. Analisis Daya Saing Lada Indonesia di Pasar
Internasional. Di bawah bimbingan TANTI NOVIANTI.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang cukup
melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris. Pertanian merupakan sektor
yang penting dalam memacu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
masyarakat Indonesia. Subsektor perkebunan juga berperan dalam peningkatan
nilai ekspor komoditas pertanian Indonesia. Salah satu komoditas yang menjadi
unggulan dan mempunyai potensi yang besar dalam pertumbuhan ekonomi
Indonesia adalah lada. Indonesia merupakan produsen dan eksportir utama lada di
dunia. Kontribusi lada Indonesia di pasar dunia pada kurun waktu 2001 hingga
tahun 2006 berkisar antara 15 persen sampai 27 persen (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2007). Potensi dan peluang yang dimiliki Indonesia dalam
perdagangan lada di pasar internasional cukup besar, diantaranya Indonesia sudah
lama dikenal sebagai produsen utama lada dunia terutama lada hitam (Lampung
Black Pepper) yang dihasilkan di Propinsi Lampung dan lada putih (Muntok
White Pepper) yang berasal dari Propinsi Bangka Belitung. Produksi lada putih
Indonesia mencapai sekitar 80 persen pasokan dunia sedangkan untuk lada hitam
produksi Indonesia mencapai 15 persen produksi dunia (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2007). Potensi produksi lada Indonesia juga didukung oleh keadaan
iklim dan kondisi geografis yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
lada. negara pengekspor utama lada selain Indonesia antara lain Vietnam, Brazil,
India, Malaysia, Vietnam, Sri Lanka, Thailand, China, dan Meksiko. Potensi yang
cukup besar tersebut dapat menentukan keunggulan dan kemampuan yang
dimiliki komoditi lada Indonesia dalam menghadapi liberalisasi perdagangan.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis struktur pasar lada dan
persaingan lada di pasar internasional, (2) menganalisis posisi daya saing lada
Indonesia di pasar internasional. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari
hingga April 2008, dengan mengunakan data sekunder yang berasal dari literatur,
media cetak, perpustakaan LSI, dan internet. Analisis dan pengolahan data
dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk
menganalisis kondisi internal dan eksternal dalam pengusahaan lada berupa
analisis keunggulan kompetitif lada Indonesia di pasar internasional. Analisis
kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur dan pangsa pasar dan
keunggulan komparatif lada Indonesia di pasar internasional. Pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007.
Struktur pasar lada Indonesia di pasar internasional menunjukkan
kecenderungan ke arah pasar persaingan oligopoli dan memiliki tingkat
konsentrasi pasar yang sedang. Hasil ini ditunjukkan melalui nilai rata-rata
Herfindahl Index sebesar 1589 pada tahun 1997-2006 dan nilai Concentration
Ratio dari empat produsen lada terbesar sejumlah 62 persen.
Berdasarkan analisis nilai Revealed Comparative Advantage (RCA),
komoditi lada Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang mempunyai nilai
RCA yang lebih dari satu. Pada tahun 2006, Indonesia mempunyai nilai RCA
sebesar 14,32 tetapi daya saingnya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan
Vietnam. Berdasarkan analisis kuantitatif, yaitu dengan menggunakan Teori
Berlian Poter maka dapat diketahui kondisi internal dan eksternal dalam
pengusahaan lada. Kondisi internal komoditi lada Indonesia memiliki keunggulan
kompetitif pada faktor sumberdaya alam. Pada faktor sumberdaya manusia,
ketersediaan dan peran sumberdaya manusianya cukup mendukung tetapi terdapat
kekurangan dalam hal kualitas tenaga kerja terutama dalam pemanfaatan dan
penerapan IPTEK serta bibit unggul yang belum maksimal. Selain itu, kondisi
infrastruktur belum sepenuhnya memadai terutama sarana dan prasarana
pembenihan. Kekurangan juga terdapat pada kondisi permodalan yang terbatas
yang dapat dilihat dari masih kurangnya peran lembaga permodalan yang mau
mendukung pengembangan pengusahaan lada. Dari sisi permintaan, komoditi lada
Indonesia dapat memenuhi kebutuhan domestik dan konsumsi luar negeri.
Komoditi lada Indonesia masih mempunyai kelemahan dari sisi industri terkait
dan pendukung yang ditandai dengan belum adanya industri penangkar
benih/bibit dan belum majunya industri olahan lada. Dalam persaingan dan
struktur, terjadi persaingan yang ketat antara eksportir dan importir lada untuk
memenuhi permintaan lada yang semakin meningkat. Strategi yang
dikembangkan adalah diversifikasi produk lada.
Kondisi eksternal komoditas lada yang memiliki keunggulan kompetitif
antara lain peranan pemerintah yang telah mengeluarkan kebijakan mengenai
penyediaan input faktor produksi, pemasaran dan perdagangan lada, dan standar
mutu lada. Untuk peranan peluang, Indonesia sudah memiliki brand yang sudah
dikenal di dunia yaitu Lampung Black Pepper dan Muntok White Pepper,
peningkatan harga lada dunia serta meningkatnya konsumsi lada dunia. Selain itu,
Amerika Serikat dan Uni Eropa masih merupakan pasar yang potensial bagi
ekspor lada Indonesia.
Untuk meningkatkan daya saing lada Indonesia, perlu adanya peningkatan
kualitas dan kuantitas dari penjualan lada dengan mengembangkan dan
meningkatkan ekspor lada dalam bentuk olahan (diversifikasi) sehingga dapat
meningkatkan volume dan nilai ekspor lada. Salah satu caranya dapat dilakukan
dengan memberikan pelatihan dan bimbingan kepada petani dan industri
pengolahan lada, penyediaan fasilitas, serta meningkatkan penelitian yang
berkaitan dengan teknik dan proses pengolahan lada. Selain itu, perlu juga
meningkatkan produktivitas dalam negeri melalui perbaikan cara budidaya yang
menggunakan benih unggul atau bersertifikat serta penanganan hama dan penyakit
pada lada. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain dengan pembangunan dan
pengembangan sumber benih, penelitian dan pelatihan untuk menemukan jenis
dan varietas baru lada yang lebih unggul dan tahan terhadap hama dan penyakit.
Dalam mengatasi masalah permodalan dan pembiayaan usaha tanaman lada,
pemerintah harus menjalin kerjasama dan melakukan pendekatan pada pihak
perbankan agar perbankan mulai memberikan kredit khusus terhadap sektor lada.
ANALISIS DAYA SAING LADA INDONESIA DI PASAR
INTERNASIONAL
Oleh:
BARIRAH MARLINDA
A14304016
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul
Nama
NRP
: ANALISIS DAYA SAING LADA INDONESIA DI PASAR
INTERNASIONAL
: BARIRAH MARLINDA
: A14304016
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Tanti Novianti, SP, M.Si
NIP.132 206 249
Megetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof.Dr.Ir.Didy Sopandie, M.Agr
NIP.131 124 019
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRPSI YANG BERJUDUL
”ANALISIS
DAYA
SAING
LADA
INDONESIA
DI
PASAR
INTERNASIONAL” ADALAH BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL
KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2008
BARIRAH MARLINDA
A14304016
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kubang, Payakumbuh 1 Maret 1986, sebagai anak kedua
dari tiga bersaudara pasangan Mardismi dan Syahida Dahlan. Penulis
menyelesaikan pendidikan di SDN 20 Kubang pada tahun 1992 sampai dengan
1998. Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama ke SLTPN 1 Guguk
pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2001, dan menyelesaikan pendidikan
menengah atas di SMUN 1 Guguk pada tahun 2004.
Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut
Pertanian Bogor pada Fakultas Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan
Sumberdaya Manusia melalui jalur USMI. Selama perkuliahan, penulis pernah
mengikuti organisasi Koperasi Mahasiswa (KOPMA IPB) dan anggota Badan
Pengawas Himpunan Profesi Fakultas Pertanian.
Bogor, Mei 2008
Penulis
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT
dengan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul “Analisis Daya Saing Lada Indonedsia di Pasar
Internasional”. Penulisan skripsi ini sebagai bagian persyaratan untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Secara garis besar, materi yang ada dalam skripsi ini adalah analisis
struktur pasar lada dunia, analisis keunggulan komparatif lada Indonesia di pasar
internasional dan analisis keunggulan kompetitif lada Indonesia di pasar
internasional.
Penulis berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam penyusunan skripsi
ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini. Namun, penulis memandang bahwa penulisan ini dibuat sebagai suatu
proses pembelajaran terhadap materi perkuliahan yang penulis terima selama
duduk di bangku perkuliahan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut membantu
kelancaran penelitian sampai dengan penulisan karya ilmiah ini, baik secara
keilmuan, materi dan spiritual.
Bogor,
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Seiing dengan berakhirnya
satu tahap pendidikan di Institut Pertanian Bogor, maka penulis ingin
mengucapkan terima kasih pada berbagai pihak yang telah membantu, terutama
dalam penulisan skripsi ini. Pihak-pihak yang telah membantu penulis
diantaranya:
1.
Kedua orangtua (Ama dan Apa), terima kasih untuk kasih sayang, suri
tauladan, cinta dan kasih sayang, berbagai bentuk dukungan baik moril
maupun materi, kesabaran, nasihat serta semangat. Terima kasih juga pada
Ibu Yasnar, Uda Zikri, dan Adiak Nedi atas nasehat, semangat dan dorongan
yang telah diberikan pada penulis.
2.
Tanti Novianti SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan
penuh kesabaran selalu bersedia membimbing, membantu dan mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan skripsi serta terima kasih atas ilmu, nasehat,dan
kepercayaan yang telah diberikan untuk penulis.
3.
Dr.Ir.Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku dosen penguji utama dan dosen
pembimbing akademik. Terima kasih atas segala kebaikan hati, bimbingan,
masukan, kritik, serta saran dalam penulisan skripsi ini.
4.
A.Faroby Falatehan SP,M.E selaku dosen penguji wakil departemen. Terima
kasih atas masukan, kritik, dan saran yang dapat bermanfaat bagi penulisan
skripsi ini.
5.
Keluarga besar, Mamak, Etek, dan Uni Yanti atas bantuan dan nasehat yang
diberikan pada penulis.
6.
Ibu Neni dari Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. Terima
kasih segala informasi dan data yang diberikan pada penulis yang sangat
bermanfaat bagi penulisan skripsi ini.
7.
Bapak Nur Haryanto, Kepala Bagian Informasi International Pepper
Community (IPC). Terima kasih atas kesediaannya dalam memberikan
informasi yang sangat bermanfaat bagi penulisan skripsi ini.
8.
Bapak Dedi selaku staf dari Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI).
Terima kasih atas informasi dan data yang terkait dengan penelitian yang
sangat bermanfaat bagi penulisan skripsi ini.
9.
Teman-teman satu bimbingan, Asti, Wida, Ella, dan Jimmy. Terima kasih
atas semangat, dorongan, dan kerjasama yang diberikan pada penulis.
Diantara mahasiswa yang lain, sepertinya kita yang paling kompak.
10. Devi, Nunung, Retno, Yani, Nisa, Anti, Dylla, Rahma, Wulan dan temanteman EPS angkatan 41, terima kasih atas persahabatan dan dukungan yang
diberikan pada penulis.
11. Teman-teman
dari
keluarga
besar
Ikatan
Kekeluargaan
Mahasiswa
Payakumbuh (IKMP) khususnya angkatan 41, Rizqa, Amen, Mona, Ami,
Rena, Yanti, Dina, Dini, Diki, Putra serta uda-uda dan uni-uni sadonyo.
Terima kasih untuk semangat dan rasa kekeluargaannya selama ini. Although
we far from home, we feel that we have family here.
12. Teman-teman Wisma Satelit 2 bawah; Mbak Intan, Meri, Mita, dan Vivi.
Terima kasih karena sudah memberikan dukungan pada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
13. Teman-teman yang sudah bersedia hadir pada seminar. Terima kasih untuk
kesediaannya menghadiri seminar dan memberikan saran dan kritik yang
bermanfaat bagi penyusunan skripsi ini.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-satu oleh penulis yang sudah
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan karunia-Nya kepada
Bapak/Ibu dan rekan-rekan sekalian. Amin.
Bogor, Mei 2008
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... v
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 9
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Lada
2.1.1 Sejarah Lada ........................................................................................ 11
2.1.2 Karakteristik Lada ............................................................................... 12
2.2 Tinjauan Studi Terdahulu
2.2.1 Penelitian Mengenai Daya Saing Komoditas Perkebunan ......... 14
2.2.2 Penelitian Mengenai Lada .......................................................... 15
2.3 Komentar Terhadap Penelitian Terdahulu ........................................... 19
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis................................................................ 20
3.1.1 Teori Perdagangan Internasional ................................................. 20
3.1.2 Struktur Pasar .............................................................................. 22
3.1.2.1 Pasar Persaingan Sempurna ............................................ 23
3.1.2.2 Pasar Monopoli ............................................................... 23
3.1.2.3 Pasar Persaingan Monopolistik ....................................... 24
3.1.2.4 Pasar Oligopoli ................................................................ 24
3.1.3 Konsep Keunggulan Komparatif ................................................ 25
3.1.4 Konsep Keunggulan Kompetitif ................................................ 28
3.1.5 Pengertian Daya Saing ................................................................ 29
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................ 30
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Ruang Lingkup dan Waktu Penelitian ..................................................... 33
4.2 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 33
4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data ............................................... 34
4.3.1 Analisis Konsentrasi Pasar ......................................................... 34
4.3.2 Revealed Comparative Advantage (RCA) ................................. 37
4.3.3 Teori Berlian Porter .................................................................... 39
V. STRUKTUR PASAR LADA DAN PERSAINGAN LADA
INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL.......................................... 43
VI. ANALISIS DAYA SAING LADA INDONESIA
DI PASAR INTERNASIONAL
6.1 Analisis Keunggulan Komparatif Lada Indonesia:
Revealed Comparative Advantage (RCA) ....................................... 47
6.2 Analisis Keunggulan Kompetitif Lada Indonesia:
Analisis Teori Berlian Porter ............................................................ 50
6.2.1 Faktor Sumberdaya ................................................................... 50
6.2.2 Kondisi Permintaan ................................................................... 63
6.2.3 Eksistensi Industri Terkait dan Industri Pendukung ................. 68
6.2.4 Struktur, Persaingan, dan Strategi ............................................. 70
6.2.5 Peran Pemerintah ...................................................................... 73
6.2.6 Peran Peluang............................................................................ 76
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan ................................................................................... 78
7.2 Saran.............................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 81
LAMPIRAN ..................................................................................................... 84
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Neraca Ekspor Impor Sub Sektor Perkebunan Indonesia
Tahun 2003-2006 .......................................................................................... 2
2. Volume dan Nilai Ekspor Lada Indonesia
Tahun 1980, 1990, dan 2000-2006 ........................................................ 5
3. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Lada Indonesia
Tahun 1980, 1990, 2000-2006 .............................................................. 6
4. Harga Rata-Rata FOB Lada Putih dan Lada Hitam
Indonesia Pada Tahun 1999-2004 .......................................................... 8
5. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 34
6. Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi
Komoditas Lada di Pasar Internasional Tahun 1997-2006 ................... 43
7. Hasil Analisis RCA Lima Negara Eksportir Lada
Tahun 2001-2006 .................................................................................. 48
8. Pangsa Pasar (Market Share) Lima Negara Eksportir
Komoditas Lada Tahun 2001-2006 ........................................................ 49
9. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Lada Indonesia
Menurut Pengusahaan Pada Tahun 2006................................................ 52
10. Jumlah Petani Pada Perkebunan Rakyat Lada
Menurut Wilayah Pada Tahun 2004-2007............................................. 54
11. Perkembangan Konsumsi Lada Indonesia
Pada Tahun 1997-2003 .......................................................................... 63
12. Perkembangan Impor Lada Beberapa Negara
Produsen Lada di Dunia Pada Tahun 2000-2004 .................................. 64
13. Perkembangan Harga Rata-Rata Tahunan
Komoditi Lada di Pasar Domestik Pada Tahun 2001-2006 .................. 65
14. Nilai Ekspor Lada Indonesia ke Beberapa Negara Tujuan
Tahun 1997-2006 .................................................................................. 66
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Harga Komoditi Relatif Ekuilibrium Setelah Perdagangan .................... 22
2. “The National Diamond System” ............................................................ 29
3. Kerangka Pemikiran Operasional ............................................................ 32 DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Produksi Lada Hitam dan Putih dari Beberapa
Negara Produsen Lada Tahun 1997-2006 ............................................... 84
2. Nilai Ekspor Komoditi Lada Dunia Tahun 1997-2006 ........................... 85
3. Pangsa Pasar Ekspor Negara-Negara Produsen
dan Eksportir Lada Dunia Tahun 1997-2006 .......................................... 90
4. Spesifikasi Syarat Mutu Lada Putih dan Lada Hitam
Mutu I dan Mutu II serta Konsep Standar Mutu Lada IPC .................. 95
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang cukup
melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris. Pertanian merupakan sektor
yang penting dalam memacu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
masyarakat Indonesia. Pada saat ini sektor pertanian sedang berada pada tahap
menuju pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan (sustaining growth). Hal tersebut
dapat dilihat dari peningkatan PDB sektor pertanian. Berdasarkan kinerja
pembangunan pertanian tahun 2006, PDB sektor pertanian dari tanaman pangan,
tanaman perkebunan dan hasil peternakan meningkat dengan pertumbuhan 3,50
persen (angka PDB sampai dengan semester III) dibandingkan dengan tahun 2005
yang hanya sebesar 1,67 persen1.
Apabila dilihat dari kinerja ekspor dan impor sektor pertanian
(Departemen Pertanian, 2006), neraca ekspor impor komoditas pertanian
mengalami surplus sebesar US$ 6,4 milyar pada periode 2003-2006 dan
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 5,95 persen. Subsektor perkebunan
merupakan penyumbang utama terhadap surplus tersebut. Dalam hal total
komoditas
pertanian
selama
periode
2002-2005,
subsektor
perkebunan
memberikan kontribusi yang terbesar yaitu sebesar 89,9 persen dengan volume
ekspor rata-rata per tahun sebesar 12,5 juta ton. Subsektor perkebunan juga
berperan dalam peningkatan nilai ekspor komoditas pertanian Indonesia. Hal ini
ditunjukkan dengan kontribusi nilai ekspor subsektor perkebunan yaitu sebesar
1
Kinerja pembangunan sektor pertanian tahun 2006, www.agribisnis_deptan.go.id. Diakses
tanggal 5 November 2007. 91,2 persen dari total nilai ekspor komoditas pertanian Indonesia. Neraca ekspor
impor baik dari segi volume dan nilai ekspor cenderung mengalami peningkatan
pada tahun 2003 sampai dengan 2005, tetapi pada tahun 2005 dan 2006 cenderung
fluktuatif seperti yang terlihat pada Tabel 1. Meskipun demikian, subsektor
perkebunan masih merupakan subsektor yang sangat penting dalam pembangunan
pertanian Indonesia.
Tabel 1. Neraca Ekspor Impor Sub Sektor
2003-2006
Tahun
Ekspor
Volume (kg)
Nilai (USD)
2003
11.974.201.918 6.877.060.013
2004
15.556.889.495 9.107.466.305
2005
18.579.806.335 10.673.184.297
2005*
12.854.740.016 7.496.540.650
2006*
15.150.170.864 10.115.423.685
Perkebunan Indonesia Tahun
Impor
Volume (kg)
Nilai (USD)
2.088.748.566 1.473.496.787
1.353.601.447 1.323.371.273
2.091.654.011 1.532.519.642
1.651.716.714 1.200.608.945
1.346.496.425 1.273.225.050
Sumber: Kinerja Ekspor Impor Pertanian, Departemen Pertanian, www.agribisnis_deptan.go.id,
diakses 30 Januari 2008.
Keterangan: * = Data kumulatif sampai dengan bulan September
Salah satu komoditas yang menjadi unggulan dan mempunyai potensi
yang besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah lada. Indonesia
merupakan produsen dan eksportir utama lada di dunia. Indonesia termasuk ke
dalam lima besar negara produsen lada di dunia khususnya lada hitam dan lada
putih (Lampiran 1) dimana pada tahun 2006 Indonesia berada di peringkat
keempat dalam hal produksi lada dunia. Kedudukan lada sebagai komoditi ekspor
hasil perkebunan cukup penting yaitu nomor enam setelah karet, kelapa sawit,
kakao, kopi dan kelapa serta lada juga dikenal dengan King of Spices (Raja
Rempah) untuk golongan komoditi rempah-rempah. Indonesia juga memiliki
peluang yang cukup besar untuk mendominasi perdagangan di dunia. Kontribusi
lada Indonesia di pasar dunia pada kurun waktu 2001 hingga tahun 2006 berkisar
antara 15 persen sampai 27 persen (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007).
Berdasarkan sejarah, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal dengan
produksi rempah-rempahnya, termasuk lada yang sempat menarik bangsa asing
untuk menguasai dan menjajah kekayaan alam Indonesia tersebut. Potensi
produksi lada Indonesia juga didukung oleh keadaan iklim dan kondisi geografis
yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan lada.
Potensi dan peluang yang dimiliki Indonesia dalam perdagangan lada di
pasar internasional cukup besar, diantaranya Indonesia sudah lama dikenal
sebagai produsen utama lada dunia terutama lada hitam (Lampung Black Pepper)
yang dihasilkan di Propinsi Lampung dan lada putih (Muntok White Pepper) yang
berasal dari Propinsi Bangka Belitung. Jenis lada lainnya yang juga diproduksi di
Indonesia adalah lada hijau. Selain Propinsi Lampung dan Bangka Belitung,
sentra penghasil lada lainnya adalah Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat,
Sumatera Selatan, Bengkulu, dan beberapa daerah lainnya di Pulau Jawa.
Produksi lada putih Indonesia mencapai sekitar 80 persen
pasokan dunia
sedangkan untuk lada hitam produksi Indonesia mencapai 15 persen produksi
dunia (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007).
Prospek komoditas lada Indonesia juga dapat dilihat dari potensi pasar
domestik yang cukup besar yaitu dengan semakin berkembangnya industri
makanan yang yang menggunakan bumbu dari lada dan industri kesehatan yang
menggunakan lada sebagai obat serta meningkatnya minat masyarakat dalam
menggunakan lada sebagai penyedap makanan. Hal ini sejalan dengan
peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa2.
2
Panduan Seminar Nasional Rempah, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman
Industri.Bogor, 21 Agustus 2007. Perdagangan lada dewasa ini semakin berkembang yang ditandai dengan
semakin meningkatnya permintaan lada oleh negara-negara konsumen dan
semakin banyaknya jumlah negara pengekspor lada di dunia. Permintaan lada
oleh negara konsumen dapat dilihat dari impor lada yang dilakukan oleh negara
konsumen. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, yaitu antara tahun 1997
sampai dengan 2006, total impor lada dunia mengalami kenaikan yang cukup
besar dengan pertumbuhan rata-rata kenaikan sekitar 3,4 persen per tahun
(Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Amerika Serikat merupakan negara
konsumen terbesar lada di dunia, dengan total impor mencapai 22 hingga 24
persen dari total impor lada dunia. Selain itu, negara pengimpor lada utama
lainnya adalah beberapa negara di kawasan Uni Eropa, Jepang, Rusia, Korea, dan
Pakistan.
Sementara itu, negara pengekspor utama lada selain Indonesia antara lain
Brazil, India, Malaysia, Vietnam, Sri Lanka, Thailand, China, dan Meksiko.
Vietnam merupakan pendatang baru dalam perdagangan lada dunia tetapi
merupakan pesaing utama Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Vietnam
merupakan negara pengekspor lada nomor satu di dunia sejak tahun 2001 hingga
2006, mengungguli Indonesia di peringkat ketiga setelah Brazil.
Berdasarkan potensi dan kemampuan yang dimiliki, Indonesia harus
mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar internasional
terutama dalam menghadapi liberalisasi perdagangan dimana tidak ada hambatan
dalam perdagangan. Hal ini menuntut adanya mutu dan kualitas yang baik pada
komoditi yang diperdagangkan sehingga dapat berperan penting dalam
perdagangan internasional. Potensi yang cukup besar tersebut dapat menentukan
keunggulan dan kemampuan yang dimiliki komoditi lada Indonesia dalam
menghadapi liberalisasi perdagangan. Oleh karena itu, penelitian mengenai daya
saing lada Indonesia perlu dilakukan untuk mengetahui posisi bersaing Indonesia
dalam perdagangan komoditi lada di pasar internasional.
1.2 Perumusan Masalah
Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki potensi
dan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional
yaitu sebagai sumber devisa, penyedia lapangan kerja, bahan baku industri, dan
untuk konsumsi langsung. Sebagian besar produksi lada Indonesia lebih
berorientasi ekspor dan dipasarkan ke luar negeri sementara sisanya untuk
memenuhi kebutuhan domestik. Volume dan nilai ekspor lada Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Volume dan Nilai Ekspor Lada Indonesia Tahun 1980, 1990, dan
2000-2006
No.
Tahun
Volume Ekspor (ton)
Nilai Ekspor (US$)
1.
1980
29.680
50.106
2.
1990
48.442
80.575
3.
2000
65.011
221.090
4.
2001
53.638
100.507
5.
2002
63.214
89.197
6.
2003
51.546
93.445
7.
2004
34.302
58.897
8.
2005
34.556
58.468
9.
2006
36.953
77.258
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa volume dan nilai ekspor lada Indonesia
di pasar internasional cenderung berfluktuasi. Volume ekspor lada selama periode
1980 sampai 2000 mengalami peningkatan dari 29.680 ton pada tahun 1980
menjadi 48.442 ton pada tahun 1990, dan kemudian meningkat lagi pada tahun
2000 menjadi 65.011 ton. Pada periode 2000 sampai 2006, komoditas lada
menyumbangkan devisa negara sebesar US$ 59 juta sampai US$ 221 juta per
tahun. Namun demikian, selama periode antara 2000 dan 2006 volume dan nilai
ekspor lada berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. Penurunan
tersebut terjadi karena adanya penurunan produksi dan produktivitas lada
Indonesia seperti yang terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Lada Indonesia Tahun
1980, 1990, 2000-2006
No. Tahun
Produksi
Luas Areal (ha)
Produktivitas (Kg/Ha)
(ton)
1.
1980
36.626
68.554
846
2.
1990
69.899
127.582
934
3.
2000
69.087
150.531
801
4.
2001
82.078
186.022
836
5.
2002
90.181
204.068
822
6.
2003
90.740
204.364
820
7.
2004
77.008
201.484
662
8.
2005
78.328
191.992
688
9.
2006
77.534
192.604
690
Sumber: Statisitk Perkebunan Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007
Pada Tabel 3, produksi lada yang dihasilkan Indonesia dari tahun 1980
produksi lada Indonesia mengalami peningkatan tajam dari 36.626 ton menjadi
69.899 ton pada tahun 1990. Namun, selama satu dekade berikutnya yaitu dari
tahun 1990 sampai tahun 2006, produksi lada berfluktuasi. Produksi lada nasional
tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 90.470 ton. Hal yang sama juga
terjadi pada perkembangan luas areal tanaman lada. Luas areal tanaman lada
selama dua dekade terakhir mengalami peningkatan yaitu dari 68.554 ha pada
tahun 1980 menjadi 127.82 ha pada tahun 1990. Selama periode 2001-2006
secara keseluruhan terjadi penurunan areal lada Indonesia. Walaupun pada tahun
2001-2002 terdapat peningkatan luas areal lada sebesar 18.046 ha, tetapi setelah
itu luas areal mengalami penurunan. Pada tahun 2005-2006, terjadi sedikit
peningkatan luas areal lada sebesar 612 ha. Perkembangan yang terjadi pada
produksi dan luas areal juga berdampak pada perkembangan produktivitas,
dimana perkembangannya dari tahun ke tahun berfluktuasi dan cenderung
mengalami penurunan. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh serangan
hama penyakit busuk pangkal batang dan penyakit kuning dan adanya konversi
lahan tanaman lada ke penggunaan lainnya seperti pertambangan.
Selain itu, Indonesia sekarang ini tidak lagi menjadi pengekspor lada
nomor satu di dunia tetapi digantikan oleh Vietnam sejak 2001 dan tahun 2006
ekspor lada Indonesia berada di peringkat ketiga setelah Vietnam dan Brazil
(Lampiran 2). Pada tahun 2000 Indonesia menjadi pengekspor lada nomor satu di
dunia dengan total ekspor sebesar 65.011 ton jauh di atas Vietnam yang saat itu
hanya mengekspor 36.465 ton. Namun, sejak tahun 2001 Vietnam telah
menduduki peringkat pertama dengan volume ekspor lada sebanyak 56.506 ton,
dan Indonesia menempati urutan kedua dengan volume ekspor sebesar 53.638 ton.
Pada tahun 2006 Vietnam tetap menjadi pengekspor lada nomor satu dunia
dengan total 116.670 ton sedangkan posisi Indonesia tergeser menjadi peringkat
ketiga dengan total ekspor sebesar 36.953 ton setelah Brazil dengan total ekspor
sebesar 42.187 ton.
Penurunan produksi dan produktivitas lada Indonesia juga terkait dengan
cakupan pengusahaan lada dalam negeri. Pengusahaan lada di Indonesia
menghadapi beberapa permasalahan. Sebagian besar perkebunan lada masih
merupakan perkebunan rakyat yaitu sekitar 99,90 persen yang masih dikelola
secara tradisional dengan pengetahuan teknologi yang rendah pada petani
(Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Pengelolaan yang masih tradisional juga
terkait dengan masalah budidaya dimana dalam pengusahaanya masih belum
menggunakan bibit unggul. Di samping itu, permodalan yang terbatas
juga
menimbulkan masalah dalam hal pembiayaan usaha tanaman lada.
Masalah lain yang dihadapi adalah fluktuasi harga yang mengakibatkan
Indonesia sebagai salah satu negara produsen utama lada, belum mampu
mempengaruhi harga pasar dunia atau bertindak sebagai price leader sehingga
belum mempunyai bargaining position yang baik dalam perdagangan
internasional. Selama ini dalam penentuan harga lada dunia, Indonesia masih
merupakan price taker. Pada tahun 1999 hingga tahun 2004 terjadi fluktuasi pada
harga ekspor FOB lada, baik lada hitam dan lada putih seperti yang terdapat di
Tabel 4.
Tabel 4. Harga Rata-Rata FOB Lada Putih dan Lada Hitam Indonesia
Pada Tahun 1999-2004
No.
Tahun
Harga Rata-Rata FOB (US$/ton)
Lada Putih
Lada Hitam
1.
1999
6.292
4.864
2.
2000
3.933
4.024
3.
2001
2.257
1.854
4.
2002
2.104
1.584
5.
2003
2.404
1.684
6.
2004
2.317
1.487
Sumber: International Pepper Community (IPC). Producing Countries Statistics www.ipcnet.org.
Diakses tanggal 15 Maret 2008.
Berdasarkan Tabel 4, harga FOB lada putih dan hitam cenderung
berfluktuasi dan mengalami penurunan dari tahun 2000. Kondisi ini dapat terjadi
karena beberapa hal, antara lain faktor produksi, mutu, serta penawaran dan
permintaan dunia (Triana, 2000). Penurunan harga FOB lada ini bertolak
belakang dengan kondisi sebelumnya dimana pada kurun waktu 1993-1997, harga
lada Indonesia di pasaran ekspor dunia rata-rata lebih tinggi 16,5 persen dari
harga rata-rata lada dunia karena pada kurun waktu tersebut kualitas lada
Indonesia diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia (Nugroho,2004).
Permasalahan di atas dapat mempengaruhi dan terkait dengan daya saing
lada di pasar internasional. Potensi dan peluang lada yang dimiliki Indonesia juga
dapat mempengaruhi posisi dan daya saing lada Indonesia dalam perdagangan
internasional. Hal ini mengingat tantangan yang dihadapi produk lada Indonesia
dimana terdapat kompetisi yang ketat antar negara-negara produsen antara lain
dengan munculnya negara pesaing seperti Vietnam dan Brazil.
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana struktur pasar dan persaingan lada di pasar internasional?
2. Bagaimana posisi daya saing komoditas lada Indonesia dibanding
pesaingnya di pasar internasional?
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis struktur pasar dan persaingan lada di pasar internasional.
2. Menganalisis posisi daya saing lada Indonesia di pasar internasional.
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak yang terkait yaitu:
1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan
dan pengetahuan dalam mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan
komoditas pertanian dan sebagai aplikasidari teori yang diperoleh selama
ini.
2. Bagi petani, produsen dan eksportir lada. Penelitian ini diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai masukan dan informasi dalam perdagangan lada
nasional.
3. Bagi masyarakat akademik, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
masukan dan acuan untuk mengadakan penelitian lanjutan mengenai lada.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Lada
2.1.1 Sejarah Lada
Tanaman lada (Piper nigrum L) berasal dari daerah barat Ghat, India dan
kemudian menyebar ke berbagai negara di Asia termasuk Indonesia. Penyebaran
lada di Indonesia pertama kali dilakukan oleh para koloni Hindu yang sedang
melakukan perjalanan dalam misi penyebaran agamanya. Setelah itu, lada di
Indonesia menyebar ke berbagai pulau. Selain ke Indonesia penyebaran lada juga
diperdagangkan secara monopoli ke Yunani dan Romawi (Eropa) oleh para
pedagang Arab sebelum diambil alih oleh Romawi hingga abad ke-15.
Lada merupakan salah satu dari bahan rempah-rempah yang memiliki
harga yang sangat tinggi. Nilai yang tinggi ini menyebabkan bangsa Portugis pada
tahun 1498 datang ke Asia dan mulai menguasai perdagangan rempah di India.
Sejak tahun 1611, setelah hegemoni Portugal dipatahkan Belanda, perdagangan
rempah-rempah jatuh ke tangan Belanda sampai sebelum Perang Dunia II. Sekitar
tahun 1956 bangsa Belanda mulai melakukan ekspedisi ke Samudera Hindia dan
mendarat di Pulau Batam. Pada pertengahan abad 17 mereka berhasil menguasai
perdagangan cengkeh, pala dan fuli di Jawa, Maluku, dan Sulawesi. Sekitar akhir
abad 17 perdagangan lada yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan telah dapat
dikuasai. Sementara itu, Amerika Serikat masuk dalam perdagangan rempahrempah di Timur Jauh setelah Belanda mengalami kerugian pada tahun 1799.
Dengan demikian, sejak saat itu perdagangan makin meluas hingga ke Benua
Amerika.
2.1.2 Karakteristik Lada
Lada merupakan tanaman yang tumbuh merambat pada sebuah tajar yang
mati atau hidup. Tanaman lada dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim
tropis dengan temperatur optimum 23°C sampai 30°C dan curah hujan sebesar
2000 hingga 2500 mm per tahun yang merata sepanjang tahun. Tanaman ini
sangat baik ditanam pada lahan yang agak miring, subur secara fisik dan ekonomi
dan dengan drainase yang baik serta mendapat sinar matahari yang cukup.
Lada (Piper nigrum L) termasuk keluarga Piperciae yang meliputi ratusan
jenis tanaman lada. Di Indonesia dijumpai sekitar 40 jenis lada. Jenis lada yang
dikenal di daerah-daerah penghasil lada ialah Kerinci, Jambi, Bangka, dan Bulok
Belantung. Lada Kerinci, Jambi, dan Bangka termasuk lada dengan buah besar
tetapi tidak tahan penyakit busuk pangkal, sedangkan lada Bulok Belantung
buahnya kecil tetapi agak tahan terhadap penyakit tersebut. Selain itu, juga
terdapat jenis Bengkayang dan Kucing di Kalimantan Barat.
Pembibitan lada dapat dilakukan dengan cara menyemai biji lada yang
sudah cukup tua (berwarna merah atau kuning) dan dengan cara stek cabang.
Proses pemeliharaan tanaman lada terdiri dari penyiraman, penyulaman,
pemberantasan tumbuhan pengganggu, mulching, pemupukan, pemangkasan ,dan
pengendalian hama dan penyakit. Penyakit yang paling sering menyerang
tanaman lada adalah penyakit busuk pangkal batang (Phytophtora Capsici) dan
penyakit kuning.
Berdasarkan perbedaaan waktu pemetikan dan proses pengolahan dikenal
dua jenis lada yaitu lada hitam dan lada putih. Kedua jenis ini berbeda dalam
persyaratan bahan olah, cara pengolahan, waktu pengolahan, dan biaya
pengolahan. Perbedaan kedua jenis lada ini juga terdapat dalam hal pengolahan
lanjutan serta gradingnya yang sesuai dengan spesifikasi pasaran dunia.
Lada putih adalah buah lada yang dipetik saat matang penuh, kemudian
dilepaskan kulitnya dengan cara merendam dalam air yang mengalir selama
kurang lebih dua minggu lalu dijemur selama tiga hari. Sementara itu, lada hitam
adalah buah lada yang dipetik saat matang petik (kulit masih hijau) dan langsung
dijemur selama tiga hari tanpa direndam terlebih dahulu. Di Indonesia sentra
produksi lada hitam (Lampung Black Pepper) terdapat di daerah Lampung dan
Kalimantan Timur, sedangkan untuk lada putih (Muntok White Pepper) terdapat di
daerah Bangka Belitung, Kalimantan Tengah dan Sulawesi.
Sebagai barang ekonomis lada dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kegunaan, antara lain sebagai bumbu masakan dan pengawet daging. Selain itu,
dalam hal farmasi lada sering digunakan sebagai bahan pembuat obat serta bahan
wewangian. Lada hitam umumnya diolah lebih lanjut menjadi oleoresin lada
(pepper oleoresin) atau minyak lada (pepper oil). Minyak lada terutama
digunakan sebagai pemberi aroma dan rasa pada berbagai macam industri
makanan dan juga dipakai dalam industri kosmetika dan farmasi. Salah satu jenis
obat yang dapat dibuat dari minyak lada adalah balsam lada dalam bentuk krim.
Sementara itu, lada putih dapat diolah lebih lanjut menjadi lada bubuk (ground
pepper).
Selain itu, produk lada lainnya adalah lada hijau yang merupakan produk
olahan dari lada dimana warna hijaunya dipertahankan. Lada hijau memiliki rasa
yang khas, warna dan penampakannya alami sehingga dapat digunakan sebagai
bahan hiasan pada makanan dan dapat dipakai langsung pada makanan yang
dihidangkan. Berdasarkan cara pengolahannya dikenal beberapa bentuk lada yaitu
lada hijau dalam bentuk kering, lada hijau dalam bentuk larutan garam, dan lada
hijau dalam bentuk beku. Dari lada hijau dapat juga diolah menjadi green pepper
sauce.
2.2 Tinjauan Studi Terdahulu
2.2.1 Penelitian Mengenai Daya Saing Komoditas Perkebunan
Meryana (2007) melakukan penelitian mengenai daya saing kopi robusta
Indonesia di pasar internasional. Jenis data yang digunakan adalah berupa data
sekunder. Dari analisis struktur pasar dengan menggunakan nilai Herfindahl Index
dan Concentration Ratio diperoleh hasil bahwa struktur pasar kopi Robusta di
pasar kopi internasional menunjukkan kecenderungan ke arah pasar persaingan
dengan bentuk pasar oligopoli. Hasil ini ditunjukkan dengan skor Herfindahl
Index sebesar 0,2 dan nilai Concentration Ratio dari empat produsen terbesar
sejumlah 70 persen. Industri kopi nasional memiliki keungulan komparatif yang
ditunjukkan dengan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang lebih
besar dari 1 yaitu sebesar 9,70. Akan tetapi, daya saingnya masih rendah
dibandingkan dengan negara Pantai Gading dan Uganda yang merupakan negara
produsen dan eksportir utama kopi Robusta di dunia. Hasil analisis keunggulan
kompetitif industri kopi Robusta Indonesia adalah bahwa secara keseluruhan
atribut, seperti faktor sumberdaya, kondisi permintaan domestik, dan struktur
industri kopi dalam negeri mendukung industri ini untuk berkembang.
Pada tahun 2006, Anissa melakukan penelitian tentang daya saing teh
Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan pendekatan analsis data
panel. Pengolahan data dilakukan dengan tiga metode yaitu metode pooled OLS,
metode fixed effect, dan metode random effect. Hasilnya adalah bahwa variabel
yang berpengaruh nyata terhadap pangsa pasar teh hitam Indonesia adalah
produksi teh hitam Indonesia dan jumlah konsumsi teh hitam dalam negeri. Hasil
pengolahan data tersebut mencerminkan kondisi nyata daya saing teh hitam
Indonesia di pasar internasional dimana Indonesia sebagai salah satu negara
produsen teh terbesar di dunia tidak dapat mempengaruhi harga pasar.
Tatakomara (2004) melakukan penelitian mengenai daya saing komoditi
teh di pasar internasional dengan menggunakan data sekunder dalam bentuk time
series dari tahun 1982-2001. Dari model regresi diperoleh hasil elastisitas bahwa
hanya variabel produksi yang memiliki elastisitas yang lebih dari satu atau dengan
kata lain ekspor teh Indonesia cukup peka terhadap perubahan produksi teh
domestik. Dari perhitungan REER (Real Effective Exchange Rate) menunjukkan
nilai REER yang semakin meningkat yang berarti bahwa tingkat harga komoditi
teh menjadi semakin murah di pasaran internasional dibandingkan dengan hargaharga dari negara lain. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi teh
Indonesia sudah memiliki keunggulan alamiah atau keunggulan absolut karena
sumberdaya lahan yang melimpah untuk menghasilkan komoditi tersebut. Untuk
keunggulan kompetitif, komoditi teh Indonesia masih harus perlu ditingkatkan
daya saingnya.
2.2.2 Penelitian Mengenai Lada
Pada tahun 2004, Nugroho melakukan penelitian mengenai stuktur pasar
lada dunia dan faktor-faktor yang mempengaruhi harga ekspor lada Indonesia.
Berdasarkan hasil analisis konsentrasi pasar dan stabilitas pasar struktur pasar lada
dunia, apabila ditinjau dari sisi penjual, strutur pasar lada dunia berbentuk
oligopoli. Dari analisis regresi berganda diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang
berpengaruh signifikan terhadap ekspor lada hitam Indonesia adalah volume
ekspor lada hitam Indonesia, volume ekspor lada dunia dari negara-negara
produsen selain Indonesia, volume impor lada dunia, dan harga lada hitam dunia
di pusat perdagangan New York. Sementara faktor-faktor yang berpengaruh
signifikan terhadap harga ekspor lada putih Indonesia adalah volume impor lada
dunia, nilai tukat dollar AS terhadap rupiah, harga ekspor lada satu periode
sebelumnya, dan harga lada putih dunia di pusat perdagangan Eropa.
Susilowati (2003) melakukan penelitian tentang dinamika daya saing lada
Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah model Pangsa Pasar Konstan
(Constant Market Share = CMS) untuk mengetahui keuggulan kompetitif lada
Indonesia terhadap negara-negara pesaing. Selain menggunakan model CMS,
penelitian tersebut juga menggunakan analisis substitusi impor, khususnya untuk
mengetahui sifat hubungan persaingan antar negara produsen lada, apakah bersifat
saling melengkapi atau saling menggantikan. Data yang digunakan merupakan
data time series periode 1985 – 2001. Dari analisis CMS dekomposisi tahap
pertama diperoleh hasil bahwa selama periode 1985-2001, Indonesia secara
konsisten berhasil mempertahankan pangsa ekspornya di pasar lada dunia
(Amerika Serikat, MEE dan Singapura), sementara tiga negara pesaing Indonesia
(Brazil, India dan Malaysia) cenderung mengalami penurunan ekspor.
Dekomposisi tahap kedua menunjukkan bahwa Indonesia mengkonsentrasikan
ekspor lada hitam dan putih dengan pertumbuhan pasar yang relatif cepat.
Sebaliknya Brazil dan India hanya mengkonsentrasikan ekspor mereka pada jenis
lada tertentu, yaitu hanya untuk lada hitam. Dilihat dari nilai elastisitas substitusi
impor, Indonesia dan India akan bersaing di pasar MEE, sedangkan Indonesia
dengan Malaysia akan bersaing di pasar Amerika Serikat dan Singapura. Nilai
elastisitas substitusi impor antara Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura
bernilai relatif besar, meskipun tidak elastis.
Penelitian mengenai faktor internal dan eksternal penawaran dan
permintaan lada putih di pasaran domestik dan dunia dilakukan oeh Triana (2000)
dengan menggunakan model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan dan
diduga dengan metode Two Stage Least Square (TSLS). Hasil pendugaan model
diperoleh koefisien determinasi (R2) berkisar antara 52%-96%. Produksi lada
putih Indonesia hanya responsif (elastis) terhadap produktivitas jangka panjang.
Penawaran ekspor lada putih Indonesia ke Jerman, Nederland dan Singapura lebih
responsif terhadap perubahan tingkat produksi dibandingkan dengan perubahan
harga ekspor lada putih dan lada hitam, nilai tukar, suku bunga, dan volume reekspor lada putih Singapura. Penawaran ke Amerika Serikat dan Jepang lebih
responsif terhadap volume re-ekspor lada putih Singapura dibandingkan dengan
tingkat produksi, harga ekspor lada, nilai tukar dan suku bunga. Permintaan impor
lada putih Amerika Serikat dan Nederland lebih responsif terhadap pendapatan
dibandingkan dengan perubahan impor lada putih dan hitam, jumlah penduduk,
dan nilai tukar. Untuk permintaan lada impor lada putih Jepang lebih responsif
terhadap perubahan harga lada hitam dunia dibandingkan dengan perubahan harga
impor lada putih, pendapatan, jumlah penduduk, dan nilai tukar. Permintaan
impor lada putih Jerman dan Singapura lebih responsif terhadap perubahan jumlah
penduduk dibandingkan dengan perubahan harga lada putih dan lada hitam,
pendapatan, jumlah penduduk, dan nilai tukar.
Jumadi (1991) melakukan penelitian mengenai analisis perdagangan yang
terdiri dari analisis permintaan, dan penawaran ekspor lada hitam Indonesia di
pasar Internasional dengan menggunakan model Armington. Pendugaan
parameter permintaan impor lada hitam di pasar internasional menyebutkan
bahwa elastisitas harga langsung dan harga silang (harga lada putih) dari
permintaan lada hitam besifat inelastis kecuali di pasar Amerika Serikat,
elastisitas pendapatan dari permintaan lada hitam juga bersifat inelastis. Hasil
pendugaan
parameter
ekspor
dengan
menggunakan
model
Nerlovian
menunjukkan bahwa elastisitas penawaran ekspor jangka panjang di pasar
internasional bersifat inelastis kecuali di Indonesia. Pergeseran permintaan lada
hitam yang terjadi di Amerika Serikat paling besar pengaruhnya terhadap total
penawaran ekspor lada hitam Indonesia, dibandingkan dengan pergeseran
permintaan lada hitam yang terjadi dibandingkan dengan pasar lain.
Hasyim (1986) telah melakukan penelitian mengenai kedudukan komoditi
lada Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan model persamaan
simultan kuadrat terkecil dua tahap (Two Stage Least Square). Dari hasil
penelitian diperoleh hasil bahwa peubah yang berpengaruh terhadap penawaran
ekspor lada adalah harga lada dunia, produksi lada tahun lalu, luas areal, curah
hujan, laju ekspor efektif dan pendapatan per kapita. Penawaran ekspor lada non
Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah produksi kelompok negara produsen
selain Indonesia, luas tanaman lada non Indonesia dan pendapatan per kapita di
luar Indonesia. Permintaan impor lada Amerika Serikat dipengaruhi oleh harga
lada dunia. Sementara itu, permintaan impor lada non Amerika Serikat sangat
dipengaruhi oleh harga lada dunia.
2.3 Komentar Terhadap Penelitian Terdahulu
Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah
pada subektor komoditas yang dianalisis, yaitu subsektor perkebunan. Penelitian
ini menganalisis komoditas lada Indonesia. Selain itu, cakupan penelitian juga
memiliki persamaan yaitu cakupan pasar internasional.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah
terletak pada metode analisis dan data yang digunakan. Penelitian ini
menganalisis daya saing lada Indonesia di pasar internasional dengan
menggunakan analisis konsentrasi pasar dengan menggunakan metode Herfindahl
Index dan Concentration Ratio, analisis keunggulan komparatif melalui metode
Revealed Comparative Advantage (RCA), dan analisis keunggulan kompetitif
dengan menggunakan metode Teori Berlian Porter. Sementara itu, data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder time series dari tahun 19972006.
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional diartikan sebagai pertukaran barang dan jasa
yang terjadi melampaui batas antar negara. Perdagangan internasional diperlukan
untuk mendapatkan manfaat yang dimungkinkan oleh spesialisasi produksi.
Dengan perdagangan, setiap orang, wilayah, atau bangsa dapat memusatkan
perhatian untuk memproduksi barang dan jasa yang dapat dilakukannya secara
efisien, sementara mereka melakukan perdagangan untuk memperoleh barang dan
jasa lain yang tidak diproduksinya (Lipsey, 1997).
Perdagangan internasional mengkaji saling ketergantungan antar negara.
Ilmu ini menganalisa arus barang, jasa, dan pembayaran-pembayaran antara
sebuah negara dan negara-negara lain di dunia, kebijakan yang diarahkan pada
pengaturan arus ini, serta pengaruhnya pada kesejahteraan negara. Saling
ketergantungan ekonomi antar negara ini dipengaruhi dan mempengaruhi
hubungan politik, sosial budaya, dan militer negara. Teori perdagangan
internasional menganalisa dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta
keuntungan yang diperoleh dari perdagangan (Salvatore, 1997).
Pada dasarnya, model perdagangan standar harus berlandaskan pada empat
hubungan berikut ini :
1. Hubungan antara batas-batas kemungkinan produksi dengan kurva
penawaran relatif.
2. Hubungan antara harga-harga relatif dengan tingkat permintaan.
3. Penentuan keseimbangan dunia dengan penawaran relatif dan
permintaan relatif dunia.
4. Dampak-dampak atau pengaruh nilai tukar perdagangan (terms of
trade), yaitu harga ekspor dari suatu negara dibagi dengan harga
impornya terhadap kesejahteraan suatu negara.
Gambar 1 memperlihatkan proses terciptanya harga komoditi relatif
ekuilibrium dengan adanya perdagangan, ditinjau dari analisis keseimbangan
parsial. Pada Gambar 1, karena Px/Py lebih besar dari P1, maka negara 1
mengalami kelebihan penawaran komoditi X (Panel A), sehingga kurva
penawaran ekspornya
atau S yang diperlihatkan oleh panel B mengalami
peningkatan. Di lain pihak, karena Px/Py lebih rendah dari P3, maka negara 2
mengalami kelebihan permintaan untuk komoditi X (lihat Panel C) dan ini
mengakibatkan permintaan impor negara 2 terhadap komoditi X atau D,
mengalami kenaikan (lihat Panel B). Panel B juga menunjukkan bahwa hanya
pada tingkat harga P2 maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara
2 akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh negara 1.
Dengan demikian P2 merupakan Px/Py atau harga relatif ekuilibrium setelah
berlangsungnya perdagangan di antara kedua negara tersebut. Akan tetapi, jika
Px/Py lebih besar dari P2 maka akan terdapat kelebihan penawaran ekspor
komoditi X dan hal ini akan menurunkan harga relatifnya atau Px/Py, sehingga
pada akhirnya harga itu akan bergerak mendekati atau sama dengan P2.
Sebaliknya jika Px/Py lebih kecil daipada P2, maka akan tercipta kelebihan
permintaan impor komoditi X yang selanjutnya akan menaikkan Px/Py sehinggga
lambat laun akan sama dengan P2.
Panel A
Pasar di Negara
1 untuk
Komoditi X Px/Py
P1
0
Px/Py
Sx
Px/Py
B’ A’
P3
P2
Panel C
Pasar di Negara
2 untuk
Komodii X
Panel B
Hubungan
Perdagangan
Internasional dalam
Komoditi X
Ekspor
B
Sx
E
A’ ’
S
E’
E*
B*
Impor
D
Dx
A*
A
Dx
X0
X0
X
Sumber : Salvatore, 1997
Gambar 1. Harga Komoditi Relatif Ekuilibrium Setelah Perdagangan
3.1.2 Struktur Pasar
Istilah struktur pasar mengacu pada semua aspek (feature) yang dapat
mempengaruhi prilaku dan kinerja perusahaan di suatu pasar, misalnya, jumlah
perusahaan di pasar, atau jenis produk yang mereka jual, struktur pasar
menjabarkan tingkat persaingan dalam pasar untuk setiap barang dan jasa. Sebuah
pasar terdiri dari semua perusahaan dan individual yang rela dan mampu membeli
atau menjual satu produk tertentu. Struktur pasar umumnya dicirikan atas dasar
empat karakteristik yang penting yaitu jumlah dan distribusi ukuran dari penjual
dan pembeli yang aktif serta para pendatang potensial, tingkat diferensiasi produk,
jumlah dan biaya, informasi tentang harga dan mutu produk, serta kondisi masuk
dan keluar pasar (Pappas dan Hirschey,1995).
3.1.2.1 Pasar Persaingan Sempurna
Menurut Pappas dan Hirschey (1995), pasar persaingan sempurna adalah
struktur pasar yang dicirikan dengan sejumlah besar pembeli dan penjual untuk
sebuah produk yang homogen, dimana setiap transaksi peserta pasar adalah begitu
kecil sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap harga pasar dari produk tersebut.
Para pembeli dan penjual individual adalah para penerima harga (price takers). Ini
berarti perusahaan tidak mempunyai kontrol terhadap harga. Harga telah
ditentukan pasar dan cenderung konstan. Pada struktur pasar ini informasi
permintaan dan penawaran yang bebas dan lengkap tersedia dalam pasar bersaing
sempurna serta tidak terdapat hambatan masuk dan keluar yang berarti. Sebagai
akibatnya, persaingan harga yang ketat terjadi dan hanya tingkat pengembalian
atas investasi yang normal yang dimungkinkan dalam jangka panjang.
3.1.2.2 Pasar Monopoli
Pasar monopoli adalah suatu pasar yang dicirikan dengan penjual tunggal
dan sebuah produk yang sangat terdiferensiasi. Produsen setiap produk harus
bersaing memperebutkan pangsa pasar dari pembelian konsumen, tetapi produsen
monopoli tidak menghadapi persaingan yang efektif untuk penjualan produknya
baik dari pesaing yang ada maupun yang potensial. Hambatan yang besar
seringkali merintangi para pendatang potensial. Monopoli bisa terjadi karena tiga
hal, yaitu monopoli alami, monopoli karena efisiensi yang superior, dan monopoli
karena paten (Pappas dan Hirschey, 1995).
3.1.2.3 Pasar Persaingan Monopolistik
Menurut Pappas dan Hirschey (1995), pasar persaingan monopolistik
adalah struktur pasar yang terdiri dari banyak penjual yang menawarkan produkproduk yang serupa tetapi tidak identik. Pasar persaingan monopolistik hampir
sama dengan pasar persaingan sempurna. Akan tetapi, terdapat perbedaaan
penting
dalam
persaingan
monopolistik
bahwa
produk-produk
yang
ditransaksikan berupa produk yang sudah terdiferensiasi sehinga konsumen
melihat adanya perbedaan penting diantara produk-produk yang ditawarkan oleh
setiap produsen individual.
Dalam
persaingan
monopolistik,
sebuah
perusahaan
dapat
memperkenalkan sebuah inovasi dalam produk atau proses yang bernilai dan
memberikan peningkatan laba ekonomi yang cukup besar atau tingkat
pengembalian yang di atas normal dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang,
peniruan oleh pesaing akan mengikis pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan
lain dalam persaingan monopolistik dan laba akhirnya menurun ke tingkat
normal.
3.1.2.4 Pasar Oligopoli
Oligopoli adalah industri yang terdiri dari dua atau beberapa perusahaan,
sedikitnya satu diantaranya menghasilkan sebagian cukup besar dari total industri.
Oligopolis menyadari adanya interdependensi di antar keputusan-keputusan yang
diambil oleh berbagai produsen dalam industri dan mereka yang terlibat dalam
perilaku bersaing yang bersifat strategik, yang berarti mereka memperhitungkan
secara eksplisit dampak keputusan mereka atas produsen-produsen pesaing dan
reaksi yang mereka harapkan dari produsen-produsen pesaing ini.
Akses yang terbatas pada informasi, biaya, dan mutu produk yang
dikombinasikan dengan hambatan masuk, mobilitas dan hambatan keluar yang
tinggi memberikan potensi laba ekonomi dalam jangka panjang. Kelembagaan
memainkan peranan penting dalam mendefinisikan, metode, ruang lingkup dan
intensitas persaingan dalam pasar oligopoli. Teknik-teknik persaingan non harga
ditekankan untuk meningkatkan permintaan. Dengan sedikit pesaing, sering
terdapat insentif ekonomi bagi perusahaan-perusahaan untuk merancang
kesepakatan ilegal untuk membatasi persaingan, menetapkan harga secara
bersama-sama atau membagi pasar dengan cara-cara lainnya (Pappas dan
Hirschey, 1995).
3.1.3 Konsep Keunggulan Komparatif
Menurut Adam Smith dalam Salvatore (1997), perdagangan antara dua
negara didasarkan pada keungulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah
negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara
lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau
memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi
lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara
masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang
memiliki keunggulan absolut, dan menukarkannya dengan komoditi lain yang
memiliki kerugian absolut. Melalui proses ini, sumberdaya di kedua negara dapat
digunakan dalam cara yang paling efisien. Output kedua komoditi yang
diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan dalam output ini akan mengukur
keuntungan dari spesialisasi produksi untuk kedua negara yang melakukan
perdagangan.
Teori keunggulan absolut disempurnakan oleh David Ricardo pada tahun
1817 dengan menerbitkan buku Principles of Political Economy and Taxation,
yang berisi penjelasan mengenai hukum keunggulan komparatif. Menurut hukum
keunggulan komparatif, meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau
memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua
komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang
menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi
dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki keunggulan absolut
yang lebih kecil (ini merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan
mengimpor komoditi yang memiliki keungulan absolut yang lebih besar
(komoditi ini memiliki kerugian komparatif).
David Ricardo mendasarkan hukum keunggulan komparatifnya pada
sejumlah asumsi yang disederhanakan, yaitu: (1) hanya terdapat dua negara dan
dua komoditi, (2) perdagangan bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga kerja
yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4)
biaya produksi konstan, (5) tidak terdapat biaya transportasi, (6) tidak ada
perubahan teknologi, dan (7) menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu
sampai dengan enam dapat diterima dengan mudah tetapi asumsi tujuh (teori nilai
tenaga kerja) tidak berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan
keunggulan komparatif.
Pengujian empiris pertama terhadap model perdagangan David Ricardo
dilakukan oleh MacDougall pada tahun 1952 dan 1952 dengan menggunakan data
tahun 1937. Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut menunjukkan bahwa
industri-industri yang memiliki produktivitas tenaga kerja relatif lebih tinggi di
Amerika Serikat dibandingkan dengan di Inggris, adalah industri yang memiliki
rasio ekspor Amerika terhadap Inggris yang lebih tinggi ke negara-negara lainnya.
Hasil pengujian empiris ini didukung pula oleh hasil pengujian yang dilakukan
oleh Bela Ballasa dengan menggunakan data tahun 1950, dan oleh pengujian
Stern yang menggunakan data tahun 1959. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa
keungulan komparatif memang didasarkan pada perbedaan produktivitas tenaga
kerja, seperti dikemukakan oleh David Ricardo. Meskipun demikian, model
perdagangan David Ricardo tersebut tidak menjelaskan alasan timbulnya
perbedaan produktivitas tenaga kerja di antara berbagai negara. Teori ini juga
tidak menjelaskan mengenai pengaruh perdagangan internasional terhadap
pendapatan yang diperoleh faktor produksi (Salvatore,1997).
Teori Heckscher-Ohlin memiliki cakupan yang lebih luas daripada
model perdagangan yang sebelumnya. Pada intinya, teori perdagangan
Heckscher-Ohlin menjelaskan bahwa perdagangan internasional berlangsung atas
dasar keunggulan komparatif yang berbeda dari masing-masing negara. Teori juga
menyinggung mengenai dampak-dampak perdagangan internasional terhadap
harga atau tingkat pendapatan masing-masing faktor produksi.
Teori Heckscher-Ohlin atau teori kelimpahan faktor dapat diekspresikan
ke dalam dua buah teorema yang saling berhubungan, yakni teorema HeckscherOhlin serta teorema penyamaan harga faktor. Menurut teorema Heckscher-Ohlin,
sebuah negara akan mengekspor komoditi yang padat faktor produksi yang
ketersediaannya di negara tersebut melimpah dan murah, sedangkan di sisi lain ia
akan mengimpor komoditi yang padat dengan faktor produksi yang di negaranya
merupakan faktor produksi langka dan mahal. Menurut teorema penyamaan harga
faktor atau teorema Heckscher-Ohlin-Samuelson, perdagangan internasional
cenderung menyamakan harga-harga, baik itu secara relatif maupun secara
absolut, dari berbagai faktor produksi homogen atau sejenis di antara negaranegara yang terlibat dalam hubungan dagang. Secara umum, model perdagangan
Heckscher-Ohlin dapat dianggap sebagai model baku perdagangan internasional
(Salvatore, 1997).
3.1.4 Konsep Keunggulan Kompetitif
Penelitian Porter tentang keunggulan bersaing negara-negara mencakup
tersedianya peranan sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada negara yang
mempengaruhi daya saing perusahaan-perusahaan internasional pada industri
yang berbeda. Perusahaan memperoleh keuntungan terhadap para pesaing dunia
yang terbaik karena tekanan dan tekanan. Mereka mendapatkan manfaat dari
memiliki pesaing domestik yang kuat, pemasok permintaan para pelanggan lokal,
basis daerah asal yang agresif, dan permintaan para pelanggan lokal (Porter,
1998).
Menurut Porter (1998), ada empat kategori atribut yang merupakan
faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional, yakni kondisi faktor (factor
conditions), kondisi permintaan (demand conditions), industri pendukung dan
terkait (related and supporting industries), serta persaingan, struktur dan strategi
perusahaan (firms strategy, structure, and rivalry). Keempat atribut tersebut
didukung oleh peranan kesempatan atau peluang (chance) dan peranan
pemerintah (government) dalam meningkatkan daya saing industri nasional, dan
secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang dikenal dengan “the national
diamond”.
Peluang
Strategi
perusahaan,
struktur, dan
persaingan
Kondisi
faktor
Kondisi
permintaan
Industri terkait
dan pendukung
Pemerintah
Sumber: Michael E.Porter. 1998. The Competitive Advantage of Nation
Keterangan: Garis (
), menunjukkan hubungan antara atribut utama
Garis (
), menunjukkan hubungan antara atribut tambahan
terhadap atribut utama
Gambar 2. “The National Diamond System”
3.1.5 Pengertian Daya Saing
Pengertian daya saing mengacu pada kemampuan suatu negara untuk
memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan
negara lain (Silalahi dalam Bappenas, 2007). Konsep dayasaing dalam
perdagangan internasional terkait dengan keunggulan yang dimiliki suatu
komoditas atau kemampuan suatu negara dalam menghasilkan komoditas tersebut
secara lebih efisien daripada negara lain (Annisa dalam Suprihanti, 2006).
Daya saing dapat juga dikatakan sebagai kemampuan suatu komoditi
untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan dalam
pasar tersebut, dalam artian jika suatu produk mempunyai daya saing maka
produk tersebutlah yang banyak diminati oleh banyak konsumen (Tatakomara,
2004).
3.3 Kerangka Pemikiran Operasional
Lada merupakan salah satu komoditas unggulan ekspor perkebunan
Indonesia karena Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir utama lada
di pasar internasional. Selain itu, lada juga merupakan salah satu sumber devisa
yang cukup besar, penyedia lapangan kerja, bahan baku industri, dan untuk
konsumsi langsung. Adanya potensi yang besar dalam hal produksi dan masih
tingginya permintaan terhadap lada Indonesia merupakan salah satu peluang
Indonesia untuk menguasai pasar lada dunia dan hal ini dapat menunjukkan
kemampuan lada Indonesia dalam menghadapi adanya liberalisasi perdagangan.
Namun, sebagai negara produsen dan eksportir utama lada di dunia,
pengusahaan lada masih terkendala oleh masalah cakupan dan bentuk
pengusahaan yang sebagian besar berupa perkebunan rakyat, teknik budidaya dan
teknologi serta masih rendahnya penggunaan bibit unggul. Selain itu, petani lada
juga dihadapkan pada masalah fluktuasi harga dan permodalan yang terbatas.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis struktur pasar lada Indonesia dan menganalisis posisi daya saing
lada Indonesia di pasar internasional.
Oleh karena itu, tahapan pertama dalam melakukan penelitian ini adalah
menganalisis struktur pasar dan pangsa pasar komoditas lada Indonesia di pasar
internasional dengan pendekatan menggunakan analisis Herfindahl Index dan
Concentration Ratio. Penelitian ini juga menggunakan analisis kuantitatif lainnya
yaitu Revealed Comparative Advantge (RCA). RCA ini digunakan untuk
menjelaskan kekuatan daya saing komoditas lada Indonesia terhadap produk
sejenis dari negara lain (dunia) yang juga menunjukkan posisi komparatif
Indonesia sebagai negara produsen lada dibandingkan dengan negara lainnya di
pasar lada internasional.
Tahap selanjutnya adalah melakukan pengkajian potensi, kendala dan
peluang komoditas lada. Analisis situasi internal dan eksternal ini dilakukan
dengan pendekatan Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory) mengenai
keunggulan bersaing negara-negara. Teori Berlian Porter menganalisis faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhi keunggulan kompetitif suatu negara,
dalam penelitian ini berarti faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan
kompetitif lada Indonesia. Untuk lebih jelasnya, akan diperlihatkan diagram alur
pemikiran dari penelitian ini pada Gambar 3.
•
•
•
•
•
Indonesia
merupakan
produsen dan
eksportir lada
utama di dunia
Penyedia lapangan
kerja yang besar
Lada menghasilkan
devisa negara yang
tinggi
Potensi dalam
menghadapi
liberalisasi
perdagangan masih
besar
•
•
•
•
Sebagian besar
pengusahaan lada
berupa
perkebunan
rakyat
Teknik budidaya
dan penguasaan
teknologi masih
rendah
Penggunaan bibit
unggul masih
rendah
Fluktuasi harga
Permodalan
terbatas
Analisis Daya Saing Komoditas
Lada Indonesia di Pasar
Internasioanl
Analisis Struktur
Pasar Lada
Dunia
Analisis
Keunggulan
Komparatif Lada
Indonesia
Analisis
Keunggulan
Kompetitif Lada
Indonesia
Herfindahl Index
dan Concentration
Ratio
Revealed
Comparative
Advantage
Teori Berlian
Porter
Posisi dan Gambaran Daya Saing
Komoditas Lada Indonesia di Pasar
Internasional
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Ruang Lingkup dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menganalisis mengenai posisi daya saing lada Indonesia di
pasar internasional. Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan, mulai bulan
Februari hingga April 2008.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
merupakan data deret waktu (time series) selama sepuluh tahun dari tahun 1997
sampai tahun 2006. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi nilai
ekspor dan impor lada Indonesia dan negara-negara produsen dan eksportir lada
di dunia. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan informasi yang berkaitan
dengan potensi lada di Indonesia untuk kajian keunggulan kompetitif.
Sumber data diperoleh dari Departemen Pertanian, International Peper
Community (IPC), dan United Nation Commodity Trade (UN Comtrade) yang
ditelusuri melalui jaringan internet. Sumber informasi lainya diperoleh dari buku,
artikel, jurnal, dan internet. Dalam penelitian ini juga digunakan data-data yang
berasal dari literatur dan penelitian-penelitian terdahulu.
Tabel 5. Jenis dan Sumber Data
Jenis Data
Sumber Data
Nilai ekspor lada negara-negara United Nation Commodity Trade
dunia tahun 1997-2006
Statistics Database (UN Comtrade)
Situs:
http//unstats.un.org/unsd/comtrade/db
International Pepper community (IPC)
Situs: www.ipcnet.org
Gambaran umum lada Indonesia
Departemen Pertanian, Badan Pusat
Statistik,
International
Pepper
Community (IPC), Asosiasi Eksportir
Lada Indonesia (AELI)
Penelitian-penelitian terdahulu
Perpustakaan LSI
4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif
dan
metode
kuantitatif.
Metode
deskriptif
digunakan
untuk
menganalisis kondisi internal dan eksternal dalam pengusahaan lada berupa
analisis keunggulan kompetitif lada Indonesia di pasar internasional. Metode
kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur dan pangsa pasar dan
keunggulan
komparatif
lada
Indonesia
di
pasar
internasional
dengan
menggunakan analisis Herfindahl Index dan Revealed Comparative Advantage
(RCA). Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft
Excel 2007.
4.3.1 Analisis Konsentrasi Pasar
Untuk menganalisis tingkat konsentrasi pasar yang dihadapi dari suatu
komoditi dapat dilakukan dengan alat analisis Herfindahl Index (HI) dan
Concentration Ratio (CR). Dari analisis tingkat konsentrasi pasar akan dapat
diketahui struktur atau bentuk pasar yang dihadapi dari perdagangan komoditi
lada yang pada akhirnya dapat menentukan tingkat persaingan yang dihadapi.
Selain itu, analisis konsentrasi pasar dengan menggunakan Herfindahl Index dan
Cocentration Ratio juga memperhitungkan pangsa pasar dari masing-masing
negara di dunia yang terlibat dalam perdagangan lada di pasar internasional.
Pangsa pasar lada diperoleh dengan membandingkan ekspor lada suatu negara
dengan total ekspor lada keseluruhan negara.
Nilai Herfindahl Index merupakan hasil penjumlahan kuadrat pangsa pasar
tiap negara3. Formula Herfindahl Index adalah sebagai berikut:
HI = Sij12 + Sij22 + Sij32 + … + Sijn2
Dimana, Sij = pangsa pasar komoditi i (dalam hal ini adalah lada ) negara j di
pasar internasional
n = jumlah negara produsen lada di pasar internasional
Kisaran nilai Herfindahl Index yang diperoleh adalah antara 0 dan 1 (atau
10000 yang merupakan kuadrat dari 100 persen). Jika nilai HI mendekati 0 berarti
struktur pasar industri yang bersangkutan cenderung mengarah kepada pasar
persaingan (competitive market). Kemudian, jika nilai HI mendekati 1 (atau
10.000) maka struktur pasar industri tersebut cenderung bersifat monopoli.
Sementara itu, Concentration Ratio digunakan untuk mengukur persentase
pangsa pasar dimana dalam nilai CR yang banyak digunakan adalah CR4 dan CR8
yang menunjukkan output pasar yang dihasilkan oleh empat atau delapan
produsen terbesar dalam industri. Dalam penelitian ini nilai rasio konsentrasi yang
digunakan adalah nilai CR4. Nilai rasio konsentrasi yang rendah berarti pasar lada
di pasar internasional terdiri dari banyak negara produsen dengan tingkat
3
Internet Center For Management and Business Administration, www.quickmba.com, diakses
tanggal 15 November 2007
persaingan yang tinggi. Apabila rasio konsentrasi tinggi, maka produsen pasar
cenderung didominasi oleh produsen terbesar dan pasar lebih terkonsentrasi.
Rasio konsentrasi pasar dirumuskan sebagai berikut:
CR4 = Sij1 + Sij2 + Sij3 + Sij4
Dimana:
CR4 = nilai konsentrasi pasar empat produsen utama lada di pasar
internasional
Sij
= pangsa pasar negara ke-i penghasil lada di pasar internasional
Nilai CR4 yang mendekati nol menunjukkan rasio konsentrasi pasar yang
sangat rendah dengan struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition).
Apabila nilai konsentrasi untuk empat produsen terbesar (CR4) di bawah 40
persen menunjukkan struktur pasar persaingan monopolistik. Struktur pasar
oligopoli ditunjukkan dengan nilai CR4 di atas 40 persen. Jika nilai rasio
konsentrasi empat produsen terbesar mendekati 100 persen maka nilai tersebut
menunjukkan struktur pasar monopoli4.
Tingkat konsentrasi pasar yang dapat dirumuskan dari dari nilai Herfindahl
Index dan CR4 adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi pasar yang rendah dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar
antara 0 – 50 persen dan HI antara 0 – 1.000. Bentuk pasar yang mungkin
adalah persaingan sempurna atau sekurang-kurangnya adalah persaingan
monopolistik.
4
AmosWEB Encyclonomic WEB*pedia, Four-Firm Concentration Ratio,
http://www.AmosWEB.com, AmosWEB LLC, 2000-2008. Diakses tanggal 16 Januari, 2008.
2. Konsentrasi pasar sedang dicirikan dengan nilai CR4 antara 50 – 80 persen
dan nilai HI yang berkisar antara 1.000 – 1.800. Bentuk pasar untuk tingkat
konsentrasi yang sedang adalah lebih banyak oligopoli.
3. Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar
antara 80 - 100 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.800 10.000. Bentuk pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi tinggi
adalah monopoli atau cenderung sedikit oligopoli.
4.3.2 Revealed Comparative Advantage (RCA)
Dalam mengukur keunggulan komparatif dapat dianalisis dengan
menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA), yang bertujuan untuk
membandingkan pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa
pasar sektor tertentu negara atau produsen lainnya serta menunjukkan daya saing
industri suatu negara. Dalam penelitian ini RCA digunakan untuk mengetahui
posisi komparatif lada Indonesia dengan negara-negara produsen lada lainnya di
pasar internasional. Penelitian ini menggunakan empat negara produsen terbesar
lada di dunia selain Indonesia sebagai pembanding yaitu Brazil, Malaysia, India,
dan Vietnam.
Keuntungan dari menggunakan RCA indeks adalah bahwa indeks ini
mempertimbangkan keuntungan intrinsik komoditas ekspor tertentu dan konsisten
dengan perubahan di dalam suatu komoditi produktivitas dan faktor anugerah
alternatif. Kelemahan metode RCA adalah mengukur keunggulan komparatif dari
kinerja ekspor dengan asumsi perdagangan bebas dan produk homogen, serta
mengesampingkan pentingnya permintaan domestik, ukuran pasar domestik, dan
perkembangannya. Selain itu, metode ini juga tidak dapat membedakan antara
peningkatan di dalam faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan perdagangan
yang sesuai (Silalahi, 2007).
Formula RCA dapat dirumuskan sebagai berikut5:
X ij / ∑ X ij
RCA =
i
∑ X ij / ∑∑ X ij
j
i
j
Dimana :
= nilai ekspor komoditas lada negara j
X ij
∑X
ij
= total nilai ekspor seluruh komoditas dari negara j
∑X
ij
= total nilai ekspor dunia dari komoditas lada
i
j
∑∑ X
i
ij
= total nilai ekspor dunia untuk seluruh komoditas
j
Apabila nilai RCA produk suatu negara lebih besar dari 1, maka negara
tersebut memiliki keunggulan komparatif atau berdaya saing kuat pada produk
tersebut. Apabila nilai RCA kurang dari 1, maka negara tersebut tidak memiliki
keunggulan komparatif dalam produk tersebut atau mempunyai daya saing yang
lemah. Semakin tinggi nilai RCA maka daya saing suatu negara akan semakin
kuat.
5
Laursen, K. 1998. Revealed comparative Advantage and the Alternatives as Measure of
International Specialisation, www.druid.dk. Department of Industrial Economics and Strategy /
DRUID Copenhagen Business School, Denmark.
4.3.3 Teori Berlian Porter
Menurut Michael E. Porter, terdapat empat atribut yang dapat
menciptakan keunggulan kompetitif suatu industri nasional, yaitu kondisi faktor
(factor conditions), kondisi permintaan (demand conditions), industri pendukung
dan terkait (related and supporting industry), serta strategi perusahaan, struktur,
dan persaingan (firms strategy, structure, and rivalry). Keempat atribut tersebut
saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain sehingga membentuk suatu
sistem yang dikenal dengan Porter’s Diamond6. Selain itu, tedapat dua variabel
tambahan yang secara tidak langsung mempengaruhi daya saing suatu industri
atau pengusahaan suatu komoditas dalam suatu negara.
Penjelasan dari keempat atribut utama dan dua atribut tambahan yang
merupakan faktor pendorong daya saing suatu negara adalah sebagai berikut:
1. Kondisi Faktor
Kondisi faktor yang penting dalam menentukan daya saing yaitu
berupa faktor produksi atau input yang digunakan dalam produksi, seperti
tenaga kerja (sumberdaya manusia), sumberdaya alam, modal, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan infrastruktur. Faktor yang menunjukkan
keunggulan kompetitif suatu negara dapat dilihat dari adanya tenaga kerja
yang terampil dan ketersediaan bahan mentah yang tidak dapat ditiru oleh
perusahaan atau negara lain. Komponen tersebut menentukan keunggulan
kompetitif suatu negara terutama negara berkembang karena negara
berkembang memiliki faktor produksi seperti tenaga kerja terlatih yang
ditunjang dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang cukup dan
6
Internet Center For Management and Business Administration. 2007. Porter’s Diamond National
Advantage. www.quickmba.com. Diakses tanggal 15 November 2007.
ketersediaan bahan mentah yang dikelola dengan baik merupakan faktor
produksi yang penting dan berharga. Ketersediaan faktor tersebut juga
harus didukung oleh biaya dan modal serta aksesibitas dalam memperoleh
biaya dan modal tersebut serta kondisi sarana dan prasarana (infrastruktur)
yang memadai.
2. Kondisi Permintaan
Pasar domestik yang canggih merupakan elemen penting untuk
menciptakan daya saing. Keunggulan kompetitif akan tercipta ketika pasar
lokal untuk produk tertentu lebih besar daripada pasar internasional dan
perusahaan lokal memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pasar
lokal. Dengan semakin kuatnya pasar lokal maka perusahaan lokal akan
mulai mengekspor produk tersebut ke pasar internasional. Selain itu,
permintaan lokal yang lebih besar akan membawa keunggulan kompetitif
suatu negara. Pasar lokal yang kuat dapat membantu perusahaan lokal
dalam mengantisipasi perubahan global (global trends) dalam persaingan
yang kompetitif. Aspek yang mempengaruhi kondisi permintaan dapat
dilihat dari mutu dan juga selera pembeli yang tinggi.
3. Industri Terkait dan Industri Pendukung
Ketika industri pendukung mampu bersaing secara kompetitif,
perusahaan dapat menikmati biaya dengan lebih efektif dan input yang
inovatif. Salah satu komponen industri terkait adalah industri hulu yang
mampu memasok input bagi industri utama dan juga industri hilir yaitu
industri yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya.
Industri terkait dan pendukung akan semakin memperkuat posisi bersaing
suatu negara apabila supplier dan industri pendukung merupakan pesaing
global yang kuat dalam perdagangan internasional.
4. Struktur, Persaingan dan Strategi.
Kondisi lokal dapat mempengaruhi strategi perusahaan yang
berbeda-beda pada setiap negara. Contohnya, Jerman mempunyai struktur
hierarki manajemen yang berlatar belakang teknik sementara Italia
mempunyai struktur yang lebih kecil dan bersifat kekeluargaan. Strategi,
persaingan dan struktur dapat menentukan tipe industri perusahaan suatu
negara. Tingkat persaingan bagi perusahaan akan mendorong kompetisi
dan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal merupakan penggerak
dan memberikan tekanan pada perusahaan lain untuk meningkatkan daya
saing. Struktur perusahaan atau industri menentukan daya saing dengan
cara melakukan perbaikan atau inovasi. Hal ini jika dikembangkan dalam
situasi persaingan akan berpengaruh pada strategi yang dijalankan oleh
perusahaan.
5. Peran Pemerintah
Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap
peningkatan daya saing tetapi berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu
daya saing tersebut. Pemerintah dapat bertindak sebagai fasilitator yaitu
memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi
faktor daya saing. Pemerintah juga dapat berperan sebagai regulator
dimana pemerintah dapat mempengaruhi tingkat daya saing global melalui
kebijakan yang memperlemah atau memperkuat faktor penentu daya saing
industri, tetapi pemerintah tidak dapat menciptakan keunggulan bersaing
secara langsung.
6. Peran Kesempatan atau Peluang
Peran kesempatan atau peluang juga dapat mempengaruhi tingkat
daya saing karena berada di luar kendali perusahaan ataupun pemerintah.
Beberapa hal yang dianggap keberuntungan merupakan pera kesempatan,
seperti adanya penemuan baru yang murni dan perubahan nilai mata uang.
Selain itu, terjadinya peningkatan permintaan produk industri yang lebih
besar dari pasokannya atau kondisi politik yang menguntungkan bagi
peningkatan daya saing.
V.
STRUKTUR PASAR DAN PERSAINGAN LADA DI PASAR
INTERNASIONAL
Struktur pasar lada dapat diketahui dengan menggunakan rumus
Herfindahl Index dan juga dapat diketahui penguasaan pangsa pasar masing-
masing negara produsen lada. Pangsa pasar lada negara produsen diukur dengan
membandingkan ekspor masing-masing negara produsen lada dengan total ekspor
lada dunia. Dari hasil analisis diperoleh nilai rata-rata Herfindahl Index pada
tahun 1997-2006 sebesar 1.589 (Tabel 6). Nilai Herfindahl Index lada dunia
selama periode 1997-2006 berkisar antara 1300-1700 menunjukkan bahwa
komoditas lada di pasar internasional cenderung mengarah pada struktur pasar
oligopoli dengan konsentrasi pasar yang sedang.
Tabel 6. Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi Komoditas
Lada di Pasar Internasional Tahun 1997-2006
Tahun
Jumlah Negara
Nilai Herfindahl Index
Nilai CR4 (%)
Eksportir
1997
56
1.705
58
1998
70
1.739
60
1999
81
1.621
59
2000
95
1.736
57
2001
103
1.370
63
2002
102
1.354
62
2003
105
1.373
62
2004
112
1.715
66
2005
104
1.710
66
2006
98
1.566
68
Rata-Rata
93
1.589
62
Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007
http://unstats.un.org/unsd/comtrade8 dan International Pepper Community (IPC), 2006.
www.ipcnet.org. Diakses 16 Februari 2008. Diolah.
Pada periode 1997-2006, berdasarkan data yang diperoleh dari UN
Comtrade (2007), jumlah negara yang bertindak sebagai eksportir lada cenderung
mengalami peningkatan dari 56 negara hingga mencapai 112 negara. Hal ini
megindikasikan bahwa dalam perdagangan lada di pasar internasional
persaingannya semakin ketat seiring dengan bertambah banyaknya negara yang
terlibat dalam perdagangan tersebut. Meskipun demikian, Indonesia masih
merupakan salah satu negara pengekspor dan produsen utama lada di dunia.
Struktur pasar komoditas lada di pasar internasional juga dapat dianalisis
dengan menggunakan analisis konsentrasi pasar (Concentration Ratio). Struktur
pasar lada dunia dalam penelitian ini menggunakan analisis CR4 dengan melihat
pangsa pasar dari empat negara produsen terbesar lada di dunia. Pada periode
1997-2000, empat negara produsen terbesar yang memiliki pangsa pasar yang
besar adalah Indonesia, Brazil, India, dan Malaysia (Lampiran 3). Akan tetapi,
pada periode 2001-2006, Vietnam masuk sebagai negara pengekspor dan
produsen utama dan menjadi negara eksportir lada nomor satu di dunia sehingga
untuk periode 2001-2006, empat negara produsen terbesar yang dianalisis adalah
Vietnam, Indonesia, Brazil, dan India.
Pada Tabel 6 dapat dilihat hasil analisis konsentrasi pasar dari empat
negara produsen terbesar lada di dunia. Selama periode 1997-2006, rata-rata nilai
CR4 yang diperoleh adalah sebesar 62 persen. Dari hasil nilai CR4 tersebut dapat
diketahui bahwa struktur pasar lada dunia adalah berupa struktur pasar oligopoli
dimana rasio konsentrasi dari empat produsen terbesar memiliki nilai CR4 yang
lebih dari dari 40 persen.
Dari hasil analisis Herfindahl Index dan rasio konsentrasi dapat diambil
kesimpulan bahwa struktur pasar lada di pasar internasional merupakan struktur
pasar oligopoli dengan konsentrasi pasar yang sedang. Hal ini berarti dalam pasar
lada dunia tidak ada negara yang dominan dimana empat negara produsen utama
lada tidak mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan dalam harga dan
produk. Dalam struktur pasar oligopoli posisi Indonesia masih sebagai pengikut
harga. Posisi ini menyebabkan Indonesia tidak dapat mengambil keputusan yang
berkaitan dengan harga maupun produk tanpa terlebih dahulu mengacu kepada
pemimpin pasar atau kepada pesaing-pesaing lainnya. Harga lada asal Vietnam
lebih kompetitif sebab mereka lebih efisien dalam proses produksi. Hal tersebut
terjadi karena biaya produksi lada kecil dan mutu lada Vietnam bagus. Lada
Indonesia juga memiliki mutu yang bagus, tetapi biaya produksinya besar
sehingga harganya kurang kompetitif. Adanya harga yang rendah, kualitas yang
baik, dan produksi tinggi, membuat Vietnam kemudian menguasai pasar lada
dunia7.
Untuk mengetahui struktur pasar lada juga perlu diketahui diferensiasi
produk yang ada. Di pasar tradisional lada dunia, jenis lada yang umum
diperdagangkan adalah lada hitam dan lada putih. Kedua produk ini kemudian
digunakan untuk berbagai keperluan di negara-negara pengimpor, baik untuk
industri maupun pada rumah tangga. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
produk lada yang diperdagangkan di pasar internasional relatif homogen. Hal ini
juga dikarenakan kedua jenis lada tersebut dapat saling menggantikan dalam
penggunaannya walaupun tidak sempurna. Di pasar dunia juga diperdagangkan
beberapa produk olahan lada yang siap dipakai oleh konsumen yang jumlahnya
relatif kecil daripada produk primernya, yaitu lada hitam dan lada putih.
Pengolahan lanjutan produk primer banyak dilakukan oleh negara-negara
pengimpor seperti Singapura, Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Italia,
7
Ulun Lampung 15 Maret 2007. Lada Indonesia Dilibas Tetangga.
http://ulunlampung.blogspot.com. Diakses Tanggal 10 April 2008. Hongkong, dan Inggris, yang kemudian mereka menjual kembali produk-produk
olahan tersebut ke negara lain.
Unsur struktur pasar yang lain dapat dilihat dari rintangan atau hambatan
dalam memasuki pasar dari sisi produsen dan sisi konsumen. Dari sisi produsen
sebenarnya tidak terdapat batasan bagi setiap negara untuk melakukan produksi,
tetapi yang terjadi adalah bahwa tidak semua negara mampu membudidayakan
tanaman lada seperti negara-negara produsen yang berada pada wilayah dengan
iklim tropis. Mekanisme alam merupakan salah satu faktor yang membuat adanya
keterbatasan dalam melakukan produksi. Namun, dalam melakukan ekspor tidak
ada batasan, bahkan negara-negara yang bukan merupakan negara produsen utama
dapat melakukan ekspor lada ke negara lain dalam jumlah yang sangat besar,
contohnya adalah Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Inggris, dan Belanda. Hal
ini membuktikan bahwa tidak ada rintangan untuk bisa menjadi supplier lada ke
pasar dunia. Sementara dari sisi negara-negara pengimpor (konsumen) tidak
terdapat rintangan untuk melakukan impor. Pada umumnya kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah masing-masing negara tidak membatasi jumlah impor
dan importir (Nugroho dalam Hasyim, 2004).
Eksportir di negara produsen dan importir di negara pengimpor bebas
melakukan transaksi jual-beli. Mereka bebas menentukan jumlah lada yang akan
dijual atau dibeli serta bebas melakukan kesepakatan harga. Jumlah penjualan atau
pembelian dan harga diputuskan atas dasar negosiasi di antara mereka, negara
tiakd melakukan intervensi terhadap transaksi yang mereka lakukan. Bagi mereka
yang mempunyai banyak akses informasi dan kekuatan modal akan sangat
dominan mempengaruhi harga (Nugroho dalam IPC, 2004).
VI.
DAYA SAING LADA INDONESIA :
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF
6.1 Analisis Keunggulan Komparatif Lada Indonesia di Pasar Internasional:
Revealed Comparative Advantage (RCA)
Daya saing lada Indonesia di pasar internasional dapat dilihat dari
keunggulan komparatif lada yang diukur dengan menggunakan Indeks Revealed
Comparative Advantage (RCA). Indeks ini digunakan untuk membandingkan
posisi daya saing Indonesia dengan negara-negara produsen lada lainnya. Negara
yang memiliki keunggulan komparatif dan berdaya saing kuat ditunjukkan dengan
semakin tingginya nilai Indeks RCA (lebih dari satu), dan sebaliknya.
Untuk menganalisis keunggulan komparatif lada Indonesia di pasar
internasional, negara-negara yang diperbandingkan dengan Indonesia dalam
pengukuran Indeks RCA adalah empat negara produsen dan pengekspor lada yang
menguasai pangsa pasar lada dunia yaitu Brazil, Malaysia, India, dan Vietnam.
Indonesia dan keempat negara tersebut juga tergabung dalam organisasi produsen
lada dunia yaitu International Pepper Community (IPC). Keempat negara tersebut
merupakan negara yang berpotensi menjadi pesaing Indonesia dalam perdagangan
lada di pasar internasional.
Berdasarkan perhitungan Indeks RCA pada Tabel 7, diperoleh hasil bahwa
selama periode 2001-2006 Indonesia memiliki daya saing yang kuat (Indeks RCA
Indonesia lebih dari satu). Hal ini berarti bahwa Indonesia memiliki keunggulan
komparatif pada komoditas lada. Pada tahun 2006, lada Indonesia mempunyai niai
Indeks RCA sebesar 14,37. Nilai ini mengalami penurunan dibandingkan nilai
RCA tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut terjadi
penurunan pangsa pasar ekspor lada Indonesia (Tabel 8) dan semakin kuatnya
persaingan yang ditandai dengan peningkatan pangsa pasar negara produsen lada
lainnya seperti India dan Brazil. Nilai Indeks RCA tertinggi diperoleh pada tahun
2003 yaitu sebesar 24,29. Indeks RCA Indonesia mulai mengalami penurunan dari
tahun 2004 yang terjadi karena penurunan nilai ekspor lada Indonesia seiring
dengan penurunan yang terdapat pada produksi lada domestik.
Apabila dibandingkan dengan negara produsen lainnya maka Indonesia
menempati peringkat kedua setelah Vietnam. Indeks RCA Vietnam mengalami
peningkatan tajam pada tahun 2004 hingga mencapai 114,13. Peningkatan
tersebut terkait dengan peningkatan produksi lada Vietnam sebagai bentuk
keberhasilan Vietnam dalam melakukan intensifikasi besar-besaran dan kebijakan
subsidi yang diberikan pada petani lada setempat. Pada Tabel 7 juga dapat
diketahui bahwa Malaysia merupakan negara pengekspor lada dengan daya saing
yang paling rendah dibandingkan dengan lima negara lainnya.
Tabel 7. Hasil Analisis RCA Lima Negara Eksportir Lada Tahun 2001-2006
No.
Negara
Indeks RCA
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1. Indonesia
21,23
22,71
24,29
16,98
15,35
14,37
2. Brazil
12,12
14,09
12,35
12,58
8,89
11,16
3. Malaysia
5,97
5,26
4,52
4,42
4,42
3,92
4. Vietnam
72,30
95,69
82,59 114,13 106,11
96,68
5. India
9,13
8,56
5,15
4,88
5,32
8,22
Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics database, 2007
http://unstats.un.org/unsd/comtrade8 dan International Pepper Community (IPC), 2006.
www.ipcnet.org. Diakses 16 Februari 2008. Diolah.
Dari Tabel 8 juga dapat dilihat bahwa pada tahun 2001 hingga 2006,
pangsa pasar lada Indonesia cenderung mengalami penurunan. Penurunan tersebut
juga terkait dengan penurunan nilai ekspor lada Indonesia. Vietnam merupakan
negara yang memiliki pangsa pasar terbesar dengan pangsa pasar tertinggi
mencapai 35,57 persen pada tahun 2005 meskipun pada tahun 2006 pangsa
pasarnya mengalami penurunan tetapi Vietnam masih menguasai pasar lada dunia
hingga sekitar 30 persen. Di antara negara eksportir lainnya Malaysia memiliki
pangsa pasar terendah. Sementara itu, pangsa pasar Brazil dan India dari tahun
2005 ke 2006 meningkat dari 8,89 dan 5,32 menjadi 13,69 persen dan 9,26
persen. Indeks RCA Brazil pada tahun 2006 lebih rendah dibandingkan dengan
indeks RCA Indonesia tetapi Brazil memiliki pangsa pasar yang lebih besar
daripada pangsa pasar lada Indonesia. Hal ini terjadi, karena dalam perhitungan
RCA yang menghitung ekspor suatu komoditas negara tertentu dibandingkan
dengan total ekspor negara tersebut, maka negara yang jumlah ekspornya relatif
sama dengan negara lain namun total ekspornya lebih besar justru mempunyai
indeks RCA yang lebih kecil.
Tabel 8.
Pangsa Pasar (Market Share) Lima Negara Eksportir Komoditas
Lada Tahun 2001-2006
No.
Negara
Pangsa Pasar (Market Share) (%)
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1. Indonesia
20,47
19,05
20,90
12,57
13,58
12,89
2. Brazil
12,09
12,50
12,74
13,95
10,89
13,69
3. Malaysia
8,99
7,26
6,67
6,42
6,44
5,61
4. Vietnam
18,60
23,46
23,44
34,69
35,57
31,87
5. India
6,92
6,59
4,58
4,48
5,68
9,26
Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007
http://unstats.un.org/unsd/comtrade8 dan International Pepper Community (IPC), 2006.
www.ipcnet.org. Diakses 16 Februari 2008. Diolah.
Kuatnya daya saing dan tingginya pangsa pasar lada Indonesia di pasar
internasional menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai posisi yang tangguh
serta berpeluang untuk menjadi pemimpin dalam perdagangan lada di pasar
internasional. Akan tetapi, seperti terlihat pada Tabel 8, pangsa pasar Indonesia
memiliki kecenderungan menurun. Kecenderungan penurunan pangsa pasar
tersebut mulai terlihat dari tahun 2004. Jika dibandingkan dengan Vietnam yang
mempunyai potensi sumberdaya yang relatif sama, Indonesia tertinggal dalam hal
produksi dan ekspor lada. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk
mempertahankan pangsa pasar dan meningkatkan daya saing komoditas lada
Indonesia di pasar internasional. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan
ekspor lada dalam bentuk olahan (diversfikasi lada). Meskipun demikian, hasil
pengukuran daya saing menggunakan RCA tidak dapat dijadikan patokan khusus
untuk mengukur daya saing, karena masih banyak faktor-faktor lainnya yang
mempengaruhi keunggulan daya saing suatu negara yaitu dengan menggunakan
Model Berlian daya saing internasional dari Michael Porter.
6.2 Analisis Keunggulan Kompetitif Lada Indonesia di Pasar Internasional:
Analisis Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory)
Analisis Teori Berlian Porter merupakan salah satu alat analisis untuk
menilai daya saing komoditi lada Indonesia di pasar internasional. Teori ini
membantu dan menganalisis faktor-faktor internal serta eksternal dalam industri
pengusahaan lada Indonesia. Menurut teori ini, terdapat empat kondisi faktor
penentu daya saing internasional, yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi
permintaan, eksistensi industri terkait dan pendukung, kondisi struktur, persaingan
dan strategi perusahaan dalam negeri. Sebagai tambahan terdapat dua variabel luar
yaitu peranan pemerintah dan peluang.
6.2.1 Faktor Sumberdaya
Sumberdaya merupakan salah satu faktor penting dalam membangun suatu
industri dan usaha. Ketersediaan sumberdaya juga sangat menentukan tingkat
daya saing suatu komoditi atau produk yang diperdagangkan. Komponen
sumberdaya yang
merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam
pengusahaan lada antara lain sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya
modal, ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumberdaya infrastruktur. Seluruh
komponen sumberdaya tersebut saling berkaitan dan memiliki peran yang sangat
penting dalam menentukan proses pengembangan dan keberhasilan pengusahaan
lada yang pada akhirnya dapat dijadikan acuan dalam mengukur daya saing lada
Indonesia di pasar internasional.
A. Sumberdaya Alam
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Kekayaan
sumberdaya alam Indonesia meliputi sumberdaya hayati dan non hayati. Salah
satu sumberdaya hayati yang memberikan kontribusi bagi pembangunan
Indonesia adalah komoditas lada yang juga disebut sebagai King of Spices.
Indonesia sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu negara penghasil rempah
terutama lada. Hal ini dapat diartikan bahwa potensi lada Indonesia cukup besar
untuk dikembangkan. Sumberdaya alam dalam pengusahaan lada dapat dilihat
dari ketersediaan sumber daya lahan yang digunakan untuk pengembangan
tanaman lada dan juga kondisi iklim dan geografis yang sesuai untuk pengusahaan
lada.
Perkebunan lada di Indonesia tersebar di 29 provinsi. Areal pengembangan
lada sampai dengan tahun 2006 mencapai 192.604 hektar dengan produksi sebesar
77.534 ton. Pengusahaan lada di Indonesia paling banyak terdapat di Pulau
Sumatera terutama di Propinsi Lampung dan Bangka Belitung karena kedua
propinsi tersebut merupakan sentra produksi lada hitam dan lada putih. Pada tahun
2006, di Pulau Sumatera luas areal lada berdasarkan tanaman menghasilkan
mencapai 77.718 hektar dengan produksi sebesar 45.472 ton. Luas areal tersebut
mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 82.222 hektar dengan produksi
mencapai 45.890 ton (angka sementara).
Propinsi Lampung merupakan propinsi yang mempunyai luas areal dan
produksi lada terbesar jika dibandingkan dengan propinsi penghasil lada lainnya.
Luas area pengusahaan lada pada tahun 2006 di Lampung sebesar 44.476 hektar
dengan produksi mencapai 21.573 ton. Akan tetapi, pengusahaan lada di Sumatera
semuanya merupakan perkebunan rakyat. Selain di Sumatera, pengusahaan lada
juga banyak terdapat di Kalimantan dan Sulawesi dengan luas area sebesar 18.567
dan 15.766 hektar. Untuk wilayah Kalimantan, pengusahaan lada melibatkan
peran perkebunan swasta walaupun dengan jumlah yang sangat kecil yaitu sebesar
17 hektar dengan produksi sekitar 11 ton. Namun demikian, luas area perkebunan
lada yang dikelola oleh pihak swasta ini paling besar jika dibandingkan dengan
wilayah lainnya.
Tabel 9. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Lada Indonesia Menurut
Pengusahaan Pada Tahun 2006
No.
Wilayah
Luas Areal Tanaman
Produksi (ton)
Menghasilkan (Ha)
PR
PBS
PR
PBS
1. Sumatera
77.718
0
45.472
0
2. Jawa
3.624
4
1.904
1
3. Nusa Tenggara
280
0
88
0
4. Kalimantan
18.550
17
20.079
11
5. Sulawesi
15.766
0
9.973
0
6. Maluku dan Papua
43
0
6
0
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008 , Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007.
Jenis tanaman lada yang ada di Indonesia cukup beragam. Di Indonesia
terdapat sekitar 40 jenis tanaman lada. Varietas atau kultivar lada yang umumnya
ditanam dan diusahakan terdiri dari enam kultivar yaitu Bulok Belantung, Jambi,
Kerinci, Lampung Daun Lebar (LDL), Bangka (Muntok) and Lampung Daun
Kecil (LDK). Selain itu, Indonesia juga memiliki keunggulan dalam
mengembangkan tujuh varietas yang tahan terhadap penyakit yaitu Petaling 1,
Petaling 2, Natar 1, Natar 2, Choenuk, LDK, dan Bengkayang. Komoditi lada
Indonesia juga sudah mempunyai brand yang sudah lama dikenal dalam
perdagangan lada internasional yakni Lampung Black Pepper dan Muntok White
Pepper. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa keunggulan yang dimiliki
sumberdaya lada Indonesia merupakan salah satu peluang dalam meningkatkan
ekspor dan produksi lada Indonesia sehingga mampu menyaingi Vietnam dan
kembali menjadi negara pengekspor dan produsen lada terbesar dunia.
B. Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor sumberdaya yang
sangat penting dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan pengusahaan
serta daya saing lada Indonesia di pasar internasional. Sumberdaya manusia
merupakan faktor penggerak dalam menjalankan aktivitas dan sumberdaya
lainnya dalam pengusahaan lada. Pada pengusahaan lada, peran sumberdaya
manusia dapat dilihat dari ketersediaan dan jumlah penyerapan tenaga kerja, serta
kualitas tenaga kerja yang mendukung pengusahaan lada tersebut.
Perkebunan lada merupakan salah satu sektor pertanian yang cukup
banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini mengingat sebagian besar usaha
perkebunan lada di Indonesia terdiri dari perkebunan rakyat. Berdasarkan data
pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 jumlah petani dan tenaga kerja yang
diserap oleh perkebunan rakyat relatif tetap dan sedikit mengalami peningkatan.
Menurut Departemen Pertanian (2006), usahatani lada mampu menghidupi
sejumlah 1,6 juta orang apabila 1 KK diasumsikan terdiri dari 5 anggota keluarga.
Jumlah tersebut belum termasuk masyarakat yang terlibat dalam perdagangan dan
industri perladaan.
Tabel 10. Jumlah Petani Pada Perkebunan Rakyat Lada Menurut Wilayah
Pada Tahun 2004-2007 (KK)
No.
Wilayah
Tahun
2004
2005
2006
2007*
1.
Sumatera
162.409
178.459
176.183
180.829
2.
Jawa
56.411
54.243
54.874
56.190
3.
Nusa Tenggara
2.431
2.352
1.753
2.001
4.
Kalimantan
38.405
39.842
40.189
40.910
5.
Sulawesi
53.167
55.104
50.550
52.510
6.
Maluku dan Papua
143
212
237
285
7.
Total Nasional
312.970
330.212
323.785
332.725
Sumber: Statistik Perkebunan Lada Indonesia 2004-2008, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007
Keterangan: (*) Angka sementara
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa
jumlah petani lada pada periode 2004 hingga 2007, cenderung mengalami sedikit
peningkatan walaupun pada tahun 2006 sempat menurun menjadi sebanyak
323.785 KK petani. Namun, pada tahun 2007 jumlah petani lada kembali
meningkat dengan jumlah 332.725 KK. Jumlah petani lada yang ada di Indonesia
paling banyak terdapat di Sumatera. Hal ini mengingat bahwa sentra produksi lada
di Indonesia terdapat di Propinsi Lampung dan Bangka Belitung. Propinsi
Lampung mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar yaitu
sebanyak 106.331 KK pada tahun 2006 sedangkan pada tahun yang sama jumlah
petani lada yang ada di Propinsi Bangka Belitung adalah sejumlah 28.112 KK.
Banyaknya jumlah petani dalam perkebunan rakyat lada belum
sepenuhnya ditunjang dengan kualitas sumberdaya manusia yang baik. Kualitas
tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengusahaan tanaman lada ditentukan oleh
kemampuan petani dalam menerapkan dan memanfaatkan teknologi serta teknik
penanaman yang baik. Menurut keterrangan dari Departemen Pertanian dan
International Pepper Community (2008) menyatakan bahwa dalam hal
penggunaan dan penerapan teknologi pada pengusahaan lada sudah cukup baik
yang ditandai dengan adanya pelatihan dan penyuluhan yang sudah diberikan oleh
Departemen Pertanian. Akan tetapi, sebagian besar petani lada belum mampu
memanfaatkan dan melaksanakan secara maksimal terutama dalam hal seleksi
benih dan belum menggunakan bibit unggul dimana sebagian besar petani masih
mengelola usahatani lada secara tradisional yang sangat terkait dengan
keterbatasan permodalan petani.
Selain petani, sumberdaya manusia lainnya yang dapat mendukung dan
terlibat dalam pengusahaan serta perdagangan lada antara lain pedagang dan
eksportir. Pedagang dalam hal ini lebih tepatnya pedagang pengumpul yang
berperan menyalurkan lada hingga sampai ke eksportir dimana pedagang
pengumpul ini terdapat di kecamatan dan kabupaten serta propinsi. Sementara itu,
eksportir berperan sebagai penyampai komoditi lada ke konsumen yang berada di
luar daerah produsen. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Eksportir
Lada Indonesia (2008), saat ini eksportir lada di Indonesia berjumlah 51 eksportir
yang berada di Jakarta, Lampung, dan Pangkal Pinang. Ketersediaan sumberdaya
manusia yang ada di atas sudah mampu mendukung peningkatan daya saing lada
Indonesia di pasar internasional tetapi kualitas sumberdaya manusia yang ada
perlu ditingkatkan sehingga produktivitas dan kualitas lada Indonesia dapat
meningkat yang juga akan meningkatkan daya saing lada Indonesia di pasar
dunia.
C. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan danTeknologi
Pada sub bab di atas telah dijelaskan bahwa sistem budidaya lada
Indonesia sebagian besar berupa perkebunan rakyat. Akan tetapi, selain
perkebunan rakyat budidaya lada di Indonesia juga diusahakan secara besar oleh
perusahaan swasta. Tidak seperti komoditi perkebunan utama lainnya, budidaya
lada tidak ada yang dikelola oleh perusahaan besar negara. Dalam hal penerapan
teknologi maju khususnya dilakukan oleh perusahaan besar swasta yang tersebar
di Kalimantan dan Sulawesi.
Adapun contoh penerapan teknologinya adalah pada saat pengolahan
lanjutan lada. Pengolahan lanjutan ini biasanya dilakukan oleh eksportir.
Teknologi yang digunakan dalam pengolahan lanjutan ini adalah ketika lada yang
sudah dipetik dan ditimbang dibersihkan dari kotoran dengan memasukkan lada
ke dalam mesin pembersih yang disebut Aspirator. Selain Aspirator, alat yang
digunakan untuk membersihkan lada adalah dengan menggunakan Brushing
Machine untuk menyikat.
Sementara itu, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya
Pertanian telah melakukan pengkajian dan penerapan teknologi budidaya tanaman
lada yang dilakukan di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung8. Beberapa
teknologi yang telah dikaji dan dimasyarakatkan ke petani antara lain: (a)
teknologi pemberian hormon (zat pengatur tumbuh), (b) teknologi pemupukan, (c)
teknologi penggunaan tajar (Tiang. rambat), (d) teknologi naungan/peneduh, dan
(e) teknologi pemberian mulsa. Dengan adanya
kegiatan ini akan dapat
8
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . 2002. Pengembangan Teknologi Budidaya
Tanaman Lada, http://www.bppt.go.id. Diakses tanggal 14 Maret 2008. mengembalikan predikat Indonesia sebagai produsen dan pengekspor lada nomor
satu dunia.
Pengembangan teknologi yang telah diuraikan di atas tidak datang dengan
sendirinya tanpa penguasaan ilmu pengetahuan baik pengetahuan ilmiah maupun
pengetahuan teknis. Petani lada yang ada di Indonesia sangat membutuhkan ilmu
dan pengetahuan yang benar mengenai produksi, pengolahan, pemasaran, basis
data, dan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya untuk dapat
meningkatkan daya saing produk lada Indonesia di pasar dunia. Peran
kelembagaan
sangat
menentukan
dan
mendukung
adanya
ketersediaan
pengetahuan dan informasi tersebut. Lembaga penelitian memegang peranan
penting dalam memberikan pendampingan dan bimbingan serta inovasi teknologi
dalam peningkatan daya saing komoditi lada Indonesia. Untuk melaksanakan
fungsi tersebut, berdasarkan SK Menteri Pertanian tahun 2006 dibentuk Badan
Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri) yang berada
di lingkungan Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Di tingkat daerah
lembaga terkait dan menangani hal yang terkait dengan penelitian dan
pengetahuan lada adalah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Dinas
Pertanian Daerah.
Salah satu lembaga internasional yang terkait dengan perladaan nasional
dan dunia adalah International Pepper Community (IPC) yang berada di bawah
PBB. Pada awanya IPC didirikan oleh tiga negara produsen lada dunia yaitu
Indonesia, Malaysia dan India pada tahun 1971. Sampai sekarang, IPC sudah
beranggotakan enam negara produsen utama lada yaitu Indonesia, India, Brazil,
Malaysia, Thailand, Sri Lanka dan terakhir Vietnam. Tujuan dari didirikannya
IPC adalah sebagai berikut:
1.
Mengkoordinir dan meningkatkan penelitian tentang aspek-aspek
teknis dan ekonomis produksi,
penelitian tentang penyakit-
penyakit tanaman lada, dan perkembangan daya tahan terhadap
penyakit.
2.
Mempermudah penukaran informasi tentang program-program dan
kebijaksanaan terutama berkaitan dengan aspek-aspek produksi.
3.
Mengembangkan program promosi untuk menambah konsumsi di
pasaran tradisional maupun pasaran baru.
4.
Meningkatkan dan memperluas penelitian atas pemakaian produk
baru dari lada (pepper products).
5.
Melakukan tindakan bersama untuk mengurangi hambatan tarif dan
non-tarif
maupun
meniadakan
hambatan
lainnya
dalam
perdagangan.
6.
Mengkoordinir standar-standar mutu sehingga memperlancar
pemasaran internasional.
7.
Mengadakan peninjauan secara kontinyu terhadap perkembanganperkembangan supply, permintaan dan harga-harga lada.
8.
Mengetahui tentang sebab-sebab dan akibat-akibat dari perubahanperubahan harga lada dan mengusulkan pemecahan yang tepat.
9.
Memperbaiki informasi statistik dan lainnya mengenai produksi,
konsumsi, perdagangan dan harga-harga lada, termasuk teknik-
teknik produksi dan ramalan konsumsi.
10.
Melakukan dan menjalankan kegiatan-kegiatan dan fungsi-fungsi
lainnya yang dianggap baik bagi kepentingan perekonomian dunia
lada
Di tingkat ASEAN, juga terdapat organisasi perladaan yaitu National
Focal Working Group (NFPWG) dengan anggota Indonesia, Malaysia, Filipina,
Vietnam, dan Thailand. Organisasi tersebut ditujukan untuk meningkatkan
kerjasama baik dalam hal penelitian maupun perdagangan negara produsen lada
yang ada di kawasan Asia tenggara. Indonesia juga mempunyai lembaga yang
dibentuk oleh para eksportir dan didukung oleh pemerintah yang dinamakan
sebagai Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI). AELI dibentuk pada bulan
Agustus 1973. Saat ini anggota AELI terdiri dari 51 eksportir yang berada di
Lampung, Jakarta dan Pangkal Pinang. Lembaga ini berfungsi untuk memberikan
informasi dan data tentang perkembangan perdagangan lada Indonesia dan dunia,
seperti informasi tentang jumlah panen, harga permintaan impor, dan informasi
penting lainnya yang ditujukan untuk para eksportir yang tergabung dalam AELI.
Di tingkat petani lada, juga terdapat lembaga yang berfungsi sebagai
wadah petani lada yang ada di daerah untuk memperoleh informasi mengenai
produksi, pemasaran, perdagangan, harga, dan aspek penting lainnya yang
ditujukan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani lada Indonesia.
Lembaga tersebut dikenal dengan nama Asosiasi Petani Lada Indonesia (APLI)
yang terbentuk di tingkat provinsi (sebanyak 7 provinsi) dan di tingkat kabupaten
(sebanyak 7 kabupaten). Sumber IPTEK lainnya dapat berasal dari perguruan
tinggi, media, dan jurnal-jurnal penelitian melalui penelitian mengenai ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan budidaya ataupun aspek sosial
ekonomi. Dalam hal basis data peranan lembaga statistik seperti Badan Pusat
Statistik (BPS) Indonesia dan Direktorat Jenderal Perkebunan juga penting dan
dibutuhkan dalam mengolah data statistik perkebunan lada.
D. Sumberdaya Modal
Modal merupakan salah satu faktor penting dalam pengusahaan komoditi
lada untuk menjamin keberlangsungan usahatani lada. Namun, saat ini bagi
sebagian besar petani lada di Indonesia, permodalan merupakan salah satu yang
menjadi permasalahan dan kendala dalam pengembangan pengusahaan lada.
Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2008), modal usaha yang dimiliki
petani untuk melakukan budidaya secara baku teknis masih terbatas dimana belum
adanya skim kredit khusus untuk pembiayaan usaha lada terutama masih kecilnya
peran pihak perbankan sebagai penyedia kredit dan memberikan bantuan modal.
Pada umumnya lembaga permodalan seperti bank enggan memberikan
modal karena menganggap bahwa para petani yang meminjam modal pada bank
tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk segera mengembalikan modal yang
diberikan tepat waktu. Penyebab lain yaitu mengenai sifat dasar produk pertanian
berupa barang yang hasil produksinya tidak pasti atau tergantung pada keadaan
alam. Selain itu, terdapat keengganan dari petani untuk meminjam pada lembaga
perbankan karena rumitnya prosedur yang harus ditempuh. Hal ini menjadi alasan
bagi sebagian besar lembaga permodalan untuk tidak memberikan bantuan modal
karena takut modal yang diberikan tidak dapat kembali dalam jangka waktu yang
sudah ditetapkan atau dikembalikan dalam jangka waktu yang lama.
Biaya untuk pembangunan sebuah kebun lada terdiri atas biaya pembelian
lahan, biaya pembelian bibit, biaya pembelian peralatan pertanian (cangkul, koret,
dan golok), biaya penanaman, dan biaya perawatan. Biaya investasi berupa biaya
investasi atas pembukaan, persiapan dan penanaman yang dibutuhkan untuk
usahatani lada adalah sekitar Rp. 29.762.5009. Biaya-biaya ini ditutupi dengan
modal pribadi petani. Penggunaan modal pribadi ini merupakan implikasi dari
sulitnya petani mendapat akses untuk memanfaatkan jasa lembaga keuangan.
Selain modal sendiri, petani lada juga memperoleh modal melalui pedagang
pengumpul.
Di Bangka dikenal adanya sistem kontrak pertanian antara petani sebagai
borrower dan pedagang pengumpul sebagai lender yang dilakukan atas dasar
kekerabatan dan kesepakatan kedua pihak tanpa ikatan formal tertulis (Marwoto,
2003). Modal yang dipinjam petani pada sistem ini biasanya digunakan untuk
membeli pupuk dan obat-obatan sehingga bentuk modal yang dipinjam sebagian
besar petani (93,33 persen) pada pedagang pengumpul adalah berupa pinjaman
sarana produksi. Pengembalian modal adalah saat musim panen, dimana petani
berkewajiban menjual lada kepada pedagang pengumpul, dan pengembalian
modal diperhitungkan dengan jumlah lada yang dijual setelah dikonversi dengan
bunga yang ditetapkan pedagang pengumpul.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek permodalan belum
mampu mendukung peningkatan daya saing lada Indonesia di pasar internasional.
Oleh karena itu, diperlukan keseriusan pemerintah dan pihak-pihak terkait yang
dapat menjadikan aliran modal untuk pengembangan usaha perkebunan lada yang
9
Bank Indonesia. 2004. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Modal Usaha Kecil
Perkebunan Lada. www.bi.go.id/sipuk/. Diakses tanggal 19 Februari 2008. terhambat dapat menjadi lebih baik, sehingga para petani perkebunan rakyat dapat
menjadi lebih produktif. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi da
daya saing komoditas lada nasional di pasar internasional.
E. Sumberdaya Infrastruktur
Faktor sumberdaya lainnya yang mendukung keunggulan daya saing lada
Indonesia adalah tersedianya infrastruktur. Sumberdaya infrastruktur meliputi
sarana dan prasarana yang digunakan dalam pengusahaan lada. Ketersediaan
sarana dan prasarana yang baik dapat meningkatkan daya saing lada Indonesia.
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam budidaya dan pemasaran lada antara
lain sarana dan prasarana pembenihan, penanganan pasca panen seperti alat
pengering
dan
sortasi,
jalan
dan
sarana
transportasi,
pelabuhan
dan
telekomunikasi. Pelabuhan sebagai sarana pendukung dalam pemasaran lada
terdapat di Propinsi Bangka Belitung (Pelabuhan Pangkal Pinang), Lampung
(Pelabuhan Panjang) dan DKI Jakarta (Pelabuhan Tanjung Priuk). Sarana
telekomunikasi berfungsi dalam menyampaikan informasi dan perkembangan
perdagangan lada terutama informasi harga. Untuk mengetahui perkembangan
harga tersebut digunakan berbagai sarana seperti radio dan surat kabar.
Perkebunan lada yang ada di Indonesia belum sepenuhnya memiliki infrastruktur
yang memadai khususnya sarana dan prasarana pembenihan.
6.2.2 Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan lada baik permintaan domestik dan luar negeri juga
merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan daya saing lada Indonesia di
pasar dunia. Perdagangan lada Indonesia umumnya lebih berorientasi ekspor
daripada untuk konsumsi domestik. Permintaan domestik lada Indonesia dapat
dilihat dari besarnya konsumsi lada (Tabel 11). Menurut keterangan yang
diberikan oleh Bapak Nur Haryanto dari IPC (2008), menyatakan bahwa saat ini
permintaan domestik lada sedang mengalami peningkatan yang ditandai dengan
sudah banyaknya produk olahan lada yang dijumpai di hypermarket seperti
Makro, Carrefour, dan Giant.
Tabel 11. Perkembangan Konsumsi Lada Indonesia Pada Tahun 1997-2003
No.
Tahun
Konsumsi (ton)
2.
1997
12.432
3.
1998
13.020
4.
1999
12.530
5.
2000
16.495
6.
2001
14.870
7.
2002
15.473
8.
2003
12.000
9.
Rata-rata
13.381
Sumber: International Pepper Community (IPC), 2004
Indonesia sebagai salah satu negara produsen lada yang lebih berorientasi
ekspor, juga mengimpor sejumlah produk lada. Indonesia sebagian besar
mengimpor produk olahan atau lanjutan lada karena industri olahan lada belum
mampu berkembang dengan baik. Apabila dibandingkan dengan negara produsen
lainnya, India merupakan negara pengimpor lada terbanyak dengan rata-rata
volume impor sebesar 11.864 ton (IPC, 2004). Impor lada sebagian besar diserap
oleh industri pengolahan lada, salah satunya pabrik minyak lada untuk selanjutnya
diekspor kembali ke negara tujuan akhir.
Negara produsen lainnya juga mengimpor lada seperti yang terdapat pada
Tabel 12. Pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa selama tahun 2001 hingga tahun
2004 jumlah impor lada Indonesia berflukutuasi dan impor tertinggi terjadi pada
tahun 2001 sebesar 3.274 ton. Jumlah tersebut jika dibandingkan pada tahun 2004
mengalami penurunan yang sangat besar menjadi 343 ton. Apabila dibandingkan
dengan negara produsen lainnya India merupakan negara yang mengimpor lada
dalam jumlah terbanyak dan selama periode tahun 2001 hingga tahun 2004 impor
lada India selalu mengalami peningkatan.
Tabel 12. Perkembangan Impor Lada Beberapa Negara Produsen Lada di
Dunia Pada Tahun 2000-2004 (dalam Ton)
No.
Negara
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
1.
Indonesia
707
3.274
2.283
249
343
2.
India
6.045
6.325
15.635
14.584
16.731
3.
Brazil
156
211
232
1.206
202
4.
Malaysia
2.806
2.560
2.779
2.965
4.394
Sumber: IPC, 2004
Tingkat permintaan masyarakat Indonesia terhadap lada juga akan
dipengaruhi oleh harga lada yang terbentuk di pasar domestik. Dari tahun 2001
hingga 2006, harga lada di pasar domestik berfluktuasi baik untuk lada hitam
maupun lada putih (Tabel 13). Selama periode 2001-2006, rata-rata harga tahunan
komoditi lada di dalam negeri berkisar antara Rp 22.589/kg sampai dengan Rp
46.397/kg untuk lada putih sedangkan lada hitam memiliki kisaran harga antara
Rp 18.593/kg sampai Rp 40.035/kg. Harga rata-rata tahunan tertinggi pada
komoditi lada terjadi pada tahun 2001 masing-masing sebesar Rp 46.397/kg untuk
lada putih dan Rp 40.035/kg untuk lada hitam. Sementara itu, pada bulan Maret
minggu ketiga tahun 2007 harga lada di berbagai pusat perdagangan di Indonesia
dan pasar tradisional mengalami peningkatan dengan harga lada bijian mencapai
Rp 58.000/kg10.
Tabel 13.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Perkembangan Harga Rata-Rata Tahunan Komoditi Lada di
Pasar Domestik Pada Tahun 2001-2006
Tahun
Harga Rata-Rata (Rp/Kg)
Lada Putih
Lada Hitam
2001
46.397
40.035
2002
27.104
20.853
2003
22.589
32.023
2004
27.956
18.593
2005
22.956
20.592
2006
30.620
22.395
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007
Selain kondisi permintaan domestik, permintaan luar negeri atau
permintaan ekspor lada juga dapat menentukan daya saing komoditi lada
Indonesia di pasar internasional. Negara-negara yang menjadi tujuan ekspor dan
konsumen utama lada Indonesia adalah Amerika Serikat, Singapura, Uni Eropa
seperti Jerman, Belanda,dan Hungaria, serta negara Jepang, Rusia, Korea, dan
Pakistan. Ekspor lada yang dilakukan untuk memenuhi permintaan negara
konsumen, sebagian besar masih dalam bentuk lada mentah. Indonesia belum
mengekspor produk olahan karena produk olahan tersebut belum berkembang
baik dan masih dalam proses memulai pengembangan. Produk olahan lada
umumnya diekspor oleh negara maju yang mengimpor lada mentahnya dari
Indonesia. Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa Singapura dan Amerika Serikat
merupakan negara pengimpor utama lada asal Indonesia.
10
Departemen Pertanian Maret 2007. Harga Komoditi Perkebunan Mulai Membaik.
http://agribisnis.net/. Diakses tanggal 10 April 2008. Tabel 14. Nilai Ekspor Lada Indonesia ke Beberapa Negara Tujuan Tahun
1997-2006
No. Tahun
Nilai Ekspor Lada ke Beberapa Negara Tujuan (dalam US$)
Amerika
Singapura
Belanda
Jerman
Jepang
Serikat
1.
1997 46.231.048 77.247.032 5.522.371 10.135.302 6.804.162
2.
1998 59.857,892 77.370.624 11.186.817 7.713.378 4.192.891
3.
1999 38.927.044 111.075.014 13.247.197 4.111.050 5.375.983
4.
2000 73.534.278 73.934.841 20.759.222 4.597.817 4.592.654
5.
2001 27.335.596 42.381.936 9.008.576 2.624.138 1.945.194
6.
2002 26.137.296 42.740.240 4.367.917 2.485.080 2.099.668
7.
2003 27.167.246 40.645.184 4.827.738 4.071.864 2.729.519
8.
2004 17.280.343 18.170.643 2.836.625 3.927.521 2.770.350
9.
2005 17.887.191 21.772.250 3.918.146 3.056.156 2.710.531
10.
2006 28.031.319 22.200.280 3.753.400 5.345.098 3.049.663
Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007.
http://unstats.un.org/unsd/comtrade, diakses 7 April 2008
Ekspor lada Indonesia ke negara konsumen juga harus disesuaikan dengan
peraturan yang ada di masing-masing negara pengimpor sehingga permasalahan
yang timbul dalam pemasaran ke luar negeri jarang terjadi. Lada yang diekspor
harus memenuhi kriteria mutu yang sudah ditetapkan dimana untuk Indonesia
konsep mutu lada berdasarkan pada SNI (Standar Mutu Nasional) tahun 1995
yang masih berlaku sampai sekarang. Konsep mutu SNI menggolongkan lada
hitam dan lada putih menjadi dua jenis mutu, yaitu mutu I dan mutu II.
Kemudian, untuk menghadapi adanya liberalisasi perdagangan dan dalam
rangka melindungi konsumen, juga diperlukan suatu standar mutu produk yang
sesuai dengan ketentuan tersebut yang juga berdasarkan pada ketentuan mengenai
Technical Barrier to Trade dan Sanitary and Phytosanitary oleh WTO (World
Trade Organization). Oleh karena itu, juga terdapat konsep standar mutu lada IPC
yang lebih bersifat makro yang ditujukan untuk
lada putih dan lada hitam.
Spesifikasi dan syarat mutu lada hitam dan lada putih SNI serta konsep standar
mutu lada IPC dapat dilihat pada Lampiran 4. Negara tujuan yang mengkonsumsi
lada Indonesia juga memiliki standar kualitas tertentu yang telah ditetapkan
seperti lada kualitas ASTA (American Standard Trade Association) yang
merupakan lada kualitas I dan FAQ (Fair Average Quality) sebagai lada kualitas
II. Pengolahan lada menjadi standar kualitas tersebut dilakukan oleh eksportir.
Guna memenuhi standar ekspor, eksportir melakukan kegiatan pengeringan dan
sortasi untuk menghasilkan kualitas lada putih dengan kualitas FAQ dan ASTA
yang maksimal hanya mengandung kadar air 12 persen. Sementara itu, untuk lada
hitam kualitas ASTA membutuhkan bahan baku lada terbaik dengan kadar air
minimal 19 persen dan bahan baku yang tidak memenuhi syarat tersebut dapat
diolah menjadi lada kualitas FAQ.
Sistem perdagangan lada Indonesia pada saat ini berupa sistem dimana
komoditi lada yang diperdagangkan langsung dijual pada negara konsumen dan
tidak ada lagi dalam bentuk tata niaga perdagangan lada. Sebelumnya pada tahun
1972 hingga tahun 1989, dalam kebijakan tata niaga lada terdapat pemusatan
penjualan lada melalui perwakilan UNIPRO (perusahaan pemerintah Indonesia
yang berpusat di Amsterdam untuk pemasaran lada putih) dan CITC (Central
Indonesian Trading Company), perusahaan pemerintah untuk pemasaran lada
hitam yang berpusat di New York. Selain itu, eksportir Indonesia yang ingin
mengekspor lada ke beberapa negara konsumen juga ada yang melalui negara
perantara yaitu Singapura.
Dari keseluruhaan uraian di atas, apabila dilihat dari segi permintaan baik
permintaan domestik maupun permintaan luar negeri, Indonesia memiliki
keunggulan dan potensi yang besar dalam perdagangan lada internasional.
Kondisi permintaan tersebut dapat memberikan dukungan terhadap peningkatan
daya saing komoditi lada Indonesia di pasar dunia walaupun masih terdapat
sedikit kendala dalam proses peningkatannya. Apabila kendala yang ada tersebut
dapat diatasi dengan baik maka posisi Indonesia sebagai salah satu produsen dan
eksportir utama lada di dunia akan semakin kuat terutama dalam menghadapi
liberalisasi perdagangan.
6.2.3 Eksistensi Industri Terkait dan Industri Pendukung
Faktor lain yang sangat menentukan keunggulan lada nasional adalah
keberadaan idustri terkait dan mendukung daya saing komoditas tersebut di pasar
internasional yang bersifat kompetitif. Industri yang terkait dan industri
pendukung produksi lada antara pengadaan benih dan sarana prasarana produksi
serta industri pengolahan. Namun, dalam kenyataanya peran industri tersebut
dalam mendukung pengusahaan lada di Indonesia masih kurang. Hal ini dapat
dilihat dari tidak adanya industri perbenihan yang memasok benih dan bibit
unggul pada petani.
Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan, sebenarnya Departemen
Pertanian sudah melakukan kerjasama dengan BPTP dalam pengadaan serta
penyuluhan mengenai bibit unggul pada petani. Selain itu, dalam pengadaan bibit
unggul pada petani rakyat juga pernah mendirikan waralaba benih. Namun, semua
program tersebut tidak dapat berjalan dengan efektif karena karakteristik petani
yang lebih memilih bibit dari kebun sendiri karena lebih mudah dalam pengadaan
dan biaya. Petani memperoleh bibit tanaman lada dari kebun sendiri dan kebun
tetangga berupa stek batang atau ranting. Pemilihan bibit dilakukan dengan
melihat pohon inang. Jika pohon inang tumbuh subur dan berbuah lebat maka
bibit yang diambil dari inang dapat dipastikan akan bersifat sama.
Industri pendukung seperti industri pengolahan juga mengalami kendala
seperti halnya dalam pengadaan bibit unggul. Indonesia sebagai salah satu negara
produsen utama lada dunia masih mengandalkan ekspor lada mentah dalam
meningkatkan daya saingnya. Dengan ketersediaan lada mentah yang besar
tersebut Indonesia dapat meningkatkan nilai tambah produk lada nasional dengan
melakukan diversifikasi pada lada mentah tersebut yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan daya saing lada Indonesia di pasar dunia.
Negara produsen lain yang sudah memiliki industri pengolahan lada yang
sudah berkembang baik adalah India yang telah mengekspor minyak lada dan
olahan lada hijau. Akan tetapi, di Indonesia pengembangan industri pengolahan
lada masih dan baru dijalankan. Hal ini terjadi karena erat kaitannya dengan
kemampuan sumberdaya manusia dan penguasaan teknologi serta peran
pemerintah dan lembaga terkait yang belum maksimal. Di Propinsi Lampung,
pengolahan lada lebih bervariatif diantaranya dijadikan lada hitam, lada putih,
lada hijau, lada bubuk, minyak lada dan Oleoresin lada, dengan produk utama
(lada hitam dan putih) serta produk sampingan (lada enteng, menir dan debu).
Namun, pengembangan tersebut belum memberikan kontribusi ekspor yang besar.
Hal yang cukup menggembirakan adalah di Indonesia yang baru mulai
mengembangkan olahan lada terdapat satu perusahaan yang mengembangkan
produk olahan lada yaitu PT. Yummy Food Utama yang sudah mampu menyaingi
produk olahan lada yang berasal dari luar negeri. Produk olahan tersebut bernama
”Green Pepper Cheese” dan ”Black Pepper Cheese” yang dijual di hypermarket
besar di kota-kota besar di Indonesia. Perusahaan tersebut menghasilkan produk
keju yang dengan campuran rasa lada hijau dan lada hitam yang berlokasi di
Jakarta dan telah mendapat sambutan yang sangat bagus dari konsumen yang
sebagian besar adalah kalangan kelas menengah ke atas (Seminar Rempah
Nasional, 2007).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa keberadaan industri terkait dan
pendukung dalam pengusahaan lada di Indonesia belum sepenuhnya mampu
mendukung peningkatan daya saing lada. Lambannya pengembangan dan
peningkatan keberadaan industri terkait dan pendukung tersebut dapat
menghambat proses peningkatan daya saing lada secara global. Akan tetapi,
peningkatan peran industri terkait dan pendukung komoditi lada Indonesa ini baru
dan sedang dikembangkan untuk peningkatan lebih lanjut.
6.2.4 Struktur, Persaingan, dan Strategi
Keunggulan kompetitif pada dasarnya lebih ditekankan pada kemapuan
perusahaan, industri atau negara untuk menentukan posisinya (strategic
positioning) secara tepat diantara para pesaingnya. Dalam kaitannya dengan
keunggulan kompetitif ini posisi suatu perusahaan, industri, atau negara
ditentukan oleh lima faktor persaingan yaitu: masuknya pendatang baru, ancaman
produk substitusi, daya tawar menawar pembeli, daya tawar menawar pemasok
dan persaingan diantara peserta persaingan yang ada (Porter, 1998).
Struktur pasar lada dunia yang berbentuk oligopoli menunjukkan
persaingan yang semakin ketat, yang ditandai dengan semakin banyaknya negara
yang terlibat dalam perdagangan lada. Peningkatan tidak hanya terjadi pada
jumlah negara pengekspor seperti yang diuraikan pada bab sebelumnya. Akan
tetapi, permintaan oleh negara konsumen juga semakin meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk dunia. Untuk memenuhi permintaan dunia tersebut
sangat tergantung oleh kemampuan atau ketersediaan pasokan lada dalam negeri.
Oleh karena itu, setiap negara produsen dan eksportir lada di dunia akan bersaing
untuk dapat meningkatkan pasokan lada masing-masing negara termasuk
Indonesia.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, produksi lada Indonesia
selama kurun waktu 2001-2006 cenderung mengalami penurunan. Penurunan
produksi yang disebabkan oleh budidaya lada yang masih berskala kecil dengan
modal terbatas tersebut akan mempengaruhi jumlah pasokan lada dalam negeri
dimana pasokan lada juga akan mengalami penurunan. Keterbatasan pasokan lada
ini tidak dapat mengimbangi peningkatan permintaan lada oleh negara konsumen.
Jika pasokan lada nasional tidak mampu memenuhi permintaan lada dunia yang
cenderung meningkat, maka pangsa lada Indonesia di pasar dunia akan menurun,
yang berarti memperlemah kemampuan daya saing komoditas lada Indonesia di
pasar internasional.
Pihak eksportir yang bertindak sebagai pelaku perdagangan utama lada
yang berfungsi menyalurkan produk lada ke negara konsumen, mengalami
kesulitan untuk memenuhi permintaan luar negeri yang semakin meningkat.
Berkurangnya pasokan lada nasional tersebut menimbulkan persaingan antara
pihak eksportir untuk memperoleh pasokan lada dari petani. Ketika pasokan lada
yang dibutuhkan eksportir ada yang tidak dapat terpenuhi oleh petani nasional,
maka eksportir yang berskala besar ada yang menggunakan lada impor sebagai
bahan baku dalam proses produksinya. Impor tersebut dilakukan sebagai salah
satu dampak dari sentimen pasar. Sentimen pasar merupakan produk dan sikap
seluruh pelaku pasar mulai dari petani lada, pedagang perantara, para importir,
para spekulan, dan juga para negara konsumen (end users). Salah satu penyebab
adanya sentimen pasar adalah transaksi short covering sales policy yang
dilakukan oleh eksportir, yaitu menjual barang dahulu dan membeli kemudian
(Nugroho, 2004).
Dalam transaksi di atas, eksportir telah membuat kesepakatan waktu dan
harga dengan importir, tetapi ketika hampir jatuh tempo harga di pasar lokal
masih tinggi dari harga yang telah disepakati. Pada kondisi tersebut eksportir
terpaksa membeli lada dengan harga yang tinggi dari pedagang besar. Namun, hal
ini ditanggapi negatif oleh pedagang dengan menimbun dan menahan barang
dengan anggapan bahwa harga lada yang akan dibeli oleh eksportir akan makin
tinggi. Tindakan ini pun juga dilakukan oleh para pedagang besar lainnya secara
berantai. Akibatnya, barang menjadi langka dan eksportir kesulitan untuk
mendapatkan barang sehingga mereka biasanya melakukan impor dari negara lain
dengan harga yang lebih murah dari harga lokal. Dengan demikian, lada lokal
yang ditahan oleh pedagang besar menjadi tidak laku. Untuk menghindari
kerugian maka para pedagang besar tersebut harus membeli lada lokal dengan
harga yang jauh lebih murah yang juga diikuti oleh pedagang di bawahnya
sehingga akhirnya petani menjadi korban, karena mereka tidak punya pilihan.
Kekuatan pemasok merupakan faktor penentu selanjutnya. Faktor ini
ditentukan oleh konsentrasi pemasok. Dalam kegiatan ekspor komoditas lada yang
bertindak sebagai pemasok adalah petani. Pemasok yang ada yaitu petani belum
sepenuhnya mampu memenuhi permintaan pengekspor. Dari segi kuantitas, petani
lada sudah mampu memenuhi permintaan pengekspor tetapi dari segi kualitas
belum sepenuhnya terpenuhi. Produk lada yang dipasok eksportir dari petani
masih berupa lada mentah. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan
konsumen dalam negeri terhadap produk olahan lada, maka Indonesia mengimpor
produk olahan lada tersebut dari negara importir. Dengan demikian, akan
menimbulkan persaingan antara pengusaha lada dalam negeri dengan importir
lada luar negeri.
Diferensiasi produk merupakan salah satu strategi yang diperlukan untuk
merebut pasar. Strategi diferensiasi produk dapat meningkatkan nilai ekspor lada
Indonesia karena salah satu produk lada yang permintaannya semakin meningkat
adalah produk olahan lada. Faktor penentu persaingan lada adalah akses informasi
yang mampu diperoleh perusahaan. Dalam liberalisasi perdagangan, akses
informasi diperlukan untuk memenangkan persaingan. Para eksportir lada
nasional perlu memperoleh informasi mengenai pasar yang potensial dan efektif.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah melalui pameran-pameran dagang
baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
6.2.5 Peran Pemerintah
Dalam peningkatan daya saing komodidi lada di pasar internasional
peranan pemerintah baik melalui Departemen Pertanian maupun Pemerintah
Daerah cukup besar dan dibutuhkan dalam pengembangan tanaman lada mulai
dari produksi hingga pasca panen. Kebijakan produksi yang sudah dilakukan oleh
pemerintah antara lain Unit Pelaksana Proyek (UPP), Swadaya Berbantuan, Kredit
Modal Kerja Permanen (KMKP), Peremajaan, Rehabilitasi dan Perluasan
Tanaman Ekspor (PRPTE), Rural Credit Project (RCP) dan Paket Intensifikasi
Lada (PIL). Program-program tersebut berjalan antara tahun 1978-1985 dan tidak
dilanjutkan karena tidak tersedianya dana maupun tingkat kemacetan yang tinggi.
Dalam mengatasi masalah kurangnya penggunaan bbit unggul oleh petani
maka pada tahun 2006, Pemerintah Propinsi Bangka Belitung menyediakan dua
juta bibit unggul dimana bibit tersebut mendapat perlakuan khusus sehingga lebih
tahan terhadap serangan hama dan penyakit11. Dalam kaitannya dengan proteksi
output, pada tahun 2002 pemerintah meluncurkan program Kawasan Industri
Masyarakat Perkebunan (KIMBUN). Program KIMBUN diberikan pada berbagai
daerah yang disesuaikan dengan potensi komoditas perkebunan setempat. Propinsi
Bangka Belitung sebagai salah satu sentra penghasil lada putih melalui
Pemerintah Provinsi membangun kolam perendaman lada guna meningkatkan
kualitas lada asalan petani.
Pemerintah juga mngeluarkan kebijakan tentang perdagangan lada dalam
rangka meningkatkan ekspor dan mempertahankan posisi Indonesia sebagai
penegekspor utama lada dunia diantaranya : (1) pembatasan ekspor lada kualitas
rendah melalui pembebanan pajak ekspor bagi lada kualitas rendah (10%) dan
membebaskan beban pajak ekspor bagi lada kualitas ASTA dan FAQ, (2)
pemusatan penjualan melaului perwakilan UNIPRO (perusahaan pemerintah
Indonesia yang berpusat di Amsterdam untuk pemasaran lada putih) dan CITC
(Central Indonesian Trading Company), perusahaan pemerintah untuk pemasaran
lada hitam yang berpusat di New York, (3) mendorong terciptanya Asosiasi
11
Kompas 31 Juli 2006. Babel Sediakan Dua Juta Bibit Lada.
http://indobic.or.id/berita_detail.php?id. Diakses tanggal 2 April 2008. Eksportir Lada Indonesia (AELI) agar pemasaran di dalam dan luar negeri
berjalan efisien, (4) meningkatkan sistem pengendalian mutu ekspor lada, (5)
memberikan potongan harga biaya pengangkutan jika pengapalan ekspor
dilakukan secara langsung dari Indonesia, (6) memperluas jangkauan pemasaran
baru di luar negeri, (7) membentuk Badan Pemasaran Lada Indonesia (BLPI) pada
tahun 1969 dan (8) melalui SK Menteri Perdagangan November 1989 tentang
kelonggaran bagi eksportir untuk mengekspor melalui trading house UNIPRO
dan CITC. Selain itu, dalam perdagangan ekspor lada pemerintah juga membuat
kebijakan melalui pembebanan pajak penjualan (PPN) sebesar 10% dan wajib
pungut pajak penghasilan (PPH) sebesar 0,5% terhadap eksportir.
Berbagai kebijakan yang pernah dibuat dan dijalankan oleh pemerintah di
atas belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pada
semester pertama tahun 2003 pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan
Perdagangan menawarkan gagasan pendirian Kantor Pemasaran Bersama (KPB)
untuk lada putih yang kemudian disambut baik oleh Pemerintah Propinsi Bangka
Belitung dengan membuat Raperda tentang tata laksana perdagangan lada putih
pada bulan Agustus dan September 2003. Tujuan didirikannya KPB adalah untuk
stabilisasi harga dan kepastian usaha bagi petani produsen, dan memberikan
sertifikasi kualitas lada putih. KPB ini merupakan salah satu cara untuk
memangkas rantai pemasaran lada putih yang panjang yang melibatkan banyak
perantara sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani lada.
6.2.6 Peran Peluang
Peluang komoditi lada Indonesia agar dapat bersaing di pasar dunia masih
terbuka dan cukup besar. Salah satu indikatornya adalah semakin meningkatnya
permintaan lada baik lada hitam dan lada putih di dunia sejalan dengan
peningkatan kebutuhan manusia. Salah satu peluang tersebut terlihat dari angka
permintaan lada hitam dimana setiap tahun dunia membutuhkan sekitar 250.000
ton lada hitam sedangkan negara produsen belum mampu memenuhi kebutuhan
tersebut karena produksi lada yang belum optimal12. Selain itu, Indonesia masih
memiliki pasar yang potensial bagi ekspor lada yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa
dan Jepang.
Indonesia sebagai salah satu produsen dan pemasok lada yang sudah
memiliki brand lada hitam (Lampung Black Pepper) dan lada putih (Muntok
White Pepper) di pasar internasional dapat memanfaatkan peluang tersebut
dengan keunggulan yang dimiliki. Keunggulan tersebut adalah dari segi potensi
produksi dan areal pengembangan yang didukung dengan kondisi geografis dan
iklim yang sesuai yang apabila dikelola dengan baik maka Indonesia akan mampu
memasok kebutuhan lada dunia yang semakin meningkat tersebut. Jika dilihat dari
sisi perkembangan harga dunia, pengembangan lada juga cukup menjanjikan
dimana dalam beberapa waktu terakhir harga lada dunia semakin meningkat
terutama lada hitam dan lada putih. Harga lada hitam pada posisi Juni 2007
sebesar 3.856 dolar AS per metrik ton. Untuk lada putih harga pada Juni 2007
12
Kompas 6 September 2004. Pasar Luar Negeri Masih Sangat Terbuka.
http://kompas.com/kompas-cetak/0409/06/teropong/. Diakses tanggal 2 April 2008. mencapai 5.158 US dolar per metirk ton, padahal pada akhir tahun 2006 lalu,
harganya masih 1.995 dolar AS per metrik ton13.
Liberalisasi perdagangan yang akan dihadapi perdagangan dunia secara
tidak langsung juga memberikan peluang bagi komoditi lada Indonesia untuk
peningkatan daya saingnya. Kondisi ini terkait dengan meningkatnya konsumsi
dan kepedulian konsumen di negara maju terhadap aspek kesehataan, hygine, dan
sanitasi yang sejalan dengan isu “food safety”. Kemudian, peningkatan kebutuhan
industri dan obat-obatan seiring dengan kecenderungan masyarakat dunia untuk
mengkonsumsi produk alami juga merupakan salah satu kesempatan bagi
diversifikasi produk lada Indonesia.
13
Metro Bangka Belitung 8 Januari 2008. Pembatasan Kuota Lada, Siapa Diuntungkan?
http://metrobangkabelitung.wordpress.com. Diakses tanggal 10 April 2008. VII.
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan mengenai analisis daya saing
komoditi lada Indonesia di pasar internasional, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan yaitu:
1.
Dari analisis Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi, struktur pasar dalam
perdagangangan lada menunjuk ke arah struktur pasar oligopoli dengan
tingkat konsentrasi pasar sedang.
2.
Komoditi
lada
Indonesia
memiliki
keunggulan
komparatif
dalam
perdagangan lada di pasar internasional. Hal ini ditunjukkan melalui nilai
Revealed Comparative Advantage (RCA) yang lebih dari satu. Meskipun
Indonesia memiliki keunggulan komparatif tetapi daya saing komoditi lada
Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan Vietnam sebagai negara
produsen dan eksportir lada nomor satu di dunia. Kondisi internal komoditi
lada Indonesia memiliki keunggulan kompetitif pada faktor sumberdaya alam.
Pada faktor sumberdaya manusia, ketersediaan dan peran sumberdaya
manusianya cukup mendukung tetapi terdapat kekurangan dalam hal kualitas
tenaga kerja terutama dalam pemanfaatan dan penerapan IPTEK serta bibit
unggul yang belum maksimal. Selain itu, kondisi infrastruktur belum
sepenuhnya
memadai
terutama
sarana
dan
prasarana
pembenihan.
Kekurangan juga terdapat pada kondisi permodalan yang terbatas yang dapat
dilihat dari masih kurangnya peran lembaga permodalan yang mau
mendukung pengembangan pengusahaan lada. Dari sisi permintaan, komoditi
lada Indonesia dapat memenuhi kebutuhan domestik dan konsumsi luar
negeri. Komoditi lada Indonesia masih mempunyai kelemahan dari sisi
industri terkait dan pendukung yang ditandai dengan belum adanya industri
penangkar benih/bibit dan belum majunya industri olahan lada. Dalam
persaingan dan struktur, terjadi persaingan yang ketat antara eksportir dan
importir lada untuk memenuhi permintaan lada yang semakin meningkat.
Strategi yang dikembangkan adalah diversifikasi produk lada. Kondisi
eksternal komoditas lada yang memiliki keunggulan kompetitif antara lain
peranan pemerintah yang telah mengeluarkan kebijakan mengenai penyediaan
input faktor produksi, pemasaran dan perdagangan lada, dan standar mutu
lada. Untuk peranan peluang, Indonesia sudah memiliki brand yang sudah
dikenal di dunia yaitu Lampung Black Pepper dan Muntok White Pepper,
peningkatan harga lada dunia serta meningkatnya konsumsi lada dunia. Selain
itu, Amerika Serikat dan Uni Eropa masih merupakan pasar yang potensial
bagi ekspor lada Indonesia.
7.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil analisis daya saing lada
Indonesia di pasar internasional yaitu:
1.
Untuk meningkatkan daya saing lada Indonesia, perlu adanya peningkatan
kualitas dan kuantitas dari penjualan lada dengan mengembangkan dan
meningkatkan ekspor lada dalam bentuk olahan (diversifikasi)
sehingga
dapat meningkatkan volume dan nilai ekspor lada. Salah satu caranya dapat
dilakukan dengan memberikan pelatihan dan bimbingan kepada petani dan
industri pengolahan lada, penyediaan fasilitas, serta meningkatkan penelitian
yang berkaitan dengan teknik dan proses pengolahan lada.
2.
Meningkatkan produktivitas dalam negeri melalui perbaikan cara budidaya
yang menggunakan benih unggul atau bersertifikat serta penanganan hama
dan penyakit pada lada. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain dengan
pembangunan dan pengembangan sumber benih, penelitian dan pelatihan
untuk menemukan jenis dan varietas baru lada yang lebih unggul dan tahan
terhadap hama dan penyakit.
3.
Dalam mengatasi masalah permodalan dan pembiayaan usaha tanaman lada,
pemerintah harus menjalin kerjasama dan melakukan pendekatan pada pihak
perbankan agar perbankan mulai memberikan kredit khusus terhadap sektor
lada.
DAFTAR PUSTAKA
AmosWEB Encyclonomic WEB*pedia. 2008. Four-Firm Concentration Ratio.
http://www.AmosWEB.com, AmosWEB LLC. Diakses tanggal 16
Januari 2008.
Anissa, Kristiana. 2006. Analisis Daya Saing Teh Hitam Indonesia di Pasar
Internasional. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . 2002. Pengembangan Teknologi
Budidaya Tanaman Lada, http://www.bppt.go.id. Diakses tanggal 14
Maret 2008.
Bank Indonesia. 2004. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Modal
Usaha Kecil Perkebunan Lada. www.bi.go.id/sipuk/. Diakses
tanggal 19 Februari 2008.
Departemen Pertanian. 2007. Road Map Komoditi Lada 2005-2025. Direktorat
Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Departemen Pertanian. 2007. Harga Komoditi Perkebunan Mulai Membaik.
http://agribisnis.net/. Diakses tanggal 10 April 2008.
Departemen Pertanian. 2007. Kinerja Ekspor Impor Pertanian Indonesia Tahun
2006.www.agribisnis_deptan.go.id. Diakses tanggal 30 Januari 2008.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Edi Idris, Dede Kusuma dan Nur Haryanto. 2007. Panduan Seminar Nasional
Rempah. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman
Industri. Bogor.
Hasyim, Ali Ibrahim.1986. Kedudukan Komoditi Lada Indonesia di Pasar
Internasional. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
International Pepper Community. 2004. Pepper Production Guide for Asia and
The Pasific. www.ipcnet.org. Diakses tanggal 15 Maret 2008.
International Pepper Community.2007. Producing Countries
www.ipcnet.org. Diakses tanggal 15 Maret 2008.
Statistics.
International Pepper Community. 2007. World Pepper Statistics. www.ipcnet.org.
Diakses tanggal 15 Maret 2008.
Internet Center For Management and Business Administration. 2007. Herfindahl
Index. www.quickmba.com. Diakses tanggal 15 November 2007.
Internet Center For Management and Business Administration. 2007. Porter’s
Diamond National Advantage. www.quickmba.com. Diakses tanggal
15 November 2007.
Jumadi. 1991. Perdagangan Lada Hitam Indonesia di Pasar Internasional. Tesis.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kompas
31 Juli 2006. Babel Sediakan Dua Juta Bibit Lada.
http://indobic.or.id/berita_detail.php?id. Diakses tanggal 2 April
2008.
Kompas. 6 September 2004. Pasar Luar Negeri Masih Sangat Terbuka.
http://kompas.com/kompas-cetak/0409/06/teropong/.Diakses tanggal
2 April 2008.
Laursen, Kield. 1998. Revealed Comparative Advantage and the Alternatives as
Measures of International Specialisation No. 98-30. Department of
Industrial Economics and Strategy / DRUID Copenhagen Business
School Copenhagen. Denmark. Dalam www.druid.dk. Diakses tanggal
15 November 2007.
Lipsey, dkk. 1997. Pengantar Mikroekonomi Jilid Dua Edisi Kesepuluh. Binarupa
Aksara. Jakarta.
Mansjur, Avief. 1980. Budidaya Tanaman Lada dan Kopi. Unit Penataran Institut
Pertanian Bogor. Jakarta.
Marwoto,
Pan Budi. 2003. Perkebunan Lada Rakyat Kabupaten
Bangka:Ketidakefisienan dan Ketidakberdayaan. Tesis. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Meryana, Ester. 2007. Analisis Daya Saing Kopi Robusta Indonesia di Pasar Kopi
Internasional. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Metro Bangka Belitung 8 Januari 2008. Pembatasan Kuota Lada, Siapa
Diuntungkan? http://metrobangkabelitung.wordpress.com. Diakses
tanggal 10 April 2008.
Nugroho, Sabdo. 2004. Analisis Struktur Pasar Lada Dunia dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Harga Ekspor Lada Indonesia. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pappas, dkk. 1995. 4th Edition Managerial Economics. Holt-Saunders. Japan.
Porter, Michael E. 1998. The Competitive Advantage of Nations. Macmillan Press.
London.
Salvatore.1997. Ekonomi Internasional Edisi Kelima, penerjemah Haris
Munandar. Erlangga. Jakarta.
Silalahi, Bayu Geo S. 2007. Daya Saing Komoditas Nenas dan Pisang Indonesia
di Pasar Internasional. Skripsi.. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Susilowati, Sri Hery. 2003. Dinamika Daya Saing Lada Indonesia Jurnal Agro
Ekonomi Volume 21 No. 2 Oktober: 122 – 144. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Tatakomara, Edwin. 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor
Komoditi Teh, Serta Daya Saing Komoditi Teh di Pasar Internasional.
Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Triana, Farida. 2000. Dampak Perubahan Faktor Internal dan Eksternal Terhadap
Penawaran dan Permintaan Lada Putih di Pasar Domestik dan Dunia.
Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
United Nation Statistics. 2007. United Nations Commodity Trade (COMTRADE)
Statistics Database. http://unstats.un.org/unsd/comtrade8. Diakses 16
Februari 2008.
Ulun Lampung 15 Maret 2007. Lada Indonesia Dilibas Tetangga.
http://ulunlampung.blogspot.com. Diakses Tanggal 10 April 2008.
Wuryanto, Lilik. 2002. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Lada dan
Pemasaran Komoditi Lada (Studi Kasus Desa Giri Mulya, Kecamatan
Jabung, Kabupaten Lampung Timur, Propinsi Lampung). Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1. Produksi Lada Hitam dan Putih dari Beberapa Negara
Produsen Lada Tahun 1997-2006
Tahun
Produksi Lada Hitam dan Putih Beberapa Negara Produsen
(dalam ton)
Brazil
Malaysia
India
Indonesia
Vietnam
1997
18.000
18.000
60.000
43.291
25.000
1998
17.000
19.000
65.000
56.250
22.000
1999
22.000
21.000
75.000
44.500
30.000
2000
26.385
24.000
58.000
77.500
36.000
2001
43.000
27.000
79.000
59.000
56.000
2002
45.000
24.000
80.000
66.000
75.000
2003
50.000
21.000
65.000
80.000
85.000
2004
45.000
20.000
62.000
55.000
100.000
2005
44.500
19.000
70.000
55.000
95.000
2006
48.000
19.000
50.000
46.000
105.000
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan dalam IPC, 2007
Lampiran 2. Nilai Ekspor Komoditi Lada Dunia Tahun 1997-2006 (dalam US$) Negara
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Algeria
0
0
0
0
0
10
1,686
0
0
0
Antigua dan Barbuda
0
0
991
48
0
0
0
0
23
0
21,661
3,943
13,617
22,172
18,068
26,392
1,267
19,761
13,609
10,389
Armenia
0
0
0
0
0
0
0
7,732
9,483
15,792
Australia
223,607
111,618
282,838
246,416
212,380
263,510
434,765
345,969
242,715
293,273
Austria
986,744
629,215
420,801
589,156
528,371
641,343
960,368
1,770,541
2,865,007
4,694,610
Bahrain
0
0
0
0
0
8,875
0
3,851
0
319
Bangladesh
0
0
0
0
0
0
77
6,272
0
0
Argentina
Barbados
0
0
0
8,646
2,786
0
2,741
1,959
1,510
810
Belarus
0
2,125,800
2,682,100
3,246,399
8,899
7,300
1,000
5,199
0
0
Belgium
0
0
3,055,119
3,351,340
1,277,295
1,417,922
1,521,134
2,019,223
2,395,567
3,216,774
3,530,876
2,411,596
0
0
0
0
0
0
0
0
Belize
0
227,994
940
236,902
369,863
143,187
83,145
59,337
4,876
5,282
Benin
0
0
0
0
0
0
0
4,516
0
0
523
0
175
3,000
8,417
109
157
597
610
61
0
0
0
0
0
0
42,857
49,090
58
5,273
Belgium-Luxembourg
Bolivia
Bosnia Herzegovina
Botswana
0
0
0
278
324
0
577
88
437
34
59,371,784
77,653,848
87,443,769
69,075,266
59,299,045
58,432,914
56,815,137
60,163,115
46,390,774
81,794,064
77,016
51,964
29,721
59,424
31,033
45,150
46,397
61,276
48,145
40,252
Burkina Faso
0
0
0
0
0
0
0
518
0
0
Burundi
0
0
0
0
0
0
0
0
94
0
Cambodia
0
0
0
577
0
131
30,863
0
0
0
Cameroon
0
0
0
290
153
3,486
40,676
12,353
18,610
36,157
562,403
592,522
564,402
571,953
215,700
416,568
348,207
377,551
376,551
366,273
Brazil
Bulgaria
Canada
Cape Verde
Central African Rep.
0
0
71
0
0
0
0
0
24
0
1,492
6,533
4,581
1,330
1,102
0
0
0
0
0
85
Chile
10,021
46,593
20,041
21,356
35,453
0
24
6,772
479
905
China
14,406,984
2,342,512
6,955,690
704,447
247,559
7,471,096
5,093,370
4,748,024
3,619,441
21,177,993
9,446,128
1,751,814
4,976,277
12,834,066
2,552,812
2,161,058
772,505
631,292
360,066
635,727
0
0
0
0
0
0
0
4,873
0
0
Colombia
27,084
317,149
0
67,498
107,367
805
506
138
29,711
43,711
Cook Isds
0
0
0
0
0
0
2,395
0
0
0
197,806
150,342
6,218
39,676
91,961
191,038
256,456
59,418
20,636
38,337
0
0
0
0
3,179
0
0
1,965
571
20,162
Croatia
30,962
160,462
65,695
148,081
118,663
130,265
91,914
49,258
45,019
77,706
Cyprus
0
27,055
0
0
0
0
0
0
6,658
0
Czech Rep.
0
138,597
152,985
148,999
152,422
63,873
150,593
164,087
111,670
281,498
Denmark
0
941,093
955,058
991,887
747,709
875,220
821,633
661,657
981,835
775,626
Dominica
0
0
6,206
45,560
47,152
126,240
167,176
118,764
73,788
37,195
Dominican Rep.
0
0
0
0
18,000
0
0
0
0
0
Ecuador
0
19,970
113,745
205,285
530,649
2,621,242
3,258,738
4,216,018
3,241,263
3,126,401
El Salvador
0
6,124
66,699
68,000
238,697
360,458
381,263
657,388
872,251
888,740
22,035
44,003
104,950
104,087
105,503
71,228
245,027
182,826
204,367
327,817
Ethiopia
0
0
0
0
786,681
425,572
1,408,664
81,765
1,601
127,155
Eritrea
0
0
0
0
0
0
21
0
0
0
Fiji
0
0
0
11,739
0
18,268
25,615
41,485
10,164
90
152,606
150,116
163,396
8,805
7,061
14,443
20,896
18,215
10,584
93,912
3,899,495
6,672,277
5,049,390
5,027,822
1,882,061
2,741,627
3,308,124
2,334,355
5,796,925
5,821,014
Gambia
21,668
364
131
31,985
0
0
0
0
0
0
Georgia
0
0
0
0
0
0
0
89
140
0
10,017,092
11,240,000
11,966,398
8,515,000
6,257,000
4,739,000
6,546,000
9,060,000
9,528,000
15,024,000
Ghana
0
0
0
0
0
0
6,070,865
1,131,936
937,040
499,696
Greece
425,141
633,720
495,353
323,274
379,961
235,221
219,179
350,542
317,396
169,494
0
0
0
23,376
14,670
10,842
36,797
1,641
0
0
Guatemala
462,809
123,605
1,052,557
423,928
357,954
430,210
287,726
1,144,823
847,362
262,583
Guyana
255,000
307,000
137,762
223,412
146,363
217,951
249,205
308,659
244,558
282,231
China, Hongkong SAR
China, Macao SAR
Costa Rica
Cote d I'voire
Estonia
Finland
France
Germany
Grenada
86
Honduras
Hungary
1,059,146
179,681
2,484,449
320,409
656,828
748,889
1,488,599
1,371,118
1,261,539
1,310,190
29,000
57,000
77,000
82,000
18,000
13,000
33,000
109,000
50,000
4,000
India
129,709,168
143,911,968
163,281,627
69,009,049
33,958,513
30,810,760
20,416,093
19,294,682
24,201,131
55,324,965
Indonesia
160,409,648
185,248,608
189,406,789
220,722,743
100,383,720
89,065,520
93,202,804
54,180,995
57,863,199
77,014,609
195,635
627,131
184,415
160,539
198,813
440,744
31,868
32,808
0
4,022
Ireland
0
1,792
0
0
1,751
13,171
1,261
564
3,228
461
Israel
0
0
0
0
7,000
0
0
2,000
0
0
1,000,831
1,097,466
654,462
648,949
737,656
854,984
931,407
767,365
946,232
1,057,165
0
5,345
1,963
0
0
34,705
9,408
11,904
20,284
4,718
20,341
89,636
2,415
2,301
0
39,567
15,220
24,111
127,621
122,020
Iran
Italy
Jamaica
Japan
Jordan
0
0
0
105,781
87,502
0
15,795
72,282
62,048
1,258
Kazakhstan
0
0
0
0
3,100
600
0
0
0
0
767
4,824
26,701
11,481
801
20,162
26,095
55
0
0
Kuwait
0
0
0
4,307
0
0
0
0
0
0
Kyrgyzstan
0
0
0
0
140
0
12,656
0
0
0
9,199
16,692
81,699
72,058
20,792
47,059
57,918
61,869
42,021
76,642
0
65
125
0
0
4,306
0
3,000
0
0
405,198
142,143
65,640
3,749
14,249
40,843
42,475
108,914
83,230
156,720
Kenya
Latvia
Lebanon
Lithuania
Luxembourg
0
0
2,998
3,494
7,441
3,920
5,101
5,902
6,751
8,537
2,837,629
1,129,568
2,549,877
1,417,179
1,807,253
1,950,505
1,813,364
1,583,647
1,745,438
3,828,339
0
0
665,488
676,885
363,779
548,799
1,024,930
862,373
1,128,674
673,762
102,770,616
88,588,002
101,433,663
89,935,192
44,086,335
33,957,767
29,769,434
27,671,813
27,424,165
33,496,920
0
0
0
0
3,734
1,758
9,548
3,848
0
0
297,931
567,493
172,549
382,196
163,214
295,931
116,605
273,497
174,671
923,642
Mayotte
0
0
0
0
0
0
0
50
0
0
Mexico
6,248,417
6,036,747
10,512,866
13,986,632
8,246,437
10,725,847
10,409,906
15,630,021
13,636,709
16,619,188
Morocco
0
0
0
0
0
49,850
177,052
203,401
243,207
185,919
Mozambique
0
0
0
0
30,977
8,080
8,444
22,189
274,183
82,427
Namibia
0
0
0
8,471
697
14,557
47,575
43,175
260,090
0
47,531,444
63,051,136
60,453,446
51,265,505
35,143,834
23,429,368
21,176,712
16,624,023
15,203,836
21,593,601
Madagascar
Malawi
Malaysia
Mali
Mauritius
Netherlands
87
New Caledonia
New Zealand
0
0
0
0
31
126
0
0
0
88
4,179
388
2,152
13,075
363
4,057
4,949
3,253
3,331
9,035
Nicaragua
0
0
0
0
95
1,375
1,387
373
0
22
Niger
0
6,247
49,016
164,821
158,989
199,186
137,917
72,392
145,788
0
68,752
31,875
200,061
2,344
1,663
20,684
1,038
8,610
8,065
16,098
Oman
0
0
0
0
0
0
0
0
520
0
Pakistan
0
0
0
0
0
0
0
1,064
305
21,638
Panama
0
40,486
0
3,372
0
243
0
0
0
0
Papua New Guinea
0
0
0
0
0
818
0
0
0
0
Paraguay
0
0
0
0
0
0
2,153
0
0
726
Peru
0
6,233
29,646
244,198
376,186
170,768
99,839
278,713
158,091
310,285
Philippines
0
0
0
51,090
41,392
46,271
26,849
40,089
48,956
50,063
328,306
0
400,000
330,000
0
66,000
236,000
547,217
2,033,785
2,635,381
3,990
20,773
12,202
22,096
8,484
39,604
45,674
59,281
17,173
34,246
241,110
69,682
137,955
329,750
418,637
81,546
88,933
171,892
204,831
347,556
Rep. or Moldova
0
0
0
0
0
0
0
0
0
391
Romania
0
0
1,000
1,000
1,000
2,000
5,522
41,727
12,100
9,396
1,238,983
25,303
68,641
2,032,424
142,962
142,351
41,273
91,618
58,147
65,036
Saint Kitts and Nevis
0
0
599
0
0
0
0
0
0
229
Saint Lucia
Saint Vincent
Grenada
0
0
0
241,930
502,524
394,674
265,975
250,193
100,600
0
0
45,377
32,923
3,085
825
46,233
113,573
53,162
6,723
28,750
Samoa
0
0
0
0
0
101
0
0
0
0
Sao Tome and Principe
0
0
0
0
0
0
0
909
0
0
Saudi Arabia
0
0
45,933
77,779
40,992
55,106
121,049
133,869
176,778
21,966
1,515
1,473
2,294
1,920
58
51,781
0
4,968
152
79,884
Serbia
0
0
0
13,000
11,991
33,857
0
31,785
72,972
108,436
Seychelles
0
0
49
0
0
0
252
117
0
66
Singapore
210,314,954
213,426,336
228,217,966
197,849,383
80,769,366
55,812,767
47,987,893
32,449,533
21,602,836
35,021,870
229,391
2,124
10,552
719
7,171
17,097
25,017
33,479
35,938
71,217
Norway
Poland
Portugal
Rep. of Korea
Russian Federation
Senegal
Slovakia
and
88
Slovenia
South Africa
Spain
134,166
70,105
35,327
49,999
22,491
29,282
28,005
24,932
38,061
21,288
1,580,967
566,895
296,208
397,188
109,004
186,362
570,177
648,160
1,859,227
2,684,423
887,241
977,198
881,629
769,511
825,471
958,640
1,760,974
1,162,734
1,045,048
1,449,322
Sri Lanka
0
0
17,922,640
21,143,000
5,524,463
14,596,983
12,401,131
8,737,912
11,501,480
0
Swaziland
0
0
0
50
2,079
285
782
11
67
0
231,772
423,314
582,781
606,958
351,554
190,296
577,626
871,399
598,864
887,195
35,269
14,916
43,686
46,367
55,537
58,202
94,595
82,941
77,745
152,005
0
0
0
0
0
0
289
0
0
11,060
2,336
10,365
13,842
16,441
27,122
13,455
16,255
1,640
37,033
1,170
0
0
2,842,378
1,786,886
721,276
896,585
1,002,940
770,455
267,187
335,519
Togo
0
59,201
59,903
19,390
654
0
0
0
0
0
Trinidad and Tobago
0
0
101,599
132,840
56,404
61,516
36,251
49,003
40,685
100,392
Tunisia
0
0
0
1,283
10,303
10,521
58,629
23,793
1,553
0
Turkey
60,704
46,948
68,079
85,737
79,423
36,806
52,084
84,158
67,488
0
Uganda
46,704
44,205
612,383
33,209
305,823
110,799
128,207
167,029
179,621
63,027
Ukraine
0
0
0
0
59,049
124,066
65,400
60,550
84,124
83,838
United Arab Emirates
0
0
0
0
0
0
0
0
4,434,273
0
2,562,448
3,851,224
1,088,247
1,351,304
1,321,226
1,056,837
946,848
984,797
1,271,141
1,605,429
0
31,703
269,732
426,618
172,336
301,888
147,354
302,845
5,061
178
0
0
0
0
0
0
344
0
329
115
4,961,354
6,939,962
6,461,682
7,079,184
4,246,124
3,486,435
3,134,536
3,259,816
3,830,896
8,061,146
Venezuela
0
99
0
1,814
0
0
0
0
9
6
Vietnam
0
0
0
0
91,236,911
109,688,782
104,569,304
149,552,159
151,538,464
190,441,000
Yemen
0
0
0
0
0
0
0
108,932
49,838
90,835
Zambia
0
0
0
60,453
91,552
344,360
648,720
0
0
22,617
Zimbabwe
0
0
0
1,091,287
26,604
726,791
0
110,692
14,596
0
779,610,048
826,355,558
919,336,953
792,681,905
490,473,014
467,498,782
446,034,760
431,127,746
426,017,756
597,523,405
Sweden
Switzerland
Syria
TFYR of Macedonia
Thailand
United Kingdom
United
Rep.
Tanzania
Uruguay
USA
TOTAL
of
Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007
http://unstats.un.org/unsd/comtrade8. Diakses 16 Februari 2008.
89
Lampiran 3. Pangsa Pasar Ekspor Negara-Negara Produsen dan Eksportir Lada Dunia Tahun 1997-2006 (%)
Negara
Algeria
Antigua dan Barbuda
Argentina
Armenia
Australia
Austria
Bahrain
Bangladesh
Barbados
Belarus
Belgium
Belgium-Luxembourg
Belize
Benin
Bolivia
Bosnia Herzegovina
Botswana
Brazil
Bulgaria
Burkina Faso
Burundi
Cambodia
Cameroon
Canada
Cape Verde
Central African Rep.
1997
0.00
0.00
0.00
0.00
0.03
0.13
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.45
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7.62
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.07
0.00
0.00
1998
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.08
0.00
0.00
0.00
0.26
0.00
0.29
0.03
0.00
0.00
0.00
0.00
9.40
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.07
0.00
0.00
1999
0.00
0.00
0.00
0.00
0.03
0.05
0.00
0.00
0.00
0.29
0.33
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
9.51
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.06
0.00
0.00
2000
0.00
0.00
0.00
0.00
0.03
0.07
0.00
0.00
0.00
0.41
0.42
0.00
0.03
0.00
0.00
0.00
0.00
8.71
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.07
0.00
0.00
2001
0.00
0.00
0.00
0.00
0.04
0.11
0.00
0.00
0.00
0.00
0.26
0.00
0.08
0.00
0.00
0.00
0.00
12.09
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.04
0.00
0.00
2002
0.00
0.00
0.01
0.00
0.06
0.14
0.00
0.00
0.00
0.00
0.30
0.00
0.03
0.00
0.00
0.00
0.00
12.50
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.09
0.00
0.00
2003
0.00
0.00
0.00
0.00
0.10
0.22
0.00
0.00
0.00
0.00
0.34
0.00
0.02
0.00
0.00
0.01
0.00
12.74
0.01
0.00
0.00
0.01
0.01
0.08
0.00
0.00
2004
0.00
0.00
0.00
0.00
0.08
0.41
0.00
0.00
0.00
0.00
0.47
0.00
0.01
0.00
0.00
0.01
0.00
13.95
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.09
0.00
0.00
2005
0.00
0.00
0.00
0.00
0.06
0.67
0.00
0.00
0.00
0.00
0.56
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
10.89
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.09
0.00
0.00
2006
0.00
0.00
0.00
0.00
0.05
0.79
0.00
0.00
0.00
0.00
0.54
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
13.69
0.01
0.00
0.00
0.00
0.01
0.06
0.00
0.00
90
0.00
1.85
1.21
0.00
0.00
0.00
0.03
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.02
0.50
0.00
0.00
1.28
0.00
0.05
0.00
0.06
0.03
0.01
0.28
0.21
0.00
0.04
0.00
0.02
0.00
0.02
0.00
0.02
0.11
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.02
0.81
0.00
0.00
1.36
0.00
0.08
0.00
0.01
0.04
0.00
0.76
0.54
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.02
0.10
0.00
0.00
0.01
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.02
0.55
0.00
0.00
1.30
0.00
0.05
0.00
0.11
0.01
0.00
0.09
1.62
0.00
0.01
0.00
0.01
0.00
0.02
0.00
0.02
0.13
0.01
0.00
0.03
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.63
0.00
0.00
1.07
0.00
0.04
0.00
0.05
0.03
0.01
0.05
0.52
0.00
0.02
0.00
0.02
0.00
0.02
0.00
0.03
0.15
0.01
0.00
0.11
0.05
0.02
0.16
0.00
0.00
0.00
0.38
0.00
0.00
1.28
0.00
0.08
0.00
0.07
0.03
0.00
1.60
0.46
0.00
0.00
0.00
0.04
0.00
0.03
0.00
0.01
0.19
0.03
0.00
0.56
0.08
0.02
0.09
0.00
0.00
0.00
0.59
0.00
0.00
1.01
0.00
0.05
0.00
0.09
0.05
0.00
1.14
0.17
0.00
0.00
0.00
0.06
0.00
0.02
0.00
0.03
0.18
0.04
0.00
0.73
0.09
0.05
0.32
0.00
0.01
0.00
0.74
0.00
0.00
1.47
1.36
0.05
0.01
0.06
0.06
0.00
1.10
0.15
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.01
0.00
0.04
0.15
0.03
0.00
0.98
0.15
0.04
0.02
0.00
0.01
0.00
0.54
0.00
0.00
2.10
0.26
0.08
0.00
0.27
0.07
0.00
0.85
0.08
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.03
0.23
0.02
0.00
0.76
0.20
0.05
0.00
0.00
0.00
0.00
1.36
0.00
0.00
2.24
0.22
0.07
0.00
0.20
0.06
0.00
3.54
0.11
0.00
0.01
0.00
0.01
0.00
0.01
0.00
0.05
0.13
0.01
0.00
0.52
0.15
0.05
0.02
0.00
0.00
0.02
0.97
0.00
0.00
2.51
0.08
0.03
0.00
0.04
0.05
91
Chile
China
China, Hongkong SAR
China, Macao SAR
Colombia
Cook Isds
Costa Rica
Cote d I'voire
Croatia
Cyprus
Czech Rep.
Denmark
Dominica
Dominican Rep.
Ecuador
El Salvador
Estonia
Ethiopia
Eritrea
Fiji
Finland
France
Gambia
Georgia
Germany
Ghana
Greece
Grenada
Guatemala
Guyana
0.14
0.00
16.64
20.58
0.03
0.00
0.00
0.13
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.05
0.00
0.36
0.00
13.18
0.00
0.04
0.00
0.80
0.00
0.00
0.00
6.10
0.02
0.01
17.42
22.42
0.08
0.00
0.00
0.13
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.02
0.00
0.14
0.00
10.72
0.00
0.07
0.00
0.73
0.00
0.00
0.00
7.63
0.27
0.01
17.76
20.60
0.02
0.00
0.00
0.07
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.01
0.00
0.28
0.07
11.03
0.00
0.02
0.00
1.14
0.00
0.00
0.00
6.58
0.04
0.01
8.71
27.85
0.02
0.00
0.00
0.08
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.18
0.09
11.35
0.00
0.05
0.00
1.76
0.00
0.00
0.00
6.47
0.13
0.00
6.92
20.47
0.04
0.00
0.00
0.15
0.00
0.00
0.02
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.37
0.07
8.99
0.00
0.03
0.00
1.68
0.00
0.01
0.00
7.17
0.16
0.00
6.59
19.05
0.09
0.00
0.00
0.18
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.01
0.00
0.42
0.12
7.26
0.00
0.06
0.00
2.29
0.01
0.00
0.00
5.01
0.33
0.01
4.58
20.90
0.01
0.00
0.00
0.21
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.01
0.00
0.01
0.00
0.41
0.23
6.67
0.00
0.03
0.00
2.33
0.04
0.00
0.01
4.75
0.32
0.03
4.48
12.57
0.01
0.00
0.00
0.18
0.00
0.01
0.02
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.03
0.00
0.37
0.20
6.42
0.00
0.06
0.00
3.63
0.05
0.01
0.01
3.86
0.30
0.01
5.68
13.58
0.00
0.00
0.00
0.22
0.00
0.03
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.02
0.00
0.41
0.26
6.44
0.00
0.04
0.00
3.20
0.06
0.06
0.06
3.57
0.22
0.00
9.26
12.89
0.00
0.00
0.00
0.18
0.00
0.02
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.03
0.00
0.64
0.11
5.61
0.00
0.15
0.00
2.78
0.03
0.01
0.00
3.61
92
Honduras
Hungary
India
Indonesia
Iran
Ireland
Israel
Italy
Jamaica
Japan
Jordan
Kazakhstan
Kenya
Kuwait
Kyrgyzstan
Latvia
Lebanon
Lithuania
Luxembourg
Madagascar
Malawi
Malaysia
Mali
Mauritius
Mayotte
Mexico
Morocco
Mozambique
Namibia
Netherlands
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.04
0.00
0.03
0.00
0.00
0.16
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
26.98
0.03
0.02
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
25.83
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.01
0.02
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.04
0.00
0.02
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
24.82
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.02
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.03
0.01
0.04
0.00
0.04
0.00
0.00
0.26
0.00
0.03
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
24.96
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.03
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.08
0.01
0.00
0.00
0.09
0.00
0.00
0.03
0.00
0.10
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
16.47
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.04
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.04
0.01
0.01
0.01
0.02
0.00
0.00
0.03
0.00
0.08
0.01
0.00
0.00
0.01
0.01
0.01
0.00
11.94
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.03
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.02
0.01
0.05
0.01
0.02
0.00
0.00
0.01
0.00
0.06
0.03
0.00
0.00
0.03
0.00
0.00
0.00
10.76
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.02
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.06
0.01
0.13
0.01
0.04
0.00
0.01
0.02
0.00
0.06
0.01
0.00
0.00
0.03
0.00
0.01
0.00
7.53
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.03
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.04
0.01
0.48
0.00
0.05
0.00
0.00
0.01
0.00
0.02
0.00
0.00
0.00
0.04
0.00
0.02
0.00
5.07
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.05
0.01
0.44
0.01
0.06
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.02
0.00
5.86
0.01
0.00
93
New Caledonia
New Zealand
Nicaragua
Niger
Norway
Oman
Pakistan
Panama
Papua New Guinea
Paraguay
Peru
Philippines
Poland
Portugal
Rep. of Korea
Rep. or Moldova
Romania
Russian Federation
Saint Kitts and Nevis
Saint Lucia
Saint Vincent and Grenadines
Samoa
Sao Tome and Principe
Saudi Arabia
Senegal
Serbia
Seychelles
Singapore
Slovakia
Slovenia
South Africa
Spain
Sri Lanka
Swaziland
Sweden
Switzerland
Syria
TFYR of Macedonia
Thailand
Togo
Trinidad and Tobago
Tunisia
Turkey
Uganda
Ukraine
United Arab Emirates
United Kingdom
United Rep. of Tanzania
Uruguay
USA
Venezuela
Vietnam
Yemen
Zambia
Zimbabwe
TOTAL
0.20
0.11
0.00
0.00
0.03
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.01
0.00
0.00
0.33
0.00
0.00
0.64
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100.00
0.07
0.03
0.05
0.02
0.04
0.13
0.12
0.10
0.10
0.17
0.21
0.39
0.00
1.95
2.67
1.13
3.12
2.78
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.05
0.06
0.08
0.07
0.04
0.13
0.00
0.00
0.01
0.01
0.01
0.02
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.31
0.23
0.15
0.19
0.22
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.02
0.01
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.01
0.01
0.01
0.02
0.01
0.01
0.01
0.07
0.00
0.06
0.02
0.03
0.00
0.00
0.00
0.01
0.03
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.47
0.12
0.17
0.27
0.23
0.21
0.00
0.03
0.05
0.04
0.06
0.03
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.84
0.70
0.89
0.87
0.75
0.70
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00 18.60 23.46 23.44
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.02
0.07
0.15
0.00
0.00
0.14
0.01
0.16
0.00
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007
Diakses 16 Februari 2008. Diolah.
0.15
0.27
2.03
0.00
0.20
0.02
0.00
0.00
0.18
0.00
0.01
0.01
0.02
0.04
0.01
0.00
0.23
0.07
0.00
0.76
0.00
34.69
0.03
0.00
0.03
100.00
0.44
0.25
2.70
0.00
0.14
0.02
0.00
0.01
0.06
0.00
0.01
0.00
0.02
0.04
0.02
1.04
0.30
0.00
0.00
0.90
0.00
35.57
0.01
0.00
0.00
100.00
0.45
0.24
0.00
0.00
0.15
0.03
0.00
0.00
0.06
0.00
0.02
0.00
0.00
0.01
0.01
0.00
0.27
0.00
0.00
1.35
0.00
31.87
0.02
0.00
0.00
100.00
http://unstats.un.org/unsd/comtrade.
94
Lampiran 4. Spesifikasi Syarat Mutu Lada Putih dan Lada Hitam Mutu I dan
Mutu II serta Konsep Standar Mutu Lada IPC
No.
Parameter
1.
Whole insect,
live
dead
(seluruh
serangga
hidup
atau
mati)
2.
Mamalia atau
kotorannya
SNI Lada
Putih (SNI 01-0004Hitam (SNI 01-00051995
1995
I
II
I
II
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
dari
dari
dari
dari
serangga
serangga
serangga
serangga
hidup
hidup
hidup
hidup
maupun
maupun
maupun
maupun
mati,
mati,
mati,
mati,
serta
serta
serta
serta
bagian
bagian
bagian
bagian
yang
yang
yang
yang
berasal
berasal
berasal
berasal
dari
dari
dari
dari
binatang
binatang
binatang
binatang
Insect defiled
berries (biji
berserangga,
% b/b, maks)
4.
Moudy
berries (biji 1
1
1
1
berkapang, %
b/b, maks)
5.
Extranous/for
eign matter 1
2
1
1
(benda asing,
% b/b maks)
6.
Ligt berries
(biji enteng, 1
2
2
3
% b/b maks)
7.
Bulk density
(g/l min)
8.
Black/grey
berries (biji 1
2
kehitamhitaman)
9.
Moisture
content
13
14
12
13.5
(kadar air, %,
v/b)
Sumber: International Pepper Community (IPC), 2006. www.ipcnet.org.
2008.
Konsep IPC
Putih
Hitam
Dalam
praktek
nya harus
bebas
Dalam
praktek
nya harus
bebas
Dalam
praktek
nya harus
bebas
Dalam
praktek
nya harus
bebas
1
1
1
1
1
1
1
2
600
550
3.
1
14
12
Diakses tanggal 15 Maret
Download