atau dikenal sebagai udang windu, di dalam d

advertisement
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang
Udang (Penaeus monodon) atau dikenal sebagai udang windu, di dalam
dunia internasional dikenal juga dengan nama black tiger, tiger shrimp atau tiger
prawn. Penaeus monodon termasuk ke dalam golongan crustaceae (udangudangan) dan dikelompokkan sebagai udang laut atau udang penaide (Rachmatun
dan Takarina, 2009).
Adapun udang windu diklasifikasikan sebagai berikut (Lotz, 1997):
Phylum
: Arthropoda
Sub phylum
: Mandibulata
Class
: Crustaceae
Sub class
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Sub ordo
: Matantia
Famili
: Penaidae
Genus
: Penaeus
Species
: Penaeus monodon
Gambar 1. Udang Windu
12
Morfologi tubuh udang windu (P. Monodon) terbagi menjadi dua bagian,
yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (kepala-dada) disebut
cephalothorax dan bagian perut (abdomen) yang terdapat ekor di bagian
belakangnya. Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruasruas (segmen). Kepala sampai dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5
ruas dan dadanya 8 ruas, sedangkan bagian perut terdiri atas segmen dan 1 telson
(Suyanto dan Mujiman, 1994).
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton yang
terbuat dari zat khitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala yang
ujungnya meruncing disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada
sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini
memudahkan mereka untuk bergerak (Suryanto dan Mujiman, 1994). Udang
betina lebih cepat tumbuh daripada udang jantan sehingga pada umur yang sama
tubuh udang betina lebih besar daripada udang jantan (Soetomo, 2000).
2.2. Limbah Udang dan Pemanfaatannya sebagai Pakan
Limbah udang memiliki beberapa bagian yang merupakan hasil dari limbah
industri pengolahan udang beku yakni terbagi atas tiga macam, yaitu (1) produk
yang terdiri dari bagian badan dan kepala secara utuh, (2) badan tanpa kepala, dan
(3) dagingnya saja. Pengolahan produksi udang berdasarkan ketiga macam produk
tersebut, menyebabkan terdapat bagian-bagian udang yang terbuang seperti
kepala, ekor, dan kulitnya (Mudjiman,1986).
Kepala udang merupakan limbah dari industri pengolahan udang beku untuk
diekspor atau pengolahan udang segar di pasar. Limbah udang di Indonesia
umumnya terdiri atas bagian kepala, ekor, dan kulit udang serta udang yang rusak
13
dan afkir (Mirzah, 1997). Limbah ini sangat potensial dijadikan bahan pakan
sumber protein hewani karena ketersediaannya cukup banyak dan mengandung
zat-zat gizi yang tinggi, terutama protein dan mineralnya (Okoye dkk., 2005).
Tidak seluruh komoditi udang diekspor dalam bentuk udang segar, sebagian besar
diekspor dalam bentuk olahan, yaitu diolah untuk membuang kepala dan kulit
udang (Wanasuria, 1990).
Pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak berdasarkan pada dua hal,
yaitu jumlah dan mutunya. Seiring dengan maraknya ekspor udang beku
kebeberapa negara, seperti Jepang, Taiwan, dan Amerika Serikat maka limbah
yang dihasilkan akan bertambah pula. Limbah udang tersebut pada umumnya
terdiri dari bagian kepala, kulit ekor dan udang kecil-kecil disamping sedikit
daging udang (Parakkasi, 1990).
Tepung limbah udang (TLU) terbuat dari limbah udang sisa hasil
pengolahan udang setelah diambil bagian dagingnya sehingga yang tersisa adalah
bagian kepala, cangkang, ekor, dan udang kecil utuh dalam jumlah sedikit.
Kualitas dan kandungan nutrien limbah udang sangat tergantung pada proporsi
bagian kepala dan cangkang udang (Djunaidi dkk., 2009). Pemanfaatan limbah
udang sebagai salah satu bahan penyusun ransum ternak unggas dapat dilakukan,
disebabkan limbah tersebut mempunyai kandungan zat-zat makanan yang cukup
tinggi, terutama kandungan proteinnya. Kandungan protein limbah udang yang
cukup tinggi merupakan potensi yang perlu dimanfaatkan. Di samping itu, limbah
udang juga mengandung serat kasar yang tinggi, yaitu berupa khitin. Limbah
udang terdiri dari 30% khitin dari bahan keringnya. Adanya khitin ini
mengakibatkan adanya keterbatasan atau faktor pembatas dalam penggunaan
limbah udang untuk dijadikan bahan penyusun ransum ternak unggas
14
(Purwaningsih, 2000). Pertumbuhan ayam akan terganggu bila kadar khitin dalam
ransum lebih dari 2% (Reddy dan Quddratullah, 1996).
Tingginya kandungan serat kasar yang berasal dari khitin dan mineral
terutama kalsium, yang berikatan erat dalam bentuk ikatan khitin-protein-kalsium
karbonat merupakan kendala dalam pemanfaatan limbah udang ini. Kandungan
protein yang terikat dalam khitin tersebut bisa mencapai 50-95% dan kalsium
karbonatnya sampai dengan 15-30%. Adanya ikatan khitin protein-kalsium
karbonat yang kuat akan menurunkan daya cerna protein limbah udang ini
sehingga pemanfaatannya belum optimal dibanding dengan potensi nilai gizinya
(Foster dan Webber, 1960; Walton dan Blackwell, 1973).
Peningkatan kualitas dan pemanfaatan limbah udang secara maksimal
dalam ransum memerlukan pengolahan yang tepat sebelum diberikan pada ternak
untuk dapat meningkatkan kecernaan dan menurunkan kandungan khitinnya yang
dapat diolah secara biologis maupun kimiawi. Penggunaan limbah udang sebagai
bahan pakan ternak perlu sentuhan teknologi untuk meningkatkan nilai gizinya,
karena bahan ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu serat kasar tinggi dan
memiliki kecernaan protein yang rendah karena mengandung zat anti nutrisi khitin
(Hartadi dkk., 1997).
2.3. Khitin
Khitin merupakan polimer linier polisakarida N-asetil glukosamin dengan
ikatan glikosidik β (1,4) pada komplek protein. Secara fisik, khitin membatasi
enzim pencernaan unggas terhadap protein dan lemak sehingga menyebabkan
kecernaan rendah saat dikonsumsi ternak (Minoru dkk., 2002). Khitin berasal dari
bahasa Yunani yang berarti jubah atau penutup. Khitin merupakan polisakarida
15
yang mengandung gula-gula amino yang tersebar pada tanaman tingkat rendah
(jamur) dan invertebrata. Khitin merupakan senyawa biopolimer berantai panjang
dan tidak bercabang. Tiap rantai polimer pada umumnya terdiri dari 2000 hingga
5000 unit monomer N-asetil-D-Glukosamin (2-acetamido-2-deoksi-D-Glukosa)
yang terpaut melalui ikatan β (1,4) glukosa. Unit monomer khitin memiliki rumus
molekul C8H12NO5 dengan kadar C 47%, H 6%, N 7%, dan O 40% (Foster dan
Webber, 1960; Walton dan Blackwell, 1973; Bastaman, 1989).
Khitin merupakan selulosa alami yang banyak terdapat pada hewan
khususnya kulit udang, kepiting, rajungan (crustaceae) serta dinding sel bakteri
dan fungi. Struktur khitin dan kitosan sama dengan selulosa, yaitu ikatan yang
terjadi antara monomernya terangkai dengan glukosida pada posisi β (1,4).
Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom
karbon nomor dua pada khitin digantikan oleh gugus asetamina (-NHCOCH3)
sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit N-Asetil Glukosamin sedangkan
pada kitosan digantikan oleh gugus amin (NH2) (Minoru dkk., 2002).
Khitin dapat dibedakan berdasarkan susunan rantai N-Asetil-Glukosamin
yaitu α, β, γ, derajat deasetilasi, adanya ikatan silang seperti dengan protein dan
glukan. Khitin dalam tubuh organisme terdapat dalam tiga bentuk kristal dan
dibedakan atas susunan rantai molekul yang membangun kristalnya yaitu α khitin
(rantai antiparalel), β khitin (rantai paralel), dan γ khitin (rantai campuran)
(Angka, 2000).
2.4. Limbah Udang yang Diolah Secara Fermentasi
Fermentasi sering didefinisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat dan
asam amino secara anaerob yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat
16
dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat, sedangkan asam amino dapat
difermentasi oleh beberapa jenis mikroba tertentu (Winarno dan Fardiaz, 1980).
Fermentasi berperan melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi lainnya
sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan
menghasilkan produk tertentu dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan
tersebut (Hardjo, 1989).
Pakan tanpa fermentasi yang diberikan pada ayam akan menghasilkan nilai
daya cerna protein yang lebih rendah dibandingkan dengan pakan yang
difermentasikan terlebih dahulu. Pakan yang difermentasi cukup palatabel dan
disukai ternak (Rasyaf, 2003). Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh
enzim-enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa
dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama proses fermentasi terjadi
pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga dihasilkan protein ekstraseluler
dan protein hasil metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein
(Winarno dan Fardiaz, 1980).
Pengolahan limbah udang secara fermentasi dapat menggunakan bakteri
Bacillus licheniformis, Lactobacillus sp., dan ragi berupa Saccharomyces
cereviseae (Palupi dkk., 2008). Pelepasan protein dari ikatan khitin disebabkan
dari adanya proses deproteinasi. Bakteri yang digunakan yakni Bacillus
licheniformis menghasilkan enzim khitinase dan enzim protease dengan sifat
deproteinasi dimana enzim tersebut mendegradasi ikatan β (1,4) glikosidik pada
khitin dan akan membebaskan sebagian protein dalam bentuk monomer N-AsetilD-glukosamina serta asetil amino sehingga protein terlepas dari ikatan khitin dan
terlepasnya
protein
dalam
bentuk
asam
amino
tersebut
menyebabkan
meningkatnya kandungan protein dan asam amino pada limbah udang (Rahayu
17
dkk., 2004). Lactobacilus sp. berfungsi mengurai glukosa, sukrosa, maltosa, dan
laktosa menjadi asam laktat sehingga terjadi endapan mineral (Lee dan Tan,
2002). Saccharomyces cereviseae ialah ragi yang memproduksi enzim amilase,
lipase, protease, dan enzim lain yang dapat membantu proses pencernaan zat
makanan dalam organ pencernaan (Wagstaff, 1989).
Limbah udang yang mengalami teknik pengolahan fermentasi akan terjadi
peningkatan kandungan protein dan menurunkan sebagian kandungan khitin
dengan bantuan enzim khitinase (Winarno dan Fardiaz, 1980). Kandungan nutrien
dari limbah udang yaitu 42,65% protein kasar, 8,07% lemak kasar, dan 18,18%
serat kasar sedangkan setelah diproses melalui fermentasi kandungan nutrien
limbah udang fermentasi menjadi 44,73% protein kasar, 8,71% lemak kasar, dan
16,11% serat kasar. Limbah udang yang difermentasi hanya menurunkan sebagian
kandungan khitinnya yaitu sebesar 16% (Mirzah dkk., 2008). Semakin tinggi
penggunaan limbah udang fermentasi dalam ransum akan mengakibatkan
tingginya kandungan khitin yang akan menyebabkan ransum bersifat amba
(volumenous) sehingga akan menurunkan konsumsi ransum ayam (Mirzah dkk.,
2008). Berdasarkan beberapa penelitian, penggunaan berbagai tingkat limbah
udang fermentasi dalam ransum terhadap konsumsi ransum tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan atau tidak berbeda nyata antar perlakuan (Reddy dan
Quddratullah, 1996; Rosenfeld dkk., 1997; Filawati, 2003; Djunaidi dkk., 2009).
2.5. Ayam Kampung
Ayam kampung merupakan ayam asli Indonesia yang telah lama dipelihara
dan merupakan salah satu anggota dari ayam buras yang sangat potensial di
Indonesia. Ayam kampung dijumpai disemua propinsi dan diberbagai macam
18
iklim atau daerah. Umumnya, banyak dipelihara masyarakat di daerah pedesaan
yang dekat dengan sawah atau hutan. Ayam kampung telah beradaptasi dengan
kondisi lingkungan pemeliharaan yang sederhana (Suprijatna dkk., 2005).
Ayam kampung mempunyai adaptasi yang tinggi karena mampu
menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan, dan perubahan
iklim serta cuaca setempat, memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan otot
yang baik. Badan ayam kampung kecil, baik itu ayam penghasil telur maupun
pedaging. Bentuk tubuhnya sulit dibedakan karena memang ayam kampung tidak
dibedakan atas penghasil telur atau daging (Rasyaf, 2003). Kepala ayam kampung
betina berukuran lebih kecil dibandingkan dengan jantan (Sarwono, 2003).
Ayam kampung mempunyai 3 periode produksi sebagaimana ayam ras
petelur yaitu starter (umur 1-8 minggu), periode grower (umur 9-20 minggu), dan
periode layer (umur lebih dari 20 minggu) (Sarwono, 2003).
Taksonomi ayam kampung menurut Sarwono (2003) yaitu:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Subkelas
: Neonithes
Ordo
: Galiformers
Famili
: Phasianidae
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus domesticus
19
2.6. Kebutuhan Energi dan Protein pada Ayam Kampung
Kebutuhan energi untuk unggas dinyatakan dengan energi termetabolis
(ME). Energi termetabolis diperoleh dengan mengurangi energi ransum (GE)
dengan energi ekskreta (feses dan urin). Energi termetabolis tersebut tidak
seluruhnya dapat digunakan langsung tetapi masih ada yang hilang dalam bentuk
panas (heat increment) selama proses metabolisme sehingga yang tinggal yaitu
energi netto. Heat increment adalah banyaknya energi yang hilang dalam bentuk
panas yang ditimbulkan oleh banyak faktor lain selain faktor makanan seperti
panas yang hilang melalui proses fermentasi, pencernaan, penyerapan,
pembentukan dan pembuangan energi. Saat suhu lingkungan dingin, panas yang
dihasilkan oleh tubuh (heat increment) akan digunakan untuk maintenance.
Pengukuran energi termetabolis pada ternak unggas dapat menggunakan metode
koleksi total. Kebutuhan energi termetabolis dipengaruhi oleh genetik, jenis
kelamin, umur, dan kondisi lingkungan (Sibbald dan Wolynetz, 1985).
Energi dimanfaatkan ayam untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi.
Kebutuhan energi untuk hidup pokok meliputi kebutuhan untuk metabolisme
basal, aktivitas, dan pengaturan suhu atau panas tubuh. Kebutuhan energi untuk
produksi meliputi untuk pertumbuhan dan produksi telur, bulu, lemak, dan untuk
kerja. Pengukuran kebutuhan energi pada unggas dapat dilakukan dengan
berbagai metode, diantaranya: pengukuran gas-gas respirasi, percobaan pakan
yang disertai dengan teknik pemotongan untuk pengukuran kandungan nutrient
pada awal dan akhir percobaan. Tubuh ternak dibangun dari zat zat makanan yang
diperoleh dari ransum yang dikonsumsi. Komposisi tubuh ternak dipengaruhi oleh
umur, jenis ternak, dan makanan yang dimakan (Tillman dkk., 1998).
20
Protein merupakan salah satu nutrien yang perlu diperhatikan baik dalam
menyusun ransum maupun dalam penilaian kualitas suatu bahan. Protein
dibutuhkan oleh ayam yang sedang tumbuh untuk hidup pokok, pertumbuhan
bulu, dan pertumbuhan jaringan (Scott dkk., 1982). Kebutuhan nutrien untuk
ayam kampung fase pertumbuhan yakni 15-21% protein kasar dan energi
metabolisme sebesar 2750-2900 kkal/kg (Murtidjo, 1994).
2.6.1. Asam Amino
Asam amino adalah unit dasar dari struktur protein. Semua asam amino
mempunyai sekurang-kurangnya satu gugusan amino (-NH2) pada posisi alfa dari
rantai karbon dan satu gugusan karboksil (-COOH). Kecuali glisin, semua asam
amino mempunyai atom karbon yang asimetrik sehingga dapat terjadi beberapa
isomer. Kebanyakan asam amino dalam alam adalah konfigurasi L, tetapi dalam
bakteria ada konfigurasi D. Sifat asam amino mempunyai gugus nitrogen dasar,
umumnya gugus amino (-NH2) dan sebuah unit karboksil (-COOH) dan
kebanyakan gugus amino terikat pada karbon dengan posisi alfa; prolin
mempunyai suatu pengecualian yaitu mempunyai gugus amino (-NH) dan
bukannya amino (-NH2) (Tillman dkk., 1998).
Fungsi asam amino sebagai komponen struktur tubuh dapat merupakan
bagian dari enzim sebagai prekursor regulasi metabolit dan berperan dalam proses
fisiologis. Asam amino menduduki posisi penting dalam metabolisme sel. Hampir
semua reaksi biokimia dikatalis oleh enzim yang terdiri dari residu asam amino.
Asam amino sangat esensial untuk metabolisme karbohidrat, lipid, dan untuk
sintesis jaringan protein. Asam amino yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan
pada ayam ialah methionin dan lysin (Wahju, 1997).
21
Lysin merupakan asam amino esensial yang sangat berguna bagi tubuh.
Lysin adalah prekursor untuk biosintesis karnitin, sedangkan karnitin merangsang
proses β-oksidasi dari asam lemak rantai panjang yang terjadi di mitokondria.
Methionin adalah asam amino yang memiliki atom S. Asam amino ini penting
dalam sintesa protein (dalam proses transkripsi, yang menterjemahkan urutan basa
nitrogen di DNA untuk membentuk RNA) karena kode untuk methionin sama
dengan kode awal untuk satu rangkaian RNA. Asam amino ini bagi ternak bersifat
essensial sehingga harus dipasok dari bahan pakan (Tillman dkk., 1998). Sintesis
protein jaringan sangat ditentukan oleh kelengkapan dan tingkat asam amino yang
datang atau ditransportasi ke dalam sel jaringan tersebut. Proses sintesis yang
mengambil tempat di dalam ribosom sangat tergantung dari kehadiran asam-asam
amino yang dibutuhkan dan datang dijemput oleh DNA ke dalam jaringan
(Maynard dan Loosli, 1978).
Guna memenuhi kebutuhan protein sesempurna mungkin maka asam asam
amino essensial harus disediakan dalam jumlah yang tepat dalam ransum
(Anggorodi, 1994). Sumber protein pakan yang baik adalah yang mampu
memasok asam amino sesuai dengan kebutuhan asam amino ternak tersebut dalam
jumlah dan keseimbangan yang cukup sehingga dapat menghasilkan pertambahan
bobot badan yang optimal (Murtidjo, 1994). Imbangan asam amino methionin dan
lysin terbaik dalam ransum dengan kadar protein 15 % dan energi metabolis 2800
kkal/kg pada ayam kampung umur 8 minggu ialah antara 0,3:1 dan 0,4:1
(Iskandar dkk., 2001) dan antara 0,39:1 dan 0,44:1 (Packham, 1974; McDonald
dkk., 1981). Namun, imbangan asam amino methionin dan lysin antara 0,48:1 dan
0,52:1 dalam ransum ayam masih dalam batas imbangan yang normal (Widodo,
22
2010). Methionin jika diberikan dalam jumlah yang banyak dapat menghambat
pertumbuhan ayam bila diberikan pada tingkat 2-4% dalam ransum.
2.7.
Performans Ayam Kampung
2.7.1. Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan berat
badan yang dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan
dengan pertumbuhan berat badan tiap hari, tiap minggu, atau waktu lainnya
(Tillman dkk., 1998). Pertambahan berat badan merupakan akibat dari
membesarnya jaringan-jaringan otot dan jaringan lainnya yang terbentuk dengan
peningkatan bahan-bahan seperti lemak, karbohidrat, mineral, dan air. Hal ini
terjadi pada ternak yang masih muda, sedangkan pada ternak yang dewasa dalam
bentuk penimbunan lemak yang lebih banyak (Morrison, 1967). Pertumbuhan
sangat erat hubungannya dengan konsumsi dan diperkirakan 63% dari penurunan
pertumbuhan disebabkan karena menurunnya konsumsi ransum dari ayam. Suhu
lingkungan tinggi dan saat ayam dalam keadaan stress, akan menurunkan
pertumbuhannya karena konsumsi ransum yang menurun (Lesson dan Summer,
1991).
Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan adalah hereditas, pakan, dan kondisi
lingkungan (Hafez dan Dyer, 1969). Faktor yang paling berpengaruh adalah
pakan. Penurunan bobot badan akan terjadi pada ternak saat fase pertumbuhan
bila diberikan pakan dengan kandungan nutrisi yang rendah. Ternak ayam
kampung dapat tumbuh secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila
mendapat zat-zat makanan sesuai dengan kebutuhannya (Sutardi, 1995). Laju
pertambahan bobot badan juga tergantung pada jenis dan jumlah makanan yang
23
dikonsumsi dan juga faktor-faktor lain. Pertambahan berat badan dipengaruhi oleh
tipe ternak, suhu lingkungan, jenis kelamin, energi, dan kadar protein ransum.
Pertambahan berat badan pada ayam mempunyai arti yang sangat penting dalam
bidang peternakan. Pertambahan berat badan merupakan titik tolak produksi dan
penentu besarnya keuntungan yang diperoleh (Suharno dan Nazaruddin, 1994).
2.7.2. Konsumsi Ransum
Ransum adalah campuran dari beberapa jenis bahan pakan yang diberikan
pada ternak dalam waktu 24 jam. Ransum dapat diberikan seluruhnya secara
sekaligus atau dalam beberapa kali secara bertahap (Rasyaf, 2003). Konsumsi
ransum merupakan ukuran untuk mengetahui jumlah pakan yang dikonsumsi
seekor ternak setiap ekor per hari. Kebutuhan unggas yang paling utama yaitu
energi dan protein, sedikit vitamin dan mineral. Semakin bertambahnya umur,
konsumsi ransum pada ayam akan meningkat dan setiap minggunya ayam
mengonsumsi lebih banyak dibandingkan dengan minggu sebelumnya (Fadilah,
2004). Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ayam, jumlah yang masuk harus sesuai
dengan yang dibutuhkan untuk produksi dan untuk hidupnya (Rasyaf, 2003).
Ransum dapat dinyatakan baik apabila dikonsumsi secara normal dan dapat
mensuplai zat-zat makanan dalam perbandingan yang sesuai sehingga fungsi
biologis tubuh dapat berjalan normal (Parakkasi, 1990). Banyak faktor yang
mempengaruhi konsumsi ransum diantaranya besar dan bangsa ayam, luas
kandang, tingkat energi, dan protein ransum. Faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi konsumsi adalah palatabilitas. Palatabilitas dipengaruhi oleh bau,
rasa, tekstur, dan warna pakan yang diberikan (Church dan Pond, 1979). Selain
itu, konsumsi ransum dipengaruhi oleh kandungan serat kasar dalam ransum,
semakin tinggi serat kasar maka konsumsi ransum cenderung menurun karena
24
ransum yang berserat tinggi bersifat amba sehingga mempercepat penuhnya
tembolok (NRC, 1994). Konsumsi ransum pun dipengaruhi oleh kandungan
nutrien dalam ransum. Kandungan energi dan protein ransum akan membuat
ayam menyesuaikan konsumsi ransum berdasarkan kandungan energi dan protein
ransum (Wahju, 1997).
Banyaknya konsumsi ransum dan berat badan pada ayam kampung yang
dipelihara sampai dengan umur 8 minggu disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Konsumsi Ransum dan Pertambahan Berat Badan pada
Ayam Kampung Umur 8 minggu
Protein (%)
EM (kkal/kg)
15
17
20
2750
3100
2900
Performans
Konsumsi Ransum Pertambahan Berat
(gram)
Badan (gram)
1234,48
431,60
1383,08
492,83
1777,44
400,16
Sumber: Husmaini (2000)
2.7.3. Konsumsi Protein
Konsumsi
protein
merupakan
konsumsi
senyawa
organik
yang
mengandung unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan fosfor
(Anggorodi, 1994). Unggas yang sedang tumbuh konsumsi protein digunakan
untuk hidup pokok, pertumbuhan jaringan, dan pertumbuhan bulu (Scott dkk.,
1982). Kebutuhan protein dan asam amino pada ternak dipengaruhi oleh umur,
laju pertumbuhan, reproduksi, iklim, tingkat energi, penyakit, bangsa, dan galur
(Anggorodi, 1994). Konsumsi protein diperoleh dengan cara mengalikan
konsumsi ransum selama pemeliharaan dengan persentase protein dalam ransum
(Tillman dkk., 1998). Unggas akan mengonsumsi protein seiring kuantitas ransum
yang dikonsumsi (Parakkasi, 1990).
25
Konsumsi protein di samping dipengaruhi oleh jumlah ransum yang
dikonsumsi, dipengaruhi pula oleh kandungan protein dan energi metabolisme
ransum. Menurunnya tingkat energi dalam ransum akan meningkatkan konsumsi
ransum sehingga konsumsi protein juga akan meningkat, begitu pula sebaliknya
(Tillman dkk., 1998). Selanjutnya dinyatakan bahwa kelebihan konsumsi protein
dari ransum akan disimpan dalam bentuk energi, sedangkan kekurangan protein
dapat menyebabkan gangguan pemeliharaan jaringan tubuh, pertumbuhan
terganggu, dan penimbunan daging menurun. Pendekatan yang dilakukan untuk
menentukan efisiensi pemanfaatan protein adalah dengan Imbangan Efisiensi
Protein (Protein Efficisiency Ratio) (Anggorodi, 1994).
2.8. Imbangan Efisiensi Protein
Imbangan Efisiensi Protein (IEP) merupakan metode yang digunakan
sebagai pembanding kualitas protein yang diartikan sebagai pertambahan bobot
badan (gram) per konsumsi protein (gram) (Anggorodi, 1994). Jumlah konsumsi
protein berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan, ini disebabkan karena
pertambahan bobot badan berasal dari sintesis protein tubuh (Iqbal dkk., 2012).
Jumlah ransum yang dikonsumsi menentukan besarnya pertambahan bobot
badan yang dihasilkan (Nuraini, 2009). Imbangan efisiensi protein (IEP)
dipengaruhi oleh dua hal yaitu pertambahan bobot badan (PBB) dan konsumsi
protein (Mahfudz dkk., 2010). Lebih lanjut dinyatakan bahwa semakin
bertambahnya umur akan menurunkan nilai IEP karena konsumsi ransum
meningkat tetapi pertambahan bobot badan relatif tetap sehingga imbangan
efisiensi protein menurun.
26
Semakin besar nilai IEP suatu ransum, menunjukkan semakin efisien seekor
ternak dalam mengubah setiap gram protein menjadi sejumlah pertambahan bobot
badan (Tillman dkk., 1998). Imbangan efisiensi protein digunakan untuk menguji
keefektifan protein ransum. Jika nilai imbangan efisiensi protein secara nyata
menurun maka efektifitas penggunaan protein dalam ransum juga rendah (Wahju,
1997). Rataan nilai imbangan efisiensi protein ayam umur 8 minggu adalah 1,721,93 (Wiradisastra, 2002). Faktor yang mempengaruhi nilai imbangan efisiensi
protein adalah umur, jenis ayam, jenis kelamin, lama waktu percobaan, dan kadar
protein ransum (Wahju, 1997).
Download