ANALISIS DAYA SAING LADA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL Oleh : Barirah Marlinda A14304016 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN BARIRAH MARLINDA. Analisis Daya Saing Lada Indonesia di Pasar Internasional. Di bawah bimbingan TANTI NOVIANTI. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang cukup melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris. Pertanian merupakan sektor yang penting dalam memacu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi masyarakat Indonesia. Subsektor perkebunan juga berperan dalam peningkatan nilai ekspor komoditas pertanian Indonesia. Salah satu komoditas yang menjadi unggulan dan mempunyai potensi yang besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah lada. Indonesia merupakan produsen dan eksportir utama lada di dunia. Kontribusi lada Indonesia di pasar dunia pada kurun waktu 2001 hingga tahun 2006 berkisar antara 15 persen sampai 27 persen (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Potensi dan peluang yang dimiliki Indonesia dalam perdagangan lada di pasar internasional cukup besar, diantaranya Indonesia sudah lama dikenal sebagai produsen utama lada dunia terutama lada hitam (Lampung Black Pepper) yang dihasilkan di Propinsi Lampung dan lada putih (Muntok White Pepper) yang berasal dari Propinsi Bangka Belitung. Produksi lada putih Indonesia mencapai sekitar 80 persen pasokan dunia sedangkan untuk lada hitam produksi Indonesia mencapai 15 persen produksi dunia (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Potensi produksi lada Indonesia juga didukung oleh keadaan iklim dan kondisi geografis yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan lada. negara pengekspor utama lada selain Indonesia antara lain Vietnam, Brazil, India, Malaysia, Vietnam, Sri Lanka, Thailand, China, dan Meksiko. Potensi yang cukup besar tersebut dapat menentukan keunggulan dan kemampuan yang dimiliki komoditi lada Indonesia dalam menghadapi liberalisasi perdagangan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis struktur pasar lada dan persaingan lada di pasar internasional, (2) menganalisis posisi daya saing lada Indonesia di pasar internasional. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari hingga April 2008, dengan mengunakan data sekunder yang berasal dari literatur, media cetak, perpustakaan LSI, dan internet. Analisis dan pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal dalam pengusahaan lada berupa analisis keunggulan kompetitif lada Indonesia di pasar internasional. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur dan pangsa pasar dan keunggulan komparatif lada Indonesia di pasar internasional. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007. Struktur pasar lada Indonesia di pasar internasional menunjukkan kecenderungan ke arah pasar persaingan oligopoli dan memiliki tingkat konsentrasi pasar yang sedang. Hasil ini ditunjukkan melalui nilai rata-rata Herfindahl Index sebesar 1589 pada tahun 1997-2006 dan nilai Concentration Ratio dari empat produsen lada terbesar sejumlah 62 persen. Berdasarkan analisis nilai Revealed Comparative Advantage (RCA), komoditi lada Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang mempunyai nilai RCA yang lebih dari satu. Pada tahun 2006, Indonesia mempunyai nilai RCA sebesar 14,32 tetapi daya saingnya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Vietnam. Berdasarkan analisis kuantitatif, yaitu dengan menggunakan Teori Berlian Poter maka dapat diketahui kondisi internal dan eksternal dalam pengusahaan lada. Kondisi internal komoditi lada Indonesia memiliki keunggulan kompetitif pada faktor sumberdaya alam. Pada faktor sumberdaya manusia, ketersediaan dan peran sumberdaya manusianya cukup mendukung tetapi terdapat kekurangan dalam hal kualitas tenaga kerja terutama dalam pemanfaatan dan penerapan IPTEK serta bibit unggul yang belum maksimal. Selain itu, kondisi infrastruktur belum sepenuhnya memadai terutama sarana dan prasarana pembenihan. Kekurangan juga terdapat pada kondisi permodalan yang terbatas yang dapat dilihat dari masih kurangnya peran lembaga permodalan yang mau mendukung pengembangan pengusahaan lada. Dari sisi permintaan, komoditi lada Indonesia dapat memenuhi kebutuhan domestik dan konsumsi luar negeri. Komoditi lada Indonesia masih mempunyai kelemahan dari sisi industri terkait dan pendukung yang ditandai dengan belum adanya industri penangkar benih/bibit dan belum majunya industri olahan lada. Dalam persaingan dan struktur, terjadi persaingan yang ketat antara eksportir dan importir lada untuk memenuhi permintaan lada yang semakin meningkat. Strategi yang dikembangkan adalah diversifikasi produk lada. Kondisi eksternal komoditas lada yang memiliki keunggulan kompetitif antara lain peranan pemerintah yang telah mengeluarkan kebijakan mengenai penyediaan input faktor produksi, pemasaran dan perdagangan lada, dan standar mutu lada. Untuk peranan peluang, Indonesia sudah memiliki brand yang sudah dikenal di dunia yaitu Lampung Black Pepper dan Muntok White Pepper, peningkatan harga lada dunia serta meningkatnya konsumsi lada dunia. Selain itu, Amerika Serikat dan Uni Eropa masih merupakan pasar yang potensial bagi ekspor lada Indonesia. Untuk meningkatkan daya saing lada Indonesia, perlu adanya peningkatan kualitas dan kuantitas dari penjualan lada dengan mengembangkan dan meningkatkan ekspor lada dalam bentuk olahan (diversifikasi) sehingga dapat meningkatkan volume dan nilai ekspor lada. Salah satu caranya dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan dan bimbingan kepada petani dan industri pengolahan lada, penyediaan fasilitas, serta meningkatkan penelitian yang berkaitan dengan teknik dan proses pengolahan lada. Selain itu, perlu juga meningkatkan produktivitas dalam negeri melalui perbaikan cara budidaya yang menggunakan benih unggul atau bersertifikat serta penanganan hama dan penyakit pada lada. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain dengan pembangunan dan pengembangan sumber benih, penelitian dan pelatihan untuk menemukan jenis dan varietas baru lada yang lebih unggul dan tahan terhadap hama dan penyakit. Dalam mengatasi masalah permodalan dan pembiayaan usaha tanaman lada, pemerintah harus menjalin kerjasama dan melakukan pendekatan pada pihak perbankan agar perbankan mulai memberikan kredit khusus terhadap sektor lada. ANALISIS DAYA SAING LADA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL Oleh: BARIRAH MARLINDA A14304016 Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Judul Nama NRP : ANALISIS DAYA SAING LADA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL : BARIRAH MARLINDA : A14304016 Menyetujui, Dosen Pembimbing Tanti Novianti, SP, M.Si NIP.132 206 249 Megetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof.Dr.Ir.Didy Sopandie, M.Agr NIP.131 124 019 Tanggal Lulus: PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS DAYA SAING LADA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL” ADALAH BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Mei 2008 BARIRAH MARLINDA A14304016 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Kubang, Payakumbuh 1 Maret 1986, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Mardismi dan Syahida Dahlan. Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN 20 Kubang pada tahun 1992 sampai dengan 1998. Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama ke SLTPN 1 Guguk pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2001, dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUN 1 Guguk pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Manusia melalui jalur USMI. Selama perkuliahan, penulis pernah mengikuti organisasi Koperasi Mahasiswa (KOPMA IPB) dan anggota Badan Pengawas Himpunan Profesi Fakultas Pertanian. Bogor, Mei 2008 Penulis KATA PENGANTAR Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT dengan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Analisis Daya Saing Lada Indonedsia di Pasar Internasional”. Penulisan skripsi ini sebagai bagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Secara garis besar, materi yang ada dalam skripsi ini adalah analisis struktur pasar lada dunia, analisis keunggulan komparatif lada Indonesia di pasar internasional dan analisis keunggulan kompetitif lada Indonesia di pasar internasional. Penulis berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Namun, penulis memandang bahwa penulisan ini dibuat sebagai suatu proses pembelajaran terhadap materi perkuliahan yang penulis terima selama duduk di bangku perkuliahan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut membantu kelancaran penelitian sampai dengan penulisan karya ilmiah ini, baik secara keilmuan, materi dan spiritual. Bogor, Penulis UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Seiing dengan berakhirnya satu tahap pendidikan di Institut Pertanian Bogor, maka penulis ingin mengucapkan terima kasih pada berbagai pihak yang telah membantu, terutama dalam penulisan skripsi ini. Pihak-pihak yang telah membantu penulis diantaranya: 1. Kedua orangtua (Ama dan Apa), terima kasih untuk kasih sayang, suri tauladan, cinta dan kasih sayang, berbagai bentuk dukungan baik moril maupun materi, kesabaran, nasihat serta semangat. Terima kasih juga pada Ibu Yasnar, Uda Zikri, dan Adiak Nedi atas nasehat, semangat dan dorongan yang telah diberikan pada penulis. 2. Tanti Novianti SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran selalu bersedia membimbing, membantu dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi serta terima kasih atas ilmu, nasehat,dan kepercayaan yang telah diberikan untuk penulis. 3. Dr.Ir.Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku dosen penguji utama dan dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas segala kebaikan hati, bimbingan, masukan, kritik, serta saran dalam penulisan skripsi ini. 4. A.Faroby Falatehan SP,M.E selaku dosen penguji wakil departemen. Terima kasih atas masukan, kritik, dan saran yang dapat bermanfaat bagi penulisan skripsi ini. 5. Keluarga besar, Mamak, Etek, dan Uni Yanti atas bantuan dan nasehat yang diberikan pada penulis. 6. Ibu Neni dari Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. Terima kasih segala informasi dan data yang diberikan pada penulis yang sangat bermanfaat bagi penulisan skripsi ini. 7. Bapak Nur Haryanto, Kepala Bagian Informasi International Pepper Community (IPC). Terima kasih atas kesediaannya dalam memberikan informasi yang sangat bermanfaat bagi penulisan skripsi ini. 8. Bapak Dedi selaku staf dari Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI). Terima kasih atas informasi dan data yang terkait dengan penelitian yang sangat bermanfaat bagi penulisan skripsi ini. 9. Teman-teman satu bimbingan, Asti, Wida, Ella, dan Jimmy. Terima kasih atas semangat, dorongan, dan kerjasama yang diberikan pada penulis. Diantara mahasiswa yang lain, sepertinya kita yang paling kompak. 10. Devi, Nunung, Retno, Yani, Nisa, Anti, Dylla, Rahma, Wulan dan temanteman EPS angkatan 41, terima kasih atas persahabatan dan dukungan yang diberikan pada penulis. 11. Teman-teman dari keluarga besar Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh (IKMP) khususnya angkatan 41, Rizqa, Amen, Mona, Ami, Rena, Yanti, Dina, Dini, Diki, Putra serta uda-uda dan uni-uni sadonyo. Terima kasih untuk semangat dan rasa kekeluargaannya selama ini. Although we far from home, we feel that we have family here. 12. Teman-teman Wisma Satelit 2 bawah; Mbak Intan, Meri, Mita, dan Vivi. Terima kasih karena sudah memberikan dukungan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 13. Teman-teman yang sudah bersedia hadir pada seminar. Terima kasih untuk kesediaannya menghadiri seminar dan memberikan saran dan kritik yang bermanfaat bagi penyusunan skripsi ini. 14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-satu oleh penulis yang sudah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan karunia-Nya kepada Bapak/Ibu dan rekan-rekan sekalian. Amin. Bogor, Mei 2008 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... v I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 9 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lada 2.1.1 Sejarah Lada ........................................................................................ 11 2.1.2 Karakteristik Lada ............................................................................... 12 2.2 Tinjauan Studi Terdahulu 2.2.1 Penelitian Mengenai Daya Saing Komoditas Perkebunan ......... 14 2.2.2 Penelitian Mengenai Lada .......................................................... 15 2.3 Komentar Terhadap Penelitian Terdahulu ........................................... 19 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis................................................................ 20 3.1.1 Teori Perdagangan Internasional ................................................. 20 3.1.2 Struktur Pasar .............................................................................. 22 3.1.2.1 Pasar Persaingan Sempurna ............................................ 23 3.1.2.2 Pasar Monopoli ............................................................... 23 3.1.2.3 Pasar Persaingan Monopolistik ....................................... 24 3.1.2.4 Pasar Oligopoli ................................................................ 24 3.1.3 Konsep Keunggulan Komparatif ................................................ 25 3.1.4 Konsep Keunggulan Kompetitif ................................................ 28 3.1.5 Pengertian Daya Saing ................................................................ 29 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................ 30 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup dan Waktu Penelitian ..................................................... 33 4.2 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 33 4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data ............................................... 34 4.3.1 Analisis Konsentrasi Pasar ......................................................... 34 4.3.2 Revealed Comparative Advantage (RCA) ................................. 37 4.3.3 Teori Berlian Porter .................................................................... 39 V. STRUKTUR PASAR LADA DAN PERSAINGAN LADA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL.......................................... 43 VI. ANALISIS DAYA SAING LADA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL 6.1 Analisis Keunggulan Komparatif Lada Indonesia: Revealed Comparative Advantage (RCA) ....................................... 47 6.2 Analisis Keunggulan Kompetitif Lada Indonesia: Analisis Teori Berlian Porter ............................................................ 50 6.2.1 Faktor Sumberdaya ................................................................... 50 6.2.2 Kondisi Permintaan ................................................................... 63 6.2.3 Eksistensi Industri Terkait dan Industri Pendukung ................. 68 6.2.4 Struktur, Persaingan, dan Strategi ............................................. 70 6.2.5 Peran Pemerintah ...................................................................... 73 6.2.6 Peran Peluang............................................................................ 76 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ................................................................................... 78 7.2 Saran.............................................................................................. 79 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 81 LAMPIRAN ..................................................................................................... 84 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Neraca Ekspor Impor Sub Sektor Perkebunan Indonesia Tahun 2003-2006 .......................................................................................... 2 2. Volume dan Nilai Ekspor Lada Indonesia Tahun 1980, 1990, dan 2000-2006 ........................................................ 5 3. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Lada Indonesia Tahun 1980, 1990, 2000-2006 .............................................................. 6 4. Harga Rata-Rata FOB Lada Putih dan Lada Hitam Indonesia Pada Tahun 1999-2004 .......................................................... 8 5. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 34 6. Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi Komoditas Lada di Pasar Internasional Tahun 1997-2006 ................... 43 7. Hasil Analisis RCA Lima Negara Eksportir Lada Tahun 2001-2006 .................................................................................. 48 8. Pangsa Pasar (Market Share) Lima Negara Eksportir Komoditas Lada Tahun 2001-2006 ........................................................ 49 9. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Lada Indonesia Menurut Pengusahaan Pada Tahun 2006................................................ 52 10. Jumlah Petani Pada Perkebunan Rakyat Lada Menurut Wilayah Pada Tahun 2004-2007............................................. 54 11. Perkembangan Konsumsi Lada Indonesia Pada Tahun 1997-2003 .......................................................................... 63 12. Perkembangan Impor Lada Beberapa Negara Produsen Lada di Dunia Pada Tahun 2000-2004 .................................. 64 13. Perkembangan Harga Rata-Rata Tahunan Komoditi Lada di Pasar Domestik Pada Tahun 2001-2006 .................. 65 14. Nilai Ekspor Lada Indonesia ke Beberapa Negara Tujuan Tahun 1997-2006 .................................................................................. 66 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Harga Komoditi Relatif Ekuilibrium Setelah Perdagangan .................... 22 2. “The National Diamond System” ............................................................ 29 3. Kerangka Pemikiran Operasional ............................................................ 32 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Produksi Lada Hitam dan Putih dari Beberapa Negara Produsen Lada Tahun 1997-2006 ............................................... 84 2. Nilai Ekspor Komoditi Lada Dunia Tahun 1997-2006 ........................... 85 3. Pangsa Pasar Ekspor Negara-Negara Produsen dan Eksportir Lada Dunia Tahun 1997-2006 .......................................... 90 4. Spesifikasi Syarat Mutu Lada Putih dan Lada Hitam Mutu I dan Mutu II serta Konsep Standar Mutu Lada IPC .................. 95 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang cukup melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris. Pertanian merupakan sektor yang penting dalam memacu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi masyarakat Indonesia. Pada saat ini sektor pertanian sedang berada pada tahap menuju pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan (sustaining growth). Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan PDB sektor pertanian. Berdasarkan kinerja pembangunan pertanian tahun 2006, PDB sektor pertanian dari tanaman pangan, tanaman perkebunan dan hasil peternakan meningkat dengan pertumbuhan 3,50 persen (angka PDB sampai dengan semester III) dibandingkan dengan tahun 2005 yang hanya sebesar 1,67 persen1. Apabila dilihat dari kinerja ekspor dan impor sektor pertanian (Departemen Pertanian, 2006), neraca ekspor impor komoditas pertanian mengalami surplus sebesar US$ 6,4 milyar pada periode 2003-2006 dan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 5,95 persen. Subsektor perkebunan merupakan penyumbang utama terhadap surplus tersebut. Dalam hal total komoditas pertanian selama periode 2002-2005, subsektor perkebunan memberikan kontribusi yang terbesar yaitu sebesar 89,9 persen dengan volume ekspor rata-rata per tahun sebesar 12,5 juta ton. Subsektor perkebunan juga berperan dalam peningkatan nilai ekspor komoditas pertanian Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi nilai ekspor subsektor perkebunan yaitu sebesar 1 Kinerja pembangunan sektor pertanian tahun 2006, www.agribisnis_deptan.go.id. Diakses tanggal 5 November 2007. 91,2 persen dari total nilai ekspor komoditas pertanian Indonesia. Neraca ekspor impor baik dari segi volume dan nilai ekspor cenderung mengalami peningkatan pada tahun 2003 sampai dengan 2005, tetapi pada tahun 2005 dan 2006 cenderung fluktuatif seperti yang terlihat pada Tabel 1. Meskipun demikian, subsektor perkebunan masih merupakan subsektor yang sangat penting dalam pembangunan pertanian Indonesia. Tabel 1. Neraca Ekspor Impor Sub Sektor 2003-2006 Tahun Ekspor Volume (kg) Nilai (USD) 2003 11.974.201.918 6.877.060.013 2004 15.556.889.495 9.107.466.305 2005 18.579.806.335 10.673.184.297 2005* 12.854.740.016 7.496.540.650 2006* 15.150.170.864 10.115.423.685 Perkebunan Indonesia Tahun Impor Volume (kg) Nilai (USD) 2.088.748.566 1.473.496.787 1.353.601.447 1.323.371.273 2.091.654.011 1.532.519.642 1.651.716.714 1.200.608.945 1.346.496.425 1.273.225.050 Sumber: Kinerja Ekspor Impor Pertanian, Departemen Pertanian, www.agribisnis_deptan.go.id, diakses 30 Januari 2008. Keterangan: * = Data kumulatif sampai dengan bulan September Salah satu komoditas yang menjadi unggulan dan mempunyai potensi yang besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah lada. Indonesia merupakan produsen dan eksportir utama lada di dunia. Indonesia termasuk ke dalam lima besar negara produsen lada di dunia khususnya lada hitam dan lada putih (Lampiran 1) dimana pada tahun 2006 Indonesia berada di peringkat keempat dalam hal produksi lada dunia. Kedudukan lada sebagai komoditi ekspor hasil perkebunan cukup penting yaitu nomor enam setelah karet, kelapa sawit, kakao, kopi dan kelapa serta lada juga dikenal dengan King of Spices (Raja Rempah) untuk golongan komoditi rempah-rempah. Indonesia juga memiliki peluang yang cukup besar untuk mendominasi perdagangan di dunia. Kontribusi lada Indonesia di pasar dunia pada kurun waktu 2001 hingga tahun 2006 berkisar antara 15 persen sampai 27 persen (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Berdasarkan sejarah, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal dengan produksi rempah-rempahnya, termasuk lada yang sempat menarik bangsa asing untuk menguasai dan menjajah kekayaan alam Indonesia tersebut. Potensi produksi lada Indonesia juga didukung oleh keadaan iklim dan kondisi geografis yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan lada. Potensi dan peluang yang dimiliki Indonesia dalam perdagangan lada di pasar internasional cukup besar, diantaranya Indonesia sudah lama dikenal sebagai produsen utama lada dunia terutama lada hitam (Lampung Black Pepper) yang dihasilkan di Propinsi Lampung dan lada putih (Muntok White Pepper) yang berasal dari Propinsi Bangka Belitung. Jenis lada lainnya yang juga diproduksi di Indonesia adalah lada hijau. Selain Propinsi Lampung dan Bangka Belitung, sentra penghasil lada lainnya adalah Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan beberapa daerah lainnya di Pulau Jawa. Produksi lada putih Indonesia mencapai sekitar 80 persen pasokan dunia sedangkan untuk lada hitam produksi Indonesia mencapai 15 persen produksi dunia (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Prospek komoditas lada Indonesia juga dapat dilihat dari potensi pasar domestik yang cukup besar yaitu dengan semakin berkembangnya industri makanan yang yang menggunakan bumbu dari lada dan industri kesehatan yang menggunakan lada sebagai obat serta meningkatnya minat masyarakat dalam menggunakan lada sebagai penyedap makanan. Hal ini sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa2. 2 Panduan Seminar Nasional Rempah, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri.Bogor, 21 Agustus 2007. Perdagangan lada dewasa ini semakin berkembang yang ditandai dengan semakin meningkatnya permintaan lada oleh negara-negara konsumen dan semakin banyaknya jumlah negara pengekspor lada di dunia. Permintaan lada oleh negara konsumen dapat dilihat dari impor lada yang dilakukan oleh negara konsumen. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, yaitu antara tahun 1997 sampai dengan 2006, total impor lada dunia mengalami kenaikan yang cukup besar dengan pertumbuhan rata-rata kenaikan sekitar 3,4 persen per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Amerika Serikat merupakan negara konsumen terbesar lada di dunia, dengan total impor mencapai 22 hingga 24 persen dari total impor lada dunia. Selain itu, negara pengimpor lada utama lainnya adalah beberapa negara di kawasan Uni Eropa, Jepang, Rusia, Korea, dan Pakistan. Sementara itu, negara pengekspor utama lada selain Indonesia antara lain Brazil, India, Malaysia, Vietnam, Sri Lanka, Thailand, China, dan Meksiko. Vietnam merupakan pendatang baru dalam perdagangan lada dunia tetapi merupakan pesaing utama Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Vietnam merupakan negara pengekspor lada nomor satu di dunia sejak tahun 2001 hingga 2006, mengungguli Indonesia di peringkat ketiga setelah Brazil. Berdasarkan potensi dan kemampuan yang dimiliki, Indonesia harus mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar internasional terutama dalam menghadapi liberalisasi perdagangan dimana tidak ada hambatan dalam perdagangan. Hal ini menuntut adanya mutu dan kualitas yang baik pada komoditi yang diperdagangkan sehingga dapat berperan penting dalam perdagangan internasional. Potensi yang cukup besar tersebut dapat menentukan keunggulan dan kemampuan yang dimiliki komoditi lada Indonesia dalam menghadapi liberalisasi perdagangan. Oleh karena itu, penelitian mengenai daya saing lada Indonesia perlu dilakukan untuk mengetahui posisi bersaing Indonesia dalam perdagangan komoditi lada di pasar internasional. 1.2 Perumusan Masalah Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki potensi dan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional yaitu sebagai sumber devisa, penyedia lapangan kerja, bahan baku industri, dan untuk konsumsi langsung. Sebagian besar produksi lada Indonesia lebih berorientasi ekspor dan dipasarkan ke luar negeri sementara sisanya untuk memenuhi kebutuhan domestik. Volume dan nilai ekspor lada Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Volume dan Nilai Ekspor Lada Indonesia Tahun 1980, 1990, dan 2000-2006 No. Tahun Volume Ekspor (ton) Nilai Ekspor (US$) 1. 1980 29.680 50.106 2. 1990 48.442 80.575 3. 2000 65.011 221.090 4. 2001 53.638 100.507 5. 2002 63.214 89.197 6. 2003 51.546 93.445 7. 2004 34.302 58.897 8. 2005 34.556 58.468 9. 2006 36.953 77.258 Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007 Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa volume dan nilai ekspor lada Indonesia di pasar internasional cenderung berfluktuasi. Volume ekspor lada selama periode 1980 sampai 2000 mengalami peningkatan dari 29.680 ton pada tahun 1980 menjadi 48.442 ton pada tahun 1990, dan kemudian meningkat lagi pada tahun 2000 menjadi 65.011 ton. Pada periode 2000 sampai 2006, komoditas lada menyumbangkan devisa negara sebesar US$ 59 juta sampai US$ 221 juta per tahun. Namun demikian, selama periode antara 2000 dan 2006 volume dan nilai ekspor lada berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. Penurunan tersebut terjadi karena adanya penurunan produksi dan produktivitas lada Indonesia seperti yang terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Lada Indonesia Tahun 1980, 1990, 2000-2006 No. Tahun Produksi Luas Areal (ha) Produktivitas (Kg/Ha) (ton) 1. 1980 36.626 68.554 846 2. 1990 69.899 127.582 934 3. 2000 69.087 150.531 801 4. 2001 82.078 186.022 836 5. 2002 90.181 204.068 822 6. 2003 90.740 204.364 820 7. 2004 77.008 201.484 662 8. 2005 78.328 191.992 688 9. 2006 77.534 192.604 690 Sumber: Statisitk Perkebunan Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007 Pada Tabel 3, produksi lada yang dihasilkan Indonesia dari tahun 1980 produksi lada Indonesia mengalami peningkatan tajam dari 36.626 ton menjadi 69.899 ton pada tahun 1990. Namun, selama satu dekade berikutnya yaitu dari tahun 1990 sampai tahun 2006, produksi lada berfluktuasi. Produksi lada nasional tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 90.470 ton. Hal yang sama juga terjadi pada perkembangan luas areal tanaman lada. Luas areal tanaman lada selama dua dekade terakhir mengalami peningkatan yaitu dari 68.554 ha pada tahun 1980 menjadi 127.82 ha pada tahun 1990. Selama periode 2001-2006 secara keseluruhan terjadi penurunan areal lada Indonesia. Walaupun pada tahun 2001-2002 terdapat peningkatan luas areal lada sebesar 18.046 ha, tetapi setelah itu luas areal mengalami penurunan. Pada tahun 2005-2006, terjadi sedikit peningkatan luas areal lada sebesar 612 ha. Perkembangan yang terjadi pada produksi dan luas areal juga berdampak pada perkembangan produktivitas, dimana perkembangannya dari tahun ke tahun berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh serangan hama penyakit busuk pangkal batang dan penyakit kuning dan adanya konversi lahan tanaman lada ke penggunaan lainnya seperti pertambangan. Selain itu, Indonesia sekarang ini tidak lagi menjadi pengekspor lada nomor satu di dunia tetapi digantikan oleh Vietnam sejak 2001 dan tahun 2006 ekspor lada Indonesia berada di peringkat ketiga setelah Vietnam dan Brazil (Lampiran 2). Pada tahun 2000 Indonesia menjadi pengekspor lada nomor satu di dunia dengan total ekspor sebesar 65.011 ton jauh di atas Vietnam yang saat itu hanya mengekspor 36.465 ton. Namun, sejak tahun 2001 Vietnam telah menduduki peringkat pertama dengan volume ekspor lada sebanyak 56.506 ton, dan Indonesia menempati urutan kedua dengan volume ekspor sebesar 53.638 ton. Pada tahun 2006 Vietnam tetap menjadi pengekspor lada nomor satu dunia dengan total 116.670 ton sedangkan posisi Indonesia tergeser menjadi peringkat ketiga dengan total ekspor sebesar 36.953 ton setelah Brazil dengan total ekspor sebesar 42.187 ton. Penurunan produksi dan produktivitas lada Indonesia juga terkait dengan cakupan pengusahaan lada dalam negeri. Pengusahaan lada di Indonesia menghadapi beberapa permasalahan. Sebagian besar perkebunan lada masih merupakan perkebunan rakyat yaitu sekitar 99,90 persen yang masih dikelola secara tradisional dengan pengetahuan teknologi yang rendah pada petani (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Pengelolaan yang masih tradisional juga terkait dengan masalah budidaya dimana dalam pengusahaanya masih belum menggunakan bibit unggul. Di samping itu, permodalan yang terbatas juga menimbulkan masalah dalam hal pembiayaan usaha tanaman lada. Masalah lain yang dihadapi adalah fluktuasi harga yang mengakibatkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen utama lada, belum mampu mempengaruhi harga pasar dunia atau bertindak sebagai price leader sehingga belum mempunyai bargaining position yang baik dalam perdagangan internasional. Selama ini dalam penentuan harga lada dunia, Indonesia masih merupakan price taker. Pada tahun 1999 hingga tahun 2004 terjadi fluktuasi pada harga ekspor FOB lada, baik lada hitam dan lada putih seperti yang terdapat di Tabel 4. Tabel 4. Harga Rata-Rata FOB Lada Putih dan Lada Hitam Indonesia Pada Tahun 1999-2004 No. Tahun Harga Rata-Rata FOB (US$/ton) Lada Putih Lada Hitam 1. 1999 6.292 4.864 2. 2000 3.933 4.024 3. 2001 2.257 1.854 4. 2002 2.104 1.584 5. 2003 2.404 1.684 6. 2004 2.317 1.487 Sumber: International Pepper Community (IPC). Producing Countries Statistics www.ipcnet.org. Diakses tanggal 15 Maret 2008. Berdasarkan Tabel 4, harga FOB lada putih dan hitam cenderung berfluktuasi dan mengalami penurunan dari tahun 2000. Kondisi ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain faktor produksi, mutu, serta penawaran dan permintaan dunia (Triana, 2000). Penurunan harga FOB lada ini bertolak belakang dengan kondisi sebelumnya dimana pada kurun waktu 1993-1997, harga lada Indonesia di pasaran ekspor dunia rata-rata lebih tinggi 16,5 persen dari harga rata-rata lada dunia karena pada kurun waktu tersebut kualitas lada Indonesia diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia (Nugroho,2004). Permasalahan di atas dapat mempengaruhi dan terkait dengan daya saing lada di pasar internasional. Potensi dan peluang lada yang dimiliki Indonesia juga dapat mempengaruhi posisi dan daya saing lada Indonesia dalam perdagangan internasional. Hal ini mengingat tantangan yang dihadapi produk lada Indonesia dimana terdapat kompetisi yang ketat antar negara-negara produsen antara lain dengan munculnya negara pesaing seperti Vietnam dan Brazil. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana struktur pasar dan persaingan lada di pasar internasional? 2. Bagaimana posisi daya saing komoditas lada Indonesia dibanding pesaingnya di pasar internasional? 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis struktur pasar dan persaingan lada di pasar internasional. 2. Menganalisis posisi daya saing lada Indonesia di pasar internasional. 1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait yaitu: 1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan komoditas pertanian dan sebagai aplikasidari teori yang diperoleh selama ini. 2. Bagi petani, produsen dan eksportir lada. Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan dan informasi dalam perdagangan lada nasional. 3. Bagi masyarakat akademik, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan dan acuan untuk mengadakan penelitian lanjutan mengenai lada. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lada 2.1.1 Sejarah Lada Tanaman lada (Piper nigrum L) berasal dari daerah barat Ghat, India dan kemudian menyebar ke berbagai negara di Asia termasuk Indonesia. Penyebaran lada di Indonesia pertama kali dilakukan oleh para koloni Hindu yang sedang melakukan perjalanan dalam misi penyebaran agamanya. Setelah itu, lada di Indonesia menyebar ke berbagai pulau. Selain ke Indonesia penyebaran lada juga diperdagangkan secara monopoli ke Yunani dan Romawi (Eropa) oleh para pedagang Arab sebelum diambil alih oleh Romawi hingga abad ke-15. Lada merupakan salah satu dari bahan rempah-rempah yang memiliki harga yang sangat tinggi. Nilai yang tinggi ini menyebabkan bangsa Portugis pada tahun 1498 datang ke Asia dan mulai menguasai perdagangan rempah di India. Sejak tahun 1611, setelah hegemoni Portugal dipatahkan Belanda, perdagangan rempah-rempah jatuh ke tangan Belanda sampai sebelum Perang Dunia II. Sekitar tahun 1956 bangsa Belanda mulai melakukan ekspedisi ke Samudera Hindia dan mendarat di Pulau Batam. Pada pertengahan abad 17 mereka berhasil menguasai perdagangan cengkeh, pala dan fuli di Jawa, Maluku, dan Sulawesi. Sekitar akhir abad 17 perdagangan lada yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan telah dapat dikuasai. Sementara itu, Amerika Serikat masuk dalam perdagangan rempahrempah di Timur Jauh setelah Belanda mengalami kerugian pada tahun 1799. Dengan demikian, sejak saat itu perdagangan makin meluas hingga ke Benua Amerika. 2.1.2 Karakteristik Lada Lada merupakan tanaman yang tumbuh merambat pada sebuah tajar yang mati atau hidup. Tanaman lada dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim tropis dengan temperatur optimum 23°C sampai 30°C dan curah hujan sebesar 2000 hingga 2500 mm per tahun yang merata sepanjang tahun. Tanaman ini sangat baik ditanam pada lahan yang agak miring, subur secara fisik dan ekonomi dan dengan drainase yang baik serta mendapat sinar matahari yang cukup. Lada (Piper nigrum L) termasuk keluarga Piperciae yang meliputi ratusan jenis tanaman lada. Di Indonesia dijumpai sekitar 40 jenis lada. Jenis lada yang dikenal di daerah-daerah penghasil lada ialah Kerinci, Jambi, Bangka, dan Bulok Belantung. Lada Kerinci, Jambi, dan Bangka termasuk lada dengan buah besar tetapi tidak tahan penyakit busuk pangkal, sedangkan lada Bulok Belantung buahnya kecil tetapi agak tahan terhadap penyakit tersebut. Selain itu, juga terdapat jenis Bengkayang dan Kucing di Kalimantan Barat. Pembibitan lada dapat dilakukan dengan cara menyemai biji lada yang sudah cukup tua (berwarna merah atau kuning) dan dengan cara stek cabang. Proses pemeliharaan tanaman lada terdiri dari penyiraman, penyulaman, pemberantasan tumbuhan pengganggu, mulching, pemupukan, pemangkasan ,dan pengendalian hama dan penyakit. Penyakit yang paling sering menyerang tanaman lada adalah penyakit busuk pangkal batang (Phytophtora Capsici) dan penyakit kuning. Berdasarkan perbedaaan waktu pemetikan dan proses pengolahan dikenal dua jenis lada yaitu lada hitam dan lada putih. Kedua jenis ini berbeda dalam persyaratan bahan olah, cara pengolahan, waktu pengolahan, dan biaya pengolahan. Perbedaan kedua jenis lada ini juga terdapat dalam hal pengolahan lanjutan serta gradingnya yang sesuai dengan spesifikasi pasaran dunia. Lada putih adalah buah lada yang dipetik saat matang penuh, kemudian dilepaskan kulitnya dengan cara merendam dalam air yang mengalir selama kurang lebih dua minggu lalu dijemur selama tiga hari. Sementara itu, lada hitam adalah buah lada yang dipetik saat matang petik (kulit masih hijau) dan langsung dijemur selama tiga hari tanpa direndam terlebih dahulu. Di Indonesia sentra produksi lada hitam (Lampung Black Pepper) terdapat di daerah Lampung dan Kalimantan Timur, sedangkan untuk lada putih (Muntok White Pepper) terdapat di daerah Bangka Belitung, Kalimantan Tengah dan Sulawesi. Sebagai barang ekonomis lada dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegunaan, antara lain sebagai bumbu masakan dan pengawet daging. Selain itu, dalam hal farmasi lada sering digunakan sebagai bahan pembuat obat serta bahan wewangian. Lada hitam umumnya diolah lebih lanjut menjadi oleoresin lada (pepper oleoresin) atau minyak lada (pepper oil). Minyak lada terutama digunakan sebagai pemberi aroma dan rasa pada berbagai macam industri makanan dan juga dipakai dalam industri kosmetika dan farmasi. Salah satu jenis obat yang dapat dibuat dari minyak lada adalah balsam lada dalam bentuk krim. Sementara itu, lada putih dapat diolah lebih lanjut menjadi lada bubuk (ground pepper). Selain itu, produk lada lainnya adalah lada hijau yang merupakan produk olahan dari lada dimana warna hijaunya dipertahankan. Lada hijau memiliki rasa yang khas, warna dan penampakannya alami sehingga dapat digunakan sebagai bahan hiasan pada makanan dan dapat dipakai langsung pada makanan yang dihidangkan. Berdasarkan cara pengolahannya dikenal beberapa bentuk lada yaitu lada hijau dalam bentuk kering, lada hijau dalam bentuk larutan garam, dan lada hijau dalam bentuk beku. Dari lada hijau dapat juga diolah menjadi green pepper sauce. 2.2 Tinjauan Studi Terdahulu 2.2.1 Penelitian Mengenai Daya Saing Komoditas Perkebunan Meryana (2007) melakukan penelitian mengenai daya saing kopi robusta Indonesia di pasar internasional. Jenis data yang digunakan adalah berupa data sekunder. Dari analisis struktur pasar dengan menggunakan nilai Herfindahl Index dan Concentration Ratio diperoleh hasil bahwa struktur pasar kopi Robusta di pasar kopi internasional menunjukkan kecenderungan ke arah pasar persaingan dengan bentuk pasar oligopoli. Hasil ini ditunjukkan dengan skor Herfindahl Index sebesar 0,2 dan nilai Concentration Ratio dari empat produsen terbesar sejumlah 70 persen. Industri kopi nasional memiliki keungulan komparatif yang ditunjukkan dengan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang lebih besar dari 1 yaitu sebesar 9,70. Akan tetapi, daya saingnya masih rendah dibandingkan dengan negara Pantai Gading dan Uganda yang merupakan negara produsen dan eksportir utama kopi Robusta di dunia. Hasil analisis keunggulan kompetitif industri kopi Robusta Indonesia adalah bahwa secara keseluruhan atribut, seperti faktor sumberdaya, kondisi permintaan domestik, dan struktur industri kopi dalam negeri mendukung industri ini untuk berkembang. Pada tahun 2006, Anissa melakukan penelitian tentang daya saing teh Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan pendekatan analsis data panel. Pengolahan data dilakukan dengan tiga metode yaitu metode pooled OLS, metode fixed effect, dan metode random effect. Hasilnya adalah bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap pangsa pasar teh hitam Indonesia adalah produksi teh hitam Indonesia dan jumlah konsumsi teh hitam dalam negeri. Hasil pengolahan data tersebut mencerminkan kondisi nyata daya saing teh hitam Indonesia di pasar internasional dimana Indonesia sebagai salah satu negara produsen teh terbesar di dunia tidak dapat mempengaruhi harga pasar. Tatakomara (2004) melakukan penelitian mengenai daya saing komoditi teh di pasar internasional dengan menggunakan data sekunder dalam bentuk time series dari tahun 1982-2001. Dari model regresi diperoleh hasil elastisitas bahwa hanya variabel produksi yang memiliki elastisitas yang lebih dari satu atau dengan kata lain ekspor teh Indonesia cukup peka terhadap perubahan produksi teh domestik. Dari perhitungan REER (Real Effective Exchange Rate) menunjukkan nilai REER yang semakin meningkat yang berarti bahwa tingkat harga komoditi teh menjadi semakin murah di pasaran internasional dibandingkan dengan hargaharga dari negara lain. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi teh Indonesia sudah memiliki keunggulan alamiah atau keunggulan absolut karena sumberdaya lahan yang melimpah untuk menghasilkan komoditi tersebut. Untuk keunggulan kompetitif, komoditi teh Indonesia masih harus perlu ditingkatkan daya saingnya. 2.2.2 Penelitian Mengenai Lada Pada tahun 2004, Nugroho melakukan penelitian mengenai stuktur pasar lada dunia dan faktor-faktor yang mempengaruhi harga ekspor lada Indonesia. Berdasarkan hasil analisis konsentrasi pasar dan stabilitas pasar struktur pasar lada dunia, apabila ditinjau dari sisi penjual, strutur pasar lada dunia berbentuk oligopoli. Dari analisis regresi berganda diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap ekspor lada hitam Indonesia adalah volume ekspor lada hitam Indonesia, volume ekspor lada dunia dari negara-negara produsen selain Indonesia, volume impor lada dunia, dan harga lada hitam dunia di pusat perdagangan New York. Sementara faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap harga ekspor lada putih Indonesia adalah volume impor lada dunia, nilai tukat dollar AS terhadap rupiah, harga ekspor lada satu periode sebelumnya, dan harga lada putih dunia di pusat perdagangan Eropa. Susilowati (2003) melakukan penelitian tentang dinamika daya saing lada Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah model Pangsa Pasar Konstan (Constant Market Share = CMS) untuk mengetahui keuggulan kompetitif lada Indonesia terhadap negara-negara pesaing. Selain menggunakan model CMS, penelitian tersebut juga menggunakan analisis substitusi impor, khususnya untuk mengetahui sifat hubungan persaingan antar negara produsen lada, apakah bersifat saling melengkapi atau saling menggantikan. Data yang digunakan merupakan data time series periode 1985 – 2001. Dari analisis CMS dekomposisi tahap pertama diperoleh hasil bahwa selama periode 1985-2001, Indonesia secara konsisten berhasil mempertahankan pangsa ekspornya di pasar lada dunia (Amerika Serikat, MEE dan Singapura), sementara tiga negara pesaing Indonesia (Brazil, India dan Malaysia) cenderung mengalami penurunan ekspor. Dekomposisi tahap kedua menunjukkan bahwa Indonesia mengkonsentrasikan ekspor lada hitam dan putih dengan pertumbuhan pasar yang relatif cepat. Sebaliknya Brazil dan India hanya mengkonsentrasikan ekspor mereka pada jenis lada tertentu, yaitu hanya untuk lada hitam. Dilihat dari nilai elastisitas substitusi impor, Indonesia dan India akan bersaing di pasar MEE, sedangkan Indonesia dengan Malaysia akan bersaing di pasar Amerika Serikat dan Singapura. Nilai elastisitas substitusi impor antara Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura bernilai relatif besar, meskipun tidak elastis. Penelitian mengenai faktor internal dan eksternal penawaran dan permintaan lada putih di pasaran domestik dan dunia dilakukan oeh Triana (2000) dengan menggunakan model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan dan diduga dengan metode Two Stage Least Square (TSLS). Hasil pendugaan model diperoleh koefisien determinasi (R2) berkisar antara 52%-96%. Produksi lada putih Indonesia hanya responsif (elastis) terhadap produktivitas jangka panjang. Penawaran ekspor lada putih Indonesia ke Jerman, Nederland dan Singapura lebih responsif terhadap perubahan tingkat produksi dibandingkan dengan perubahan harga ekspor lada putih dan lada hitam, nilai tukar, suku bunga, dan volume reekspor lada putih Singapura. Penawaran ke Amerika Serikat dan Jepang lebih responsif terhadap volume re-ekspor lada putih Singapura dibandingkan dengan tingkat produksi, harga ekspor lada, nilai tukar dan suku bunga. Permintaan impor lada putih Amerika Serikat dan Nederland lebih responsif terhadap pendapatan dibandingkan dengan perubahan impor lada putih dan hitam, jumlah penduduk, dan nilai tukar. Untuk permintaan lada impor lada putih Jepang lebih responsif terhadap perubahan harga lada hitam dunia dibandingkan dengan perubahan harga impor lada putih, pendapatan, jumlah penduduk, dan nilai tukar. Permintaan impor lada putih Jerman dan Singapura lebih responsif terhadap perubahan jumlah penduduk dibandingkan dengan perubahan harga lada putih dan lada hitam, pendapatan, jumlah penduduk, dan nilai tukar. Jumadi (1991) melakukan penelitian mengenai analisis perdagangan yang terdiri dari analisis permintaan, dan penawaran ekspor lada hitam Indonesia di pasar Internasional dengan menggunakan model Armington. Pendugaan parameter permintaan impor lada hitam di pasar internasional menyebutkan bahwa elastisitas harga langsung dan harga silang (harga lada putih) dari permintaan lada hitam besifat inelastis kecuali di pasar Amerika Serikat, elastisitas pendapatan dari permintaan lada hitam juga bersifat inelastis. Hasil pendugaan parameter ekspor dengan menggunakan model Nerlovian menunjukkan bahwa elastisitas penawaran ekspor jangka panjang di pasar internasional bersifat inelastis kecuali di Indonesia. Pergeseran permintaan lada hitam yang terjadi di Amerika Serikat paling besar pengaruhnya terhadap total penawaran ekspor lada hitam Indonesia, dibandingkan dengan pergeseran permintaan lada hitam yang terjadi dibandingkan dengan pasar lain. Hasyim (1986) telah melakukan penelitian mengenai kedudukan komoditi lada Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan model persamaan simultan kuadrat terkecil dua tahap (Two Stage Least Square). Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa peubah yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor lada adalah harga lada dunia, produksi lada tahun lalu, luas areal, curah hujan, laju ekspor efektif dan pendapatan per kapita. Penawaran ekspor lada non Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah produksi kelompok negara produsen selain Indonesia, luas tanaman lada non Indonesia dan pendapatan per kapita di luar Indonesia. Permintaan impor lada Amerika Serikat dipengaruhi oleh harga lada dunia. Sementara itu, permintaan impor lada non Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh harga lada dunia. 2.3 Komentar Terhadap Penelitian Terdahulu Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah pada subektor komoditas yang dianalisis, yaitu subsektor perkebunan. Penelitian ini menganalisis komoditas lada Indonesia. Selain itu, cakupan penelitian juga memiliki persamaan yaitu cakupan pasar internasional. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah terletak pada metode analisis dan data yang digunakan. Penelitian ini menganalisis daya saing lada Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan analisis konsentrasi pasar dengan menggunakan metode Herfindahl Index dan Concentration Ratio, analisis keunggulan komparatif melalui metode Revealed Comparative Advantage (RCA), dan analisis keunggulan kompetitif dengan menggunakan metode Teori Berlian Porter. Sementara itu, data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder time series dari tahun 19972006. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional diartikan sebagai pertukaran barang dan jasa yang terjadi melampaui batas antar negara. Perdagangan internasional diperlukan untuk mendapatkan manfaat yang dimungkinkan oleh spesialisasi produksi. Dengan perdagangan, setiap orang, wilayah, atau bangsa dapat memusatkan perhatian untuk memproduksi barang dan jasa yang dapat dilakukannya secara efisien, sementara mereka melakukan perdagangan untuk memperoleh barang dan jasa lain yang tidak diproduksinya (Lipsey, 1997). Perdagangan internasional mengkaji saling ketergantungan antar negara. Ilmu ini menganalisa arus barang, jasa, dan pembayaran-pembayaran antara sebuah negara dan negara-negara lain di dunia, kebijakan yang diarahkan pada pengaturan arus ini, serta pengaruhnya pada kesejahteraan negara. Saling ketergantungan ekonomi antar negara ini dipengaruhi dan mempengaruhi hubungan politik, sosial budaya, dan militer negara. Teori perdagangan internasional menganalisa dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperoleh dari perdagangan (Salvatore, 1997). Pada dasarnya, model perdagangan standar harus berlandaskan pada empat hubungan berikut ini : 1. Hubungan antara batas-batas kemungkinan produksi dengan kurva penawaran relatif. 2. Hubungan antara harga-harga relatif dengan tingkat permintaan. 3. Penentuan keseimbangan dunia dengan penawaran relatif dan permintaan relatif dunia. 4. Dampak-dampak atau pengaruh nilai tukar perdagangan (terms of trade), yaitu harga ekspor dari suatu negara dibagi dengan harga impornya terhadap kesejahteraan suatu negara. Gambar 1 memperlihatkan proses terciptanya harga komoditi relatif ekuilibrium dengan adanya perdagangan, ditinjau dari analisis keseimbangan parsial. Pada Gambar 1, karena Px/Py lebih besar dari P1, maka negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi X (Panel A), sehingga kurva penawaran ekspornya atau S yang diperlihatkan oleh panel B mengalami peningkatan. Di lain pihak, karena Px/Py lebih rendah dari P3, maka negara 2 mengalami kelebihan permintaan untuk komoditi X (lihat Panel C) dan ini mengakibatkan permintaan impor negara 2 terhadap komoditi X atau D, mengalami kenaikan (lihat Panel B). Panel B juga menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga P2 maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara 2 akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh negara 1. Dengan demikian P2 merupakan Px/Py atau harga relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya perdagangan di antara kedua negara tersebut. Akan tetapi, jika Px/Py lebih besar dari P2 maka akan terdapat kelebihan penawaran ekspor komoditi X dan hal ini akan menurunkan harga relatifnya atau Px/Py, sehingga pada akhirnya harga itu akan bergerak mendekati atau sama dengan P2. Sebaliknya jika Px/Py lebih kecil daipada P2, maka akan tercipta kelebihan permintaan impor komoditi X yang selanjutnya akan menaikkan Px/Py sehinggga lambat laun akan sama dengan P2. Panel A Pasar di Negara 1 untuk Komoditi X Px/Py P1 0 Px/Py Sx Px/Py B’ A’ P3 P2 Panel C Pasar di Negara 2 untuk Komodii X Panel B Hubungan Perdagangan Internasional dalam Komoditi X Ekspor B Sx E A’ ’ S E’ E* B* Impor D Dx A* A Dx X0 X0 X Sumber : Salvatore, 1997 Gambar 1. Harga Komoditi Relatif Ekuilibrium Setelah Perdagangan 3.1.2 Struktur Pasar Istilah struktur pasar mengacu pada semua aspek (feature) yang dapat mempengaruhi prilaku dan kinerja perusahaan di suatu pasar, misalnya, jumlah perusahaan di pasar, atau jenis produk yang mereka jual, struktur pasar menjabarkan tingkat persaingan dalam pasar untuk setiap barang dan jasa. Sebuah pasar terdiri dari semua perusahaan dan individual yang rela dan mampu membeli atau menjual satu produk tertentu. Struktur pasar umumnya dicirikan atas dasar empat karakteristik yang penting yaitu jumlah dan distribusi ukuran dari penjual dan pembeli yang aktif serta para pendatang potensial, tingkat diferensiasi produk, jumlah dan biaya, informasi tentang harga dan mutu produk, serta kondisi masuk dan keluar pasar (Pappas dan Hirschey,1995). 3.1.2.1 Pasar Persaingan Sempurna Menurut Pappas dan Hirschey (1995), pasar persaingan sempurna adalah struktur pasar yang dicirikan dengan sejumlah besar pembeli dan penjual untuk sebuah produk yang homogen, dimana setiap transaksi peserta pasar adalah begitu kecil sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap harga pasar dari produk tersebut. Para pembeli dan penjual individual adalah para penerima harga (price takers). Ini berarti perusahaan tidak mempunyai kontrol terhadap harga. Harga telah ditentukan pasar dan cenderung konstan. Pada struktur pasar ini informasi permintaan dan penawaran yang bebas dan lengkap tersedia dalam pasar bersaing sempurna serta tidak terdapat hambatan masuk dan keluar yang berarti. Sebagai akibatnya, persaingan harga yang ketat terjadi dan hanya tingkat pengembalian atas investasi yang normal yang dimungkinkan dalam jangka panjang. 3.1.2.2 Pasar Monopoli Pasar monopoli adalah suatu pasar yang dicirikan dengan penjual tunggal dan sebuah produk yang sangat terdiferensiasi. Produsen setiap produk harus bersaing memperebutkan pangsa pasar dari pembelian konsumen, tetapi produsen monopoli tidak menghadapi persaingan yang efektif untuk penjualan produknya baik dari pesaing yang ada maupun yang potensial. Hambatan yang besar seringkali merintangi para pendatang potensial. Monopoli bisa terjadi karena tiga hal, yaitu monopoli alami, monopoli karena efisiensi yang superior, dan monopoli karena paten (Pappas dan Hirschey, 1995). 3.1.2.3 Pasar Persaingan Monopolistik Menurut Pappas dan Hirschey (1995), pasar persaingan monopolistik adalah struktur pasar yang terdiri dari banyak penjual yang menawarkan produkproduk yang serupa tetapi tidak identik. Pasar persaingan monopolistik hampir sama dengan pasar persaingan sempurna. Akan tetapi, terdapat perbedaaan penting dalam persaingan monopolistik bahwa produk-produk yang ditransaksikan berupa produk yang sudah terdiferensiasi sehinga konsumen melihat adanya perbedaan penting diantara produk-produk yang ditawarkan oleh setiap produsen individual. Dalam persaingan monopolistik, sebuah perusahaan dapat memperkenalkan sebuah inovasi dalam produk atau proses yang bernilai dan memberikan peningkatan laba ekonomi yang cukup besar atau tingkat pengembalian yang di atas normal dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, peniruan oleh pesaing akan mengikis pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan lain dalam persaingan monopolistik dan laba akhirnya menurun ke tingkat normal. 3.1.2.4 Pasar Oligopoli Oligopoli adalah industri yang terdiri dari dua atau beberapa perusahaan, sedikitnya satu diantaranya menghasilkan sebagian cukup besar dari total industri. Oligopolis menyadari adanya interdependensi di antar keputusan-keputusan yang diambil oleh berbagai produsen dalam industri dan mereka yang terlibat dalam perilaku bersaing yang bersifat strategik, yang berarti mereka memperhitungkan secara eksplisit dampak keputusan mereka atas produsen-produsen pesaing dan reaksi yang mereka harapkan dari produsen-produsen pesaing ini. Akses yang terbatas pada informasi, biaya, dan mutu produk yang dikombinasikan dengan hambatan masuk, mobilitas dan hambatan keluar yang tinggi memberikan potensi laba ekonomi dalam jangka panjang. Kelembagaan memainkan peranan penting dalam mendefinisikan, metode, ruang lingkup dan intensitas persaingan dalam pasar oligopoli. Teknik-teknik persaingan non harga ditekankan untuk meningkatkan permintaan. Dengan sedikit pesaing, sering terdapat insentif ekonomi bagi perusahaan-perusahaan untuk merancang kesepakatan ilegal untuk membatasi persaingan, menetapkan harga secara bersama-sama atau membagi pasar dengan cara-cara lainnya (Pappas dan Hirschey, 1995). 3.1.3 Konsep Keunggulan Komparatif Menurut Adam Smith dalam Salvatore (1997), perdagangan antara dua negara didasarkan pada keungulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut, dan menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. Melalui proses ini, sumberdaya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Output kedua komoditi yang diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan dalam output ini akan mengukur keuntungan dari spesialisasi produksi untuk kedua negara yang melakukan perdagangan. Teori keunggulan absolut disempurnakan oleh David Ricardo pada tahun 1817 dengan menerbitkan buku Principles of Political Economy and Taxation, yang berisi penjelasan mengenai hukum keunggulan komparatif. Menurut hukum keunggulan komparatif, meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki keunggulan absolut yang lebih kecil (ini merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki keungulan absolut yang lebih besar (komoditi ini memiliki kerugian komparatif). David Ricardo mendasarkan hukum keunggulan komparatifnya pada sejumlah asumsi yang disederhanakan, yaitu: (1) hanya terdapat dua negara dan dua komoditi, (2) perdagangan bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4) biaya produksi konstan, (5) tidak terdapat biaya transportasi, (6) tidak ada perubahan teknologi, dan (7) menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu sampai dengan enam dapat diterima dengan mudah tetapi asumsi tujuh (teori nilai tenaga kerja) tidak berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif. Pengujian empiris pertama terhadap model perdagangan David Ricardo dilakukan oleh MacDougall pada tahun 1952 dan 1952 dengan menggunakan data tahun 1937. Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut menunjukkan bahwa industri-industri yang memiliki produktivitas tenaga kerja relatif lebih tinggi di Amerika Serikat dibandingkan dengan di Inggris, adalah industri yang memiliki rasio ekspor Amerika terhadap Inggris yang lebih tinggi ke negara-negara lainnya. Hasil pengujian empiris ini didukung pula oleh hasil pengujian yang dilakukan oleh Bela Ballasa dengan menggunakan data tahun 1950, dan oleh pengujian Stern yang menggunakan data tahun 1959. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa keungulan komparatif memang didasarkan pada perbedaan produktivitas tenaga kerja, seperti dikemukakan oleh David Ricardo. Meskipun demikian, model perdagangan David Ricardo tersebut tidak menjelaskan alasan timbulnya perbedaan produktivitas tenaga kerja di antara berbagai negara. Teori ini juga tidak menjelaskan mengenai pengaruh perdagangan internasional terhadap pendapatan yang diperoleh faktor produksi (Salvatore,1997). Teori Heckscher-Ohlin memiliki cakupan yang lebih luas daripada model perdagangan yang sebelumnya. Pada intinya, teori perdagangan Heckscher-Ohlin menjelaskan bahwa perdagangan internasional berlangsung atas dasar keunggulan komparatif yang berbeda dari masing-masing negara. Teori juga menyinggung mengenai dampak-dampak perdagangan internasional terhadap harga atau tingkat pendapatan masing-masing faktor produksi. Teori Heckscher-Ohlin atau teori kelimpahan faktor dapat diekspresikan ke dalam dua buah teorema yang saling berhubungan, yakni teorema HeckscherOhlin serta teorema penyamaan harga faktor. Menurut teorema Heckscher-Ohlin, sebuah negara akan mengekspor komoditi yang padat faktor produksi yang ketersediaannya di negara tersebut melimpah dan murah, sedangkan di sisi lain ia akan mengimpor komoditi yang padat dengan faktor produksi yang di negaranya merupakan faktor produksi langka dan mahal. Menurut teorema penyamaan harga faktor atau teorema Heckscher-Ohlin-Samuelson, perdagangan internasional cenderung menyamakan harga-harga, baik itu secara relatif maupun secara absolut, dari berbagai faktor produksi homogen atau sejenis di antara negaranegara yang terlibat dalam hubungan dagang. Secara umum, model perdagangan Heckscher-Ohlin dapat dianggap sebagai model baku perdagangan internasional (Salvatore, 1997). 3.1.4 Konsep Keunggulan Kompetitif Penelitian Porter tentang keunggulan bersaing negara-negara mencakup tersedianya peranan sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada negara yang mempengaruhi daya saing perusahaan-perusahaan internasional pada industri yang berbeda. Perusahaan memperoleh keuntungan terhadap para pesaing dunia yang terbaik karena tekanan dan tekanan. Mereka mendapatkan manfaat dari memiliki pesaing domestik yang kuat, pemasok permintaan para pelanggan lokal, basis daerah asal yang agresif, dan permintaan para pelanggan lokal (Porter, 1998). Menurut Porter (1998), ada empat kategori atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional, yakni kondisi faktor (factor conditions), kondisi permintaan (demand conditions), industri pendukung dan terkait (related and supporting industries), serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan (firms strategy, structure, and rivalry). Keempat atribut tersebut didukung oleh peranan kesempatan atau peluang (chance) dan peranan pemerintah (government) dalam meningkatkan daya saing industri nasional, dan secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang dikenal dengan “the national diamond”. Peluang Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan Kondisi faktor Kondisi permintaan Industri terkait dan pendukung Pemerintah Sumber: Michael E.Porter. 1998. The Competitive Advantage of Nation Keterangan: Garis ( ), menunjukkan hubungan antara atribut utama Garis ( ), menunjukkan hubungan antara atribut tambahan terhadap atribut utama Gambar 2. “The National Diamond System” 3.1.5 Pengertian Daya Saing Pengertian daya saing mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara lain (Silalahi dalam Bappenas, 2007). Konsep dayasaing dalam perdagangan internasional terkait dengan keunggulan yang dimiliki suatu komoditas atau kemampuan suatu negara dalam menghasilkan komoditas tersebut secara lebih efisien daripada negara lain (Annisa dalam Suprihanti, 2006). Daya saing dapat juga dikatakan sebagai kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan dalam pasar tersebut, dalam artian jika suatu produk mempunyai daya saing maka produk tersebutlah yang banyak diminati oleh banyak konsumen (Tatakomara, 2004). 3.3 Kerangka Pemikiran Operasional Lada merupakan salah satu komoditas unggulan ekspor perkebunan Indonesia karena Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir utama lada di pasar internasional. Selain itu, lada juga merupakan salah satu sumber devisa yang cukup besar, penyedia lapangan kerja, bahan baku industri, dan untuk konsumsi langsung. Adanya potensi yang besar dalam hal produksi dan masih tingginya permintaan terhadap lada Indonesia merupakan salah satu peluang Indonesia untuk menguasai pasar lada dunia dan hal ini dapat menunjukkan kemampuan lada Indonesia dalam menghadapi adanya liberalisasi perdagangan. Namun, sebagai negara produsen dan eksportir utama lada di dunia, pengusahaan lada masih terkendala oleh masalah cakupan dan bentuk pengusahaan yang sebagian besar berupa perkebunan rakyat, teknik budidaya dan teknologi serta masih rendahnya penggunaan bibit unggul. Selain itu, petani lada juga dihadapkan pada masalah fluktuasi harga dan permodalan yang terbatas. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis struktur pasar lada Indonesia dan menganalisis posisi daya saing lada Indonesia di pasar internasional. Oleh karena itu, tahapan pertama dalam melakukan penelitian ini adalah menganalisis struktur pasar dan pangsa pasar komoditas lada Indonesia di pasar internasional dengan pendekatan menggunakan analisis Herfindahl Index dan Concentration Ratio. Penelitian ini juga menggunakan analisis kuantitatif lainnya yaitu Revealed Comparative Advantge (RCA). RCA ini digunakan untuk menjelaskan kekuatan daya saing komoditas lada Indonesia terhadap produk sejenis dari negara lain (dunia) yang juga menunjukkan posisi komparatif Indonesia sebagai negara produsen lada dibandingkan dengan negara lainnya di pasar lada internasional. Tahap selanjutnya adalah melakukan pengkajian potensi, kendala dan peluang komoditas lada. Analisis situasi internal dan eksternal ini dilakukan dengan pendekatan Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory) mengenai keunggulan bersaing negara-negara. Teori Berlian Porter menganalisis faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keunggulan kompetitif suatu negara, dalam penelitian ini berarti faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan kompetitif lada Indonesia. Untuk lebih jelasnya, akan diperlihatkan diagram alur pemikiran dari penelitian ini pada Gambar 3. • • • • • Indonesia merupakan produsen dan eksportir lada utama di dunia Penyedia lapangan kerja yang besar Lada menghasilkan devisa negara yang tinggi Potensi dalam menghadapi liberalisasi perdagangan masih besar • • • • Sebagian besar pengusahaan lada berupa perkebunan rakyat Teknik budidaya dan penguasaan teknologi masih rendah Penggunaan bibit unggul masih rendah Fluktuasi harga Permodalan terbatas Analisis Daya Saing Komoditas Lada Indonesia di Pasar Internasioanl Analisis Struktur Pasar Lada Dunia Analisis Keunggulan Komparatif Lada Indonesia Analisis Keunggulan Kompetitif Lada Indonesia Herfindahl Index dan Concentration Ratio Revealed Comparative Advantage Teori Berlian Porter Posisi dan Gambaran Daya Saing Komoditas Lada Indonesia di Pasar Internasional Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional IV. METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup dan Waktu Penelitian Penelitian ini menganalisis mengenai posisi daya saing lada Indonesia di pasar internasional. Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan, mulai bulan Februari hingga April 2008. 4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data deret waktu (time series) selama sepuluh tahun dari tahun 1997 sampai tahun 2006. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi nilai ekspor dan impor lada Indonesia dan negara-negara produsen dan eksportir lada di dunia. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan informasi yang berkaitan dengan potensi lada di Indonesia untuk kajian keunggulan kompetitif. Sumber data diperoleh dari Departemen Pertanian, International Peper Community (IPC), dan United Nation Commodity Trade (UN Comtrade) yang ditelusuri melalui jaringan internet. Sumber informasi lainya diperoleh dari buku, artikel, jurnal, dan internet. Dalam penelitian ini juga digunakan data-data yang berasal dari literatur dan penelitian-penelitian terdahulu. Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Jenis Data Sumber Data Nilai ekspor lada negara-negara United Nation Commodity Trade dunia tahun 1997-2006 Statistics Database (UN Comtrade) Situs: http//unstats.un.org/unsd/comtrade/db International Pepper community (IPC) Situs: www.ipcnet.org Gambaran umum lada Indonesia Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik, International Pepper Community (IPC), Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI) Penelitian-penelitian terdahulu Perpustakaan LSI 4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal dalam pengusahaan lada berupa analisis keunggulan kompetitif lada Indonesia di pasar internasional. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur dan pangsa pasar dan keunggulan komparatif lada Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan analisis Herfindahl Index dan Revealed Comparative Advantage (RCA). Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Excel 2007. 4.3.1 Analisis Konsentrasi Pasar Untuk menganalisis tingkat konsentrasi pasar yang dihadapi dari suatu komoditi dapat dilakukan dengan alat analisis Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR). Dari analisis tingkat konsentrasi pasar akan dapat diketahui struktur atau bentuk pasar yang dihadapi dari perdagangan komoditi lada yang pada akhirnya dapat menentukan tingkat persaingan yang dihadapi. Selain itu, analisis konsentrasi pasar dengan menggunakan Herfindahl Index dan Cocentration Ratio juga memperhitungkan pangsa pasar dari masing-masing negara di dunia yang terlibat dalam perdagangan lada di pasar internasional. Pangsa pasar lada diperoleh dengan membandingkan ekspor lada suatu negara dengan total ekspor lada keseluruhan negara. Nilai Herfindahl Index merupakan hasil penjumlahan kuadrat pangsa pasar tiap negara3. Formula Herfindahl Index adalah sebagai berikut: HI = Sij12 + Sij22 + Sij32 + … + Sijn2 Dimana, Sij = pangsa pasar komoditi i (dalam hal ini adalah lada ) negara j di pasar internasional n = jumlah negara produsen lada di pasar internasional Kisaran nilai Herfindahl Index yang diperoleh adalah antara 0 dan 1 (atau 10000 yang merupakan kuadrat dari 100 persen). Jika nilai HI mendekati 0 berarti struktur pasar industri yang bersangkutan cenderung mengarah kepada pasar persaingan (competitive market). Kemudian, jika nilai HI mendekati 1 (atau 10.000) maka struktur pasar industri tersebut cenderung bersifat monopoli. Sementara itu, Concentration Ratio digunakan untuk mengukur persentase pangsa pasar dimana dalam nilai CR yang banyak digunakan adalah CR4 dan CR8 yang menunjukkan output pasar yang dihasilkan oleh empat atau delapan produsen terbesar dalam industri. Dalam penelitian ini nilai rasio konsentrasi yang digunakan adalah nilai CR4. Nilai rasio konsentrasi yang rendah berarti pasar lada di pasar internasional terdiri dari banyak negara produsen dengan tingkat 3 Internet Center For Management and Business Administration, www.quickmba.com, diakses tanggal 15 November 2007 persaingan yang tinggi. Apabila rasio konsentrasi tinggi, maka produsen pasar cenderung didominasi oleh produsen terbesar dan pasar lebih terkonsentrasi. Rasio konsentrasi pasar dirumuskan sebagai berikut: CR4 = Sij1 + Sij2 + Sij3 + Sij4 Dimana: CR4 = nilai konsentrasi pasar empat produsen utama lada di pasar internasional Sij = pangsa pasar negara ke-i penghasil lada di pasar internasional Nilai CR4 yang mendekati nol menunjukkan rasio konsentrasi pasar yang sangat rendah dengan struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition). Apabila nilai konsentrasi untuk empat produsen terbesar (CR4) di bawah 40 persen menunjukkan struktur pasar persaingan monopolistik. Struktur pasar oligopoli ditunjukkan dengan nilai CR4 di atas 40 persen. Jika nilai rasio konsentrasi empat produsen terbesar mendekati 100 persen maka nilai tersebut menunjukkan struktur pasar monopoli4. Tingkat konsentrasi pasar yang dapat dirumuskan dari dari nilai Herfindahl Index dan CR4 adalah sebagai berikut: 1. Konsentrasi pasar yang rendah dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara 0 – 50 persen dan HI antara 0 – 1.000. Bentuk pasar yang mungkin adalah persaingan sempurna atau sekurang-kurangnya adalah persaingan monopolistik. 4 AmosWEB Encyclonomic WEB*pedia, Four-Firm Concentration Ratio, http://www.AmosWEB.com, AmosWEB LLC, 2000-2008. Diakses tanggal 16 Januari, 2008. 2. Konsentrasi pasar sedang dicirikan dengan nilai CR4 antara 50 – 80 persen dan nilai HI yang berkisar antara 1.000 – 1.800. Bentuk pasar untuk tingkat konsentrasi yang sedang adalah lebih banyak oligopoli. 3. Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara 80 - 100 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.800 10.000. Bentuk pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli atau cenderung sedikit oligopoli. 4.3.2 Revealed Comparative Advantage (RCA) Dalam mengukur keunggulan komparatif dapat dianalisis dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA), yang bertujuan untuk membandingkan pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa pasar sektor tertentu negara atau produsen lainnya serta menunjukkan daya saing industri suatu negara. Dalam penelitian ini RCA digunakan untuk mengetahui posisi komparatif lada Indonesia dengan negara-negara produsen lada lainnya di pasar internasional. Penelitian ini menggunakan empat negara produsen terbesar lada di dunia selain Indonesia sebagai pembanding yaitu Brazil, Malaysia, India, dan Vietnam. Keuntungan dari menggunakan RCA indeks adalah bahwa indeks ini mempertimbangkan keuntungan intrinsik komoditas ekspor tertentu dan konsisten dengan perubahan di dalam suatu komoditi produktivitas dan faktor anugerah alternatif. Kelemahan metode RCA adalah mengukur keunggulan komparatif dari kinerja ekspor dengan asumsi perdagangan bebas dan produk homogen, serta mengesampingkan pentingnya permintaan domestik, ukuran pasar domestik, dan perkembangannya. Selain itu, metode ini juga tidak dapat membedakan antara peningkatan di dalam faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan perdagangan yang sesuai (Silalahi, 2007). Formula RCA dapat dirumuskan sebagai berikut5: X ij / ∑ X ij RCA = i ∑ X ij / ∑∑ X ij j i j Dimana : = nilai ekspor komoditas lada negara j X ij ∑X ij = total nilai ekspor seluruh komoditas dari negara j ∑X ij = total nilai ekspor dunia dari komoditas lada i j ∑∑ X i ij = total nilai ekspor dunia untuk seluruh komoditas j Apabila nilai RCA produk suatu negara lebih besar dari 1, maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif atau berdaya saing kuat pada produk tersebut. Apabila nilai RCA kurang dari 1, maka negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif dalam produk tersebut atau mempunyai daya saing yang lemah. Semakin tinggi nilai RCA maka daya saing suatu negara akan semakin kuat. 5 Laursen, K. 1998. Revealed comparative Advantage and the Alternatives as Measure of International Specialisation, www.druid.dk. Department of Industrial Economics and Strategy / DRUID Copenhagen Business School, Denmark. 4.3.3 Teori Berlian Porter Menurut Michael E. Porter, terdapat empat atribut yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif suatu industri nasional, yaitu kondisi faktor (factor conditions), kondisi permintaan (demand conditions), industri pendukung dan terkait (related and supporting industry), serta strategi perusahaan, struktur, dan persaingan (firms strategy, structure, and rivalry). Keempat atribut tersebut saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain sehingga membentuk suatu sistem yang dikenal dengan Porter’s Diamond6. Selain itu, tedapat dua variabel tambahan yang secara tidak langsung mempengaruhi daya saing suatu industri atau pengusahaan suatu komoditas dalam suatu negara. Penjelasan dari keempat atribut utama dan dua atribut tambahan yang merupakan faktor pendorong daya saing suatu negara adalah sebagai berikut: 1. Kondisi Faktor Kondisi faktor yang penting dalam menentukan daya saing yaitu berupa faktor produksi atau input yang digunakan dalam produksi, seperti tenaga kerja (sumberdaya manusia), sumberdaya alam, modal, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan infrastruktur. Faktor yang menunjukkan keunggulan kompetitif suatu negara dapat dilihat dari adanya tenaga kerja yang terampil dan ketersediaan bahan mentah yang tidak dapat ditiru oleh perusahaan atau negara lain. Komponen tersebut menentukan keunggulan kompetitif suatu negara terutama negara berkembang karena negara berkembang memiliki faktor produksi seperti tenaga kerja terlatih yang ditunjang dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang cukup dan 6 Internet Center For Management and Business Administration. 2007. Porter’s Diamond National Advantage. www.quickmba.com. Diakses tanggal 15 November 2007. ketersediaan bahan mentah yang dikelola dengan baik merupakan faktor produksi yang penting dan berharga. Ketersediaan faktor tersebut juga harus didukung oleh biaya dan modal serta aksesibitas dalam memperoleh biaya dan modal tersebut serta kondisi sarana dan prasarana (infrastruktur) yang memadai. 2. Kondisi Permintaan Pasar domestik yang canggih merupakan elemen penting untuk menciptakan daya saing. Keunggulan kompetitif akan tercipta ketika pasar lokal untuk produk tertentu lebih besar daripada pasar internasional dan perusahaan lokal memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pasar lokal. Dengan semakin kuatnya pasar lokal maka perusahaan lokal akan mulai mengekspor produk tersebut ke pasar internasional. Selain itu, permintaan lokal yang lebih besar akan membawa keunggulan kompetitif suatu negara. Pasar lokal yang kuat dapat membantu perusahaan lokal dalam mengantisipasi perubahan global (global trends) dalam persaingan yang kompetitif. Aspek yang mempengaruhi kondisi permintaan dapat dilihat dari mutu dan juga selera pembeli yang tinggi. 3. Industri Terkait dan Industri Pendukung Ketika industri pendukung mampu bersaing secara kompetitif, perusahaan dapat menikmati biaya dengan lebih efektif dan input yang inovatif. Salah satu komponen industri terkait adalah industri hulu yang mampu memasok input bagi industri utama dan juga industri hilir yaitu industri yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Industri terkait dan pendukung akan semakin memperkuat posisi bersaing suatu negara apabila supplier dan industri pendukung merupakan pesaing global yang kuat dalam perdagangan internasional. 4. Struktur, Persaingan dan Strategi. Kondisi lokal dapat mempengaruhi strategi perusahaan yang berbeda-beda pada setiap negara. Contohnya, Jerman mempunyai struktur hierarki manajemen yang berlatar belakang teknik sementara Italia mempunyai struktur yang lebih kecil dan bersifat kekeluargaan. Strategi, persaingan dan struktur dapat menentukan tipe industri perusahaan suatu negara. Tingkat persaingan bagi perusahaan akan mendorong kompetisi dan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal merupakan penggerak dan memberikan tekanan pada perusahaan lain untuk meningkatkan daya saing. Struktur perusahaan atau industri menentukan daya saing dengan cara melakukan perbaikan atau inovasi. Hal ini jika dikembangkan dalam situasi persaingan akan berpengaruh pada strategi yang dijalankan oleh perusahaan. 5. Peran Pemerintah Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap peningkatan daya saing tetapi berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu daya saing tersebut. Pemerintah dapat bertindak sebagai fasilitator yaitu memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor daya saing. Pemerintah juga dapat berperan sebagai regulator dimana pemerintah dapat mempengaruhi tingkat daya saing global melalui kebijakan yang memperlemah atau memperkuat faktor penentu daya saing industri, tetapi pemerintah tidak dapat menciptakan keunggulan bersaing secara langsung. 6. Peran Kesempatan atau Peluang Peran kesempatan atau peluang juga dapat mempengaruhi tingkat daya saing karena berada di luar kendali perusahaan ataupun pemerintah. Beberapa hal yang dianggap keberuntungan merupakan pera kesempatan, seperti adanya penemuan baru yang murni dan perubahan nilai mata uang. Selain itu, terjadinya peningkatan permintaan produk industri yang lebih besar dari pasokannya atau kondisi politik yang menguntungkan bagi peningkatan daya saing. V. STRUKTUR PASAR DAN PERSAINGAN LADA DI PASAR INTERNASIONAL Struktur pasar lada dapat diketahui dengan menggunakan rumus Herfindahl Index dan juga dapat diketahui penguasaan pangsa pasar masing- masing negara produsen lada. Pangsa pasar lada negara produsen diukur dengan membandingkan ekspor masing-masing negara produsen lada dengan total ekspor lada dunia. Dari hasil analisis diperoleh nilai rata-rata Herfindahl Index pada tahun 1997-2006 sebesar 1.589 (Tabel 6). Nilai Herfindahl Index lada dunia selama periode 1997-2006 berkisar antara 1300-1700 menunjukkan bahwa komoditas lada di pasar internasional cenderung mengarah pada struktur pasar oligopoli dengan konsentrasi pasar yang sedang. Tabel 6. Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi Komoditas Lada di Pasar Internasional Tahun 1997-2006 Tahun Jumlah Negara Nilai Herfindahl Index Nilai CR4 (%) Eksportir 1997 56 1.705 58 1998 70 1.739 60 1999 81 1.621 59 2000 95 1.736 57 2001 103 1.370 63 2002 102 1.354 62 2003 105 1.373 62 2004 112 1.715 66 2005 104 1.710 66 2006 98 1.566 68 Rata-Rata 93 1.589 62 Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007 http://unstats.un.org/unsd/comtrade8 dan International Pepper Community (IPC), 2006. www.ipcnet.org. Diakses 16 Februari 2008. Diolah. Pada periode 1997-2006, berdasarkan data yang diperoleh dari UN Comtrade (2007), jumlah negara yang bertindak sebagai eksportir lada cenderung mengalami peningkatan dari 56 negara hingga mencapai 112 negara. Hal ini megindikasikan bahwa dalam perdagangan lada di pasar internasional persaingannya semakin ketat seiring dengan bertambah banyaknya negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut. Meskipun demikian, Indonesia masih merupakan salah satu negara pengekspor dan produsen utama lada di dunia. Struktur pasar komoditas lada di pasar internasional juga dapat dianalisis dengan menggunakan analisis konsentrasi pasar (Concentration Ratio). Struktur pasar lada dunia dalam penelitian ini menggunakan analisis CR4 dengan melihat pangsa pasar dari empat negara produsen terbesar lada di dunia. Pada periode 1997-2000, empat negara produsen terbesar yang memiliki pangsa pasar yang besar adalah Indonesia, Brazil, India, dan Malaysia (Lampiran 3). Akan tetapi, pada periode 2001-2006, Vietnam masuk sebagai negara pengekspor dan produsen utama dan menjadi negara eksportir lada nomor satu di dunia sehingga untuk periode 2001-2006, empat negara produsen terbesar yang dianalisis adalah Vietnam, Indonesia, Brazil, dan India. Pada Tabel 6 dapat dilihat hasil analisis konsentrasi pasar dari empat negara produsen terbesar lada di dunia. Selama periode 1997-2006, rata-rata nilai CR4 yang diperoleh adalah sebesar 62 persen. Dari hasil nilai CR4 tersebut dapat diketahui bahwa struktur pasar lada dunia adalah berupa struktur pasar oligopoli dimana rasio konsentrasi dari empat produsen terbesar memiliki nilai CR4 yang lebih dari dari 40 persen. Dari hasil analisis Herfindahl Index dan rasio konsentrasi dapat diambil kesimpulan bahwa struktur pasar lada di pasar internasional merupakan struktur pasar oligopoli dengan konsentrasi pasar yang sedang. Hal ini berarti dalam pasar lada dunia tidak ada negara yang dominan dimana empat negara produsen utama lada tidak mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan dalam harga dan produk. Dalam struktur pasar oligopoli posisi Indonesia masih sebagai pengikut harga. Posisi ini menyebabkan Indonesia tidak dapat mengambil keputusan yang berkaitan dengan harga maupun produk tanpa terlebih dahulu mengacu kepada pemimpin pasar atau kepada pesaing-pesaing lainnya. Harga lada asal Vietnam lebih kompetitif sebab mereka lebih efisien dalam proses produksi. Hal tersebut terjadi karena biaya produksi lada kecil dan mutu lada Vietnam bagus. Lada Indonesia juga memiliki mutu yang bagus, tetapi biaya produksinya besar sehingga harganya kurang kompetitif. Adanya harga yang rendah, kualitas yang baik, dan produksi tinggi, membuat Vietnam kemudian menguasai pasar lada dunia7. Untuk mengetahui struktur pasar lada juga perlu diketahui diferensiasi produk yang ada. Di pasar tradisional lada dunia, jenis lada yang umum diperdagangkan adalah lada hitam dan lada putih. Kedua produk ini kemudian digunakan untuk berbagai keperluan di negara-negara pengimpor, baik untuk industri maupun pada rumah tangga. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa produk lada yang diperdagangkan di pasar internasional relatif homogen. Hal ini juga dikarenakan kedua jenis lada tersebut dapat saling menggantikan dalam penggunaannya walaupun tidak sempurna. Di pasar dunia juga diperdagangkan beberapa produk olahan lada yang siap dipakai oleh konsumen yang jumlahnya relatif kecil daripada produk primernya, yaitu lada hitam dan lada putih. Pengolahan lanjutan produk primer banyak dilakukan oleh negara-negara pengimpor seperti Singapura, Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Italia, 7 Ulun Lampung 15 Maret 2007. Lada Indonesia Dilibas Tetangga. http://ulunlampung.blogspot.com. Diakses Tanggal 10 April 2008. Hongkong, dan Inggris, yang kemudian mereka menjual kembali produk-produk olahan tersebut ke negara lain. Unsur struktur pasar yang lain dapat dilihat dari rintangan atau hambatan dalam memasuki pasar dari sisi produsen dan sisi konsumen. Dari sisi produsen sebenarnya tidak terdapat batasan bagi setiap negara untuk melakukan produksi, tetapi yang terjadi adalah bahwa tidak semua negara mampu membudidayakan tanaman lada seperti negara-negara produsen yang berada pada wilayah dengan iklim tropis. Mekanisme alam merupakan salah satu faktor yang membuat adanya keterbatasan dalam melakukan produksi. Namun, dalam melakukan ekspor tidak ada batasan, bahkan negara-negara yang bukan merupakan negara produsen utama dapat melakukan ekspor lada ke negara lain dalam jumlah yang sangat besar, contohnya adalah Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Inggris, dan Belanda. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada rintangan untuk bisa menjadi supplier lada ke pasar dunia. Sementara dari sisi negara-negara pengimpor (konsumen) tidak terdapat rintangan untuk melakukan impor. Pada umumnya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah masing-masing negara tidak membatasi jumlah impor dan importir (Nugroho dalam Hasyim, 2004). Eksportir di negara produsen dan importir di negara pengimpor bebas melakukan transaksi jual-beli. Mereka bebas menentukan jumlah lada yang akan dijual atau dibeli serta bebas melakukan kesepakatan harga. Jumlah penjualan atau pembelian dan harga diputuskan atas dasar negosiasi di antara mereka, negara tiakd melakukan intervensi terhadap transaksi yang mereka lakukan. Bagi mereka yang mempunyai banyak akses informasi dan kekuatan modal akan sangat dominan mempengaruhi harga (Nugroho dalam IPC, 2004). VI. DAYA SAING LADA INDONESIA : ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF 6.1 Analisis Keunggulan Komparatif Lada Indonesia di Pasar Internasional: Revealed Comparative Advantage (RCA) Daya saing lada Indonesia di pasar internasional dapat dilihat dari keunggulan komparatif lada yang diukur dengan menggunakan Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA). Indeks ini digunakan untuk membandingkan posisi daya saing Indonesia dengan negara-negara produsen lada lainnya. Negara yang memiliki keunggulan komparatif dan berdaya saing kuat ditunjukkan dengan semakin tingginya nilai Indeks RCA (lebih dari satu), dan sebaliknya. Untuk menganalisis keunggulan komparatif lada Indonesia di pasar internasional, negara-negara yang diperbandingkan dengan Indonesia dalam pengukuran Indeks RCA adalah empat negara produsen dan pengekspor lada yang menguasai pangsa pasar lada dunia yaitu Brazil, Malaysia, India, dan Vietnam. Indonesia dan keempat negara tersebut juga tergabung dalam organisasi produsen lada dunia yaitu International Pepper Community (IPC). Keempat negara tersebut merupakan negara yang berpotensi menjadi pesaing Indonesia dalam perdagangan lada di pasar internasional. Berdasarkan perhitungan Indeks RCA pada Tabel 7, diperoleh hasil bahwa selama periode 2001-2006 Indonesia memiliki daya saing yang kuat (Indeks RCA Indonesia lebih dari satu). Hal ini berarti bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komoditas lada. Pada tahun 2006, lada Indonesia mempunyai niai Indeks RCA sebesar 14,37. Nilai ini mengalami penurunan dibandingkan nilai RCA tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut terjadi penurunan pangsa pasar ekspor lada Indonesia (Tabel 8) dan semakin kuatnya persaingan yang ditandai dengan peningkatan pangsa pasar negara produsen lada lainnya seperti India dan Brazil. Nilai Indeks RCA tertinggi diperoleh pada tahun 2003 yaitu sebesar 24,29. Indeks RCA Indonesia mulai mengalami penurunan dari tahun 2004 yang terjadi karena penurunan nilai ekspor lada Indonesia seiring dengan penurunan yang terdapat pada produksi lada domestik. Apabila dibandingkan dengan negara produsen lainnya maka Indonesia menempati peringkat kedua setelah Vietnam. Indeks RCA Vietnam mengalami peningkatan tajam pada tahun 2004 hingga mencapai 114,13. Peningkatan tersebut terkait dengan peningkatan produksi lada Vietnam sebagai bentuk keberhasilan Vietnam dalam melakukan intensifikasi besar-besaran dan kebijakan subsidi yang diberikan pada petani lada setempat. Pada Tabel 7 juga dapat diketahui bahwa Malaysia merupakan negara pengekspor lada dengan daya saing yang paling rendah dibandingkan dengan lima negara lainnya. Tabel 7. Hasil Analisis RCA Lima Negara Eksportir Lada Tahun 2001-2006 No. Negara Indeks RCA 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1. Indonesia 21,23 22,71 24,29 16,98 15,35 14,37 2. Brazil 12,12 14,09 12,35 12,58 8,89 11,16 3. Malaysia 5,97 5,26 4,52 4,42 4,42 3,92 4. Vietnam 72,30 95,69 82,59 114,13 106,11 96,68 5. India 9,13 8,56 5,15 4,88 5,32 8,22 Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics database, 2007 http://unstats.un.org/unsd/comtrade8 dan International Pepper Community (IPC), 2006. www.ipcnet.org. Diakses 16 Februari 2008. Diolah. Dari Tabel 8 juga dapat dilihat bahwa pada tahun 2001 hingga 2006, pangsa pasar lada Indonesia cenderung mengalami penurunan. Penurunan tersebut juga terkait dengan penurunan nilai ekspor lada Indonesia. Vietnam merupakan negara yang memiliki pangsa pasar terbesar dengan pangsa pasar tertinggi mencapai 35,57 persen pada tahun 2005 meskipun pada tahun 2006 pangsa pasarnya mengalami penurunan tetapi Vietnam masih menguasai pasar lada dunia hingga sekitar 30 persen. Di antara negara eksportir lainnya Malaysia memiliki pangsa pasar terendah. Sementara itu, pangsa pasar Brazil dan India dari tahun 2005 ke 2006 meningkat dari 8,89 dan 5,32 menjadi 13,69 persen dan 9,26 persen. Indeks RCA Brazil pada tahun 2006 lebih rendah dibandingkan dengan indeks RCA Indonesia tetapi Brazil memiliki pangsa pasar yang lebih besar daripada pangsa pasar lada Indonesia. Hal ini terjadi, karena dalam perhitungan RCA yang menghitung ekspor suatu komoditas negara tertentu dibandingkan dengan total ekspor negara tersebut, maka negara yang jumlah ekspornya relatif sama dengan negara lain namun total ekspornya lebih besar justru mempunyai indeks RCA yang lebih kecil. Tabel 8. Pangsa Pasar (Market Share) Lima Negara Eksportir Komoditas Lada Tahun 2001-2006 No. Negara Pangsa Pasar (Market Share) (%) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1. Indonesia 20,47 19,05 20,90 12,57 13,58 12,89 2. Brazil 12,09 12,50 12,74 13,95 10,89 13,69 3. Malaysia 8,99 7,26 6,67 6,42 6,44 5,61 4. Vietnam 18,60 23,46 23,44 34,69 35,57 31,87 5. India 6,92 6,59 4,58 4,48 5,68 9,26 Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007 http://unstats.un.org/unsd/comtrade8 dan International Pepper Community (IPC), 2006. www.ipcnet.org. Diakses 16 Februari 2008. Diolah. Kuatnya daya saing dan tingginya pangsa pasar lada Indonesia di pasar internasional menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai posisi yang tangguh serta berpeluang untuk menjadi pemimpin dalam perdagangan lada di pasar internasional. Akan tetapi, seperti terlihat pada Tabel 8, pangsa pasar Indonesia memiliki kecenderungan menurun. Kecenderungan penurunan pangsa pasar tersebut mulai terlihat dari tahun 2004. Jika dibandingkan dengan Vietnam yang mempunyai potensi sumberdaya yang relatif sama, Indonesia tertinggal dalam hal produksi dan ekspor lada. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk mempertahankan pangsa pasar dan meningkatkan daya saing komoditas lada Indonesia di pasar internasional. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan ekspor lada dalam bentuk olahan (diversfikasi lada). Meskipun demikian, hasil pengukuran daya saing menggunakan RCA tidak dapat dijadikan patokan khusus untuk mengukur daya saing, karena masih banyak faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi keunggulan daya saing suatu negara yaitu dengan menggunakan Model Berlian daya saing internasional dari Michael Porter. 6.2 Analisis Keunggulan Kompetitif Lada Indonesia di Pasar Internasional: Analisis Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory) Analisis Teori Berlian Porter merupakan salah satu alat analisis untuk menilai daya saing komoditi lada Indonesia di pasar internasional. Teori ini membantu dan menganalisis faktor-faktor internal serta eksternal dalam industri pengusahaan lada Indonesia. Menurut teori ini, terdapat empat kondisi faktor penentu daya saing internasional, yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, eksistensi industri terkait dan pendukung, kondisi struktur, persaingan dan strategi perusahaan dalam negeri. Sebagai tambahan terdapat dua variabel luar yaitu peranan pemerintah dan peluang. 6.2.1 Faktor Sumberdaya Sumberdaya merupakan salah satu faktor penting dalam membangun suatu industri dan usaha. Ketersediaan sumberdaya juga sangat menentukan tingkat daya saing suatu komoditi atau produk yang diperdagangkan. Komponen sumberdaya yang merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pengusahaan lada antara lain sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal, ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumberdaya infrastruktur. Seluruh komponen sumberdaya tersebut saling berkaitan dan memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan proses pengembangan dan keberhasilan pengusahaan lada yang pada akhirnya dapat dijadikan acuan dalam mengukur daya saing lada Indonesia di pasar internasional. A. Sumberdaya Alam Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Kekayaan sumberdaya alam Indonesia meliputi sumberdaya hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya hayati yang memberikan kontribusi bagi pembangunan Indonesia adalah komoditas lada yang juga disebut sebagai King of Spices. Indonesia sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu negara penghasil rempah terutama lada. Hal ini dapat diartikan bahwa potensi lada Indonesia cukup besar untuk dikembangkan. Sumberdaya alam dalam pengusahaan lada dapat dilihat dari ketersediaan sumber daya lahan yang digunakan untuk pengembangan tanaman lada dan juga kondisi iklim dan geografis yang sesuai untuk pengusahaan lada. Perkebunan lada di Indonesia tersebar di 29 provinsi. Areal pengembangan lada sampai dengan tahun 2006 mencapai 192.604 hektar dengan produksi sebesar 77.534 ton. Pengusahaan lada di Indonesia paling banyak terdapat di Pulau Sumatera terutama di Propinsi Lampung dan Bangka Belitung karena kedua propinsi tersebut merupakan sentra produksi lada hitam dan lada putih. Pada tahun 2006, di Pulau Sumatera luas areal lada berdasarkan tanaman menghasilkan mencapai 77.718 hektar dengan produksi sebesar 45.472 ton. Luas areal tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 82.222 hektar dengan produksi mencapai 45.890 ton (angka sementara). Propinsi Lampung merupakan propinsi yang mempunyai luas areal dan produksi lada terbesar jika dibandingkan dengan propinsi penghasil lada lainnya. Luas area pengusahaan lada pada tahun 2006 di Lampung sebesar 44.476 hektar dengan produksi mencapai 21.573 ton. Akan tetapi, pengusahaan lada di Sumatera semuanya merupakan perkebunan rakyat. Selain di Sumatera, pengusahaan lada juga banyak terdapat di Kalimantan dan Sulawesi dengan luas area sebesar 18.567 dan 15.766 hektar. Untuk wilayah Kalimantan, pengusahaan lada melibatkan peran perkebunan swasta walaupun dengan jumlah yang sangat kecil yaitu sebesar 17 hektar dengan produksi sekitar 11 ton. Namun demikian, luas area perkebunan lada yang dikelola oleh pihak swasta ini paling besar jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Tabel 9. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Lada Indonesia Menurut Pengusahaan Pada Tahun 2006 No. Wilayah Luas Areal Tanaman Produksi (ton) Menghasilkan (Ha) PR PBS PR PBS 1. Sumatera 77.718 0 45.472 0 2. Jawa 3.624 4 1.904 1 3. Nusa Tenggara 280 0 88 0 4. Kalimantan 18.550 17 20.079 11 5. Sulawesi 15.766 0 9.973 0 6. Maluku dan Papua 43 0 6 0 Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008 , Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Jenis tanaman lada yang ada di Indonesia cukup beragam. Di Indonesia terdapat sekitar 40 jenis tanaman lada. Varietas atau kultivar lada yang umumnya ditanam dan diusahakan terdiri dari enam kultivar yaitu Bulok Belantung, Jambi, Kerinci, Lampung Daun Lebar (LDL), Bangka (Muntok) and Lampung Daun Kecil (LDK). Selain itu, Indonesia juga memiliki keunggulan dalam mengembangkan tujuh varietas yang tahan terhadap penyakit yaitu Petaling 1, Petaling 2, Natar 1, Natar 2, Choenuk, LDK, dan Bengkayang. Komoditi lada Indonesia juga sudah mempunyai brand yang sudah lama dikenal dalam perdagangan lada internasional yakni Lampung Black Pepper dan Muntok White Pepper. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa keunggulan yang dimiliki sumberdaya lada Indonesia merupakan salah satu peluang dalam meningkatkan ekspor dan produksi lada Indonesia sehingga mampu menyaingi Vietnam dan kembali menjadi negara pengekspor dan produsen lada terbesar dunia. B. Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor sumberdaya yang sangat penting dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan pengusahaan serta daya saing lada Indonesia di pasar internasional. Sumberdaya manusia merupakan faktor penggerak dalam menjalankan aktivitas dan sumberdaya lainnya dalam pengusahaan lada. Pada pengusahaan lada, peran sumberdaya manusia dapat dilihat dari ketersediaan dan jumlah penyerapan tenaga kerja, serta kualitas tenaga kerja yang mendukung pengusahaan lada tersebut. Perkebunan lada merupakan salah satu sektor pertanian yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini mengingat sebagian besar usaha perkebunan lada di Indonesia terdiri dari perkebunan rakyat. Berdasarkan data pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 jumlah petani dan tenaga kerja yang diserap oleh perkebunan rakyat relatif tetap dan sedikit mengalami peningkatan. Menurut Departemen Pertanian (2006), usahatani lada mampu menghidupi sejumlah 1,6 juta orang apabila 1 KK diasumsikan terdiri dari 5 anggota keluarga. Jumlah tersebut belum termasuk masyarakat yang terlibat dalam perdagangan dan industri perladaan. Tabel 10. Jumlah Petani Pada Perkebunan Rakyat Lada Menurut Wilayah Pada Tahun 2004-2007 (KK) No. Wilayah Tahun 2004 2005 2006 2007* 1. Sumatera 162.409 178.459 176.183 180.829 2. Jawa 56.411 54.243 54.874 56.190 3. Nusa Tenggara 2.431 2.352 1.753 2.001 4. Kalimantan 38.405 39.842 40.189 40.910 5. Sulawesi 53.167 55.104 50.550 52.510 6. Maluku dan Papua 143 212 237 285 7. Total Nasional 312.970 330.212 323.785 332.725 Sumber: Statistik Perkebunan Lada Indonesia 2004-2008, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007 Keterangan: (*) Angka sementara Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa jumlah petani lada pada periode 2004 hingga 2007, cenderung mengalami sedikit peningkatan walaupun pada tahun 2006 sempat menurun menjadi sebanyak 323.785 KK petani. Namun, pada tahun 2007 jumlah petani lada kembali meningkat dengan jumlah 332.725 KK. Jumlah petani lada yang ada di Indonesia paling banyak terdapat di Sumatera. Hal ini mengingat bahwa sentra produksi lada di Indonesia terdapat di Propinsi Lampung dan Bangka Belitung. Propinsi Lampung mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar yaitu sebanyak 106.331 KK pada tahun 2006 sedangkan pada tahun yang sama jumlah petani lada yang ada di Propinsi Bangka Belitung adalah sejumlah 28.112 KK. Banyaknya jumlah petani dalam perkebunan rakyat lada belum sepenuhnya ditunjang dengan kualitas sumberdaya manusia yang baik. Kualitas tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengusahaan tanaman lada ditentukan oleh kemampuan petani dalam menerapkan dan memanfaatkan teknologi serta teknik penanaman yang baik. Menurut keterrangan dari Departemen Pertanian dan International Pepper Community (2008) menyatakan bahwa dalam hal penggunaan dan penerapan teknologi pada pengusahaan lada sudah cukup baik yang ditandai dengan adanya pelatihan dan penyuluhan yang sudah diberikan oleh Departemen Pertanian. Akan tetapi, sebagian besar petani lada belum mampu memanfaatkan dan melaksanakan secara maksimal terutama dalam hal seleksi benih dan belum menggunakan bibit unggul dimana sebagian besar petani masih mengelola usahatani lada secara tradisional yang sangat terkait dengan keterbatasan permodalan petani. Selain petani, sumberdaya manusia lainnya yang dapat mendukung dan terlibat dalam pengusahaan serta perdagangan lada antara lain pedagang dan eksportir. Pedagang dalam hal ini lebih tepatnya pedagang pengumpul yang berperan menyalurkan lada hingga sampai ke eksportir dimana pedagang pengumpul ini terdapat di kecamatan dan kabupaten serta propinsi. Sementara itu, eksportir berperan sebagai penyampai komoditi lada ke konsumen yang berada di luar daerah produsen. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (2008), saat ini eksportir lada di Indonesia berjumlah 51 eksportir yang berada di Jakarta, Lampung, dan Pangkal Pinang. Ketersediaan sumberdaya manusia yang ada di atas sudah mampu mendukung peningkatan daya saing lada Indonesia di pasar internasional tetapi kualitas sumberdaya manusia yang ada perlu ditingkatkan sehingga produktivitas dan kualitas lada Indonesia dapat meningkat yang juga akan meningkatkan daya saing lada Indonesia di pasar dunia. C. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan danTeknologi Pada sub bab di atas telah dijelaskan bahwa sistem budidaya lada Indonesia sebagian besar berupa perkebunan rakyat. Akan tetapi, selain perkebunan rakyat budidaya lada di Indonesia juga diusahakan secara besar oleh perusahaan swasta. Tidak seperti komoditi perkebunan utama lainnya, budidaya lada tidak ada yang dikelola oleh perusahaan besar negara. Dalam hal penerapan teknologi maju khususnya dilakukan oleh perusahaan besar swasta yang tersebar di Kalimantan dan Sulawesi. Adapun contoh penerapan teknologinya adalah pada saat pengolahan lanjutan lada. Pengolahan lanjutan ini biasanya dilakukan oleh eksportir. Teknologi yang digunakan dalam pengolahan lanjutan ini adalah ketika lada yang sudah dipetik dan ditimbang dibersihkan dari kotoran dengan memasukkan lada ke dalam mesin pembersih yang disebut Aspirator. Selain Aspirator, alat yang digunakan untuk membersihkan lada adalah dengan menggunakan Brushing Machine untuk menyikat. Sementara itu, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian telah melakukan pengkajian dan penerapan teknologi budidaya tanaman lada yang dilakukan di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung8. Beberapa teknologi yang telah dikaji dan dimasyarakatkan ke petani antara lain: (a) teknologi pemberian hormon (zat pengatur tumbuh), (b) teknologi pemupukan, (c) teknologi penggunaan tajar (Tiang. rambat), (d) teknologi naungan/peneduh, dan (e) teknologi pemberian mulsa. Dengan adanya kegiatan ini akan dapat 8 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . 2002. Pengembangan Teknologi Budidaya Tanaman Lada, http://www.bppt.go.id. Diakses tanggal 14 Maret 2008. mengembalikan predikat Indonesia sebagai produsen dan pengekspor lada nomor satu dunia. Pengembangan teknologi yang telah diuraikan di atas tidak datang dengan sendirinya tanpa penguasaan ilmu pengetahuan baik pengetahuan ilmiah maupun pengetahuan teknis. Petani lada yang ada di Indonesia sangat membutuhkan ilmu dan pengetahuan yang benar mengenai produksi, pengolahan, pemasaran, basis data, dan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya untuk dapat meningkatkan daya saing produk lada Indonesia di pasar dunia. Peran kelembagaan sangat menentukan dan mendukung adanya ketersediaan pengetahuan dan informasi tersebut. Lembaga penelitian memegang peranan penting dalam memberikan pendampingan dan bimbingan serta inovasi teknologi dalam peningkatan daya saing komoditi lada Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi tersebut, berdasarkan SK Menteri Pertanian tahun 2006 dibentuk Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri) yang berada di lingkungan Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Di tingkat daerah lembaga terkait dan menangani hal yang terkait dengan penelitian dan pengetahuan lada adalah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Dinas Pertanian Daerah. Salah satu lembaga internasional yang terkait dengan perladaan nasional dan dunia adalah International Pepper Community (IPC) yang berada di bawah PBB. Pada awanya IPC didirikan oleh tiga negara produsen lada dunia yaitu Indonesia, Malaysia dan India pada tahun 1971. Sampai sekarang, IPC sudah beranggotakan enam negara produsen utama lada yaitu Indonesia, India, Brazil, Malaysia, Thailand, Sri Lanka dan terakhir Vietnam. Tujuan dari didirikannya IPC adalah sebagai berikut: 1. Mengkoordinir dan meningkatkan penelitian tentang aspek-aspek teknis dan ekonomis produksi, penelitian tentang penyakit- penyakit tanaman lada, dan perkembangan daya tahan terhadap penyakit. 2. Mempermudah penukaran informasi tentang program-program dan kebijaksanaan terutama berkaitan dengan aspek-aspek produksi. 3. Mengembangkan program promosi untuk menambah konsumsi di pasaran tradisional maupun pasaran baru. 4. Meningkatkan dan memperluas penelitian atas pemakaian produk baru dari lada (pepper products). 5. Melakukan tindakan bersama untuk mengurangi hambatan tarif dan non-tarif maupun meniadakan hambatan lainnya dalam perdagangan. 6. Mengkoordinir standar-standar mutu sehingga memperlancar pemasaran internasional. 7. Mengadakan peninjauan secara kontinyu terhadap perkembanganperkembangan supply, permintaan dan harga-harga lada. 8. Mengetahui tentang sebab-sebab dan akibat-akibat dari perubahanperubahan harga lada dan mengusulkan pemecahan yang tepat. 9. Memperbaiki informasi statistik dan lainnya mengenai produksi, konsumsi, perdagangan dan harga-harga lada, termasuk teknik- teknik produksi dan ramalan konsumsi. 10. Melakukan dan menjalankan kegiatan-kegiatan dan fungsi-fungsi lainnya yang dianggap baik bagi kepentingan perekonomian dunia lada Di tingkat ASEAN, juga terdapat organisasi perladaan yaitu National Focal Working Group (NFPWG) dengan anggota Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand. Organisasi tersebut ditujukan untuk meningkatkan kerjasama baik dalam hal penelitian maupun perdagangan negara produsen lada yang ada di kawasan Asia tenggara. Indonesia juga mempunyai lembaga yang dibentuk oleh para eksportir dan didukung oleh pemerintah yang dinamakan sebagai Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI). AELI dibentuk pada bulan Agustus 1973. Saat ini anggota AELI terdiri dari 51 eksportir yang berada di Lampung, Jakarta dan Pangkal Pinang. Lembaga ini berfungsi untuk memberikan informasi dan data tentang perkembangan perdagangan lada Indonesia dan dunia, seperti informasi tentang jumlah panen, harga permintaan impor, dan informasi penting lainnya yang ditujukan untuk para eksportir yang tergabung dalam AELI. Di tingkat petani lada, juga terdapat lembaga yang berfungsi sebagai wadah petani lada yang ada di daerah untuk memperoleh informasi mengenai produksi, pemasaran, perdagangan, harga, dan aspek penting lainnya yang ditujukan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani lada Indonesia. Lembaga tersebut dikenal dengan nama Asosiasi Petani Lada Indonesia (APLI) yang terbentuk di tingkat provinsi (sebanyak 7 provinsi) dan di tingkat kabupaten (sebanyak 7 kabupaten). Sumber IPTEK lainnya dapat berasal dari perguruan tinggi, media, dan jurnal-jurnal penelitian melalui penelitian mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan budidaya ataupun aspek sosial ekonomi. Dalam hal basis data peranan lembaga statistik seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia dan Direktorat Jenderal Perkebunan juga penting dan dibutuhkan dalam mengolah data statistik perkebunan lada. D. Sumberdaya Modal Modal merupakan salah satu faktor penting dalam pengusahaan komoditi lada untuk menjamin keberlangsungan usahatani lada. Namun, saat ini bagi sebagian besar petani lada di Indonesia, permodalan merupakan salah satu yang menjadi permasalahan dan kendala dalam pengembangan pengusahaan lada. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2008), modal usaha yang dimiliki petani untuk melakukan budidaya secara baku teknis masih terbatas dimana belum adanya skim kredit khusus untuk pembiayaan usaha lada terutama masih kecilnya peran pihak perbankan sebagai penyedia kredit dan memberikan bantuan modal. Pada umumnya lembaga permodalan seperti bank enggan memberikan modal karena menganggap bahwa para petani yang meminjam modal pada bank tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk segera mengembalikan modal yang diberikan tepat waktu. Penyebab lain yaitu mengenai sifat dasar produk pertanian berupa barang yang hasil produksinya tidak pasti atau tergantung pada keadaan alam. Selain itu, terdapat keengganan dari petani untuk meminjam pada lembaga perbankan karena rumitnya prosedur yang harus ditempuh. Hal ini menjadi alasan bagi sebagian besar lembaga permodalan untuk tidak memberikan bantuan modal karena takut modal yang diberikan tidak dapat kembali dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan atau dikembalikan dalam jangka waktu yang lama. Biaya untuk pembangunan sebuah kebun lada terdiri atas biaya pembelian lahan, biaya pembelian bibit, biaya pembelian peralatan pertanian (cangkul, koret, dan golok), biaya penanaman, dan biaya perawatan. Biaya investasi berupa biaya investasi atas pembukaan, persiapan dan penanaman yang dibutuhkan untuk usahatani lada adalah sekitar Rp. 29.762.5009. Biaya-biaya ini ditutupi dengan modal pribadi petani. Penggunaan modal pribadi ini merupakan implikasi dari sulitnya petani mendapat akses untuk memanfaatkan jasa lembaga keuangan. Selain modal sendiri, petani lada juga memperoleh modal melalui pedagang pengumpul. Di Bangka dikenal adanya sistem kontrak pertanian antara petani sebagai borrower dan pedagang pengumpul sebagai lender yang dilakukan atas dasar kekerabatan dan kesepakatan kedua pihak tanpa ikatan formal tertulis (Marwoto, 2003). Modal yang dipinjam petani pada sistem ini biasanya digunakan untuk membeli pupuk dan obat-obatan sehingga bentuk modal yang dipinjam sebagian besar petani (93,33 persen) pada pedagang pengumpul adalah berupa pinjaman sarana produksi. Pengembalian modal adalah saat musim panen, dimana petani berkewajiban menjual lada kepada pedagang pengumpul, dan pengembalian modal diperhitungkan dengan jumlah lada yang dijual setelah dikonversi dengan bunga yang ditetapkan pedagang pengumpul. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek permodalan belum mampu mendukung peningkatan daya saing lada Indonesia di pasar internasional. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan pemerintah dan pihak-pihak terkait yang dapat menjadikan aliran modal untuk pengembangan usaha perkebunan lada yang 9 Bank Indonesia. 2004. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Modal Usaha Kecil Perkebunan Lada. www.bi.go.id/sipuk/. Diakses tanggal 19 Februari 2008. terhambat dapat menjadi lebih baik, sehingga para petani perkebunan rakyat dapat menjadi lebih produktif. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi da daya saing komoditas lada nasional di pasar internasional. E. Sumberdaya Infrastruktur Faktor sumberdaya lainnya yang mendukung keunggulan daya saing lada Indonesia adalah tersedianya infrastruktur. Sumberdaya infrastruktur meliputi sarana dan prasarana yang digunakan dalam pengusahaan lada. Ketersediaan sarana dan prasarana yang baik dapat meningkatkan daya saing lada Indonesia. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam budidaya dan pemasaran lada antara lain sarana dan prasarana pembenihan, penanganan pasca panen seperti alat pengering dan sortasi, jalan dan sarana transportasi, pelabuhan dan telekomunikasi. Pelabuhan sebagai sarana pendukung dalam pemasaran lada terdapat di Propinsi Bangka Belitung (Pelabuhan Pangkal Pinang), Lampung (Pelabuhan Panjang) dan DKI Jakarta (Pelabuhan Tanjung Priuk). Sarana telekomunikasi berfungsi dalam menyampaikan informasi dan perkembangan perdagangan lada terutama informasi harga. Untuk mengetahui perkembangan harga tersebut digunakan berbagai sarana seperti radio dan surat kabar. Perkebunan lada yang ada di Indonesia belum sepenuhnya memiliki infrastruktur yang memadai khususnya sarana dan prasarana pembenihan. 6.2.2 Kondisi Permintaan Kondisi permintaan lada baik permintaan domestik dan luar negeri juga merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan daya saing lada Indonesia di pasar dunia. Perdagangan lada Indonesia umumnya lebih berorientasi ekspor daripada untuk konsumsi domestik. Permintaan domestik lada Indonesia dapat dilihat dari besarnya konsumsi lada (Tabel 11). Menurut keterangan yang diberikan oleh Bapak Nur Haryanto dari IPC (2008), menyatakan bahwa saat ini permintaan domestik lada sedang mengalami peningkatan yang ditandai dengan sudah banyaknya produk olahan lada yang dijumpai di hypermarket seperti Makro, Carrefour, dan Giant. Tabel 11. Perkembangan Konsumsi Lada Indonesia Pada Tahun 1997-2003 No. Tahun Konsumsi (ton) 2. 1997 12.432 3. 1998 13.020 4. 1999 12.530 5. 2000 16.495 6. 2001 14.870 7. 2002 15.473 8. 2003 12.000 9. Rata-rata 13.381 Sumber: International Pepper Community (IPC), 2004 Indonesia sebagai salah satu negara produsen lada yang lebih berorientasi ekspor, juga mengimpor sejumlah produk lada. Indonesia sebagian besar mengimpor produk olahan atau lanjutan lada karena industri olahan lada belum mampu berkembang dengan baik. Apabila dibandingkan dengan negara produsen lainnya, India merupakan negara pengimpor lada terbanyak dengan rata-rata volume impor sebesar 11.864 ton (IPC, 2004). Impor lada sebagian besar diserap oleh industri pengolahan lada, salah satunya pabrik minyak lada untuk selanjutnya diekspor kembali ke negara tujuan akhir. Negara produsen lainnya juga mengimpor lada seperti yang terdapat pada Tabel 12. Pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa selama tahun 2001 hingga tahun 2004 jumlah impor lada Indonesia berflukutuasi dan impor tertinggi terjadi pada tahun 2001 sebesar 3.274 ton. Jumlah tersebut jika dibandingkan pada tahun 2004 mengalami penurunan yang sangat besar menjadi 343 ton. Apabila dibandingkan dengan negara produsen lainnya India merupakan negara yang mengimpor lada dalam jumlah terbanyak dan selama periode tahun 2001 hingga tahun 2004 impor lada India selalu mengalami peningkatan. Tabel 12. Perkembangan Impor Lada Beberapa Negara Produsen Lada di Dunia Pada Tahun 2000-2004 (dalam Ton) No. Negara Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 1. Indonesia 707 3.274 2.283 249 343 2. India 6.045 6.325 15.635 14.584 16.731 3. Brazil 156 211 232 1.206 202 4. Malaysia 2.806 2.560 2.779 2.965 4.394 Sumber: IPC, 2004 Tingkat permintaan masyarakat Indonesia terhadap lada juga akan dipengaruhi oleh harga lada yang terbentuk di pasar domestik. Dari tahun 2001 hingga 2006, harga lada di pasar domestik berfluktuasi baik untuk lada hitam maupun lada putih (Tabel 13). Selama periode 2001-2006, rata-rata harga tahunan komoditi lada di dalam negeri berkisar antara Rp 22.589/kg sampai dengan Rp 46.397/kg untuk lada putih sedangkan lada hitam memiliki kisaran harga antara Rp 18.593/kg sampai Rp 40.035/kg. Harga rata-rata tahunan tertinggi pada komoditi lada terjadi pada tahun 2001 masing-masing sebesar Rp 46.397/kg untuk lada putih dan Rp 40.035/kg untuk lada hitam. Sementara itu, pada bulan Maret minggu ketiga tahun 2007 harga lada di berbagai pusat perdagangan di Indonesia dan pasar tradisional mengalami peningkatan dengan harga lada bijian mencapai Rp 58.000/kg10. Tabel 13. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Perkembangan Harga Rata-Rata Tahunan Komoditi Lada di Pasar Domestik Pada Tahun 2001-2006 Tahun Harga Rata-Rata (Rp/Kg) Lada Putih Lada Hitam 2001 46.397 40.035 2002 27.104 20.853 2003 22.589 32.023 2004 27.956 18.593 2005 22.956 20.592 2006 30.620 22.395 Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007 Selain kondisi permintaan domestik, permintaan luar negeri atau permintaan ekspor lada juga dapat menentukan daya saing komoditi lada Indonesia di pasar internasional. Negara-negara yang menjadi tujuan ekspor dan konsumen utama lada Indonesia adalah Amerika Serikat, Singapura, Uni Eropa seperti Jerman, Belanda,dan Hungaria, serta negara Jepang, Rusia, Korea, dan Pakistan. Ekspor lada yang dilakukan untuk memenuhi permintaan negara konsumen, sebagian besar masih dalam bentuk lada mentah. Indonesia belum mengekspor produk olahan karena produk olahan tersebut belum berkembang baik dan masih dalam proses memulai pengembangan. Produk olahan lada umumnya diekspor oleh negara maju yang mengimpor lada mentahnya dari Indonesia. Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa Singapura dan Amerika Serikat merupakan negara pengimpor utama lada asal Indonesia. 10 Departemen Pertanian Maret 2007. Harga Komoditi Perkebunan Mulai Membaik. http://agribisnis.net/. Diakses tanggal 10 April 2008. Tabel 14. Nilai Ekspor Lada Indonesia ke Beberapa Negara Tujuan Tahun 1997-2006 No. Tahun Nilai Ekspor Lada ke Beberapa Negara Tujuan (dalam US$) Amerika Singapura Belanda Jerman Jepang Serikat 1. 1997 46.231.048 77.247.032 5.522.371 10.135.302 6.804.162 2. 1998 59.857,892 77.370.624 11.186.817 7.713.378 4.192.891 3. 1999 38.927.044 111.075.014 13.247.197 4.111.050 5.375.983 4. 2000 73.534.278 73.934.841 20.759.222 4.597.817 4.592.654 5. 2001 27.335.596 42.381.936 9.008.576 2.624.138 1.945.194 6. 2002 26.137.296 42.740.240 4.367.917 2.485.080 2.099.668 7. 2003 27.167.246 40.645.184 4.827.738 4.071.864 2.729.519 8. 2004 17.280.343 18.170.643 2.836.625 3.927.521 2.770.350 9. 2005 17.887.191 21.772.250 3.918.146 3.056.156 2.710.531 10. 2006 28.031.319 22.200.280 3.753.400 5.345.098 3.049.663 Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007. http://unstats.un.org/unsd/comtrade, diakses 7 April 2008 Ekspor lada Indonesia ke negara konsumen juga harus disesuaikan dengan peraturan yang ada di masing-masing negara pengimpor sehingga permasalahan yang timbul dalam pemasaran ke luar negeri jarang terjadi. Lada yang diekspor harus memenuhi kriteria mutu yang sudah ditetapkan dimana untuk Indonesia konsep mutu lada berdasarkan pada SNI (Standar Mutu Nasional) tahun 1995 yang masih berlaku sampai sekarang. Konsep mutu SNI menggolongkan lada hitam dan lada putih menjadi dua jenis mutu, yaitu mutu I dan mutu II. Kemudian, untuk menghadapi adanya liberalisasi perdagangan dan dalam rangka melindungi konsumen, juga diperlukan suatu standar mutu produk yang sesuai dengan ketentuan tersebut yang juga berdasarkan pada ketentuan mengenai Technical Barrier to Trade dan Sanitary and Phytosanitary oleh WTO (World Trade Organization). Oleh karena itu, juga terdapat konsep standar mutu lada IPC yang lebih bersifat makro yang ditujukan untuk lada putih dan lada hitam. Spesifikasi dan syarat mutu lada hitam dan lada putih SNI serta konsep standar mutu lada IPC dapat dilihat pada Lampiran 4. Negara tujuan yang mengkonsumsi lada Indonesia juga memiliki standar kualitas tertentu yang telah ditetapkan seperti lada kualitas ASTA (American Standard Trade Association) yang merupakan lada kualitas I dan FAQ (Fair Average Quality) sebagai lada kualitas II. Pengolahan lada menjadi standar kualitas tersebut dilakukan oleh eksportir. Guna memenuhi standar ekspor, eksportir melakukan kegiatan pengeringan dan sortasi untuk menghasilkan kualitas lada putih dengan kualitas FAQ dan ASTA yang maksimal hanya mengandung kadar air 12 persen. Sementara itu, untuk lada hitam kualitas ASTA membutuhkan bahan baku lada terbaik dengan kadar air minimal 19 persen dan bahan baku yang tidak memenuhi syarat tersebut dapat diolah menjadi lada kualitas FAQ. Sistem perdagangan lada Indonesia pada saat ini berupa sistem dimana komoditi lada yang diperdagangkan langsung dijual pada negara konsumen dan tidak ada lagi dalam bentuk tata niaga perdagangan lada. Sebelumnya pada tahun 1972 hingga tahun 1989, dalam kebijakan tata niaga lada terdapat pemusatan penjualan lada melalui perwakilan UNIPRO (perusahaan pemerintah Indonesia yang berpusat di Amsterdam untuk pemasaran lada putih) dan CITC (Central Indonesian Trading Company), perusahaan pemerintah untuk pemasaran lada hitam yang berpusat di New York. Selain itu, eksportir Indonesia yang ingin mengekspor lada ke beberapa negara konsumen juga ada yang melalui negara perantara yaitu Singapura. Dari keseluruhaan uraian di atas, apabila dilihat dari segi permintaan baik permintaan domestik maupun permintaan luar negeri, Indonesia memiliki keunggulan dan potensi yang besar dalam perdagangan lada internasional. Kondisi permintaan tersebut dapat memberikan dukungan terhadap peningkatan daya saing komoditi lada Indonesia di pasar dunia walaupun masih terdapat sedikit kendala dalam proses peningkatannya. Apabila kendala yang ada tersebut dapat diatasi dengan baik maka posisi Indonesia sebagai salah satu produsen dan eksportir utama lada di dunia akan semakin kuat terutama dalam menghadapi liberalisasi perdagangan. 6.2.3 Eksistensi Industri Terkait dan Industri Pendukung Faktor lain yang sangat menentukan keunggulan lada nasional adalah keberadaan idustri terkait dan mendukung daya saing komoditas tersebut di pasar internasional yang bersifat kompetitif. Industri yang terkait dan industri pendukung produksi lada antara pengadaan benih dan sarana prasarana produksi serta industri pengolahan. Namun, dalam kenyataanya peran industri tersebut dalam mendukung pengusahaan lada di Indonesia masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya industri perbenihan yang memasok benih dan bibit unggul pada petani. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan, sebenarnya Departemen Pertanian sudah melakukan kerjasama dengan BPTP dalam pengadaan serta penyuluhan mengenai bibit unggul pada petani. Selain itu, dalam pengadaan bibit unggul pada petani rakyat juga pernah mendirikan waralaba benih. Namun, semua program tersebut tidak dapat berjalan dengan efektif karena karakteristik petani yang lebih memilih bibit dari kebun sendiri karena lebih mudah dalam pengadaan dan biaya. Petani memperoleh bibit tanaman lada dari kebun sendiri dan kebun tetangga berupa stek batang atau ranting. Pemilihan bibit dilakukan dengan melihat pohon inang. Jika pohon inang tumbuh subur dan berbuah lebat maka bibit yang diambil dari inang dapat dipastikan akan bersifat sama. Industri pendukung seperti industri pengolahan juga mengalami kendala seperti halnya dalam pengadaan bibit unggul. Indonesia sebagai salah satu negara produsen utama lada dunia masih mengandalkan ekspor lada mentah dalam meningkatkan daya saingnya. Dengan ketersediaan lada mentah yang besar tersebut Indonesia dapat meningkatkan nilai tambah produk lada nasional dengan melakukan diversifikasi pada lada mentah tersebut yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan daya saing lada Indonesia di pasar dunia. Negara produsen lain yang sudah memiliki industri pengolahan lada yang sudah berkembang baik adalah India yang telah mengekspor minyak lada dan olahan lada hijau. Akan tetapi, di Indonesia pengembangan industri pengolahan lada masih dan baru dijalankan. Hal ini terjadi karena erat kaitannya dengan kemampuan sumberdaya manusia dan penguasaan teknologi serta peran pemerintah dan lembaga terkait yang belum maksimal. Di Propinsi Lampung, pengolahan lada lebih bervariatif diantaranya dijadikan lada hitam, lada putih, lada hijau, lada bubuk, minyak lada dan Oleoresin lada, dengan produk utama (lada hitam dan putih) serta produk sampingan (lada enteng, menir dan debu). Namun, pengembangan tersebut belum memberikan kontribusi ekspor yang besar. Hal yang cukup menggembirakan adalah di Indonesia yang baru mulai mengembangkan olahan lada terdapat satu perusahaan yang mengembangkan produk olahan lada yaitu PT. Yummy Food Utama yang sudah mampu menyaingi produk olahan lada yang berasal dari luar negeri. Produk olahan tersebut bernama ”Green Pepper Cheese” dan ”Black Pepper Cheese” yang dijual di hypermarket besar di kota-kota besar di Indonesia. Perusahaan tersebut menghasilkan produk keju yang dengan campuran rasa lada hijau dan lada hitam yang berlokasi di Jakarta dan telah mendapat sambutan yang sangat bagus dari konsumen yang sebagian besar adalah kalangan kelas menengah ke atas (Seminar Rempah Nasional, 2007). Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa keberadaan industri terkait dan pendukung dalam pengusahaan lada di Indonesia belum sepenuhnya mampu mendukung peningkatan daya saing lada. Lambannya pengembangan dan peningkatan keberadaan industri terkait dan pendukung tersebut dapat menghambat proses peningkatan daya saing lada secara global. Akan tetapi, peningkatan peran industri terkait dan pendukung komoditi lada Indonesa ini baru dan sedang dikembangkan untuk peningkatan lebih lanjut. 6.2.4 Struktur, Persaingan, dan Strategi Keunggulan kompetitif pada dasarnya lebih ditekankan pada kemapuan perusahaan, industri atau negara untuk menentukan posisinya (strategic positioning) secara tepat diantara para pesaingnya. Dalam kaitannya dengan keunggulan kompetitif ini posisi suatu perusahaan, industri, atau negara ditentukan oleh lima faktor persaingan yaitu: masuknya pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawar menawar pembeli, daya tawar menawar pemasok dan persaingan diantara peserta persaingan yang ada (Porter, 1998). Struktur pasar lada dunia yang berbentuk oligopoli menunjukkan persaingan yang semakin ketat, yang ditandai dengan semakin banyaknya negara yang terlibat dalam perdagangan lada. Peningkatan tidak hanya terjadi pada jumlah negara pengekspor seperti yang diuraikan pada bab sebelumnya. Akan tetapi, permintaan oleh negara konsumen juga semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dunia. Untuk memenuhi permintaan dunia tersebut sangat tergantung oleh kemampuan atau ketersediaan pasokan lada dalam negeri. Oleh karena itu, setiap negara produsen dan eksportir lada di dunia akan bersaing untuk dapat meningkatkan pasokan lada masing-masing negara termasuk Indonesia. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, produksi lada Indonesia selama kurun waktu 2001-2006 cenderung mengalami penurunan. Penurunan produksi yang disebabkan oleh budidaya lada yang masih berskala kecil dengan modal terbatas tersebut akan mempengaruhi jumlah pasokan lada dalam negeri dimana pasokan lada juga akan mengalami penurunan. Keterbatasan pasokan lada ini tidak dapat mengimbangi peningkatan permintaan lada oleh negara konsumen. Jika pasokan lada nasional tidak mampu memenuhi permintaan lada dunia yang cenderung meningkat, maka pangsa lada Indonesia di pasar dunia akan menurun, yang berarti memperlemah kemampuan daya saing komoditas lada Indonesia di pasar internasional. Pihak eksportir yang bertindak sebagai pelaku perdagangan utama lada yang berfungsi menyalurkan produk lada ke negara konsumen, mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan luar negeri yang semakin meningkat. Berkurangnya pasokan lada nasional tersebut menimbulkan persaingan antara pihak eksportir untuk memperoleh pasokan lada dari petani. Ketika pasokan lada yang dibutuhkan eksportir ada yang tidak dapat terpenuhi oleh petani nasional, maka eksportir yang berskala besar ada yang menggunakan lada impor sebagai bahan baku dalam proses produksinya. Impor tersebut dilakukan sebagai salah satu dampak dari sentimen pasar. Sentimen pasar merupakan produk dan sikap seluruh pelaku pasar mulai dari petani lada, pedagang perantara, para importir, para spekulan, dan juga para negara konsumen (end users). Salah satu penyebab adanya sentimen pasar adalah transaksi short covering sales policy yang dilakukan oleh eksportir, yaitu menjual barang dahulu dan membeli kemudian (Nugroho, 2004). Dalam transaksi di atas, eksportir telah membuat kesepakatan waktu dan harga dengan importir, tetapi ketika hampir jatuh tempo harga di pasar lokal masih tinggi dari harga yang telah disepakati. Pada kondisi tersebut eksportir terpaksa membeli lada dengan harga yang tinggi dari pedagang besar. Namun, hal ini ditanggapi negatif oleh pedagang dengan menimbun dan menahan barang dengan anggapan bahwa harga lada yang akan dibeli oleh eksportir akan makin tinggi. Tindakan ini pun juga dilakukan oleh para pedagang besar lainnya secara berantai. Akibatnya, barang menjadi langka dan eksportir kesulitan untuk mendapatkan barang sehingga mereka biasanya melakukan impor dari negara lain dengan harga yang lebih murah dari harga lokal. Dengan demikian, lada lokal yang ditahan oleh pedagang besar menjadi tidak laku. Untuk menghindari kerugian maka para pedagang besar tersebut harus membeli lada lokal dengan harga yang jauh lebih murah yang juga diikuti oleh pedagang di bawahnya sehingga akhirnya petani menjadi korban, karena mereka tidak punya pilihan. Kekuatan pemasok merupakan faktor penentu selanjutnya. Faktor ini ditentukan oleh konsentrasi pemasok. Dalam kegiatan ekspor komoditas lada yang bertindak sebagai pemasok adalah petani. Pemasok yang ada yaitu petani belum sepenuhnya mampu memenuhi permintaan pengekspor. Dari segi kuantitas, petani lada sudah mampu memenuhi permintaan pengekspor tetapi dari segi kualitas belum sepenuhnya terpenuhi. Produk lada yang dipasok eksportir dari petani masih berupa lada mentah. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri terhadap produk olahan lada, maka Indonesia mengimpor produk olahan lada tersebut dari negara importir. Dengan demikian, akan menimbulkan persaingan antara pengusaha lada dalam negeri dengan importir lada luar negeri. Diferensiasi produk merupakan salah satu strategi yang diperlukan untuk merebut pasar. Strategi diferensiasi produk dapat meningkatkan nilai ekspor lada Indonesia karena salah satu produk lada yang permintaannya semakin meningkat adalah produk olahan lada. Faktor penentu persaingan lada adalah akses informasi yang mampu diperoleh perusahaan. Dalam liberalisasi perdagangan, akses informasi diperlukan untuk memenangkan persaingan. Para eksportir lada nasional perlu memperoleh informasi mengenai pasar yang potensial dan efektif. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah melalui pameran-pameran dagang baik di dalam negeri maupun di luar negeri. 6.2.5 Peran Pemerintah Dalam peningkatan daya saing komodidi lada di pasar internasional peranan pemerintah baik melalui Departemen Pertanian maupun Pemerintah Daerah cukup besar dan dibutuhkan dalam pengembangan tanaman lada mulai dari produksi hingga pasca panen. Kebijakan produksi yang sudah dilakukan oleh pemerintah antara lain Unit Pelaksana Proyek (UPP), Swadaya Berbantuan, Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Peremajaan, Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE), Rural Credit Project (RCP) dan Paket Intensifikasi Lada (PIL). Program-program tersebut berjalan antara tahun 1978-1985 dan tidak dilanjutkan karena tidak tersedianya dana maupun tingkat kemacetan yang tinggi. Dalam mengatasi masalah kurangnya penggunaan bbit unggul oleh petani maka pada tahun 2006, Pemerintah Propinsi Bangka Belitung menyediakan dua juta bibit unggul dimana bibit tersebut mendapat perlakuan khusus sehingga lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit11. Dalam kaitannya dengan proteksi output, pada tahun 2002 pemerintah meluncurkan program Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN). Program KIMBUN diberikan pada berbagai daerah yang disesuaikan dengan potensi komoditas perkebunan setempat. Propinsi Bangka Belitung sebagai salah satu sentra penghasil lada putih melalui Pemerintah Provinsi membangun kolam perendaman lada guna meningkatkan kualitas lada asalan petani. Pemerintah juga mngeluarkan kebijakan tentang perdagangan lada dalam rangka meningkatkan ekspor dan mempertahankan posisi Indonesia sebagai penegekspor utama lada dunia diantaranya : (1) pembatasan ekspor lada kualitas rendah melalui pembebanan pajak ekspor bagi lada kualitas rendah (10%) dan membebaskan beban pajak ekspor bagi lada kualitas ASTA dan FAQ, (2) pemusatan penjualan melaului perwakilan UNIPRO (perusahaan pemerintah Indonesia yang berpusat di Amsterdam untuk pemasaran lada putih) dan CITC (Central Indonesian Trading Company), perusahaan pemerintah untuk pemasaran lada hitam yang berpusat di New York, (3) mendorong terciptanya Asosiasi 11 Kompas 31 Juli 2006. Babel Sediakan Dua Juta Bibit Lada. http://indobic.or.id/berita_detail.php?id. Diakses tanggal 2 April 2008. Eksportir Lada Indonesia (AELI) agar pemasaran di dalam dan luar negeri berjalan efisien, (4) meningkatkan sistem pengendalian mutu ekspor lada, (5) memberikan potongan harga biaya pengangkutan jika pengapalan ekspor dilakukan secara langsung dari Indonesia, (6) memperluas jangkauan pemasaran baru di luar negeri, (7) membentuk Badan Pemasaran Lada Indonesia (BLPI) pada tahun 1969 dan (8) melalui SK Menteri Perdagangan November 1989 tentang kelonggaran bagi eksportir untuk mengekspor melalui trading house UNIPRO dan CITC. Selain itu, dalam perdagangan ekspor lada pemerintah juga membuat kebijakan melalui pembebanan pajak penjualan (PPN) sebesar 10% dan wajib pungut pajak penghasilan (PPH) sebesar 0,5% terhadap eksportir. Berbagai kebijakan yang pernah dibuat dan dijalankan oleh pemerintah di atas belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pada semester pertama tahun 2003 pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan menawarkan gagasan pendirian Kantor Pemasaran Bersama (KPB) untuk lada putih yang kemudian disambut baik oleh Pemerintah Propinsi Bangka Belitung dengan membuat Raperda tentang tata laksana perdagangan lada putih pada bulan Agustus dan September 2003. Tujuan didirikannya KPB adalah untuk stabilisasi harga dan kepastian usaha bagi petani produsen, dan memberikan sertifikasi kualitas lada putih. KPB ini merupakan salah satu cara untuk memangkas rantai pemasaran lada putih yang panjang yang melibatkan banyak perantara sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani lada. 6.2.6 Peran Peluang Peluang komoditi lada Indonesia agar dapat bersaing di pasar dunia masih terbuka dan cukup besar. Salah satu indikatornya adalah semakin meningkatnya permintaan lada baik lada hitam dan lada putih di dunia sejalan dengan peningkatan kebutuhan manusia. Salah satu peluang tersebut terlihat dari angka permintaan lada hitam dimana setiap tahun dunia membutuhkan sekitar 250.000 ton lada hitam sedangkan negara produsen belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut karena produksi lada yang belum optimal12. Selain itu, Indonesia masih memiliki pasar yang potensial bagi ekspor lada yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang. Indonesia sebagai salah satu produsen dan pemasok lada yang sudah memiliki brand lada hitam (Lampung Black Pepper) dan lada putih (Muntok White Pepper) di pasar internasional dapat memanfaatkan peluang tersebut dengan keunggulan yang dimiliki. Keunggulan tersebut adalah dari segi potensi produksi dan areal pengembangan yang didukung dengan kondisi geografis dan iklim yang sesuai yang apabila dikelola dengan baik maka Indonesia akan mampu memasok kebutuhan lada dunia yang semakin meningkat tersebut. Jika dilihat dari sisi perkembangan harga dunia, pengembangan lada juga cukup menjanjikan dimana dalam beberapa waktu terakhir harga lada dunia semakin meningkat terutama lada hitam dan lada putih. Harga lada hitam pada posisi Juni 2007 sebesar 3.856 dolar AS per metrik ton. Untuk lada putih harga pada Juni 2007 12 Kompas 6 September 2004. Pasar Luar Negeri Masih Sangat Terbuka. http://kompas.com/kompas-cetak/0409/06/teropong/. Diakses tanggal 2 April 2008. mencapai 5.158 US dolar per metirk ton, padahal pada akhir tahun 2006 lalu, harganya masih 1.995 dolar AS per metrik ton13. Liberalisasi perdagangan yang akan dihadapi perdagangan dunia secara tidak langsung juga memberikan peluang bagi komoditi lada Indonesia untuk peningkatan daya saingnya. Kondisi ini terkait dengan meningkatnya konsumsi dan kepedulian konsumen di negara maju terhadap aspek kesehataan, hygine, dan sanitasi yang sejalan dengan isu “food safety”. Kemudian, peningkatan kebutuhan industri dan obat-obatan seiring dengan kecenderungan masyarakat dunia untuk mengkonsumsi produk alami juga merupakan salah satu kesempatan bagi diversifikasi produk lada Indonesia. 13 Metro Bangka Belitung 8 Januari 2008. Pembatasan Kuota Lada, Siapa Diuntungkan? http://metrobangkabelitung.wordpress.com. Diakses tanggal 10 April 2008. VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dari hasil analisis yang telah dilakukan mengenai analisis daya saing komoditi lada Indonesia di pasar internasional, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: 1. Dari analisis Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi, struktur pasar dalam perdagangangan lada menunjuk ke arah struktur pasar oligopoli dengan tingkat konsentrasi pasar sedang. 2. Komoditi lada Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan lada di pasar internasional. Hal ini ditunjukkan melalui nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang lebih dari satu. Meskipun Indonesia memiliki keunggulan komparatif tetapi daya saing komoditi lada Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan Vietnam sebagai negara produsen dan eksportir lada nomor satu di dunia. Kondisi internal komoditi lada Indonesia memiliki keunggulan kompetitif pada faktor sumberdaya alam. Pada faktor sumberdaya manusia, ketersediaan dan peran sumberdaya manusianya cukup mendukung tetapi terdapat kekurangan dalam hal kualitas tenaga kerja terutama dalam pemanfaatan dan penerapan IPTEK serta bibit unggul yang belum maksimal. Selain itu, kondisi infrastruktur belum sepenuhnya memadai terutama sarana dan prasarana pembenihan. Kekurangan juga terdapat pada kondisi permodalan yang terbatas yang dapat dilihat dari masih kurangnya peran lembaga permodalan yang mau mendukung pengembangan pengusahaan lada. Dari sisi permintaan, komoditi lada Indonesia dapat memenuhi kebutuhan domestik dan konsumsi luar negeri. Komoditi lada Indonesia masih mempunyai kelemahan dari sisi industri terkait dan pendukung yang ditandai dengan belum adanya industri penangkar benih/bibit dan belum majunya industri olahan lada. Dalam persaingan dan struktur, terjadi persaingan yang ketat antara eksportir dan importir lada untuk memenuhi permintaan lada yang semakin meningkat. Strategi yang dikembangkan adalah diversifikasi produk lada. Kondisi eksternal komoditas lada yang memiliki keunggulan kompetitif antara lain peranan pemerintah yang telah mengeluarkan kebijakan mengenai penyediaan input faktor produksi, pemasaran dan perdagangan lada, dan standar mutu lada. Untuk peranan peluang, Indonesia sudah memiliki brand yang sudah dikenal di dunia yaitu Lampung Black Pepper dan Muntok White Pepper, peningkatan harga lada dunia serta meningkatnya konsumsi lada dunia. Selain itu, Amerika Serikat dan Uni Eropa masih merupakan pasar yang potensial bagi ekspor lada Indonesia. 7.2 Saran Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil analisis daya saing lada Indonesia di pasar internasional yaitu: 1. Untuk meningkatkan daya saing lada Indonesia, perlu adanya peningkatan kualitas dan kuantitas dari penjualan lada dengan mengembangkan dan meningkatkan ekspor lada dalam bentuk olahan (diversifikasi) sehingga dapat meningkatkan volume dan nilai ekspor lada. Salah satu caranya dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan dan bimbingan kepada petani dan industri pengolahan lada, penyediaan fasilitas, serta meningkatkan penelitian yang berkaitan dengan teknik dan proses pengolahan lada. 2. Meningkatkan produktivitas dalam negeri melalui perbaikan cara budidaya yang menggunakan benih unggul atau bersertifikat serta penanganan hama dan penyakit pada lada. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain dengan pembangunan dan pengembangan sumber benih, penelitian dan pelatihan untuk menemukan jenis dan varietas baru lada yang lebih unggul dan tahan terhadap hama dan penyakit. 3. Dalam mengatasi masalah permodalan dan pembiayaan usaha tanaman lada, pemerintah harus menjalin kerjasama dan melakukan pendekatan pada pihak perbankan agar perbankan mulai memberikan kredit khusus terhadap sektor lada. DAFTAR PUSTAKA AmosWEB Encyclonomic WEB*pedia. 2008. Four-Firm Concentration Ratio. http://www.AmosWEB.com, AmosWEB LLC. Diakses tanggal 16 Januari 2008. Anissa, Kristiana. 2006. Analisis Daya Saing Teh Hitam Indonesia di Pasar Internasional. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . 2002. Pengembangan Teknologi Budidaya Tanaman Lada, http://www.bppt.go.id. Diakses tanggal 14 Maret 2008. Bank Indonesia. 2004. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Modal Usaha Kecil Perkebunan Lada. www.bi.go.id/sipuk/. Diakses tanggal 19 Februari 2008. Departemen Pertanian. 2007. Road Map Komoditi Lada 2005-2025. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Departemen Pertanian. 2007. Harga Komoditi Perkebunan Mulai Membaik. http://agribisnis.net/. Diakses tanggal 10 April 2008. Departemen Pertanian. 2007. Kinerja Ekspor Impor Pertanian Indonesia Tahun 2006.www.agribisnis_deptan.go.id. Diakses tanggal 30 Januari 2008. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008. Departemen Pertanian. Jakarta. Edi Idris, Dede Kusuma dan Nur Haryanto. 2007. Panduan Seminar Nasional Rempah. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Bogor. Hasyim, Ali Ibrahim.1986. Kedudukan Komoditi Lada Indonesia di Pasar Internasional. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. International Pepper Community. 2004. Pepper Production Guide for Asia and The Pasific. www.ipcnet.org. Diakses tanggal 15 Maret 2008. International Pepper Community.2007. Producing Countries www.ipcnet.org. Diakses tanggal 15 Maret 2008. Statistics. International Pepper Community. 2007. World Pepper Statistics. www.ipcnet.org. Diakses tanggal 15 Maret 2008. Internet Center For Management and Business Administration. 2007. Herfindahl Index. www.quickmba.com. Diakses tanggal 15 November 2007. Internet Center For Management and Business Administration. 2007. Porter’s Diamond National Advantage. www.quickmba.com. Diakses tanggal 15 November 2007. Jumadi. 1991. Perdagangan Lada Hitam Indonesia di Pasar Internasional. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kompas 31 Juli 2006. Babel Sediakan Dua Juta Bibit Lada. http://indobic.or.id/berita_detail.php?id. Diakses tanggal 2 April 2008. Kompas. 6 September 2004. Pasar Luar Negeri Masih Sangat Terbuka. http://kompas.com/kompas-cetak/0409/06/teropong/.Diakses tanggal 2 April 2008. Laursen, Kield. 1998. Revealed Comparative Advantage and the Alternatives as Measures of International Specialisation No. 98-30. Department of Industrial Economics and Strategy / DRUID Copenhagen Business School Copenhagen. Denmark. Dalam www.druid.dk. Diakses tanggal 15 November 2007. Lipsey, dkk. 1997. Pengantar Mikroekonomi Jilid Dua Edisi Kesepuluh. Binarupa Aksara. Jakarta. Mansjur, Avief. 1980. Budidaya Tanaman Lada dan Kopi. Unit Penataran Institut Pertanian Bogor. Jakarta. Marwoto, Pan Budi. 2003. Perkebunan Lada Rakyat Kabupaten Bangka:Ketidakefisienan dan Ketidakberdayaan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Meryana, Ester. 2007. Analisis Daya Saing Kopi Robusta Indonesia di Pasar Kopi Internasional. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Metro Bangka Belitung 8 Januari 2008. Pembatasan Kuota Lada, Siapa Diuntungkan? http://metrobangkabelitung.wordpress.com. Diakses tanggal 10 April 2008. Nugroho, Sabdo. 2004. Analisis Struktur Pasar Lada Dunia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Ekspor Lada Indonesia. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pappas, dkk. 1995. 4th Edition Managerial Economics. Holt-Saunders. Japan. Porter, Michael E. 1998. The Competitive Advantage of Nations. Macmillan Press. London. Salvatore.1997. Ekonomi Internasional Edisi Kelima, penerjemah Haris Munandar. Erlangga. Jakarta. Silalahi, Bayu Geo S. 2007. Daya Saing Komoditas Nenas dan Pisang Indonesia di Pasar Internasional. Skripsi.. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Susilowati, Sri Hery. 2003. Dinamika Daya Saing Lada Indonesia Jurnal Agro Ekonomi Volume 21 No. 2 Oktober: 122 – 144. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Tatakomara, Edwin. 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Komoditi Teh, Serta Daya Saing Komoditi Teh di Pasar Internasional. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Triana, Farida. 2000. Dampak Perubahan Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Penawaran dan Permintaan Lada Putih di Pasar Domestik dan Dunia. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. United Nation Statistics. 2007. United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database. http://unstats.un.org/unsd/comtrade8. Diakses 16 Februari 2008. Ulun Lampung 15 Maret 2007. Lada Indonesia Dilibas Tetangga. http://ulunlampung.blogspot.com. Diakses Tanggal 10 April 2008. Wuryanto, Lilik. 2002. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Lada dan Pemasaran Komoditi Lada (Studi Kasus Desa Giri Mulya, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur, Propinsi Lampung). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lampiran 1. Produksi Lada Hitam dan Putih dari Beberapa Negara Produsen Lada Tahun 1997-2006 Tahun Produksi Lada Hitam dan Putih Beberapa Negara Produsen (dalam ton) Brazil Malaysia India Indonesia Vietnam 1997 18.000 18.000 60.000 43.291 25.000 1998 17.000 19.000 65.000 56.250 22.000 1999 22.000 21.000 75.000 44.500 30.000 2000 26.385 24.000 58.000 77.500 36.000 2001 43.000 27.000 79.000 59.000 56.000 2002 45.000 24.000 80.000 66.000 75.000 2003 50.000 21.000 65.000 80.000 85.000 2004 45.000 20.000 62.000 55.000 100.000 2005 44.500 19.000 70.000 55.000 95.000 2006 48.000 19.000 50.000 46.000 105.000 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan dalam IPC, 2007 Lampiran 2. Nilai Ekspor Komoditi Lada Dunia Tahun 1997-2006 (dalam US$) Negara 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Algeria 0 0 0 0 0 10 1,686 0 0 0 Antigua dan Barbuda 0 0 991 48 0 0 0 0 23 0 21,661 3,943 13,617 22,172 18,068 26,392 1,267 19,761 13,609 10,389 Armenia 0 0 0 0 0 0 0 7,732 9,483 15,792 Australia 223,607 111,618 282,838 246,416 212,380 263,510 434,765 345,969 242,715 293,273 Austria 986,744 629,215 420,801 589,156 528,371 641,343 960,368 1,770,541 2,865,007 4,694,610 Bahrain 0 0 0 0 0 8,875 0 3,851 0 319 Bangladesh 0 0 0 0 0 0 77 6,272 0 0 Argentina Barbados 0 0 0 8,646 2,786 0 2,741 1,959 1,510 810 Belarus 0 2,125,800 2,682,100 3,246,399 8,899 7,300 1,000 5,199 0 0 Belgium 0 0 3,055,119 3,351,340 1,277,295 1,417,922 1,521,134 2,019,223 2,395,567 3,216,774 3,530,876 2,411,596 0 0 0 0 0 0 0 0 Belize 0 227,994 940 236,902 369,863 143,187 83,145 59,337 4,876 5,282 Benin 0 0 0 0 0 0 0 4,516 0 0 523 0 175 3,000 8,417 109 157 597 610 61 0 0 0 0 0 0 42,857 49,090 58 5,273 Belgium-Luxembourg Bolivia Bosnia Herzegovina Botswana 0 0 0 278 324 0 577 88 437 34 59,371,784 77,653,848 87,443,769 69,075,266 59,299,045 58,432,914 56,815,137 60,163,115 46,390,774 81,794,064 77,016 51,964 29,721 59,424 31,033 45,150 46,397 61,276 48,145 40,252 Burkina Faso 0 0 0 0 0 0 0 518 0 0 Burundi 0 0 0 0 0 0 0 0 94 0 Cambodia 0 0 0 577 0 131 30,863 0 0 0 Cameroon 0 0 0 290 153 3,486 40,676 12,353 18,610 36,157 562,403 592,522 564,402 571,953 215,700 416,568 348,207 377,551 376,551 366,273 Brazil Bulgaria Canada Cape Verde Central African Rep. 0 0 71 0 0 0 0 0 24 0 1,492 6,533 4,581 1,330 1,102 0 0 0 0 0 85 Chile 10,021 46,593 20,041 21,356 35,453 0 24 6,772 479 905 China 14,406,984 2,342,512 6,955,690 704,447 247,559 7,471,096 5,093,370 4,748,024 3,619,441 21,177,993 9,446,128 1,751,814 4,976,277 12,834,066 2,552,812 2,161,058 772,505 631,292 360,066 635,727 0 0 0 0 0 0 0 4,873 0 0 Colombia 27,084 317,149 0 67,498 107,367 805 506 138 29,711 43,711 Cook Isds 0 0 0 0 0 0 2,395 0 0 0 197,806 150,342 6,218 39,676 91,961 191,038 256,456 59,418 20,636 38,337 0 0 0 0 3,179 0 0 1,965 571 20,162 Croatia 30,962 160,462 65,695 148,081 118,663 130,265 91,914 49,258 45,019 77,706 Cyprus 0 27,055 0 0 0 0 0 0 6,658 0 Czech Rep. 0 138,597 152,985 148,999 152,422 63,873 150,593 164,087 111,670 281,498 Denmark 0 941,093 955,058 991,887 747,709 875,220 821,633 661,657 981,835 775,626 Dominica 0 0 6,206 45,560 47,152 126,240 167,176 118,764 73,788 37,195 Dominican Rep. 0 0 0 0 18,000 0 0 0 0 0 Ecuador 0 19,970 113,745 205,285 530,649 2,621,242 3,258,738 4,216,018 3,241,263 3,126,401 El Salvador 0 6,124 66,699 68,000 238,697 360,458 381,263 657,388 872,251 888,740 22,035 44,003 104,950 104,087 105,503 71,228 245,027 182,826 204,367 327,817 Ethiopia 0 0 0 0 786,681 425,572 1,408,664 81,765 1,601 127,155 Eritrea 0 0 0 0 0 0 21 0 0 0 Fiji 0 0 0 11,739 0 18,268 25,615 41,485 10,164 90 152,606 150,116 163,396 8,805 7,061 14,443 20,896 18,215 10,584 93,912 3,899,495 6,672,277 5,049,390 5,027,822 1,882,061 2,741,627 3,308,124 2,334,355 5,796,925 5,821,014 Gambia 21,668 364 131 31,985 0 0 0 0 0 0 Georgia 0 0 0 0 0 0 0 89 140 0 10,017,092 11,240,000 11,966,398 8,515,000 6,257,000 4,739,000 6,546,000 9,060,000 9,528,000 15,024,000 Ghana 0 0 0 0 0 0 6,070,865 1,131,936 937,040 499,696 Greece 425,141 633,720 495,353 323,274 379,961 235,221 219,179 350,542 317,396 169,494 0 0 0 23,376 14,670 10,842 36,797 1,641 0 0 Guatemala 462,809 123,605 1,052,557 423,928 357,954 430,210 287,726 1,144,823 847,362 262,583 Guyana 255,000 307,000 137,762 223,412 146,363 217,951 249,205 308,659 244,558 282,231 China, Hongkong SAR China, Macao SAR Costa Rica Cote d I'voire Estonia Finland France Germany Grenada 86 Honduras Hungary 1,059,146 179,681 2,484,449 320,409 656,828 748,889 1,488,599 1,371,118 1,261,539 1,310,190 29,000 57,000 77,000 82,000 18,000 13,000 33,000 109,000 50,000 4,000 India 129,709,168 143,911,968 163,281,627 69,009,049 33,958,513 30,810,760 20,416,093 19,294,682 24,201,131 55,324,965 Indonesia 160,409,648 185,248,608 189,406,789 220,722,743 100,383,720 89,065,520 93,202,804 54,180,995 57,863,199 77,014,609 195,635 627,131 184,415 160,539 198,813 440,744 31,868 32,808 0 4,022 Ireland 0 1,792 0 0 1,751 13,171 1,261 564 3,228 461 Israel 0 0 0 0 7,000 0 0 2,000 0 0 1,000,831 1,097,466 654,462 648,949 737,656 854,984 931,407 767,365 946,232 1,057,165 0 5,345 1,963 0 0 34,705 9,408 11,904 20,284 4,718 20,341 89,636 2,415 2,301 0 39,567 15,220 24,111 127,621 122,020 Iran Italy Jamaica Japan Jordan 0 0 0 105,781 87,502 0 15,795 72,282 62,048 1,258 Kazakhstan 0 0 0 0 3,100 600 0 0 0 0 767 4,824 26,701 11,481 801 20,162 26,095 55 0 0 Kuwait 0 0 0 4,307 0 0 0 0 0 0 Kyrgyzstan 0 0 0 0 140 0 12,656 0 0 0 9,199 16,692 81,699 72,058 20,792 47,059 57,918 61,869 42,021 76,642 0 65 125 0 0 4,306 0 3,000 0 0 405,198 142,143 65,640 3,749 14,249 40,843 42,475 108,914 83,230 156,720 Kenya Latvia Lebanon Lithuania Luxembourg 0 0 2,998 3,494 7,441 3,920 5,101 5,902 6,751 8,537 2,837,629 1,129,568 2,549,877 1,417,179 1,807,253 1,950,505 1,813,364 1,583,647 1,745,438 3,828,339 0 0 665,488 676,885 363,779 548,799 1,024,930 862,373 1,128,674 673,762 102,770,616 88,588,002 101,433,663 89,935,192 44,086,335 33,957,767 29,769,434 27,671,813 27,424,165 33,496,920 0 0 0 0 3,734 1,758 9,548 3,848 0 0 297,931 567,493 172,549 382,196 163,214 295,931 116,605 273,497 174,671 923,642 Mayotte 0 0 0 0 0 0 0 50 0 0 Mexico 6,248,417 6,036,747 10,512,866 13,986,632 8,246,437 10,725,847 10,409,906 15,630,021 13,636,709 16,619,188 Morocco 0 0 0 0 0 49,850 177,052 203,401 243,207 185,919 Mozambique 0 0 0 0 30,977 8,080 8,444 22,189 274,183 82,427 Namibia 0 0 0 8,471 697 14,557 47,575 43,175 260,090 0 47,531,444 63,051,136 60,453,446 51,265,505 35,143,834 23,429,368 21,176,712 16,624,023 15,203,836 21,593,601 Madagascar Malawi Malaysia Mali Mauritius Netherlands 87 New Caledonia New Zealand 0 0 0 0 31 126 0 0 0 88 4,179 388 2,152 13,075 363 4,057 4,949 3,253 3,331 9,035 Nicaragua 0 0 0 0 95 1,375 1,387 373 0 22 Niger 0 6,247 49,016 164,821 158,989 199,186 137,917 72,392 145,788 0 68,752 31,875 200,061 2,344 1,663 20,684 1,038 8,610 8,065 16,098 Oman 0 0 0 0 0 0 0 0 520 0 Pakistan 0 0 0 0 0 0 0 1,064 305 21,638 Panama 0 40,486 0 3,372 0 243 0 0 0 0 Papua New Guinea 0 0 0 0 0 818 0 0 0 0 Paraguay 0 0 0 0 0 0 2,153 0 0 726 Peru 0 6,233 29,646 244,198 376,186 170,768 99,839 278,713 158,091 310,285 Philippines 0 0 0 51,090 41,392 46,271 26,849 40,089 48,956 50,063 328,306 0 400,000 330,000 0 66,000 236,000 547,217 2,033,785 2,635,381 3,990 20,773 12,202 22,096 8,484 39,604 45,674 59,281 17,173 34,246 241,110 69,682 137,955 329,750 418,637 81,546 88,933 171,892 204,831 347,556 Rep. or Moldova 0 0 0 0 0 0 0 0 0 391 Romania 0 0 1,000 1,000 1,000 2,000 5,522 41,727 12,100 9,396 1,238,983 25,303 68,641 2,032,424 142,962 142,351 41,273 91,618 58,147 65,036 Saint Kitts and Nevis 0 0 599 0 0 0 0 0 0 229 Saint Lucia Saint Vincent Grenada 0 0 0 241,930 502,524 394,674 265,975 250,193 100,600 0 0 45,377 32,923 3,085 825 46,233 113,573 53,162 6,723 28,750 Samoa 0 0 0 0 0 101 0 0 0 0 Sao Tome and Principe 0 0 0 0 0 0 0 909 0 0 Saudi Arabia 0 0 45,933 77,779 40,992 55,106 121,049 133,869 176,778 21,966 1,515 1,473 2,294 1,920 58 51,781 0 4,968 152 79,884 Serbia 0 0 0 13,000 11,991 33,857 0 31,785 72,972 108,436 Seychelles 0 0 49 0 0 0 252 117 0 66 Singapore 210,314,954 213,426,336 228,217,966 197,849,383 80,769,366 55,812,767 47,987,893 32,449,533 21,602,836 35,021,870 229,391 2,124 10,552 719 7,171 17,097 25,017 33,479 35,938 71,217 Norway Poland Portugal Rep. of Korea Russian Federation Senegal Slovakia and 88 Slovenia South Africa Spain 134,166 70,105 35,327 49,999 22,491 29,282 28,005 24,932 38,061 21,288 1,580,967 566,895 296,208 397,188 109,004 186,362 570,177 648,160 1,859,227 2,684,423 887,241 977,198 881,629 769,511 825,471 958,640 1,760,974 1,162,734 1,045,048 1,449,322 Sri Lanka 0 0 17,922,640 21,143,000 5,524,463 14,596,983 12,401,131 8,737,912 11,501,480 0 Swaziland 0 0 0 50 2,079 285 782 11 67 0 231,772 423,314 582,781 606,958 351,554 190,296 577,626 871,399 598,864 887,195 35,269 14,916 43,686 46,367 55,537 58,202 94,595 82,941 77,745 152,005 0 0 0 0 0 0 289 0 0 11,060 2,336 10,365 13,842 16,441 27,122 13,455 16,255 1,640 37,033 1,170 0 0 2,842,378 1,786,886 721,276 896,585 1,002,940 770,455 267,187 335,519 Togo 0 59,201 59,903 19,390 654 0 0 0 0 0 Trinidad and Tobago 0 0 101,599 132,840 56,404 61,516 36,251 49,003 40,685 100,392 Tunisia 0 0 0 1,283 10,303 10,521 58,629 23,793 1,553 0 Turkey 60,704 46,948 68,079 85,737 79,423 36,806 52,084 84,158 67,488 0 Uganda 46,704 44,205 612,383 33,209 305,823 110,799 128,207 167,029 179,621 63,027 Ukraine 0 0 0 0 59,049 124,066 65,400 60,550 84,124 83,838 United Arab Emirates 0 0 0 0 0 0 0 0 4,434,273 0 2,562,448 3,851,224 1,088,247 1,351,304 1,321,226 1,056,837 946,848 984,797 1,271,141 1,605,429 0 31,703 269,732 426,618 172,336 301,888 147,354 302,845 5,061 178 0 0 0 0 0 0 344 0 329 115 4,961,354 6,939,962 6,461,682 7,079,184 4,246,124 3,486,435 3,134,536 3,259,816 3,830,896 8,061,146 Venezuela 0 99 0 1,814 0 0 0 0 9 6 Vietnam 0 0 0 0 91,236,911 109,688,782 104,569,304 149,552,159 151,538,464 190,441,000 Yemen 0 0 0 0 0 0 0 108,932 49,838 90,835 Zambia 0 0 0 60,453 91,552 344,360 648,720 0 0 22,617 Zimbabwe 0 0 0 1,091,287 26,604 726,791 0 110,692 14,596 0 779,610,048 826,355,558 919,336,953 792,681,905 490,473,014 467,498,782 446,034,760 431,127,746 426,017,756 597,523,405 Sweden Switzerland Syria TFYR of Macedonia Thailand United Kingdom United Rep. Tanzania Uruguay USA TOTAL of Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007 http://unstats.un.org/unsd/comtrade8. Diakses 16 Februari 2008. 89 Lampiran 3. Pangsa Pasar Ekspor Negara-Negara Produsen dan Eksportir Lada Dunia Tahun 1997-2006 (%) Negara Algeria Antigua dan Barbuda Argentina Armenia Australia Austria Bahrain Bangladesh Barbados Belarus Belgium Belgium-Luxembourg Belize Benin Bolivia Bosnia Herzegovina Botswana Brazil Bulgaria Burkina Faso Burundi Cambodia Cameroon Canada Cape Verde Central African Rep. 1997 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.45 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.62 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 0.00 0.00 1998 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.08 0.00 0.00 0.00 0.26 0.00 0.29 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 9.40 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 0.00 0.00 1999 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.05 0.00 0.00 0.00 0.29 0.33 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9.51 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.00 0.00 2000 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.07 0.00 0.00 0.00 0.41 0.42 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 8.71 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 0.00 0.00 2001 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.26 0.00 0.08 0.00 0.00 0.00 0.00 12.09 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.00 0.00 2002 0.00 0.00 0.01 0.00 0.06 0.14 0.00 0.00 0.00 0.00 0.30 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 12.50 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 2003 0.00 0.00 0.00 0.00 0.10 0.22 0.00 0.00 0.00 0.00 0.34 0.00 0.02 0.00 0.00 0.01 0.00 12.74 0.01 0.00 0.00 0.01 0.01 0.08 0.00 0.00 2004 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08 0.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.47 0.00 0.01 0.00 0.00 0.01 0.00 13.95 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 2005 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.56 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10.89 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 2006 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 0.79 0.00 0.00 0.00 0.00 0.54 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13.69 0.01 0.00 0.00 0.00 0.01 0.06 0.00 0.00 90 0.00 1.85 1.21 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.50 0.00 0.00 1.28 0.00 0.05 0.00 0.06 0.03 0.01 0.28 0.21 0.00 0.04 0.00 0.02 0.00 0.02 0.00 0.02 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.02 0.81 0.00 0.00 1.36 0.00 0.08 0.00 0.01 0.04 0.00 0.76 0.54 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.02 0.10 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.02 0.55 0.00 0.00 1.30 0.00 0.05 0.00 0.11 0.01 0.00 0.09 1.62 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.02 0.00 0.02 0.13 0.01 0.00 0.03 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.63 0.00 0.00 1.07 0.00 0.04 0.00 0.05 0.03 0.01 0.05 0.52 0.00 0.02 0.00 0.02 0.00 0.02 0.00 0.03 0.15 0.01 0.00 0.11 0.05 0.02 0.16 0.00 0.00 0.00 0.38 0.00 0.00 1.28 0.00 0.08 0.00 0.07 0.03 0.00 1.60 0.46 0.00 0.00 0.00 0.04 0.00 0.03 0.00 0.01 0.19 0.03 0.00 0.56 0.08 0.02 0.09 0.00 0.00 0.00 0.59 0.00 0.00 1.01 0.00 0.05 0.00 0.09 0.05 0.00 1.14 0.17 0.00 0.00 0.00 0.06 0.00 0.02 0.00 0.03 0.18 0.04 0.00 0.73 0.09 0.05 0.32 0.00 0.01 0.00 0.74 0.00 0.00 1.47 1.36 0.05 0.01 0.06 0.06 0.00 1.10 0.15 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.04 0.15 0.03 0.00 0.98 0.15 0.04 0.02 0.00 0.01 0.00 0.54 0.00 0.00 2.10 0.26 0.08 0.00 0.27 0.07 0.00 0.85 0.08 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.03 0.23 0.02 0.00 0.76 0.20 0.05 0.00 0.00 0.00 0.00 1.36 0.00 0.00 2.24 0.22 0.07 0.00 0.20 0.06 0.00 3.54 0.11 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.05 0.13 0.01 0.00 0.52 0.15 0.05 0.02 0.00 0.00 0.02 0.97 0.00 0.00 2.51 0.08 0.03 0.00 0.04 0.05 91 Chile China China, Hongkong SAR China, Macao SAR Colombia Cook Isds Costa Rica Cote d I'voire Croatia Cyprus Czech Rep. Denmark Dominica Dominican Rep. Ecuador El Salvador Estonia Ethiopia Eritrea Fiji Finland France Gambia Georgia Germany Ghana Greece Grenada Guatemala Guyana 0.14 0.00 16.64 20.58 0.03 0.00 0.00 0.13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 0.00 0.36 0.00 13.18 0.00 0.04 0.00 0.80 0.00 0.00 0.00 6.10 0.02 0.01 17.42 22.42 0.08 0.00 0.00 0.13 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.14 0.00 10.72 0.00 0.07 0.00 0.73 0.00 0.00 0.00 7.63 0.27 0.01 17.76 20.60 0.02 0.00 0.00 0.07 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.28 0.07 11.03 0.00 0.02 0.00 1.14 0.00 0.00 0.00 6.58 0.04 0.01 8.71 27.85 0.02 0.00 0.00 0.08 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.18 0.09 11.35 0.00 0.05 0.00 1.76 0.00 0.00 0.00 6.47 0.13 0.00 6.92 20.47 0.04 0.00 0.00 0.15 0.00 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.37 0.07 8.99 0.00 0.03 0.00 1.68 0.00 0.01 0.00 7.17 0.16 0.00 6.59 19.05 0.09 0.00 0.00 0.18 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.42 0.12 7.26 0.00 0.06 0.00 2.29 0.01 0.00 0.00 5.01 0.33 0.01 4.58 20.90 0.01 0.00 0.00 0.21 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.41 0.23 6.67 0.00 0.03 0.00 2.33 0.04 0.00 0.01 4.75 0.32 0.03 4.48 12.57 0.01 0.00 0.00 0.18 0.00 0.01 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.03 0.00 0.37 0.20 6.42 0.00 0.06 0.00 3.63 0.05 0.01 0.01 3.86 0.30 0.01 5.68 13.58 0.00 0.00 0.00 0.22 0.00 0.03 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.02 0.00 0.41 0.26 6.44 0.00 0.04 0.00 3.20 0.06 0.06 0.06 3.57 0.22 0.00 9.26 12.89 0.00 0.00 0.00 0.18 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.03 0.00 0.64 0.11 5.61 0.00 0.15 0.00 2.78 0.03 0.01 0.00 3.61 92 Honduras Hungary India Indonesia Iran Ireland Israel Italy Jamaica Japan Jordan Kazakhstan Kenya Kuwait Kyrgyzstan Latvia Lebanon Lithuania Luxembourg Madagascar Malawi Malaysia Mali Mauritius Mayotte Mexico Morocco Mozambique Namibia Netherlands 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.00 0.03 0.00 0.00 0.16 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 26.98 0.03 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 25.83 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.00 0.02 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 24.82 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.01 0.04 0.00 0.04 0.00 0.00 0.26 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 24.96 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08 0.01 0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 0.03 0.00 0.10 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 16.47 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.01 0.01 0.01 0.02 0.00 0.00 0.03 0.00 0.08 0.01 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01 0.00 11.94 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.01 0.05 0.01 0.02 0.00 0.00 0.01 0.00 0.06 0.03 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 10.76 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.01 0.13 0.01 0.04 0.00 0.01 0.02 0.00 0.06 0.01 0.00 0.00 0.03 0.00 0.01 0.00 7.53 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.01 0.48 0.00 0.05 0.00 0.00 0.01 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.04 0.00 0.02 0.00 5.07 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 0.01 0.44 0.01 0.06 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.00 5.86 0.01 0.00 93 New Caledonia New Zealand Nicaragua Niger Norway Oman Pakistan Panama Papua New Guinea Paraguay Peru Philippines Poland Portugal Rep. of Korea Rep. or Moldova Romania Russian Federation Saint Kitts and Nevis Saint Lucia Saint Vincent and Grenadines Samoa Sao Tome and Principe Saudi Arabia Senegal Serbia Seychelles Singapore Slovakia Slovenia South Africa Spain Sri Lanka Swaziland Sweden Switzerland Syria TFYR of Macedonia Thailand Togo Trinidad and Tobago Tunisia Turkey Uganda Ukraine United Arab Emirates United Kingdom United Rep. of Tanzania Uruguay USA Venezuela Vietnam Yemen Zambia Zimbabwe TOTAL 0.20 0.11 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.00 0.33 0.00 0.00 0.64 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100.00 0.07 0.03 0.05 0.02 0.04 0.13 0.12 0.10 0.10 0.17 0.21 0.39 0.00 1.95 2.67 1.13 3.12 2.78 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 0.06 0.08 0.07 0.04 0.13 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.31 0.23 0.15 0.19 0.22 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.01 0.01 0.01 0.07 0.00 0.06 0.02 0.03 0.00 0.00 0.00 0.01 0.03 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.47 0.12 0.17 0.27 0.23 0.21 0.00 0.03 0.05 0.04 0.06 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.84 0.70 0.89 0.87 0.75 0.70 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 18.60 23.46 23.44 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.07 0.15 0.00 0.00 0.14 0.01 0.16 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007 Diakses 16 Februari 2008. Diolah. 0.15 0.27 2.03 0.00 0.20 0.02 0.00 0.00 0.18 0.00 0.01 0.01 0.02 0.04 0.01 0.00 0.23 0.07 0.00 0.76 0.00 34.69 0.03 0.00 0.03 100.00 0.44 0.25 2.70 0.00 0.14 0.02 0.00 0.01 0.06 0.00 0.01 0.00 0.02 0.04 0.02 1.04 0.30 0.00 0.00 0.90 0.00 35.57 0.01 0.00 0.00 100.00 0.45 0.24 0.00 0.00 0.15 0.03 0.00 0.00 0.06 0.00 0.02 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.27 0.00 0.00 1.35 0.00 31.87 0.02 0.00 0.00 100.00 http://unstats.un.org/unsd/comtrade. 94 Lampiran 4. Spesifikasi Syarat Mutu Lada Putih dan Lada Hitam Mutu I dan Mutu II serta Konsep Standar Mutu Lada IPC No. Parameter 1. Whole insect, live dead (seluruh serangga hidup atau mati) 2. Mamalia atau kotorannya SNI Lada Putih (SNI 01-0004Hitam (SNI 01-00051995 1995 I II I II Bebas Bebas Bebas Bebas dari dari dari dari serangga serangga serangga serangga hidup hidup hidup hidup maupun maupun maupun maupun mati, mati, mati, mati, serta serta serta serta bagian bagian bagian bagian yang yang yang yang berasal berasal berasal berasal dari dari dari dari binatang binatang binatang binatang Insect defiled berries (biji berserangga, % b/b, maks) 4. Moudy berries (biji 1 1 1 1 berkapang, % b/b, maks) 5. Extranous/for eign matter 1 2 1 1 (benda asing, % b/b maks) 6. Ligt berries (biji enteng, 1 2 2 3 % b/b maks) 7. Bulk density (g/l min) 8. Black/grey berries (biji 1 2 kehitamhitaman) 9. Moisture content 13 14 12 13.5 (kadar air, %, v/b) Sumber: International Pepper Community (IPC), 2006. www.ipcnet.org. 2008. Konsep IPC Putih Hitam Dalam praktek nya harus bebas Dalam praktek nya harus bebas Dalam praktek nya harus bebas Dalam praktek nya harus bebas 1 1 1 1 1 1 1 2 600 550 3. 1 14 12 Diakses tanggal 15 Maret