1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang “.....Baruklinting mencabut lidi tersebut, dan dari lubang bekas lidi itu memancar air. Air mengalir terus-menerus, bahkan mulai membanjiri pemukiman penduduk. Mereka pun berlarian menyelamatkan diri. Tetapi terlambat, air sudah menggenangi seluruh daerah itu, menjadi sebuah rawa. Dan sejak saat itu, dari kata amba yang berarti luas, dan rawa, daerah di sekitar itu dikenal dengan nama Ambarawa.1” Kutipan diatas merupakan kutipan dari cerita legenda terbentuknya Kota Ambarawa atau yang dikenal dengan Legenda Baruklinting. Menurut legenda, kota Ambarawa berasal dari kata Amba yang berarti luas dan Rawa yang berarti danau. Bisa diartikan bahwa Ambarawa adalah danau yang luas. Namun dalam tulisan ini tidak akan diceritakan mengenai legenda tersebut tapi lebih pada perkembangan kota Ambarawa masa Kolonial tahun 1902-1940. Masa penjajahan yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia sangatlah panjang, sehingga menyebabkan banyak perubahan di Jawa khususnya dan Indonesia secara umum. Salah satu perubahan yang terjadi antara lain dengan munculnya kota-kota Asal Usul Kota Ambarawa oleh Lucia Sapto Wendah Wisanti dalam http://www.kabarindonesia.com diakses tanggal 1 Maret 2011 pukul 13.00. 1 2 baru di Indonesia yang bercorak kolonial. Apalagi setelah tahun 1870 saat liberalisasi berkembang pesat. Selain itu kebijakan dan politik pemerintah kolonial mempunyai andil sangat besar dalam perkembangan bentuk dan struktur kota-kota kolonial. Sebagai contoh kebijakan memberikan perkebunan, dimana kemudahan-kemudahan bagi pemerintah kolonial pengusaha swasta untuk membuka usaha perkebunannya di Indonesia. Perusahaan yang berhubungan dengan ekspor seperti bank, jalan, kereta api dan perusahaan listik merupakan perusahaanperusahaan yang mulai berkembang. Keberadaan perusahaanperusahaan tersebut memberikan corak baru bagi perkembangan sebuah kota dengan banyak dibangunnya sarana dan prasarana untuk menunjang ekspor hasil produksi perkebunan ke Eropa. Dilihat dari letak kota-kota yang kebanyakan merupakan pusat pemerintahan Belanda, kota-kota seperti Batavia (sekarang Jakarta), Semarang, dan Surabaya merupakan kota yang paling banyak mendapat pengaruh kolonial. Kota merupakan suatu objek penelitian sejarah yang sangat menarik untuk dikaji. Melalui kota bisa dilihat banyak hal, seperti perubahan jumlah penduduk, perubahan bentuk bangunan, gaya hidup masyarakat, dan juga kehidupan ekonomi secara ekologis. Hal inilah yang menarik untuk dituliskan, mengenai sejarah kota. Menurut Djoko Suryo dalam makalahnya kota mempunyai arti 3 sebagai suatu ruang yang didasarkan pada lingkungan fisik, dimana didalamnya mempunyai ciri-ciri demografis, ekologis, serta sosial ekonomi. Secara demografis kota didasarkan pada tingkat kepadatan dan jumlah penduduk. Sebuah tempat dapat disebut kota apabila memiliki tingkat kepadatan tinggi, yang secara fisik terlihat melalui munculnya pemukiman-pemukiman padat dan mempunyai batas kota yang jelas. Secara ekologis kota juga lebih tertata daripada desa. Sementara secara sosial ekonomi kehidupan kota lebih bersifat industrialis dan kapitalis dibandingkan dengan situasi sosial ekonomi di desa. 2 Gideon Sjoberg dalam artikelnya berjudul The Preindustrial City menyebutkan ada tiga faktor suatu daerah bisa menjadi sebuah kota.3 Pertama, adanya basis ekologi yang baik dan menguntungkan iklim, air dan tanah yang baik untuk kehidupan. Suatu tempat tidak akan menjadi sebuah kota jika tidak terdapat basis ekologi yang menguntungkan, sebagai contoh terdapat banyak air, terdapat tanah yang baik untuk cocok tanam. Kedua, teknologi yang maju baik bagi pertanian maupun non pertanian. Ketiga, organisasi sosial yang komplek dan maju khususnya di Djoko Suryo, “Penduduk Dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990”, Makalah dalam The 1st International Conference on Urban History Surabaya, August 23rd-25th 2004 , hlm. 1. 2 3 Gideon Sjoberg, The Pre-Industrial City The Present and The Past,3th Printing, (New York: The Free Press, 1965), hlm. 15-24. 4 bidang ekonomi dan politik. Organisasi sosial ini dibutuhkan guna menambah keuangan masyarakat kota, seperti melalui pajak. Beberapa teori selain yang disebutkan diatas menyebutkan jika munculnya sebuah kota memang selalu diawali dari sebuah desa. Tidak ada kota yang tiba-tiba muncul, semua dari desa kemudian berkembang menjadi kota. Menurut Lewis Mumford dalam bukunya The Culture of Cities setidaknya ada enam tahapan perkembangan suatu kota dimulai dari eopolis (kota yang baru berdiri), polis (kota), metropolis (kota besar), megapolis (kota yang sudah besar), tyranopolis (kota yang sudah ekspansif), nekropolis (kota yang telah runtuh).4 Dari sini bisa dilihat jika perkembangan kota juga mengakibatkan perubahan ekologi desa ke kota. Kuntowijoyo juga mengatakan jika pergeseran dari desa ke kota terjadi bersamaan dengan perubahan sosial dalam masyarakat.5 Hal ini yang sepertinya terjadi dengan kota-kota kolonial di Jawa. Jika dilihat dari perkembangannya kebanyakan dari kota-kota ini awalnya merupakan desa yang kemudian oleh pemerintah kolonial dikembangkan menjadi sebuah kota. Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka kota juga berfungsi Mumford, Lewis., The Culture of Cities, (New York: Harcourt Brace, 1996) 4 Kuntowijoyo, Metodologi Wacana, 2003), hlm. 59. 5 Sejarah, (Yogyakarta: Tiara 5 untuk menjalankan empat fungsi pokok, yakni fungsi ideologis, fungsi administrasi, fungsi politik dan fungsi ekonomi.6 Fungsi ideologis ini maksudnya kota menjalankan peran sebagai pusat pemujaan agamawi, pusat simbol dan politik, sedangkan dalam fungsi administrasi, kota mempunyai peran sebagai pusat informasi dan pengambilan keputusan. Begitu juga fungsi ketiga yakni fungsi politik, kota berperan sebagai pusat konsentrasi kekuatan politik. Di fungsi keempat kota merupakan pusat ekonomi. Secara geografis, kota-kota kolonial di Jawa terbagi menjadi dua macam yakni kota Pasisir dan Kota Pedalaman7. Antara kota pesisir dan kota pedalaman mempunyai fungsi masing-masing. Kota kolonial yang terdapat di Pasisir biasanya berperan penting dalam bidang perdagangan internasional dimana kota pesisir menjadi tempat singgah atau peristirahatan. Kota kolonial yang berada di pedalaman berada di dekat keraton berguna untuk kegiatan politik dan ekonomi. Kota pedalaman disebut juga kota tradisional dengan di dalamnya terdapat alun-alun, pasar, dan masjid. 6 Supratikno Rahardjo. op.cit., hlm. 6. Handinoto, Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada Masa Kolonial, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 239. 7 6 Secara geografis Ambarawa termasuk ke dalam jenis kota pedalaman. Berdasarkan Regeringsalmanaak tahun 1901, Ambarawa merupakan sebuah wilayah yang masuk dalam bagian Karesidenan Semarang dengan wilayahnya meliputi Ungaran dan dipimpin oleh seorang wedana8. Namun semenjak tahun 1902 wilayah Ambarawa dimasukkan ke dalam wilayah afdelling9 Salatiga. Banyaknya perkebunan ini juga dikarenakan letak Ambarawa sangat strategis. Ambarawa berada di jalur utama antara Semarang dan Magelang, sehingga menjadi jalur lalu lintas perdagangan dari pedalaman Jawa Tengah ke Pantai Utara Jawa. Oleh karena itu pemerintah kolonial Belanda memandang jika kota ini juga strategis untuk dijadikan kota militer, sehingga pada tahun 1848 didirikan benteng yang bernama benteng Willem II10. Pembangunan benteng ini kemudian diikuti pula dengan pembangunan tangsi dan bangunan-bangunan militer lainnya di jalur antara Ambarawa dengan Salatiga. Selain berguna sebagai tempat militer, pembangunan bangunan ini dimaksudkan untuk D.G. Stibbe dan C. Spat. Encylopedie van Nederlandsch Indies,1927 Tweede Druk. hlm. 68. 8 Afdeeling sendiri adalah suatu daerah yang dipimpin oleh pembantu residen atau asisten residen. Taryati, dkk., Kabupaten Semarang dalam Perjalanan Sejarah, (Yogyakarta: Eja Publisher, 2006), hlm. 58. 9 10 Ibid., hlm. 7-8. 7 mengamankan jalur antara Magelang dengan Semarang dan Ambarawa dengan Salatiga. Karena letak kota Ambarawa yang strategis, maka kota ini menjadi penting dalam kegiatan ekonomi dan politik pertahanan. Memasuki awal tahun 1900 terjadi modernisasi di banyak kota-kota kolonial, tidak terkecuali Ambarawa. Selain itu juga dengan semakin banyak penduduk yang melakukan urbanisasi atau sengaja dibawa oleh penguasa kolonial ke Ambarawa menyebabkan semakin beragamnya jenis masyarakat di kota tersebut. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh di perkebunan maupun pabrik-pabrik yang terdapat di Ambarawa. Semakin beragamnya masyarakat yang tinggal di Ambarawa menyebabkan beberapa permasalahan dalam kehidupan masyarakat, seperti terjadi kelangkaan air, kondisi hidup yang tidak sehat dan pertambahan penduduk yang meningkat11. Oleh karena itu pemerintah kolonial membentuk pola-pola pemukiman di Ambarawa. Jenis masyarakatnya terdiri atas penduduk pribumi, timur asing, dan eropa. Pembagiannya meliputi para pedagang dan pekerja ahli dikelompokkan dalam berbagai wilayah, Peter, J.M. Nas, “The Indonesian City: Studies in Urban Development and Planning”, (USA: Foris Publication, 1986), hlm. 8. 11 8 menurut negara dan asal mereka12. Penduduk dari Eropa berada di dekat pusat pemerintahan dan komplek militer, penduduk dari Cina dan Arab berada di sekitar pasar dan Peribumi berada di daerah pinggiran kota atau kampung.13 Pembagian-pembagian ini secara tidak langsung menjadikan kota sebagai batasan rasial. Seperti halnya kota lain, di Ambarawa juga terdapat nama-nama kampung seperti Kauman, Bugisan, dan Pecinan. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ini mengkaji permasalahan mengenai perkembangan kota Ambarawa pada masa kolonial antara tahun 1902 sampai dengan tahun 1940. Pemilihan kota Ambarawa pada periode ini karena ada fase sejarah yan belum sepenuhnya diungkap. Dalam penulisan ini memfokuskan perubahan sebuah kota dari yang semula desa menjadi kota, terutama perubahan ekologi kota.14 Faktor militer dan ekonomi sangat berpengaruh pada perkembangan kota Ambarawa. Ini terlihat pada perubahan W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Perubahan Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999), hlm. 134 . 12 13 Handinoto, op.cit., hlm. 238. 14 Kuntowijoyo. op.cit., hlm. 64. 9 jumlah penduduk yang tinggal di Ambarawa, aktifitas perekonomian dan sistem pemerintahan. Hal ini ditandai dengan pembangunan sarana transportasi, pasar, kios-kios, sarana pendidikan dan fasilitas lainnya. Berdasarkan permasalahan diatas dapat diuraikan dalam beberapa pertanyaan antara lain yaitu Bagaimana perkembangan kota Ambarawa dari tahun 1902 sampai tahun mempengaruhi 1940? dan kehidupan Bagaimana sosial dan perkembangan ekonomi kota masyarakat Ambarawa? Cakupan temporal yang penulis pilih yakni pada masa kolonial tahun 1902 sampai dengan 1940. Tahun 1902 dipilih sebagai awal penelitian karena berdasarkan surat keputusan tanggal 19 Desember 1901 dimana kota Ambarawa dimasukkan dalam wilayah afdelling Salatiga.15 Selain itu pada kurun waktu tahun-tahun tersebut banyak terjadi perubahan di Ambarawa, yang nantinya akan menjadi cikal bakal kota Ambarawa sekarang. Sebelumnya pada tahun 1835 dibangun benteng dan tangsi yang dilanjutkan dengan pembangunan stasiun dan jalur kereta api pada tahun 1873. Kemudian pada tahun-tahun awal 1900an, kota-kota yang diduduki oleh Belanda banyak mendapat modernisasi, tidak terkecuali kota Ambarawa. Tahun 1940-an 15 Staatsblad no. 463 tahun 1901. 10 dijadikan sebagai akhir penelitian karena pada tahun tersebut sudah tidak ditemukan perubahan yang berarti. C. Tujuan Penelitian Buku ataupun referensi mengenai sejarah kota sudah semakin banyak, tetapi dari semua itu yang secara spesifik membahas mengenai perkembangan kota Ambarawa belum ada. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan penulis bertujuan untuk mengetahui dan mendokumentasikan sejauh mana perkembangan kota Ambarawa pada tahun 1902-1940. Penelitian ini bertujuan untuk mengisi kekosongan tulisan sejarah mengenai kota Ambarawa. Sebagaimana diketahui penulis mengalami kesulitan dalam mencari sumber referensi yang berkaitan dengan Ambarawa dikarenakan sumber sezaman . Penelitian ini juga dapat menjadi penambah referensi dari penulisan sejarah kota kolonial di Indonesia pada umumnya dan Jawa khususnya. D. Telah banyak Tinjauan Pustaka kajian mengenai sejarah kota sudah dilakukan, baik oleh sejarawan lokal maupun sejarawan asing. Kajian mengenai sejarah kota tersebut menyinggung berbagai aspek seperti aspek sosial, ekonomi dan politik, maupun tentang 11 perkembangan arsitektur dari kota tersebut. Sumber pustaka yang digunakan penulis dalam kajian ini kebanyakan masih berupa sumber sekunder, yaitu buku dan artikel. Sepanjang pembacaan yang penulis lakukan mengenai kajian sejarah kota terutama kota kolonial penulis menemukan beberapa buku maupun artikel yang bisa dijadikan acuan, yakni: Tinjauan pustaka yang pertama, penulis menggunakan buku “Ambarawa, Kota Lokomotif Tua” karangan Eddy Supangkat16. Buku ini awalnya hanya sebuah booklet yang terdapat di Museum Kereta Api Ambarawa. Oleh Eddy Supangkat kemudian booklet ini di tulis ulang dengan menambahkan sumber-sumber baru. Dalam buku ini dijelaskan sejarah dari kota Ambarawa secara singkat. Namun di dalamnya kebanyakan bercerita tentang sejarah Kereta Api di Ambarawa. Bagi penulis buku ini cukup memberi informasi mengenai perkembangan kota Ambarawa masa kolonial. Selanjutnya penulis juga menggunakan buku milik Eddy Supangkat yang lain, yakni “Salatiga Sketsa Kota Lama”17. Di dalam buku yang bejumlah 7 (tujuh) bab ini terdapat kajian mengenai kota terutama kota kolonial Salatiga. Dimana pada masa Eddy Supangkat, Ambarawa Kota Lokomotif Tua, (Salatiga: Griya Media, 2008) 16 Eddy Supangkat, Salatiga Sketsa Kota Lama, (Salatiga: Griya Media, 2007) 17 12 kolonial Salatiga dan Ambarawa berada dalam satu wilayah, karena Ambarawa pada tahun 1902 dimasukan ke dalam wilayah afdeeling Salatiga. Sehingga dalam penelitian ini antara kota Ambarawa dan Kota Salatiga tidak bisa dipisahkan. Selain itu dalam buku ini juga memuat sedikit kajian mengenai sejarah kota militer yang bisa digunakan dalam penulisan penelitian ini. Untuk tinjauan pustaka yang selanjutnya penulis menggunakan “Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada Masa Kolonial” karangan Handinoto18. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang diterbitkan di majalah arsitektur, didalamnya memuat mengenai perkembangan arsitektur dan perkotaan di Jawa. Handinoto membagi buku ini dalam dua bagian topik yakni bagian pertama tentang masalah perkotaan pada masa kolonial, bagian kedua tentang arsitektur terutama masa kolonial serta prakolonial yang berkaitan dengan keadaan sekarang. Pembagian topik ini dimaksudkan untuk mengatasi banyaknya bab dalam buku ini bahkan sampai 21 bab. Bagi penulis buku ini merupakan salah satu referensi utama dalam kajian tentang sejarah kota kolonial di Jawa. Di dalam buku ini banyak terdapat referensi yang berkaitan dengan sejarah kota kolonial, sehingga dapat Handinoto, Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada Masa Kolonial, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010) 18 13 dijadikan pembanding walaupun pengarang dari buku ini berasal dari bidang arsitektur. Selanjutnya yakni sebuah artikel dari Gideon Sjoberg yang berjudul “The Preindustrial City The Present and The Past”19. Dalam artikel ini Sjoberg menyebutkan tiga faktor awal munculnya kota. Pertama, adanya basis ekologi yang baik dan menguntungkan iklim, air dan tanah yang baik untuk kehidupan tanaman dan binatang. Kedua, Teknologi yang maju baik bagi pertanian maupun non pertanian. Ketiga, Organisasi sosial yang komplek dan maju khususnya di bidang ekonomi dan politik. Artikel ini menjadi penting karena yang ingin penulis kaji perubahan ekologi dari desa menjadi kota. Buku milik Supratikno Rahardjo yang berjudul “Kota-kota Prakolonial Indonesia Pertumbuhan dan Keruntuhan” juga penulis gunakan20. Buku ini aslinya merupakan tesis yang berjudul “Pertumbuhan dan Keruntuhan Kota-kota Prakolonial di Indonesia: Suatu Kajian Menurut Model Evolusi”. Buku ini dibagi dalam 4 Bab dengan bab kedua menjelaskan mengenai model- Gideon Sjoberg, The Pre-Industrial City The Present and The Past, 3th Printing, (New York: The Free Press, 1965) 19 Supratikno Rahardjo, Kota-kota Prakolonial Indonesia Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007) 20 14 model perkotaan. Bab ketiga Supratikno mencoba merekonstruksi pertumbuhan dan keruntuhan kota-kota prakolonial. Kemudian buku kumpulan artikel yang dieditori oleh Peter J. M. Nas yang berjudul The Indonesian City: Studies in Urban Development and Planning21. Dalam buku ini pada bab 1 dia membahas mengenai jenis kota yang dibagi menjadi empat macam yakni kota-kota awal Indonesia, kota indis, kota kolonial dan kota modern. Kota awal Indonesia atau disebut juga kota tradisional mempunyai struktur yang didasarkan pada kosmologi dan refleksi sosial budaya yang dibedakan menjadi dua macam yakni kota pedalaman dengan tradisional dan religius karakter dan kota pesisir yang berbasis pada aktivitas perdagangan. Kota pedalaman sendiri mempunyai pola dari pusat kemudian menuju periperi dan fungsi administratif dengan produk agrikultur dari pedalaman. Berbeda dengan kota pesisir dimana kota ini hidup dari aktivitas pasardan terdiri dari bermacam-macam grup etnik, umumnya berbeda-beda jenis. Kota-kota ini kebanyakan tidak lama, kadangkala lokasinya berbeda-beda. Dalam kasus ini kepemilikan tanah bukan sesuatu yang penting dalam kota tradisional seperti yang terjadi pada kota masa kini karena ini biasanya kepemikan secara komunal. Peter, J.M. Nas, “The Indonesian City: Studies in Urban Development and Planning”, (USA: Foris Publication, 1986) 21 15 Kemudian yang kedua yakni kota indis. Kota indis biasanya mencontek negara asal, seperti kota Batavia yang mencontek Amsterdam. Namun kemudian terjadi percampuran budaya antara Belanda dengan Indonesia yang bernama budaya Indis. Indis merupakan budaya tersendiri dengan kelas yang tersendiri pula, bukan budaya Belanda maupun budaya Indonesia. Dalam lingkup publik disebut priyayi, sedangkan dalam wilayah yang lebih privat disebut nyai. Budaya Indis sendiri berakibat pada gaya hidup yang lebih luas dan mengarah pada kota indis. Transformasi dari Batavia lama ke kota Indis mempunyai banyak konsekuensi untuk orang Indonesia dan kota tua, orang Indonesia tinggal di kampung (diluar benteng). Namun setelah orang-orang yang tinggal di luar benteng mengambil alih kota ini, maka tempat ini menjadi seperti kampung. Kota kolonial kemudian muncul setelah kota Indis dimana setelah tahun 1870 banyak orang Belanda datang ke Indonesia untuk berbisnis. Lama-kalamaan penduduk kota menjadi semakin banyak dan tempat tinggal menjadi kumuh. Hal ini menyebabkan perubahan bentuk kota, dari yang semula kumuh dan kotor digantikan oleh kota yang bersih dan tertata rapi dengan bangunan-bangunan kolonial berdiri megah. Salah satu tokoh yang berjasa dalam perencanaan kota yakni Ir. Thomas Karsten, terakhir yakni kota modern. Kota yang lebih 16 kompleks dari kota kolonial, di dalamnya sudah terdapat banyak perubahan atau modernisasi yang menunjang kehidupan masyarakat dengan jumlah penduduknya semakin banyak. Selanjutnya digunakan juga buku yang ditulis oleh Djoko Suryo berjudul Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-190022, yang menceritakan tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat karesidenan semarang pada tahun-tahun antara 1830-1900. Buku ini terbagi atas beberapa bab. Bagianbagian yang penting terdapat dalam bab dua sampai bab enam. Pada bab dua yang dibahas yakni permasalahan-permasalahan yang timbul pada masa Tanam Paksa di Karesidenan Semarang. Bab tiga membahas mengenai masalah-masalah pedesaan. Bab empat membahas mengenai perbaikan komunikasi dan transportasi dimana pembangunan jalur kereta api menjadi pintu menuju modernisasi. Bab lima membahas mengenai krisis ekonomi yang terjadi di pedesaan semarang akibat dari krisis dunia. Untuk kesehatan sendiri dibahas dalam bab enam. Buku milik Purnawan Basundoro yang berjudul Pengantar Sejarah Kota juga digunakan.23 Buku ini merupakan sebuah buku pengantar yang cocok bagi penulis karena didalam buku ini Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900, (Yogyakarta: PAU Studi Sosial UGM, 1989) 22 Purnawan Basundoro, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012) 23 Pengantar Sejarah Kota, 17 dijelaskan banyak hal mengenai sejarah kota dari masa tradisional sampai kontemporer. Melalui buku ini juga bisa dilihat berbagai sudut pandang dalam melihat perkembangan sebuah kota. Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, maka kajian sejarah tentang kota Ambarawa belum banyak dibahas secara mendalam. Sedikit gambaran tentang masa kolonial dapat diambil dari buku “Ambarawa, Kota Lokomotif Tua” yang ditulis oleh Eddy Supangkat namun buku ini lebih banyak menyentuh aspek perkembangan kereta api di Ambarawa. Selain itu, buku Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900 juga lebih membahas masamasa ketika Ambarawa masih menjadi desa belum menjadi kota dan yang dibahas lebih banyak sebelum tahun 1900. E. Metode dan Sumber Dalam sebuah penelitian, pengumpulan sumber sangatlah berpengaruh terhadap penulisan hasil penelitian nantinya. Oleh karena ini penulisannya merupakan penelitian menggunakan metode sejarah sejarah. maka dalam Kuntowijoyo menjelaskan dalam penelitian sejarah terdapat lima tahap, yakni pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, intepretasi dan penulisan sejarah.24 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005) hlm. 9 24 18 Dalam penulisan skripsi ini penulis mengumpulkan sumber berdasarkan relevansinya dengan tema skripsi ini. Sumber yang digunakan merupakan sumber primer maupun sekunder baik yang tertulis maupun tidak tertulis ditambah dengan data-data yang berasal dari buku, artikel, skripsi, tesis, dokumen, surat kabar maupun internet yang berkaitan dengan perkembangan Kota Ambarawa pada Masa Kolonial. Dalam pencarian data sumber penulis menelusur data yang terdapat di Kantor Badan Arsip Jawa Tengah dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Data arsip ini berupa Memorie van Overgave, Regeringsalmanaak, Koloniale Verslaag dan Staatsblad. Kemudian penulis juga mengambil data dari kantor Kecamatan Ambarawa dan dinasdinas terkait. Selain data tersebut, penulis juga menggunakan sumber berupa foto yang didapat dari situs www.kitlv.nl dan peta dari www.kit.nl. Penggunaan foto disini dikarenakan kebanyakan dari tokoh maupun tempat sudah tidak bisa ditemui. Sehingga penggunaan foto dirasa penting untuk membantu analisa penulis. Kemudian sumber lain penulis dapatkan melalui buku, artikel, skripsi, tesis dan majalah yang terdapat di Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada, Pusat Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Pusat Studi Pedesaan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas 19 Gadjah Mada, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpusatakaan Pelestarian Ignatius Sejarah Perpustakaan Daerah Yogyakarta, dan Nilai Ambarawa, Perpustakaan Tradisional Salatiga Balai Yogyakarta, dan Semarang, Perpustakaan Nasional Jakarta dan berbagai macam tempat koleksi buku-buku maupun data lainnya. Selain Perpustakaan, pencarian sumber selanjutnya dilakukan di Kantor Kecamatan Ambarawa dan BPS Kabupaten Semarang, disini akan didapatkan data mengenai kota Ambarawa. Selain pengumpulan menggunakan studi sumber data sebagai kepustakaan penelitian penulis dalam juga menggunakan metode interview atau wawancara. Melalui metode ini penulis berusaha mewawancarai mengumpulkan beberapa tokoh yang sumber dianggap dengan cara mengetahui informasi. Walaupun terdapat kesulitan untuk mendapatkan sumber yang bisa diwawancara, akhirnya dapat mewawancarai salah satu tokoh di Ambarawa. Setelah semua data terkumpul nantinya tidak akan langsung digunakan nantinya terlebih dahulu dilakukan verifikasi untuk mencari fakta dari sumber tersebut. Dalam proses verifikasi digunakan dua macam kritik yakni kritik eksternal yang berguna untuk mendapatkan keaslian sumber atau ontentisistas dan internal yang berguna untuk mendapatkan kredibilitas sumber. 20 Setelah semua fakta didapatkan barulah kemudian datadata tersebut dirumuskan menjadi sebuah sintesis. Perumusan ini harus dibuat se-kronologis mungkin. Kemudian setelah itu beranjak pada intepretasi dan penafsiran. Dari analisis-analisis tadi maka penulisan. didapatkan Kemudian sumber-sumber berlanjut pada yang mendukung penulisan sejarah menggunakan data atau sumber yang telah melewati prosesproses diatas. F. Sistematika Penulisan ini secara sistematis terbagi dalam 5 (lima) bab pokok, yang didalamnya nanti akan terdapat beberapa sub-bab. Tulisan dalam skripsi ini akan dibuat secara kronologis berdasarkan fakta-fakta sejarah yang penulis temukan. Bab I atau Pendahuluan adalah pengantar yang berisi Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode dan Sumber juga Sistematika Penulisan. Kemudian di Bab II tulisan ini diawali dengan penjelasan mengenai kota kolonial di Jawa secara umum dan sejarah dari kota Ambarawa secara khusus. Penjelasan untuk sejarah kota Ambarawa diawali dari masa sebelum tahun 1902, ketika masih berada di bawah kerajaan-kerajaan sebelum dikelola oleh pemerintah. Dimana munculnya kota berdampak besar pada 21 pembentukan pola interaksi sosial dan ekonomi masyarakat di Jawa terutama bagi masyarakat Ambarawa yang ditandai simbolsimbol modernisasi kota mulai muncul. Setelah itu, bab tiga akan berisi penjelasan mengenai perubahan apa saja yang terjadi di kota Ambarawa dalam kurun waktu 1902-1940. Keberadaan bangunan Militer seperti tangsi militer dan benteng sangat berpengaruh dalam perkembangan kota Ambarawa, karena berawal dari ini kota Ambarawa berkembang pesat. Pengaruh dari bangunan militer kemudian merambah Transportasi dan Perkebunan. Bab empat sebagai bab selanjutnya akan dijelaskan berbagai macam fasilitas penunjang kota yang terdapat di kota Ambarawa dan perubahan apa saja setelah dibangunnya fasilitas militer. Dari bab-bab itu nantinya akan ditulis dalamnya sebuah terdapat permasalahan yang penelitian di bab satu. kesimpulan pembahasaan telah sebagai penutup yang di yang akan menjawab dipertanyakan dalam rancangan