KELUARGA BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT JAWA PERKOTAAN Oleh: Nawari Ismail i PARAKATA Pluralisme agama dan suku Indonesia telah menimbulkan dan semakin tingginya mobilitas horizontal bangsa kontak-kontak sosial-budaya secara lebih cepat dan meluas, termasuk kontak antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama. Tulisan ini bertujuan untuk melihat seluk-beluk perkawinan beda agama, terutama pada level institusi keluarga (beda agama) dalam perspektif sosial-budaya. Tulisan ini pada pada awalnya merupakan laporan hasil penelitian penulis yang didanai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DP2M) Dikti Kementerian Pendidikan Nasional. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak tersebut. Pertama, terima kasih saya ucapkan kepada Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3-UMY) yang telah banyak memberikan informasi tentang penelitian di luar UMY dan memproses pengajuan proposal penelitian, juga atas koordinasinya dalam kegiatann Komunitas Peneliti UMY. Kedua, terima kasih secara khusus kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Dikti Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan dana penelitian, sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Ketiga, saya juga tidak akan melupakan jasa informan besar, ‘guru’ dan konsultan setia saya selama penelitian ini dilakukan, Bapak Ahm, Ponj., dan Pon., termasuk Mas Bayu. Mereka telah memberikan banyak informasi dan penjelasan tentang masyarakatnya, memberikan kritik terhadap kesimpulan sementara yang saya ajukan. Mereka bagi saya telah menjadi semacam ensiklopedi hidup mengenai masyarakat dan keluarga beda agama dengan segala dimensinya. Keempat, para informan dan responden dari kalangan suami-isteri beda agama, pejabat pemerintah tingkat kelurahan sampai kabupaten. Demikian semoga tulisan ini ada manfaatnya. Yogyakarta, Juni 2010 Nawari Ismail DAFTAR TABEL ii No Judul Halaman 1. 2. 3. 4. 5. Keberagamaan Suami-Isteri Sebelum dan Sesudah Kawin…… Keberagamaan Suami………………………………………….. Keberagamaan Isteri………………………………………...... Penerapan Hukum Kewarisan ………………………………… Agama Anak KBA Berdasarkan Jenis Kelamin Anak dan Orang Tua…………………………………………… Agama Anak KBA Dilihat dari Agama Orang Tua…………… 18 19 20 20 6. 34 37 DAFTAR ISI Halaman iii HALAMAN JUDUL ..........................................…………………………. i HALAMAN KATA PENGANTAR………………………………………… ii HALAMAN DAFTAR TABEL ……………………………………………. iii HALAMAN DAFTAR ISI…….…………………………………………….. BAB I BAB II iv : MENELISIK KEBERADAAN KELUARGA BEDA AGAMA A. Posisi Keluarga, Urgensi, dan Fokus Kajian….. 1 B. Kajian Terdahulu dan Kerangka Konseptual……………. 3 : MASYARAKAT DAN MASALAH PERKAWINAN BEDA AGAMA A. Geografi .......................................................................... 9 B. Penduduk ........................................................................ 10 C. Setting Sosial Masyarakat ............................................. 11 D. Profil Umum Keluarga Beda Agama ............................ 13 E. Persoalan di Sekitar Perkawinan Beda Agama .............. 14 BAB III : KEBERAGAMAAN, HARMONISASI, DAN KEBUDAYAAN A. Keberagamaan Pasangan Keluarga Beda Agama……… 18 1. Keberagamaan Suami-Isteri………………………... 18 2. Keberagamaan Suami………………………………. 19 3. Keberagamaan Isteri………………………………... 20 B. Penerapan Hukum Kewarisan…………………………. 20 C. Perkawinan Beda Agama dan Harmonisasi Keluarga.... 21 1. Faktor –faktor Terjadinya Perkawinan Beda Agama.. 22 2. Harmonisasi Keluarga…………………..................... 27 D. Sosialisasi Nilai Agama ................................................ 30 1. Pembinaan Agama Anak……………………………… 30 2. Proses Afiliasi Agama Anak………………………….. 34 E. Aspek Keberagamaan dan Sosial .................................. 38 BAB IV : REFLEKSI PEMBINAAN KEAGAMAAN KELUARGA BEDA AGAMA ....................................................... 41 PERTANGGUNGJAWABAN KERJA PENELITIAN ................................ 47 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………. ...................... 49 iv BAB I MENELISIK KEBERADAAN KELUARGA BEDA AGAMA A. Posisi Keluarga, Urgensi, dan Fokus Kajian Masyarakat Indonesia bersifat pluralis, baik dari segi agama maupun suku. Karena itu adanya toleransi dan pengakuan terhadap pluralisme akan menghindarkan kelompokkelompok masyarakat bersikap eksklusif, sehingga memudahkan terjadinya integrasi. Apalagi memasuki millenium ketiga, ketika perubahan sosial-budaya terus berlanjut dengan akselarasi yang lebih cepat, seiring dengan proses globalisasi yang menjadikan masyarakat berada dalam satu jaringan desa-dunia. Dunia yang seperti desa menjadi tempat bertemunya berbagai aspek sosial-budaya (Becford & Kuhn, 1991: 11), sehingga memudarkan sekat-sekat geografis antar negara dan berimplikasi juga kepada meretasnya sekat-sekat sosial, keagamaan, etnisitas dan keluarga. Proses perubahan sosial budaya telah mempengaruhi pula berbagai institusi dalam masyarakat termasuk keluarga. Bentuk perubahan itu antara lain terdapat pada aspek tipe atau bentuk keluarga, struktur dan pola interaksinya, fungsi sosial dan intrinsik, pluralisme latar belakang sosial dan agama keluarga. Perubahan itu terjadi selain karena gencarnya arus informasi yang mengglobal, juga karena adanya gerakan wanita yang secara langsung menyebabkan banyaknya wanita yang bekerja di sektor publik (Collins, 1987: 24), sekaligus mempengaruhi pembagian kerja secara seksual. Keluarga sebagai institusi sosial terkecil dari masyarakat mempunyai peran yang sangat penting dalam proses alih kebudayaan antar generasi, termasuk dalam pengalihan nilai-nilai moral, toleransi dan pengakuan terhadap perbedaan. Keluarga juga dapat berposisi sebagai struktur mediasi penting dalam proses sosialisasi nilai-nilai dan ide-ide dari institusi negara (pemerintah) atau masyarakat kepada individu (anggota keluarga). Dalam arus perubahan sosial-budaya tersebut keluarga moderen juga ditandai dengan pluralisme latar-belakang sosial-budaya anggota keluarga, misalnya perbedaan agama. Keluarga beda agama walaupun belum ada data resmi dari hasil sensus, ternyata jumlahnya cukup banyak terutama di perkotaan. Sebagai contoh Ikatan Keluarga Lintas Agama dan Suku Indonesia (IKLAS-Indonesia), menurut ketuanya, Ir. Sigit Susilo, (dalam Kedaulatan Rakyat, 24 Januari 2000), telah mempunyai anggota sebanyak 200 KK khusus sebagian yang berada di Bali, Yogyakarta dan Jakarta. Keluarga beda agama 1 dapat dilihat dari jumlah perkembangan keluarga dari perkawinan beda agama. Di Jakarta misalnya, pada tahun 1970 hanya ada 10 pasangan keluarga beda agama, tahun 1979 ada 80 pasangan dan tahun 1986 melonjak menjadi 491 pasangan (Tempo, No.28 Th. XXIII, 11 September 1983: 44). Sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan data hasil sensus SUSENAS tahun 1980 yang diolah Aini (1999) ada sekitaar 320 pasangan keluarga beda agama. Keluarga beda agama, sebagaimana institusi keluarga pada umumnya, merupakan pusat pembinaan kebudayaan awal individu, baik kebudayaan yang bersumber dari tradisi suku (kebudayaan-suku) maupun kebudayaan yang bersumber dari agama (kebudayaan-agama) atau kebudayaan campuran. Sebagai suatu sistem simbol yang mempunyai makna bagi penganut dan pendukungnya, agama tentu akan berpengaruh terhadap sikap, perilaku dan pola hidup suami-isteri dan anggota keluarga. Sebab seperti kerangka pikir sibernika Parsons bahwa, sistem budaya berpengaruh kepada sistem sosial (Bachtiar dalam Suparlan, 1981/1982:70). Hal ini mengandaikan bahwa, agama sebagai sebuah kebudayaan, dalam intensitas seberapapun dapat menjadi faktor independen dalam hubungannya dengan struktur dan fungsi keluarga beda agama. Kajian ini menarik karena dalam keluarga beda agama dimungkinkan terjadinya tarikmenarik kekuatan antar-kebudayaan yang dilakukan orang tua yang berbeda agama terhadap anak-anaknya. Selain itu keberadaan keluarga beda agam sering menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan sering dilihat hanya dari sisi yuridis-formalnya. Berdasarkan uraian tersebut, inti kajian ini adalah berusaha menganalisis hubungaan kebudayaan (suku dan agama) dengan proses struktur sosial dan sosialiasasi nilai dalam keluarga beda agama. Adapun fokusnya adalah: (1) Apakah setelah suami isteri yang berbeda agama bersatu dalam sebuah keluarga mempengaruhi kualitas kerberagamaan masing-masing pihak. (2) Sejauhmana agama dapat menjadi faktor penyebab terjadinya perkawinan dan harmonisasi keluarga beda agama. (3) Kebudayaan yang lebih dominan antara kebudayaan agama dan suku dalam nilai-nilai dan penerapan kewarisan dalam keluarga beda agama. proses Adapun sosialisasi ruang lingkup kajian meliputi: (a) Faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan beda agama. (b) Penyebab terjadinya integrasi keluarga beda agama. (3) Keberagamaan sebelum dan sesudah suami-isteri kawin. (4) Peran suami-isteri yang berbeda agama dalam proses 2 sosialisasi nilai-nilai, khususnya dalam pembinan agama dan tradisi dan afiliasi agama anak. (5) Kewarisan yang akan diterapkan Dalam menjawab pendekatan masalah tersebut penelitian ini akan dilakukan dengan struktural fungsional. Adapun asumsi dari penelitian ini adalah bahwa, hubungan antara sistem budaya (agama dan kesukuan) dengan sistem sosial (struktur dalam keluarga) merupakan hubungan timbali-balik. Agama ssebagai sistem budaya mempengaruhi dan dipengaruhi realitas. Untuk itu dapat dikemukakan hipotesis kerja dari penelitian ini: (1) Agama sebagai sistem budaya dapat menjadi faktor pengintegrasi sosial antara pasangan kawin yang berbeda agama karena adanya ciri-ciri subbudaya abangan. (2) Agama yang telah dipahami menurut subbudaya abangan (misalnya toleransi yang tinggi, sinkritis) oleh keluarga beda agama akan mempengaruhi pola peran suami-isteri dalam proses sosialisasi nilai terhadap anak dan penerapan kewarisan. Peran dari orang tua akan lebih banyak dipengaruhi kebudayaan suku daripada kebudayaan agama. (3) Oleh karena sejak awal suami-isteri yang berbeda agama bersifat abangan, maka ketika mereka bersatu dalam keluarga, dimungkinkan kualitas keberagamaannya menjadi rendah. A. Kajian Terdahulu dan Kerangka Konseptual Institusi keluarga sudah lama menjadi sasaran penelitian. struktural-fungsionalisme umumnya penelitian struktur dan fungsinya. Di Indonesia Dalam perspektif tentang keluarga difokuskan kepada penelitian keluarga dengan pendekatan fungsionalisme tersebut misalnya penelitian, sudah dibukukan, yang dilakukan Hildred Geertz (1985). Geertz yang menggunakan pendekatan etnografi khusus mengkaji keluarga Jawa dengan memfokuskan perhatiannya kepada struktur , peran keluarga dan sosialisasi nilai tradisi dalam keluarga Jawa. Untuk penelitian yang memfokuskan perhatian terhadap keluarga beda agama sudah dilakukan beberapa peneliti. Bahr (1982) melakukan penelitian di keluarga beda agama ( religious intermarriage) di Amerika, demikian juga dengan Nelsen (1990) di Australia. Kedua peneliti tersebut menyoroti aspek sosialisasi nilai keagamaan dalam keluarga beda agama dan peran yang dimainkan suami-isteri dalam sosialisasi nilai keagaamaan tersebut. 3 Di Indonesia sendiri sudah ada penelitian tentang keluarga beda agama, seperti yang diteliti oleh Aini (1997/1998) dan Wiludjeng (1991). Aini melakukan penelitian data sekunder (dari hasil sensus SUSENAS, 1980) khusus Daerah Istimewa Yogyakarta tentang keluarga yang beragama Islam, Kristen dan Katolik. Aspek yang dikaji adalah afiliasi agama anak dalam keluarga beda agama dan peran masing-masing suami-isteri. Sementara itu Wiludjeng khusus mengkaji pelaksanaan janji perkawinan dari suami-isteri yang kawin dengan umat nonKatolik dan pengaruhnya terhadap proses pengafilisian anak. Kebudayaan, Agama, dan Interaksi Sosial: Kebudayaan adalah seperangkat ide atau pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial yang secara selektif digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi serta dijadikan sebagai kriteria dalam bersikap, bertindak dan berinteraksi dengan orang lain (Suparlan dalam Sudjangi, 1991/1992: 84). Kebudayaan dapat bersumber dari ajaran agama (kebudayaan-agama) dan nilai-nilai suku (kebudayaan-suku). Sebuah komunitas suku dan agama dapat memiliki kebudayaan khusus yang disebut dengan subkebudayaan, misalnya dalam masyarakat agama (Islam) di Jawa ada subkebudayaan abangan dan santri. Sementara dalam masyarakat suku Jawa ada subkebudayaan Jawa-pesisir dan Jawa-pedalaman. Agama dalam kajian ini lebih dimaksudkan seperti perspektif Geertz (dalam Tibi, 1991) yaitu agama sebagai models of reality, bukan agama sebagai models for reality. Agama sebagai models of reality adalah agama yang sesuai dengan pemahaman dan pelaksanaan pemeluknya dengan segala karakter lokalnya. Dalam hal hubungan antara kebudayaan dengan struktur sosial, seperti interaksi sosial, kegiatan sosialisasi nilai, dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, misalnya pendekatan hermeneutik, semiotik, dan pendekatan fungsionalisme-Parsons. Pendekatan hermeneutik memandang kebudayaan mempunyai otonomi kuat dan berpengaruh seara eksklusif terhadap struktur sosial yang ada. Sementara pendekatan semiotik menegaskan tidak ada kaitan antara kebudayaan dan struktur sosial. Pendekatan fungsionalisme memandang adanya hubungan timbal-balik antara kedua variabel tersebut (Alexander dan Seidman, 1990: 3-10). Ketiga pandangan pndekatan tersebut mungkin sekali terdapat dalam realitas, khususnya dalam kajian keluarga beda agama 4 Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu atau antar kelompok sosial dalam masyarakat. Dalam konteks kehidupan keluarga berarti hubungan timbal balik antar anggota keluarga. Bentuk interaksi sosial antar anggota keluarga beda agama dapat bersifat positif dan negatif. Bersifat positif jika ada integrasi, bersifat negatif jika terjadi pertengkaran dan bahkan perceraian antara suami dan isteri. Dalam hal ini integrasi sosial berarti penyatuan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama dalam sebuah perkawinan. Kemudian setelah berada dalam suatu perkawinan mereka memelihara keharmonisan rumah tangganya. Keharmonisan merupakan tujuan utama dari setiap orang yang melakukan perkawinan. Konflik bukan tujuan namun sangat mungkin hanya dipandang sebagai proses sementara. Persoalannya mengapa terjadi integrasi di antara orang yang berbeda agama. Hal ini dapat dijelaskan dari teori modernitas yang menyatakan bahwa, masyarakat moderen cenderung bersifat toleran terhadap agama lain (Nottingham, 1983). Di Indonesia dari ketiga varian agama Jawa seperti dikemukakan Clifford Geertz (1989) nampak varian abangan sangat memperlihatkan ciri-ciri seperti masyarakat moderen yaitu adanya toleransi beragama yang tinggi (Hildred Geertz, 1985). Sikap toleransi ini yang dimungkinkan mempengaruhi berkembangnya perkawinan beda agama. Dalam hal kemampuan keluarga beda agama mempertahankan keharmonisannya, di antaranya dapat dilihat dari teori ingroup-outgroup. Dalam kaitan ini P. Hariyono (1994: 102-103) menemukan prinsip-prinsip yang sama dengan teori ingroup-outgroup dalam kasus keluarga suku Cina di Jawa yaitu, melemahnya nilai familiisme dan kesukuan memperlemah perasaan ingroup, sehingga memudahkan terjadinya amalgasi dan bertahannya perkawinan campuran tersebut. Substansi teori ingroup-outgroup tersebut dapat juga diterapkan kepada kasus perkawinan beda agama. Hal ini berarti bahwa, lemahnya nilai-nilai keagamaan, seperti subbudaya abangan dan santri, akan berpengaruh kepada perasaan ingroup keagamaan, sehingga interaksi sosial menguat dan perkawinan beda agama dapat terjadi, dan selanjutnya keharmonisan keluarga beda agama dapat dipertahankan terus. Untuk itu Hildred Geertz (1985: 3-4) menemukan kenyataan bahwa, kategori abangan dalam masyarakat Islam Jawa, memperlihatkan ciri-ciri seperti masyarakat moderen yaitu adanya toleransi beragama yang tinggi, sehingga mempengaruhi berkembangnya perkawinan beda agama. Sementara Collins (1987), yang melakukan penelitian pada 5 masyarakat Amerika, menemukan kenyataan bahwa, konflik (perceraian) lebih sering terjadi di kalangan keluarga beda agama dibandingkan dengan keluarga satu agama. Hal senada dikemukakan oleh Elliott dan Merrill (dalam Khoiruddin, 1997) bahwa, perbedaan agama dalam keluarga merupakan sumber konflik terutama setelah anak-anak lahir dan konflik akan lebih serius lagi jika suami-isteri memiliki kesadaran beragama yang tinggi. Dalam kaitannya dengan pernyataan Elliott dan Merrill ini, maka perlu meneliti mengenai keberagamaan suami-isteri sebelum dan sesudah kawin. Keberagamaan: Keberagamaan dapat juga disamakan dengan keterlibatan agama atau komitmen agama merupakan suatu konsekuensi dari penganutan agama seseorang. Konsep keberagamaan mengandung beberapa indikator, dan di antara ahli ada perbedaan. Fukuyama, misalnya, yang dilansir oleh Demerath (dalam Robertson, 1988: 420-21), membagi konsep keberagamaan ke dalam empat indikator yaitu cultic (yang meliputi kehadiran di gereja, dan kegiatan dalam organisasi), cognitive (pengetahuan tentang ajaran agama, dan peristiwa kegerejaan), creedal (keimanan), dan devational (ketaatan dalam pelaksanaan ibadah khusus (personal prayer). Sementara Glack dan Ringer (dalam Robertson, 1988: 419-20) membagi ke dalam tiga indikator yaitu kehadiran di gereja, kegiatan dalam organisasi, dan unsur pengetahuan keagamaan. Indikator kesatu dan kedua sama dengan yang dikemukakan Larry Blackwood yang dikutip Abdullah Fajar (dalam Abdullah dan Karim, 1989: 108). Blackwood mengemukakan indicator ketiga yaitu kepercayaan. Pada akhirnya Demerath membagi ke dalam tiga indikator yaitu keanggotaan dalam organisasi agama, kehadiran dalam acara ritual, dan keikutsertaan dalam kegiatan yang diadakan lembaga keagamaan. Kendatipun ada nuansa perbedaan, namun dalam banyak aspek ada kesamaan dalam membagi indikator dari konsep keberagamaan tersebut. Selain itu karena penelitian para peneliti tersebut difokuskan pada pengikut Kristiani, sudah barang tentu operasionalisasi konsep yang dibuat oleh mereka lebih mengacu kepada ajaran Kristiani. Untuk itu ketika konsep operasionalisasi konsep tersebut akan diterapkan pada penganut Islam, maka harus disesuaikan dengan ajaran Islam. Berdasarkan pertimbangan adanya perbedaan penentuan indikator dari para ahli, dan perlunya penyesuaian dalam operasionalisasi konsep tersebut, maka dalam penelitian ini indikator dari konsep keberagamaan meliputi; keanggotaan formal dalam organisai agama, kehadiran atau pelaksanaan ritual agama, partisipasi dalam kegiatan 6 keagamaan, dan upaya memperoleh pengetahuan keagamaan. Dalam penyusunan angket untuk kelompok penganut Islam dan Kristiani dibedakan pada isinya (item pertanyaannya). Sosialisasi Nilai dan Peranan: Sosialisasi nilai adalah proses peralihan nilai-nilai (agama dan suku) dari seorang atau kelompok kepada orang lain, dari orang tua kepada anak-anak. Ada dua jenis sosialiasi nilai kepada anak-anak yaitu sosialisasi primer (primary socialization), dan sosialisasi sekunder (secondary socialization) (Robinson, 1989: 50). Sosialisasi primer berlangsung ketika anak pertama kali memperoleh identitasnya sebagai pribadi. Pada tahapan ini anak sebagian besar menerima sosialisasi dari orang tua. Adapun sosialisasi sekunder merupakan sosialisasi setelah anak beranjak dewasa, dalam masa ini anak menjadi anggota masyarakat yang lebih luas dan menerima nilai-nilai dari masyarakatnya. Proses sosialisasi dalam keluarga terkandung adanya peranan-peranan yang dimainkan orang tua. Peranan adalah aspek dinamis dari status atau kegiatan yang dilakukan seseorang sesuai dengan status yang dimilikinya. Berger dan Luckman (1971) menyatakan bahwa, peranan ditentukan dan dikonstruksikan secara sosial. Artinya peranan individu atau kelompok ditentukan oleh konsep dasar perilaku atau nilai-nilai yang dijadikan pedoman dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang menganut ideologi patriarki misalnya, peranan laki-laki dan perempuan umumnya dibedakan (Budiman, 1985). Laki-laki dikonstruksi untuk berperan di sektor publik, sedangkan perempuan mengurusi sektor domestik. Adanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan (suami-isteri) tentu akan berdampak terhadap kuantitas waktu dalam pemberian sosialisasi nilai kepada anak, sehingga akan menimbulkan dominasi peranan dari suami atau isteri dalam keluarga. Jika terjadi dominasi peranan dalam proses sosialisasi nilai, maka sangat dimungkinkan terjadi dominasi kebudayaan atau subkebudayaan dalam keluarga. khususnya dalam keluarga beda agama. Teori tentang peranan tersebut juga didukung oleh temuan beberapa penelitian. Bahr (1982) dan Nelson (1990) sama-sama menemukan kenyataan bahwa pengaruh maternal secara signifikan lebih besar dan kuat daripada pengaruh paternal dalam sosialisasi nilai (agama) anak dalam keluarga beda agama. Bahkan Nelsen juga menemukan bahwa, anak perempuan cenderung kuat mengikuti agama ibu dan 7 sebaliknya anak laki-laki cendrung ikut agama bapak. Sementara di Indonesia, Aini (1997/1998) menemukan hal yang senada yaitu pengaruh orang tua dari keluarga beda agama dalam sosialisasi nilai agama (afiliasi agama) terhadap anak ditentukan oleh jenis kelamin. Dengan kata lain, peranan sosial suami-isteri yang didasarkan atas konsep pembagian kerja secara jender dalam masyarakat patriarki, ibu lebih dominan daripada bapak dalam sosialisasi nilai agama. Berdasarkan teori dan temuan tentang peranan dalam soalisasi nilai tersebut, maka dimungkinkan juga berlaku dalam aspek penerapan kewarisan, jika satu di antara orang tua tersebut meninggal dunia. Dalam kaitan ini perlu dipertimbangkan determinasi sosial budaya suami-isteri, misalnya dari segi latar belakang lapisan sosialnya, dan keberagamaan serta tingkat keketatan ajaran (ortodoksi) agama dalam melihat perkawinan beda agama. Dalam kontek ini Wiludjeng (1991) menemukan bahwa pihak (suami-isteri) Katolik dan Islam (yang dianggap lebih ortodok daripada Kristen) lebih kuat dalam mengkatolikkan dan mengislamkan anak-anaknya. Kuatnya pengaruh pihak suami-isteri Katolik karena mereka harus melakukan janji di dan oleh gereja yang disebut dengan antinuptialagreement, sebuah perjanjian yang mengharuskan mengkatolikkan pasangan dan anaknya. Hal ini sejalan dengan temuan Nelsen (1990) bahwa, tingkat ortodoksi ajaran agama berhubungan erat dengan penganutan agama anak dalam keluarga beda agama. 8 BAB II MASYARAKAT DAN MASALAH PERKAWINAN BEDA AGAMA A. Geografis Sinduadi merupakan salah satu dari lima (5) kelurahan yang ada di Kecamatan Mlati Sleman Yogyakarta. Keempat kelurahan yang lain yaitu Sendangadi, Telogoadi, Tirtoadi, dan Sumberadi. Berbeda dengan ibukota kecamatan Mlati yang terletak di wilayah perdesaan, Sinduadi justru terletak di daerah perkotaan. Kelurahan ini membelah jalan Megelang. Lokasinya memang lebih dekat dengan ibukota propinsi (4 Km) dibandingkan dengan ibukota Dati II Sleman (6 Km), dan ibukota kecamatan (8 Km). Di sebalah utara berbatasan dengan Kelurahan Sendangadi, sebelah selatan kotamadya Yogyakarta, di sebelah barat berbatasan dengan Desa Trihanggo Kecamatan Gamping, dan di timur berbatasan dengan Desa Catur Tunggal Kecamatan Depok. Sinduadi membawahi 18 padukuhan yaitu; Jetis, Gedungan, Ngaglik, Kragelan, Rogoyudan, Kutu Peteran, Kutu Asan, Jombor Lor, Jombor Kidul, Kutu Tegal, Kutu Dukuh, Blunyah, Karangjati, Gemawang, Pogung Lor, Pogung Kidul, Sendowo, Sono Purwosasri. Hampir separuh dari padukuhan tersebut sudah berada di daerah perkotaan seperti Gemawang, Sendowo, Pogung Lor, dan Pogung Kidul yang wilayahnya berdekatan dengan kampus Universitas Gadjah Mada, dan perguruan tinggi swasta seperti Institut Pertanian, juga RSUP Sardjito. Di padukuhan- padukuhan inilah penelitian dilakukan secara intensif. Padukuhan-padukuhan yang lain seperti Kutu Tegal, Kutu Dukuh berada di tengah-tengah daerah perdagangan di daerah Jalan Magelang. Di wilayah kelurahan ini banyak terdapat tempat-tempat penting seperti Stasiun Telivisi Republik Indonesia, Monumen Yogya Kembali, SubTerminal Jombor. Wilayah Sinduadi sebagian besar berada di dataran rendah dengan ketinggian 250 meter dari permukaan laut. Curah hujan rata-rata 2000 mm/tahun, dengan suhu udara 24-32 derajat celcius. Selokan Mataram membelah wilayah ini dari Barat ke Timur. Luas wilayahnya mencapai 737 Ha. yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti perumahan dan pekarangan; industri, perdagangan dan perkantoran; serta pesawahan. Kurang dari separuh tanah yang ada digunakan untuk pertanian, baik dalam jenis pesawahan maupun petegalan. Adapun separuh lebih digunakan 9 untuk berbagasi kepentingan seperti industri, perdagangan, perkantoran (kampus dan lainnya), dan perumahan penduduk. Keadaan ini menggambarkan bahwa desa ini selain masih ada nuansa agrarisnya juga sudah kental dengan nuansa urbannya. Untuk mencapai pusat pemerintahan dan berbagai tempat ditempuh dengan berbagai jenis angkutan umum, misalnya bus kota, taksi, angkutan desa, becak, dan bus antarkota. Bus antarkota melintas dari Utara-Selatan dan Barat yaitu terutama dari arah Semarang, atau dari arah Barat dan Timur yaitu kendaraan yang melintasi ringroad utara bagian barat dengan tujuan Solo-Semarang. Bus kota, taksi dan becak banyak digunakan di sepanjang Jalan Magelang yang merupakan pusat pertokoan/perdagangan, dan di sepanjang jalan menuju ke berbagai fasilitas umum dan pendidikan seperti ke kampus Universitas Gadjah Mada, RSUP Sardjito, TVRI. B. Penduduk Pada bulan Desember 2006 jumlah penduduk Sinduadi sebanyak 29. 299 jiwa. Sementara luas wilayahnya sekitar 737 Ha, sehingga kepadatan penduduk rata-rata mencapai 37 jiwa/Ha. Kepadatan penduduk tiap padukuhan berbeda-beda. Penduduk padat terdapat di padukuhan-padukuhan yang berada di wilayah perkotaan, khususnya padukuhan-padukuhan yang ada di sekitar kampus UGM dan pusat pertokoan/perdagangan di Jalan Magelang. Di padukuhan-padukuhan tersebut banyak mahasiswa, dan pendatang dari luar Yogyakarta. Penduduk laki-lakinya (51,69%) lebih banyak dibandingkan dengan penduduk perempuan (48, 31%). Keadaan ini berbeda dengan kecenderungan pada umumnya di Indonesia dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Setiap tahun penduduk mengalami perubahan yang diakibatkan oleh kelahiran-kematian, dan kedatangan-kepindahan. Yogyakarta sebagai kota pelajar telah menimbulkan banyaknya pendatang dari berbagai daerah di Indonesia dan bahkan dari luar negeri. Hal ini terasa juga di Sinduadi, pendatang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang pindah. Tahun 2001 misalnya, perbandingan antara orang yang datang dan orang yang pindah mencapai 70% dan 30%. Berdasarkan banyaknya pendatang, maka di desa ini sudah terjadi kemajemukan suku, agama, dan asal daerah, terutama di padukuhan-susun yang masuk wilayah perkotaan. Dari segi usia, penduduknya lebih banyak yang berusia produktif. Penduduk pada usia ini ( 20-56 tahun) mencapai 52,37% dari jumlah kelompok tenaga kerja 10 keseluruhan di daerah tersebut. Adapun penduduk usia 10 –19 tahun mencapai 30%, dan usia nonproduktif sebesar 17,83%. C. Setting Sosial Masyarakat Dari segi pendidikan, banyak penduduk usia sekolah yang sudah menamatkan Taman Kanak-kanak dan cukup banyak yang sudah merampungkan program Sarjana atau S1-S3 (1,70%). Secara lebih rinci, tingkat kelulusan masyarakat dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi menunjukkan tipe piramida terbalik. Artinya semakin rendah tingkat pendidikan semakin banyak yang lulus, dan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin sedikit yang mengenyamnya. Secara berurutan Taman Kanak-kanak (39%), kemudian diikuti di bawahnya tingkat SD (20%), SLTP (19%), SMA (18%), Akademi/D1-D3 (3%), dan S1-S3 (2%) Dari segi ekonomi, mayoritas penduduk bekerja di sektor perekonomian moderen seperti pegawai negeri dan swasta, pedagang dan jasa. Adapun yang menjadi petani, (petani pemilik maupun buruh tani) tidak sampai 10% dari angkatan kerja yang ada. Kebanyakan penduduk bekerja sebagai karyawan swasta (36%) dan pegawai negeri (26%). Keadaan ini menunjukkan bahwa sektor pekerjaan moderen telah menjadi tumpuan terbesar dari masyarakat di daerah ini. Pertukangan (11%) meliputi buruh bangunan (laden), dan tukang ahli. Desa ini termasuk pemasok pekerja bangunan ke wilayah perkotaan Yogyakarta dan sekitarnya. Sementara yang bekerja sebagai petani masih cukup banyak (9%), begitu juga dengan pedagang/pengusaha (9%). Pensiunan dan yang bergerak di bidang jasa masingmaisng 5% dan 4%, selebihnya mereka yang bekerja sebagai TNI/Polisi dan pemulung. Pelapisan sosial masyarakat secara ekonomis dapat digolongkan ke dalam tiga tingkatan yaitu kaya, menengah dan miskin. Setiap lapisan sosial-ekonomi dilihat dari ciri-ciri pemilikan rumah dan harta kekayaan yang nampak. Orang kaya menurut ukuran masyarakat setempat ditandai dengan rumahnya yang relatif besar dibandingkan dengan rumah yang ada di sekitarnya, juga dilihat dari kendaraan yang dipakai yaitu mobil. Orang yang termasuk golongan ini sebagian besar pengusaha, dan sebagian pegawai negeri. Orang miskin adalah mereka yang menempati rumah setengah tembok atau sangat sederhana dan kendaraan yang dimiliki sepeda atau tidak punya kendaraan 11 sama sekali. Golongan ini terdiri dari sebagian besar buruh tani dan bangunan, pemulung. Adapun golongan menengah terdapat pada sebagian besar pegawai negeri dan karyawan swasta, sebagian pedagang dan penjual jasa. Batasan pelapisan sosialekonomi ini tidak berlaku mutlak. Sebab seseorang yang dianggap kelompok menengah di suatu padukuhan, dapat saja dianggap kaya di padukuhan lain. Di bidang keagamaan, jumlah umat Islam masih menjadi mayoritas (88%), sedangkan umat Kristiani, baik Katolik maupun Kristen, berjumlah 11%. Untuk penganut Kristiani ini, Kristen masih lebih banyak (6%) dibandingkan dengan Katolik (5%). Sementara agakma Budha, Hindu, dan Aliran Kepercayaan persentase maisng-masing kurang dari 1%. Di kelurahan ini ternyata aliran kepercayaan masih ada dan nampaknya masih disejajarkan dengan agama dalam dokumen resmi pemerintah setempat, baik di monografi maupun kartu keluarga. Dalam kartu keluarga ditemukan juga kolom agama yang diisi dengan aliran kepercayaan. Jika dibandingkan antara jumlah umat masing-masing agama dengan jumlah tempat ibadah menunjukkan sebagai berikut; dalam satu masjid rata-rata menampung sekitar 500 umat Islam, atau kalau digabung antara masjid dan musholla, maka setiap tempat ibadah umat Islam rata-rata menampung sekitar 362 orang. Adapun gereja yang ada rata-rata menampung 1532 umat Kristiani, dan vihara menampung 110 umat Budha. Sementara untuk umat Hindu belum mempunyai tempat ibadah. Umat agama Islam maupun Kristen dan Katolik dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu umat agama yang tidak taat dan umat agama yang taat menjalankan ajaran agamanya. Kelompok pertama disebut Islam atau Katolik/Kristen penuturan oleh masyarakat, sedangkan kelompok kedua biasa disebut dengan Islam/Katolik/Kristen taat. Seseorang disebut Islam penuturan karena dia hanya mengaku dirinya seorang muslim secara lisan, namun hampir tidak pernah melaksanakan kewajiban agamanya, khususnya shalat lima waktu dan puasa. Sebaliknya Islam Penuturan ini lebih mementingkan slametan dalam upacara lingkaran hidup seperti waktu kelahiran, teta’an (sunatan), pitonan, dan peringatan kematian anggota keluarga misalnya 1-7 hari dari kematian, matangpuluh, nyatus, pendak siji dan nyewon. 12 Kelompok umat Islam taat adalah orang Islam yang selalu berusaha melaksanakan kewajiban agamanya seperti shalat lima waktu, puasa, membayar zakat (fitrah), bahkan naik haji jika mampu. Dalam menyikapi terhadap tradisi, kelompok umat Islam taat ini dapat dibagi ke dalam dua subkelompok. Pertama, subkelompok yang toleran terhadap adat-istiadat Jawadalam pengamalan keagamaan seperti melakukan tahlilan untuk orang yang sudah meninggal seperti yang dilakukan umat Islam Penuturan. Kedua, subkelompok yang menolak adat istiadat Jawa karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Subkelompok pertama umumnya direpresentasikan dengan pengikut Nahdlotul Ulama’, dan subkelompok kedua direpresentasikan dengan pengikut Muhammadiyah. Ciri-ciri pada kedua subkelompok tersebut dapat disebut seperti istilah yang dikemukakan Geertz (1989) dan Muhtarom (1988) yaitu santri-tradisional, dan santri-modernis. Di kalangan umat Katolik dan Kristen juga dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu Katolik/Kristen pasif dan Katolik/Kristen aktif. Di kalangan umat Katolik/Kristen setempat dinyatakan bahwa orang Katolik/Kristen aktif adalah mereka yang aktif melaksanakan ritual keagamaan, seperti aktif ke gereja untuk melakukan kebaktian atau misa, sering ikut dalam upacara perjamuan, sembahyangan atau kajian al-Kitab atau pengajian kring. Adapun umat Ketolik/Kristen pasif adalah mereka yang mengaku beragama Katolik/Kristen, namun jarang sekali ke gereja, sebaliknya mereka banyak yang menjalankan tradisi Jawa seperti yang dilakukan umat Islam Penuturan, khususnya dari kalangan umat Katolik. D. Profil Umum Keluarga Beda Agama Berdasarkan atas data yang ada dalam Kartu Keluarga penduduk, khususnya di padukuhan-padukuhan yang menjadi lokasi penelitian ini, ada sebanyak 20 pasangan keluarga beda agama, dari 20 pasangan tersebut ada 1 keluarga yang suaminya telah meninggal dunia. Agama Islam memrupakan agama yang terbanyak yang dianut suami-isteri yaitu 16 orang, disusul oleh agama Katolik sebanyak 15 orang, serta Kristen dan Budha masing-masing 8 dan 1 orang. Bentuk keluarga beda agama jika dilihat dari agama yang dianut sduami-isteri sebagai berikut: (a) suami Islam-isteri Katolik, (b) suami Islam-isteri Kristen, (c) suami Katolik-isteri Islam, (d) suami Kristen-isteri Islam, (e) suami Budha-isteri Islam, dan (f) suami Kristen-isteri Katolik. 13 Berdasarkan data dalam Kartu Keluarga dari suami yang berbeda agama, jumlah keseluruhan anak keluarga beda agama sebanyak 39 orang yang rerdiri dari laki-laki 17 orang dan perempuan 22 orang. Dari keluarga beda agama yang ada tidak semuanya mempunyai anak, ada 4 keluarga yang tidak/belum mempunyai anak. Seperempat dari suami menamatkan sekolah lanjutan pertama (25%) dan SLTA (25%), sedangkan isteri justru lebih banyak yang menamatkan SLTA (30%), dan SLTP (25%). Selain itu, 35% dari suami telah mengenyam pendidikan tinggi, sementara pada isteri hanya mencapai 20% yang mengenyam pendidikan tinggi. Di sisi lain tidak ada suami yang hanya tamat SD, sedangkan pada pihak isteri ada yang hanya tamat SD sebanyak 5%. Dari segi pekerjaan, kebanyakan suami (40%) sebagai pegawai negeri, sementara pada isteri hampir separuhnya menjaid ibu rumah tangga. Dari data yang ada seperti menunjukkan tidak ada suami-isteri yang bekerja di sektor tradisional atau petani. Secara lebih terinci, kebanyakan (40%) suami bekerja sebagai PNS/pensiunan, disusul oleh mereka yang bekerja sebagai wiraswasta (35%), karyawan swasta (10%), pedagang, pesuruh sekolah, dan ABRI masing-masing 5%. Sementara di pihak isteri hampir separuh (45%) sebagai ibu rumah tangga, selanjutnya ada yang berwiraswasta (35%), PNS/pensiunan (15%), dan karyawan swasta (5%). Dengan demikian jika digabung pekerjaan suami-isteri, maka secara berurutan pasangan keluarga beda agama tersebut kebanyakan sebagai wiraswasta (35%), ibu rumah tangga (22%), PNS/pensiunan (28%), karyawan swasta (7%), pedagang, pesuruh, dan ABRI 8%. E. Persoalan Di Sekitar Perkawinan Beda Agama Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang majemuk dalam banyak aspek, khususnya dari segi agama. Setiap umat beragama mempunyai kebudayaan yang berlaku dalam lingkungan komunitasnya, sehingga memunculkan perbedaan antara umat beragama tersebut. Walaupun begitu karena kelompok-kelompok yang berbeda agama dan suku tersebut berada dalam satu wailayah dan kebudayaan nasional Indonesia, maka interaksi antarkelompok tersebut, dalam intensitas seberapun, terus berlangsung, terutama di daerah perkotaan. Seiring dengan terjadinya interaksi dan migrasi, maka sering terjadi perkawinan beda agama dan suku. Hal ini juga terjadi di Sinduadi yang wilayahnya masuk perkotaan Yogyakarta. 14 Di Sinduadi, walaupun umat Islam dan suku Jawa termasuk mayoritas, namun mereka tetap dapat hidup berdampingan dengan tenang dengan umat agama dan suku lain. Banyak suku lain yang menjadi penduduk Sinduadi berasal dari luar Jawa seperti Batak, Sunda, Betawi, Madura, Bugis, bahkan luar Indonesia (Amerika Serikat). Mereka bertempat tinggal dan menjadi penduduk tetap di Sinduadi karena banyak faktor seperti mendapat jodoh laki-laki/perempuan asli setempat dan bekerja di berbagai lembaga pemerintah dan swasta. Menurut beberapa informan, (Pak. Ahm, Pak Part., Pak Pon.) sejak kapan terjadinya perkawinan beda agama dan suku di Sinduadi tidak diketahui. Walaupun begitu, kalau dilacak berdasarkan dokumen kartu keluarga dan data identitas dalam angket, khusus perkawinan beda agama, sebenarnya telah terjadi sejak sebelum disahkannya UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Misalnya keluarga Fx..Eko, Katolik , yang berusia 71 tahun (lahir tahun 1931), dan menikah tahun 1959. Selain itu banyak juga pasangan berbeda agama dan suku yang kawin setelah disahkannya UU Perkawinan tersebut. Misalnya keluarga Part. (lahir tahun 1953), Islam dan menikah tahun 1976 dengan Masr., Kristen. Banyaknya perkawinan beda agama setelah berlakunya UU Perkawinan tahun 1974 seiring dengan masih adanya perbedaan pemahaman terhadap pasal yang ada dalam undang-undang tersebut. Menurut Falakh (dalam Mimbar Hukum, No.15/V/1992) ada empat kelompok pandangan mengenai kawin beda agama secara yuridis-formal. Pertama, kawin beda agama dibolebhkan kalau agama yang dipeluknya membolehkan. Kedua, kawin beda agama harus diperbolehkan karena tidak diatur secara tegas dalam UU Perkawinan, dank arena Negara tidak dapat memaksa pemeluk agama untuk menaati ketentuan agama yang dipeluk calon mempelai, beragama merupakan hak asazi manusia. Ketiga, kawin beda agama tetap dapat dilangsungkan di depan dan dicatat oleh pejabat Kantor Catatan Sipil. Sebab UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan negara tidak menghalangi jika pemeluk agama tidak taat terhadap aturan perkawinan agamanya. Pandangan ini dianut oleh Mahkamah Agung. Keempat, pandangan yang setuju dengan pandangan ketiga, namun berbeda pendapat dalam menilai keputusan Mahkamah Agung. Jika kelompok ketiga menilai keputusan Mahkamah Agung sebagai yurisprudensi tetap, maka kelompok keempat ini menilainya berlaku kasuistik. 15 Polemik mengenai berhak-tidaknya Kantor Catatan Sipil mengawinkan pasangan berbeda agama sempat muncul dalam masyarakat. Pertama, pihak yang berpendapat bahwa Kantor Catatan Sipil tidak berhak menerima atau mengawinkan pasangan beda agama. Kedua, pihak yang menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil boleh saja menerima dan mencatat ‘kehendak’ pasangan beda agama yang mau melakukan perjanjian perkawinan. Departemen Agama termasuk kelompok yang pertama. Karena itu tahun 1984 departemen ini melalui Dirjen Pembinaan Agama Islam mengeluarkan surat edaran kepada Kantor Catatan Sipil yang intinya meminta kepada Kantor Catatan Sipil supaya tidak mencatat atau mengawinkan pasangan beda agama. Berdasarkan hal tersebut Kantor Catatan Sipil Kabupaten Sleman sekarang ini sudah tidak lagi mencatat atau mengawinkan pasangan beda agama. Pada saat sekarang dapat dikatakan ada keseragaman sikap yang diambil oleh lembaga pemerintah di Kabupaten Sleman, baik dari Kantor Catatan Sipil (KCP) maupun Kantor Urusan Agama (KUA), yang berada di tingkat kecamatan yaitu tidak melayani perkawinan beda agama. Kantor Catatan Sipil tidak lagi mencatat dan atau mangawinkan pasangan beda agama, sementara Kantor Urusan Agama, khususnya di Kecamatan Mlati, memberi penegasan bahwa KUA hanya dapat mengawinkan pasangan yang satu agama, Islam. Oleh karena itu agar supaya calon pasangan kawin berbeda agama dapat dicatat di KUA, maka salah satunya harus mengalah. Untuk itu KUA Kecamatan Mlati memberikan prosedur bagi calon pasangan beda agama yang maun kawin dengan cara agama Islam. Pertama, Calon pasangan nonmuslim harus membuat pernyataan secara tertulis untuk meninggalkan agama yang dipeluknya. Surat pernyataan ditulis di atas kertas bermaterei, ditandatangani yang bersangkutan dan diketahui oleh Ketua RT/RW/Kepala padukuhan dan kepala Desa. Kedua, settelah itu yang bersangkutan membuat pernyataan masuk agama Islam di atas ‘Akta Masuk Islam’ yang dilakukan dihadapan seorang pembimbing dan dua orang saksi. Ketiga, kemudian administrasi perkawinan secara Islam diproses oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) ke KUA Mlati. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) merupakan institusi baru yang diadakan Departemen Agama melalui Peraturan Menteri Agama RI, No. 2 Tahun 1989. Kebijakan yang diambil oleh lembaga-lembaga pemerintah yang tidak mau mengawinkan atau mencatat perkawinan beda agama ternyata menimbulkan persoalan baru jika dilihat dari segi nilai-nilai keagamaan. Sebab, seperti 16 dikemukakan P. Ahm., sekarang ini banyak calon pasangan kawin beda agama yang menyiasati dengan melakukan ijab-kabul (upacara) perkawinan dua kali yaitu upacara perkawinan dengan syarat dan rukun menurut agama Islam, dan perkawinan seperti digariskan agama Katolik/Kristen di gereja. Apa yang dilakukan pasangan beda agama yang ijab sebanyak dua kali ini, menurut Pak Ahm., sebenarnya mempermainkan agama hanya untuk kepentingan diri mereka. Di kalangan masyarakat sendiri, ada perbedaan pandangan dalam menanggapi antara perkawinan beda agama dan perkawinan beda suku. Pertama, mereka yang berpendapat bahwa, perkawinan antar suku itu tidak ada masalah dan tidak terlalu menimbulkan masalah, tapi perkawinan beda agama akan menimbulkan banyak masalah. Oleh karena itu kalau harus memilih antara keduanya, seperti diungkap Pak Ahm. (Islam taat-modernis), dan Pak Pon. (Islam taat-tradisionalis), mereka akan memilih kawin beda suku. Bagi informan tersebut, jauh lebih baik pasangan kawin satu agama karena tujuannya sudah satu (maksudnya sama-sama satu keyakinan), sehingga dimungkinkan tidak ada pertentangan, terutama ketika mendidik anak-anak. Walaupun begitu jika dalam keadaan memaksa, ya apa boleh buat, sebab seperti dalam peribahasa jawa, ‘kesandhunge rata bentuse ngawang-awang’, maksudnya ‘apa yang kita jalankan itu sering tidak sesuai dengan angan-angan atau kehendak’. Kedua, mereka yang berpendapat lebih baik perkawinan beda agama daripada perkawinan beda suku. Menurut kelompok kedua ini, seperti diungkap Pak Part., Islam Penuturan, kalau keluarganya (terutama anaknya) kawin dengan suku yang lain, maka sang anak nantinya dibawa pergi ke wilayah yang jauh dari oranng tua, anak kemudian tidak mengetahui sehat-sakitnya orang tua, dan sebaliknya. 17 BAB III KEBERAGAMAAN, HARMONISASI, DAN KEBUDAYAAN A. Keberagamaan Pasangan Keluarga Beda Agama 1. Keberagamaan Suami-Isteri Keberagamaan suami isteri dari keluarga beda agama sesudah perkawinan banyak yang tergolong cukup/sedang dan rendah, walaupun begitu ada seperempat dari mereka yang tergolong tinggi. Sementara sebelum mereka kawin dengan pasangannya masing-masing yang berbeda agama, lebih dari separuh dari mereka tergolong tinggi keberagamaannya, dan hanya sedikit yang memiliki keberagamaan rendah. Tabel 1: Tingkat Keberagamaan Suami-Isteri dari KBA Sebelum dan Sesudah Kawin Tingkat Tinggi Sebelum Sesudah 56,25 25,00 25,00 37,50 18,75 37,50 16 100% Sedang Rendah Jumlah 100% Sumber: Data Angket, 2006 Kalau dilakukan perbandingan tingkat keberagamaan sebelum dan sesudah perkawinan menunjukkan sebagai berikut: setelah perkawinan berlangsung ada kecenderungan keberagamaan suami atau isteri mengalami perubahan yaitu penurunan tingkat keberagamaannya, dan sebaliknya semakin banyak di antara mereka yang memiliki keberagamaan rendah. Ada tiga bentuk penurunan keberagamaan tersebut. Pertama, suami/isteri yang sebelumnya memiliki tingkat keberagamaan tinggi, namun setelah kawin suami/isteri yang sebelumnya memiliki menurun menjadi rendah. menurun menjadi cukup. Kedua, keberagamaan tinggi, setelah kawin Ketiga suami/isteri yang sebelumnya memiliki keberagamaan cukupan berubah menjadi rendah. Keempat, di luar ketiga bentuk 18 tersebut ada suami/isteri yang memiliki keberagamaan secara konstan atau tidak berubah. Artinya baik sebelum maupun sesudah kawin tetap memiliki keberagamaan tinggi, sedang atau rendah. Faktor terjadinya perubahan atau penurunan keberagamaan tersebut dapat dilihat dari alasan mereka misalnya: tidak sreg/tidak enak; sibuk dan acara keagamaan berbenturan dengan acara lain serta jarang bisa bangun pagi; sibuk bekerja dan urusan keluarga; terbentur waktu atau tidak ada waktu; sibuk dengan urusan keluarga, dan bahkan ada yang menyatakan ‘malas saja’. Dari beberapa alasan yang hampir senada tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan dari mereka yang tingkat keberagamaannya turun tersebut kurang atau tidak begitu memperdulikan lagi terhadap persoalan keberagamaan dan dikalahkan oleh kegiatan sosial mereka. Perubahan tingkat keberagamaan tersebut mayoritas terdapat pada pemeluk Katolik/Kristen, baik dari kalangan suami maupun isteri. Adapun pada penganut Islam hanya terdapat pada isteri seperti dapat dilihat dalam tabel 2 dan tabel 3. 2. Keberagamaan Suami Tabel 2: Tingkat Keberagamaan Suami dari Keluarga Beda Agama Tingkatan Tinggi Keberagamaan Suami Kristiani (Katolik/Kristen) Sbl Ssd Nikah Nikah 57,14 14,29 Keberagamaan Suami Islam Keberagamaan Suami Kristiani Sedang 28,57 57,14 - - 25,00 50,00 Rendah 14,29 28,57 100,00 100,00 25,00 37,50 Jumlah 100% 100% 100% 100% 100% 100% Sbl Nikah - Ssd Nikah - Sbl Nikah 50,00 Ssd Nikah 12,50 Sumber: Data Angket, 2006 Sebagaimana terlihat dalam tabel 2 banyak suami Katolik/Kristen yang mengalami perubahan keberagamaannya setelah kawin. Mereka yang termasuk tinggi 19 semakin sedikit dan sebaliknya mereka yang termasuk kategori sedang dan rendah semakin banyak. 3. Keberagamaan Isteri Tabel 3: Tingkat Keberagamaan Isteri dari Keluarga Beda Agama Tingkatan Tinggi Keberagamaan Isteri Katolik/Kristen Sbl Ssd Nikah Nikah 60,00 40,00 Keberagamaan Isteri Islam Keberagamaan Isteri Sbl Nikah 66,67 Ssd Nikah 33,33 Sbl Nikah 62,50 Ssd Nikah 37,50 Sedang 20,00 40,00 33,33 - 25,00 25,00 Rendah 20,00 20,00 - 66,67 12,50 37,50 Jumlah 100% 100% 100% 100% 100% 100% Sumber: Data Angket, 2006 Seperti pada kasus suami Katolik/Kristen, isteri Katolik/Kristen juga banyak mengalami perubahan tingkat keberagamaan. Mereka yang termasuk kategori tinggi semakin sedikit dan yang termasuk kategori sedang semakin banyak. Sementara pada isteri Islam mereka yang termasuk tinggi juga semakin sedikit dan sebaliknya yang termasuk kategori rendah semakin banyak. B. Penerapan Hukum Kewarisan Untuk mengetahui gambaran mengenai penerapan hukum kewarisan yang akan diterapkan oleh suami/isteri dari keluarga beda agama dapat dilihat dalam tabel 4. Tabel 4: Hukum Kewarisan Yang Akan Diterapkan Suami –Isteri KBA Hukum Penganut Islam 83,33 0 0 16,67 Adat Positif Agama Belum Menentukan Jumlah 100% Sumber: Data Angket, 2006 Penganut Kristiani 80,00 10,00 0 10,00 Suami-Isteri KBA 81,25 6,25 0 12,50 100% 100% Walaupun hukum kewarisan baru akan berlaku jika orang sudah meninggal dunia, namun jawaban subyek pada saat sekarang terhadap persoalan ini menunjukkan kecenderungan atau sikap yang akan diambil oleh mereka nantinya. 20 Sikap yang diambil oleh mereka tersebut menggambarkan juga sejauhmana dominasi kebudayaan tertentu mempengaruhi mereka. Artinya, jika seorang pasangan akan menerapkan hukum kewarisan adat menunjukkan yang bersangkutan banyak dipengaruhi oleh kebudayaan suku, dan jika yang bersangkutan akan menggunakan hukum kewarisan positif berarti dia banyak dipengaruhi kebudayaan nasional, sedangkan jika akan menggunakan kewarisan agamanya berarti dia banyak dipengaruhi oleh kebudayaan agamanya. Dari tabel 4 terlihat bahwa mayoritas subyek akan menerapkan hukum kewarisan adat, baik dari kalangan suami-isteri Islam maupun suami-isteri Katolik/Kristen. Bagi mereka yang akan menerapkan hukum kewarisan adat ini alasanya tergambar dari jawaban berikut: karena saya dan isteri sama–sama berasal dari satu suku… karena adat Jawa itu baik… untuk menghormati adat yang turun temurun… karena adat sesuai dengan hidup saya… karena adat lebih baik dibandingkan dengan (hukum) yang lainnya… karena sesuai dengan tradisi nenek moyang…hukum waris adat yang berlaku sekarang sudah cocok. Dari alasan yang dikemukakan nampak bahwa suami/isteri dari keluarga beda agama sangat dipengaruhi oleh hukum adat. Dengan kata lain, kebudayaan suku, khususnya di bidang kewarisan, lebih dominan dibandingkan dengan kebudayaan agama. C. Perkawinan Beda Agama dan Harmonisasi Keluarga Bersatunya laki-laki dan perempuan yang berbeda agama dan suku dapat disebut juga dengan menyatumya dua pendukung kebudayaan yang berbeda. Upaya penyatuan tersebut merupakan bagian dari sebuah tindakan sosial manusia pendukung kebudayaan. Dalam perspektif Weber, sebuah tindakan sosial pelaku atau aktor dapat dilihat dari nilai-nilai yang diketahui pelaku, motif pendorong, tujuan dan situasi sosial-budaya yang mengitari pelaku ketika melakukan tindakan sosial. Terjadinya perkawinan antara orang yang beda agama dapat dilihat dari perspektif Weber tersebut, terutama pada sisi nilai-nilai dan faktor pendorong yang menggerakkan pelaku untuk melakukannya, juga tidak terlepas dari sistem budaya yang dimiliki oleh para pelaku dalam situasi sosial budaya masyarakatnya. 21 Dalam ajaran agama memang tidak ada larangan perkawinan beda suku, kecuali perkawinan dengan orang yang semuhrim atau mempunyai hubungan darah tertentu.. Suatu hal yang masih terus menjadi persoalan adalah perkawinan beda agama. Hal ini karena ajaran agama merupakan lebih bersifat konstan pemberlakuannya dibandingkan tradisi suku. Banyak agama melarang umatnya atau minimal tidak menganjurkan kawin beda agama. Dalam Islam misalnya berdasarkan QS. Al-Baqoroh (2) : 221 ; Qs. Al-Maidah (4) : 5 para ahli hukum Islam berkesimpulan bahwa, perkawinan beda agama dilarang, namun membolehkan lakilaki muslim mengawini perempuan muslim di kalangan ahli-kitab, sedangkan perempuan Muslimah dilarang kawin dengan laki-laki non muslim. Kesimpulan secara umum ini dapat dilihat dalam Basyir (1981). Adapun dalam agama Katolik, menurut Tata Wijayanta (dalam Mimbar Hukum, 1992) tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Gereja Katolik umumnya beranggapan perkawinan antara ummat Katolik dengan nonKatolik bukan merupakan hal yang ideal. Sementara dalam agama Kristen lebih bersifat fleksibel karena hanya menganjurkan kepada umatnya untuk mencari pasangan seagama. Karena itu umatnya dimungkinkan untuk kawin dengan umat nonKristen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, ajaran agama Katolik jauh lebih ketat atau ortodok daripada ajaran agama Kristen dalam hal boleh–tidaknya perkawinan beda agama. 1. Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan Beda Agama Walaupun banyak agama tidak membolehkan umatnya kawin dengan orang yang berbeda agama, namun dalam realitas, khususnya di Sinduadi, masih banyak terjadi perkawinan beda agama. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. a. Terjadinya proses kontraksi dari keluarga luas ke keluarga inti b. Dominasi subbudaya abangan dalam masyarakat c. Perubahan prinsip-prinsip dalam pranata perkawinan Pertama, perubahan struktur keluarga yang terjadi dalam masyarakat terjadi pula pada keluarga beda agama. Perubahan struktur itu berupa proses kontraksi keluarga yaitu proses perubahan dari keluarga luas menjadi keluarga inti (batih). Proses kontraksi keluarga ini memunculkan otonomi dan liberalisasi keluarga inti yang lebih kuat. Adanya otonomi menunjukkan tingkat kemandirian keluarga inti yang tinggi. 22 Otonomi ini diiringi dengan terjadinya liberalisasi dari (anggota) keluarga inti. Anggota keluarga inti lebih mempunyai kebebasan dalam memutuskan semua hal yang berkaitan dengan persoalan internal keluarga. Selain itu di antara keluarga inti yang sekerabat atau angggota trah memang masih saling melakukan kontak-kontak sosial, namun hal itu bukan berarti keluarga inti yang sekerabat tersebut mempunyai pengaruh atau campur tangan dalam persoalan keluarga inti, kecuali jika diminta, khususnya dalam penentuan pasangan kawin. Sebenarnya campur tangan orang tua atau keluarga inti yang lain dalam persoalan keluarga inti boleh-boleh saja sepanjang untuk mengatasi persoalan, namun tidak bijaksana jika tidak diminta. Tindakan seperti ’bener nanging ora pener’, artinya ikut terlibat dalam persoalan keluarga inti, misalnya dengan memberikan nasehat itu sebanarnya baik dan benar, namun tidak bijaksana jika tanpa ada permintaan dari yang bersangkutan. Semakin kuatnya otonomi dan munculnya liberalisasi keluarga inti akibat proses kontraksi keluarga dapat menjadi penyebab terjadinya perkawinan beda agama. Sebab dari faktor-faktor tersebut mengindikasikan juga adanya kontrol sosial yang melemah dari kerabat luas terhadap (anggota) keluarga inti. Hal ini pada akhirnya memberikan keleluasaan bagi (anggota) keluarga inti menentukan pasangan perkawinan tanpa terpaku dengan nilai-nilai yang menjadi anutan kerabat luas, terutama nilai-nilai keberagamaan. Kedua, sebagaimana dibahas sebelumnya, kualitas keagamaan umat agama di Sinduadi dikategorikan kedalam agama-Penuturan dan taat beragama atau abangan dan santri dalam kategori yang diberikan Muchtarom (1988) maupun Geeertz (1989). Hal ini bukan hanya berlaku di kalangan pemeluk Islam, namun juga berlaku di kalangan pemeluk Katolik dan Kristen. Dalam hubungannya dengan pandangan terhadap perkawinan beda agama, ada perbedaan substansial antara kedua golongan tersebut. Golongan penuturan nampak lebih moderat dibandingkan dengan golongan taat beragama dalam memandang persoalan perkawinan beda agama. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, golongan Islam-taat modernis maupun tradisionalis sama-sama menolak perkawinan beda agama. Bagi kedua subgolongan Islam-taat tersebut perkawinan beda agama dipandang akan banyak mendatangkan persoalan, terutama dalam pendidikan anak- 23 anaknya dan keluarga seperti itu dianggap tidak akan mendatangkan kebahagiaan lahir-batin. Pandangan ini hampir sama dengan pandangan dari golongan Katoliktaat, Fx. WR (55 th): Kalau antara orang Katolik dengan orang Kristen itu boleh-boleh saja karena gereja tidak mempersoalkan perkawinan antara keduanya. Sebab keduanya pokoknya (sumber ajarannya) satu yaitu Yesus. Tapi kalau antara orang Kristani dengan orang Islam, Hindu atau lainnya saya tidak setuju. Perkawinan seperti itu (orang Kristiani dengan nonKristiani) hidupnya tidak akan bahagia dan damai lahir-batin, mungkin lahirnya saja baik, tapi batinnya tidak. Bahkan di kalangan Islam taat muncul stereotif keagamaan, mereka menghubungkan perkawinan beda agama yang dilakukan orang Kristen dengan orang Islam sebagai bagian proyek kristenisasi. Sementara dari kalangan agamapenuturan tidak mempersoalkan perkawinan beda agama, mereka justru lebih mempersoalkan perkawinan beda suku. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan seorang Jawa-Islam-penuturan, Part.(52 tahun) sebagaimana telah dikemukakan bagian terdahulu. Fenomena perkawinan beda agama ini terutama dapat dilihat dari pandangan keagamaan suami isteri yang berbeda agama. Pada intinya mereka memandang semua agama itu baik dan sekedar sebagai alternatif pilihan. Berikut beberapa pandangan mereka : Semua agama itu sama untuk itu tak masalah kawin dengan orang yang berbeda agama yang penting sama-sama senang dan rukun… Beda agama itu tak masalah, setiap agama mengajarkan kerukunan…Setiap agama baik yang penting masing-masing orang mayakini sesuai dengan kemantapannya… Setiap agama itu bagus tujuannya sama tapi caranya yang berbeda-beda……Semua agama itu sama-sama memberikan cara untuk memperoleh kebahagiaan…Keyakinan agama itu seperti pakaian, orang bebas memilih pakaian yang mana, yamg penting tujuannya sama. Pandangan suami-isteri dari keluarga beda agama tersebut tidak jauh dari kesimpulan yang diberikan oleh P. Ahm. Menurut beliau ‘mereka nikah dengan orang yang berbeda agama karena saling mencinta, orang tuanya kurang taat dan terlalu toleran terhadap agama lain, sehingga ada anaknya atau keluarganya nikah dengan orang Kristen diam saja.’ Sikap toleransi tersebut dapat dilihat juga secara simbolik pada pemakaman orang yang meninggal di Sinduadi. Hampir semua 24 pemakaman yang ada merupakan pemakaman umum yang diperuntukkan bagi orang semua pemeluk agama yang meninggal dunia. Uraian tersebut mengandaikan bahwa suami-isteri keluarga beda agama mempunyai sikap toleransi beragama yang tinggi. Dalam setiap tindakan sosialnya perbedaan agama bukan menjadi pertimbangan utama. Tindakan rasionalitas yang berorientasi kepada nilai-nilai keagamaan (tindakan bernilai) bukan menjadi bagian utama dalam tindakan sosial mereka. Tindakan sosial golongan abangan dalam persoalan ini lebih bersifat tradisional-afektif. Tindakan rasionalitas bernilai adalah tindakan yang tujuannya sudah ada yaitu nilai-nilai agama dan karena itu seseorang tinggal memilih alatnya secara rasional, misalnya perkawinan dari orang yang seagama ataupun berbeda agama, namun tindakannya itu diacukan kepada nilai-nilai agama yang bersifat nonrasional. Sementara dalam tindakan tradisional-efektif, seseorang lebih didominasi oleh kebiasaan yang sudah ada dalam masyarakatnya dan oleh perasaan cinta dalam dirinya, sehingga pertimbangan logis dan ideologis atau nilai-nilai keagamaan terabaikan. Pandangan keagamaan yang sangat toleran terhadap perbedaan agama telah menafikan tindakan bernilai. Pada gilirannya tidak memberi ruang gerak bagi simbolsimbol keagamaan untuk berperan. Sebaliknya simbol-simbol keagamaan dimanipulasi untuk kepentingan pribadi, sehingga perbedaan agama bukan menjadi penghalang bagi bersatunya individu yang berbeda agama dalam ikatan perkawinan. Kecenderungan ini sekaligus mengandaikan bahwa kebudayaan (agama) tidak selalu menjadi penghalang sebagai pengintegrsi sosial, justru, karena adanya subkebudayaan abangan. Gejala ini lebih mempertegas dan mendukung temuan Hildred Geertz (1985) setengah abad yang lalu, yang dilakukan di Mojokuto, dan teori modernitas seperti dikemukakan Nottingham (1983). Teori modernitas menyatakan bahwa setiap masyarakat moderen cenderung bersifat toleran terhadap agama lain. Sementara Hildred Geertz menemukan bahwa dari tiga aliran agama Jawa yaitu santri, abangan, dan priyayi seperti dikemukakan Clifford Geertz, kategori abangan memperlihatkan ciri-ciri seperti masyarakat modern yaitu adanya toleransi beragama yang tinggi. Sikap toleransi ini akhirnya mempengaruhi berkembangnya perkawinan beda agama, 25 karena dalam setiap hubungan sosial antar individu tidak membeda-bedakan agama yang dipeluk oleh seseorang. Ketiga, perubahan budaya Jawa, khususnya dalam pranata perkawinan, misalnya prinsip gudel nyusu kebo yang telah berubah menjadi kebo nyusu gudel (orang tua mengikuti kemauan anak). Prinsip ini menunjukkan kemandirian dan kebebasan anak dalam menentukan jodohnya. Istilah kebo nyusu gudel agak berbeda dengan istilah tut wuri handayani’. Sebagaimana dikemukakan Pak. Ahm., istilah yang tersebut terakhir lebih bersifat menyerahkan kepada orang yang menjalankan dan orang tersebut (orang tua) mendorong untuk melaksanakannya. Sementara dalam istilah kebo nyusu gudel, orang tua ‘hanya’ mengikuti kemauan anak tanpa ada dorongan kepada anak untuk menjalankannya. Dalam hal ini orang tua bisa saja menerima dengan terpaksa, menerima walau dalam hatinya tidak setuju. Bagi sebagian besar orang tua perbedaan daerah, suku, tingkat pendidikan, pekerjaan dan ras tidak menjadi persoalan pokok dalam menentukan pasangan kawin. Sebagaimana disebutkan pada faktor pertama, di kalangan orang tua terutama dari kalangan abangan tidak memasalahkan perbedaan agama. Faktor terpenting adalah suka sama suka (tresno) di antara calon pasangan. Untuk ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan suami-isteri yang berbeda agama: Dulu, orang tua saya memberi kebebasan kepada saya untuk mmemilih dan menentukan jodoh, sebab yang akan menjalani adalah kita berdua…Saya kawin dengan isteri saya karena saling mencintai… Bapak ibu saya memberi kebebasan kepada saya (untuk mencari jodoh)…Pertama kali orang tua melarang, tapi karena kita sudah saling mencinta dan cocok, akhirnya orang tua kemudian menyerahkan kepada saya…Dulunya saya dan bapak (suami) sering ketemu, kemudian saling cocok, satu rasa dan akhirnya kawin Ketiga faktor yang memungkinkan terjadinya kawin beda agama tersebut tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait. Walaupun begitu faktor utamanya karena dominasi subbudaya abangan,baik pada suami isteri beda agama maupun orang tua dari suami isteri beda agama. Karena itu walaupun otonomi keluarga inti dan kemandirian anak menjadi gejala umum, namun ternyata sangat banyak yang tidak melakukan kawin beda agama karena pertimbangan-pertimbangan norma dan hakikat keagamaan, seperti pada golongan santri. Di pihak lain adanya otonomi keluarga inti dan kemandirian anak dalam penentuan pasangan sangat memungkinkan terjadinya kawin beda agama kalau di 26 antara kedua belah pihak memiliki subbudaya abangan, sebagaimana yang terjadi pada banyak keluarga beda agama dalam penelitian ini. 2. Harmonisasi Keluarga Dalam keluarga yang anggotanya berbeda agama menunjukkan adanya perbedaan sistem budaya atau nilai yang sulit berubah dan beradaptasi, sehingga memungkinkan menjadi sumber konflik internal keluarga. Di sisi lain kehidupan keluarga mensyaratkan adanya sistem budaya yang sama untuk tercapainya integrasi keluarga. Bagaimana keluarga beda agama mampu mengatasi kontradiksi budaya tersebut, sehingga memungkinkan keutuhan keluarga terpelihara dan terus berlangsung. Hal ini dapat dilihat dari faktor-faktor penyebabnya. Adapun faktor-faktor tersebut meliputi : a. Dominasi subbudaya abangan b. Gejala sekularisme c. Formalisme agama d. Pola hubungan tenggang rasa e. Faktor anak Pertama, sebagaimana diulas sebelumnya bahwa pandangan keagamaan subgolongan abangan yang bersifat sinkritik telah melahirkan sikap dan perilaku toleransi terhadap orang yang berbeda agama. Agama juga hanya menjadi salah satu alternatif pilihan dari sekian pilihan. Simbol-simbol agama yang berbeda bukan menjadi penghalang bagi bersatunya individu yang berbeda agama. Akibatnya bukan saja dapat menumbuhsuburkan perkawinan beda agama, namun lebih jauh menjadikan keluarga beda agama terus mampu memelihara keutuhan rumahtangganya. Simbol-simbol keagamaan yang berbeda, yang telah termanipulasi, justru menjadi faktor pengintegrasi keluarga beda agama dan sebaliknya menyebabkan hampir tidak pernah terjadi perceraian di kalangan keluarga beda agama. Tidak adanya perceraian di kalangan keluarga beda agama sangat berbeda dengan kecenderungan yang ada di Amerika Serikat seperti dikemukakan beberapa peneliti. Collins (1987) mencatat bahwa perceraian di kalangan keluarga beda agama (religious intermarriage) lebih sering terjadi dibandingkan dengan keluarga yang 27 satu agama. Elliot dan Merrill (dalam Khoiruddin, 1997) menjelaskan yang senada yaitu perbedaan agama dalam keluarga menyebabkan seringnya konflik internal, terutama setelah anak lahir. Konflik akan lebih serius lagi jika suami-isteri memiliki ketaatan agama yang tinggi. Kedua, tesis Elliot dan Merrill yang menyatakan konflik akan lebih tajam jika suami-isteri yang berbeda agama memiliki ketaatan beragama perlu dikritisi. Sebab dalam beberapa kasus ternyata ketaatan agama yamg tinggi belum tentu berpengaruh kepada munculnya konflik diantara suami-isteri tersebut, masih ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan yaitu mengenai pandangan keagamaan masyarakat. Ada pandangan dan perilaku yang sekularistik dari suami atau isteri, khususnya dalam persoalan hubungan ritual agama (keberagamaan) dengan aspek sosial. Mereka memisahkan antara aspek ritual keagamaan dengan aspek sosial. Akibatnya walaupun tingkat keberagamaan mereka tinggi dan sedang namun tidak mempengaruhi terhadap aspek sosial mereka. Pembahasan lebih lanjut lihat dalam subbab E. Hal ini nampaknya terkait dengan pandangan keagamaan masyarakat Jawa yang lebih bersifat sinkritik dan toleransi, walaupun orang tersebut taat beragama. Suk (44 tahun) menyatakan : Saya sembahyang, puasa, tarawih, bayar zakat, tapi saya tidak fanatik terhadap agama isteri saya (Katolik). Karena sebagai orang yang hidup dalam masyarakat beragam agamanya kita harus menerimanya, apalagi saya sebagai pegawai negeri yang harus nasionalis. Saya dan isteri sepakat urusan agama itu menjadi urusan pribadi masing-masing. Pernyataan tersebut memperkuat hasil angket mengenai keberagamaan dan kewarisan yang tidak memiliki konsistensi yaitu pemisahan antara aspek keberagamaan dengan aspek sosial. Gejala ini dapat disebut gejala sekulerisme yaitu melakukan pemisahan secara tegas antara urusan agama dan urusan sosial. Agama hanya dimaknakan dalam pengertian yang sempit, sehingga menimbulkan privatisasi agama dalam kehidupan agama. Agama dipandang sebagai urusan pribadi masingmasing suami-isteri. Pada gilirannya perbedaan simbol-simbol keagamaan tidak berfungsi sebagai sumber konflik, namun justru mampu meretas batas-batas sosialbudaya antara suami-isteri, sehingga hubungan yang baik (social conjunction) dapat terpelihara. Kalaupun ada perselisihan (social disconjunction) dalam keluarga beda agama, sumbernya bukan dari perbedaan agama, namun datang dari persoalan lain, 28 sebagaimana layaknya dalam kehidupan rumah tangga dari keluarga yang satu agama. Ketiga, kalau perilaku sekularistik berusaha mensubordinasi agama dalam menghadapi persoalan sosial, khususnya hubungan sosial antara suami-isteri, maka dalam formalisme agama sebaliknya. Agama dijadikan sumber acuan dalam melakukan tindakan sosial, khususnya dalam memelihara hubungan yang baik dan mencegah konflik rumah tangga, terutama untuk tidak terjadinya perceraian: Beberapa informan menyatakan: Sesuatu yang suci itu perlu dipertahankan (Islam)… Perkawinan itu cukup satu kali saja sesuai ajaran agama (Katolik)… Dulu saya (Islam) dan bapak (Katolik) pernah bertengkar, kemudian saya meminta cerai kepada bapak, namun bapak tidak mau, menurut bapak agama Katolik melarang perceraian. Sebenarnya dalam Islam perceraian itu dibolehkan tetapi dianggap sebagai perbuatan durhaka. Hal ini mengandaikan bahwa perceraian itu dalam Islam merupakan pilihan terakhir dan dibutuhkan syarat-syarat tertentu. Sementara agama Katolik melarang perceraian suami-isteri, dan agama Kristen melarang tapi tidak begitu ketat. Norma agama ini masih dipegangi terutama oleh suami atau isteri Katolik untuk menghindari terjadinya perceraian, sehingga kehidupan rumah tangga dapat diselamatkan. Keempat, pola hubungan yang didasarkan atas tenggang-rasa di antara suamiisteri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan informan: Kami sepakat untuk saling memahami dan mengerti, memang ada perbedaan agama namun itu tidak perlu dibesar-besarkan….Dalam keluarga itu yang paling penting adalah saling pengertian supaya keluarga bisa ‘langgeng’…Saling pengertian dan menghormati keyakinan penting sehingag rumah tangga bisa rukun…Setia, saling pengertian serta menghilangkan rasa perbedaan yang ada. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik struktur keluarga dalam masyarakat Jawa yang meletakkan setiap anggota keluarga berdasarkan posisi dan peranannya masingmasing. Suami sebagai kepala rumah tangga harus dihormati dan disegani dan harus berperan sebagai pengayom anggota keluarganya. Sementara isteri sebagai ibu rumah tangga harus disayangi dan bertugas mengasuh anak serta tugas-tugas domestik lainnya. Jika peranan ideal (ideal roles) itu berlangsung dengan baik, maka kualitas hubungan yang didasarkan atas tenggang-rasa akan semakin mendalam. Suatu 29 hubungan yang penuh kasih-sayang dan selalu mencegah dan memperkecil terjadinya perselisihan, sehingga perbedaan sistem sosial budaya-agama tidak menjadi permasalahan. Kelima, tujuan berkeluarga bagi masyarakat setempat sebenarnya lebih banyak ditujukan kepada kepentingan anak-anaknya. Beberapa informan memberikan pernyataan : Berbeda agama dan hal-hal lainnya biasa-biasa saja, yang penting dalam rumah tangga itu bagaimana orang tua berusaha agar anak-anak memperoleh kebahagiaan…Kesejahteraan keluarga jelas merupakan tujuan pokok dalam berumah tangga terutama untuk masa depan anak-anak… Saya berharap semoga anak-anak dapat pekerjaan, menghormati orang tua, perkara agama tak menjadi soal karena semua agama itu baik, tujuannya sama…. Yang penting dalam perkawinan itu bukan soal agamanya, tapi bagaimana menyatukan dua hati, punya keturunan yang baik yang dapat melanjutkan apa yang sudah dicapai oleh orang tua. Ungkapan-ungkapan tersebut memberikan gambaran tentang tujuan berkeluarga dari suami-isteri yang berbeda agama yaitu untuk memelihara dan membimbing anak, menyediakan sarana bagi mereka untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Kecenderungan tujuan berkeluarga dari keluarga beda agama dalam masyarakat Jawa tersebut nampaknya sesuai dengan prinsip-prinsip teori legitimasi atau teori keluarga yamg terpusat kepada anak (a child- centered theory) seperti dikemukakan Collins (1987). Lebih jauh teori ini menyatakan bahwa keluarga berfungsi sebagai wadah sosial (social placement) yang berupaya mengarahkan anak-anak sejak dini dalam konteks struktur sosial yang lebih luas, khususnya dalam kaitannya dengan kekerabatan (kinship). Orientasi orang tua kepada kepentingan anak dalam berkeluarga menjadikan mereka sebagai titik pusat perhatian orang tua. Akibatnya anak menjadi faktor perekat (social cement) antara suami isteri yang berbeda agama. D. Sosialisasi Nilai-Nilai Agama 1. Pembinaan Agama Anak Sosialisasi nilai-nilai agama pada anak dari keluarga beda agama tidak hanya datang dari satu struktur sosial, namun dari berbagai struktur seperti kakek-nenek, struktur kerabat maupun lingkungan sosial seperti pendidikan formal dan institusi 30 keagamaan. Peranan dari masing-masing pihak sering menjadi tumpang tindih, walaupun untuk kepentingan analisis dapat dilakukan pembedaan dan pemisahan. Di antara struktur tersebut lebih bersifat saling mengisi dan interdependensi. Satu hal yang penting dicatat sejak awal bahwa adanya peranan dari ketiga struktur tersebut menandakan bahwa pembinaan agama anak lebih banyak dipengaruhi struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya. Struktur-struktur itulah yang mempunyai daya paksa bagi anak untuk mengikuti nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh anggota masyarakatnya. Walaupun antara ayah dan ibu akan berbeda-beda dalam memandang dan memposisikan agama dalam persoalan kehidupan, namun variabel agama ini masih tetap menjadi ‘kebutuhan’ oleh setiap orang tua, setidak-tidaknya untuk kepentingan yang lebih praktis seperti dalam pengurusan kartu identitas dan sekaligus sebagai bagian identitas diri sebagai bagian identitas diri orang tua dan anak-anaknya. Bagi orang tua di kalangan masyarakat Jawa, khususnya dari keluarga beda agama, agama bagi anak-anak yang belum dewasa masih dianggap bersifat tentatif atau sementara, karena penganutan agama yang sesungguhnya adalah ketika mereka sudah menginjak dewasa. Batasan kedewasaan ini setidak-tidaknya pada usia SMA. Pada masa ini anak sudah diberikan hak memilih secara otonom untuk memeluk suatu agama, apakah tetap memeluk agama yang sudah ‘dipeluk’ sebelumnya atau memeluk agama lain. Walaupun begitu kebanyakan anak akan tetap memilih agama yang sudah dianutnya. Masa usia tentatif dalam beragama tersebut dapat dianggap sebagai masa proses formasi atau pembentukkan agama anak. Tidak ada pembedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam proses pembinaan agama tersebut. Untuk ini ada dua pola yang diambil oleh orang tua: a. Kebanyakan orang tua dalam keluarga beda agama kurang bahkan hampir tidak memberikan pembinaan keagamaan secara langsung kepada anak-anaknya misalnya pengajaran do’a harian seperti doa makan, do’a sholat, pembiasaan membaca al-Qur’an dan al-Kitab di rumah ataupun melalui pengadaan suasana rumah yang religius seperti melalui pemberian simbol-simbol keagamaan berupa tulisan, salib atau kaligrafi ayat al-Qur’an. Anak diberikan kebebasan memilih agamanya sendiri. 31 b. Orang tua mengarahkan dan membina agama anaknya. Dalam hal ini ada 2 bentuk Pertama, orang tua memberi pengertian tentang agama yang dianut masingmasing suami-isteri, namun anak tidak dipaksa untuk mengikuti agama tertentu, pilihan (akhir) diserahkan kepada anak-anak. Dalam kasus ini kebanyakan orang tua tidak memberikan pembinaan keagamaan secara langsung di rumah, ada juga yang hanya memberikan motivasi untuk memperoleh pengetahuan keagamaan melalui lembaga keagamaan seperti remaja masjid. Kedua, orang tua memberi pengertian tentang agama yang dianutnya masing-masing, namun sejak awal anak sudah ditentukan afiliasi agamanya oleh orang tuanya. Hal ini terjadi karena adanya perjanjian antara suami-isteri sebelum mereka mempunyai anak. Kasus ini terjadi antara suami Islam dan isteri-Katolik. Perjanjian lisan itu adalah jika punya anak, maka anak harus masuk Katolik. Untuk itu anak sejak dini sudah dibina dengan nilai-nilai agama Katolik, baik secara langsung di dalam rumah maupun di luar rumah, misalnya dimasukkan di sekolah Katolik sejak Taman Kanak-kanak, didorong dan aktif diikutkan ke gereja. Kegiatan ini nampaknya dilakukan oleh isteri atau suami yang masuk kategori taat. Data tersebut menunjukkan bahwa, kebanyakan orang tua kurang atau bahkan hampir tidak memberikan perhatian terhadap pembinaan agama anak-anaknya. Sebenarnya walaupun orang tua mempunyai sikap seperti tersebut huruf a dan nomor b bentuk yang pertama, namun orang tua ‘dipaksa’ untuk menentukan identitas agama anaknya, terutama sejak anak masuk sekolah dasar karena terkait dengan pelajaran agama yang harus dipilih anak di sekolah. Di sinilah letak penting mengaitkan pengafilisian agama anak dengan bentuk dan dominasi peran yang dimainkan suami atau isteri. Kalau seorang suami mempunyai peranan yang lebih dominan dalam keluarga, karena satu dan beberapa faktor misalnya faktor kepribadian dan konstribusi suami-isteri dalam perekonomian keluarga, dan pembagian kerja, termasuk pengurusan pendidikan diserahkan kepada suami, maka suami akan banyak menentukan pelajaran agama yang akan diikuti si anak, dan sianak sudah pasti akan mempunyai identitas agama seperti agama sang ayah. Dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa faktor kualitas keberagamaan suamiisteri belum tentu berpengaruh terhadap peranan dalam sosialisasi nilai-nilai 32 keagamaan terhadap anak-anaknya. Secara lebih terinci dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Seorang isteri atau suami yang termasuk agama-penuturan, walaupun mereka mempunyai waktu luang, kepribadian untuk mendominasi dan konstribusi dalam perekonomian keluarga tidak banyak melakukan proses pembinaan agama secara terencana. Suami atau isteri abangan tersebut umumnya tidak begitu memperhatikan persoalan agama anaknya. Mereka tidak memberikan dorongan agar anaknya memperoleh pengetahuan dan pengalaman keagamaan. Karena itu anak akan lebih tergantung kepada (1) identifikasi keagamaan yang dilakukan anak sendiri dan atau (2) kerabat dan lingkungan sosial di sekitar anak, terutama teman-teman. b. Seorang suami atau isteri agama-taat (santri), ditambah dengan mempunyai waktu luang dalam persoalan reproduksi dan konstribusi dalam perekonomian keluarga juga belum tentu akan melakukan usaha-usaha secara terencana dalam pembinaan agama anak-anaknya. Hal ini karena adanya sikap sekularistik dalam beragama dari suami atau isteri tersebut. Suatu sikap yang memisahkan antara aspek keberagamaan dengan aspek sosial termasuk sosialisasi nilai agama pada anak-anaknya. Rendahnya pembinaan keagamaan yang dilakukan orang tua berpengaruh terhadap rendahnya kualitas agama anak-anak dari keluarga beda agama tersebut. Suatu gejala yang menunjukkan ‘lingkaran setan’ yang barangkali akan terus berlangsung antar generasi. Temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa, peranan orang tua ‘abangan’ dalam keluarga beda agama dalam hal sosialisasi agama, khususnya pembinaan agama tidah bersifat primer. Hal ini berbeda dengan peranan yang dimainkan oleh mereka dalam sosialisasi kejawen (kebudayaan Jawa) seperti ditemukan Hildred Geertz (1985). Peranan orang tua dalam sosialisasi kejawen ini sangat kuat, terutama ibu. Mereka memberikan kepuasan emosional, membimbing moral dan tatakrama Jawa sejak anak-anaknya sampai dewasa. Memang ada anak dari keluarga beda agama yang memiliki kualitas agama yang baik, namun umumnya mereka berasal dari suami atau isteri yang masuk kategori taat dan atau adanya pengaruh kerabat atau lingkungan sosial seperti masjid, sekolah agama dan kelompok pengajian. 33 Kerabat dan atau lingkungan sosial secara sendiri-sendiri atau bersama-sama ikut berperan dalam pembinaan agama anak dari keluarga beda agama. Peranan lingkungan sosial memang tidak dapat dipisahkan dengan prakarsa atau sikap pasif orang tua. Kalau ada prakarsa dan dorongan orang tua, terutama dari orang tua yang santri (tradisional). Lingkungan sosial dapat lebih kuat lagi peranannya dalam pembinaan anak jika anak yang bersangkutan berasal dari orang tua agama- penuturan. Faktor dekatnya anak dengan masjid dan teman –teman sebaya yang aktif dalam kegiatan keagamaan seperti puasa, tarawih dan pengajian akan ikut mempengaruhi anak dari kalangan keluarga beda agama. Hal ini dapat diwakili dari penuturan seorang ayah, Suk, (44 tahun ) dan anaknya : Anak saya yang laki-laki sering ikut ke masjid pada waktu magriban dan tarawihan, ia bergabung dengan teman-temannya yang lain…..Saya ikut berpuasa dan tarawihan di masjid kalau malam hari bersama-sama teman-teman saya, saya senang karena kumpul dengan teman-teman. 2. Proses Afiliasi Agama Anak Untuk mengetahui agama yang dipeluk anak dari keluarga beda agama berdasarkan sekse orang tua dapat dilihat dalam tabel 5. Tabel 5: Agama Anak KBA Berdasarkan Jenis Kelamin Anak dan Orang Tua Agama Anak Ikut Agama Ibu Laki-laki 47,06 52,94 0 100% 1: 1,25 Perempuan 45,45 45,45 9,10 100% 1: 1 Jumlah 46,15 48,72 5,13 100% 1:1,06 Ikut Agama Lain Jenis Kelamin Anak Ikut Agama Ayah Rasio Ikut Agama Ayah dengan Agama Ibu Jumlah Sumber : Kartu Keluarga Pasangan Beda Agama, dan Hasil Wawancara dengan Informan, 2006. Ada dua hal yang penting dicatat dari tabel 5 tersebut. 34 Pertama, ibu (maternal) lebih besar perannya dibandingkan dengan ayah (paternal) dalam afiliasi agama anak. Rasio perbandingan pengaruh paternal dengan maternal hanya mencapai 1 : 1,06. Pengaruh ayah dan ibu terhadap anak laki-laki dan anak perempuan masing-masing 1 : 1,25 dan 1 : 1. Hal ini berarti pengaruh maternal lebih kuat daripada pengaruh paternal, terutama terhadap anak laki-laki. Kedua, kalau dibandingkan pengaruh ibu dan ayah terhadap anaknya yang berbeda jenis kelamin menunjukkan bahwa, anak laki-laki justru cenderung kuat ikut agama ibu, sedangkan untuk anak perempuan tidak selalu ikut agama ayah, anak perempuan sama-sama kuat ikut agama ibu dan ayah, walaupun begitu selisih persentase anak laki-laki masih lebih besar daripada anak perempuan yang berada di bawah anak perempuan yang ikut agama ibu. Kecenderungan pertama tidak jauh berbeda dengan temuan penelitian di Indonesia maupun di luar Indonesia. Penelitian Aini (1997) di Indonesia menemukan rasio perbandingan pengaruh paternal dan maternal terhadap afiliasi agama anak 1: 1,7 , sedangkan Nelson (1990) di Australia menemukan perbandingan yang lebih besar lagi yaitu 1 : 2. Kecenderungan pertama ini bukan hanya terjadi dalam masyarakat yang mayoritas Katolik atau Kristen seperti temuan penelitian di Amerika dan Australia, namun juga dalam masyarakat yang mayoitas Islam seperti di Indonesia. Bahkan untuk kasus Indonesia, bukan hanya terdapat pada dataran wilayah yang luas seperti temuan Aini, namun juga pada skala wilayah yang lebih sempit seperti temuan penelitian ini. Kecenderungan pertama ini nampaknya relevan dengan teori peranan sosial budaya. Sebagaimana dikemukakan di bagian terdahulu bahwa, masyarakat setempat masih didominasi budaya patriarki. Ibu masih berposisi sebagai pengurus utama bidang reproduktif, walaupun banyak dari mereka sudah bekerja di bidang produktif dan sosial. Dalam masyarakat yang didominasi budaya patriarki, peranan laki-laki dibedakan, isteri mengurus bidang reproduktif termasuk pengasuhan anak, walaupun mereka sudah bekerja dibidang produktif dan sosial, sedangkan ayah lebih mengurus sektor produktif dan sosial. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas dalam mengurus anak-anak, sehingga anak-anaknya dimungkinkan lebih dekat dengan ibu, baik laki-laki maupun anak perempuan. Pada akhirnya anak akan mengikuti perilaku sosial dan nilai budaya yang dianut oleh ibu. Dengan demikian 35 dapat disimpulkan bahwa, sesuai dengan peranan sosial-budaya suami-isteri yang didasarkan atas konsep pembagian kerja secara jender dalam masyarakat yang didominasi budaya patriarki, maka afiliasi agama anak, di antaranya lebih ditentukan oleh jenis kelamin orang tua. Agama ibu lebih kuat diidentifikasikan oleh anaknya atau dapat juga dikatakan ibu lebih kuat peranannya untuk memasukkan anaknya ke dalam agama yang sesuai dengan agama sang ibu. Kecenderungan kedua agak berbeda dengan temuan beberapa penelitian. Nelson menemukan kenyataan bahwa, anak laki-laki cenderung kuat ikut agama ayah, sebaliknya anak perempuan cenderung kuat ikut agama ibu. Hal yang sama ditemukan Landis (1949) di Amerika dan Aini. Kecenderungan kedua ini sekaligus memberikan koreksi terhadap teori psikodinamika. Teori ini menyatakan bahwa setiap anak melakukan proses identifikasi diri dalam struktur sosial-budaya yang menjadi daya paksa baginya. Kemudian sejalan dengan berkembangnya kesadaran akan jenis kelamin yang dimilikinya, maka proses identifikasi sifat dirinya didasarkan pada kesadaran kesamaan sekse dengan orang tuanya. Karena itu dalam konteks penganutan agama anak laki-laki akan cenderung kuat ikut agama ayahnya, sebaliknya anak perempuan cenderung kuat ikut agama ibunya. Adapun dalam penelitian ini, meskipun anak mengidentifikasi perilaku sosial-budaya orang tuanya, termasuk dalam penganutan agama, namun identifikasi itu tidak selalu berdasarkan kesamaan sekse antara anak dan orang tuanya. Artinya anak laki-laki tidak selalu cenderung ikut agama ayahnya, namun justru sebaliknya lebih kuat ikut agama ibu. Kecenderungan dalam penelitian ini sedikit berbeda dengan temuan penelitian sebelumnya dan teori psikodinamika mungkin sekali disebabkan beberapa hal. a. Karakteristik lokasi penelitian ini yang lebih bersifat urban dan tingkatan budaya patriarki yang ada di masyarakat setempat. b. Fleksibilitas, sebagai kebalikan dari ortodoksi, ajaran agama pasangan kawin. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya agama Kristen lebih fleksibel dalam melihat perkawinan beda agama daripada agama Islam dan Katolik. Tingkatan fleksibilitas ini akan mempengaruhi kekuatan suami-isteri yang berbeda agama dalam memasukkan agama anaknya agar sesuai dengan agama mereka. 36 Tabel 6: Agama Anak KBA Dilihat dari Agama Orang Tua Agama AyahIbu IslamKatolik IslamKristen Katolik -Islam KristenIslam KristenKatolik BudhaIslam Agama Anak Ikut Agama Ikut Agama Ibu Ayah (%) (%) L P L P Jumlah L P Rasio Ikut Agama Ayah-Ibu L P 50,00 50,00 50,00 50,00 2 4 1:1 1:1 50,00 33,33* 50,00 -* 2 3* 1:1 1:10 62,5 54,55 37,5 45,45 8 11 1,20: 1 1:2 100,0 33,33 - 66,67 1 3 1,67: 1 10:1 - - 100,0 100,0 2 1 1:10 1:10 - - 100,0 - 2 - 1:10 - Sumber : Kartu Keluarga Pasangan Beda Agama, dan Hasil Wawancara dengan Informan, 2006 Keterangan: * = Ada 2 orang anak perempuan tidak ikut agama ayah dan ibu tapi ikut lain yaitu Katolik . Hal ini terbukti dari kenyataan emperis yaitu, misalnya, suami-Kristen yang kawin dengan isteri-Katolik, anak-anaknya mayoritas ikut agama ibunya (Islam), baik anak laki-laki (100%) maupun anak perempuan (100%). Demikian pula dengan agama Budha yang lebih fleksibel dalam melihat perkawinan beda agama, sehingga suami Budha yang kawin dengan isteri Islam, semua anak-anak laki-lakinya ikut agama ibu yang Islam. Tabel 6 juga menunjukkan tiga hal penting. Pertama, kalau laki-laki Katolik kawin dengan perempuan Islam, maka baik anak laki-laki maupun anak perempuan lebih banyak yang mengikuti agama ayah yang Katolik. Perbedaanya hanya terletak pada persentase rasionya yaitu anak laki-laki lebih banyak yang ikut agama ayahnya yang Katolik daripada anak laki-laki. Dengan demikian isteri yang Islam kalah pengaruhnya dengan suami yang Katolik. Adapun kalau laki-laki Islam kawin dengan perempuan Katolik, maka ada kecenderungan anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan seimbang yang ikut agama ayah dan ibunya. Kedua, sementara kalau perempuan Islam kawin dengan laki-laki Kristen, maka seluruh anak laki-laki ikut agama sang ayah yang Kristen. Adapun anak perempuan sebagian besar ikut agama ibu. Begitu pula jika laki-laki Islam kawin dengan perempuan Kristen, secara relatif semua anaknya ikut agama ayahnya yang Islam, 37 baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Ketiga, jika perempuan Islam kawin dengan laki-laki Budha, maka anaknya cenderung kuat ikut ibu yang Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, jika dibandingkan antara suami Islam dan isteri Islam yang kawin dengan isteri dan suami non Islam (Katolik, Kristen, Budha), masih lebih banyak suami Islam (55,56%) yang mempengaruhi anaknya untuk ikut agama suami yang Islam daripada isteri yang Islam (48%). Sementara jika dibandingkan antara suami nonIslam dan isteri nonIslam (Katolik, Kristen, Budha) yang kawin dengan isteri dan suami Islam, ternyata juga masih lebih banyak suami nonIslam (52%) yang mempengaruhi anaknya untuk ikut agama suami yang nonIslam daripada isteri yang nonIslam (44,44%). Pada akhirnya jika dibandingkan secara umum antara suami (baik Islam dan non Islam) dengan isteri (baik Islam dan nonIslam), ternyata suami (52,94%) lebih banyak mempengaruhi anak-anaknya untuk ikut agama suami daripada isterinya (47,06). Hal ini nampaknya tidak selaras dengan besarnya peran ibu pada umumnya dalam pengasuhan anak dalam masyarakat yang lebih dominan budaya patriarki. E. Aspek Keberagamaan dan Sosial Sebagaimana dikemukakan di bagian terdahulu, konsep keberagamaan dalam penelitian ini lebih menitikberatkan kepada upaya mengungkap pelaksanaan ritual keagamaan. Hasilnya sebagian besar subyek termasuk tinggi dan sedang tingkat keberagamaannya, baik setelah menikah maupun sebelum menikah. Aspek sosial dalam bagian ini mencakup kegiatan yang berkaitan dengan upaya harmonisasi keluarga, sosialisasi nilai-nilai oleh orang tua terhadap anak-anaknya, dan penerapan hukum kewarisan. Hasilnya sebagaimana telah dikemukakan di bagian sebelumnya yang dapat diringkas sebagai berikut: 1. Harmonisasi sosial: Di lingkungan suami-isteri yang berbeda agama tidak terjadi perceraian. Ini membuktikan keharmonisan di kalangan mereka. Memang ada pertikaian di antara suami-isteri tersebut, tapi hal itu suatu hal yang biasa sebagaimana yang terjadi pada suami-isteri dari satu agama. 2. Sosialisasi nilai keagamaan oleh orang tua terhadap anak-anaknya tidak bersifat primer justru akibat adanya pandangan keagamaan yang sinkritik dan sekularistik 38 di kalangan suami-isteri yang berbeda agama tersebut. Sebagian besar suamiisteri tersebut justru lebih intensif melakukan sosialisasi nilai-nilai tradisi. 3. Di bidang kewarisan, mayoritas menyatakan ingin menerapkan hukum adat, tidak ada yang ingin menerapkan hukum kewarisan agama. Kesadaran untuk melaksanakan kedua aspek tersebut (aspek keberagamaan dan aspek sosial) secara simultan sangat tergantung kepada pandangan keagamaan tiap individu. Bagi mereka yang berpandangan atau dipengaruhi pandangan sekularistik, akan memisahkan kedua aspek tersebut, sedangkan bagi mereka yang berpandangan integratif tidak akan memisahkan keduanya, kedua aspek dianggap sama penting. Inilah yang di dalam Islam dikenal dengan Islam kaffah. Dalam konteks kajian tentang penganut Islam, ciri-ciri pertama dan kedua tersebut oleh Geertz dan Muchtarom melekat pada umat Islam abangan dan Islam santri. Dari ketiga aspek sosial tersebut jika dikorelasikan dengan aspek keberagamaan suami-isteri yang berbeda agama menunjukkan beberapa kecenderungan yang menarik. Pertama, dalam banyak kajian dan penelitian di berbagai tempat menunjukkan bahwa perbedaan agama dalam keluarga menyebabkan sering terjadinya konflik, terutama setelah anak lahir. Konflik lebih serius lagi jika suamiisteri memiliki keberagamaan yang tinggi (Elliot dan Merrill dalam Khoiruddin, 1997). Bahkan Collin (1987) mencatat bahwa perceraian di kalangan keluarga beda agama lebih sering terjadi dibandingkan dengan keluarga yang satu agama. Hasil penelitian ini menunjukkan sebaliknya yaitu di satu sisi tingkat keberagamaan suami-isteri tinggi dan sedang, di sisi lain mereka tetap harmonis. Fenomena ini bisa terjadi karena berkembangnya sifat sekularistik suami-isteri dalam keluarga beda agama tersebut. Agama hanya dianggap mencakup urusan pribadi antara individu dengan Tuhannya. Implikasinya, walaupun tingkat keberagamaan mereka tinggi dan sedang, namun tidak berpengaruh terhadap aktivitas sosial dalam keluarga. Kedua, hal yang sama juga terjadi pada sosialisasi nilai dalam keluarga dan penerapan hukum kewarisan. Pada kedua bidang ini menunjukkan faktor kualitas keberagamaan yang dimiliki suami-isteri tidak berpengaruh pada aktivitas sosialisasi nilai dan penerapan hukum kewarisan. Dalam kedua bidang ini suami- 39 isteri justru lebih banyak dipengaruhi kebudayaan tradisi (suku) dibandingkan dengan kebudayaan agama. 40 BAB IV REFLEKSI PEMBINAAN KELUARGA BEDA AGAMA Dari pembahasan terdahulu dapat ditarik beberapa kesimpulan 1. Tingkat keberagamaan suami-isteri dari keluarga beda agama setelah perkawinan banyak yang tergolong tinggi dan cukup/sedang, dan cukup banyak yang mempunyai tingkat keberagamaan rendah. Sementara sebelum perkawinan berlangsung, lebih dari separuh dari mereka tergolong tinggi keberagamaannya, dan hanya sedikit yang memiliki keberagamaan rendah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa setelah perkawinan berlangsung ada kecenderungan keberagamaan suami atau isteri mengalami perubahan yaitu penurunan tingkat keberagamaannya, dan sebaliknya semakin banyak di antara mereka yang memiliki keberagamaan rendah. Adapun bentuk penurunan keberagamaan tersebut meliputi: Pertama, suami/isteri yang sebelumnya memiliki tingkat keberagamaan tinggi, namun setelah kawin menurun menjadi cukupan atau bajkan menjadi rendah. Kedua, suami/isteri keberagamaan cukupan berubah menjadi rendah. yang sebelumnya memiliki Ketiga, Selain itu ada yang memiliki keberagamaan secara konstan atau tidak berubah, artinya baik sebelum maupun sesudah kawin tetap memiliki keberagamaan tinggi, sedang atau rendah. Penurunan keberagamaan terjadi karena ada kecenderungan dari mereka yang tingkat keberagamaannya turun kurang atau tidak begitu memperdulikan lagi terhadap persoalan keberagamaan dan dikalahkan oleh kegiatan sosial mereka. Perubahan tingkat keberagamaan tersebut mayoritas terdapat pada pemeluk Katolik/Kristen, baik dari kalangan suami maupun isteri. Dalam hal kewarisan, mayoritas subyek akan menerapkan hukum kewarisan adat, baik dari kalangan suami-isteri Islam maupun suami-isteri Katolik/Kristen. Alasannya karena hukum adat merupakan hukum yang berasal dari nenek moyang yang terbaik dan harus dihormati. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa, kebudayaan suku, khususnya di bidang kewarisan, lebih dominan dibandingkan dengan kebudayaan agama. 2. Secara umum jika kalau dilihat dari hubungan antara kebudayaan dan struktur sosial menunjukkan bahwa agama sebagai sistem budaya ternyata mempengaruhi 41 sekaligus dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya. Struktur sosial (integrasi sosial) bukan saja dipengaruhi oleh kebudayaan agama, namun berpadu dengan kebudayaan suku. Keberagamaan yang tinggi, dan juga cukupan, baik sebelum maupun sesudah perkawinan berlangsung, ternyata tidak menimbulkan konflik antar individu yang berbeda agama, sebaliknya justru integrasi sosial dalam keluarga dapat dijalin, baik sebelum maupun sesudah perkawinan antar individu yang berbeda agama tersebut. Ha ini karena adanya ciri-ciri masyarakat moderen, yaitu sekularistik pada suamiisteri dalam keluarga beda agama. Mereka melakukan pemisahan secara tegas antara urusan agama dan urusan sosial. Agama hanya dimaknakan dalam pengertian yang sempit, sehingga menimbulkan privatisasi agama dalam kehidupan agama. Agama dipandang sebagai urusan pribadi masing-masing suami-isteri Sementara pada suami-isteri yang keberagamaannya rendah atau tidak taat atau abangan juga memiliki ciri-ciri sebagaimana pada masyarakat moderen yaitu memiliki toleransi yang tinggi terhadap penganut agama lain. Hal ini justru karena adanya watak dasar dari budaya abangan yaitu sinkritisisme dalam beragama yaitu sikap yang berusaha memadukan antara nilai-nilai agama dengan tradisi kesukuan. Mereka memandang semua agama itu baik dan sekedar sebagai alternatif pilihan. Baik suami isteri abangan (tidak taat) yang bersifat sinkritik, sehingga menumbuhkan sikap toleransi, maupun suami-isteri yang taat beragama karena mempunyai pandangan yang sekularistik akhirnya juga menumbuhkan sikap toleransi yang merupakan ciri khas masyarakat moderen. Munculnya sikap toleransi, yang disebabkan oleh sikap sinkritik dan sekularistik telah menafikan tindakan bernilai, seperti diungkap Weber. Pada gilirannya tidak memberi ruang gerak bagi simbol-simbol keagamaan untuk berperan. Sebaliknya simbol-simbol keagamaan dimanipulasi untuk kepentingan pribadi, sehingga perbedaan agama bukan menjadi penghalang bagi bersatunya individu yang berbeda agama dalam ikatan perkawinan. Dengan kata lain perbedaan simbol-simbol keagamaan tidak berfungsi sebagai sumber konflik, namun justru mampu meretas batas-batas sosial-budaya antara suami-isteri, sehingga hubungan yang baik (social conjunction) dapat terpelihara. Kecenderungan ini sekaligus menegaskan bahwa kebudayaan agama tidak selalu menjadi penghalang sebagai pengintegrsi sosial, justru, karena adanya watak dasar 42 subbudaya abangan yaitu sinkritik yang melahirkan sikap toleransi serta pandangan keagamaan modernitas yaitu sekularistik dan toleransi Kecenderungan ini lebih mempertegas dan mendukung temuan Hildred Geertz (1985) hampir setengah abad yang lalu, yang dilakukan di Mojokuto, dan teori modernitas seperti dikemukakan Nottingham (1983). Teori modernitas menyatakan bahwa setiap masyarakat moderen cenderung bersifat toleran terhadap agama lain. Sementara Hildred Geertz menemukan bahwa dari tiga aliran agama Jawa yaitu santri, abangan, dan priyayi seperti dikemukakan Clifford Geertz, kategori abangan memperlihatkan ciri-ciri seperti masyarakat modern yaitu adanya toleransi beragama yang tinggi. Sikap toleransi ini akhirnya mempengaruhi berkembangnya perkawinan beda agama, karena dalam setiap hubungan sosial antar individu tidak membeda-bedakan agama yang dipeluk oleh seseorang. Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan penelitian sebelumnya, misalnya penelitian Collins (1987) mencatat bahwa perceraian di kalangan keluarga beda agama (religious intermarriage) lebih sering terjadi dibandingkan dengan keluarga yang satu agama. Elliot dan Merrill (dalam Khoiruddin, 1997) menjelaskan yang senada yaitu perbedaan agama dalam keluarga menyebabkan seringnya konflik internal, terutama setelah anak lahir. Konflik akan lebih serius lagi jika suami-isteri memiliki ketaatan agama yang tinggi. Begitu juga tesis Elliot dan Merrill yang menyatakan konflik akan lebih tajam jika suami-isteri yang berbeda agama memiliki ketaatan beragama perlu dikritisi. Lebih keagamaan dari itui adanya sinkritisisme dan secularism,e pada hakikatnya juga menunjukkan dalam pandangfan bahwa, agama sebagai sistem budaya, juga dipengaruhi oleh struktur sosial atau realitas masyarakatnya yaitu masyarakat Jawa. Agama (model for reality) yang dipahami dan ditafsirklan sesuai dengan budaya dominan masyarakat sehingga lebih bercorak lokal (model of reality), dan karena itu agama yang telah ditafsirkan (model of reality) tersebut menjadi perekat sosial (social cement) di antara anggota keluarga yang berbeda kebudayaan agamanya. 3. Kebudayaan agama nampaknya jauh lebih kecil mempengaruhi orang tua berbeda agama dalam aspek sosial khusuanya di bidang sosialisasi nilai-nilai kepada anaknya dan penerapan hukum kewarisan. Sebaliknya kebudayaan suku berpengaruh cukup besar. Hal ini terjadi justru karena dominasi subbudaya abangan yang sinkritik- 43 toleransi, dan subbudaya santri yang sekularistik dari kalangan suami-isteri keluarga beda agama. Orang tua lebih banyak memberikan pembinaan nilai-nilai kesukuan daripada nilai-nilai keagamaan. Sementara di bidang kewarisan mereka tidak memiliki apresiasi terhadap hukum kewarisan agama, sebaliknya sangat apreasi terhadap hukum kewarisan adat. Kebanyakan orang tua kurang perhatian terhadap pembinaan agama, baik secara langsung maupun tidak langsung, suasana rumah tangga jauh dari simbol-simbol keagamaan. Rendahnya pembinaan keagamaan yang dilakukan orang tua berpengaruh terhadap rendahnya kualitas agama anak-anak dari keluarga beda agama tersebut. Suatu gejala yang menunjukkan ‘lingkaran setan’ yang barangkali akan terus berlangsung antar generasi. Selain itu peranan orang tua ‘abangan’ dalam keluarga beda agama dalam hal sosialisasi agama, khususnya pembinaan agama tidah bersifat primer. Hal ini berbeda dengan peranan yang dimainkan oleh mereka dalam sosialisasi tradisi kesukuan sebagaimana juga ditemukan Hildred Geertz (1985) di masyarakat Jawa. Memang ada anak dari keluarga beda agama yang memiliki kualitas agama yang baik, namun umumnya mereka berasal dari suami atau isteri yang masuk kategori taat dan atau adanya pengaruh kerabat atau lingkungan sosial seperti masjid, sekolah agama dan kelompok pengajian. Dalam persoalan afiliasi agama ada dua kecenderungan pokok: Pertama, ibu lebih besar perannya dibandingkan dengan ayah dalam afiliasi agama anak, walaupun rasio perbandingannya sangat tipis. Hal ini berarti pengaruh maternal lebih kuat daripada pengaruh paternal, terutama terhadap anak laki-laki. Kedua, kalau dibandingkan pengaruh ibu dan ayah terhadap anaknya yang berbeda jenis kelamin menunjukkan bahwa, anak laki-laki justru cenderung kuat ikut agama ibu, sedangkan untuk anak perempuan tidak selalu ikut agama ibu, anak perempuan sama-sama kuat ikut agama ibu dan ayah. Kecenderungan pertama dari penelitian ini mendukung temuan penelitian sebelumnya, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, seperti yang dilakukan Aini (1997) di Indonesia, Nelson (1990) di Amerika. Kecenderungan pertama ini nampaknya relevan dengan teori peranan sosial budaya.. Dalam masyarakat yang didominasi budaya patriarki, peranan laki-laki-perempuan dibedakan, isteri mengurus bidang reproduktif termasuk pengasuhan anak, sedangkan ayah lebih mengurus sektor produktif dan sosial. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas dan 44 kuantitas dalam pengasuhan anak-anak, sehingga anak-anaknya dimungkinkan lebih dekat dengan ibu, baik laki-laki maupun anak perempuan. Pada akhirnya anak akan mengikuti perilaku sosial dan nilai budaya yang dianut oleh ibu. Karena itu sesuai dengan peranan sosial-budaya suami-isteri yang didasarkan atas konsep pembagian kerja secara jender dalam masyarakat yang didominasi budaya patriarki, maka afiliasi agama anak, di antaranya lebih ditentukan oleh peranan yang dimainkan orang tua dalam keluarga. Ibu lebih kuat peranannya untuk memasukkan anaknya ke dalam agama yang sesuai dengan agama sang ibu. Kecenderungan kedua agak berbeda dengan temuan beberapa penelitian. Nelson menemukan kenyataan bahwa, anak laki-laki cenderung kuat ikut agama ayah, sebaliknya anak perempuan cenderung kuat ikut agama ibu. Hal yang sama ditemukan Landis (1949) di Amerika dan Aini. Kecenderungan kedua ini sekaligus memberikan koreksi terhadap teori psikodinamika. Teori ini menyatakan bahwa setiap anak melakukan proses identifikasi diri dalam struktur sosial-budaya yang menjadi daya paksa baginya. Kemudian sejalan dengan berkembangnya kesadaran akan jenis kelamin yang dimilikinya, maka proses identifikasi sifat dirinya didasarkan pada kesadaran kesamaan sekse dengan orang tuanya. Karena itu dalam konteks penganutan agama anak laki-laki akan cenderung kuat ikut agama ayahnya, sebaliknya anak perempuan cenderung kuat ikut agama ibunya. Adapun dalam penelitian ini, meskipun anak mengidentifikasi perilaku sosial-budaya orang tuanya, termasuk dalam penganutan agama, namun identifikasi itu tidak selalu berdasarkan kesamaan sekse antara anak dan orang tuanya. Artinya anak laki-laki tidak selalu cenderung ikut agama ayahnya, namun justru sebaliknya lebih kuat ikut agama ibu. Dari hasil penelitian ini sebenarnya masih banyak hal yang perlu ditindaklanjuti untuk dikaji, misalnya latar belakang suku, atau fokus penelitian atau juga perluasan subyek dari perbedaan agama ke keluarga yang berbeda agama sekaligus suku. Sementara pada dataran praksis pembangunan di bidang keagamaan, di satu sisi, karena ada kecenderungan penurunan kualitas keberagamaan suami-isteri dalam keluarga beda agama, maka pemerintah dan atau lembaga sosial kemasyarakatan perlu memberi perhatian dalam meningkatkan kualitas keberagamaan mereka. Hal yang sama perlu dilakukakan terhadap anak-anak dari keluarga beda agama. Di sisi lain kepada keluarga beda agama tersebut perlu dikembangkan nilai-nilai toleransi 45 yang sudah ada, dan sekaligus mengurangi sikap sekularistik dan sinkritik dalam memahami agama. Untuk lingkup keluarga dan masyarakat yang lebih luas, dengan mengambil hikmah dari kondisi keluarga beda agama ini, maka nilai-nilai toleransi dan keberagamaan harus sejalan dan ditumbuhkembangkan, sehingga proses integrasi dalam masyarakat dapat berlangsung terus, tanpa harus membonsai peningkatan keberagamaan penganut agama. Keluarga dan masyarakat boleh, dan memang selayaknya, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, tanpa harus bersikap sekularistik dan sinkritik, namun mereka harus memiliki sikap toleran terhadap penganut agama lain. Sebab toleransi terhadap penganut agama lain merupakan bagian dari pengakuan terhadap pluralisme yang dihormati setiap agama dan sekaligus menjadi persyaratan mutlak tumbu-kembangnya masyarakat madani. Hanya dengan pola seperti, maka agama sebagai sistem budaya akan menampilkan sosoknya sebagai pengintegrasi sosial, bukan sebagai pemecah belah. 46 DAFTAR PUSTAKA Aini, Noryamin. 1997/1998. Afiliasi Agama Anak dari Keluarga Pernikahan Berbeda Agama. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah. Alexander, Jeffrey C. & Steven Seidman (edit.). 1990. Culture and Society, Contemporary Debates. Cambridge: University Press. Bahr, HM. 1982. Religious Intermariage and Divorce in Utah and the Mountain States', dalam Journal for the Scientific Study of Religion. Vol. 20. Beckford, James, Thomas S. Kuhn. 1991. The Changing Face of Religion. London: Sage. Berger, Peter dan Luckman. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Terjamahan Hasan Basari. Jakarta: LP3ES. Budiman, Arif. 1985. Pembagian Kerja Secara Seksual Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Collins, Randall. 1987. Sociology of Marriage and The Family, Gender Love and Property. Chicago: Nelson-Hall. Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Terjamahan Grafiti Pers. Jakarta: Grafiti Pers. Hariyono, P. 1994. Kultur Cina dan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. Ibrahim, Anwar. 1996. The Asian Renaissance. Singapore-Kuala Lumpur: Times Books International. Khairuddin. 1997. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty. Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Nelsen. 1990. 'Secularazation in Aaustralia Between 1966 and 1985; A Research Note' dalam Australian and New Zealand Journal of Sociology, vol.23. Nottingham, Elizabeth. 1993. Agama dan Masxyarakat. Terjemahan Abdul Muis Naharong. Jakarta: Rajawali. Robinson, Philip. 1989. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Saadah H, Sri. Hartati. 1991. Dampak Perkawinan Campuran terhadap Tatakrama Daerah Bali. Jakarta: Depdiknas. 49 Sudjangi (peny.). 1991/1992. Kajian Agama dan Masyarakat. Jakarta: Balitbang Depag RI. Suparlan, Parsudi. 1981/1982. Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-masalah Agama. Jakarta: Proyek Penelitian Keagamaan Balitbang Depag RI. Tibi, Bassam. 1991. Islam and the Cultural Accomodation of Social Change. Boulder: Westview Press. Wiludjeng, JHM. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Janji Perkawinan Campur di Keuskupan Agung Jakarta. Jakarta: Pusat Penelitian UAJ, 1991 50 51 PERTANGGUNGJAWABAN KERJA PENELITIAN Pendekatan: Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Walaupun demikian peneliti tidak memberlakukan secara ketat prinsip-prinsip atau unsur-unsur yang terkait dengan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi, khususnya dalam penggunaan alat pengumpul data, misalnya selain menggunakan alat baku (observasi partisipan dan wawancara mendalam), juga akan menggunakan angket yang biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif (survei), termasuk juga dalam teknis analisis data statistik. Model berpikir dalam penelitian menggunakan penelitian yang berusaha mencari uraian menyeluruh model holistik maksudnya mengenai gejala-gejala yang berkaitan dengan keluarga beda agama. Setiap gejala diperlakukan sebagai unsur-unsur yang satu dengan lainnya saling terkait. Penelitian dilakukan di lokasi yang banyak terjadi perkawinan beda agama di masyarakat yang lebih bersifat urban atau perkotaan. Setelah melakukan observasi pendahuluan kemudian peneliti menentukan lokasinya yaitu di Kelurahan Sinduadi Kecamatan Mlati Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah kelurahan yang berada di wilayah perkotaan atau masyarakat lebih dominan bersifat urban atau perkotaan. Prosedur Penelitian di Lapangan: Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, penelusuran data monografi dan Kartu Keluarga di Kantor Kecamatan Mlati dan Kantor Kelurahan Sinduadi. Adapun data perkawinan beda agama-suku yang semula akan dilakukan di lembaga swadaya masyarakat yaitu IKLAS (Ikatan Keluarga Lintas Agama dan Suku), tidak dapat dilakukan, karena ternyata lembaga tersebut sudah membubarkan diri, celakanya semua arsipnya sudah tidak ada lagi. Sementara di Kantor Utusan Agama Mlati dan Kantor Catatan Sipil Sleman peneliti memperoleh data tentang tugas masing-masing, proses administrasi perkawinan, dan kebijakan yang diambil ketika ada calon pasangan kawin beda agama. Kedua, pengenalan lingkungan fisik di lokasi penelitian. Ketiga, penelitian lapangan yang sebenarnya, termasuk penyebaran angket. Ketiga tahapan tersebut pertama dilakukan mulai bulan awal Juli sampai akhir September 2002. Keempat, penulisan laporan. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi- partisipan, angket, dan dokumenter. Wawancara mendalam berfungsi dalam dua hal yaitu (1) sebagai pelengkap atau tindak-lanjut dari observasi partisipan, karena ada data 47 yang tidak dapat diperoleh hanya melalui observasi partisipan atau untuk memperjelas data yang sudah diperoleh melalui angket, misalnya data tentang mengapa suami-isteri melakukan tindakan sosial tertentu, atau hukum kewarisan yang akan diterapkan (2) wawancara mendalam mandiri/utama, misalnya faktor-faktor penyebab integrasi sosialbudaya. Observasi partisipan dilakukan antara lain untuk mengetahui proses sosialisasi nilai dalam keluarga. Sementara angket digunakan untuk mengungkap data tentang keberagamaan dan hukum kewarisan yang akan ditetapkan. Informan yang diwawancarai selain informan kunci yang berbeda agama dan suamiisteri yang berbeda agama, juga pejabat pemerintah tingkat dusun, kelurahan dan kecamatan, termasuk pejabat Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil. Pengamatan dilakukan pada banyak peristiwa dan tempat seperti empat keluarga beda agama, dan kondisi geografis. Analisis data dilakukan, seperti dikemukakan Bogdan, dalam dua tahap yaitu analisis ketika di dalam proses penelitian di lapangan dan analisis setelah penelitian di lapangan (Muhadjir, 1989:171). Pertama, analisis ketika di lapangan meliputi berbagai langkah, pertama data yang diperoleh ditulis dalam catatan saku yang kemudian ditulis ulang ke dalam buku catatan deskripsi dan refleksi. Data yang ditulis dalam catatan deskripsi dan refleksi dianalisis secara induksi-analistik. Tujuannya untuk menemukan simpul-simpul sementara. Kemudian dikembangkan pertanyaan atau hipotesis baru, selanjutnya mengadakan penelitian lagi untuk memperoleh jawaban dan perluasan data dan seterusnya (prinsip snow-ball). Kedua, analisis setelah di lapangan dilakukan dengan mengkategori, menemukan konsep lokal dan menghubungkan antar konsep, sehingga ditemukan profil budaya masyarakat atau keluarga beda agama setempat. 48 Buku ini menunjukkan bahwa keberagamaan suami-isteri dari keluarga beda agama sebelum mereka kawin banyak yang cukup tinggi, namun tidak mempunyai pengaruh pada aspek sosial seperti disintegrasi (perceraian) dalam keluarga, peran suami-isteri dalam sosialisasi nilai, dan penerapan kewarisan. Sebaliknya, keberagamaan suami-isteri mengalami penurunan setelah perkawinan berlangsung. Selain itu, agama sebagai sistem budaya telah berfungsi sebagai pengintegrasi sosial antara suami-isteri yang berbeda agama. Hal ini karena adanya nilai-nilai modernitas dari subbudaya abangaan yang bersifat sinkretik dan subbudaya santri yang sekularistik di antara pasangan keluarga beda agama, sehingga di antara mereka berkembang sikap toleran terhadap penganut agama lain (pasangan). Sikap toleransi keagamaan tersebut juga berdampak kepada sedikitnya peran kebudayaan agama dibandinglkan dengan kebudayaan suku, khususnya dalam sosialisasi nilai-nilai dan kewarisan.