TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN PANGKALAN MILITER ASING DI SUATU NEGARA (Studi Terhadap kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang Tahun 1960-2012) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh : Handityo Basworo E1A008147 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012 LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN PANGKALAN MILITER ASING DI SUATU NEGARA (Studi Terhadap kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang Tahun 1960-2012) disusun oleh : HANDITYO BASWORO E1A008147 Diterima dan Disahkan Pada Tanggal : 14 Februari 2013 Pembimbing I Penguji I Prof.Dr. Ade Maman Suherman, S.H., M.Sc. NIP. 19670711 199512 1001 Pembimbing II Penguji II Aryuni Yuliatiningsih, S.H., M.H. NIP. 19710702 199802 2001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Dr.Angkasa, S.H., M.Hum. NIP. 19640923 198901 1001 Penguji III H.Isplancius Ismail, S.H., M.Hum. NIP. 19550404 199203 1001 SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Handityo Basworo NIM : E1A008147 Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Keberadaan Pangkalan Militer Asing di Suatu Negara (Studi Terhadap Kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang Tahun 1960-2012) Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak dari hasil karya orang lain ataupun dibuatkan oleh orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenai sanksi sesuai dengan aturan yang ada dari pihak Fakultas. Purwokerto, 14 Februari 2013 Handityo Basworo NIM. E1A008147 PRAKATA Assalamu`alaikum Wr. Wb. Segala puji hanyalah bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Tinjauan Yuridis Keberadaan Pangkalan Militer Asing di Suatu Negara (Studi Terhadap Kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang Tahun 1960-2012). Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan pada fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga penulis dapat meyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sebagai bentuk rasa syukur dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dr. Angkasa, S.H., M.hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. P r o f . Dr. Ade Maman Suherman, S.H., M.Sc. selaku Ketua Bagian Hukum Internasional, selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membantu dan membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini. 3. Aryuni Yuliantiningsih, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan arahan dalam akademis dan telah bersedia meluangkan waktunya untuk membantu dan membimbing penulis hingga terselesainya skripsi ini. 4. Bapak H.Isplancius Ismail, S.H., M.Hum. selaku Dosen Penguji dalam seminar dan pendadaran yang telah memberikan masukan yang berharga. 5. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas dukungan moril dan materiil. 6. Nensi Wicita tercinta dan Adik tersayang Laras Bestari. 7. Saudara-saudaraku di ALSA Indonesia, ALSA LC Unsoed dan SAPMA SATRIA , serta seluruh kakak dan senior yang selalu membimbing dan memberikan ilmu yang tiada henti. 8. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Wassalamu`alaikum Wr. Wb. Purwokerto, 14 Februari 2013 Handityo Basworo E1A008147 Abstrak Dengan kalahnya Jepang pada perang dunia ke II seharusnya dapat mengakhiri keberadaan otoritas militer di pulau Okinawa, namun sekarang pulau ini masih berada dalam penguasaan otoritas militer. United States Military Base of Okinawa yang saat ini berada di wilayah tersebut, adalah otoritas militer asing yang menguasai hampir 20% wilayah Prefektur Okinawa. Prefektur Okinawa memiliki populasi sebesar 1.300.000 penduduk dan terdapat 35.000 lebih pasukan Amerika Serikat yang ditempatkan di tiga pangkalan militer utama yaitu Yomitan Airbase, Chatan Airbase dan Kadena Airbase. Tujuan dari penelitian ini Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional yang mengatur keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di negara lain khususnya di prefektur Okinawa Jepang dan untuk mengetahui bagaimana sengketa yang timbul karena keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa. Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Metode penyajian data mengggunakan uraian secara sistematis dan analisa kualitatif. Keberadaan pangkalan militer asing di suatu negara didasarkan pada perjajnjian bilateral yang disebut Perjanjian Pasukan Keamanan Security Of Force Agreement SOFA, dan umumnya menetapkan kerangka kerja mengenai keberadaan personil militer AS yang beroperasi di luar negeri. SOFA mengatur mengenai bagaimana permasalahan yurisdiksi hukum nasional asing harus diterapkan terhadap personel AS ketika berada di negara itu. Pada bulan April 2012 perundingan antara Amerika Serikat dan Jepang menghasilkan kesepakatan untuk melakukan relokasi terhadap seluruh marinir Amerika Serikat secara bertahap di Okinawa dan pemindahan pangkalan Futenma beserta seluruh personilnya. Abstract With the defeat of Japan in World War II should be able to terminate the existance of the military authorities on the island of Okinawa, but now the island is still under the control of the military authorities. United States Military Base of Okinawa who currently resides in the area, is a foreign military authority which controls almost 20% of the Okinawa Prefecture. Okinawa Prefecture has a population of 1.3 million inhabitants and there are 35,000 more U.S. troops stationed in the three main military base Yomitan Airbase, Chatan and Kadena Airbase. The purpose of this study is to determine the base regulation of international law governing the presence of U.S. military bases in other states especially in Japan's Okinawa prefecture and to know how the dispute arising from the presence of U.S. military bases in Okinawa. The type of study is a normative juridical with the statute approach and case approach. The methods used is a systematic description with the qualitative analysis. The existance of foreign military bases in the receiving states is based on bilateral agreement called Status Of Force Agreement (SOFA), and it generally sets the framework about the existance of U.S. military personnel operating abroad. SOFA governing how foreign national legal jurisdiction issues should be applied against U.S. personnel while in the receiving states. In April 2012 talks between the United States and Japan produce an agreement to relocate the entire U.S. Marines in Okinawa and the gradual transfer of the Futenma base with all personnel. DAFTAR ISI JUDUL ................................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. ii SURAT PERNYATAAN .................................................................... iii PRAKATA ............................................................................................ iv ABSTRAKSI ........................................................................................ vii ABSTRACT ......................................................................................... viii DAFTAR ISI ......................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1 B. Perumusan Masalah...........................................................................8 C. Tujuan Penelitian...............................................................................8 D. Kegunaan Penelitian..........................................................................9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Negara Sebagai Subjek Hukum Internasional 1.Syarat-syarat Negara...............................................................11 2.Hak dan Kewajiban Negara....................................................17 B. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Internasional 1. Pengertian dan Istilah Perjanjian Internasional......................20 2. Macam-macam Perjanjian Internasional................................29 3.Akibat hukum Perjanjian Internasional...................................32 . C.Penyelesaiaan Sengketa Internasional Secara Damai 1.Aturan dan Prinsip Dasar Penyelesaiaan Sengketa secara Damai..34 2.Penyelesaiaan Sengketa Internasional secara Diplomatik..............40 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan............................................................................52 B. Spesifikasi Penelitian...........................................................................52 C. Lokasi Penelitian.................................................................................53 D. Jenis dan Sumber Bahan Hukum........................................................53 1. Bahan Hukum Primer...............................................................53 2. Bahan Hukum Sekunder..........................................................53 3. Bahan Hukum Tersier...............................................................54 E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum..................................................54 F. Metode Penyajian Bahan Hukum........................................................54 G.Metode Analisis Bahan Hukum...........................................................54 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Mengenai Keberadaan Pangkalan Militer Asing di Suatu Negara...............................................................55 B. Penyelesaiaan Terhadap Kasus Keberadaan Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang........................................72 BAB V PENUTUP A. Simpulan.................................................................................................86 B. Saran.......................................................................................................87 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan instrumen utama masyarakat baik nasional maupun internasional untuk melestarikan kebebasan maupun ketertiban dan gangguan, baik oleh perorangan, golongan ketertiban, atau pemerintah.1 Unsur utama yang dibutuhkan manusia dari hukum adalah ketertiban. Dengan terwujudnya ketertiban, berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat akan terpenuhi. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional ini dibutuhkan hukum, guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur.2 Negara sebagai subjek hukum internasional, tentunya mempunyai karakteristik tersendiri. Karakteristik negara sebagai subjek hukum internasional tersebut pertama kali muncul dalam Konvensi Montevideo Tahun 1933. Ditinjau dari segi hukum internasional, karakteristik negara sebagai subjek hukum internasional yang paling penting adalah kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain. Hal ini karena kajian utama hukum internasional adalah mempelajari hubungan-hubungan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Selain itu karakteristik ini juga merupakan karakteristik yang membedakan negara (dalam arti yang sesungguhnya) dengan entitas-entitas lain yang lebih kecil 1 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,2008, hal. 2. 2 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes Pengantar Hukum Internasional,Alumni,Bandung,2003, hal. 13. yang tidak mengurus hubungan-hubungan luar negerinya sendiri. 3 Hubungan antara negara yang satu dengan yang lainnya ini tentunya terkait erat dengan hak dan kewajiban negara-negara serta tanggung jawabnya sebagai salah satu pelaku utama dalam kehidupan internasional. Apabila mengingat hakekat negara sebagai subjek hukum internasional, negara merupakan subjek utama dari hukum internasional baik ditinjau secara historis maupun faktual. Secara historis yang pertama – tama merupakan subjek hukum internasional adalah negara. Kelebihan negara sebagai subjek hukum internasional dibandingkan dengan subjek hukum internasional lainnya adalah, negara memiliki apa yang disebut sebagai kedaulatan atau sovereignty. Kedaulatan yang artinya kekuasaan tertinggi, pada awalnya diartikan sebagai kedaulatan dan keutuhan yang tidak dapat dipecah–pecah dan dibagi–bagi serta tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain.4 Dengan berakhirnya perang dingin telah memberikan penurunan secara perlahan atas jumlah pangkalan militer asing di berbagai negara di seluruh dunia. Akan tetapi bersamaan dengan hal tersebut bermunculan pula negara-negara tuan rumah baru yang menerima keberadaan militer asing dalam wilayah berdaulat mereka. Penggunaan strategi baru ini adalah dengan menggunakan konsep pengerahan pasukan dalam jumlah kecil dengan jumlah penyebaran yang merata di seluruh wilayah-wilayah strategis. Dengan penggunaan strategi tersebut terjadi perubahan pola penyebaran pasukan dengan menggunakan kelompok yang lebih 3 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh (1), Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.128. 4 T.May Rudy, Hukum Internasional 1, Bandung : Refika Aditama,2006, hal.21. kecil dan lebih menyebar, dimana fasilitas untuk pengumpulan data intelejen dan pelatihan pasukan serta bantuan militer dapat dilakukan secara cepat dan terpadu.5 Seluruh fasilitas militer terpadu ini bertujuan untuk memberikan bantuan dalam persiapan sebelum perang, ketika perang berlangsung dan setelah perang selesai. Pangkalan militer ini yang kemudian dikatakan sebagai sebagai fasilitas penjaga stabilitas perdamaiaan internasional, namun pada kenyataannya fasilitas ini digunakan sebagai media untuk meningkatkan kekerasan dengan senjata atas nama perdamaian6 Gambaran peran dan fungsi yang dimiliki oleh sebuah pangkalan militer milik Amerika Serikat adalah sebagai berikut7: - Sebagai rumah bagi 160.000 warga Amerika Serikat, termasuk prajurit, warga sipil, personil militer dan staff diplomatik. Jumlah ini adalah jumlah standar personil sebuah pangkalan militer baik pada saat perang ataupun okupasi sebuah negara. Contohnya pangkalan militer Amerika Serikat di Hawai, Guam, Puerto rico dan kwalajein Atoll; Pangkalan militer sebagai landasan pemberangkatan bagi seluruh manuver operasi militer, Contohnya pemboman udara yang dilakukan di Pakistan pesawat pembom diberangkatkan dari pangkalan militer Diego Garcia. Pangkalan militer Manta Di Ekuador digunakan sebagai pusat koordinasi operasi rahasia di kolombia dan pangkalan militer baik di Irak dan Turki digunakan sebagai pusat kordinasi data intelejen militer strategis anti intelejen atas Iran dan Syria; Sebagai tempat penyimpanan persenjataan dan 5 Van der Zejiden,Foreign Military Bases and The Global Campaign to Close Them a Beginners Guide, hal.1. 6 Ibid, hal.2. 7 Ibid, hal.2. sering digunakan sebagai fasilitas penyimpanan hulu ledak nuklir, sebagai fasilitas uji coba senjata, termasuk uji coba senjata nuklir dan sebagai pusat pelatihan militer terpadu bagi para prajurit, sebagai pusat operasi Intelejen World Wide Network Echelon yang menyadap pembicaraan telepon, email dan segala bentuk komunikasi yang digunakan masyarakat sipil; Sebagai fasilitas penjara, penahanan musuh dan digunakan sebagai tempat penyiksaan tawanan untuk mendapatkan informasi dan data intelejen. Pangkalan militer adalah tulang punggung dari setiap operasi militer bagi seluruh pasukan angkatan bersenjata, baik Amerika Serikat, NATO, dan Uni Eropa. Pangkalan militer menyediakan fungsi sebagai sebuah alat utuk menumbangkan suatu pemerintahan secara langsung dalam sebuah medan pertempuran ataupun sebagai alat pemaksa dalam sebuah perundingan. Lebih dari 300 intervensi dan invasi luar negeri dilakukan oleh Amerika Serikat selama seratus tahun terakhir dan hal tersebut dapat dimungkinkan hanya dengan keberadaan pangkalan militer strategis milik Amerika Serikat untuk dapat melancarkan serangan dan dukungan militer secara cepat.8 Sebagai contoh lain adalah bentuk penyerahan diri Belanda sebagai sekutu Amerika Serikat dengan menyerahkan diri dan militernya untuk berada di bawah komando U.S Military Command. Belanda kini menyediakan tujuh fasilitas militer untuk dijadikan pangkalan militer bagi militer Amerika Serikat, termasuk pangkalan Volkel yang memiliki fasilitas hulu ledak nuklir, dua lokasi untuk angkatan udara Amerika Serikat, dua pangkalan angkatan darat Amerika di 8 Ibid, hal.3. Schinggen dan Brunssum, dan dua pangkalan di Antillean yang hendak digunakan untuk mengawasi peredaran narkotik di karibia. Dua bandara besar dan pelabuhan europort yaitu Schiphol dan Rotterdam juga dijadikan fasilitas administratif militer Amerika, hal ini tentunya memberikan kebebasan bagi militer Amerika Serikat untuk melakukan pengiriman dan bongkar muatan barang tanpa harus memberikan laporan dan persetujuan pada pemerintah Belanda.9 Perdamaian masih dapat dirasakan hingga di awal pecahnya perang dunia ke II di prefektur Okinawa, walaupun pasukan militer Jepang tidak menduduki ataupun di tempatkan di wilayah tersebut, penduduk wilayah Okinawa masih dapat hidup secara damai dan berdampingan dengan pulau-pulau di wilayah Asia lainnya. Hingga pada tahun 1944 ketika Jepang hampir di gerbang kekalahan dalam perang dunia ke II, otoritas militer Jepang memutuskan untuk membawa perang kedalam pulau ini dengan memindahkan armada perang Jepang dalam skala besar dan menempatkan pasukan di wilayah pulau tersebut. Dengan kalahnya Jepang pada perang dunia ke II seharusnya dapat mengakhiri keberadaan otoritas militer di pulau Okinawa, namun sekarang pulau ini masih berada dalam penguasaan otoritas militer. United States Military Base of Okinawa yang saat ini berada di wilayah tersebut, adalah otoritas militer asing yang menguasai hampir 20% wilayah Prefektur Okinawa. Prefektur Okinawa memiliki populasi sebesar 1.300.000 penduduk dan terdapat 27.000 lebih pasukan 9 Ibid, hal.4-5. Amerika Serikat yang ditempatkan di tiga pangkalan militer utama yaitu Yomitan Airbase, Chatan Airbase dan Kadena Airbase.10 Pangkalan militer Amerika Serikat yang berada di tengah areal pemukiman warga yang di dalamnya terdapat perumahan, sekolah–sekolah dan rumah sakit telah menimbulkan banyak gangguan dan kerusakan di prefektur Okinawa. Salah satu dari sekian kecelakaan yang terjadi adalah pada bulan April 1999, sebuah helikopter milik militer Amerika Serikat yang terbang dari Futenma Base jatuh di daerah pantai dimana terdapat pembangkit listrik yang berlokasi di dekat tempat terjatuhnya helikopter tersebut. Pada bulan Juni 1999 pesawat tempur Harrier yang hendak lepas landas mengalami kegagalan mesin dan jatuh terbakar di daerah sekitar perumahan penduduk.11 Tidak hanya ancaman yang berasal dari aktifitas dari pangkalan militer Amerika Serikat saja yang menganggu, akan tetapi ancaman dari personil militer Amerika Serikat yang juga turut membuat keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di prefektur Okinawa semakin dikecam adalah perbuatan kriminal yang dilakukan oleh anggota militer pangkalan militer Amerika Serikat. Pada bulan September 1995 seorang siswi diculik dan diperkosa oleh tiga orang pasukan militer Amerika Serikat. Kepolisian Okinawa meminta pada otoritas militer AS untuk menyerahkan tiga orang tersangka tersebut kepada pihak kepolisian Okinawa akan tetapi ditolak.12 10 Japanese Communist party Journal, US.Military Base Okinawa Problems, February 2000, hal.1. 11 Ibid, hal.5. 12 Ibid, hal.6. Di daerah prefektur Okinawa kecelakaan–kecelakaan yang disebabkan oleh alat-alat milter dan kendaraan militer milik pangkalan milter Amerika Serikat sudah sering terjadi secara rutin, yang menjadi sebuah perhatian adalah letak dan Keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat berada dekat dan diantara wilayah padat penduduk, salah satu kecelakaan yang menyebabkan banyak korban adalah jatuhnya pesawat jet yang berangkat dari pangkalan udara Kadena yang terbakar dan jatuh di sebuah sekolah dasar yang kemudian membakar 17 rumah dan sebuah pusat kegiatan warga. 11 Warga meninggal dunia dan 6 orang siswa Sekolah dasar meninggal dunia dan 210 orang mengalami luka–luka.13 Warga prefektur Okinawa menginginkan kembalinya Okinawa menjadi wilayah yang damai dan bebas dari segala aktifitas militer. Warga Okinawa telah melalui banyak penderitaan pasca perang dunia ke II dan sampai saat ini masih mengalami gangguan yang disebabkan aktifitas yang berasal dari pangkalan militer Amerika Serikat. Walaupun mediasi dan perundingan mengenai status serta kondisi lingkungan yang diharapkan oleh warga Okinawa sudah sering dilakukan akan tetapi dalam prakteknya kondisi ideal yang diharapkan warga Okinawa belum dapat tercipta dan dilaksanakan oleh otoritas militer Amerika Serikat di Okinawa. Berdasarkan uraian diatas, melalui serangkaian pencarian data dan penelitian, keberadaan pangkalan militer amerika serikat di negara lain, ditinjau dari hukum internasional yang relevan. Maka penulis mengambil penulisan hukum dengan judul “ Tinjauan Yuridis Keberadaan Pangkalan Militer Asing Di 13 Ibid, hal.6. Suatu Negara (Studi kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang Tahun 1960-2012) “. B. Perumusan Masalah Pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1.Bagaimanakah pengaturan mengenai keberadaan pangkalan militer Asing di suatu negara ? 2. Bagaimanakah penyelesaiaan kasus keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional yang mengatur keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di negara lain khusunya di prefektur Okinawa Jepang 2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul karena keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan hukum internasional pada umumnya berkaitan dengan teori kedaulatan dan prinsip intervensi terhadap negara, serta kajian terhadap permasalahan riil yang terjadi di dalam praktek pelaksanaan hubungan internasional antar negara dalam masalah di bidang keamanan. Selain itu juga dapat menambah kepustakaan dan bahan informasi ilmiah mengingat semakin pesatnya perkembangan keamanan dunia secara global saat ini. 2. Kegunaan Yuridis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan atau sebagai legal basic dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum internasional yang berkaitan mengenai kedaulatan negara dan intervensi yang terjadi pada suatu negara dengan hadirnya suatu subjek internasional dalam wilayah kedulatannya. 3. Kegunaan Praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman dalam bidang Hukum Internasional khususnya mengenai keberadaan pangkalan militer asing di suatu negara. 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman dan acuan dalam penelitian dan penyelesaiaan sengketa-sengketa internasional dalam bidang yang sama. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Negara Sebagai Subjek Hukum Internasional Saat ini perkembangan negara-negara dunia sudah melawati batas-batas wilayah teritorial negara, sehingga perlu aturan yang jelas dan tegas dalam bidang internasional. Hal tersebut bertujuan agar tercipta situasi yang kondusif serta adanya kepastian hukum dalam bidang internasional. Negara merupakan subjek utama hukum internasional. Beberapa sarjana telah mengemukakan pendapatnya. mengenai definisi negara. Henry C. Black mendefinisikan negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum yang melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya.14 Subjek hukum internasional dapat diartikan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Adapun subjek hukum internasional tersebut antara lain :15 a. Negara; b. Tahta Suci; 14 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal.2. 15 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 58-59. c. Palang Merah Internasional; d. Organisasi Internasional; e. Orang Perorangan ( individu ); f. Pemberontak dan Pihak Dalam Sengketa (Belligerent); g.Organisasi Pembebasan atau Bangsa-Bangsa yang sedang memperjuangkan haknya; h. Wilayah-Wilayah Perwalian. a. Syarat-syarat negara Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevidio 1933 mengenai Hak-hak dan Kewajiban-Kewajiban Negara (Montevidio (Pan American) Convention on Rights and Duties of States of 1933) menjelaskan karakteristik negara yang merupakan subjek hukum internasional adalah sebagai berikut :16 Negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki syaratsyarat berikut : 1. Penduduk yang permanen. Penduduk merupakan kumpulan individu-individu yang terdiri dari dua kelamin tanpa memandang suku, bahasa, agama, dan kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat dan yang terikat dalam suatu negara melalui hubungan yuridik dan politik yang diwujudkan dalam bentuk kewarganegaraan. Penduduk merupakan unsur pokok bagi pembentukan suatu negara. Suatu pulau atau suatu wilayah tanpa 16 J.G. Starke, Op.Cit, hal.127. penduduk tidak mungkin menjadi suatu negara.17 Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus terorganisir dengan baik (organised population). Sebab sulit dibayangkan, suatu negara dengan pemerintahan yang terorganisir dengan baik hidup berdampingan dengan masyarakat disorganised.18 2. Wilayah yang Tetap. Wilayah yang tetap adalah suatu wilayah yang dimukimi oleh penduduk atau rakyat dari negara itu. Agar wilayah itu dapat dikatakan tetap atau pasti sudah tentu harus jelas batas-batasnya.19 Wilayah suatu negara terdiri dari daratan, lautan, dan udara diatasnya.20 3. Pemerintah. Sebagai suatu person yang yuridik, negara memerlukan sejumlah organ untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya. Lauterpacht menyatakan bahwa adanya unsur pemerintah merupakan syarat terpenting untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata secara hukum atau secara faktanya menjadi negara boneka atau negara satelit dari suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat digolongkan menjadi negara.21 4. Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain. 17 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2005, hal.17. 18 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 3. 19 I Wayan Parthiana, Op.Cit., hal.64. 20 Boer Mauna, Op.Cit., hal.21. 21 Huala Adolf, Op.Cit., hal.5. Untuk unsur keempat Oppeenheim-Lauterpacht menggunakan kalimat pemerintah yang berdaulat (sovereign). Adapaun yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kemerdekaan yang sepenuhnya, baik kedalam maupun keluar batas-batas negeri.22 Dari keempat unsur diatas, unsur keempat yang paling penting berdasarkan hukum internasional. Unsur ini pula yang membedakan negara dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota federasi atau protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar negerinya dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional yang mandiri.23 Sebagai subjek hukum yang paling penting, negara memiliki kelebihan dibandingkan dengan subjek hukum internasional yang lain. Kelebihan negara sebagai subjek hukum internasional dibandingkan dengan subjek hukum internasional yang lainnya adalah negara memiliki kedaulatan atau sovereignty. Suatu negara yang berdaulat tetap tunduk pada hukum internasional maupun tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lainnya. Manisfestasi dari kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua sisi yaitu sisi intern dan sisi ekstern. Sisi intern berupa kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk mengatur masalah intern atau masalah dalam negerinya. Sedangkan sisi ekstern, berupa 22 23 Ibid, hal.7. J.G. Starke, Op.Cit, hal.92. kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan negara lain atau dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya.24 Pengertian negara tidak lepas dari permasalahan kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara. Kedaulatan merupakan salah satu prinsip dasar bagi terciptanya hubungan internasional yang damai. Yang dimaksud dengan kedaulatan atas wilayah adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara untuk melaksanakan kewenangannya sebatas dalam wilayah-wilayah yang telah menjadi bagian dari kekuasaannya.25 Sedangkan kedaulatan teritorial dapat diartikan sebagai kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksekutif di wilayahnya.26 Sesuai dengan konsepsi internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek utama, yaitu :27 1. Aspek ekstern kedaulatan. Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan, atau pengawasan dari negara lain. 2. Aspek intern kedaulatan. Aspek intern kedaulatan adalah hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja 24 I Wayan Parthiana, Op.Cit., hal.60. Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit, hal.169. 26 Huala Adolf, Op.Cit, hal.99. 27 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op Cit, hal.110-111. 25 lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi. 3. Aspek teritorial kedaulatan. Aspek teritorial kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut. Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan ataupun kewenangan negara untuk mengatur masalah intern maupun eksternnya. Dengan kata lain, dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir jurisdiksi negara.28 Jurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum).29 Jika jurisdiksi dikaitkan dengan negara maka jurisdiksi negara berarti kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enforce) hukum yang dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri.30 Menurut Anthony Csabafi, F.A.Mann dalam bukunya Studies International Law menyatakan sebagai berikut :31When public international lawyers pose the problem of jurisdiction, they have in mind the state’s right under international law to regulate conduct in matters not exclusively of domestic concern.32 Berdasarkan definisi tersebut, unsur-unsur dari negara sebagai berikut :33 a. 28 Hak, kekuasaan atau kewenangan. I Wayan Parthiana, Op.Cit., Pengantar..., hal.295. Huala Adolf, Op.Cit., hal.183. 30 I Wayan Partiana, Op.Cit, hal.293. 31 Ibid, hal.296. 32 Jika diterjemahkan dalam terjemahan bebas menjadi sebagai berikut : Apabila para ahli hukum internasional berhadapan dengan masalah yurisdiksi, dalam pikiran mereka terbayang atas hak suatu negara berdasarkan hukum internasional untuk mengatur perilaku yang berkenan dengan masalah-masalah yang tidak secara eksklusif merupakan maslah dalam negeri. 33 Ibid., hal.297. 29 Dengan hak, kekuasaan, dan kewenangan suatu negara dapat berbuat atau melakukan sesuatu, yang sudah tentu pula harus berdasarkan atas hukum yaitu hukum internasional. b. Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Hak, kekuasaan dan kewenangan untuk melakukan sesuatu dalam hal ini adalah untuk mengatur atau mempengaruhi, didalamnya mencakup membuat atau menetapkan peraturan (legislatif), melaksanakan atau menerapkan peraturan yang telah dibuat (eksekutif), memaksakan, mengenakan sanksi atau mengadili dan menghukum pihak yang melanggar peraturan tersebut (yudikatif). c. Objek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, benda). Hak negara untuk mengatur ditentukan terhadap suatu objek yang memang dapat ditundukan pada peraturan yang dibuat, dilaksanakan, dan dipaksakan oleh negara tersebut. Objek tersebut dapat berbentuk peristiwa, perilaku, masalah, orang, benda, ataupun perpaduan antara satu dengan lainnya. d. Tidak semata-mata masalah dalam negeri (not exclusively of domestic concern). Objek yang tunduk pada peraturan tersebut mengandung aspek internasional. Aspek internasional inilah yang menjadi ciri yang menunjukan bahwa hak, kekuasaan, dan kewenangan untuk mengatur objek itu tidak berdasarkan pada hukum nasional melainkan pada hukum internasional. e. Hukum internasional (sebagai dasar landasannya). Hak, kekuasaan dan kewenangan negara untuk mengatur objek yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri atau domestik itu, adalah berdasarkan pada hukum internasional. Hukum internasionallah yang memberikan hak, kekuasaan dan kewenangan pada negara tersebut untuk mengatur objek yang semata-mata bukan merupakan masalah domestik itu. Demikian pula, hukum internasional yang membatasinya. Berbicara masalah negara, tidak dapat lepas dari pembahasan mengenai hak dan kewajiban negara itu sendiri. Rumusan tentang hak dan kewajiban negara hanya terdapat pada rancangan Deklarasi tentang Hak dan Kewajiban Negara-Negara (Declaration of The Rights and Duties of Nations) yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional PBB pada tahun 1949. Prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban negara dalam rancangan tersebut adalah :34 a) Hak-Hak Negara 1. Hak atas kemerdekaan (Pasal 1) 2. Hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap, orang, benda dan peristiwa hukum yang berada di dalam wilayahnya (Pasal 2) 3. Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan Negara-negara lain (Pasal 5), dan 4. Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal 12). b) Kewajiban Negara 1. Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalahmasalah yang terjadi di Negara lain (Pasal 3) 2. Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di Negara lain (Pasal 4) 3. Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia (Pasal 6) 34 Ibid, hal.113. 4. Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional ( Pasal 7) 5. Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8) 6. Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata (Pasal 9) 7. Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya Pasal 9 8. Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan (Pasal 12) 9. Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik (Pasal 13) 10. Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan Negara-negara lain sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14). Menurut Sugeng Istanto dalam bukunya menyebutkan, Sebagai subjek hukum internasional, negara memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Hak dan Kewajiban negara dapat dibedakan menjadi :35 1) Hak dan Kewajiban Negara yang Berhubungan Dengan Kedudukannya Terhadap Negara Lain. Hak-hak negara yang berhubungan dengan kedudukan negara tersebut terhadap negara lain yang sering diutarakan adalah hak kemerdekaan, hak kesederajatan, dan hak untuk mempertahankan diri. Adapun kewajiban negara yang berhubungan dengan kedudukan negara tersebut terhadap negara lain yang sering diutarakan adalah tidak melakukan perang, melaksanakan perjanjian internasional dengan iktikad baik dan tidak mencampuri urusan negara lain. 2) Hak dan Kewajiban Negara Atas Wilayah. Salah satu kualifikasi yang harus dipenuhi negara sebagai subjek hukum internasional adalah wilayah tertentu. Negara sebagai organisasi 35 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hal.43-63. kekuasaan menguasai wilayah tersebut. Di wilayah negara tersebut memegang kekuasaan kenegaraan yang tertinggi, yakni hak melakukan kedaulatan wilayah. Dalam wilayah itu negara melaksanakan fungsi kenegaraan dengan mengecualikan negara lain. Wilayah negara dapat dibedakan antara daratan, lautan, dan udara. 3) Hak dan Kewajiban Negara Atas Orang. Hak dan kewajiban negara atas orang pada hakikatnya ditentukan oleh wilayah negara tersebut dan kewarganegaraan yang bersangkutan. Semua orang yang ada dalam wilayah suatu negara, baik warga negaranya sendiri maupun warga negara asing, harus tunduk pada negara itu. Mereka harus tunduk pada kekuasaan negara tersebut. Mereka harus mentaati hukum negara itu. Pada prinsipnya, bagi semua warga negara berlaku semua hukum positif yang berlaku di negara tersebut dengan beberapa pengecualian misalnya mereka tidak mempunyai hak suara dalam pemilihan umum, mereka tidak berhak menduduki jabatan tertentu, mereka yang kekebalan diplomatik bebas dari pungutan pajak dan bea. 4) Hak dan Kewajiban Negara Atas Benda. Semua benda yang ada di wilayah suatu negara tunduk pada kekuasaan hukum negara tersebut. Hak dan kewajiban negara atas benda itu terutama berlaku bagi benda-benda yang ada di wilayahnya. Kekuasaan dan hukum negara itu juga berlaku bagi benda-benda yang masih ada hubungannya dengan negara itu namun berada di negara lain. Ketentuan ini, mutatis mutandis juga berlaku bagi benda-benda yang ada di negara tersebut. Dengan demikian hukum internasional membatasi kekuasaan dan hukum negara itu terhadap benda yang ada hubungannya dengan negara lain. Sampai batas-batas tertentu bagi benda-benda yang ada hubungannya dengan negara lain tunduk pada kekuasaan dan hukum negara lain itu. 5) Hak dan Kewajiban Negara Atas Kepentingan Ekonomi. Kepentingan ekonomi ialah kepentingan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani kehidupan manusia. Kepentingan itu mencakup usaha, sarana, dan benda yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan itu. Negara modern mengatur dan melindungi kepentingan ekonomi suatu negaranya. Namun karena kehidupan ekonomi suatu negara tidak dapat lepas dari kehidupan negara lain timbulah, bermacam-macam perjanjian internasional yang mengatur ekonomi internasional. 2. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Internasional A. Pengertian dan Istilah Perjanjian Internasional Perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan persetujuan, ataupun konvensi, memiliki pengertian:36 Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Berdasarkan pengertian tersebut di dapat unsur-unsur perjanjian internasional, yaitu kata sepakat, subjek hukum internasional, dan objek perjanjian. Mengenai subjek hukum internasional dalam pengertian tersebut 36 hal.12. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2002, tidak dikatakan secara tegas siapa saja yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian. Oleh karena itu, saat ini tidak semua subjek hukum internasional dapat menjadi pihak perjanjian internasional. Hanya negara, tahta suci, dan organisasi internasional (tidak seluruhnya), kaum belligerensi, bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya yang dapat berkedudukan sebagai pihak dalam perjanjian internasional.37 Selain itu, pengertian tersebut tidak secara tegas menyebutkan bentuk perjanjian internasional yang tidak tertulis maupun perjanjian internasional tertulis. Berdasarkan alasan tersebut, maka dapat dirumuskan perjanjian internasional dalam ruang lingkup yang lebih sempit,38 yaitu: Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional (negara, tahta suci, kelompok pembebasan, organisasi internasional) mengenai suatu objek tertentu yang dirumuskan secara tertulis dan tunduk pada atau yang diatur oleh hukum internasional. Pengertian perjanjian internasional tersebut menjadi lebih sempit dengan memberikan batasan mengenai subjek hukum internasional dan bentuk perjanjian. Pengertian tersebut menyatakan secara tegas subjek hukum internasional yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian. Subjek hukum internasional tersebut adalah negara, tahta suci, kelompok pembebasan, organisasi internasional. Demikian pula bentuk perjanjian yang disebutkan dalam pengertian ini adalah bentuk tertulis. Organisasi internasional dapat juga sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional sehingga akan lebih mudah dipahami jika 37 38 Ibid, hal.18. Ibid, hal.13. pengertian perjanjian internasional dibagai dalam dua macam yaitu pengertian perjanjian internasional antarnegara yang berbeda serta pengertian perjanjian internasional antara negara dan organisasi internasional atau antarorganisasi internasional. Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional memberikan pengertian perjanjian internasional antarnegara, yaitu:39 Perjanjian artinya. Suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum internasional baik yang berupa satu instrument tunggal atau berupa dua atau lebih instrument yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Antara Negara dan Organisasi Internasional dan Perjanjian antara Organisasi Internasional dan Organisai Internasional40 memberikan pengertian perjanjian internasional antara negara dan organisasi internasional dan antarorganiasi internasional. Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis: 39 Isi Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional: Treaty means an international agreement concluded between States in written from and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instrument and whatever it’s particular designation. 40 Isi Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian antara Negara dan Organisasi Internasional dan Perjanjian antara Organisasi Internasional dan Organisasi Internasional: Treaty means an international agreement governed by international law and concluded in written from: (i) Between one or more States and one or more international organization; or (ii) Between international organizations, whether that agreement is embodied in a single instrument or in two or more related instrument and whatever particular designation. (i) Antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional; atau (ii) Sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrument atau lebih dari satu instrument yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya. Kedua pengertian tersebut memiliki unsur yang sama dengan pengertian perjanjian internasional sebelumnya. Namun demikian, pada kedua pengertian terakhir, ruang lingkup perjanjiannya menjadi lebih sempit, dengan memisahkan subjek hukum yang dapat menjadi peserta dalam perjanjian internasional. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dijabarkan beberapa unsur yang harus dipenuhi oleh suatu perjanjian agar dapat disebut sebagai perjanjian internasional, yaitu: 1. Kata sepakat Kata sepakat merupakan unsur yang esensial dari perjanjian internasional. Tanpa kata sepakat antara para pihak, maka tidak akan ada perjanjian. Kata sepakat inilah yang kemudian dituangkan ke dalam pasal-pasal perjanjian.41 2. Subjek-subjek hukum Subjek hukum yang dimaksud adalah subjek hukum internasional yang terikat pada perjanjian, antara lain negara (termasuk negara bagian, sepanjang konstitusi negara federal yang bersangkutan memungkinkan hal tersebut), tahta suci, organisasi internasional, 41 kaum belligerensi, I Wayan Parthiana, Op.Cit, hal. 16. dan bangsa yang sedang memperjuangkan haknya. Pada perjanjian internasional yang bersifat terbuka dapat dimungkinkan bahwa pihak yang melakukan perundingan belum tentu menjadi peserta dalam perjanjian tersebut, sedangkan pihak yang tidak terlibat dalam proses perundingan kemudian menjadi peserta perjanjian. Situasi ini seringkali terjadi tatkala pihak yang melakukan perundingan kemudian menyatakan sikap untuk tidak terikat pada persetujuan tersebut.42 3. Berbentuk Tertulis Bentuk tertulis merupakan perwujudan dari kata sepakat yang otentik dan mengikat para pihak, dengan dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang bersangkutan. Melalui bentuk tertulis, akan menjamin adanya ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak dan pihak ketiga yang mungkin pada suatu hari akan terikat pada perjanjian tersebut.43 4. Objek tertentu Objek dari suatu perjanjian internasional adalah objek atau hal tertentu yang diatur di dalamnya. Setiap objek itu secara langsung menjadi nama dari perjanjian tersebut. 5. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional Yang dimaksud adalah baik hukum internasional pada umumnya maupun hukum internasional pada khususnya (hukum 42 43 Ibid, Ibid, hal.17. Diplomatik, Hukum Laut Internasional, dan sebagainya). Secara umum, suatu perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian tersebut. Demikian pula sejak diadakannya perundingan hingga dinyatakannya persetujuan terhadap perjanjian tersebut, seluruhnya tunduk pada hukum perjanjian internasional.44 Perjanjian internasional memiliki beberapa istilah dalam bahasa Inggris, seperti treaty, convention, agreement, declaration, charter, covenant, statute, protocol, pact, modus Vivendi, Concordat. Istilah perjanjian internasional dalam bahasa Indonesia juga tidak jauh berbeda dengan istilah dalam bahasa Inggris. Banyaknya istilah perjanjian internasional tersebut sebenarnya tidak memberikan perbedaan yang mencolok antara perjanjian internasional yang satu dengan yang lain. Pengertian istilah-istilah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Traktat (treaty) Traktat atau treaty merupakan istilah yang sudah umum dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional antara negaranegara yang substansinya tergolong penting bagi para pihak. Kebiasaan masa lampau cenderung menggunakan istilah treaty untuk perjanjian bilateral.45 2. Konvensi (Convention) 44 Ibid, hal.15. Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian internasional, Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi, Alumni, Bandung, 2011, hal.58. 45 Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal penting yang bersifat multilateral, baik yang diprakarsai oleh negara-negara maupun organisasi internasional. Istilah ini biasanya digunakan untuk perjanjian multilateral yang mengatur mengenai masalah yang besar dan penting di mana kaidah hukumnya berlaku secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum.46 3. Deklarasi (Declaration) Deklarasi diartikan sebagai pernyataan atau pengumuman. Deklarasi digunakan untuk menunjuk pada kesepakatan antara para pihak yang bersifat umum dan berisi mengenai hal-hal yang pokok saja. J.G. Starke membedakan deklarasi ke dalam empat macam, yaitu deklarasi sebagai perjanjian dalam arti sebenarnya, instrumen tidak formal yang dilampirkan pada suatu perjanjian sebagai penjelasan, persetujuan informal yang berhubungan dengan masalah-masalah yang tidak begitu penting, deklarasi sebagai resolusi yang dikeluarkan dalam suatu konferensi diplomatik yang berisi beberapa pernyataan tentang beberapa prinsip yang harus dihormati. 47 4. Statuta (Statute) Statuta merupakan perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional. Sebagai contoh 46 47 Ibid. I Wayan Parthiana, Op.Cit, hal.29-30. adalah Mahkamah Internasional Permanen yang menyebut piagamnya dengan Statue of Permanent Court of International Justice. 48 5. Piagam (Charter) Istilah piagam digunakan sebagai instrumen perjanjian internasional yang dijadikan sebagai dasar dari suatu organisasi internasional. Organisasi internasional yang menggunakan istilah piagam untuk konstitusinya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Charter of The United Nations. 49 6. Kovenan (Covenant) Kovenan diartikan sama dengan statuta dan piagam yang digunakan untuk menunjuk pada perjanjian internasional yang merupakan konstitusi dari suatu organisasi internasional. Istilah ini juga digunakan dalam perjanjian internasional pada umumnya, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tanggal 16 Desember 1966 (International Covenant on Civil and Political Rights of December 16, 1966). 50 7. Persetujuan (Agreement) Persetujuan merupakan perjanjian intenrasional yang ditinjau dari segi isinya yang bersifat teknis dan administratif, serta memiliki ruang lingkup yang kecil bila dibandingkan dengan traktat ataupun konvensi. 51 48 Ibid, hal.30-31. Eddy Pratomo, Op.Cit, hal.58. 50 Ibid. 51 I Wayan Parthiana, Op.Cit, hal.32. 49 8. Pakta (Pact) Pakta digunakan dalam perjanjian internasional di bidang militer, pertahanan, dan keamanan. Seperti pada organisasi kerjasama pertahanan dan keamanan Atlantik Utara. 52 9. Protokol (Protocol) Menurut J.G Starke menyatakan protokol sebagai istilah dalam perjanjian internasional yang kurang formal jika dibandingkan dengan istilah traktat maupun konvensi.53 Selanjutnya J.G Starke juga mengklasifikasikan penggunaan istilah protokol ke dalam empat golongan, yaitu: a) Protokol sebagai instrumen tambahan dari suatu konvensi yang dibuat oleh negara-negara yang melakukan perundingan. b) Protokol sebagai instrumen pembantu dalam konvensi dan berkedudukan sendiri. c) Protokol sebagai perjanjian yang memiliki sifat dan derajat sama seperti konvensi. d) Protokol sebagai rekaman dari saling pengertian antara para pihak mengenai masalah tertentu. 10. Modus vivendi Istilah ini biasa digunakan sebagai instrumen kesepakatan yang bersifat sementara dan informal. Pada umumnya para pihak akan 52 53 Ibid, hal.33. Ibid, hal.34-35. menindaklanjuti dengan bentuk perjanjian yang lebih formal dan bersifat permanen.54 11. Concordat Concordat adalah perjanjian yang dibuat antara tahta suci dengan negara lain di bidang keagamaan.55 B. Macam-Macam Perjanjian Internasional Bentuk perjanjian internasional secara tertulis telah dikemukakan di atas, dapat ditinjau dari berbagai sudut pendekatan, antara lain: 1. Perjanjian internasional ditinjau dari segi jumlah negara yang menjadi peserta: a. Perjanjian bilateral, di mana yang menjadi peserta perjanjian hanya dua pihak atau dua negara saja; b. Perjanjian multilateral, di mana yang menjadi peserta perjanjian lebih dari dua pihak atau dua negara. 2. Perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang diberikan kepada negara-negara untuk menjadi peserta dalam perjanjian internasional: a. Perjanjian internasional khusus atau perjanjian internasional tertutup,di mana kaidah hukum dalam perjanjian internasional tersebut khusus berlaku bagi para pihak yang menjadi peserta. Hal ini dikarenakan perjanjian internasional tersebut hanya mengatur kepentingan dari para pihak saja. Contoh perjanjian internasional 54 55 Eddy Pratomo, Op.Cit, hal.60. Ibid, hal.61. tertutup ini yaitu perjanjian mengenai garis batas wilayah dan garis batas landas kontinen. b. Perjanjian internasional terbuka, di mana perjanjian tersebut terbuka bagai negara-negara yang pada awalnya tidak terlibat dalam proses perundingan perjanjian. Jika terdapat negara-negara yang setelah diberlakukannya perjanjian ini ingin bergabung, maka dapat dilakukan melalui pernyataan persetujuan untuk terikat (consent to be bound). Keterbukaan dari perjanjian ini tergantung pada maksud dan tujuan, ruang lingkup kawasan berlakunya, dan sifat dari kaidah hukum yang terkandung di dalamnya. 3. Perjanjian internasional ditinjau dari kaidah hukumnya: a. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para pihak yang terikat. Perjanjian seperti ini berlaku hanya sebatas pada para pihak yang melakukan perundingan dan menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut. Sehingga, kaidah hukum yang muncul hanya mengikat terhadap para pihak dalam perjanjian saja. Bentuk perjanjian ini antara lain perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral terbatas. Kaidah hukum yang terdapat dalam perjanjian tersebut kemudian dapat berkembang menjadi kaidah hukum yang berlaku umum jika substansi dari perjanjian khusus ini diikuti oleh negara lain. b. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang berlaku dalam suatu kawasan tertentu. Perjanjian seperti ini dapat dikatakan sebagai perjanjian internasional terbuka. Hanya saja sifat terbuka dari perjanjian ini berlaku bagi negara-negara yang berada dalam suatu kawasan tertentu. Sementara untuk negara-negara di luar kawasan tersebut tidak dimungkinkan untuk menjadi pihak dalam perjanjian. Perjanjian seperti ini lazim disebut sebagai perjanjian internasional regional. Sebagai contoh adalah American Convention on Human Rights (Pact of San Jose) of November 22, 1969. c. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang berlaku umum. Perjanjian seperti ini, pada umumnya berkenaan dengan masalah kepentingan seluruh negara di dunia, di mana setiap negara tidak memandang letak geografis masing-masing negara sebagai pihak dalam perjanjian. Dengan banyaknya jumlah negara yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, maka besar kemungkinan jika perjanjian tersebut kemudian menjadi kaidah hukum yang berlaku umum. Perjanjian dapat pula dikatakan sebagai perjanjian yang bersifat terbuka karena baik dari jumlah maupun letak geografis negara yang akan menjadi peserta perjanjian tidak dibatasi. Sebagai contoh adalah Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982. C. Akibat Hukum Perjanjian Internasional Perjanjian internasional sebagai sumber utama hukum internasional mengeikat para pihak.56 Perjanjian internasional menganut prinsip Pacta Sunt Servanda yang menyebutkan bahwa perjanjian internasional mengikat para pihak. Negara peserta selanjutnya menerapkan ketentuanketentuan dalam perjanjian internasional ke dalam peraturan perundangundangan. Perjanjian tersebut kemudian tidak hanya akan menimbulkan akibat kepada negara peserta perjanjian, tetapi juga kepada negara lain. Dengan terikatnya negara peserta terhadap perjanjian internasional, maka negara peserta memilliki kewajiban untuk mentaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut. Dari segi intern, setelah sebuah perjanjian disetujui, maka perjanjian tersebut dibentuk ke dalam instrumen hukum nasional melalui undang-undang. Pada tahap ini, organ eksekutif negara peserta yang melaksanakannya dengan didasarkan pada prosedur negaranya. Disamping perjanjian internasional berakibat pada negara peserta, juga dapat berakibat pada negara lain. Prinsip Pacta Tertiis Nex Nocent Nec Prosunt menyebutkan bahwa perjanjian tidak dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak kepada negara ketiga. Dengan kata lain suatu negara tidak dapat menuntut hak dari suatu ketentuan perjanjian internasional, jika negara tersebut bukan peserta dari perjanjian internasional tersebut. Terhadap prinsip ini terdapat tiga pengecualian, 56 Boer Mauna, Op.Cit, hal.82. yaitu perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga atas persetujuan meraka, perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga, dan perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan mereka.57 Perjanjian yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban terhadap negara ketiga atas persetujuan mereka sangat jarang terjadi. Pada Pasal 35 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang berasal dari ketentuan suatu perjanjian yang dibuat dengan sengaja oleh negara-negara pihak dan negara ketiga tadi menerima kewajiban tersebut dalam berbentuk tertulis.58 Sementara perjanjian yang memberikan hak kepada negara ketiga dapat segera yang menikmati keuntungan dari negara lain, maka akan dinikmati pula oleh negara ketiga. Pada perjanjian yang menimbulkan akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan negara ketiga dapat dilihat dalam Pasal 2 angka 6 Piagam PBB yang secara garis besar menyebutkan bahwa PBB harus memastikan bahwa negara-negara yang bukan anggota PBB dapat bertindak sesuai dengan asas PBB sepanjang diperlukan demi perdamaian dan keamanan internasional. Melalui pasal ini, PBB memberikan kewajiban kepada negara di luar negara anggota PBB supaya turut serta menjaga perdamaian dan keamanan internasional. 57 58 Ibid, hal.144. Ibid, hal.145. 3. Penyelesaiaan Sengketa Internasional Secara Damai A. Aturan dan Prinsip Dasar Penyelesaiaan Sengketa Secara Damai Salah satu tujuan didirikannya PBB adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan interasional. Hal ini tampak pada Pasal 1 ayat (1) piagam PBB, Tersirat dalam ketentuan pasal tersebut fungsi dari badan dunia ini dan negara-negara anggotanya, yaitu untuk bersama-sama menciptakan dan mendorong penyelesaian sengketa internasional. Khususnya terhadap negara-negara anggotanya, Pasal 2 ayat (3) piagam memberikan pengaturan lebih lanjut guna melaksanakan dan mencapai tujuan di atas. Pasal ini mewajibkan semua negara anggotanya untuk menempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara damai. 59 Pasal 2 ayat (3) yang sangat penting ini menyatakan: All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security are not endangered. Kata shall (harus) dalam kalimat di atas merupakan salah satu kata kunci yang mewajibkan negara-negara untuk menempuh cara damai dalam menyelesaikan sengketanya. Kewajiban lainnya yang terdapat dalam piagam tercantum dalam Pasal 2 ayat (4). Pasal ini menyatakan bahwa dalam hubungan internasional, semua negara harus menahan diri dari penggunaan cara-cara kekerasan, yaitu ancaman dan penggunaan senjata terhadap negara lain atau cara-cara yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB. 59 hal.12. Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Perlu ditekankan dari dua kewajiban yang tertuang dalam kedua ayat di atas, yaitu kewajiban menahan diri menggunakan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. Kedua kewajiban tersebut harus dipandang berdiri sendiri. Piagam PBB tidak menyatakan kewajiban negara-negara berdasarkan Pasal 2 ayat (3) untuk menahan diri dari penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 2 ayat (4). Dengan kata lain, kewajiban yang terdapat dalam ayat (3) bukanlah merupakan akibat atau konsekuensi logis dari kewajiban yang terdapat dalam ayat (4). 60 Sebaliknya, piagam menetapkan kewajiban terhadap anggota- anggotanya untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai sebagai suatu aturan yang berdiri sendiri, dan sebagai aturan dasar fundamental PBB. Karena itu pula kewajiban Pasal 2 ayat (3) tidak dipandang sebagai suatu kewajiban yang pasif. pewajiban tersebut terpenuhi manakala negara yang bersangkutan menahan dirinya untuk tidak menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pasal 2 ayat (3), sebagaimana tersurat dalam bunyi ketentuannya, mensyaratkan negara-negara untuk secara aktif dan dengan iktikad baik menyelesaikan sengketanya secara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan tidak terancam. Khusus mengenai prinsip larangan penggunaan cara kekerasan atau yang tidak damai, meskipun tersurat dalam Piagam PBB, namun dalam 60 Ibid, hal.13. perkembangannya kemudian tidak lagi semata-mata mengikat negaranegara anggota PBB. Dalam pembahasan rancangan pasal-pasal mengenai hukum perjanjian (Draft of Articles on the Law of Treaties), khususnya pembahasan Pasal 33 paragraf 5, Komisi Hukum Internasional memberikan komentarnya mengenai prinsip ini. 61 Kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai ini dijelaskan lebih lanjut oleh Pasal 33 Piagam PBB. Lengkapnya, pasal ini menyatakan: Para pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut akan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, harus pertama tama mencari penyelesaian dengan cara negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya kepada organisasiorganisasi atau badan-badan regional, atau cara-cara penyelesaian damai lainnya yang mereka pilih. Dari berbagai aturan hukum internasional di atas, termasuk dan terutama Deklarasi Manila, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa internasional. 62 1. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith) Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa antarnegara. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Tidak heran apabila prinsip ini dicantumkan sebagai prinsip 61 62 Ibid. Ibid, hal.15. pertama yang termuat dalam Manila Declaration (Section 1 paragraph l). Dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (Bali Concord 1976), persyaratan iktikad baik juga ditempatkan sebagai syarat utama. Pasal 13 Bali Concord menyatakan: The high contracting parties shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising. Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap. Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat memengaruhi hubungan baik antar negara. Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum internasional, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara lain yang dipilih para pihak. 2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa Prinsip ini juga sangat sentral dan penting. Prinsip inilah yang melarang para pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 13 Bali Concord dan preambule ke-4 Deklarasi Manila. Dalam berbagai perjanjian internasional lainnya, prinsip ini tampak dalam Pasal 5 Pakta Liga Negara-Negara Arab 1945 Pact of the League of Arab States, Pasal 1 dan 2 the Inter-American Treaty of Reciprocal Assistance (1947. 3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Prinsip penting lainnya adalah prinsip di mana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (Principle of free choice of means). Prinsip ini termuat dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB dan Section 1 paragraph 3 dan 10 Deklarasi Manila dan paragraf ke-5 dari Friendly Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian sengketa atau cara-cara penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas para pihak. Kebebasan ini berlaku baik untuk sengketa yang telah terjadi atau sengketa yang akan datang. 4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok Sengketa Prinsip fundamental selanjutnya yang sangat penting adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan ex aequo et bono Yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan, atau kelayakan. Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang lazim bagi pengadilan internasional, misalnya Mahkamah Internasional, untuk menerapkan hukum internasional, meskipun penerapan hukum internasional ini tidak dinyatakan secara tegas oleh para pihak. 5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus) Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala ada kesepakatan dari para pihak. Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin berjalan apabila kesepakatan hanya ada dari salah satu pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak. 6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies Prinsip ini termuat dalam Section 1 paragraph 10 Deklarasi Manila. Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh. 7. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah Negara-Negara Deklarasi Manila mencantumkan prinsip ini dalam Section 1 paragraph 1Prinsip ini mensyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk terus menaati dan melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya berdasarkan prinsip-prinsip fundamental integritas wilayah negara-negara. B. Penyelesaiaan Sengketa Internasional Secara Diplomatik Penyelesaian sengketa internasional pada umumnya dapat digolongkan dalam dua bagian, yaitu penyelesaian secara hukum dan diplomatik. Penyelesaian secara hukum meliputi arbitrase dan pengadilan. Sedangkan penyelesaian secara diplomatik meliputi negosiasi, pencarian fakta, jasa baik, mediasi, dan konsiliasi. 63 1. Negosiasi Negosiasi atau perundingan adalah cara penyelesaian sengketa yang paling penting dan banyak ditempuh, serta efektif dalam menyelesaikan sengketa internasional. Praktik negara-negara menunjukkan bahwa mereka lebih cenderung untuk menggunakan sarana negosiasi sebagai langkah awal untuk menyelesaikan sengketanya. Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Menurut Fleischhauer, dengan tidak adanya ikut serta pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa, masyarakat internasional telah menjadikan negosiasi ini sebagai langkah pertama dalam penyelesaian sengketa. 64 Manakala proses ini berhasil, hasilnya biasanya dituangkan dalam suatu dokumen yang memberinya kekuatan hukum. Misalnya hasil 63 64 Ibid, hal.26. Ibid, hal.27. kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam bentuk suatu dokumen perjanjian perdamaian. Selanjutnya, para pihak biasanya mensyaratkan, bahwa manakala cara ini gagal dalam jangka waktu tertentu, mereka sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada cara lainnya, seperti arbitrase, mediasi, konsiliasi, pengadilan, dan lain-lain. Segi positif dari negosiasi ini adalah sebagai berikut: 65 1. Para pihak sendiri yang melakukan perundingan (negosiasi) secara langsung dengan pihak lainnya. 2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana penyelesaian secara negosiasi ini dilakukan menurut kesepakatan mereka. 3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya. 4. Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik di dalam negeri. 5. Dalam negosiasi, para pihak berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang dan kalah tetapi diupayakan kedua belah pihak menang. 6. Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan untuk setiap tahap penyelesaian sengketa dalam setiap bentuknya, apakah negosiasi 65 Ibid. secara tertulis, lisan, bilateral, multilateral, dan lain-lain. 2. Pencarian Fakta Para pihak yang bersengketa dapat pula menunjuk suatu badan independen untuk menyelidiki fakta-fakta yang menjadi sebab sengketa. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan laporan kepada para pihak mengenai fakta yang ditelitinya. Dengan adanya pencarian fakta-fakta demikian, diharapkan proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat segera diselesaikan. Dalam bahasa Inggris, dipergunakan dua istilah untuk pencarian fakta yang sama artinya dan acap kali digunakan secara bertukar, yaitu inquiry dan fact-finding.66 Tujuan dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang sebenarnya ini adalah untuk: membentuk suatu dasar bagi penyelesaian sengketa di antara dua 1. negara; 2. mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian internasional; 3. memberikan informasi guna membuat putusan di tingkat internasional (Pasal 34 Piagam PBB). Misalnya pembentukan UNSCOM (United Nations Special Commission) yang dikirim ke wilayah Irak untuk memeriksa ada tidaknya senjata pemusnah massal. Tujuan pertama untuk menyelesaikan suatu sengketa internasional. Tujuan kedua untuk memastikan suatu kewajiban internasional terlaksana dengan baik. Sedangkan tujuan ketiga merupakan unsur yang penting 66 Ibid, hal.29. dalam proses pembuatan keputusan dalam organisasi internasional. Cara atau metode ini, biasanya digunakan setelah penyelesaian sengketa secara diplomatik dilaksanakan, namun hasilnya gagal. Hasil pencarian fakta ini dilaporkan kepada para pihak dalam suatu bentuk laporan. Namun demikian, laporan tersebut tidak memuat argumen atau usulan penyelesaian sengketa. 67 3. Jasa Baik Secara singkat, jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui keikutsertaan jasa pihak ke-3. Tujuan jasa baik ini adalah agar kontak langsung di antara para pihak tetap terjamin. Tugas yang diembannya, yaitu mempertemukan para pihak yang bersengketa agar mereka mau berunding. Cara ini biasanya bermanfaat manakala para pihak tidak mempunyai hubungan diplomatik atau hubungan diplomatik mereka telah berakhir. Pihak ketiga ini bisa negara, orang perorangan (seperti mantan kepala negara) atau suatu organisasi, lembaga atau badan internasional, misalnya Dewan Keamanan PBB. 68 Keikutsertaan pihak ke-3 memberikan jasa-jasa baik memudahkan pihak yang bersengketa untuk bersama-sama mempercepat perundingan di antara mereka. 21 Setiap pihak yang bersengketa dapat meminta kehadiran jasa-jasa baik. Namun, pihak lainnya tidak berkewajiban untuk menerima permintaan tersebut. Dengan kata lain, permintaan tersebut sifatnya tidak mengikat dan tidak boleh dipandang sebagai tindakan yang tidak 67 68 Ibid, hal.30. Ibid, hal.31. bersahabat atau unfriendly act. Jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu technical good offices (jasa baik teknis), dan political good offices (jasa baik politis). Pembedaan ini sifatnya tidak tegas. Kedua bentuk ini dapat dilaksanakan secara bersamaan. Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta terlibat dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Peranannya dalam hal ini adalah sebagai tuan rumah yang memberikan fasilitas-fasilitas komunikasi, yang diperlukan, memberikan jaminan menyediakan dan apabila transportasi dan memungkinkan, memberikan jaminan keuangan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah menerima tanggung jawab untuk melindungi suatu pihak tertentu. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Jasa baik teknis juga mewakili kepentingan salah satu pihak di negara pihak lainn ya. Jasa baik seperti ini biasanya berlangsung pada saat terjadinya perdamaian ataupun saat peperangan. Jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompensasi. Yang termasuk dalam kategori ini adalah menerima mandat dari negara lain untuk menyelesaikan suatu masalah spesifik tertentu. 69 4. Mediasi Sama halnya dengan jasa-jasa baik, mediasi melibatkan pula keikutsertaan pihak ketiga mediator yang netral dan independen dalam suatu sengketa.Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara, individu, organisasi internasional, dan lain-lain. 70 Para mediator ini dapat bertindak baik atas inisiatifnya sendiri, menawarkan jasanya sebagai mediator, atau menerima tawaran untuk menjalankan fungsi- nya atas permintaan dari salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam hal ini, agar mediator dapat berfungsi, diperlukan kesepakatan atau konsensus dari para pihak sebagai prasyarat utama. Dalam menjalankan fungsinya, mediator tidak tunduk pada suatu aturan hukum acara tertentu. Ia bebas menentukan bagaimana proses penyelesaian sengketanya berlangsung. Peranannya di sini tidak semata mata mempertemukan para pihak agar bersedia berunding, tetapi ia juga terlibat dalam perundingan dengan para pihak dan bisa pula memberikan saran-saran atau usulan penyelesaian sengketa. Bahkan mediator dapat pula berupaya mendamaikan para pihak. Mediator dalam menerapkan hukum tidak dibatasi pada hukum yang 69 70 Ibid. Ibid, hal.33. ada. Ia dapat menggunakan asas ex aequo et bono (kepatutan dan kelayakan). Karena sifatnya ini, cara penyelesaian sengketa melalui mediasi lebih cocok digunakan untuk sengketa-sengketa yang sensitif. Sengketa tersebut termasuk di dalamnya adalah sengketa yang memiliki unsur politis, di samping sudah barang tentu sengketa hukum. Menurut Bindschedler ada beberapa segi positif dari mediasi : 71 1. Mediator sebagai penengah dapat memberikan usulan-usulan kompromi di antara para pihak. 2. Mediator dapat memberikan usaha-usaha atau jasa-jasa lainnya, seperti memberi bantuan dalam melaksanakan kesepakatan, bantuan keuangan, mengawasi pelaksanaan kesepakatan, dan lain-lain. 3. Apabila mediatornya adalah negara, biasanya negara tersebut dapat menggunakan pengaruh dan kekuasaannya terhadap para pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian sengketanya. 4. Negara sebagai mediator biasanya memiliki fasilitas teknis yang lebih memadai daripada orang perorangan. Sedang segi negatif dari mediasi adalah mediator dapat saja dalam melaksanakan fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya. Proses penyelesaian melalui mediasi ini hampir mirip dengan konsiliasi. Perbedaannya, pada mediasi umumnya mediator memberikan 71 Ibid, hal.34. usulan penyelesaian secara informal dan usulan tersebut didasarkan pada laporan yang diberikan oleh para pihak, tidak dari hasil penyelidikannya sendiri. Namun demikian, perbedaan kedua proses penyelesaian ini dalam praktiknya menjadi tidak jelas (rancu). Sulit untuk membuat batas-batas yang tegas di antara kedua proses ini.Perlu ditekankan di sini, bahwa saran atau usulan penyelesaian yang diberikan tidaklah mengikat sifatnya. Sifatnya rekomendatif atau usulan saja. 72 5 .Konsiliasi Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak ketiga yaitu konsiliator yang tidak berpihak atau netral dan keterlibatannya karena diminta oleh para pihak. Menurut Bindschedler, unsur ketidakberpihakan dan kenetralan merupakan kata kunci untuk keberhasilan fungsi konsiliasi. Hanya dengan terpenuhinya dua unsur ini, objektivitas dari konsiliasi dapat terjamin. Badan konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc sementara. Proses seperti ini berupaya mendamaikan pandangan-pandangan para pihak yang bersengketa meskipun usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator sifatnya tidak mempunyai kekuatan hukum. The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Dispute of 1899 dan 1907 memuat mekanisme dan aturan pembentukan komisi konsiliasi. Badan seperti ini hanya bisa dibentuk dengan persetujuan bersama para pihak. Pada umumnya, badan ini diberi mandat untuk mencari dan melaporkan fakta-fakta yang ada di 72 Ibid, hal.35. sekitar pokok sengketa. 73 Dari isi perjanjian itu, tampak ada beberapa fungsi dari badan konsiliasi yaitu : 74 1. menganalisis sengketa, mengumpulkan keterangan mengenai pokok perkara, dan berupaya mendamaikan para pihak; 2. membuat laporan mengenai hasil upayanya dalam waktu dalam mendamaikan para pihak 3. menetapkan atau membatasi jangka menjalankan tugasnya. Di samping fungsi, terdapat kriteria lain yang membedakan badan ini dengan mediasi. Konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal dibandingkan mediasi. Hukum acara tersebut bisa ditetapkan terlebih dahulu dalam perjanjian atau diterapkan oleh badan konsiliasi. 6. Arbritase Peradilan arbritase memiliki bentuk yang berbeda dengan peradilan intern suatu negara karena bentuknya yang non–institusional, dalam pengertian yang luas istilah ini merujuk pada cara penyelesaiaan sengketa internasional secara damai yang dirumuskan dalam suatu keputusan oleh arbritrators yang dipilih oleh pihak–pihak yang bersengketa. Pihak-pihak tersebut sebelumnya menerima sifat mengikat keputusan yang akan diambil. 75 Di samping itu, keputusan arbritasi dalam arti luas ini dapat 73 Ibid, hal.36. Ibid, hal.37. 75 Boer Mauna, Op.Cit, hal. 228. 74 didasarkan baik atas konsederasi hukum maupun konsiderasi politik dan lain-lainnya. Karena itu arbritase baru betul-betul merupakan suatu sistem penyelesaiaan hukum bila dijelaskan sifat mengikat dari keputusan yang didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum. Definisi dari arbritase dalam arti sempit adalah definisi yang diberikan oleh pasal 37 konvensi Den Haag, 18 oktober 1907 mengenai penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai: Arbritase internasional bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa antar negara oleh hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan hukum. Penyelesaiaan melalui arbritase ini berarti bahwa negara-negara harus melaksanakan keputusan dengan itikad baik. 76 Dari definisi tersebut didapatkan ciri pokok arbritasi yang bersifat sukarela, sifat hukum yang mengikat dan non institusional. Yang dimaksudkan dengan sukarela adalah ialah negara-negara tidak diharuskan memilih cara penyelesaiaan yang demikian dan negara-negara juga bebas memilih hakim-hakimnya. Sifat hukum yang mengikat terletak pada keharusan negara-negara melaksanakan keputusan dengan itikad baik, sedangkan sifat non-institusionalnya berarti bahwa hakim-hakim yang dipilih tersebut bukan merupakan organ permanen yang dibentuk sebelum lahirnya suatu sengketa. Jadi organ arbritasi yang didirikan setelah lahirnya suatu sengketa akan bertujuan untuk memeriksa sengketa itu saja. Bila sengketa itu sudah selesai diperiksa maka organ abritasi itupun akan 76 Ibid, hal.229. bubar pula. 77 7.Mahkamah Internasional Seperti juga halnya dengan arbritasi internasional, Mahkamah internasional merupakan suatu cara penyelesaiaan sengketa internasional yang didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum dan karena itu kedua prosedur penyelesaiaan ini menghasilkan keputusan-keputusan hukum yang akan mengikat negara-negara yang bersengketa. Tetapi bentuk yurisdiksi mahkamah internasional jauh lebih maju dibandingkan arbritase internasional. Mahkamah internasional merupakan bagian integral dari PBB, sedangkan mahkamah internasional yang lama terpisah dari Liga Bangsa-bangsa. Semua anggota PBB secara otomatis menjadi anggota statuta Mahkamah internasional. Tidak seperti 78 badan-badan organisasi internasional lainnya, mahkamah internasional tidak terdiri dari wakil-wakil pemerintah. Sekali terpilih maka seorang anggota dan hakim bukan lagi delegasi pemerintah negaranya atau negara lainnya. Ia adalah hakim independen yang ketika diangkat, bersumpah di hadapan mahkamah bahwa ia akan melaksanakan kekuasaan dan tugas-tugasnya secara adil dan sungguh-sungguh. Untuk menjamin kemerdekaannya, seorang hakim tidak dapat dibebastugaskan kecuali atas pendapat secara bulat dari anggota-anggota lainnya ketika ia tidak dapat lagi melaksanakan kondisi-kondisi yang disayaratkan sebagai 77 78 Ibid. Ibid, hal.249. seorang hakim. Dalam praktik hali ini belum pernah terjadi. 79 ICJ merupakan salah satu dari 6 organ utama PBB. Namun, badan ini memiliki kedudukan khusus dibandingkan 5 organ utama lainnya. ICJ atau Mahkamah tidak memiliki hubungan hierarkis dengan badan-badan utama PBB lainnya. Ia benar-benar lembaga hukum dalam sebagai suatu pengadilan. Ia bukan pula pengadilan konstitusi atau Constitusional Court yang memiliki kewenangan untuk melakukan Judicial Review putusanputusan politis yang dibuat oleh Dewan Keamanan. Ia menggunakan Nama resmi ICJ dan tidak menggunakan simbol atau nama PBB dalam putusannya. Menurut hemat penulis kedudukan ICJ ini memang unik. Kedudukannya benar-benar menampilkan suatu kemandiriannya sebagai suatu organ, atau badan pengadilan. Kemandirian ini memang diperlukan bagi ICJ sendiri untuk menunjukan kredibilitas dan kepercayaan dari negara-negara. 80 79 80 Huala Adolf, Op.Cit, hal.63-64. Ibid. BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan digunakan dalam penelitian ini karena yang akan digunakan adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian ini.81 Sedangkan pendekatan kasus bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam elsplanasi hukum.82 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitian yang hanya menggambarkan objek dan atau masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum. Penelitian ini berusaha menggambarkan peristiwa in concreto yang dikonsultasikan pada seperangkat peraturan hukum positif yang berlaku dan ada kaitannnya dengan masalah yang menjadi objek penelitian83 81 Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal.302. Ibid, hal.321. 83 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, 82 hal.11. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal Soedirman, Dan media Internet 4. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan data sekunder saja untuk membangun penelitian ini dan untuk mendapatkan hasil yang objektif dari penelitian. Dari data sekunder tersebut akan dibagi kedalam tiga bagian yaitu : a. Bahan Hukum Primer, Yaitu bahan–bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang–undangan dalam hukum internasional yang berkaitan dengan keberadaan pangkalan militer asing di suatu negara : San Francisco Treaty 1951 Treaty of Peace Between Japan And Allied; Vienna Convention 1969 of Law Of Treaties; Treaty Of Mutual Cooperation between the United States of America and Japan 1960; Amendement of Treaty Of Mutual Cooperation between the United States of America and Japan 1990 b. Bahan hukum Sekunder, Yaitu bahan–bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain di bidang ilmu hukum, Hasil penelitian di bidang hukum, artikel– artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet. c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,antara lain kamus hukum. 5. Metode Pengumpulan Data Data sekunder yang diperoleh dengan menginventarisir peraturan perundang–undangan, dokumen–dokumen resmi, hasil penelitian, makalah, dan buku–buku yang berkaitan dengan materi penelitian kemudian dicatat sesuai dengan relevansinya dengan materi yang menjadi objek penelitian untuk selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh. 6. Metode Penyajian Data Data yang berupa bahan–bahan hukum yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian–uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kestuan yang utuh. 7. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif normatif, yaitu dengan menjabarkan data–data yang telah diperoleh berdasarkan norma hukum atau kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pengaturan Mengenai Keberadaan Pangkalan Militer Asing Di Suatu Negara Negara sebagai subjek hukum internasional dan pelaku dalam hubungan internasional, bersamaan dengan berkembangnya jaman semakin menghadapi banyak tantangan baik di dalam bidang ekonomi ataupun keamanan internasional. Di era globalisasi hubungan kerjasama internasional semakin ramai dengan keberadaan dan diakuinya organisasi internasional sebagai salah satu pelaku dalam hubungan internasional. Hubungan kerjasama internasional yang dilakukan antar subjek hukum internasional utamanya antar negara pun semakin meningkat. Adanya perbedaan sistem kenegaraan, bentuk negara, perbedaan pandangan hidup, kebudayaan, agama atau kepercayaan bukan merupakan penghalang untuk menjalin kerjasama, bahkan dapat meningkatkan intensifnya hubungan antar negara. Demikian juga persoalan yang menjadi sasaran pengaturan dalam perjanjian internasional tidak hanya masalah-masalah yang ada di permukaan bumi saja, namun sesudah meluas pada masalah-masalah yang ada di dalam perut bumi dan juga yang ada di luar planet bumi (di ruang udara dan ruang angkasa).84 Isu mengenai keamanan internasional dan upaya menjaga ketertiban dunia menjadi sorotan utama sebagai faktor penunjang hubungan internasional. Hubungan internasional membutuhkan keamanan dalam menjalin hubungan serta 84 Harry Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011, hal.102. penjaminan. Pasca Perang Dingin berakhir ketika Uni Soviet akhirnya bubar menempatkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya yang memiliki kemampuan dan kewajiban untuk menjaga dan mengawasi ketertiban dunia. Dengan banyaknya sumber daya baik aset militer serta sumber daya intelejen yang memadai semakin mengkukuhkan posisi Amerika Serikat sebagai negara super power, adapun pengertian umum mengenai negara super power adalah sebuah negara yang memiliki sumber daya natural yang melimpah, sumber daya manusia yang memadai dan sumber daya militer yang kuat dan massive. Dengan kekuatan adidaya inilah Amerika Serikat memiliki keinginan untuk mengawasi berjalannya dunia dengan membuat pangkalan-pangkalan militer sebagai sebuah bentuk sub kewenangan yang berada di wilayah negara lain. Keberadaan pangkalan militer ini memiliki fungsi sebagai pos pengamanan dalam wilayah tertentu yang memungkinkan Amerika Serikat dapat memberikan respon cepat ketika hendak akan menurunkan pasukan di wilayah regional pangkalan militer tersebut. Pada masa perang dingin pangkalan militer berfungsi sebagai instrumen penjaga ideologi demokrasi pada negara-negara yang dimungkinkan masuk dalam pengaruh ideologi komunis Uni Soviet. Sampai pecahnya Perang Dunia Kedua, Okinawa adalah sebuah pulau yang damai, bahkan tanpa pasukan militer Jepang ditempatkan di sana, hanya ada kantor wajib militer dengan komandan dan beberapa anggota staf. Tanpa pangkalan militer, rakyat Okinawa hidup dalam damai dan memiliki hubungan persahabatan dengan pulau pulau tetangga di Asia. Pada tahun 1944 ketika Jepang diambang kekalahan dalam perang dunia, pemerintah Jepang memutuskan untuk membuat Okinawa menjadi tempat untuk menentukan akhir pertempuran, pasukan militer ditempatkan di sana pada skala penuh. Selama perang dunia II berlangsung di Okinawa banyak non combatant yang terlibat dan menjadi korban selama perang 80 hari. Para penduduk yang berhasil selamat kemudian dimasukan kedalam kamp konsentrasi dan kemudian dilepaskan pada tahun 1945. Pasca perang hampir seluruh wilayah okinawa hancur dan tidak dapat diamanfaatkan kembali wilayahnya. Kemudian Ototritas militer Amerika Serikat memulai pembuatan Chatan Airbase, hampir 18.000 hektare wilayah Okinawa dikuasai oleh militer Amerika Serikat dan 40.000 pemilik tanah dihapuskan hak kepemilikan tanahnya guna kepentingan militer.85 Setelah berakhirnya perang dunia ke II penduduk Okinawa kembali berusaha mengerjakan tanah mereka yang selamat dari penghapusan hak tanah yang dilakukan oleh otoritas militer Amerika. Ketika itu penduduk Okinawa memiliki harapan bahwa setelah ditanda tanganinya perjanjian perdamaian tanah mereka dapat kembali, akan tetapi dalam San Fransisco Treaty 1951 yang ditandatangani oleh Jepang dan sekutu mengijinkan dan memperpanjang periode okupasi Amerika Serikat di Okinawa. Dengan kekalahan Jepang, penempatan pasukan militer di Okinawa seharusnya berakhir. Namun, Okinawa saat ini begitu penuh sesak dengan keberadaan pangkalan militer AS dan fasilitasnya. 86 Pangkalan militer di Okinawa adalah salah pangkalan militer terbesar di dunia. Sebelas persen dari luas daratan Prefektur Okinawa ditempati oleh militer AS. Angka ini naik 20 persen di daratan Okinawa. Di prefektur pulau ini dari 1,3 85 86 Japanese Communist party Journal, Op.Cit, hal.2. Ibid, hal.1. juta orang, 27.000 tentara AS ditempatkan di tiga pangkalan militer utama yaitu Yomitan Airbase, Chatan Airbase dan Kadena Airbase. Pangkalan militer AS di Okinawa terletak tepat di tengah-tengah daerah yang sangat padat penduduk. Sebagai contoh, pangkalan udara Kadena memakan 83 persen dari luas lahan kota Kadena, memaksa lebih dari sepuluh ribu warga untuk hidup dalam 17 persen sisa tanah. Penduduk kota rumah, sekolah, rumah sakit dan fasilitas lainnya didesak di daerah kecil dalam jarak hanya beberapa ratus meter dari landasan pacu pangkalan. Keadaan seperti ini tidak hanya terdapat pada kota Kadena saja, selain Kadena, ada 3 kota dan 50 desa yang tanahnya diambil oleh pangkalan militer AS. Dan terdapat pula 5 kota di mana lebih dari 30 persen dari tanah mereka diambil Desa Yomitan, Desa Higashi, Kota Okinawa, Desa Ie dan Kota Ginowan.87 Amerika Serikat memiliki beberapa pangkalan militer antara lain di Afghanistan, Jerman, Korea Selatan, Philipina, Irak dan di kepulauan Okinawa Jepang. Keberadaan pangkalan militer asing di suatu negara didasarkan pada perjajnjian bilateral yang disebut Status Perjanjian Pasukan Security Of Force Agreement (SOFA), umumnya menetapkan kerangka kerja mengenai keberadaan personil militer AS yang beroperasi di luar negeri, SOFA mengatur mengenai bagaimana permasalahan yurisdiksi hukum nasional asing harus diterapkan terhadap personel AS ketika berada di negara itu. Tidak ada persyaratan formal mengenai bentuk, isi, panjang, atau judul SOFA.88 87 Ibid. Congressionnal Research Service, Status of Forces Agreement : What is it ?, And How has it been utilized ?, January 2011,Summary .hal.1. 88 SOFA dapat ditulis untuk tujuan tertentu atau kegiatan, atau mungkin mengantisipasi hubungan jangka panjang dan menyediakan fleksibilitas maksimum dalam penerapan. SOFA pada umumnya merupakan dokumen yang berdiri sendiri, disimpulkan sebagai perjanjian eksekutif. SOFA dapat mencakup banyak ketentuan, namun masalah yang paling umum yang dihadapi adalah negara mana dapat melaksanakan yurisdiksi pidana atas personel AS. Ketentuan lain yang dapat ditemukan dalam SOFA adalah aturan pada pemakaian seragam, pajak dan biaya, perijinan dalam membawa senjata, penggunaan frekuensi radio, lisensi mengemudi, dan peraturan adat istiadat khusus yang harus dipatuhi. SOFA sering disertakan bersamaan dengan perjanjian militer jenis lain, sebagai bagian dari keamanan komprehensif pengaturan dengan negara tertentu. SOFA sendiri bukan pengaturan mengenai keamanan, melainkan menetapkan hak-hak dan keistimewaan personel AS yang berada dalam suatu negara untuk ikut dalam mendukung pengaturan keamanan. SOFA dapat dimasukkan dalam perjanjian berdasarkan otoritas sebelumnya dan keputusan kongres atau sebagai perjanjian eksekutif tunggal. Amerika Serikat saat ini memiliki lebih dari 100 perjanjian SOFA dengan negara di seluruh dunia.89 SOFA adalah perjanjian yang menetapkan kerangka di mana angkatan bersenjata beroperasi dalam perjanjian yang disepakati oleh negara asing, yang isinya memberikan hak-hak umum dan hak-hak individu yang tercakup sementara dalam yurisdiksi asing tersebut. SOFA juga mengatur mengenai masalah bagaimana hukum nasional yurisdiksi asing harus diterapkan terhadap personil 89 Ibid. militer AS di negara itu. Penting untuk dicatat bahwa SOFA adalah kontrak antara pihak dan dapat dibatalkan pada kehendak salah satu pihak. SOFA adalah dokumen pada masa damai dan karena itu tidak membahas aturan perang, hukum perang, atau Hukum Laut.90 Dalam hal konflik bersenjata antara pihak yang melakukan SOFA, maka persyaratan perjanjian tidak akan berlaku lagi. SOFA dapat mencakup banyak ketentuan, tapi masalah yang paling umum dibahas adalah negara mana yang dapat melaksanakan yurisdiksi pidana atas personel AS. Amerika Serikat telah menyimpulkan perjanjian di mana ia mempertahankan yurisdiksi eksklusif atas personil, akan tetapi lebih sering untuk menggunakan yurisdiksi bersama dengan negara penerima. Secara umum, SOFA tidak mengotorisasi latihan khusus, kegiatan, atau misi. Sebaliknya, SOFA bertujuan menyediakan kerangka kerja dan perlindungan hukum serta hak-hak sementara personil AS yang hadir di suatu negara untuk disepakati. SOFA bukanlah perjanjian pertahanan bersama atau perjanjian keamanan. Keberadaan SOFA tidak mempengaruhi atau mengurangi hak yang melekat pada para pihak terkait pembelaan diri di bawah hukum perang.91 Dengan pengecualian dari SOFA multilateral antara Amerika Serikat dan Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO, SOFA adalah bersifat spesifik untuk masing-masing negara dan dalam bentuk executive agreement. Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan bekerja sama mengidentifikasi kebutuhan untuk SOFA tehadap negara tertentu dan menegosiasikan syarat-syarat 90 91 Ibid, hal,1. Ibid. serta kesepakatan. The SOFA NATO adalah satu satunya SOFA yang disimpulkan sebagai bagian dari perjanjian. Senat Amerika Serikat menyetujui ratifikasi SOFA NATO pada 19 Maret 1970 sesuai dengan yang diharapkan, Senat mensyaratkan kepada SOFA NATO mencakup empat kondisi: (1) yurisdiksi pidana ketentuan yang tercantum dalam Pasal VII perjanjian tidak merupakan preseden untuk masa depan dari perjanjian; (2) ketika anggota angkatan bersenjata berada dalam posisi untuk diadili oleh pihak berwenang di negara penerima, perwira komandan angkatan bersenjata AS di negara itu harus meninjau hukum negara dengan mengacu pada perlindungan prosedural Konstitusi Amerika Serikat, (3) jika perwira komando yakin ada bahaya bahwa anggota angkatan bersenjata tidak akan dilindungi, karena ketiadaan atau adanya pengingkaran hak-hak konstitusional, terdakwa akan menerima perlindungan di Amerika Serikat, dan kemudian komandan harus meminta negara penerima mengabaikan yurisdiksi dan, (4) Perwakilan dari Amerika Serikat ditunjuk untuk menghadiri dan mendampingi sidang setiap anggota angkatan bersenjata tersebut diadili oleh negara penerima dan ia bertugas untuk melindungi hak-hak konstitusional anggota angkatan bersenjata tersebut.92 SOFA NATO adalah perjanjian multilateral yang memiliki penerapan pada semua anggota NATO. Pada Juni 2007, 26 negara termasuk Amerika Serikat, telah meratifikasi perjanjian atau mengaksesi dengan aksesi mereka ke NATO. Selain itu, 24 negara lainnya tunduk pada SOFA NATO melalui partisipasi mereka dalam Kemitraan NATO untuk perdamaian. Program ini terdiri dari 92 Ibid, hal,2. kerjasama bilateral antar individu negara dan NATO dalam rangka untuk meningkatkan stabilitas, mengurangi ancaman terhadap perdamaian dan membangun keamanan yang lebih kuat. Masing-masing negara yang berpartisipasi dalam kemitraan NATO untuk perdamaian setuju untuk mematuhi ketentuan SOFA NATO. Melalui SOFA NATO dan kemitraan NATO untuk perdamaian, Amerika Serikat memiliki perjanjian SOFA dengan sekitar 58 negara. 93 Menteri luar negeri Rice dan Sekretaris negara Gates menyatakan bahwa Amerika Serikat telah memiliki perjanjian di lebih dari 115 negara di seluruh dunia. SOFA NATO dan SOFA kemitraan NATO untuk perdamaian memiliki andil dalam sekitar setengah dari SOFA yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dengan negara-negara di seluruh dunia. Departemen Pertahanan menyediakan kebijakan dan informasi yang spesifik untuk SOFA. Departemen Pertahanan AS memiliki kebijakan untuk melindungi semaksimal mungkin, hakhak Personil AS yang dikenakan pengadilan pidana oleh pengadilan asing dan penjara di penjara asing. Kebijakan ini kurang berjalan baik dengan reservasi Senat pada SOFA NATO dengan menyatakan meskipun reservasi perjanjian menyertai ratifikasi hanya berlaku untuk negara-negara anggota NATO dimana aplikasi dapat diterapkan, namun reservasi sebanding harus diterapkan untuk perjanjian SOFA kedepan. Secara khusus kebijakan menyatakan bahwa prosedur yang sama untuk melindungi kepentingan subjek personel AS untuk yurisdiksi 93 Ibid. asing akan dapat diterapkan sepenuhnya ketika dipraktekkan di daerah-daerah di luar negeri di mana pasukan AS ditempatkan.94 Mengenai ketentuan dari Status of Forces Agreement (SOFA) tidak ada persyaratan formal yang mengatur isi, detail, dan panjang dari SOFA. Diatur mengenai para pihak yang melakukan perjanjian, namun tidak terbatas pada yurisdiksi pidana dan perdata, aturan dalam mengenakan seragam, pajak dan biaya-biaya, ijin membawa senjata, penggunaan frekuensi radio, persyaratan Surat ijin mengemudi, dan adat istiadat serta peraturan negara penerima. Amerika Serikat telah melakukan perjanjian SOFA tersingkat sepanjang satu halaman dan terdapat pula SOFA yang terdiri dari 200 halaman lebih. Misalnya, Amerika Serikat dan Bangladesh melakukan exchanged notes dalam rangka melakukan latihan bersama pada tahun 1998. Perjanjian ini khusus ditujukan untuk satu aktivitas latihan Militer bersama , terdiri dari 5 pasal, dan terkandung dalam satu halaman. Amerika Serikat dan Botswana melakukan exchanged notes untuk status pasukan yang untuk sementara berada di Botswana dalam hubungannya dengan latihan, pelatihan, bantuan kemanusiaan, atau kegiatan lainnya yang dapat disepakati oleh kedua negara tersebut. Sebaliknya, dokumen berjumlah 200 halaman lebih, antara Amerika Serikat dan Jerman ditandatangani sebagai perjanjian tambahan ke SOFA NATO, Isi perjanjian tersebut terkait perjanjianperjanjian tambahan dan terkait dengan isu-isu spesifik. Yurisdiksi pidana adalah masalah yang paling sering dibahas dalam SOFA, terkait perlindungan hukum yang diberikan dari penuntutan yang ditujukan 94 Ibid, hal,3. kepada personel AS yang berada sementara di negara asing. Persetujuan tersebut bertujuan untuk menegaskan yurisdiksi pidana atau perdata. Dengan kata lain, perjanjian SOFA menetapkan bagaimana hukum perdata dan pidana dalam negeri diterapkan untuk personel AS ketika berada di negara asing. Amerika Serikat telah memasuki perjanjian di mana Amerika dapat mempertahankan yurisdiksi eksklusif, namun hasil kesepakatan yang bersifat lebih umum dalam yurisdiksi dibagi antara Amerika Serikat dan negara penerima. Yurisdiksi eksklusif adalah kemampuan Amerika Serikat untuk tetap melaksanakan dan mempertahankan hak untuk melaksanakan semua yurisdiksi pidana dan disiplin atas pelanggaran hukum di wilayah negara penerima atas perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh personil angkatan bersenjata Amerika Serikat. Yurisdiksi Bersama terjadi ketika masing-masing pihak mempertahankan yurisdiksi eksklusif atas suatu pelanggaran tertentu, tetapi juga memungkinkan Amerika Serikat untuk meminta agar negara tuan rumah melepaskan yurisdiksinya atas suatu perbuatan walaupun perbuatan tersebut melanggar pidana dan disiplin. Hak untuk melaksanakan yurisdiksi atas personil angkatan bersenjata Amerika Serikat tidak hanya terbatas pada saat seseorang berada di instalasi militer. Hal Ini juga meliputi individu yang berada ketika di luar instalasi militer. Hak untuk mengerahkan yurisdiksi dapat mengakibatkan kekebalan dari hukum negara penerima walaupun individu tersebut berada di negara penerima.95 Sebagai contoh penerapan yurisdiksi eksklusif, Amerika Serikat menandatangani kesepakatan mengenai pertukaran anggota militer dan kunjungan 95 Ibid, hal,4. dengan pemerintah Mongolia, sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Pasal X dibuat dalam kesepakatan kedua belah pihak yang bertujuan untuk mengatur yurisdiksi pidana personel militer AS yang berada di Mongolia. Dalam perjanjian tersebut menyediakan pasal yang memberikan kewenangan bagi penguasa militer Amerika Serikat untuk berhak dalam melakukan semua proses pidana dan disipliner yang terjadi di Mongolia, yurisdiksi Amerika Serikat diberlakukan kepada seluruh Personel militer Amerika. Setiap tindak pidana dan pelanggaran terhadap hukum Mongolia yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata dari AS harus dirujuk kepada otoritas Amerika Serikat yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan disposisi. Perjanjian tidak memungkinkan pemerintah Mongolia untuk meminta Amerika Serikat untuk mengesampingkan yurisdiksi dalam kasus dugaan perilaku kriminal yang tidak terkait dengan personel militer yang bertugas. Tidak ada kondisi pensyaratan bagi Amerika Serikat untuk mengesampingkan yurisdiksi, hanya untuk memberikan pertimbangan yang bersifat simpatik dari setiap permintaan pelepasan yurisdiksi yang diminta oleh negara penerima96. Contoh dari yurisdiksi bersama adalah SOFA NATO, yang berlaku untuk semua negara anggota NATO adalah sebuah contoh dari yurisdiksi bersama. Pasal VII menyediakan kerangka yurisdiksi97. SOFA memungkinkan untuk negara yang 96 97 Ibid. 4 U.S.T. 1792; T.I.A.S. 2846; 199 U.N.T.S. 67. Article VII: 1. Subject to the provisions of this Article, (a) the military authorities of the sending State shall have the right to exercise within the receiving State all criminal and disciplinary jurisdiction conferred on them by the law of the sending State over all persons subject to the military law of that State; (b) the authorities of the receiving State shall have jurisdiction over the members of a force or civilian component and their dependents with respect to offenses committed within the territory of tidak memiliki hak yurisdiksi untuk meminta negara dengan hak yurisdiksi untuk mengesampingkan haknya atas yurisdiksi. Tidak ada persyaratan bagi negara untuk mengesampingkan yurisdiksi, hanya berupa permintaan untuk memberikan pertimbangan atas permintaan yang diminta. Di bawah kerangka kerja yurisdiksi bersama, masing-masing negara memiliki yurisdiksi eksklusif yang dapat dipergunakan dalam keadaan tertentu, umumnya ketika terjadi suatu pelanggaran yang hanya dinyatakan sebagai pelanggaran hukum oleh satu undang-undang negara saja. Dalam hal ini, negara yang hukumnya telah terlanggar memiliki yurisdiksi eksklusif atas pelaku. Ketika tindakan melanggar hukum kedua negara, yurisdiksi bersamaan hadir dan kualifikasi tambahan yang digunakan untuk the receiving State and punishable by the law of that State. 2.—(a) The military authorities of the sending State shall have the right to exercise exclusive jurisdiction over persons subject to the military law of that State with respect to offenses, including offenses relating to its security, punishable by the law of the sending State, but not by the law of the receiving State. (b) The authorities of the receiving State shall have the right to exercise exclusive jurisdiction over members of a force or civilian components and their dependents with respect to offenses, including offenses relating to the security of that State, punishable by its law but not by the law of the sending State. (c) For the purposes of this paragraph and of paragraph 3 of this Article a security offense against a State shall include (i) treason against the State; (ii) sabotage, espionage or violation of any law relating to official secrets of that State, or secrets relating to the national defense of that State. 3. In cases where the right to exercise jurisdiction is concurrent, the following rules shall apply: (a) The military authorities of the sending State shall have the primary right to exercise jurisdiction over a member of a force or of a civilian component in relation to (i) offenses solely against the property or security of that State, or offenses solely against the person or property of another member of the force or civilian component of that State or of a dependent; (ii) offenses arising out of any act or omission in the performance of official duty. (b) In the case of any other offense the authorities of the receiving State shall have the primary right to exercise jurisdiction. (c) If the State having the primary right decides not to exercise jurisdiction, it shall notify the authorities of the other State as soon as practicable. The authorities of the State having the primary right shall give sympathetic consideration to a request from the authorities of the other State for a waiver of its right in cases where that other State considers such waiver to be of particular importance.4. The foregoing provisions of this Article shall not imply any right for the military authorities of the sending State to exercise jurisdiction over persons who are nationals of or ordinarily resident in the receiving State, unless they are members of the force of the sending State.” menentukan negara mana yang akan diizinkan untuk menegaskan yurisdiksinya atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku.98 SOFA pada umumnya tidak mengizinkan operasi militer tertentu atau misi yang dilaksanakan oleh pasukan AS. Walaupun SOFA umumnya tidak memberikan kewenangan untuk melakukan tindakan perlawanan, hak yang melekat pada personel militer Amerika Serikat tidak terpengaruh atau berkurang. Personel AS selalu memiliki hak untuk membela diri, jika diancam atau berada dalam keadaan diserang, dan SOFA tidak mengambil hak tersebut. Dalam SOFA selalu terdapat klausa yang mendefinisikan ruang lingkup penerapan perjanjian. Sebagai contoh, SOFA dengan Belize yang dengan tegas berlaku untuk personel AS yang berada sementara di Belize sehubungan dengan latihan militer dan pelatihan, kegiatan opersai kontra-narkoba, program keamanan bantuan Amerika Serikat, atau tujuan lain yang disepakati. Amerika Serikat sebelumnya telah menandatangani dua perjanjian yang berbeda dengan Belize terkait dengan pelatihan militer dan penyediaan bantuan pertahanan. SOFA sendiri tidak mengizinkan operasi khusus, latihan, atau kegiatan, tetapi memberikan ketentuan tertentu dalam mengatasi permasalahan yang mungkin terjadi mengenai status hukum dan perlindungan terhadap personil AS yang berada sementara di Belize. Menurut ketentuan perjanjian, personel AS disediakan perlindungan hukum seolah-olah mereka adalah staff administrasi dan staff teknis dari Kedutaan Besar AS. 98 Ibid, hal,5. Mengenai ketentuan lainnya seperti seragam, pajak, dan bea cukai, pemahaman mengenai pernyataan yurisdiksi hukum umumnya masih bersifat universal. Suatu masalah administrasi dan operasional yang lebih rinci dapat dimasukkan sebagai salah satu isi dalam SOFA. SOFA dapat mencakup pengaturan mengenai, pemakaian seragam oleh angkatan bersenjata ketika dia tidak berada di instalasi militer, pajak dan biaya, izin membawa senjata oleh personil AS, penggunaan frekuensi radio, persyaratan surat izin mengemudi, dan peraturan kepabeanan. SOFA memberikan perlindungan hukum untuk pelaksanaan operasi harian personel AS ketika berada di negara asing. Pada umumnya sofa merupakan perjanjian bilateral sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari personil yang beroperasi di negara itu .99 Dalam mendukung kebijakan luar negerinya, Amerika Serikat telah mengadakan perjanjian dengan negara-negara asing yang terkait dengan komitmen keamanan dan penjaminan atas keamanan internasional. Perjanjian ini dapat disimpulkan dalam berbagai bentuk termasuk sebagai kesepakatan pertahanan kolektif yang mewajibkan para pihak untuk sepakat memberikan bantuan dalam membela pihak manapun dalam perjanjian yang mengalami serangan. Kesepakatan mengandung persyaratan berupa hak untuk mengadakan pertemuan untuk para pihak dalam perjanjian berkonsultasi, dalam pertemuan tersebut para pihak dalam perjanjian berjanji untuk mengambil tindakan dalam peristiwa keamanan negara lain apabila suatu negara dalam perjanjian terancam. perjanjian memberikan hak untuk militer untuk melakukan intervensi, namun 99 Ibid, hal,5. hanya memberikan hak saja dan tidak memberikan kewajiban bagi salah satu pihak tersebut untuk melakukan intervensi dalam wilayah negara tersebut walau negara tersebut dalam ancaman yang berasal dari dalam negara tersebut atau dari luar negara tersebut.100 SOFA sering disertakan bersama dengan jenis perjanjian militer lainnya sebagai bagian dari pengaturan keamanan yang komprehensif. SOFA dapat didasarkan pada kewenangan yang ditemukan dalam perjanjian sebelumnya, keputusan dari kongres Amerika Serikat atau berasal dari satu-satunya perjanjian eksekutif yang terdiri dari pengaturan keamanan. SOFA antara Jepang dan Amerika yang saat ini berlaku yang mengatur mengenai aturan keamanan antara kedua negara, ditanda tangani pada tahun 1952 dan berisi mengenai perjanjian keamanan disertai pengaturan administrasi. Perjanjian administrasi tersebut mencakup antara lain yurisdiksi pelanggaran hukum oleh anggota pasukan AS yang dilakukan di wilayah kedaulatan Jepang. Amerika Serikat bisa mengabaikan yurisdiksinya dan mendukung yurisdiksi yang dimiliki oleh Jepang. Salah satu ketentuan menetapkan bahwa Amerika Serikat memiliki yurisdiksi tetap atas pelanggaran yang dilakukan oleh personil angkatan bersenjata Amerika Serikat yang timbul dari suatu tindakan atau kelalaian yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas resmi sehari hari, hal ini diatur dalam bab XVII pasal 1-3 SOFA Treaty of Mutual Cooperation and Security between the United States of America and Japan, Regarding Facilities and Areas and the Status of U.S. Armed Forces in Japan . 100 Ibid, hal,7. Pada tahun 1957, seorang anggota Angkatan Darat AS didakwa atas kematian warga sipil Jepang, ketika sedang berpartisipasi dalam latihan satuan di daerah sekitar perkemahan Weir di Japan. Pihak Amerika Serikat mengklaim bahwa perbuatan itu dilakukan dalam pelaksanaan tugas resmi, namun Jepang bersikeras bahwa tindakan tersebut terjadi di luar lingkup tugas resmi, karena Jepang memiliki yurisdiksi utama untuk mengadili anggota angkatan bersenjata tersebut. Setelah negosiasi, Amerika Serikat setuju dan sepakat untuk menyerahkan anggota tersebut kepada Jepang sebagai pihak yang berwenang. Dalam upaya untuk menghindari persidangan di pengadilan Jepang, anggota milter Amerika Serikat tersebut mencoba mencari surat perintah habeas corpus di pengadilan distrik Amerika Serikat untuk distrik dari Columbia. Habeas corpus adalah surat perintah yang mengharuskan seseorang yang ditangkap untuk dibawa kehadapan hakim atau ke pengadilan. Untuk memastikan bahwa seorang tahanan dibebaskan dari penahanan yang melanggar hukum, penahanan yang memiliki kurang cukup alasan atau bukti . Habeas corpus dapat diajukan oleh tahanan atau oleh pihak lain yang datang untuk memberi bantuan hukum bagi tahanan. Hak ini berasal dari sistem hukum Inggris, dan sekarang tersedia di banyak negara. Secara historis habeas corpus menjadi instrumen hukum penting menjaga kebebasan individu terhadap tindakan negara yang sewenang-wenang. Permohonan surat perintah tersebut ditolak, namun anggota militer Amerika Serikat tersebut diberikan surat perintah penolakan terhadap penyerahan atas kewenangan mengadili pemerintah Jepang. Amerika Serikat mengajukan banding untuk keputusan yang diberikan pada anggota militer tersebut pada Mahkamah Agung Amerika Serikat.101 Dalam kasus Wilson vs Girard, Mahkamah Agung pertama-tama membahas ketentuan yurisdiksi yang terkandung dalam perjanjian administrasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Jepang. Pengadilan menetapkan dengan merekomendasikan ratifikasi keamanan perjanjian SOFA NATO, dan selanjutnya Senat telah menyetujui perjanjian administrasi dan protokol mewujudkan ketentuan NATO yang mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan yang dilakukan oleh pihak militer asing selama bertugas di wilayah negara penerima. Pengadilan memutuskan bahwa bangsa yang berdaulat memiliki yurisdiksi eksklusif untuk menghukum pelanggaran melawan hukum yang dilakukan di dalam wilayah berdaulatnya, kecuali secara tersurat maupun tersirat terdapat persetujuan untuk menyerahkan yurisdiksi, dan bahwa Jepang melakukan penyerahan yurisdiksi untuk mengadili personel militer Amerika kepada Amerika Serikat atas pelanggaran terhadap hukum kedua negara adalah dikondisikan oleh ketentuan yang tercantum dalam protokol.102 Pertimbangan berdasarkan simpati atas permintaan dari negara lain untuk melakukan pengabaian hak yurisdiksi dalam kasus di mana negara lain menganggap bahwa pengabaian yurisdiksi menjadi penting. Pengadilan menyimpulkan bahwa apakah konstitusi atau undang-undang melarang perjanjian membawa keluar ketentuan dari yurisdiksi. Pengadilan menemukan tidak ada dan 101 102 Ibid, hal,11. Girard v. Wilson, 152 F. Supp. 21 (D.D.C. 1957). For a brief explanation of the writ of habeas corpus, see CRS Report RS22432, Federal Habeas Corpus: An Abridged Sketch, by Charles Doyle menyatakan bahwa tanpa adanya gangguan-gangguan tersebut, kebijaksanaan atas pengaturan yang khusus digunakan untuk penentuan setiap keputusan terkait bidang eksekutif dan legislatif. Perjanjian Kerjasama dan Keamanan Bersama Antara Amerika Serikat dan Japan ditandatangani pada tahun 1960 dan kemudian diubah pada tanggal 26 Desember 1990. Di bawah Pasal VI dari Traktat, Amerika Serikat diberikan izin penggunaan udara, tanah dan kekuatan dari fasilitas angkatan laut di daerah perairan Jepang dalam rangka memberikan kontribusi terhadap keamanan Jepang dan pemeliharaan perdamaian international dan keamanan di wilayah Timur Jauh. Pasal VI mengatur lebih lanjut bahwa penggunaan fasilitas dan status angkatan bersenjata AS akan diatur berdasarkan perjanjian terpisah seperti perjanjian keamanan yang sebelumnya ditandatangani pada tahun 1952. Sebuah SOFA seperti yang disebut di Pasal VI Perjanjian, disimpulkan sebagai perjanjian terpisah sesuai dengan dengan perjanjian pada tahun 1960. SOFA ini membahas penggunaan fasilitas oleh angkatan bersenjata Amerika Serikat, serta status pasukan AS di Jepang. Perjanjian tersebut telah dimodifikasi setidaknya empat kali sejak perjanjian asli. 2. Penyelesaiaan Kasus Keberadaan Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang Kepulauan okinawa terletak di selatan kepulauan utama jepang dan terletak di sebelah timur laut Taiwan, Okinawa masuk kedalam wilayah regional Kyushu dengan luas wilayah sebesar 2,271.30 km2 dan total populasi penduduk berjumlah 1,379,338 jiwa. Pada tahun 1944 ketika Jepang hampir di gerbang kekalahan dalam perang dunia ke II, otoritas militer Jepang memutuskan untuk membawa perang kedalam pulau ini dengan memindahkan armada perang Jepang dalam skala besar dan menempatkan pasukan di wilayah pulau ini. Dengan kalahnya Jepang pada perang dunia ke II seharusnya dapat mengakhiri keberadaan otoritas militer di pulau Okinawa, namun sekarang pulau ini masih berada dalam penguasaan otoritas militer. United States Military Base of Okinawa yang saat ini berada di wilayah tersebut, adalah otoritas militer asing yang menguasai hampir 20% wilayah Prefektur Okinawa. Prefektur Okinawa memiliki populasi sebesar 1.300.000 penduduk dan terdapat 27.000 lebih pasukan amerika serikat yang ditempatkan di dua pangkalan militer utama yaitu Marine Corps Air Station Futenma dan Kadena Airbase.103 Kadena Airbase adalah pangkalan bagi Angkatan Udara Amerika Serikat yang terletak di antara dua kota yaitu Kadena dan Chatan. Kadena airbase adalah rumah bagi Skuadron Udara Ke-18 bersama beberapa satuan tugas pendukungnya : 320th Special Tactics Squadron, 1st Special Operations Squadron, 17th Special Operations Squadron, 733rd Air Mobility Squadron, Det 1, 554th Red Horse Squadron, American Forces Network Detachment 11, AFNEWS, Det 3, Pacaf Air Postal Squadron, Det 3, United States Air Force School of Aerospace Medicine, Support Center Pacific, OO-ALC/Maly, Det 3, Wr-Alc Air Force Petroleum Office, Det 624, AF Office of Special investigations, Det 233, Air Force Audit Agency, Field Training Detachment Det 15, 372nd Training Squadron. Kadena Airbase terletak di koordinat 26°21′20″N 127°46′03″E. Pangkalan ini didirikan 103 Japanese Communist party Journal, Op.cit, hal.1. pada tahun 1945 dan masih beroperasional hingga saat ini. Terdapat 18.000 lebih anggota Angkatan Bersenjata Amerika Serikat yang ditempatkan di Kadena Airbase dan hampir 4.000 penduduk sipil Jepang yang bekerja di pangkalan ini. Marine Corps Air Station Futenma terletak di koordinat 26°16′15″N 127°44′53″E adalah pangkalan bagi 4.000 Marinir Amerika Serikat yang terletak di kota Ginowan, Futenma Air Station adalah rumah bagi 1st Marine Aircraft Wing. Pangkalan ini didirikan pada tahun 1945 dan masih beroperasional hingga saat ini. Futenma Airbase ynag terletak di kota ginowan menempati hampir 480 hektar tanah dan hampir seperempat wilayah kota Ginowan yang berpopulasi 93.661 jiwa. Penempatan Pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah dengan populasi penduduk sipil yang padat dan ditengah pemukiman penduduk tentu saja menimbulkan masalah dan gangguan pada kehidupan masyarakat prefektur Okinawa Jepang, terlebih lagi sifat dan status pangkalan milter tersebut yang merupakan ototritas asing yang berada di dalam suatu wilayah negara lain dan kedaulatan sebuah negara. Dengan ditempatkannya militer Jepang di wilayah Okinawa selama perang dunia ke II berlangsung, Okinawa menjadi satu-satunya wilayah di negara Jepang yang dijadikan sebagai medan pertempuran. Akibat yang muncul dengan didirikannya pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa tentunya akan menghasilkan pergesekan kedaulatan antara pihak ototitas militer Amerika Serikat yang memiliki kewenangan berdasarkan San Francisco Treaty 1951 dan Security Of Force Agreement dengan pemerintah berdaulat Jepang. Selama perang dunia II berlangsung di Jepang banyak non combatant yang terlibat dan menjadi korban selama perang 80 hari. Para penduduk yang berhasil selamat kemudian dimasukan kedalam kamp konsentrasi dan kemudian dilepaskan pada tahun 1945. Pasca perang hampir seluruh wilayah okinawa hancur dan tidak dapat diamanfaatkan kembali wilayahnya. Kemudian Ototritas militer Amerika Serikat memulai pembuatan Chatan Airbase, hampir 18.000 hektare wilayah Okinawa dikuasai oleh militer Amerika Serikat dan 40.000 pemilik tanah dihapuskan hak kepemilikan tanahnya guna kepentingan militer.104 Dalam Konvensi Den Hague menyebutkan pelarangan kepemilikan tanah secara privat oleh penduduk sipil dalam masa berperang, Prinsip Military Necessity digunakan untuk menghapuskan hak yang dimiliki oleh warga sipil. Namun hal tersebut seharusnya tidak menghapuskan kewajiban pihak militer Amerika untuk membayar kompensasi atas hilangnya hak yang sebelumnya dimiliki oleh warga Okinawa pada umumnya. Tindakan penolakan yang dilakukan oleh pihak Militer Amerika Serikat kala itu adalah sebuah pelanggaran hukum internasional yang tidak memiliki alasan pemaaf ataupun justifikasi. Setelah berakhirnya perang dunia ke II penduduk Okinawa kembali berusaha mengerjakan tanah mereka yang selamat dari penghapusan hak tanah yang dilakukan oleh otoritas militer Amerika. Ketika itu penduduk Okinawa memiliki harapan bahwa setelah ditanda tanganinya perjanjian perdamaian tanah mereka dapat kembali, akan tetapi dalam San Fransisco Treaty 1951 yang ditandatangani oleh Jepang dan sekutu mengijinkan dan memperpanjang periode okupasi 104 Ibid, hal.2. Amerika Serikat di Okinawa. Hal tersebut di ikuti dengan demonstrasi serta penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Okinawa atas keputusan tersebut yang semakin memberikan kekuasaan dan wewenang bagi militer Amerika Serikat untuk melakukan penghapusan hak atas tanah milik warga Okinawa dalam skala besar dan semakin memperburuk kondisi dan beban pasca perang yang di derita oleh masyarakat prefektur Okinawa. Pada tahun 1953 selama masa penghapusan hak atas kepemilikan tanah yang dimiliki oleh warga Okinawa sering terjadi kekerasan dan tindakan paksa yang dilakukan oleh militer Amerika Serikat, salah satu cara yang digunakan oleh militer Amerika Serikat adalah memaksa dan membujuk warga di sekitar pulau Iejima untuk melakukan imigrasi ke Amerika Selatan, hampir sepanjang garis pantai pulau Iejima dibersihkan dan diratakan garis pantainya guna kepentingan pembangunan lokasi berlabuh bagi armada kapal militer Amerika Serikat.105 Pada tahun 1972, dua puluh tujuh tahun pasca berakhirnya perang dunia ke II, hak pemerintahan admnistratif atas Okinawa telah dikembalikan kepada pemerintah Jepang. Warga prefektur Okinawa tidak memiliki keraguan untuk dapat masuk dan menguasai lagi tanah yang dahulu mereka miliki, akan tetapi janji yang diberikan oleh otoritas militer amerika serikat tidak sepenuhnya diberikan hanya sekitar 15% tanah yang dikembalikan pada pemiliknya oleh otoritas militer Amerika Serikat.106 105 A Comprehensive Study on U.S. Military Government on Okinawa (An Interim Report) University of the Ryukyus March, 1987, hal.5-7. 106 Japanese Communist party Journal, Op.cit, hal.4. Hal tersebut menjadi bukti penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum internasional, bahwa walaupun pihak militer Amerika Serikat telah memberikan kembali fungsi dan hak administratif pada pemerintah Jepang, namun pada kenyataannya tidak terdapat perubahan situasi dan kondisi yang terjadi secara nyata di Okinawa. Apabila kita mengatakan bahwa suatu negara tertentu merdeka, maka dengan cara kongkret kita dapat memberikan sejumlah atribut seperti hak, kekuasaan dan hak–hak istimewa menurut hukum internasional kepada negara tersebut. Berkaitan dengan hak–hak dan lain–lainnya itu, terdapat tugas- tugas dan kewajiban–kewajiban yang mengikat negara lain yang berhubungan dengan negara tersebut. Hak–hak dan yang lainnya ini,serta kewajiban–kewajiban yang berkaitan merupakan substansi pokok dari kemerdekaan negara.107 Contoh–contoh hak dan lain–lain itu, yang berkaitan dengan kemerdekaan negara–negara, adalah : A. Kekuasaan eksklusif untuk melakukan kontrol terhadap urusan– urusan dalam negerinya; B. Kekuasaan untuk memberi izin masuk dan mengusir orang–orang asing; C. Hak–hak istimewa duta–duta diplomatiknya di negara–negara lain; D. Yurisdiksi tunggal terhadap kejahatan–kejahatan yang dilakukan di dalam wilayahnya; 107 Starke,Op.Cit, hal.133. San Fransisco Treaty 1951 adalah salah satu perjanjian internasional yang mendasari keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah kedaulatan Jepang, San Francisco Treaty 1951 adalah suatu perjanjian yang bersifat khusus yang substansinya dan kaidah hukumnya hanya berlaku bagi para pihaknya saja yaitu Jepang dan sekutu. Pengaturan lebih lanjut yang mendasari keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di prefektur Okinawa adalah Japan–U.S Status Of Force Agreement yang ditandatangani pada 19 Januari 1960 dan diteruskan oleh Treaty of Mutual Cooperation and Security between the United States and Japan, yang terus diperbarui dan dikaji oleh kedua belah negara mengingat adanya permasalahan yang timbul di prefektur Okinawa atas keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat. Pelanggaran terhadap nilai–nilai kemerdekaan dan kedaulatan sebuah negara pun muncul bersamaan dengan konflik–konflik yang terjadi antara Otoritas militer Amerika di Okinawa dengan warga Okinawa. Yang dapat dikaji dalam fakta di Okinawa adalah pemerintah Jepang sendiri memberikan penjaminan terhadap Amerika Serikat bahwa pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa tidak akan menurun fungsi dan aktifitasnya setelah masa pembalikan dan pengembalian status, pemerintah Jepang memberikan penjaminan tersebut dalam rangka pemenuhan janji terhadap Amerika Serikat dan secara tersirat tindakan tersebut adalah sebagai upaya menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat. Pemerintah Jepang memberlakukan sebuah regulasi spesifik yang memberikan ijin dan kewenangan bagi Amerika Serikat untuk terus dapat menggunakan prefektur Okinawa selama masa okupasi dalam bentuk SOFA. Dalam bab ke 2 San Fransisco Treaty 1951 mengenai perdamaiaan antara Jepang dan Sekutu yang mengatur mengenai wilayah, disebutkan dalam pasal ke 3 bahwa Jepang akan menyerahkan segala kuasa dan dan hak pada Amerika Serikat dibawah kepercayaan Persatuan Bangsa–bangsa untuk memerintah dan diberikan ijin untuk mengatur wilayah Nansei Shoto termasuk pulau Ryukyu dan pulau daito, Nanpo Shoto termasuk pulau Bonin, pulau Rosario dan kepulauan Gunung Api dan kepulauan Parece Vela dan kepulauaan Marcus. Dalam pasal ini Amerika Serikat diberikan hak dan izin untuk melaksanakan segala bentuk kewenangan administrasi, legislasi dan yurisdiksi di seluruh wilayah tersebut termasuk wilayah perairan sekitar. Pangkalan militer Amerika Serikat yang berada di tengah areal pemukiman warga yang di dalamnya terdapat perumahan, sekolah–sekolah dan rumah sakit telah menimbulkan banyak gangguan dan kerusakan di prefektur Okinawa. Salah satu dari sekian kecelakaan yang terjadi adalah pada bulan April 1999, sebuah helikopter milik militer Amerika Serikat yang terbang dari Futenma Base jatuh di daerah pantai dimana terdapat pembangkit listrik yang berlokasi di dekat tempat terjatuhnya helikopter tersebut. Dan pada bulan Juni 1999 pesawat tempur Harrier yang hendak lepas landas mengalami kegagalan mesin dan jatuh terbakar di daerah sekitar perumahan penduduk.108 Di daerah prefektur Okinawa kecelakaan–kecelakaan yang disebabkan oleh alat-alat milter dan kendaraan militer milik pangkalan milter Amerika Serikat sudah sering terjadi secara rutin, yang menjadi sebuah perhatian adalah letak dan 108 Japanese Communist party Journal, Op.cit, hal.5. keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat yang berada dekat dan diantara wilayah padat penduduk, salah satu kecelakaan yang menyebabkan banyak korban adalah jatuhnya pesawat jet yang berangkat dari pangkalan udara Kadena yang terbakar dan jatuh di sebuah sekolah dasar yang kemudian membakar 17 rumah dan sebuah pusat kegiatan warga. 11 Warga meninggal dunia dan 6 orang siswa Sekolah dasar meninggal dunia dan 210 orang mengalami luka–luka.109 Tidak hanya ancaman yang berasal dari aktifitas dari pangkalan militer Amerika Serikat saja yang menganggu, akan tetapi ancaman dari personil militer Amerika Serikat yang juga turut membuat keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di prefektur Okinawa semakin dikecam adalah perbuatan kriminal yang dilakukan oleh anggota militer pangkalan militer Amerika Serikat. Pada bulan September 1995 seorang siswi diculik dan diperkosa oleh tiga orang pasukan militer Amerika Serikat. Kepolisian okinawa meminta pada otoritas militer AS untuk menyerahkan tiga orang tersangka tersebut kepada pihak kepolisian Okinawa akan tetapi ditolak.110 Insiden tersebut kemudian memancing marching rally yang dilakukan oleh warga okinawa, pada Oktober 1995 sekitar 92.000 orang berunjuk rasa menuntut penegakan hukum bagi para prajurit Amerika Serikat yang melakukan kejahatan dan menuntut diadakannnya perubahan atas Status Of Forces Agreement. Namun kejahatan yang dilakukan oleh prajurit Amerika Serikat yang ditempatkan di 109 110 Ibid, hal.6. Ibid. Okinawa masih terus saja berlanjut dan menimbulkan ancaman dan rasa takut secara luas di masyarakat.111 Terdapat pembebasan dan pembatasan berlakunya yurisdiksi teritorial suatu negara atas keberadaan sebuah angkatan bersenjata asing di suatu wilayah negara lain, yang diatur oleh hukum internasional. Angkatan bersenjata yang diterima di wilayah negara asing menikmati suatu imunitas terbatas, tetapi bukan imunitas absolout, dari yurisdiksi teritorial negara tersebut. Besarnya imunitas tersebut bergantung pada keadaan–keadaan dimana angkatan bersenjata itu diterima oleh pemegang kedaulatan teritorial, dan khususnya pada ada atau tidaknya suatu perjanjian tegas antara negara tuan rumah dan negara pengirim yang mengatur syarat–syarat mengenai masuknya angkatan bersenjata tersebut di wilayah itu.dalah hal tidak adanya perjanjian tegas demikian, maka fakta yang nyata dari penerimaan (Admission) terhadap angkatan bersenjata itu memberikan beberapa konsekuensi tetrtentu yang pada umumnya diakui hukum internasional. Prinsip yang berlaku disini adalah apa yang dikatakan dalam kata kata klasik oleh Hakim Marshall CJ dari Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Schooner vs M’Faddon dan diungkapkan oleh hakim terkenal dalam doktrin berikut ini : Suatu negara yang menerima di wilayahnya suatu angkatan bersenjata negara yang bersahabat secara implisit setuju untuk tidak melaksanakan yurisdiksi apapun terhadap angkatan bersenjata itu secara kolektif atau terhadap anggota– anggotanya secara individual 111 Ibid, hlm.10. yang kemungkinan tidak sesuai dengan keberadaanya sebagai suatu kekuatan angkatan bersenjata yang efisien untuk melaksanakan tugas negaranya.112 Akan tetapi apabila dibandingkan terhadap pelanggaran kejahatan yang terjadi di Okinawa Military Base dapat ditarik kesimpulan bahwa seharusya tidak ada penghapusan yurisdiksi secara sempurna oleh negara teritorial pada saat memberikan izin atau penerimaan suatu angkatan bersenjata di wilayahnya. Gangguan lain yang ditimbulkan dari keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat adalah gangguan yang berasal dari suara mesin jet pesawat yang terbang diatas pemukiman warga prefektur Okinawa, gangguan lain yang timbul dari keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat adalah kerusakan lingkungan di sekitar pangkalan militer, pada wilayah yang sering digunakan untuk dilakukan latihan pengeboman udara sering kali ditinggalkan begitu saja setelah digunakan tanpa adanya upaya penanaman pohon kembali, yang tentunya hal tersebut merusak lingkungan dan kondisi wilayah hijau di perfektur Okinawa.113 Lokasi strategis Okinawa telah menjadi kunci penting pertahanan keamanan di pasifik selama beberapa dekade terakhir. Pasca Perang Dunia II wilayah Okinawa dipandang sebagai benteng yang mencakup pengawasan terhadap armada Uni Soviet di pasifik. Ancaman keamanan pasca Perang Dingin meliputi potensi ancaman dari Semenanjung Korea dan Selat Taiwan. Perjanjian kerjasama dan keamanan tidak hanya untuk membela Jepang tetapi untuk menjaga keamanan di seluruh wilayah Asia-Pasifik. Kehadiran dari Angkatan Udara AS dan 112 113 Starke, Op.Cit, hal.299. Japanese Communist party Journal, Op.Cit, hal.9. Angkatan Laut juga memungkinkan untuk respon terhadap bencana kemanusiaan di wilayah tersebut. Dalam strategi keamanan sebagian besar pihak setuju tentang pentingnya lokasi Okinawa sebagai lokasi strategis kehadiran Amerika Serikatdi Asia Timur, namun keberadaan 38.000 personil militer dan 5.000 orang pegawai departemen pertahanan Amerika Serikat yang ada di Jepang dalam keberadaan jangka panjang membuat ketidakseimbangan dan ketidakpastian dalam tata pertahanan Pasifik, hal ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Jepang. Atas hal tersebut banyak pengamat yang berpendapat bahwa secara tidak langsung Pemerintahan Tokyo tidak mampu menyampaikan aspirasi dan keinginan dari warga prefektur Okinawa. Walaupun prefektur Okinawa telah menerima subsidi berjumlah jutaan dolar hingga saat ini atas penggantian beban dari keberadaan pangkalan militer di wilayahnya, akan tetapi hal tersebut bukanlah yang sesungguhnya diharapkan oleh warga Okinawa. Usaha-usaha perundingan secara damai sudah sering dilaksanakan oleh Amerika dan Jepang terkait kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh personil militer, ataupun kasus-kasus kecelakaan ataupun dampak keberadaan pangkalan militer bagi ekosistem darat dan laut di Okinawa. Penyelesaiaan sengketasengketa yang timbul diselesaikan dengan negoisasi oleh kedua belah pihak. SOFA adalah perjanjian yang bersifat bilateral antara dua negara. Perundingan dan negosiasi mengenai perubahan dan modifikasi atas SOFA hingga saat ini telah dilakukan sampai tiga kali semenjak tahun 1960. Pada tahun 2006 sebagai kesepakatan bersama Marine Corps Air Station Futenma direlokasikan ke kepulauan Guam, yang terletak di selatan kepulauan Okinawa. Kesepakatan ini dibuat berdasarkan rencana untuk mengurangi dampak atas keberadaan pangkalan militer di Futenma, pengembalian hak atas tanah diberikan kembali kepada masyarakat Futenma. Namun proses relokasi mengalami kendala karena kondisi politik intern Jepang pada saat itu, Mantan Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama terus menerus menyuarakan dukungan terhadap pemindahan pangkalan militer Futenma hingga pada akhir kepemimpinannya pada bulan mei tahun 2010.114 Dukungan pemerintah dan permohonan tersebut akhirnya mendapat dukungan dari kongres Amerika Serikat senator Carl Levin, John McCain dan James Webb melakukan dukungan dan pengawalan atas jumlah dana yang dibutuhkan untuk re-lokasi tersebut. Sebagai balasan dukungan atas keputusan Kongres Amerika Serikat, Jepang sepakat membayar 60% biaya re-lokasi seluruh personil militer Amerika Serikat yang berjumlah $10.3 triliun. Pada bulan juni tahun 2011 diadakan pertemuan antara Jepang dan Amerika Serikat yang bertema U.S.-Japan Road to Allingnment yang membahas masalah relokasi dan jumlah dana yang diperlukan serta rencana re-lokasi bertahap yang akan dilaksanakan. Pada bulan April 2012 kesepakatan antara Amerika Serikat dan Jepang menghasilkan pada kesepakatan untuk melakukan relokasi terhadap seluruh marinir Amerika Serikat secara bertahap di Okinawa dan pemindahan sementara pangkalan Futenma bersama seluruh personilnya, serta memindahkan 114 The U.S. Presence in Okinawa And The Futenma Base Controversy,Congressional Research Service, hal.1. sementara pangkalan Futenma di pangkalan Henoko. Pemindahan secara bertahap personil militer Amerika Serikat akan dilaksanakan mulai pada akhir tahun 2012 sejumlah 9.000 personil. Relokasi pasukan dibagi pada tiga pangkalan militer AS di pasifik yaitu Guam, Hawaii dan Pangkalan bergerak di Australia. Relokasi akan terus dilakukan secara bertahap sebagai bentuk pengurangan jumlah personil militer di Okinawa sebagai kesepakatan pada bulan April Tahun 2012.115 115 Ibid. hal.7. BAB V PENUTUP A. SIMPULAN 1. Keberadaan pangkalan militer asing di wilayah suatu negara lain seperti milik Amerika Serikat di kepulauan Okinawa Jepang dan di negara-negara lain berdasarkan perjanjian Bilateral yang diadakan oleh kedua negara, perjanjian tersebut dikenal sebagai Security Of Force Agreement (SOFA) yang mengatur mengenai keberadaan pangkalan militer suatu negara di wilayah negara lain dan mengatur mengenai keberadaan personil angkatan bersenjata asing di dalam wilayah suatu negara yang berdaulat pada masa damai. Keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa dimulai semenjak penandatanganan San Francisco Treaty 1951 yang memberikan kewenangan pada Amerika Serikat untuk menjaga keamanan dalam negeri Jepang, kemudian Okinawa ditetapkan sebagai pangkalan bagi Marinir dan Angkatan Udara Amerika Serikat. Perubahan serta penyesuaian terhadap Treaty of Mutual Cooperation and Security between the United States of America and Japan 1960 yang mengatur mengenai area dan fasilitas pangkalan militer dan hak serta kewajiban personil militer. Pada tahun 1972 perubahan isi perjanjian dilakukan terkait kebijaksanaan pengembalian hak atas lahan terhadap penduduk di sekitar pangkalan. Pada tahun 1990 dilakukan lagi perubahan dan penyesuaian terhadap kebijakan keberadaan pangkalan dan hak serta kewajiban yang dimiliki oleh penduduk Okinawa yang bekerja di dalam pangkalan militer dan izin bagi Amerika Serikat terhadap penggunaan udara, tanah dan kekuatan dari fasilitas angkatan laut di daerah perairan Jepang dalam rangka memberikan kontribusi terhadap keamanan Jepang dan pemeliharaan perdamaian international. Hingga akhir tahun 2012 perundingan untuk pengaturan dan penyesuaian atas keberadaan pangkalan terus dilakukan oleh Jepang dan Amerika Serikat. 2. Berbagai kasus kriminal dan kejahatan yang sering terjadi di wilayah sekitar pangkalan militer yang dilakukan oleh personil militer Amerika Serikat selalu menemui kebuntuan dalam proses penegakan hukumnya. Terkait yurisdiksi eksklusif yang dimiliki oleh pangkalan militer dan personil angkatan bersenjata Amerika Serikat. Kewenangan mengadili atas yurisdiksi sering menjadi perdebatan yang selalu dimenangkan oleh pihak militer Amerika Serikat. Dengan semakin seringnya terjadi kecelakaan dan insiden membuat masyarakat Jepang dan masyarakat internasional untuk ikut mendukung relokasi atas keberadaan seluruh Angkatan Bersenjata Amerika Serikat yang berada di kepulauan Okinawa Jepang. Akhirnya Pemerintah Jepang berhasil mencapai kesepakatan pada bulan juni 2012 untuk melakukan relokasi atas keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat secara bertahap, yang dimulai dengan Marine Corps Air Station di Futenma. B. SARAN 1. Bagi negara pengirim angkatan bersenjata asing, pembangunan pangkalan militer milik negara asing di wilayah berdaulat suatu negara seharusnya dipertimbangkan lebih baik, mengingat dampak buruk yang begitu banyak timbul dari keberadaan pangkalan militer. Penempatan lokasi pangkalan militer seharusnya juga diperhitungkan dengan lebih bijaksana apabila akan ditempatkan di wilayah yang padat penduduk. 2. Negara penerima sebesar apapun kontribusi ataupun subsidi yang diberikan atas gangguan dari keberadaan pangkalan militer tidak akan dapat memberikan rasa damai bagi penduduk Okinawa. Saat ini jepang telah bangkit dari keterpurukan ekonomi dan keamanan pasca Perang Dunia II, maka keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah berdaulat Jepang sudah tidak relevan lagi. DAFTAR PUSTAKA Bahan Adolf, Huala , Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996; ----------------,Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2006; Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2008; Istanto , F. Sugeng, Hukum Internasional.Universitas Atma Jaya, Jogjakarta, 2010; Kusumatmadja , Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung,2003; Mauna, Boer, Hukum Internasional; Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global Edisi Ke – 2, Bandung:Alumni, 2005; Parthiana, I Wayan, Perjanjian Internasional Bagian 1,Bandung:Mandar Maju,2002; ------------------------, Perjanjian Internasional Bagian 2,Bandung:Mandar Maju,2002; ------------------------, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990; Pratomo , Eddy, Hukum Perjanjian internasional, Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi, Alumni, Bandung, 2011 Purwanto, Harry, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011. Rudy,T May, Hukum Internasional 1,Bandung:Refika Aditama,2006; -----------------, Hukum Internasional 2,Bandung:Refika Aditama,2006; Soemitro, Ronny Hanintijo, Metode Penelitian dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009; -----------------, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982; Starke, J.G , Pengantar Hukum Internasional 1, Jakarta : Sinar Grafika ,2007; ---------------, Pengantar Hukum Internasional 2, Jakarta : Sinar Grafika ,2007; Thontowi , Jawahir, dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006; Sumber Lain San Francisco Treaty 1951 Treaty of Peace Between Japan And Allied; Vienna Convention 1969 of Law Of Treaties; SOFA Treaty Of Mutual Cooperation between the United States of America and Japan 1960; Amendement of Treaty Of Mutual Cooperation between the United States of America and Japan 1990; Japanese Communist party Journal, US.Military Base Okinawa Problems,February 2000; The U.S. Presence in Okinawa And The Futenma Base Controversy,Congressional Research Service,August 2012; Congressional Research Service , Status Of Force Agreement : What is it ?, And how has it been utilized ?, January 2011; University of the Ryukyus Journal, A Comprehensive Study on U.S. Military Government on Okinawa (An Interim Report) March, 1987; Van der Zejiden, Foreign Military Bases and The Global Campaign to Close Them a Beginners Guide;