I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan ternak lokal untuk memenuhi keperluan protein hewani masyarakat merupakan salah satu langkah yang tepat, hal ini karena ternak lokal tidak memerlukan penanganan yang sulit dan sudah cocok dengan lingkungan Indonesia sehingga penanganan dalam pengembangannya mudah. Ayam lokal sudah mendapat perhatian dan telah berkembang secara komersial sampai ke bidang pembibitannya. Sebagai penghasil daging, ayam lokal mempunyai prospek yang baik, karena permintaan akan daging ayam lokal semakin meningkat. Populasi Ayam lokal pada tahun 2014 mencapai 274,1 juta ekor pada tahun 2015 menjadi 285 juta ekor (Ditjennak 2015). Salah satu ternak lokal dari jenis unggas adalah ayam Sentul. Ayam Sentul merupakan salah satu jenis ayam lokal yang popular dipelihara oleh masyarakat Ciamis. Ayam Sentul mempunyai fisik seperti ayam aduan dan bertipe dwiguna yaitu sebagai penghasil telur dan daging sehingga mendukung ketersediaan protein hewani. Ayam Sentul memiliki sifat yang berbeda dari ayam lokal lainnya yaitu, Warna bulu yang khas, daya adaptasi tinggi, pertumbuhan yang relatif cepat serta produksi telur yang tinggi. Standarisasi keperluan ayam lokal khususnya ayam Sentul di Indonesia sampai saat ini masih belum ada. Hal ini dikarenakan ayam lokal begitu beragam performannya, sehingga memerlukan nutrisi yang berbeda untuk pertumbuhannya. Ayam Sentul Warso merupakan ayam Sentul yang dikembangkan di perusahaan Warso Unggul Gemilang. Keperluan ayam lokal yang satu dengan jenis lainnya tidak bisa disamakan karena 2 dalam perkembangannya ayam mempunyai kecepatan pertumbuhan yang berbeda, apalagi saat ini banyak lokal persilangan. Pemberian ransum yang tidak sesuai dengan keperluan, akan berpengaruh terhadap performanya yang biasa dimanifestasikan pada besaran konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum ayam tersebut. Ransum harus memenuhi keperluan untuk pertumbuhan, terutama keperluan akan energi dan proteinnya. Kandungan energi ransum berpengaruh pada besaran asupan nutrien pada ternak. Pemberian ransum yang rendah kandungan energinya akan meningkatkan konsumsi ransum ayam untuk memenuhi keperluannya, sehingga kemungkinan konsumsi protein dan zat lainnya akan berlebih. Sebaliknya apabila ransum yang diberikan memiliki kandungan energi yang terlalu tinggi, maka konsumsi ransumnya lebih sedikit dan kemungkinan keperluan protein maupun zat lainnya berkurang sehingga tidak memenuhi keperluan untuk pertumbuhan. Pemberian ransum dengan kandungan energi dan protein yang seimbang sangat penting dilakukan, untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal dan efisiensi produksi. Keperluan energi dan protein dalam ransum untuk ayam Sentul Warso belum didapatkan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian “Pengaruh Tingkat Energi Dan Protein Dalam Ransum Terhadap Konsumsi Ransum, Pertambahan Bobot Badan Dan Konversi Ransum Ayam Sentul Warso”. 3 1.2 1. Identifikasi Masalah Adakah pengaruh Tingkat Energi dan Protein dalam Ransum terhadap Konsumsi Ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum pada Ayam Sentul Warso 2. Pada energi dan protein ransum berapa ayam Sentul Warso dapat menghasilkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum yang optimal 1.3 1. Maksud dan Tujuan Peneitian Mempelajari dan mengetahui pengaruh pemberian tingkat energi dan protein yang berbeda terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum pada ayam Sentul Warso. 2. Mendapatkan tingkat energi dan protein yang menghasilkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum yang optimal pada ayam Sentul Warso. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi yang membacanya, dan memberikan informasi khususnya bagi peternak agar dapat mengetahui tingkat energi dan protein yang sesuai terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan dan konversi ransum pada ayam Sentul Warso. 1.5 Kerangka Pemikiran Indonesia memiliki banyak rumpun unggas lokal yang berpotensi tinggi untuk pengembangan peternakan. Saat ini terdapat 31 rumpun yang mempunyai ciri spesifik dan sebagian berpotensi untuk dijadikan ternak unggas komersial pedaging dan/atau petelur (Sartika dan Iskandar, 2007). Salah satu dari Rumpun 4 tersebut adalah ayam Sentul. Ayam Sentul merupakan ayam lokal yang berasal dari Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Ayam Sentul dipelihara secara semi intensif dan dapat dijadikan komoditas untuk meningkatkan pendapatan masyarakat Ciamis (Iskandar dkk., 2004 a). Kepemilikan ayam Sentul per kepala keluarga relatif kecil meskipun ayam ini tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Ciamis (Iskandar dkk.,2004 b). Perkembangan ayam Sentul terus meningkat, karena banyak peternak yang berfungsi sebagai pembibit, namun demikian dalam perkembangannya ayam Sentul masih berbeda kemurniannya. Hal tersebut kemungkinan mengakibatkan terjadi perbedaan performan. Salah satu pembibit ayam Sentul adalah perusahaan Warso Unggul Gemilang. Pada perusahaan ini doc dibudidayakan sampai menjadi pullet, diseleksi yang bagus dan berkualitas untuk dibuat indukan (parent stock). Indukan yang dipilih karena postur tubuh ayam besar dan tinggi, sehingga menghasilkan indukan yang berkualitas, yaitu bobot jantan 2,5 kg – 3,5 kg dan bobot betina 2,0 kg – 2,5 kg. Kualitas bobot tubuh ayam Sentul dewasa jantan sebesar 2,63 kg, sedangkan untuk bobot tubuh ayam Sentul dewasa betina sebesar 1,73 kg (Iskandar, 2010). Induk tersebut menghasilkan produksi telur relatif rendah dan umur awal produksi 19 minggu serta afkir umur 80 minggu. Warso Unggul Gemilang tidak memperhitungkan produktivitas telur yang relatif rendah, tetapi melihat postur tubuh ayam besar dan tinggi. Indukan seperti ini dapat menghasilkan DOC yang berkualitas, dengan demikian DOC ayam kampung asli Warso Unggul Gemilang akan lebih baik diarahkan sebagai budidaya ayam kampung pedaging. DOC ayam kampung asli Warso Unggul Gemilang berkualitas baik dan cepat pertumbuhannya, apabila dengan manajemen pemeliharaan yang baik, pada umur 12 minggu sudah bisa mencapai bobot 5 rata-rata 1 kg. Penyusunan dalam ransum unggas, selain zat makanan seperti protein, lemak, vitamin, mineral, kandungan energi ransum juga harus diperhatikan, karena kandungan energi dalam ransum akan menentukan konsumsi ransum (Wahju, 2004). Tujuan ternak mengonsumsi ransum adalah untuk mempertahankan hidup, meningkatkan bobot badan dan untuk berproduksi (Anggorodi, 1985). Konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dimakan dalam waktu tertentu. Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi keperluan bagi berlangsungnya proses-proses biologis di dalam tubuh secara normal sehingga proses pertumbuhan dan produksi telur berlangsung optimal (Suprijatna dkk.,2005). Konsumsi ransum dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, kesehatan, genetik, berat badan, kecepatan pertumbuhan, bentuk makanan, imbangan zat makanan, stres dan tingkat energi ransum. Unggas mengkomsumsi makanan terutama adalah untuk mencukupi keperluan energinya. Jika tingkat energi ransum tinggi maka konsumsi ransum akan menurun, bila tidak diperhatikan kandungan zat makanan lain dalam ransum, maka ternak akan kekurangan dan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan produksi, sehingga jumlah makanan yang dikonsumsi hendaknya cukup mengandung protein, vitamin dan mineral untuk kebutuhan hidupnya (NRC, 1994). Energi adalah kalori sebagai bahan bakar yang sangat dibutuhkan dalam seluruh proses metabolisme dan fungsi-fungsi tubuh ternak. Energi ransum yang dimanfaatkan tubuh ayam berasal dari pencernaan (perombakan) pati (karbohidrat), lemak, dan protein ransum. Optimalisasi protein dan energi ransum merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi ekonomis penggunaan ransum oleh ternak sesuai dengan kapasitas laju pertumbuhan genetis ternak itu sendiri. Kekurangan asupan protein dan energi menyebabkan tertahannya 6 kapasitas genetik tumbuh sehingga ternak tumbuh kurang optimal. Sebaliknya, apabila asupan protein dan energi berlebihan, ternak akan mengeluarkan kelebihan protein tersebut sehingga merupakan pemborosan. Jika keperluan energinya sudah terpenuhi, ayam akan berhenti makan. Protein merupakan senyawa biokimia kompleks yang terdiri atas polimer asam-asam amino dengan ikatan-ikatan peptida. Setiap monomer asam amino mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sebagian belerang. Ada 20 asam amino yang dibutuhkan tubuh, 10 di antaranya dapat disintesis tubuh, sedangkan 10 asam amino lainnya merupakan asam amino esensial yang harus disediakan dari luar tubuh. Protein diperlukan tubuh untuk mempertahankan hidup pokok dalam menjalankan fungsi-fungsi sel dan produktivitas, seperti pertumbuhan otot, lemak, tulang, telur, dan semen (Leeson dan Summers, 1991). Banyaknya konsumsi protein bergantung pada ransum yang dikonsumsi yaitu semakin banyak konsumsi ransum maka semakin banyak pula perolehan protein yang berasal dari ransum (Cheeke, 2005). Protein tubuh bersifat dinamis statis dengan sistem sintesis dan degradasi yang terus menerus, maka keberadaannya dalam ransum yang masuk tubuh sangat diperlukan. Tingkat protein dalam ransum untuk ternak biasanya diberikan dengan nilai keperluan minimum (Wahju, 2004). Kelebihan protein dalam ransum tidak efisien karena akan dibuang melalui urin, sehingga kandungan energi dan protein dalam ransum harus seimbang. Pertumbuhan ternak erat hubungannya dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam pakan (Ensminger,1992). Pertambahan bobot badan merupakan kenaikan bobot badan yang dicapai seekor ternak selama 7 periode tertentu. Perbedaan bobot badan antara ternak yang diberikan pakan ad libitum dan ternak yang pakannya dibatasi serta perbedaan antara ternak yang mendapatkan rasio pakan yang optimal dan ternak yang mendapatkan pakan tidak optimal (Gordon dan Charles, 2002). Protein dan energi merupakan nutrisi yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan dan produktivitas yang maksimal (National Research Council, 1994). Konversi ransum atau FCR (Feed Convertion Ratio) merupakan istilah yang banyak digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan makanan. FCR menunjukkan banyaknya makanan yang dikonversikan menjadi bobot badan dan semakin rendah nilai FCR menunjukkan efisiensi makanan yang semakin baik. Konversi pakan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: umur ternak, bangsa, genetik, kandungan gizi pakan, keadaan temperatur dan keadaan unggas (Anggorodi, 1985). Angka konversi pakan menunjukkan tingkat penggunaan pakan. Jika angka konversi semakin kecil maka, penggunaan pakan semakin efisien dan sebaliknya jika angka konversi besar maka, penggunaan pakan tidak efisien (Campbell, 1984). Tingkat konversi pakan yang berbeda–beda tergantung kadar protein dan energi metabolisme pakan, suhu lingkungan, umur ayam, kondisi kesehatan dan komposisi pakan. Nilai konversi ransum ayam Poncin pada umur 0-12 minggu sebesar 3,92 – 4,53 (Suci dkk., 2005), sedangkan nilai konversi ransum ayam kampung umur 0 – 8 minggu antara 2,15 – 2,70 (Chandrawati 1999). Penyusunan ransum ayam lokal yang dipakai di Indonesia didasarkan untuk rekomendasi untuk standar ayam ras menurut Scott et al., (1982) dan NRC (1994). Kebutuhan energi termetabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu, antara 2600 – 3100 kkal/kg dan protein pakan antara 18% - 24% (Scott et al., 1982) 8 sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi termetabolis dan protein masing masing 2900 kkal/kg dan 18%. Kandungan energi yang tinggi dalam pakan akan membuat ayam lebih cepat berhenti makan. Ransum yang diberikan pada sebagian besar ayam lokal yang dipelihara secara tradisional mengandung protein 8,8-12% dengan energi 1.700- 2.800 kkal ME (metabolizable energy)/kg (Iskandar dkk., 1991; Dessie dan Ogle 1997; Rashid dkk., 2004), Ayam buras membutuhkan energi metabolis 2.800 Kkal/kg dengan protein 20% pada umur 3 hari sampai dengan 8 minggu Kurtini (1995), Suryono (1983), menggunakan energi 2.450 Kkal/kg dengan protein 18% pada umur 1-10 minggu, Hodijah (1991) menggunakan energi metabolis dari 2.600-2.900 Kkal/kg dengan tingkat protein 12%-14% pada Ayam Nunukan dan Iskandar dkk., (1999) menggunakan ransum dengan energi metabolis 2900 Kkal/kg dan protein 15% pada persilangan ayam kampung umur 0-4 minggu. Berdasarkan kerangka pemikiran maka dapat ditarik suatu hipotesis pada tingkat energi 2750 kkal ME/kg dan protein 17% menghasilkan konsumsi, pertambahan bobot badan dan konversi ransum yang optimal pada ayam Sentul Warso. 1.6 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 10 minggu pada bulan Februari 2017 sampai April 2017 yang bertempat di kandang Test Farm, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jawa Barat. 9