1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“.....Baruklinting mencabut lidi tersebut, dan dari lubang bekas
lidi itu memancar air. Air mengalir terus-menerus, bahkan mulai
membanjiri pemukiman penduduk. Mereka pun berlarian
menyelamatkan diri. Tetapi terlambat, air sudah menggenangi
seluruh daerah itu, menjadi sebuah rawa. Dan sejak saat itu,
dari kata amba yang berarti luas, dan rawa, daerah di sekitar
itu dikenal dengan nama Ambarawa.1”
Kutipan diatas merupakan kutipan dari cerita legenda
terbentuknya Kota Ambarawa atau yang dikenal dengan Legenda
Baruklinting. Menurut legenda, kota Ambarawa berasal dari kata
Amba yang berarti luas dan Rawa yang berarti danau. Bisa
diartikan bahwa Ambarawa adalah danau yang luas. Namun
dalam tulisan ini tidak akan diceritakan mengenai legenda
tersebut tapi lebih pada perkembangan kota Ambarawa masa
Kolonial tahun 1902-1940.
Masa penjajahan yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia
sangatlah panjang, sehingga menyebabkan banyak perubahan di
Jawa khususnya dan Indonesia secara umum. Salah satu
perubahan yang terjadi antara lain dengan munculnya kota-kota
Asal Usul Kota Ambarawa oleh Lucia Sapto Wendah
Wisanti dalam http://www.kabarindonesia.com diakses tanggal 1
Maret 2011 pukul 13.00. 1
2
baru di Indonesia yang bercorak kolonial. Apalagi setelah tahun
1870 saat liberalisasi berkembang pesat. Selain itu kebijakan dan
politik pemerintah kolonial mempunyai andil sangat besar dalam
perkembangan bentuk dan struktur kota-kota kolonial. Sebagai
contoh
kebijakan
memberikan
perkebunan,
dimana
kemudahan-kemudahan
bagi
pemerintah
kolonial
pengusaha
swasta
untuk membuka usaha perkebunannya di Indonesia.
Perusahaan yang berhubungan dengan ekspor seperti bank,
jalan, kereta api dan perusahaan listik merupakan perusahaanperusahaan yang mulai berkembang. Keberadaan perusahaanperusahaan tersebut memberikan corak baru bagi perkembangan
sebuah kota dengan banyak dibangunnya sarana dan prasarana
untuk menunjang ekspor hasil produksi perkebunan ke Eropa.
Dilihat dari letak kota-kota yang kebanyakan merupakan pusat
pemerintahan
Belanda,
kota-kota
seperti
Batavia
(sekarang
Jakarta), Semarang, dan Surabaya merupakan kota yang paling
banyak mendapat pengaruh kolonial.
Kota merupakan suatu objek penelitian sejarah yang sangat
menarik untuk dikaji. Melalui kota bisa dilihat banyak hal, seperti
perubahan jumlah penduduk, perubahan bentuk bangunan, gaya
hidup masyarakat, dan juga kehidupan ekonomi secara ekologis.
Hal inilah yang menarik untuk dituliskan, mengenai sejarah kota.
Menurut Djoko Suryo dalam makalahnya kota mempunyai arti
3
sebagai suatu ruang yang didasarkan pada lingkungan fisik,
dimana didalamnya mempunyai ciri-ciri demografis, ekologis, serta
sosial ekonomi. Secara demografis kota didasarkan pada tingkat
kepadatan dan jumlah penduduk. Sebuah tempat dapat disebut
kota apabila memiliki tingkat kepadatan tinggi, yang secara fisik
terlihat melalui munculnya pemukiman-pemukiman padat dan
mempunyai batas kota yang jelas. Secara ekologis kota juga lebih
tertata daripada desa. Sementara secara sosial ekonomi kehidupan
kota lebih bersifat industrialis dan kapitalis dibandingkan dengan
situasi sosial ekonomi di desa.
2
Gideon Sjoberg dalam artikelnya berjudul The Preindustrial
City menyebutkan ada tiga faktor suatu daerah bisa menjadi
sebuah kota.3 Pertama, adanya basis ekologi yang baik dan
menguntungkan iklim, air dan tanah yang baik untuk kehidupan.
Suatu tempat tidak akan menjadi sebuah kota jika tidak terdapat
basis ekologi yang menguntungkan, sebagai contoh terdapat
banyak air, terdapat tanah yang baik untuk cocok tanam. Kedua,
teknologi yang maju baik bagi pertanian maupun non pertanian.
Ketiga, organisasi sosial yang komplek dan maju khususnya di
Djoko Suryo, “Penduduk Dan Perkembangan Kota
Yogyakarta 1900-1990”, Makalah dalam The 1st International
Conference on Urban History Surabaya, August 23rd-25th 2004 ,
hlm. 1.
2
3 Gideon
Sjoberg, The Pre-Industrial City The Present and The
Past,3th Printing, (New York: The Free Press, 1965), hlm. 15-24. 4
bidang ekonomi dan politik. Organisasi sosial ini dibutuhkan guna
menambah keuangan masyarakat kota, seperti melalui pajak.
Beberapa teori selain yang disebutkan diatas menyebutkan
jika munculnya sebuah kota memang selalu diawali dari sebuah
desa. Tidak ada kota yang tiba-tiba muncul, semua dari desa
kemudian berkembang menjadi kota. Menurut Lewis Mumford
dalam bukunya The Culture of Cities setidaknya ada enam tahapan
perkembangan suatu kota dimulai dari eopolis (kota yang baru
berdiri), polis (kota), metropolis (kota besar), megapolis (kota yang
sudah besar), tyranopolis (kota yang sudah ekspansif), nekropolis
(kota yang telah runtuh).4 Dari sini bisa dilihat jika perkembangan
kota juga mengakibatkan perubahan ekologi desa ke kota.
Kuntowijoyo juga mengatakan jika pergeseran dari desa ke
kota
terjadi
bersamaan
dengan
perubahan
sosial
dalam
masyarakat.5 Hal ini yang sepertinya terjadi dengan kota-kota
kolonial di Jawa. Jika dilihat dari perkembangannya kebanyakan
dari kota-kota ini awalnya merupakan desa yang kemudian oleh
pemerintah
kolonial
dikembangkan
menjadi
sebuah
kota.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka kota juga berfungsi
Mumford, Lewis., The Culture of Cities, (New York: Harcourt
Brace, 1996)
4
Kuntowijoyo, Metodologi
Wacana, 2003), hlm. 59.
5
Sejarah,
(Yogyakarta:
Tiara
5
untuk menjalankan empat fungsi pokok, yakni fungsi ideologis,
fungsi administrasi, fungsi politik dan fungsi ekonomi.6 Fungsi
ideologis ini maksudnya kota menjalankan peran sebagai pusat
pemujaan agamawi, pusat simbol dan politik, sedangkan dalam
fungsi
administrasi,
kota
mempunyai
peran
sebagai
pusat
informasi dan pengambilan keputusan. Begitu juga fungsi ketiga
yakni fungsi politik, kota berperan sebagai pusat konsentrasi
kekuatan politik. Di fungsi keempat kota merupakan pusat
ekonomi.
Secara geografis, kota-kota kolonial di Jawa terbagi menjadi
dua macam yakni kota Pasisir dan Kota Pedalaman7. Antara kota
pesisir dan kota pedalaman mempunyai fungsi masing-masing.
Kota kolonial yang terdapat di Pasisir biasanya berperan penting
dalam bidang perdagangan internasional dimana kota pesisir
menjadi tempat singgah atau peristirahatan. Kota kolonial yang
berada di pedalaman berada di dekat keraton berguna untuk
kegiatan politik dan ekonomi. Kota pedalaman disebut juga kota
tradisional dengan di dalamnya terdapat alun-alun, pasar, dan
masjid.
6
Supratikno Rahardjo. op.cit., hlm. 6.
Handinoto, Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada Masa
Kolonial, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 239. 7
6
Secara geografis Ambarawa termasuk ke dalam jenis kota
pedalaman.
Berdasarkan
Regeringsalmanaak
tahun
1901,
Ambarawa merupakan sebuah wilayah yang masuk dalam bagian
Karesidenan Semarang dengan wilayahnya meliputi Ungaran dan
dipimpin oleh seorang wedana8. Namun semenjak tahun 1902
wilayah Ambarawa dimasukkan ke dalam wilayah afdelling9
Salatiga.
Banyaknya
perkebunan
ini
juga
dikarenakan
letak
Ambarawa sangat strategis. Ambarawa berada di jalur utama
antara Semarang dan Magelang, sehingga menjadi jalur lalu lintas
perdagangan dari pedalaman Jawa Tengah ke Pantai Utara Jawa.
Oleh karena itu pemerintah kolonial Belanda memandang jika
kota ini juga strategis untuk dijadikan kota militer, sehingga pada
tahun 1848 didirikan benteng yang bernama benteng Willem II10.
Pembangunan
benteng
ini
kemudian
diikuti
pula
dengan
pembangunan tangsi dan bangunan-bangunan militer lainnya di
jalur antara Ambarawa dengan Salatiga. Selain berguna sebagai
tempat militer, pembangunan bangunan ini dimaksudkan untuk
D.G. Stibbe dan C. Spat. Encylopedie van Nederlandsch
Indies,1927 Tweede Druk. hlm. 68.
8
Afdeeling sendiri adalah suatu daerah yang dipimpin oleh
pembantu residen atau asisten residen. Taryati, dkk., Kabupaten
Semarang dalam Perjalanan Sejarah, (Yogyakarta: Eja Publisher,
2006), hlm. 58.
9
10
Ibid., hlm. 7-8. 7
mengamankan jalur antara Magelang dengan Semarang dan
Ambarawa dengan Salatiga. Karena letak kota Ambarawa yang
strategis, maka kota ini menjadi penting dalam kegiatan ekonomi
dan politik pertahanan.
Memasuki awal tahun 1900 terjadi modernisasi di banyak
kota-kota kolonial, tidak terkecuali Ambarawa. Selain itu juga
dengan semakin banyak penduduk yang melakukan urbanisasi
atau sengaja dibawa oleh penguasa kolonial ke Ambarawa
menyebabkan semakin beragamnya jenis masyarakat di kota
tersebut. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh di
perkebunan maupun pabrik-pabrik yang terdapat di Ambarawa.
Semakin beragamnya masyarakat yang tinggal di Ambarawa
menyebabkan
beberapa
permasalahan
dalam
kehidupan
masyarakat, seperti terjadi kelangkaan air, kondisi hidup yang
tidak sehat dan pertambahan penduduk yang meningkat11. Oleh
karena itu pemerintah kolonial membentuk pola-pola pemukiman
di
Ambarawa.
Jenis
masyarakatnya
terdiri
atas
penduduk
pribumi, timur asing, dan eropa. Pembagiannya meliputi para
pedagang dan pekerja ahli dikelompokkan dalam berbagai wilayah,
Peter, J.M. Nas, “The Indonesian City: Studies in Urban
Development and Planning”, (USA: Foris Publication, 1986), hlm. 8. 11
8
menurut negara dan asal mereka12. Penduduk dari Eropa berada
di dekat pusat pemerintahan dan komplek militer, penduduk dari
Cina dan Arab berada di sekitar pasar dan Peribumi berada di
daerah pinggiran kota atau kampung.13 Pembagian-pembagian ini
secara tidak langsung menjadikan kota sebagai batasan rasial.
Seperti halnya kota lain, di Ambarawa juga terdapat nama-nama
kampung seperti Kauman, Bugisan, dan Pecinan.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
Penelitian
ini
mengkaji
permasalahan
mengenai
perkembangan kota Ambarawa pada masa kolonial antara tahun
1902 sampai dengan tahun 1940. Pemilihan kota Ambarawa pada
periode ini karena ada fase sejarah yan belum sepenuhnya
diungkap. Dalam penulisan ini memfokuskan perubahan sebuah
kota dari yang semula desa menjadi kota, terutama perubahan
ekologi kota.14
Faktor militer dan ekonomi sangat berpengaruh pada
perkembangan kota Ambarawa. Ini terlihat pada perubahan
W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Perubahan
Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999),
hlm. 134 .
12
13
Handinoto, op.cit., hlm. 238.
14
Kuntowijoyo. op.cit., hlm. 64. 9
jumlah
penduduk
yang
tinggal
di
Ambarawa,
aktifitas
perekonomian dan sistem pemerintahan. Hal ini ditandai dengan
pembangunan
sarana
transportasi,
pasar,
kios-kios,
sarana
pendidikan dan fasilitas lainnya. Berdasarkan permasalahan
diatas dapat diuraikan dalam beberapa pertanyaan antara lain
yaitu Bagaimana perkembangan kota Ambarawa dari tahun 1902
sampai
tahun
mempengaruhi
1940?
dan
kehidupan
Bagaimana
sosial
dan
perkembangan
ekonomi
kota
masyarakat
Ambarawa?
Cakupan temporal yang penulis pilih yakni pada masa
kolonial tahun 1902 sampai dengan 1940. Tahun 1902 dipilih
sebagai awal penelitian karena berdasarkan surat keputusan
tanggal 19 Desember 1901 dimana kota Ambarawa dimasukkan
dalam wilayah afdelling Salatiga.15 Selain itu pada kurun waktu
tahun-tahun tersebut banyak terjadi perubahan di Ambarawa,
yang nantinya akan menjadi cikal bakal kota Ambarawa sekarang.
Sebelumnya pada tahun 1835 dibangun benteng dan tangsi yang
dilanjutkan dengan pembangunan stasiun dan jalur kereta api
pada tahun 1873. Kemudian pada tahun-tahun awal 1900an,
kota-kota
yang
diduduki
oleh
Belanda
banyak
mendapat
modernisasi, tidak terkecuali kota Ambarawa. Tahun 1940-an
15
Staatsblad no. 463 tahun 1901. 10
dijadikan sebagai akhir penelitian karena pada tahun tersebut
sudah tidak ditemukan perubahan yang berarti.
C. Tujuan Penelitian
Buku ataupun referensi mengenai sejarah kota sudah
semakin banyak, tetapi dari semua itu yang secara spesifik
membahas mengenai perkembangan kota Ambarawa belum ada.
Oleh karena itu penelitian yang dilakukan penulis bertujuan
untuk
mengetahui
dan
mendokumentasikan
sejauh
mana
perkembangan kota Ambarawa pada tahun 1902-1940.
Penelitian ini bertujuan untuk mengisi kekosongan tulisan
sejarah mengenai kota Ambarawa. Sebagaimana diketahui penulis
mengalami kesulitan dalam mencari sumber referensi yang
berkaitan dengan Ambarawa dikarenakan sumber sezaman .
Penelitian ini juga dapat menjadi penambah referensi dari
penulisan sejarah kota kolonial di Indonesia pada umumnya dan
Jawa khususnya.
D.
Telah
banyak
Tinjauan Pustaka
kajian
mengenai
sejarah
kota
sudah
dilakukan, baik oleh sejarawan lokal maupun sejarawan asing.
Kajian mengenai sejarah kota tersebut menyinggung berbagai
aspek seperti aspek sosial, ekonomi dan politik, maupun tentang
11
perkembangan arsitektur dari kota tersebut. Sumber pustaka yang
digunakan penulis dalam kajian ini kebanyakan masih berupa
sumber sekunder, yaitu buku dan artikel. Sepanjang pembacaan
yang penulis lakukan mengenai kajian sejarah kota terutama kota
kolonial penulis menemukan beberapa buku maupun artikel yang
bisa dijadikan acuan, yakni:
Tinjauan pustaka yang pertama, penulis menggunakan
buku
“Ambarawa,
Kota
Lokomotif
Tua”
karangan
Eddy
Supangkat16. Buku ini awalnya hanya sebuah booklet yang
terdapat di Museum Kereta Api Ambarawa. Oleh Eddy Supangkat
kemudian booklet ini di tulis ulang dengan menambahkan
sumber-sumber baru. Dalam buku ini dijelaskan sejarah dari kota
Ambarawa secara singkat. Namun di dalamnya kebanyakan
bercerita tentang sejarah Kereta Api di Ambarawa. Bagi penulis
buku ini cukup memberi informasi mengenai perkembangan kota
Ambarawa masa kolonial.
Selanjutnya penulis juga menggunakan buku milik Eddy
Supangkat yang lain, yakni “Salatiga Sketsa Kota Lama”17. Di
dalam buku yang bejumlah 7 (tujuh) bab ini terdapat kajian
mengenai kota terutama kota kolonial Salatiga. Dimana pada masa
Eddy Supangkat, Ambarawa Kota Lokomotif Tua, (Salatiga:
Griya Media, 2008)
16
Eddy Supangkat, Salatiga Sketsa Kota Lama, (Salatiga:
Griya Media, 2007) 17
12
kolonial Salatiga dan Ambarawa berada dalam satu wilayah,
karena Ambarawa pada tahun 1902 dimasukan ke dalam wilayah
afdeeling Salatiga. Sehingga dalam penelitian ini antara kota
Ambarawa dan Kota Salatiga tidak bisa dipisahkan. Selain itu
dalam buku ini juga memuat sedikit kajian mengenai sejarah kota
militer yang bisa digunakan dalam penulisan penelitian ini.
Untuk
tinjauan
pustaka
yang
selanjutnya
penulis
menggunakan “Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada Masa
Kolonial” karangan Handinoto18. Buku ini merupakan kumpulan
tulisan
yang
diterbitkan
di
majalah
arsitektur,
didalamnya
memuat mengenai perkembangan arsitektur dan perkotaan di
Jawa. Handinoto membagi buku ini dalam dua bagian topik yakni
bagian pertama tentang masalah perkotaan pada masa kolonial,
bagian kedua tentang arsitektur terutama masa kolonial serta
prakolonial yang berkaitan dengan keadaan sekarang. Pembagian
topik ini dimaksudkan untuk mengatasi banyaknya bab dalam
buku ini bahkan sampai 21 bab. Bagi penulis buku ini merupakan
salah satu referensi utama dalam kajian tentang sejarah kota
kolonial di Jawa. Di dalam buku ini banyak terdapat referensi
yang berkaitan dengan sejarah kota kolonial, sehingga dapat
Handinoto, Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada Masa
Kolonial, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010) 18
13
dijadikan pembanding walaupun pengarang dari buku ini berasal
dari bidang arsitektur.
Selanjutnya yakni sebuah artikel dari Gideon Sjoberg yang
berjudul “The Preindustrial City The Present and The Past”19. Dalam
artikel ini Sjoberg menyebutkan tiga faktor awal munculnya kota.
Pertama, adanya basis ekologi yang baik dan menguntungkan
iklim, air dan tanah yang baik untuk kehidupan tanaman dan
binatang. Kedua, Teknologi yang maju baik bagi pertanian
maupun non pertanian. Ketiga, Organisasi sosial yang komplek
dan maju khususnya di bidang ekonomi dan politik. Artikel ini
menjadi penting karena yang ingin penulis kaji perubahan ekologi
dari desa menjadi kota.
Buku milik Supratikno Rahardjo yang berjudul “Kota-kota
Prakolonial Indonesia Pertumbuhan dan Keruntuhan” juga penulis
gunakan20. Buku ini aslinya merupakan tesis yang berjudul
“Pertumbuhan
dan
Keruntuhan
Kota-kota
Prakolonial
di
Indonesia: Suatu Kajian Menurut Model Evolusi”. Buku ini dibagi
dalam 4 Bab dengan bab kedua menjelaskan mengenai model-
Gideon Sjoberg, The Pre-Industrial City The Present and
The Past, 3th Printing, (New York: The Free Press, 1965)
19
Supratikno Rahardjo, Kota-kota Prakolonial Indonesia
Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: Komunitas Bambu,
2007) 20
14
model perkotaan. Bab ketiga Supratikno mencoba merekonstruksi
pertumbuhan dan keruntuhan kota-kota prakolonial.
Kemudian buku kumpulan artikel yang dieditori oleh Peter
J. M. Nas yang berjudul The Indonesian City: Studies in Urban
Development and Planning21. Dalam buku ini pada bab 1 dia
membahas mengenai jenis kota yang dibagi menjadi empat macam
yakni kota-kota awal Indonesia, kota indis, kota kolonial dan kota
modern. Kota awal Indonesia atau disebut juga kota tradisional
mempunyai struktur yang didasarkan pada kosmologi dan refleksi
sosial budaya yang dibedakan menjadi dua macam yakni kota
pedalaman dengan tradisional dan religius karakter dan kota
pesisir yang berbasis pada aktivitas perdagangan. Kota pedalaman
sendiri mempunyai pola dari pusat kemudian menuju periperi dan
fungsi administratif dengan produk agrikultur dari pedalaman.
Berbeda dengan kota pesisir dimana kota ini hidup dari aktivitas
pasardan terdiri dari bermacam-macam grup etnik, umumnya
berbeda-beda jenis.
Kota-kota ini kebanyakan tidak lama, kadangkala lokasinya
berbeda-beda. Dalam kasus ini kepemilikan tanah bukan sesuatu
yang penting dalam kota tradisional seperti yang terjadi pada kota
masa kini karena ini biasanya kepemikan secara komunal.
Peter, J.M. Nas, “The Indonesian City: Studies in Urban
Development and Planning”, (USA: Foris Publication, 1986) 21
15
Kemudian yang kedua yakni kota indis. Kota indis biasanya
mencontek negara asal, seperti kota Batavia yang mencontek
Amsterdam. Namun kemudian terjadi percampuran budaya antara
Belanda dengan Indonesia yang bernama budaya Indis. Indis
merupakan budaya tersendiri dengan kelas yang tersendiri pula,
bukan budaya Belanda maupun budaya Indonesia.
Dalam lingkup publik disebut priyayi, sedangkan dalam
wilayah yang lebih privat disebut nyai. Budaya Indis sendiri
berakibat pada gaya hidup yang lebih luas dan mengarah pada
kota indis. Transformasi
dari
Batavia lama ke
kota
Indis
mempunyai banyak konsekuensi untuk orang Indonesia dan kota
tua, orang Indonesia tinggal di kampung (diluar benteng). Namun
setelah orang-orang yang tinggal di luar benteng mengambil alih
kota ini, maka tempat ini menjadi seperti kampung. Kota kolonial
kemudian muncul setelah kota Indis dimana setelah tahun 1870
banyak orang Belanda datang ke Indonesia untuk berbisnis.
Lama-kalamaan penduduk kota menjadi semakin banyak dan
tempat tinggal menjadi kumuh.
Hal ini menyebabkan perubahan bentuk kota, dari yang
semula kumuh dan kotor digantikan oleh kota yang bersih dan
tertata rapi dengan bangunan-bangunan kolonial berdiri megah.
Salah satu tokoh yang berjasa dalam perencanaan kota yakni Ir.
Thomas Karsten, terakhir yakni kota modern. Kota yang lebih
16
kompleks dari kota kolonial, di dalamnya sudah terdapat banyak
perubahan
atau
modernisasi
yang
menunjang
kehidupan
masyarakat dengan jumlah penduduknya semakin banyak.
Selanjutnya digunakan juga buku yang ditulis oleh Djoko
Suryo berjudul Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang
1830-190022,
yang
menceritakan
tentang
kehidupan
sosial
ekonomi masyarakat karesidenan semarang pada tahun-tahun
antara 1830-1900. Buku ini terbagi atas beberapa bab. Bagianbagian yang penting terdapat dalam bab dua sampai bab enam.
Pada bab dua yang dibahas yakni permasalahan-permasalahan
yang timbul pada masa Tanam Paksa di Karesidenan Semarang.
Bab tiga membahas mengenai masalah-masalah pedesaan. Bab
empat
membahas
mengenai
perbaikan
komunikasi
dan
transportasi dimana pembangunan jalur kereta api menjadi pintu
menuju
modernisasi.
Bab
lima
membahas
mengenai
krisis
ekonomi yang terjadi di pedesaan semarang akibat dari krisis
dunia. Untuk kesehatan sendiri dibahas dalam bab enam.
Buku milik Purnawan Basundoro yang berjudul Pengantar
Sejarah Kota juga digunakan.23 Buku ini merupakan sebuah buku
pengantar yang cocok bagi penulis karena didalam buku ini
Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan
Semarang 1830-1900, (Yogyakarta: PAU Studi Sosial UGM, 1989)
22
Purnawan
Basundoro,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012) 23
Pengantar
Sejarah
Kota,
17
dijelaskan banyak hal mengenai sejarah kota dari masa tradisional
sampai kontemporer. Melalui buku ini juga bisa dilihat berbagai
sudut pandang dalam melihat perkembangan sebuah kota.
Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, maka kajian sejarah
tentang kota Ambarawa belum banyak dibahas secara mendalam.
Sedikit gambaran tentang masa kolonial dapat diambil dari buku
“Ambarawa, Kota Lokomotif Tua” yang ditulis oleh Eddy Supangkat
namun buku ini lebih banyak menyentuh aspek perkembangan
kereta api di Ambarawa. Selain itu, buku Sejarah Sosial Pedesaan
Karesidenan Semarang 1830-1900 juga lebih membahas masamasa ketika Ambarawa masih menjadi desa belum menjadi kota
dan yang dibahas lebih banyak sebelum tahun 1900.
E. Metode dan Sumber
Dalam sebuah penelitian, pengumpulan sumber sangatlah
berpengaruh terhadap penulisan hasil penelitian nantinya. Oleh
karena
ini
penulisannya
merupakan
penelitian
menggunakan
metode
sejarah
sejarah.
maka
dalam
Kuntowijoyo
menjelaskan dalam penelitian sejarah terdapat lima tahap, yakni
pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, intepretasi dan
penulisan sejarah.24
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang
Pustaka, 2005) hlm. 9 24
18
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengumpulkan sumber
berdasarkan relevansinya dengan tema skripsi ini. Sumber yang
digunakan merupakan sumber primer maupun sekunder baik
yang tertulis maupun tidak tertulis ditambah dengan data-data
yang berasal dari buku, artikel, skripsi, tesis, dokumen, surat
kabar maupun internet yang berkaitan dengan perkembangan
Kota Ambarawa pada Masa Kolonial. Dalam pencarian data
sumber penulis menelusur data yang terdapat di Kantor Badan
Arsip Jawa Tengah dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Data
arsip ini berupa Memorie van Overgave, Regeringsalmanaak,
Koloniale
Verslaag
dan
Staatsblad.
Kemudian
penulis
juga
mengambil data dari kantor Kecamatan Ambarawa dan dinasdinas terkait.
Selain data tersebut, penulis juga menggunakan sumber
berupa foto yang didapat dari situs www.kitlv.nl dan peta dari
www.kit.nl. Penggunaan foto disini dikarenakan kebanyakan dari
tokoh maupun tempat sudah tidak bisa ditemui. Sehingga
penggunaan foto dirasa penting untuk membantu analisa penulis.
Kemudian sumber lain penulis dapatkan melalui buku, artikel,
skripsi, tesis dan majalah yang terdapat di Pusat Studi Asia
Tenggara Universitas Gadjah Mada, Pusat Studi Kependudukan
Universitas Gadjah Mada, Pusat Studi Pedesaan Universitas
Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
19
Gadjah Mada, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada,
Perpusatakaan
Pelestarian
Ignatius
Sejarah
Perpustakaan
Daerah
Yogyakarta,
dan
Nilai
Ambarawa,
Perpustakaan
Tradisional
Salatiga
Balai
Yogyakarta,
dan
Semarang,
Perpustakaan Nasional Jakarta dan berbagai macam tempat
koleksi buku-buku maupun data lainnya. Selain Perpustakaan,
pencarian sumber selanjutnya dilakukan di Kantor Kecamatan
Ambarawa dan BPS Kabupaten Semarang, disini akan didapatkan
data mengenai kota Ambarawa.
Selain
pengumpulan
menggunakan
studi
sumber
data
sebagai
kepustakaan
penelitian
penulis
dalam
juga
menggunakan metode interview atau wawancara. Melalui metode
ini
penulis
berusaha
mewawancarai
mengumpulkan
beberapa
tokoh
yang
sumber
dianggap
dengan
cara
mengetahui
informasi. Walaupun terdapat kesulitan untuk mendapatkan
sumber yang bisa diwawancara, akhirnya dapat mewawancarai
salah satu tokoh di Ambarawa.
Setelah
semua
data
terkumpul
nantinya
tidak
akan
langsung digunakan nantinya terlebih dahulu dilakukan verifikasi
untuk mencari fakta dari sumber tersebut. Dalam proses verifikasi
digunakan dua macam kritik yakni kritik eksternal yang berguna
untuk mendapatkan keaslian sumber atau ontentisistas dan
internal yang berguna untuk mendapatkan kredibilitas sumber.
20
Setelah semua fakta didapatkan barulah kemudian datadata tersebut dirumuskan menjadi sebuah sintesis. Perumusan ini
harus dibuat se-kronologis mungkin. Kemudian setelah itu
beranjak pada intepretasi dan penafsiran. Dari analisis-analisis
tadi
maka
penulisan.
didapatkan
Kemudian
sumber-sumber
berlanjut
pada
yang
mendukung
penulisan
sejarah
menggunakan data atau sumber yang telah melewati prosesproses diatas.
F. Sistematika
Penulisan ini secara sistematis terbagi dalam 5 (lima) bab
pokok, yang didalamnya nanti akan terdapat beberapa sub-bab.
Tulisan
dalam
skripsi
ini
akan
dibuat
secara
kronologis
berdasarkan fakta-fakta sejarah yang penulis temukan. Bab I atau
Pendahuluan adalah pengantar yang berisi Latar Belakang,
Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan Penelitian, Tinjauan
Pustaka, Metode dan Sumber juga Sistematika Penulisan.
Kemudian di Bab II tulisan ini diawali dengan penjelasan
mengenai kota kolonial di Jawa secara umum dan sejarah dari
kota Ambarawa secara khusus. Penjelasan untuk sejarah kota
Ambarawa diawali dari masa sebelum tahun 1902, ketika masih
berada
di
bawah
kerajaan-kerajaan
sebelum
dikelola
oleh
pemerintah. Dimana munculnya kota berdampak besar pada
21
pembentukan pola interaksi sosial dan ekonomi masyarakat di
Jawa terutama bagi masyarakat Ambarawa yang ditandai simbolsimbol modernisasi kota mulai muncul.
Setelah itu, bab tiga akan berisi penjelasan mengenai
perubahan apa saja yang terjadi di kota Ambarawa dalam kurun
waktu 1902-1940. Keberadaan bangunan Militer seperti tangsi
militer dan benteng sangat berpengaruh dalam perkembangan
kota
Ambarawa,
karena
berawal
dari
ini
kota
Ambarawa
berkembang pesat. Pengaruh dari bangunan militer kemudian
merambah Transportasi dan Perkebunan. Bab empat sebagai bab
selanjutnya akan dijelaskan berbagai macam fasilitas penunjang
kota yang terdapat di kota Ambarawa dan perubahan apa saja
setelah dibangunnya fasilitas militer. Dari bab-bab itu nantinya
akan
ditulis
dalamnya
sebuah
terdapat
permasalahan
yang
penelitian di bab satu.
kesimpulan
pembahasaan
telah
sebagai
penutup
yang
di
yang
akan
menjawab
dipertanyakan
dalam
rancangan
Download