GEOKIMIA PANAS BUMI GUNUNGAPI SLAMET

advertisement
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
GEOKIMIA PANAS BUMI GUNUNGAPI SLAMET JAWA TENGAH
Oleh :
Mamay Surmayadi*)
*) Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
ABSTRACT
Slamet, Centra Java, is one of volcano lying within volcanic arc of Java, which has a
geothermal resources indicating by three groups of hotsprings, Baturraden in the south,
Guci and Sigedog in the nothern part, as a surface manifestation of geothermal system.
Water-chemistry analysis suggests that hotspring of Baturraden have a relative
proportional of Cl – SO4 dissolved component so that it tend to be classifed into chloride
– sulfate water. Water derived from Guci and Sigedog groups are classified into
bicarbonate water by having elevated HCO3, relative range in Cl and SO4. Meanwhile, a
fumtarol condensate originating from condensation proses in Crater Slamet has much
higher Cl consentrastion comparing to others. In this case, the fumarol condensate is
classified into chloride water.
Correlation of Cl into other chemical dissolved elements show indication that chloride
– sulfate water of Baturraden are derived partly from a chloride reservoir that has mixed,
dilluted, and increades SO4 solubility form magmatic gas during flowing into the surface.
Meanwhile, bicarbonate water of Guci and Sigedog is out flow of geothermal system of
Slamet.
A relative proportion of Na – K – Mg and relative K-Na and Mg-Ca consentrations of
water indicated that the geothermal fluids are not fully equilibrated fluids, which may
be influenced by mixing or water – rocks/minerals interaction during flowing into the
surface. Ploting of K-Mg-Ca geoindicator suggest all thermal waters have high CO2
contents, which is controlled by mineral solution equilibrium. Otherwise, the cold water,
which have low CO2 contents appears to be controlled by rock dissolution.
Keywords: Geothermal manifestations, chloride, chloride – sulfate, bicarbonate,
equilibrium, water – mineral dissolution
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
163
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
ABSTRAK
Gunungapi Slamet, Jawa Tengah, merupakan salah satu gunungapi pada busur
vulkanik Jawa yang memiliki potensi sumber daya panas bumi yang direpresentasikan
oleh, salah satunya, pemunculan mata air panas pada tiga kelompok area, yaitu
Baturraden di lereng selatan, Guci dan Sigedog di lereng utara. Analisis kimia air
menujukan bahwa air panas Kelompok Baturraden memiliki proporsi klorida (Cl) dan
sulfat (SO4) yang relatif berimbang sehingga cenderung diklasifikasikan sebagai tipe air
klorida – sulfat. Air pada Kelompok Guci dan Sigedog merupakan tipe air bikorbonat
dengan proporsi bikarbonat (HCO3) relatif tinggi terhadap konsentrasi Cl dan SO 4.
Sementara itu, kondensat fumarol hasil kondensasi uap di Kawah Slamet memiliki
konsentrasi Cl yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan air Kelompok Baturraden,
Guci, dan Sigedog sehingga diklasifikasikan sebagai tipe air klorida.
Korelasi elemen klorida (Cl) terhadap elemen kimia lainnya menunjukan
kecenderungan tipe air klorida – sulfat Baturraden merupakan bagian dari reservoir tipe
air klorida yang mengalami pengkayaan atau penambahan sulfat (SO 4) dari gas
magmatik selama perjalanannya menuju permukaan. Sementara itu, tipe air bikarbonat
Guci dan Sigedog merupakan out flow sistem panas bumi Slamet.
Proporsi relatif Na–K-Mg dan diagram konsentrasi relatif K-Na dan Mg-Ca
menunjukan bahwa fluida panas bumi Gunungapi Slamet berada pada posisi tidak
setimbang (immature water) sebagai pengaruh percampuran atau interaksi air – batuan
atau mineral selama perjalanannya menuju permukaan. Ploting geoindikator K-Mg-Ca
menunjukan bahwa seluruh air panas, baik Kelompok Baturraden, maupun Guci Sigedog memiliki konsentrasi CO2 cukup tinggi yang lebih cenderung dikontrol pengaruh
interaksi larutan – mineral, sedangkan air dingin lebih cenderung dipengaruhi oleh
interakasi larutan – batuan.
Kata kunci: Manifestasi panas bumi, klorida, klorida – sulfat, bikarbonat,
kesetimbangan, interaksi larutan - mineral
PENDAHULUAN
Gunungapi Slamet, Jawa Tengah
(gambar 1), merupakan salah satu
gunungapi yang berada pada busur
vulkanik Pulau Jawa yang memiliki
sumber daya panas bumi yang
direpresentasikan dengan pemunculan
mata air panas bumi permukaan di
daerah Guci dan Sigedog di lereng utara
dan Baturraden di lereng selatan
Gunungai Slamet. Sumber daya panas
bumi ini dapat dijadikan sebagai salah
satu sumber energi alternatif yang
berperan cukup signifikan dalam
memenuhi kebutuhan energi nasional.
Meskipun demikian, potensi panas bumi
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
164
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
ini belum banyak terungkap secara rinci
karena masih kurangnya penelitian.
Geokimia merupakan salah satu
metoda eksplorasi panas bumi dalam
memperlajari karakteristik fluida panas
bumi. Hal ini salah satunya dapat
dilakukan
melalui
penelitian
karakteristik, baik mata air panas atau
mata air dingin, yang muncul di
permukaan sebagai manifestasi panas
bumi permukaan. Penelitian geokimia
yang didasarkan atas analisis kimia air,
dalam tulisan ini, difokuskan pada
pembahasan karakteristik fluida panas
bumi Gunungapi Slamet sehingga dapat
menggambarkan sistem kesetimbangan
fluida panas bumi yang dipengaruhi oleh
proses percampuran (mixing), pelarutan
(dissolution), dan interaksinya dengan
batuan atau mineral yang dilaluinya
selama perjalanannya dari reservoir
panas bumi menuju permukaan.
TINJAUAN PUSTAKA
Penyelidikan Panas Bumi Gunungapi
Slamet
Penyelidikan panas bumi daerah
Gunungapi Slamet, Jawa Tengah,
dimulai sejak tahun 1990 – 1992 oleh
Direktorat Vulkanologi (Anonim, 2009,
dalam Mukhsin, dkk. 1991). Beberapa
kegiatan survei yang pernah dilakukan
adalah pengukuran gaya berat dan
geolistrik, penyelidikan geologi dan
geokimia, pemboran dan pengukuran
landaian suhu, dan pengujian sifat fisik
dan kimia sumur landaian suhu di
daerah panas bumi Guci (Anonim, 2009,
dalam Mukhsin, dkk. 1991).
Berdasarkan hasil analisis kimia air
panas didaerah Guci di tiga tempat yaitu
mata air panas Guci, mata air panas
Kasepuhan dan mata air panas Kali putih
(Mukhsin, dkk. 1991) dengan suhu 41 58C (suhu udara sekitar 18.5C), pH =
6.1 –7.3. Komposisi kimia air panas Guci
didominasi oleh bikarbonat (HCO 3)
583,37 mg/l, sodium (Na) 149,04 mg/l
dan silika (SiO 2) 116,98 mg/l.
Berdasarkan diagram segitiga Cl–SO4–
HCO3 (Giggenbach, 1988), air panas
Guci tergolong tipe bikarbonat sebagai
indikasi out flow sistem panas bumi
yang sangat dipengaruhi oleh air
permukaan (meteoric water).
Pengeboran
dan
pengukuran
landaian suhu dilakukan pada sumur
GC-01 dengan kedalaman 232 meter.
Sumur bor terletak pada ketinggian 
1050 meter diatas permukaan laut,
berada di tepi jalan Desa Guci dan
Dukuh Tengah, dan terletak  500 meter
dari mata air panas Guci.
Hasil
pengukuran
temperatur
dan
interpretasi
gradient
termal
diinterpretasikan
sebagai
berikut
(Anonim, 2009; dalam Mukhsin, dkk.
1991):
 Daerah panas bumi Guci terletak
dalam zona graben, banyak
dikontrol oleh pola struktur patahan
normal yang memotong pola
struktur lebih tua dan sisa kaldera
Gunung Mingkrik yang ditafsirkan
sebagai sumber panas.
 Dengan banyak dijumpai ubahan
hidrotermal, hasil gradien pada tiga
pola yang relatif tinggi dapat
merupakan pola gradien pada
daerah indikasi panas bumi. Dengan
referensi gradien termal yang ketiga
dengan
range
10.09
–
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
165
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
14.09C/meter,
maka
dapat
diprediksi kedalaman reservoir dan
temperatur reservoirnya berdasarkan
metoda
Na-K-Ca-Mg
(Gigggenbach, 1988) sebesar 208C.
METODE PENELITIAN
Metodologi yang digunakan dalam
melakukan penelitian ini meliputi survei
lapangan dan pengambilan sampel, dan
analisis laboratorium kimia air. Analisis
kimia air untuk setiap parameter
mempergunakan metode yang berbeda
(tabel 1).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Geologi Gunungapi Slamet
Komplek Gunungapi Slamet secara
stratigrafi
dapat
dikelompokkan
menjadi delapan khuluk gunungapi
ditambah batuan sedimen dan intrusi,
relatif dari tua ke muda, yaitu:
1. Batuan Sedimen;
2. Intrusi
3. Gunungapi Ratamba;
4. Gunungapi Watupayung;
5. Gunungapi Manis;
6. Gunungapi Lawa;
7. Gunungapi Sakub;
8. Gunungapi Cowet;
9. Gunungapi Mingkrik, dan
10. Gunungapi Slamet
Khuluk Gunungapi Ratamba hingga
Mingkrik
merupakan
kelompok
gunungapi Tua di Komplek Slamet yang
secara umum telah mengalami
deformasi sehingga secara umum sulit
diidentifikasi sumber erupsinya.
Satuan batuan sedimen (TSD) yang
tersingkap dan terpetakan hampir di
seluruh bagian luar kawasan Komplek
Gunungapi Slamet tersusun oleh
perselingan batulempung dan batupasir
sebagai bagian dari Formasi Halang dan
Formasi Rambatan yang berumur
Miosen Tengah – Miosen Akhir (Djuri,
1975) yang mendasari batuan vulkanik
Komplek Gunungapi Slamet.
Batuan intrusi di Komplek Gunungapi
Slamet terdapat di bagian selatan –
tenggara yang secara morfologi
memperlihatkan tonjolan topografi
yang cukup kontras dengan kondisi di
sekitarnya.
Secara umum, batuan
intrusi adalah diorit, kecuali intrusi dasit
G. Karangpule. Pantarikhan umur intrusi
dasit Karangpule berdasarkan metoda
fission track menunjukan umur batuan
1,5 ± 0,2 juta tahun yang lalu.
Pemunculan kelompok batuan intrusi ini
diinterpretasikan
sebagai
fase
magmatisme yang mengawali proses
vulkanisme di Komplek Gunungapi
Slamet.
Gunungapi Ratamba merupakan
khuluk gunungapi yang tidak diketahui
sumber erupsinya karena telah
mengalami deformasi dan tertutup oleh
produk erupsi yang lebih muda. Khuluk
gunungapi ini tersusun oleh endapan
piroklastika dan alira lava andesitik.
Selain dihasilkan melalui erupsi pusat,
vulkanisme Ratamba juga dihasilkan
melalui
erupsi
samping
yang
menghasilkan lava celah dan kubah lava
samping (RLS) di lereng bawah bagian
tenggara dan selatan. Sementara itu,
batuan piroklastik yang dihasilkan
vulkanisme Ratamba tersingkap lapuk di
lapangan
sehingga
menyulitkan
identikasi.
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
166
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Batuan Gunungapi Watupayung
yang tersusun atas aliran lava, aliran
piroklastika, dan jatuhan piroklastika
berkomposisi andesitis yang tersebar
dan terpetakan terutama di bagian
barat dan barat laut Gunungapi Slamet.
Gunungapi
Watupayang
pernah
mengalami fase vulkanisme destruktif
menghasilkan kaldera yang menyisakan
dinding kaldera dengan diameter sekitar
5 km yang terlihat jelas pada digital
terrain
model
(DTM).
Proses
pembentukan Kaldera Watupayung
ditandai
dengan
ditemukannya
endapan aliran piroklastik batuapung
(pumice flow) dan aliran piroklastika abu
(ash flow) yang tersingkap dengan baik
pada penggalian pasir di Kampung
Pengasinan dan Mangli Kidul.
Khuluk Gunungapi Manis, Lawa,
Sakub, Cowet, dan Mingkrik secara
umum menghasilkan dominasi aliran
lava berkomposisi andesitis. Seluruh
khuluk gunungapi ini, kecuali Mingkrik,
sulit diindentifikasi sumber erupsinya
karena telah mengalami deformasi dan
tertutup oleh produk eruspi yang lebih
muda. Sementara itu, Gunungapi
Mingkrik masih memperlihatkan tubuh
diinterpretasikan
bahwa
Mingkrik
merupakan fase termuda dalam
vulkanisme Slamet Tua.
Khuluk
Gunungapi
Slamet
merupakan gunungapi termuda di
Komplek Slamet. Fase vulkanisme
Slamet membentuk sistem poligenetik
sebagai representasi kombinasi erupsi
pusat dan erupsi samping. Erupsi pusat
Slamet menghasilkan dominasi aliran
lava, aliran piroklastika, dan jatuhan
piroklastika berkomposisi basaltik.
Sementara
itu,
erupsi
samping
menghasilkan pembentukan kerucut
sinder yang terbagi atas dua kelompok,
yaitu dua kerucut sinder di lereng bagian
barat dan 35 sinder (Sutawidjaya dan
Sukhyar, 2009) di lereng tenggara –
timur – timur laut. Pentarikan umur
bom skoria dengan metode radiometrik
K-Ar dari salah satu kerucut sinder pada
kelompok dua menunjukkan umur
0,042 + 0,02 (Sutawidjaya dan Sukhyar,
2009).
Struktur Geologi
Deleniasi jejak topografi sebagai
interpretasi struktur geologi hasil
filtering Landsat band 4 dikombinasikan
dengan jejak topografi yang tergambar
dalam
foto
udara
dan
DTM
menghasilkan arah dan bentangan
topografi yang diinterpretasikan sebagai
struktur dan rekahan di kawasan
Komplek
Gunungapi
Slamet.
Berdasarkan arah dan bentanganya,
struktur geologi di kawasan Gunungapi
Slamet merupakan sesar normal, sesar
normal mendatar, dan sesar mendatar
yang memiliki orientasi barat daya –
timur laut dan barat laut – tenggara.
Pemunculan mata air di Komplek
Gunungapi Slamet dikontrol oleh sesar
normal.
Manifestasi Panas Bumi
Sistem panas bumi Gunungapi
Slamet, Jawa Tengah ditandai dengan
pemunculan manifetasi panas bumi
permukaan berupa mata air panas, gas
solfatara dan fumarola, serta batuan
ubahan hidrotermal (lihat gambar 2).
Mata air panas muncul pada tiga
kelompok daerah yang berbeda, yaitu
Kelompok Guci (AP Cahaya, AP
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
167
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Pancuran 13, AP Kasepuhan, AP
Pengasihan, dan AP Gua) dan Sigedog
(AP Saketi, AP Sigedog, dan AP
Pandansari) di lereng barat laut, dan
Kelompok Baturraden (AP Pancuran 3
dan AP Pancuran 7) di lereng selatan G.
Slamet. Selain mata air panas, mata air
dingin Sigedog (AD Sigedong) dan mata
air dingin Kalipagu (AD Kalipagu) muncul
diantara kelompok mata air panas
Sigedog dan Baturraden.
Manifestasi panas bumi lainnya di
Komplek Gunungapi Slamet adalah
dijumpainya lempung alterasi berwarna
keputihan hingga abu muda di sekitar
lereng Gunung Mingkir, utara puncak
Gunungapi Slamet. Sementara itu,
pemunculan solfatar dan fumarol yang
berada di puncak Gunungapi Slamet
muncul dan tersebar di bagian tepi
dinding kawah dan pada bagian kubah
lava baru yang terbentuk tahun 1973
(Pardyanto, 1990).
Analisis Kimia Air
Pengukuran
temperatur
dan
pengambilan contoh air dilakukan pada
bulan Juli 2008 (tabel 2), Oktober 2012
(Sulistiyo, dkk, 2012; tabel3), dan Maret
2014 (Humaida, dkk, 2012; tabel 4).
Secara umum, air panas dan air dingin
yang muncul ke permukaan pada lava
Komplek
Gunungapi
Slamet
memperlihatkan kondisi fisik air yang
jernih dan tidak berbau. Air panas
Pancuran 7 dan Pancuran 3 pada
Kelompok Baturraden memperlihatkan
adanya endapan besi dan belerang yang
berwarna kekuningan, serta endapan
sinter karbonat (travertin) yang tersebar
di sekitar pemunculan air panas. Secara
keseluruhan, temperatur air panas
Gunungapi Slamet berkisar antara 40,9 
– 61,7 C, sedangkan air dingin berkisar
antara 16,8  – 18,8 C. Seluruh mata air
panas dan air dingin di Komplek
Gunungapi Slamet memiliki pH normal
dalam kisaran 6,23 hingga 7,43.
Selain air yang diambil dari mata air
panas, air dingin, dan air sungai,
terdapat data kondensat fumarol (tabel
5) yang diambil dari salah satu lokasi
tembusan fumarol di Kawah Gunungapi
Slamet bulan Mei 1996 dengan
temperatur 263 C (Sumarti, dkk. 1996).
Berdasarkan analisis kimia air, air
panas Kelompok Baturraden (AP
Pancuran 7 dan AP Pancuran 3) memiliki
konsentrasi klorida (Cl), sulfat (SO4),
sodium (Na), potasium (K), kalsium (Ca),
magnesium (Mg), besi (Fe), dan litium
(Li) lebih tinggi dibandingan air panas
Kelompok Guci dan Sigedog. Sementara
itu, seluruh air panas memperlihatkan
konsentrasi SiO2 dan HCO3 yang relatif
berimbang, sedangkan elemen kimia
minor, seperti boron (B), dan amoniak
(NH4) adalah bervariasi.
Berdasarlan proporsi relatif Cl-SO4HCO3 sebagai representasi komponen
terlarut dalam fluida panas bumi yang
dapat dipergunakan sebagai klasifikasi
tipe air panas bumi (Giggenbach and
Goguel, 1989; Giggenbach, 1988 dan
1991; Nicholson, 1993), air panas
Kelompok
Baturraden
termasuk
kedalam katagori tipe air klorida
(gambar 3). Berdasarkan proporsi Cl dan
SO4 yang relatif berimbang, air panas
Kelompok
Baturraden
cenderung
membentuk tipe air klorida – sufat.
Sementara itu, air panas Kelompok Guci
dan Sigedog
termasuk tipe air
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
168
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
bikarbonat. Air dingin Kalipagu (ADK) di
Baturraden hasil analisis bulan Juli 2008
termasuk tipe air bikarbonat, sedangkan
hasil analisis kimia air bulan Oktober
2012 termasuk kedalam tipe air klorida.
Kondisi ini diinterpretasikan sebagai
indikasi bahwa air dingin Kalipagu
merupakan air dingin yang terpengaruh
oleh sistem panas bumi. Air dingin
lainnya adalah air dingin Sigedog (ADSI)
dan air sungai pada air terjun di Guci
termasuk kedalam tipe air bikarbonat.
Sementara itu, air yang berasal dari
kondensat fumarol di Kawah Slamet
hasil analisis bulan Mei 1996 (Sumarti,
dkk. 1996) termasuk ke dalam tipe air
klorida dalam kondisi air dengan tingkat
kematangan yang tinggi (mature water).
Korelasi Elemen Klorida
Klorida (Cl) merupakan elemen kimia
yang paling umum dan konservatif
dalam fluida panas bumi sering
dijadikan referensi dalam interpretasi
karakteristik kimia fluida panas bumi
(Marini, 2000). Korelasi Cl terhadap
Boron (B) dapat dipergunakan sebagai
indikator reservoir sumber fluida panas
bumi. Perbedaan rasio B/Cl dapat
terjadi karena perubahan litologi dan
penyerapan boron terhadap batuan
selama perjalanan dari suatu reservoir
menuju permukaan yang membentuk
aliran lateral (Nicholson, 1993). Korelasi
klorida (Cl) terhadap boron (B)
memperlihatkan pola korelasi yang
berbeda antara tipe air klorida – sulfat
pada air panas Kelompok Baturraden
dengan tipe air bikarbonat pada
Kelompok air panas Cuci dan Sigedog
(gambar 4).
Perbedaan
pola
korelasi
mengindikasinya dua kemungkinan,
yaitu adanya kecenderungan bahwa air
Kelompok Baturraden dan Kelompok
Guci – Sigedog adalah berasal dari
reservoir yang berbeda, atau sebagai
percampuran (mixing) dari air meteorik
yang tidak dipangaruhi oleh sistem
panas bumi. Sehubungan air Kelompok
Guci dan Sigedog adalah tipe air
bikarbonat yang terbentuk pada bagian
luar (out flow) sistem panas bumi maka
perbedaan korelasi ini diinterpretasikan
sebagai indikasi adanya adanya
percampuran (mixing) dan pengenceran
(dilution) dari air meteorik yang tidak
dipangaruhi oleh sistem panas bumi
selama perjalannya dari reservoir panas
bumi yang sama menuju permukaan.
Korelasi Cl – B antara tipe klorida –
sulfat Kelompok Baturraden dan tipe
klorida pada kondensat fumarol (KF)
memperlihatkan
kecenderungan
adanya korelasi diantara keduanya
(gambar 5). Pola korelasi ini
diinterpretasikan
sebagai
indikasi
bahwa tipe air klorida – sulfat Kelompok
Baturraden merupakan bagian dari
reservoir tipe air klorida yang
mengalami
pengkayaan
atau
penambahan sulfat (SO4) dari gas
magmatik
selama
perjalanannya
menuju permukaan.
Kondisi ini
didukung oleh korelasi Cl terhadap SO4
yang
memperlihatkan
adanya
kecenderungan
peningkatan
konsentrasi SO4 dari tipe air klorida pada
kondensat fumarol (KF) terhadap tipe
air klorida – sulfat Kelompok Baturraden
(gambar 6). Proses percampuran tipe
air klorida – sulfat Kelompok Baturraden
dari tipe klorida kondensat fumarol
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
169
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
dapat
dilihat
melalui
korelasi
konsentrasi
Cl–Mg (gambar
7).
Tingginya konsentrasi Mg merupakan
salah satu indikator terjadinya proses
percampuran fluida panas bumi dan air
meteorik (Fournier, 1979; Arnorsson,
1985) hasil perlarutan dari batuan
vulkanik yang mengandung unsur Mg
tinggi (Giggenbach, 1974; Giggenbach
dan Glover, 1975; Giggenbach, 1983;
Martin-Del Pozzo, dkk, 2002).
Tingginya konsentrasi Mg pada tipe
air klorida – sulfat Kelompok Baturraden
sebagai indikasi terjadinya proses
interaksi fluida panas bumi dengan
batuan vulkanik yang mengandung
unsur Mg tinggi didukung oleh korelasi
sodium (Na) dan potasium (K) terhadap
klorida (Cl) (gambar 8 dan 9). Sodium
(Na) dan potasium (K) sebagai elemen
kimia yang dikontrol oleh sistem
kesetimbangan mineral – fluida dalam
sistem panas bumi menunjukan bahwa
relatif tingginya Na dan K pada tipe air
klorida – sulfat Kelompok Baturraden
telah mengalami proses interaksi
dengan mineral penyusun batuan
ataupun mineral batuan alterasi yang
lebih lama dan intensif dibandingkan
dengan tipe air klorida dan bikarbonat
pada sistem panas bumi Gunungapi
Slamet.
Korelasi elemen klorida (Cl)
terhadap elemen kimia lainnya dapat
pula dipergunakan untuk mengetahui
genesis air dingin dalam sistem panas
bumi. Pemunculan mata air dingin
Kalipagu (ADK) pada Kelompok
Baturraden, dan mata air dingin Sigedog
(ADSI) yang muncul diantara kelompok
air panas Sigedog menjadi fenemena
yang menarik. Korelasi klorida (Cl)
terhadap elemen kimia lainnya
memperlihatkan air dingin Kalipagu dan
Sigedog termasuk kedalam tipe air
bikarbonat bersamaan dengan air panas
Kelompok Guci dan Sigedog. Kondisi ini
menjadi indikator awal adanya
pengaruh fluida panas bumi terhadap
kedua air dingin tersebut. Selain itu,
kandungan magnesium (Mg) yang lebih
rendah dibandingkan dengan fluida
panas bumi menunjukan bahwa air
dingin Sigedog dan Kalipagu dipengaruhi
oleh fluida panas bumi.
Pada umumnya, karakteristik air
dingin sebagai air meteorik atau air
permukaan yang tidak terpengaruh
sistem
panas
bumi
cenderung
memperlihatkan
kandungan
magnesium (Mg) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan fluida panas bumi
(Fournier, 1979; Arnorsson, 1985;
Marini, 2000). Konsentrasi Mg pada air
dingin Kalipagu (ADK) adalah 1,82 mg/L
pada Juli 2008 dan 18,46 mg/L pada
Oktober 2012. Air dingin Sigedog (ADSI)
hasil analisis bulan Juli 2008 adalah 2,24
mg/L. Sementara itu, air dingin yang
berasal dari air terjun sebagai aliran
sungai di Guci (ADAT) memiliki
konsentrasi Mg 12,96 mg/L. Konsentrasi
Mg ini, secara umum, jauh lebih rendah
dibandingkan dengan
Mg yang
terkandung pada air panas tipe
bikarbonat, kecuali air panas Sigedog
(APSI) hasil analisis bulan Juli 2008
dengan konsentrasi Mg 11,04 mg/L.
Berbeda dengan Mg, konsentrasi
amoniak (NH4) pada air dingin Kalipagu
(ADK) dan Sigedog (ADSI) secara umum
adalah relatif berimbang, kecuali air
panas Kasepuhan (APKS)  8,66 mg/L,
dengan NH4 air panas tipe bikarbonat
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
170
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
pada Kelompok Guci dan Sigedog.
Tingginya
konsentrasi
NH4
diinterpretasikan berasal dari deep fluid
reservoir panas bumi yang berasosiasi
dengan batuan sedimen atau berasal
dari air meteorik yang terpanaskan
(steam heated water) hasil kondensasi
gas vulkanik yang terlepas pada fase uap
(Nicholson,
1993).
Dalam
perbandingannya dengan boron, rasio
NH4/B terhadap Cl menunjukan air
dingin Kalipagu (ADK) dan Sigedog
(ADSI) memiliki rasio NH4/B lebih tinggi,
baik dengan air panas tipe klorida –
sulfat maupun tipe bikarbonat (gambar
10).
Kondisi ini diinterpretasikan
sebagai indikasi pemanasan air
meteorik oleh gas vulkanik (steam
heated) terjadi disekitar permukaan
(Nicholson, 1993).
Analisis ini
mempertegas bahwa air dingin Kalipagu
dan Sigedog dipengaruhi oleh fluida
panas bumi Komplek Gunungapi Slamet,
sedangkan air dingin yang berasal air
terjun aliran sungai (ADAT) merupakan
air sungai yang tidak dipengaruhi oleh
sistem panas bumi.
Kesetimbangan Fluida
Kajian asal fluida panas bumi dan
evolusi gunungapi menjadi perhatian
utama para ahli kebumian dalam
beberapa dekade terkini. Senyawa
kimia dalam fluida panas bumi
kemungkinan berasal dari pencucian
(leaching) batuan samping sebagai
representasi interaksi air meteorik
dengan
batuan
pada
kondisi
termperatur tinggi dengan magma
sebagai sumber panas sistem panas
bumi (Ellis dan Mahon, 1964; dalam Ellis
dan Mahon, 1977). Proporsi relatif Na-K-
Mg merupakan compatible kation yang
dikontrol oleh saturasi pada fase padat
atau fasa gas (Giggenbach, 1988; Marini,
2000).
Unsur tersebut adalah
setimbang dalam reservoir dan mampu
merespon perubahan sifat kimia selama
perjalannya dari reservoir hingga ke
permukaan (Marini, 2000). Proporsi
relatif Na-K-Mg dalam diagram segitiga
K/100-Na/1000-Mg
merupakan
kombinasi rasio Na/K dan K/Mg sebagai
gambaran kondisi kesetimbangan air –
batuan dalam suatu reservoir atau
aquifer air panas bumi (Giggenbach,
1988). Rasio Na/K dikontrol oleh
perubahan variabel alkali antara fluida
dan mineral feldspar yang sering
dipergunakan
dalam
penentuan
geotermometer reservoir panas bumi
(Fournier, 1979; Truesdell, 1984). Rasio
K/Mg
dikontrol
oleh
sistem
kesetimbangan fluida dengan klorit, Mg
dalam batuan alterasi, dan biotit pada
kondisi temperatur tinggi (Ellis dan
Mahon, 1977). Rasio Na/K dalam fluida
panas bumi bersifat lebih lambat untuk
menghasilkan kesetimbang ulang (reequlibrium) pada temperatur rendah
dibandingan
K/Mg
sehingga
mengakibatkan air panas sistem panas
mengalami percampuran dengan air
dingin yang banyak mengandung Mg.
Dengan demikian, kombinasi rasio K-Mg
dan Na-K merupakan suatu metode
yang dapat dipergunakan untuk menilai
pencapaian derajat kesetimbangan air –
batuan dalam sistem panas bumi
(Giggenbach, 1988).
Proporsi relatif Na–K-Mg air panas
dan air dingin dalam sistem panas bumi
Gunungapi Slamet (gambar 11)
menunjukkan posisi seluruh air di
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
171
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Komplek Slamet berada pada zona
konsentrasi Mg sebagai indikasi
immature water atau fluida panas bumi
berada pda kondisi tidak setimbang. Hal
ini disebabkan rasio K/Mg lebih
dominan dibandingkan dengan rasio
Na/K sehingga pemunculan air di
permukaan dikontrol terutama oleh
kesetimbangan fluida dan mineral yang
melibatkan batuan bawah permukaan
dan proses pencucian (leaching) batuan
yang banyak mengandung unsur Mg
(Giggenbach, 1988). Kondisi ini
diperjelas
berdasarkan
diagram
konsentrasi relatif K-Na dan Mg-Ca
(Giggenbach dan Glover, 1992) yang
memperlihatkan seluruh air panas, air
dingin, dan fumarol kondensat berada
pada posisi tidak setimbang (gambar 12)
sebagai pengaruh percampuran atau
interaksi air – batuan atau mineral
selama
perjalanannya
menuju
permukaan.
Proporsi K-Mg-Ca dapat dijadikan
sebagai geo-indikator kesetimbangan
fluida panas bumi (Giggenbach dan
Goguel, 1989) dengan mengakomodir
tekanan parsial CO2 yang didasarkan
atas kesetimbangan silikat Ca-Al, Kfeldspar, dan kation Ca+ serta Ka+
(Marini, 2000). Proprosi relatif K-Mg-Ca
adalah untuk menggambarkan tekanan
partial CO2 pada temperatur masa lalu
ketika air berada dalam kesetimbangan
dengan
batuan
berdasasarkan
geotermometer K-Mg. Konsentrasi awal
CO2 di dalam fluida geothermal (deep
geothermal fluids) dikontrol oleh fluida
magmatik dengan CO2 tinggi dan air
meteorik
dengan
CO2
rendah
(Giggenbach,
1988).
Dalam
perjalanannya menuju permukaan,
fluida panas bumi mengalami reaksi
dengan batuan sehingga menghasilkan
konversi silikat Ca-Al menjadi kalsit
(CaCO3),
termasuk
pembentukan
alterasi, melalui persamaan :
Ca-Al-silikat+CO2+H2O=2(H-Al-silikat) +
kalsit
(1)
Ca-Al2- silikat + K-feldspar + CO2 = Kmika + kalsit
(2)
Temperatur reaksi pada persamaan
(2) tergantung dari PCO2 (tekanan
parsial CO2),
log PCO2 = 0168
(Giggenbach, 1984)
t
- 3.78
(3)
dimana PCO2 dalam bar dan t dalam oC.
Reaksi kimia pada persamaan (2)
melibatkan dua komponen mineral
penyususn kesetimbangan, yaitu K-mika
dan K-feldspar, yang menggambarkan
batasan silikat Ca-Al. Pada temperatur
tertentu, kalsit adalah stabil pada PCO2
yang lebih besar dari PCO2
pada
persamaan (3), sedangkan mineral
silikat Ca-Al adalah lebih rendah dari
PCO2 pada persamaan (3) (Marini, 2000).
K-mika, K-feldspar, dan kalsit juga
mengalami reaksi (Marini, 2000) :
3 K-feldspar + Ca2+ + CO2 = K-mika +
kalsit + 2 K+
(4)
yang memiliki kesetimbangan sesuai
dengan log (aK+^ 2/aCa2+) – log PCO2 jika
diasumsikan berada pada fase padat.
Contoh air sistem panas bumi Slamet
pada ploting geoindikator K-Mg-Ca
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
172
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
(gambar 13) menunjukan bahwa
seluruh air panas berada di bawah garis
kesetimbangan K-feldspar, ilit, dan
klorit.Dua air panas dari Kelompok Guci
– Sigedog berada mendekati garis
kesetimbangan tersebut, sementara air
panas
lainnya
mendekati
garis
kesetimbangan kaolinit. Sementara air
dingin
berada
di
atas
garis
kesetimbangan K-feldspar, ilit, dan
klorit. Data yang berada di bawah garis
kesetimbangan K-feldspar, ilit, dan klorit
memiliki PCO2 (tekanan parsial CO2) lebih
besar dari kesetimbangan PCO2 sehingga
dapat mengkonversi silikat Ca-Al
menjadi kalsit. Sebaliknya, data yang
berada di atas garis kesetimbangan
tersebut memiliki kandungan CO2
rendah
sehingga
tidak
dapat
menghasilkan reaksi pembentukan
kalsit. Kondisi ini menunjukan bahwa
seluruh air panas, baik Kelompok
Baturraden, maupun Guci - Sigedog
memiliki konsentrasi CO2 cukup tinggi
yang lebih cenderung dikontrol
pengaruh interaksi larutan – mineral,
sedangkan air dingin lebih cenderung
dipengaruhi oleh interakasi larutan –
batuan.
Isotop Stabil
Isotop stabil merupakan isotop non
radioaktif. Isotop merupakan suatu
atom dari suatu elemen yang
didefinisikan oleh jumlah netron di
dalam nukleusnya. Beberapa isotop
mengalami peluruhan secara radioaktif
karena menghasilkan variasi senyawa
kimia dalam fluida panas bumi. Hasil
analisis kimia isotop stabil 18O dan 2H
(Deuterium) dari lima mata air panas
dan dua mata air dingin (tabel 6)
menunjukkan nilai δ18O berkisar –7,76
sampai –6,02 ‰, sedangkan nilai δD
berkisar –48,0 sampai –39,1‰.
Seluruh air yang berasal dari mata
air panas di Komplek Gunungapi Slamet
berada di sebelah kanan dari garis air
meteorik lokal (gambar 14). Pergeseran
(shifting) posisi isotop oksigen ke
sebelah kanan garis air meteorik lokal
(pergeseran positif) menunjukan sistem
panas bumi Slamet relatif tua yang telah
mengalami interaksi sangat intensif atau
percampuran air reservoir dengan air
meteorik yang memperkaya kandungan
18O dalam fluida meteorik. Air panas
Pancuran-7 dan air panas Cahaya yang
memperlihatkan pergeseran positif
lebih jauh dibandingkan dengan air
panas
lainnya
mengindikasikan
percampuran antara air reservoir
dengan air meteorik cukup signifikan.
Sementara itu, air dari mata air dingin
yang berada pada garis dan sebelah kiri
garis air meteorik lokal mengindikasikan
bahwa mata air dingin berasal dari air
meteorik.
Air panas dari mata air di Komplek
Gunungapi Slamet yang cenderung
mengalami
pengayaan
deuterium
diinterpretasikan dipengaruhi oleh
adanya pemanasan yang terjadi pada
reservoir sistem panas bumi. Sementara
itu, air dingin dari mata air Sigedog dan
Kalipagu yang cenderung mengalami
pengurangan (depleted) deuterium
diinterpretasikan sebagai air yang
berasal dari reservoir yang mengalami
penguapan sebelum air tersebut keluar
sebagai mataair dingin.
KESIMPULAN
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
173
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Air panas dan air dingin sebagai fluida
panas bumi Gunungapi Slamet tidak
berada pada kondisi kesetimbangan
ketika mencapai permukaan yang
disebabkan oleh proses percampuran
dan pelarutan sebagai pengaruh
interaksi air - mineral alterasi. Korelasi
isotop stabil 18O dan 2H menunjukan
seluruh air yang berasal dari mata air
panas di Komplek Gunungapi Slamet
berada di sebelah kanan dari garis air
meteorik lokal sebagai indikasi adanya
pergeseran (shifting) posisi isotop
oksigen ke sebelah kanan garis air
meteorik lokal (pergeseran positif) yang
menunjukan sistem panas bumi Slamet
relatif tua yang telah mengalami
interaksi sangat intensif.
DAFTAR PUSTAKA
Djuri, M., 1975. Peta Geologi Lembar
Purwokerto dan Tegal, Jawa, skala
1 : 50.000. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.
Ellis A.J. dan Mahon W. A. J. 1977.
Chemistry and Geothermal Systems.
New York, Academic Press INC. 392
hal.
Fournier R.O. dan Potter R.W. 1979.
Magnesium correction to the Na-KCa chemical geothermometer.
Geochim. Cosmochim. Acta 43 :
1543-1550.
Giggenbach W.F. 1984. Mass transfer in
hydrothermal alterations systems.
Geochim. Cosmochim. Acta 48 :
2693-2711.
Giggenbach, W.F. 1988. Geothermal
Solute Equilibria Deviation of Na-KMg-Ca Geo-Indicators. Geochemica
Acta 52 : 2749–2765.
Giggenbach W.F. and Goguel R.L. 1989.
Collection
and
analysis
of
geothermal and volcanic water and
gas discharges. Report No. CD 2401.
Department of Scientific and
Industrial Research. Chemistry
Division. Petone, New Zealand.
Marini, L. 2000. Geochemical techniques
for the exploration and exploitation
of
geothermal
energy.
Dipartimento per lo Studio del
Territorio e delle sue Risorse,
Università degli Studi di Genova,
Corso Europa, Genova, Italia
Muksin. M. C, Mazir, R. Kusnadi, D.
1991.
Laporan
penyelidikan
geokimia panas bumi daerah G.
Slamet. Jawa Tengah. Departemen
Pertambangan dan Energi. Sub
Direktorat Panasbumi, Direktorat
Vulkanologi
Nicholson K 1993. Geothermal Fluids:
Chemistry
and
Exploration
Techniques. Berlin, Springer-Verlag,
hlm. 263
Sumarti, S. 1996. Penyelidikan geokimia
dan emisi gas SO2 di Gunung
Slamet,
Jawa
Tnegah.
Dit.
Vulkanologi. Tidak dipublikasikan
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
174
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Sutawidjaja. I. S and Sukhyar, R. 2009.
Cinder cones of Mount Slamet,
Central Java, Indonesia. Jurnal
Geologi Indonesia. Vol. 4. 1 : 57-75
Truesdell A.H., D'knore F. and Nieva D.,
1984, The effect of localized aquifer
boiling on fluid production at Cerro
Prieto:
Geothermal
Resources
Council Trans. v.8, p. 223-229.
Sutawidjaja, I. S., Aswin, D., and Sitorus,
K., 1985. Peta Geologi Gunungapi
Slamet, Jawa Tengah, skala 1:
50.000. Dit. Vulkanologi
Paardyanto, L. 1971. Penafsiran potret
udara daerah G. Slamet dan
Sekitarnya. Dit. Geologi. Tidak
dipublikasikan
Gambar 1. Indeks lokasi daerah penelitian
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
175
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Gambar 2. Peta Geologi Komplek Gunungapi Slamet, Jawa Tengah
Gambar 3. Tipe air sistem panas bumi
Gunungapi Slamet berdasarkan proporsi
realif Cl-HCO3-SO4 (Giggenbach, 1988)
Gambar 4. Korelasi klorida (Cl) terhadap
boron (B) memperlihatkan pola korelasi
yang berbeda antara tipe air klorida –
sulfat pada kelompok air panas
Baturraden dan tipe air bikarbonat pada
Kelompok Guci – Sigedog
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
176
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Sigedog, dan tipe klorida kondensat
fumarol
Gambar 5. Korelasi klorida (Cl) terhadap
boron (B) memperlihatkan korelasi
antara tipe air klorida – sulfat
pada kelompok air panas Baturraden
dan tipe air klorida kondensat fumarol di
Kawah Slamet
Gambar 6. Korelasi klorida (Cl) terhadap
sulfat (SO4) terhadap tipe air klorida –
sulfat Kelompok Baturraden, tipe
bikarbonat Kelompok Guci – Sigedog,
dan tipe klorida kondensat fumarol
Gambar 8. Korelasi klorida (Cl) terhadap
sodium (Na) terhadap tipe air klorida –
sulfat Kelompok Baturraden, tipe
bikarbonat Kelompok Guci – Sigedog,
dan tipe klorida kondensat fumarol
Gambar 9. Korelasi klorida (Cl) terhadap
sodium (Na) terhadap tipe air klorida –
sulfat Kelompok Baturraden, tipe
bikarbonat Kelompok Guci – Sigedog,
dan tipe klorida kondensat fumarol
Gambar 7. Korelasi klorida (Cl) terhadap
magnesium (Mg) terhadap tipe air
klorida – sulfat Kelompok Baturraden,
tipe bikarbonat Kelompok Guci –
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
177
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Gambar
11.
Diagram
K/Na/Mg
(Giggenbach, 1988) manifestasi air di
Komplek Gunungapi Slamet.
Gambar 10. Rasio NH4/B terhadap
klorida (Cl) yang memperlihatkan air
dingin Kalipagu (ADK) dan Sigedog
(ADSI) sebagai air dingin terpanaskan
(steam heated) sistem panas bumi
Gambar 12. Rasio 10K/Na terhadap
10Mg/Ca fluida geothermal Gunungapi
Slamet (Giggenbach dan Glover,1992)
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
178
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Gambar 13. Log (K2/Mg) – log (K2/Ca) sebagai evaluasi PCO2 fluida
geothermal Gunungapi Slamet (Giggenbach, 1988)
Gambar 14. Plotting isotop
Komplek Gunungapi Slamet
18O
dan Deuterium air panas dan air dingin di
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
179
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Tabel 1. Parameter dan metode analisis kimia air
Parameter
Ca
Mg
Fe
Na
K
B
SiO2
Cl
SO4
Fe
HCO3
Konduktivitas
pH
Motode
AAS
AAS
AAS
AAS
AAS
Spektrometri
Spektrometri
Spektrometri
Spektrometri
Spektrometri
Titrasi
Konduktometer
pH meter
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
180
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Tabel 2. Data kimia air panas dan air dingin daerah panas bumi Komplek Gunungapi
Slamet, Jawa Tengah hasil pengambilan bulan Juli 2008 (Sumber : PT. Trinergy)
Tabel 3. Data kimia air panas dan air dingin daerah panas bumi Komplek Gunungapi
Slamet, Jawa Tengah hasil pengambilan bulan Oktober 2012 (Sumber : Sulistiyo, dkk.,
2012)
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
181
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Tabel 4. Data kimia air panas dan air dingin daerah panas bumi Komplek Gunungapi
Slamet, Jawa Tengah hasil observasi bulan Maret 2014 (Sumber : Humaida, dkk.,
2014)
Tabel 5. Data kimia kondensat fumarol dari Kawah Gunungapi Slamet, Jawa Tengah
bulan Mei 1996 (Sumarti, dkk. 1996)
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
182
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Tabel 6. Data isotop 18O dan Deuterium dari Air Panas Daerah Panas
Bumi G. Slamet (Sumber : PT. Trinergy)
No
LOKASI
δ 18O
(‰ atau per
mil)
δ 2H (D)
(‰ atau per mil)
1
AP Pancuran 7
-6,02 ± 0,1
-40,3 ± 0,4
2
AP Pancuran 3
-6,40 ± 0,1
-39,1 ± 0,4
3
4
5
6
AD Kalipagu
AP Pancuran 13
AP Cahaya
AP Sigedong
-7,50 ± 0,1
-6,91 ± 0,1
-6,12 ± 0,1
-6,62 ± 0,1
-44,3 ± 0,4
-44,7 ± 0,4
-41,1 ± 0,4
-41,0 ± 0,4
7
AD Sigedong
-7,76 ± 0,1
-48,0 ± 0,4
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat
183
Download