hasil dan pembahasan

advertisement
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Rumah Sakit
Rumah Sakit Dustira merupakan rumah sakit rujukan tertinggi di wilayah
Kodam III Siliwangi. Rumah sakit menempati areal tanah seluas 14 Ha dengan
luas bangunan 54.481 m2. Rumah Sakit Dustira termasuk ke dalam tipe
pelayanan rumah sakit kelas B yang memiliki 17 ruang rawat inap dan 502
tempat tidur dengan kelas perawatan VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Selain
itu, Rumah Sakit Dustira menyediakan pelayanan rawat jalan yang terdiri dari 17
poliklinik yang dibuka umum setiap hari. Pelayanan rawat inap ditujukan bagi
pasien rujukan dari gawat darurat maupun unit rawat jalan. Rumah Sakit Dustira
juga dilengkapi ruang UGD, ICU, kamar bedah, unit hemodialisa dan endoscopy.
Pelayanan yang diberikan Rumah Sakit Dustira didukung oleh beberapa instalasi
meliputi 1) Instalasi Rehab Medik, 2) Instalasi Radiologi, 3) Instalasi
Farmasi/Apotek,
4)
Instalasi
Penunjang
Perawatan
(Gizi),
5)
Instalasi
Laboratorium Patologi Klinik, 6) Instalasi Pendidikan, dan 7) Instalasi
Laboratorium Forensik dan Kedokteran Kehakiman
Gambaran Umum Pelayanan Gizi di Rumah Sakit
Pelayanan gizi rumah sakit (PGRS) adalah salah satu komponen sistem
pelayanan di rumah sakit dan merupakan kegiatan pelayanan gizi untuk
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat rumah sakit yaitu pasien rawat inap,
pasien rawat jalan dan karyawan rumah sakit. Pelayanan gizi bagi pasien rawat
inap merupakan terapi diit, sehingga makanan yang disajikan harus dapat
memenuhi kebutuhan gizi dan membantu proses penyembuhan pasien.
Sedangkan pelayanan gizi bagi pegawai berupa pemberian makanan yang dapat
memberikan tambahan zat gizi untuk meningkatkan kesehatan pegawai sehingga
pegawai dapat bekerja dengan baik. Instalasi Gizi di Rumah Sakit Dustira
merupakan instalasi penunjang perawatan (Jangwat).
Struktur Organisasi
Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira dikepalai oleh seorang kepala instalasi
yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Rumah Sakit. Kepala
Instalasi Gizi dibantu oleh lima orang penanggungjawab yang membawahi unit
produksi dan distribusi makanan, unit rawat inap, unit rawat jalan, unit penelitian
dan pengembangan (Litbang) dan bagian administrasi. Setiap penanggungjawab
28
membawahi pegawai yang bertugas di sub unit gizi. Struktur organisai sub unit
gizi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Ketenagakerjaan
Pola ketenagaan Instalasi Gizi dalam melaksanakan tugasnya dipimpin
oleh seorang Kepala Instalasi Gizi. Tenaga kerja di Instalasi Gizi sebanyak 42
orang dengan perincian sebagai berikut : 3 orang petugas gudang, 2 orang
petugas buah, 4 orang pemasak snack, 13 orang pemasak menu utama, 5 orang
pemasak makanan diet dan makanan enteral, 5 orang pemasak makanan
pegawai, 9 orang ahli gizi, dan 1 orang petugas administrasi.
Sarana dan Prasarana
Instalasi Gizi terletak di bagian belakang gedung Rumah Sakit Dustira.
Pemilihan lokasi ini memudahkan proses produksi terutama saat penerimaan dan
pendistribusian makanan ke pasien. Selain itu, tidak mengganggu pasien dan
unit lainnya dengan suara-suara dan aroma makanan saat proses produksi
(Keitser, 1990). Ruang Instalasi Gizi terbagi menjadi beberapa ruangan yaitu
ruang penerimaan, gudang, ruang persiapan, ruang pengolahan, ruang
penyajian, ruang administrasi, ruang karyawan, dan toilet. Denah Instalasi Gizi
dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambaran Umum Jenis Makanan
Secara umum jenis makanan yang dilayani di Instalasi Gizi terdiri dari
makanan pegawai dan makanan pasien yaitu makanan makanan biasa,
makanan lunak, makanan saring, makanan cair, dan makanan diit. Menu diit
yang diberikan berupa menu diit Rendah Garam (RG), Diabetes Mellitus (DM),
Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP), Rendah Purin (RP) dan Rendah Protein.
Karakteristik Sampel Penjamah Makanan Enteral
Sampel penjamah dalam penelitian ini adalah penjamah yang menangani
proses pembuatan makanan enteral mulai dari tahap pengadaan bahan
makanan,
penerimaan bahan makanan,
penyimpanan
bahan
makanan,
persiapan, pengolahan makanan enteral, pewadahan dan pengemasan serta
distribusi. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik penjamah makanan enteral
di Instalasi Gizi RS Dustira dapat dilihat pada Tabel 5.
Sampel penjamah makanan terdiri dari tiga orang laki-laki (30.0%) dan
tujuh orang perempuan (70.0%). Berdasarkan Tabel 5, lebih dari separuh sampel
penjamah (80.0%) berada pada usia 30-49 tahun dan sisanya (20.0%) berada
29
Tabel 5 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik penjamah makanan enteral di
Instalasi Gizi RS Dustira
No
1
2
3
4
5
Karakteristik Penjamah
Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
Jumlah
Umur (tahun)
a. 19-29
b. 30-49
c. 50-64
Pendidikan Terakhir
a. SD
b. SMP
c. SMA/SMK
Jumlah
Lama bekerja (tahun)
a. 2-6
b. 7-11
c. 12-16
d. 17-21 tahun
Jumlah
Pelatihan Sanitasi Higiene
a. Pernah
b. Belum pernah
Jumlah
Jumlah
n
%
3
7
10
30.0
70.0
100.0
2
8
0
10
20.0
80.0
0.0
100.0
1
4
5
10
10.0
40.0
50.0
100.0
2
3
4
1
10
20.0
30.0
40.0
10.0
100.0
0
10
10
0.0
100.0
100.0
pada usia 19-29 tahun. Usia termuda sampel penjamah adalah 26 tahun dan
tertua yaitu 47 tahun dengan rata-rata umur sekitar 35 tahun.
Tingkat pendidikan sampel penjamah makanan enteral dibagi menjadi
SD, SMP, SMA/SMK dan akademi/PT. Separuh sampel penjamah makanan
enteral (50.0%) memiliki tingkat pendidikan SMA/SMK, dan sebagian lainnya
adalah SD (10.0%) dan SMP (40.0%). Penjamah makanan seharusnya memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar mampu menangani pangan
secara higienis (Hartono 2006).
Lama bekerja dikategorikan menurut Sugiyono (2009) menjadi empat
berdasarkan interval kelas, yaitu 2-6 tahun, 7-11 tahun, 12-16 tahun, dan 17-21
tahun. Berdasarkan Tabel 5, sebanyak 25% penjamah makanan enteral bekerja
selama antara rentang 2-6 tahun dan 12-16 tahun. Sebanyak 37.0% bekerja
selama 7-11 tahun dan sisanya (13.0%) bekerja selama 17-21 tahun. Lama
bekerja tersingkat sampel penjamah adalah dua tahun dan terlama adalah 18
tahun.
Penjamah makanan enteral di instalasi gizi belum pernah diberikan
pelatihan mengenai higiene sanitasi. Pelatihan higiene sanitasi hanya diberikan
30
pada ahli gizi saja. Namun, ahli gizi memberikan pengetahuan yang mereka
dapat dari pelatihan kepada para penjamah makanan enteral sehingga secara
tidak langsung hal tersebut dapat meningkatkan pengetahuan mengenai higiene
sanitasi penjamah makanan enteral. Gunarsa S dan Gunarsa YS (2008)
menyatakan bahwa keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat
pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola,
kerangka berpikir, persepsi dan pemahaman seseorang akan sesuatu. Selain itu,
Hartono (2006) menambahkan pendidikan bagi penjamah makanan mengenai
cara-cara penanganan makanan yang higienis merupakan unsur yang sangat
menentukan di dalam mencegah penyakit bawaan makanan.
Pengetahuan penjamah
Menurut Soekanto (2002), pengetahuan merupakan kesan dalam pikiran
manusia sebagai hasil penggunaan panca indera. Pengetahuan diperoleh oleh
seseorang melalui pendidikan formal dan informal. Pengetahuan higiene sanitasi
penjamah berdasarkan jawaban benar terhadap pertanyaan higiene sanitasi
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran sampel penjamah makanan enteral berdasarkan jawaban benar
terhadap pertanyaan higiene sanitasi
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Materi Pengetahuan
Bahan pencemar makanan
Penyakit bawaan makanan
Prinsip higiene sanitasi makanan
Pencucian
dan
penyimpanan
peralatan
pengolahan makanan
Pemeliharaan kebersihan lingkungan
Higiene perorangan
Persentase (%)
75.0
95.0
77.5
90.0
Kategori
Sedang
Tinggi
Sedang
Tinggi
92.5
90.0
Tinggi
Tinggi
Berdasarkan Tabel 6, sebanyak 75.0% penjamah makanan enteral
mampu menjawab dengan benar pertanyaan mengenai bahan pencemar
makanan. Makanan dapat menjadi tidak aman bila terdapat kontaminasi pada
makanan tersebut. Menurut Gaman dan Sherrington (1993), terdapat tiga
penyebab pangan menjadi tidak aman yaitu keracunan karena kimiawi
(pestisida), fisik (rambut dan batu), dan biologi (bakteri, virus, jamur). Pentingnya
penjamah mengetahui bahan pencemar makanan dengan tujuan untuk
meminimalisasi kontaminasi makanan.
Pada pertanyaan-pertanyaan mengenai penyakit bawaan makanan,
penjamah makanan enteral sebanyak 95.0% mampu menjawab dengan benar.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penjamah makanan enteral
31
telah memahami tentang penyakit bawaan makanan. Bahan makanan yang telah
terkontaminasi akan menyebabkan perubahan rasa, warna, aroma, dan tekstur.
Penjamah makanan enteral harus mengetahui keadaan bahan makanan yang
baik dan terkontaminasi untuk meningkatkan kualitas mutu makanan, karena
konsumen yang dilayani adalah pasien yang tergolong dalam kelompok rentan
dan lebih berisiko untuk terjangkit infeksi dan intoksikasi bawaan makanan.
Penjamah makanan enteral sebanyak 77.5% mampu menjawab dengan
benar dan memahami pertanyaan mengenai prinsip higiene sanitasi makanan.
Prinsip sanitasi dan higiene makanan sangat penting untuk diterapkan dengan
tujuan untuk menghindari makanan menjadi tidak aman. Menurut Depkes (2004),
prinsip higiene sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap empat factor
yaitu, tempat, peralatan, orang dan bahan makanan. Selain itu terdapat empat
prinsip sanitasi makanan yaitu : 1) pemilihan bahan makanan, 2) penyimpanan
bahan makanan, 3) pengolahan makanan, dan 4) penyimpanan makanan masak.
Berdasarkan Tabel 6, sebanyak 90.0% penjamah makanan enteral
mampu menjawab dengan benar pertanyaan mengenai pencucian dan
penyimpanan peralatan pengolahan makanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar penjamah makanan enteral mampu memahami pencucian dan
penyimpanan peralatan pengolahan makanan yang baik dan benar. Bila
penjamah tidak melakukan pencucian dan penyimpanan peralatan dengan
benar,
peralatan
tersebut
dapat
menjadi
sumber
pencemar
makanan.
Penyimpanan peralatan yang telah dibersihkan sebaiknya disimpan di tempat
yang tepat untuk menghindari pencemaran, karena peralatan yang dipakai untuk
mengolah makanan bila penanganannya tidak sesuai dapat menjadi sumber
pencemaran makanan (Moehyi 1992).
Sebanyak 92.5% penjamah makanan enteral dapat menjawab dengan
benar pertanyaan-pertanyaan mengenai pemeliharaan kebersihan lingkungan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penjamah memahami
pentingnya pemeliharaan kebersihan lingkungan. Pemeliharaan kebersihan
lingkungan meliputi frekuensi pembuangan sampah, fasilitas sanitasi yang harus
dimiliki tempat penyelnggaraan makanan, upaya pengendalian hama, dan
keadaan air bersih. Pentingnya mengetahui tentang pemeliharaan kebersihan
lingkungan yaitu untuk mendukung terciptanya lingkungan yang bersih dan aman
dalam penyelenggaraan produksi makanan.
32
Pada pertanyaan-pertanyaan mengenai higiene perorangan, sebanyak
90.0% penjamah makanan enteral mampu menjawab dengan benar.
Hal
tersebut menunjukkan bahwa penjamah makanan enteral memahami pentingnya
kebersihan diri, penggunaan baju khusus, penutup kepala dan tidak memakai
perhiasan, serta kebiasaan yang tidak boleh dilakukan saat sedang mengolah
makanan. Pentingnya personal higiene adalah untuk menghindari penularan
penyakit yang berasal dari tubuh penjamah. Menurut Jennie (2000), penjamah
yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan menjadi salah satu penyebab
terjadinya kontaminasi silang pada makanan.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada penjamah makanan
enteral kemudian diberi skor dan dikelompokkan menjadi ketegori rendah,
sedang dan tinggi. Pengkategorian pengetahuan ini didasarkan pada Khomsan
(2000), yakni baik atau tinggi dengan skor >80.0%, sedang dengan skor 60.0%
hingga 80.0%, dan kurang dengan skor <60.0%. Tingkat pengetahuan higiene
sanitasi penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7 Tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah makanan enteral di
Instalasi Gizi RS Dustira
Jumlah
Tingkat pengetahuan
n
0
1
9
10
Kurang (<60.0%)
Sedang (60.0%-80.0%)
Baik (>80.0%)
Total
%
0.0
10.0
90.0
100.0
Berdasarkan Tabel 7, sebagian besar (90.0%) sampel penjamah
makanan enteral sudah memiliki pengetahuan yang baik dan hanya 10.0% yang
memiliki tingkat pengetahuan sedang. Menurut Soekanto (2002) tingkat
pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang kerana
berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek
tertentu.
Perilaku Higiene Sanitasi Penjamah
Pegawai yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan dapat menjadi
salah satu faktor risiko penyebab terjadinya kontaminasi silang pada makanan.
Pegawai dapat terjangkit penyakit melalui bagian tubuhnya, seperti: kulit, mulut,
rambut, kuku dan lainnya. Bagian-bagian tersebut jika tidak terawat dengan baik
dan
kotor
merupakan
tempat
yang
baik
bagi
pertumbuhan
dan
perkembangbiakan mikroba. Mikroba jika sudah berkembang biak di dalam tubuh
33
akan mengancam kesehatan tubuh. Tubuh yang tidak kuat memerangi mikroba,
akan menjadi lemah dan akhirnya menjadi sakit. Penularan penyakit juga dapat
terjadi melalui bagian-bagian tubuh tersebut. Para pegawai yang terinfeksi
patogen dapat mengkontaminasi makanan. Kontaminasi ini dapat dihindari bila
pegawai dilatih untuk menjaga higiene dan sanitasi personalia dengan baik
(Jenie 2000).
Penggunaan apron.
Berdasarkan hasil pengamatan, seluruh penjamah menggunakan apron
atau pakaian kerja khusus. Apron yang digunakan penjamah terbuat dari bahan
katun dan berbentuk celemek. Apron hanya dipakai di Instalasi Gizi sehingga
dapat mencegah kontaminasi debu dari luar Instalasi Gizi. Pencucian apron tidak
dilakukan secara periodik. Apron tersebut dicuci bila sudah terlihat kotor. Menurut
Moehyi (1992), penggantian dan pencucian apron secara periodik akan
mengurangi risiko kontaminasi. Selain itu, apron yang bersih akan menjamin
higiene dan sanitasi pengolahan makanan, karena tidak terdapat debu atau
kotoran yang melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat
mencemari makanan.
Penggunaan penutup rambut
Penjamah yang menggunakan penutup rambut sebanyak 70.0%. Penutup
kepala yang digunakan adalah jilbab dan topi (hair net) yang tidak menutupi
rambut secara keseluruhan, sehingga masih memungkinkan jatuhnya rambut ke
makanan. Rambut yang berasal dari kepala terkadang terkontaminasi oleh
bakteri seperti Staphylococcus aureus dan bakteri lainnya, tetapi bukan
merupakan sumber kontaminasi utama mikroba pada makanan (Jennie 2000).
Rambut yang jatuh dalam makanan enteral merupakan jenis kontaminan fisik
yang akan menurunkan kualitas makanan dan citra Instalasi Gizi.
Penggunaan sepatu kedap air
Penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi tidak menggunakan sepatu
kedap air, mereka lebih memilih menggunakan sandal karet dengan alasan lebih
nyaman dan lebih memudahkan untuk bergerak pada saat bekerja. Sandal yang
mereka
gunakan
khusus
untuk
digunakan
di
Instalasi
Gizi.
Tempat
penyimpanannya di loker khusus karyawan. Hal tersebut tidak sejalan dengan
peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (2011), bahwa atribut yang
sebaiknya digunakan saat mengolah makanan adalah penutup kepala, apron
34
dan sepatu karet. Atribut tersebut sebaiknya digunakan untuk melindungi
pencemaran terhadap makanan.
Penggunaan sarung tangan
Sebanyak 80.0% penjamah makanan enteral tidak menggunakan sarung
tangan saat bekerja. Penjamah yang menggunakan sarung tangan adalah
penjamah di bagian persiapan terutama penjamah yang menangani persiapan
buah. Hal ini menunjukkan masih kurangnya kesadaran penjamah akan
pentingnya menghindari kontaminasi dari tangan ke makanan. Tangan pegawai
yang telah tercemar mikroorganisme patogen akan memindahkan mikroba
tersebut ke pakaian atau serbet yang bersentuhan dengan makanan atau tangan
tersebut (Jennie 2000).
Kontaminasi dari tangan penjamah dapat dicegah dengan penggunaan
sarung tangan. Instalasi Gizi menyediakan sarung tangan dispossable dalam
jumlah yang cukup untuk seluruh pegawai, tetapi sarung tangan ini tidak
digunakan dengan baik oleh penjamah. Menurut Moehyi (1992), cara lain untuk
menghindari kontaminasi dari tangan pegawai adalah dengan tidak memegang
makanan langsung dengan tangan, tetapi menggunakan sendok garpu atau alat
pengambil makanan lainnya.
Kebiasaan mencuci tangan
Seluruh penjamah selalu mencuci tangan setiap akan melakukan
pekerjaan, setelah keluar dari toilet, pada saat tangan kotor, dan setelah
menangani bahan makanan. Namun, penjamah tidak mencuci tangan ketika
beralih menangani bahan makanan lain seperti pada saat persiapan dan
pengolahan. Keenganan untuk mencuci tangan karena dirasakan memakan
waktu dan merasa bahwa tangan sudah besih. Pegawai yang menangani bahan
makanan harus mencuci tangan sebelum menangani makanan masak, sehingga
tidak ada organisme patogen yang dapat hidup didalamnya (Jennie 2000). Selain
itu menurut Arisman (2009) tangan perlu dicuci karena ribuan jasad renik, baik
flora normal maupun cemaran, menempel di tempat tersebut dan mudah sekali
berpindah ke makanan yang tersentuh.
Kendala yang dihadapi untuk menghindari kontaminasi dari tangan
pegawai adalah tidak disediakannya fasilitas cuci tangan yang memadai
terutama sabun dan lap pengering, sehingga tangan pegawai yang sudah dicuci
masih berisiko mengandung mikroba dan akan mengkontaminasi makanan.
35
Pencucian yang baik menurut Fardiaz (1999) adalah dengan membasahi
tangan di bawah air hangat yang mengalir, tangan diberi sabun dan digosok
selama 15 detik, kemudian dibilas dan dikeringkan dengan handuk kertas.
Penggunaan penutup muka (masker)
Masker dapat menahan kontaminasi dari mulut dan hidung. Berdasarkan
hasil pengamatan, tidak ada pegawai yang menggunakan masker pada saat
pengolahan makanan enteral. Hal tersebut dikarenakan pihak Instalasi Gizi tidak
menyediakan masker untuk digunakan penjamah pada saat proses produksi.
Menurut Jennie (2000), mulut dan hidung merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan mikroba terutama pada saat berkeringat. Mikroba ini dapat
mengkontaminasi
makanan
melalui
udara.
Penggunaan
masker
dapat
meningkatkan pertumbuhan mikroba. Udara akan menjadi lebih pengap atau
panas saat penggunaan masker, sehingga terjadi pengeluaran keringat yang
lebih banyak. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan mengurangi kebiasaan
berbicara, tertawa dan memegang muka saat bekerja (Marriot 1997).
Perilaku saat bekerja
Perilaku saat bekerja yang sering dilakukan penjamah adalah berbicara
saat bekerja. Berbicara saat bekerja memungkinkan jatuhnya air liur dan kotoran
lain dari mulut ke bahan makanan yang dipersiapkan (Jennie 2000). Selain itu
penggunaan perhiasan dan kosmetik pada pegawai wanita masih dilakukan.
Sebanyak 40.0% penjamah makanan enteral terutama penjamah wanita masih
menggunakan perhiasan pada saat mengolah makanan. Perhiasan yang sering
dipergunakan adalah cincin. Tangan yang dilengkapi perhiasan akan sulit dicuci
sampai bersih karena adanya lekukan perhiasan dan permukaan kulit disekitar
perhiasan.
Sisa-sisa makanan dapat menempel pada perhiasan sehingga
mikroba dapat tumbuh dan berpindah ke makanan (Sambas 1991). Perhiasan
tidak boleh digunakan saat menangani makanan karena dikawatirkan masuk dan
jatuh dalam makanan tanpa dapat dicegah dan disadari, hal tersebut dapat
mencemari makanan (Depkes 2002).
Fasilitas Fisik dan Sanitasi
Fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
diobservasi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/
PER/VI/2011 yang diukur berdasarkan jumlah skor dan kategori. Hasil observasi
terhadap fasilitas fisik dan sanitasi Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira dapat
dilihat pada Tabel 8.
36
Tabel 8 Fasilitas Fisik dan Sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No.
Fasilitas Fisik dan Sanitasi
Bobot
Nilai
1
1
1
1
1
100
1
1
100
1
1
100
1
1
100
1
1
100
1
1
100
1
1
100
5
1
4
1
80
100
3
3
100
2
1
50
1
1
100
4
3
75
1
0
0
16
Halaman bersih, rapi, kering, dan berjarak sedikitnya 500
meter dari sarang lalat/tempat pembuangan sampah,
serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang
berasal dari sumber pencemaran
Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan
bebas dari barang-barang yang tidak berguna atau
barang sisa
Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara,
dan mudah dibersihkan
Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara
dan bebas dari debu
Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan
kedap air setinggi 2 meter dari lantai
Pintu dan jendela dibuat dengan baik dan kuat. Pintu
dibuat menutup sendiri, membuka kedua arah, dan
dipasang alat penahan lalat dan bau. Pintu dapur
membuka kearah luar
Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak
menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc
pada bidang kerja.
Ruang pengolahan maupun peralatan dilengkapi ventilasi
yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak
pengap
Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan
Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC
dan saluran air hujan lancer, baik dan tidak menggenang
Jumlah fasilitas cuci tangan dan toilet cukup, tersedia
sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan
Tersedia tempat sampah yang cukup, bertutup, anti lalat,
kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastic yang selalu
diangka setiap kali penuh
Tersedia luas lantai yang cukup untuk pekerja pada
bangunan, dan terpisah dengan tempat tidur atau tempat
mencuci pakaian
Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan
peliharaan, dan hewan pengganggu lainnya
Ruangan bersih dari barang yang tidak berguna. Barang
tersebut disimpan rapi di gudang
Pertemuan sudut lantai dan dinding lengkung (konus)
Skor
(%)
100
1
0
0
17
Ruang pengolahan tidak dipakai sebagai ruang tidur
1
1
100
18
Alat pembuangan asap dilengkapi filter (penyaring)
1
1
100
Jumlah
23
17
83,6
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Berdasarkan Tabel 8, setelah dilakukan penilaian, skor yang didapat
adalah 83.6%. Total skor sebesar 83.6% berada dalam kisaran 83%-92%.
Artinya, rumah sakit secara umum laik fasilitas fisik dan sanitasi dengan tingkat
mutu golongan B berdasarkan Permenkes no. 1096/Menkes/PER/VI/2011.
37
Lokasi.
Bangunan Instalasi Gizi tidak berdekatan dengan sumber pencemaran
seperti tempat sampah umum, WC umum, dan sumber pencemaran lainnya
sehingga tidak tercium bau busuk. Selain itu, halaman Instalasi Gizi terlihat
bersih, tidak bersemak, dan tidak banyak lalat. Hal tersebut sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan (2011).
Keadaan konstruksi.
Bangunan Instalasi Gizi terletak di bagian belakang gedung Rumah Sakit
Dustira. Pemilihan lokasi di belakang gedung Rumah Sakit akan memudahkan
proses penerimaan bahan makanan maupun distribusi makanan ke pasien.
Bangunan dibagi menjadi beberapa ruangan yang didesain sedemikian rupa
sehingga arus kerja dan lalu lintas pegawai lancar dan teratur. Di beberapa
ruangan terdapat barang-barang yang tidak berguna seperti tumpukan kardus
dan plastik bekas. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (2011), ruangan harus
bersih dari barang yang tidak berguna, karena dapat mengundang serangga atau
hewan pengerat.
Lantai dan dinding
Lantai ruang instalasi gizi tidak licin dan mudah dibersihkan, namun ada
beberapa lantai yang retak dan bolong sehingga memungkinkan adanya
timbunan kotoran di sela-sela lantai yang retak tersebut. Seharusnya lantai
dibuat kuat, tidak mudah rusak, permukaan lantai harus dibuat kedap air dan
tidak ada retakan dan sambungan, tidak licin dan tahan terhadap pembersihan,
jika terdapat retakan dan sambungan harus segera diperbaiki (Depkes 2002).
Jadwal pembersihan lantai selalu dilakukan setiap hari dan setiap lantai kotor.
Kegiatan pembersihan yang biasa dilakukan yaitu menyapu sampah-sampah
yang berserakan dan mengepel genangan air atau kotoran yang menempel.
Dinding pengolahan makanan enteral yang selalu terkena percikan air
menggunakan porselen dengan tinggi 2 m dan warnanya memantulkan cahaya.
Lapisan porselen tidak mudah kotor bila terkena asap atau debu dan mudah
dibersihkan. Sudut antara dinding dengan lantai tidak berbentuk lengkung
(conus). Hal tersebut dapat menimbulkan risiko tertimbunnya debu diantara
sudut-sudut tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (2011) sudut
dinding dengan lantai berbentuk lengkung dimaksudkan untuk memudahkan
dalam pembersihan dan agar tidak menyimpan debu atau kotoran.
38
Langit-langit.
Bidang langit-langit di Instalasi Gizi menutupi seluruh atap bangunan dan
terbuat dari bahan yang permukaannya rata serta mudah dibersihkan. Tinggi
langit-langit >2,4m di atas lantai, kondisi langit-langit tidak mudah mengelupas
namun agak sedikit kotor. Pembersihan langit-langit dilakukan setiap 1 bulan
sekali. Menurut Permenkes (2011), langit-langit harus menutup seluruh atap
bangunan, serta tinggi langit-langit minimal 2,4 meter di atas lantai.
Pintu dan jendela.
Pintu di Instalasi Gizi mengarah ke luar. Pada saat proses pengolahan
berlangsung, pintu selalu terbuka lebar dan tidak pernah ditutup. Hal ini bertujuan
agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan pengolahan. Namun, hal
tersebut dapat meningkatkan risiko debu yang berada di luar ruangan dan
serangga (lalat) atau hewan lain dapat masuk dengan bebas ke ruang
pengolahan. Jendela di bangunan Instalasi Gizi tidak dilengkapi dengan kawat
kasa (anti serangga). Jadwal pembersihan jendela dilakukan setiap hari pada
saat pengolahan berlangsung.
Depkes (2002) menyatakan bahwa seluruh pintu dan jendela pada
bangunan yang dipergunakan untuk pengolahan harus membuka ke arah luar.
Pintu ruangan pengolahan harus dapat menutup sendiri. Hal ini untuk
memudahkan penyelamatan diri pada waktu keadaan darurat.
Pencahayaan dan ventilasi.
Pencahayaan di ruang pengolahan cukup terang dan tidak menimbulkan
bayangan. Pencahayaan di ruang pengolahan lebih mengutamakan cahaya yang
berasal dari luar ruangan (cahaya matahari) karena pintu yang terbuka lebar.
Sedangkan pencahayaan di ruangan lain cukup terang karena dibantu oleh
lampu. Ruangan Instalasi Gizi memiliki ventilasi yang menjamin peredaran udara
dengan baik. Terdapat exhausher fan di ruang pengolahan yang berfungsi untuk
menjaga alur udara tetap baik dan menghilangkan asap atau debu yang masuk
ke ruangan. Menurut Subandriyo (1993), tinggi ventilasi sekurang-kurangnya 1 m
dari lantai. Ventilasi pada bangunan tidak boleh terakumulasi debu dan
dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah masuknya serangga. Selain itu
Fardiaz (1999) menambahkan, kontrol suhu udara juga dapat dilakukan dengan
menggunakan sistem aliran udara (exhauster fan). Mekanisme kerja exhauster
fan harus diatur sehingga udara tidak mengalir dari tempat kotor ke tempat
bersih.
39
Tempat pencucian.
Tempat pencucian alat kadang suka digabung dengan pencucian bahan
makanan, begitu juga sebaliknya. Tempat pencucian alat berbentuk wastafel dan
keadaannya agak berkarat. Tempat pencucian alat ada di ruang persiapan dan di
ruang pengolahan. Menurut Jennie (2000) dalam pengolahan pangan, wadah
dan alat pengolahan yang kotor serta mengandung mikroba merupakan salah
satu sumber kontaminasi. Mencuci peralatan menjadi bersih dapat menghindari
peluang terjadinya kontaminan.
Instalasi gizi memiliki tempat cuci tangan bagi pegawai, namun fasilitas
cuci tangan tersebut rusak sehingga pegawai mencuci tangan dimana saja,
terutama ditempat pencucian bahan makanan atau tempat pencucian alat. Di
tempat pencucian alat atau bahan makanan tidak ditemukan fasilitas cuci tangan
seperti lap kering untuk mengeringkan tangan. Tidak adanya lap pengering akan
menghambat pegawai untuk mencuci tangan dengan baik, maka tangan yang
digunakan untuk mengolah tidak terjamin bersih dan bebas dari mikroba dan
kotoran yang menempel. Tempat pencucian di Instalasi Gizi tidak dilengkapi
dengan saluran air panas. Idealnya tempat cuci tangan terpisah dari tempat cuci
peralatan maupun bahan makanan dilengkapi dengan air mengalir dan sabun,
saluran pembuangannya tertutup, bak penampung air dan alat pengering.
Sumber air bersih.
Sistem penyediaan air bersih di Instalasi Gizi berasal dari sumur,
sehingga dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih setiap enam bulan sekali
untuk mengetahui kualitas air yang digunakan dan kemungkinan terjadinya
kontaminasi dari air. Air bersih di Instalasi Gizi cukup untuk seluruh kegiatan
penyelenggaraan makanan. Kualitas air bersih berdasarkan kategori uji fisik dan
kimia sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku,
namun belum memenuhi syarat untuk kategori mikrobiologi. Pemasakan atau
perebusan air yang akan digunakan untuk pengolahan dapat meminimalisasi
atau menghilangkan mikroba yang ada pada air tersebut.
Tempat sampah.
Sarana tempat sampah yang digunakan di Instalasi Gizi kurang
memenuhi syarat. Tempat sampah yang ada di instalasi gizi
berjumlah tiga
buah. Berdasarkan hasil pengamatan tempat sampah tidak dipisahkan antara
sampah basah (organic) dan sampah kering (anorganic). Tempat sampah terlihat
agak kotor dan kondisinya tidak tertutup. Kondisi tempat sampah yang terbuka
40
akan mengkontaminasi makanan melalui debu dan kotoran dari tempat sampah
yang terbawa udara. Debu dan kotoran tersebut mengandung mikroba dari
sampah di dalamnya. Menurut Depkes (2000), seharusnya tempat sampah
mempunyai tutup dan dilapisi plastik sehingga mudah dibersihkan dan tidak
mengkontaminasi makanan serta terlindung dari serangga serta hewan lainnya.
Jadwal pembuangan sampah dilakukan setiap hari dan saat tempat sampah
sudah penuh.
Penyelenggaraan Makanan Enteral di Instalasi Gizi RS Dustira
Makanan enteral diproduksi oleh Instalasi Gizi Rumah Sakit diberikan
untuk pasien rawat inap yang tidak dapat mengkonsumsi makanan secara oral
dengan optimal. Penyelenggaraan makanan enteral di instalasi gizi melalui
beberapa tahapan produksi yang meliputi tahap-tahap sebagai berikut :
1) Perencanaan menu, 2) Pengadaan bahan makanan, 3) Penerimaan bahan
makanan, 4) Penyimpanan bahan makanan, 5) Persiapan dan pengolahan, 6)
Pewadahan, dan 7) Distribusi.
Perencanaan menu.
Perencanaan menu makanan enteral bagi pasien di Rumah Sakit Dustira
tidak dibedakan berdasarkan kelas perawatan, namun berdasarkan kondisi
kesehatan masing-masing pasien. Tatalaksana makanan enteral disesuaikan
dengan kondisi kesehatan dan status gizi pasien. Standar porsi yang diberikan
kepada pasien sesuai dengan kebutuhan gizi dan kondisi kesehatan tiap pasien.
Jenis menu makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira yaitu
untuk pasien dengan penyakit DM dan komplikasinya, ginjal dan komplikasinya,
jantung dan komplikasinya, hati, ODHA, gastritis, pasca operasi, dan stroke.
Perencanaan formulasi menu makanan enteral bagi pasien yang memerlukan
terapi diit khusus, seperti salah satunya diit diabetes mellitus (DM) yang
membedakan hanya penggunaan bahan pangan seperti gula dan susu. Pasien
DM akan diberikan bahan makanan khusus seperti susu dan gula khusus untuk
penyakit DM.
Menu makanan enteral terbagi menjadi dua, meliputi makanan enteral
diet khusus yaitu makanan enteral untuk pasien yang diberikan terapi diit khusus
seperti DM, ginjal, jantung dan lain-lain, serta makanan enteral biasa yaitu
makanan enteral untuk pasien yang tidak diberikan terapi diit khusus seperti
pasien luka bakar dan pasca operasi. Beberapa formulasi makanan cair biasa
dan makanan cair diet khusus disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10.
41
Tabel 9 Formulasi Menu Makanan Cair Biasa
Bahan Pangan
URT
Tepung beras
12 sdm
Telur ayam
1 btr
Putih telur
2 btr
Susu full cream
9 sdm
Gula
7 sdm
Margarine
1.5 sdt
Air
1000 ml
Sumber : Resep makanan cair biasa Instalasi Gizi RS Dustira
Perkiraan Berat
75 gr
55 gr
70 gr
45 gr
90 gr
7.5 gr
1000 ml
Kandungan Zat Gizi (kal)
263
75
100
225
350
75
-
Tabel 10 Formulasi Menu Makanan Cair Diet Khusus
Jantung (2100 kkal)
Ginjal (1250 kkal)
pemberian @140 ml (10x)
pemberian @200 ml (6x)
Bahan
1 ml = 1.5 kal
1 ml = 1 kal
Pangan
URT
Perkiraan
Kandungan
URT
Perkiraan
Kandungan
Berat
Energi (kkal)
Berat
Energi (kkal)
Tepung beras
24 sdm
150 gr
525
30 sdm
187.5 gr
656
Telur ayam
3 btr
165 gr
300
2 btr
110 gr
150
Putih telur
2 btr
70 gr
100
2 btr
70 gr
100
Susu
9 sdm
45 gr
225
9 sdm
45 gr
225
Buah
4 ptg bsr
400
200
1 ptg bsr
150 gr
50
Sayur
2 gls
200
50
Gula
7.5 sdm
100 gr
384
2 sdm
26 gr
100
Margarine
5 sdt
25 gr
250
2 sdt
10 gr
100
1400 ml
1250 ml
1250 ml
Air
1400 ml
Sumber : Resep makanan cair diet khusus Instalasi Gizi RS Dustira
DM (1400 kkal)
pemberian @250 ml (6x)
1 ml = 1 kal
URT
Perkiraan
Kandungan
Berat
Energi (kkal)
28 sdm
175 gr
613
2 btr
110 gr
150
3 btr
105 gr
150
12 sdm
60 gr
300
1 gls
100 gr
25
3 sdt
15 gr
150
1400 ml
1400 ml
-
41
42
Tabel 9 dan 10 menunjukkan bahwa formulasi menu makanan enteral
yang ditetapkan oleh Instalasi Gizi disesuaikan dengan kebutuhan gizi masingmasing pasien. Contohnya pasien dengan diit ginjal yang kebutuhan gizinya
sekitar 1250 kkal, maka pasien akan diberikan makanan enteral dengan volume
± 1250 ml untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Tanra (1998) menyatakan bahwa
salah satu syarat makanan enteral yang harus dipenuhi adalah memiliki
kepadatan kalori yang tinggi. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1 kkal/ml cairan
dan Hartono (2000) menambahkan, 1 ml makanan enteral umumnya dibuat
setara dengan 1 kalori. Selain itu, ahli gizi juga mempertimbangkan jika asupan
cairan pasien harus dibatasi maka formula 1,5 atau 2 kkal/ml akan diberikan.
Contohnya pada pasien dengan penyakit jantung yang asupan cairannya harus
dibatasi, maka ahli gizi membuat formula sesuai dengan kebutuhan gizi pasien
yaitu 2100 kkal dengan volume cairan sebanyak 1400 ml. Hal tersebut
menunjukkan bahwa setiap 1 ml makanan enteral mengandung 1.5 kkal. Thaha
(1998) mengemukakan bahwa formula standar untuk kebanyakan pasien adalah
1 kkal/ml, namun jika cairan harus dibatasi maka lebih cocok diberikan formula
1.5 atau 2 kkal/ml.
Pengadaan bahan pangan.
Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira melakukan pengadaan bahan pangan
melalui rekanan. Rekanan memasok bahan pangan sesuai dengan kriteria mutu
yang telah dibuat oleh instalasi gizi, baik jumlah, mutu maupun kualitas.
Umumnya setiap penyelenggaraan makanan di rumah sakit selalu menetapkan
kriteria mutu bahan makanan yang dibuat oleh instalasi gizi. Hal ini bertujuan
untuk memperoleh mutu yang baik. Kriteria mutu antara lain segar, utuh, tidak
rusak, wadah/kemasan asli, terdaftar, dan tidak kadaluarsa. Bahan pangan
pembuat makanan enteral seperti sayur dan buah dipasok setiap hari, telur
dipasok setiap tiga hari sekali, sedangkan susu, margarin dan gula dipasok
setiap 15 hari sekali.
Kriteria mutu yang ditetapkan oleh instalasi gizi Rumah Sakit Dustira
adalah kategori umum yang biasa digunakan untuk ukuran rumah tangga dan
belum menunjukkan kualitas bahan makanan yang sebenarnya. Menurut Keister
(1990), spesifikasi tersebut kurang tepat bila digunakan untuk penyelenggaraan
makanan institusi karena tidak mendefinisikan secara lengkap kriteria mutu tiap
bahan makanan, terutama mengenai mutu organoleptik dan ciri fisik. Kriteria
43
mutu yang ditetapkan Instalasi Gizi untuk kelompok bahan makanan pembuat
makanan enteral dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Spesifikasi mutu pada bahan pangan pembuat makanan enteral di
Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
Bahan makanan
Beras
Telur ayam
Spesifikasi
Tidak berkutu, bersih, tidak ada kerikil
Segar, kulit bersih, ±15-16 btr/kg, tidak busuk, warna
coklat muda.
Susu
Kemasan @400 gram, tidak kadaluarsa, tidak penyok,
tidak apek
Gula
Kering, putih, bersih, dalam negeri. Isi @49-50 kg per
karung, karung bukan bekas pupuk atau bahan kimia
lainnya, local, halus.
Margarine
Berasal dari tumbuhan, murni berkualitas baik, izin
depkes, kemasan 200 gr/kemasan
Segar, tua, manis, warna merah jingga, tidak busuk,
Papaya
tidak bonyok, bentuk beraturan, minimal 2 kg/buah
Melon
Masak, manis, tua harum, min 2 kg/buah, tidak busuk,
tidak bonyok, utuh
Wortel
Segar, muda, bersih, tanpa batang, daun dan akar ±810 bh/kg
Bayam
Segar, muda, bersih tidak berakar, batang ± 5 cm,
tidak berbulu.
Labu siam
Segar, muda, bersih, tidak berulat
Sumber : Spesifikasi bahan makanan Instalasi Gizi RS Dustira
Satuan
Kg
Kg
Dus
Kg
Kg
Kg
Kg
Kg
Kg
Kg
Tabel 11 menunjukkan kriteria mutu untuk sayur dan buah tidak
mendefinisikan secara lengkap mengenai aspek mutu. Menurut Muchtadi dan
Sugiyono (1992) sayuran yang baik dapat diketahui dengan memperhatikan mutu
organoleptik seperti warna aroma tekstur. Sayuran yang segar akan berwarna
hijau atau orange cerah, tidak ada luka, cacat, atau noda, dan tidak berair.
Instalasi gizi tidak menetapkan spesifikasi untuk tepung beras karena tidak
memesan dari rekanan. Tepung beras yang digunakan oleh Instalasi gizi adalah
tepung beras hasil gilingan dari butiran beras yang dibuat menjadi tepung.
Kriteria umum mutu yang baik untuk bahan pangan disajikan pada Tabel 12.
Penerimaan Bahan Pangan.
Tahap penerimaan bahan pangan adalah suatu proses kegiatan yang
meliputi pemeriksaan, penelitian, pencatatan,
pengambilan keputusan dan
pelaporan spesifikasi bahan makanan menurut permintaan (Subandriyo 1993).
Kegiatan penerimaan bahan pangan dilakukan di ruangan penerimaan oleh
petugas penerimaan yang merangkap sebagai petugas gudang, tidak ada tim
atau bagian khusus yang menangani proses penerimaan. Kondisi yang ideal
adalah menempatkan orang yang memiliki pengetahuan mengenai kualitas
bahan pangan karena kegiatan ini berkaian dengan pemeriksaan kesesuaian
44
Tabel 12 Kriteria umum mutu pada bahan pangan
Bahan makanan
Beras
Kriteria mutu
Warna agak putih dan sedikit mengkilat, butiran-butiran biji beras
tampak utuh dan tidak banyak yang patah, tidak mengeluarkan bau
yang tidak wajar, bersih dari berbagai kotoran, seperti debu, ulat
atau kutu beras, dan pasir.
Tepung beras
Butiran kering, tidak lembab/basah, bersih dari berbagai kotoran
seperti kutu/serangga dan kerikil.
Telur ayam
Kulit telur masih utuh dan tidak retak, jika dilihat di sinar terang,
telur tampak jernih, tenggelam jika dimasukkan ke dalam air, tidak
berbunyi jika digoyang-goyang, kuning telur masih bulat dan
terletak di tengah-tengah, tidak mengeluarkan bau yang tidak
sedap.
Tepung susu
Butiran kering, tidak lembab/basah, aroma khas, tidak ada kutu
(komersial)
atau serangga, tidak kadaluarsa, memiliki label dan merk, terdaftar
dan mempunyai nomor daftar, kemasan tidak rusak.
Gula pasir
Kering, putih, tidak lembab, tidak ada serangga, warna mengkilap,
rasa manis
Margarine
Kemasan utuh, berisi penuh, tidak ada bagian yang dimakan
serangga, tidak kadaluarsa, warna kuning mengkilap, memiliki label
dan merk, terdaftar dan mempunyai nomor daftar.
Papaya
Warna sesuai warna bawaan, tidak ada warna tambahan, kulit utuh,
tidak rusak/busuk, bersih, warna daging merah jingga, beraroma
khas, tekstur lunak.
Melon
Bentuk bulat, kulit utuh, tidak rusak/cacat, bersih, matang, manis
Wortel
Warna orange cerah, tidak ada noda hitam, bersih, tekstur agak
keras/tidak lunak, tidak berair
Bayam
Warna hijau cerah, tidak ada bagian yang terpotong yang berwarna
coklat, tidak ada yang busuk atau rusak, utuh, tidak layu, tidak
berair, bersih, tidak berulat.
Labu siam
Warna hijau, tidak ada bagian yang luka/berlubang, bersih, tidak
lunak, tidak berulat, tidak berair, segar
Sumber : Muchtadi & Sugiyono (1992), Permenkes (2011)
bahan pangan yang diterima dengan yang dipesan. Kegiatan penerimaan yang
dilakukan berupa pemeriksaan surat jalan yang berisi jenis dan jumlah bahan
yang dipesan, jenis dan jumlah bahan yang dikirim, serta spesifikasi mutu setiap
bahan yang harus dipenuhi.
Peralatan
yang
tersedia di
ruang
penerimaan
yaitu timbangan.
Timbangan digunakan untuk memeriksa kesesuaian berat bahan makanan yang
dipesan dengan berat bahan makanan yang diterima.
Telur yang diterima, diperiksa secara seksama oleh petugas penerima
bahan pangan dengan aspek yang di lihat yaitu keutuhan telur, kesegaran telur,
dan jumlah yang dipesan. Pengendalian mutu yang dilakukan oleh petugas
penerima untuk bahan pangan telur yaitu dengan memeriksa secara seksama
kesegaran telur, bila ada telur yang busuk akan segera di buang dan segera
meminta ganti kepada rekanan. Penerimaan bahan makanan kemasan seperti
susu, gula, dan margarine diterima setiap 15 hari sekali, dan pemeriksaan
45
dilakukan dengan memeriksa label atau kemasan yang digunakan, tanggal
kadaluarsa, keutuhan serta jumlah yang dipesan. Pengendalian mutu yang
dilakukan adalah meminta bahan pangan pengganti bila ditemukan bahan
pangan yang tidak layak pakai.
Penerimaan sayuran dan buah-buahan dilakukan dengan cara ditimbang
dan dicatat terlebih dahulu, namun karena tidak ada meja penerimaan sehingga
sayuran dan buah yang telah ditimbang diletakkan di lantai begitu saja.
Pemeriksaan sayur dan buah yang diperhatikan adalah kesesuaian jenis, jumlah
dan berat yang telah dipesan. Kesegaran dan keutuhan sayur dan buah kurang
diperhatikan.
Pemasok bahan makanan tidak memperhatikan suhu dalam alat angkut
maupun wadah yang digunakan saat pengiriman dari tempat pemasok ke
Instalasi Gizi, sehingga mengakibatkan perubahan struktur dan fisiologis yang
ditunjukkan dengan beberapa sayuran yang layu. Sayuran yang layu tidak
dikembalikan kepada pemasok, namun pengendalian mutu yang dilakukan oleh
petugas pada sayuran dilakukan pada saat tahap persiapan yaitu dengan cara
memilih bagian sayuran yang masih segar dan dapat dimakan.
Wadah yang digunakan oleh pemasok hanya berupa plastik. Sebaiknya
wadah yang digunakan dapat menjaga suhu dan keutuhan bahan pangan yang
akan digunakan serta dapat mencegah kontaminasi dari bahan pangan lain
ataupun dari hewan seperti serangga, maupun hama. Tabel 13 menunjukkan
hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penerimaan bahan makanan
enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira. Berdasarkan Tabel 13, higiene
sanitasi pada tahap penerimaan bahan pangan sudah memenuhi syarat menurut
Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 93.3%.
Tabel 13 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penerimaan bahan
makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No.
Penerimaan
Kisaran
Nilai
Nilai*
Pengamatan
1.
Bahan dan keutuhannya
0–5
4
2.
Tenaga penanggung jawab
0–5
5
3.
Peralatan
0–2
2
Jumlah
12
10
*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011
Skor (%)
80.0
100.0
100.0
93.3
Penyimpanan bahan pangan.
Menurut Mukrie (1990), tujuan penyimpanan adalah mempertahankan
mutu, melindungi bahan makanan, melayani kebutuhan bahan makanan dalam
macam dan jumlah dengan mutu dan waktu yang tepat serta untuk menyediakan
46
persediaan bahan makanan dalam macam, jumlah, dan mutu yang memadai.
Menurut Moehyi (1992), penyimpanan bahan makanan harus dipisahkan
menurut jenisnya. Di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira, penyimpanan bahan
makanan untuk membuat makanan enteral tersimpan dalam tiga gudang, yaitu
gudang kering, gudang basah dan gudang harian.
Gudang kering. Beras, tepung beras, gula pasir dan mentega disimpan
di gudang kering. Di gudang kering bahan pangan diletakkan dilantai dan tidak
terdapat rak penyimpanan. Gudang kering juga sering digunakan untuk
menyimpan bahan pangan seperti pisang. Pisang adalah buah yang mudah
busuk karena kadar airnya yang cukup tinggi. Penempatan buah pisang di
gudang kering dapat menimbulkan kontaminasi silang pada bahan pangan kering
lain, seperti tepung-tepungan. Penempatan buah pisang di gudang kering akan
membuat tekstur tepung menjadi lembab. Tepung yang lembab akan mudah
untuk ditumbuhi oleh jamur dan kapang. Selain itu, terdapat banyak karduskardus kosong serta plastik bekas berserakan. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan (2011), ruangan harus bersih dari barang yang tidak berguna, karena
dapat mengundang serangga atau hewan pengerat.
Pemasukan bahan makanan dicatat dan dilaporkan setiap bulan. Gudang
selalu dikunci pada saat tidak ada kegiatan dan dibuka pada waktu-waktu
tertentu. Pegawai yang keluar masuk gudang hanya pegawai yang telah
ditentukan. Pencahayaan di gudang bahan makanan kering cukup terang.
Keadaan lantai cukup bersih, namun terdapat banyak kardus-kardus kosong
serta plastik bekas berserakan.
Gudang basah. Gudang basah digunakan untuk menyimpan bahan
pangan yang tidak tahan lama serta mudah busuk seperti hewani, sayur dan
buah. Gudang basah memiliki tiga jenis tempat penyimpanan yaitu freezer, chiler
dan rak terbuka. Namun untuk bahan pangan pembuat makanan enteral yang
digunakan hanya chiller dan rak terbuka. Sayur dan buah disimpan di chiller
dengan suhu 120C, adapula beberapa buah yang disimpan di rak terbuka. Buah
yang telah dipotong dan disimpan di rak terbuka dikemas dengan menggunakan
plastik wrapping. Selain itu, telur juga disimpan di rak terbuka. Telur disimpan
digudang penyimpanan paling lama 2 hari. Telur akan mengalami kerusakan jika
tidak disimpan pada suhu rendah atau refrigerator, tetapi Syarief dan Halid
(1992) menyatakan bahwa telur yang disimpan pada suhu kamar (25-290C)
47
masih berada dalam kondisi yang baik dan aman dikonsumsi dalam jangka
waktu satu hari.
Gudang harian. Gudang harian merupakan gudang untuk menyimpan
bahan kemasan atau alat makan disposable, makanan diet khusus, dan bahan
makanan kering yang tidak habis pakai seperti susu, agar-agar, tepung maizena,
dan lainnya. Gudang harian berupa lemari kaca tertutup yang terdapat dalam
ruangan komputer. Pengeluaran bahan
pangan di gudang harian sudah
menggunakan sistem first in fist out (FIFO). Sistematika penyimpanan dan
penyusunan bahan makanan menggunakan prinsip FIFO, artinya bahan
makanan yang terlebih dahulu masuk dan yang mendekati masa kadaluarsa
harus keluar lebih dulu dengan penyusunan menurut jenis dan frekuensi
pemakaian (Fardiaz 1999). Hasil pengamatan menunjukkan tidak adanya kode,
tanggal masuk, maupun tanggal kadaluarsa pada bahan yang disimpan, sistem
yang digunakan hanya memindahkan bahan makanan yang lama ke depan dan
menyimpanan bahan makanan yang baru di belakang.
Penyimpanan bahan makanan di lemari penyimpanan gudang harian
sudah perjenis bahan makanan, namun dikarenakan terlalu banyak bahan
makanan yang disimpan dalam lemari sehingga terdapat bahan makanan yang
tertutup atau terhalangi oleh bahan makanan lain yang berbeda jenis, seperti
penempatan susu komersial terhalangi oleh bahan pangan kemasan (tepung
maizena atau coklat bubuk). Hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam
sistem FIFO yang mereka gunakan. Lemari penyimpanan berjarak kurang dari 2
cm dari dinding, dan berjarak kurang dari 15 cm dari lantai. Menurut Moehyi
(1992), tinggi rak sebaiknya berjarak 5 cm dari dinding dan minimal 15 cm dari
atas lantai sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik. Hasil
pengamatan higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan makanan enteral
di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira disajikan pada Tabel 14.
Berdasarkan Tabel 14, higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan
pangan belum memenuhi syarat menurut Peraturan Menteri Kesehatan no.
1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 85.0%. Berdasarkan pengamatan di gudang
harian banyak terdapat kardus yang tidak terpakai dan disimpan di bawah meja.
Hal ini dapat menjadi peluang bagi hewan seperti serangga atau hewan pengerat
untuk berkembang biak. Berdasarkan pengamatan terdapat serangga seperti
kecoa dan laba-laba di gudang harian. Menurut Depkes (2002), tempat
48
penyimpanan bahan makanan harus selalu terpelihara dan dalam keadaan
bersih, terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan lain.
Tabel 14 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan
makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No.
Penyimpanan
Kisaran
Nilai
Nilai*
Pengamatan
1. Suhu dan waktu penyimpanan
0–5
5
2. Tempat untuk menyimpan makanan
0–2
2
3. Pencegahan kontaminasi silang
0–5
2
4. Fasilitas fisik dan sanitasi
0–1
1
Jumlah
13
11
*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011
Skor (%)
100.0
100.0
40.0
100.0
85.0
Persiapan dan pengolahan makanan.
Proses pengolahan makanan enteral terdiri dari proses persiapan dan
pemasakan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan yaitu mencuci alat
yang akan digunakan dengan sabun cuci. Menurut Subandriyo (1993), pencucian
dapat melarutkan kotoran yang mungkin masih ada. Tahap persiapan lainnya
yaitu menggiling beras dengan alat penggilingan untuk menghasilkan tepung
beras, pencucian dan pemotongan sayur dan buah. Pengamatan menunjukkan
bahwa beberapa sayur tidak dicuci terlebih dahulu sebelum dipotong. Pencucian
sayur dilakukan setelah dipotong dengan menggunakan air mengalir. Hal ini akan
menyebabkan kehilangan sejumlah zat gizi.
Pengamatan
pada
proses
persiapan
menunjukkan
kemungkinan
terjadinya kontaminasi silang yang berasal dari alat persiapan dan penjamah.
Alat persiapan yang akan digunakan tidak dibersihkan terlebih dahulu, selain itu
alat digunakan secara bergantian untuk berbagai jenis bahan pangan tanpa
dicuci kembali. Kontaminasi silang yang berasal dari penjamah adalah penjamah
tidak
mencuci
tangan
terlebih
dahulu
sebelum
persiapan
serta
tidak
menggunakan sarung tangan. Hal ini akan memungkinkan berpindahnya kotoran
maupun mikroba yang menempel pada tangan berpindah ke bahan pangan atau
timbulnya kontaminasi silang antar bahan makanan dengan perantara tangan
penjamah.
Pembuatan makanan enteral dilakukan satu kali untuk memenuhi
frekuensi pemberian makanan enteral setiap hari, dan dilaksanakan oleh
penjamah makanan cair yang bertugas pada pagi hari.
Tahap pengolahan makanan enteral terdiri dari beberapa tahapan.
Pembuatan makanan enteral biasa di instalasi gizi yaitu dengan telur direbus
hingga matang ± 7 menit pada suhu 100ºC, setelah itu tepung beras di rebus
49
menggunakan air hingga mengental dan menjadi bubur tepung beras.
Selanjutnya semua bahan seperti telur rebus yang telah dikupas, bubur tepung
beras, susu bubuk, gula pasir, dan margarine dimasukkan kedalam blender
kemudian ditambahkan air panas selanjutnya diblender hingga halus. Berbeda
dengan makanan enteral biasa, makanan enteral diet khusus dibuat dengan
beberapa tahapan. Pertama mengukus sayuran ±10 menit kemudian sayuran
yang telah dikukus diblender dengan buah yang telah dipotong selanjutnya
disaring. Kemudian dicampur dengan bahan pangan lainnya seperti telur, susu,
gula, margarine dan tepung beras hingga homogen. Setelah tercampur rata,
dimasak dengan api kecil hingga mendidih. Pemasakan sayuran secara
berulang-ulang dapat menghilangkan kandungan gizinya, terutama vitamin dan
mineral.
Berdasarkan hasil pengamatan, penjamah menakar bahan pangan
dengan ukuran yang tidak standar atau hanya menggunakan estimasi. Tidak
adanya standar porsi dapat mempengaruhi pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi pasien. Menurut Hardjodisastro, Syam dan
Sukrisman (2006), prinsip yang harus diperhatikan dalam pemberian makan
enteral adalah kebutuhan gizinya harus tercukupi dan sesuai. Hal ini dikarenakan
kurangnya pengawasan terhadap petugas yang melakukan pemasakan makanan
enteral.
Higiene sanitasi penjamah menunjukkan hasil yang belum sesuai dengan
yang dianjurkan, yaitu pada kategori perilaku berbicara atau mengobrol saat
bekerja tanpa menggunakan masker, penggunaan sarung tangan dan periode
pencucian apron. Berbicara saat bekerja memungkinkan jatuhnya air liur dan
kotoran lain dari mulut ke bahan makanan yang dipersiapkan (Jenie 2000).
Alasan pejamah tidak menggunakan sarung tangan saat pengolahan adalah
tidak nyaman. Tangan pegawai yang telah tercemar mikroorganisme patogen
akan memindahkan mikroba tersebut ke pakaian atau serbet yang bersentuhan
dengan makanan atau tangan tersebut (Jennie 2000). Tabel 15 menunjukkan
hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap persiapan dan pengolahan
makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira. Berdasarkan Tabel 15,
higiene sanitasi pada tahap persiapan dan pengolahan belum memenuhi syarat
menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu
84.0%.
50
Tabel 15 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap persiapan dan
pengolahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No.
Persiapan dan Pengolahan
Kisaran
Nilai
makanan
Nilai*
Pengamatan
1. Peralatan yang digunakan
0–5
5
2. Pencucian
0–5
3
3. Pengaturan suhu dan waktu
0–5
5
4. Tenaga pengolah
0–5
3
5. Fasilitas fisik dan sanitasi
0–1
1
Jumlah
21
17
*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011
Skor (%)
100.0
60.0
100.0
60.0
100.0
84.0
Sistem penyediaan air bersih pada Instalasi Gizi berasal dari sumur,
sehingga dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih setiap enam bulan sekali
untuk mengetahui kualitas air yang digunakan dan kemungkinan terjadinya
kontaminasi dari air. Data pemeriksaan air di Instalasi Gizi pada April 2011
disajikan pada Tabel 16.
Tabel16 Data pemeriksaan air di Instalasi Gizi pada April 2011
N
o
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Parameter
Fisik
Bau
Zat Padat Terlarut
(TDS)
Kekeruhan
Warna
Kimia Anorganik
Besi
Fluorida
Kesadahan CaCo3
Klorida
Mangan
Nitrat, sebagai N
Nitrit, sebagai N
pH
Sulfat
Kimia Organik
Detergent
Zat Organik
(KMnO4)
Sisa klor
Mikrobiologi
Total coliform
Metode
Satuan
Hasil
Pemeriksaan
Batas
Maksimum
Organoleptis
mg/L
Tidak berbau
Tidak berbau
Elektrometri
Tubidimetri
spektrofotometri
FAU
skala TCU
220
6,04
24
1500
25
50
AAS
spektrofotometri
Titrimetri
Titrimetri
AAS
spektrofotometri
spektrofotometri
Elektrometri
spektrofotometri
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
0,50
0,04
63,68
2,98
<LD (0,0046)
0,01
0,00
7,71
6,41
1,0
1,5
500
600
0,5
10
1,0
6,5-9,0
400
spektrofotometri
mg/L
0,00
0,5
Titrimetri
spektrofotometri
mg/L
mm
0,43
0,00
10
0,2-0,5
Tabung ganda
MPN/100 ml
350
Air pipaan : 10
Bukan air pipaan :
50
Hasil pemeriksaan mutu air pada bulan April 2011 di Instalasi Gizi RS
Dustira menunjukkan bahwa air telah memenuhi baku mutu air bersih dari uji fisik
dan kimia sesuai dengan peraturan Depkes, sedangkan hasil uji mikrobiologi
tidak memenuhi baku mutu air bersih Depkes. Hasil pemeriksaan tersebut
menunjukkan adanya mikroba coliform pada air. Pengendalian mutu yang
51
mereka lakukan pada hasil pemeriksaan mikrobiologi adalah dengan merebus air
yang akan digunakan untuk pengolahan hingga dapat meminimalisasi total
coliform yang terkandung dalam air tersebut.
Pewadahan makanan enteral.
Makanan enteral yang telah diolah segera diporsi dan disajikan dalam
wadah yang berupa gelas plastik disposable yang berukuran 200 ml. Pemorsian
makanan enteral biasa dilakukan dengan cara menuangkan langsung kedalam
gelas saji. Sedangkan pemorsian bahan makanan enteral diet khusus diporsi
dengan menggunakan spuit. Berdasarkan pengamatan, makanan enteral yang
sudah diporsi tidak segera di tutup, namun dibiarkan dahulu hingga beberapa
menit untuk menghilangkan uap panas. Setelah uap panasnya hilang, makanan
enteral di bungkus dengan plastik wrap (wrapping).
Berdasarkan hasil pengamatan, higiene sanitasi penjamah menunjukkan
hasil yang belum sesuai dengan yang dianjurkan, yaitu pada kategori kebiasaan,
mengobrol tanpa menggunakan masker dan menggunakan penutup kepala yang
tidak menutup rambut secara keseluruhan. Menurut Jenie (2000), pada saat
berbicara memungkinkan jatuhnya air liur dan kotoran lain dari mulut ke makanan
yang telah siap disajikan, padahal makanan masak merupakan titik rawan,
karena makanan sudah bebas bakteri patogen dan tidak lagi dipanaskan. Tabel
17 menunjukkan hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pewadahan
makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.
Tabel 17 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pewadahan makanan
enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No.
Pewadahan
Kisaran
Nilai
Nilai*
Pengamatan
1.
Keadaan makanan saat penyajian
0–5
5
2.
Peralatan penyajian
0–2
2
3.
Tenaga penyaji makanan
0–5
3
Jumlah
12
9
*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011
Skor (%)
100.0
100.0
60.0
86.7
Penggunaan penutup kepala yang tidak menutupi rambut secara
keseluruhan dapat memungkinkan jatuhnya rambut ke makanan. Rambut dapat
membawa mikroorganisme Staphylococcus aureus. Jika rambut rontok atau jatuh
akan
mengkontaminasi
makanan
dan
merusak
penampilan
makanan.
Berdasarkan Tabel 17, higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan pangan
belum
memenuhi
syarat
menurut
1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 86.7%.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
no.
52
Pengangkutan (distribusi)
Makanan enteral yang siap disajikan diletakkan dalam baki dan diantar ke
pasien dengan menggunakan trolley tertutup. Keadaan trolley cukup baik, kuat
dan bersih. Jadwal pembersihan trolley dilakukan seminggu sekali. Depkes
(2000) menyatakan pendistribusian dengan menggunakan trolley tertutup serta
peralatan yang dipakai selalu terjaga dapat menghindari pencemaran terhadap
makanan yang disajikan.
Tenaga pendistribusian makanan bekerjasama dengan petugas yang ada
pada masing-masing ruangan. Berdasarkan hasil pengamatan, penjamah di
bagian pendistribusian berbicara dan mengobrol saat mendistribusikan makanan
enteral ke trolley. Tabel 18 menunjukkan hasil pengamatan higiene sanitasi pada
tahap pengangkutan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.
Berdasarkan Tabel 18, higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan pangan
sudah
memenuhi
syarat
menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
no.
1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 93.3%.
Tabel 18 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pengangkutan makanan
enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No.
Pengangkutan
1.
2.
3.
Wadah atau alat pembawa
Kendaraan yang digunakan
Tenaga yang membawa makanan
Jumlah
Kisaran
Nilai*
0–2
0–2
0–5
Nilai
Pengamatan
2
2
4
Skor (%)
9
8
93.3
100.0
100.0
80.0
*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011
Kualitas Makanan Enteral di Instalasi Gizi RS Dustira
Makanan enteral diproduksi satu kali untuk memenuhi frekuensi
pemberian makanan enteral setiap hari. Makanan enteral yang telah diproduksi
pada pagi hari, sebagian akan diporsi dan disajikan kepada pasien dan sisanya
dimasukkan ke dalam refrigerator untuk digunakan pada periode makan
berikutnya. Pada periode makan berikutnya, makanan enteral dipanaskan
terlebih dahulu sebelum disajikan. Menurut Hartono (2000), makanan enteral
yang disimpan dilemari es harus dibiarkan pada suhu ruangan dahulu sebelum
diberikan kepada pasien. Suhu makanan enteral hanya sedikit pengaruhnya atas
molalitas lambung dan tidak mempengaruhi waktu transit. Pemanasan makanan
enteral hingga mencapai suhu tubuh dapat mempermudah pertumbuhan bakteri
mengingat makanan enteral merupakan media kultur yang baik.
53
Salah satu syarat mutu makanan enteral yaitu memiliki kepadatan kalori
yang tinggi. Instalasi gizi membuat formula makanan enteral sesuai dengan
kondisi pasien. Hal tersebut dapat dilihat dari setiap 1 ml makanan enteral setara
dengan 1 kkal, atau bila ada pembatasan cairan maka setiap 1 ml makanan
enteral setara dengan 1.5 atau 2 kkal.
Makanan enteral yang diproduksi oleh Instalasi Gizi RS Dustira
mengandung komponen zat gizi esensial seperti protein, asam amino, lemak,
vitamin, mineral dan trace elements. Hal tersebut dapat dilihat dari bahan pangan
pembuat makanan enteral, antara lain tepung beras, telur, susu, margarin, sayur,
buah. Bahan baku makanan enteral terdiri dari komponen yang siap diabsorpsi
atau paling tidak hanya sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat
diabsorpsi seperti tepung beras, telur, gula, margarine, dan susu. Selain itu
bahan baku makanan enteral di Instalasi Gizi tidak ada yang mengandung purin.
Pemeriksaan mutu makanan enteral dilihat dari
segi fisik
dan
mikrobiologi. Makanan enteral yang diamati adalah makanan enteral biasa dan
makanan enteral diet khusus yang sudah siap disajikan kepada pasien.
Pemeriksaan sampel makanan enteral secara fisik dilakukan dengan cara
menuangkan sampel makanan cair ke tempat yang datar untuk melihat
teksturnya,
sedangkan
untuk
melihat
konsistensinya,
makanan
enteral
dimasukkan melalui sonde dan dilihat kelancaran alirannya.
Pemeriksaan sampel makanan enteral untuk melihat jumlah mikroba
dilakukan di salah satu perusahaan farmasi di Bandung. Selama perjalanan
makanan enteral dari rumah sakit ke laboratorium, sampel makanan enteral yang
diambil kemudian disimpan dalam box yang berisi es batu, menurut FDA (Food
and Drug Admistration) makanan yang akan dianalisa dapat disimpan pada suhu
0-40C tidak lebih dari 36 jam. Pemeriksaan mikroba Salmonella dan Shigella
menggunakan media agar Salmonella – Shigella (SSA), sedangkan untuk
mikroba Escherichia coli menggunakan media agar darah. Data pemeriksaan
makanan enteral di Instalasi Gizi dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Data pemeriksaan makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira
Parameter
Fisik
Mikroba patogen
- Salmonella
- Shigella
- Eschericia coli
Hasil pemeriksaan
Konsistensi encer, tidak terdapat gumpalan.
Negative (-)
Negative (-)
Negative (-)
54
Hasil pemeriksaan fisik makanan enteral menunjukkan konsistensi encer,
dan tidak terdapat gumpalan. Hasil uji mikrobiologi menunjukkan tidak terdapat
mikroba patogen seperti Salmonella, Shigella dan Escherichia coli pada kedua
sampel makanan enteral yang ditunjukkan dengan jumlah mikroba patogen <1
atau negatif.
HACCP Plan pada Proses Produksi Makanan enteral
HACCP pada penyelenggaraan makanan enteral di Rumah Sakit Dustira
belum dilaksanakan pada setiap pengendalian mutunya. Namun, pengendalian
mutu yang selama ini dilakukan dapat dikatakan secara tidak langsung telah
menerapkan prinsip-prinsip HACCP, namun penanganannya belum maksimal,
belum secara benar dan tepat menerapkan HACCP sesuai dengan kondisi yang
disyaratkan.
Pada penelitian ini akan dicoba untuk menerapkan konsep HACCP
terhadap keseluruhan tahapan produksi secara umum. HACCP plan dibentuk
dalam tabel yang terdiri dari Critical Control Point (CCP), risiko bahaya, tindakan
pencegahan, batas kritis, prosedur pemantauan, dan tindakan koreksi.
Penerapan HACCP di Rumah Sakit Dustira pada penyelenggaraan makanan
enteral dilakukan mulai dari tahap pengadaan bahan makanan, penerimaan
bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan,
pengolahan, pewadahan dan pendistribusian makanan enteral ke pasien.
HACCP plan dapat dilihat pada Tabel 20.
Berdasarkan Tabel 20, dapat diketahui bahwa CCP pada proses produksi
makanan di Instalasi Gizi ada pada tahap pengolahan. Pada tahap pengolahan,
titik kritis yang harus dikendalikan adalah suhu dan waktu pemasakan. Suhu dan
waktu pemasakan yang tidak tepat dapat memungkinkan pertumbuhan mikroba
thermotrof (mikroba tahan panas). Selain itu, pengendalian juga perlu dilakukan
berkaitan dengan prosedur kerja dan higiene penjamah, terutama tenaga
pengolah. Prosedur kerja yang tidak sesuai dengan Standard Operating
Procedure (SOP) dan higiene penjamah yang kurang baik dapat menimbulkan
kontaminasi silang ke dalam makanan yang diolah.
55
Tabel 20 HACCP pada proses produksi makanan enteral di Instalasi Gizi RS
Dustira
CCP
Pengadaan
bahan
makanan
Penerimaan
bahan
makanan
Hasil
Pengamatan
Spsesifikasi mutu
bahan pangan
yang ditetapkan
merupakan
kategori umum
yang biasa
digunakan untuk
ukuran rumah
tangga
Sebagian bahan
pangan seperti
sayuran yang
sudah agak layu
tetap diterima
Bahan pangan
yang telah
diterima langsung
di simpan
Penyimpanan bahan
makanan
Bahan pangan
tidak ditempatkan
sesuai dengan
jenisnya, seperti
buah pisang
ditempatkan di
gudang kering
bersama dengan
tepung-tepungan
dan beras.
Rak penyimpanan
berjarak <5 cm
dari dinding dan
<15 cm dari lantai
Sistem FIFO tidak
menggunakan
pencatatan
Risiko
Bahaya
Mutu bahan
pangan yang
dipesan
rendah
Bahan
pangan yang
diterima
bermutu
rendah
Cara
Pengendalian
Spesifikasi
mutu bahan
pangan lebih
lengkap
Pemilihan
lebih teliti
terhadap
pemasok yang
dapat
memberikan
jaminan mutu
pangan
Pemantauan
mutu bahan
pangan sesuai
standar yang
telah
ditetapkan
Sortasi
Kontaminasi
fisik (kotoran/
jerami, debu,
hama)
Pencucian
bahan pangan
sebelum
disimpan
Kontaminasi
silang
Penyimpanan
bahan pangan
perjenis bahan
pangan
(gudang
basah,
kering/harian)
Menghambat
aliran udara
dan
membuat
udara dalam
makanan
menjadi
lembab.
Kondisi
gudang
penyimpanan
harus tertutup,
berventilasi
baik, sirkulasi
udara lancar
Kegagalan
dalam sistem
FIFO
Dilakukan
pencatatan
seperti tanggal
masuk,
tanggal keluar,
tanggal
kadaluarsa
Prosedur
Pemantauan
Membuat
daftar rekanan
yang dapat
memberikan
jaminan mutu
Tindakan
Koreksi
menolak
bahan
pangan yang
tidak sesuai
standar
Memilih
pemasok
yang dapat
memberikan
jaminan
mutu
Bahan
pangan yang
diterima
kadaluarsa,
rusak atau
busuk
Inspeksi
proses
penerimaan
bahan pangan
dan inspeksi
label bahan
pangan
Masih
terdapat
kotoran pada
bahan
pangan
Penyimpanan bahan
pangan tidak
disimpan
sesuai
dengan jenis
bahan
makanannya
sendiri
Inspeksi hasil
pencucian
Dibuang
atau tidak
digunakan
serta
meminta
penggantian
bahan yang
sama atau
bahan yang
bernilai
sama
Dicuci ulang
Rak
penyimpanan
kurang dari 5
cm dari
dinding dan
kurang 15 cm
dari lantai,
SOP
penyimpanan
Pencatatan
tidak
dilakukan
Pemantauan
jarak rak ke
dindig
maupun ke
lantai
Batas Kritis
Spesifikasi
mutu setiap
bahan
pangan
kurang jelas
Pemantauan
sistem
penyimpanan
bahan pangan
Pemantauan
pencatatan
setiap hari
Sistem
penyimpanannya ditata
ulang
dengan
memberikan
tempat
terpisah
untuk
masingmasing jenis
pangan
Menggeser
rak hingga
sesuai
dengan
standar yang
berlaku
Mencatat
ulang barang
yang masuk
atau keluar
gudang
penyimpanan
56
Tabel 20 (lanjutan)
CCP
Penyimpanan bahan
pangan
Hasil
Pengamatan
Di gudang
terdapat barangbarang yang tidak
digunakan,
seperti dus-dus
bekas, dan
plastik yang
sudah tidak
digunakan
Bahan pangan
disusun secara
bertumpuk dan
beberapa bahan
pangan kemasan
tidak ditutup
dengan baik
Masih terdapat
kotoran yang
berasal dari
bahan baku
(bahan pangan)
Persiapan
bahan
makanan
Alat persiapan
yang digunakan
tidak dibersihkan
terlebih dahulu
dan alat
persiapan yang
digunakan secara
bergantian untuk
berbagai jenis
bahan pangan
tanpa dicuci
terlebih dahulu
Risiko
Bahaya
Cara
Pengendalian
Kontaminasi
fisik (hama)
Kontaminasi
silang
Kontaminasi
fisik (kotoran/
jerami,
bagian
tanaman
yang
rusak/busuk,
hama)
Kontaminasi
silang (alat
persiapan
dan
penjamah)
Batas Kritis
Prosedur
Pemantauan
Sanitasi
gudang
penyimpanan
secara berkala
(setiap hari)
Gudang
masih terlihat
kotor
Inspeksi
kebersihan
gudang
Tempat
penyimpanan segera
dibersihkan
ulang
Kondisi
penyimpanan
bahan pangan
dikemas
tertutup, tidak
bertumpuktumpuk, bebas
hama
Pencucian,
pengupasan,
pemotongan
bahan pangan
Kemasan
tidak tertutup
rapat
Pemantauan
kondisi
kemasan
Menutup
ulang
Masih
terdapat
kotoran/jera
mi, bagian
tanaman
yang rusak
atau busuk
serta hama
setelah
pencucian
Pencucian
alat
persiapan
dengan air
<82⁰C dan
tidak
menggunaka
n bahan
sanitazer
Inspeksi hasil
pencucian
Dicuci ulang
serta bahan
pangan tidak
digunakan
bila masih
ada bagian
yang terkontaminasi
Inspeksi suhu
air dan hasil
pencucian
Dicuci ulang
Penjamah
tidak
mencuci
tangan
sebelum dan
sesudah
persiapan
serta saat
berganti
menangani
bahan lain,
penjamah
sakit
Inspeksi cara
kerja
penjamah
Penjamah
tidak
diijinkan
bekerja jika
sakit
Sanitasi alat
sebelum dan
setelah
digunakan
Higiene
penjamah
Penjamah tidak
mencuci tangan
saat akan
berpindah
menangani bahan
pangan lain,
Tindakan
Koreksi
57
Tabel 20 (Lanjutan)
CCP
Hasil
Pengamatan
30% penjamah
menggunakan
penutup kepala
namun tidak
menutupi rambut
secara
keseluruhan
Pengolahan
bahan pangan
tidak dimasak
sempurna
Pengolahan
bahan
makanan
Beberapa alat
yang akan
digunakan tidak
dicuci terlebih
dahulu
Risiko
Bahaya
Cara
Pengendalian
Kontaminasi
fisik (rambut)
Penjamah
menggunakan
atribut kerja
Kontaminasi
biologi (E.
coli,
Salmonella,
Shigella,
Staphylococc
us aureus)
Kontaminasi
silang (alat
persiapan
dan
penjamah)
Pemasakan
80% penjamah
tidak
menggunakan
sarung tangan
saat memegang
bahan pangan
seperti buah,
penjamah tidak
mencuci tangan
saat akan
berpindah
menangani bahan
pangan lain,
Makanan enteral
yang telah diporsi
bersuhu ±80⁰C
Pewadahan
Pewadahan
70% penjamah
berbicara saat
proses
pewadahan
30% penjamah
menggunakan
penutup kepala
namun tidak
menutupi rambut
secara
keseluruhan
Prosedur
Pemantauan
Tindakan
Koreksi
penjamah
tidak
menggunakan penutup
kepala
hingga
menutupi
rambut
secara
keseluruhan
Suhu
pemasakan
<85⁰C waktu
proses
kurang dari
30 menit
Inspeksi cara
kerja
penjamah
Penjamah
dianjurkan
menggunakan penutup
kepala
hingga
menutupi
rambut
secara
keseluruhan
Diproses
ulang
Alat tidak
dicuci dan
tidak
didesinfeksi
sebelum
digunakan
Penjamah
tidak
mencuci
tangan
sebelum dan
sesudah
persiapan
serta saat
berganti
menangani
bahan lain
Inspeksi
pencucian alat
Dicuci ulang
Pemeriksaan
kesehatan
dan
kebersihan
penjamah
Penjamah
dianjurkan
menggunakan sarung
tangan
Makanan
enteral
didinginkan
dahulu
sebelum di
tutup
Higiene
penjamah
Makanan
enteral di
tutup
sebelum uap
panasnya
hilang
Penjamah
mengobrol
saat
pewadahan,
penjamah
sakit
Pemantauan
proses dan
cara kerja
Di proses
ulang
Inspeksi cara
kerja
penjamah
Pengawasan
pada saat
proses
pewadahan
dan
pengemasan
Penjamah
menggunakan
atribut kerja
penjamah
tidak
menggunakan penutup
kepala
hingga
menutupi
rambut
secara
keseluruhan
Inspeksi cara
kerja
penjamah
Penjamah
dianjurkan
menggunakan penutup
kepala
hingga
menutupi
rambut
secara
keseluruhan
Sanitasi alat
pengolahan
dan ruang
pengolahan
Higiene
penjamah
Kontaminasi
ulang dari
uap air
Kontaminasi
silang
(penjamah)
Kontaminasi
fisik (rambut)
Batas Kritis
Pemantauan
suhu dan
waktu
pemasakan
58
Tabel 20 (Lanjutan)
CCP
Pendistribusian
Hasil
Pengamatan
Trolley
dibersihkan satu
minggu sekali
Risiko
Bahaya
Kontaminasi
fisik (debu
dan kotoran
yang
menempel)
Cara
Pengendalian
Batas Kritis
Sanitasi alat
angkut
sebelum
digunakan
Alat angkut
yang
digunakan
kotor
Prosedur
Pemantauan
Tindakan
Koreksi
Pengontrolan
alat angkut
Pembersihan ulang alat
angkut
Download