PENGANTAR MEDIKO-LEGAL PROFESI KEDOKTERAN SUMPAH HIPOKRATES : LARANGAN-LARANGAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN (Hindari perbuatan amoral / non standar) UTAMAKAN KEBEBASAN PROFESI RAHASIA KEDOKTERAN ETIKA KEDOKTERAN PRINSIP ETIKA KEDOKTERAN BENEFICENCE : mengutamakan kepentingan pasien AUTONOMY : menghormati hak pasien dalam memutuskan NON MALEFICENCE : tidak memperburuk keadaan pasien JUSTICE : tidak mendiskriminasikan pasien, apapun dasarnya DOKTER DAN PASIEN (terutama diatur oleh Hk Perdata) HUBUNGAN FIDUCIARY (BERDASAR NILAI-NILAI KEUTAMAAN : Etika dan Sumpah Dokter) SELAIN HUBUNGAN FIDUCIARY, TERJADI PULA HUBUNGAN HUKUM DI ANTARA KEDUANYA : IUS DELICTUM (AKIBAT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN) IUS CONTRACTUM (AKIBAT HUBUNGAN KONTRAKTUAL - inspanningsverbintennis) TIMBUL HAK & KEWAJIBAN BAGI DOKTER DAN BAGI PASIEN (dibahas dalam Hk Kedokteran) DOKTER DAN KORBAN (terutama diatur oleh Hk. Pidana) KORBAN TIDAK SELALU PASIEN, KADANG “HANYA” SEBAGAI KLIEN HUBUNGAN : HUBUNGAN DOKTER-PASIEN tetap ada HUBUNGAN DOKTER DENGAN PENYIDIK (PEMINTA PEMERIKSAAN) “SEBAGIAN” DARI KLIEN (PASIEN) = BARANG BUKTI, HARUS DIDOKUMENTASIKAN DAN DIJADIKAN VISUM ET REPERTUM PIDANA vs Individu vs Publik Publik diwakili Penyidik, Penuntut Umum Pembuktian : P.U. Penengah : Hakim, sistem Juri UU : KUHP, KUHAP, dll Kebenaran materiel Kepastian : beyond reasonable doubt Sanksi : Mati, SH, Penjara, Sita, Denda PERDATA Individu vs Individu Dapat diwakili pengacara Pembuktian : penggugat Penengah : hakim UU : KUHPer, KUHD, UU PT, dll Kebenaran formil Kepastian : preponde-rance of evidences Sanksi : Ganti rugi, Prosedur mediko-legal Prosedur mediko-legal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis besar prosedur mediko-legal mengacu kepada peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran LINGKUP PROSEDUR MEDIKO-LEGAL pengadaan visum et repertum, tentang pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka. pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan pemberian keterangan ahli di dalam persidangan, kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran, tentang penerbitan Surat Keterangan Kematian dan Surat Keterangan Medik , tentang fitness / kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik, DASAR PENGADAAN VISUM ET REPERTUM (masa penyidikan) PASAL 133 KUHAP Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya Ps 133 (2-3) KUHAP: Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. PERMINTAAN VISUM ET REPERTUM menurut Ps 133 KUHAP WEWENANG PENYIDIK TERTULIS (RESMI) TERHADAP KORBAN, BUKAN TERSANGKA ADA DUGAAN AKIBAT PERISTIWA PIDANA BILA MAYAT : IDENTITAS PADA LABEL JENIS PEMERIKSAAN YANG DIMINTA DITUJUKAN KEPADA : AHLI KEDOKTERAN FORENSIK DOKTER DI RUMAH SAKIT SANKSI HUKUM BILA MENOLAK PASAL 216 KUHP Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. PEMERIKSAAN MAYAT UNTUK PERADILAN PASAL 222 KUHP Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah PERMINTAAN SEBAGAI SAKSI AHLI (masa persidangan) PASAL 179 (1) KUHAP : Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan PASAL 224 KUHP : Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam : dalam perkara pidana, dengan penjara paling lama sembilan bulan. PEMERIKSAAN TERSANGKA PASAL 66 KUHAP Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian PASAL 37 KUHAP (2) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka. PASAL 53 UU KESEHATAN (3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM BAGI TERSANGKA (misalnya : VR psikiatris) PASAL 120 KUHAP (1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. PASAL 180 KUHAP (1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang Pengadilan, Hakim Ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan KETERANGAN AHLI PASAL 1 BUTIR 28 KUHAP : Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. (Pengertian K.A. secara umum atau generik) Agar dapat diajukan ke sidang pengadilan sebagai upaya pembuktian, harus “dikemas” dalam bentuk ALAT BUKTI SAH ALAT BUKTI SAH PASAL 183 KUHAP : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. PASAL 184 KUHAP : Alat bukti yang sah adalah : (a) Keterangan saksi, (b) Keterangan ahli, ( c ) Surat, (d) Petunjuk, (e) Keterangan terdakwa KETERANGAN AHLI DIBERIKAN SECARA LISAN PASAL 186 Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. PENJELASAN PASAL 186 Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu menerima jabatan atau pekerjaan (BAP saksi ahli). ALAT BUKTI SAH KETERANGAN AHLI KETERANGAN AHLI DIBERIKAN SECARA TERTULIS PASAL 187 KUHAP Surat sebagaimana tesebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c , dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : (c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; ALAT BUKTI SAH SURAT PEJABAT YG BERWENANG MEMINTA VISUM ET REPERTUM PASAL 133 KUHAP : PENYIDIK PASAL 6 (1) KUHAP : PENYIDIK ADALAH : PEJABAT POLISI NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEJABAT PNS TERTENTU YG DIBERI WEWENANG KHUSUS OLEH UNDANG-UNDANG YG MEMBUTUHKAN VISUM ET REPERTUM ADALAH KASUS PIDANA UMUM, SEHINGGA PENYIDIKNYA ADALAH POLISI. PENYIDIK PNS TIDAK BERWENANG MEMINTA VISUM ET REPERTUM PASAL 11 KUHAP : PENYIDIK PEMBANTU MEMPUNYAI WEWENANG SEPERTI TERSEBUT DALAM PASAL 7 (1), KECUALI MENGENAI PENAHANAN YANG WAJIB DIBERIKAN DENGAN PELIMPAHAN WEWENANG DARI PENYIDIK. MENDATANGKAN AHLI ATAU MEMINTA VISUM ET REPERTUM BOLEH DILAKUKAN PENYIDIK PEMBANTU. JADI, YANG BERWENANG MEMINTA VISUM ET REPERTUM ADALAH : PENYIDIK POLISI DAN PENYIDIK PEMBANTU POLISI PP NO 27 TAHUN 1983 PASAL 2 PP No 27 TAHUN 1983 (2) Penyidik adalah : a.Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat PembantuLetnanDua polisi (Ajun Inspektur Dua) PASAL 3 PP No 27 TAHUN 1983 (2) Penyidik pembantu adalah : a.Pejabat Polisi Negara RI tertentu yg sekurangkurangnya berpangkat Sersan Dua polisi; b.Pejabat PNS tertentu yg sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu. PASAL 2 (2) PP No 27 TAHUN 1983 (2) Dalam hal di suatu Sektor Kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik. ARTINYA : TIDAK SEMUA POLISI BERPANGKAT PELDA KE ATAS ADALAH PENYIDIK TIDAK SEMUA POLISI BERPANGKAT SERSAN ADALAH PENYIDIK PEMBANTU SETIAP KAPOLSEK PASTI PENYIDIK JENJANG KEPANGKATAN POLISI JENDERAL KOMISARIS JENDERAL INSPEKTUR JENDERAL BRIGADIR JENDERAL KOMISARIS BESAR AJUN KOMISARIS BESAR KOMISARIS AJUN KOMISARIS INSPEKTUR SATU INSPEKTUR DUA AJUN INSPEKTUR SATU AJUN INSPEKTUR DUA BRIGADIR KEPALA BRIGADIR BRIGADIR SATU BRIGADIR DUA AJUN BRIGADIR AJUN BRIGADIR SATU AJUN BRIGADIR DUA SABHARA SABHARA SATU SABHARA DUA DALAM PRAKTEK : SURAT PERMINTAAN VISUM ET REPERTUM : SURAT TERTULIS SURAT RESMI (KOP SURAT, NOMOR, TANGGAL, ALAMAT SURAT, ISI, TANDATANGAN, NAMA JELAS, PANGKAT, NRP, STEMPEL DINAS) MENGATAS-NAMAKAN KAPOLSEK (PENYIDIK) SEBAGAI PEJABAT ATRIBUTIF. PENANDATANGAN SURAT (PEJABAT MANDAT) BOLEH SIAPA SAJA YANG SECARA ORGANISATORIS BERWENANG MENGATASNAMAKAN PEJABAT ATRIBUTIF. KETENTUAN LAIN VER KORBAN HIDUP SURAT PERMINTAAN VER DAPAT “TERLAMBAT” : KORBAN LUKA DIBAWA KE DOKTER (RS) DULU SEBELUM KE POLISI SPV MENYEBUTKAN PERISTIWA PIDANA YANG DIMAKSUD VER = SURAT KETERANGAN, JADI DAPAT DIBUAT BERDASARKAN REKAM MEDIS (RM telah menjadi barang bukti sejak datang SPV) PEMBUATAN VER TANPA IJIN PASIEN, SEDANGKAN SKM LAIN HARUS DENGAN IJIN. PASIEN / KLIEN BOLEH TIDAK DIANTAR PETUGAS KEPOLISIAN, ALASAN : KORBAN LUKA DIBAWA KE DOKTER (RS) DULU SEBELUM KE POLISI TAK ADA PERATURAN YANG MENGHARUSKAN ADANYA PETUGAS PENGANTAR KORBAN MEMANG SEBAIKNYA DIANTAR PETUGAS AGAR DAPAT DIPASTIKAN IDENTITAS KORBAN DAN STATUSNYA SEBAGAI “BARANG BUKTI” MEMANG SEBAIKNYA DILENGKAPI SPV AGAR JELAS STATUSNYA SEBAGAI “BARANG BUKTI” AUTOPSI TERDAPAT 3 JENIS AUTOPSI : AUTOPSI ANATOMIS : UNTUK PENDIDIKAN MAHASISWA KEDOKTERAN. DASAR : UU KESEHATAN AUTOPSI KLINIS : UNTUK KEPENTINGAN DIAGNOSIS AKHIR CARA KEMATIAN : NATURAL (SAKIT) DASAR : KESEPAKATAN (HK. PERDATA) AUTOPSI FORENSIK : UNTUK KEPENTINGAN PERADILAN CARA & SEBAB KEMATIAN : BELUM DIKETAHUI DASAR : KUHAP (HK. PIDANA) AUTOPSI FORENSIK PASAL 134 KUHAP (1)Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. (2)Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tsb. (3)Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini. APAKAH AUTOPSI FORENSIK DAPAT DIHALANG-HALANGI ? PASAL 222 KUHP Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah BAGAIMANA DENGAN PEMERIKSAAN FORENSIK BAGI KORBAN HIDUP? DAPATKAH PEMERIKSAAN FORENSIK PADA KORBAN HIDUP DIHALANG-HALANGI? ATAU BOLEHKAH KORBAN MENOLAK PEMERIKSAAN? TIDAK ADA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGHARUSKAN ATAU MEMBERI SANKSI BAGI PELANGGARNYA KORBAN ADALAH JUGA PASIEN YANG MASIH MEMILIKI HAK AUTONOMINYA (RIGHTS TO SELF DETERMINATION) (STATUS BARANG BUKTI = BUKAN ORANGNYA) RAHASIA KEDOKTERAN PASAL 1 PP No 10 TAHUN 1966 Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran. PASAL 2 PP No 10 TAHUN 1966 Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi dari pada PP ini menentukan lain PASAL 3 PP No 10 TAHUN 1966 Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah : Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UndangUndang tentang tenaga kesehatan. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan SUMPAH DOKTER : Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter PASAL 2 UU tentang TENAGA KESEHATAN Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan dalam undang-undang ini adalah : I. Tenaga Kesehatan Sarjana, yaitu : a. dokter b. dokter gigi c. apoteker d. sarjana-sarjana lain dalam bidang kesehatan II. Tenaga Kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah a. di bidang farmasi : asisten apoteker dsb. b. di bidang kebidanan : bidan dan sebagainya c. di bidang perawatan : perawat, fisioterapis dsb d. di bidang kesehatan masyarakat : penilik kesehatan, nutrisionis dan lain-lain. e. bidang-bidang kesehatan lain. SANKSI BAGI PELANGGAR PASAL 322 KUHP (1)Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak Rp 600.(2)Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu. PASAL 112 KUHP Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keteranganketerangan yang diketahui bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, kepada seorang raja atau suku bangsa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun PASAL 4 PP No 10 TAHUN 1966 Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan dapat melakukan tindakan administratip berdasarkan pasal UU tentang tenaga kesehatan VISUM ET REPERTUM DAN RAHASIA KEDOKTERAN KEWAJIBAN PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM DIDASARKAN ATAS UNDANG-UNDANG (Lebih tinggi dari PP No 10 / 1966) BILA SPV DATANG : DASAR HUKUMNYA UNDANG-UNDANG SEHINGGA MENGGUGURKAN WAJIB SIMPAN RAHASIA KEDOKTERAN (dalam membuat VER) Ps 50 KUHP : Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan UU, tidak dipidana. TERIMA KASIH DAN INGATLAH SELALU : CIRI SIKAP PROFESIONAL KEBEBASAN PROFESI OBYEKTIF ILMIAH IMPARTIAL