TINJAUAN YURIDIS LARANGAN PRAKTEK DISKRIMINASI PELAKU USAHA TERHADAP PELAKU USAHA TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 (STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NO. 05/KPPU-I/2012 TENTANG KASUS TENDER EXPORT PIPELINE FRONT END ENGINEERING AND DESIGN CONTRACT) Josua Septian dan Ditha Wiradiputra (Pembimbing) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jalan Lingkar Kampus Raya, Depok, 16424, Indonesia. E-mail: [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas mengenai ketentuan larangan praktek diskriminasi pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu yang diatur dalam Pasal 19 huruf d Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Peneliti dalam hal ini mengambil contoh kasus dari putusan KPPU No.05/KPPU-I/2012 tentang praktek diskriminasi yang dilakukan oleh PT.Chevron Indonesia Company dalam tender export pipeline front end engineering dan design contract di lingkungan PT.Chevron Indonesia Company. Penelitian ini dilakukan bersifat yuridis normatif dengan meneliti praktek diskriminasi berdasarkan teori dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian ini pada akhirnya menyarankan pihak KPPU untuk lebih memperjelas kriteria praktek diskriminasi yang dilarang dan dalam memutus sebuah perkara terkait diskriminasi pelaku usaha pihak KPPU harus lebih memperhatikan pembuktian atas segala unsur-unsur larangan praktek diskriminasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 huruf d, terlebih unsur “menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat” dalam kasus terkait. Kata Kunci : Praktek Diskriminasi, Tender, Persaingan usaha tidak sehat, PT.Chevron Indonesia Company Juridical Analysis of Discriminative Practices Prohibition Which Conduct by Business Actors to the Certain Business Actors Under Act No.5/1999 (case study decision of KPPU No. 05/KPPU-I/2012 Concerning the Tender of Export Pipeline Front End Engineering and Design Contract) Abstract This thesis explains about the prohibition of discriminative practice which conduct by a business actor to the certain business actors which regulated in article 19 paragraph d of Act No.5 /1999. Researchers in this thesis takes the Comission decision No. 05/KPPU-I/2012 concerning discriminative practices which has conducted by Chevron Indonesia Company in the tender of Export Pipeline Front End Engineering and Design Contract. This thesis was conducted by examining the normative juridical practice of discrimination based on theory and legislation in force. The results of this study ultimately recommends the commission to improve and clarify the criteria and practice of discrimination, beside that in deciding a case related discriminative practices, the comission (KPPU) should pay more attention about the fulfillment of all elements of the prohibition of discrimination under article 19 paragraph d Act No.5/1999, especially the element of “causing unfair competition” in the relevant cases. Key words : Discriminative Practices, Tender, Unfair Business Competition, PT.Chevron Indonesia Company Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 Pendahuluan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian dunia. Seorang mantan Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan pernah berpendapat bahwa pada tahun 2012 Indonesia merupakan negara dengan perekonomian terbesar ke-15 di dunia dengan nilai Rp.10.000.000.000.000.000,00 (sepuluh ribu triliun rupiah).1 Sebuah fakta positif ini tentu saja tidak dapat terlepas dari kehadiran para pelaku bisnis yang secara gencar melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Kehadiran pelaku bisnis lewat kegiatan usahanya di Indonesia secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan dorongan positif maupun negatif dalam perkembangan perekonomian di Indonesia. Para pelaku bisnis baik dari luar maupun dalam negeri bersaing masuk kedalam dunia usaha di Indonesia untuk mendapatkan sejumlah keuntungan, dengan melaksanakan kegiatan usahanya. Dengan banyaknya pelaku bisnis yang masuk dan melakukan kegiatan usaha di Indonesia demi meningkatkan taraf hidupnya masing-masing, mengakibatkan sebuah persaingan usaha menjadi hal yang tidak dapat dielakan. Dalam dunia usaha, persaingan usaha atau kompetisi antar pelaku usaha dalam merebut pasar adalah hal yang sangat wajar, akan tetapi hal itu menjadi tidak wajar saat persaingan tersebut dilakukan dengan cara yang curang (unfair), dengan tujuan untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk bersaing (barrier to entry) atau mematikan usaha pesaingnya.2 Kompetisi pada hakikatnya dapat dilakukan secara wajar apabila tercipta sebuah pertumbuhan dunia usaha yang sehat dan menjamin adanya kesempatan berusaha yang sama dan adil. Oleh karena itu, demi menciptakan sebuah iklim persaingan usaha yang kondusif, Pemerintah Indonesia telah membentuk Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini diharapkan dapat mendorong percepatan pembangunan perekonomian dalam upaya untuk meningkatkan keejahteraan masyarakat, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa dari Undang-undang 1945. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menghimbau kepada pelaku usaha agar menjalankan kegiatan usahanya tetap berasaskan demokrasi ekonomi 1 Investor Daily Indonesia, “Mendag: EKonomi Indonesia Terbesar ke-15 di Dunia ,” http://www.investor.co.id/home/mendag-ekonomi-indonesia-terbesar-ke-15-di-dunia/63121, diunduh pada tanggal 2 Maret 2014 2 Ricky W. Griffin and Ronald J.Elbert, Business, 8th ed., (Colombia: University of Missouri, 2006), hlm. 19 Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 dengan tetap memperlihatkan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.3 Dengan tujuan implementasi dari Undang-undang ini beserta peraturan pelaksanaannya dapat berjalan dengan efektif sesuai dengan asas dan juga tujuannya, maka sangatlah diperlukan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yaitu lembaga independen yang terlepas dari hal pengaruh pemerintah beserta pihak lain yang bertugas dan mempunyai wewenang untuk melaksanakan pengawasan persaingan usaha, yang juga wewenangnya tersebut juga sama besarnya seperti yang dimiliki oleh lembaga peradilan dan menjatuhkan sanksi. Sanksi yang biasanya selalu diberikan pihak Komisi Persaingan Usaha Tidak Sehat (KPPU) hanyalah sanksi berupa tindakan administratif, sedangkan sanksi pidana adalah wewenang dari pengadilan negeri. KPPU sebagi komisi yang keberadaannya telah diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, juga memiliki otoritas dan kompetensi untuk melakukan pengawasan terhadap implementasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Otoritas dan kompetensi yang dimiliki oleh KPPU ini didasari atas fungsinya untuk memberikan penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan, pengambilan tindakan, dan pelaksanaan administrasi4. Akan tetapi setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, masih saja banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha di Indonesia. Pada hakikatnya tujuan dari setiap pelaku usaha adalah untuk mengembangkan usahanya semaksimal mungkin dan menjadi yang terbaik di bidang usahanya. Dengan tujuan ini, pelaku usaha akan berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan kinerja dan daya saingnya melalui inovasi dan efisiensi sehingga lebih unggul dari pesaingnya. Apabila usaha pelaku usaha menjadi yang terbaik di bidangnya berhasil, maka konsekuensinya adalah pelaku usaha tersebut mendapatkan dan atau memiliki kekuatan pasar (market power) yang signifikan di pasar bersangkutan.5 Dari sudut pandang konsumen, pelaku usaha yang memiliki 3 Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, No. 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817, Pasal 2. 4 L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha , (Surabaya: Laros, 2008). Hal. 235 5 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (a), Draft Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 kemampuan penguasaan pasar yang diraih melalui keunggulan inovasi dan efisiensi dapat memberikan efek positif bagi konsumen. Hal ini disebabkan karena dengan penguasaan pasar, pelaku usaha dapat mewujudkan efisiensi biaya (cost saving), atau menjamin pasokan bahan baku atau produk untuk mencapai skala ekonomi (economy of scope). 6 Sehingga, ujungnya akan tercipta harga yang rendah dan akan menguntungkan konsumen secara keseluruhan. Akan tetapi kemampuan pelaku usaha untuk menguasai atau mempertahankan kekuatan pasar (market power) juga kerap kali dilakukan lewat persaingan usaha yang tidak sehat, salah satunya dengan cara melakukan kegiatan diskriminasi antara pelaku usaha dengan pelaku usaha tertentu yang dilarang dalam Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pada dasarnya, diskriminasi secara umum dijelaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 huruf d UU No.5 Tahun 1999 sebagai setiap perlakuan yang berbeda yang dilakukan terhadap satu pihak tertentu.7 Ruang lingkup kegiatan yang diatur dalam Pasal 19 huruf d mencakup praktek diskriminasi yang dilakukan secara sendiri oleh pelaku usaha maupun kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dengan pelaku usaha lain. Praktek diskriminasi sendiri merupakan kegiatan yang menghambat atau bertentangan dengan prinisp persaingan usaha yang sehat. Tindakan yang menghambat atau bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang tidak sehat berdasarkan Pasal 19 huruf d dapat berupa diskriminasi harga maupun non-harga.8 Di dalam praktek dunia usaha, kegiatan diskriminasi dapat dilakukan atas dasar berbagai alasan dan motif. Praktek diskriminasi pada hakikatnya tidak melulu dapat dikatakan sesuatu yang buruk dan dilarang oleh pemerintah lewat KPPU demi menjaga persaingan usaha yang fair. Seperti contoh, diskriminasi yang paling umum dilakukan yaitu diskriminasi harga yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mengambil keuntungan secara maksimal dari surplus konsumen.9 Dengan adanya kegiatan diskriminasi harga dapat berdampak positif Persaingan Usaha Tidak Sehat”. (Jakarta : Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2011). Hlm. 2. 6 Ibid., hlm. 3. 7 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (b). Pedoman Pelaksanaan tentang Pasal 19 Huruf d (Praktek Diskriminasi) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2011). Hlm.1 8 Ibid. hlm. 4 9 Ibid Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dibandingkan dengan pemberlakuan satu harga (non diskriminasi). Selain itu dengan adanya diskriminasi harga, jumlah barang yang dihasilkan dan dapat dinikmati masyarakat akan meningkat dibandingkan dengan metode satu harga yang biasanya diterapkan oleh perusahaan monopoli. Tentu saja kegiatan diskriminasi dengan jenis ini bukanlah sebuah kegiatan diskriminasi yang dilarang oleh UU No.5 Tahun 1999. Contoh lain praktek diskriminasi yang tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat juga dapat dilihat dalam kegiatan diskriminasi dengan motif efisiensi seperti dengan cara memberikan preferensi terhadap pelaku usaha tertentu yang lahir dari pengalaman bertahun-tahun.10 Praktek diskriminasi lain juga dapat terjadi atas alasan untuk mengeluarkan perusahaan pesaing dari pasar atau menghambat pesaing potensial untuk masuk ke dalam pasar, praktek diskriminasi seperti inilah yang tentunya melanggar prinsip persaingan usaha yang sehat.11 Oleh karena itu, pada dasarnya sebuah praktek diskriminasi memiliki dua mata sisi, yaitu praktek diskriminasi yang pro-persaingan dan anti-persaingan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, selain diskriminasi harga praktek diskriminasi juga dapat dilakukan melalui diskriminasi non harga. Praktek diskriminasi non harga dapat diartikan sebagai sebuah tindakan penentuan perlakuan dengan cara yang berbeda terhadap pelaku usaha tertentu diluar segi harga. Praktek diskriminasi non-harga dapat dilihat contohnya lewat praktek perlakuan yang berbeda mengenai persyaratan pemasokan atau persyaratan pembelian barang dan atau jasa, menolak melakukan hubungan usaha, penunjukan langsung , atau memberikan kesempatan kompetisi hanya pada beberapa perusahaan tertentu tanpa adanya suatu justifikasi secara sosial, ekonomi, teknis maupun pertimbangan efisiensi lainnya oleh pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu.12 Apabila melihat dalam rumusan pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatas, ketentuan yang mengatur penguasaan pasar ini diatur secara Rule of Reason, dimana prinsip ini memfokuskan kepada melihat akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan. 13 Berbeda dengan pasal yang menggunakan prinsip Per Se dalam rumusan pasalnya, dimana prinsip ini pelaku usaha yang melakukan perbuatan dari pasal tersebut dapat dijatuhi sanksi hukum oleh penegak hukum tanpa terlebih dahulu melihat bahwa perbuatan yang dilakukan 10 Ibid 11 Ibid 12 Ibid 13 Ditha Wiradiputra, Pengantar Hukum Persaingan Usaha, (Depok:Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hlm.12. Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 tersebut menimbulkan akibat tertentu atau tidak. 14 Sehingga praktek diskriminasi yang dimaksud dalam Pasal 19 huruf d haruslah memiliki dampak yang menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat baik di level horizontal (di pasar pelaku praktek diskriminasi) dan atau di level vertikal (di pasar korban praktek diskriminasi). Dikarenakan pasal 19 huruf d dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 merupakan pasal yang diatur secara rule of reason, dalam prakteknya sangat sulit untuk menentukan apakah praktek diskriminasi yang dilakukan oleh suatu pelaku usaha kepada pelaku usaha tertentu merupakan sebuah perilaku yang mengakibatkan timbulnya praktek monopoli dan menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Mengingat praktek diskriminasi memiliki dua sisi maka sangat diperlukan pengaturan dan pemahaman yang jelas mengenai konsep diskriminasi yang dilarang di dalam Undang-Undang. KPPU dalam rangka memberikan arahan yang jelas dalam hal diskriminasi pelaku usaha, telah membentuk sebuah pedoman yang dijadikan acuan bagi KPPU untuk menilai apakah suatu praktek merupakan praktek diskriminasi yang melanggar persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dilarang dalam Pasal 19 huruf d atau tidak. Salah satu poin penting dalam pedoman pasal 19 huruf d menjelaskan bahwa praktek diskriminasi yang dilarang adalah praktek diskriminasi yang tidak mempunyai justifikasi secara sosial, ekonomi, teknis, maupun pertimbangan efisiensi lainnya. Mengenai batasan definisi dari apa yang dimaksud dengan justifikasi sosial, ekonomi, teknis dan efisiensi lainnya sendiri tidak dijelaskan secara jelas di dalam Pedoman Pasal 19 huruf d yang dikeluarkan oleh KPPU tersebut. Ketidakjelasan definisi tersebut menyebabkan batasanbatasan tersebut terasa tidak efektif dan kadang kala menyebabkan KPPU dalam memutus perkara tidak mempehatikan/mengabaikan mengenai justifikasi praktek diskriminasi. Praktek diskriminasi adalah hal yang sangat sensitif untuk dapat diputuskan bersalah oleh KPPU mengingat praktek diskriminasi dapat bersifat pro-persaingan maupun anti persaingan. Sehingga menurut peneliti, perlu diteliti secara mendalam mengenai kriteria apa yang dapat dikategorikan sebagai praktek diskriminasi yang melanggar sebuah prinsip persaingan usaha tidak sehat. Salah satu praktek diskriminasi yang diputus bersalah oleh KPPU diantaranya dapat dilihat dalam Putusan KPPU dengan nomor perkara : 05/KPPU-I/2012 tentang kasus tender Export Pipeline Front End Engineering and Design Contract di lingkungan Chevron Company. Di dalam kasus tersebut, praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu 14 Ibid. Hlm.27. Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 dilakukan di saat proses tender (lelang pengadaan barang/jasa) Export Pipeline Front End Engineering and Design Contract oleh PT.Chevron Indonesia Company selaku perusahaan swasta di bidang industri hulu migas di Indonesia. KPPU dalam putusannya memutus PT.Chevron Indonesia (Chevron) telah melanggar pasal 19 huruf (d) dikarenakan beberapa alasan, kesalahan penting Chevron di mata KPPU pertama terlihat saat Chevron tidak konsisten dalam menerapkan evaluasi komersial. Chevron dalam tahap evaluasi komersil mendiskualifikasi PT. Wood Group Indonesia dengan alasan adanya in-konsistensi dalam mengajukan penawaran komersial dengan komitmen teknis, padahal dengan kondisi yang sama PT.Worley Parsons yang juga tidak konsisten antara penawaran komersial dengan komitemen teknis diloloskan dalam tahap evaluasi komersial dan bahkan dijadikan pemenang tender terkait. Salah satu yang juga menjadi hal menarik dalam kasus ini adalah mengingat PT.Chevron Indonesia Company merupakan sebuah badan usaha swasta yang melakukan pengadaan barang dan jasa untuk kegiatan operasionalnya. Beberapa kalangan praktisi menilai, pada hakikatnya dalam hal badan usaha swasta melakukan tender maka prosedur tender akan dijalankan sesuai best practice menurut badan usaha swasta tersebut untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga apabila terdapat unsur diskriminatif di dalamnya, badan usaha swasta tidak dapat dipersalahkan. Berdasarkan hal hal tersebut, maka sangat dibutuhkan adanya penelitian untuk melihat kriteria apa yang dapat dikatakan perilaku diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu yang dilarang oleh UU No.5 Tahun 1999 dan apakah Chevron dalam kasus Tender Export Pipeline Front end Engineering dan Design Contract memang benar telah melakukan diskriminasi kepada pelaku usaha tertentu. Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan diatas, maka terdapat beberapa rumusan maslaah yang akan dipecahkan dalam skripsi ini, yakni : 1. Bagaimana kriteria kegiatan diskriminasi yang tidak sesuai dengan prinsip persaingan usaha yang sehat dan dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999? 2. Apakah kegiatan chevron dalam Tender Export Pipeline Front end Engineering dan Design Contract memang benar mengakibatkan timbulnya praktek diskriminasi yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat? Sehingga tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk memaparkan dan menjelaskan mengenai kriteria kegiatan diskriminasi yang tidak sesuai dengan prinsip persaingan usaha yang sehat dan dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu juga untuk mengetahui apakah kegiatan Chevron dalam kasus terkait memang benar mengakibatkan Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 timbulnya praktek diskriminasi yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dengan membandingkan pertimbangan majelis komisi dalam putusan dengan teori dan peraturan atau pedoman yang berlaku. Tinjauan Teoritis 1. Praktek diskriminasi yang dimaksud dalam Pasal 19 huruf d Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan sebuah tindakan yang menghambat atau bertentangan dengan persaingan usaha tidak sehat yang dapat berupa diskriminasi harga maupun non harga dan dapat dilakukan baik sendiri oleh pelaku usaha maupun bersama-sama dengan pelaku usaha lain.15 Praktek diskriminasi sendiri dilakukan dengan cara perlakuan dalam berbagai bentuk yang berbeda yang dilakukan oleh satu pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu.16 2. Praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.17 3. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.18 4. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri 15 Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pedoman Pelaksanaan tentang Pasal 19 Huruf d (Praktek Diskriminasi) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2011). Hlm.4 16 Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pedoman Pelaksanaan tentang Pasal 19 Huruf d (Praktek Diskriminasi) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2011). Hlm.5 17Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 18 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.19 5. Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang melakukan satu atau beberapa kegiatan secara bersama-sama pada pasar bersangkutan.Pelaku usaha lain menurut penjelasan Pasal 17 ayat 2 huruf b Undang-undang nomor 5 Tahun 1999 adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan.20 6. Komisi adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.21 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian berbentuk yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif dapat diartikan sebagai penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Peneliti menggunakan cara penelitian hukum kepustakaan yang bertujuan untuk mengkaji dan mengetahui aspek-aspek hukum dari praktik diskriminasi yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu yang mengakibatkan terjadinya monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang sebagaimana diatur dalam pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dilihat dari tipologinya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis suatu permasalahan. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manujsia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai kriteria kegiatan diskriminatif pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain yang tidak sesuai dengan prinsip persaingan usaha yang 19Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 20 Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pedoman Pelaksanaan tentang Pasal 19 Huruf d (Praktek Diskriminasi) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2011). Hlm.5 21 Pasal 1 butir 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 sehat. Penelitian deskriptif ini diharapkan dapat membantu dalam memperkuat teori-teori lama atau dipergunakan dalam kerangka menyusun teori-teori baru. Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder, yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, antara lain; UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Undang-Undang nomor 5 tahun 1999. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa sumber informasi yang berkaitan atau yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer, antara lain; buku-buku, artikel, jurnal, dan penelitian-penelitian yang sudah ada, sehubungan dengan praktik diskriminasi pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu. Terhadap seluruh data yang diperoleh, Peneliti melakukan analisis terhadap data tersebut secara kualitatif, yaitu dengan cara mempelajari dan menganalisis data sekunder yang relevan dengan topik penelitian. Pembahasan Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, terdapat salah satu pengaturan yang mengatur mengenai larangan diskriminasi pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu. Perihal diskriminasi tersebut diatur di dalam Pasal 19 huruf d, dimana termasuk cakupan pengaturan Bab IV Bagian Ketiga (Penguasaan Pasar). Pada dasarnya terminologi “diskriminasi” tidak ditemukan definisi secara jelas di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 maupun penjelasan pasalnya, sehingga diperlukan sebuah penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud “diskirminasi” di dalam Pasal 19 huruf d. Atas dasar alasan tersebut, KPPU lewat Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Huruf D Undang-Undang no.5 tahun 1999 berusaha memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai larangan praktek diskriminasi. Di dalam konteks dunia bisnis dan persaingan usaha, secara spesifik diskriminasi dapat diartikan sebagai praktek perlakuan yang berbeda yang dilakukan oleh satu pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu.22 Definisi diskriminasi memang tidak ada ditetapkan di dalam UU No.5 Tahun 1999 namun secara umum tindakan diskriminasi dapat diartikan bahwa seseorang atau pelaku usaha memperlakukan pelaku usaha lain secara istimewa, dan pihak lain atau pelaku usaha lain tidak boleh menikmati keistimewaan tersebut, 22 KPPU (b), op.cit., hlm. 5 Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 atau ditolak.23 Sedangkan di dalam Pedoman Pasal 19 huruf d diskriminasi diartikan sebagai setiap perlakuan yang berbeda yang dilakukan terhadap satu pihak tertentu Diskriminasi atau perbedaan perlakuan dalam dunia bisnis pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu diskriminasi harga maupun diskriminasi non-harga. Praktek diskriminasi yang paling lazim ditemukan di dunia usaha adalah praktek diskriminasi harga, namun tidak menutup kemungkinan diskriminasi juga dilakukan berupa diskriminasi nonharga. Diskriminasi dalam dunia usaha baik diskriminasi harga maupun non-h arga dilakukan oleh pelaku usaha dengan berbagai motif, alasan, dan tujuan. Alasan dan tujuan pelaku usaha dalam melakukan suatu perilaku diskriminasi juga tidak selalu bertujuan dan berdampak timbulnya persaingan tidak sehat, kerap kali pelaku usaha melakukan praktek diskriminasi dengan motif dan tujuan yang sejalan dengan prinsip persaingan usaha sehat itu sendiri. Legalitas praktek diskriminasi harga maupun non-harga menjadi isu penting mengingat diskriminasi dalam bentuk apapun tidak selalu berakibat negatif. Apabila didefinisikan, diskriminasi harga pada hakikatnya didefinisikan berbeda-beda, menurut Thomas E.Gerig dan Rune Stenbacka diskriminasi harga pada dasarnya merupakan praktek bisnis yang menerapkan harga yang berbeda untuk unit-unit yang berbeda untuk pelanggan/konsumen yang berbeda. 24 Sedangkan diskriminasi non-harga secara terminologi dapat disimpulkan sebagai sebuah perlakuan yang berbeda terhadap pelaku usaha tertentu selain di bidang harga.Di dalam Pediman Pasal 19 huruf d KPPU mencoba menyimpulkan praktek diskriminasi non-harga terdiri namun tidak terbatas dari :25 a. Penunjukkan langsung dalam suatu pekerjaan, tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima b. Menolak melakukan hubungan usaha dengan pihak tertentu tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima c. Menetapkan persyaratan tertentu yang mengarah kepada perusahaan tertentu tanpa justifikasi sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima d. Menetapkan syarat yang berbeda untuk pelaku usaha yang berbeda dalam pasar yang sama tanpa justifikasi sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima 23 Andi Fahmi Lubis, op.cit., hlm.182 24 Thomas P.Gerig dan Rune Stenbacka, “price discrimination,competition and antitrust,” (October 2005) : 1 25 Ibid. Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 e. Dalam hal yang terkait program pemerintah seperti pengembangan UKM, penetapan syarat yang sama antara UKM dengan usaha besar dapat dirasakan oleh UKM sebagai persyaratan yang diskriminatif sehingga dikategorikan melanggar Pasal 19 huruf d Pada dasarnya sebuah praktek diskriminasi dalam sebuah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu tidaklah mutlak berakibat timbulnya persaingan usaha tidak sehat. Tidak jarang, sebuah praktek diskriminasi dilakukan oleh pelaku usaha dilakukan untuk mempertahankan eksistensi usahanya dan bahkan tidak jarang praktek diskriminasi dilakukan oleh pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu dalam rangka menciptakan sebuah persaingan usaha yang sehat. Hal ini dapat ditemukan misalnya dalam diberikannya perlakuan khusus terhadap pelaku usaha yang dari segi kekuatan ekonomi maupun pangsa pasarnya jauh lebih lemah daripada pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan agar pelaku usaha kecil tersebut dapat bersaing dengan pelaku usaha yang dari segi kekuatan ekonomi dan pangsa pasar jauh lebih kuat. Tentu saja hal tersebut juga termasuk sebuah praktek diskriminasi, namun praktek diskriminasi tersebut justru bersifat pro-persaingan. Namun juga tidak jarang praktek diskriminasi dilakukan oleh pelaku usaha bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Hal ini dapat terlihat misalnya apabila sebuah pelaku usaha memberikan perlakuan berbeda terhadap pelaku usaha tertentu dengan tujuan agar pelaku usaha yang didiskriminasi tersingkir dari pasar bersangkutan. Oleh karena itu, praktek diskriminasi dari sifatnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pro-persaingan dan anti-persaingan. Pengaturan larangan praktek diskriminasi yang dilakukan pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu yang diatur dalam Pasal 19 huruf d adalah larangan terhadap praktek yang sifatnya anti-persaingan, sehingga praktek diskriminasi yang bersifat propersaingan bukanlah ruang lingkup dari pengaturan Pasal 19 huruf d. Sesuai dengan pedoman Pasal 19 huruf d, praktek diskriminasi dapat dikatakan sebagai praktek diskriminasi yang bersifat anti-persaingan apabila praktek diskriminasi tersebut dilakukan tanpa adanya justifikasi yuridis, ekonomi, sosial, dan teknis. Sehingga tugas KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan usaha di Indonesia adalah menentukan apakah praktek diskriminasi tersebut memiliki justifikasi yuridis, ekonomi, sosial, dan teknis atau tidak. Setelah KPPU dapat mengidentifikasi apakah praktek diskriminasi tersebut merupakan praktek diskriminasi yang tidak memiliki justifikasi yuridis, ekonomi, sosial dan teknis maka praktek diskriminasi tersebut dapat dikatakan sebagai praktek diskriminasi anti-persaingan sebagaimana yang termasuk dalam ruang lingkup larangan dalam Pasal 19 huruf d. Pada dasarnya praktek diskriminasi yang bersifat anti-persaingan dapat dilakukan oleh pelaku usaha apapun Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 bentuknya, baik itu pelaku usaha swasta (BUMS) ataupun pelaku usaha pemerintah (BUMN). Pasal 19 huruf d tidak membatasi pihak yang termasuk ruang lingkup subjek pengaturan Pasal 19 huruf d, selama pihak tersebut dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha menurut UndangUndang No.5 Tahun 1999 dan memenuhi segala unsur dalam Pasal 19 huruf d maka praktek diskriminasi yang dilakukan baik pihak privat maupun pemerintah dapat ditindaklanjuti oleh KPPU. Setelah diidentifikasinya praktek diskriminasi yang bersifat anti-persaingan, unsur yang paling penting untuk dibuktikan adalah unsur “mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat”. Hal ini sejalan dengan doktrin yang mensyaratkan pendekatan rule of reason dalam ketentuan praktek diskriminasi ini. Dalam membuktikan ada atau tidaknya akibat persaingan usaha tidak sehat dalam sebuah praktek diskriminasi, dapat dilakukan dengan menganalisis perbuatannya dan juga akibat perbuatan tersebut. Dalam kasus praktek diskriminasi dalam penyelenggaraan tender Export Pipeline Front End Engineering and Design Contract di lingkungan PT.Chevron Indonesia Company, hanya pelaku usaha PT.Chevron Indonesia Company yang dapat dikenakan Pasal 19 huruf d terkait larangan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Sedangkan PT. Worley Parsons tidak dapat dikatakan melakukan pelanggaran terhadap Pasal 19 hruuf d dikarenakan PT.Worley Parsons hanyalah pelaku usaha yang mendapatkan keuntungan dari sebuah praktek diskriminasi dan tidak terbukti telah melakukan sebuah praktek diskriminasi baik secara aktif maupun pasif. Pihak PT.Chevron Indonesia Company dikatakan telah melanggar Pasal 19 huruf d, karena memang PT.Chevron Indonesia telah memenuhi semua unsur dalam Pasal 19 huruf d Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Unsur “melakukan praktek diskriminasi” terpenuhi dengan cukup dibuktikannya PT.Chevron Indonesia Company melakukan perlakuan khusus dengan cara menerapkan prosedur evaluasi komersial yang berbeda antara PT.Worley Parsons Indonesia dengan PT.Wood Group Indonesia tanpa adanya justifikasi baik secara yuridis, ekonomi (komersial), sosial, maupun teknis. Penerapan berbeda tersebut terlihat dengan didiskualifikasinya PT.Wood Group Indonesia dengan alasan tidak konsisten antara penawaran teknis dengan penawaran komersial, sedangkan PT.Worley Parsons yang juga melakukan hal yang sama tidak didiskualifikasi melainkan justru dijadikan pemenang tender terkait. Sedangkan unsur “mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat” yang menjadi ciri khas dari sebuah pasal yang ditafsirkan secara rule of reason, dibuktikan karena praktek diskriminasi yang telah dilakukan oleh PT.Chevron Indonesia Company dilakukan secara “melawan hukum” atau bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Pedoman Tata Kerja No: 007-Revisi-1/PTK/IX/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerjasama Pasal 4.5 Bab IV tentang Strategi Pengadaan Barang/Jasa yang Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tender penyelenggara dilarang memberikan perlakuan yang mengarah untuk memberikan keuntungan terhadap 1 (satu) calon penyedia barang/jasa tertentu. Selain itu praktek diskriminasi yang dilakukan mengakibatkan “hambatan persaingan usaha” dengan tidak diberikannya kesempatan yang sama bagi setiap pelaku usaha, dimana dalam hal ini PT.Chevron tidak memberikan kesempatan yang sama antara PT.Worley Parsons dengan PT.Wood Group Indonesia. Dengan dipenuhinya dua alternatif kriteria persaingan usaha tidak sehat yaitu “melawan hukum” dan “menghambat persaingan usaha” maka dapat dibuktikan bahwa perbuatan diskriminasi yang dilakukan oleh PT.Chevron Indonesia Company adalah sebuah praktek diskriminasi yang mengakibatkan sebuah persaingan usaha tidak sehat dan terbukti melanggar Pasal 19 huruf d. Kesimpulan 1. Pada dasarnya praktek diskriminasi dari sifatnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu diskriminasi pro-persaingan dan anti-persaingan. 2. Dalam kasus praktek diskriminasi dalam penyelenggaraan tender Export Pipeline Front End Engineering and Design Contract di lingkungan PT.Chevron Indonesia Company, hanya pelaku usaha PT.Chevron Indonesia Company yang dapat dikenakan Pasal 19 huruf d terkait larangan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. 1.1 SARAN 1. Peraturan mengenai Pasal 19 huruf D merupakan bagian dari Pasal 19 yang termasuk dalam Bab IV tentang Penguasaan Pasar. Oleh karena itu sudah seharusnya pengaturan Pasal 19 ditujukan kepada pihak penguasa pasar, karena pasal 19 adalah bagian dari Bab IV tentang Penguasaan Pasar. Di dalam Pedoman Pasal 19 huruf D yang diterbitkan oleh pihak KPPU menjelaskan bahwa praktek diskriminasi (Pasal 19 huruf D) tidak hanya berlaku bagi pelaku usaha penguasa pasar, namun ditujukan bagi semua pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Unsur terdapat penguasa pasar hanya menjadi necessary condition dan bukan menjadi syarat mutlak. Hal ini menurut peneliti tidak konsisten antara nama bab dan substansi pengaturan dalam Pasal 19 khususnya Pasal 19 huruf d dan dapat Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 berimplikasi negatif dalam penerapan Pasal 19 huruf d dengan adanya dua penafsiran terhadap ruang lingkup subjek dalam Pasal 19 huruf d. Penafsiran pertama, yang menafsirkan praktek diskriminasi ditujukan kepada pelaku usaha yang memiliki posisi dominan (penguasa pasar) dan penafsiran lainnya menganggap adanya unsur penguasa pasar/posisi dominan dalam pasal 19 huruf d hanya menjadi necessary condition dan tidak mutlak harus dipenuhi. Oleh karena itu sudah seharusnya di dalam revisi terhadap Undang-Undang No.5 Tahun 1999 mendatang seharusnya terkait pengaturan mengenai praktek diskriminasi dipertegas dalam pasalnya apakah praktek diskriminasi hanya ditujukan kepada praktek diskriminasi yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki penguasa pasar atau seluruh pelaku usaha, bilamana praktek diskriminasi ditujukan terhadap seluruh pelaku usaha tanpa harus menilai adanya pelaku usaha penguasa (posisi dominan) maka sudah seharusnya pengaturan mengenai praktek diskriminasi dipisahkan dari bab Penguasaan Pasar agar tidak muncul kerancuan dalam hal penafsiran pasal. 2. KPPU selaku lembaga pengawas persaingan usaha yang berwenang untuk memutus perkara persaingan usaha harus lebih memperhatikan pemenuhan setiap unsur dari pasal yang didakwakan, terutama dalam pasal-pasal yang dalam penerapannya bersifat rule of reason dalam memutus KPPU harus benar-benar membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan telah melanggar sebuah persaingan usaha yang tidak sehat ataupun menyebabkan praktek monopoli terhadap sebuah pasar. Daftar Referensi Buku : Ali, Chidir. Badan Hukum. Bandung : Penerbit Alumni, 1987 Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Bateman, Heather dan Karty Mc.Adam. Ed Dictionary of Economics. London: A & C Black Publishers Ltd. 2003. Bennet, Paul. Anti Trust? European Competition Law and Mutual Environmental Insurance., Clark University, 2000. Black’s Law Dictionary. Fifth Ed. St. Paul Minn : West Publishing Company, 1979. Brook, Robert.H. dan Ward S. Browman. “The Crisis in Antitrust.” Columbia Law Review Vol. 65. No. 3 (Maret, 1965). Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 Daniel V.et.al., Comprehensive Business Law, Principles and Cases. London: Kent Publishing Company, 1987. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Buku Putih : Permasalahan Krisis Sektor Migas dan Dampaknya Bagi Perekonomian Indonesia (Jakarta : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, 2006) Erawaty, Elly. AF dan Badudu, JS. Kamus Hukum Ekonomi Inggris Indonesia. Jakarta: Protek Elips,1996. Fox, Eleanor M. dan Lawrence A.Sullivan, Cases and Materials on Antitrust. St. Paul Minn : West Publishing Company, 1989. Gellhorn, Ernest dan William E.Kovacic. Antitrust Law and Economic: In A Nutshell.4th ed. St. Paul Minenesota: West Publishing Company, 1994. Gerig, Thomas P. dan Rune Stenbacka. “Price Discrimination, Competition and Antitrust”. (October 2005). Ginting, Elyta. Hukum Monopoli Indonesia, Analisis dan Perbandingan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Griffin, Ricky W and Ronald J.Elbert, Business. 8th ed. Colombia: University of Missouri, 2006. Guritno, T. Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan Inggris –Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994. Hadjon , Philipus M. dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Cet. VIII. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002. Handler Milton, et.al, Trade Regulation, Cases and Material (Westbury, New York: The Foundation Press, 1997), Hansen, Knud. Et al. Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat: Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, Jakarta: GTZ dan Katalis Publishing Media Services, 2002 Hartley, James. E. “The Rule of Reason.” American Bar Association (ABA), Monograph vol.23. (1999). Ibrahim, Johnny. Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori, Implikasi, Penerapannya di Indonesia). Cet. 2., Malang: Bayu Media Publishing, 2007. Josef Drexl, Laurence Idot, dan Joel Moneger, Economic Theory and Competition Law, 2009. Kagramanto, L.Budi. Mengenal Hukum Persaingan Usaha . Surabaya : Laros, 2008. Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 Kenneth R.Redden dan Enid L.Veron, Modern Legal Glossary, (Virginia: The Michie Company, 1980), hlm. 404. Lubis, Andi Fahmi. Et al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Jakarta: Deustche Gesselchaft fur Technische Zusammerbeit (GTZ) GmBH, 2009. Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2009 Natasya, Ningrum. Et.al. Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha. Jakarta: The Indonesia Netherland National Legal Reform Program, 2010. Pass, Christopher. et.al. collins, Kamus Lengkap Ekonomi, ed.2. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997. Prasetiantono, A.Tony. Transformasi Pertamina : dilema antara orintasi bisnis dan pelayanan publik . Jakarta : Galang Press, 2009. Rokan, Mustafa Kemal. Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia), Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2010. Ross, Stephen F. Principles of Antitrust Law. New York: the Foundation Press, 1993. Sabar, Saafroedin dkk, Hukum Persaingan Usaha : Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia . Malang: Bayumedia, 2007. Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha. Cet. 2. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. Soerjono, Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2005. Sulaiman, Robintan. Persaingan Curang dalam Perdagangan Global (Tinjauan Yuridis). Jakarta : Pusat St udi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 2000. Sullivan, E Thomas. dan Jeffrey L.Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic Implications. New York: Matthew Bender, 1994. Syamsudin, M. Operasional Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004. Weele, Arjan J. Van, Purchasing and Supply Chain Management: Analysis, Strategy, Planning and Practice. Ed.5. Andover: Cengage Learning, 2010. Wiradiputra, Ditha. Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008. Wright, John. The Ethics of Economic Rationalism. Sydney : University of New South Wales Press, 2003. Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 Jurnal dan Makalah : Anggraeni, A.M Tri. “Penerapan Rule of Reason dan Per Se Illegal dalam Hukum Persaingan. “ Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 24. (2005). Brunet, Edward. “Streamlining Antitrust Litigation by ‘Facial Examination’ of Restraints: The Burger Court and the Per Se-Rule of Distinction”, Washington Law Review vol.1. (1984). Kurniawan, Faizal, “Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayan Minyak dan Gas Bumi Sebagai Aset Negara Melalui Instrumen Kontrak.” Perspektif Vol. Xviii No. 2. (2 Mei 2013). Krisanto, Yakub Adi. “Analisis pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU tentang Persekongkolan Tender.” Jurnal Hukum Bisnis Vol.24. Nomor (2005). Nikogosian, Vigen dan Tobias Veith, “Vertical Integration, Separation and Non-Price Discrimination,” An Empirical Analysis of German Electricity Markets for Residential Customers. ZEW Discussion Papers . No. 11-069 2011. Peraturan Perundang-Undangan : Indonesia. Peraturan Presiden Repbublik Indonesia tentangb Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, No. 54 Tahun 2010, LN No. 5 Tahun 2004, TLN No. 4355,. Indonesia. Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara. No. 19 Tahun 2003, LN No. 70 Tahun 2003. Indonesia. Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. No. 5 Tahun 1999, LN. No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817. Indonesia. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007,TLN No. 4756. Internet : Forum Pengadaan Barang dan Jasa, “Perbedaan Pengaturan Pengadaan Barang/Jasa di Swasta,” http://forum.pengadaan.org/phpbb/viewtopic.php?f=9&t=9546, diunduh tanggal 10 mei 2013. “Government Contracts Law : An Overview,” http://www.law.cornell.edu/wex/government_contracts, diunduh pada tanggal 20 April 2014 Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014 Hutagalung, Michael. “EPC?Engineering, Procurement, and “http://majarimagazine.com/2008/03/epc-apa-itu-epc-company/, Construction,” diunduh pada tanggal 10 Mei 2014. Investor Daily Indonesia, “Mendag: EKonomi Indonesia Terbesar ke-15 di Dunia.” http://www.investor.co.id/home/mendag-ekonomi-indonesia-terbesar-ke-15-didunia/63121, diunduh pada tanggal 2 Maret 2014. Tinjauan yuridis larangan..., Josua Septian, FH UI, 2014