2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Porphyridium cruentum Porphyridium cruentum adalah mikroalga merah bersel satu yang termasuk kelas Rhodophyceae, hidup bebas atau berkoloni yang terikat dalam mucilago. Senyawa mucilago dieksresikan secara konstan oleh sel membentuk sebuah kapsul yang mengelilingi sel. Mucilago merupakan polisakarida sulfat yang bersifat larut dalam air (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Klasifikasi biologi P. cruentum (Vonshak 1988) adalah sebagai berikut: Divisi : Rhodophyta Sub kelas : Bangiophyceae Ordo : Porphyridiales Famili : Porphyriceae Genus : Porphyridium Spesies : Porphyridium cruentum Alga merah (rhodophytes) umumnya ditemukan pada habitat laut, namun beberapa spesies ditemukan di air tawar dan daerah terestrial. Alga bersifat fototrofik dan mengandung klorofil a, hal ini perlu mendapat perhatian khusus dimana kloroplasnya tidak memiliki klorofil b dan mengandung fikobiliprotein, pigmen utama pada pemanenan sianobakteria. Warna merah dari sebagian besar alga merah bersumber dari fikoeritrin yang merupakan pigmen tambahan yang menutupi warna hijau klorofil. Habitat dengan kedalaman yang semakin besar menghasilkan fikoeritrin yang lebih besar dimana penetrasi cahaya berkurang dan akan berwarna merah gelap. Kedalaman habitat yang dangkal akan menyebabkan kadar fikoeritrin yang diproduksi menjadi lebih sedikit dan akan tampak berwarna hijau (Madigan et al. 2009). Sel P. cruentum berbentuk bulat dengan diameter 4-9 μm. Struktur selnya terdiri dari sebuah nukleus (inti), kloroplas, badan golgi, mitokondria, lendir, pati, dan vesikel. Setiap sel memiliki kloroplas dengan pirenoid di tengahnya (Lee 1989). Morfologi P. cruentum disajikan pada Gambar 1. 4 Gambar 1 Morfologi Porphyridium cruentum. Komposisi biomassa P. cruentum yaitu 32,1% (w/w) karbohidrat dan 34,1% protein kasar. Kandungan mineral dalam 100 g biomassa kering: Ca (4960 mg), K (1190 mg), Na (1130 mg), Mg (629 mg), Zn (373 mg). Kandungan asam lemak terdiri dari 1,6% untuk 16:0; 0,4% untuk 18:2ώ6; 1,3 %, 20:4ώ6; 1,3% untuk 20:5ώ3. Biomassa P. cruentum mengandung pigmen berupa fikoeritrin dengan karakteristiknya berwarna merah. Biomassa juga mengandung tokoferol, vitamin K, dan karoten (Fuentes et al. 2000). Porphyridium dapat hidup di berbagai habitat alam seperti air laut, air tawar, maupun pada permukaan tanah yang lembab dan membentuk lapisan kemerah-merahan yang sangat menarik. Habitat asli dari P. cruentum diduga berasal dari laut karena dapat hidup dengan baik pada media cair maupun media padat air laut. Sel P. cruentum dapat menghasilkan metabolit-metabolit yang aktif secara biologi seperti antibiotik. Kelompok senyawa kimia utama yang merupakan antibakteri adalah fenol, fenolat, alkohol, halogen, logam berat, detergen, aldehid, dan gas kemosterilisator (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Kusmiyati dan Agustini (2007) telah mengidentifikasi senyawa antibakteri dari P. cruentum dengan Kromatografi Gas Spektrometri Massa menunjukkan senyawa dominan yaitu asam lemak metil heksadekanoat (asam palmitat) sebanyak 41,15% pada ekstrak yang diekstraksi secara bertingkat menggunakan diklorometan/akuades dan diklorometan/NaOH, dan mengandung asam palmitat 60,36% pada ekstrak yang diektraksi secara bertingkat menggunakan diklorometan/akuades, diklorometan/NaOH, metanol/air, dan n-heksana. 5 2.2 Bakteri Patogen Bakteri patogen merupakan bakteri yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan juga pada tumbuhan (Pelczar dan Chan 2005). Beberapa jenis bakteri patogen yang umum menjadi penyebab masalah kesehatan manusia, yaitu Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, dan Escherichia coli. 2.2.1 Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram-positif penyebab infeksi (membentuk nanah) dan bersifat toksik bagi manusia. Hal ini menyebabkan berbagai masalah pada kulit seperti bisul, hordeolum, bahkan masalah serius seperti pneumonia, mastitis, meningitis, dan infeksi saluran kemih. S. aureus merupakan penyebab utama infeksi di rumah sakit (nosokomial) yang berasal dari infeksi luka bedah dan infeksi yang terkait dengan perangkat medis yang digunakan. S. aureus penyebab keracunan makanan dengan melepaskan enterotoksin pada makanan dan menimbulkan efek yang disebut toxic shock syndrome (Todar 2011). Enterotoksin yang bersifat tahan panas ini dikeluarkan pada bahan pangan yang terkontaminasi S. aureus. Makanan yang mengandung toksin apabila masuk pencernaan manusia akan menimbulkan efek muntah-muntah, mual, dan diare setelah 1-6 jam (Madigan et al. 2009). Pertumbuhan bakteri ini dalam makanan dapat terjadi jika makanan disimpan pada suhu ruang dalam waktu yang lama (Salyers dan Whitt 1994). Rahayu (1999) menyatakan bahwa S. aureus merupakan mikroflora normal pada permukaan tubuh, rambut, mulut, dan tenggorokan. Bakteri S. aureus yang mencemari makanan terjadi akibat kurangnya tingkat higienis dalam penanganan pangan. 2.2.2 Staphylococcus epidermidis Staphylococcus epidermidis berada pada kulit dan membran mukosa manusia. Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi kulit dengan menyerang dan merusak jaringan kulit (Belk dan Maier 2010). Bakteri S. epidermidis merupakan bakteri Gram-positif, bersifat non motil, tidak berspora, bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini merupakan mikroflora normal yang terdapat pada tubuh manusia yang terdapat pada bagian kulit kepala, dahi, pipi, auditori kanal eksternal, daun telinga, 6 aksila, perineum, lengan, kaki, dan jaringan di antara jari kaki. S. epidermidis memiliki adhesin yang terkait dengan patogenesis penyebab infeksi kulit (Wilson 2005). 2.2.3 Bacillus subtilis Bacillus subtilis merupakan bakteri Gram-positif, uniseluler yang berbentuk batang dan hidup secara aerob. Bakteri ini membentuk tipe khusus saat dorman yang disebut endospora. Endospora terbentuk dari sel vegetatif sebagai respon terhadap lingkungan yang ekstrim. B. subtilis tumbuh pada makanan dengan pH lebih dari 4 dengan kondisi aerob. Hal yang sering terjadi yaitu terbentuknya lendir pada makanan (Todar 2011). 2.2.4 Bacillus cereus Bacillus cereus merupakan bakteri Gram-positif, membentuk spora, bersifat aerobik atau anaerobik fakultatif. Penyebaran B. cereus sangat luas termasuk makanan yang menyebabkan keracunan makanan. Keracunan makanan yang diakibatkan B. cereus menyebabkan efek diare dan muntah. Terdapat dua tipe efek keracunan makanan akibat B. cereus yaitu, tipe penyebab diare dengan periode inkubasi selama 8-16 jam, dan tipe penyebab efek muntah dengan periode inkubasi selama 1-5 jam (Shinagawa 1990). 2.2.5 Escherichia coli Escherichia coli hidup dalam saluran pencernaan manusia dan organisme lainnya. Penyakit pada manusia akibat E. coli terjadi ketika adanya kontaminasi dari air yang digunakan. Infeksi E. coli juga dapat terjadi karena memakan makanan yang belum matang, kontaminasi pada daging, maupun pada susu yang belum dipasturisasi (Belk dan Maier 2010). E. coli merupakan bakteri Gram-negatif dengan bentuk batang yang pendek. Bakteri ini merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit diare, infeksi saluran kemih, dan juga infeksi saluran pencernaan. Penyakit saluran pencernaan (usus) disebabkan oleh bakteri E.coli yang terdiri dari beragam tipe yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC), dan enteroaggregative E. coli (EAEC) (Todar 2011). 7 ETEC menyebabkan diare, demam ringan, keram perut, dan mual. ETEC membutuhkan waktu 8-44 jam untuk menyebabkan gejala tersebut, dan gejala ini berlangsung selama 3-19 hari. EPEC menimbulkan gejala diare, demam, muntah, dan keram perut. EPEC membutuhkan waktu selama 17-72 jam untuk menimbulkan gejala penyakit, dan gejala tersebut berlangsung selama 6 jam hingga 3 hari. EIEC menyebabkan diare berlebih atau disentri, meriang, sakit kepala, nyeri otot, dan keram perut. Waktu yang diperlukan EIEC untuk menginvasi adalah 8-24 jam, dan menyebabkan efek gejala penyakit berhari-hari hingga mingguan. EHEC menyebabkan diare disertai darah, muntah, bahkan hingga kematian. EHEC menggunakan waktu selama 3-9 hari sehingga menimbulkan gejala penyakit, dan gejala berlangsung 2-9 hari. EAEC menyebabkan diare disertai lendir dimana biasanya tidak disertai darah maupun demam. Penyakit akibat EAEC ini umumnya terjadi pada negara berkembang (Percival et al. 2004). 2.3 Antibakteri Senyawa antimikroba merupakan senyawa alami maupun kimia sintetik yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa yang dapat membunuh organisme (bakteri) disebut bakterisidal. Bahan kimia yang tidak membunuh namun dapat menghambat pertumbuhan organisme (bakteri) disebut bakteriostatik (Madigan et al. 2009). Antimikroba dapat diklasifikasikan menjadi bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolisis. Bakteriostatik secara berkala sebagai penghambat sintesis protein dan berfungsi sebagai pengikat ribosom. Bakteriosidal mengikat kuat pada sel target dan tidak hilang melalui pengenceran yang tetap akan membunuh sel. Sel yang mati tidak hancur dan tetap memiliki jumlah sel yang konstan. Beberapa bakteriosidal merupakan bakteriolisis, yakni membunuh sel dengan terjadi lisis pada sel dan mengeluarkan komponen sitoplasmanya. Lisis dapat menurunkan jumlah sel dan juga kepadatan kultur. Senyawa bakteriolitik termasuk dalam senyawa antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel, seperti penicillin, dan senyawa kimia seperti detergen yang dapat menghancurkan membran sitoplasma (Madigan et al. 2009). Cara kerja zat antimikroba secara umum, yaitu menyebabkan kerusakan dinding sel, mengubah permeabilitas sel, mengubah 8 molekul protein dan asam nukleat, menghambat kerja enzim, serta menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Pelczar dan Chan 2005). Respon tiap mikroorganisme terhadap antimikroba berbeda-beda. Bakteri memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda dimana umumnya bakteri Gram-positif lebih rentan dibandingkan dengan bakteri Gram-negatif yang secara alami lebih resisten. Target penting antibiotik terhadap bakteri yaitu ribosom, dinding sel, membran sitoplasma, enzim biosintesis lemak, serta replikasi, dan transkripsi DNA (Madigan et al. 2009). Suatu zat aktif dikatakan memiliki potensi yang tinggi sebagai antibakteri jika pada konsentrasi rendah mempunyai daya hambat yang besar. Kriteria kekuatan antibakteri menurut Nazri et al. (2011) adalah sebagai berikut. Diameter zona hambat 15-20 mm : Daya hambat kuat Diameter zona hambat 10-14 mm : Daya hambat sedang Diameter zona hambat 0-9 mm : Daya hambat lemah 2.4 Isolasi Komponen Aktif Antibakteri Komponen aktif antibakteri dapat diisolasi melalui proses ekstraksi. Berk (2009) menyatakan bahwa ekstraksi adalah suatu proses pemisahan komponen yang diinginkan dari suatu bahan. Isolasi komponen aktif dari suatu bahan dapat dibedakan menjadi dua kelas berdasarkan proses pemisahan komponen aktifnya, yaitu : Ekstraksi padatan-cairan (Solid-liquid extraction) yaitu proses ekstraksi yang memisahkan komponen dari suatu bahan pada fase padat menggunakan bantuan pelarut. Contoh : ekstraksi garam dari bebatuan menggunakan air sebagai pelarut, ekstraksi larutan kopi dari gilingan biji kopi dalam produksi ekstrak biji kopi, ekstraksi minyak dari biji-bijian yang mengandung minyak, ekstraksi protein dari dari kedelai dalam produksi protein kedelai (isolated soybean protein), dan sebagainya. Ekstraksi cairan-cairan (Liquid-liquid extraction) yaitu proses ekstraksi yang memisahkan komponen dari suatu campuran larutan tertentu menggunakan pelarut yang berbeda. Contoh : pemisahan penicillin dari larutan fermentasi pada butanol, ekstraksi terpenoid teroksigenasi dari minyak esensial jeruk menggunakan etanol sebagai pelarut, dan lain sebagainya. 9 Isolasi komponen antibakteri dari mikroalga P. cruentum pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode ektraksi padatan-cairan (Solid-liquid extraction). Berk (2009) menyatakan bahwa ekstraksi padatan-cairan ini dapat dilakukan dengan cara bertingkat yakni menggunakan berbagai pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, baik secara berkelanjutan (kontinu) maupun semi-kontinu. Ekstraksi bertingkat atau ekstraksi bertahap merupakan ekstraksi yang dilakukan beberapa kali dengan jenis pelarut berbeda. Ekstraksi ini menggunakan pelarut yang lebih sedikit dan hasilnya akan lebih efektif dibandingkan ekstraksi satu kali dengan semua pelarut sekaligus (Nur dan Adijuwana 1987).