AKIBAT HUKUM BAGI PELAKU USAHA YANG MELAKUKAN PELANGGARAN TERHADAP LABEL PADA PRODUK PANGAN IDA AYU WINDHARI KUSUMA PRATIWI Fakultas Hukum Universitas Tabanan ABSTRACT Nowadays we can find so many food products that comes from the country and abroad. In the food packaging there are a label that contains information about the product such as kind of food, the content, quality, etc. The information has a very important meaning for the consumer. From the information on the label, they can make choices before purchasing or consuming the food product. However, there are many cases of infringement doing by the irresponsible people . This is causing negative affect for the the product, such as the quality of goods, misleading information, forgery, etc. Misleading label has bad affect for the health of consumers who consume the food product. This study aims to know about the rules concerning the labeling of food products in relation to the principles of consumer protection and legal consequences for businessmen who doing infringement of the labels on food products The rules of labeling food products in this case do not fill the principles of consumer protection yet, such as the principle of utility, the principle of legal certainty and the principle of security and safety of consumers. It can be seen from the definition of the label itself is still causing problems. The label can be forged, which was just a patch label / sticker it can be easily removed and replaced by businessmen who cheat. However, it is still possibility for exceptions to the use of Bahasa, also cause the principles of consumer protection to be ignored. The legal consequences for businessmen who doing infringement of the label on a food product can be demand with civil, criminal and administrative sanction. The form of civil sanction is compensation. There are two levels of criminal sanctions, such as imprisonment for a period of 2 (two) years or a maximum fine Rp.500.000.000,00 (five hundred million rupiah) and imprisonment for a period of 5 (five) years or a maximum fine Rp. 2,000,000,000.00 (two billion rupiah). Meanwhile the form of administrative sanction are written warnings, orders to product recall, destruction of food product, cessation of production , the payment of fines and revocation of production licenses or business licenses . Keywords: Infringement, Label, Consumer Protection, Legal Consequence PENDAHULUAN Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang dan jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. Saat ini banyak beredar berbagai produk lokal maupun produk yang berasal dari luar negeri (import) di kalangan masyarakat. Salah satunya adalah produk pangan dalam bentuk makanan dan minuman. Pada setiap produk pangan tercantum label yang melekat pada kemasannya. Label tersebut berisi informasi mengenai produk tersebut.Informasi tersebut memiliki arti yang sangat penting bagi konsumen. Dari informasi pada label, konsumen dapat menentukan pilihan sebelum membeli atau mengkonsumsi produk pangan tersebut. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi. Menurut sumbernya, informasi barang dan jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundangundangan secara umum atau dalam rangka deregulasi dan/atau tindakan pemerintah pada Majalah Ilmiah Untab, Vol. 13 No. 1 Maret 2016 37 umumnya atau tentang suatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundangundangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa diantaranya ditetapkan harus dibuat baik dicantumkan maupun dimuat didalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedangkan untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Kedua informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut suatu produk konsumen. Siaran pers organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-hasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen. Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen, importer atau pihak lain yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media non elektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran seperti brosur, pamflet, katalog dan lain-lain. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan memperkenalkan produknya, mempertahankan dan/atau meningkatkan pangsa pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih. (Taufik Simatupang,2004) Diantara berbagai informasi tentang barang dan jasa yang diperlukan konsumen, pada saat ini yang paling berpengaruh adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya. (Celine Tri Siwi Kristiyanti, 2008). Keberadaan 38 konsumen yang tidak terbatas dengan strata kehidupan yang sangat bervariasi menyebabkan produsen dalam hal ini pelaku usaha melakukan kegiatan pemasaran serta distribusi produk barang dan/atau jasa tersebut dengan cara seefektif mungkin untuk untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang sangat majemuk. Namun beberapa oknum pelaku usaha melakukan berbagai cara untuk memasarkan produknya dengan cara yang tidak terpuji. Hal ini tentu berdampak buruk terhadap produk yang dihasilkan antara lain mengenai kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas dan menyesatkan, pemalsuan dan lain sebagainya. Label yang tidak jujur dan menyesatkan sangat berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan konsumen yang mengkonsumsi produk pangan tersebut Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan jasa mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan serta mengikuti standar yang berlaku dengan harga yang wajar (reasonable). RUMUSAN MASALAH Berdasarkan pemaparan diatas dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah ketentuan pelabelan produk pangan dalam kaitannya dengan asas perlindungan konsumen? 2. Bagaimanakah akibat hukum bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap label pada produk pangan? Ketentuan Pelabelan Produk Pangan Dalam Kaitannya Dengan Asas Perlindungan Konsumen UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara spesifik mengenai pelabelan khususnya produk pangan. Namun hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Dalam hal ini produsen dan importir pangan berkewajiban untuk memberikan keterangan yang benar serta tidak menyesatkan tentang pangan dalam label.Bagi Ida Ayu Windhari Kusuma Pratiwi, Akibat Hukum Bagi Pelaku Usaha Yang ... konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang sangat penting. (A.Z. Nasution, 1995) Akan tetapi jika diperhatikan label pangan yang beredar saat ini terdapat beragam informasi didalamnya, mulai dari nama produk tersebut hingga kata-kata atau kalimat yang berlebihan yang bertujuan untuk kepentingan promosi semata. Menurut Pasal 1 angka 3 PP No.69 Tahun 1999 yang dimaksud dengan label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Penggunaan kata ditempel pada pengertian label menimbulkan persoalan yaitu terdapat kesan bahwa label dapat ditempel kapan pun, padahal pada dasarnya label merupakan bagian tak terpisah dari kemasan. Penggunaan kata ditempel juga terkesan terpisah dan bisa dipalsukan. Selain bisa dipalsukan, label yang hanya erupa tempelan/stiker dapat dengan mudah dicabut, diganti kemudian dlabeli kembali oleh pelaku usaha yang curang. Pelabelan kembali dengan cara mencabut, mengganti label tempelan sangat mudah untuk dilakukan bila dibandingkan jika produk tersebut labelnya disertakan pada kemasan pangan atau yang dimasukkan ke dalam kemasan pangan. Kecenderungan untuk mencapai keuntungan yang tinggi secara ekonomis ditambah dengan persaingan yang tidak sehat di dalam berusaha dapat mendorong sebagian pelaku usaha untuk bertindak curang dan tidak jujur. Kecurangan tidak hanya akan merugikan konsumen saja, tetapi juga merugikan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. Konsumen harus dilindungi dari segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa dan harta bendanya karena memakai atau mengkonsumsi produk (khususnya pangan). (http://bataviase.co.id, 2010) Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi pelaku usaha yang bertanggung jawab dapat dicapai melalui penindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan kecurangan dalam kegiatan usahanya. Di dalam usaha memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen terdapat beberapa asas yang terkandung dalam ketentuan pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 yaitu sebagai berikut: 1. Asas manfaat, dimaksudkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spriritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta Negara menjamin kepastian hukum. Dengan adanya peluang untuk berbuat curang dalam pelabelan karena ketentuan yang terlalu mudah, maka potensi kerugian bagi konsumen dan pelaku usaha yang jujur semakin besar. Sehingga jelas dalam hal ini asas manfaat dan asas keselamatan dan keamanan konsumen tidak terpenuhi. Pada Pasal 2 PP No.69 Tahun 1999 menyebutkan: (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk Majalah Ilmiah Untab, Vol. 13 No. 1 Maret 2016 39 diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam dan atau di kemasan pangan. (2) Pencantuman label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. Kemudian di dalam Pasal 3 PP No.69 Tahun 1999 ditentukan bahwa: (1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan. (2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya: a. Nama produk; b. Daftar bahan yang digunakan; c. Berat bersih atau isi bersih; d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa. Pada point a,b,c Pasal 3 ayat (2) disebut sebagai bagian utama dari label. Yang dimaksud bagian utama yaitu bagian yang memuat keterangan paling penting untuk diketahui konsumen. Bagian keempat belas PP No.69 Tahun 1999 menentukan mengenai keterangan lain yang wajib dicantumkan pada label untuk pangan olahan tertentu. Pasal 38: Keterangan pada label tentang pangan olahan yang diperuntukkan bagi bayi, anak berumur dibawah lima tahun, ibu yang sedang hamil atau menyusui, orang yang menjalani diet khusus, orang lanjut usia dan orang berpenyakit tertentu wajib memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan dan atau keterangan lain yang perlu diketahui termasuk mengenai dampak pangan tersebut terhadap kesehatan manusia. Pasal 39 (1) Pada Label untuk pangan olahan yang memerlukan penyiapan dan atau penggunaannya dengan cara tertentu, wajib dicantumkan keterangan tentang cara penyiapan dan atau penggunaannya dimaksud. (2) Apabila tercantum keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 40 tidak munkin dilakukan pada Label, maka pencantuman keterangan dimaksud sekurang-kurangnya dilakukan pada wadah atau kemasan pangan. Pasal 40 : dalam hal mutu suatu pangan tergantung pada cara penyimpanan atau memerlukan cara penyimpanan khusus, maka petunjuk tentang cara penyimpanan harus dicantumkan pada Label. Lebih lanjut pada Pasal 15 PP No.69 Tahun 1999 menetukan bahwa keterangan pada label ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf latin. Dalam bagian penjelasan dari Pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Kemudian Pasal 16 menyebutkan: (1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri. (2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca. Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macammacam. Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbukan kerugian karena akibat dari kendala bahasa maka pesan dari informasi suatu produk tidak dapat dimengerti oleh konsumen. Oleh karena itu asas manfaat, asas kepastian hukum serta asas keamanan dan keselamatan konsumen tidak dapat dipenuhi. Permasalahan dalam Pasal 16 PP No.69 tahun Ida Ayu Windhari Kusuma Pratiwi, Akibat Hukum Bagi Pelaku Usaha Yang ... 1999 tidak hanya diberikannya lagi peluang tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam label, permasalahan lainnya juga pasal tersebut tidak memberi penjelasan, dalam hal perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus dipergunakan, bahasa Inggris, bahasa Latin atau bahasa lain. Akibat Hukum Bagi Pelaku Usaha Yang Melakukan Pelanggaran Terhadap Label Pada Produk Pangan Produsen sebagai pelaku usaha memiliki tugas dan kewajiban untuk turut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat. Kewajiban pelaku usaha untuk selalu beritikad baik dalam melakukan kegiatannya berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggung jawab untuk menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang pembangunan nasional. Hal ini merupakan tanggung jawab public yang diemban oleh seorang pelaku usaha. Dalam hal pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha maka kepadanya dikenakan sanksi sebagai akibat hukum dari pelanggaran tersebut. Pemberian sanksi sebagai akibat hukum dari suatu pelanggaran ini sangat penting mengingat bahwa menciptakan iklim berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula pada saat telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha lain sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama. Terkait dengan pelanggaran pada label produk pangan yang dilakukan pelaku usaha, terdapat sanksi sebagaimana diatur dalam UU No.8 Tahun 1999. Sanksi ini dapat berupa sanksi perdata, sanksi pidana maupun sanksi administrative. Pada pasal 8 UU No.8 Tahun 1999 mengatur larangan bagi pelaku usaha yang bersifat umum yang dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen. b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, tidak akurat dan yang menyesatkan konsumen. Masuk dalam kualifikasi larangan kedua adalah pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha dalam pelabelan.Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam UU No.8 Tahun 1999 diatur khusus dalam Bab VI, pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Pasal 19 (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalah konsumen. Pasal 20: pelaku usaha periklanan bertanggung jawa atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Pasal 21 (1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimport apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing. (2) Importer jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing. Majalah Ilmiah Untab, Vol. 13 No. 1 Maret 2016 41 Pasal 22: pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Pasal 23: pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1)(2)(3)(4) dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 24 (1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila : a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut; b.usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh , mutu dan komposisi. (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 25 (1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut: a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; b. 42 tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan. Pasal 26: pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan. Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila: a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dmaksudkan untuk diedarkan; b. Cacat barang timbul pada kemudian hari; c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Pasal 28 : pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Disamping mempunyai aspek keperdataan, hukum perlindungan konsumen juga memiliki aspek pidana. Sanksi pidana dalam UU Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 61, Pasal 62 dan Pasal 63. Pasal 61: penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Ketentuan ini jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan. Hal ini merupakan upaya yang bertujuan menciptakan system bagi perlindungan konsumen. (Nurmandjito,2000) Melalui ketentuan pasal ini perusahaan dinyatakan sebagai subjek hukum pidana Pasal 62: (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Ida Ayu Windhari Kusuma Pratiwi, Akibat Hukum Bagi Pelaku Usaha Yang ... Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Pelaksanaan peraturan perlindungan konsumen menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan pemberian hukuman atas setiap pelanggaran ketentuan yang berlaku. Pemberian hukuman ini kadang kala menjadi suatu keharusan apabila pelanggaran tersebut sudah sedemikian rupa sehingga tidak terulang lagi. Sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administrative.(Bernard Arief Shidarta,2000) Sanksi administrative tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada pengusaha baik itu produsen maupun para penyalur hasil-hasil produknya. Sanksi administrative berkaitan dengan perizinan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha tersebut. Jika terjadi pelanggaran ijin-ijin tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh pemerintah. Dalam kaitannya dengan pelabelan produk pangan, Dalam pasal 61 PP No. 69 Tahun 1999 disebutkan: (1) Setiap orang melanggar ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dikenakan sanksi administrative. (2) Tindakan administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Peringatan secara tertulis; b. Larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran; c. Pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d. Penghentian produksi untuk sementara waktu; e. Pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dan/atau; f. Pencabutan ijin produksi atau ijin usaha. (3) Pengenaan tindakan adminisratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b,c,d,e dan f hanya dapat dilakukan setelah peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan sebanyak-banyaknya tiga kali. (4) Pengenaan tindakan administrative sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan oleh Menteri Teknis sesuai dengan kewenangannya berdasarkan masukan dari Menteri Kesehatan. Dalam UU Perlindungan Konsumen bentuk pertanggungjawaban administrative yang dapat dituntut dari produsen sebagai pelaku uaha diatur dalam Pasal 60 yaitu pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) terhadap pelanggaran atas ketentuan tentang: a. Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen (Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) b. Periklanan yang tidak memenuhi syarat (Pasal 20) c. Kelalaian dalam menyediakan suku cadang (Pasal 25) dan d. Kelalaian memenuhi garansi/jaminan yang dijanjikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU No.8 Tahun 1999 maka pelaku usaha yang lalai memenuhi tanggung jawabnya maka dapat dijatuhi sanksi yang jumlahnya maksimum Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Gani kerugian tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban terbatas sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ganti kerugian yang dianut dalam UU No.8 Tahun 1999 menganut prinsip ganti kerugian “subjektif terbatas” Adanya pembatasan ganti kerugian atau yang disebut ganti kerugian subjektif terbatas itu, untuk kondisi Indonesia sebagai Negara yang industrinya masih dalam perkembangan dinilai tepat. Karena disamping memberikan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha masih terlindungi atau dapat terhindar dari Majalah Ilmiah Untab, Vol. 13 No. 1 Maret 2016 43 kerugian yang mengakibatkan kebangkrutan akibat pembayaran ganti kerugian yang tanpa batas. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Ketentuan pelabelan produk pangan belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen antara lain asas manfaat, asas kepastian hukum serta asas keamanan dan keselamatan konsumen. Hal ini dapat dilihat dari pengertian mengenai label itu sendiri yang masih menimbulkan persoalan. Selain bisa dipalsukan, label yang hanya berupa tempelan/stiker dapat dengan mudah dicabut,diganti kemudian dilabeli kembali oleh pelaku usaha yang curang. Disamping itu masih dimungkinkannya pengecualian terhadap penggunaan bahasa Indonesia juga menyebabkan asas-asas perlindungan konsumen menjadi terabaikan 2. Akibat hukum bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap label pada produk pangan adalah dapat dikenakan sanksi perdata, pidana dan administrative. Sanksi perdata berupa pemberian ganti rugi. Kemudian sanksi pidana terdapat dua tingkatan yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Sedangkan sanksi adminitratif berupa peringatan secara tertulis, perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran, pemusnahan pangan, penghentian produksi untuk sementara waktu, pembayaran denda serta pencabutan ijin produksi atau ijin usaha. 44 Saran 1. Sebaiknya dilakukan peninjauan kembali terhadap PP No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang memuat panduan yang lebih konkrit dan jelas mengenai label pangan sehingga lebih memberikan perlindungan hukum bagi konsumen. 2. Agar pemerintah melalui instansi terkait melakukan upaya yang terus menerus memberdayakan masyarakat dengan memberikan pemahaman serta perlindungan kepada konsumen. DAFTAR PUSTAKA A.Z. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Kristiyanti, Celine Tri Siwi, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta Nurmandjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, Mandar Maju, Bandung Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Simatupang, Taufik, 2004, Aspek Hukum Periklanan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Shidarta, Bernard Arief, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Peneltian Tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Wajib Label Jangan Setengah Hati, diakses 2 September 2010, available from: http://bataviase.co.id Ida Ayu Windhari Kusuma Pratiwi, Akibat Hukum Bagi Pelaku Usaha Yang ...