OPINI Imunisasi: Sejarah dan Masa Depan Samsuridjal Djauzi, Dirga Sakti Rambe Satgas Imunisasi Dewasa Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia/PAPDI I munisasi yang kita kenal saat ini, tidak bisa dilepaskan dari peran besar Edward Jenner (1749-1823). Pada tahun 1796, saat berbagai belahan dunia sedang dilanda wabah penyakit smallpox (disebabkan oleh virus Variola) yang mematikan, Jenner melalui eksperimennya berhasil membuktikan bahwa seseorang yang terpapar cowpox (penyakit kulit yang ditularkan oleh sapi) memiliki imunitas terhadap smallpox. Untuk menghargai jasa Jenner, diperkenalkanlah istilah vaksinasi yang mengadaptasi “vacca” dari bahasa Latin yang berarti “sapi”. A. Sejarah Imunisasi Sebenarnya banyak catatan sejarah otentik yang menjelaskan bahwa Jenner bukanlah orang pertama yang melakukan variolasi (upaya untuk mencegah penularan virus Variola). Untuk memudahkan pemahaman kita menelusuri sejarah dan perkembangan imunisasi, penulis membagi tahapannya menjadi 3: Era pra-Jenner, Era Jenner, dan Era pasca-Jenner. 1. Era Pra- Jenner Pada abad X, upaya serupa telah dilakukan di Cina. Pada saat yang sama, upaya ini pun dilakukan oleh kelompok kasta Brahmana di India. Dokter-dokter di jazirah Arab dan sarjana dari Mesir juga dilaporkan telah memulai upaya pencegahan dengan prinsip vaksinasi. Pada awal abad XVIII, variolasi diperkenalkan oleh Lady Mary Wortley Montagu dari Turki ke Inggris. Sayangnya upaya ini belum memberikan hasil yang menggembirakan. Dua hingga tiga persen orang yang memperoleh variolasi justru mengalami penyakit berat dan berujung pada kematian. 2. Era Jenner Kiranya tidak berlebihan bila kita mentahbiskan Edward Jenner (1749-1823) (Gambar 1) sebagai “Bapak Vaksinologi” atau bahkan “Bapak Imunologi”. Jenner adalah seorang dokter keluarga berkebangsaan Inggris yang Alamat korespondensi 468 berpraktik di daerah pedesaan. Sejak awal tahun 1780, ia mengamati berbagai kasus Variola dan mengumpulkan data epidemiologi terkait. Berdasarkan pengamatannya selama bertahun-tahun melakukan variolasi, ia berkeyakinan bahwa seseorang yang terpapar Cowpox (penyakit kulit yang ditularkan oleh sapi), imun terhadap penyakit Smallpox yang mematikan. Jenner melakukan serangkaian eksperimen untuk membuktikan hal ini. Pada tahun 1796, Jenner mengambil spesimen dari lesi di lengan Sarah Nelmes yang terinfeksi Cowpox. Lalu Jenner menginokulasikannya ke lengan James Phipps, bocah berusia 8 tahun. Seminggu kemudian, muncul lesi di tempat inokulasi, namun ia hanya mengalami gejala ringan, pulih segera, dan tidak “sakit”. Jenner mempublikasikan penemuannya dalam An Inquiry into the Causes and Effects of the Variola Vaccinae pada tahun 1798. Tak berhenti di situ, Jenner dibantu oleh asistennya, terus melakukan eksperimen ini dengan beberapa penyempurnaan. Pada akhirnya, Jenner menyimpulkan bahwa: (1) Infeksi Smallpox dapat dicegah dengan inokulasi Cowpox; (2) Berbeda dengan variolasi, vaksinasi hanya menyebabkan timbulnya lesi di tempat inokulasi dan tidak menimbulkan penyakit yang serius ataupun kematian. Jenner memang bukan orang pertama yang melakukan upaya pencegahan infeksi Smallpox. Namun Jenner adalah tonggak sejarah vaksinasi. Ia adalah orang pertama yang mampu melakukan upaya tersebut dengan menerapkan kaidahkaidah ilmiah dan berlandaskan pemahaman epidemiologi. 3. Era Pasca- Jenner Bila Jenner ‘hanya’ melakukan eksperimen sederhana, pada era pasca-Jenner kita akan melihat bagaimana berbagai observasi dan eksperimen dilakukan dengan melibatkan teknologi dan menerapkan kaidah ilmiah dengan lebih baik. Gambar 1 Edward Jenner (diunduh dari: www.scientistshowtell.wikispaces.com) Louis Pasteur (1822-1895), seorang ahli Mikrobiologi berkebangsaan Perancis, merupakan orang pertama yang mengembangkan vaksin di laboratorium. Ia berhasil mengembangkan vaksin kolera pada ayam (dengan menggunakan teknik atenuasi), vaksin antraks (eksperimen Poullyle-Fort), dan vaksin rabies. Nama berikut adalah Robert Koch (1843-1910), seorang berkebangsaan Jerman yang berhasil mengidentifikasi bakteri Mycobacterium tuberculosis, mengisolasi bakteri Vibrio cholerae, dan menegakkan postulat Koch yang masih relevan hingga sekarang. Atas prestasinya, ia diganjar hadiah nobel pada tahun 1905. Pada tahun 1896, Pfeiffer, Kolle, dan Wright berhasil mengembangkan vaksin Salmonella typhi, yang merupakan vaksin mati (inactivated vaccine) pertama untuk manusia yang pernah ada. Albert Calmette dan Jean Marie Camille Guerin berhasil mengembangkan vaksin BCG dengan menggunakan Mycobacterium bovis yang dilemahkan. Pada tahun 1955, vaksin polio trivalen jenis IPV (Inactivated Polio Vaccine) yang dikembangkan oleh Jonas Salk mendapat lisensi. Enam tahun berselang, email: [email protected] CDK-205/ vol. 40 no. 6, th. 2013 OPINI Albert Sabin sukses mengembangkan vaksin polio trivalen jenis OPV (Oral Polio Vaccine). Kedua vaksin ini di kemudian hari terbukti mampu mengeliminasi penyakit Polio hingga 90-99%. Emil von Behring menemukan antitoksin difteri pada tahun 1981. Lalu Achilles Sclavo menemukan antitoksin antraks. Gaston Ramon dan Alexander Glenny mengembangkan ajuvan berbasis garam aluminium (alum) pada tahun 1926. Ajuvan adalah substansi tambahan yang digabungkan bersama vaksin untuk memperoleh respons imun yang lebih optimal. Avery dan Groebel pada tahun 1920-an berhasil menemukan bahwa vaksin polisakarida akan jauh lebih imunogenik bila dikonjugasikan dengan protein pembawa. Barulah 60 tahun kemudian, vaksin Haemophilus influenzae tipe B, mendapat lisensi sebagai vaksin konjugat pertama. B. Imunisasi di Indonesia Indonesia sebenarnya telah menerapkan program EPI (Expanded Program of Immunization) sejak tahun 1977 yang dikenal dengan Program Pengembangan Imunisasi. Saat ini vaksin yang masuk ke dalam program imunisasi rutin adalah BCG, DPT, Hepatitis B, Campak, dan Polio. EPI merupakan program yang dicanangkan WHO (World Health Organization) sejak tahun 1974, bertujuan untuk membasmi penyakit-penyakit infeksi yang mematikan dan sejatinya dapat dicegah melalui vaksinasi. Program ini juga menekankan aksesibilitas vaksin bagi seluruh penduduk dunia, termasuk negara-negara miskin. Imunisasi di Indonesia telah berjalan cukup lama, baik berupa program pemerintah maupun atas inisiatif dan pembiayaan masyarakat. Peran organisasi profesi kedokteran juga sangat besar dalam meningkatkan keberhasilan program imunisasi di negeri kita. Sementara itu, para petugas di layanan kesehatan primer turut menjadi tulang punggung utama, didukung oleh para spesialis yang bekerja di layanan kesehatan sekunder maupun tersier. Dewasa ini, pemerintah sedang menggalakkan lima imunisasi lengkap untuk anak. Cakupan imunisasi dasar tersebut dinilai cukup tinggi, meski masih terdapat perbedaan di berbagai provinsi. Adapun cakupan imunisasi rutin antigen DPT1, DPT3, Campak, dan universal CDK-205/ vol. 40 no. 6, th. 2013 child immunization (UCI) dapat dilihat pada Gambar 2. Data statistik menunjukkan setiap tahun cakupan nasional imunisasi kita cukup baik dan insidens penyakit spesifik yang dapat dicegah dengan vaksinasi juga menurun. Pada saat yang sama, kita boleh berbangga karena Indonesia memiliki perusahaan milik negara yang memproduksi berbagai vaksin untuk kebutuhan nasional dan mengekspor beberapa vaksin dengan reputasi yang telah diakui oleh dunia internasional. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah adalah bahwa hingga saat ini, pemerintah hanya memerhatikan imunisasi bagi anak-anak dan belum memiliki program nasional untuk imunisasi dewasa. Kita menyadari bahwa populasi dewasa dan penduduk usia lanjut di Indonesia terus bertambah. Kelompok ini juga rentan terhadap penyakit infeksi yang dapat menurunkan kualitas hidup dan erat kaitannya dengan penurunan produktivitas. C. Imunisasi dan Perkembangan Teknologi Perubahan zaman diiringi dengan kemajuan bioteknologi yang amat pesat. Vaksin ‘konvensional’ mengandung bakteri mati (whole cell dead vaccine) atau bakteri yang dilemahkan (attenuated vaccine). Artinya, mungkin saja vaksin-vaksin ini terlalu reaktogenik, padahal yang diinginkan adalah vaksin yang imunogenik namun kurang reaktogenik. Reaktogenisitas berbanding terbalik dengan profil keamanan suatu vaksin. Maka mulailah dipikirkan teknik purifikasi untuk memproduksi suatu vaksin. Vaksin hepatitis B merupakan vaksin rekombinan pertama yang berhasil dikembangkan. Vaksin influenza merupakan contoh klasik vaksin subunit. Kedua jenis vaksin ini diproduksi dengan teknik purifikasi yang melibatkan rekayasa teknologi. Artinya, vaksin tidak lagi mengandung bakteri utuh, namun hanya mengandung antigen berupa protein selektif. Manipulasi pada tingkat gen sengaja dilakukan untuk mengekspresikan protein tertentu. Reaktogenisitas vaksin-vaksin ini berkurang. Pada tahun 2000, Rino Rappuoli dari Italia berhasil mengembangkan pendekatan baru dalam pengembangan vaksin yang dikenal dengan reverse technology. Teknik ini berbasis genom dengan pendekatan yang berbeda dengan vaksin pada umumnya. Metode ini memungkinkan pengembangan vaksin untuk bakteri yang memiliki kesamaan struktur protein dengan protein tubuh (molecular mimicry), seperti pada Meningococcus grup B. Gambar 2 Cakupan imunisasi rutin antigen DPT1, DPT3, Campak, dan UCI desa Indonesia, 2004-2008 469 OPINI D. Masa Depan Imunisasi Kemajuan bioteknologi dan komitmen semua pihak memungkinkan pengembangan vaksinvaksin generasi baru dengan pendekatan yang berbeda-beda. Dalam beberapa tahun ke depan akan lebih sering terdengar istilah structural vaccinology maupun nucleic acid vaccines. Lebih dari 200 tahun sejak Jenner menemukan ‘vaksin’ smallpox pada tahun 1796, kini puluhan vaksin telah digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia (Gambar 3). Data dan fakta telah berbicara bahwa vaksin memberikan dampak yang sangat besar dalam pencegahan penyakit infeksi. Vaksin menawarkan upayaupaya pencegahan yang efektif. Kita masih memerlukan lebih banyak lagi vaksin-vaksin baru untuk dapat mengeliminasi –bila mungkin mengeradikasi– penyakit-penyakit infeksi. Saat ini, telah tersedia vaksin yang dapat mencegah 27 penyakit infeksi. Jumlah vaksin yang dilisensi setiap tahun diharapkan makin bertambah. Setidaknya, sebanyak 300 uji klinis kandidat vaksin di seluruh dunia tengah berlangsung. Beberapa vaksin baru yang keberadaannya dirasakan mendesak adalah vaksin HIV, vaksin malaria, dan vaksin tuberkulosis generasi baru. Usaha penelitian dan pengembangan vaksin-vaksin ini telah dimulai sejak puluhan tahun lalu, namun hingga kini belum membuahkan hasil yang diharapkan. Gambar 3 Berbagai vaksin yang telah dilisensi dan digunakan di dunia (Diadaptasi dari Warren et. al., 1986, Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 83: 9275) Dahulu kita hanya mengenal vaksin sebagai usaha profilaksis atau pencegahan. Saat ini, tidak hanya vaksin profilaksis yang tersedia, namun juga vaksin terapeutik/pengobatan. Vaksin jenis ini terutama digunakan untuk pengobatan kanker, misalnya kanker prostat dan kanker paru. Vaksin terapeutik bekerja dengan cara yang berbeda dari obatobat kemoterapi. Vaksin bekerja dengan menginduksi dan memperkuat respons imun. Dalam terapi kanker, kedudukan vaksin terapeutik ini sebagai adjuvant therapy. Pada tahun 2010, FDA memberikan lisensi vaksin terapeutik pertama di dunia: vaksin kanker prostat. Vaksin ini diproduksi oleh sebuah perusahaan Amerika. Kendalanya, vaksin ini bersifat individual, artinya setiap pasien harus diambil darahnya terlebih dahulu, kemudian baru dibuatkan vaksinnya. Sejak saat itu, banyak produsen vaksin yang mulai mengembangkan kandidat vaksin terapeutik, misalnya untuk penyakit Alzheimer, melanoma malignum, kanker payudara, HIV, hepatitis C, dan lain sebagainya. Saat ini jumlahnya mencapai ratusan. Vaksin terapeutik terakhir yang dilisensi adalah vaksin kanker paru, yang hanya tersedia di Kuba. Prediksi Gambar 4 Perkiraan perkembangan penemuan vaksin terapeutik (Diadaptasi dari Oliver Wyman, Health & Life Sciences, 2012) 470 CDK-205/ vol. 40 no. 6, th. 2013 OPINI perkembangan penemuan vaksin terapeutik dapat dilihat pada Gambar 4. Dari perjalanan sejarah, diketahui bahwa perkembangan vaksin dari masa ke masa dipengaruhi oleh hal-hal berikut: 1. Adanya kebutuhan dunia medis dan kesehatan masyarakat yang mendesak. 2. Kemajuan bioteknologi yang sangat pesat. 3. Inovasi dalam melakukan berbagai pendekatan baru dari aspek imunologi. 4. Persaingan industri vaksin yang kian kompetitif. 5. Meningkatnya kepedulian dan komitmen komunitas dunia. 6. Pertimbangan dari segi ekonomi bahwa vaksin sangat efisien. Saat ini merupakan “The decade of vaccines”. Industri, pemerintah dari seluruh negara, organisasi internasional, akademisi, lembaga swadaya masyarakat hingga masyarakat sipil terus berupaya mengembangkan vaksin-vaksin baru dan pada saat yang sama meningkatkan aksesibilitas vaksin-vaksin yang sudah ada. Vaksin harus dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Tak dapat dipungkiri bahwa vaksin merupakan kontributor terbesar bagi kesehatan masyarakat. Kita menaruh harapan besar. Perkembangan bioteknologi yang sangat pesat mengakselerasi kondisi ini. Paradigma dalam praktik kedokteran perlahanlahan mulai berubah: dari pengobatan semata menjadi pencegahan. Vaksin merupakan bagian penting dari rencana besar ini. Kita semua bertanggung jawab untuk mengambil peran dalam mencegah penyakit infeksi, pembunuh nomor satu di dunia. DAFTAR PUSTAKA 1. Plotkin SL, Plotkin SA. A short history of vaccination. Dalam: Plotkin SA, Orenstein WA, Offit PA (ed.). Vaccines, 5th ed. Elsevier Health Sciences. 2008 2. -, Immunization, Vaccines and Biologicals. 24 May 2013 (cited 25 Agustus 2011). http://www.who.int/immunization/en/index.html 3. Plotkin, S., “The Past, Present and Future of Vaccination”, in Palese, P. (ed.), Viruses and Viral Diseases: Emerging threats to humans and animals, The Biomedical & Life Sciences Collection, Henry Stewart Talks Ltd, London.2007. 4. Jenner, E. An Inquiry into the Causes and Effects of the Variolae Vaccinae (Low, London, 1798). 5. Plotkin S. History of vaccine development. Springer-Verlag New York Inc. 2010. 6. Rappuoli, Rino. Reverse Vaccinology Current Opinion in Microbiology 2000, 3:445–50 7. Stern AM, Markel H (2005). “The history of vaccines and immunization: familiar patterns, new challenges”. Health Aff 2005;24(3): 611–21. 8. Vaccine delivery. Strategy overview. (cited: 27 Agustus 2011). http://www.gatesfoundation.org/vaccines/Pages/decade-of-vaccines.aspx 9. Oliver Wyman, Health & Life Sciences. 2012 CDK-205/ vol. 40 no. 6, th. 2013 471