TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN PANGKALAN MILITER ASING

advertisement
TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN PANGKALAN MILITER ASING
DI SUATU NEGARA
(Studi Terhadap kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang
Tahun 1960-2012)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
Handityo Basworo
E1A008147
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN PANGKALAN MILITER ASING
DI SUATU NEGARA
(Studi Terhadap kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa
Jepang Tahun 1960-2012)
disusun oleh :
HANDITYO BASWORO
E1A008147
Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal : 14 Februari 2013
Pembimbing I
Penguji I
Prof.Dr. Ade Maman Suherman, S.H.,
M.Sc.
NIP. 19670711 199512 1001
Pembimbing II
Penguji II
Aryuni Yuliatiningsih, S.H., M.H.
NIP. 19710702 199802 2001
Mengetahui, Dekan Fakultas
Hukum Universitas Jenderal
Soedirman
Dr.Angkasa, S.H., M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1001
Penguji III
H.Isplancius Ismail, S.H., M.Hum.
NIP. 19550404 199203 1001
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Handityo Basworo
NIM
: E1A008147
Judul Skripsi
: Tinjauan Yuridis Keberadaan Pangkalan Militer
Asing di Suatu Negara (Studi Terhadap Kasus
Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa
Jepang Tahun 1960-2012)
Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya
saya sendiri dan tidak menjiplak dari hasil karya orang lain ataupun dibuatkan oleh
orang lain.
Apabila di kemudian hari terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana
tersebut di atas, maka saya bersedia dikenai sanksi sesuai dengan aturan yang ada
dari pihak Fakultas.
Purwokerto, 14 Februari
2013
Handityo Basworo
NIM. E1A008147
PRAKATA
Assalamu`alaikum Wr. Wb.
Segala puji hanyalah bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Tinjauan
Yuridis Keberadaan Pangkalan Militer Asing di Suatu Negara (Studi Terhadap
Kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang Tahun 1960-2012).
Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar kesarjanaan pada fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai
pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga penulis dapat
meyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sebagai bentuk rasa syukur dengan segala
kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Angkasa, S.H., M.hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. P r o f . Dr. Ade Maman Suherman, S.H., M.Sc. selaku Ketua Bagian
Hukum Internasional, selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membantu dan membimbing penulis hingga
selesainya skripsi ini.
3. Aryuni Yuliantiningsih, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan arahan dalam akademis dan telah bersedia meluangkan
waktunya untuk membantu dan membimbing penulis hingga terselesainya
skripsi ini.
4. Bapak H.Isplancius Ismail, S.H., M.Hum. selaku Dosen Penguji dalam
seminar dan pendadaran yang telah memberikan masukan yang berharga.
5. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas dukungan moril dan materiil.
6. Nensi Wicita tercinta dan Adik tersayang Laras Bestari.
7. Saudara-saudaraku di ALSA Indonesia, ALSA LC Unsoed dan SAPMA
SATRIA , serta seluruh kakak dan senior yang selalu membimbing dan
memberikan ilmu yang tiada henti.
8. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak
demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Wassalamu`alaikum Wr. Wb.
Purwokerto, 14 Februari 2013
Handityo Basworo
E1A008147
Abstrak
Dengan kalahnya Jepang pada perang dunia ke II seharusnya dapat
mengakhiri keberadaan otoritas militer di pulau Okinawa, namun sekarang pulau
ini masih berada dalam penguasaan otoritas militer. United States Military Base of
Okinawa yang saat ini berada di wilayah tersebut, adalah otoritas militer asing
yang menguasai hampir 20% wilayah Prefektur Okinawa. Prefektur Okinawa
memiliki populasi sebesar 1.300.000 penduduk dan terdapat 35.000 lebih pasukan
Amerika Serikat yang ditempatkan di tiga pangkalan militer utama yaitu Yomitan
Airbase, Chatan Airbase dan Kadena Airbase.
Tujuan dari penelitian ini Untuk mengetahui pengaturan hukum
internasional yang mengatur keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di
negara lain khususnya di prefektur Okinawa Jepang dan untuk mengetahui
bagaimana sengketa yang timbul karena keberadaan pangkalan militer Amerika
Serikat di Okinawa. Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif
dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Metode penyajian
data mengggunakan uraian secara sistematis dan analisa kualitatif.
Keberadaan pangkalan militer asing di suatu negara didasarkan pada
perjajnjian bilateral yang disebut Perjanjian Pasukan Keamanan Security Of Force
Agreement SOFA, dan umumnya menetapkan kerangka kerja mengenai
keberadaan personil militer AS yang beroperasi di luar negeri. SOFA mengatur
mengenai bagaimana permasalahan yurisdiksi hukum nasional asing harus
diterapkan terhadap personel AS ketika berada di negara itu. Pada bulan April
2012 perundingan antara Amerika Serikat dan Jepang menghasilkan kesepakatan
untuk melakukan relokasi terhadap seluruh marinir Amerika Serikat secara
bertahap di Okinawa dan pemindahan pangkalan Futenma beserta seluruh
personilnya.
Abstract
With the defeat of Japan in World War II should be able to terminate the
existance of the military authorities on the island of Okinawa, but now the island
is still under the control of the military authorities. United States Military Base of
Okinawa who currently resides in the area, is a foreign military authority which
controls almost 20% of the Okinawa Prefecture. Okinawa Prefecture has a
population of 1.3 million inhabitants and there are 35,000 more U.S. troops
stationed in the three main military base Yomitan Airbase, Chatan and Kadena
Airbase.
The purpose of this study is to determine the base regulation of
international law governing the presence of U.S. military bases in other states
especially in Japan's Okinawa prefecture and to know how the dispute arising
from the presence of U.S. military bases in Okinawa. The type of study is a
normative juridical with the statute approach and case approach. The methods
used is a systematic description with the qualitative analysis.
The existance of foreign military bases in the receiving states is based on
bilateral agreement called Status Of Force Agreement (SOFA), and it generally
sets the framework about the existance of U.S. military personnel operating
abroad. SOFA governing how foreign national legal jurisdiction issues should be
applied against U.S. personnel while in the receiving states. In April 2012 talks
between the United States and Japan produce an agreement to relocate the entire
U.S. Marines in Okinawa and the gradual transfer of the Futenma base with all
personnel.
DAFTAR ISI
JUDUL ...................................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN ....................................................................
iii
PRAKATA ............................................................................................
iv
ABSTRAKSI ........................................................................................
vii
ABSTRACT .........................................................................................
viii
DAFTAR ISI .........................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1
B. Perumusan Masalah...........................................................................8
C. Tujuan Penelitian...............................................................................8
D. Kegunaan Penelitian..........................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Negara Sebagai Subjek Hukum Internasional
1.Syarat-syarat Negara...............................................................11
2.Hak dan Kewajiban Negara....................................................17
B. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Internasional
1. Pengertian dan Istilah Perjanjian Internasional......................20
2. Macam-macam Perjanjian Internasional................................29
3.Akibat hukum Perjanjian Internasional...................................32
.
C.Penyelesaiaan Sengketa Internasional Secara Damai
1.Aturan dan Prinsip Dasar Penyelesaiaan Sengketa secara Damai..34
2.Penyelesaiaan Sengketa Internasional secara Diplomatik..............40
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan............................................................................52
B. Spesifikasi Penelitian...........................................................................52
C. Lokasi Penelitian.................................................................................53
D. Jenis dan Sumber Bahan Hukum........................................................53
1. Bahan Hukum Primer...............................................................53
2. Bahan Hukum Sekunder..........................................................53
3. Bahan Hukum Tersier...............................................................54
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum..................................................54
F. Metode Penyajian Bahan Hukum........................................................54
G.Metode Analisis Bahan Hukum...........................................................54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Mengenai Keberadaan Pangkalan
Militer Asing di Suatu Negara...............................................................55
B. Penyelesaiaan Terhadap Kasus Keberadaan Pangkalan
Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang........................................72
BAB V PENUTUP
A. Simpulan.................................................................................................86
B. Saran.......................................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan instrumen utama masyarakat baik nasional maupun
internasional untuk melestarikan kebebasan maupun ketertiban dan gangguan,
baik oleh perorangan, golongan ketertiban, atau pemerintah.1 Unsur utama yang
dibutuhkan manusia dari hukum adalah ketertiban. Dengan terwujudnya
ketertiban, berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat akan
terpenuhi. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional
ini dibutuhkan hukum, guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam
setiap hubungan yang teratur.2
Negara sebagai subjek hukum internasional, tentunya mempunyai
karakteristik tersendiri. Karakteristik negara sebagai subjek hukum internasional
tersebut pertama kali muncul dalam Konvensi Montevideo Tahun 1933. Ditinjau
dari segi hukum internasional, karakteristik negara sebagai subjek hukum
internasional yang paling penting adalah kemampuan mengadakan hubungan
dengan negara lain. Hal ini karena kajian utama hukum internasional adalah
mempelajari hubungan-hubungan antara negara yang satu dengan negara yang
lain. Selain itu karakteristik ini juga merupakan karakteristik yang membedakan
negara (dalam arti yang sesungguhnya) dengan entitas-entitas lain yang lebih kecil
1
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,
Malang,2008, hal. 2.
2
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes Pengantar Hukum
Internasional,Alumni,Bandung,2003, hal. 13.
yang tidak mengurus hubungan-hubungan luar negerinya sendiri.
3
Hubungan
antara negara yang satu dengan yang lainnya ini tentunya terkait erat dengan hak
dan kewajiban negara-negara serta tanggung jawabnya sebagai salah satu pelaku
utama dalam kehidupan internasional.
Apabila mengingat hakekat negara sebagai subjek hukum internasional,
negara merupakan subjek utama dari hukum internasional baik ditinjau secara
historis maupun faktual. Secara historis yang pertama – tama merupakan subjek
hukum internasional adalah negara. Kelebihan negara sebagai subjek hukum
internasional dibandingkan dengan subjek hukum internasional lainnya adalah,
negara memiliki apa yang disebut sebagai kedaulatan atau sovereignty.
Kedaulatan yang artinya kekuasaan tertinggi, pada awalnya diartikan sebagai
kedaulatan dan keutuhan yang tidak dapat dipecah–pecah dan dibagi–bagi serta
tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain.4
Dengan berakhirnya perang dingin telah memberikan penurunan secara
perlahan atas jumlah pangkalan militer asing di berbagai negara di seluruh dunia.
Akan tetapi bersamaan dengan hal tersebut bermunculan pula negara-negara tuan
rumah baru yang menerima keberadaan militer asing dalam wilayah berdaulat
mereka. Penggunaan strategi baru ini adalah dengan menggunakan konsep
pengerahan pasukan dalam jumlah kecil dengan jumlah penyebaran yang merata
di seluruh wilayah-wilayah strategis. Dengan penggunaan strategi tersebut terjadi
perubahan pola penyebaran pasukan dengan menggunakan kelompok yang lebih
3
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh (1), Sinar Grafika, Jakarta,
2006, hal.128.
4
T.May Rudy, Hukum Internasional 1, Bandung : Refika Aditama,2006, hal.21.
kecil dan lebih menyebar, dimana fasilitas untuk pengumpulan data intelejen dan
pelatihan pasukan serta bantuan militer dapat dilakukan secara cepat dan terpadu.5
Seluruh fasilitas militer terpadu ini bertujuan untuk memberikan bantuan
dalam persiapan sebelum perang, ketika perang berlangsung dan setelah perang
selesai. Pangkalan militer ini yang kemudian dikatakan sebagai sebagai fasilitas
penjaga stabilitas perdamaiaan internasional, namun pada kenyataannya fasilitas
ini digunakan sebagai media untuk meningkatkan kekerasan dengan senjata atas
nama perdamaian6
Gambaran peran dan fungsi yang dimiliki oleh sebuah pangkalan militer
milik Amerika Serikat adalah sebagai berikut7:
- Sebagai rumah bagi 160.000 warga Amerika Serikat, termasuk prajurit, warga
sipil, personil militer dan staff diplomatik. Jumlah ini adalah jumlah standar
personil sebuah pangkalan militer baik pada saat perang ataupun okupasi sebuah
negara. Contohnya pangkalan militer Amerika Serikat di Hawai, Guam, Puerto
rico dan kwalajein Atoll; Pangkalan militer sebagai landasan pemberangkatan
bagi seluruh manuver operasi militer, Contohnya pemboman udara yang
dilakukan di Pakistan pesawat pembom diberangkatkan dari pangkalan militer
Diego Garcia. Pangkalan militer Manta Di Ekuador digunakan sebagai pusat
koordinasi operasi rahasia di kolombia dan pangkalan militer baik di Irak dan
Turki digunakan sebagai pusat kordinasi data intelejen militer strategis anti
intelejen atas Iran dan Syria; Sebagai tempat penyimpanan persenjataan dan
5
Van der Zejiden,Foreign Military Bases and The Global Campaign to Close Them a
Beginners Guide, hal.1.
6
Ibid, hal.2.
7
Ibid, hal.2.
sering digunakan sebagai fasilitas penyimpanan hulu ledak nuklir, sebagai fasilitas
uji coba senjata, termasuk uji coba senjata nuklir dan sebagai pusat pelatihan
militer terpadu bagi para prajurit, sebagai pusat operasi Intelejen World Wide
Network Echelon yang menyadap pembicaraan telepon, email dan segala bentuk
komunikasi yang digunakan masyarakat sipil; Sebagai fasilitas penjara,
penahanan musuh dan digunakan sebagai tempat penyiksaan tawanan untuk
mendapatkan informasi dan data intelejen.
Pangkalan militer adalah tulang punggung dari setiap operasi militer bagi
seluruh pasukan angkatan bersenjata, baik Amerika Serikat, NATO, dan Uni
Eropa. Pangkalan militer menyediakan fungsi sebagai sebuah alat utuk
menumbangkan suatu pemerintahan secara langsung dalam sebuah medan
pertempuran ataupun sebagai alat pemaksa dalam sebuah perundingan. Lebih dari
300 intervensi dan invasi luar negeri dilakukan oleh Amerika Serikat selama
seratus tahun terakhir dan hal tersebut dapat dimungkinkan hanya dengan
keberadaan pangkalan militer strategis milik Amerika Serikat untuk dapat
melancarkan serangan dan dukungan militer secara cepat.8
Sebagai contoh lain adalah bentuk penyerahan diri Belanda sebagai sekutu
Amerika Serikat dengan menyerahkan diri dan militernya untuk berada di bawah
komando U.S Military Command. Belanda kini menyediakan tujuh fasilitas
militer untuk dijadikan pangkalan militer bagi militer Amerika Serikat, termasuk
pangkalan Volkel yang memiliki fasilitas hulu ledak nuklir, dua lokasi untuk
angkatan udara Amerika Serikat, dua pangkalan angkatan darat Amerika di
8
Ibid, hal.3.
Schinggen dan Brunssum, dan dua pangkalan di Antillean yang hendak digunakan
untuk mengawasi peredaran narkotik di karibia. Dua bandara besar dan pelabuhan
europort yaitu Schiphol dan Rotterdam juga dijadikan fasilitas administratif
militer Amerika, hal ini tentunya memberikan kebebasan bagi militer Amerika
Serikat untuk melakukan pengiriman dan bongkar muatan barang tanpa harus
memberikan laporan dan persetujuan pada pemerintah Belanda.9
Perdamaian masih dapat dirasakan hingga di awal pecahnya perang dunia
ke II di prefektur Okinawa, walaupun pasukan militer Jepang tidak menduduki
ataupun di tempatkan di wilayah tersebut, penduduk wilayah Okinawa masih
dapat hidup secara damai dan berdampingan dengan pulau-pulau di wilayah Asia
lainnya. Hingga pada tahun 1944 ketika Jepang hampir di gerbang kekalahan
dalam perang dunia ke II, otoritas militer Jepang memutuskan untuk membawa
perang kedalam pulau ini dengan memindahkan armada perang Jepang dalam
skala besar dan menempatkan pasukan di wilayah pulau tersebut.
Dengan kalahnya Jepang pada perang dunia ke II seharusnya dapat
mengakhiri keberadaan otoritas militer di pulau Okinawa, namun sekarang pulau
ini masih berada dalam penguasaan otoritas militer. United States Military Base of
Okinawa yang saat ini berada di wilayah tersebut, adalah otoritas militer asing
yang menguasai hampir 20% wilayah Prefektur Okinawa. Prefektur Okinawa
memiliki populasi sebesar 1.300.000 penduduk dan terdapat 27.000 lebih pasukan
9
Ibid, hal.4-5.
Amerika Serikat yang ditempatkan di tiga pangkalan militer utama yaitu Yomitan
Airbase, Chatan Airbase dan Kadena Airbase.10
Pangkalan militer Amerika Serikat yang berada di tengah areal
pemukiman warga yang di dalamnya terdapat perumahan, sekolah–sekolah dan
rumah sakit telah menimbulkan banyak gangguan dan kerusakan di prefektur
Okinawa. Salah satu dari sekian kecelakaan yang terjadi adalah pada bulan April
1999, sebuah helikopter milik militer Amerika Serikat yang terbang dari Futenma
Base jatuh di daerah pantai dimana terdapat pembangkit listrik yang berlokasi di
dekat tempat terjatuhnya helikopter tersebut. Pada bulan Juni 1999 pesawat
tempur Harrier yang hendak lepas landas mengalami kegagalan mesin dan jatuh
terbakar di daerah sekitar perumahan penduduk.11
Tidak hanya ancaman yang berasal dari aktifitas dari pangkalan militer
Amerika Serikat saja yang menganggu, akan tetapi ancaman dari personil militer
Amerika Serikat yang juga turut membuat keberadaan pangkalan militer Amerika
Serikat di prefektur Okinawa semakin dikecam adalah perbuatan kriminal yang
dilakukan oleh anggota militer pangkalan militer Amerika Serikat. Pada bulan
September 1995 seorang siswi diculik dan diperkosa oleh tiga orang pasukan
militer Amerika Serikat. Kepolisian Okinawa meminta pada otoritas militer AS
untuk menyerahkan tiga orang tersangka tersebut kepada pihak kepolisian
Okinawa akan tetapi ditolak.12
10
Japanese Communist party Journal, US.Military Base Okinawa Problems, February
2000, hal.1.
11
Ibid, hal.5.
12
Ibid, hal.6.
Di daerah prefektur Okinawa kecelakaan–kecelakaan yang disebabkan
oleh alat-alat milter dan kendaraan militer milik pangkalan milter Amerika Serikat
sudah sering terjadi secara rutin, yang menjadi sebuah perhatian adalah letak dan
Keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat berada dekat dan diantara wilayah
padat penduduk, salah satu kecelakaan yang menyebabkan banyak korban adalah
jatuhnya pesawat jet yang berangkat dari pangkalan udara Kadena yang terbakar
dan jatuh di sebuah sekolah dasar yang kemudian membakar 17 rumah dan sebuah
pusat kegiatan warga. 11 Warga meninggal dunia dan 6 orang siswa Sekolah
dasar meninggal dunia dan 210 orang mengalami luka–luka.13
Warga prefektur Okinawa menginginkan kembalinya Okinawa menjadi
wilayah yang damai dan bebas dari segala aktifitas militer. Warga Okinawa telah
melalui banyak penderitaan pasca perang dunia ke II dan sampai saat ini masih
mengalami gangguan yang disebabkan aktifitas
yang berasal dari pangkalan
militer Amerika Serikat. Walaupun mediasi dan perundingan mengenai status
serta kondisi lingkungan yang diharapkan oleh warga Okinawa sudah sering
dilakukan akan tetapi dalam prakteknya kondisi ideal yang diharapkan warga
Okinawa belum dapat tercipta dan dilaksanakan oleh otoritas militer Amerika
Serikat di Okinawa.
Berdasarkan uraian diatas, melalui serangkaian pencarian data dan
penelitian, keberadaan pangkalan militer amerika serikat di negara lain, ditinjau
dari hukum internasional yang relevan. Maka penulis mengambil penulisan
hukum dengan judul “ Tinjauan Yuridis Keberadaan Pangkalan Militer Asing Di
13
Ibid, hal.6.
Suatu Negara (Studi kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang
Tahun 1960-2012) “.
B. Perumusan Masalah
Pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
1.Bagaimanakah pengaturan mengenai keberadaan pangkalan militer Asing di
suatu negara ?
2. Bagaimanakah penyelesaiaan kasus keberadaan pangkalan militer Amerika
Serikat di Okinawa Jepang ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional yang mengatur
keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di negara lain khusunya di
prefektur Okinawa Jepang
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul karena
keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa
D. Kegunaan Penelitian
1.
Kegunaan Teoritis
Untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan hukum
internasional pada umumnya berkaitan dengan teori kedaulatan dan prinsip
intervensi terhadap negara, serta kajian terhadap permasalahan riil yang terjadi di
dalam praktek pelaksanaan hubungan internasional antar negara dalam masalah di
bidang keamanan. Selain itu juga dapat menambah kepustakaan dan bahan
informasi ilmiah mengingat semakin pesatnya perkembangan keamanan dunia
secara global saat ini.
2.
Kegunaan Yuridis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan atau sebagai legal
basic dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum internasional yang berkaitan
mengenai kedaulatan negara dan intervensi yang terjadi pada suatu negara
dengan hadirnya suatu subjek internasional dalam wilayah kedulatannya.
3.
Kegunaan Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman dalam bidang
Hukum Internasional khususnya mengenai keberadaan pangkalan militer
asing di suatu negara.
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman dan acuan dalam penelitian
dan penyelesaiaan sengketa-sengketa internasional dalam bidang yang
sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Negara Sebagai Subjek Hukum Internasional
Saat ini perkembangan negara-negara dunia sudah melawati batas-batas
wilayah teritorial negara, sehingga perlu aturan yang jelas dan tegas dalam
bidang internasional. Hal tersebut bertujuan agar tercipta situasi yang kondusif
serta adanya kepastian hukum dalam bidang internasional.
Negara merupakan subjek utama hukum internasional. Beberapa sarjana
telah mengemukakan pendapatnya. mengenai definisi negara. Henry C. Black
mendefinisikan negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen
menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum
yang melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka
dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya,
mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan
internasional dengan masyarakat internasional lainnya.14
Subjek hukum internasional dapat diartikan sebagai pemegang hak dan
kewajiban menurut hukum internasional. Adapun subjek hukum internasional
tersebut antara lain :15
a. Negara;
b. Tahta Suci;
14
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika
Aditama, Bandung, 2006, hal.2.
15
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal.
58-59.
c. Palang Merah Internasional;
d. Organisasi Internasional;
e. Orang Perorangan ( individu );
f. Pemberontak dan Pihak Dalam Sengketa (Belligerent);
g.Organisasi
Pembebasan
atau
Bangsa-Bangsa
yang
sedang
memperjuangkan haknya;
h. Wilayah-Wilayah Perwalian.
a.
Syarat-syarat negara
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevidio 1933 mengenai Hak-hak dan
Kewajiban-Kewajiban Negara (Montevidio (Pan American) Convention on
Rights and Duties of States of 1933) menjelaskan karakteristik negara yang
merupakan subjek hukum internasional adalah sebagai berikut :16
Negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki syaratsyarat berikut :
1. Penduduk yang permanen.
Penduduk merupakan kumpulan individu-individu yang terdiri
dari dua kelamin tanpa memandang suku, bahasa, agama, dan
kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat dan yang terikat dalam
suatu negara melalui hubungan yuridik dan politik yang diwujudkan
dalam bentuk kewarganegaraan. Penduduk merupakan unsur pokok bagi
pembentukan suatu negara. Suatu pulau atau suatu wilayah tanpa
16
J.G. Starke, Op.Cit, hal.127.
penduduk tidak mungkin menjadi suatu negara.17 Syarat penting untuk
unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus terorganisir
dengan baik (organised population). Sebab sulit dibayangkan, suatu
negara dengan pemerintahan yang terorganisir dengan baik hidup
berdampingan dengan masyarakat disorganised.18
2. Wilayah yang Tetap.
Wilayah yang tetap adalah suatu wilayah yang dimukimi oleh
penduduk atau rakyat dari negara itu. Agar wilayah itu dapat dikatakan
tetap atau pasti sudah tentu harus jelas batas-batasnya.19 Wilayah suatu
negara terdiri dari daratan, lautan, dan udara diatasnya.20
3.
Pemerintah.
Sebagai suatu person yang yuridik, negara memerlukan
sejumlah organ untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya.
Lauterpacht menyatakan bahwa adanya unsur pemerintah merupakan
syarat terpenting untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut
ternyata secara hukum atau secara faktanya menjadi negara boneka atau
negara satelit dari suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat
digolongkan menjadi negara.21
4. Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain.
17
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam era
Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2005, hal.17.
18
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, hal. 3.
19
I Wayan Parthiana, Op.Cit., hal.64.
20
Boer Mauna, Op.Cit., hal.21.
21
Huala Adolf, Op.Cit., hal.5.
Untuk unsur keempat Oppeenheim-Lauterpacht menggunakan
kalimat pemerintah yang berdaulat (sovereign). Adapaun yang dimaksud
dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang
merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan
dalam arti sempit berarti kemerdekaan yang sepenuhnya, baik kedalam
maupun keluar batas-batas negeri.22
Dari keempat unsur diatas, unsur keempat yang paling penting
berdasarkan hukum internasional. Unsur ini pula yang membedakan negara
dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota federasi atau
protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar negerinya
dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota masyarakat
internasional yang mandiri.23
Sebagai subjek hukum yang paling penting, negara memiliki kelebihan
dibandingkan dengan subjek hukum internasional yang lain. Kelebihan
negara sebagai subjek hukum internasional dibandingkan dengan subjek
hukum internasional yang lainnya adalah negara memiliki kedaulatan atau
sovereignty. Suatu negara yang berdaulat tetap tunduk pada hukum
internasional maupun tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan
negara lainnya. Manisfestasi dari kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi
mengandung dua sisi yaitu sisi intern dan sisi ekstern. Sisi intern berupa
kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk mengatur masalah
intern atau masalah dalam negerinya. Sedangkan sisi ekstern, berupa
22
23
Ibid, hal.7.
J.G. Starke, Op.Cit, hal.92.
kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan negara
lain atau dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya.24
Pengertian negara tidak lepas dari permasalahan kedaulatan yang
dimiliki oleh suatu negara. Kedaulatan merupakan salah satu prinsip dasar
bagi terciptanya hubungan internasional yang damai. Yang dimaksud dengan
kedaulatan atas wilayah adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara untuk
melaksanakan kewenangannya sebatas dalam wilayah-wilayah yang telah
menjadi bagian dari kekuasaannya.25 Sedangkan kedaulatan teritorial dapat
diartikan sebagai kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam
melaksanakan yurisdiksi eksekutif di wilayahnya.26
Sesuai dengan konsepsi internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek
utama, yaitu :27
1.
Aspek ekstern kedaulatan.
Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk
secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau
kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan, atau pengawasan
dari negara lain.
2.
Aspek intern kedaulatan.
Aspek intern kedaulatan adalah hak atau wewenang eksklusif
suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja
24
I Wayan Parthiana, Op.Cit., hal.60.
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit, hal.169.
26
Huala Adolf, Op.Cit, hal.99.
27
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op Cit, hal.110-111.
25
lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang
yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.
3.
Aspek teritorial kedaulatan.
Aspek teritorial kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan eksklusif yang
dimiliki negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah
tersebut. Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan
ataupun kewenangan negara untuk mengatur masalah intern maupun eksternnya.
Dengan kata lain, dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir jurisdiksi
negara.28 Jurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap
orang, benda, atau peristiwa (hukum).29 Jika jurisdiksi dikaitkan dengan negara
maka jurisdiksi negara berarti kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara
untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enforce) hukum yang
dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri.30
Menurut Anthony Csabafi, F.A.Mann dalam bukunya Studies International
Law menyatakan sebagai berikut :31When public international lawyers pose the
problem of jurisdiction, they have in mind the state’s right under international
law to regulate conduct in matters not exclusively of domestic concern.32
Berdasarkan definisi tersebut, unsur-unsur dari negara sebagai berikut :33
a.
28
Hak, kekuasaan atau kewenangan.
I Wayan Parthiana, Op.Cit., Pengantar..., hal.295.
Huala Adolf, Op.Cit., hal.183.
30
I Wayan Partiana, Op.Cit, hal.293.
31
Ibid, hal.296.
32
Jika diterjemahkan dalam terjemahan bebas menjadi sebagai berikut : Apabila para ahli
hukum internasional berhadapan dengan masalah yurisdiksi, dalam pikiran mereka terbayang atas
hak suatu negara berdasarkan hukum internasional untuk mengatur perilaku yang berkenan dengan
masalah-masalah yang tidak secara eksklusif merupakan maslah dalam negeri.
33
Ibid., hal.297.
29
Dengan hak, kekuasaan, dan kewenangan suatu negara dapat berbuat
atau melakukan sesuatu, yang sudah tentu pula harus berdasarkan atas
hukum yaitu hukum internasional.
b.
Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
Hak, kekuasaan dan kewenangan untuk melakukan sesuatu dalam
hal ini adalah untuk mengatur atau mempengaruhi, didalamnya mencakup
membuat atau menetapkan peraturan (legislatif), melaksanakan atau
menerapkan peraturan yang telah dibuat (eksekutif), memaksakan,
mengenakan sanksi atau mengadili dan menghukum pihak yang melanggar
peraturan tersebut (yudikatif).
c.
Objek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, benda).
Hak negara untuk mengatur ditentukan terhadap suatu objek yang
memang dapat ditundukan pada peraturan yang dibuat, dilaksanakan, dan
dipaksakan oleh negara tersebut. Objek tersebut dapat berbentuk peristiwa,
perilaku, masalah, orang, benda, ataupun perpaduan antara satu dengan
lainnya.
d.
Tidak semata-mata masalah dalam negeri (not exclusively of domestic
concern).
Objek yang tunduk pada peraturan tersebut mengandung aspek
internasional. Aspek internasional inilah yang menjadi ciri yang
menunjukan bahwa hak, kekuasaan, dan kewenangan untuk mengatur
objek itu tidak berdasarkan pada hukum nasional melainkan pada hukum
internasional.
e.
Hukum internasional (sebagai dasar landasannya).
Hak, kekuasaan dan kewenangan negara untuk mengatur objek yang
tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri atau domestik itu,
adalah berdasarkan pada hukum internasional. Hukum internasionallah
yang memberikan hak, kekuasaan dan kewenangan pada negara tersebut
untuk mengatur objek yang semata-mata bukan merupakan masalah
domestik itu. Demikian pula, hukum internasional yang membatasinya.
Berbicara masalah negara, tidak dapat lepas dari pembahasan mengenai
hak dan kewajiban negara itu sendiri. Rumusan tentang hak dan kewajiban
negara hanya terdapat pada rancangan Deklarasi tentang Hak dan Kewajiban
Negara-Negara (Declaration of The Rights and Duties of Nations) yang disusun
oleh Komisi Hukum Internasional PBB pada tahun 1949. Prinsip-prinsip
mengenai hak dan kewajiban negara dalam rancangan tersebut adalah :34
a) Hak-Hak Negara
1. Hak atas kemerdekaan (Pasal 1)
2. Hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap, orang, benda dan
peristiwa hukum yang berada di dalam wilayahnya (Pasal 2)
3. Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan
Negara-negara lain (Pasal 5), dan
4. Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal
12).
b) Kewajiban Negara
1. Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalahmasalah yang terjadi di Negara lain (Pasal 3)
2. Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di Negara
lain (Pasal 4)
3. Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di
wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia (Pasal
6)
34
Ibid, hal.113.
4.
Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan
perdamaian dan keamanan internasional ( Pasal 7)
5. Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8)
6. Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman
senjata (Pasal 9)
7. Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya Pasal 9
8. Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh
melalui cara-cara kekerasan (Pasal 12)
9. Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan
itikad baik (Pasal 13)
10. Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan Negara-negara
lain sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14).
Menurut Sugeng Istanto dalam bukunya menyebutkan, Sebagai subjek
hukum internasional, negara memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh
hukum internasional. Hak dan Kewajiban negara dapat dibedakan menjadi :35
1) Hak dan Kewajiban Negara yang Berhubungan Dengan Kedudukannya
Terhadap Negara Lain.
Hak-hak negara yang berhubungan dengan kedudukan negara
tersebut terhadap negara lain yang sering diutarakan adalah hak
kemerdekaan, hak kesederajatan, dan hak untuk mempertahankan diri.
Adapun kewajiban negara yang berhubungan dengan kedudukan negara
tersebut terhadap negara lain yang sering diutarakan adalah tidak
melakukan perang, melaksanakan perjanjian internasional dengan iktikad
baik dan tidak mencampuri urusan negara lain.
2) Hak dan Kewajiban Negara Atas Wilayah.
Salah satu kualifikasi yang harus dipenuhi negara sebagai subjek
hukum internasional adalah wilayah tertentu. Negara sebagai organisasi
35
Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 2010, hal.43-63.
kekuasaan menguasai wilayah tersebut. Di wilayah negara tersebut
memegang kekuasaan kenegaraan yang tertinggi, yakni hak melakukan
kedaulatan wilayah. Dalam wilayah itu negara melaksanakan fungsi
kenegaraan dengan mengecualikan negara lain. Wilayah negara dapat
dibedakan antara daratan, lautan, dan udara.
3) Hak dan Kewajiban Negara Atas Orang.
Hak dan kewajiban negara atas orang pada hakikatnya ditentukan
oleh wilayah negara tersebut dan kewarganegaraan yang bersangkutan.
Semua orang yang ada dalam wilayah suatu negara, baik warga negaranya
sendiri maupun warga negara asing, harus tunduk pada negara itu. Mereka
harus tunduk pada kekuasaan negara tersebut. Mereka harus mentaati
hukum negara itu. Pada prinsipnya, bagi semua warga negara berlaku
semua hukum positif yang berlaku di negara tersebut dengan beberapa
pengecualian misalnya mereka tidak mempunyai hak suara dalam
pemilihan umum, mereka tidak berhak menduduki jabatan tertentu, mereka
yang kekebalan diplomatik bebas dari pungutan pajak dan bea.
4) Hak dan Kewajiban Negara Atas Benda.
Semua benda yang ada di wilayah suatu negara tunduk pada
kekuasaan hukum negara tersebut. Hak dan kewajiban negara atas benda
itu terutama berlaku bagi benda-benda yang ada di wilayahnya. Kekuasaan
dan hukum negara itu juga berlaku bagi benda-benda yang masih ada
hubungannya dengan negara itu namun berada di negara lain. Ketentuan
ini, mutatis mutandis juga berlaku bagi benda-benda yang ada di negara
tersebut. Dengan demikian hukum internasional membatasi kekuasaan dan
hukum negara itu terhadap benda yang ada hubungannya dengan negara
lain. Sampai batas-batas tertentu bagi benda-benda yang ada hubungannya
dengan negara lain tunduk pada kekuasaan dan hukum negara lain itu.
5) Hak dan Kewajiban Negara Atas Kepentingan Ekonomi.
Kepentingan ekonomi ialah kepentingan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan jasmani kehidupan manusia. Kepentingan itu
mencakup usaha, sarana, dan benda yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan itu. Negara modern mengatur dan melindungi kepentingan
ekonomi suatu negaranya. Namun karena kehidupan ekonomi suatu negara
tidak dapat lepas dari kehidupan negara lain timbulah, bermacam-macam
perjanjian internasional yang mengatur ekonomi internasional.
2. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Internasional
A. Pengertian dan Istilah Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut juga
dengan persetujuan, ataupun konvensi, memiliki pengertian:36 Kata sepakat
antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek
atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum
atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.
Berdasarkan pengertian tersebut di dapat unsur-unsur perjanjian
internasional, yaitu kata sepakat, subjek hukum internasional, dan objek
perjanjian. Mengenai subjek hukum internasional dalam pengertian tersebut
36
hal.12.
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2002,
tidak dikatakan secara tegas siapa saja yang dapat menjadi pihak dalam
perjanjian. Oleh karena itu, saat ini tidak semua subjek hukum internasional
dapat menjadi pihak perjanjian internasional. Hanya negara, tahta suci, dan
organisasi internasional (tidak seluruhnya), kaum belligerensi, bangsa yang
sedang memperjuangkan hak-haknya yang dapat berkedudukan sebagai
pihak dalam perjanjian internasional.37 Selain itu, pengertian tersebut tidak
secara tegas menyebutkan bentuk perjanjian internasional yang tidak
tertulis maupun perjanjian internasional tertulis. Berdasarkan alasan
tersebut, maka dapat dirumuskan perjanjian internasional dalam ruang
lingkup yang lebih sempit,38 yaitu: Kata sepakat antara dua atau lebih
subjek hukum internasional (negara, tahta suci, kelompok pembebasan,
organisasi internasional) mengenai suatu objek tertentu yang dirumuskan
secara tertulis dan tunduk pada atau yang diatur oleh hukum internasional.
Pengertian perjanjian internasional tersebut menjadi lebih sempit
dengan memberikan batasan mengenai subjek hukum internasional dan
bentuk perjanjian. Pengertian tersebut menyatakan secara tegas subjek
hukum internasional yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian. Subjek
hukum internasional tersebut adalah negara, tahta suci, kelompok
pembebasan, organisasi internasional. Demikian pula bentuk perjanjian
yang disebutkan dalam pengertian ini adalah bentuk tertulis.
Organisasi internasional dapat juga sebagai pihak dalam suatu
perjanjian internasional sehingga akan lebih mudah dipahami jika
37
38
Ibid, hal.18.
Ibid, hal.13.
pengertian perjanjian internasional dibagai dalam dua macam yaitu
pengertian perjanjian internasional antarnegara yang berbeda serta
pengertian
perjanjian
internasional
antara
negara
dan
organisasi
internasional atau antarorganisasi internasional.
Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1969 tentang Hukum
Perjanjian Internasional memberikan pengertian perjanjian internasional
antarnegara, yaitu:39 Perjanjian artinya. Suatu persetujuan internasional
yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur
oleh hukum internasional baik yang berupa satu instrument tunggal atau
berupa dua atau lebih instrument yang saling berkaitan tanpa memandang
apapun juga namanya.
Sedangkan Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1986 tentang
Perjanjian Antara Negara dan Organisasi Internasional dan Perjanjian
antara Organisasi Internasional dan Organisai Internasional40 memberikan
pengertian
perjanjian
internasional
antara
negara
dan
organisasi
internasional dan antarorganiasi internasional.
Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan internasional
yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam
bentuk tertulis:
39
Isi Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional:
Treaty means an international agreement concluded between States in written from and governed
by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related
instrument and whatever it’s particular designation.
40
Isi Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian antara Negara dan
Organisasi Internasional dan Perjanjian antara Organisasi Internasional dan Organisasi
Internasional: Treaty means an international agreement governed by international law and
concluded in written from:
(i) Between one or more States and one or more international organization; or
(ii) Between international organizations, whether that agreement is embodied in a single
instrument or in two or more related instrument and whatever particular designation.
(i) Antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi
internasional; atau
(ii) Sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa
satu instrument atau lebih dari satu instrument yang saling
berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya.
Kedua pengertian tersebut memiliki unsur yang sama dengan
pengertian perjanjian internasional sebelumnya. Namun demikian, pada
kedua pengertian terakhir, ruang lingkup perjanjiannya menjadi lebih
sempit, dengan memisahkan subjek hukum yang dapat menjadi peserta
dalam perjanjian internasional.
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dijabarkan beberapa
unsur yang harus dipenuhi oleh suatu perjanjian agar dapat disebut sebagai
perjanjian internasional, yaitu:
1. Kata sepakat
Kata sepakat merupakan unsur yang esensial dari perjanjian
internasional. Tanpa kata sepakat antara para pihak, maka tidak akan
ada perjanjian. Kata sepakat inilah yang kemudian dituangkan ke
dalam pasal-pasal perjanjian.41
2. Subjek-subjek hukum
Subjek
hukum
yang
dimaksud
adalah
subjek
hukum
internasional yang terikat pada perjanjian, antara lain negara
(termasuk negara bagian, sepanjang konstitusi negara federal yang
bersangkutan memungkinkan hal tersebut), tahta suci, organisasi
internasional,
41
kaum
belligerensi,
I Wayan Parthiana, Op.Cit, hal. 16.
dan
bangsa
yang
sedang
memperjuangkan haknya. Pada perjanjian internasional yang bersifat
terbuka
dapat
dimungkinkan
bahwa
pihak
yang
melakukan
perundingan belum tentu menjadi peserta dalam perjanjian tersebut,
sedangkan pihak yang tidak terlibat dalam proses perundingan
kemudian menjadi peserta perjanjian. Situasi ini seringkali terjadi
tatkala pihak yang melakukan perundingan kemudian menyatakan
sikap untuk tidak terikat pada persetujuan tersebut.42
3. Berbentuk Tertulis
Bentuk tertulis merupakan perwujudan dari kata sepakat yang
otentik dan mengikat para pihak, dengan dirumuskan dalam bahasa
dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang
bersangkutan. Melalui bentuk tertulis, akan menjamin adanya
ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak dan pihak
ketiga yang mungkin pada suatu hari akan terikat pada perjanjian
tersebut.43
4. Objek tertentu
Objek dari suatu perjanjian internasional adalah objek atau hal
tertentu yang diatur di dalamnya. Setiap objek itu secara langsung
menjadi nama dari perjanjian tersebut.
5. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional
Yang dimaksud adalah baik hukum internasional pada
umumnya maupun hukum internasional pada khususnya (hukum
42
43
Ibid,
Ibid, hal.17.
Diplomatik, Hukum Laut Internasional, dan sebagainya). Secara
umum, suatu perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak
dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian
tersebut. Demikian pula sejak diadakannya perundingan hingga
dinyatakannya persetujuan terhadap perjanjian tersebut, seluruhnya
tunduk pada hukum perjanjian internasional.44
Perjanjian internasional memiliki beberapa istilah dalam bahasa
Inggris, seperti treaty, convention, agreement, declaration, charter,
covenant, statute, protocol, pact, modus Vivendi, Concordat. Istilah
perjanjian internasional dalam bahasa Indonesia juga tidak jauh berbeda
dengan istilah dalam bahasa Inggris. Banyaknya istilah perjanjian
internasional tersebut sebenarnya tidak memberikan perbedaan yang
mencolok antara perjanjian internasional yang satu dengan yang lain.
Pengertian istilah-istilah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Traktat (treaty)
Traktat atau treaty merupakan istilah yang sudah umum
dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional antara negaranegara yang substansinya tergolong penting bagi para pihak.
Kebiasaan masa lampau cenderung menggunakan istilah treaty untuk
perjanjian bilateral.45
2. Konvensi (Convention)
44
Ibid, hal.15.
Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian internasional, Pengertian, Status Hukum dan
Ratifikasi, Alumni, Bandung, 2011, hal.58.
45
Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur
hal-hal penting yang bersifat multilateral, baik yang diprakarsai oleh
negara-negara maupun organisasi internasional. Istilah ini biasanya
digunakan untuk perjanjian multilateral yang mengatur mengenai
masalah yang besar dan penting di mana kaidah hukumnya berlaku
secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum.46
3. Deklarasi (Declaration)
Deklarasi diartikan sebagai pernyataan atau pengumuman.
Deklarasi digunakan untuk menunjuk pada kesepakatan antara para
pihak yang bersifat umum dan berisi mengenai hal-hal yang pokok
saja. J.G. Starke membedakan deklarasi ke dalam empat macam, yaitu
deklarasi sebagai perjanjian dalam arti sebenarnya, instrumen tidak
formal yang dilampirkan pada suatu perjanjian sebagai penjelasan,
persetujuan informal yang berhubungan dengan masalah-masalah
yang tidak begitu penting, deklarasi sebagai resolusi yang dikeluarkan
dalam suatu konferensi diplomatik yang berisi beberapa pernyataan
tentang beberapa prinsip yang harus dihormati. 47
4. Statuta (Statute)
Statuta merupakan perjanjian internasional yang dijadikan
sebagai konstitusi suatu organisasi internasional. Sebagai contoh
46
47
Ibid.
I Wayan Parthiana, Op.Cit, hal.29-30.
adalah Mahkamah Internasional Permanen yang menyebut piagamnya
dengan Statue of Permanent Court of International Justice. 48
5. Piagam (Charter)
Istilah
piagam
digunakan
sebagai
instrumen
perjanjian
internasional yang dijadikan sebagai dasar dari suatu organisasi
internasional. Organisasi internasional yang menggunakan istilah
piagam untuk konstitusinya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dalam Charter of The United Nations. 49
6. Kovenan (Covenant)
Kovenan diartikan sama dengan statuta dan piagam yang
digunakan untuk menunjuk pada perjanjian internasional yang
merupakan konstitusi dari suatu organisasi internasional. Istilah ini
juga digunakan dalam perjanjian internasional pada umumnya, seperti
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tanggal 16
Desember 1966 (International Covenant on Civil and Political Rights
of December 16, 1966). 50
7. Persetujuan (Agreement)
Persetujuan merupakan perjanjian intenrasional yang ditinjau
dari segi isinya yang bersifat teknis dan administratif, serta memiliki
ruang lingkup yang kecil bila dibandingkan dengan traktat ataupun
konvensi. 51
48
Ibid, hal.30-31.
Eddy Pratomo, Op.Cit, hal.58.
50
Ibid.
51
I Wayan Parthiana, Op.Cit, hal.32.
49
8. Pakta (Pact)
Pakta digunakan dalam perjanjian internasional di bidang
militer, pertahanan, dan keamanan. Seperti pada organisasi kerjasama
pertahanan dan keamanan Atlantik Utara. 52
9. Protokol (Protocol)
Menurut J.G Starke menyatakan protokol sebagai istilah dalam
perjanjian internasional yang kurang formal jika dibandingkan dengan
istilah traktat maupun konvensi.53 Selanjutnya J.G Starke juga
mengklasifikasikan penggunaan istilah protokol ke dalam empat
golongan, yaitu:
a) Protokol sebagai instrumen tambahan dari suatu konvensi yang
dibuat oleh negara-negara yang melakukan perundingan.
b) Protokol sebagai instrumen pembantu dalam konvensi dan
berkedudukan sendiri.
c) Protokol sebagai perjanjian yang memiliki sifat dan derajat sama
seperti konvensi.
d) Protokol sebagai rekaman dari saling pengertian antara para
pihak mengenai masalah tertentu.
10. Modus vivendi
Istilah ini biasa digunakan sebagai instrumen kesepakatan yang
bersifat sementara dan informal. Pada umumnya para pihak akan
52
53
Ibid, hal.33.
Ibid, hal.34-35.
menindaklanjuti dengan bentuk perjanjian yang lebih formal dan
bersifat permanen.54
11. Concordat
Concordat adalah perjanjian yang dibuat antara tahta suci
dengan negara lain di bidang keagamaan.55
B. Macam-Macam Perjanjian Internasional
Bentuk perjanjian internasional secara tertulis telah dikemukakan di
atas, dapat ditinjau dari berbagai sudut pendekatan, antara lain:
1. Perjanjian internasional ditinjau dari segi jumlah negara yang menjadi
peserta:
a. Perjanjian bilateral, di mana yang menjadi peserta perjanjian hanya
dua pihak atau dua negara saja;
b. Perjanjian multilateral, di mana yang menjadi peserta perjanjian
lebih dari dua pihak atau dua negara.
2. Perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang diberikan
kepada negara-negara untuk menjadi peserta dalam perjanjian
internasional:
a. Perjanjian internasional khusus atau perjanjian internasional
tertutup,di mana kaidah hukum dalam perjanjian internasional
tersebut khusus berlaku bagi para pihak yang menjadi peserta. Hal
ini dikarenakan perjanjian internasional tersebut hanya mengatur
kepentingan dari para pihak saja. Contoh perjanjian internasional
54
55
Eddy Pratomo, Op.Cit, hal.60.
Ibid, hal.61.
tertutup ini yaitu perjanjian mengenai garis batas wilayah dan garis
batas landas kontinen.
b. Perjanjian internasional terbuka, di mana perjanjian tersebut terbuka
bagai negara-negara yang pada awalnya tidak terlibat dalam proses
perundingan perjanjian. Jika terdapat negara-negara yang setelah
diberlakukannya perjanjian ini ingin bergabung, maka dapat
dilakukan melalui pernyataan persetujuan untuk terikat (consent to
be bound). Keterbukaan dari perjanjian ini tergantung pada maksud
dan tujuan, ruang lingkup kawasan berlakunya, dan sifat dari kaidah
hukum yang terkandung di dalamnya.
3. Perjanjian internasional ditinjau dari kaidah hukumnya:
a. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang
khusus berlaku bagi para pihak yang terikat. Perjanjian seperti ini
berlaku hanya sebatas pada para pihak yang melakukan perundingan
dan menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian
tersebut. Sehingga, kaidah hukum yang muncul hanya mengikat
terhadap para pihak dalam perjanjian saja. Bentuk perjanjian ini
antara lain perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral terbatas.
Kaidah hukum yang terdapat dalam perjanjian tersebut kemudian
dapat berkembang menjadi kaidah hukum yang berlaku umum jika
substansi dari perjanjian khusus ini diikuti oleh negara lain.
b. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang
berlaku dalam suatu kawasan tertentu. Perjanjian seperti ini dapat
dikatakan sebagai perjanjian internasional terbuka. Hanya saja sifat
terbuka dari perjanjian ini berlaku bagi negara-negara yang berada
dalam suatu kawasan tertentu. Sementara untuk negara-negara di
luar kawasan tersebut tidak dimungkinkan untuk menjadi pihak
dalam perjanjian. Perjanjian seperti ini lazim disebut sebagai
perjanjian internasional regional. Sebagai contoh adalah American
Convention on Human Rights (Pact of San Jose) of November 22,
1969.
c. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang
berlaku umum. Perjanjian seperti ini, pada umumnya berkenaan
dengan masalah kepentingan seluruh negara di dunia, di mana setiap
negara tidak memandang letak geografis masing-masing negara
sebagai pihak dalam perjanjian. Dengan banyaknya jumlah negara
yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, maka besar
kemungkinan jika perjanjian tersebut kemudian menjadi kaidah
hukum yang berlaku umum. Perjanjian dapat pula dikatakan sebagai
perjanjian yang bersifat terbuka karena baik dari jumlah maupun
letak geografis negara yang akan menjadi peserta perjanjian tidak
dibatasi. Sebagai contoh adalah Konvensi Hukum Laut PBB tahun
1982.
C. Akibat Hukum Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional sebagai sumber utama hukum internasional
mengeikat para pihak.56 Perjanjian internasional menganut prinsip Pacta
Sunt Servanda yang menyebutkan bahwa perjanjian internasional
mengikat para pihak. Negara peserta selanjutnya menerapkan ketentuanketentuan dalam perjanjian internasional ke dalam peraturan perundangundangan. Perjanjian tersebut kemudian tidak hanya akan menimbulkan
akibat kepada negara peserta perjanjian, tetapi juga kepada negara lain.
Dengan terikatnya negara peserta terhadap perjanjian internasional,
maka
negara
peserta
memilliki
kewajiban
untuk
mentaati
dan
menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut. Dari segi intern, setelah
sebuah perjanjian disetujui, maka perjanjian tersebut dibentuk ke dalam
instrumen hukum nasional melalui undang-undang. Pada tahap ini, organ
eksekutif negara peserta yang melaksanakannya dengan didasarkan pada
prosedur negaranya.
Disamping perjanjian internasional berakibat pada negara peserta,
juga dapat berakibat pada negara lain. Prinsip Pacta Tertiis Nex Nocent
Nec Prosunt menyebutkan bahwa perjanjian tidak dapat menimbulkan
kewajiban-kewajiban dan memberikan hak kepada negara ketiga. Dengan
kata lain suatu negara tidak dapat menuntut hak dari suatu ketentuan
perjanjian internasional, jika negara tersebut bukan peserta dari perjanjian
internasional tersebut. Terhadap prinsip ini terdapat tiga pengecualian,
56
Boer Mauna, Op.Cit, hal.82.
yaitu perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga atas
persetujuan meraka, perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara
ketiga, dan perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga
tanpa persetujuan mereka.57 Perjanjian yang dapat menimbulkan hak dan
kewajiban terhadap negara ketiga atas persetujuan mereka sangat jarang
terjadi. Pada Pasal 35 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
menyebutkan bahwa suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang
berasal dari ketentuan suatu perjanjian yang dibuat dengan sengaja oleh
negara-negara pihak dan negara ketiga tadi menerima kewajiban tersebut
dalam berbentuk tertulis.58
Sementara perjanjian yang memberikan hak kepada negara ketiga
dapat segera yang menikmati keuntungan dari negara lain, maka akan
dinikmati pula oleh negara ketiga. Pada perjanjian yang menimbulkan
akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan negara ketiga dapat dilihat
dalam Pasal 2 angka 6 Piagam PBB yang secara garis besar menyebutkan
bahwa PBB harus memastikan bahwa negara-negara yang bukan anggota
PBB dapat bertindak sesuai dengan asas PBB sepanjang diperlukan demi
perdamaian dan keamanan internasional. Melalui pasal ini, PBB
memberikan kewajiban kepada negara di luar negara anggota PBB
supaya turut serta menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
57
58
Ibid, hal.144.
Ibid, hal.145.
3. Penyelesaiaan Sengketa Internasional Secara Damai
A. Aturan dan Prinsip Dasar Penyelesaiaan Sengketa Secara Damai
Salah satu tujuan didirikannya PBB adalah untuk memelihara
perdamaian dan keamanan interasional. Hal ini tampak pada Pasal 1 ayat
(1) piagam PBB, Tersirat dalam ketentuan pasal tersebut fungsi dari badan
dunia ini dan negara-negara anggotanya, yaitu untuk bersama-sama
menciptakan
dan
mendorong
penyelesaian
sengketa
internasional.
Khususnya terhadap negara-negara anggotanya, Pasal 2 ayat (3) piagam
memberikan pengaturan lebih lanjut guna melaksanakan dan mencapai
tujuan di atas. Pasal ini mewajibkan semua negara anggotanya untuk
menempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara damai. 59 Pasal 2 ayat
(3) yang sangat penting ini menyatakan: All members shall settle their
international disputes by peaceful means in such a manner that international
peace and security are not endangered.
Kata shall (harus) dalam kalimat di atas merupakan salah satu kata
kunci yang mewajibkan negara-negara untuk menempuh cara damai dalam
menyelesaikan sengketanya. Kewajiban lainnya yang terdapat dalam
piagam tercantum dalam Pasal 2 ayat (4). Pasal ini menyatakan bahwa
dalam hubungan internasional, semua negara harus menahan diri dari
penggunaan cara-cara kekerasan, yaitu ancaman dan penggunaan senjata
terhadap negara lain atau cara-cara yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan
PBB.
59
hal.12.
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,
Perlu ditekankan dari dua kewajiban yang tertuang dalam kedua ayat
di atas, yaitu kewajiban menahan diri menggunakan cara kekerasan atau
ancaman kekerasan. Kedua kewajiban tersebut harus dipandang berdiri
sendiri.
Piagam
PBB
tidak
menyatakan
kewajiban
negara-negara
berdasarkan Pasal 2 ayat (3) untuk menahan diri dari penggunaan
kekerasan atau ancaman kekerasan sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 2
ayat (4). Dengan kata lain, kewajiban yang terdapat dalam ayat (3)
bukanlah merupakan akibat atau konsekuensi logis dari kewajiban yang
terdapat dalam ayat (4). 60
Sebaliknya,
piagam
menetapkan
kewajiban
terhadap
anggota-
anggotanya untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai sebagai
suatu aturan yang berdiri sendiri, dan sebagai aturan dasar fundamental
PBB. Karena itu pula kewajiban Pasal 2 ayat (3) tidak dipandang sebagai
suatu kewajiban yang pasif. pewajiban tersebut terpenuhi manakala negara
yang bersangkutan menahan dirinya untuk tidak menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan. Pasal 2 ayat (3), sebagaimana tersurat dalam
bunyi ketentuannya, mensyaratkan negara-negara untuk secara aktif dan
dengan iktikad baik menyelesaikan sengketanya secara damai sedemikian
rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan tidak
terancam.
Khusus mengenai prinsip larangan penggunaan cara kekerasan atau
yang tidak damai, meskipun tersurat dalam Piagam PBB, namun dalam
60
Ibid, hal.13.
perkembangannya kemudian tidak lagi semata-mata mengikat negaranegara anggota PBB. Dalam pembahasan rancangan pasal-pasal mengenai
hukum perjanjian (Draft of Articles on the Law of Treaties), khususnya
pembahasan
Pasal
33
paragraf
5,
Komisi
Hukum
Internasional
memberikan komentarnya mengenai prinsip ini. 61
Kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai ini dijelaskan lebih
lanjut oleh Pasal 33 Piagam PBB. Lengkapnya, pasal ini menyatakan: Para
pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut akan
membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, harus pertama tama mencari penyelesaian dengan cara negosiasi, penyelidikan, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya kepada organisasiorganisasi atau badan-badan regional, atau cara-cara penyelesaian damai
lainnya yang mereka pilih.
Dari berbagai aturan hukum internasional di atas, termasuk dan
terutama Deklarasi Manila, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip
mengenai penyelesaian sengketa internasional. 62
1. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)
Prinsip
iktikad
baik
dapat
dikatakan
sebagai
prinsip
fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa
antarnegara. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya
iktikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.
Tidak heran apabila prinsip ini dicantumkan sebagai prinsip
61
62
Ibid.
Ibid, hal.15.
pertama yang termuat dalam Manila Declaration (Section 1 paragraph
l). Dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (Bali
Concord 1976), persyaratan iktikad baik juga ditempatkan sebagai
syarat utama. Pasal 13 Bali Concord menyatakan: The high
contracting parties shall have the determination and good faith to
prevent disputes from arising. Dalam penyelesaian sengketa,
prinsip ini tercemin dalam dua tahap. Pertama, prinsip itikad baik
disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat
memengaruhi hubungan baik antar negara.
Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak
menyelesaikan
sengketanya
melalui
cara-cara
penyelesaian
sengketa yang dikenal dalam hukum internasional, yaitu negosiasi,
mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara lain yang
dipilih para pihak.
2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian
Sengketa
Prinsip ini juga sangat sentral dan penting. Prinsip inilah
yang melarang para pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan
menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini termuat antara lain
dalam Pasal 13 Bali Concord dan preambule ke-4 Deklarasi Manila.
Dalam berbagai perjanjian internasional lainnya, prinsip ini
tampak dalam Pasal 5 Pakta Liga Negara-Negara Arab 1945 Pact of
the League of Arab States, Pasal 1 dan 2 the Inter-American Treaty of
Reciprocal Assistance (1947.
3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip penting lainnya adalah prinsip di mana para pihak
memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau
mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (Principle of free
choice of means).
Prinsip ini termuat dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB dan
Section 1 paragraph 3 dan 10 Deklarasi Manila dan paragraf ke-5
dari Friendly Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut
menegaskan bahwa penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian
sengketa atau cara-cara penyelesaian sengketa harus didasarkan
keinginan bebas para pihak. Kebebasan ini berlaku baik untuk
sengketa yang telah terjadi atau sengketa yang akan datang.
4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap
Pokok Sengketa
Prinsip fundamental selanjutnya yang sangat penting adalah
prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa
yang akan diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan
peradilan. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini
termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan ex
aequo et bono Yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan
untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan,
atau kelayakan. Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang
lazim
bagi
pengadilan
internasional,
misalnya
Mahkamah
Internasional, untuk menerapkan hukum internasional, meskipun
penerapan hukum internasional ini tidak dinyatakan secara tegas
oleh para pihak.
5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)
Prinsip
kesepakatan
para
pihak
merupakan
prinsip
fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Prinsip
inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di
atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa dilakukan
atau direalisasikan manakala ada kesepakatan dari para pihak.
Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin
berjalan apabila kesepakatan hanya ada dari salah satu pihak atau
bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.
6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip ini termuat dalam Section 1 paragraph 10 Deklarasi
Manila. Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan
sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah
penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum
nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh.
7. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan,
Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah Negara-Negara
Deklarasi Manila mencantumkan prinsip ini dalam Section 1
paragraph
1Prinsip
ini
mensyaratkan
negara-negara
yang
bersengketa untuk terus menaati dan melaksanakan kewajiban
internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya berdasarkan
prinsip-prinsip fundamental integritas wilayah negara-negara.
B. Penyelesaiaan Sengketa Internasional Secara Diplomatik
Penyelesaian
sengketa
internasional
pada
umumnya
dapat
digolongkan dalam dua bagian, yaitu penyelesaian secara hukum dan
diplomatik. Penyelesaian secara hukum meliputi arbitrase dan pengadilan.
Sedangkan penyelesaian secara diplomatik meliputi negosiasi, pencarian
fakta, jasa baik, mediasi, dan konsiliasi. 63
1. Negosiasi
Negosiasi atau perundingan adalah cara penyelesaian sengketa yang
paling penting dan banyak ditempuh, serta efektif dalam menyelesaikan
sengketa internasional. Praktik negara-negara menunjukkan bahwa mereka
lebih cenderung untuk menggunakan sarana negosiasi sebagai langkah
awal untuk menyelesaikan sengketanya. Negosiasi adalah perundingan
yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk
mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga.
Menurut Fleischhauer, dengan tidak adanya ikut serta pihak ketiga dalam
penyelesaian
sengketa,
masyarakat
internasional
telah
menjadikan
negosiasi ini sebagai langkah pertama dalam penyelesaian sengketa. 64
Manakala proses ini berhasil, hasilnya biasanya dituangkan dalam
suatu dokumen yang memberinya kekuatan hukum. Misalnya hasil
63
64
Ibid, hal.26.
Ibid, hal.27.
kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam bentuk suatu dokumen
perjanjian perdamaian.
Selanjutnya, para pihak biasanya mensyaratkan, bahwa manakala
cara ini gagal dalam jangka waktu tertentu, mereka sepakat untuk
menyerahkan penyelesaian sengketa kepada cara lainnya, seperti arbitrase,
mediasi, konsiliasi, pengadilan, dan lain-lain.
Segi positif dari negosiasi ini adalah sebagai berikut: 65
1.
Para pihak sendiri yang melakukan perundingan (negosiasi) secara
langsung dengan pihak lainnya.
2.
Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana
penyelesaian secara negosiasi ini dilakukan menurut kesepakatan
mereka.
3.
Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur
penyelesaiannya.
4.
Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik di
dalam negeri.
5.
Dalam negosiasi, para pihak berupaya mencari penyelesaian yang
dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada
pihak yang menang dan kalah tetapi diupayakan kedua belah pihak
menang.
6.
Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan untuk setiap tahap
penyelesaian sengketa dalam setiap bentuknya, apakah negosiasi
65
Ibid.
secara tertulis, lisan, bilateral, multilateral, dan lain-lain.
2. Pencarian Fakta
Para pihak yang bersengketa dapat pula menunjuk suatu badan
independen untuk menyelidiki fakta-fakta yang menjadi sebab sengketa.
Tujuan utamanya adalah untuk memberikan laporan kepada para pihak
mengenai fakta yang ditelitinya. Dengan adanya pencarian fakta-fakta
demikian, diharapkan proses penyelesaian sengketa di antara para pihak
dapat segera diselesaikan. Dalam bahasa Inggris, dipergunakan dua istilah
untuk pencarian fakta yang sama artinya dan acap kali digunakan secara
bertukar, yaitu inquiry dan fact-finding.66
Tujuan dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang sebenarnya ini
adalah untuk:
membentuk suatu dasar bagi penyelesaian sengketa di antara dua
1.
negara;
2.
mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian internasional;
3.
memberikan
informasi
guna
membuat
putusan
di
tingkat
internasional (Pasal 34 Piagam PBB). Misalnya pembentukan
UNSCOM (United Nations Special Commission) yang dikirim ke
wilayah Irak untuk memeriksa ada tidaknya senjata pemusnah
massal.
Tujuan pertama untuk menyelesaikan suatu sengketa internasional.
Tujuan kedua untuk memastikan suatu kewajiban internasional terlaksana
dengan baik. Sedangkan tujuan ketiga merupakan unsur yang penting
66
Ibid, hal.29.
dalam proses pembuatan keputusan dalam organisasi internasional.
Cara atau metode ini, biasanya digunakan setelah penyelesaian
sengketa secara diplomatik dilaksanakan, namun hasilnya gagal. Hasil
pencarian fakta ini dilaporkan kepada para pihak dalam suatu bentuk
laporan. Namun demikian, laporan tersebut tidak memuat argumen atau
usulan penyelesaian sengketa. 67
3. Jasa Baik
Secara singkat, jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa
melalui keikutsertaan jasa pihak ke-3. Tujuan jasa baik ini adalah agar
kontak langsung di antara para pihak tetap terjamin. Tugas yang
diembannya, yaitu mempertemukan para pihak yang bersengketa agar
mereka mau berunding. Cara ini biasanya bermanfaat manakala para pihak
tidak mempunyai hubungan diplomatik atau hubungan diplomatik mereka
telah berakhir. Pihak ketiga ini bisa negara, orang perorangan (seperti
mantan kepala negara) atau suatu organisasi, lembaga atau badan
internasional, misalnya Dewan Keamanan PBB. 68
Keikutsertaan pihak ke-3 memberikan jasa-jasa baik memudahkan
pihak yang bersengketa untuk bersama-sama mempercepat perundingan di
antara mereka. 21 Setiap pihak yang bersengketa dapat meminta kehadiran
jasa-jasa baik. Namun, pihak lainnya tidak berkewajiban untuk menerima
permintaan tersebut. Dengan kata lain, permintaan tersebut sifatnya tidak
mengikat dan tidak boleh dipandang sebagai tindakan yang tidak
67
68
Ibid, hal.30.
Ibid, hal.31.
bersahabat atau unfriendly act.
Jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu technical good
offices (jasa baik teknis), dan political good offices (jasa baik politis).
Pembedaan ini sifatnya tidak tegas. Kedua bentuk ini dapat dilaksanakan
secara bersamaan.
Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi
internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut
serta terlibat dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi.
Peranannya dalam hal ini adalah sebagai tuan rumah yang memberikan
fasilitas-fasilitas
komunikasi,
yang
diperlukan,
memberikan
jaminan
menyediakan
dan
apabila
transportasi
dan
memungkinkan,
memberikan jaminan keuangan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah
menerima tanggung jawab untuk melindungi suatu pihak tertentu.
Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau
memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang
bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Jasa baik teknis
juga mewakili kepentingan salah satu pihak di negara pihak lainn ya. Jasa
baik seperti ini biasanya berlangsung pada saat terjadinya perdamaian
ataupun saat peperangan.
Jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau
organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian
atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya
negosiasi atau suatu kompensasi. Yang termasuk dalam kategori ini adalah
menerima mandat dari negara lain untuk menyelesaikan suatu masalah
spesifik tertentu. 69
4. Mediasi
Sama halnya dengan jasa-jasa baik, mediasi melibatkan pula
keikutsertaan pihak ketiga mediator yang netral dan independen dalam
suatu sengketa.Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak
atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara,
individu, organisasi internasional, dan lain-lain. 70
Para mediator ini dapat bertindak baik atas inisiatifnya sendiri,
menawarkan jasanya sebagai mediator, atau menerima tawaran untuk
menjalankan fungsi- nya atas permintaan dari salah satu atau kedua belah
pihak yang bersengketa. Dalam hal ini, agar mediator dapat berfungsi,
diperlukan kesepakatan atau konsensus dari para pihak sebagai prasyarat
utama.
Dalam menjalankan fungsinya, mediator tidak tunduk pada suatu
aturan hukum acara tertentu. Ia bebas menentukan bagaimana proses
penyelesaian sengketanya berlangsung. Peranannya di sini tidak semata mata mempertemukan para pihak agar bersedia berunding, tetapi ia juga
terlibat dalam perundingan dengan para pihak dan bisa pula memberikan
saran-saran atau usulan penyelesaian sengketa. Bahkan mediator dapat
pula berupaya mendamaikan para pihak.
Mediator dalam menerapkan hukum tidak dibatasi pada hukum yang
69
70
Ibid.
Ibid, hal.33.
ada. Ia dapat menggunakan asas ex aequo et bono (kepatutan dan
kelayakan). Karena sifatnya ini, cara penyelesaian sengketa melalui
mediasi lebih cocok digunakan untuk sengketa-sengketa yang sensitif.
Sengketa tersebut termasuk di dalamnya adalah sengketa yang memiliki
unsur politis, di samping sudah barang tentu sengketa hukum.
Menurut Bindschedler ada beberapa segi positif dari mediasi : 71
1.
Mediator sebagai penengah dapat memberikan usulan-usulan
kompromi di antara para pihak.
2.
Mediator dapat memberikan usaha-usaha atau jasa-jasa lainnya,
seperti memberi bantuan dalam melaksanakan kesepakatan,
bantuan keuangan, mengawasi pelaksanaan kesepakatan, dan
lain-lain.
3.
Apabila mediatornya adalah negara, biasanya negara tersebut
dapat menggunakan pengaruh dan kekuasaannya terhadap para
pihak
yang
bersengketa
untuk
mencapai
penyelesaian
sengketanya.
4.
Negara sebagai mediator biasanya memiliki fasilitas teknis yang
lebih memadai daripada orang perorangan. Sedang segi negatif
dari mediasi adalah mediator dapat saja dalam melaksanakan
fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya.
Proses penyelesaian melalui mediasi ini hampir mirip dengan
konsiliasi. Perbedaannya, pada mediasi umumnya mediator memberikan
71
Ibid, hal.34.
usulan penyelesaian secara informal dan usulan tersebut didasarkan pada
laporan yang diberikan oleh para pihak, tidak dari hasil penyelidikannya
sendiri. Namun demikian, perbedaan kedua proses penyelesaian ini dalam
praktiknya menjadi tidak jelas (rancu). Sulit untuk membuat batas-batas
yang tegas di antara kedua proses ini.Perlu ditekankan di sini, bahwa saran
atau usulan penyelesaian yang diberikan tidaklah mengikat sifatnya.
Sifatnya rekomendatif atau usulan saja. 72
5 .Konsiliasi
Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak
ketiga
yaitu
konsiliator
yang
tidak
berpihak
atau
netral
dan
keterlibatannya karena diminta oleh para pihak. Menurut Bindschedler,
unsur ketidakberpihakan dan kenetralan merupakan kata kunci untuk
keberhasilan fungsi konsiliasi. Hanya dengan terpenuhinya dua unsur ini,
objektivitas dari konsiliasi dapat terjamin. Badan konsiliasi bisa yang
sudah terlembaga atau ad hoc sementara. Proses seperti ini berupaya
mendamaikan
pandangan-pandangan
para
pihak
yang
bersengketa
meskipun usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator sifatnya
tidak mempunyai kekuatan hukum. The Hague Convention for the Pacific
Settlement of International Dispute of 1899 dan 1907 memuat mekanisme dan
aturan pembentukan komisi konsiliasi. Badan seperti ini hanya bisa
dibentuk dengan persetujuan bersama para pihak. Pada umumnya, badan
ini diberi mandat untuk mencari dan melaporkan fakta-fakta yang ada di
72
Ibid, hal.35.
sekitar pokok sengketa. 73
Dari isi perjanjian itu, tampak ada beberapa fungsi dari badan
konsiliasi yaitu : 74
1.
menganalisis sengketa, mengumpulkan keterangan mengenai
pokok perkara, dan berupaya mendamaikan para pihak;
2.
membuat
laporan
mengenai
hasil
upayanya
dalam
waktu
dalam
mendamaikan para pihak
3.
menetapkan
atau
membatasi
jangka
menjalankan tugasnya. Di samping fungsi, terdapat kriteria lain yang
membedakan badan ini dengan mediasi.
Konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal dibandingkan
mediasi. Hukum acara tersebut bisa ditetapkan terlebih dahulu dalam
perjanjian atau diterapkan oleh badan konsiliasi.
6. Arbritase
Peradilan arbritase memiliki bentuk yang berbeda dengan peradilan
intern suatu negara karena bentuknya yang non–institusional, dalam
pengertian yang luas istilah ini merujuk pada cara penyelesaiaan sengketa
internasional secara damai yang dirumuskan dalam suatu keputusan oleh
arbritrators yang dipilih oleh pihak–pihak yang bersengketa. Pihak-pihak
tersebut sebelumnya menerima sifat mengikat keputusan yang akan
diambil. 75
Di samping itu, keputusan arbritasi dalam arti luas ini dapat
73
Ibid, hal.36.
Ibid, hal.37.
75
Boer Mauna, Op.Cit, hal. 228.
74
didasarkan baik atas konsederasi hukum maupun konsiderasi politik dan
lain-lainnya. Karena itu arbritase baru betul-betul merupakan suatu sistem
penyelesaiaan hukum bila dijelaskan sifat mengikat dari keputusan yang
didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum. Definisi dari arbritase dalam
arti sempit adalah definisi yang diberikan oleh pasal 37 konvensi Den
Haag,
18
oktober
1907
mengenai
penyelesaian
sengketa-sengketa
internasional secara damai: Arbritase internasional bertujuan untuk
menyelesaikan suatu sengketa antar negara oleh hakim-hakim pilihan
mereka dan atas dasar ketentuan hukum. Penyelesaiaan melalui arbritase
ini berarti bahwa negara-negara harus melaksanakan keputusan dengan
itikad baik. 76
Dari definisi tersebut didapatkan ciri pokok arbritasi yang bersifat
sukarela, sifat hukum yang mengikat dan non institusional. Yang
dimaksudkan dengan sukarela adalah ialah negara-negara tidak diharuskan
memilih cara penyelesaiaan yang demikian dan negara-negara juga bebas
memilih hakim-hakimnya. Sifat hukum yang mengikat terletak pada
keharusan negara-negara melaksanakan keputusan dengan itikad baik,
sedangkan sifat non-institusionalnya berarti bahwa hakim-hakim yang
dipilih tersebut bukan merupakan organ permanen yang dibentuk sebelum
lahirnya suatu sengketa. Jadi organ arbritasi yang didirikan setelah
lahirnya suatu sengketa akan bertujuan untuk memeriksa sengketa itu saja.
Bila sengketa itu sudah selesai diperiksa maka organ abritasi itupun akan
76
Ibid, hal.229.
bubar pula. 77
7.Mahkamah Internasional
Seperti juga halnya dengan arbritasi internasional, Mahkamah
internasional merupakan suatu cara penyelesaiaan sengketa internasional
yang didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum dan karena itu kedua
prosedur penyelesaiaan ini menghasilkan keputusan-keputusan hukum
yang akan mengikat negara-negara yang bersengketa. Tetapi bentuk
yurisdiksi mahkamah internasional jauh lebih maju dibandingkan arbritase
internasional. Mahkamah internasional merupakan bagian integral dari
PBB, sedangkan mahkamah internasional yang lama terpisah dari Liga
Bangsa-bangsa. Semua anggota PBB secara otomatis menjadi anggota
statuta Mahkamah internasional.
Tidak
seperti
78
badan-badan
organisasi
internasional
lainnya,
mahkamah internasional tidak terdiri dari wakil-wakil pemerintah. Sekali
terpilih maka seorang anggota dan hakim bukan lagi delegasi pemerintah
negaranya atau negara lainnya. Ia adalah hakim independen yang ketika
diangkat, bersumpah di hadapan mahkamah bahwa ia akan melaksanakan
kekuasaan dan tugas-tugasnya secara adil dan sungguh-sungguh. Untuk
menjamin kemerdekaannya, seorang hakim tidak dapat dibebastugaskan
kecuali atas pendapat secara bulat dari anggota-anggota lainnya ketika ia
tidak dapat lagi melaksanakan kondisi-kondisi yang disayaratkan sebagai
77
78
Ibid.
Ibid, hal.249.
seorang hakim. Dalam praktik hali ini belum pernah terjadi. 79
ICJ merupakan salah satu dari 6 organ utama PBB. Namun, badan ini
memiliki kedudukan khusus
dibandingkan 5 organ utama lainnya. ICJ
atau Mahkamah tidak memiliki hubungan hierarkis dengan badan-badan
utama PBB lainnya. Ia benar-benar lembaga hukum dalam sebagai suatu
pengadilan. Ia bukan pula pengadilan konstitusi atau Constitusional Court
yang memiliki kewenangan untuk melakukan Judicial Review putusanputusan politis yang dibuat oleh Dewan Keamanan. Ia menggunakan Nama
resmi ICJ dan tidak menggunakan simbol atau nama PBB dalam
putusannya. Menurut hemat penulis kedudukan ICJ ini memang unik.
Kedudukannya benar-benar menampilkan suatu kemandiriannya sebagai
suatu organ, atau badan pengadilan. Kemandirian ini memang diperlukan
bagi ICJ sendiri untuk menunjukan kredibilitas dan kepercayaan dari
negara-negara. 80
79
80
Huala Adolf, Op.Cit, hal.63-64.
Ibid.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis
normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.
Pendekatan perundang-undangan digunakan dalam penelitian ini karena
yang akan digunakan adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus
sekaligus tema sentral penelitian ini.81 Sedangkan pendekatan kasus
bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam praktik hukum. Kasus tersebut dipelajari untuk
memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu
aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya
untuk bahan masukan (input) dalam elsplanasi hukum.82
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitian yang
hanya menggambarkan objek dan atau masalahnya tanpa bermaksud
mengambil kesimpulan yang berlaku umum. Penelitian ini berusaha
menggambarkan peristiwa in concreto yang dikonsultasikan pada
seperangkat peraturan hukum positif yang berlaku dan ada kaitannnya
dengan masalah yang menjadi objek penelitian83
81
Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal.302.
Ibid, hal.321.
83
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,
82
hal.11.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal
Soedirman, Dan media Internet
4. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan data sekunder saja
untuk membangun penelitian ini dan untuk mendapatkan hasil yang
objektif dari penelitian. Dari data sekunder tersebut akan dibagi kedalam
tiga bagian yaitu :
a.
Bahan Hukum Primer, Yaitu bahan–bahan hukum yang
bersifat mengikat berupa peraturan perundang–undangan dalam
hukum internasional yang berkaitan dengan keberadaan pangkalan
militer asing di suatu negara : San Francisco Treaty 1951 Treaty of
Peace Between Japan And Allied; Vienna Convention 1969 of Law Of
Treaties; Treaty Of Mutual Cooperation between the United States of
America and Japan 1960; Amendement of Treaty Of Mutual
Cooperation between the United States of America and Japan 1990
b.
Bahan hukum Sekunder, Yaitu bahan–bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain di
bidang ilmu hukum, Hasil penelitian di bidang hukum, artikel–
artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet.
c.
Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder,antara lain kamus hukum.
5. Metode Pengumpulan Data
Data sekunder yang diperoleh dengan menginventarisir peraturan
perundang–undangan,
dokumen–dokumen
resmi,
hasil
penelitian,
makalah, dan buku–buku yang berkaitan dengan materi penelitian
kemudian dicatat sesuai dengan relevansinya dengan materi yang menjadi
objek penelitian untuk selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai satu
kesatuan yang utuh.
6. Metode Penyajian Data
Data yang berupa bahan–bahan hukum yang telah diperoleh kemudian
disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian–uraian yang disusun secara
sistematis, logis, dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan
dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok
permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kestuan yang utuh.
7. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif normatif, yaitu dengan
menjabarkan data–data yang telah diperoleh berdasarkan norma hukum
atau kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Pengaturan Mengenai Keberadaan Pangkalan Militer Asing Di Suatu
Negara
Negara sebagai subjek hukum internasional dan pelaku dalam hubungan
internasional, bersamaan dengan berkembangnya jaman semakin menghadapi
banyak tantangan baik di dalam bidang ekonomi ataupun keamanan internasional.
Di era globalisasi hubungan kerjasama internasional semakin ramai dengan
keberadaan dan diakuinya organisasi internasional sebagai salah satu pelaku
dalam hubungan internasional. Hubungan kerjasama internasional yang dilakukan
antar subjek hukum internasional utamanya antar negara pun semakin meningkat.
Adanya perbedaan sistem kenegaraan, bentuk negara, perbedaan pandangan
hidup, kebudayaan, agama atau kepercayaan bukan merupakan penghalang untuk
menjalin kerjasama, bahkan dapat meningkatkan intensifnya hubungan antar
negara. Demikian juga persoalan yang menjadi sasaran pengaturan dalam
perjanjian internasional tidak hanya masalah-masalah yang ada di permukaan
bumi saja, namun sesudah meluas pada masalah-masalah yang ada di dalam perut
bumi dan juga yang ada di luar planet bumi (di ruang udara dan ruang angkasa).84
Isu mengenai keamanan internasional dan upaya menjaga ketertiban dunia
menjadi sorotan utama sebagai faktor penunjang hubungan internasional.
Hubungan internasional membutuhkan keamanan dalam menjalin hubungan serta
84
Harry Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian
Internasional, Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011, hal.102.
penjaminan. Pasca Perang Dingin berakhir ketika Uni Soviet akhirnya bubar
menempatkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya yang
memiliki kemampuan dan kewajiban untuk menjaga dan mengawasi ketertiban
dunia. Dengan banyaknya sumber daya baik aset militer serta sumber daya
intelejen yang memadai semakin mengkukuhkan posisi Amerika Serikat sebagai
negara super power, adapun pengertian umum mengenai negara super power
adalah sebuah negara yang memiliki sumber daya natural yang melimpah, sumber
daya manusia yang memadai dan sumber daya militer yang kuat dan massive.
Dengan kekuatan adidaya inilah Amerika Serikat memiliki keinginan untuk
mengawasi berjalannya dunia dengan membuat pangkalan-pangkalan militer
sebagai sebuah bentuk sub kewenangan yang berada di wilayah negara lain.
Keberadaan pangkalan militer ini memiliki fungsi sebagai pos pengamanan dalam
wilayah tertentu yang memungkinkan Amerika Serikat dapat memberikan respon
cepat ketika hendak akan menurunkan pasukan di wilayah regional pangkalan
militer tersebut. Pada masa perang dingin pangkalan militer berfungsi sebagai
instrumen penjaga ideologi demokrasi pada negara-negara yang dimungkinkan
masuk dalam pengaruh ideologi komunis Uni Soviet.
Sampai pecahnya Perang Dunia Kedua, Okinawa adalah sebuah pulau yang
damai, bahkan tanpa pasukan militer Jepang ditempatkan di sana, hanya ada
kantor wajib militer dengan komandan dan beberapa anggota staf. Tanpa
pangkalan militer, rakyat Okinawa hidup dalam damai dan memiliki hubungan
persahabatan dengan pulau pulau tetangga di Asia. Pada tahun 1944 ketika Jepang
diambang kekalahan dalam perang dunia, pemerintah Jepang memutuskan untuk
membuat Okinawa menjadi tempat untuk menentukan akhir pertempuran,
pasukan militer ditempatkan di sana pada skala penuh. Selama perang dunia II
berlangsung di Okinawa banyak non combatant yang terlibat dan menjadi korban
selama perang 80 hari. Para penduduk yang berhasil selamat kemudian dimasukan
kedalam kamp konsentrasi dan kemudian dilepaskan pada tahun 1945. Pasca
perang hampir seluruh wilayah okinawa hancur dan tidak dapat diamanfaatkan
kembali wilayahnya. Kemudian Ototritas militer Amerika Serikat memulai
pembuatan Chatan Airbase, hampir 18.000 hektare wilayah Okinawa dikuasai
oleh militer Amerika Serikat dan 40.000 pemilik tanah dihapuskan hak
kepemilikan tanahnya guna kepentingan militer.85
Setelah berakhirnya perang dunia ke II penduduk Okinawa kembali
berusaha mengerjakan tanah mereka yang selamat dari penghapusan hak tanah
yang dilakukan oleh otoritas militer Amerika. Ketika itu penduduk Okinawa
memiliki harapan bahwa setelah ditanda tanganinya perjanjian perdamaian tanah
mereka dapat kembali, akan tetapi dalam San Fransisco Treaty 1951 yang
ditandatangani oleh Jepang dan sekutu mengijinkan dan memperpanjang periode
okupasi Amerika Serikat di Okinawa. Dengan kekalahan Jepang, penempatan
pasukan militer di Okinawa seharusnya berakhir. Namun, Okinawa saat ini begitu
penuh sesak dengan keberadaan pangkalan militer AS dan fasilitasnya. 86
Pangkalan militer di Okinawa adalah salah pangkalan militer terbesar di
dunia. Sebelas persen dari luas daratan Prefektur Okinawa ditempati oleh militer
AS. Angka ini naik 20 persen di daratan Okinawa. Di prefektur pulau ini dari 1,3
85
86
Japanese Communist party Journal, Op.Cit, hal.2.
Ibid, hal.1.
juta orang, 27.000 tentara AS ditempatkan di tiga pangkalan militer utama yaitu
Yomitan Airbase, Chatan Airbase dan Kadena Airbase. Pangkalan militer AS di
Okinawa terletak tepat di tengah-tengah daerah yang sangat padat penduduk.
Sebagai
contoh,
pangkalan
udara
Kadena
memakan
83
persen
dari
luas lahan kota Kadena, memaksa lebih dari sepuluh ribu warga untuk hidup
dalam 17 persen sisa tanah. Penduduk kota rumah, sekolah, rumah sakit dan
fasilitas lainnya didesak di daerah kecil dalam jarak hanya beberapa ratus meter
dari landasan pacu pangkalan. Keadaan seperti ini tidak hanya terdapat pada kota
Kadena saja, selain Kadena, ada 3 kota dan 50 desa yang tanahnya diambil oleh
pangkalan militer AS. Dan terdapat pula 5 kota di mana lebih dari 30 persen dari
tanah mereka diambil Desa Yomitan, Desa Higashi, Kota Okinawa, Desa Ie dan
Kota Ginowan.87
Amerika Serikat memiliki beberapa pangkalan militer antara lain di
Afghanistan, Jerman, Korea Selatan, Philipina, Irak dan di kepulauan Okinawa
Jepang. Keberadaan pangkalan militer asing di suatu negara didasarkan pada
perjajnjian bilateral yang disebut Status Perjanjian Pasukan Security Of Force
Agreement (SOFA), umumnya menetapkan kerangka kerja mengenai keberadaan
personil militer AS yang beroperasi di luar negeri, SOFA mengatur mengenai
bagaimana permasalahan yurisdiksi hukum nasional asing harus diterapkan
terhadap personel AS ketika berada di negara itu. Tidak ada persyaratan formal
mengenai bentuk, isi, panjang, atau judul SOFA.88
87
Ibid.
Congressionnal Research Service, Status of Forces Agreement : What is it ?, And How
has it been utilized ?, January 2011,Summary .hal.1.
88
SOFA dapat ditulis untuk tujuan tertentu atau kegiatan, atau mungkin
mengantisipasi hubungan jangka panjang dan menyediakan fleksibilitas
maksimum dalam penerapan. SOFA pada umumnya merupakan dokumen yang
berdiri sendiri, disimpulkan sebagai perjanjian eksekutif. SOFA dapat mencakup
banyak ketentuan, namun masalah yang paling umum yang dihadapi adalah
negara mana dapat melaksanakan yurisdiksi pidana atas personel AS. Ketentuan
lain yang dapat ditemukan dalam SOFA adalah aturan pada pemakaian seragam,
pajak dan biaya, perijinan dalam membawa senjata, penggunaan frekuensi radio,
lisensi mengemudi, dan peraturan adat istiadat khusus yang harus dipatuhi. SOFA
sering disertakan bersamaan dengan perjanjian militer jenis lain, sebagai bagian
dari keamanan komprehensif pengaturan dengan negara tertentu. SOFA sendiri
bukan pengaturan mengenai keamanan, melainkan menetapkan hak-hak dan
keistimewaan personel AS yang berada dalam suatu negara untuk ikut dalam
mendukung pengaturan keamanan. SOFA dapat dimasukkan dalam perjanjian
berdasarkan otoritas sebelumnya dan keputusan kongres atau sebagai perjanjian
eksekutif tunggal. Amerika Serikat saat ini memiliki lebih dari 100 perjanjian
SOFA dengan negara di seluruh dunia.89
SOFA adalah perjanjian yang menetapkan kerangka di mana angkatan
bersenjata beroperasi dalam perjanjian yang disepakati oleh negara asing, yang
isinya memberikan hak-hak umum dan hak-hak individu yang tercakup sementara
dalam yurisdiksi asing tersebut. SOFA juga mengatur mengenai masalah
bagaimana hukum nasional yurisdiksi asing harus diterapkan terhadap personil
89
Ibid.
militer AS di negara itu. Penting untuk dicatat bahwa SOFA adalah kontrak antara
pihak dan dapat dibatalkan pada kehendak salah satu pihak. SOFA adalah
dokumen pada masa damai dan karena itu tidak membahas aturan perang, hukum
perang, atau Hukum Laut.90
Dalam hal konflik bersenjata antara pihak yang melakukan SOFA, maka
persyaratan perjanjian tidak akan berlaku lagi. SOFA dapat mencakup banyak
ketentuan, tapi masalah yang paling umum dibahas adalah negara mana yang
dapat melaksanakan yurisdiksi pidana atas personel AS. Amerika Serikat telah
menyimpulkan perjanjian di mana ia mempertahankan yurisdiksi eksklusif atas
personil, akan tetapi lebih sering untuk menggunakan yurisdiksi bersama dengan
negara penerima. Secara umum, SOFA tidak mengotorisasi latihan khusus,
kegiatan, atau misi. Sebaliknya, SOFA bertujuan menyediakan kerangka kerja dan
perlindungan hukum serta hak-hak sementara personil AS yang hadir di suatu
negara untuk disepakati. SOFA bukanlah perjanjian pertahanan bersama atau
perjanjian keamanan. Keberadaan SOFA tidak mempengaruhi atau mengurangi
hak yang melekat pada para pihak terkait pembelaan diri di bawah hukum
perang.91
Dengan pengecualian dari SOFA multilateral antara Amerika Serikat dan
Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO, SOFA adalah bersifat spesifik
untuk masing-masing negara dan dalam bentuk executive agreement. Departemen
Luar Negeri dan Departemen Pertahanan bekerja sama mengidentifikasi
kebutuhan untuk SOFA tehadap negara tertentu dan menegosiasikan syarat-syarat
90
91
Ibid, hal,1.
Ibid.
serta kesepakatan. The SOFA NATO adalah satu satunya SOFA yang
disimpulkan sebagai bagian dari perjanjian. Senat Amerika Serikat menyetujui
ratifikasi SOFA NATO pada 19 Maret 1970 sesuai dengan yang diharapkan,
Senat mensyaratkan
kepada SOFA NATO mencakup empat kondisi: (1)
yurisdiksi pidana ketentuan yang tercantum dalam Pasal VII perjanjian tidak
merupakan preseden untuk masa depan dari perjanjian; (2) ketika anggota
angkatan bersenjata berada dalam posisi untuk diadili oleh pihak berwenang di
negara penerima, perwira komandan angkatan bersenjata AS di negara itu harus
meninjau hukum negara dengan mengacu pada perlindungan prosedural
Konstitusi Amerika Serikat, (3) jika perwira komando yakin ada bahaya bahwa
anggota angkatan bersenjata tidak akan dilindungi, karena ketiadaan atau adanya
pengingkaran hak-hak konstitusional, terdakwa akan menerima perlindungan di
Amerika Serikat, dan kemudian komandan harus meminta negara penerima
mengabaikan yurisdiksi dan, (4) Perwakilan dari Amerika Serikat ditunjuk untuk
menghadiri dan mendampingi sidang setiap anggota angkatan bersenjata tersebut
diadili oleh negara penerima dan ia bertugas untuk melindungi hak-hak
konstitusional anggota angkatan bersenjata tersebut.92
SOFA NATO adalah perjanjian multilateral yang memiliki penerapan pada
semua anggota NATO. Pada Juni 2007, 26 negara termasuk Amerika Serikat,
telah meratifikasi perjanjian atau mengaksesi dengan aksesi mereka ke NATO.
Selain itu, 24 negara lainnya tunduk pada SOFA NATO melalui partisipasi
mereka dalam Kemitraan NATO untuk perdamaian. Program ini terdiri dari
92
Ibid, hal,2.
kerjasama bilateral antar individu negara dan NATO dalam rangka untuk
meningkatkan stabilitas, mengurangi ancaman terhadap perdamaian dan
membangun keamanan yang lebih kuat.
Masing-masing negara yang
berpartisipasi dalam kemitraan NATO untuk perdamaian setuju untuk mematuhi
ketentuan SOFA NATO. Melalui SOFA NATO dan kemitraan NATO untuk
perdamaian, Amerika Serikat memiliki perjanjian SOFA dengan sekitar 58
negara. 93
Menteri luar negeri Rice dan Sekretaris negara Gates menyatakan bahwa
Amerika Serikat telah memiliki perjanjian di lebih dari 115 negara di seluruh
dunia. SOFA NATO dan SOFA kemitraan NATO untuk perdamaian memiliki
andil dalam sekitar setengah dari SOFA yang ditandatangani oleh Amerika
Serikat dengan negara-negara di seluruh dunia. Departemen Pertahanan
menyediakan kebijakan dan informasi yang spesifik untuk SOFA. Departemen
Pertahanan AS memiliki kebijakan untuk melindungi semaksimal mungkin, hakhak Personil AS yang dikenakan pengadilan pidana oleh pengadilan asing dan
penjara di penjara asing. Kebijakan ini kurang berjalan baik dengan reservasi
Senat pada SOFA NATO dengan menyatakan meskipun reservasi perjanjian
menyertai ratifikasi hanya berlaku untuk negara-negara anggota NATO dimana
aplikasi dapat diterapkan, namun reservasi sebanding harus diterapkan untuk
perjanjian SOFA kedepan. Secara khusus kebijakan menyatakan bahwa prosedur
yang sama untuk melindungi kepentingan subjek personel AS untuk yurisdiksi
93
Ibid.
asing akan dapat diterapkan sepenuhnya ketika dipraktekkan di daerah-daerah di
luar negeri di mana pasukan AS ditempatkan.94
Mengenai ketentuan dari Status of Forces Agreement (SOFA) tidak ada
persyaratan formal yang mengatur isi, detail, dan panjang dari SOFA. Diatur
mengenai para pihak yang melakukan perjanjian, namun tidak terbatas pada
yurisdiksi pidana dan perdata, aturan dalam mengenakan seragam, pajak dan
biaya-biaya,
ijin membawa senjata, penggunaan frekuensi radio, persyaratan
Surat ijin mengemudi, dan adat istiadat serta peraturan negara penerima. Amerika
Serikat telah melakukan perjanjian SOFA tersingkat sepanjang satu halaman dan
terdapat pula SOFA yang terdiri dari 200 halaman lebih. Misalnya, Amerika
Serikat dan Bangladesh melakukan exchanged notes dalam rangka melakukan
latihan bersama pada tahun 1998. Perjanjian ini khusus ditujukan untuk satu
aktivitas latihan Militer bersama , terdiri dari 5 pasal, dan terkandung dalam satu
halaman. Amerika Serikat dan Botswana melakukan exchanged notes untuk status
pasukan yang untuk sementara berada di Botswana dalam hubungannya dengan
latihan, pelatihan, bantuan kemanusiaan, atau kegiatan lainnya yang dapat
disepakati oleh kedua negara tersebut. Sebaliknya, dokumen berjumlah 200
halaman lebih, antara Amerika Serikat dan Jerman ditandatangani sebagai
perjanjian tambahan ke SOFA NATO, Isi perjanjian tersebut terkait perjanjianperjanjian tambahan dan terkait dengan isu-isu spesifik.
Yurisdiksi pidana adalah masalah yang paling sering dibahas dalam SOFA,
terkait perlindungan hukum yang diberikan dari penuntutan yang ditujukan
94
Ibid, hal,3.
kepada personel AS yang berada sementara di negara asing. Persetujuan tersebut
bertujuan untuk menegaskan yurisdiksi pidana atau perdata. Dengan kata lain,
perjanjian SOFA menetapkan bagaimana hukum perdata dan pidana dalam negeri
diterapkan untuk personel AS ketika berada di negara asing. Amerika Serikat
telah memasuki perjanjian di mana Amerika dapat mempertahankan yurisdiksi
eksklusif, namun hasil kesepakatan yang bersifat lebih umum dalam yurisdiksi
dibagi antara Amerika Serikat dan negara penerima. Yurisdiksi eksklusif adalah
kemampuan Amerika Serikat untuk tetap melaksanakan dan mempertahankan hak
untuk melaksanakan semua yurisdiksi pidana dan disiplin atas pelanggaran hukum
di wilayah negara penerima atas perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh
personil angkatan bersenjata Amerika Serikat.
Yurisdiksi Bersama terjadi ketika masing-masing pihak mempertahankan
yurisdiksi eksklusif atas suatu pelanggaran tertentu, tetapi juga memungkinkan
Amerika Serikat untuk meminta agar negara tuan rumah melepaskan
yurisdiksinya atas suatu perbuatan walaupun perbuatan tersebut melanggar pidana
dan disiplin. Hak untuk melaksanakan yurisdiksi atas personil angkatan bersenjata
Amerika Serikat tidak hanya terbatas pada saat seseorang berada di instalasi
militer. Hal Ini juga meliputi individu yang berada ketika di luar instalasi militer.
Hak untuk mengerahkan yurisdiksi dapat mengakibatkan kekebalan dari hukum
negara penerima walaupun individu tersebut berada di negara penerima.95
Sebagai
contoh
penerapan
yurisdiksi
eksklusif,
Amerika
Serikat
menandatangani kesepakatan mengenai pertukaran anggota militer dan kunjungan
95
Ibid, hal,4.
dengan pemerintah Mongolia, sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Pasal X
dibuat dalam kesepakatan kedua belah pihak yang bertujuan untuk mengatur
yurisdiksi pidana personel militer AS yang berada di Mongolia. Dalam perjanjian
tersebut menyediakan pasal yang memberikan kewenangan bagi penguasa militer
Amerika Serikat untuk berhak dalam melakukan semua proses pidana dan
disipliner yang terjadi di Mongolia, yurisdiksi Amerika Serikat diberlakukan
kepada seluruh Personel militer Amerika. Setiap tindak pidana dan pelanggaran
terhadap hukum Mongolia yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata dari
AS harus dirujuk kepada otoritas Amerika Serikat yang berwenang untuk
melakukan
penyelidikan
dan
disposisi.
Perjanjian
tidak
memungkinkan
pemerintah Mongolia untuk meminta Amerika Serikat untuk mengesampingkan
yurisdiksi dalam kasus dugaan perilaku kriminal yang tidak terkait dengan
personel militer yang bertugas. Tidak ada kondisi pensyaratan bagi Amerika
Serikat
untuk
mengesampingkan
yurisdiksi,
hanya
untuk
memberikan
pertimbangan yang bersifat simpatik dari setiap permintaan pelepasan yurisdiksi
yang diminta oleh negara penerima96.
Contoh dari yurisdiksi bersama adalah SOFA NATO, yang berlaku untuk
semua negara anggota NATO adalah sebuah contoh dari yurisdiksi bersama. Pasal
VII menyediakan kerangka yurisdiksi97. SOFA memungkinkan untuk negara yang
96
97
Ibid.
4 U.S.T. 1792; T.I.A.S. 2846; 199 U.N.T.S. 67. Article VII:
1. Subject to the provisions of this Article,
(a) the military authorities of the sending State shall have the right to exercise within the receiving
State all criminal and disciplinary jurisdiction conferred on them by the law of the sending State
over all persons subject to the military law of that State;
(b) the authorities of the receiving State shall have jurisdiction over the members of a force or
civilian component and their dependents with respect to offenses committed within the territory of
tidak memiliki hak yurisdiksi untuk meminta negara dengan hak yurisdiksi untuk
mengesampingkan haknya atas yurisdiksi. Tidak ada persyaratan bagi negara
untuk mengesampingkan yurisdiksi, hanya berupa permintaan untuk memberikan
pertimbangan atas permintaan yang diminta. Di bawah kerangka kerja yurisdiksi
bersama, masing-masing negara memiliki yurisdiksi eksklusif yang dapat
dipergunakan dalam keadaan tertentu, umumnya ketika terjadi suatu pelanggaran
yang hanya dinyatakan sebagai pelanggaran hukum oleh satu undang-undang
negara saja. Dalam hal ini, negara yang hukumnya telah terlanggar memiliki
yurisdiksi eksklusif atas pelaku. Ketika tindakan melanggar hukum kedua negara,
yurisdiksi bersamaan hadir dan kualifikasi tambahan yang digunakan untuk
the receiving State and punishable by the law of that State.
2.—(a) The military authorities of the sending State shall have the right to exercise exclusive
jurisdiction over persons subject to the military law of that State with respect to offenses, including
offenses relating to its security, punishable by the law of the sending State, but not by the law of the
receiving State.
(b) The authorities of the receiving State shall have the right to exercise exclusive jurisdiction over
members of a force or civilian components and their dependents with respect to offenses, including
offenses relating to the security of that State, punishable by its law but not by the law of the sending
State. (c) For the purposes of this paragraph and of paragraph 3 of this Article a security offense
against a
State shall include
(i) treason against the State;
(ii) sabotage, espionage or violation of any law relating to official secrets of that State, or
secrets relating to the national defense of that State.
3. In cases where the right to exercise jurisdiction is concurrent, the following rules shall apply:
(a) The military authorities of the sending State shall have the primary right to exercise jurisdiction
over a member of a force or of a civilian component in relation to
(i) offenses solely against the property or security of that State, or offenses solely against the
person or property of another member of the force or civilian component of that State or of a
dependent;
(ii) offenses arising out of any act or omission in the performance of official duty.
(b) In the case of any other offense the authorities of the receiving State shall have the primary right
to exercise jurisdiction.
(c) If the State having the primary right decides not to exercise jurisdiction, it shall notify the
authorities of the other State as soon as practicable. The authorities of the State having the primary
right shall give sympathetic consideration to a request from the authorities of the other State for a
waiver of its right in cases where that other State considers such waiver to be of particular
importance.4. The foregoing provisions of this Article shall not imply any right for the military
authorities of the sending State to exercise jurisdiction over persons who are nationals of or
ordinarily resident in the receiving State, unless they are members of the force of the sending
State.”
menentukan negara mana yang akan diizinkan untuk menegaskan yurisdiksinya
atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku.98
SOFA pada umumnya tidak mengizinkan operasi militer tertentu atau misi
yang dilaksanakan oleh pasukan AS. Walaupun SOFA umumnya tidak
memberikan kewenangan untuk melakukan tindakan perlawanan, hak yang
melekat pada personel militer Amerika Serikat tidak terpengaruh atau berkurang.
Personel AS selalu memiliki hak untuk membela diri, jika diancam atau berada
dalam keadaan diserang, dan SOFA tidak mengambil hak tersebut. Dalam SOFA
selalu terdapat klausa yang mendefinisikan ruang lingkup penerapan perjanjian.
Sebagai contoh, SOFA dengan Belize yang dengan tegas berlaku untuk personel
AS yang berada sementara di Belize sehubungan dengan latihan militer dan
pelatihan, kegiatan opersai kontra-narkoba, program keamanan bantuan Amerika
Serikat, atau tujuan lain yang disepakati.
Amerika Serikat sebelumnya telah menandatangani dua perjanjian yang
berbeda dengan Belize terkait dengan pelatihan militer dan penyediaan bantuan
pertahanan. SOFA sendiri tidak mengizinkan operasi khusus, latihan, atau
kegiatan, tetapi memberikan ketentuan tertentu dalam mengatasi permasalahan
yang mungkin terjadi mengenai status hukum dan perlindungan terhadap personil
AS yang berada sementara di Belize. Menurut ketentuan perjanjian, personel AS
disediakan perlindungan hukum seolah-olah mereka adalah staff administrasi dan
staff teknis dari Kedutaan Besar AS.
98
Ibid, hal,5.
Mengenai ketentuan lainnya seperti seragam, pajak, dan bea cukai,
pemahaman mengenai pernyataan yurisdiksi hukum umumnya masih bersifat
universal. Suatu masalah administrasi dan operasional yang lebih rinci dapat
dimasukkan sebagai salah satu isi dalam SOFA. SOFA
dapat mencakup
pengaturan mengenai, pemakaian seragam oleh angkatan bersenjata ketika dia
tidak berada di instalasi militer, pajak dan biaya, izin membawa senjata oleh
personil AS, penggunaan frekuensi radio, persyaratan surat izin mengemudi, dan
peraturan
kepabeanan.
SOFA
memberikan
perlindungan
hukum
untuk
pelaksanaan operasi harian personel AS ketika berada di negara asing. Pada
umumnya sofa merupakan perjanjian bilateral sehingga dapat disesuaikan dengan
kebutuhan spesifik dari personil yang beroperasi di negara itu .99
Dalam mendukung kebijakan luar negerinya, Amerika Serikat telah
mengadakan perjanjian dengan negara-negara asing yang terkait dengan
komitmen keamanan dan penjaminan atas keamanan internasional. Perjanjian ini
dapat disimpulkan dalam berbagai bentuk termasuk sebagai kesepakatan
pertahanan kolektif yang mewajibkan para pihak untuk sepakat memberikan
bantuan dalam membela pihak manapun dalam perjanjian yang mengalami
serangan. Kesepakatan mengandung persyaratan berupa hak untuk mengadakan
pertemuan untuk para pihak dalam perjanjian berkonsultasi, dalam pertemuan
tersebut para pihak dalam perjanjian berjanji untuk mengambil tindakan dalam
peristiwa keamanan negara lain apabila suatu negara dalam perjanjian terancam.
perjanjian memberikan hak untuk militer untuk melakukan intervensi, namun
99
Ibid, hal,5.
hanya memberikan hak saja dan tidak memberikan kewajiban bagi salah satu
pihak tersebut untuk melakukan intervensi dalam wilayah negara tersebut walau
negara tersebut dalam ancaman yang berasal dari dalam negara tersebut atau dari
luar negara tersebut.100
SOFA sering disertakan bersama dengan jenis perjanjian militer lainnya
sebagai bagian dari pengaturan keamanan yang
komprehensif. SOFA dapat
didasarkan pada kewenangan yang ditemukan dalam perjanjian sebelumnya,
keputusan dari kongres Amerika Serikat atau berasal dari satu-satunya perjanjian
eksekutif yang terdiri dari pengaturan keamanan.
SOFA antara Jepang dan Amerika yang saat ini berlaku yang mengatur
mengenai aturan keamanan antara kedua negara, ditanda tangani pada tahun 1952
dan berisi mengenai perjanjian keamanan disertai pengaturan administrasi.
Perjanjian administrasi tersebut mencakup antara lain yurisdiksi pelanggaran
hukum oleh anggota pasukan AS yang dilakukan di wilayah kedaulatan Jepang.
Amerika Serikat bisa mengabaikan yurisdiksinya dan mendukung yurisdiksi yang
dimiliki oleh Jepang. Salah satu ketentuan menetapkan bahwa Amerika Serikat
memiliki yurisdiksi tetap atas pelanggaran yang dilakukan oleh personil angkatan
bersenjata Amerika Serikat yang timbul dari suatu tindakan atau kelalaian yang
dilakukan dalam pelaksanaan tugas resmi sehari hari, hal ini diatur dalam bab
XVII pasal 1-3 SOFA Treaty of Mutual Cooperation and Security between the
United States of America and Japan, Regarding Facilities and Areas and the
Status of U.S. Armed Forces in Japan .
100
Ibid, hal,7.
Pada tahun 1957, seorang anggota Angkatan Darat AS didakwa atas
kematian warga sipil Jepang, ketika sedang berpartisipasi dalam latihan satuan di
daerah sekitar perkemahan Weir di Japan. Pihak Amerika Serikat mengklaim
bahwa perbuatan itu dilakukan dalam pelaksanaan tugas resmi, namun Jepang
bersikeras bahwa tindakan tersebut terjadi di luar lingkup tugas resmi, karena
Jepang memiliki yurisdiksi utama untuk mengadili anggota angkatan bersenjata
tersebut. Setelah negosiasi, Amerika Serikat setuju dan sepakat untuk
menyerahkan anggota tersebut kepada Jepang sebagai pihak yang berwenang.
Dalam upaya untuk menghindari persidangan di pengadilan Jepang, anggota
milter Amerika Serikat tersebut mencoba mencari surat perintah habeas corpus di
pengadilan distrik Amerika Serikat untuk distrik dari Columbia. Habeas corpus
adalah surat perintah yang mengharuskan seseorang yang ditangkap untuk dibawa
kehadapan hakim atau ke pengadilan. Untuk memastikan bahwa seorang tahanan
dibebaskan dari penahanan yang melanggar hukum, penahanan yang memiliki
kurang cukup alasan atau bukti . Habeas corpus dapat diajukan oleh tahanan atau
oleh pihak lain yang datang untuk memberi bantuan hukum bagi tahanan. Hak ini
berasal dari sistem hukum Inggris, dan sekarang tersedia di banyak negara. Secara
historis habeas corpus menjadi instrumen hukum penting menjaga kebebasan
individu terhadap tindakan negara yang sewenang-wenang. Permohonan surat
perintah tersebut ditolak, namun anggota militer Amerika Serikat tersebut
diberikan surat perintah penolakan terhadap penyerahan atas kewenangan
mengadili pemerintah Jepang. Amerika Serikat mengajukan banding untuk
keputusan yang diberikan pada anggota militer tersebut pada Mahkamah Agung
Amerika Serikat.101
Dalam kasus Wilson vs Girard,
Mahkamah Agung pertama-tama
membahas ketentuan yurisdiksi yang terkandung dalam perjanjian administrasi
yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Jepang. Pengadilan menetapkan dengan
merekomendasikan ratifikasi keamanan perjanjian SOFA NATO, dan selanjutnya
Senat telah menyetujui perjanjian administrasi dan protokol mewujudkan
ketentuan NATO yang mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan yang
dilakukan oleh pihak militer asing selama bertugas di wilayah negara penerima.
Pengadilan memutuskan bahwa bangsa yang berdaulat memiliki yurisdiksi
eksklusif untuk menghukum pelanggaran melawan hukum yang dilakukan di
dalam wilayah berdaulatnya, kecuali secara tersurat maupun tersirat terdapat
persetujuan untuk menyerahkan yurisdiksi, dan bahwa Jepang melakukan
penyerahan yurisdiksi untuk mengadili personel militer Amerika kepada Amerika
Serikat atas pelanggaran terhadap hukum kedua negara adalah dikondisikan oleh
ketentuan yang tercantum dalam protokol.102
Pertimbangan berdasarkan simpati atas permintaan dari negara lain untuk
melakukan pengabaian hak yurisdiksi dalam kasus di mana negara lain
menganggap bahwa pengabaian yurisdiksi menjadi penting. Pengadilan
menyimpulkan bahwa apakah konstitusi atau undang-undang melarang perjanjian
membawa keluar ketentuan dari yurisdiksi. Pengadilan menemukan tidak ada dan
101
102
Ibid, hal,11.
Girard v. Wilson, 152 F. Supp. 21 (D.D.C. 1957). For a brief explanation of the writ of habeas
corpus, see CRS
Report RS22432, Federal Habeas Corpus: An Abridged Sketch, by Charles Doyle
menyatakan bahwa tanpa adanya gangguan-gangguan tersebut, kebijaksanaan atas
pengaturan yang khusus digunakan untuk penentuan setiap keputusan terkait
bidang eksekutif dan legislatif.
Perjanjian Kerjasama dan Keamanan Bersama Antara Amerika Serikat dan
Japan ditandatangani pada tahun 1960 dan kemudian diubah pada tanggal 26
Desember 1990. Di bawah Pasal VI dari Traktat, Amerika Serikat diberikan izin
penggunaan udara, tanah dan kekuatan dari fasilitas angkatan laut di daerah
perairan Jepang dalam rangka memberikan kontribusi terhadap keamanan Jepang
dan pemeliharaan perdamaian international dan keamanan di wilayah Timur Jauh.
Pasal VI
mengatur lebih lanjut bahwa penggunaan fasilitas dan status
angkatan bersenjata AS akan diatur berdasarkan perjanjian terpisah seperti
perjanjian keamanan yang sebelumnya ditandatangani pada tahun 1952. Sebuah
SOFA seperti yang disebut di Pasal VI Perjanjian, disimpulkan sebagai perjanjian
terpisah sesuai dengan dengan perjanjian pada tahun 1960. SOFA ini membahas
penggunaan fasilitas oleh angkatan bersenjata Amerika Serikat, serta status
pasukan AS di Jepang. Perjanjian tersebut telah dimodifikasi setidaknya empat
kali sejak perjanjian asli.
2. Penyelesaiaan Kasus Keberadaan Pangkalan Militer Amerika Serikat di
Okinawa Jepang
Kepulauan okinawa terletak di selatan kepulauan utama jepang dan terletak
di sebelah timur laut Taiwan, Okinawa masuk kedalam wilayah regional Kyushu
dengan luas wilayah sebesar 2,271.30 km2 dan total populasi penduduk berjumlah
1,379,338 jiwa. Pada tahun 1944 ketika Jepang hampir di gerbang kekalahan
dalam perang dunia ke II, otoritas militer Jepang memutuskan untuk membawa
perang kedalam pulau ini dengan memindahkan armada perang Jepang dalam
skala besar dan menempatkan pasukan di wilayah pulau ini.
Dengan kalahnya Jepang pada perang dunia ke II seharusnya dapat
mengakhiri keberadaan otoritas militer di pulau Okinawa, namun sekarang pulau
ini masih berada dalam penguasaan otoritas militer. United States Military Base of
Okinawa yang saat ini berada di wilayah tersebut, adalah otoritas militer asing
yang menguasai hampir 20% wilayah Prefektur Okinawa. Prefektur Okinawa
memiliki populasi sebesar 1.300.000 penduduk dan terdapat 27.000 lebih pasukan
amerika serikat yang ditempatkan di dua pangkalan militer utama yaitu Marine
Corps Air Station Futenma dan Kadena Airbase.103
Kadena Airbase adalah pangkalan bagi Angkatan Udara Amerika Serikat
yang terletak di antara dua kota yaitu Kadena dan Chatan. Kadena airbase adalah
rumah bagi Skuadron Udara Ke-18 bersama beberapa satuan tugas pendukungnya
: 320th Special Tactics Squadron, 1st Special Operations Squadron, 17th Special
Operations Squadron, 733rd Air Mobility Squadron, Det 1, 554th Red Horse
Squadron, American Forces Network Detachment 11, AFNEWS, Det 3, Pacaf Air
Postal Squadron, Det 3, United States Air Force School of Aerospace Medicine,
Support Center Pacific, OO-ALC/Maly, Det 3, Wr-Alc Air Force Petroleum
Office, Det 624, AF Office of Special investigations, Det 233, Air Force Audit
Agency, Field Training Detachment Det 15, 372nd Training Squadron. Kadena
Airbase terletak di koordinat 26°21′20″N 127°46′03″E. Pangkalan ini didirikan
103
Japanese Communist party Journal, Op.cit, hal.1.
pada tahun 1945 dan masih beroperasional hingga saat ini. Terdapat 18.000 lebih
anggota Angkatan Bersenjata Amerika Serikat yang ditempatkan di Kadena
Airbase dan hampir 4.000 penduduk sipil Jepang yang bekerja di pangkalan ini.
Marine Corps Air Station Futenma terletak di koordinat 26°16′15″N
127°44′53″E adalah pangkalan bagi 4.000 Marinir Amerika Serikat yang terletak
di kota Ginowan, Futenma Air Station adalah rumah bagi 1st Marine Aircraft
Wing. Pangkalan ini didirikan pada tahun 1945 dan masih beroperasional hingga
saat ini. Futenma Airbase ynag terletak di kota ginowan menempati hampir 480
hektar tanah dan hampir seperempat wilayah kota Ginowan yang berpopulasi
93.661 jiwa.
Penempatan Pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah dengan populasi
penduduk sipil yang padat dan ditengah pemukiman penduduk tentu saja
menimbulkan masalah dan gangguan pada kehidupan masyarakat prefektur
Okinawa Jepang, terlebih lagi sifat dan status pangkalan milter tersebut yang
merupakan ototritas asing yang berada di dalam suatu wilayah negara lain dan
kedaulatan sebuah negara. Dengan ditempatkannya militer Jepang di wilayah
Okinawa selama perang dunia ke II berlangsung, Okinawa menjadi satu-satunya
wilayah di negara Jepang yang dijadikan sebagai medan pertempuran. Akibat
yang muncul dengan didirikannya pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa
tentunya akan menghasilkan pergesekan kedaulatan antara pihak ototitas militer
Amerika Serikat yang memiliki kewenangan berdasarkan San Francisco Treaty
1951 dan Security Of Force Agreement dengan pemerintah berdaulat Jepang.
Selama perang dunia II berlangsung di Jepang banyak non combatant yang
terlibat dan menjadi korban selama perang 80 hari. Para penduduk yang berhasil
selamat kemudian dimasukan kedalam kamp konsentrasi dan kemudian
dilepaskan pada tahun 1945. Pasca perang hampir seluruh wilayah okinawa
hancur dan tidak dapat diamanfaatkan kembali wilayahnya. Kemudian Ototritas
militer Amerika Serikat memulai pembuatan Chatan Airbase, hampir 18.000
hektare wilayah Okinawa dikuasai oleh militer Amerika Serikat dan 40.000
pemilik tanah dihapuskan hak kepemilikan tanahnya guna kepentingan militer.104
Dalam Konvensi Den Hague menyebutkan pelarangan kepemilikan tanah
secara privat oleh penduduk sipil dalam masa berperang, Prinsip Military
Necessity digunakan untuk menghapuskan hak yang dimiliki oleh warga sipil.
Namun hal tersebut seharusnya tidak menghapuskan kewajiban pihak militer
Amerika untuk membayar kompensasi atas hilangnya hak yang sebelumnya
dimiliki oleh warga Okinawa pada umumnya. Tindakan penolakan yang
dilakukan oleh pihak Militer Amerika Serikat kala itu adalah sebuah pelanggaran
hukum internasional yang tidak memiliki alasan pemaaf ataupun justifikasi.
Setelah berakhirnya perang dunia ke II penduduk Okinawa kembali berusaha
mengerjakan tanah mereka yang selamat dari penghapusan hak tanah yang
dilakukan oleh otoritas militer Amerika. Ketika itu penduduk Okinawa memiliki
harapan bahwa setelah ditanda tanganinya perjanjian perdamaian tanah mereka
dapat kembali, akan tetapi dalam San Fransisco Treaty 1951 yang ditandatangani
oleh Jepang dan sekutu mengijinkan dan memperpanjang periode okupasi
104
Ibid, hal.2.
Amerika Serikat di Okinawa. Hal tersebut di ikuti dengan demonstrasi serta
penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Okinawa atas keputusan tersebut yang
semakin memberikan kekuasaan dan wewenang bagi militer Amerika Serikat
untuk melakukan penghapusan hak atas tanah milik warga Okinawa dalam skala
besar dan semakin memperburuk kondisi dan beban pasca perang yang di derita
oleh masyarakat prefektur Okinawa. Pada tahun 1953 selama masa penghapusan
hak atas kepemilikan tanah yang dimiliki oleh warga Okinawa sering terjadi
kekerasan dan tindakan paksa yang dilakukan oleh militer Amerika Serikat, salah
satu cara yang digunakan oleh militer Amerika Serikat adalah memaksa dan
membujuk warga di sekitar pulau Iejima untuk melakukan imigrasi ke Amerika
Selatan, hampir sepanjang garis pantai pulau Iejima dibersihkan dan diratakan
garis pantainya guna kepentingan pembangunan lokasi berlabuh bagi armada
kapal militer Amerika Serikat.105
Pada tahun 1972, dua puluh tujuh tahun pasca berakhirnya perang dunia ke II,
hak pemerintahan admnistratif atas Okinawa telah dikembalikan kepada
pemerintah Jepang. Warga prefektur Okinawa tidak memiliki keraguan untuk
dapat masuk dan menguasai lagi tanah yang dahulu mereka miliki, akan tetapi
janji yang diberikan oleh otoritas militer amerika serikat tidak sepenuhnya
diberikan hanya sekitar 15% tanah yang dikembalikan pada pemiliknya oleh
otoritas militer Amerika Serikat.106
105
A Comprehensive Study on U.S. Military Government on Okinawa (An Interim Report)
University of the Ryukyus March, 1987, hal.5-7.
106
Japanese Communist party Journal, Op.cit, hal.4.
Hal tersebut menjadi bukti penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran
hukum internasional, bahwa walaupun pihak militer Amerika Serikat telah
memberikan kembali fungsi dan hak administratif pada pemerintah Jepang,
namun pada kenyataannya tidak terdapat perubahan situasi dan kondisi yang
terjadi secara nyata di Okinawa. Apabila kita mengatakan bahwa suatu negara
tertentu merdeka, maka dengan cara kongkret kita dapat memberikan sejumlah
atribut seperti hak, kekuasaan dan hak–hak istimewa menurut hukum
internasional kepada negara tersebut. Berkaitan dengan hak–hak dan lain–lainnya
itu, terdapat tugas- tugas dan kewajiban–kewajiban yang mengikat negara lain
yang berhubungan dengan negara tersebut. Hak–hak dan yang lainnya ini,serta
kewajiban–kewajiban
yang
berkaitan
merupakan
substansi
pokok
dari
kemerdekaan negara.107
Contoh–contoh hak dan lain–lain itu, yang berkaitan dengan kemerdekaan
negara–negara, adalah :
A. Kekuasaan eksklusif untuk melakukan kontrol terhadap urusan–
urusan dalam negerinya;
B. Kekuasaan untuk memberi izin masuk dan mengusir orang–orang
asing;
C.
Hak–hak istimewa duta–duta diplomatiknya di negara–negara lain;
D. Yurisdiksi tunggal terhadap kejahatan–kejahatan yang dilakukan di
dalam wilayahnya;
107
Starke,Op.Cit, hal.133.
San Fransisco Treaty 1951 adalah salah satu perjanjian internasional yang
mendasari keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah kedaulatan
Jepang, San Francisco Treaty 1951 adalah suatu perjanjian yang bersifat khusus
yang substansinya dan kaidah hukumnya hanya berlaku bagi para pihaknya saja
yaitu Jepang dan sekutu. Pengaturan lebih lanjut yang mendasari keberadaan
pangkalan militer Amerika Serikat di prefektur Okinawa adalah Japan–U.S Status
Of Force Agreement yang ditandatangani pada 19 Januari 1960 dan diteruskan
oleh Treaty of Mutual Cooperation and Security between the United States and
Japan, yang terus diperbarui dan dikaji oleh kedua belah negara mengingat
adanya permasalahan yang timbul di prefektur Okinawa atas keberadaan
pangkalan militer Amerika Serikat. Pelanggaran terhadap nilai–nilai kemerdekaan
dan kedaulatan sebuah negara pun muncul bersamaan dengan konflik–konflik
yang terjadi antara Otoritas militer Amerika di Okinawa dengan warga Okinawa.
Yang dapat dikaji dalam fakta di Okinawa adalah pemerintah Jepang sendiri
memberikan penjaminan terhadap Amerika Serikat bahwa pangkalan militer
Amerika Serikat di Okinawa tidak akan menurun fungsi dan aktifitasnya setelah
masa pembalikan dan pengembalian status, pemerintah Jepang memberikan
penjaminan tersebut dalam rangka pemenuhan janji terhadap Amerika Serikat
dan secara tersirat tindakan tersebut adalah sebagai upaya menjaga hubungan baik
dengan Amerika Serikat. Pemerintah Jepang memberlakukan sebuah regulasi
spesifik yang memberikan ijin dan kewenangan bagi Amerika Serikat untuk terus
dapat menggunakan prefektur Okinawa selama masa okupasi dalam bentuk
SOFA.
Dalam bab ke 2 San Fransisco Treaty 1951 mengenai perdamaiaan antara
Jepang dan Sekutu yang mengatur mengenai wilayah, disebutkan dalam pasal ke 3
bahwa Jepang akan menyerahkan segala kuasa dan dan hak pada Amerika Serikat
dibawah kepercayaan Persatuan Bangsa–bangsa untuk memerintah dan diberikan
ijin untuk mengatur wilayah Nansei Shoto termasuk pulau Ryukyu dan pulau
daito, Nanpo Shoto termasuk pulau Bonin, pulau Rosario dan kepulauan Gunung
Api dan kepulauan Parece Vela dan kepulauaan Marcus. Dalam pasal ini Amerika
Serikat diberikan hak dan izin untuk melaksanakan segala bentuk kewenangan
administrasi, legislasi dan yurisdiksi di seluruh wilayah tersebut termasuk wilayah
perairan sekitar.
Pangkalan militer Amerika Serikat yang berada di tengah areal pemukiman
warga yang di dalamnya terdapat perumahan, sekolah–sekolah dan rumah sakit
telah menimbulkan banyak gangguan dan kerusakan di prefektur Okinawa. Salah
satu dari sekian kecelakaan yang terjadi adalah pada bulan April 1999, sebuah
helikopter milik militer Amerika Serikat yang terbang dari Futenma Base jatuh di
daerah pantai dimana terdapat pembangkit listrik yang berlokasi di dekat tempat
terjatuhnya helikopter tersebut. Dan pada bulan Juni 1999 pesawat tempur Harrier
yang hendak lepas landas mengalami kegagalan mesin dan jatuh terbakar di
daerah sekitar perumahan penduduk.108
Di daerah prefektur Okinawa kecelakaan–kecelakaan yang disebabkan oleh
alat-alat milter dan kendaraan militer milik pangkalan milter Amerika Serikat
sudah sering terjadi secara rutin, yang menjadi sebuah perhatian adalah letak dan
108
Japanese Communist party Journal, Op.cit, hal.5.
keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat yang berada dekat dan diantara
wilayah padat penduduk,
salah satu kecelakaan yang menyebabkan banyak
korban adalah jatuhnya pesawat jet yang berangkat dari pangkalan udara Kadena
yang terbakar dan jatuh di sebuah sekolah dasar yang kemudian membakar 17
rumah dan sebuah pusat kegiatan warga. 11 Warga meninggal dunia dan 6 orang
siswa Sekolah dasar meninggal dunia dan 210 orang mengalami luka–luka.109
Tidak hanya ancaman yang berasal dari aktifitas dari pangkalan militer
Amerika Serikat saja yang menganggu, akan tetapi ancaman dari personil militer
Amerika Serikat yang juga turut membuat keberadaan pangkalan militer Amerika
Serikat di prefektur Okinawa semakin dikecam adalah perbuatan kriminal yang
dilakukan oleh anggota militer pangkalan militer Amerika Serikat. Pada bulan
September 1995 seorang siswi diculik dan diperkosa oleh tiga orang pasukan
militer Amerika Serikat. Kepolisian okinawa meminta pada otoritas militer AS
untuk menyerahkan tiga orang tersangka tersebut kepada pihak kepolisian
Okinawa akan tetapi ditolak.110
Insiden tersebut kemudian memancing marching rally yang dilakukan oleh
warga okinawa, pada Oktober 1995 sekitar 92.000 orang berunjuk rasa menuntut
penegakan hukum bagi para prajurit Amerika Serikat yang melakukan kejahatan
dan menuntut diadakannnya perubahan atas Status Of Forces Agreement. Namun
kejahatan yang dilakukan oleh prajurit Amerika Serikat yang ditempatkan di
109
110
Ibid, hal.6.
Ibid.
Okinawa masih terus saja berlanjut dan menimbulkan ancaman dan rasa takut
secara luas di masyarakat.111
Terdapat pembebasan dan pembatasan berlakunya yurisdiksi teritorial suatu
negara atas keberadaan sebuah angkatan bersenjata asing di suatu wilayah negara
lain, yang diatur oleh hukum internasional. Angkatan bersenjata yang diterima di
wilayah negara asing menikmati suatu imunitas terbatas, tetapi bukan imunitas
absolout, dari yurisdiksi teritorial negara tersebut. Besarnya imunitas tersebut
bergantung pada keadaan–keadaan dimana angkatan bersenjata itu diterima oleh
pemegang kedaulatan teritorial, dan khususnya pada ada atau tidaknya suatu
perjanjian tegas antara negara tuan rumah dan negara pengirim yang mengatur
syarat–syarat mengenai masuknya angkatan bersenjata tersebut di wilayah
itu.dalah hal tidak adanya perjanjian tegas demikian, maka fakta yang nyata dari
penerimaan (Admission) terhadap angkatan bersenjata itu memberikan beberapa
konsekuensi tetrtentu yang pada umumnya diakui hukum internasional. Prinsip
yang berlaku disini adalah apa yang dikatakan dalam kata kata klasik oleh Hakim
Marshall CJ dari Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Schooner vs
M’Faddon dan diungkapkan oleh hakim terkenal dalam doktrin berikut ini : Suatu
negara yang menerima di wilayahnya suatu angkatan bersenjata negara yang
bersahabat secara implisit setuju untuk tidak melaksanakan yurisdiksi apapun
terhadap angkatan bersenjata itu secara kolektif atau terhadap anggota–
anggotanya secara individual
111
Ibid, hlm.10.
yang kemungkinan tidak sesuai dengan
keberadaanya sebagai suatu kekuatan angkatan bersenjata yang efisien untuk
melaksanakan tugas negaranya.112
Akan tetapi apabila dibandingkan terhadap pelanggaran kejahatan yang
terjadi di Okinawa Military Base dapat ditarik kesimpulan bahwa seharusya tidak
ada penghapusan yurisdiksi secara sempurna oleh negara teritorial pada saat
memberikan izin atau penerimaan suatu angkatan bersenjata di wilayahnya.
Gangguan lain yang ditimbulkan dari keberadaan pangkalan militer Amerika
Serikat adalah gangguan yang berasal dari suara mesin jet pesawat yang terbang
diatas pemukiman warga prefektur Okinawa, gangguan lain yang timbul dari
keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat adalah kerusakan lingkungan di
sekitar pangkalan militer, pada wilayah yang sering digunakan untuk dilakukan
latihan pengeboman udara sering kali ditinggalkan begitu saja setelah digunakan
tanpa adanya upaya penanaman pohon kembali, yang tentunya hal tersebut
merusak lingkungan dan kondisi wilayah hijau di perfektur Okinawa.113
Lokasi strategis Okinawa telah menjadi kunci penting pertahanan keamanan
di pasifik selama beberapa dekade terakhir. Pasca Perang Dunia II wilayah
Okinawa dipandang sebagai benteng yang mencakup pengawasan terhadap
armada Uni Soviet di pasifik. Ancaman keamanan pasca Perang Dingin meliputi
potensi ancaman dari Semenanjung Korea dan Selat Taiwan. Perjanjian kerjasama
dan keamanan tidak hanya untuk membela Jepang tetapi untuk menjaga keamanan
di seluruh wilayah Asia-Pasifik. Kehadiran dari Angkatan Udara AS dan
112
113
Starke, Op.Cit, hal.299.
Japanese Communist party Journal, Op.Cit, hal.9.
Angkatan Laut juga memungkinkan untuk respon terhadap bencana kemanusiaan
di wilayah tersebut.
Dalam strategi keamanan sebagian besar pihak setuju tentang pentingnya
lokasi Okinawa sebagai lokasi strategis kehadiran Amerika Serikatdi Asia Timur,
namun keberadaan 38.000 personil militer dan 5.000 orang pegawai departemen
pertahanan Amerika Serikat yang ada di Jepang dalam keberadaan jangka panjang
membuat ketidakseimbangan dan ketidakpastian dalam tata pertahanan Pasifik,
hal ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Jepang. Atas hal tersebut
banyak pengamat yang berpendapat bahwa secara tidak langsung Pemerintahan
Tokyo tidak mampu menyampaikan aspirasi dan keinginan dari warga prefektur
Okinawa. Walaupun prefektur Okinawa telah menerima subsidi berjumlah jutaan
dolar hingga saat ini atas penggantian beban dari keberadaan pangkalan militer di
wilayahnya, akan tetapi hal tersebut bukanlah yang sesungguhnya diharapkan oleh
warga Okinawa.
Usaha-usaha perundingan secara damai sudah sering dilaksanakan oleh
Amerika dan Jepang terkait kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh personil
militer, ataupun kasus-kasus kecelakaan ataupun dampak keberadaan pangkalan
militer bagi ekosistem darat dan laut di Okinawa. Penyelesaiaan sengketasengketa yang timbul diselesaikan dengan negoisasi oleh kedua belah pihak.
SOFA adalah perjanjian yang bersifat bilateral antara dua negara. Perundingan
dan negosiasi mengenai perubahan dan modifikasi atas SOFA hingga saat ini
telah dilakukan sampai tiga kali semenjak tahun 1960. Pada tahun 2006 sebagai
kesepakatan bersama Marine Corps Air Station Futenma direlokasikan ke
kepulauan Guam, yang terletak di selatan kepulauan Okinawa. Kesepakatan ini
dibuat berdasarkan rencana untuk mengurangi dampak atas keberadaan pangkalan
militer di Futenma, pengembalian hak atas tanah diberikan kembali kepada
masyarakat Futenma. Namun proses relokasi mengalami kendala karena kondisi
politik intern Jepang pada saat itu, Mantan Perdana Menteri Jepang Yukio
Hatoyama terus menerus menyuarakan dukungan terhadap pemindahan pangkalan
militer Futenma hingga pada akhir kepemimpinannya pada bulan mei tahun
2010.114
Dukungan pemerintah dan permohonan tersebut akhirnya mendapat
dukungan dari kongres Amerika Serikat senator Carl Levin, John McCain dan
James Webb melakukan dukungan dan pengawalan atas jumlah dana yang
dibutuhkan untuk re-lokasi tersebut. Sebagai balasan dukungan atas keputusan
Kongres Amerika Serikat, Jepang sepakat membayar 60% biaya re-lokasi seluruh
personil militer Amerika Serikat yang berjumlah $10.3 triliun.
Pada bulan juni tahun 2011 diadakan pertemuan antara Jepang dan Amerika
Serikat yang bertema U.S.-Japan Road to Allingnment yang membahas masalah
relokasi dan jumlah dana yang diperlukan serta rencana re-lokasi bertahap yang
akan dilaksanakan. Pada bulan April 2012 kesepakatan antara Amerika Serikat
dan Jepang menghasilkan pada kesepakatan untuk melakukan relokasi terhadap
seluruh marinir Amerika Serikat secara bertahap di Okinawa dan pemindahan
sementara pangkalan Futenma bersama seluruh personilnya, serta memindahkan
114
The U.S. Presence in Okinawa And The Futenma Base Controversy,Congressional
Research Service, hal.1.
sementara pangkalan Futenma di pangkalan Henoko. Pemindahan secara bertahap
personil militer Amerika Serikat akan dilaksanakan mulai pada akhir tahun 2012
sejumlah 9.000 personil. Relokasi pasukan dibagi pada tiga pangkalan militer AS
di pasifik yaitu Guam, Hawaii dan Pangkalan bergerak di Australia. Relokasi akan
terus dilakukan secara bertahap sebagai bentuk pengurangan jumlah personil
militer di Okinawa sebagai kesepakatan pada bulan April Tahun 2012.115
115
Ibid. hal.7.
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Keberadaan pangkalan militer asing di wilayah suatu negara lain seperti milik
Amerika Serikat di kepulauan Okinawa Jepang dan di negara-negara lain
berdasarkan perjanjian Bilateral yang diadakan oleh kedua negara, perjanjian
tersebut dikenal sebagai Security Of Force Agreement (SOFA) yang mengatur
mengenai keberadaan pangkalan militer suatu negara di wilayah negara lain
dan mengatur mengenai keberadaan personil angkatan bersenjata asing di
dalam wilayah suatu negara yang berdaulat pada masa damai.
Keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa dimulai semenjak
penandatanganan San Francisco Treaty 1951 yang memberikan kewenangan
pada Amerika Serikat untuk menjaga keamanan dalam negeri Jepang,
kemudian Okinawa ditetapkan sebagai pangkalan bagi Marinir dan Angkatan
Udara Amerika Serikat. Perubahan serta penyesuaian terhadap Treaty of
Mutual Cooperation and Security between the United States of America and
Japan 1960 yang mengatur mengenai area dan fasilitas pangkalan militer dan
hak serta kewajiban personil militer. Pada tahun 1972 perubahan isi perjanjian
dilakukan terkait kebijaksanaan pengembalian hak atas lahan terhadap
penduduk di sekitar pangkalan. Pada tahun 1990 dilakukan lagi perubahan dan
penyesuaian terhadap kebijakan keberadaan pangkalan dan hak serta kewajiban
yang dimiliki oleh penduduk Okinawa yang bekerja di dalam pangkalan militer
dan izin bagi Amerika Serikat terhadap penggunaan udara, tanah dan kekuatan
dari
fasilitas angkatan laut di daerah perairan Jepang dalam rangka
memberikan kontribusi terhadap keamanan Jepang dan pemeliharaan
perdamaian international. Hingga akhir tahun 2012 perundingan untuk
pengaturan dan penyesuaian atas keberadaan pangkalan terus dilakukan oleh
Jepang dan Amerika Serikat.
2.
Berbagai kasus kriminal dan kejahatan yang sering terjadi di wilayah sekitar
pangkalan militer yang dilakukan oleh personil militer Amerika Serikat selalu
menemui kebuntuan dalam proses penegakan hukumnya. Terkait yurisdiksi
eksklusif yang dimiliki oleh pangkalan militer dan personil angkatan bersenjata
Amerika Serikat. Kewenangan mengadili atas yurisdiksi sering menjadi
perdebatan yang selalu dimenangkan oleh pihak militer Amerika Serikat.
Dengan semakin seringnya terjadi kecelakaan dan insiden membuat
masyarakat Jepang dan masyarakat internasional untuk ikut mendukung
relokasi atas keberadaan seluruh Angkatan Bersenjata Amerika Serikat yang
berada di kepulauan Okinawa Jepang. Akhirnya Pemerintah Jepang berhasil
mencapai kesepakatan pada bulan juni 2012 untuk melakukan relokasi atas
keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat secara bertahap, yang dimulai
dengan Marine Corps Air Station di Futenma.
B. SARAN
1. Bagi negara pengirim angkatan bersenjata asing, pembangunan
pangkalan militer milik negara asing di wilayah berdaulat suatu negara
seharusnya dipertimbangkan lebih baik, mengingat dampak buruk yang
begitu banyak timbul dari keberadaan pangkalan militer. Penempatan
lokasi pangkalan militer seharusnya juga diperhitungkan dengan lebih
bijaksana apabila akan ditempatkan di wilayah yang padat penduduk.
2.
Negara penerima sebesar apapun kontribusi ataupun subsidi yang
diberikan atas gangguan dari keberadaan pangkalan militer tidak akan
dapat memberikan rasa damai bagi penduduk Okinawa. Saat ini jepang
telah bangkit dari keterpurukan ekonomi dan keamanan pasca Perang
Dunia II, maka keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di
wilayah berdaulat Jepang sudah tidak relevan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Bahan
Adolf, Huala , Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996;
----------------,Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006;
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing, Malang, 2008;
Istanto , F. Sugeng, Hukum Internasional.Universitas Atma Jaya,
Jogjakarta, 2010;
Kusumatmadja , Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung,2003;
Mauna, Boer, Hukum Internasional; Pengertian Peranan dan Fungsi
Dalam Era Dinamika Global Edisi Ke – 2, Bandung:Alumni,
2005;
Parthiana, I Wayan, Perjanjian Internasional Bagian 1,Bandung:Mandar
Maju,2002;
------------------------, Perjanjian Internasional Bagian 2,Bandung:Mandar
Maju,2002;
------------------------, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju,
Bandung, 1990;
Pratomo , Eddy, Hukum Perjanjian internasional, Pengertian, Status
Hukum dan Ratifikasi, Alumni, Bandung, 2011
Purwanto, Harry, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian
Internasional, Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011.
Rudy,T May, Hukum Internasional 1,Bandung:Refika Aditama,2006;
-----------------, Hukum Internasional 2,Bandung:Refika Aditama,2006;
Soemitro, Ronny Hanintijo, Metode Penelitian dan Jurimetri, Jakarta :
Ghalia Indonesia, 2009;
-----------------, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia
Indonesia,
1982;
Starke, J.G , Pengantar Hukum Internasional 1, Jakarta : Sinar Grafika
,2007;
---------------, Pengantar Hukum Internasional 2, Jakarta : Sinar Grafika
,2007;
Thontowi , Jawahir, dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional
Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006;
Sumber Lain
San Francisco Treaty 1951 Treaty of Peace Between Japan And Allied;
Vienna Convention 1969 of Law Of Treaties;
SOFA Treaty Of Mutual Cooperation between the United States of
America and Japan 1960;
Amendement of Treaty Of Mutual Cooperation between the United States
of America and Japan 1990;
Japanese Communist party Journal, US.Military Base Okinawa
Problems,February 2000;
The
U.S.
Presence
in
Okinawa
And
The
Futenma
Base
Controversy,Congressional Research Service,August 2012;
Congressional Research Service , Status Of Force Agreement : What is it ?, And
how has it been utilized ?, January 2011;
University of the Ryukyus Journal, A Comprehensive Study on U.S.
Military Government on Okinawa (An Interim Report) March,
1987;
Van der Zejiden, Foreign Military Bases and The Global Campaign to
Close Them a Beginners Guide;
Download