BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepercayaan 1. Definisi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepercayaan
1. Definisi Kepercayaan
Kepercayaan memegang peranan penting dalam sebuah hubungan.
Individu memiliki kecenderungan menilai orang lain dan memutuskan
apakah akan mempercayai orang tersebut atau tidak saat menjalin interaksi.
Solomon dan Flores (2003) menyatakan bahwa hubungan seseorang dengan
orang lain memerlukan keberadaan kepercayaan. Menurut Duffy dan Wong
(2000) kepercayaan sangat dibutuhkan dalam rangka menjalin hubungan
interpersonal dan melakukan adaptasi.
Menurut Mayer, Davis dan Schoorman (1995) kepercayaan adalah
kesediaan seseorang untuk menjadi rentan terhadap tindakan pihak lain
berdasarkan harapan bahwa yang lain akan melakukan tindakan tertentu
yang penting untuk trustor, terlepas dari kemampuan untuk memantau atau
mengontrol pihak lain. Kepercayaan refleksi sebuah harapan, asumsi atau
keyakinan seseorang tentang kemungkinan bahwa tindakan seseorang
dimasa
mendatang
akan
bermanfaat,
baik,
dan
tidak
merusak
kepentingannya.
Lewicky dan Wiethoff (2000) mendeskripsikan kepercayaan
sebagai keyakinan individu dan kemauan untuk bertindak atas dasar katakata, tindakan, dan keputusan orang lain. Hal-hal yang dapat menyebabkan
seseorang
mempercayai
orang
lain
yaitu
berkembangnya
sistem
kepercayaan melalui pengalaman hidup seseorang, aturan atau norma yang
ada pada lembaga atau masyarakat dan adanya pengalaman saat menjalin
hubungan.
Kepercayaandapat
muncul
dalam
bidang
profesional
yang
berorientasi tugas dan ditujukan untuk mencapai tujuan dan pribadi yang
berkaitan pada interaksi sosial atau emosional dan fokus pada hubungan itu
sendiri (Lewicki dan Wiethoff, 2000). Kepercayaan yang berkaitan pribadi
akan menetap lebih lama dibandingkan dengan bidang profesional. Individu
yang memiliki rasa percaya dalam hal pribadi akan menyerahkan segala
aktivitasnya kepada orang lain karena yakin bahwa orang tersebut seperti
apa yang diharapkan.
Lewis dan Weigert (1985) mendefinisikan
bahwa kepercayaan
didasarkan pada proses kognitif yang membedakan antara orang dan
lembaga yang dapat dipercaya, tidak dipercaya dan tidak diketahui. Dalam
hal ini kognitif akan memilih siapa yang akan dipercaya dan hormati
sehingga itulah yang menjadi alasan yang baik dalam menentukan siapa
yang dapat dipercaya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adalah suatu harapan
positif, asumsi, atau keyakinan dari proses kognitif seseorang yang dipegang
dan ditujukan pada orang lain bahwa orang tersebut akan berperilaku seperti
yang diharapkan dan dibutuhkan. Ketika seseorang memutuskan untuk
mempercayai orang lain maka harapannya terhadap orang tersebut adalah
dapat mewujudkan harapan-harapan yang ada pada dirinya.
2. Faktor Terbentuknya Kepercayaan
Membangun kepercayaan pada orang lain merupakan hal yang
tidak mudah. Itu tergantung pada perilaku kita dan kemampuan orang lain.
Menurut Mayer, dkk (1995) faktor yang membentuk kepercayaan seseorang
terhadap yang lain ada tiga yaitu kemampuan (Ability), kebaikan hati
(Benevolence), dan integritas (Integrity). Ketiga faktor tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Kemampuan (Ability)
Kemampuan meliputi keterampilan, kompetensi, dan karakteristik
yang memungkinkan seseorang memiliki pengaruh dalam beberapa domain
tertentu. Kemampuan mengacu pada kompetensi dan karakteristik seseorang
dalam mempengaruhi. Dengan kemampuan akan memunculkan keyakinan
akan seberapa baik orang lain memperlihatkan performanya sehingga akan
mendasari munculnya kepercayaan orang lain terhadap individu.
b. Kebaikan Hati (Benevolence)
Kebaikan hati berkaitan dengan intensi dan ketertarikan dalam diri
seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain. Kebaikan hati adalah
sejauh mana trustee diyakini ingin berbuat baik untuk trustor tersebut,
selain dari motif keuntungan egosentris. Kebaikan hati menunjukkan bahwa
trustee memiliki beberapa keterikatan khusus untuk trustor tersebut. Contoh
keterikatan ini adalah hubungan antara mentor (trustee) dan anak didik
(trustor). Mentor ingin membentu anak didik, meskipun mentor tidak
diperlukan untuk membantu, dan tidak ada imbalan ekstrinsik untuk mentor.
Kebaikan hati adalah persepsi orientasi positif trustee terhadap trustor
tersebut.
c. Integritas
Integritas dibuktikan pada konsistensi antara ucapan dan perbuatan
dengan nilai-nilai diri seseorang, kejujuran yang disertai keteguhan hati
dalam menghadapi tekanan. Hubungan antara integritas dan kepercayaan
melibatkan persepsi trustor bahwa trustee berpegang pada prinsip-prinsip
yang ditemukan oleh trustor dan dapat diterima. Berbagai masalah pihak
trustee seperti tindakan konsistensi di masa lalu, komunikasi yang dapat
dipercaya tentang trustee dari pihak lain, keyakinan bahwa trustee memiliki
rasa keadilan yang kuat, dan sejauh mana tindakan sesuai dengan katakatanya, berdampak pada tingkatan pihak yang dinilai memiliki integritas.
Kurangnya
salah
satu
dari
ketiga
faktor
tersebut,
dapat
melemahkan kepercayaan. Jika kemampuan, kebaikan hati dan integritas
semua dianggap tinggi, trustee akan dianggap cukup dapat dipercaya.
Namun, kepercayaan harus dianggap sebagai sebuah kontinum bukan
trustee yang baik dapat dipercaya atau tidak dapat dipercaya. Masingmasing dari ketiga faktor dapat bervariasi sepanjang kontinum (Mayer, dkk
1995).
3. Jenis – Jenis Kepercayaan
Bryk dan Schneider (1996) membagi kepercayaan menjadi tiga
jenis yaitu, kepercayaan organik (organic trust), kepercayaan kontrak
(contractual trust), dan kepercayaan relasional (relational trust).
a. Kepercayaan organik
Kepercayaan organik adalah kepercayaan yang didasarkan oleh
otoritas nilai moral dari institusi sosial yang dipercaya karena kebenaran
sistem yang berjalan. Kepercayaan ini terjadi karena semua anggota
organisasi berbagi komitmen yang relatif identik dengan nilai-nilai yang
sering diadakan. Kepercayaan organik dapat ditemukan dalam komunitas
religius kecil, dimana pertukaran sosial didasarkan pada keyakinan yang
tidak diragukan lagi dan tunduk pada otoritas moral dari lembaga sosial
tertentu (Schneider, Judy, Ebmeye, dan Broda, 2014).
b. Kepercayaan kontrak
Kepercayaan kontrak adalah kepercayaan yang didasarkan pada
keuntungan materi dan balas jasa. Kepercayaan ini dapat ditemukan dalam
transaksi bisnis dan organisasi lain seperti serikat dimana pertukaran sosial
dibatasi oleh aturan formal, peraturan, pembatasan dan denda.
c. Kepercayaan relasional
Kepercayaan relasional adalah kepercayaan yang terbentuk melalui
interaksi
pribadi
dimana
masing-masing
pihak
mempertahankan
pemahaman kewajiban perannya dan memegang beberapa harapan tentang
kewajiban peran yang lain. Menurut Bryk dan Schneider (dalam Baxter,
2012)
menyebutkan
bahwa
kepercayaan
relasional
membutuhkan
keselarasan pada harapan dan kewajiban bersama. Kepercayaan relasional
tumbuh
melalui
proses
interaksi
dimana
kata-kata
dan
tindakan
memunculkan harapan. Ketika harapan tidak terpenuhi, maka akan
mengakibatkan
kepercayaan
relasional
akan
hilang
bahkan
dapat
menyebabkan pemutusan hubungan tersebut. Kepercayaan ini dapat
ditemukan lembaga-lembaga sosial diamana pertukaran sosial dilakukan
karena nilai sosial mereka.
B. Jama’ah Tarbiyah
1. Sejarah Jama’ah Tarbiyah
Salah satu fenomena paling menarik dari Islam Indonesia pada 1990an yaitu munculnya gerakan keagamaan yang disebut Jemaah Tarbiyah yang
ada di kampus universitas sekuler. Nama ini bukan nama resmi gerakan
tetapi aktivis muslim di kampus mengakui kelompok ini sebagai Jemaah
Tarbiyah atau ikhwan (Machmudi, 2006).
Tarbiyah sebenarnya merupakan sebuah kata yang bermakna
pendidikan dan pembinaan, hingga akhirnya Tarbiyah berkembang sebagai
jamaah yang berkiprah sebagai kelompok gerakan keagamaan (religious
movement). Gerakan keagamaan yang dilakukan oleh jama’ah Tarbiyah
berupaya untuk mengembalikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan seharihari. Jama’ah Tarbiyah ini tumbuh dan berkembang pesat di kampuskampus yang ada di Indonesia.
Tarbiyah adalah gerakan dakwah yang mengadopsi model dakwah
Ikhwanul Muslimin yang merupakan salah satu gerakan dakwah yang
didirikan oleh Imam As-Syahid Hasan Al Banna di Mesir pada tahun 1928.
Gerakan Tarbiyah menekankan dakwah melalui konsep pembinaan yang
intensif dan berkesinambungan dalam semua lini kehidupan seorang
muslim.
Pembinaan intensif ini dilakukan oleh sekumpulan orang yang
berjumlah tiga sampai dua belas orang yang berlangsung secara periodik
dengan dibimbing oleh seorang murabbi atau mentor. Pembinaan ini
memiliki sasaran diantaranya untuk pembinaan dasar-dasar akidah, akhlak,
ibadah dan tsaqafah islamiyah atau pemahaman islam (Machmudi, 2006)
2. Tujuan Jama’ah Tarbiyah
Menurut Hawwa (2000)Salahsatu karakter dari jama’ah Tarbiyah
adalah mendasarkan diri pada pemikiran Ikhwanul Muslimin yang holistikintegralistik atau sering disebut kaffah. Pemikiran ini tercermin dalam
tujuan-tujuan, yaitu:
1. Perbaikan individu, sehingga menjadi seorang yang kuat fisiknya,
kokoh akhlaknya, luas wawasannya, mampu mencari penghidupan,
selamat akidahnya, benar ibadahnya, memiliki motivasi dari dalam
dirinya, perhatian akan waktunya, rapi urusannya dan bermanfaat bagi
orang lain
2. Membentuk keluarga muslim dengan membangun sebuah suasana yang
Islami, menjaga etika keislaman, mencari pasangan yang baik dan
memahami kewajiban dan hak-hak mereka serta mendidik anak-anak
dan semua anggota keluarga dengan nilai-nilai Islam
3. Membimbing masyarakat, dengan menyebarkan dakwah, mencegah
perilaku jahat dan keji, mendukung perilaku mulia dan utama, bersegera
mengerjakan kebaikan, membawa opini masyarakat pada pemikiran
Islam, mewarnai kehidupan dengan Islam dengan terus-menerus
4. Pembebasan tanah air dari penguasa asing dan penjajah, baik secara
politik, ekonomi maupun moral
5. Memperbaiki pemerintahan
6. Mengembalikan kejayaan ummat Islam
7. Menjadi guru dunia
3. Nilai-nilai Jama’ah Tarbiyah
Setiap pergerakan baik berbasiskan ideologi agama maupun tidak,
memiliki nilai-nilai yang dibagikan diantara anggota kelompoknya,
demikian pula jama’ah Tarbiyah. Menurut Damanik (2002) nilai-nilai yang
ada pada jama’ah Tarbiyah diantaranya adalah:
1. Menyebarkan nilai-nilai dalam kelompok, yang terbagi dalam dua
kelompok besar. Pertama, pembentukan karakter pribadi-pribadi Islam
dan kedua, pembentukan karakter aktivis gerakan
2. Nilai-nilai yang disebarkan dalam kelompok dilakukan dalam kegiatan
yang sering disebut sebagai halaqoh atau liqa yang secara harafiah
berarti pertemuan atau perjumpaan. Umumnya dilakukan sepekan
sekali yang dilakukan dengan sistematis dan kontinyu. Pertemuan ini
dihadiri
3-12
orang
secara
tetap,
yang
disebut
sebagai
muttarabbidipimpin seorang fasilitator atau pembina yang disebut
sebagai murabbi.
3. Melakukan kegiatan penyebaran nilai-nilai dengan kegiatan yang
beragam:
dauroh
atau
training,
outbound,
rihlah
atau
perjalanan/darmawisata, mabit atau bermalam untuk melakukan
kegiatan ibadah seperti shalat malam bersama (qiyamul lail), seminar
atau bedah buku dengan tema-tema yang beragam.
C. Aktivis Dakwah
Aktivis dakwah dikenal sebagai kelompok yang berusaha memegang
nilai-nilai agama dalam kehidupannya sehari-hari (Nidaya, 2009). Aktivis
dalam kamus besar bahasa indonesia memiliki kata dasar aktif yang
memiliki pengertian giat dalam bekerja dan berusaha, dinamis atau
bertenaga, mampu beraksi dan bereaksi, cenderung menyebar. Dakwah
menurut Nidaya (2009) adalah
mengajak manusia dengan cara yang
bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk
kebahagiaan dan keselamatan manusia di dunia dan akhirat.
Sedangkan pengertian aktivis sendiri adalah pelaku yang bekerja
aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di dalam
organisasinya. Dakwah dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai
pengertian mengajak atau menyeru untuk mempelajari dan mengamalkan
ajaran agama.
Jika kita gabungkan seluruh pengertian diatas, definisi Aktivis
dakwah adalah pelaku atau orang yang bekerja dengan giat, dinamis dan
bertenaga, mampu beraksi dan bereaksi serta menyebar dan berinteraksi
dalam mengajak dan menyeru manusia untuk mempelajari dan mengajarkan
agama.
Berangkat dari definisi dakwah, maka kewajiban yang paling
mendasar bagi para aktivis adalah menyampaikan agama Islam kepada
manusia dan menunjukkan mereka ke jalan yang telah ditapaki oleh para
Nabi dan Rasul. Intinya adalah memerintahkan kepada kebaikan dan
mencegah dari kemungkaran. Fungsi adanya para aktivis yang paling utama
adalah menyampaikan dan menyeru manusia kepada petunjuk Allah.
D. Murabbi
1. Definisi Murabbi
Menurut Takariawan (2012) murabbi atau pembina adalah sosok
pribadi yang melaksanakan kegiatan tarbiyah, yaitu membina, membimbing,
mendidik satu atau beberapa kelompok, yang mengarahkan menuju kepada
sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Setiap kelompok, terdiri dari
beberapa orang binaan, bisa lima orang, sepuluh atau dua belas orang.
Mereka memiliki suatu ikatan dalam sebuah tatanan, yang memiliki tujuan
bersama.
Dalam sebuah kegiatan pembinaan (tarbiyah), ada interaksi aktif dan
positif antara seorang pembina atau murabbidengan para anggota binaannya.
Ciri kegiatan pembinaan yang dimaksud adalah, (a) merupakan aktivitas
sebuah jama’ah atau dilakukan secara bersama-sama (b) memiliki tujuan
yang terdefinisikan (c) memiliki sistem yang jelas, baik dalam aspek
kurikulum, metode pembinaan, tahapan, penilaian, evaluasi dan promosi (d)
ada interaksi timbal balik yang sangat dekat antara murabbi dengan peserta
dan antara sesama peserta, yang sesuai dengan tujuan pembinaan (e)
pertemuan bersifat rutin dengan kegiatan yang variatif. Ikatan yang terjadi
di dalam sebuah proses pembinaan (tarbiyah) adalah ikatan kejama’ahan,
ikatan tujuan, ikatan sistem, selain juga ada ikatan emosional, ikatan moral
dan ikatan keilmuan.
Dalam sebuah proses pembinaan, ada empat transformasi yang
terjadi
sekaligus,
yaitu
transformasi
spiritual,
transformasi
moral,
transformasi intelektual dan transformasi amal. Keseluruhan transformasi
ini harus terjadi dalam suatu proses yang bersamaan untuk mendapatkan
hasil pembinaan yang optimal seperti yang diharapkan. Seorang murabbi
dalam sebuah proses pembinaan, mengelola berbagai macam kegiatan untuk
melakukan berbagai tarnsformasi tersebut secara optimal. Dengan demikian,
kader yang mengikuti kegiatan pembinaan akan tercerahkan secara spiritual,
moral, intelektual namun juga memiliki kunggulan amal. Pembinaan tidak
semata-mata transfer ilmu, namun juga mentransfer ruhiyah, semangat,
komitmen, akhlaq, ibadah, juga kepribadian secara utuh.
Murabbi adalah seorang da’i yang membina mutarabbi (objek
dakwah) dalam halaqah. Ia bertindak sebagai pemimpin, ustadz (guru),
orang tua, dan sahabat bagi mad’unya. Peran yang multifungi itu
menyebabkan seorang murabbi perlu memiliki berbagai keterampilan,
antara lain keterampilan memimpin, mengajar, membimbing, dan bergaul.
Biasanya,
keterampilan
tersebut
akan
berkembang
sesuai
dengan
bertambahnya pengetahuan dan pengalaman seseorang sebagai murabbi.
Murabbiadalah seseorang yang menjadi pembimbing dalam sebuah
kelompok halaqoh atau sama dengan guru ngaji atau guru spiritual.
Sedangkan halaqoh itu adalah sebuah kegiatan yang hampir sama dengan
taklim tapi halaqoh ruang lingkupnya lebih kecil. Dan orang yang mengikuti
halaqoh ini maksimal 12 orang dan Murabbi ini lah yang nanti berperan
sebagai penyampai materinya.
2. Syarat Menjadi Murabbi
Menurut Takariawan (2012), hal-hal yang perlu diperhatikan untuk
menjadi murabbi adalah:
1. Kesediaan untuk berproses bersama dalam kebaikan sesuai
mekanisme kejama'ahan
2. Kesediaan untuk berproses bersama untuk mengoptimalkan
berbagai poensi positif yang dimiliki
3. Kesungguhan untuk mengelola proses tarbiyah dalam bingkai
sistem
4. Kemauan yang kuat untuk senantiasa meningkatkan berbagai
kapasitas diri
5. Pemahaman akan visi, misi, tujuan, tahapan, metode serta sarana
dalam tarbiyah.
E. Kerangka Berpikir
Pengambilan keputusan dalam memilih seseorang untuk menjadi
pasangan hidupnya merupakan keputusan terpenting yang akan dilalui
setiap individu yang akan menikah. Oleh karena itu setiap individu pasti
sangat berhati-hati dalam memilih pasangan hidupnya.
Menurut Larasati (2012) dalam penelitian yang dilakukannya,
menyebutkan bahwa dalam menentukan pasangan hidup harus ada kriteria
yang dipertimbangkan, diinginkan dan diprioritaskan individu dalam
memilih pasangan hidup. Hal ini dilakukan agar tidak salah memilih untuk
menjalani kehidupan selanjutnya.
Begitu juga bagi aktivis dakwah yang bergabung dalam jama’ah
Tarbiyah yang menetapkan kriteria sefikroh, menikah dengan seseorang
yang juga sama-sama tergabung dalam jama’ah Tarbiyah. Penelitian yang
dilakukan oleh Savitri & Faturochman (2011) menyebutkan bahwa
pernikahan bagi jama’ah Tarbiyah merupakan pondasi masyarakat yang
harus berdasarkan nilai-nilai Islam dan berusaha membentuk keluarga
Islami dengan cara mencari pasangan hidup yang baik.
Mencari pasangan hidup yang baik ini menjadi landasan bagi aktivis
dakwah lebih memilih calon pasangan hidup melalui perantara murabbi.
Aktivis dakwah mempercayai saran Murabbidalam mencarikan pasangan
hidup untuknya. Murabbi akan memilih seseorang yang juga bergabung
dalam jama’ah Tarbiyah karena meyakini bahwa seseorang yang bergabung
dalam Tarbiyah memiliki pemahaman Islam dan dakwah dengan baik.
Pada hakikatnya memilih jodoh atau pasangan hidup harus
berdasarkan pemikiran dan kebutuhan pribadi. Seperti yang disampaikan
oleh Degenova (2008) memilih pasangan hidup merupakan proses memilih
calon yang dapat melengkapi apa yang dibutuhkan dari individu dan
berdasarkan suatu pemikiran bahwa seorang individu akan memilih
pasangan yang dapat melengkapi kebutuhan yang diperlukan.
Hal ini berbeda dengan aktivis dakwah yang mempercayakan
pemilihan jodohnya dengan murabbi, dimana calon pasangan akan
ditentukan oleh orang lain berdasarkan kesesuaian kelompok dimana aktivis
dakwah
bergabung
didalamnya.
Sehingga
aktivis
dakwah
dapat
mempercayakan hal yang sangat penting ini kepada orang lain sedangkan
proses memilih jodoh merupakan sesuatu yang akan menentukan masa
depan pribadi.
Berdasakan kerangka pemikiran yang dipaparkan di atas, maka
pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan adalah bagaimana aktivis
dakwah dapat percaya pada murabbi dalam pemilihan jodoh?
F. Pertanyaan Penelitian
Adapun yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah
bagaimana aktivis dakwah dapat percaya terhadap Murabbi dalam memilih
jodoh?
Download