INDONESIA: KENDALA KRITIS BAGI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Zafar Iqbal dan Areef Suleman Departemen Kebijakan dan Penelitian Ekonomi Rajab 1431H (Juli 2010) Bila ada pertanyaan mengenai publikasi ini, silahkan menghubungi: Direktur, Departemen Kebijakan dan Penelitian Ekonomi, Bank Pembangunan Islam, P.O. Box 5925, Jeddah 21432 Saudi Arabia Fax: +966-2-6467478 Email: [email protected] Rajab 1431H (Juli 2010) PENYANGKALAN Pandangan-pandangan yang terdapat dalam tulisan ini adalah milik kedua penulis dan tidak selalu merupakan pandangan-pandangan Kelompok Bank Pembangunan Islam atau para eksekutif direkturnya atau negara-negara anggotanya. ©Bank Pembangunan Islam Departemen Kebijakan dan Penelitian Ekonomi ISBN 978-9960-32-195-0 Kata Pengantar Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014, pemerintah Indonesia telah memprioritaskan pembangunan infrastruktur untuk memperbaiki daya saing ekonomi. Tidak perlu dikatakan lagi bahwa infrastruktur yang memadai dan bermutu sangat diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif, yang dapat menjamin kesejahteraan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Karena besarnya kebutuhan penanaman modal dalam infrastruktur, pemerintah Indonesia membutuhkan mitra dalam dan luar negeri. Untuk itu “Buku PPP 2010” menawarkan kesempatan investasi berpotensi yang dapat dimanfaatkan oleh sektor swasta. Hal ini menunjukkan pola pikir baru mengenai penyediaan infrastruktur, dimana pemerintah berperan sebagai pendukung dan tidak sebagai pembangun dalam sektor ini. Pemerintah juga telah bertekad untuk mempercepat proyek infrastruktur melalui PPP, dengan mempergunakan sebuah pendekatan proaktif. Untuk tujuan itu, banyak pembaharuan yang sudah dilaksanakan dan beberapa peraturan sudah diberlakukan untuk menjamin adanya pendekatan yang lebih efisien dan terpadu bagi penanam modal swasta. Khususnya, Peraturan Presiden 13/2010 bertujuan untuk menyelesaikan secara efektif masalah pembebasan tanah, sebuah kendala pengikat dalam pembangunan infrastruktur. Peraturan tersebut secara khusus menetapkan bahwa pemerintah (pusat dan daerah) harus terlebih dahulu melakukan pembebasan tanah sebelum membuka tender atau penawaran proyek-proyek infrastruktur. Pemerintah yakin bahwa dengan kondisi bisnis yang diperbaharui maka PPP dalam bidang infrastruktur akan berkembang. Pemerintah telah menerapkan beberapa reformasi kebijakan penting di dalam beberapa dasawarsa terakhir. Sebagai hasilnya, saat ini Indonesia memiliki fundamental ekonomi makro serta stabilitas politik yang kuat. Pemerintah juga bertujuan untuk lebih menghubungkan lagi berbagai daerah untuk mencapai pembangunan sosial ekonomi yang seimbang, khususnya dengan menyediakan akses infrastruktur yang memadai untuk mempertinggi kelayakan kerja dan memperbaiki taraf hidup rakyat. Ini adalah penelitian diagnostik tentang infrastruktur yang pertama bagi Indonesia dan merupakan bagian dari diagnosa menyeluruh mengenai pertumbuhan Indonesia. Penelitian diagnostik secara keseluruhan dilakukan bersama-sama dengan Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB) serta International Labour Organisation (ILO) dibawah koordinasi dan kerjasama dengan Bappenas. Pemerintah Indonesia menghargai kontribusi IDB yang sangat besar dalam pelaksanaan penelitian ini. Analisis yang mendalam tentang berbagai sub-sektor infrastruktur (yaitu transportasi, listrik dan telekomunikasi) dan rencana yang berorientasi pada proses untuk mengendurkan kendala utama adalah sangat penting artinya bagi pemerintah. Aspek konsultatif dari penelitian ini telah menjamin bahwa pendapat-pendapat para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur telah ditampung secara baik. Pemerintah bertekad untuk menangani kendalakendala pengikat yang ditemukan dalam penelitian ini, seperti menyelesaikan permasalahan pembebasan tanah; memperbaiki kapasitas manusia dan kelembagaan; memperbaiki tata kelola pemerintahan; dan memfasilitasi pendanaan jangka panjang. Penelitian ini dilakukan pada waktu yang sangat tepat dan hasilnya akan menjadi masukan yang berharga untuk perencanaan infrastruktur jangka menengah, yang akan dilaksanakan dalam lima tahun mendatang. Pemerintah Indonesia yakin bahwa temuan dan rekomendasi penelitian ini dapat menjadi bagian dari bahan dasar untuk mendapatkan mitra pembangunan dalam usaha mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Pemerintah Indonesia akan menanggapi secara cepat rekomendasi penelitian ini untuk mengendurkan kendala-kendala utama yang telah ditemukan. Dukungan para mitra pembangunan sangat penting artinya, dan akan memudahkan pembangunan infrastruktur Indonesia secara cepat. Pemerintah sangat menghargai usaha serta keinginan IDB untuk memfasilitasi pembangunan infrastruktur Indonesia. Saya yakin bahwa kerja sama antara IDB dan pemerintah Republik Indonesia akan saling menguntungkan dan akan membawa kesejahteraan bagi negara dan rakyat Indonesia. Lukita Dinarsyah Tuwo Wakil Menteri PPN RI Wakil Ketua Bappenas RI (Republic of Indonesia) Pendahuluan Indonesia: Kendala Kritis bagi Pembangunan Infrastruktur adalah penelitian diagnosa yang pertama yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank-IDB) di Indonesia, sebuah negara anggota yang penting bagi IDB. Penelitian ini dilakukan atas kerjasama dengan Bank Pembangunan Asia (Asian Development BankADB) serta Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour OrganisationILO) dengan tujuan untuk mengkaji keadaan ekonomi Indonesia saat ini. Penelitian ini memusatkan perhatian khususnya pada kendala-kendala dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. Walaupun prestasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan sudah membaik selama lima tahun belakangan ini (2005-2009), tingkat pertumbuhan ini masih berada dibawah tingkat pertumbuhan sebelum krisis Asia. Salah satu sebab utama pertumbuhan yang lesu ini adalah rendahnya tingkat investasi di sektor infrastruktur. Kekurangan investasi ini mengakibatkan penyediaan layanan infrastruktur yang tak mencukupi (dalam arti kuantitas dan kualitas). Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa pemerintah Indonesia telah menyadari ketidak-cukupan infrastruktur sebagai kendala utama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Laporan ini mengindentifikasi kendala-kendala yang paling menjerat bagi investasi infrastruktur. Bersamaan dengan itu penelitian ini menyimpulkan bahwa pengenduran kendala-kendala tersebut akan mempermudah investasi dengan menghilangkan penghambat-penghambat yang telah menggagalkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia. Zafar Iqbal and Areef Suleman, kedua orang penulis yang telah melakukan penelitian ini berasal dari Departemen Penelitian dan Kebijakan Ekonomi, IDB. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan berbagai konsultasi- dengan para pemangku kepentingan utama baik dari sektor swasta maupun pemerintah yang dilakukan sepanjang proses penelitian, yang dimulai dengan pengembangan kerangka diagnosa. Identifikasi kendala-kendala pengikat dalam pembangunan infrastruktur ditentukan melalui sebuah survei pemangku kepentingan primer. Hasil-hasil tersebut kemudian divalidasi dengan sebuah analisa sektoral yang mendalam. Kemudian, hasilnya didiskusikan dengan pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan utama. Sebuah pendekatan bertahap dan berurut serta berorientasi pada proses diusulkan untuk melonggarkan kendala-kendala yang menghambat pembangunan infrastruktur. Ifzal Ali Ekonom Utama Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank) Ucapan terima kasih Kedua penulis mengucapkan terima kasih pada Ifzal Ali, yang telah memprakarsai penelitian ini dan memberikan bimbingan, komentar-komentar serta saran-saran yang berharga dari awal sampai berhasilnya penyelesaian laporan ini. Abdullateef Bello dan Nosratollah Nafar memberikan dukungan yang dibutuhkan. Ehsan Khan dari ADB memberikan komentar-komentar yang konstruktif dalam perampungan laporan ini. Informasi dasar yang berbentuk laporan penelitian yang berhubungan dengan sektor infrastruktur diberikan oleh Abuzar Asra dan Irman Boyle. Terimakasih juga diucapkan ke Abuzar Asra yang telah mengedit terjemahan laporan penelitian ini ke dalam Bahasa Indonesia. Kami juga berterima kasih atas dukungan data oleh Rehan Kausar (ADB). Perwakilan IDB di Indonesia, Mahlani, memegang peran penting dalam memperoleh data yang dibutuhkan dan memberikan pandangan tentang masalah-masalah utama di Indonesia. Nina Permatasari memberikan dukungan logistik dan administrasi yang berharga. C. P. Saleem mengkoordinasi pencetakan laporan. Kedua penulis juga berterima kasih kepada Abdul Rashid untuk bantuan kesekretariatan dan administrasi; Musharraf Wali Khan dan Mohamed Amza juga memberikan dukungan administrasi yang serupa. Kami juga menghaturkan terima kasih kepada pemerintah Indonesia atas bantuan dan dukungan yang diberikan. Secara khusus, kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional; Dedy Priatna, Deputi Sarana dan Prasarana; Ir. Bambang Prihartono, Direktur, Direktorat Transportasi; Budi Hidayat, Direktur Pemukiman dan Perumahan dan Maurin Sitorus, Direktur, Direktorat Pendanaan, Direktorat Jendral Pengelolaan Hutang, Departemen Keuangan. DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF................................................................... ix I. PENDAHULUAN..................................................................................... 1 (i) (ii) (iii) (iv) (v) (vi) II. Latar Belakang ................................................................................ 1 Mengapa Memusatkan pada Infrastruktur . ..................................... 2 Kontribusi Untuk Pertumbuhan Ekonomi Indonesia....................... 2 Kualitas Infrastruktur Secara Keseluruhan . .................................... 3 Lingkungan Bisnis Infrastruktur ..................................................... 3 Kesenjangan Infrastruktur Regional . .............................................. 6 KERANGKA KERJA UNTUK MENDIAGNOSA KENDALA KRITIS PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR ............................... 7 (i) Kerangka Kerja Diagnostik Infrastruktur ................................... 10 (ii) Hipotesa ...................................................................................... 11 III. MASALAH KUNCI DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR ...............................................................................11 IV. FAKTOR KUNCI YANG MEMPENGARUHI INVESTASI INFRASTRUKTUR DI INDONESIA . ................................................ 15 (i) Faktor yang Menghambat Pembangunan Infrastruktur . ............... 17 (ii) Dampak Kelangkaan, Biaya Tinggi, dan Buruknya Kualitas Pada Bisnis yang terkait dengan Infrastruktur ............................. 20 (iii) Perbaikan Lambat dalam keseluruhan Iklim Bisnis dan Investasi Untuk Bisnis yang terkait Infrastruktur Selama Tiga Tahun Terakhir ...................................................................... 20 (iv) Kendala-Kendala Utama Dalam Pembangunan Infrastruktur ....... 22 V. ANALISA SUB-SEKTORAL . .............................................................. 22 (i) Transportasi ................................................................................... 26 (ii) Pelabuhan ...................................................................................... 37 (iii) Kereta api ...................................................................................... 44 (iv) Transportasi Udara ........................................................................ 48 (v) Infrastruktur Listrik ....................................................................... 53 (vi) Telekomunikasi ............................................................................. 62 vii VI. KONSOLIDASI HASIL SURVEY DAN ANALISA SUB-SEKTORAL YANG MENDALAM . ........................................... 73 VII. SEBAB UTAMA KENDALA POKOK YANG DITEMUKAN........... 76 (i) (ii) (iii) (iv) Kesulitan Pembebasan Tanah ........................................................ 76 Kapasitas Manusia dan Kelembagaan yang Lemah ...................... 80 Tata Kelola Pemerintahan yang buruk .......................................... 84 Kekurangan dalam Pendanaan ...................................................... 86 VIII. RENCANA YANG BERORIENTASI PADA PROSES UNTUK MELONGGARKAN KENDALA MENGIKAT: LINTAS SEKTOR.................................................................................. 86 (i) Menyelesaikan Masalah Dalam Pembebasan Tanah ..................... 87 (ii) Memperkuat Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan.................................................................................. 90 (iii) Memperbaiki Tata KelolaPemerintahan ........................................ 93 (iv) Memperbaiki Kesediaan Dana ...................................................... 94 v) Intervensi menurut sektor............................................................... 95 IX. LAMPIRAN ........................................................................................... 97 Lampiran A: Lembaga, Kebijakan, dan Aturan dan Peraturan Kunci dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia....................................... 99 Lampiran B: Transportasi Jalan............................................................. 104 Lampiran C : Pelabuhan.......................................................................... 116 Lampiran D: Kereta Api......................................................................... 122 Lampiran E: Transportasi Udara............................................................ 124 Lampiran F: Listrik................................................................................ 126 Lampiran G: Telekomunikasi.................................................................. 134 DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 138 viii RINGKASAN EKSEKUTIF Di jaman globalisasi dan persaingan internasional, pembangunan sosial-ekonomi yang berkesinambungan serta pengurangan kemiskinan tidak akan bisa tercapai tanpa infrastruktur yang memadai dan efisien. Oleh karena itu kita dapat memahami ketergantungan Indonesia pada pengembangan infrastruktur yang lebih berkualitas, mengingat Indonesia merupakan negara yang secara geografi memiliki daerah perairan dan darat yang sangat luas. Penelitian empiris telah membuktikan adanya pertalian antara infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian akhir-akhir ini memperkirakan bahwa kenaikan 1 persen dalam investasi infrastruktur dapat menyumbang 0,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Namun, keadaan infrastruktur Indonesia saat ini masih jauh dari memuaskan, dan tidak heran jika masyarakat bisnis berkata bahwa ketidak layakan infrastruktur (dalam arti kuantitas dan kualitas) merupakan hambatan terbesar kedua untuk menjalankan bisnis di Indonesia setelah birokrasi pemerintah yang tidak efisien. Ketidak layakan ini secara langsung disebabkan oleh relatif rendahnya investasi di sektor infrastruktur ini. Situasi semakin memburuk setelah terjadinya krisis sektor keuangan Asia di akhir tahun 1990-an. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Indonesia tertinggal dalam berbagai indikator infrastruktur, dibandingkan dengan pesaing-pesaing regional (terutama Malaysia, Thailand dan Vietnam). Faktor lain yang mungkin telah mengakibatkan rendahnya tingkat investasi dalam bidang infrastruktur adalah dilema yang dihadapi oleh pemerintah apakah pemerintah harus mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk mengurangi disparitas regional yang menyolok dalam hal PDB per kapita, kepadatan penduduk, atau infrastruktur dan arus investasi. Namun demikian mengurangi kesenjangan regional tidak boleh dianggap sebagai prioritas jangka pendek. Dengan sumber daya yang amat terbatas (keuangan, fisik, manusia dan kelembagaan), menangani kesenjangan regional dan kendala-kendala pengikat pertumbuhan ekonomi secara serentak akan mengakibatkan kelumpuhan, yang tidak memungkinkan perkembangan sama sekali (bahkan) dalam salah satu dari kedua bidang tersebut. Oleh karena itu sangatlah bijaksana untuk, dalam jangka pendek, memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi (dengan melonggarkan kendala kendala pengikat) dan dalam jangka panjang memusatkan perhatian pada kesenjangan regional. Pemerintah Indonesia telah membuat rencana pembangunan jangka menengah yang ambisius untuk melonggarkan kendala-kendala infrastruktur yang telah memperlambat pertumbuhan ekonomi. Menurut perkiraan sementara, dibutuhkan sekitar Rp 1,429 trillion untuk keperluan ini selama empat tahun yang mendatang (2010-2014). Namun demikian jejak rekam pemerintah Indonesia didalam menerapkan anggaran belanja modal menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan pemerintah, disebabkan oleh lemahnya sumber daya manusia dan kelembagaan. Kendala ini, ditambah dengan sumber daya keuangan yang terbatas (pemerintah pusat hanya dapat membiayai 40 persen dari kebutuhan infrastruktur antara 2010 dan 2014), mendesak pemerintah untuk mencari jalan lain untuk menerapkan rencana investasi infrastrukturnya. ix Dengan demikian tidaklah mengherankan bahwa sektor swasta semakin dianggap sebagai kunci untuk menghasilkan infrastruktur yang dibutuhkan, baik dengan cara menjalankan proyek-proyek secara sendiri ataupun dengan cara Kerja Sama Pemerintah-Swasta (PPP, Public-Private-Partnerships). Namun demikian berbeda dengan banyak negara lain, dimana sektor swasta merupakan pemeran penting dalam pengadaan infrastruktur, di Indonesia sektor swasta mempunyai peran yang kecil (saham sumbangan sektor swasta dalam investasi di infrastruktur adalah kurang dari 1 persen dari PDB). Selama hampir satu dasawarsa, tingkat investasi infrastruktur menurun dari kira-kira 8 persen dari PDB di tahun 1997 ke 3,5 persen di tahun 2006, dan saat ini tingkat investasi tersebut masih tetap rendah dibandingkan dengan tingkat yang dibutuhkan yaitu antara 7 persen dan 9 persen dari PDB. Untuk mengetahui penyebab utama penurunan progresif ini, penelitian ini telah mengembangkan kerangka kerja diagnostik infrastruktur, yang memberikan pendekatan yang konsisten untuk menemukan kendala-kendala paling mengikat bagi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Kerangka kerja ini dimulai dengan sekumpulan faktor penentu dalam pembangunan infrastruktur; diikuti dengan pencarian yang mana diantara faktor-faktor tersebut yang merupakan kendala pengikat utama bagi pembangunan infrastruktur, dan pemahaman distorsi-distorsi tertentu dibalik kendala-–kendala utama tersebut. Kerangka kerja diagnostik ini menitik beratkan pada penyebab-penyebab utama ketidakcukupan infrastruktur dengan tujuan untuk mengembangkan suatu rencana yang berorientasi pada proses untuk memperlonggar kendala-kendala pengikat, sehingga akan mempermudah penggunaan secara efisien sumber daya keuangan dan fisik yang amat langka. Berdasarkan survei primer, ditemukan empat kendala utama. (i) kesulitan dalam pembebasan tanah; (ii) kapasitas manusia dan kelembagaan yang lemah; (iii) tata kelola pemerintahan yang buruk; (iv) dan kurangnya pendanaan jangka panjang. Temuan-temuan survei ini divalidasi dengan sebuah analisa mendalam tentang tiga sub-sektor infrastruktur utama: (i) transportasi (darat, kereta api, pelabuhan dan bandara); (ii) listrik; dan (iii) komunikasi. Berdasarkan hasil survei dan analisa yang mendalam, dua kendala yang paling mengikat adalah: (a) kesulitan dalam pembebasan tanah; dan (b) rendahnya kapasitas manusia dan kelembagaan di pemerintahan. Kendala-kendala yang serupa juga mengganggu inisiatif segitiga pertumbuhan Indonesia- Malaysia-Thailand (IMT-GT) yang diluncurkan pada tahun 1993, yang mengakibatkan kelambatan perkembangannya, terutama dalam hal memperkuat infrastruktur jalan, kereta api, bandara dan pelabuhan di tingkat inter dan intra regional. Sebagai bagian dari peninjauan mendatang tentang IMT-GT, penting sekali dipahami faktor-faktor utama yang menjadi sebab lambatnya perkembangan dalam proyek-proyek induk/utama. Ini harus mendahului fase berikut/Roadmap inisiatif IMT-GT, dan ini bisa dicapai paling baik melalui penelitian diagnostik mendetil yang mencakup ketiga negara tersebut. Jika penemuan kendala-kendala pengikat serta pembuatan dan penerapan strategi untuk memperlonggar kendala yang paling utama x tidak dilakukan, maka perkembangan Roadmap IMT-GT 2007-2011 tidak akan bisa tercapai dan ini akan merugikan pertumbuhan dan pemerataan. Analisa selanjutnya menyoroti bahwa dari perspektif sektor swasta, kendala yang paling mengikat bagi penanaman modal di sektor infrastruktur adalah kesulitan pembebasan tanah. Karena adanya kepemilikan tanah secara pribadi dan beban untuk menyelesaikan masalah kompensasi dengan pemilik tanah terletak sepenuhnya pada penanam modal, masalah menentukan harga yang layak menjadi batu rintangan dalam pembangunan infrastruktur. Di beberapa kasus dimana tanah diperlukan untuk proyek infrastruktur, pemilik tanah melipat gandakan harga, sehingga penyelesaian pembebasan tanah (melalui pembayaran ganti rugi) dapat menunda pelaksanaan proyek sampai lebih dari tiga tahun. Masalah pembebasan tanah, khususnya, sangat sering terlihat dalam proyek-proyek pembangunan jalan dan listrik dimana kebutuhan tanah lebih tinggi. Masalah tersebut diperparah lagi dengan rencana tata ruang yang tidak efisien di tingkat pemerintah daerah/propinsi, di mana hukum dan peraturan daerah yang menentukan area untuk pembangunan infrastruktur belum tuntas. Kendala kedua yang paling mengikat adalah terbatasnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan di pemerintahan yang terlihat dari buruknya kualitas ‘proyek-proyek yang layak didanai bank’ (bankable projects). Hal ini juga tergambar pada prestasi pemerintah dalam pembayaran/penggunaan anggaran belanja. Misalnya, sampai dengan 8 September 2009 hanya 40 persen dari anggaran belanja tahun 2009 dibawah Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang sudah digunakan. Hal ini diperparah dengan keterlambatan dalam menyalurkan dana yang telah dialokasikan untuk pemerintah daerah. Itu sebabnya mengapa pemerintah perlu memiliki keakhlian untuk merancang, mengatur anggaran, dan melaksanakan proyek-proyek yang relevan. Agar sektor swasta dapat berpartisipasi di dalam pembangunan infrastruktur, tingkat pengembalian/keuntungan yang memperhitungkan resiko (risk adjusted rate of return) harus sebanding dengan yang terdapat di negara-negara tetangga di Asia Tenggara (khususnya Malaysia, Thailand dan Vietnam). Saat ini, tingkat keuntungan yang rendah adalah akibat penentuan tarif sosial di beberapa sub-sektor, dan kekhawatiran akan masalah pembebasan tanah. Oleh karena itu, tanpa mengatasi masalah keterampilan dan kapasitas sektor pemerintahan dan tingkat keuntungan yang memperhitungkan resiko atas investasi, maka akan sangat sulit untuk mengembangkan PPP. Tata kelola pemerintahan yang buruk memperparah dampak negatif dari tidak memadainya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan. Berdasarkan pembicaraan dengan sektor swasta, jelas sekali mereka telah memasukkan biaya pencari rente (cost of rent-seeking) kedalam perencanaan dan pembiayaan proyek, dan mereka menganggap ini sebagai bagian dari biaya operasi yang biasa dilakukan.. Aktifitas mencari-rente ini memberi dampak buruk dalam keberlangsungan proyek dan dibeberapa kasus sangat mempengaruhi kualitas proyek. Pada akhirnya, biaya aktifitas tersebut akan ditanggung oleh pengguna akhir produk dan jasa.. Menurut perkiraan Bank Dunia, korupsi dapat menambah sampai 20 persen terhadap biaya menjalankan bisnis di Indonesia, yang mengakibatkan ekonomi mahal dan rendahnya insentif untuk investasi di dalam pembangunan infrastruktur. xi Kendala kunci lainnya adalah kurangnya pembiayaan jangka panjang yang dibutuhkan oleh sektor swasta dalam proyek-proyek infrastruktur. Dari pembicaraan dengan bank komersial lokal diketahui bahwa mereka hanya mau memberikan pembiayaan untuk periode paling lama tujuh tahun, sedangkan bank pemerintah sampai 12 tahun. Biasanya proyek infrastruktur membutuhkan pembiayaan lebih dari 12 tahun. Bank komersial swasta tidak dapat memberikan pembiayaan yang dibutuhkan karena ada ketidakcocokan antara cakrawala waktu untuk sumber pendanaan mereka (jangka pendek) dan kebutuhan pembiayaan untuk proyek infrastruktur (jangka menengah dan panjang). Perlu diingat bahwa saat ini 90 persen dari keuangan bank-bank lokal berasal dari tabungan, giro, dan tabungan berjangka, dan hanya 1 persen berasal dari obligasi jangka panjang. Oleh karena itu struktur pendanaan yang ada tidak cukup untuk membiayai penanaman modal jangka panjang. Dalam konteks ini, sangat penting bagi bank untuk memperluas sumber pendanaan untuk mencakup lebih banyak pembiayaan jangka panjang, dengan mengeluarkan obligasi global atau melalui pinjaman jangka panjang dari bank internasional. Disamping ke empat kendala mengikat tersebut di atas, ada kendala-kendala lain yang khusus ditemukan di beberapa sub-sektor infrastruktur, seperti: • Untuk sub-sektor jalan raya, masalah kurangnya proyek-proyek jalan tol yang layak didanai bank patut dicatat tersendiri karena pemerintah Indonesia sudah berkali-kali mencoba untuk melibatkan sektor swasta ke dalam proyek-proyek yang memberikan keuntungan sosial tinggi, namun rendah keuntungan finansial atas investasi yang ditanamkan. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia harus mengambil keputusan terencana untuk memusatkan perhatian hanya pada proyekproyek yang mendatangkan keuntungan social yang tinggi, dan pada waktu yang bersamaan menciptakan suasana yang menunjang partisipasi sektor swasta dalam proyek-proyek yang mendatangkan keuntungan finansial yang tinggi berdasarkan “bangun-operasi-transfer” (build-operate-transfer) atau “rehabilitasi-operasitransfer” (rehabilitate-operate-transfer). • Untuk sub-sektor pelabuhan, lemahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan di pemerintahan terwujud dalam ketidak-mampuan untuk menyiapkan proyek yang layak didanai bank,yang mengakibatkan adanya suatu persepsi akan rendahnya pengembalian atas penanaman modal atau investasi. Kerangka peraturan yang menghalangi persaingan di sektor pelabuhan memberi dampak buruk pada efisiensi. Hal ini meningkatkan peluang mencari rente dan mendorong perilaku monopoli. Kurangnya pelabuhan perairan dalam dan sistim persungaian yang terancam mampet juga merupakan hal yang mengkhawatirkan karena untuk mendapatkan kedalaman pelabuhan yang layak membutuhkan pengerukan yang mahal dan makan waktu. • Investasi baru dalam transportasi udara juga terhambat akibat persepsi keuntungan yang rendah atas investasi yang ditanamkan. Mengingat luasnya negara Indonesia tidak heran jika ada banyak pangkalan udara, namun banyak diantaranya yang tidak dapat berkembang secara finansial (sekalipun menunjukkan keuntungan sosial yang xii tinggi atas investasi). Di tingkat pemerintah daerah pun, ada keengganan untuk memikul tanggung jawab terhadap bandara-bandara ini karena akan berdampak negatif terhadap anggaran. Didalam konteks ini, pemerintah pusat harus mencari peluang untuk menunjuk perusahaan swasta untuk mengelola pangkalan udarapangkalan udara tersebut atas nama pemerintah. Daripada mengambil banyak operator skala kecil untuk mengelola berbagai pangkalan udara, jika beberapa operator berskala besar ditawarkan peluang paket investasi besar maka adanya skala ekonomi (economies of scale) akan menjadikan pangkalan-pangkalan udara tersebut sebagai proyek investasi yang lebih menarik. • Investasi dalam bidang infrastruktur listrik juga terhalang oleh penentuan tarif sosial (social tariff setting) yang lebih rendah dari biaya pemulihan/pengembalian (cost recovery). Harga listrik yang disalurkan oleh produsen tenaga listrik swasta/ independen (Independent Power Producers-IPPs) di beberapa tempat lebih rendah dari biaya penyediaan (terutama di daerah-daerah terpencil dengan faktor muatan rendah) dan tidak adanya mekanisme pembagian resiko yang adil dengan IPPs. Sekarang ini, bagian besar dari resiko ditanggung sektor swasta, yang tidak mampu dan tidak rela menanggung resiko sebesar itu. Suatu mekanisme pembagian resiko yang efektif harus diciptakan berpedoman bahwa resiko dialokasikan pada pihak yang berada dalam posisi terbaik untuk menangani dan mengatasi masalah listrik. Pemerintah secara ideal berada di posisi tepat untuk menangani resiko-resiko yang berhubungan dengan negara, politik dan/atau tindakan pemerintah, sedangkan distributor (perusahaan milik negara-Perusahaan Listrik Negara/PLN) harus menanggung resiko yang berhubungan dengan operasi jaringan listrik (termasuk penawaran dan permintaan, dan gangguan jaringan). Sektor swasta dan peminjam, dilain pihak, harus memikul resiko yang berhubungan dengan konstruksi, operasi dan pemeliharaan IPPs. • Lingkungan yang bersifat monopoli dan perilaku yang anti kompetitif di bidang telekomunikasi telah mematahkan semangat investasi baru dalam sektor ini. Lagipula lingkungan bisnis ini dipenuhi dengan tidak adanya transparansi dan adanya praktek diskriminasi dalam biaya-biaya inter-operator (ada banyak dugaan bahwa biaya yang ditagih ke anak perusahaan milik pemerintah lebih rendah dari pada yang ditagih ke operator selular lain). Walaupun kendala-kendala khusus untuk sub-sektor diatas memerlukan perhatian, kendala-kendala tersebut harus ditangani oleh kementerian yang bersangkutan, dan mereka tidak boleh mengalihkan perhatian nasional dari kendala-kendala penghalang/ pengikat yang menghambat investasi di sektor infrastruktur secara keseluruhan. Untuk menangani kendala-kendala tersebut di atas dengan cara yang mendatangkan dampak maksimum, sangatlah penting ditekankan bahwa pelonggaran kendalakendala tersebut harus dilakukan secara berurutan. Melonggarkan kendala-kendala pengikat akan menaikkan tingkat keuntungan berdasarkan resiko dan akan mendorong adanya investasi baru. Tambahan pula, kendala-kendala tersebut saling berhubungan antara satu dan lainnya, maka dengan menangani kendala-kendala pengikat, maka xiii hambatan-hambatan (bottlenecks) lain akan sekaligus tertanggulangi. Walaupun analisa-analisa tersebut memberikan gambaran sekilas tentang kendala-kendala yang ada saat ini, analisa ini bukan semata-mata hanya dilakukan untuk sekali saja dan tidak juga bersifat statik. Apabila kendala-kendala tersebut dapat dilonggarkan (di 2426 bulan mendatang), analisa diagnosis harus diulang kembali untuk mengidentifikasi kendala-kendala pengikat dan untuk mengembangkan langkah penanggulangan, kebijakan, dan program untuk melonggarkan/mengendurkan kendala-kendala tersebut di masa mendatang. Untuk menangani kendala-kendala pengikat utama pada pembebasan tanah, pemerintah telah menyiapkan dana bergulir dalam jumlah sekitar Rp. 600 triliun bersamaan dengan pengumuman tentang peraturan pemerintah yang membatasi opsi hukum yang tersedia bagi pemilik tanah dalam menghadapi usaha pemerintah untuk membebaskan lahan bagi proyek-proyek infrastruktur. Jumlah tersebut kemudian dilengkapi dengan alokasi anggaran sebesar 120 juta dolar (Rp.1,2 triliun) untuk membiayai selisih antara harga lahan/tanah perkiraan dan harga lahan/tanah sesungguhnya. Walaupun demikian sangatlah penting bagi pemerintah untuk mengambil tanggung jawab dalam pembebasan tanah, dan investor atau penanam modal mencurahkan perhatian penuh pada pelaksanaan proyek. Selain itu pemerintah harus sigap dalam menyelesaikan pertikaian pembebasan tanah baik melalui jalur hukum maupun melalui peraturan penyitaan tanah yang dilaksanakan dengan cara efektif dan manusiawi. Tanpa adanya mekanisme seperti itu pembebasan tanah yang efektif dan cepat akan tetap tidak tercapai. Pembangunan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan merupakan pokok utama dalam pembangunan dan pertumbuhan masa depan ekonomi Indonesia. Sudah jelas terlihat dari penelitian ini bahwa banyak kendala berhubungan erat dengan masalah pokok tersebut diatas. Sayangnya, tidak ada cara cepat untuk menanggulangi masalah ini. Dalam jangka pendek, beberapa kegiatan (misalnya: identifikasi proyek, dan studi pra- kelayakan) harus dilakukan oleh ahli yang diambil dari luar (pemerintahan). Mitra pembangunan dapat memegang peranan penting dalam pembentukan kapasitas (capacity building) dengan cara mengembangkan serta membiayai program transfer pengetahuan dan keahlian. Mereka harus memusatkan perhatian pada keahlian-keahlian yang berorientasi pada proses dan pengetahuan (software), dan mengembangkan keahlian para petugas yang bersangkutan agar dapat memahami bagaimana menggunakan pengetahuan dan keahlian baru tersebut dalam menangani kendala-kendala utama di dalam investasi infrastruktur. Sebagai salah satu dari program pengembangan tersebut, kapasitas intra- dan inter-kelembagaan harus juga dikembangkan agar lembaga-lembaga pemerintah dapat bekerja sama secara saling melengkapi. Oleh karena itu, perubahan-perubahan hukum dan peraturan mungkin perlu dilaksanakan untuk meningkatkan kapasitas institusi pemerintah dan lembaga-lembaga di bawahnya pada seluruh tingkatan pemerintahan. Meskipun penelitian ini menemukan beberapa kendala, namun dua kendala terbesar adalah kesulitan dalam pembebasan tanah dan rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan. Penelitian ini mengusulkan “rencana berorientasi proses” xiv dengan pendekatan jangka pendek (12-24 bulan) dan jangka menengah (24-60 bulan). Langkah-langkah jangka pendek yang diusulkan untuk pertimbangan pemerintah dalam melonggarkan kedua kendala yang paling mengikat tersebut diatas adalah: i) Meningkatkan efisiensi hukum. Masa tunggu pembebasan tanah yang tegas, begitu tanah tersebut sudah ditetapkan untuk infrastruktur, harus dilaksanakan. Selain itu, pemerintah Indonesia harus melakukan suatu kegiatan patokan internasional untuk mempelajari ‘tindakan terbaik’ (best practices) di negara lain, dan memakai pengalaman-pengalaman tersebut untuk menciptakan mekanisme, peraturan dan kebijakan yang sesuai untuk mempercepat penguasaan tanah (bagi pembangunan infrastruktur). ii) Persiapan penelitian pra-kelayakan. Biaya penelitian seperti ini biasanya sebesar 1-2 persen dari biaya keseluruhan proyek. Berdasarkan rencana pengeluaran pemerintah jangka menengah sebesar sekitar $143 milyar, maka biaya untuk mengadakan penelitian pra-kelayakan proyek-proyek infrastruktur adalah antara $2,2 milyar dan $ 3,7 milyar. iii) Pengembangan Sistim Manajemen (Management Information SystemMIS) untuk proyek-proyek infrastruktur. Sistim ini harus dibuat oleh sebuah perusahaan internasionalyang berpengalaman dibidang tersebut dan akan merupakan pedoman dalam rapat-rapat koordinasi pemerintah dimana hambatanhambatan (bottlenecks) dapat diidentifikasikan, dibahas dan ditanggulangi. Agar MIS tersebut efektif, dia harus dipadukan secara penuh dengan sebuah sistim pengawasan dan evaluasi (Monitoring and Evaluation System- M&E) yang akan dipergunakan untuk menindaklanjuti bermacam-macam proyek. Walaupun titik berat terdapat pada infrastruktur, tidak ada alasan untuk tidak menjalankan sistim MIS dan M&E di lembaga-lembaga pemerintahan lain untuk menyediakan informasi aktual/terkini tentang status proyek. Tujuannya adalah untuk secepatnya melaksanakan sistim MIS dan M&E, sambil memastikan bahwa transfer keahlian dan pembentukan kapasitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan tersebut. Yang lebih penting adalah, harus adanya suatu strategi penyelesaian proyek dan perjanjian kinerja yang jelas bagi para konsultan. Selain itu, pemerintah harus segera memulai kegiatan peningkatan kapasitas bagi para pegawai yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur. Walaupun biayanya terlihat amat tinggi, biaya ini harus dibandingkan dengan biaya akibat tidak terlaksananya proyek pada waktunya, dan tingkat kepercayaan yang terbentuk dalam proyek-proyek potensial yang diajukan oleh pemerintah. Penilaian yang independen dan terpercaya akan menghasilkan banyak proyek yang akan di klasifikasikan kembali sebagai proyek yang ‘layak’ untuk kemitraan pemerintah-swasta, atau bahkan dianggap layak untuk mendapatkan investor swasta. Hal ini akan dapat meringankan beban pemerintah dan dapat membantu melajukan lebih banyak proyek ke tahap implementasi dan operasi. Selanjutnya dalam menjalankan rencana jangka pendek dan menengah berorientasi proses, bank-bank pembangunan multilateral dapat memainkan peranan penengah untuk menjamin hasil yang saling menguntungkan yang akan memicu pertumbuhan inklusif di Indonesia. xv Masalah pendanaan jangka panjang membutuhkan upaya pemerintah yang sungguhsungguh. Namun, dengan menangani masalah prioritas tentang pembebasan tanah dan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan yang tak layak, maka resiko utama yang berhubungan dengan keuntungan atas investasi serta pelaksanaan proyek akan dapat ditanggulangi, dan dengan cara ini, akses terhadap modal (dalam maupun luar negeri) akan menjadi lebih mudah. Secara keseluruhan, analisa ini memberikan pandangan yang sangat berharga tentang faktor-faktor yang menghalangi investasi infrastruktur baik oleh sektor pemerintah maupun swasta dan PPPs. Identifikasi dan prioritas kendala-kendala pengikat tersebut sangat penting untuk perancangan kebijakan dan inisiatif khusus. Bersamaan dengan itu, pelonggaran kendala-kendala tersebut secara cepat akan mempermudah pencapaian pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dan memperbaiki iklim usaha dan investasi serta memperbaiki kualitas hidup di dalam negeri. xvi Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur I. PENDAHULUAN Proyek-proyek infrastruktur dianggap oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah satu prioritas utama untuk masa lima tahun ke depan dalam rangka mendorong pertumbuhan dan mengurangi kemiskinan (i) Latar Belakang Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank-IDB), bekerja sama dengan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank-ADB) dan Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organisation-ILO), melakukan penelitian diagnostik untuk Indonesia berdasarkan kerangka diagnosa pertumbuhan yang dikembangkan untuk pertama kalinya oleh Hausmann, Rodrik, and Velasco (2005)1. Penelitian ini memberikan analisa tentang kendala-kendala yang menghalangi pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif di Indonesia. Kendala-kendala ini diselidiki secara mendetil dengan maksud untuk menentukan kendala-kendala mana yang paling utama. Untuk melonggarkan atau mengurangi kendala-kendala tersebut, mereka dijadikan prioritas dan penelitian ini mengusulkan cara penanggulangan dengan harapan cara tersebut dapat memberikan tuntunan bagi para pembuat keputusan, perencana pembangunan, dan lembaga donor dalam merumuskan strategi pertumbuhan khusus untuk Indonesia. Penelitian ini mempelajari kendala-kendala utama di tiga bidang: i) pertumbuhan ekonomi; ii) penurunan kemiskinan dan ketimpangan; dan iii) ketenagakerjaan. Bagi pertumbuhan ekonomi, ketidakcukupan dan ketidaklayakan infrastruktur diketahui sebagai hambatan utama. Penelitian aspek ini telah dilakukan oleh IDB. Lambatnya perkembangan dan buruknya kualitas infrastruktur disebabkan oleh rendahnya tingkat investasi baik oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta di Indonesia. Rendahnya tingkat investasi pemerintah mungkin disebabkan oleh keterbatasan sumber dana dan lemahnya kapasitas sumber daya manusiaa dan kelembagaan,yang memberi dampak buruk pada kemampuan pemerintah dalam mengidentifikasi, merancang dan melaksanakan proyek infrastruktur yang cocok. Investasi swasta dilain pihak, terhambat oleh ketidaktepatan (berhubungan dengan tata kelola pemerintahan yang buruk dan korupsi), desentralisasi pembangunan infrastruktur, yang mengakibatkan timbulnya praktek–praktek mencari rente, tidak tersedianya pendanaan jangka panjang serta kesulitan dalam pembebasan tanah. Kemitraan Pemerintah-Swasta, yang sudah giat dilakukan di negara-negara lain untuk mengatasi keterbatasan kapasitas pendanaan pemerintah, tidak begitu sukses di Indonesia sebagian besar akibat kegagalan pemerintah dalam mengembangkan proyek-proyek yang layak didanai bank (bankable), lemahnya kerangka hukum dan peraturan, dan kurangnya informasi tentang proyek-proyek infrastruktur. Harus dicatat bahwa faktor-faktor tersebut tidak lebih dari gejala belaka, yang menyembunyikan Hausmann, R., D. Rodrik and A. Velasco, 2005, “Growth Diagnostics,” John F. Kennedy School of Government, Harvard University. 1 1 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur penyebab utama yang sebenarnya. Untuk mengidentifikasi penyebab sesungguhnya, maka problem yang menghambat pembangunan infrastruktur perlu dipelajari secara mendalam. (ii) Mengapa Memusatkan pada Infrastruktur Selama lima tahun terakhir (2005-2009), prestasi ekonomi Indonesia sudah membaik, dengan pertumbuhan rata-rata 5,5 persen. Keberhasilan ini konsisten dengan perbaikan dalam efisiensi yang dicapai oleh pihak pemerintah maupun sektor swasta. Namun jika dibandingkan dengan pertumbuhan tahunan rata-rata yaitu 7,8 persen antara tahun 1988 dan 1997, maka kinerja ekonomi Indonesia jelas tidak menunjukkan prestasi yang maksimum. Salah satu penyebab rendahnya tingkat pertumbuhan ini adalah menurunnya tingkat investasi dalam infrastruktur yaitu 3,5 persen dari PDB tahun 2006, dibandingkan dengan tingkat investasi sebelum krisis yaitu sekitar 8 persen di tahun 1997. Infrastruktur diakui oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu unsur utama perekonomian, mengingat luasnya tanah, keterpencilan serta potensi perdagangan yang belum dimanfaatkan. Para pemangku kepentingan menyadari pentingnya peningkatan investasi di infrastruktur baru, serta pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur yang ada. Penyediaan pelayanan infrastruktur (dalam arti kuantitas dan kualitas) yang tidak memadai dilihat sebagai kendala utama kedua dalam usaha mencapai pertumbuhan yang inklusif setelah birokrasi pemerintah yang tidak efisien (kendala pertama), dan kebijakan yang tidak stabil sebagai kendala ketiga2. Tidak mengherankan kalau masyarakat bisnis pada umumnya, dan para investor pada khususnya, telah menganggap transportasi, listrik dan telekomunikasi sebagai kendala utama dalam melakukan bisnis di Indonesia. Informasi yang ada juga menunjukkan bahwa akses terhadap infrastruktur, antara propinsi, sangat berbeda-beda. Memusatkan perhatian pada infrastruktur sangat dibutuhkan karena: i) kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi; ii) kualitasnya yang relatif lemah; iii) infrastruktur dianggap sebagai penghalang utama dalam melakukan bisnis di Indonesia; dan iv) adanya ketimpangan regional dalam akses ke infrastruktur. Unsur-unsur ini akan dibahas secara mendetil dalam pembahasan berikut. (iii) Kontribusi Untuk Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Beberapa penelitian sudah mempelajari hubungan antara infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Misalnya, Mawardi (2004) menunjukkan bahwa infrastruktur memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi. Temuan ini ditunjang oleh CIDES (2007) dan penelitian empiris oleh Mustajab (2009) yang memperkirakan bahwa 1 persen kenaikan dalam investasi infrastruktur menyumbang 0,3 persen pada PDB3. Hal ini menunjang pendapat yang mengatakan bahwa infrastruktur yang cukup dan berkualitas bagus merupakan penggerak bagi pertumbuhan ekonomi berkesinambungan dan pengurangan kemiskinan di Indonesia4. 2 3 4 World Economic Forum, Global Competitiveness Report, 2009-2010. Mustajab (2009), Ph.D Thesis on Infrastructure Investment in Indonesia”. Lihat bab 2. 2 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Pentingnya infrastruktur dalam pembangunan perekonomian Indonesia telah diakui secara luas. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an, perbaikan infrastruktur pengairan di daerah pedesaan dan jalan raya telah diberikan prioritas utama. Hal ini menyebabkan, antara lain, kenaikan produksi pertanian yang sangat berarti, yang mengantarkan Indonesia pada swasembada beras, makanan utama di Indonesia, pada pertengahan tahun 1980-an. Pada waktu yang bersamaan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar sekitar 7 persen pada tahun 1980-an, yang tidak pernah terjadi sebelumnya, menimbulkankebutuhan yang tinggi terhadap pembangunan infrastruktur, terutama di Jawa dan Bali. Untuk memenuhi permintaan ekonomi yang sedang berkembang, pemerintah harus mempercepat investasi di sektor ini. Sehubungan dengan ini, pemerintah menyetujui enam rencana pokok dibawah program “Pembangunan Untuk Semua” (Development for All) di tahun 2009. Salah satunya adalah pembangunan ekonomi lokal di setiap daerah5. Rencana ini mencakup peningkatan perhubungan antar daerah serta memperbaiki kualitas dan kuantitas infrastruktur. Untuk menangani kendala infrastruktur dan dampak buruknya terhadap pertumbuhan ekonomi, rencana pembangunan jangka menengah 2010-1014 telah mengambil langkah-langkah penyelesaian yang memadai. Karena pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan Indonesia, perlu kita pelajari secara singkat kualitas infrastruktur di Indonesia. (iv) Kualitas Infrastruktur Secara Keseluruhan Menurut World Economic Forum Report (2010), kualitas infrastruktur Indonesia secara keseluruhan berada pada peringkat ke-96 (dari 133 negara yang diteliti), sedangkan Malaysia berada pada peringkat ke-27 dan Thailand ke-41. Namun Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan Filipina (ke- 98) dan Vietnam (ke111) (Gambar1). Hal ini perlu dikhawatirkan karena kondisi infrastruktur sangat erat kaitannya dengan daya saing global suatu negara (misal, infrastruktur yang berkualitas lebih baik akan menyebabkan daya saing yang lebih tinggi). Oleh karena itu tak heran jika buruknya kondisi infrastruktur Indonesia telah berdampak buruk pada peringkatnya dalam daya saing global. Menurut World Economic Forum Report (2010), Indonesia berada pada peringkat 54, dibanding Malaysia (24), dan Thailand (36). Namun Indonesia lebih kompetitif dibanding Filipina dan Vietnam. (v) Lingkungan Bisnis Infrastruktur Infrastruktur yang efisien dan memadai tidak hanya merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi, namun dia juga sangat penting untuk menjamin iklim investasi yang lebih baik serta berfungsinya ekonomi secara efektif. Di Indonesia investasi di bidang infrastruktur menghadapi berbagai tingkat resiko. Misalnya, BMI (2010) melaporkan batas-batas keuntungan potensial atas investasi disebabkan oleh pasar infrastruktur 5 Pidato President RI di depan sidang istimewa paripurna DPRD , tanggal 19 Agustus 2009, Jakarta. 3 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Peringkat Kwalitas Infrastruktur Keseluruhan Peringkat Daya Saing Global yang buruk dan struktur negara di Indonesia dan negara-negara tetangga (Tabel 1). Makin tinggi angka atau skor yang berkenaan dengan pasar infrastruktur dan struktur negara, makin baik negara tersebut. Dalam bidang pasar infrastruktur, skor Indonesia adalah 50, menunjukkan bahwa Indonesia lebih baik dari Malaysia, Thailand dan Filipina. Namun dalam bidang struktur negara, skor Indonesia adalah 45,9 jauh di bawah negara-negara tersebut, yang mengambarkan bahwa investor tidak melihat adanya keuntungan potensial yang tinggi dari investasi infrastruktur. Berkenaan dengan resiko realisasi keuntungan atas investasi, makin rendah skornya, makin baik negaranya. Indonesia, dengan skor 41,8 untuk resiko pasar dan negara (misalnya: birokrasi yang tidak efisien, resiko politik, tingkat korupsi yang lebih tinggi), lebih beresiko dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Menggabungkan semua faktor resiko, skor Indonesia adalah 46,5, lebih rendah dari Vietnam (53,2), Malaysia Tabel 1: Penilaian lingkungan bisnis infrastruktur secara keseluruhan Batas Keuntungan Potensial* Resiko Realisasi Keuntungan** Pasar Struktur Batasan Infrastruktur Negara Keseluruhan Resiko Pasar Resiko Negara Resiko Keseluruhan Peringkat lingkungan bisnis infrastruktur secara keseluruhan Indonesia 50,0 45,9 48,6 24 53,7 41,8 46,5 Malaysia 27,5 71,5 42,9 55 73,5 66,1 49,9 Thailand 25,0 75,7 42,8 55 62,5 59,5 47,8 Filipina 35,0 52,3 41,1 35 51,4 44,8 42,2 Vietnam 65,0 42,3 57,1 35 50,1 44,3 53,2 Sumber: Business Monitor International Ltd. (Q1 2010) Indonesia Infrastructure Report *: Makin tinggi skor pasar infrastruktur dan struktur negara,makin baik negara tersebut. **: Dalam hal resiko realisasi keuntungan, makin rendah skornya, makin baik negara tersebut. 4 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur (49,9), dan Thailand (47,8), menunjukkan bahwa lingkungan bisnis infrastruktur di Indonesia secara relatif buruk, walaupun lebih baik dari Filipina (42,2). Problem struktural yang telah berakar di Indonesia seperti tata kelola pemerintahan yang buruk, resiko politik, dan kerangka hukum yang lemah, serta proses tender yang sama sekali tidak transparan telah menurunkan peringkat lingkungan bisnis infrastruktur Indonesia secara menyeluruh. Misalnya, menurut perkiraan Bank Dunia, korupsi dapat menambah 20 persen terhadap biaya menjalankan bisnis di Indonesia6. Karena rendahnya peringkat kualitas infrastruktur Indonesia, tidak heran bahwa secara nasional ketidakmemadainya penyediaan infrastruktur telah diidentifikasi sebagai faktor penghalang utama kedua untuk melakukan bisnis di Indonesia (Gambar 2). Di negara-negara tetangga Malaysia dan Thailand, para pengusaha dan investor menganggap ketidakmemadai atau ketidakcukupan infrastruktur sebagai faktor penghambat yang ke 10. Dalam hal kecukupan infrastruktur, Indonesia tergelincir dari peringkat ke-53 di tahun 2008 ke peringkat ke-55 di tahun 2009 (dari 57 negara), jauh di belakang Malaysia (26) dan Thailand (42), namun sedikit di atas Filipina7. Temuan-temuan dari sebuah survei yang dilakukan oleh Japan External Trade Organization (JETRO) mengungkapkan bahwa 28,4 persen dari responden perusahaan Jepang yang memiliki investasi aktif atau rencana investasi di luar Jepang menganggap bahwa ketidakcukupan (baik kwantitas maupun kualitas) infrastruktur Estimasi ini dilaporkan di dalam Business Monitor International Ltd., Indonesia Infrastructure Report Q1 2010 IMD World Competitiveness Yearbook (2009). International Institute of Management Development, World Competitiveness Yearbook (2009) mengukur kelayakan infrastruktur berdasarkan seberapa jauh infrastruktur dasar, teknologi, ilmu pengetahuan, kesehatan dan lingkungan serta pendidikan memenuhi kebutuhan para pengusaha dan investor. 6 7 5 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur merupakan kendala investasi yang terbesar di Indonesia. Yang mengkhawatirkan adalah persentase diatas (28,4 persen) menunjukkan kenaikan dari hanya 23,9 persen di tahun 2007. Temuan-temuan ini adalah tolok ukur penting untuk mengetahui persepsi ketertarikan investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia, karena mereka yang belum pernah menanamkan modal di Indonesia mempunyai kemungkinan yang lebih untuk menanamkan modal di negara lain dibandingkan dengan mereka yang sudah menanamkan modal di Indonesia. (vi) Kesenjangan Infrastruktur Regional Di tingkat daerah, masalahnya lebih akut karena adanya kesenjangan yang luas dalam sumber daya alam dan kegiatan ekonomi seperti yang dibahas di bawah ini. Mengingat luasnya Indonesia dan keterbatasan sumber dana, tidak mengherankan ada banyak ketidak seimbangan dalam ketersediaan dan akses terhadap infrastruktur. Contohnya, selain rendahnya teledensitas telepon rumah, terdapat juga disparitas yang amat besar di seluruh negeri, mulai dari teledensitas yang paling tinggi di Jakarta (sekitar 25), menengah di kota-kota besar (11-20), dan paling rendah di pedesaan IndonesiaTimur 0,2) 8. Rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum juga menunjukkan keberagaman yang menyolok di propinsi-propinsi. Pada tahun 2007, hampir 66 persen rumah tangga di Sumatra dan 87 persen di Jawa memiliki akses air minum yang bersih, sedangkan di Kalimantan hanya sekitar 50 persen dari rumah tangga yang dapat menikmati fasilitas ini9. Akses terhadap infrastruktur dan aset produktif juga rendah dan tidak merata di daerah-daerah. Pelanggan listrik, dalam persentasi, berkisar antara 37 sampai 73 persen dan akses pada jalan beraspal/beton, dalam persentasi desa, berkisar antara 40 sampai 72 persen. Ketidak seimbangan di atas disebabkan oleh rendahnya investasi infrastruktur di luar Jawa dan Sumatra. Tahun 2008, Jawa menerima 91,2 persen FDI (Foreign Direct Investment - Investasi Asing Langsung) dan 60,1 persen investasi dalam negeri. Di sisi lain, Sumatra mendapatkan 6,8 persen FDI dan 23,8 investasi dalam negeri. (Tabel 2)10. Hal ini tidak mengherankan karena keuntungan atas investasi akan lebih tinggi di daerah dengan kepadatan penduduk yang juga tinggi. Dalam rencana jangka menengah (2010-2014), pemerintah bermaksud untuk mengalokasi lebih banyak investasi pemerintah ke daerah-daerah yang jelas tidak menarik bagi investor swasta. Ketidak seimbangan daerah harus segera dievaluasi untuk memaksimalkan dampak pengeluaran pemerintah, sekaligus menghindari situasi dimana daerah-daerah terbelakang merasa tersisihkan di dalam proses pembangunan. Berdasarkan hal di atas, sudah jelas bahwa pembangunan infrastruktur yang memadai merupakan hal yang amat penting, tidak hanya untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia namun juga untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Namun kualitas dan kuantitas infrastruktur Indonesia dan keseimbangan regional sangat diperlukan jika Indonesia ingin mencapai pertumbuhan tinggi yang inklusif dan berkelanjutan. 8 9 Village Potency 2008. BPS Susenas Kor 2007. http://www.bkpm.go.id 10 6 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Tabel 2: FDI dan Investasi Domestik Langsung Yang Sudah di Realisasikan dan Produk Regional Bruto Menurut Daerah (persentase dari total) Investasi Asing Langsung yang sudah direalisasikan Investasi Domestik langsung yang sudah direalisasikan Persentase terhadap PDB Propinsi 2006 2007 2008 2006 2007 2008 2007 Sumatera 15,0 13,5 6,8 21,8 30,8 23,8 23,0 Jawa 73,7 82,2 91,2 63,1 53,5 60,1 59,0 Bali danNusa Tenggara 1,8 0,5 0,6 0,5 0,0 0,1 2,7 Kalimantan 8,9 2,9 0,8 12,3 4,5 8,9 9,1 Sulawesi 0,3 0,8 0,4 0,3 11,1 5,6 4,1 Maluku 0,3 - - 0,0 - - 0,3 Papua 0,0 0,0 0,1 2,0 - 1,4 1,9 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Total Untuk FDI and Investasi Domestik, website: http://www.bkpm.go.id Untuk PRB, OECD Economic Survey, Indonesia Economic Assessment (July 2008) Mengingat keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, usaha pemerintah akan lebih berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan jika pemerintah senantiasa memusatkan perhatian untuk melonggarkan kendala-kendala pengikat dalam pembangunan infrastruktur. (Kotak 1). Penelitian ini berfokus pada ketidak-memadainya dan buruknya keadaan infrastruktur di Indonesia dan bagaimana ini telah mempengaruhi pembangunan secara keseluruhan di Indonesia. Bagian II menyajikan suatu kerangka kerja yang dikembangkan dalam penelitian ini. Bagian III memberikan sebuah perspektif pada apa saja kendala pengikat untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Bagian III diikuti dengan analisa yang lebih mendalam mengenai beberapa sub-sektor kunci di Bagian IV diikuti oleh Bagian V, dimana kesimpulan utama dari penelitian ini disajikan. II. KERANGKA KERJA UNTUK MENDIAGNOSA KENDALA KRITIS PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Menggunakan pendekatan diagnostik pertumbuhan yang dikembangkan oleh Hausmann, Rodrik, dan Velasco (2005), kerangka diagnostik untuk sektor infrastruktur telah dikembangkan (Gambar 3). Tambahan terhadap pendekatan Hausmann, Rodrik, dan Velasco adalah dimasukkannya peran semua pemangku kepentingan (sektor pemerintah dan swasta, kemitraan pemerintah dan swasta, dan para investor asing) ke dalam pembangunan infrastruktur, berbeda dengan pendekatan yang sematamata hanya memperhatikan pada investasi swasta. Kerangka kerja ini memberikan pendekatan yang konsisten untuk mengidentifikasi kendala yang paling mengikat dalam pembangunan infrastruktur. Pendekatan ini merupakan alat praktis untuk para 7 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 1: Mengurangi kesenjangan antar daerah harus menjadi prioritas jangka panjang Ada kesenjangan yang tinggi di Indonesia antar daerah dilihat dari beberapa perspektif. Misalnya PDB per kapita berkisar antara Rp. 2,4 juta di Gorontalo dan Rp. 36,7 juta di Jakarta; kepadatan penduduk bervariasi mulai hanya 5 orang per km2 di Papua sampai 13.560 orang per km2 di Jakarta, Selain itu, kesenjangan antar daerah juga jelas dalam hal besarnya arus investasi dan infrastruktur di tingkat regional. Kesenjangan ini disebabkan rendahnya tingkat investasi di daerah-daerah, yang disebabkan oleh proses pengambilan keputusan berdasarkan keuntungan finansial dan sosial atas investasi. Contohnya dalam penyediaan listrik di mana biaya jasa bervariasi antara sekitar Rp1000 per Kw untuk Rp4000 per Kw di daerah yang berbeda (karena harga sudah tetap dan seragam di seluruh negeri, melayani sedikit orang di daerah berpenduduk jarang akan menyebabkan kerugian tinggi). Oleh karena itu, dalam hal infrastruktur (transportasi, komunikasi dan listrik), tidak mengherankan bahwa daerah-daerah padat penduduk lebih cenderung memiliki infrastruktur yang lebih cukup, yang juga berkualitas lebih tinggi. Mengingat terbatasnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan dalam pemerintahan, iklim bisnis dan investasi secara keseluruhan, ada timbal balik (tradeoffs) dalam pemulihan ketidakseimbangan regional. Dalam jangka pendek, dengan berfokus pada pelonggaran kendala pengikat yang terdentifikasi, pemerintah akan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk investasi yang lebih tinggi, membawa negara ke arah pertumbuhan yang lebih tinggi, dan dengan demikian meningkatkan taraf hidup sebagian besar penduduk. Namun, jika, dalam jangka pendek, pemerintah memutuskan untuk mencurahkan perhatian pada penanganan masalah kesenjangan antar daerah, ada resiko bahwa langkah tersebut tidak dapat memberikan dampak baik pada kesenjangan maupun pertumbuhan ekonomi (karena pemerintah memiliki keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan dan tidak akan mampu untuk mengatasi kendala pengikat). Dengan demikian, pemerintah harus mempertimbangkan biaya peluang antara memilih keputusan populis untuk mengurangi kesenjangan antar daerah atau mengejar pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, karena sumber daya yang terbatas (keuangan, fisik, kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan) dalam pemerintahan, maka sebaiknya pemerintah tidak memaksakan diri untuk mencapai sesuatu melebihi kapasitasnya untuk melaksanakan. Menghadapi kesenjangan antar daerah dan kendala pengikat pertumbuhan ekonomi secara bersamaan dapat menyebabkan kelumpuhan, tanpa mencapai kemajuan di salah satu kedua masalah tersebut. Oleh karena itu, maka lebih bijaksana bagi pemerintah untuk memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek (dengan mengendorkan kendala pengikat) dan pada kesenjangan antar daerah dalam jangka panjang. 8 Gambar 3: Kendala Kritis dalam Pembangunan Infrastruktur Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur 9 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur pembuat kebijakan yang dapat digunakan dalam merumuskan strategi untuk sektor infrastruktur. Kerangka kerja ini juga dapat membantu komunitas donor internasional dalam rangka penyediaan dana yang ditujukan untuk menghapus kendala pengikat yang dihadapi oleh berbagai sub-sektor, sehingga dapat memaksimalkan dampak pembangunan mereka pada Indonesia. (i) Kerangka Kerja Diagnostik Infrastruktur Kerangka penelitian ini dimulai dengan sekumpulan faktor penentu dalam pembangunan infrastruktur; dilanjutkan dengan pengidentifikasian yang mana diantara mereka yang merupakan kendala yang paling mengikat bagi pembangunan infrastruktur, serta menentukan penyimpangan-penyimpangan (distortion) tertentu dibalik kendala– kendala pengikat tersebut. Kerangka kerja yang digunakan menangani sebab-sebab utama kelemahan infrastruktur, yang berujung pada sebuah agenda kebijakan yang berfokus pada pelonggaran kendala-kendala pengikat. Pendekatan ini sangat terarah, dibandingkan dengan pendekatan “laundry list” dalam Konsensus Washington, yang mencoba menghilangkan seluruh ketidak beresan secara serentak. Kendala kritis pembangunan infrastruktur di Indonesia terkait dengan tiga faktor besar: (i) rendahnya investasi pemerintah, (ii) rendahnya investasi swasta, dan (iii) lemahnya kemitraan pemerintah-swasta. Untuk menentukan penyebab pokok yang menyebabkan rendahnya tingkat investasi di masing-masing kategori, masalahmasalah dan penggerak di balik ketiga faktor tersebut diteliti. Rendahnya Investasi Publik Dalam Infrastruktur: Diagnosa mulai dengan mempelajari mengapa tingkat investasi dalam sektor ini rendah. Apakah ini karena keterbatasan anggaran, atau kapasitas pelaksanaan yang terbatas? Apakah ini karena korupsi atau tata kelola pemerintahan yang buruk? Lemahnya Kemitraan Pemerintah-Swasta: Diagnosa membahas secara keseluruhan tentang apa yang merupakan faktor utama yang membatasi kemitraan pemerintahswasta (PPP) dalam infrastruktur. Apakah PPP lemah karena kurang banyaknya proyek yang layak pendanaan atau karena kerangka hukum tidak mencukupi? Rendahnya Investasi Swasta dalam Infrastruktur: Kerangka diagnostik melihat secara dalam apa yang menghambat tingkat investasi swasta di sektor ini. Apakah rendah karena resiko mikro (yaitu, biaya tinggi melakukan bisnis) atau resiko makro (yaitu, keuangan, moneter dan ketidak-stabilan fiskal)? Hambatan dalam pembangunan infrastruktur diperiksa secara lebih rinci dengan menggunakan data dan informasi terbaru yang tersedia. Hal ini memungkinkan penentuan kendala pengikat dalam setiap kategori, dan memfasilitasi pengembangan solusi yang spesifik untuk setiap sektor-sub. Berdasarkan kerangka diagnostik, hipotesis berikut ini telah dikembangkan dan diuji / divalidasi. 10 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur (ii) Hipotesa Rendahnya Tingkat Investasi Publik dalam Infrastruktur (a)Pemerintah memiliki kapasitas yang terbatas dilihat dari segi sumber daya manusia dan kelembagaan.. Hal ini berdampak buruk pada kemampuan pemerintah untuk mengidentifikasi dan menerapkan proyek-proyek infrastruktur yang sesuai. (b)Kemampuan pemerintah untuk meningkatkan investasi publik dalam infrastruktur baru, serta pemeliharaan dan rehabilitasi infrastruktur yang ada terhambat oleh sumber keuangan yang terbatas. Rendahnya Tingkat Investasi Swasta Dalam Infrastruktur (c) Investasi swasta dalam infrastruktur, khususnya jalan, jalan tol, dan listrik, terhambat oleh masalah pembebasan tanah. (d)Rendahnya tingkat investasi swasta terutama disebabkan oleh buruknya tata kelola pemerintahan dan korupsi. Masalah ini diperparah oleh desentralisasi kekuasaan, yang telah menciptakan kegiatan mencari-rente, termasuk pada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. (e)Ketidak-tersediaan pendanaan jangka panjang merupakan faktor yang menghambat bagi investasi swasta dalam proyek infrastruktur, yang biasanya membutuhkan waktu penyelesaian proyek yang lama. (f) Resiko mikro, khususnya sekitar biaya melakukan bisnis, ditambah dengan lemahnya kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia, menyebabkan adanya proyek-proyek infrastruktur yang layak didanai bank yang tidak dipersiapkan dengan baik, yang membuat sulit untuk menarik investor swasta masuk ke sektor ini. Lemahnya Kemitraan Pemerintah-Swasta (g)Kemitraan publik-swasta yang lemah disebabkan oleh kurang banyaknyaproyekproyek yang layak didanai bank, kurangnya kapasitas kelembagaan, lemahnya kerangka hukum,atau penyediaan infrastruktur berkualitas rendah dan tidak memadai. III. MASALAH KUNCI DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Mengikuti kerangka kerja di atas, tiga faktor besar yang menghambat pembangunan di Indonesia sudah didentifikasi. Yakni, rendahnya investasi publik, rendahnya investasi swasta, dan lemahnya kemitraan pemerintah-swasta. Sub-seksi berikut akan membahasa kendala-kendala penting yang mempengaruhi investasi publik dan swasta, dan kemitraan pemerintah-swasta di Indonesia. Rendahnya Investasi Dalam dan Luar Negeri Buruknya kualitas dan ketidak-memadainya infrastruktur yang sesuai terkait erat dengan rendahnya tingkat investasi. Sejak krisis Asia, Indonesia tidak mampu 11 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur menyediakan dana yang memadai untuk pembangunan infrastruktur. Setelah krisis, investasi di sektor ini menurun secara signifikan dari sekitar 8 persen terhadap PDB pada 1997 menjadi sedikit di atas 2 persen pada tahun 2000, kemudian meningkat secara bertahap menjadi sekitar 3,5 persen pada tahun 2006. Walaupun situasi telah membaik sejak tahun 2000, tingkat investasi masih jauh di bawah tingkat sebelumkrisis. Penting untuk dicatat bahwa pada tahun 2005, investasi infrastruktur di Indonesia (sekitar 3 persen dari PDB) lebih rendah dibandingkan di Malaysia, Thailand dan Vietnam (lebih dari 7 persen dari PDB), namun setara dengan di Filipina11. Investasi dari sektor swasta maupun sektor publik telah menurun, namun penurunan investasi sektor swasta lebih drastis, menurun hingga di bawah 1 persen dari PDB dari 2 persen pada pertengahan 1990-an (Gambar 4). Investasi swasta sangat terkonsentrasi pada bidang enerji, telekomunikasi, listrik dan transportasi (terutama jalan tol). Jumlah investasi yang rendah ini harus dilihat dalam konteks rencana pemerintah jangka menengah (2010-2014), dimana Indonesia akan memerlukan investasi infrastruktur paling tidak 5 persen dari PDB12, dan Bank Dunia memperkirakan investasi yang dibutuhkan antara 7 persen dan 9 persen dari PDB13. Secara absolut, dalam rencana jangka menengah, diperkirakan Rp. 1.924 trilyun akan diperlukan untuk investasi di bidang infrastruktur. Pemerintah dengan jelas telah menyatakan ketidakmampuannya untuk membiayai kebutuhan infrastruktur, dan berusaha memanfaatkan dana dari sektor swasta (domestik dan asing) serta menggerakkan sumber daya dari mitra pembangunan. FDIadalah sebuah sumber penting dalam pembiayaan sektor infrastruktur. Seperti halnya investasi swasta domestik, arus FDI baru pulih perlahan-lahan dalam beberapa tahun terakhir, namun tetap lebih rendah dari tingkat sebelum krisis. Data yang ada menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar antara nilai FDI yang disetujui dengan realisasi, khususnya pada tahun 2007. Pada tahun 2003, kesenjangan itu sekitar $10 milyar, yang naik menjadi hampir $30 milyar pada tahun 2007. Perlu dicatat bahwa hampir sepertiga dari FDI di tahun 2007 merupakan investasi di sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi (Tabel 3). Kesenjangan yang makin tajam antara FDI yang disetujui dan yang direalisasikan merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan bagi komunitas investasi dan dampaknya terhadap lingkungan bisnis di Indonesia. Melemahnya Kemitraan Publik-Swasta Tingkat partisipasi swasta dalam proyek infrastruktur menurun dari sekitar $ 7,5 miliar dalam tahun 1996 sampai kurang dari $1 milyar pada tahun 2000. Tingkat partisipasi ini tetap rendah antara tahun 2001 dan 2005 (berkisar dari $1milyar ke $2 miliar per tahun), tapi mulai berkembang sejak tahun 2005, mencapai sekitar $ 5 milyar di tahun 2007. Namun, tingkat partisipasi ini masih lebih rendah dari keadaan di tahun 1996 (Gambar 4). Secara kumulatif, antara 1990 dan 2007, sektor swasta World Bank. 2005. Connecting Asia: A New Framework for Policy and Action. Bappenas. Rencana Jangka M(2010-2014). Bappenas. Rencana Jangka M(2010-2014). 11 12 13 12 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Gambar 4: Investasi Infrastruktur di Indonesia, 1996-2006 9.0 (persen dari PDB) 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 1996 1997 1998 Swasta 1999 BUMN 2000 2001 2002 2003 Pemerintah daerah 2004 2005 2006 Pemerintah pusat Sumber: Data disediakan oleh Asian Development Bank, Jakarta, Indonesia berpartisipasi dalam 86 proyek infrastruktur bernilai lebih dari $ 40 milyar, terutama dalam sektor listrik, telekomunikasi, dan jalan. Rencana Investasi Infrastruktur Jangka menengah Menurut perkiraan sementara, dalam rencana jangka menengah infrastruktur untuk 2010-2014, pemerintah telah memperkirakan total kebutuhan pembiayaan infrastruktur sebesar Rp 1.429 triliun, dengan rata-rata pertumbuhan tahunan lebih Tabel 3: Investasi Asing Langsung yang disetujui dan yang di realisasikan di Indonesia, 2003-20071/ 2003 2004 2005 2006 2007 16.305 10.471 13.640 15.665 40.146 2,2 2,6 0,2 7,5 3,6 Konstruksi (persen dari total) 5,5 9,2 12,4 16,3 4,3 Transportasi, Pergudangan & Komunikasi (persen dari total) 28,2 5,6 22,8 1,9 12,0 5.445 4.572 8.911 5.992 10.341 Yang termasuk didalamnya: Listrik, Gas & Air Minum (persen dari total) 1,4 0,1 0,8 1,8 1,2 Konstruksi (persen dari total) 1,9 8,4 10,3 2,4 4,3 Transportasi, Pergudangan & Komunikasi (persen dari total) 49,0 2,3 33,1 10,8 32,0 -10.860 -5.899 -4.729 -9.673 -29.805 FDI yang disetujui (US $ juta) Yang termasuk didalamnya: Listrik, Gas & Air Minum (persen dari total) Realisasi FDI (US $ juta) Selisih antara FDI yang disetujui dan yang direalisasi (US $ juta) Source: Indonesia, Memorandum Penawaran (April 2009), dan BKPM. 1/Kecuali FDI dalam proyek minyak dan gas bumi, perbankan, lembaga keuangan non-bank, asuransi, leasing, pertambangan, portofolio serta investasi rumah tangga . 13 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur dari 12 persen untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sekitar 5 sampai7 persen per tahun. Pemerintah menargetkan peningkatan saham investasi infrastruktur sampai 5 persen dari PDB (Gambar 5). Selama lima tahun ke depan, pemerintah akan mempromosikan perbaikan iklim investasi dengan melibatkan sektor swasta. Pemerintah juga merencanakan untuk melakukan berbagai reformasi untuk menarik investor domestik dan asing untuk berinvestasi di infrastruktur. Dalam hal ini, pemerintah telah menerbitkan Buku PPP, yang berisi rencana-rencana untuk proyekproyek infrastruktur yang akan ditawarkan kepada sektor swasta. Dalam Buku PPP, 100 proyek dengan total biaya $7,3 milyar telah diidentifikasi, terutama di jalan tol, penyediaan air, kereta api dan listrik14. 400 Gambar 5: 5: Permintaan jangakGambar Permintaanuntuk untukRencana Rencana infrastruktur infrastruktur jangkamenengah didiIndonesia, Rp.milyar) ) menengah Indonesia,2010-2014 2010-2014 (( Rp.milyar 358 350 345 311 300 234 250 200 180 150 100 50 0 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber: BAPPENAS, 2010 Dalam rencana jangka menengah, kapasitas pemerintah pusat untuk membiayai hanya 47 persen sedangkan sisa kesenjangan akan ditanggung oleh pemerintah daerah (28 persen) dan PPP (25 persen). (Gambar 6)15. Meskipun ada upaya bersama oleh pemerintah16, investasi kemitraan publikswasta dalam infrastruktur belum tercapai sejauh yang diinginkan. Oleh karena itu, World Bank dan IFC (June 2009). Dinyatakan oleh Deputi Menteri untuk Rencana Pembangunan Nasional Badan, Dedy Priatna, 17 Desember 2009. Misalnya, dari perspektif kelembagaan, selain instansi-instansi yang berhubungan dengan infrastruktur, pada tahun 2005 pemerintah menghidupkan kembali Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) untuk lebih mengintegrasikan upaya-upaya mengatasi meningkatnya permintaan untuk infrastruktur. Sejumlah unit pendukung seperti Unit Manajemen Risiko dan Badan Investasi Pemerintah di bawah Departemen Keuangan didirikan bersama dengan sejumlah pusat PPP, Pusat Koordinasi Pemerintah-Swasta dan Badan Layanan Umum. Sejumlah kegiatan untuk mendorong investasi swasta di bidang infrastruktur, seperti Infrastructure Summit 2005, dan Infrastructure Forum2006, telah dilakukan.. Pada tahun 2006, pemerintah meluncurkan Paket Kebijakan Investasi yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan koordinasi antar kementerian yang menangani pembangunan infrastruktur dan peraturan-peraturan. Undang-undang Anggaran Tahun 2008 juga menunjukkan peningkatan dukungan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. 14 15 16 14 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur penghambat partisipasi sektor swasta di bidang infrastruktur harus dianalisa. Selain itu, harus dipastikan bahwa proyek-proyek potensial dikemas dengan tepat sehingga mereka menjadi lebih menarik bagi sektor swasta untuk berpartisipasi. Untuk mencapai hal ini, kapasitas lembaga yang bersangkutan dalam melaksanakan proyek-proyek kerjasama publikswasta perlu diperkuat di berbagai bidang seperti persiapan dan pemasaran proyek yang layak didanai bank untuk menarik dana jangka panjang dalam negeri dan asing (Gambar 7). Atas dasar tersebut di atas, jelaslah bahwa tingkat investasi masih jauh di bawah kebutuhan untuk membangun perekonomian yang kompetitif dan berkembang pesat. Oleh karena itu, sudah sepantasnya perlu diperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang penyebab pokok di balik rendahnya tingkat investasi tersebut. Untuk melakukannya, perlu dilakukan suatu analisis tentang sub-sektor infrastruktur yang penting. IV. FAKTOR KUNCI YANG MEMPENGARUHI INFRASTRUKTUR DI INDONESIA INVESTASI Untuk menentukan sebab utama investasi yang tidak memadai di sektor infrastruktur, IDB melakukan sebuah survei primer terhadap beberapa pemangku kepentingan 15 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur terpilih yang aktif di sektor infrastruktur antara bulan November dan Desember 2009 di Jawa. Untuk lebih memahami berbagai pertanyaan yang akan digunakan untuk survei sesungguhnya, sebuah survei uji coba kuesioner menggunakan diskusi tatap muka, dilaksanakan di Jawa. Berdasarkan survei uji coba ini, kuesioner kemudian disempurnakan dan kemudian dikirim ke perusahaan-perusahaan besar yang mewakili sektor publik dan swasta, kemitraan publik-swasta, dan lembaga keuangan yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur. Ukuran sampel secara keseluruhan adalah 55 pemangku kepentingan kunci (termasuk yang dicakup dalam uji coba kuesioner). Responden dipilih berdasarkan keterlibatan mereka dalam sektor infrastruktur, khususnya di bidang transportasi, komunikasi, listrik, air dan sanitasi serta lembaga yang secara aktif terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur. Tujuan utama survei itu adalah untuk memperoleh pemahaman dari tangan pertama tentang alasan pokok yang menghambat investasi infrastruktur di Indonesia. Secara khusus, fokus utama survei adalah pada faktor yang berhubungan dengan kegagalan pemerintah. Keputusan ini diambil berdasarkan diskusi-diskusi sebelum survei, pertama dalam lokakarya awal (Agustus 2009) dan kemudian di lokakarya konsultasi (November 2009) di Jakarta yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan sektor publik dan swasta. Dari 55 responden potensial, tanggapan diterima dari 30 individu baik dari sektor publik (8 tanggapan) dan swasta (22 tanggapan), berarti tingkat respon (response rate) sebesar 55 persen, cukup layak dari sudut pandang statistik. Kuesioner ini terdiri dari enam bagian, mencakup hal-hal yang merupakan perhatian utama para pemangku kepentingan kunci di sektor infrastruktur. Lima bagian pertama membahas hal-hal yang berkaitan dengan ketenaga-kerjaan, modal, tanah dan lingkungan, dan kepemerintahan serta biaya melakukan bisnis. Bagian VI bertujuan untuk menggali iklim bisnis dan investasi serta kemajuan yang dicapai oleh pemerintah selama tiga tahun terakhir. Sebagian besar pertanyaan berkaitan dengan ketersediaan/akses terhadap sumber daya, biaya dan kualitas sumber daya yang tersedia; dan dampaknya terhadap kegiatan yang berkaitan dengan infrastruktur di Indonesia. Semua faktor ini saling terkait satu dengan yang lainnya. Semua pertanyaan ditentukan berdasarkan kategori sebagai berikut. • Ketersediaan/Akses: Fokus dari pertanyaan ini adalah pada ketersediaan/akses terhadap faktor tertentu, semata-mata dari perspektif kuantitatif. Misalnya, dana/pembiayaan jangka pendek mungkin tersedia secara luas (yaitu, tidak ada kelangkaan/kekurangan dana), tetapi pada kenyataannya mungkin biaya untuk mengakses pembiayaan tersebut atau syarat-syarat yang terkait dengan dana tersebut yang tak terjangkau. Oleh karena itu dalam konteks ini, responden akan menyatakan bahwa pendanaan jangka pendek tersedia meskipun ada masalah biaya untuk mengakses dana tersebut. 16 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur • Biaya: Dalam kategori ini, fokusnya hanya pada biaya variabel. Para responden ditanyai tentang persepsi mereka terhadap biaya sumber daya yang tersedia termasuk tanah, tenaga kerja, dan modal dalam biaya total produksi. • Kualitas: Kualitas adalah petunjuk tingkat kepuasan yang diperlihatkan oleh responden terhadap suatu masalah tertentu/variabel. Meskipun kualitas dan biaya cenderung sejalan searah, untuk pertanyaan mengenai masalah kualitas, biaya tidak dipertimbangkan. Misalnya, tentang layanan/jasa pengiriman, fokus sepenuhnya adalah pada tingkat pelayanan yang diterima, bukan pada apakah jasa tersebut telah memenuhi standar sesuaidengan biaya yang dikeluarkan. • Dampak terhadap Bisnis: Pada pertanyaan ini, dampaknya tidak murni terkait dengan keuntungan atas investasi, namun lebih pada pengaruh dari berbagai faktor, seperti produktivitas, kerangka hukum dan kemudahan melakukan bisnis di iklim usaha dan investasi secara keseluruhan. Setiap respon memberikan perspektif/fokus sempit pada unsur yang dipertimbangkan. Jika dilihat secara terpisah, ada kemungkinan diperoleh hasil yang yang berfokus pada “mengobati gejala” daripada berfokus pada penyelesaian akar masalah, akibat dari pemahaman parsial/sebagian yang diperoleh dari analisa. Namun, untuk dapat memperoleh perspektif yang lebih menyeluruh tentang masalah infrastruktur, kita harus melihat respon-respon untuk semua kategori (ini dibahas secara lebih rinci di bawah sub-bagian iv): “Kendala Pengikat Utama dalam Pembangunan Infrastruktur”). (i) Faktor yang Menghambat Pembangunan Infrastruktur Berdasarkan analisa hasil survei, dibawah ini disajikan temuan-temuan tentang faktor yang berhubungan dengan ketersediaan, biaya, kualitas dan dampak terhadap bisnis yang berhubungan infrastruktur. Kelangkaan Dalam hal ketersediaan/akses, (1) kurangnya koordinasi di dalam pemerintahan; (2) rendahnya kualitas proyek yang layak didanai bank, dan (3) lemahnya kapasitas pelaksanaan pemerintah, disorot sebagai faktor kunci yang menghambat pembangunan infrastruktur. Hasil survei menunjukkan bahwa antara 48 persen dan 62 persen dari responden melaporkan faktor-faktor tersebut sebagai suatu kelangkaan (Gambar 8). Khususnya, 62 persen responden menyatakan lemahnya koordinasi di antara berbagai tingkatan pemerintahan yang berurusan dengan infrastruktur. Tiga unsur di atas (yaitu kurangnya koordinasi, rendahnya kualitas proyek-proyek yang layak didanai bank dan lemahnya kapasitas implementasi) adalah indikasi dari lemahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan dalam pemerintahan, dan kelangkaan kapasitas tersebut telah diidentifikasi oleh para pemangku kepentingan sebagai kendala investasi infrastruktur. 17 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kekurangan "artisan" Kekurangan pekerja tak berketerampilan Kekurangan pekerja berketerampilan teknik kesulitan dalam hubungan dengan pemerintah daerah Kesulitan dalam hubungan dengan pemerintah pusat Kelangkaan pendanaan jangka pendek Kelangkaan pendanaan lokal Kurangnya staff tingkat manajemen Kurangnya insentif investasi Lemahnya kapasitas implementasi Kurangnya pendanaan jangka panjang Kelangkaan pendanaan internasional Kesulitan mendapatkan lahan Kurangnya koordinasi dalam pemerintahan Rendahnya kualitas proyek layak dana 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Gambar 8: Faktor yang Menghambat Pembangunan Infrastruktur di Indonesia (% responden melaporkan faktor ini sebagai suatu kelangkaan) Sumber: IDB (Desember 2009) Survei dilakukan untuk menjalankan penelitian diagnostik dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia Keprihatinan juga dinyatakan pada masalah ketersediaan lahan karena 52 persen responden mengatakan bahwa akses terhadap lahan merupakan suatu penghalang bagi pembangunan infrastruktur, terutama untuk proyek-proyek jalan/jalan tol, listrik, dan komunikasi. Selain itu, pembiayaan, khususnya yang bersifat jangka panjang, disorot juga sebagai hambatan, dengan 48 persen responden menyebutkan pendanaan jangka panjang sebagai suatu kelangkaan. Hal-hal lain seperti kurangnya insentif investasi juga disebutkan sebagai suatu kerisauan oleh 40 persen responden. Kurangnya insentif ini harus dilihat dalam konteks kualitas iklim usaha dan dukungan dari pemerintah untuk investasi dan kegiatan bisnis baru. Hal ini, yang disertai dengan kurangnya tenaga terampil (staf manajerial dan tenaga ahli teknis), juga adalah faktor penghalang. Namun, mereka tidak mengikat, dan dapat diselesaikan begitu kendala utama (kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia, pembebasan tanah dan ketersediaan dana) tertangani atau terselesaikan. Biaya Pembebasan tanah diidentifikasi sebagai faktor kendala yang paling utama atau signifikan dengan 69 persen responden mengatakan bahwa penguasaan lahan untuk proyek infrastruktur cukup mahal. Selain itu, tata kelola pemerintahan yang buruk (yang tercermin pada tingginya kegiatan mencari rente) telah diungkapkan oleh 58 persen responden (Gambar 9). Tingginya biaya pendanaan, terutama yang jangka pendek, juga muncul sebagai permasalahan, disertai dengan masalah perijinan usaha (indikasi biaya melakukan 18 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Gambar 9: Faktor yang Menghambat Pembangunan Infrastruktur di Indonesia (% responden melaporkan faktor ini mahal) 70% 60% 50% 40% 30% 20% Tingginya biaya "artisan" Tingginya tingkat upah Tingginya biaya pekerja tak berketerampilan Tingginya biaya pekerja per unit Tingginya biaya staf tingkat manajemen Mahalnya biaya kepatuhan pada administrasi pajak Tingginya biaya berinteraksi dengan pemerintah pusat ,Tingginya biaya pekerja yang berketerampilan Mahalnya pendanaan internasional Tingginya biaya melakukan bisniss Mahalnya kepatuhan kepada peraturan perburuhan Mahalnya biaya berhubungan dengan pemerintah daerah Tingginya tingkat pajak daerah Mahalnya kepatuhan kepada peraturan Tingginya pajak pemerintah daerah Mahalnya pendanaan jangka panjang Mahalnya pendanaan lokal Mahalnya kepatuhan kepada peraturan lingkungan Tingginya ongkos perijinan usaha Mahalnya pendanaan jangka pendek Tingginya harga tanah 0% Tingginya kegiatan mencari rente 10% Sumber : IDB (Desember 2009) Survei dilakukan untuk menjalankan penelitian diagnostik dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia bisnis). Namun, kecil persentase responden yang menyatakan tingginya biaya tenaga kerja (misal manajerial, pengrajin (artisan), dan tenaga kerja tidak terampil). Kualitas Proyek yang layak didanai bank telah dinyatakan oleh semua responden (100 persen) sebagai proyek berkualitas buruk (Gambar10). Ini menggambarkan masalah mendasar dalam kapasitas pemerintahan, terutama tentang kemampuannya untuk mempersiapkan proyek yang layak didanai bank secara tepat. Perlu ditegaskan kembali bahwa responden berasal dari sektor swasta dan publik dan lembaga yang aktif terlibat dalam sektor infrastruktur, baik dalam kapasitas mereka sebagai penasihat atau pembiaya. Oleh karena itu, di dalam sektor publikpun ada perasaan yang kuat bahwa kekurang memadainya kapasitas merupakan kendala untuk mempersiapkan proyek yang layak didanai bank. Lemahnya tingkat koordinasi di dalam pemerintah diidentifikasi oleh 85 persen responden. Ketidak efektifan interaksi pemerintah propinsi dinyatakan oleh 67 persen responden, sedangkan ketidak efektifan pemerintah pusat dinyatakan olehhanya 46 persen responden. Dengan demikian, jelas bahwa kerisauan tentang kualitas adalah lebih terlihat di tingkat provinsi dibandingkan dengan tingkat nasional. Informasi ini kembali menekankan keprihatinan tentang lemahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan dalam pemerintahan, khususnya di daerah/pemerintah daerah. 19 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Buruknya kualitas pekerja berketerampilan teknik Buruknya kualitas staf tingkat manajemen Lemahnya administrasi pajak Lemahnya peraturan perburuhan Buruknya kualitas pekerja tak berketerampilan Tidak efektinya hubungan dengan pemerintah pusat Buruknya kualitas "artisan" Tak memadainya kapasitas implementasi Lemahnya lingkungan peraturan Tidak efektifnya hubungan dengan pemerintah daerah Lemahnya koordinasi antara berbagai tingkat… Buruknya kualitas proyek layak dana 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Gambar 10: Faktor yang Menghambat Pembangunan Infrastruktur di Indonesia (% responden melaporkan faktor ini menunjukkan rendahnya kualitas) Sumber: IDB (Desember 2009) Survei dilakukan untuk menjalankan penelitian diagnostik dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia (ii) Dampak Kelangkaan, Biaya Tinggi, dan Buruknya Kualitas Pada Bisnis yang terkait dengan Infrastruktur Menurut survei, tata kelola pemerintahan, akses terhadap tanah, kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan dalam pemerintahan (berasal dari informasi tentang koordinasi pemerintah, kapasitas implementasi, interaksi, dan proyek layak dana), kerangka hukum dan peraturan, serta pendanaan jangka panjang disorot sebagai hal yang memberi dampak merugikan pada bisnis yang terkait dengan infrastruktur (Gambar 11). Stabilitas makro ekonomi tidak disebutkan oleh responden (nol persen) sebagai berdampak buruk pada bisnis yang terkait dengan infrastruktur. Hal ini, serta tingkat upah dan tenaga kerja di semua tingkatan, disorot sebagai masalah kecil. (iii) Perbaikan Lambat dalam keseluruhan Iklim Bisnis dan Investasi Untuk Bisnis yang terkait Infrastruktur Selama Tiga Tahun Terakhir Memperhatikan perbaikan dalam berbagai faktor yang berhubungan dengan keseluruhan iklim bisnis dan investasi untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia, terlihat jelas adanya sedikit perbaikan pada tingkat keuntungan atas investasi (86 persen dari pemangku kepentingan memiliki pandangan seperti ini) (Gambar 12)17. Sehubungan dengan pendanaan, ketersediaan pembiayaan jangka menengah dan panjang belum membaik selama tiga tahun terakhir, dengan 76 persen dan 73 persen Hal ini konsisten dengan tanggapan sebelumnya yang menunjukkan kurangnya insentif investasi. Tidak adanya perbaikan iklim usaha secara keseluruhan didukung oleh Bank Dunia Doing Business 2010 yang terbaru, dimana peringkat Indonesia tergelincir dalam hal-hal seperti mengakses kredit (dari 109 ke 113), menegakkan kontrak (dari142 ke146), membayar pajak (dari 119 ke 127), dan peningkatan dalam hal memulai bisnis (dari 173 ke 161). 17 20 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Tingkat upah Stabilitas makro ekonomi Pendanaan jangka pendek Tingkat pajak Staf tingkat manajemen Biaya pekerja per unit Peraturan perburuhan Pekerja tak berketerampilan Biaya melakukan bisnis Pekerja berketerampilan teknik Izin usaha Insentif investasi "Artisan" Pajak administrasi Penentuan tarif oleh pemerintah Pendanaan lokal Pendanaan internasional Pendanaan jangka janjang Lingkungan hukum dan peraturan Hubungan dengan dengan pemerintah pusat Hubungan dengan pemerintah daerah Kepatuhan terhadap peraturan lingkungan Proyek layak dana Pajak pemerintah daerah Kapasitas implementasi pemerintah Koordinasi antara berbagai tingkat pemerintahan Akses pada tanah 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Tata kelola pemerintahan Gambar 11: Faktor yang Menghambat Pembangunan Infrastruktur di Indonesia ( % responden melaporkan faktor berdampak buruk pada bisnis) Sumber: IDB (Desember 2009) Survei dilakukan untuk menjalankan penelitian diagnostik dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dari semua responden menyebutkan tidak adanya perbaikan, baik dalam pembiayaan menengah dan jangka panjang, maupun dalam pembiayaan jangka pendek, secara berturut-turut. Survei ini menunjukkan bahwa, di masa lalu, stabilitas ekonomi makro tetap dipertahankan dan dipandang positif oleh investor, dan kedua-duanya (investasi publik dan tabungan swasta) tampaknya tidak menjadi kendala penting untuk investasi pada infrastruktur. Hal ini menunjukkan bahwa kendala utama yang luas, Tata kelola pemerintahan Pajak usaha Suku bunga jangka pendek (kurang dari 3 tahun) Suku bunga jangka menengah (3-5 tahun) Hubungan dengan pemerintah Kurangnya staf tingkat manajemen Kurangnya pekerja berketerampilan sedang Kurangnya pekerja berketerampilan Kurangnya mesin dan peralatan Hubungan dengan petugas pajak Kurangnya pemeliharaan dan pendukung Ketersediaan pendanaan jangka pendek (kurang dari 3 tahun) Ketersediaan pendanaan jangka menengah dan panjang (> 3 tahun) Keuntungan investasi 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Gambar 12: Kurangnya Perbaikan Iklim Bisnis dan Investasi untuk Pembangunan Infrastruktur di Indonesia (% responden melaporkan faktor ini tak ada perbaikan sejak 3 tahun terakhir) Sumber: IDB (Desember 2009) Survei dilakukan untuk menjalankan penelitian diagnostik dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia 21 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur yang menghambat laju pembangunan infrastruktur, adalah masalah pembebasan tanah dan rencana tata ruang, lemahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan untuk melaksanakan proyek, tidak sedianya dana jangka panjang, dan buruknya tata kelola pemerintahan. Dengan menggabungkan kendala yang teridentifikasi berdasarkan informasi dan data yang tersedia, pembicaraan-pembicaraan dengan sektor swasta dan publik (antara September 2009 dan November 2009), dan hasil survei (yang memberikan dukungan empiris), penelitian ini telah menetapkan kendala-kendala pengikat dalam investasi infrastruktur. Harus kita sadari bahwa penelitian ini tidak dimaksudkan untuk memberikan “laundry list” tentang kendala yang harus ditangani dalam jangka menengah dan jangka panjang, tapi lebih berfokus pada kendala pokok yang paling mengikat yang dapat ditangani dalam jangka pendek. Analisa sub-sektor terhadap informasi dan data yang tersedia mengkonfirmasi temuan-temuan yang diperoleh dari pembicaraan-pembicaraan dengan sektor swasta dan publik, dan survei. Dari analisa terlihat beberapa penghambat yang berkaitan satu sama lainnya yang menghalangi investasi infrastruktur di Indonesia. Ringkasan kendala pengikat untuk berbagai sub-sektor disajikan di Tabel 31. (iv) Kendala-Kendala Utama Dalam Pembangunan Infrastruktur Berdasarkan hasil survei, kendala utama yang diidentifikasi oleh responden dengan peringkat masing-masing disajikan di Tabel 4 and Gambar 1318. Pembebasan tanah dinyatakan sebagai kendala pokok pertama investasi infrastruktur, diikuti oleh lemahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan (kendala pokok ke-2); tata kelola pemerintahan (kendala pokok ke-3), dan pendanaan (kendala pokok ke-4). Alasan yang mendasari semua kendala ini terdapat dalam pembahasan pada bagian berikut ini pada analisa sub-sektor infrastruktur. V. ANALISA SUB-SEKTORAL19 Infrastruktur mencakup beberapa aspek termasuk tenaga listrik (semua jenis), pasokan air, sanitasi, komunikasi, transportasi (jalan dan jembatan, pelabuhan, bandara, kereta api), perumahan, pelayanan perkotaan, produksi minyak dan gas dan pertambangan. Namun bukanlah cakupan penelitian untuk membahas semua elemen infrastruktur, melainkan, penelitian ini memfokus pada sub-sektor yang paling penting bagi pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif di Indonesia. Dalam hal ini, penelitian ini membatasi diri untuk menganalisa sektor transportasi (jalan/jalan tol, kereta api, bandara, dan pelabuhan), listrik, dan komunikasi. Dilihat dari berbagai perspektif, sub-sektor tersebut sangat penting bagi pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Misalnya, kemajuan industri dan pembangunan pertanian sangat bergantung pada baiknya sektor listrik, transportasi dan komunikasi. Temuan-temuan ini sebanding dengan temuan dalam Global Competitiveness Report (2009-2010), dimana ketidak efisienan birokrasi pemerintah (setara dengan lemahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan) merupakan masalah yang paling disebut-sebut, dengan korupsi di peringkat ke-empat, akses ke pendanaandi peringkat lima, dan tenaga kerja dan peraturan pajak peringkat enam, dan tujuh, secara berturut-turut. 19 Keterangan lebih rinci dijabarkan dalam Lampiran B-G 18 22 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Tabel 4: Peringkat Faktor-faktor yang berdampak negatif pada Pembangunan Infrastruktur di Indonesia Kendala Utama Kelangkaan Biaya Dampak Peringkat keseluruhan3 % dari responden Peringka2 % dari responden Peringkat2 % dari responden Peringkat2 Kesulitan pembebasan tanah 52 2 69 1 61 1 1 Kapasitas Manusia dan Kelembagaan Lemah1 55 1 48 4 45 3 2 Tata Kelola Pemerintahan buruk N/A N/A 58 2 58 2 3 45 3 49 3 34 4 4 Kurangnya pembiayaan Faktor ini adalah masalah mendasar di balik perspektif negatif pada beberapa bidang termasuk: Koordinasi Pemerintah, Proyek Layak Dana, Kapasitas Implementasi , Interaksi dengan Pemerintah, dan Kerangka Hukum dan Peraturan Peringkat 1, 2, 3 dan 4 adalah berdasarkan persentasi responden yang menyatakannya sebagai kendala utama 3 Peringkat keseluruhan berdasarkan bobot (yaitu 50 untuk kelangkaan, 30 untuk Biaya dan 20 untuk Dampak. Sumber: IDB (Desember 2009) Survei Dilakukan untuk Diagnostik Studi Pembangunan Infrastruktur Indonesia 1 2 Untuk memahami secara lebih dalam tentang sebab-sebab utama ketidak memadainya mutu dan kuantitas infrastruktur di Indonesia, sangatlah penting untuk mengidentifikasi sub-sektor kunci yang menyebabkan rendahnya daya saing sektor infrastruktur.. Hal ini akan memungkinkan pembuatan respon kebijakan yang lebih bertarget dan tepat. Setelah sub-sektor kunci diidentifikasi, analisa yang mendalam dilakukan untuk menentukan kendala pengikat yang menghambat investasi di setiap sub-sektor. Gambar 13: Kendala Utama Investasi Infrastruktur Indonesia (Berdasar Hasil Survei) Ke-1 Ke-2 Ke-3 Ke-4 Masalah Pembebasan Tanah Kapasitas Manusia dan Kelembagaan yang Lemah 23 Tata Kelola Pemerintahan yang buruk kurang Pendanaan Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kualitas Infrastruktur menurut Sub-Sektor Sebuah infrastruktur transportasi yang telah dikembangkan dengan baik memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi, sebab jaringan komunikasi yang sudah maju mempermudah dan meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri. Di antara berbagai jenis transportasi, kereta api dianggap paling nyaman dan cocok untuk membawa barang-barang berat dan besar. Kereta api juga menghubungkan berbagai daerah dan meningkatkan mobilitas penduduk. Demikian pula, sebuah transportasi jalan yang efisien adalah cocok untuk membawa barang-barang tahan lama dan berukuran kurang besar. Khususnya, jalan pedesaan yang lebih baik sering mendorong pertumbuhan pertanian, sehingga meningkatkan pendapatan pedesaan. Sedangkan dalam hal perdagangan luar negeri, transportasi sangat tergantung pada infrastruktur pelabuhan karena transportasi sungai dan laut adalah cara transportasi yang termurah untuk membawa barang-barang yang besar dalam jarak jauh. Akhirnya, perdagangan barang ringan tetapi bernilai tinggi serta barang tahan lama sebagian besar dibawa lewat udara. Semua jenis transportasi tersebut sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Pasokan listrik yang terpercaya sangat penting bagi industrialisasi yang pesat dan pembangunan pertanian. Semua sub-sektor infrastruktur seperti pasokan air, transportasi, dan komunikasi juga membutuhkan pasokan listrik secara terusmenerus. Di sisi lain, pasokan listrik yang mahal dan tidak teratur sering menghambat pertumbuhan ekonomi. Studi ini mencoba untuk mengetahui sub-sektor infrastruktur mana yang merupakan kendala utama dalam pertumbuhan ekonomi dan mengapa? Tidak ada keraguan bahwa mengendurkan kendala-kendala tersebut akan dapat membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Sebagai efek tambahan, menghilangkan hambatan tersebut juga akan menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketimpangan pendapatan di Indonesia. Bersamaan dengan itu, menangani masalah listrik, transportasi dan komunikasi dapat meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Pada tahun 2008, kualitas infrastruktur di Indonesia masih jauh di bawah Malaysia dan Thailand, tetapi setara dengan Filipina dan Vietnam20. Kalau kita lihat rincian (Tabel 5), jelas terlihat bahwa bidang-bidang di mana Indonesia berada dalam tingkatan yang terburuk adalah kualitas pasokan listrik, pelabuhan dan jalan. Hal yang merisaukan adalah kenyataan bahwa pada tahun 1991 dan 2000, infrastruktur di Indonesia dianggap lebih unggul daripada Filipina dan Vietnam. Namun, sejak tahun 2005 kedua negara ini setara dengan Indonesia sementara Thailand dan Malaysia berada dalam keadaan yang lebih baik21. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum meningkatkan kualitas infrastrukturdengan kecepatan yang sama dengan pesaing regionalnya. Jika kecenderungan ini terus berlangsung, Indonesia akan segera menemukan dirinya tertinggal dari semua pesaing tersebut. 20 21 Di tahun 1996, Infrastruktur Indonesia lebih baik dari Thailand (dan juga Cina) Lihat Battachryay, 2009, hal. 10 24 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Tabel 5: Kualitas Infrastruktur oleh Sub-Sektor di Indonesia & Negara Tetangga, 2008 Indonesia Malaysia Thailand Kualitas jalan 94 24 35 Kualitas infrastruktur kereta api 60 19 Kualitas infrastruktur pelabuhan 95 19 Kualitas infrastruktur transportasi udara 68 Kilometer kursi yang tersedia 21 Kualitas pasokan listrik Sambungan telepon Filipina Vietnam 104 102 52 92 58 47 112 99 27 26 100 84 22 16 28 38 96 39 41 87 103 79 72 84 102 36 Sumber: World Economic Forum, Global Competitiveness Report, 2009-2010 Catatan: Semakin rendah peringkatnya, semakin baik kualitas infrastruktur. Kendala Utama dalam Bisnis menurut Sub-Sektor Pada tingkat nasional, transportasi merupakan kendala utama kedua terhadap kewiraswastaan yang diidentifikasi oleh masyarakat bisnis dari survei iklim investasi tahun 2003, 2005 dan 2007, dan listrik dinilai sebagai hambatan paling penting ke-6 untuk bisnis mereka. Selain transportasi yang diidentifikasi sebagai hambatan penting, persentase responden yang menyatakan transportasi sebagai kendala bisnis telah meningkat dari 29 persen pada tahun 2003 menjadi 49 persen pada tahun 2009 (Gambar 14), hal ini memperkuat laporan tentang infrastruktur yang memburuk dalam Global Competitiveness Report ( 2009-2010). Investasi Infrastruktur menurut Sub-sektor Alasan yang mendasari kinerja buruk dari infrastruktur di tingkat sub-sektor terkait langsung dengan rendahnya tingkat investasi. Sistem transportasi yang efektif dan 49 42 29 35 36 42 19 21 21 25 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur efisien, yang merupakan fondasi bagi ekonomi yang kompetitif (lebih-lebih bagi negara-negara yang ingin menerapkan strategi pertumbuhan yang berpusat pada ekspor), memerlukan investasi yang tinggi dan berkelanjutan. Di Indonesia, investasi pada tingkat sub-sektor masih relatif rendah, khususnya di bawah 1,5 persen dari PDB per tahun untuk transportasi dan komunikasi. Sektor listrik, yang juga telah diidentifikasi sebagai kendala untuk bisnis, sejak tahun 2000 telah mendapat investasi kurang dari 1 persen dari PDB (Gambar 15). Hal ini tidak baik bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan berkelanjutan, yang tergantung pada pasokan listrik yang terpercaya dan terus-menerus. Sayangnya, pemadaman listrik telah menjadi fenomena biasa dan situasinya cenderung semakin parah karena penurunan kinerja pembangkit listrik yang ada akibat penuaan. Dalam hal ini, pada tingkat sub-sektor, analisa berfokus pada infrastruktur transportasi (jalan, kereta api, pelabuhan, dan udara), listrik dan komunikasi. (i) Transportasi Sistem transportasi yang terpercaya dan efisien sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan suatu negara. Suatu infrastruktur transportasi yang sudah maju dapat mengintegrasikan pasar dalam negeri dengan berbagai daerah dan negaranegara lain dengan biaya rendah. Bersamaan dengan itu, hal ini akan memungkinkan masyarakat yang kurang berkembang untuk berhubungan dengan kegiatan ekonomi inti dan pelayanan publik dasar. Di lain pihak, sistem transportasi yang tidak efisien dan tak dapat diandalkan, memberi dampak negatif terhadap perekonomian karena hilangnya peluang bisnis. Kinerja Logistik Kinerja Indonesia adalah terburuk pada biaya transportasi domestik. Dalam hal peringkat IndekKinerja Logistik (Logistical Performance Index -LPI), yang disajikan dalam Tabel 6, kinerja Indonesia yang terbaik terlihat pada “pelacakan dan pengusutan” 26 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Tabel 6: Peringkat Kinerja Logistik 2007 (dari 150 negara) Indonesia Malaysia Thailand Vietnam Filipina Indeks Kinerja Logistik 43 27 31 53 65 Bea 44 23 32 37 53 Infrastruktur 45 28 32 60 86 Angkutan Internasional 44 26 32 47 63 Ketrampilan Logistik 50 26 29 56 70 Pelacakan dan Pengusutan 33 28 36 53 69 Biaya Logistik Domestik 92 36 25 17 19 Ketepatan Waktu 58 26 28 65 70 Sumber: World Bank, 2007. Connecting to Compete. Trade Logistics in the Global Economy. The Logistics Performance Index and its Indicators. Catatan: Semakin rendah peringkat, semakin baik kinerja (tracking and tracing), tapi terburuk pada “biaya logistik dalam negeri”, yang berarti bahwa jaringan transportasi internal tidak efisien dan memberikan beban berlebihan pada sektor swasta. Pada indikator ini, Indonesia, yang menempati peringkat ke-92, menunjukkan prestasi yang sangat lebih buruk daripada pesaing regionalnya Malaysia (36), Thailand (25), dan Filipina (19). Prestasi terbaik dalam kategori ini ditunjukkan oleh Vietnam, yang menempati peringkat ke-17 dari 150 negara yang dinilai. Meneliti logistik transportasi secara lebih rinci, Indonesia terlihat relatif lebih baik untuk biaya tipikal ekspor dan impor kontainer 40 kaki. Indonesia juga berprestasi cukup baik dalam hal penjadwalan waktu ekspor dan impor (Tabel 7). Dari sudut pandang perdagangan global, biaya Indonesia amat kompetitif. Namun, hal yang mengkhawatirkan adalah biaya logistik dalam negeri yang terlalu tinggi yang telah disebutkan sebelum ini. Kualitas Infrastruktur Transportasi Transportasi yang tidak memadai merupakan sebuah kendala utama bisnis. Dalam sebuah survei baru-baru ini oleh OECD, sekitar 50 persen dari perusahaan yang beroperasi di Indonesia menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur transportasi yang tidak memadai merupakan suatu kendala bagi pertumbuhan bisnis (kendala kedua yang paling sering diucapkan)22. Global Competitiveness Report 2009-2010 terbaru memperkuat pandangan ini, mengatakan bahwa kualitas infrastruktur transportasi di Indonesia jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand, sebanding dengan Vietnam, tetapi lebih tinggi peringkatnya dari Filipina (Gambar 16). Pengeluaran publik di sektor transportasi Investasi publik di sektor transportasi berada sangat jauh di bawah kebutuhan. Investasi dalam pembangunan jaringan jalan dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan 22 OECD, (2008) 27 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Tabel 7: Beberapa Masalah Transportasi Logistik (dari 150 negara), 2007 Indonesia Thailand Malaysia Vietnam Filipina Tingkat Pemeriksaan Fisik (%) 12 9 6 14 32 Kliring (hari)a 1,6 1,9 1,7 1,4 1,8 Waktu pengurusanb Export Kasus median (hari) 2,5 3,4 3,4 2,8 6,3 Waktu pengurusanc Import Kasus terbaik (hari) 1,9 1,4 1,7 2,6 3,7 Waktu Pengurusand Import Kasus (hari) 3,9 2,3 3,3 4 5,3 Jumlah petugas Douane Export 2,7 4,3 2,5 4,5 4 Jumlah Petugas Douane Import 2,7 4,3 3,3 4 4 Kemungkinan Prosedur Pemeriksaane (%) 38 75 57 50 Ongkosf untuk kontener 40-kaki dan semi trailer export (US$) 266 422 783 194 721 Ongkos untuk kontener 40-kaki dan semi trailer Import (US$) 244 422 658 294 794 Waktu yang dibutuhkan antara penyampaian deklarasi douane yang telah disetujui sampai kliring Dari pengirim ke pelabuhan pemuatan. Kasus Median = 50 persen dari pengiriman Dari pelabuhan pembongkaran ke penerima barang. Kasus terbaik = 10 persen dari pengiriman Dari pelabuhan pembongkaran ke penerima barang. kasus Median = 50 persen dari pengiriman Persentase merupakan proporsi responden menjawab bahwa layanan pemeriksaaan sederhana dan murah tersedia. Jumlah biaya untuk transportasi dan pelabuhan Sumber: World Bank, 2007. Connecting to Compete. Trade Logistics in the Global Economy. The Logistics Performance Index and its Indicators. Kualitas Jalan Kualitas Kereta api Kualitas Pelabuhan 28 Kualitas Bandar Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Umum (Kementerian PU), sementara Kementerian Perhubungan bertanggung jawab untuk lalu lintas angkutan darat, kereta api, perkapalan dan pelabuhan laut, dan pengembangan bandara, dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas infrastruktur transportasi lokal. Pengeluaran pemerintah di sektor transportasi telah terus meningkat dengan pertumbuhan tahunan sebesar 30 persen antara 2005 dan 2009. Pada tahun 2010, anggaran yang dialokasikan sekitar Rp 29 trilyun, atau sekitar 0,48 persen dari PDB, yang merupakan 2,9 persen dari total anggaran. Pengeluaran Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation-PSO) terdiri dari subsidi pemerintah untuk perusahaan milik negara, dan diberikan kepada PELNI untuk pelayaran perintis dan melayani penumpang kelas ekonomi, operator kereta api KAI untuk penumpang kelas ekonomi, dan operator pos POSINDO dan kantor berita ANTARA. PSO selalu merupakan sebagian kecil dari PDB, hanya sebesar 0,03 persen dari GDP, atau sekitar 0,15 persen dari total anggaran di tahun 2010 (Tabel 8). Tabel 8: Pengeluaran Pemerintah di Sektor Transportasi (dalam milyar rupiah) Pengeluaran Transportasi Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) 2005 (diaudit) 2006 (diaudit) 2007 (diaudit) 2008 (diaudit) 2009 (anggaran yang dikaji ulang ) 2010 (anggaran) 9.087,4 14.287,1 16.647,6 24.730,0 33.914,8 29.182,4 934,6 1.795,0 1.025,0 1.729,1 1.360,0 1.536,9 Sumber: Catatan Anggaran 2010, Departemen Keuangan Peranan dari berbagai komponen transportasi dalam industry (infrastruktur) transportasi Jalan dan pelabuhan merupakan prioritas tertinggi dalam sektor transportasi . Karena sangat pentingnya hal-hal tersebut dalam perekonomian, peranan jalan dan pelabuhan di sektor transportasi makin lama makin meningkat. Sebagai contoh, peranan jalan di seluruh industri infrastruktur transportasi meningkat dari 33,4 persen pada tahun 2007, mencapai 46,3 persen pada tahun 2009, dan diperkirakan untuk meningkat lebih lanjut mencapai 53,9 persen pada 2014. Demikian pula, peranan pelabuhan meningkat dari 7,9 persen pada tahun 2007, mencapai 20,7 persen pada tahun 2009, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 24,6 persen pada 2014. Sebaliknya, peranan kereta api dan bandara menurun secara drastis. Sebagai contoh, peranan perkereta-apian diperkirakan menurun dari 34,3 persen menjadi 11,4 persen, dan peranan bandara dari 24,4 persen menjadi 10,1 persen selama periode yang sama (Gambar 17). Infrastruktur Transportasi Jalan Sarana transportasi yang paling penting di Indonesia adalah jaringan jalan. Meskipun, Indonesia adalah kepulauan besar, pengiriman melalui pelayaran antar-pulau dan pesisir terhitung hanya 7 persen dari seluruh lalu-lintas barang dan penumpang, sementara jalan membawa 92 persen dari total pengiriman barang dan 84 persen lalu lintas penumpang. Kereta api terhitung sekitar 1 persen pengiriman barang dan 7 29 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur persen untuk pergerakan penumpang, dengan pengangkutan sungai dan transportasi udara mengangkut lalu lintas yang tersisa23. Kepadatan jalan Indonesia (didefinisikan sebagai rasio antara panjang jaringan jalan dengan luas negara) adalah 20, yang relatif kecil dibandingkan dengan Vietnam (68), Filipina (67), Thailand (35) dan Malaysia (28). Indikator yang biasa dipakai untuk mengukur kualitas jalan adalah sejauh mana jalan merupakan jalan beraspal. Di Indonesia, hanya 59 persen jalan yang telah diaspal, jauh di bawah dibandingkan dengan kondisi di Thailand dan Malaysia, namun di atas Filipina (Tabel 9). Tabel 9: Ketersediaan Jaringan Jalan di Indonesia Indonesia 1/ Vietnam Jumlah Jaringan Jalan (000 km) 438 222 Filipina Thailand Malaysia 200 180 93 Jalan beraspal (persen) 59 - 10 99 80 Kepadatan Jalan (km/100 sq km luas tanah) 20 68 67 35 28 Sumber: World Development Indicators 2009 1/ Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (2010), Keterangan Ringkas Sektor Transportasi Walaupun jalan sangat penting untuk pembangunan Indonesia, pertumbuhannya tidak seimbang dengan kenaikan jumlah penduduk. Transportasi jalan mempunyai andil terbesar untuk lalu lintas barang dan penumpang. Jadi perluasan cakupan dan kualitas jalan merupakan prasyarat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Hal yang mencemaskan adalah, selama satu dasawarsa, permintaan terhadap transportasi jalan yang lebih baik telah meningkat dengan kecepatan yang 23 Transport Sector Strategy Study for Indonesia (ADB, 2004) 30 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur lebih tinggi daripada PDB. Kecenderungan ini diperkirakan akan terus berlanjut di masa mendatang, dengan pertumbuhan lalu lintas diperkirakan akan meningkat sampai 1-1,5 kali dari tingkat pertumbuhan PDB (sekitar 7 sampai 10 persen per tahun)24. Selain itu, pertumbuhan jaringan jalan di Indonesia tidak sama cepatnya dengan pertambahan penduduk selama beberapa tahun terakhir, suatu kecenderungan yang mengkhawatirkan bahwa kemacetan lalu lintas akan menjadi masalah serius. Hal ini terbukti, terutama di jaringan jalan arteri di Jawa. Menurut penilaian Bank Dunia25, 43 persen jaringan jalan di Jawa, dan sebagian besar di Jakarta, mengalami kemacetan sehingga waktu tempuh lebih panjang dan biaya lebih tinggi. Penilaian tersebut juga memperkirakan bahwa sekitar 55 persen dari jaringan arteri di Jawa akan mengalami kemacetan pada tahun 2010, dan mengidentifikasi kebutuhan sekitar 2.000 km jalan tol untuk menanggulangi masalah ini. Keprihatinan utama lainnya adalah 36 persen dari jaringan jalan sudah rusak atau rusak parah pada akhir 2007 (BPS 2007). Sebagian besar jalan yang rusak atau rusak parah berada wilayah pemerintah kabupaten, dan 39 persen dari 322.000 km jalan dalam wilayah pemerintah kabupaten bisa dianggap rusak atau rusak parah. Ketidak-efisienan, tidak handalnya, dan tingginya biaya transportasi jalan adalah kendala kunci bagi pembangunan ekonomi.Indonesia, yang memiliki biaya logistik tertinggi di Asia Tenggara (lihat bagian sebelumnya untuk penjelasan lebih rinci tentang Indeks Kinerja Logistik). Hal ini jelas terlihat dengan memperhatikan transportasi angkutan jalan (Kotak 2). Investasi Publik di Sektor Jalan Investasi dan pemeliharaan jaringan jalan sebagian besar didanai melalui anggaran negara, termasuk bantuan keuangan dari bank bilateral dan multilateral. Dapat dicatat bahwa anggaran nasional tidak ditunjang oleh pajak pembelian kendaraan dan pajak kepemilikan, yang diambil oleh pemerintah-daerah, dan dengan demikian pajak tersebut tidak tersedia untuk pemeliharaan jalan nasional dan investasi jalan. Namun, pajak tersebut dapat digunakan untuk investasi dan pemeliharaan jalan provinsi / kabupaten. Kementerian Pekerjaan Umum melalui Direktorat Jenderal Bina Marga secara signifikan telah meningkatkan anggaran jalan dari Rp.7,5 trilyun pada tahun 2006 menjadi sekitar Rp.20 trilyun pada tahun 2009, dengan pengeluaran pada tahun 2010 diperkirakan lebih dari Rp.24 trilyun. Buruknya kualitas jalan adalah karena sangat kurangnya anggaran tahunan untuk pemeliharaan jalan, yang sampai dengan tahun 2004 bernilai kurang dari Rp.1 trilyun dibandingkan dengan yang dibutuhkan sebesar Rp.20 trilyun. Namun, situasi telah membaik dalam beberapa tahun terakhir, dengan pemerintah telah meningkatkan alokasi untuk pemeliharaan jalan dari Rp.3,8 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp.12,1 trilyun pada tahun 2009, dan telah dianggarkannya dana pemeliharaan jalan sebesar Rp. 14,4 trilyun untuk 2010. Perlu 24 25 Strategic Road Infrastructure Project, project Appraisal Document, World Bank, 2006 World Bank (September 2006), Country Assistance Strategic Report for Indonesia. 31 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 2: Transportasi Angkutan Jalan Sebuah studi terpadu yang dilakukan oleh Yayasan Asia (Asia Foundation) dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Penelitian Sosial (LPEM) Universitas Indonesia pada tahun 2007 menemukan bahwa biaya transportasi angkutan jalan di Indonesia menaik karena biaya yang dibebankan oleh pemerintah daerah, dan kegiatan mencari rente oleh polisi dan perilaku oportunistik oleh individu tak bermoral. Diperkirakan bahwa kegiatan tersebut telah menaikkan biaya operasional sebesar 10 persen, yang berdampak pada seluruh mata rantai kegiatan. Dengan biaya operasional kendaraan secara keseluruhan untuk truk 34 sen $ per kilometer, studi ini menyimpulkan bahwa biaya logistik di Indonesia lebih tinggi dari Vietnam, Thailand, Malaysia dan Cina, yang biayanya hanya 22 sen $ rata-rata per km. Temuan ini didukung oleh Indeks Kinerja Logistik World Bank, dimana Indonesia ada di peringkat-92 untuk biaya logistik dalam negeri dibandingkan dengan Malaysia ke-36, Thailand ke-25 dan Vietnam ke-17. Dari lebih dari 35 perusahaan truk, lebih dari 20 truk terlibat dalam penelitian ini. Sebuah alat pemantau, dilengkapi dengan ‘global positioning system’, ditempatkan dalam truk-truk yang berpartisipasi dalam penelitian di sembilan rute perdagangan yang berbeda, untuk mendapatkan jumlah biaya langsung yang dibayar oleh supir truk selama perjalanan. Enam dari sembilan rute yang dipilih berada di Sulawesi, rute lainnya di Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Untuk rute Malang-Surabaya di Jawa Timur, misalnya, truk, rata-rata, perlu menghabiskan tambahan Rp 6,4 juta per bulan untuk biaya operasional, retribusi dan pungutan liar. Sebagian besar perusahaan angkutan truk mengeluh tentang biaya penggunaan yang dibebankan oleh pemerintah daerah, yang dikumpulkan oleh berbagai pejabat lokal berdasarkan jenis barang yang dimuat. Pemerintah lokal juga membebankan biaya untuk izin rute dan lisensi. Perlu dicatat bahwa tindakan ini tidak sejalan dengan kerangka peraturan nasional dimana izin rute diperlukan hanya untuk kendaraan angkutan umum. Namun, dalam prakteknya sering izin yang seperti itu diminta dari truk kargo yang lewat di jalan-jalan antara kabupaten. Oleh karena itu, pemeliharaan kendaraan dan biaya bahan bakar yang tinggi, yang diakibatkan oleh infrastruktur jalan yang tidak memadai, diperburuk dengan retribusi yang tidak konsisten yang diterapkan oleh pemerintah lokal serta kegiatan mencari rente. Sumber: Transportation Undermines RI Economy: Study. The Jakarta Post, April 16, 2008 dicatat bahwa, pada tahun 2009, sebagian besar anggaran jalan nasional (60,8 persen) dihabiskan untuk pemeliharaan, dan 26,1 persen untuk investasi. Ini menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk memelihara infrastruktur yang ada. Namun, Indonesia juga membutuhkan infrastruktur tambahan, dan ini harus ditangani dengan mengadakan investasi baru bagi pembangunan jalan. Kendala kunci investasi publik di infrastruktur jalan Lemahnya kapasitas kelembagaan dan kurangnya sumber daya manusia: Karena desentralisasi, tanggung jawab pelaksanaan proyek sekarang berada pada pemerintah daerah. Kendala kapasitas di tingkat pemerintah daerah telah menghambat realisasi alokasi anggaran dan perampungan proyek. Kurangnya keterampilan dan kemampuan operasional yang terbatas pada pemerintah daerah telah menyebabkan tertundanya 32 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur pelaksanaan proyek.. Khususnya, keterbatasan kapasitas terlihat lebih nyata di bidang perancangan proyek dan pengembangan, yang mengakibatkan penundaan pelaksanaan. Menanggapi kendala tersebut, Dirjen Bina Marga telah mengambil peran utama untuk menangani situasi ini (terutama untuk proyek-proyek yang didanai oleh donor) dengan cara: • Melaksanakan program peningkatan kapasitas melalui “bantuan management yang siap panggil “ oleh staf Dirjen Bina Marga kepada staf pemerintah daerah; • Menggunakan dokumen penawaran yang baku untuk pengadaan penawaran domestik dan internasional yang kompetitif; dan • Menerapkan sistem pengadaan secara elektronik Sementara dampak berskala besar dan jangka panjang dari upaya diatas belum terlihat, upaya ini dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif dari desentralisasi. Pendanaan publik tidak berkelanjutan: Alokasi untuk proyek jalan (pelestarian, pengembangan kapasitas, dan perluasan jaringan jalan) tidak lagi memadai karena krisis keuangan tahun 1997, dan hanya mulai meningkat pada tiga tahun terakhir. Hal ini terutama berlaku untuk jalan daerah. Selama satu dekade mendatang, dana yang disetujui oleh Parlemen (melalui anggaran pusat dan alokasi anggaran daerah) diperkirakan akan tetap di bawah kebutuhan pengeluaran. Selain itu, persepsi masyarakat yang paling sering dianut bahwa pemeliharaan dan pembangunan jalan harus ditanggung oleh anggaran negara perlu diubah. Pemerintah harus menggunakan konsep bahwa biaya pemeliharaan dan perluasan jaringan jalan harus dapat dibiayai oleh para pengguna jalan. Masalah kekurangan dana ini diperparah oleh ketidakpastian akan berapa pendanaan yang tersedia. Untuk menjamin pendanaan yang memadai dan berkelanjutan untuk pemeliharaan serta perluasan jalan, pemerintah harus mempertimbangkan pembentukan dana jalan yang dibiayai langsung oleh pemakai jalan. Pembahasan tentang dana jalan sedang berlangsung, dan untuk menangani persoalan rendahnya investasi di bidang infrastruktur jalan, harus diciptakan kerangka hukum yang tepat untuk pemanfaatan dana jalan tersebut. Investasi sektor swasta dalam infrastruktur jalan Investasi swasta pertama kali dilakukan dalam pembangunan jalan tol pada tahun 1990 melalui skema ‘bangun-jalankan-transfer’ (build-operate-transfer-BOT) antara operator swasta dan Jasa Marga, operator jalan tol milik negara. Jasa Marga menerapkan sistem BOT dengan sistem bagi hasil (termasuk berbagi biaya pembebasan tanah). Dengan berlakunya UU 38/2004 tentang Jalan dan PP 15/2005 tentang Jalan Tol, pemerintah mengadopsi kerangka peraturan baru untuk sektor ini. Berdasarkan kerangka tersebut, fungsi regulasi dipindahkan dari Jasa Marga ke Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang baru dibentuk, dengan harapan bahwa pemisahan tersebut akan menghindari konflik kepentingan di Jasa Marga dan, karenanya, akan menarik lebih 33 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur banyak investor. Berdasarkan pengaturan sebelumnya, Jasa Marga secara otomatis diberi konsesi untuk semua jalan tol yang dioperasikan pada tahun 2004. Harga tol awal disepakati dalam kontrak konsesi, dan penyesuaian tarif berdasarkan indeks harga konsumen terjadi setiap dua tahun. Saat ini, terdapat 697 km jalan tol yang beroperasi, dimana sekitar 77 persen dioperasikan oleh Jasa Marga, dan sisanya oleh perusahaan swasta (Lampiran A). Sebagian besar jalan tol berlokasi di Jawa, dan sebagian kecil di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Proyek jalan tol merupakan investasi jangka panjang dengan karakteristik yang unik dan risiko yang spesifik. Sebagian besar biaya proyek (misalnya, tanah dan biaya konstruksi) terjadi pada awal masa konsesi, sedangkan arus pendapatan hanya dimulai ketika jalan tol mulai beroperasi. Masa konsesi untuk proyek-proyek jalan tol di Indonesia berkisar antara 30 dan 40 tahun, dengan jangka waktu pengembalian antara 20 dan 25 tahun. Untuk pembangunan jalan tol di masa mendatang, pemerintah semakin mengandalkan investasi sektor swasta. Mengenai status proyek, 20 dari 24 proyek jalan tol yang perjanjian konsesinya sudah ditanda-tangani, sedang mengalami kemacetan atau terhambat oleh proses pembebasan tanah (beberapa diantaranya sejak tahun 1996). Oleh karena itu, masalah kunci dalam pembangunan jalan tol adalah pembebasan tanah. Tanggung jawab terhadap pembebasan lahan untuk setiap infrastruktur publik ada di tangan pemerintah. Untuk proyek infrastruktur yang dilakukan dengan kerjasama publik-swasta, menurut peraturan, sebelum proses tender, pemerintah akan menyiapkan rencana pembebasan tanah dan pembiayaan pembebasan tanah, dan selanjutnya melakukan pembebasan tanah sesuai rencana. Namun, dalam prakteknya, hal ini belum sepenuhnya diimplementasikan karena terbatasnya alokasi anggaran pemerintah dan rumitnya proses pembebasan tanah. Secara teori, jadwal untuk pembebasan tanah harus disepakati sebelumnya dalam kontrak konsesi, dimana pemerintah bertanggung jawab untuk memperoleh tanah dan sektor swasta untuk pembiayaan pembebasan. Harga tanah yang telah disepakati sebelumnya akan dibayar oleh investor swasta setelah lahan disiapkan sepenuhnya untuk pembangunan. Ini 34 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur berarti bahwa investor swasta akan memiliki kontrol penuh atas kegiatan awal dan penyelesaian pekerjaan konstruksi, serta mengetahui secara rinci kapan mereka dapat memulai operasi komersial. Namun, kenyataannya, proses pembebasan tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah butuh waktu yang jauh lebih lama, yang mengakibatkan kerugian finansial dan penundaan pelaksanaan bagi investor swasta. Sejak tahun 2006, BPJT telah menerapkan kebijakan baru mengenai pembagian biaya pembebasan tanah. Pendekatan ini adalah sebagai berikut: untuk proyek-proyek jalan tol yang layak secara finansial, biaya tanah harus ditanggung oleh investor dan, karena itu, merupakan bagian dari biaya investasi. Untuk proyek dengan kelayakan yang marjinal, biaya pembebasan lahan akan ditanggung bersama antara pemerintah dan investor swasta. Dalam kedua kasus diatas, besarnya kenaikan harga tanah bagi para investor swasta dibatasi (misalnya, 10 persen dari perkiraan biaya tanah awal) melalui penyediaan bantuan pemerintah. Di sisi lain, proyek jalan tol yang tidak layak secara finansial akan dilakukan semata-mata sebagai proyek pemerintah. Kendala Kunci Dalam Kemitraan Publik-Swasta Dan Investasi Swasta Masalah pembebasan tanah: Masalah inti dari pembebasan tanah bukanlah ketersediaan lahan, melainkan, bagaimana mencapai konsensus tentang harga yang pantas. Negosiasi dilakukan antara pemerintah dan pemilik tanah. Dalam kebanyakan kasus, negosiasi ini sangat panjang dan bertele-tele yang melibatkan pemerintah daerah, pemilik tanah, organisasi non-pemerintah yang menjadi penasehat dari masyarakat yang terkena dampak, dan para spekulan tanah yang mencari keuntungan dari kenaikan harga. Ini jelas menimbulkan resiko besar bagi investor swasta yaitu keterlambatan proyek dan pembengkakan biaya. Dari segi pembiayaan, bank telah sangat enggan meminjamkan uang untuk pembebasan tanah karena ketidakpastian besarnya biaya dan kapan pembebasan dapat dilakukan. Oleh karena itu, pengembang jalan tol bergantung pada penyertaan modal (equity) untuk membiayai pembebasan tanah. Cara ini bahkan lebih beresiko bagi para investor di proyek tol dalam kota, di mana biaya tanah dapat mencapai sebanyak 50 persen dari total biaya proyek. Kedua proses, yaitu proses persiapan dan proses pelaksanaan pembebasan tanah memerlukan waktu sangat panjang dan beresiko bagi investor swasta. Resiko dan penundaan waktu ini telah menyebabkan banyak proyek terhenti atau mengalami pembengkakan biaya yang signifikan, berdampak buruk pada keuntungan investasi, profitabilitas dan komitmen jangka panjang (Kotak 3). (Lihat lampiran B untuk penjelasan terinci tentang proses pembebasan tanah dan langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi masalah). Kurangnya proyek yang layak dana: Pada tahun 2007, BPJT membuka tender 13 proyek jalan tol di bawah paket “Batch II”, tetapi hanya dapat enam penawaran. Tender kemudian dibatalkan karena kurangnya minat, dan BPJT melakukan restrukturisasi proyek agar lebih menarik bagi investor swasta. Berdasarkan diskusi dengan para pemangku kepentingan dari sektor swasta, kurangnya minat investor 35 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 3: Proses Pembebasan Tanah Yang Tertunda Dan Mahal Membuat Proyek Tak Berkelanjutan CMNP adalah operator jalan tol swasta pertama di Indonesia dengan dua proyek yang beroperasi di: (i) Jakarta Intra Urban Jalan Tol (JIUT) sektor Cawang - Tanjung Priok Jembatan Tiga, dan (ii) Waru-Juanda di Surabaya. Selain itu, perusahaan ini memegang konsesi jalan tol Depok-Antasari, Jakarta Selatan yang saat ini pada tahap pembebasan tanah. Pembangunan jalan tol baru Depok-Antasari telah bermasalah akibat keterlambatan dalam pembebasan tanah selama sekitar dua tahun. Biaya pembebasan tanah awalnya dianggarkan sekitar Rp 700 milyar, tetapi kemudian meningkat menjadi sekitar Rp 1,8 trilyun. Akibatnya, biaya sudah naik sedemikian rupa sehingga kelangsungan pendanaan proyek sedang dipertanyakan. Perusahaan ini sekarang dalam diskusi segitiga dengan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dan para bankir untuk meminta bantuan pemerintah dalam membayar sebagian dari biaya pembebasan tanah dan melakukan negosiasi ulang perjanjian konsesi. Selain itu, CMNP akan perlu membuat rencana bisnis baru dan menyiapkan studi kelayakan baru bagi penyandang dana nya. adalah karena tidak diperolehnya “lahan untuk jalanan” (land for right of way-ROW) untuk satupun dari 13 proyek yang ditenderkan. Masalah selanjutnya yang dirasakan oleh para investor adalah bahwa perjanjian konsesi yang diusulkan tidak dianggap layak didanai bank. Oleh karena itu, resiko investor swasta, terutama yang berkaitan dengan pembebasan tanah, dianggap terlalu tinggi, oleh karena itu “Batch II”, kurang diminati26. Dalam paket “Batch III”, proyek jalan tol Solo-Kertosono ditampilkan sebagai model dalam kemitraan pemerintah-swasta, dimana pemerintah berkomitmen untuk mengambil tanggung jawab atas pembebasan tanah. Proyek ini juga gagal menarik perhatian investor ketika ditenderkan pada tahun 2007 (hanya satu tawaran yang masuk). Meskipun resiko pembebasan tanah ditanggung oleh pemerintah, proyek itu sendiri rendah tingkat pengembalian investasinya, dan dianggap tidak layak kecuali pemerintah bersedia menanggung biaya konstruksi lebih banyak. Pemerintah kini sedang bernegosiasi langsung dengan penawar tunggal dan masih harus merampungkan perjanjian konsesi. Sampai saat ini, belum ada tender lanjutan untuk proyek jalan tol baru. BPJT sekarang sedang berfokus pada penyelesaian masalah dalam proyek jalan tol yang lama yang kontrak konsesinya didapat sebelum krisis keuangan tahun 1997. Penyelesaian dari proyek-proyek ini masih akan melibatkan masalah yang sama: pembebasan tanah dan jenis serta jumlah dukungan pemerintah yang diperlukan untuk memfasilitasi kelangsungan keuangan dan penutupan (closure). Tak tersedianya pendanaan jangka panjang: Kendala penting lainnya adalah tidak tersedianya pendanaan jangka panjang, yang dibutuhkan oleh sektor swasta untuk proyek-proyek infrastruktur jalan. Bank-bank komersial di Indonesia hanya bersedia Masalah ini sudah dibicarakan dalam diskusi yang diadakan dengan para pemangku kepentingan dalam sektor infrastruktur, (Juli 2009 – November 2009) 26 36 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur mendanai untuk jangka waktu sampai tujuh tahun, dan bank-bank milik pemerintah dapat memberikan pinjaman sampai 12 tahun, sementara proyek infrastruktur jalan membutuhkan pembiayaan untuk masa lebih panjang dari itu. Kurangnya pendanaan jangka panjang sebagian besar disebabkan oleh ketidaksesuaian antara cakrawalawaktu antara sumber-sumber pendanaan bank komersial (jangka pendek) dan kebutuhan pendanaan untuk proyek-proyek infrastruktur (jangka menengah dan panjang). Dalam konteks ini, bank-bank harus mendiversifikasi sumber pendanaan mereka untuk mencakup pendanaan yang lebih jangka panjang, baik dengan mengembangkan pasar obligasi domestik (pilihan yang lebih baik), menerbitkan obligasi global atau melalui pinjaman jangka panjang dari bank internasional. Berdasarkan analisa di atas, kendala-kendala utama yang menghambat investasi baru di bidang infrastruktur jalan di Indonesia dirangkum dalam Tabel 10. Jelaslah bahwa masalah pembebasan tanah merupakan kendala paling mengikat, diikuti oleh kurangnya kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di pemerintahan (terlihat dalam ketidakmampuannya dalam mempersiapkan proyek yang layak dana dan melaksanakan peraturan pemerintah); kurangnya proyek yang layak dana; dan kurangnya pembiayaan jangka panjang. Tabel 10: Ringkasan Kendala besar dan kecil dalam Infrastruktur Jalan Kendala Kendala besar /kecil Masalah Pembebasan Tanah Kapasitas kelembagaan dan Sumber daya Manusia yang lemah Kurangnya proyek layak dana Tata kelola pemerintahan yang buruk Ketidak-tersediaan Pendanaan Jangka Panjang Kunci: : Kendala besar : Kendala kecil ii) Pelabuhan Transportasi laut sangat penting untuk Indonesia, karena Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau. Wilayah laut Indonesia adalah sekitar 7,9 juta kilometer persegi, kurang lebih empat kali luas daratannya. Mengingat kondisi geografis ini, Indonesia sangat bergantung pada transportasi maritim untuk perdagangan internasional serta perdagangan dalam negeri. Patunru et al (2007) menunjukkan bahwa sekitar 90 persen dari perdagangan luar negeri Indonesia dilakukan melalui pelabuhan laut. Pengiriman antar-pulau dan pesisir terhitung sekitar 7 persen dari total arusbarang dan penumpang, menduduki tempat kedua setelah transportasi jalan. Tidak mengherankan bahwa pembangunan layanan pengiriman barang dan penumpang liwat laut dan pelabuhan di seluruh Indonesia telah menjadi salah satu prioritas utama pemerintah. 37 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Sekilas tentang Sektor ini Jumlah atau volume penumpang domestik yang menggunakan transportasi laut makin lama makin menurun. Khususnya, pengangkutan penumpang transportasi laut secara nyata telah menurun selama empat tahun terakhir akibat persaingan dengan transportasi udara. Tabel 11 menunjukkan penumpang yang bepergian lewat laut telah menurun dengan rata-rata 24,7 persen per tahun pada periode 2004-2008, sementara pengiriman kargo antar pulau meningkat setiap tahunnya sebesar 6,4 persen dalam periode yang sama. Tabel 11: Jumlah Penumpang dan Kargo untuk Transportasi Laut Domestik 2004 2005 2006 2007 2008 Tren pertumbuhan (%) Penumpang (juta orang) 16,8 14,1 12,2 6,1 6,2 -24,7 Kargo (juta ton) 187,6 206,3 220,8 228,0 242,9 6,4 Sumber: BPS, 2009 dan Departemen Perhubungan, 2009 Volume transportasi laut internasional yang melayani ekspor/impor terus meningkat. Pada periode 2004-2008, total volume kargo internasional melalui transportasi laut di Indonesia tumbuh sebesar 3,7 persen per tahun, dengan kapal asing mendominasi sekitar 92 persen dari total volume kargo internasional. Namun, kapal Indonesia yang melayani kargo internasional meningkat sebesar 21,5 persen per tahun, sedangkan kapal asing meningkat sebesar 2,8 persen per tahun (Tabel 12). Kinerja pelabuhan Indonesia tertinggal dibandingkan dengan pelabuhan besar lainnya di Asia Tenggara. Sebagian besar kargo kontainer di Indonesia diproses melalui tiga terminal kontainer utama: Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Perak di Surabaya, dan Tanjung Emas di Semarang. Tanjung Priok, dengan puncak penanganan total sebanyak 4,2 juta unit kontainer dua puluh kaki, adalah terminal kontainer internasional terbesar di Indonesia. Namun, kinerja Tanjung Priok ketinggalan dibanding dengan pelabuhan utama lainnya di Asia Tenggara. Untuk volume bongkar muat kontainer, Tanjung Priok menduduki peringkat ke-24 dari 50 pelabuhan besar dalam Peringkat Pelabuhan Dunia 2005- 2005 World Port Rankings (World Container Port League 2005). Sebagai perbandingan, pelabuhan Singapura menempati peringkat pertama, Port Klang di Tabel 12: Volume ekspor / impor dengan transportasi laut 2004 2005 2006 2007 2008 Tren Pertumbuhan Pengapalan Domestik (juta ton) 16,3 24,6 29,4 31,4 38,2 21,5 Pengapalan asing (juta ton) 448,8 468,4 485,8 500,5 498,3 2,8 Total (juta ton) 465,1 493,0 515,2 531,9 536,5 3,7 Suember: Departemen Perhubungan, 2009 38 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Malaysia ke-14, dan Laem Chabang di Thailand ke-20. Satu-satunya pelabuhan utama di bawah peringkat Tanjung Priok adalah pelabuhan Manila di Filipina, yang menduduki peringkat ke-31. Perbandingan kinerja lain menunjukkan bahwa Tanjung Priok juga kurang kompetitif dari segi lamadan jumlah proses birokrasi untuk izin pengeluaran barang, waktu tunggu, dan akses pelabuhan. Oleh karena itu, kinerjanya tertinggal dibelakang sebagian besar pelabuhan besar lainnya di Asia Tenggara Indeks konektivitas Indonesia telah semakin menurun. Selama 2004-2009, indeks konektivitas pelayaran laut (Liner Shipping Connectivity Index-LSCI) Indonesia masih jauh di bawah Malaysia dan Thailand (keduanya secara konsisten meningkat sejak 2004), dan hanya di atas Filipina. Dalam hal pertumbuhan tahunan rata-rata, LSCI Indonesia menunjukkan pertumbuhan negatif sebesar 1,3 persen selama 20042009, dibandingkan dengan pertumbuhan 13,9 persen di Vietnam, 6,5 persen di Filipina, 5,8 persen di Malaysia, dan 3,8 persen di Thailand selama periode yang sama (Tabel 13)27. Tabel 13: Indeks Konektivitas Pelayaran Laut UNCTAD (LSCI) 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tren Pertumbuhan (%) Indonesia 25,9 28,8 25,8 26,3 24,9 25,7 -1,3 Malaysia 62,8 65,0 69,2 81,6 77,6 81,2 5,8 Thailand 31,0 31,9 33,9 35,3 36,5 36,8 3,8 Viet Nam 12,9 14,3 15,1 17,6 18,7 26,4 13,9 Filipina 15,5 15,9 16,5 18,4 30,3 15,9 6,5 Sumber: UNCTAD, 2009 Catatan: Makin rendah indek, makin buruk konektifitas pelayaran laut. Kendala Kunci pada Investasi Sektor Publik dalam Infrastruktur Pelabuhan Lemahnya Sumber Daya Manusia dan Kapasitas Kelembagaan: Kementerian Perhubungan bersama JICA telah melakukan penelitian tentang produktivitas dan tingkat pelayanan pelabuhan di Indonesia. Temuan, berdasarkan masukan dan diskusi dengan pengguna pelabuhan, tersimpulkan di bawah ini: Temuan-temuan ini didukung oleh Patunru et al (2009), yang mencatat bahwa infrastruktur lunak dapat memainkan peran yang lebih penting dalam menghilangkan kendala utama dalam efisiensi pelabuhan daripada infrastruktur fisik. Daya saing pelabuhan mungkin memperoleh dampak negatif dari infrastruktur fisik yang buruk seperti kedalaman pelabuhan yang tidak memadai, tempat berlabuh yang pendek, terbatasnya peralatan penanganan kargo, gudang dan daerah transit, tetapi juga mungkin terpengaruh dari keterbatasan dalam infrastruktur lunak, seperti keterampilan tenaga kerja yang lemah, peraturan tenaga kerja yang tidak memadai, peraturan birokrasi yang menghambat, dan faktor peraturan lainnya (seperti penggunaan bendera pelayaran). LSCI mencakup tingkat integrasi sebuah negara dalam jaringan pelayaran laut global. Ini mencakup arus armada, pelayanan pelayaran, juga ukuran kapal.. LSCI memberikan indikasi perbandingan dalam tingkat pelayanan pelayaran di suatu negara. 27 39 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Temuan Sebab pokok Rendahnya produktifitas dan pelayanan buruk • • • • Metode kerja tidak efisien Kurangnya integritas pegawai Tidak transparan Kurangnya pemakaian teknologi informasi Panjangnya proses impor • Proses birokrasi yang berkepanjangan dan tak efisien Sedikitnya produk/ouput akhir • Volume ekspor rendah • Daya saing yang rendah Jalan akses ke pelabuhan yang macet dan berkwalitas rendah • Perencanaan buruk • Managemen transportasi yang buruk • Rendahnya investasi untuk jalan akses Sumber: Penelitian STRAMINDO - JICA, 2005 Kurangnya kompetisi antar pelabuhan yang dikendalikan oleh operator milik negara juga merupakan faktor penting yang berdampak pada kinerja pelabuhan. Peraturan tenaga kerja yang tidak kondusif secara nyata telah melembagakan kurangpenggunaannya fasilitas pelabuhan dan membatasi potensi menuju perbaikan efisiensi. Di pelabuhan-pelabuhan, hanya satu pergantian (shift) tenaga kerja diperkenankan dan peluang untuk lembur terbatas. Nathan Associate (2001) mengamati bahwa peraturan ini mengakibatkan hilangnya produktivitas 6-jam dari setiap masa operasi 24-jam karena waktu istirahat yang kaku tidak dijadwalkan atau diatur secara bertahap untuk menjamin pelayanan kapal secara terus-menerus. Kegiatan mencari rente yang menaik: Penyebab lain dari kinerja pelabuhan yang buruk adalah korupsi. Patunru (2007) mencatat bahwa pembayaran dibawah tangan untuk mempercepat waktu antrian karena kurangnya fasilitas infrastruktur penting seperti alat kerek dan ruang penyimpanan/gudang adalah hal yang sudah umum terjadi. Biaya tersebut merupakan biaya tambahan di samping berbagai pembayaran bawah tangan yang diminta di pelabuhan untuk pengurusan ekspor dan impor. Media sering melaporkan tentang fenomena ini. Kendala Geografi: Indonesia memiliki sangat sedikit pelabuhan alam air dalam dan memiliki sebuah sistem pelayaran sungai yang rentan terhadap penyumbatan serius yang membatasi kedalaman pelabuhan. Ray (2006) mencatat bahwa kedalaman pelabuhan tampaknya menjadi masalah besar bagi hampir setiap pelabuhan di Indonesia. Untuk beroperasi secara normal, banyak pelabuhan harus melakukan pengerukan terus menerus dengan biaya mahal. Kondisi geologi ini terutama berlaku untuk pelabuhan utama yang terletak di pantai utara Jawa, yang melayani wilayah terpadat penduduknya dan wilayah termaju industrinya. Tanah dasar laut dan pesisir hampir semua adalah ‘aluvial’ dan tidak stabil, lagipula perairan pantainya dangkal. Oleh karena itu, sulit untuk menemukan situs/tempat yang tepat untuk pembangunan pelabuhan baru. Penelitian tanah yang dilakukan oleh para insinyur sipil menemukan bahwa untuk memiliki daya muat yang layak yang paling sedikit 12 meter, sebuah dermaga sepanjang 3 km harus dibangun dari pantai Utara Jawa Tengah. Pelabuhan 40 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Semarang, merupakan pelabuhan utama Jawa Tengah, juga bermasalah karena pelabuhan ini semakin lama semakin tenggelam dengan laju 7-12 cm per tahun, dan selama berhari-hari dalm sebulan sebagian besar daerah pelabuhan tersebut berada di bawah air. Setiap 7-10 tahun, di terminal kontainer ini harus dilakukan pekerjaan yang mahal dan makan waktu untuk meninggikan dermaga utama dan daerah gudang kontainer. Investasi Sektor Swasta dan Kemitraan Publik-Swasta (PPP) Investasi swasta di pelabuhan menunjukkan hasil yang beragam. PPP di bidang pelabuhan dimulai pada tahun 1995 dengan konsesi yang diberikan kepada Hutchison Whampoa untuk rehabilitasi dan pengoperasian Terminal Kontainer Koja selama 20 tahun (Tabel 14). Investasi swasta secara penuh telah berhasil dilakukan untuk terminal pasokan besar yang melayani penambang batubara yang dilakukan oleh Tabel 14: Investasi Swasta dan Kemitraan Publik-Swasta di Pelabuhan Laut Indonesia Nama Modalitas Periode Sponsor kontrak Terminal Kontainer Koja ROT 20 Hutchison Whampoa Terminal barang besar BOO Adaro Indonesia Energy Terminal Batu Bara BOO Dermaga Prakasa Pratama Terminal container Tanjung BROT 20 DP World Perak Terminal Internasional BROT 20 Hutchison Whampoa Terminal Kontainer ROT 10 ICTSI Makassar Tahun mulai 1995 Investasi (juta $) 111,1 1995 110 1995 50 1999 473 1999 555 2003 Sumber : World Bank PPI Database, 2009; ROT: rehabilitasi, operasi, transfer; BOO: bangun, miliki, operasi; BROT: bangun, rehabilitasi, operasi, transfer Adaro Energy dan Dermaga Prakasa Pratama di Kalimantan. Kedua terminal tersebut melayani pasar batubara domestik dan internasional, yang sedang tumbuh. Untuk meningkatkan pembiayaan selama krisis keuangan Asia, pemerintah memulai sebuah PPP tambahan melalui privatisasi parsial/sebagian dengan penjualan sebesar 52 persen dari Terminal Kontainer International Jakarta (JICT) pada Hutchison, dan 49 persen dari Terminal Kontainer Tanjung Perak pada P & O (DP World), keduanya pada tahun 1999. Usaha patungan ini belum benar-benar berhasil, karena investor swasta dituduh tidak mencapai target kinerja dan gagal untuk menarik ‘lalu lintas’ (barang) yang cukup ke pelabuhan. Otoritas Kontrak PPP masih dilakukan oleh operator milik negara, yang jelas menunjukkan konflik kepentingan. Kebanyakan pelabuhan laut komersial besar 41 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur dioperasikan oleh empat PELINDO (perusahaan milik negara), yang, sampai sebelum berlakunya hukum maritim secara efektif pada tahun 2011, bertindak sebagai pemegang monopoli untuk mengelola semua aspek operasi, pengembangan, dan penawaran/pencarian partisipasi sektor swasta. Mereka juga akan bertindak sebagai regulator, menetapkan tarif untuk penggunaan infrastruktur pelabuhan dan jasa dengan berkonsultasi dengan Kementerian Perhubungan. Keadaan ini dan tidak adanya kondisi kesetaraan dalam berusaha di sektor ini (PELINDO sebagai operator pelabuhan juga bersaing dengan operator swasta) telah menciptakan ketidak-pastian dan suatu peraturan dan suasana investasi yang sulit diduga,yang mengakibatkan rendahnya partisipasi swasta di sektor pelabuhan sejak tahun 1999. Kendala Kunci dalam Kemitraan Publik-Swasta dan Investasi Swasta Lemahnya Kerangka Hukum: Rendahnya investasi swasta di bidang infrastruktur pelabuhan terjadi karena kurang adanya peraturan yang jelas yang dapat diprediksi. Sebelum penerbitan hukum maritim yang baru (UU 17/2008), PELINDO bertindak, sebagai pemilik sekaligus sebagai operator di dalam kontrak PPP. Keadaan ini telah menghalangi masuknya investasi swasta, karena investor yang punya potensi dalam proyek PPP tidak menerima perlakuan yang adil. Di bawah peraturan baru ini (di mana kekuatan monopoli PELINDO dicabut dan mereka menjadi operator pelabuhan biasa), peran penguasa dipegang oleh otoritas pelabuhan, yang akan bertindak atas nama pemerintah. Dalam struktur ini, pembagian tanggung jawab antara otoritas publik dan investor swasta dalam kontrak PPP menjadi lebih jelas, dan menghilangkan konflik kepentingan. Sayangnya, peraturan, yang akan merupakan panduan untuk pembentukan dan operasionalisasi otoritas pelabuhan, hanya akan berlaku pada saat hukum tersebut efektif pada tahun 2011. Lemahnya Kapasitas Kelembagaan: Para pejabat pemerintah di Kementerian Perhubungan (untuk proyek pelabuhan nasional) dan di daerah (untuk pelabuhan regional) tidak memiliki kapasitas yang diperlukan untuk merancang proyek PPP yang layak dana yang dapat diterima secara internasional. Secara historis, peran otoritas kontrak dilakukan oleh PELINDO, sedang pemerintah bertanggung jawab untuk membuat kebijakan. Sehingga, keterampilan untuk berfungsi sebagai otoritas pembuat kontrak tidak dikembangkan di pemerintahan.Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Perhubungan telah meminta bantuan dari Fasilitas Pengembangan Proyek dari Unit Pusat PPP di BAPPENAS. Direncanakan untuk merekrut penasihat transaksi yang berpengalaman dengan tujuan membantu Kementerian Perhubungan dan pemerintah daerah sehingga mereka dapat mempersiapkan proyek pelabuhan yang menarik dan perjanjian konsesi pelabuhan layak dana. Hukum maritim baru tersebut menentukan secara sangat rinci tugas dan fungsi Otoritas Pelabuhan, seperti perencanaan, pengawasan terminal dan pemberian konsesi. Undang-undang ini khusus mengharuskan Otoritas Pelabuhan dikelola oleh pegawai negeri dengan kualifikasi dan pengalaman yang sesuai. Petugas tersebut tersedia di Indonesia, tetapi mereka cenderung merupakan pegawai darikeempat PELINDO. Kementerian Perhubungan, di sisi lain, kekurangan pegawai negeri sipil 42 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur dengan keahlian dan pengalaman yang relevan. Persyaratan yang kaku untuk Otoritas Pelabuhan yang boleh mempekerjakan hanya pegawai negeri sipil dapat menghambat dan bukan memudahkan investasi baru dan perbaikan operasional yang dibutuhkan di pelabuhanpelabuhan utama. Kurangnya Proyek Layak Dana: Salah satu kendala tambahan dalam pelaksanaan PPP pelabuhan adalah tidak adanya proyek layak dana yang telah ditawarkan sejauh ini pada investor berpotensi. Privatisasi sebagian Tanjung Priok dan Tanjung Perak pada tahun 1999 lebih dianggap sebagai upaya penggalangan dana oleh pemerintah selama krisis keuangan Asia, dan bukan dalam perspektif untuk memanfaatkan keahlian investor swasta dalam meningkatkan produktivitas pelabuhan. Upaya selanjutnya untuk menawarkan Pelabuhan Bojonegara di Jawa Barat dan Pelabuhan Teluk Lamong di Jawa Timur belum terwujud, karena pemerintah masih mempersiapkan penawaran/transaksi yanglebih menarik bagi investor swasta (misalnya, membentuk otoritas pelabuhan dan memperoleh tanah sebelum menawarkan proyek). Kedua proyek ini sebenarnya sedang berada pada tahap persiapan tender sejak tahun 2006, tetapi prosesnya amat lambat karena lemahnya kapasitas kelembagaan. Keuntungan atas Investasi yang dianggap Rendah: Berdasarkan hukum/peraturan transportasi laut yang baru, pemerintah masih mengontrol tarif untuk proyek-proyek pelabuhan PPP. Tarif ditetapkan oleh otoritas pelabuhan setelah berkonsultasi dengan Kementerian Perhubungan. Hal ini bisa dimengerti, mengingat pelabuhan memiliki monopoli geografis besar, dan karena tidak akan ada kompetisi intra-pelabuhan, pengaturan tarif agak kurang mendukung usaha pembangunan pelabuhan. Para investor swasta berharap bahwa tarif pelabuhan benar-benar harus ditentukan melalui proses penawaran yang kompetitif dalampemilihan sebuah investor pelabuhan. 43 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Penggunaan peraturan berdasarkan biaya pelayanan atau tingkat keuntungan biasanya akan mengakibatkan tarif yang terlalu rendah untuk menarik investor potensial. Analisa di atas menunjukkan bahwa kendala utama yang menghambat investasi baru di pelabuhan adalah kurangnya kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia dalam pemerintahan dan ketidak-mampuan untuk mempersiapkan proyek layak dana, adanya korupsi/kegiatan mencari rente, lemahnya kerangka hukum,dan rendahnya keuntungan atas investasi. (Tabel 15) Tabel 15: Ringkasan Tentang Kendala Besar dan Kecil Dalam Infrastruktur Pelabuhan Kendala Kendala besar/kecil Lemahnya Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Lemahnya Kerangka Hukum Tingginya Korupsi Kurangnya Proyek Layak Dana Kurangnya Dana Jangka Panjang Rendahnya Tingkat Keuntungan Atas Investasi (dipandang investor) Kendala Geografis Kunci: : Kendala Besar : Kendala Kecil iii) Kereta api Mungkin kereta api adalah sarana transportasi darat yang paling aman dan dapat menangani volume penumpang dan barang yang tinggi, disamping merupakan sarana transportasi dengan enerji yang efisien. Namun, kereta api kurang fleksibel dan lebih memerlukan padat modal dibanding dengan angkutan jalan. Walaupun demikian kereta api sangat penting, terutama di daerah padat penduduk, untuk mendukung mobilitas penduduk dan angkutanbarang antar-daerah. Sekilas tentang Sektor kereta api Pertumbuhan penggunaan kereta api masih marginal. Jumlah penumpang kereta api di Jawa dan Sumatera meningkat dari 155 juta pada tahun 2003 menjadi 175 juta pada tahun 2007, peningkatan sebesar 3,2 persen per tahun. Demikian pula, jumlah kilometer meningkat sebesar 1,6 persen selama periode yang sama. Peningkatan ini terjadi terutama di Jawa, yang pada tahun 2007, mengangkut 98 persen penumpang kereta api (Tabel 16). Transportasi barang dengan kereta api tetap sekitar 4,4 juta ton selama 2003-2007, dengan suatu peningkatan tahunan marjinal, hanya 0,1 persen. Dalam hal transportasi barang dengan kereta api, Sumatera berperan sekitar 80 persen dari total transportasi barang (Tabel 16). 44 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Tabel 16: Transportasi Kereta Api di Indonesia, 2003-2007 2003 2004 2005 2006 Penumpang yang diangkut (juta) Jawa 151 146 148 Sumatera 3 4 3 Total 155 150 152 Penumpang bepergian (juta km) Jawa 14.251 13.991 13.610 Sumatera 780 786 735 Total 15.031 14.777 14.345 Rata-rata panjang perjalanan per penumpang (km) Jawa 94 96 92 Sumatera 229 225 237 Total 97 99 95 Transportasi barang (000 ton muatan) Jawa 967 942 933 Sumatera 3.389 3.638 3.499 Total 4.356 4.580 4.432 (juta Ton km) Jawa 4.559 4.466 4.459 Sumatera 11.734 12.680 12.882 Total 16.293 17.146 17.341 Rata-rata jarak tempuh barang yang ditransportasi (km) Jawa 212 211 209 Sumatera 289 287 272 Total 267 267 256 2007 Tren pertumbuhan (%) 156 3 159 172 3 175 3,3 -0,6 3,2 14.799 780 15.579 15.090 782 15.872 1,7 0,0 1,6 95 236 98 88 230 91 -1.5 0,6 -1.5 862 3.612 4.474 894 3.532 4.426 -2,4 0,8 0,1 3.900 13.373 17.273 3.922 13.155 17.077 -4,3 2,9 1,0 221 270 259 228 268 259 1,9 -2,0 -0,9 Sumber: Statistik Indonesia, 2008 Sebagian besar aset kereta api sudah tua dan memburuk (misalnya, lebih dari dua-pertiga aset bergerak yang berfungsi berusia lebih dari 20 tahun. Sektor kereta api di Indonesia berperan kurang dari 10 persen dari total lalu lintas penumpang dan hanya 0,6 persen dari lalu lintas barang28. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan ini, Indonesia memiliki jaringan kereta api terbesar (4.337 km) dan penggunaan kereta api paling intensif (25,5 milyar penumpang-km). (Tabel 17). Jaringan rel kereta api di Indonesia hanya terdapat di Jawa dan Sumatera. Meskipun terbentang sepanjang 5.824 km, hanya 4.337 km yang operasional. Jawa memiliki 28 ADB, Indonesia Infrastructure Reform Sector Development Program Loan Sub-Program 2, 2008 45 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Tabel 17: Statistik kunci Kereta api di Indonenesia dan Negara-negara Tetangga Indonesia Vietnam Filipina Thailand Malaysia Rute Rel kereta api (km) 4.337 3.147 491 4.044 1.667 Penumpang yang diangkut (juta-penumpang-km) 25.535 4.333 144 9.195 2.075 Barang yang di angkut (juta-ton-km) 4.698 3.447 NA 4.037 1.572 Sumber: Indikator Perkembangan Dunia 2009 jaringan kereta api yang lebih besar dari Sumatera, dengan koridor kereta api utama adalah Jakarta-Bandung, Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi (dikenal sebagai Jalur Utara), Bandung-Kroya-Yogyakarta-Surabaya (dikenal sebagai Jalur Selatan), dan dengan sambungan rute Cirebon-Purwokerto-Kroya. Sebagian besar sistem kereta api Indonesia adalah rel tunggal, namun karena meningkatnya permintaan transportasi umum perkotaan, pemerintah berniat untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas jaringan kereta api Jabotabek, yang terdiri dari hampir 266 km jalur ganda. Perluasan kereta api masih terhambat oleh masalah pembebasan tanah. Jutaan penumpang di Jabotabek cenderung menggunakan kereta api untuk jarak yang relatif pendek, sedangkan di Sumatera, kereta api terutama digunakan untuk transportasi batubara dan komoditas. Kendala Kunci Untuk Investasi Publik di Infrastruktur Kereta Api Lemahnya Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan: Di bawah peraturan lama, pengembangan dan implementasi pelayanan kereta api terutama dilakukan oleh PTKA, sedangkan pembuatan kebijakan dan peraturan tarif di bawah wewenang Kementerian Perhubungan. Susunan ini menyebabkan PTKA memiliki 23.000 pegawai, dibandingkan dengan Direktorat Jenderal Perkereta-apian (DJP) yang baru dibentuk di bawah Kementerian Perhubungan, yang hanya memiliki sekitar 300 pegawai penuh. Di tingkat pemerintah daerah (Propinsi atau Kabupaten), angka ini turun menjadi nol dibeberapa tempat. Kurangnya staf yang cukup kompeten harus diatasi jika DJP ingin melaksanakan kebijakan dan fungsi regulasi yang efisien dan efektif. Oleh karena itu transfer pegawai dari PTKA ke DJP atau program manajemen sumber daya yang efektif dan program peningkatan kapasitas yang ekstensif diperlukan untuk memperkuat kinerja DJP. Pembebasan Tanah: Kendala yang biasa diungkapkanini adalah hambatan yang paling kritis dalam investasi pengembangan infrastruktur kereta api. Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah didirikan, bersamaan dengan pembentukan kelompok koordinasi antar-kementerian di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, untuk mengembangkan undang-undang dan peraturan yang sesuai untuk mempermudah dan mempercepat proses pembebasan tanah. Masalah ini adalah kendala utama untuk jaringan Jabodetabek di Jakarta, yang mengakibatkan tertundanya pembangunan perluasan kereta api (Kotak 4). 46 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 4: Perolehan Tanah untuk Ekspansi Kereta Api: Jaringan Jabodetabek di Jakarta Pemerintah Indonesia berencana membangun rel kereta api jalur ganda yang menghubungkan Manggarai dan Bekasi. Proyek ini telah terencana sejak lebih dari tiga tahun, tetapi tidak ada kemajuan karena masalah pembebasan tanah yang belum terselesaikan. Pemerintah mengantisipasi bahwa pembebasan lahan akan selesai pada akhir tahun 2009, dengan pembangunan proyek yang akan selesai pada 2012. Masalah utama terkait dengan pengadaan tanah (yang kebetulan dimiliki oleh pensiunan dari PTKA). Rendahnya Keuntungan Atas Investasi: Tarif kereta api ditentukan berdasarkan pertimbangan sosial, yang sering menyebabkan tidak adanya kesinambungan layanan. Ini juga mengakibatkan ketergantungan pada anggaran pemerintah untuk menyubsidi biaya operasional. Investasi Sektor Swasta dan PPP dalam Infrastruktur Kereta Api Tidak ada investasi swasta yang berarti dalam sektor kereta api. Berdasarkan undangundang sebelumnya, partisipasi swasta dalam kereta api dapat dilakukan melalui kerjasama dengan PTKA. Namun, tidak ada yang terwujud karena kurangnya transparansi dalam pengaturan keuangan antara pemerintah dan PTKA. Oleh karena itu, keterlibatan sektor swasta di jaringan kereta api yang ada sangat sulit. Sampai saat ini, tidak ada PPP yang sesungguhnya, yang ada hanya kemitraan antara PTKA dan perusahaan milik negara Angkasa Pura II untuk mengajukan tawaran untuk proyek jaringan kereta api PPP yang menghubungkan Bandara Sukarno-Hatta dengan pusat kota Jakarta. Kendala Kunci bagi investasi PPP dan sektor Swasta dalam Infrastruktur Kereta Api Lemahnya Kerangka Hukum: Seperti untuk sektor transportasi lainnya, undangundang dan peraturan baru sudah dibuat, tapi masih kurang kejelasannya dalam PPP. Menurut penilaian Bank Dunia, walaupun undang-undang memandatkan bahwa PTKA akan diberikan kondisi persaingan setara dengan operator sektor swasta, monopoli KAI akan tetap dipertahankan, dan bahwa investasi swasta di perkereta-apian akan terbatas pada kepemilikan saham minoritas di perusahaan kereta api nasional, dengan sektor swasta tidak diizinkan mengoperasikan asset bergerak nya (Bank Dunia, 2008). Lemahnya Kapasitas Kelembagaan: Tanggung jawab kontrak pada infrastruktur kereta api dimiliki oleh Kementerian Perhubungan, yang kurang pengalaman, sumber daya, dan kapasitas untuk mempersiapkan dan menyusun proyek PPP. Kelemahan ini tampak jelas dalam persiapan dan pelaksanaan proyek link-kereta api PPP Sukarno Hatta, dimana proyek ini tersusun tanpa dukungan pemerintah, sehingga menjadi proyek yang tak layak didanai29. Untuk proyek PPP berikutnya yang direncanakan untuk kereta api batubara di Kalimantan, Kementerian Perhubungan dan Pemerintah 29 Tempo Interaktif, Pemerintah Batal Ambil Alih Proyek Kereta Bandara Sukarno- Hatta, 29Juni, 2009 47 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Provinsi Kalimantan Tengah, dengan bantuan BAPPENAS, bekerja bahu-membahu bersama konsultan transaksi untuk memasarkan dan membuka tender proyek ini. Kesempatan mendapatkan pelatihan langsung dari konsultan internasional yang berpengalaman ini dapat mempercepat proses belajar, dan menyukseskan pelaksanaan proyek PPP. Keuntungan Investasi yang dianggap Rendah: Berdasarkan undang-undang kereta api yang baru, melalui Kementerian Perhubungan, pemerintah mengontrol biaya penggunaan prasarana kereta api (track access charges-TAC). Peraturan untuk menghitung dan mengatur TAC ini belum berlaku, mengakibatkan ketidak-pastian karena investor sektor swasta harus menunggu berlakunya peraturan tersebut sebelum mengambil keputusan untuk berpartisipasi atau tidaknya dalam proyek-proyek PPP. Rincian tentang TAC sangat penting bagi PPP, karena hal ini menentukan kelayakan proyek. Jika suatu pengaturan TAC yang sama dengan PTKA diterapkan, sektor swasta mungkin akan merasa bahwa tingkat keuntungan proyek ini terlalu rendah untuk mereka ikut berpartisipasi. Analisa di atas menekankan bahwa kendala utama yang menghambat investasi baru di infrastruktur kereta api adalah kurangnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan dalam pemerintahan, masalah pembebasan lahan; lemahnya kerangka hukum; dan rendahnya pengembalian atau keuntungan investasi (Tabel 18). Tabel 18: Ringkasan tentang Kendala Besar dan Kecil dalam Infrastruktur Kereta Api Kendala Kendala besar/kecil Lemahnya Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Sulitnya Pembebasan Tanah Buruknya Tata Laksana/KelolaPemerintahan yang buruk Lemahnya Kerangka Hukum Rendahnya Pengembalian atau Keuntungan atas Investasi Kunci: : Kendala Besar : Kendala Kecil iv) Transportasi Udara Transportasi udara berperan penting dalam perekonomian Indonesia karena memungkinkan mobilitas cepat, mendukung kegiatan ekonomi, dan menyediakan akses penghubung tercepat bagi daerah terpencil di nusantara Indonesia yang luas ini. Operator maskapai penerbangan murah telah memperoleh pangsa pasar penumpang yang tinggi dengan merebut penumpang domestik transportasi laut. Sekilas Tentang Sektor Transportasi Udara Pertumbuhan sektor ini didorong oleh meningkatnya kompetisi dan ketersediaan maskapai penerbangan bertarif rendah. Deregulasi industri penerbangan, yang 48 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur dimulai pada tahun 1999, mempermudah maskapai penerbangan swasta untuk bersaing dengan operator milik negara. Penerima manfaat terbesar adalah konsumen, yang mengalamipenurunan drastis tarif dan penambahan jadwal penerbangan untuk tujuan baru. Jumlah penumpang udara meningkat dari 23,8 juta pada tahun 2004 ke 37,4 juta pada tahun 2008. Pertumbuhan tahunan selama periode tersebut adalah 12,8 persen untuk domestik dan 8,8 persen untuk penerbangan internasional. (Tabel 19). Mengingat penyebaran geografi Indonesia, perluasan perjalanan udara berbiaya rendah dipandang sebagai penyumbang utama pembangunan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun prospek ekonomi untuk industri penerbangan terlihat positif, terminal bandara yang penuh sesak (terutama dalam jaringan regional seperti Polonia Medan dan Juanda Surabaya)30, kontrol lalu lintas udara yang tidak memadai, dan adanya masalah keselamatan dapat menghambat pertumbuhan industri penerbangan. Tabel 19: Volume Penumpang Udara di Bandara Indonesia 2004 Penerbangan Domestik (juta) Penerbangan Internasional (juta) 2005 2006 2007 2008 Tren pertumbuhan (%) 23,8 29,0 34,0 39,2 37,4 12,8 2,8 3,0 3,0 3,2 4,1 8,8 Sumber: Departemen Perhubungan, 2008 Kecelakaan udara jauh lebih tinggi dari rata-rata. Tingkat kecelakaan udara yang berakibat fatal di Indonesia adalah 15 kali rata-rata dunia31. Sebuah studi yang didanai pemerintah tentang keselamatan penerbangan melaporkan bahwa tidak ada satupun maskapai penerbangan Indonesia yang sepenuhnya memenuhi standar keamanan internasional. Pemerintah telah mengambil tindakan untuk memperbaiki situasi ini dengan menegakkan kontrol ketat atas standar penerbangan. Pada tahun 2008, jumlah korban telah mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan pada tahun 2007 (Tabel 20). Tabel 20: Kecelakaan Udara di Indonesia 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah Kecelakaan 19 32 38 17 27 Jumlah Korban Fatal 42 131 14 124 4 Sumber: Departemen Perhubungan, 2009; Komite Keselamatan Transportasi Nasional, 2009 Transportasi udara di Indonesia memiliki potensi pertumbuhan yang signifikan. Dibandingkan dengan negara tetangga,berdasarkan per kapita, lalu lintas penumpang Indonesia per kapita, (13 penumpang/100 jiwa) sedikit lebih tinggi dari Vietnam (8 penumpang/100 jiwa) dan Filipina (10 penumpang/100 jiwa), tetapi secara signifikan lebih rendah dari Malaysia (80 penumpang/100 jiwa) dan Thailand (33 30 31 ADB, Indonesia Country Strategy and Program 2006-2009 World Bank, Infrastructure Development Loan Program Document, 2008 49 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur penumpang/100 jiwa). Dalam hal pengiriman barang melalui udara, Indonesia lebih banyak dibandingkan Vietnam dan Filipina, akan tetapi jauh di bawah Malaysia dan Thailand. Namun, dalam hal keberangkatan pesawat yang tercatat ke seluruh dunia dan jumlah penumpang, Indonesia lebih banyak dibandingkan semua negara tetangga (Tabel 21). Tabel 21: Statistik Kunci Transportasi Udara di Indonesia dan di Negara-negara Tetangga, 2007 Indonesia Keberangkatan pesawat terdaftar ke seluruh dunia (ribu) Penumpang yang diangkut (ribu) Angkutan Barang Udara (juta ton-km) Populasi (juta) Penumpang/100 penduduk Vietnam Filipina Thailand Malaysia 358 60 65 130 185 30.406 7.194 8.818 21.192 21.326 485 258 286 2.455 2.662 225,6 85,2 87,9 63,8 26,5 13 8 10 33 80 Sumber: World Development Indicators 2009 Investasi Sektor Publik Dalam Infrastruktur Bandara Pendanaan publik jangka panjang untuk pengembangan bandara adalah jarang terjadi. Sementara maskapai penerbangan swasta telah merespon liberalisasi pasar dengan cepat, infrastruktur bandara, yang sebagian besar masih di bawah pengelolaan publik, berkembang dengan lebih lambat. Karena tarif bandara domestik yang ditentukan pemerintah (yang ternyata rendah), maka tidak ada keuntungan dari layanan yang diberikan. Hanya bandara-bandara utama (misalnya, Jakarta, Medan, Surabaya, dan Bali), yang dikendalikan oleh P.T. Angkasa Pura dengan lalu lintas internasional yang tinggi, mampu mencapai tingkat impas dalam operasi mereka. Meskipun operator bandara bisa mengusulkan kenaikan tarif, hal ini hanya dapat dilakukan setelah konsultasi dengan pengguna, pemerintah daerah, dan Kementerian Perhubungan. Pengalaman dengan kenaikan tarif menunjukkan betapa sulitnya untuk di laksanakan karena adanya perlawanan yang kuat selama proses konsultasi, atau bisa bahkan kemudian dibawa ke pengadilan oleh kelompok konsumen32. Dengan praktik harga ini, sulit baik bagi Angkasa Pura maupun pemerintah menyediakan pendanaan jangka panjang untuk ekspansi atau pengembangan bandara baru. Analisa laporan keuangan Angkasa Pura menunjukkan bahwa manajemen pendapatan mereka juga belum optimal, lebih dari 70 persen dari pendapatan berasaldari biaya penerbangan (Tabel 22). Kemungkinan diversifikasi dengan sumbersumber pendapatan lainnya hanya disadari dalam lima tahun terakhir dan tercantum dalam rencana untuk pengembangan berikut, yang meliputi pembangunan sarana 32 Warta Ekonomi, Kenaikan Airport Tax Digugat Pengguna Layanan , 1 Mei, 2009 50 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur toko-toko yang canggih dan infrastruktur pendukung (misalnya, akses kereta api ke bandara). Oleh karena itu, pangsa pendapatan dari sumber bukan penerbangan telah berkembang sejak tahun 2004. Juga tidak terdapat suatu mekanisme dan kebijakan pendanaan yang mantap bagi pemerintah pusat/daerah, Angkasa Pura, serta sektor swasta yang menunjukkan bagaimana membiayai proyek-proyek bandara baru. Penggunaan pinjaman luar negeri Tabel 22: Penghasilan Angkasa Pura I (milyar rupiah) 2004 2005 2006 2007 2008 Penerbangan 862 953 1.021 1.178 1.415 Bukan Penerbanagan 201 262 290 371 446 Total Penghasilan 1.063 1.215 1.311 1.549 1.861 Pangsa Penerbangan (%) 81,1 78,4 77,9 76,1 76,0 Sumber: Angkasa Pura I, 2008 dari badan-badan multilateral atau bilateral untuk membiayai perluasan bandara besar juga terbatas, karena kebanyakan dari bandara-bandara tersebut (misalnya, Polonia Medan dan Adi Sutjipto Yogyakarta, kecuali Sukarno-Hatta di Jakarta) digunakan selain untuk tujuan sipil juga untuk tujuan militer . Kendala Kunci bagi Investasi Sektor Publik dalam Infrastrukur Bandara Lemahnya Kapasitas Manusia dan Kelembagaan: Hal ini terlihat pada tingginya tingkat kecelakaan udara. Penyelidikan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi menunjukkan bahwa 70-80 persen kecelakaan terjadi sebagai akibat dari ketidak-memadainya kapasitas sumber daya manusia (kesalahan pilot, pengontrol lalu lintas udara, dan petugas pemeliharaan). Kelemahan kelembagaan juga tampak dalam pengawasan yang terbatas bagi uji kelayakan terbang dan prosedur. Undangundang penerbangan baru mengharuskan pembentukan sebuah pengontrol lalu lintas udara tunggal, yang akan memegang peran yang saat ini ditangani oleh Angkasa Pura dan Kementerian Perhubungan. Undang-undang tidak menetapkan bahwa pengontrol lalu lintas udara baru harus dikelola oleh pegawai negeri sipil (seperti pada kasus pembentukan otoritas pelabuhan yang terdapat dalam hukum maritim). Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pengontrol lalu lintas udara untuk mempekerjakan staf yang berketerampilan sesuai dan dan bersemangat tinggi. Investasi publik pada pengontrol lalu lintas udara dan lembaga keselamatan lain yang terkait adalah sangat penting untuk pertumbuhan masa depan sektor ini. Lemahnya Kapasitas Pendanaan untuk Bandar Udara Non-komersial: Operasi bandara (bandar udara) yang besar dan menguntungkan dilakukan oleh Angkasa Pura, sementara bandara terpencil dan tidak menguntungkan dilakukan oleh Kementerian Perhubungan. Angkasa Pura telah memberikan profesionalisme dan layanan yang berorientasi pelanggan dibandara yang dikelola. Di sisi lain, beban mengelola bandara yang rendah lalu lintas penerbangan dan mengalami kerugian terletak pada 51 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kementerian Perhubungan, yang tergantung pada anggaran negara untuk menutupi semua pengeluaran. Keadaan ini memberi kesulitan pada Kementerian Perhubungan untuk membangun kapasitas dan sumber daya untuk secara cukup memelihara fasilitas yang ada atau berinvestasi dalam fasilitas yang baru. Investasi Sektor Swasta dan PPP dalam Infrastruktur Bandara Tidak ada investasi swasta yang signifikan di sektor bandara: Partisipasi swasta dalam pembangunan dan manajemen bandara terbatas pada memberikan layanan terminal sebagai sub-kontraktor dari Angkasa Pura. Swastanisasi Angkasa Pura atau pelaksanaan PPP secara keseluruhan pada beberapa bandara besar telah dipikirkan oleh pemerintah, namun tidak ada kemajuan yang signifikan yang telah dicapai. Sampai efektifnya pelaksanaan hukum penerbangan baru (melalui penerbitan peraturan pelaksanaan), kemitraan-publik-swasta (PPP) yang layak dalam pengelolaan bandara, terbatas hanya melalui kerjasama (“joint-venture”) dengan Angkasa Pura, yang telah menawarkan kemitraannya dalam operasi terminal atau akses kereta api. Sampai saat ini, tidak ada PPP yang sesungguhnya, kecuali berupa kerjasama yang dirancang untuk mengembangkan jalur kereta api (rail-link) yang menghubungkan Bandara Sukarno-Hatta dengan pusat kota Jakarta (antara Angkasa Pura dan PT Kereta Api, operator kereta api milik negara). Kendala Kunci bagi Investasi PPP dan Swasta dalam Infrastruktur Bandara Lemahnya Kerangka Hukum: Partisipasi sektor swasta yang rendah di sektor transportasi udara terutama disebabkan oleh tidak adanya akses dan kesempatan yang sama untuk semua investor, dan tidak adanya peraturan dan kondisi investasi yang jelas dan dapat diprediksi. Selain itu, sektor swasta saat ini disisihkan dengan sengaja karena penyediaan jasa tertentu terbatas hanya oleh sektor publik. Berdasarkan undang-undang sebelumnya, pengelolaan bandara komersial dilakukan oleh Angkasa Pura, yang membatasi kemungkinan transaksi PPP dalam penyediaan jasa terminal, sementara bisnis ‘udara’ yang menarik/menguntungkan tetap dilakukan oleh Angkasa Pura. Undang-undang baru memisahkan fungsi kontrol lalu lintas udara dari Angkasa Pura. Namun, posisi yang sekarang dimiliki AP akan memberi AP kesempatan lebih awal untuk mempertahankan dan memperluas pangsa pasar mereka di seluruh bandara Indonesia. Undang-undang baru ini juga akan mengalihkan kekuatan kontrak ke Kementerian Perhubungan dan pemerintah daerah, namun hukum dan wewenang yang rinci untuk pengelolaan bandara masih harus ditetapkan. Peraturan yang merupakan dasar hukum bagi otoritas kontrak di bandara masih sedang disusun. Dalam keadaan yang seperti ini, masih ada ketidak-pastian yang tinggi di kalangan investor swasta. Oleh karena itu, terlalu dini untuk mengambil keputusan investasi sampai munculnya kejelasan kerangka hukum dan peraturan. Lemahnya Kapasitas Kelembagaan: Kementerian Perhubungan dan pemerintah lokal kekurangan pengalaman, sumber daya, dan kapasitas untuk menyiapkan dan membentuk proyek PPP. Kasus ini jelas terlihat dari adanya permintaan dari Fasilitas 52 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Pengembangan Proyek di BAPPENAS untuk penyusunan dan transaksi PPP bagi Bandara Internasional Jawa Barat di Kertajati. Pengembalian Investasi yang dirasakan rendah: Di bawah undang-undang transportasi udara yang baru, pemerintah masih memegang control terhadap biaya jasa bandara melalui konsultasi dengan KementerianPerhubungan. Karena dalam hal ini tidak ada badan pengawas independen, penolakan terhadap kenaikan pungutan bandara dapat secara negatif mempengaruhi investor karena tarif bisa diatur berdasarkan pertimbangan konsumen/politik. Berdasarkan analisa di atas, Tabel 29 menunjukkan kendala utama yang menghambat investasi baru di bidang infrastruktur transportasi udara. Kendala-kendala ini mencakup lemahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan di pemerintahan; lemahnya kerangka peraturan; langkanya pendanaan jangka panjang; lemahnya kapasitas pendanaan untuk bandara non-komersial; dan rendahnya tinkat keuntungan atau pengembalian atas investasi. (Table 23). Tabel 23: Ringkasan Kendala Besar dan Kecil pada Infrastruktur Bandar Kendala Kendala besar/kecil Lemahnya Kapasitas Manusia dan Kelembagaan Lemahnya Kerangka Hukum Kurangnya Pendanaan Jangka Panjang Rendahnya Pengembalian Investasi Lemahnya Kapasitas Pendanaan untuk Bandara Non-komersial Kunci: : Kendala Besar : Kendala Kecil v) Infrastruktur Listrik Ketidak teraturan dan kualitas penyaluran listrik merupakan kendala kunci dalam pertumbuhan bisnis seperti yang dinyatakan oleh 43 persen dari pebisnis (pelaku bisnis) di Indonesia yang disurvei dalam penelitian OECD tahun 200833. Hal ini tidak mengherankan karena sektor listrik dicirikan oleh: • rendahnya tingkat kelistrikan, berkisar dari 21 persen di Nusa Tenggara Timur ke 88 persen di ibukota Jakarta. Tingkat kelistrikan secara keseluruhan meningkat dari 55 persen pada tahun 2003 menjadi 65 persen pada tahun 2009; • kebocoran transmisi dan distribusi (transmission and distribution-T&D) yang tinggi dan terus menerus yang lebih dari 11 persen sejak tahun 1997; • tarif listrik nasional yang seragam yang disubsidi dan tak bisa dipertahankan yang ditetapkan di bawah tingkat biaya pemulihan (ditetapkan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR); 33 OECD (2008) 53 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur • permintaan tertekan – sambungan baru tidak dapat dengan cepat dilakukan karena kurangnya pasokan untuk mempertahankan tingkat marjin cadangan yang aman34. Sekilas Tentang Sektor Listrik Sebelum krisis tahun 1997 Asia, Indonesia mengalami pertumbuhan tahunan konsumsi listrik lebih dari 13 persen, mencapai puncak pada 1994-1995 menjadi lebih dari 15 persen. Namun, setelah krisis, rata-rata tahunan pertumbuhan konsumsi listrik turun menjadi sekitar 7 persen dan selanjutnya turun menjadi 2,6 persen pada tahun 2008. Selama periode 1998-2006, kapasitas terpasang PLN tumbuh sebesar 2,4 persen per tahun, dan sebesar 1,5 persen dari 2007 hingga 2008. Hal ini mengakibatkan permintaan tertekan karena kurangnya kapasitas pembangkit. Selama krisis Asia, tarif rata-rata PLN dalam dolar turun tajam dan mengakibatkan kerugian keuangan yang besar bagi PLN, berdampak buruk pada kemampuannya untuk berinvestasi dalam kapasitas baru untuk memenuhi permintaan yang meningkat (Tabel 24). Krisis Asia Tabel 24: Permintaan dan penyaluran Listrik Kapasitas Terpasang (MW) 2004 2005 2006 2007 2008 24,840 25,890 28,916 29,545 29,988 4,2 11,7 2,2 1,5 21,470 22,515 24,847 25,223 25,571 4,9 10,4 1,5 1,4 3,370 4,059 4,320 4,416 0,0 20,4 6,4 2,2 19,263 20,354 21,306 21,866 1,9 5,7 4,7 2,6 34 42 39 37 (pertambahan tahunan %) Kapasitas PLN (Pertambahan tahunan %) Kapasitas IPP 3,370 (Pertambahan tahunan %) Permintaan maksimum (MW) 18,896 (Pertambahan tahunan %) Margin Persediaan (%) 31 Sumber: PLN, 2009 mengakibatkan depresiasi cepat nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS, dan karena biaya tersebut berbasis dolar sementara pendapatan dalam Rupiah, kerugian semakin lebih tinggi35. Kurangnya investasi mengakibatkan penurunan kinerja fasilitas yang menua, mengakibatkan lebih jauh kekurangan daya listrik,, terutama sistim daya listrik di luar Jawa Bali (yaitu di Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Timur). Indonesia memiliki kapasitas pembangkit terpasang sekitar 44,5 gigawatts pada akhir tahun 2007, sekitar 57 persen dimiliki oleh PLN. Dari kapasitas pembangkit listrik swasta, 14,8 gigawatts dimiliki oleh sekitar 10.000 perusahaan industri dan manufaktur yang harus menghasilkan listrik karena pasokan PLN tidak tersedia di lokasi mereka atau tidak dapat diandalkan. Ketergantungan pada pembangkit listrik Margin cadangan adalah salah satu ukuran untuk mengetahui keterpercayaan sistim tenaga listrik, yaitu total kekuatan listrik yang tersedia yang tak terpakai dari suatu sistem tenaga listrik pada beban puncak dari suatu sistem utilitas sebagai persentase dari total kekuatan listrik 35 Kerugian ditanggung oleh pemerintah. 34 54 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur sendiri tidak mudah, terutama bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan konsumen komersial dan perumahan. Secara regional, Indonesia memiliki tarif industri terendah untuk listrik, karena listrik sebagian besar disubsidi (di bawah biaya operasional). Ini telah tidak mendorong PLN (operator milik negara) untuk meningkatkan kapasitas (makin besar PLN memproduksi dan menjual listirk, semakin besar kerugian). Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa kerugian akibat kebocoran transmisi dan distribusi yang sebesar 10 persen adalah lebih tinggi, jika dibandingkan dengan 7,2 persen di Malaysia dan 7,3 persen di Thailand, namun sebanding dengan Vietnam dan Filipina. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa tingkat kelistrikan di Indonesia (66 persen) secara signifikan lebih rendah dari Thailand (99 persen), Malaysia (98 persen), Vietnam (97 persen) dan Filipina (79 persen) (Tabel 25). Tabel 25: Perbandingan Indikator Listrik, 2009 Rasio Pemasangan Listrik (% dari rumah tangga) Kerugian Transmisi dan Distribusi (%)a Tarif peumahan Tarif (US$/kWh) Perindustrian (US$/kWh) Indonesia 66 10,0 0,052 0,045 Thailand 99 7,3 0,073 0,050 Malaysia 98 7,2 0,098 0,078 Vietnam 97 13,4 0,050a 0,050a Filipina 79a 12,4 0,153 0,108 Sumber: ) ADB, 2005; Companies’ websites, 2009 a Kendala Kunci pada Investasi Publik dalam Infrastruktur Listrik Pembebasan Tanah: Untuk membangun pembangkit listrik, serta menyiapkan jalur transmisi dan distribusi, tanah harus dibeli. Dalam kasus di mana tanah dimiliki oleh sektor swasta, PLN harus bernegosiasi langsung dengan pemilik tanah dan membeli tanah. Jika pemilik tanah meminta harga terlalu tinggi, proses hukum untuk memperoleh tanah menjadi panjang dan berlarut-larut, sehingga PLN membayar premi untuk tanah. Walaupun ada undang-undang yang berlaku untuk mempercepat pembebasan tanah, pemerintah tampaknya tidak mau menerapkan dan mengambil keputusan yang tidak populer. Oleh karena itu, pembelian lahan untuk membuat infrastruktur baru, merupakan salah satu kendala utama untuk investasi lebih lanjut dalam sector listrik. Penentuan Tarif Listrik Sosial yang lebih Rendah Dari Pemulihan Biaya: Tarif yang seragam di seluruh Indonesia telah menghambat pengembangan kapasitas produksi listrik karena masalah keuntungan dan kesinambungan. Fenomena yang tidak dapat dipertahankan ini berdampak buruk terhadap kemampuan PLN untuk berinvestasi dalam kapasitas pembangkit listrik baru. Membangkitkan dan menjual 55 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur lebih banyak listrik berarti meningkatkan kerugian operasi perusahaan, oleh karena itu, PLN enggan untuk melakukan investasi lebih lanjut di sektor ini. Selain itu, penetapan tarif sosial membuat sektor tersebut tidak efisien, karena tidak ada sinyal harga bagi investor, yang menunjukkan kurangnya kesempatan pemasokan atau bagi konsumen untuk menghemat enerji. Jelas terlihat bahwa jika harga tidak layak secara ekonomi, maka target pemasangan listrik yang diperkirakan mencapai 90 persen pada 2020 akan menjadi sangat mahal dan tidak dapat dipertahankan PLN dan pemerintah. Mengingat sensitifnya penentuan harga listrik, maka dibutuhkan keberanian politik dan sebuah revisi skema subsidi untuk memastikan bahwa baik tujuan sosial maupun ekonomi bisa dipenuhi. Kurangnya Koordinasi Kebijakan/Peraturan: Sebuah studi Bank Dunia tentang pemasangan listrik pedesaan di Indonesia, “Akses untuk Semua”, telah menemukan bahwa ada banyak ‘pemain’ (yang terkait) pada berbagai program pemasangan listrik pedesaan (misalnya, pemerintah pusat, pemerintah daerah, PLN, LSM, koperasi) dengan kementerian (Kementerian ESDM, Kementerian Koperasi, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal), dengan agenda, prosedur dan sumber-sumber pembiayaan yang berbeda-beda. Sayangnya, tidak ada koordinasi yang efektif antara ‘pemain-pemain’ tersebut. Juga ada ketidak jelasan hukum dan peraturan tentang tanggung jawab untuk listrik pedesaan. Tidak jelas apakah tanggung jawab diberikan kepada Unit Ketenaga-listrikan Sosial di Kementerian ESDM atau PLN. Akibatnya, PLN membubarkan unit pemasangan listrik pedesaan pada tahun 2001, dan tingkat ekspansi terus berkurang. Kurangnya pendekatan yang terkoordinasi dan holistik mengakibatkan ketidakpastian pada peran, dan tanggung jawab, tidak adanya akuntabilitas, and tumpang tindih usaha perbaikan.Meskipun secara teori, koordinasi adalah hal yang sederhana untuk ditangani, namun memerlukan upaya terpadu dari semua aparat pemerintahan dibarengi dengan kemampuan untuk secara efektif mendelegasikan wewenang dan melaksanakan keputusan. Tidak Efisiennya Alokasi Sumber Daya Terbatas: Keputusan untuk mempertahankan subsidi harga minyak memperburuk masalah, menghambat program enerji lain, dan tetap merupakan hambatan untuk diversifikasi enerji dan konservasi. Subsidi menyebabkan kurang layaknya untuk melakukan eksplorasi penanaman modal dalam sumber-sumber enerji alternatif. Subsidi tersebut telah membuat ketidak-efisienan ekonomi dan telah mengalihkan sumber daya negara yang terbatas dari penyediaan infrastruktur sosial dan fisik penting lainnya. Pada tahun 2009, sekitar 4 persen dari PDB dialokasikan untuk subsidi bahan bakar. Sekitar setengah dari ini persen (2 persen) digunakan untuksektor listrik (Gambar 18). Harus dicatat bahwa jumlah ini lebih tinggi dari investasi yang dilakukan di sektor listrik (kurang dari 1 persen dari PDB per tahun selama 2000-2006). Kendala Sumber Daya: Sebagian dari bisnis pembangkit listrik PLN bergantung pada pasokan gas alam. PLN pernah mengalami kesulitan di masa lalu dalam memperoleh pasokan gas alam yang memadai untuk memenuhi permintaan, hal ini disebabkan 56 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur oleh ketidak-mampuan pemasok untuk menyediakan volume gas alam yang telah dijanjikan. Sejak 2003, PLN telah menghadapi kekurangan pasokan gas alam, yang mengakibatkan penutupan beberapa pusat pembangkit tenaga listirik dan beralih ke bahan bakar (dari gas alam) untuk beberapa pusat pembangkit tenaga listrik berbahan bakar ganda. Selain itu, sejumlah ladang gas alam yang memasok persediaan PLN sedang berkurang. Karena perjanjian pasokan bersifat jangka menengah (sekitar lima tahun), PLN, jika diperlukan, bisa beralih ke sumber enerji lain atau pemasok gas alam alternatif. Namun, terdapat penundaan dalam pelaksanaan perubahan.. Dalam hal itu, gas alam harus diperoleh dari pemasok pada jarak yang lebih jauh. PLN terus melakukan negosiasi dengan para pemasok tambahan dan memperluas jaringan pembangkit untuk mengurangi ketergantungan pada gas alam. Tapi tak ada kepastian bahwa PLN akan mampu membuat atau mempertahankan infrastruktur yang dibutuhkan dan juga memberikan kontrak untukmemperoleh pasokan gas tambahan dalam jumlah yang cukup bagi pusat pembangkit listrik yang ada, atau untuk melaksanakan strategi pengembangan PLN. Sebagian dari pembangkit tenaga listrik PLN tergantung pada pemasok batu bara. Untuk menambah jumlah pusat pembangkit tenaga listrik, pasokan batu bara yang stabil dengan harga yang pantas harus terjamin36. Indonesia memiliki persediaan batu bara yang berlimpah. Menjamin pemasokan batu bara dalam jangka panjang dengan harga yang pantas akan memungkinkan PLN untuk mengembangkan kapasitas dan membangun pusat pembangkit tenaga listrik baru yang menggunakan batu bara, dengan biaya pembangkitan listrik yang lebih rendah. 36 Dalam Program Fast rack, PLN harus membangun 33 Pusat Pembangkit Tenaga Listrik dengan Batu Bara 57 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Rendahnya Faktor Muatan: Rata-rata faktor muatan sistem listrik di Indonesia tahun 2007 adalah sekitar 59,6 persen. Hal ini berbeda-beda secara menyolok antara daerah, mulai dari 30 persen di Jawa Tengah sampai 84 persen di Riau (bagian timur Sumatera). Faktor muatan yang rendah ini telah mempersulit PLN untuk memperluas kapasitas pembangkitan ‘base load’. Karena lahan yang sangat luas dan adanya berbagai pulau, maka bukanlah pilihan yang layak bagi PLN untuk mengembangkan suatu ‘grid’ nasional. Investasi Sektor Swasta dan PPP dalam Infrastruktur LIstrik Produsen Listrik Swasta (PLS) telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1994 ketika PLS mendapat ijin untuk menghasilkan listrik untuk dijual kepada PLN. Sampai tahun2009, PLS menyalurkan sekitar 15 persen (4.568 MW) dari total kapasitas. Saat ini, ada 20 PLS pada tahap operasional; 16 dalam tahap pembangunan,30 pada tahap pembiayaan, dan 6 dalam tahap akhir dari perjanjian pembelian listrik-PPL (Power Purchase Agreement-PPA) (Lampiran Tabel 3). Dalam keadaan ini, adalah penting agar semua keterlambatan yang masih harus ditangani pada 30 proyek pada tahap pembiayaan dapat diselesaikan secara cepat sehingga kapasitas pembangkit dapat meningkat secara berarti. PLS di Indonesia dikelompokkan menjadi beberapa kategori tergantung pada waktu proyek, jenis PPL, atau metode pemberian kontrak: • PLS generasi pertama: Ini adalah 27 PLS yang memulai operasinya pada tahun 1990-an yang PPA nya dinegosiasi ulang oleh PLN akibat krisis keuangan pada tahun 199737. Renegosiasi berlangsung dengan berlarut-larut serta sangat kompleks dengan hasil yang memuaskan untuk PLN. Dari 27 Produsen Listrik Swasta dengan total 11.300 MW, 14 kontrak diteruskan dengan syarat yang dinegosiasikan, 6 Kon- 37 58 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur • Penunjukan Langsung PLS oleh PLN: Menurut Peraturan Pemerintah 3 / 2005, Pasal 11, ayat (6), kontrak PLS dapat diberikan melalui penunjukan langsung oleh PLN dalam hal PLS: (i) mengoperasi baik tambang batu bara, sumber daya enerji terbarukan atau sumber daya gas marjinal, (ii) melakukan ekspansi kapasitas untuk proyek yang telah ada, dan (iii) sedang dikembangkan di daerah yang mengalami krisis listrik. • Kemitraan PLS: PLS kecil dan menengah dimana PLN memiliki bunga saham di perusahaan proyek. • PLS Infrastruktur: Proyek-proyek PLS ini diumumkan dalam Infrastructure Summit (Pertemuan Puncak Infrastruktur) pada tahun 2005 dan 2006, di mana pemerintah dan PLN berkomitmen untuk menerapkan proyek-proyek di bawah skema kemitraan publik-swasta (PPP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden 67/2005. PPL generasi kedua biasanya adalah PPL yang dinegosiasikan dan ditandatangani setelah krisis keuangan Asia. PPL tersebut mengandung beberapa pernyataanpernyataan tentang pemutusan kontrak untuk kepentingan PLS (misalnya, sebagai akibat dari kesalahan PLN atau force majeure, PLN, (bukan PLS) yang akan dibebani kewajiban yang terdapat dikontrak). Namun, PPL generasi kedua belum memperlihatkan keberhasilan dalam beberapa tahun terakhir. Penyebab utama keterlambatan dalam efektivitas PPL meliputi pemilihan yang kurang baik terhadap pengembang potensial dan kurangnya jaminan pemerintah dalam struktur proyek. Tingkat keberhasilan generasi kedua PPL hanya sekitar 14 persen, mengakibatkan banyak PLS yang tidak aktif, karena gagal mencapai kebutuhan keuangan (financial closing) (Tabel 26). Tabel 26: Jenis Perjanjian Pembelian Listrik (PPL) PPL % didanai internal rate of return Catatan yang ditawarkan PPL generasi pertama 59% (15 dari 29) 20 – 25% Garansi umum pemerintah PPL generasi kedua 14% 12 – 14 % Tak ada garansi pemerintah PPL generasi ketiga 12 – 14% Garansi penghasilan Sumber: PLN, 2009 PLN saat ini bekerja dengan PPL generasi ketiga, dengan suatu alokasi resiko yang terjabar jelas untuk memudahkan kelayak danaan proyek.. Mereka mengacu pada PPL model berdasarkan peraturan PPP, yang meliputi penyediaan dukungan pemerintah untuk proyek-proyek PLS. Dalam PPL generasi ketiga, pemerintah memberikan jaminan pendapatan untuk PLS, dan mengambil tanggung jawab atas resiko hukum trak dengan 4490 MW diputuskan, 6 kontrak dengan 900 MW diperoleh PLN dan Pemerintah, hanya 1 kontrak dengan 220 MW yang berakhir dengan proses pengadilan namun tak melibatkan PLN 59 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur dan politik. Namun, PLN saat ini sedang mengembangkan sebuah PPL generasi ketiga sebagai model yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Ikhtisar PPL model diberikan dalam Kotak 5. Seperti yang telah dinyatakan terdahulu, keberlangsungan PLN untuk jangka panjang dipertanyakan karena beban fiskal dari subsidi. Hal ini memberi resiko kredit untuk investor asing, akibatnya calon investor menuntut jaminan pemerintah untuk menanggung kewajiban PLN di dalam PPL. Jika kita melihat hutang pemerintah, yang saat ini lebih dari 130 persen dari PDB, keberlangsungan jangka panjang dan kepastian bagi investor menjadi lebih tidak pasti. Pemerintah dan PLN akan harus mengusahakan garansi kinerja yang benar untuk menanggulangi risiko negara (country risk) dan resiko keberlangsungan yang terkait dengan proyek PLS. Oleh karena itu, sebuah wilayah prioritas akan dapat memperkecil resiko ‘contingent liabilities’ di masa depan dengan jalan berbagi resiko secara tepat antara pemerintah dan sektor swasta. Kerentanan terhadap guncangan ekonomi makro dan akibat buruk korupsi dan lemahnya sistem peradilan (lihat analisa tentang kerangka diagnostik pertumbuhan) tidak menjadikan Indonesia tujuan yang menarik bagi investor di sektor listrik, terutama disuasana ekonomi yang penuh tantangan saat ini. Untuk dapat memainkan ‘perankatalis’ (catalytic role), PLN harus menyusun dan mengawasi proses yang adil, terbuka dan kompetitif. Khususnya, PLN harus memperhatikan : • Memberi jaminan yang dibutuhkan kepada pemberi pinjaman sehingga pendanaan dapat diberikan; • Menyiapkan proyek layak dana dengan bantuan pengacara dan penasihat transaksi yang berpengalaman, menjamin bahwa resiko akan dibagi secara adil pada pihak yang paling tepat untuk memikulnya; dan • Mengidentifikasi dan menstrukturi mata uang lokal, memikirkan jalan keluar dalam situasi Force Majeur dalam kerangka kontrak. Untuk menangani masalah ini, PLN akan harus membentuk model PLS yang akan menjadi contoh keberhasilan pembentukan proyek PLS yang layak dana, yang akan disusun dan dilaksanakan menurut kebiasaan kerja terbaik internasional. Kendala kunci bagi Investasi Swasta dan PPP dalam Infrastruktur Listrk Masalah Pembebasan: Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, pembebasan tanah untuk proyek-proyek pembangunan tetap merupakan salah satu kendala utama bagi investasi baru dalam sektor ini. Didalam proyek-proyek yang dikelola oleh sektor swasta, tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah pembebasan tanah terletak sepenuhnya pada sektor swasta. Dalam banyak kasus, mereka dipaksa untuk membayar harga premium atau menghadapi resiko penundaan yang lama dalam pembelian lahan. Hal ini berdampak negatif pada penjadwalan waktu, perencanaan, biaya dan operasionalisasi proyek. 60 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 5. Satu Langkah Kedepan, Dua Langkah Kebelakang – Sekarang Kesempatan Kedua? Undang-Undang (UU) Kelistrikan No. 20 Tahun 2002 bertujuan untuk melakukan reformasi subsektor kelistrikan dan mendorong investasi swasta untuk masuk ke subsektor ini dengan memperkenalkan kompetisi pasar; merombak Perusahaan Listrik Negara-sebuah Badan Usaha Milik Negara; menciptakan suatu badan pengaturan; meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan kelistrikan sosial dan penentuan harga untuk daerah yang tidak kompetitif; dan mendorong partisipasi sektor swasta. Undang-Undang (UU) ini merupakan suatu terobosan dan pelaksanaannya akan membuat Indonesia sejajar dengan negara-negara lain di kawasan ini yang juga telah memulai perubahan serupa. Akan tetapi, Undang-Undang (UU) ini di batalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Desember 2004 dengan alasan bahwa UU ini tidak sejalan dengan Pasal 33 dari Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Mahkamah menginterpretasikan istilah “penguasaan” sebagai mengatur, memfasilitasi, dan mengoperasi fasilitas/cabang-cabang produksi tersebut. Keputusan Mahkamah ini merupakan suatu pukulan telak terhadap usaha reformasi di subsektor kelistrikan dan kemungkinan terhadap partisipasi sektor swasta. Dengan pembatalan UU tersebut berarti Indonesia harus kembali menggunakan Undang-Undang Kelistrikan No. 15 Tahun 1985. Keputusan Mahkamah berimplikasi bahwa kepemilikan swasta terhadap kelistrikan tidaklah demi kepentingan terbaik untuk masyarakat/penduduk dan keuntungan efisiensi yang diharapkan timbul melalui perombakan sektor kelistrikan menjadi tujuh bidang yang diusulkan (pembangkitan, transmisi, distribusi, operator pasar, operator sistem, eceran dan pedagang besar) tidak akan bisa dicapai. Untuk merumuskan dan mengaktifkan sebuah UU baru ternyata membutuhkan waktu hampir 5 tahun sejak keputusan Mahkamah Konstitusi dan 8 tahun sejak disetujuinya UU Tahun 2002. Pada 9 September 2009, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui UU Kelistrikan Tahun 2009 (UU 30/2009. UU baru ini, walaupun tidak seambisius UU Tahun 2002, memuat perubahan-perubahan yang akan memungkinkan “entitas” (entity) selain PLN untuk perpartisipasi dalam penyediaan listrik dan bermaksud untuk mendefinisikan ulang peran dan mandat PLN. Akan tetapi, peraturan-peraturan pelaksanaan yang terkait belum/sedang akan dikeluarkan. Karena adanya oposisi dari berbagai pihak, khususnya di dalam PLN sendiri, ada kekhawatiran bahwa akan membutuhkan waktu lama sampai kehendak dari UU ini dapat dilaksanakan. Terdapat juga kekhawatiran bahwa UU baru ini dapat juga dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Indonesia sudah kehilangan waktu 8 tahun akibat tidak melaksanakan UU 2002 dan kerugian karena keterlambatan pelaksanaan tentunyalah amat besar secara ekonomi. Semoga, setiap intervensi Mahkamah Konstitusi, kalau memang diperlukan, akan berpihak pada kepentingan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Hal-Hal Utama dalam UU Kelistrikan Indonesia UU Kelistrikan No. 15/1985 Pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk mengatur sektor kelistrikan. Perusahaan-perusahaan swasta diperbolehkan untuk berpartisipasi di bisnis kelistrikan, akan tetapi, PLN adalah satu-satunya pembeli listrik dan PLN mengontrol fungsi transmisi dan distribusi. UU Kelistrikan No. 20/2002 UU ini menciptakan sebuah pasar kelistrikan yang kompetitif melalui diperbolehkannya berbagai pembangkit listrik dan restrukturisasi serta perombakan fungsi PLN. UU ini juga menyediakan mekanisme untuk penyesuaian tarif listrik, rationalisasi mekanisme pembelian listrik untuk sektor swasta dan menciptakan suatu mekanisme pengaturan sektor kelistrikan. UU Kelistrikan No. 30/2009 PLN tidak lagi mempunyai monopoli terhadap penyediaan/pasokan dan distribusi ke pengguna akhir. Produser Listrik Independen/Swasta akan diperbolehkan menjalankan berbagai fungsi diatas, khususnya di daerah, dengan syarat (subject to) hak untuk prioritas pertama ada pada PLN. Sumber: World Bank, 2005; ALB Business News, diunduh pada 13 May 2010., Purra, Mika. 2010. The Indonesian Electricity Sector: Institutional Transition, Regulatory Capacity and Outcomes, National University of Singapore, Singapore. 61 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Penetapan harga PPL di bawah biaya pengadaan: Penetapan harga pembelian listrik untuk PLN dari PLS merupakan rintangan yang pokok bagi PPL, terutama yang berbasis pada sumber daya enerji terbarukan. PLN diwajibkan untuk membeli listrik berdasarkan formula yang menggunakan tarif seragam nasional (Tarif Dasar Listrik) sebagai referensi. Peraturan ini telah menghasilkan PPL yang kecil dan terbarukan tidak bisa berlanjut, karena harga-harga tidak sama-sekali mencerminkan biaya pengadaan.. Untuk mengatasi masalah ini harga referensi baru berdasarkan biaya pengadaan lokal baru-baru ini diperkenalkan (November 2009). Merevisi sebuah PPL yang telah ditanda-tangani dan dimiliki oleh PLS yang ada (tapi belum mencapai penutupan keuangan-financial closing) memerlukan koordinasi antar-kementerian dan kepemimpinan yang kuat dalam pemerintahan. PPL akan dinegosiasi ulang untuk kenaikan harga dan ketentuan baru berkaitan dengan dukungan pemerintah (Kotak 6-7). Kurangnya Dukungan Pemerintah dan Struktur Berbagi Resiko Dalam Proyek PLS: Kurangnya dukungan pemerintah telah menyebabkan beberapa proyek PLS gagal dalam mencapai penutupan keuangan (financial closure). Mekanisme berbagi resiko yang efektif harus didasarkan pada prinsip bahwa resiko harus dialokasikan kepada pihak yang berada pada posisi terbaik untuk menangani dan menyelesaikan resiko tersebut. Pemerintah paling cocok untuk mengelola resiko yang terkait dengan negara, politik, dan/atau tindakan/kegiatan pemerintah, sedangkan distributor paling cocok untuk menanggung risiko yang berkaitan dengan operasional jaringan listrik (termasuk resiko permintaan/penawaran, permasalahan jaringan). Investor swasta dan pemberi pinjaman, di sisi lain, harus menanggung resiko yang terkait dengan konstruksi, operasi, dan pemeliharaan PLS. Dengan menawarkan struktur bagi-resiko yang sesuai dan konservatif, pemerintah dan PLN akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk mempromosikan kompetisi tarif di kalangan investor swasta di sektor ini dan mendorong investasi dalam kerangka kerja yang stabil dan konsisten. Ada juga penundaan yang signifikan dalam proses pengadaan PLS (Gambar 19). Analisa di atas menunjukkan kendala utama yang menghambat investasi di bidang infrastruktur listrik. Ini termasuk masalah pembebasan lahan, kurangnya koordinasi kebijakan/peraturan; tidak efisiennya alokasi sumber daya yang terbatas; kurangnya pembiayaan; kebijakan penetapan harga PLS yang di bawah biaya pengadaan; rendahnya faktor beban; dan kurangnya dukungan pemerintah dan struktur pembagian resiko PLS (Tabel 27). vi) Telekomunikasi Sektor telekomunikasi saat ini didominasi oleh tiga pemain besar (yaitu, Telkom, Indosat, dan Excelcomindo), dengan hambatan yang kuat untuk masuk ke sektor ini bagi pihak lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa akses yang terjangkau pada infrastruktur telekomunikasi dan internet sangat terbatas. 62 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 6: Model Persetujuan Perjanjian Pembelian Listrik (PPL) PLN sedang mengembangkan PPL generasi ketiga , yang akan menjadi PPL model berdasarkan Peraturan Presiden tentang PPP no. 67/2005. Konsultasi telah dilakukan berkali-kali dengan investor dan pemberi pinjaman potensial yang meliputi lembaga kredit ekspor, bank multilateral, bilateral, dan komersial. Sementara ketentuan PPL model masih sedang diselesaikan, beberapa hal dijabarkan di bawah ini: Kejadian Force Majeure Pemerintah (Government Force Majeure-GFM): Kebiasaan pasar baku adalah bahwa resiko ini dialokasikan pada off taker (pembeli) yang ada hubungan dengan pemerintah. Upaya untuk membatasi resiko pembeli jika ada kejadian force majeure pemerintah telah sangat mengurangi pendanaan internasional (JBIC, 2009). Sebagai sebuah perusahaan monopoli milik negara, PLN dianggap berada dalam posisi terbaik untuk menanggung risiko GFM. Sangat penting bahwa PLN secara tepat didukung oleh pemerintah melalui jaminan atau surat dukungan. Pencabutan jaminan pemerintah harus merupakan bagian dari kejadian / force majeure dan / atau penghentian perjanjian. Perubahan Hukum: Untuk proyek-proyek PLS, perubahan undang-undang atau peraturan yang membawa suatu dampak keuangan pada proyek harus dilakukan oleh PLN dan pemerintah, dengan mengijinkan penyesuaian tarif. Tanggung jawab Pembebasan Lahan: Pembebasan lahan adalah unsur yang paling penting bagi proyek PLS. Pemerintah merupakan institusi yang tepat untuk bertanggung jawab akan pembebasan lahan untuk proyek PLS. Pembebasan tanah oleh pihak swasta dapat mengakibatkan keterlambatan pembangunan jika pemilik lahan menolak untuk menjual dengan harga yang layak. Pasal Ambil atau Bayar (Take-or-Pay): Apabila pusat tenaga listrik telah tersedia dan siap untuk menyalurkan listrik, para pembeli berkewajiban untuk melunasi pembayaran kapasitas terlepas apakah pembeli mau atau bisa mengambil listrik tersebut. Pencantuman masa tenggang pada waktu listrik dalam hal penyaluran sudah dianggap tepat bertentangan dengan kontrak ‘take or pay’. Pengaturan Pemasokan Bahan Bakar: Perusahaan proyek hanya diwajibkan untuk mengambil resiko pasokan bahan bakar sepanjang masih dalam kuasanya. Jika perusahaan proyek diharuskan mengambil resiko pasokan bahan bakar, perusahaan tersebut harus diberikan fleksibilitas untuk menyelesaikan dan mengelola resiko tersebut. Jika PLN membutuhkan hak persetujuan atas harga atau hal-hal lain yang berkaitan dengan perjanjian pemasokan bahan bakar alternatif, maka penyaluran atau tindakan lain yang dianggap tepat (misalnya, PLN memasok batu bara dengan persyaratan yang sama) harus dijalankan jika persetujuan masih tertahan. Pembayaran Pembatalan: Pembayaran ini tidak hanya harus menutupi hutang yang belum terbayar, tapi juga bunga ‘hedging’nya serta dan biaya-biaya penyelesaian yang biasa dilakukan.. Pemberian Jaminan Pemerintah: Perpres 67/2005 merupakan hal terpenting dalam kerangka PPP yang baru yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang jelas dan terprediksi di mana investor swasta akan beroperasi. Berdasarkan peraturan ini, proyek-proyek PPP dapat diidentifikasi dan dipersiapkan baik oleh pemerintah maupun sektor swasta. Namun, para sponsor harus dipilih melalui tender terbuka dan transparan. Perpres tersebut memberikan rincian tentang bentuk perjanjian PPP, peraturan dan prosedur untuk proses tender, dan mengharuskan tarif ditetapkan pada tingkat pengembalian biaya penuh (full cost recovery). Jika ini melebihi kemampuan konsumen untuk membayar, pemerintah harus menalangi perbedaan yang terjadi dengan subsidi PSO (Public Service Obligation). Selain itu, Peraturan tersebut merekomendasikan bahwa resiko harus dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengelola dan mengontrol resiko tersebut. Dalam hal ini, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan 38/2006 untuk menjamin bahwa resiko masing-masing proyek PPP dialokasikan secara tepat antara sektor publik dan swasta, dan bahwa segala unsur yang berhubungan dengan pemerintah dikelola dengan tepat. Peraturan 38/2006 juga menjelaskan tentang jenis risiko yang mungkin dapat ditanggung oleh pemerintah (yang berkaitan dengan peristiwa politik, kinerja proyek, dan permintaan), prinsip-prinsip utama untuk memberikan dukungan tersebut (legalitas, kualitas proyek dari segi kelayakan teknis dan keuangan, keberhati-hatian fiskal dalam arti yang menyeluruh dan anggaran tahunan, dan transparansi), serta prosedur-prosedur persetujuan. 63 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Sekilas Tentang Sektor Telekomunikasi Pentingnya sektor telekomunikasi untuk pembangunan ekonomi secara luas diakui. Wellenius et. al. (1994) menunjukkan bahwa seiring dengan tenaga kerja Kotak 7: Negosiasi ulang PPL (harga dan dukungan pemerintah) Negosiasi ulang harga PPL di Indonesia dilakukan selama periode 1999-2003 ketika pemerintah, melalui Keputusan Presiden 133/1999, melakukan negosiasi harga PPL yang dianggap terlalu tinggi karena krisis ekonomi Asia. Saat ini, negosiasi ulang harga PPL sedang diminta oleh developer PLS (yang telah gagal mencapai penutupan keuangan) untuk meningkatkan harga PPL. Sementara bentuk pasti dari Keputusan Presiden itu sendiri masih sedang dibahas, beberapa informasi dapat diberikan seperti tercantum di bawah ini: Tim Negosiasi Ulang PPL antar kementerianyang terdiri dari para menteri terkait, di bawah pimpinan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, memutuskan menerima atau menolak hasil negosiasi ulang PPL yang dilakukan oleh kelompok kerja renegosiasi. Komite Teknis terdiri dari Deputi Menteri / Direktur Jenderal dari kementerian terkait, dan perwakilan dari PLN (CEO) yang memberikan rekomendasi kepada tim kerja antar kementerian. Kelompok Kerja Renegosiasi merupakankelompok kerja tingkat eksekutif yang dibentuk oleh tim antar kementerian untuk merencanakan strategi negosiasi ulang dan melakukan negosiasi ulang, serta melaporkan hasil negosiasi ulang kepada Tim Negosiasi Ulang PPL untuk pengambilan keputusan. PLN telah membuat sebuah daftar sekitar 50 PLS yang telah gagal untuk mencapai penutupan keuangan (financial closure) untuk negosiasi ulang. 64 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Tabel 27: Ringkasan Kendala Besar dan Kecil pada Infrastruktur Listrik Kendala Kendala besar/kecil Masalah Pembebasan Tanah Penetapan Tarif Listrik Sosial dibawah Tingkat Pengembalian Biaya Kurangnya Koordinasi kebijakan/Peraturan Tidak Efisiennya Alokasi Sumber Daya terbatas Kurangnya Pendanaan Buruknya Tata Kelola Pemerintahan Kebijakan Harga PPL Rendahnya Faktor Beban Kurangnya dukungan Pemerintah dan Struktur Pembagian Resiko di proyek PLS Kunci: : Kendala Besar : Kendala Kecil dan modal,telekomunikasi merupakan faktor produksi yang mendasar.38 Mereka menekankan bahwa telekomunikasi memfasilitasi akses kepasar, mengurangi biaya, meningkatkan layanan pelanggan, dan meningkatkan produktivitas. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang menggembirakan bahwa infrastruktur telekomunikasi di Indonesia tidak diidentifikasi sebagai kendala utama bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam survei ekonomi yang dilakukan oleh OECD 39tahun 2008 baru-baru ini, hanya 21 persen dari perusahaan yang disurvei melaporkan ketersediaan telekomunikasi sebagai kendala bisnis, dibandingkan dengan 49 persen untuk transportasi dan 43 persen untuk infrastruktur listrik. Namun, dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, infrastruktur telekomunikasi di Indonesia masih tertinggal jauh di belakang. Hal ini terbukti dari: • rendahnya teledensitas (disebabkan oleh investasi yang tak mencukupi dan infrastruktur telekomunikasi); • rendahnya terobosan internet; • kurangnya kompetisi dalam bisnis telekomunikasi sambungan tetap (fixed-line), • kurangnya konsistensi dan peraturan independen dalam jas internet dan telepon. Infrastruktur telekomunikasi sambungan tetap (fixed-line) menunjukkan pertumbuhan tahunan dua dijit antara tahun 1970 dan 1998. Namun, antara 1999 dan 2002, pertumbuhannya turun menjadi di bawah 5 persen per tahun, terutama disebabkan oleh krisis keuangan Asia. Namun kemudian meningkat menjadi sekitar 11 persen pada tahun 2003. Pada tahun 2007, meskipun sudah mulai ada komunikasi seluler, 38 39 Wellenius, B. Telecommunications, World Bank Experience and Strategy, Washington, 1994. OECD Economic Surveys, indonesia Economics Assessment, 2008. 65 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur pertumbuhan telepon sambungan tetapmasih bertahan, dengan jumlah pelanggan sebesar menjadi 17,8 juta. Pasar seluler Indonesia menikmati pertumbuhan eksplosif dari 45,3 persen per tahun antara 2002 dan 2007, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (18,4 persen) dan Filipina (24,7 persen), namun sebanding dengan Thailand dan Vietnam. Demikian pula, pertumbuhan telepon saluran tetap sebesar 16,3 persen per tahun, yang jauh melampaui Malaysia, Filipina dan Thailand selama periode yang sama (Tabel 28). Tabel 28: Teledensitas ( jumlah koneksi tiap 100 penduduk) di Indonesia Saluran Tetap 2002 2007 Seluler Laju pertumbuhan tahunan terpadu (%) 2002 2007 Laju pertumbuhan tahunan terpadu (%) Indonesia 3,6 7,7 16,3 5,5 35,3 45,3 Malaysia 19,5 16,4 -3,4 37,8 87,9 18,4 Filipina 4,2 4,5 1,3 19,5 58,9 24,7 Thailand 10,1 11,0 1,0 16,3 123,8 50,1 Vietnam 4,9 32,7 46,4 2,4 27,2 63,1 Sumber: ITU, 2009. Investasi Sektor Publik dalam Infrastruktur Telekomunikasi Pada tahun 1985, Telkom, sebagai lembaga layanan publik, dibentuk sebagai perusahaan milik negara. Sejak itu, anggaran pemerintah tidak lagi digunakan dalam pengembangan infrastruktur telekomunikasi fisik. Pemerintah, melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan di seekto ini, lebih terfokus pada bagaimana memanfaatkan infrastruktur telekomunikasi untuk pengembangan sektor publik lainnya. Pada tahun 2006, pemerintah mendirikan Dewan Nasional untuk Teknologi Informasi dan Komunikasi (DeTIKNas), yang mengembangkan tujuh program nasional berikut: • e-education: Jaringan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk tujuan pendidikan yang menghubungkan 24.802 kantor pendidikan, sekolah dan universitas di seluruh Indonesia; • e-procurement: Sistim pengadaan secara online yang transparan dan efisien yang berdasarkan TIK untuk institusi pemerintah baik di pusat maupun daerah; • e-palapa Ring: jaringan serat optik yang menghubungkan seluruh provinsi di Indonesia; • Nomor Indentitas Nasional (NIN): Penggunaan nomor identitas tunggal bagi seluruh warganegara untuk membantu penyediaan layanan public; • e-budget: Sistim anggaran negara pemerintah yang online dan efisien untuk lembaga pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah; 66 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur • National Single Window (NSW): Sistim yang terintegrasi secara real-time untuk manajemen ekspor-impor; • Penggunaan perangkat lunak yang resmi: kepatuhan terhadap hukum hak milik intelektual dalam penggunaan perangkat lunak legal. Pelaksanaan proyek-proyek sektor publik ini didanai oleh anggaran negara nasional, bilateral/pinjaman multilateral, atau melalui mekanisme kemitraan publik-swasta. Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMKOMINFO) bertanggung jawab untuk pelaksanaan investasi publik di sektor TIK. Sayangnya, dua proyek TIK di bawah KEMKOMINFO yang masih belum selesai, yang didanai oleh Pemerintah Jepang dan Spanyol (yaitu, Proyek Penggunaan KIT untuk Proyek Peningkatan Kualitas Pendidikan di Propinsi DIY dan Proyek Peningkatan Transmisi Stasiun TV), belum bisa lepas landas karena keterlambatan administrasi kredit. Kendala kunci pada Investasi Sektor Publik dalam Infrastruktur Telkom Atas dasar tersebut di atas, upaya awal pada PPP di bidang telekomunikasi tidak berkelanjutan karena: Kurangnya Proyek Layak Dana: Sebagian besar proyek-proyek di sektor telekomunikasi yang tersedia untuk PPP terdapat di daerah pedesaan. Biaya peluncuran proyek di daerah amat tinggi, sedangkan tarif telekomunikasi untuk telepon sambungan tetap tidak diatur secara independen oleh regulator, melainkan melalui pertimbangan sosial-politik. Dalam hal ini, tarif pedesaan harus disesuai dengan tarif nasional, dan tidak lebih tinggi walau ada biaya infrastruktur tambahan. Hal ini membuat investor kurang tertarik untuk mengembangkan jaringan pelanggan baru, termasuk penerapan proyek kewajiban layanan universal (universal service obligations-USO). Selain itu, ada masalah dalam pemeliharaan jaringan USO yang sudah selesai, karena tarif hanya bisa menutup biaya operasional dan pemeliharaan. Hal ini dapat diatasi baik oleh subsidi (bukan alternatif yang baik karena ada dampak fiskal) atau, dengan meningkatkan tarif lokal telepon tetap. Namun, secara historis pemerintah menolak untuk ikut menaikkan tarif panggilan telepon pada tahun 2006 karena kondisi sosial-ekonomi yang yang dianggap kurang kondusif. Lemahnya Kapastias Manusia dan Kelembagaan: Hal ini bisa terlihat dengan baik bila kita perhatikan kasus proyek USO dan Proyek Palapa Ring. Dalam kasus proyek USO, pembukaan tender untuk menarik penawar yang cukup berkualitas gagal di tahun 2007. Ini mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mempersiapkan proyek layak dana yang bisa menarik penawar berkualitas. Akibatnya perlu diadakan pengulangan proses tender setahun kemudian. Dalam kasus Proyek Palapa Ring, karena ada masalah transparansi dalam pemilihan anggota konsorsium proyek, beberapa anggota memutuskan untuk meninggalkan konsorsium. Komitmen pendanaan dari tiga anggota yang tersisa (Telkom, Indosat, dan Bakrie Telecom) tidak cukup untuk menutupi biaya proyek, sehingga pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk membiayai proyek tersebut. 67 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Investasi Sektor Swasta dalam Infrastruktur Telkom Selain dari penjualan lebih banyak saham Telkom dan Indosat di pasar modal internasional dan domestik, investasi swasta di sektor telekomunikasi telah didorong melalui pengurangan monopoli Telkom dan pelelanganberbagai lisensi operator sektor swasta, misalnya: • • • • • penerbitan izin SLI ke Bakrie Telecom di tahun 2009; pembukaan tender konsesi USO sejak 2007; penerbitan izin voice-over-IP (VoIP) untuk 5 operator sejak 2003; penerbitan izin broadband wireless untuk lebih dari 20 operators sejak 2003; dan penerbitan izin CDMA and GSM DCS 1800 untuk 4 operator swasta sejak 2003. Hal ini menyebabkan peningkatan partisipasi sektor swasta, terutama dalam telekomunikasi seluler. Mengingat beberapa keprihatinan yang dibahas sebelumnya, tidak mengherankan bahwa minat terbesar (jumlah operator) adalah di pasar seluler (Tabel 29). Tabel 29: Operator Layanan Telekomunikasi di Indonesia Sambungan Fix tak Seluler Seluler telpon fix berkabel Genggam GSM berkabel CDMA seluler CDMA 1 Telekomunikasi Ya Ya Indonesia (termasuk Telkom and Flexi) 2 Indosat (Indosat) Ya Ya Ya 3 Bakrie Telcom (Esia) Ya 4 Batam Bintan Ya Telekomunikasi 5 Telekomunikasi Ya Seluler (Telkomsel) 6 Excelcomindo Ya Pratama, Tbk. (XL) 7 Natrindo Telepon YA Seluler (Axis) 8 Hutchison CP YA Telecommunications Indonesia (3) 9 Sampoema YA Telekomunikasi Indonesia (Ceria) 10 Mobile-8 Telecom. Ya Ya Tbk. (Hepi. Fren) 11 Smart Telecom-Sinar Ya Mas Group (Smart) Sumber: Direktorat Jeneral Pos dan Telekomunikasi, 2008 No. Operator 68 SLI YA Ya Ya ` Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Analisa baru baru ini oleh Credit Suisse (2008)40 menegaskan bahwa harga kompetisi dan kombinasi ‘high capex’ (untuk cakupan dan kapasitas), bersamaan dengan pendapatan yang lebih rendah dari perkiraan, diterjemahkan menjadi ‘return-oninvested-capital’ (ROIC) untuk industri telekomunikasi di Indonesia, diperkirakan hanya 6 persen pada tahun 2010, turun dari perkiraan awal 8,4 persen. Ini masih berada dibawah biaya modal untuk industri telekomunikasi, dan secara signifikan lebih rendah dari tingkat bebas resiko Indonesia (country risk-free rate) saat ini (keuntungan dari obligasi pemerintah dalam mata uang lokal pada awal Oktober 2009 adalah sekitar 10 persen). Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah berusaha untuk menjaga kompetisi yang adil di sektor telekomunikasi, ketika, sejak 2006 KPPU telah mulai memantau adanya penyalah-gunaan kekuasaan pasar oleh pemain dominan yang dapat meminggirkan operator telekomunikasi yang lebih kecil dan menggelincirkan pertumbuhan industri telekomunikasi.. Pada tahun 2007, KPPU membuat keputusan besar ketika KPPU memutuskan bahwa Temasek telah melanggar pedoman kompetitif karena memiliki saham yang besar di Telkom maupun Indosat, dan diperintahkan untuk menarik sahamnya di salah satu dari dua perusahaan dalam waktu 12 bulan. Setelah melalui proses pengadilan yang berlarut-larut dimana Temasek gigih mempertahankan posisinya, QTel (dari Qatar) akhirnya mengumumkan pada bulan Juni 2008 bahwa dia akan mengakuisisi 40,8 persen saham yang dimiliki oleh Temasek di Indosat (sampai November 2009 QTel memiliki sekitar 65 persen Indosat). Menurut pengamatan, ternyata dua perubahan lagi pada kerangka peraturan dapat menambah kekhawatiran pada investasi swasta di sektor ‘wireless’ Indoneisa, dengan dampak yang sangat rumit. Kedua peraturan baru itu adalah: • Instruksi yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan, melarang kepemilikan menara telekomunikasi oleh perusahaan asing, yang bertentangan dengan semangat arus investasi asing langsung ke Indonesia dan ke sektor ini, dan • Instruksi tentang berbagi menara telekomunikasi yang akan dapat membantu menurunkan biaya penyebaran jaringan untuk pendatang baru, akan tetapi pada saat bersamaan menuntut pembayaran yang tinggi untuk penghapusan asset pada operator yang ada. Kemitraan Publik-Swasta dalam Infrastruktur Telekomunikasi Meskipun Telkom menjadi perusahaan korporasi pada tahun 1985, kemitraan publikswasta di sektor ini baru dimulai 10 tahun kemudian pada tahun 1995. Hal ini mengikuti proses penawaran tender internasional yang kompetitif untuk mempercepat investasi dan perluasan jaringan telepon lokal dengan dasar ‘bangun-operasi-transfer’ antara Telkom dan investor swasta (dikenal sebagai Kerja Sama Operasi atau KSO). KSO diharuskan untuk memasang sekitar dua juta jalur, diberikan kekuasaan kontrol atas aset Telkom yang ada, dan menanggung semua resiko komersial, sebagai imbalan untuk pembagian pendapatan dengan Telkom berdasarkan rumus yang 40 Credit Suisse, indonesia Telecom Sector, Agustus 2008 69 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur telah ditentukan. Krisis keuangan berdampak buruk pada pelaksanaan skema KSO, dan memaksa Telkom untuk menegosiasikan ulang kontrak KSO untuk menjamin kelangsungan keuangan mereka. Hal ini mengakibatkan kewajiban membangun sambungan telepon lebih kecil, mengurangi peningkatan pendapatan dari kenaikan tarif yang telah direncanakan, munculnya arbitrase internasional dan diskusi pemborongan keseluruhan saham antara Telkom dan KSO. Saat ini, hanya satu KSO (Bukaka Telekomindo Internasional) yang masih tetap ada, sedangkan yang lainnya (Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra dan Kalimantan) sudah dibeli oleh Telkom (Kotak 8). Evaluasi kegagalan skema KSO menunjukkan adanya suatu resiko ketidakcocokan mata uang yang biasa terjadiantara pembagian penghasilan berbasis-rupiah dan investasi modal dalam dolar Amerikayang muncul bersamaan dengan krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an. Upaya-upaya untuk meningkatkan tarif telepon, sebagaimanatelah disepakati selama negosiasi ulang KSO, untuk mengkompensasi hilangnya pendapatan, ternyata tidak efektif karena tarif masih erat diatur oleh pemerintah dan sangat bersifat politis. Penggunaan PPP lain di sektor TIK adalah dalam pelaksanaan proyek USO. Pada bulan Juli 2005, Pemerintah menerapkan USO, yang mengharuskan operator telekomunikasi mengalokasikan 0,75 persen dari pendapatan mereka untuk dana USO. Dana ini dibayarkan kepada pemerintah untuk mendukung pembangunan, operasi dan pemeliharaan layanan telekomunikasi (telepon dan akses internet) di daerah tertinggal (misalnya, desa-desa terpencil, daerah pedesaan, wilayah perbatasan dll). Lisensi proyek USO akan diberikan pada operator sektor swasta yang akan menggunakan dana USO untuk membangun dan mengoperasikan jaringan telekomunikasi atas dasar bagi-hasil. Pengaturan proyek USO mirip dengan skema KSO terdahulu dalam tahun 1990-an. Namun, proses tender proyek USO tidak terwujud hingga 2007, ketika tidak ada pemenang tender yang dipilih karena adanya sengketa tentang kualifikasi tender yang tidak memadai. Proyek-proyek USO untuk layanan telepon ditenderkan kembali di awal 2009, dengan Telkomsel dan Indonesia Comnet Plus sebagai pemenang tender. Kendala Kunci pada Investasi Sektor Swasta dan PPP Untuk investasi sektor swasta di telekomunikasi, maslah-masalah di bawah merupakan hal yang paling penting: Lingkungan Monopolis: Dominasi Telkom (perusahaan milik negara) telah tidak mendorong berkembangnya kompetisi dan investasi di sektor telekomunikasi. Perilaku anti persaingan yang ditunjukkan Telkom (misalnya, membatasi interkoneksi ke jaringan Telkom) telah membuat telekomunikasi antar-operator menjadi mahal bagi konsumen. Biaya interkoneksi dinegosiasikan secara bilateral antara operator dan Telkom, dan tidak ada referensi standar (syarat kontrak dan harga). Hal ini telah menghasilkan praktek-praktek anti-persaingan yang diskriminatif dan kurang transparansi. Ada tuduhan bahwa biaya interkoneksi yang dibebankan oleh Telkom ke 70 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 8: Kerja Sama Operasi (KSO) Lima perusahaan swasta diberikan 15 tahun kontrak pemerintah pada tahun 1994 untuk bekerja sama dengan PT Telkom dalam perluasan jaringan nasional, masing-masing di wilayah geografis yang terpisah. Perjanjian bangun-operasi-transfer (build-operate-transfer-BOT) ini, dimaksudkan untuk menyediakan dua juta saluran telepon pada tahun 1999. Di bawah KSO, setiap konsorsium masing-masing diberi konsesi untuk membangun dan mengoperasikan jaringan tetap (fix) di wilayah yang ditentukan oleh PT Telkom. Lisensi mengandung beberapa Kewajiban Pelayanan Universal tertentu (universal service obligations-USO, yang mengharuskan perusahaan menaruh 20 persen dari investasi mereka ke wilayah-wilayah pedesaan. Tujuan keseluruhan dari program ini adalah untuk meningkatkan jaringan nasional untuk mencapai rasio 20 sambungan per 100 orang pada tahun 2020. Operasi di daerah yang telah ditentukan kemudian dialihkan kepada operator swasta pada Januari 1996. Namun, tiga konsorsium gagal mencapai target mereka pada bulan Desember 1996. Jaringan Telstra di Jawa Tengah adalah satu di antara operasi yang sedang diperiksa PT Telkom. Pemerintah mengontrak AriaWest Internasional untuk mencoba mempercepat instalasi di Jawa. Masalah berlanjut ketika hanya 130.000 sambungan dari target sebesar 400.000 sambungan (untuk 1997) yang dipasang. Krisis Ekonomi Asia tahun 1997/98 yang mengakibatkan depresiasi mata uang rupiah Indonesia yang signifikan terhadap dolar AS, akhirnya memaksa negosiasi ulang perjanjian KSO. Pada tahun 1998, PT Telkom menyetujui paket kebijakan untuk mengurangi beberapa permasalahan KSO, termasuk: • mengurangi target roll-out sambungan gabungan dari 2 juta ke 1.3 juta pada Maret 1999; • meningkatkan bagian pendapatan layanan telepon KSO dari 70 persen menjadi 90 persen, dan • menghapuskan option buy-out setelah 10 tahun dari kontrak 15 tahun secara ‘franchise’. Kelima KSO masing-masing berhasil mencapai target Maret 1999 yang direvisi, dengan total sebesar 1,39 juta sambungan baru yang siap dilayani pada saat itu. Perselisihan atas perjanjian KSO, terus berkelanjutan sampai setelah perampungan proyek pada tahun 1998, dimana pemerintah terpaksa campur tangan dan bertindak sebegai penengah dalam penyelesaian masalah ini. Telkom membeli salah satu perusahaan swasta, PT Daya Mitra Telekomunikasi (Dayamitra) sebesar $ 122 juta di daerah Kalimantan. Pada bulan Mei 2001, Indosat membeli saham di salah satu KSO, PT Mitra Global Telekomunikasi Indonesia (MGTI), sebesar $ 1,5 miliar. Perusahaan ini ingin merevisi perjanjian yang sudah ada dengan Telkom dan membuat perjanjian baru dengan pengaturan komersial yang lebih jelas dan lebih pasti, terutama dalam kaitannya dengan infrastruktur dan pembagian keuntungan. MGTI 32,5 persen dimiliki oleh PT Widya Duta Infotel, 30 persen oleh Indosat, 2 persen oleh Australia Telstra Global Ltd dan 15 persen oleh NTT Finance Ltd, sementara dua investor asal Jepang memiliki saham yang kecil. Pada Maret 2001, MGTI menginvestasikan sekitar $ 480 juta di jaringan telekomunikasi di Jawa Tengah. Pada tahun 2004, Telkom mengadakan perjanjian dengan MGTI untuk merubah Perjanjian KSO awal. Berdasarkan Perjanjian KSO yang telah diubah, yang masih akan berjalan hingga 2010, daerah operasi MGTI itu akan dijalankan di bawah pengelolaan dan pengawasan kontrol Telkom. Perjanjian yang baru memungkinkan Telkom, berdasarkan kemauannya sendiri, untuk berinvestasi di wilayah ini.. MGTI akan mendapatkan pembayaran bulanan tetap, dari sekitar 5,4 juta $ per bulan di tahun 2004 sampai 6,8 juta $ per bulan di 2010. Pada bulan Juli 2001, Telkom secara sepihak menghentikan kerjasama operasi dengan AriaWest International. Langkah Telkom ini mengikuti tindakan sebelumnya oleh AT & T yang mengajukan proses arbitrase internasional dengan Kamar Dagang Internasional di Paris pada Mei 2001, yang menuntut $ 1,3 milyar kompensasi dari PT Telkom untuk kerugian yang (katanya) dialami. Pada bulan November 2001, PT Telkom juga mengambil tindakan hukum mengklaim bahwa mereka telah menderita kerugian sebagai akibat dari kinerja AriaWest yang buruk. Pada bulan Mei 2002, Telkom mengumumkan bahwa mereka telah menandatangani kesepakatan untuk membeli PT AriaWest sebesar 363 juta $, dan arbitrase yang sedang ‘dipending’ kemudian terselesaikan. Dalam kesepakatan itu Telkom mengambil alih kewajiban utang AriaWest, dan selesai tahun 2003. Pada bulan April 2002, PT Telkom mencapai perjanjian jual beli 40 persen saham milik France Telecom di PT Pramindo Ikat Nusantara seharga $ 425 juta. PT Pramindo sudah merupakan mitra KSO Telkom di Sumatera. Pada bulan Agustus 2002, Telkom mengambil alih pengoperasian dan menanggung utang Pramindo, termasuk utang 86,2 juta $ pada International Finance Corporation (IFC). SingTel dilaporkan pada bulan Oktober 2005 sedang dalam pembicaraan untuk menjual sahamnya di jaringan saluran tetap di Indonesia Timur kepada PT Telkom. Partner Indonesia Bukaka Telekomindo memiliki sisa kerjasama (joint venture) ini. Satu-satunya KSO yang yang tidak di bawah kendali kepemilikan Telkom adalah Bukaka, yang meliputi Kepulauan Indonesia Timur dari Sulawesi sampai Maluku dan Papua. Dalam perjanjian KSO, pemutusan konsesi KSO VII akan terjadi pada tahun 2010, dan pada saat itu Telkom diharapkan mendapatkan hak-hak kepemilikan seluruh aset KSOyang tersisa ini. SingTel telah menjual seluruh saham di Bukaka Singtel International dalam tahun 2006 sebesar Rp.532 milyar ($58,5 juta) pada Bukaka Telekomindo International. 71 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Telkomsel (anak perusahaan seluler Telkom) lebih rendah daripada ke operator selular lainnya.41 Dominasi Telkom dalam akses sambungan tetap juga mempengaruhi bisnis pesaing, seperti Indosat. Misalnya, Indosat memilih untuk masuk ke dalam mekanisme pembagian pendapatan dengan calon mitra bisnis daripada harus menyediakan modal langsung dan biaya operasi untuk perluasanjaringan sambungan tetap baru. Ini bukan investasi yang menarik, yang menyebabkan portofolio bisnis Indosat tetap kecil, dibawah 9 % total pendapatannya. Lemahnya Lingkungan Hukum dan Peraturan: Badan Regulasi Teknologi dan Informatika (BRTI) diketuai oleh Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Meskipun sudah merupakan badan yang mapan yang terdiri dari komisaris berpengetahuan dan berpengalaman, namun badan ini tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan keputusan/ peraturan sendiri. Wilayah hukum BRTI terbatas pada penyedia jaringan dan layanan telekomunikasi dasar, sementara layanan bernilai tambah seperti VoIP dan layanan multimedia lainnya masih diatur oleh Kemkominfo. Keadaan ini menyebabkan BRTI menjadi tidak efektif, khususnya dalam kerangka hukum dan peraturan. Dalam hal ini, strukturBRTI, termasuk kewenangan dan yurisdiksi, saat ini sedang diperiksa dengan tujuan untuk membuatnya menjadi badan pengawas yang kuat dan independen yang sesuai dengan praktek internasional yang baik. Sebuah contoh lemahnya lingkungan hukum dan peraturan dapat dilihat dalam kasus sambungan langsung internasionalSLI (international direct dialling-IDD) Indosat (Kotak 9). Analisa di atas menunjukkan bahwa kendala kunci yang menghambat investasi baru dalam infrastruktur telekomunikasi adalah kurangnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan dalam pemerintah; lemahnya kerangka peraturan; kurangnya kelayakan dana pada proyek; dan adanya lingkungan monopoli di sektor ini. (Tabel 30). Tabel 30: Ringkasan dari Kendala besar dan kecil dalam Telekomunikasi Kendala Kendala besar/kecil Lemahnya Kerangka Peraturan Lemahnya Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Kurangnya Kelayakan Dana Proyek Buruknya Tata Kelola Pemerintahan Lingkungan Monopolis Sulitnya Pembebasan Tanah Kurangnya Pendanaan Jangka Panjang Kunci: : Kendala Besar : Kendala Kecil Rasyid, Asmiati, Indonesia : Liberalization at the Crossroad Impact on Sector Performance, Teledensity, adn Productivity, Communicationa and Strategies , 2005 41 72 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 9: SLI Indosat Adanya lingkungan hukum dan peraturan yang lemah terlihat dalam kasus bisnis sambungan langsung internasional (SLI) Indosat yang secara langsung menghubungkan Indonesia ke lebih dari 260 negaranegara di seluruh dunia. Indosat mengoperasikan empat ‘gateway exchange’ internasional di Jakarta, Medan, Batam, dan Surabaya. ‘Gateway’ Jakarta melayani wilayah metropolitan Jakarta dan propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, atau sekitar 64 persen lalu lintas hubungan internasional Indosat. Selama tahun 2001, lalu lintas SLI turun sebesar 7,5 persen, dan ini disebabkan oleh peningkatan aplikasi Voice over Internet Protocol (VoIP) untuk percakapan internasional. VoIP diperkirakan telah menangkap 5-10 persen dari pangsa pasar telepon internasional pada akhir 2001. Meskipun izin VoIP secara resmi dikeluarkan oleh pemerintah untuk lima operator (misalnya, Telkom, Satelindo, Gaharu, Atlasat, dan Indosat), ada beberapa operator VoIP tanpa izin yang terus beroperasi. Meskipun ada upaya yang berwenang untuk membasmi operator VOIP gelap tersebut, lalu lintas telepon internasional gelap ini terus meningkat. Pada tahun 2002, lalu lintas SLI Indosat turun lagi 20 persen dan menyatakan bahwa kerugian yang ditimbulkan karena VoIP gelap adalah sekitar Rp 245triliun ($ 27 juta) per tahun (Sumber: Gatra Akibat VOIP Illegal Indosat Rugi, January 19, 2009). Bisnis SLI Indosat semakin memburuk ketika, pada tahun 2004, Telkom terima izin SLI dari pemerintah dan mulai menawarkan saluran yang jelas ber kode SLI 007, bersamaan dengan dengan produk lainnya. Telkom menyatakan bahwa perusahaan memegang 52 persen pangsa pasar layanan SLI pada akhir April 2005. Saat ini, bisnis SLI dan saluran tetap Indosat meliputi hanya 9,7 persen dari total pendapatan. (Sumber: Mandiri Sekuritas Debt Research, November 2009). VI. KONSOLIDASI HASIL SURVEY DAN ANALISA SUB-SEKTORAL YANG MENDALAM Berdasarkan berbagai diskusi dengan pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur baik dari sektor swasta dan masyarakat serta hasil survei primer (yang dilakukan antara September 2009 dan November 2009), kendala besar dan kecil pada investasi infrastruktur dapat diidentifikasi. Perlu ditekankan bahwa penelitian ini tidak dimaksudkan untuk memberikan ‘daftar cucian’ (laundry list) tentang kendala yang harus ditangani dalam jangka menengah dan jangka panjang, tapi lebih berfokus pada kendala paling utama dan yang mengikat yang dapat ditangani dalam jangka pendek sampai menengah. Hasil survei menunjukkan bahwa masalah yang paling mengikat dan menghambat laju pembangunan infrastruktur di Indonesia disusun menurut tingkat keparahan (yang pertama adalah yang lebih bermasalah, diikuti dengan yang kurang bermasalah) adalah sebagai berikut: i. Sulitnya pembebasan tanah; ii. Lemahnya kapasitas manusia dan kelembagaan; iii.Buruknya tata kelola pemerintahan; dan iv. Kurangnya pendanaan. Survei yang telah dilakukakn juga menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi makro telah dapat dipertahankan dan dinilai positif oleh para investor (yaitu tidak memberi dampak buruk pada bisnis yang berkaitan dengan infrastruktur). Selanjutnya, dalam mempelajari perbaikan dalam berbagai faktor yang berhubungan dengan bisnis dan iklim investasi bagi pembangunan infrastruktur, survei menunjukkan bahwa ada 73 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur sedikit perbaikan pada pengembalian atau keuntungan atas investasi infrastruktur selama beberapa tahun terakhir. Analisa mendalam tentang tiga sub-sektor utama: (i) Transportasi (jalan, kereta api, pelabuhan dan bandara), (ii) Listrik, dan (iii) Komunikasi juga dilakukan untuk menentukan kendala yang menghambat investasi di sub-sektor ini. Sehubungan dengan berbagai komponen sektor transportasi, kesulitan dalam pembebasan tanah tampaknya menjadi kendala paling mengikat, diikuti oleh lemahnya kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di pemerintahan, khususnya yang terwujud dalam ketidak-mampuan dalam mempersiapkan proyek yang layak dana dan melaksanakan peraturan pemerintah; buruknya tata kelola pemerintahan, dan kurangnya pendanaan jangka panjang. Analisa ini menekankan bahwa kendala utama yang menghambat investasi baru dalam infrastruktur kereta api mencakup kurangnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, terefleksi khususnya dalam lemahnya kerangka peraturan yang ada; masalah pembebasan tanah; ketidaktersediaannya pendanaan jangka panjang; dan pengembalian atau keuntungan atas investasi yang rendah. Sehubungan dengan sektor pelabuhan, kendala utamanya adalah kurangnya kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia, khususnya ketidak-mampuan untuk mempersiapkan proyek yang layak dana; lemahnya kerangka peraturan yang ada; buruknya tata kelolapemerintahan (yaitu, korupsi/kegiatan mencari rente), rendahnya tingkat pengembalian atau keuntungan atas investasi.. Akhirnya, di bidang transportasi udara, kendala-kendalanya adalah: lemahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan; buruknya tata kelola pemerintahan; langkanya pendanaan jangka panjang termasuk kapasitas pendanaan yang lemah untuk bandara non-komersial; serta rendahnya tingkat keuntungan atau pengembalian atas investasi (Tabel 31). Untuk sektor listrik, kendala utama yang menghambat investasi adalah sulitnya pembebasan lahan; kurangnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan; kurangnya koordinasi dalam kebijakan/peraturan; kurangnya pembiayaan; penetapan tarif listrik sosial di bawah tingkat pengembalian biaya; dan tidak efisiennya alokasi dan sumber daya yang terbatas. Dalam sektor telekomunikasi, hambatan utama meliputi kurangnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, terefleksi pada kurangnya proyek yang layak dana dan lemahnya kerangka peraturan;dan buruknya tata kelola pemerintahan. Namun, pembebasan tanah dan pendanaan jangka panjang tampak sebagai kendala kecil karena berkembang pesatnya industri ponsel terutama yang ditangani oleh sektor swasta (Tabel 31). Berdasarkan analisa survei primer, empat kendala besar yang menghambat investasi di sub-sektor infrastruktur (transportasi, listrik, dan telekomunikasi) adalah: (i) sulitnya pembebasan tanah; (ii) lemahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan (iii) buruknya tata kelola pemerintahan; dan (iv) kurangya pendanaan.42 (Tabel 32). Penyebab utama kendala-kendala tersebut dibicarakan dalam seksi berikut ini. Kendala-kendala ini serta prioritasnya kembali dinyatakan secara jelasoleh para partisipan dan pembicara dalam Konferensi Infrastruktur Asia 2010 yang berlangsung di Jakarta, Indonesia 15-17 April 2010. Bahkan, pemangku kepentingan sektor publik dan swasta yang utama dalam sektor infrastruktur menguatkan temuan penelitian ini. 42 74 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Tabel 31. Kendala Besar pada Pembangunan Infrastruktur di Indonesia (Berdasarkan analisa mendalam menurut sub-sektor) Transportasi Kendala Utama Jalan Kereta Api Pelabuhan Listrik Telekom Udara SulitnyaPembebasan Tanah Lemahnya Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan* Buruknya Tata Kelola Pemerintahan Tidak Tersedianya Pendanaan Jangka Panjang Rendahnya Pengembalian atas Investasi Penentuan tarif sosial listrik yang dibawah pemulihan biaya Tak efisiennya alokasisumber daya yang terbatas : Kendala Besar * Sesuai dengan definisi survei, faktor ini adalah masalah mendasar di balik perspektif negatif pada beberapa bidang termasuk: Koordinasi Pemerintah, Proyek Layak Dana, Kapasitas Implementasi, Hubungan dengan Pemerintah, dan Kerangka Hukum dan Peraturan. Infrastruktur yang lemah dan tidak memadai tidak hanya berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia tetapi juga pada keterkaitan dengan negara-negara tetangga, khususnya Malaysia dan Thailand (lihat bagian I dan V). Hal ini terlihat nyata oleh perwujudan yang lambat dari Inisiatif Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan yang berdasarkan sektor Tabel 32: Ringkasan Kendala Survey dan Kendala Kunci pada Seluruh Sektor Infrastruktur di Indonesia Kendala Utama (berdasarkan survei dan analisa yang mendalam) Transportasi Listrik Masalah Pembebasan Tanah Lemahnya Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Buruknya Tata Kelola Pemerintahan Kurangnya Pendanaan 75 Komunikasi Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur swasta dan membantu memfasilitasi pembangunan sub wilayah sebagai kesatuan yang utuh.43 Sejak pendiriannya di tahun 1993, IMT-GT telah berkembang dalam cakupan geografis dan kegiatan. IMT-GT memiliki potesi untuk memperbaiki pertumbuhan intra dan inter regional dan pemerataan. Memperkuat transportasi lintas-batas dan kaitan logistik akan dapat memperluas pasar, serta peluang ekonomi yang dapat dieksploitasi oleh propinsi-propinsi yang berbatasan di masing-masing tiga negara tersebut. Pada waktunya, hal ini akan mengurangi kesenjangan dalam negara masing-masing. IMTGT telah mengidentifikasi konektivitas koridor ekonomi yang meliputi 10 provinsi di Sumatera. Untuk memanfaatkan IMT-GT sepenuhnya dan akses perdagangan preferensial nya, Indonesia perlu meningkatkan investasi di bidang manufaktur dan jasa di 10 propinsi. Namun, investasi akan sulit untuk menjadi menarik jika jaringan transportasi dan pasokan listrik di provinsi-provinsi tidak ditingkatkan secara signifikan.44 Untuk memanfaatkan potensinya, peta jalan (roadmap) IMT-GT 2007-2011 disusun dengan penekanan yang amat jelas akan pentingnya infrastruktur. Terkait dengan jumlah penduduk, luas tanah dan kesempatan kerja Indonesia akan cenderung mendapat manfaat terbanyak dibanding ketiga negara yang termasuk dalam inisiatif IMT-GT. Namun, ketidak-seimbangan infrastruktur membatasi kemampuan Indonesia untuk mengambil manfaat dari inisiatif regional yang penting ini. Jelaslah, kendala-kendala bagi pembangunan infrastruktur, yang telah diidentifikasi oleh studi diagnostik infrastruktur ini, juga menghambat IMT-GT (yaitu, kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan yang lemah, kegagalan koordinasi, dan kekurangan pembiayaan). (Kotak 10). VII. SEBAB UTAMA KENDALA POKOK YANG DITEMUKAN i) Kesulitan Pembebasan Tanah Dari perspektif investasi di bidang infrastruktur, kesulitan dalam pembebasan tanah ini bisa dikatakan sebagai kendala paling mengikat yang menghambat investasi publik, investasi swasta dan kemitraan publik-swasta dalam transportasi, listrik dan telekomunikasi. Mengingat luasnya wilayah Indonesia, pertanyaannya adalah mengapa biaya tanah sangat tidak terjangkau? Tindakan spekulatif serta dilanggarnya kerahasiaan rencana pembangunan membawa dampak negatif terhadap kelangsungan keuangan sebuah proyek. Pembicaraan dengan investor swasta menunjukkan bahwa sejumlah proyek tertunda akibat masalah pembebasan tanah, terutama dalam proyek jalan tol. Ada kasus di mana tanah milik pribadi telah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, dan kemudian timbul Ini adalah inisiatif kerja-sama sub regional yang dimulai tahun 1993 oleh pemerintah Indonesia, Malyasia dan Thailand, dengan tujuanmempercepat dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat kemiskinan, memperbaiki kualitas hidup, menciptakan perdamaian dan stabilitas di sub wilayahmelalui peningkatan perdagangan dan investasi. 44 Meskipun biaya captive power lebih mahal ( sekitar 30 – 50 persen lebih mahal daripada listrik PLN), banyak pabrik di Sumatra yang akhirnya beralih pada pembangkitan tenaga listrik sendiri karena pasokan dari PLN tak dapat diandalkan. Hal ini berdampak buruk bagi daya saing dan kemauan mereka untuk investasi dalam sektor ini. 43 76 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 10. SEGI-TIGA PERTUMBUHAN (Indonesia- Malaysia-Thailand): Kendala Utama dalam Penunjang Infrastruktur dan Konektivitas Sub-Regional Tujuan utamadari sub wilayah IMT-GT adalah untuk «memperkuat hubungan infrastruktur dan konektivitas» melalui IMT-GT Roadmap 2007-2011. Bidang yang diprioritaskan dalam pembangunan infrastruktur yang diidentifikasi dalam IMT-GT Roadmap meliputi: (i) peningkatan infrastruktur lintas-batas dan koneksi layanan transportasi; (ii) fasilitasi transportasi jalan di sub wilayah IMT-GT-melalui pengakuan timbal baik dokumentasi kendaraan; (iii) pembangunan jasa dan fasilitas pelayaran untuk mendukung perdagangan lintas batas dan kegiatan investasi; (iv) peningkatan dan pembangunan infrastruktur transportasi di koridor Utara-Selatan di Sumatera untuk meningkatkan hubungan ekonomi dengan Malaysia dan Thailand yang merupakan sub-wilayah IMT- GT; (v) peningkatan dan pembangunan jasa dan fasilitas udara IMT-GT, dan (vi) pembangunan strategi dan program untuk kerja sama IMT-GT di bidang energi. Selama 16 tahun terakhir, perkembangan pelaksanaan IMT-GT Inisiatif jauh di bawah yang diharapkan, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan jalan, kereta api, bandara, pelabuhan dan infrastruktur listrik pada tingkat antar dan intra regional. Hambatan dasar dibalik tingkat kemajuan yang rendah ternyata sama dengan temuan penelitian diagnostik pertumbuhan infrastruktur ini. Hambatan tersebut adalah: • Lemahnya Kapasitas Kelembagaan dan Sumber: Daya Manusia yang jelas terlihat dari ketidak-adaan hubungan antara strategi, program dan proyek. Terlalu banyak proyek utama (flagship) yang diidentifikasi tanpa mempertimbangkan kapasitas pelaksanaan dari tiga pemerintahan, terutama di tingkat lokal. Bahkan, kegiatan analitis (studi pra-kelayakan dan kelayakan) yang dilakukan untuk memandu perumusan proyek amat terbatas. Kelemahan dalam kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan juga tampak jelas dalam kesenjangan informasi proyek dan sistem pemantauan proyek yang tidak memadai. Keberhasilan koridor pembangunan seperti IMT-GT terdapat pada partisipasi sektor swasta. Namun, kurangnya proyek layak dana yang disiapkan oleh pemerintah mengakibatkan partisipasi minimal oleh sektor swasta, dan lembaga keuangan domestik dan internasional. • Kegagalan Koordinasi: Lemahnya koordinasi di semua tingkatan pemerintah (nasional, pemerintah provinsi dan lokal) juga memperlambat pelaksanaan Roadmap IMT-GT. Khususnya, hanya ada sikap rasa memiliki yang rendah di tingkat pemerintah daerah karena mereka tidak aktif terlibat dalam persiapan proyek dan identifikasi. Selain itu, hubungan antara sektor publik dan swasta lemah. • Kurangnya Pendanaan: Pelaksanaan IMT-GT Roadmap membutuhkan $ 15-20 milyar selama periode 10 tahun, yang bukan merupakan jumlah besar untuk tiga negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat (yaitu, dibandingkan dengan $ 200 milyar di rencana infrastruktur jangka menengah di Indonesia). Dibawah Inisiatif IMT-GT, tidak ada rencana pendanaan yang pantas yang disiapkan dan ketiga pemerintah tidak menyediakan cukup dana untuk proyek-proyek tersebut. Hal ini menunjukkan kurangnya kemauan politik dari ketiga pemerintah. Pencapaian tujuan Roadmap IMT-GT, khususnya untuk mengurangi kesenjangan antar daerah, tidak mungkin diperoleh dalam dua tahun yang tersisa. Perlu ada sebuah studi diagnostik rinci yang mencakup ketiga negara untuk mengidentifikasi kendala penghambat keberhasilan IMT-GT. Jika hal ini tidak dijalankan, dan strategi untuk melonggarkan kendala paling mengikat tidak dikembangkan serta dilaksanakan, kemajuan IMT-GT tidak akan tercapai dan akan merugikan pertumbuhan dan pemerataan. 77 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur kegiatan spekulasi (yaitu ada kebocoran informasi yang menyebabkan situasi dimana tanah sudah diperdagangkan sebelum secara resmi diperuntukkan untuk proyekproyek infrastruktur tertentu). Hal ini menyebabkan kenaikan harga tanah yang jauh lebih tinggi daripada harga perkiraan dalam rencana proyek. Meskipun ada peraturan untuk menangani kegiatan spekulasi di atas namun pelaksanaannya belum memadai. Tambahan pula, seperti yang sudah dibahas sebelum ini,tidak ada kemauan kuat dari pemerintah untuk memberlakukan peraturan tersebut yang dapat mempercepat penyelesaian pertengkaran atas harga tanah. Hal ini terjadi karena penangananmasalah ini dikhawatirkanakan dianggap sebagai tindakan semenamena atau tidak memihak masyarakatmiskin, jadi merupakan tindakan tidak populer. Selain itu, dalam diskusi dengan sektor swasta itu, ternyata sebagian dari spekulator tanah tersebut ada hubungan dengan birokrasi pemerintah, yang merupakan sebagian sebab mengapa ada keengganan pemerintah untuk menangani hal ini. Keengganan pemerintah untuk mengambil keputusan yang bisa dianggap tindakan sewenang-wenang. Dalam usaha untuk tidak terlihat berlaku sewenang-wenang, pemerintah tampaknya enggan untuk terlibat dalam pembebasan tanah, dan menjatuhkan tanggung jawab pada sektor swasta yang berpartisipasi dalam proyek. Maka, tanggung jawab ditimpakan pada investor untuk menyelesaikan masalah kompensasi dengan pemilik tanah. Dalam banyak kasus,bila tanah diperlukan untuk proyek-proyek infrastruktur, pemilik tanah menaikkan harga secara signifikan. Enam puluh lima persen dari 196 masalah pembebasan tanah yang terjadi sejak tahun 1970 berkaitan dengan konflik atas kompensasi. Meskipun sudah ada berbagai peraturan (Kotak 11), pemerintah sangat enggan untuk memperoleh tanah melalui proses hukum. Peraturan Presiden 65/2006 dan peraturan lainnya membatasi pilihan hukum yang tersedia bagi pemilik properti untuk menantang upaya pemerintah mendapatkan lahan untuk proyek-proyek infrastruktur. Namun, pemerintah enggan untuk menggunakan peraturan tersebut, tampaknya khawatir jika secara politis tidak populer. Untuk menghadapi masalah ini, baru-baru ini pemerintah mengadakan dana bergulir pembebasan tanah yang dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Dana tersebut dapat memainkan peranan penting dalam menyelesaikan kemacetan pembebasan tanah untuk jalan tol dan proyek infrastruktur lainnya yang sekarang sedang terjadi. Ini merupakan pertimbangan yang penting bagi pembangunan jalan tol yang amat memerlukan tanah. Investor yang potensial telah lama mengharapkan dana bergulir seperti ini untuk membiayai pembebasan tanah untuk membatasi atau menghilangkan resiko bagi investor. Dapat dicatat bahwa secara umum resiko pembebasan tanah ini, yang sementara ini ditanggung investor, idealnya harus ditangani oleh pemerintah sebelum keputusan investasi diambil atau resiko tersebut harus ditanggung oleh pemerintah. Ketidak-efisienan dalam perencanaan tata ruang memperburuk masalah pembebasan tanah. Pada tingkat pemerintah daerah/provinsi, peraturan dan perundangan dalam menentukan wilayah untuk perumahan, infrastruktur dan industri belum tuntas. Proses ini memerlukan koordinasi di tingkat pusat antara instansi terkait, karena perencanaan 78 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 11. Lemahnya Formulasi dan Implementasi Peraturan Pembebasan Tanah Keputusan Presiden Nomor 55/1993 tentang «Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Umum» menetapkan prosedur pengaduan bagi para pemilik tanah; mendefinisikan kepentingan umum untuk tujuan pembangunan; memisahkan proyek swasta, yang harus menggunakan pengaturan pembelian tanah biasa; lebih menekankan pada konsultasi masyarakat dan mencapai kesepakatan dengan masyarakat yang terkena dampak tentang bentuk dan jumlah kompensasi; dan menyajikan pilihan yang luas tentang kompensasi termasuk uang tunai, tanah pengganti, sertifikat tanah resmi, dan pemukiman kembali. Keputusan ini meletakkan dasar aturanaturan tentang bagaimana pemerintah menjalankan kekuasaan negara dalam pengambilan alih kepemilikan tanah. Keputusan Presiden No 36/2005 tentang «Penyediaan Tanah dalam Mewujudkan Pembangunan untuk Kepentingan Umum» mengubah Keputusan Presiden Nomor 55/1993 sebelumnya dan menyediakan berbagai bentuk kompensasi bagi aset swasta yang dibutuhkan untuk melanjutkan pembangunan proyek-proyek pemerintah. Keputusan ini menjadi kontroversial karena kuasa ‘eminent domain’ digunakan untuk keuntungan perusahaan swasta dan menerima banyak kritik dari masyarakat. Keputusan Presiden Nomor 65/2006 tentang «Pengadaan Tanah Dalam Mewujudkan Pembangunan untuk Kepentingan Umum» yang diterbitkan pada bulan Juni 2006 mengubah peraturan sebelumnya tentang pembebasan tanah (Kepres 36/2005), yang membatasi penggunaan ‘eminent domain’ hanya untuk proyek-proyek pembangunan pemerintah saja. Kepres ini bertujuan untuk memperpendek proses pembebasan tanah dan pemangkasan biaya tanah. Kepres ini memberikan dasar hukum bagi pemerintah untuk mendapatkan lahan proyek infrastruktur dari pemilik tanah dengan memberikan kompensasi dalam bentuk uang, tanah pengganti dan /atau pemukiman kembali atau bentuk kompensasi lainnya yang disepakati oleh semua pihak. Pada umumnya, baik Keputusan Presiden No 65/2006 dan Keppres No 36/2005 sebenarnya sama, hanya perbaikan ditambahkan dalam ketentuan Keputusan Presiden Nomor 55/1993. Pemerintah sangat enggan untuk mendapatkan tanah melalui proses hukum ‘eminent domain’. Peraturan BPN Nomor 3 / 2007 tentang «Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Tanah dari Keputusan Presiden No 36/2005 dan 65/2006». Peraturan Menteri Negara Agraria dan Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pedoman Operasional dari Keputusan 55/93 adalah peraturan yang memungkinkan pelaksanaan Keputusan Presiden 55/1993. Peraturan digantikan oleh Peraturan BPN No 3/2007. BPN, sebuah lembaga independen di bawah Presiden, adalah unit pemerintah pusat yng dikuasakan untuk memperoleh tanah untuk kepentingan umum. Peraturan Presiden 13/2010 tentang «Pendanaan di bawah Skema Kemitraan Publik Swasta» akan mampu menangani isu-isu yang berhubungan dengan tanah. Awal tahun ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan ini, yang menegaskan bahwa tidak akan ada proyek-proyek PPP yang ditawarkan tanpa memastikan pembebasan lahan yang diperlukan. Peraturan yang tidak mendukung Ada sejumlah undang-undang lainnya yang terkait dengan pembebasan tanah, khususnya UndangUndang Dasar Pertanian (1960) dan Undang-Undang Kehutanan (41/1999) yang tidak saling mendukung . Di bawah hukum Kehutanan, Kementerian Kehutanan mempunyai hak untuk memperoleh tanah untuk kepentingan umum, tapi hanya kawasan hutan, pemerintah daerah hanya diijinkan untuk memperoleh hingga 2 hektar tanah untuk kepentingan umum. Di bawah UndangUndang Penyitaan Tanah Nomor 20/1961yang dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960, jika tidak ada kesepakatan dengan pemilik tanah, negara berhak mengambil tanah secara paksa, sepanjang tanah diperlukan untuk kepentingan umum. Namun, pengambilalihan harus digunakan sebagai upaya terakhir. Undang-undang ini tidak begitu jelas, yang sering menyebabkan perselisihan dengan BPN. 79 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur tata ruang tidak dapat dibuat oleh hanya satu kementerian, seperti Kementerian Pekerjaan Umum. Selain itu, diperlukan sekali koordinasi yang lebih luas antara pemerintah pusat dan daerah dalam pendelegasian kekuasaan untuk menghindari komplikasi pada tahap pelaksanaan.Tidak adanya peraturan yang jelas dan peraturan yang terkait dengan perencanaan tata ruang telah mengakibatkan lambatnya kemajuan pembangunan infrastruktur di sebagian besar propinsi. ii) Kapasitas Manusia dan Kelembagaan yang Lemah Penyebaran kekuasaan melalui desentralisasi dan kurangnya koordinasi telah menyebabkan pengambilan keputusan yang tidak efisien. Indonesia saat ini menghadapi masalah dengan tingkat fragmentasi dan penyebaran kekuasaan antara berbagai instansi pemerintah. Hal ini menyebabkan ketidak-efisienan dalam pengambilan keputusan terutama karena ketidak-jelasan dalam peran dan pendelegasian wewenang/ tanggung jawab. Banyaknya lembaga dan otoritas telah menambah masalah bagi koordinasi yang efektif dan efisien di antara lembaga-lembaga yang khususnya berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Pembuatan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi memerlukan banyak koordinasi di kalangan instansi pemerintah, tidak hanya di tingkat pusat tetapi juga di tingkat daerah, khususnya dalam era desentralisasi saat ini di mana pemerintah daerah memainkan peran yang lebih besar daripada sebelumnya. Masalah koordinasi ini menjadi lebih pelik setelah desentralisasi diluncurkan pada tahun 2001. Masih ada ketidak-jelasan tentang di tingkat pemerintahan yang mana yang bertanggung jawab atas penyediaan jasa terletak, hal ini disebabkan karena pembagian tugas dari berbagai fungsi yang tidak jelas. Dalam beberapa kasus, peraturan pemerintah daerah/lokal tidak konsisten dengan peraturan di tingkat nasional. Kurangnya koordinasi di dalam pemerintah menimbulkan kesulitan dalam menyelesaikan masalah ketidak konsistenan peraturan karena tidak jelasnya tanggung jawab, kurangnya akuntabilitas dan rasa memiliki, dan tidak ada delegasi kewenangan yang jelas. Keadaan inii telah mengakibatkan adanya rasa frustasi dan kegiatan yang memakan waktu bagi sektor swasta dalam interaksi mereka dengan pemerintah (Kotak 12). Kurangnya Kapasitas Pemerintah dalam Implementasi Rencana Jangka Pendek dan Menengah. Kendala kapasitas dalam pemerintah jelas terlihat dengan mengamati kinerja dalam menangani anggaran. Sebagai contoh, dana sebesar Rp 12,2 trilyun dialokasikan untuk infrastruktur pada tahun 2009, dan dari dana sebesar itu Rp 6,6 trilyun dialokasikan untuk jalan. Selama semester pertama tahun 2009, hanya 5 persen dari alokasi tersebut telah dipergunakan oleh pemerintah tingkat pusat dan daerah.45 Selain itu, hanya 33 persen dari anggaran investasi pemerintah pusat untuk tahun 2009 yang telah dibelanjakan pada semester pertama. Demikian pula, alokasi untuk infrastruktur (yaitu sumber daya air, jalan dan jembatan dan air dan sanitasi) tidak pernah sepenuhnya dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum selama lima tahun terakhir. Khususnya, selama tiga kuartal pertama (1 Januari-8 September 2009), hanya 39,9 persen dari alokasi anggaran untuk infrastruktur yang telah digunakan. (Table 33). 45 Standard Chartered Bank, Special Report-Indonesia, 2 september 2009. 80 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 12: Kegagalan Koordinasi dalam Pemerintah yang Berakibat Buruk pada Investasi Infrastruktur Bahkan dalam investasi yang telah berjalan (meskipun masih terdapat kurangnya proyek layak dana dan masalah dengan pembebasan tanah), tidak adanya komunikasi dan koordinasi di dalam pemerintah menyebabkan kelangsungan proyek terancam. Ini memperburuk dan mengurangi kepercayaan bisnis terhadap kemampuan pemerintah, serta membuat investor khawatir melaksanakan proyek-proyek infrastruktur. Tidak adanya lingkungan perencanaan yang holistik dimana rencana pembangunan antar daerah yang strategis dan jangka panjang disusun, mengakibatkan jaringan kerja yang “tak lengkap” dan lebih rendah dari yang diharapkan. Contoh terbaik diilustrasikan oleh dua proyek jalan tol: Surabaya-Gempol (selesai pada tahun 1986) dan Jalan Tol Waru-Juanda (selesai tahun 2008). Jalan Tol Waru – Juanda merupakan bagian dari seluruh Proyek Tol Ring Road Timur Surabaya (yang dimulai pada 1997). Berdasarkan potensi jumlah lalu lintas harian 53.000 kendaraan per hari, PT Citra Margatama Surabaya (CMS), menginvestasikan sekitar Rp. 1,5 triliun tahun 2008 (dua kali lipat dari nilai awal yang diperkirakan pada tahun 2002). Namun, saat tol dibuka, lalu lintas sebenarnya hanya 23,6% dari volume yang perkiraan, menyebabkan PT. CMS mengalami kerugian besar. Hal ini disebabkan buruknya jaringan jalan tol Waru-Juanda. Perkiraan awal lalu lintas 53.000 kendaraan dapat dicapai jika jaringan jalan di sekitar jalan tol Waru-Juanda ditingkatkan. Dalam studi kelayakan proyek ini,, jalan tol Waru-Juanda akan diintegrasikan dengan kedua jalan tol ring timur Surabaya (East Ring Toll Road of Surabaya) dan jalan tol Surabaya-Gempol. Di bagian barat, jalan tol WaruJuanda ini akan terhubung dengan Surabaya-Mojokerto. Selain itu, jalan alternatif ke Bandara Juanda sudah ditingkatkan dan dibuka beberapa waktu sebelum jalan tol rampung sehingga jalan alternatif ini mengambil sebagian besar lalu lintas yang secara teori (bila tidak ada jalan alternatif) akan melewati jalan tol WaruJuanda, hal ini jelas menunjukkan kegagalan koordinasi dalam pemerintah. Jalan Tol Surabaya-Gempol Jalan Tol Surabaya-Gempol menghubungkan Surabaya di Utara dan Gempol di bagian Selatan dari Jawa Timur, dan beroperasi sejak tahun 1986 dan merupakan jalan akses utama untuk Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan (Pasuruan merupakan salah satu daerah industri utama di Jawa Timur ). Volume lalu lintas jauh di bawah tingkat yang diproyeksikan karena perbaikan pada rute-rute alternatif oleh pemerintah provinsi. Hal ini menyebabkan pengalihan lalu lintas potensial dari jalan tol Surabaya-Gempol, menunjukkan lemahnya koordinasi antar berbagai tingkatan pemerintah. Disemua tingkat pemerintah, perencanaan dan koordinasi pelaksanaan menghadapi tantangan yang lebih besar sejak desentralisasi pada tahun 2001. Masalah koordinasi yang sudah berakar dalam sistim ini telihat menyolok dalam survei dengan para pemangku kepentingan, di mana 85 persen responden menilai kualitas koordinasi di dalam pemerintah sebagai bermasalah (lihat bagian IV untuk analisa terinci tentang temuan survei). Selain itu, kegagalan koordinasi di dalam pemerintah terwujud sebagai kendala yang berkaitan dengan rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan pemerintah (diidentifikasi sebagai kendala yang mengikat untuk investasi infrastruktur) (lihat bagian V) dan efektifitas pemerintah Indonesia tertinggal dibandingkan dengan pesaing regional (lihat sub-bagian iii di bawah ). Pada akhirnya, kegagalan koordinasi dan pendekatan ad-hoc untuk pembangunan infrastruktur meningkatkan skeptisisme terhadap proyek-proyek PPP yang ditawarkan oleh pemerintah, menghilangkan kepercayaan investor sehingga berdampak buruk pada investasi infrastruktur swasta. Hal ini terlihat dalam rendahnya tingkat respon terhadap tender yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan kelambatan pelaksanaan yang kemudian diambil alih oleh sektor swasta. Pemerintah Indonesia harus memakai suatu pendekatan yang holistik, khususnya dalam pembangunan infrastruktur untuk menjamin adanya sinergi dalam proses pembangunan, network yang efektif dan lengkap serta pemakaian sumber daya yang efisien. 81 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Tabel 33: Pengeluaran Infrastruktur (% dari total alokasi) dari Kementerian Pekerjaan Umum (2005 sampai 8 September 2009) 2005 2006 2007 2008 Sampai 8 Sept. 2009 Sumber daya Air 88,9 93,4 77,9 92,7 37,4 Jalan dan Jembatan 99,3 93,8 88,3 96,2 43,1 Air dan Sanitasi 98,3 93,6 92,1 95,3 36,0 Total 98,4 93,6 85,4 95,0 39,9 Sumber: Data yang disediakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Indonesia (4 Oktober 2009) Masalah menjadi semakin buruk apabila ada kelambatan menyalurkan dana ke daerah-daerah.46 Harus diakui bahwa tanggung jawab pembangunan infrastruktur sebagian besar terletak pada wewenang pemerintah daerah, yang kemampuan untuk melaksanakan proyek lebih rendah dari pemerintah pusat (yang juga sangat lambat dalam hal ini). Beberapa pemerintah daerah tidak dapat menangani pengeluaran yang dibutuhkankarena terbatasnya ketrampilan dan kemampuan operasional.. Kekurangan kapasitas yang paling parah adalah di bidang perancangan dan pengembangan proyek, yang menyebabkan keterlambatan dalam pelaksanaannya. Jadi, permasalahan ini diperparah oleh keterlambatan penyaluran dana dan kurangnya kemampuan teknis untuk melaksanakan proyek-proyek. Sesungguhnyalah bahwa kendala kapasitas di tingkat pemerintah daerah telah menghambat pembangunan infrastruktur.47 Lebih jauh lagi, proyek-proyek infrastruktur yang didanai oleh dana eksternal, khususnya oleh bank-bank pembangunan multilateral (yaitu World Bank, ADB dan IDB) banyak yang tertunda, dalam banyak hal,sampai lima tahun karena lemahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan.(Kotak 13). Kendala kapasitas dalam pemerintah terlihat jelas dalam kurangnya proyek layak dana. Kurangnya kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia terlihat jelas dalam kualitas “proyek yang layak didanai bank” yang dipersiapkan oleh pemerintah. Salah satu contoh adalah “Kemitraan Publik-Swasta di bidang Infrastruktur di Indonesia” (umumnya dikenal sebagai PPP Blue Book), dimana biaya proyek untuk jalan bervariasi secara signifikan, mulai dari $4,7 juta menjadi $19,8juta per km tanpa ada penjelasan mengapa ada perbedaan tersebut (meskipun jenis daerah mungkin memainkan peran besar dalam biaya). Selain itu, semua proyek jalan antara 7,5 km sampai 135 km diperkirakan akan memerlukan waktu dua tahun untuk memperoleh tanah dan dua tahun untuk membangun. Ini tertulis dalam PPP Blue Book, walaupun dalam kenyataannya, negosiasi pembebasan tanah memerlukan waktu dari tiga sampai tujuh tahun dan bahkan lebih dari itu. Rendahnya kualitas dari proyek yang layak dana yang dipersiapkan juga terlihat dalam rendahnya minat terhadap tender-tender yang ditawarkan oleh pemerintah Dana ini seharusnya sudah disalurkan di awal tahun fiscal, tetapi pada kenyataannya baru disalurkan setelah kuartal pertama karena lambatnya proses penganggaran. OECD (Juli 2008), OECD Economic SurveY, Economic Assessment, indonesia 46 47 82 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 13: Keterlambatan dalam Implementasi Proyek di Indonesia Proyek-proyek yang dibiayai oleh donor, terutama oleh IDB, World Bank dan ADB, mengalami penundaan yang signifikan karena sejumlah faktor, terutama yang berhubungan dengan rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan di Indonesia. Penundaan implementasi proyek menyebabkan kenaikan biaya, buruknya kinerja proyek, dan lambatnya penyaluran manfaat proyek kepada para penerima manfaat. Dalam proyek yang dibiayai oleh IDB, Laporan-Laporan Perampungan Proyek dari sejumlah proyek infrastruktur menunjukkan bahwa terdapat penundaan antara 3 sampai 5 tahun dalam pelaksanaan proyek. Penundaan ini disebabkan oleh kesulitan dalam pembiayaan impor bagian komponen proyek, kenaikan harga karena devaluasi rupiah, dan hal-hal yang berkaitan dengan peraturan dalam negeri. Lebih jauh, karena terjadi proses desentralisasi di Indonesia, maka prosedur pinjaman untuk pemerintah daerah dari lembaga keuangan pembangunan multilateral masih harus ditetapkan. Menurut Laporan Bank Dunia «Status Pelaksanaan Proyek untuk tahun 2008 di Indonesia (11 Oktober 2008)», tinjauan jangka menengah tentang 35 proyek yang sedang berlangsung menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari proyek tersebut tertunda antara 1 sampai 5 tahun. Alasan utama penundaan adalah karena keterlambatan pengadaan di tingkat pusat, keterlambatan pencairan anggaran untuk pemerintah daerah dan keterlambatan selanjutnya untuk kabupaten dan kecamatan, dan keterlambatan dalam pengadaan peralatan yang prioritas. Laporan Penyelesaian Proyek yang dibuat oleh ADB dari 2008 dan 2009 untuk Indonesia menunjukkan 11 diantara 13 proyek terlambat antara 1 sampai 6 tahun. Sebab utama keterlambatan proyek adalah pengadaan yang lambat, kapasitas yang lemah di pemerintah tingkat daerah, kurangnya pegawai lapangan yang terlatih, pemutusan kerja konsultan internasional yang sangat cepat, pembebasan tanah dan pemukiman kembali, pemilihan dan pemulaian kerja konsultan, penyediaan dana pendamping, dan buruknya kinerja kontraktor. (terutama untuk PLS, dimana dalam satu waktu, tak satupun penawaran diterima) (Lihat Bagian V). Kurangnya kapasitas untuk menegakkan hukum dan perubahan-perubahan peraturan menghambat investasi infrastruktur. Meskipun ada beberapa buah undang-undang/ peraturan yang dikeluarkan untuk meningkatkan iklim investasi, banyak yang tidak dilaksanakan/ditegakkan, khususnya di sebagian besar sub-sektor. Hal ini lebih lanjut diilustrasikan oleh ketidak-mampuan peradilan dan kurangnya kemauan pemerintah untuk menegakkan peraturan/hukum pembebasan tanah, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Tidak adanya otoritas hirarkis mempersulit koordinasi. Salah satu aspek khusus desentralisasi adalah pengurangan fungsi pemerintah tingkat propinsi dan memindahkan fungsi-fungsi dan/atau sumber-sumber keuangan ke pemerintah daerah pada tingkat yang paling rendah (kabupaten di pedesaan dan kotamadya di perkotaan). Hal ini telah menyebabkan kurangnya otoritas hirarkis pemerintah propinsi atas kabupaten dan kotamadya, dan mengakibatkan rendahnya tingkat koordinasi di 83 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur antara kotamadya dan kabupaten. Selain itu, tidak seperti di masa lalu, setelah era reformasi, kepala kotamadya (walikota) atauatau kepala kabupaten (bupati) dipilih secara langsung. Jadi, pengangkatan mereka tidak lagi tergantung pada pemerintah. Akibatnya, mereka tidak bertanggung jawab kepada kepala propinsi/gubernur, sehingga menimbulkan koordinasi regional yang lemah, dan mengurangi manfaat desentralisasi. Fokus jangka pendek pada tingkat lokal menghambat proyek-proyek infrastruktur jangka panjang. Desentralisasi telah menempatkan pemerintah daerah di garis depan pemberian pelayanan, termasuk dalam program investasi publik. Namun, keterbatasan kapasitasnya telah mengakibatkan proyek investasi yang tertumpuk. Bersamaan dengan itu, keterlambatan Kementerian Dalam Negeri dalam memberikan persetujuan anggaran pemerintah daerah juga menunda pelaksanaan proyek. Fokus jangka pendek, penganggaran tahunan, menyulitkan pemerintah daerah untuk melaksanakan dan membiayai proyek-proyek investasi multi-tahunan yang berskala besar. iii) Tata Kelola Pemerintahan yang buruk Kegiatan mencari rente berdampak buruk pada investasi infrastruktur dan biaya proyek. Indikator tata kelola pemerintahan Indonesia relatif lemah. Dalam Indeks Persepsi Korupsi dari Transparansi Internasional (2009) Indonesia berada dalam peringkat ke 126 dari 180 negara. Meskipun ada peningkatan yang signifikan dari tahun 2007, Indonesia masih di belakang Malaysia yang berada di peringkat ke-47, Thailand ke-80 dan Vietnam ke-121.48 Di sektor infrastruktur, tata kelola pemerintahan yang buruk berkaitan dengan kegiatan mencari rente yang dilakukan oleh pejabat yang berurusan dengan proyek. Dari segi biaya, ini merupakan faktor penghambat investasi terbesar kedua dalam survei yang dilakukan oleh IDB. Temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya, terutama dalam kaitannya dengan dampak desentralisasi yang dimulai pada tahun 2001.49 Desentralisasi telah meningkatkan jumlah pejabat yang memiliki kewenangan ‘discretionary’ atas kegiatan ekonomi dan telah membuat peraturan lebih rumit. Selain itu desentralisasi juga menciptakan peluang yang semakin banyak bagi kegiatan mencari rente. 50 Misalnya, menurut perkiraan Bank Dunia, korupsi dapat menambahkan hingga 20 persen terhadap biaya melakukan bisnis di Indonesia.51 Hal ini menghasilkan adanya ekonomi biaya tinggi, dan menyebabkan insentif rendah bagi investasi di bidang infrastruktur. Peningkatan otonomi telah mengakibatkan biaya tinggi dan menurunkan efektivitas. Program desentralisasi memberi wewenang ke pemerintah daerah untuk mengeluarkan peraturan bisnis, termasuk perijinan, dan untuk menarik biaya dan retribusi untuk penyediaan layanan lokal. Berdasarkan hak ini, sebagian besar wilayah hukum di seluruh Indonesia telah menerapkan beberapa pungutan,tanpa persetujuan/ sepengetahuan pemerintah pusat, sebagai sarana meningkatkan pendapatan. Upaya Lihat Laporan Diagnostik Indonesia untuk analisa yang mendetil tentang masalah Tata Kelola pemerintahan di Indonesia. Lihat OECD (2008) Ibid, Hal 63 51 Business Monitor International Ltd. Indonesia Infrastructure Report QI 2010. 48 49 50 84 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur pemerintah pusat untuk mengatasi masalah tersebut sejauh ini mendapatkan hasil yang beragam. Kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan di tingkat lokal, seperti yang disebutkan sebelumnya, membutuhkan perbaikan/penguatan. Untuk memperoleh keuntungan efisiensi yang diharapkan, proses desentralisasi membutuhkan koordinasi lebih kuat dan lebih efektif di berbagai tingkatan pemerintahan (koordinasi regional) dan memerlukan mekanisme pertanggungan-jawaban.52Aspek penting lain dari desentralisasi yang menggagalkan pembangunan infrastruktur adalah ketidakkonsistenan dalam aturan dan peraturan antara pemerintah pusat dan daerah. Efektifitas pemerintah Indonesia tertinggal dibandingkan dengan pesaing regional. Indonesia mendapat nilai 47,3 pada Indikator Tata Kelola Pemerintahan untuk efektivitas pemerintahan yang diperkenalkan oleh Bank Dunia, dibandingkan dengan Singapura 100, Malaysia 83,8, Thailand 58,7, dan Filipina sebesar 54,9. Hanya Vietnam, pada nilai 45,4 berada di bawah Indonesia. Masalah pada tata kelola pemerintahan Indonesia berasal dari desentralisasi, yang telah lebih jauh memperburuk kesulitan penyampaian jasa pemerintahan. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya keterampilan dan kapasitas serta distribusi sumber daya yang tidak merata ke seluruh daerah. Kurangnya koordinasi antara berbagai tingkatan pemerintahan dan wewenang dan fungsi semakin merumitkan masalah. Dalam hal tindakan anti-korupsi, Indonesia masih buruk dibandingkan dengan beberapa negara besar lainnya di wilayah ini. Indikator Tata Laksana Pemerintahan 2008 yang dipakai Bank Dunia menilai Indonesia di peringkat (31 persen), lebih rendah dalam pengendalian korupsi dibanding Malaysia (63 persen) dan Thailand (43 persen), meskipun lebih baik daripada Filipina (26 persen) dan Vietnam (25 persen). Survei-survei internasional lainnya menunjukkan hal yang serupa. Terbukti juga bahwa, akibat desentralisasi, korupsi telah menjadi ‘tersebar dan terpecah-pecah’ dan tak dapat terduga karena melibatkan banyak pemain (Perdana dan Friawan 2007). Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa korupsi telah diakui oleh pemerintahan Presiden Yudhoyono sebagai kendala untuk pertumbuhan, dan perjuangan melawan korupsi merupakan suatu prioritas utama pemerintah. Pemerintah telah membuat sejumlah inisiatif untuk mengurangi korupsi. Salah satunya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dibentuk pada tahun 2002, yang terlihat efektif dalam menyelidiki dan menuntut kasus-kasus yang terkait suap dan korupsi. Langkahlangkah tambahan termasuk yang berkaitan dengan reformasi pengadaan barang publik dan transparansi, dan pendidikan terhadap pegawai negeri dan masyarakat. Inisiatif ini telah memberikan hasil yang positif, dan persepsi tentang prevalensi serta pengendalian korupsi di Indonesia membaik antara 2004 dan 2008. Upaya anti-korupsi memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Bukti anekdotal menunjukkan kelemahan di bidang pengadaan barang publik dan pengawasan yang semakin ketat dalam pelaksanaan inisiatif anti korupsi telah membuat pejabat Aswicahyono dan Deni Friawan (2007, hal. 149). Mereka membuat daftar masalah akibat proses desentralisasi yang menyebabkan ketidak-efisienan, seperti: ketidak jelasan penugasan pada jabatan tertentu di pemerintahan, kurangnya layanan yang minimum, dan beberapa kekurangan lain dalam sistim fiskal antar departemen yang baru. 52 85 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur pemerintah daerah berhati-hati dalam melaksanakan komitmen anggaran karena takut dituntut. Hal ini mungkin adalah konsekwensi yang tidak dapat dihindari dari upaya anti korupsi jangka pendek untuk menjamin adanya rasa pertanggung-jawaban di semua tingkat pemerintahan. Persediaan sisa alokasi anggaran, khususnya yang dibiayai melalui pembagian pendapatan dengan wilayah hukum yang kaya sumber daya alamnya, telah meningkat dari waktu ke waktu, meningkatkan kemampuan pemerintah untuk melaksanakan proyek-proyek investasi iv) Kekurangan dalam Pendanaan Pendanaan jangka pendek dan domestik tidaklah merupakan kendala utama. Dalam meninjau anggaran 2008, pemerintah mencatat surplus kas sebesar $7,2 miliar (1,4 % dari PDB). Selain itu, defisit anggaran hanya sebesar 0,1 persen dari PDB, dibandingkan target sebesar 2,1 persen (defisit anggaran di Malaysia 4,7 persen; Thailand 1,8 persen; dan Filipina 1 persen pada tahun 2008), ini menunjukkan kekuatan fiskal Indonesia. Selanjutnya, jika pemerintah di tingkat nasional dan propinsi tidak menghabiskan alokasi anggaran infrastruktur yang ada karena keterbatasan kapasitas seperti disebutkan di atas, pembiayaan domestik tidak bisa dianggap sebagai kendala yang mengikat untuk pembangunan infrastruktur di sektor publik. Pendanaan jangka panjang dan pendanaan asing adalah masalah yang lebih besar. Dalam sektor swasta, pendanaan jangka panjang untuk proyek-proyek infrastruktur dirasakan tidak mencukupi. Di tingkat lokal, bank komersial hanya bersedia membiayai untuk jangka waktu sampai tujuh tahun, sementara bank-bank milik negarabersedia untuk member pinjaman dengan jangka sampai 12 tahun.53 Proyek infrastruktur, sesuai dengan sifat proyek,memerlukan pembiayaan lebih dari 12 tahun, yang saat ini tidak tersedia secara lokal.54 Hal ini terutama disebabkan oleh ketidak-cocokan antara cakrawala waktu sumber dana (jangka pendek) dan kebutuhan pendanaan (menengah ke jangka panjang). Saat ini, 90 persen sumber keuangan bank lokal berasal dari rekening tabungan, giro dan deposito berjangka, dan hanya 1 persen dari obligasi jangka panjang. Oleh karena itu, struktur pendanaan tidak sesuai untuk mendanai investasi jangka panjang dalam proyek infrastruktur dimana waktu-cakrawalanya lebih dari 12 tahun. Selanjutnya, ketidak-pastian lamanya waktu yang diperlukan untuk pembebasan tanah (bersama dengan biaya terkait lainnya) dan jangka waktu pelaksanaan proyek, ditambah dengan kurangnya kepercayaan dari bank-bank lokal untuk mendanai investasi jangka panjang, telah membuat pemberi dana internasional skeptis untuk mendanai sektor swasta dalam proyek-proyek jangka panjang. VIII. RENCANA YANG BERORIENTASI PADA PROSES UNTUK MELONGGARKAN KENDALA MENGIKAT: LINTAS SEKTOR Secara historis, infrastruktur memberikan kontribusi sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia 53 54 Diskusi diadakan dengan Pejabat Bank Umum senior September 2009 Investor sektor swasta menekankan dan menyatakan kendala ini dalam diskusi yang berlangsung September 2009. 86 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur memiliki beberapa indikator infrastruktur paling rendah. Meskipun, dibandingkan dengan negara tetangga, ada beberapa perbaikan kondisi secara keseluruhan dalam beberapa tahun terakhir, akan tetapi laju pembangunan Indonesia masih tertinggal. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa infrastruktur telah disebutkan sebagai salah satu kendala yang mengikat untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Situasi ini, bersama dengan peningkatan pemahaman akan adanya hubungan erat antara pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, yang mengarah pada penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan, telah mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan peningkatan investasi di bidang infrastruktur, terutama dalam sektor transportasi dan listrik. Untuk mencapai tujuan ini, kendala yang mengikat tersebut di atas perlu ditangani secara urutan prioritas. Agar niat ini menjadi efektif dan mendatangkan hasil yang diinginkan, sangat penting untuk menangani secara berurutan kendala-kendala pengikat tersebut. Implikasinya adalah bahwa jika kendala paling mengikat tidak ditangani terlebih dahulu, penanganan lainnya tidak akan efektif dan perubahan kebijakan infrastruktur yang terkait tidak akan mendatangkan hasil yang diinginkan Pada dasarnya, pendekatan yang terkoordinasi dan strategis dalam pembangunan infrastruktur diperlukan dengan tujuan inti yang di desain secara baik. Hal ini membutuhkan upaya bersama dari semua tingkat pemerintah dan, yang lebih penting, upaya untuk mengembangkan kapasitas permanen dalam menerapkan dan mempertahankan fokus strategis. Adalah penting bahwa semua kebijakan dan strategi dirancang berdasarkan konsultasi terus menerus dengan seluruh pemangku kepentingan khususnya sektor swasta karena hal ini akan membantu memperkuat baik manajemen ekonomi maupun kapasitas pelaksanaan. i) Menyelesaikan Masalah Dalam Pembebasan Tanah Masalah pembebasan tanah telah dikatakan sebagai kendala paling mengikat untuk investasi infrastruktur di Indonesia. Meskipun pembangunan infrastruktur dimaksudkan untuk menguntungkan negara dan penduduknya, jelas bahwa dalam kasus Indonesia, ada keengganan dari pihak pemilik tanah swasta melepaskan tanah mereka untuk kepentingan umum. Permasalahan intinya adalah masalah kompensasi atau ganti rugi tanah. Pemilik tanah dan pengembang proyek tidak bisa mencapai kesepakatan damai, khususnya pada pembangunan jalan dan jenis infrastruktur lainnya. Sistem penyelesaian tanah saat ini di Indonesia - beberapa putaran perundingan, kebutuhan untuk mendapatkan setidaknya 75 persen (berubah menjadi 51 persen) dari tanah sebelum mencari penyelesaian hukum, dan tanggung jawab pembelian lahan yang diserahkan pada pihak developer/pengembang, mengakibatkan proyek terhenti, yang menyebabkan pembengkakan biaya dan waktu. Untuk mengatasi masalah pembebasan tanah pemerintah bisa mempertimbangkan beberapa langkah berikut: Implementasi yang ketat atas masa penangguhan penjualan tanah begitu tanah sudah ditetapkan untuk pembangunan infrastruktur, akan menjadi kunci untuk mengatasi 87 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur kegiatan spekulatif. Setiap transaksi yang terjadi setelah daerah tersebut ditunjuk untuk proyek-proyek infrastruktur akan dianggap tak sah. Jika ada transaksi yang telah terjadi sebelum ‘demarkasi’ batas tanah, mereka juga harus diperiksa untuk memastikan bahwa tidak ada “insider-trading” dimana informasi sensitif dibocorkan oleh pejabat yang tidak bermoral. Jika ini terjadi, masalah ini harus dipublikasikan dan para pelaku dihukum. Selain itu, penggunaan juru taksir independen harus dilanjutkan. Namun, waktu yang ketat untuk penyelesaian sengketa harus ditetapkan. Sebagai contoh, sebidang tanah yang telah ditunjuk untuk proyek infrastruktur, dan penilaian telah selesai, masalahnya harus diselesaikan secara damai dalam jangka waktu 18 bulan. Pengambilan keputusan pemerintah yang cepat: Kelambatan pemerintah untuk mengimplementasikan peraturan yang dikeluarkan, sertaketidak efisienan dalam penggunaan hukum, sangat menyolok sekali. Di India, misalnya, ada bukti jelas bahwa pengadilan yang efektif dan efisien dapat mempercepat pelaksanaan proyek dengan mengurangi waktu rata-rata yang digunakan untuk memperoleh tanah dari 18 bulan ke 8 bulan (Kotak 14). Permasalahan untuk penyelesaian yang cepat harus diatasi dan kemauan untuk menegakkan peraturan perlu diperkuat. Mengalihkan tanggung jawab untuk pembebasan lahan kepada pemerintah: Pemerintah harus bertanggung jawab untuk pembebasan lahan agar memungkinkan investor untuk lebih memperhatikanpada pelaksanaan proyek yang sebenarnya. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah menetapkan dana bergilir untuk perolehan tanah sekitar Rp 600 milyar (66juta $). Dana ini ditambah lebih lanjut dengan Rp 1,2 triliun ($ 1,2 juta) untuk menutupi biaya kenaikan harga tanah. Selain itu, pemerintah mungkin harus membuat undang-undang pengambil-alihan tanah yang kurang merakyat (nonpopulist) yang diimplementasikan secara efektif dan manusiawi. Tanpa mekanisme tersebut, penyelesaian masalah pembebasan tanah akan tetap tak akan tercapai. Beberapa saran penanggulangan jangka pendek dan menengah dalam menangani masalah pembebasan tanah adalah : Penanggulangan Jangka Pendek (12-24 bulan) Penegakan secara ketat peraturan pembebasan tanah yang ada dan pelembagaan pembatasan perdagangan tanah begitu tanah telah ditetapkan untuk pembangunan infrastruktur. Membuat mekanisme untuk melacak transaksi tanah selama 3 bulan setelah penetapan tanah untuk pembangunan infrastruktur, untuk menentukan apakah ada “ informasi orang dalam” yang didapat untuk memperoleh keuntungan.. Mengembangkan dan menyebar-luaskan undang-undang pembatasan lamanya (dalam bulan) negosiasi tanah dilakukan, dan jika gagal, nilai yang ditentukan oleh penilai independen akan dipakai. Membuat pedoman yang jelas dan mekanisme penyelesaian yang cepat dalam bentuk hukum untuk menyelesaikan pertikaian pembebasan tanah. 88 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kotak 14: Solusi Masalah Pembebasan Tanah di India Pembebasan tanah adalah salah satu alasan utama keterlambatan proyek di India. Namun, ada perbaikan terus menerus pada masalah pembebasan tanah, yang menghasilkan peningkatan proporsi proyek yang berjalan sesuai jadwal (dari 32% pada tahun 1994 menjadi 36% pada 2007) dan penurunan tajam proporsi proyek dengan biaya yang membengkak (dari 58% pada 1994 menjadi 11,6% pada tahun 2007). Prestasi ini telah dicapai karena pembiayaan dan manjemen proyek yang lebih baik, dan reformasi pada kerangka peraturan yang berkaitan dengan aspek pembebasan tanah. Secara khusus, salah satu kendala terbesar untuk membangun jalan di India adalah membeli tanah milik pribadi, yang merupakan proses penuh birokrasi dan memakan waktu.. Namun pemerintah telah memperbaiki proses dengan mendirikan 150 unit akuisisi lahan. Hasilnya, waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh tanah berkurang secara bertahap dari 18 bulan hingga 8 bulan, khususnya melalui peningkatan partisipasi sektor swasta dan desentralisasi dengan peningkatan kapasitas di tingkat negara bagian. Peraturan Pembebasan Tanah (Land Acquisition Act) 1894 juga memberi wewenang pada pemerintah negara bagian dalam memperoleh lahan untuk proyek kepentingan umum. Peraturan ini menyediakan tiga metode untuk mendapatkan nilai tanah, yaitu: (i) harga yang disetujui pemerintah, (ii) nilai kapitalisasi dari rata-rata pendapatan tahunan dari tanah, dan (iii) harga pasar berdasarkan data transaksi tanah. Menurut peraturan ini, pemberitahuan maksud pemerintah untuk mendapatkan tanah, survei, sidang tentang keberatan, dan pernyataan pembebasan harus diselesaikan dalam waktu setahun. Undang-undang ini mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk pembebasan tanah secara signifikan. Undang-undang ini mencakup ketentuan tentang kompensasi yang hanya diberikan pada pemegang sertifikat berdasarkan nilai pasar daripada tanah, serta pembayaran tambahan untuk pohon, tanaman, rumah, atau harta tidak bisa dipindahkan lainnya, dan pembayaran untuk kerusakan akibat perombakan tanah, tempat tinggal, atau tempat usaha . Selanjutnya, Kebijakan Nasional dan Rehabilitasi Pemukiman Kembali untuk Keluarga yang terkena dampak proyek tahun 2003 memberikan kompensasi tambahan untuk keluarga yang terkena dampak proyek, selain yang diberikan oleh Peraturan Pembebasan Tanah. Sistim peradilan juga telah mempengaruhi perkembangan proyek. Beberapa proyek bergerak lebih cepat karena campur tangan peradilan, sementara yang lainnya tertunda karena proses pengambilan keputusan dari pengadilan yang lebih rendah. Pengadilan juga telah berperan dalam mendorong pemerintah untuk membuat / merubah undang-undang yang terkait dengan masalah pembebasan tanah. Pemerintah juga menggunakan gambar satelit untuk mengidentifikasi jumlah orang yang terkena dampak proyek serta pola penggunaan tanah yang tepat. Gambar satelit digunakan pada tingkat perencanaan untuk mengidentifikasi koridor, yang mempengaruhi jumlah orang paling sedikit. Penggunaan teknologi ini juga membantu dalam masalah perolehan tanah pada tahap awal dari proyek itu sendiri dan dengan biaya yang jauh lebih rendah. Identifikasi seperti ini membantu dalam menentukan proyek yang mempunyai konflik palingsedikit. Sumber: G. Raghuram, S. Bastian, and S. Sundaram (March 2009), “Mega Projects in India Environmental and Land Acquisition Issues in the Road Sector”, Indian Institute of Management, Ahmedabad, India. Membuat pedoman yang jelas yang menyatakan bahwa pemerintah berhak untuk menyita tanah untuk pembangunan infrastruktur. Pedoman ini harus mencakup mekanisme yang adil untuk menentukankompensasi tanah. Seperti India, pemerintah Indonesia harus membangun teknologi satelit untuk mengidentifikasi tanah selama tahap awal proyek. Idetifikasi tersebut akan dapat membantu penentuan proyek dengan konflik yang terkecil. 89 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Penanggulangan Jangka-Menengah (24-60 bulan) Pemerintah perlu mengeluarkan dan menyebarluaskan undang-undang baru yang menggantikan peraturan yang berlaku tentang pembebasan tanah yang antara lain mencakup mekanisme kompensasi yang transparan dan adil, pemberian tanggung jawab pembebasan tanah kepada instansi terkait baik di tingkat pusat maupun daerah dan suatu mekanisme penyelesaian sengketa dengan cepat. Memulai pelatihan yang menyeluruh untuk membangun sistem pencatatan lahan berdasarkan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan pemetaan satelit yang mencakup mekanisme memperjelas kepemilikan tanah dan penyelesaian sengketa dan dengan memperhatikan nilai-nilai leluhur dan adat. ii) Memperkuat Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Pembangunan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan sangat penting untuk pertumbuhan dan masa depan ekonomi Indonesia. Jelaslah bahwa beberapa kendala yang diidentifikasi dalam studi ini (seperti kurangnya koordinasi, lemahnya implementasi dan kerangka peraturan, dan kurangnya proyek layak dana) telah menggagalkan pembangunan kapasitas sumber daya dan kelembagaan ini. Memperkuat koordinasi antara berbagai tingkatan pemerintah: Indonesia sebenarnya sudah memiliki Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, namun tampak tidak efektif, hal ini mendorong pemerintah untuk menciptakan “Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pemantauan Pembangunan” - sebuah “ Unit Pembuka Kemacetan” di bawah Kepresidenan. Di permukaan, tindakan ini mencerminkan ketulusan pemerintah dalam menangani masalah koordinasi, tetapi dalam kenyataannya ini telah menciptakan birokrasi tambahan tanpa “memperbaiki” ketidak-efektifan dalam Kementerian Koordinator. Tidak mengherankan, timbul ketidakpastian lebih lanjut tentang peran khusus dan tanggung jawab dari birokrasi kembar itu. Akibatnya, keadaan ini telah menyebabkan semakin sulitnya bagi sektor swasta untuk mengetahui dengan siapa mereka harus membicarakan masalah. Sampai titik tertentu, keadaan ini dapat menyebabkan kurangnya koordinasi, kurangnya rasa memiliki, rendahnya rasa tanggung-jawab dan ketidak efisiensian pelaksanaan proyek. Selain itu, unit baru ini tidak bertindak sebagai satu-satunya badan yang membuka kemacetan. Sehingga, sektor swasta masih perlu menyelesaikan masalah tertentu dengan kementerian terkait. Idealnya, yang harus dilakukan adalah memperkuat Kementerian Koordinator yang sudah ada, dan memberi kuasa yang diperlukan untuk “mendorong” departemen-departemen lain menyelesaikan masalah di bawah wilayah hukum mereka. Kementerian ini secara teoritis akan menjadi titik fokus bagi investor, terlepas dalam sub-sektor apa mereka melakukan penanaman modal. Oleh karena itu Kementerian Koordinator memerlukan wewenang yang lebih, dengan staf yang terlatih dan diberdayakan, untuk mengambil keputusan yang diperlukan tepat pada waktunya. Kementerian ini bisa membentuk sebuah komite kerja yang bertemu secara berkala untuk membahas isu-isu yang berkaitan dengan perencanaan daerah, proyekproyek infrastruktur, dan mekanisme untuk mendukung perencanaan yang baik di 90 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur tingkat daerah. Pertemuan-pertemuan harus direncanakan, berfokus pada kendala kemacetan yang dihadapi investor dalam proyek-proyek prioritas. Memperbaiki Kapasitas Implementasi: Kapasitas untuk menjalankan proyek dengan efisien sangat kurang di semua tingkat pemerintahan. Sayangnya tidak ada cara cepat untuk memperbaikinya. Dalam jangka pendek beberapa fungsi (seperti identifikasi dan pengemasan proyek) mungkin perlu di lakukan oleh pihak di luar kantor (outsourcing). Sistim monitoring dan evaluasi proyek infrastruktur juga harus diciptakan dan dijalankan. Dalam hal ini, mitra pembangunan seperti IDB, ADB dan Bank Dunia dapat memainkan peranan penting. Selain itu mitra pembangunan dapat memegang peranan penting dalam pengembangan kapasitas dengan mengembangkan dan membiayai program pengembangan keterampilan dan pengetahuan. Program ini harus memusatkan perhatianada ketrampilan yang berhubungan dengan proses dan keahlian ‘lunak’ untuk mengembangkan kemampuan para pegawai yang bersangkutan dalam memahami bagaimana menggunakan pengetahuan dan keakhlian yang baru didapat tersebut untuk menangani masalah utama investasi dan kebijakan. Sebagai bagian dari pembangunan, baik kapasitas intra dan inter kelembagaan harus dikembangkan agar pemerintah dapat bekerja sama dngan cara yang saling melengkapi. Oleh karena itu perubahan hukum dan peraturan harus dilakukan agar memungkinkan lembaga pemerintah dan badan-badan yang terkait disegala tingkat untuk memperbaiki kemampuan dalam menghasilkan pekerjaan yang baik. Mempersiapkan proyek yang layak dana: Saat ini, kebanyakan kementerian tidak memiliki kapasitas untuk mempersiapkan proyek yang layak dana. Dalam hal ini, mereka telah meminta bantuan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Namun, seperti dijelaskan di atas, kualitas proyek masih tidak menarik bagi investor. Untuk melakukan penilaian proyek dasar dan menyiapkan profil proyek (bukan suatu studi pra-kelayakan), biasanya akan memakan waktu antara 60 dan 80 jam-orang dari seorang ahli. Saat ini, kapasitas seperti ini kurang dalam pemerintah. Namun, untuk menjadi efektif, penilaian proyek yang lebih rinci perlu dilakukan (sebaiknya paling tidak sebuah studi pra-kelayakan). Biaya melakukan studi tersebut secara signifikan lebih tinggi, dan biasanya akan berjumlah 1-2 persen dari total biaya proyek. Oleh karena itu, biaya persiapan studi pra-kelayakan untuk proyek-proyek infrastruktur yang digambarkan dalam anggaran pemerintah jangka menengah akan berkisar antara $2 milyar dan $4 milyar. Dana ini harus dicari diluar anggaran pengeluaran yang diusulkan. Misalnya didalam “Buku Biru” PPP, suatu proyek senilai sekitar $47,3 milyar telah diidentifikasi, maka penyusunan proyek-proyek ini akan menelan biaya antara $ 340 juta dan $680 juta. Meskipun biaya tersebut tampaknya tinggi, tapi ini harus dibandingkan dengan kerugian jika tidak bisa memperoleh proyek-proyek dalam waktu yang cukup cepat atau proyek tertunda secara signifikan, dan tingkat kepercayaan terhadap proyek potensial yang akan diberikan oleh studi pre-kelayakan. Selain itu, dengan melakukan penilaian proyek yang tepat, beberapa dari proyekproyek tersebut mungkin akan di kategorikan sebagai berpotensi untuk kemitraan publik-swasta, atau akan dianggap tepat untuk ditawarkan pada pihak swasta. Hal 91 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur ini bisa mengurangi beban keuangan pemerintah dan membantu mempercepat implementasi dan operasi proyek-proyek. Penanggulangan yang diusulkan untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan adalah sebagai berikut: Penanggulangan Jangka Pendek (12-24 bulan) Menilai dan mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan untuk pembangunan infrastruktur proyek, perencanaan sektor, koordinasi dan pelaksanaan proyek di BAPPENAS, Kementerian PU, Kementerian Lingkungan Hidup dan Sumber Alam dan Kementerian Dalam Negeri di tingkat nasional dan BAPPEDA di tingkat kabupaten. Membuat master plan infrastruktur yang menggariskan secara jelas peranan sektor publik dan swasta. Pemilihan awal dan melakukan urutan prioritas proyek–proyek yang diidentifikasi dalam master plan. Mengidentifikasi sebuah tim internasional yang sesuai untuk mempersiapkan kelayakan proyek-proyek infrastruktur yang diprioritaskan di bawah rencana jangka menengah (2010-2014) bersama dengan yang lain yang disebutkan dalam “Buku Biru PPP.” Mengembangkan Sistem Informasi Manajemen (SIM) yang tepat (termasuk monitoring dan evaluasi) untuk melacak proyek dari tahap identifikasi sampai selesai. Idealnya, sistem ini harus mencakup daftar permasalahan yang mengidentifikasi hambatan. Daftar permasalahan ini dapat digunakan sebagai bahan rapat koordinasi antar-kementerian. Pengembangan dan pengelolaan sistem ini idealnya harus dilakukan oleh sebuah perusahaan internasional ternama yang juga dapat mengawasi pelaksanaan proyek. Menetapkan secara jelas kaitan antara pembangunan jangka pendek dan kontrak manajemen untuk sistem SIM dan kebutuhan peningkatan kapasitas pemerintah. Beberapa pegawai pemerintah dari kementerian yang relevan harus diperbantukan dalam proyek untuk mengembangkan kapasitas yang diperlukan untuk memelihara dan menjalankan sistem SIM. Penaggulangan Jangka Menengah (24-60 bulan) Menciptakan “Dana Pembentukan Kapasitas” dan sebuah rencana pelaksanaan untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan untuk melaksanakan inisiatif ‘kunci’ dan berbagai strategi oleh para petugas yang terkait dengan kementerian atau badan yang ada hubungannya dengan infrastruktur. Memperkuat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk berfungsi sebagai kementrian pembuka hambatan dan sebagai “kantor satu pintu (one-stop shop) bagi para investor Mengambil alih manajemen dan administrasi sistem SIM 92 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur iii) Memperbaiki Tata KelolaPemerintahan Buruknya tata kelola pemerintahantelah diakui oleh pemerintah sebagai kendala pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Langkah-langkah positif seperti pembentukan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK), yang telah menghukum beberapa pejabat tinggi, telah diterima baik oleh masyarakat. Namun tindakantindakan penanggulangan signifikan masih perlu dilakukan dalam rangka untuk memperkecil tingkat korupsi. Mengurangi pencarian rente: Kesadaran akan banyaknya kegiatan mencari rente di segala tingkat pemerintahan memaksa pemerintah untuk segera membentuk KPK. KPK telah mencapai keberhasilan yang berarti sampai saat ini, namun akan perlu terus memusatkan perhatian pada penghukuman “penjahat kelas kakap” dan mengumumkan hasilnya pada masyarakat luas. Perannya bisa lebih ditingkatkan dengan mengaudit gaya hidup para pejabat pemerintah. Lembaga ini juga bisa melibatkan anggota pemerintah yang bersedia memerangi korupsi dengan mendirikan jalur komunikasi (hotline) rahasia. Namun, agar hal ini dapat berhasil, keselamatan dari “peniup peluit” perlu dijamin. Elemen yang penting adalah kampanye kesadaran yang menginformasikan masyarakat tentang masalah mencari rente ini, meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam proses, dan menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu mengenai keberhasilan pemberantasan korupsi di semua tingkat. Dalam memerangi korupsi hal yang amat penting adalah ketersediaan informasi. Oleh karena itu, pemerintah harus mengembangkan keahlian teknis untuk memantau arus uang (anggaran nasional, proyek pekerjaan umum, dll). Meningkatkan efektifitas pemerintah: Hal ini berlaku bagi kinerja pemerintah secara keseluruhan, bukan hanya kementerian, lembaga, atau perusahaan tertentu. Untuk menjamin investasi yang direncanakan dan partisipasi sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur, maka reformasi dan perubahan kebijakan harus dilakukan untuk meningkatkan efektifitas pemerintah. Untuk Indonesia, sudah dikeluarkan beberapa peraturan untuk mengatasi kemacetan utama. Namun, pelaksanaannya tertunda sekitar tiga tahun untuk memberikan waktu yang cukup pada lembaga-lembaga pemerintah lainnya untuk mengubah proses bisnis atau menyerahkan tanggung jawab. Jelas, keterlambatan tersebut mengakibatkan ketidak pastian dan kurangnya rasa memiliki, yang akhirnya mengarah pada ketidak-efisienan dan keterlambatan lebih lanjut. Tak heran, keseluruhan ini memberi dampak negatif dalam hal waktu, biaya dan kelayakan proyek. Sehingga dalam beberapa kasus, studi kelayakan harus diulangi. Pemerintah telah mulai menerapkan reformasi layanan sipil, seperti di Kementerian Keuangan, dan inisiatif ini harus didukung dan diperluas ke kementrian lain dan lembaga negara non kementerian lain yang berurusan dengan proyek infrastruktur. Langkah-langkah yang diusulkan untuk menangani masalah buruknya ketata-kelolaan pemerintahan. 93 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Langkah Jangka Pendek (12-24 bulan) Membentuk sistim “peniup peluit” yang melindungi kerahasian dan membuat “sistim penghargaan” untuk pegawai yang jujur. Melanjutkan penanggulangan dengan menekankan pada pencabutan akar korupsi dengan menghukum pejabat tingkat tinggi yang melakukan korupsi. Mempercepat pembuatan dan pelembagaan ‘e-procurement dan e-disclosure’ dari tender dan detil-detil kontrak di pemerintah tingkat daerah dan tingkat pusat. Melanjutkan penguatan dan pemberdayaan lembaga-lembaga kunci seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan pengadilan anti-korupsi, memperjelas peran, tanggung jawab dan wewenang mereka. Langkah Jangka Menengah (24-60 bulan) Mengembangkan keahlian teknis untuk mengawasi arus uang rakyat (anggaran nasional, proyek pekerjaan umum, dll). Untuk Kementerian Keuangan, membuat reformasi layanan umum untuk mencakup kementerian yang lain yang berhubungan dengan proyek infrastruktur. iv) Memperbaiki Kesediaan Dana Memperbaiki pendanaan jangka panjang: Meskipun pendanaan tersedia di dalam negeri, sifat dari sumber-sumber keuangan bank lokal adalah deposito jangka pendek. Oleh karena itu, bank lokal perlu mencari peluang untuk mendiversifikasi sumber pendanaan mereka untuk dapat melakukan pendanaan jangka panjang. Hal ini dapat dicapai dengan baik dengan menerbitkan obligasi global atau membuat pinjaman jangka panjang dari bank global. Lebih lanjut, jika laba atas proyek-proyek infrastruktur cukup tinggi untuk mengatasi premi resiko yang terkait dengan proyek, pencarian modal internasional untuk proyek-proyek jangka panjang akan lebih mudah. Namun, dalam diskusi dengan sektor swasta, ada kekhawatiran tentang kepastian mendapatkan proyek, dan tentang kecepatan penyelesaian masalah (seperti pembelian tanah). Semua ini ikut menyebabkan sulitnya mengakses dana. Jadi, masalah mendapatkan pendanaan global tidak hanya terbatas dalam pencarian sumber-sumber pendanaan jangka panjang, tapi juga dalam resiko yang timbul dari kesulitan pembebasan tanah, dan juga dari rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan. Untuk menangani kehawatiran di atas maka penanggulangan yang potensial yang dapat dipertimbangkan adalah: Penaggulangan Jangka Pendek (12-24 bulan) Membuat strategi untuk mendorong bank-bank swasta agar mendiversifikasi sumber dana untuk mencakup pasar obligasi jangka panjang Mengeluarkan obligasi sukuk atau yang sejenis bagi bank-bank milik negara. 94 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Penaggulangan Jangka Menengah (24-60 bulan) Meningkatkan investasi sektor publik di infrastruktur ke sekurang-kurangnya 5 persen dari PDB. Memperbaiki akses terhadap pendanaan jangka panjang dengan mengeluarkan obligasi (obligasi sukuk atau instrumen yang sejenis untuk bank milik pemerintah). Memperluas fasilitas pendanaan infrastruktur. (v) Intervensi menurut sektor Selain rencana keseluruhan untuk mengatasi kendala yang paling mengikat dalam pembangunan infrastruktur, ada beberapa rekomendasi menurut sektor masingmasing yang akan mengendurkan kendala investasi di masing-masing sub-sektor. Sektor Transportasi Penanggulangan Jangka Pendek (12-24 bulan) Berpindah kepada suatu sistim tender dimana kontrak termasuk konstruksi dan pemeliharaan untuk suatu jangka waktu tahun yang telah ditetapkan sebelumnya. Implementasi segera reformasi dalam bidang pelabuhan dan bandara dengan visi untuk memindahkan kepemilikan dan/atau manajemen dari fasilitas atau layanan utama kepada sektor swasta. Pelaksanaan Jangka Menengah (24-60 bulan) Fokus yang terpadu dan terencana pada peningkatan sambungan multi-modal antara infrastruktur kabupaten dan kecamatan-kecamatan serta tingkat pusat. Menciptakan dan memperkuat dana pemeliharaan di tingkat pusat dan lokal yang dibiayai melalui retribusi yang sudah ada seperti biaya penggunaan layanan. Sektor Listrik Penanggulangan Jangka Pendek (12-24 bulan) Memeriksa ulang dan merasionalisasi pengaturan tarif listrik berdasarkan rumusan yang telah ditentukan sebelumnya untuk memungkinkan pemulihan/pengembalian biaya secara penuh. Menggantikan subsidi konsumsi yang regresif dengan menargetkan subsidi pada masyarakat miskin dan tidak beruntung. Memperkuat kerangka hukum dan peraturan untuk mendorong partisipasi sektor swasta dalam sektor infrastruktur. Penaggulangan Jangka Menengah (24-60 bulan) Mengurangi ketergantungan pada pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil dan mengeksplorasi sumber enerji terbarukan untuk menghasilkan listrik terutama di daerah-daerah terpencil. 95 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Meneruskan usaha elektrifikasi (pemasangan listrik) di daerah pedesaan dan daerah yang tak cukup pasokan listrik, terutama didaerah-daerah yang tertinggal/ terbelakang. Perkiraan biaya untuk penanggulangan keseluruhan yang disarankan di atas untuk mengendurkan hambatan paling mengikat disajikan di bawah ini (Tabel 34). Tabel 34: Perkiraan biaya untuk penanggulangan yang disarankan dalam melonggarkan kendala-kendala Waktu Jangka Pendek Jangka menengah Masalah Penanggulangan Perkiraan biaya Menyelesailan Masalah Pembebasan Tanah Membuat mekanisme pelacakan tanah $10 juta Pembandingan Internasional dan belajar praktek terbaik untuk menciptakan undangundang baru untuk sengketa tanah $5 juta Memperkuat Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Pembangunan kapasitas staf $50 juta Mempersiapkan studi kelayakan proyek untuk 2010-20112 $0,75milyar -1,5milyar1 Mempersiapkan studi kelayakan proyek ‘flagship’ di bawah inisiatif IMT-GT untuk 2010-20112 $50 juta1 Memperbaiki Tata Kelola Pemerintahan Menciptakansistim “peniup peluit” dan penghargaan $50 juta Memperbaiki Kesediaan Pendanaan Mempelajari pencarian dana dalam pasar obligasi $1 juta2 Menyelesaikan Masalah Pembebasan Tanah Memperkenalkan Teknologi Satelit $10 juta Memperkuat Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Menyiapkan Studi-Studi Kelayakan proyekproyek infrastruktur yang masih ada2 $ 0,75miliar 1,5miliar1 Mengambil alih pengelolaan sistem SIM (termasuk mempertahankan dukungan) $ 25 juta Memperbaiki Tata Kelola Pemerintahan Meluaskan reformasi layanan masyarakat di kementerian/instansi yang berkaitan dengan pembangunaninfrastruktur $500 juta Memperbaiki Kesediaan Pendanaan Mengeluarkan sukuk atau obligasi sejenis TOTAL $ 2 juta3 $2,2milyar-3,7 milyar Berdasarkan perhitungan biaya pra-kelayakan yang umum, antara 1 dan 2 persen dari total biaya proyek. 2 Diasumsikan bahwa studi-studi pra- kelayakan akan dilakukan secara bertahap, dimana setengah dilakukan pada 24 bulan pertama, dan sisanya dalam waktu 60 bulan berikutnya. 3 Berdasarkan biaya yang umumnya dibutuhkan untuk mengeluarkan sukuk. 1 96 LAMPIRAN 97 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur 98 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Lampiran A: Lembaga, Kebijakan, dan Aturan dan Peraturan Kunci dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Deputi V - Bidang Koordinasi Infrastruktur Dan Pengembangan Wilayah bertanggung jawab untuk: (i) menyiapkan koordinasi perencanaan dan penyusunan kebijakan infrastruktur dan pembangunan daerah; (ii) sinkronisasi kebijakan pelaksanaan di infrastruktur dan pengembangan wilayah; (iii) pemantauan, analisa, evaluasi dan pelaporan masalah atau kegiatan untuk infrastruktur dan pengembangan wilayah; (iv) menerapkan hubungan kerja dalam infrastruktur dan pembangunan daerah dengan kementerianlain/ instansi pemerintah dan lembaga terkait, dan (v) melaksanakan tugas-tugas lain yang terkait dengan infrastruktur dan pembangunan daerah yang diberikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam kantor ini, ada enam asisten, meliputi: (i) perencanaan tata ruang dan pembangunan daerah, (ii) infrastruktur air, (iii) transportasi, (iv) perumahan, (v) telematika dan (vi) sarana umum55. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Di bawah Kementerian Negara, Deputi Bidang Infrastruktur mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan penyusunan kebijakan dan rencana pembangunan nasional tentang infrastruktur. Khususnya, Deputi ini bertugas sebagai berikut: (i) mempersiapkan rancangan kebijakan untuk rencana pembangunan nasional dalam infrastruktur56; (ii) mengkoordinasikan dan melakukan sinkronisasi rencana pembangunan nasional dalam infrastruktur57; (iii) melaksanakan penyusunan rencana pembangunan nasional dalam infrastruktur58; (iv) memonitor, mengevaluasi, menganalisa, dan melaporkan pelaksanaan rencana pembangunan nasional dalam infrastruktur59; (v) melaksanakan hubungan kerja dalam rencana pembangunan nasional dalam infrastruktur60; dan (vi) melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan infrastruktur yang diberikan oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam pelayanan ini, ada enam direktorat, meliputi: (i) air dan irigasi, (ii) infrastruktur air, (iii) transportasi, (iv) perumahan, (v) telematika, dan (vi) sarana umum. Seperti yang dinyatakan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional61, salah satu aspek reformasi pemerintah di bidang pembangunan infrastruktur, adalah pembentukan Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) and Pusat Kerjasama Pemerintah-Swasta (PKPS). Penting untuk dicatat bahwa sebelumnya ada Deputi untuk Investasi dan Kemitraan Swasta Publik di Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian. 56 Air dan Irigasi; Transportasi; Perumahan dan Pemukiman; Enerji; Telekomunikasi dan Teknologi Informasi; dan Pengembangan PPP 57 Ibid 58 Ibid 59 Ibid 60 Ibid 61 http://english.peopledaily.com.cn/9000/90778/90858/90863/6734691.html 55 99 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) KKPPI didirikan pada tahun 200162 bertujuan untuk mengkoordinasikan percepatan proyek pembangunan infrastruktur. Pembentukan KPPI dipicu oleh krisis ekonomi Asia 1997, yang sangat merusak perekonomian Indonesia. Tugas KPPI dirinci dengan jelas63 sebagai berikut (i) mengembangkan strategi untukmengkoordinasi pelaksanaan percepatan penyediaan infrastruktur; (ii) mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan kebijakan percepatan penyediaan infrastruktur oleh menteri terkait dan pemerintah daerah; (iii) mengembangkan kebijakan dalam pelaksanaan kewajiban pelayanan umum dalam mempercepat penyediaan infrastruktur; dan (iv) memutuskan upaya pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan penyediaan infrastruktur. KKPPI diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, yang bertanggung jawab dan melapor kepada Presiden. Selain KKPPI, sejumlah lembaga pendukung telah dibentuk, seperti: (i) Pusat Pengelolaan Resiko Fiskal dan Badan Investasi Pemerintah di Kementerian Keuangan, (ii) Simpul PPP di Kementerian Perhubungan,, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan (iii) Pusat Pengembangan PPP64. Pusat Kerjasama Pemerintah-Swasta (PKPS) Dibentuk untuk memfasilitasi transaksi proyek-proyek infrastruktur antara pemerintah dan sektor swasta. Melalui PKPS, investor akan dapat memperoleh informasi yang lengkap dan akurat tentang proyek yang ditawarkan, termasuk prosedur investasi, aturan, dan peraturan. Badan Layanan Usaha (BLU) Untuk membantu meningkatkan partisipasi swasta dalam pembangunan, pemerintah membentuk Badan Layanan Umum (BLU), sebagai titik awal untuk memperbaiki pengelolaan keuangan sektor publik dan meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Singkatnya, BLU adalah lembaga pemerintah yang dibentuk untuk menyediakan layanan kepada masyarakat dalam bentuk penyediaan barang dan jasa yang dijual tanpa prioritas untuk keuntungan dan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas65. Baru-baru ini, untuk menarik investor di bidang infrastruktur, kegiatan pembebasan tanah BLU akan diperluas, tidak hanya untuk proyek-proyek jalan tol, tetapi juga untuk pelabuhan laut dan bandara66. Kebijakan, Aturan dan Peraturan Reformasi-reformasi di Indonesia dimulai pada tahun 1998, tepat setelah krisis 1997 dan turunnya rezim Suharto (Pemerintah Orde Baru dari akhir 1960 sampai akhir 1997). Selama Orde Baru, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bertanggung jawab untuk penyusunan rencana pembangunan lima tahun (Repelita), Dekrit Presiden tahun 2001 no 81 dan Peraturan Presiden No.42/ 2005, membatalkan Dekrit Presiden tahun 2001 no 81 Peraturan Presiden tahun 2005 no. 42 64 Djunaedi (tak bertanggal). “Implementasi Public-Private Partnership dan Dampaknya ke APBN” 65 Pasal 1 Peraturan no 1/2004 tentang Keuangan Negara 66 Kontan online, 11 september 2009 62 63 100 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur di mana kebijakan infrastruktur adalah salah satu elemen utama. Pada tahun1970an, infrastruktur merupakan salah satu inti dalam perencanaan ekonomi dan sosial, sementara pada pertengahan hingga akhir 1980-an sebuah pendekatan terpadu yang lebih holistik diadopsi. Pada awal 1990, untuk meningkatkan efisiensi, pembangunan infrastruktur lebih banyak mengandalkan diskusi-sektor tunggal, programdan keputusan proyek terarah, bersama-sama dengan koordinasi yang ketat. Selama periode ini, permintaan untuk pasokan infrastruktur melampaui penyediaan karena pertumbuhan industri dan ekonomi yang cepat, serta urbanisasi.. Lonjakan permintaan ini juga mengundang pertanyaan tentang apakah Bappenas mampu menghadapi tantangan baru. Kemitraan Publik Swasta (PPP) Untuk menjembatani kesenjangan antara investasi infrastruktur yang diperlukan dan ketersediaan dana publik, pemerintah telah berusaha untuk meningkatkan partisipasi sektor swasta melalui proyek kemitraan publik-swasta (PPP). Pemerintah, mengikuti tren dunia dalam partisipasi swasta dalam pembangunan, memprakarsai dibentuknya PPP pada tahun 1980. Tentunya, kebijakan tahun 1980-an tidak memiliki kerangka yang sempurna, yang mengharuskan penerapan kerangka lebih komprehensif di tahun 1990-an. Kenyataannya, investasi swasta di 1990 meningkat secara signifikan, tapi terhenti karena krisis 1997. Salah satu Perpres penting (Peraturan Presiden) adalah Perpres 67/2005 (Kerjasama antara Pemerintah dan Badan Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur), yang diterbitkan pada tanggal 9 November 2005, menggantikan PP No 67/2000 sebelumnya (Peraturan Pemerintah)67. PP NO. 67/2005 mendefinisikan kerangka peraturan lintas sektor untuk penyediaan infrastruktur oleh sektor swasta. PP ini menyatakan dua cara kerja sama: (i) PPP, dan (ii) ijin usaha. Diklaim bahwa PP ini adalah suatu terobosan yang pantas dicatat, paling tidak karena empat alasan68. Pertama, PP ini menyediakan dasar yang lebih jelas, transparan dan dapat dipertanggung jawabkan untuk infrastruktur PPP. Kedua, PP ini menekankan kemitraan yang saling menguntungkan dalam proyek PPP dengan tingkat pengembalian yang wajar kepada investor yang terlibat dalam proyek PPP. Ketiga, PP ini memasukkankeharusan pemeriksaan kelayakan proyek yang harus dilakukan oleh instansi pemerintah sebelum menawarkan setiap proyek PPP. Akhirnya, PP ini menetapkan bahwa bantuan fiskal adalah satu hal yang dibolehkan. Pada bulan Februari 2006, pemerintah membuat “Paket Kebijakan Infrastruktur”, yang meliputi empat bidang utama: (i) kerangka kebijakan strategis lintas sektoral, (ii) kebijakan sektoral, (iii) peran pemerintah daerah; dan (iv) transaksi proyek infrastruktur. Paket ini bertujuan untuk menyelesaikan kerangka kebijakan dan peraturan dalam mentransfer dana dari pasar modal atau lembaga keuangan non-bank Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengurangi kepincangan dalam informasi agar kapasitas teknik dan financial para pengikut tender bisadiukur dengan tepat, sehingga merit dan resiko teknik dan ekonomi sebuah proyek dapat dijelaskan ( Aswicahyono dan Deni Friawan, tak bertanggal, hal 146) 68 ........., 2007. “Public-Private Partnership for Infrastructure Development” Naskah kerja Indonesia, disajikan pada Rapat Tingkat Tinggi UNESCAP di Korea, 1-3 Oktober 67 101 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur ke alokasi proyek-proyek infrastruktur yang secara finansial memenuhi syarat. Sejumlah unit PPP dalam Kementerian/ Lembaga telah didirikan, seperti Badan Pengatur Jalan Tol / BPJT dan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum / BPP-SPAM di Kementerian Pekerjaan Umum69. Insentif Infrastruktur70 Sudah diketahui bahwa sejumlah proyek infrastruktur, seperti air bersih, sanitasi, irigasi, dan infrastruktur pedesaan (jalan dan listrik) secara komersial tidak menarik bagi para investor swasta. Selain itu, ketidak-cocokan antara kebutuhan pendanaan jangka panjang untuk proyek-proyek infrastruktur dan ketersediaan pendanaan jangka pendek membuat proyek-proyek tersebut lebih tidak menarik untuk investasi swasta. Oleh karena itu, pemerintah, dalam menghadapi meningkatnya kebutuhan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur, dan kekurangan dana publik, harus menemukan cara-cara untuk meningkatkan partisipasi sektor swasta. Dana Infrastruktur Indonesia Untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan yang ada, Dana Infrastruktur Indonesia (Indonesia Infrastructure Fund-IIF) didirikan pada tahun 2008 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 75/2008 tentang kontribusi pemerintah untuk mendirikan Perusahan Perseroan yang berurusan dengan dana infrastruktur. Sekitar. Rp 1 triliun telah dialokasikan untuk tujuan ini dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Pada Februari tahun 2009, PT Multi Sarana Infrastruktur (100% kepemilikan pemerintah) mulai beroperasi, sementara Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur Indonesia telah dilakukan dengan dukungan baik dari ADB dan World Bank71. Dana Jaminan Selain kebutuhan untuk investasi yang besar, proyek-proyek infrastruktur skala besar juga penuh dengan resiko. Untuk menarik investor swasta untuk jenis proyek-proyek berskala besar ini, penting halnya mengurangi resiko yang ada. Salah satu caranya adalah melalui instrumen/lembaga yang disebut Dana Jaminan. Lembaga ini sedang dibuat untuk melindungi investasi di bidang infrastruktur melalui PP 35/2009 tentang kontribusi Pemerintah untuk pembentukan holding company dalam perlindungan infrastruktur. Rp 1 trilyun tambahan juga telah dialokasikan pada tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009 (APBN). Fasilitas Pengembangan Proyek Fasilitas ini didirikan untuk membantu pemerintah dalam penyusunan studi kelayakan pada proyek-proyek infrastruktur di tingkat nasional dan daerah, menerapkan tender proyek secara terbuka dan transparan, dan melaksanakan transaksi proyek dengan sektor swasta. Lembaga ini berada di bawah naungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas sebagaimana yang tercantum dalam Keputusan 69 70 71 Ada unit-unit lain dalam KementerianPerhubungan, Bappenas, dan KementerianKeuangan. Bagian ini sebagian besar diambil dari Susantono (2009). Sekitar $140 juta dari masing-masing institusi dialokasikan untuk menunjang IIFF 102 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Presiden Nomor 67/2005 tentang kemitraan pemerintah dengan ‘holding company’ di bidang infrastruktur. Sejumlah proyek, seperti dalam bidang transportasi laut, air bersih, dan listrik, yang akan ditawarkan kepada sektor swasta untuk proyek PPP sedang dipersiapkan. Fasilitas Lahan Upaya lain yang diprakarsai oleh Pemerintah untuk meningkatkan investasi adalah menurunkan resiko melalui pembekuan dan penutupan tanah (land freezing dan land capping). Yang pertama berhubungan dengan aturan yang menentukan tanah, yang telah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, tidak diperbolehkan untuk dijual atau dialihkan tanpa instruksi tertulis dari kepala pemerintah daerah. Hal ini sejalan dengan pasal 9 dari Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Peraturan Kepala BPN) No 3 / 2007. Selain itu, pemerintah menyediakan dana bergulir untuk tanah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/02/2008), yang dapat digunakan oleh investor dalam memperoleh lahan untuk infrastruktur, dan sisa dana akan digunakan oleh investor lain dalam masa depan. Yang kedua berkaitan dengan dukungan yang diberikan oleh Pemerintah untuk menutupi resiko kenaikan harga dalam mengembangkan tol-jalan. Peningkatan yang besar pada harga tanah di sebagian dari jalan tol-menyebabkan penurunan kelayakan pembangunan jalan tol dan tidak dapat ditanggung oleh pengembang72. Fasilitas ini diatur oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 12/PRT/M/2008. Inisiatif-Inisiatif Lain Pemerintah telah menerapkan langkah-langkah lain untuk mendorong investasi di bidang infrastruktur. Yang pertama adalah penyelenggaraan Infrastructure Summit 2005 yang bertujuan untuk menarik investasi swasta, diikuti oleh 2006 Infrastructure Forum. Pada Summit tahun 2005, 91 proyek infrastruktur dengan investasi diperkirakan lebih dari $ 22milyar ditawarkan. Namun, pada akhir tahun 2006, karena strategi yang tidak jelas mengenai peraturan yang dibutuhkan, jaminan resiko dan kebijakan harga73, hanya enam penawar pemenang diumumkan dan hanya satu proyek telah dimulai. Pemerintah kemudian menyelenggarakan Infrastructure Forum 2006 dengan hanya 10 proyek infrastruktur, sebagai “proyek model”, dengan nilai investasi diperkirakan sebesar $ 4,5 milyar. Selain itu, untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan infrastruktur di Asia dan Pasifik, Pemerintah merencanakan untuk mengadakan Konferensi Tingkat Menteri se Asia-Pasifik tentang Kemitraan Publik Swasta pada tahun 201074 dan Infrastruktur Asia pada 14-17 April 2010. Dinyatakan bahwa dalam acara ini pemerintah akan menawarkan 87 proyek infrastruktur yang diperkirakan sebesar $34 milyar yang mencakup 18 propinsi di Indonesia75. Perbedaan harga diatas 10 % akan ditanggung oleh Pemerintah Indonesia Aswicahyono dan Deni Friawan (tak bertanggal), hal. 144 Peristiwa ini diselenggarakan setiap dua tahun oleh para menteri UNESCAP 75 Kompas.com 10/09/2009 72 73 74 103 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur LAMPIRAN B: Transportasi Jalan Sekilas mengenai Transportasi Jalan Alat transportasi yang paling penting di Indonesia adalah jaringan jalan. Meskipun Indonesia adalah kepulauan besar, pelayaran antar-pulau dan pesisir untuk hanya 7 persen dari arus barang dan penumpang, sementara jalan menampung 92 persen dari total lalu lintas barang dan 84 persen penumpang. Kereta api mencakup sekitar 1 persen untuk pengiriman dan 7 persen arus penumpang, dengan pelayaran sungai dan transportasi udara menampung lalu lintas yang tersisa76. Kepadatan jalan Indonesia (didefinisikan sebagai rasio antara panjang total jaringan jalan dengan ukuran negara) adalah 20, yang relatif kecil dibandingkan dengan Vietnam (68), Filipina (67), Thailand (35) dan Malaysia (28). Indikator yang biasanya dipakai untuk kualitas jalan umum adalah tingkat jalan beraspal. Hanya 59 persen jalan di Indonesia yang diaspal, jauh di bawah dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia, namun di atas Filipina. Walaupun jalan sangat penting untuk pembangunan Indonesia, pertumbuhannya tidak seimbang dengan peningkatan jumlah penduduk. Transportasi jalan berperan utama dalamarus lalu lintas barang dan penumpang, Oleh karena itu, cakupan dan kualitas nya sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Selama hampir satu dekade sekarang, permintaan terhadap transportasi jalan telah berkembang dengankecepatan yang lebih tinggi dari PDB, hal ini menyebabkan keprihatinan bagi para pengambil kebijakan. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut dalam waktu dekat, dengan pertumbuhan lalu lintas diperkirakan akan meningkat 1-1,5 kali pertumbuhan PDB (sekitar 7 sampai 10 persen per tahun)77. Selain itu, peningkatan jaringan jalan di Indonesia tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk selama beberapa tahun terakhir (Lampiran Gambar 1), hal ini lebih memperparah masalah lalu lintas yang sudah serius. Hal ini terlihat jelas , khususnya pada jaringan jalan arteri di Jawa. Menurut studi penilaian Bank Dunia, 43 persen jaringan jalan di Jawa, dan 1.9 Lampiran Gambar 1: Panjang Jalan di Indonesia, 1995-2009 (panjang jalan per 1000 orang) 1.8 1.8 1.7 1.7 1.6 1.6 1.6 1.5 1990 76 77 1995 2000 Transport Sector Strategy Study for Indonesia (ADB, 2004) Strategic Road Infrastructure Project, Project Appraisal Document, World Bank, 2006 104 2009 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur persentase yang lebih tinggi di Jakarta, sudah sangat padat, sehingga membuat waktu tempuh lebih lama dan biaya yang lebih tinggi. Penilaian tersebut juga memperkirakan bahwa sekitar 55 persen dari jaringan arteri di Jawa akan mengalami kepadatan pada tahun 2010. Pada saat yang sama, penilaian tersebut menunjukkan akan kebutuhan sekitar 2.000 km jalan tol untuk mengurangi masalah lalu lintas. Lampiran Tabel 1: Statistik Kunci Jalan di Indonesia Jalan Tol Jalan Nasional Jalan Propinsi Jalan Daerah/ jalan kota Jalan Desa Panjang (km) Catatan 662 tahun 2008 34.629 80 % Dalam kondisi baik/ cukup baik (2007) 33.612 54 % Dalam kondisi baik/ cukup baik in (2006) 249.080 33 % Dalam kondisi baik/ cukup baik (2006) 243.826 Sumber: Kementrian PU (2008). Lampiran Tabel 1 menunjukkan bahwa kualitas jalan nasional relatif tinggi, dengan 80 persen jalan diklasifikasikan dalam kondisi baik/memadai. Pada tingkat provinsi dan kabupaten, persentase jalan dengan kualitas baik/ memadai adalah masing-masing 54 dan 33. Rendahnya persentase jalan dalam kondisi baik di tingkat kabupaten/ kota disebabkan oleh pemeliharaan yang buruk dan kurangnya perbaikan berkala. Lalu lintas menjadi lebih padat, dan jumlah kecelakaan terus meningkat. Sejak tahun 2003, jumlah kendaraan terdaftar bertambah sebesar 16,2 persen per tahun, mencapai 63,3 juta pada tahun 2007. Dari jumlah tersebut, 15 persen mobil penumpang, 4,5 persen bus, 7,9 persen truk, dan 72,6 persen sepeda motor. Pelayanan transportasi jalan terutama disediakan oleh sektor swasta melalui bus, minibus, dan mikrolet. Pemerintah daerah juga menyediakan transportasi perkotaan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Tarif transportasi lokal biasanya diatur oleh pemerintah daerah, sedangkan jasa antar propinsi diatur oleh Kementerian Perhubungan. Karena kepadatan lalu lintas memburuk, tidak mengherankan bahwa kecelakaan meningkat secara signifikan dari 13.400 pada tahun 2003 menjadi 91.600 di tahun 2005. Untungnya, hal ini telah menurun menjadi 48.500 pada 2007, meskipun masih jauh lebih tinggi dari tingkat tahun 2003 (Lampiran Tabel 2). Manajemen Transportasi Jalan Tanggung jawab atas transportasi jalan dibagi-bagi antara berbagai institusi dan kementerian. Kementerian Pekerjaan Umum melalui Ditjen Bina Marga, bertanggung jawab untuk menetapkan kebijakan nasional, standar dan pedoman untuk pembangunan dan pemeliharaan jaringan infrastruktur jalan nasional. Wilayah hukumnya juga mencakup bimbingan dan pengawasan jalan lokal yang didanai dari anggaran negara. BPJT, yang juga di bawah bidang tersebut, bertindak sebagai 105 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur regulator dan agen kontrak untuk pembangunan dan pengelolaan jalan tol oleh operator sektor swasta. Lampiran Tabel 2: Kecelakan Lalu Lintas dan Kendaraan di Indonesia, 2003-2007 Tren 2003 2004 2005 2006 2007 Perkembangan (% pertahun.) Mobil (000 unit) 5.134 6.749 7.484 7.679 9.501 14,6 Bus(000 unit) 1.270 2.013 2.414 2.738 2.855 21,3 Truk (000 unit) 3,058 4.261 4.574 4.896 5.014 11,9 Sepeda motor (000 23.313 28.964 33.193 35.102 45.949 16,8 unit) Jumlah Kendaraan 32.775 41.987 47.665 50.415 63.319 16,2 (000 unit) Jumlah Kecelakaan 13 18 92 87 49 51,6 (000) Sumber: Departemen Perhubungan, 2008 Tanggung jawab utama untuk menetapkan kebijakan nasional, standar dan pedoman yang berkaitan dengan penggunaan infrastruktur jalan umum, lalu lintas jalan, dan penyediaan layanan transportasi darat umum terletak pada Kementerian Perhubungan, melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Berdasarkan UU 32/2004 dan 33/2004 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan yang telah diubah, Pemerintah Pusat telah mendelegasikan sebagian tanggung jawabnya dalam mengelola sistem transportasi kepada Pemerintah Daerah, khususnya dalam halyang terkait dengan perencanaan, pendanaan, pembangunan dan pemeliharaan jaringan jalan. Hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan strategis makro, termasuk infrastruktur transportasi nasional serta penetapan standar keamanan nasional, sertifikasi, izin trayek, dan peningkatan kapasitas, merupakan hak Pemerintah Pusat. Semua pemerintah Daerah – pada tingkat kabupaten, kodya dan propinsi- mempunyai Dinas-Dinas sendiri, yang tanggung jawab mereka disesuaikan dengan tugas kementerian di pusat. • PU: bertanggung jawab, antara lain, terhadap fungsi infrastruktur jalan dan program daerah masing-masing. • Dinas Perhubungan: Bertanggung jawab terhadap lalu lintas jalan dan fungsi serta program transportasi, termasuk lisensi jalan lokal dan peraturan tarif untuk layanan transportasi penumpang umum. Layanan penumpang pada jalan yang benar-benar dalam kabupaten atau kota diatur oleh kabupaten/kotamadya; jalan-jalan yang melintasi batas-batas kabupaten atau kota diatur oleh dinas propinsi, sementara jalan-jalan yang melintasi batas propinsi diatur oleh Ditjen Perhubungan Darat. Di batas tertentu, sektor transportasi juga tergantung pada kementerian lain, seperti Kementerian Dalam Negeri yang terlibat karena peranannya sebagai koordinator 106 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Pemerintah Daerah dan dalam implementasi otonomi daerah. Selain itu, Menteri Negara BUMN bertindak sebagai wakil bagi pemerintah dan merupakan pemegang saham dalam 18 BUMN transportasi yang terkait. Direktorat Lalu Lintas dari Kepolisian menetapkan kebijakan dalam penegakan peraturan lalu lintas dan laporan kecelakaan. Investasi Publik dalam Jalan Investasi dan pemeliharaan jaringan jalan didanai terutama melalui anggaran negara, termasuk dukungan keuangan dari bank bilateral dan multilateral. Dapat dicatat bahwa anggaran nasional tidak ditunjang oleh pajak pembelian kendaraan dan kepemilikan, yang diambil oleh pemerintah daerah, dan dengan demikian tidak tersedia untuk pemeliharaan jalan nasional dan investasi. Namun, mereka dapat digunakan untuk pemeliharaan dan investasi jalan propinsi / kabupaten. Lampiran Tabel 3: Anggaran Negara untuk Jalan (Tahun Anggaran 2006 - 2010) TA 2006 Pemeliharaan TA 2007 TA 2008 TA 2009 TA 2010 Rp milyar % bagian Rp Milyar % bagian Rp milyar % bagian Rp milyar % bagian Rp milyar % bagian 3.773 50,3 10.427 77,7 11.867 71,3 12.149 60,8 14.400 58,9 Jalan Perbaikan Periodik 647 4.566 6.589 5.642 4.426 426 392 447 533 1.181 Pemeliharaan rutin Pemeliharaan Jembatan Perbaikan 66 276 689 730 774 Rehabilitasi 2.603 2.803 2.613 3.226 3.932 Investasi 2.912 38,9 2.423 18,1 4.349 26,1 7.038 35,2 9.243 Non fisik 809 10,8 567 4,2 423 2,5 811 4,1 797 3,3 7.494 100 13.418 100 16.639 100 19.998 100 24.440 100 Total 37,8 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (dokumen berbagai anggaran) Kementerian Pekerjaan Umum, melalui Direktorat Jenderal Bina Marga, secara signifikan telah meningkatkan anggaran jalan Rp 7,5 trilyun pada tahun 2006 menjadi sekitar Rp 20 trilyun pada tahun 2009, dengan pengeluaran pada tahun 2010 diperkirakan lebih dari Rp 24 trilyun. Masalah kualitas jalan yang buruk bukan hal yang baru, karena anggaran tahunan untuk pemeliharaan jalan sampai dengan tahun 2004 adalah kurang dari Rp 1 trilyun dibanding dengan anggaran yang dibutuhkan Rp 20 trilyun. Namun, kemajuan terlihat jelas, setelah pemerintah meningkatkan alokasi untuk pemeliharaan jalan dari Rp 3,8 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp 12,1 trilyun pada tahun 2009 dan telah dianggarkan. Rp 14,4 trilyun pada tahun 2010. Perlu dicatat bahwa sebagian besar anggaran jalan nasional (60,8 persen) tahun 2009 dihabiskan untuk pemeliharaan, diikuti oleh 26,1 persen untuk investasi (Lampiran Tabel 3). Ini membuktikan komitmen pemerintah untuk memelihara infrastruktur yang ada. Namun, Indonesia juga memerlukan infrastruktur tambahan, dan ini harus ditangani melalui investasi baru dalam infrasruktur jalan. 107 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk mengurangi resiko dan memecahkan masalah pembiayaan, satu set kebijakan pembebasan tanah untuk proyek jalan tol telah dilembagakan pada tahun 2006. Mereka adalah: • Pembentukan dana bergulir dengan alokasi sebesar Rp 800 milyar pada tahun 2008 dan Rp 4 trilyun pada tahun 2009 untuk membiayai pembebasan tanah. Dana ini akan digunakanoleh operator jalan tol setelah lahan telah sepenuhnya dibebaskan dan tersedia untuk pekerjaan pembangunan/konstruksi; • Pembentukan fasilitas ‘land capping’, dimana investor swasta akan dikompensasi oleh pemerintah dalam hal biaya pembebasan tanah melebihi nilai estimasi awal. Perkiraan biaya tanah disepakati dalam perjanjian konsesi dengan pemerintah, jadi perjanjian memberikan suatu batas atas resiko kerugian yang mungkin dihadapi oleh investor swasta. Maka, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan 38/2006 yang mengatur pemberian jaminan ‘land capping’ ini. Rp 1,2 triliun dialokasikan untuk keperluan ini dalam anggaran tahun 2010; • Penggunaan juru taksir tanah independen, yang nilai pasar tanah yang diperkirakannya akan digunakan sebagai harga referensi dalam perundingan antara pemerintah dan pemilik tanah, dan meminimalkan sengketa selama negosiasi. Pada tahun 2006, pemerintah melakukan perubahan dalam Peraturan Presiden 36/2005 tentang pembebasan tanah untuk membuat inisiatif ini menjadi suatu hal yang tetap. Walaupun kebijakan/peraturan ini sudah diimplementasikan, namun hasilnya masih dibawah yang diharapkan. Menurut Jasa Marga, negosiasi masih saja memperlambat pembebasan lahan, dan kelebihan biaya sangat mengancam proyek yang didanai dengan dana bergulir. Karena pembuatan hukum baru tentang pembebasan tanah membutuhkan waktu yang lama dan secara politik penuh dengan tantangan dalam jangka pendek, pemerintah sedang merevisi Peraturan Pesiden 65/2006 untuk mempercepat proses negosiasi dan pembebasan tanah. Peraturan baru tersebut akan berisi: • Persyaratan lama yang mengatakan bahwa setidaknya 75 persen dari pemilik tanah harus sudah menyetujui syarat-syarat pembebasan tanah sebelum pemerintah dapat menuntut sisa pemilik tanah yang tak setuju ke pengadilan untuk mendapatkan penyelesaian pengadilan, sedang di revisi menjadi 51 persen. Dengan pendekatan ini, sebagian besar proses dapat diperpendek, dan penekanan lebih kepada penyelesaiandi pengadilan. Persetujuan pembebasan tanah akan juga mempertimbangkan penaksiran harga tanah yang dilakukan oleh juru taksir independen, berdasarkan harga pasar tanah tersebut. Kalau dilaksanakan dengan baik, perubahan ini akan dapat mepercepat proses pembebasan tanah, dengan tetap berpegang pada penilain harga tanah yang adil bagi kedua pihak. • Persyaratan yang menetapkan bahwa pembangunan bisa dimulai hanya jika 108 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur pengadilan telah memutuskan kompensasi harga tanah, telah dirubah. Sekarang, pembangunan dapat dimulai segera setelah uang muka kompensasi harga tanah sudah diserahkan pada pengadilan, tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. • Dikeluarkannya pembekuan tanah (land freeze), yang menyebutkan bahwa jika proyek sudah diumumkan oleh pemerintah dan sudah dimasukkanke dalam rencana tata ruang daerah (yang dikeluarkan oleh bupati/ walikota/ gubernur) maka transaksi jual beli tanah hanya boleh dilakukan dengan pemerintah. Pembebasan Tanah untuk Keperluan Umum (persiapan): Dasar hukum pembebasan tanah untuk keperluan umum adalah Peraturan Presiden No. 36/2005, sebagaimana telah di perbaiki oleh Peraturan Presiden 65/2006. Prosesnya adalah (digambarkan pada lampiran gambar 2) sebagai berikut: i) Pemilik proyek (misal badan pemerintah; lembaga kontraktor pemerintah dalam kasus proyek PPP, atau developer sektor swasta) menyiapkan rencana proyek; ii) Rencana proyek juga akan mencakup identifikasi kebutuhan lahan dan pemilihan lokasi; iii) Proposal lokasi proyek disampaikan kepada bupati terkait (kabupaten), walikota, atau gubernur (dalam kasus proyek antar-kabupaten), dimana proyek itu berada; iv) Pemerintah daerah memeriksa proposal: a. Kantor agraria akan memeriksa semua aspek, kontrol dan status kepemilikan tanah; b. Lembaga lain (misalnya, lembaga lingkungan, kantor PU daerah, dll) akan meninjau usulan dari sudut pandang perencanaan tata ruang, sosialekonomi, dan dampak lingkungan. Lampiran Gambar 2: Pembebasan Tanah untuk Layanan Umum ( Persiapan) Pemilik Proyek Bupati/ Walikota/ Gubernur Dinas Pertanahan tingkat kecamatan /kota Institusi lain Mulai Proposal penentuan tempat yang resmi 1 Rencana Proyek 2 Proposal tempat 4 Proposal penetapan tempat tak diperlukan jika: -Fasilitas keselamatan umum; -Fasilitas darurat(penanganan bencana) 3 Memenuhi syarat? Ya Pembebasan Tanah 7 5 6 Dekrit penetapan tempat resmi Tempat yang ditawarkan ditolak: Rekomendasi penggantian tempat Source: National Land Agency, 2008 109 Pemeriksaan: -Perencanaan Tata Ruang; -Sosial Ekonomi; -Lingkungan dsb;. Tidak Memenuhi syarat? Yes Rekomendasi tempat Tempat yang ditawarkan disetujui Pengumuman dan Sosialisasi: -Langsung; -Tak langsung; (14 days) Pemeriksaan: -aspek penentuan tapak; -Kontrol dan Kepemilikan Rekomendasi Tempat No Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur v) Jika proyek telah sesuai dengan peraturan yang terkait, proposal itu akan disetujui oleh dinas yang berwenang dan rekomendasi disampaikan kepada Bupati/Walikota/Gubernur untuk persetujuan; jika tidak sesuai, kantor akan merekomendasikan perubahan lokasi proyek; vi) Bupati / Walikota / Gubernur mengeluarkan keputusan resmi penentuan lokasi; vii) Pemilik proyek memulai proses pembebasan tanah. Pembebasan Tanah untuk kepentingan Umum (Pelaksanaan): Setelah proses persiapan pembebasan tanah, proses pelaksanaan pembebasan tanah dilakukan. (Lampiran Gambar 3): Berdasarkan Keputusan Penunjukan Lokasi Proyek, pembangunan proyek dan rencana pembebasan tanah, pemilik proyek akan meminta Bupati, Walikota, Gubernur untuk membentuk Panitia Pembebasan Tanah (PPT), yang terdiri dari pejabat daerah yang bekerja di institusi pemerintah yang terkait. i) ii) PPT menyiapkan program pembebasan tanah; Sosialisasi untuk mendapatkan persetujuan dari pemilik tanah/properti dilakukan berkali-kali sampai sekurang-kurangnya 75 persen (sekarang berubah menjadi 51 persen) dari masyarakat yang terkena dampak setuju dengan rencana pembebasan tanah; jika hanya kurang dari 75 persen (51 persen) dari masyarakat yang terkena dampak setuju dengan rencana pembebasan tanah, PTT memberitahu pemilik proyek untuk menggunakan Lampiran Gambar 3: Pembebasan Tanah untuk Pelayanan Umum (Pelaksanaan) Pembebasan Tanah unuk Layanan Publik (Pelaksanaan) Bupati/walikota/ Gubernur Pemilik Proyek Keputusan Peninjukan tempat+Rencana proyel+Rencana pembebasan tanah 1 Pembentukan Komite Pembebasan Tanah Keputusan Pengadilan 20 Identifikasi dan inventarisasi tanah 5 17 8 Penunjukkan tim penaksir 19 Sertifikat tanah baru Risalah Rapat Negosiasi 22 Pembangunan Risalah rapat tentang Kompensasi+ Tanda terima+ Sertifikat tanah asli+ risalah rapat Pembebasan tanah Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 2008 110 Pengadilan Daerah Sosialisasi untk mendapat dukungan 4 Pengumuman 6 7 Negosiasi ttg kompensasi 9 10 14 120 hari berlalu > 75% setuju? 11b Gagal negosiasi: Negosiasi ulang atau cari tanah lain 11c Tak ada tanah alternatif –Ke pengadilan untuk kompensasi tanah Pembayaran Kompensasi 15a 16 11a Tidak Ya Penaksiran Tanah: Harga tanah dan properti 12 Penentuan Kompensasi+Daftar penerima Pemilik Tanah/properti 3 Peta tanah dan daftar pemilik resmi Pemberitahuan untuk mulai 21 Perusahaan/ Tim Penaksiran Tanah Draft peta tanah dan daftar pemilik 18 Permohonan pemindahan hak atas tanah Komite Pembebasan Tanah Sosialisasi Proyek 2 13 Pembayaran Kompensasi Dokumen Pembebasan tanah Kantor Tanah daerah/kota Tanda terima+Penyerahan hak atas tanah+ Sertifikat asli Keputusan Pengadilan ttg kompensasi 15c Pembayaran kompensasi ke pengadilan 15b Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur iii) iv) v) vi) vii) viii) ix) x) lokasi proyek alternatif, jika tidak ada lokasi proyek alternatif, PPT akan tetap melakukan pembebasan tanah tetapi akan mencatat kegagalan sosialisasi dalam laporannya kepada Bupati/Walikota Gubernur; PPT memeriksa status tanah dan membuat daftar para pemilik tanah; PPT menyiapkan peta tanah dilengkapi dengan daftar pemilik tanah; PPT mengumumkan peta tanah dan daftar pemilik tanah untuk pemeriksaan; Para pemilik tanah memeriksa kebenaran peta tanah, status tanah dan kepemilikan agar PPT dapat mengeluarkan peta tanah yang resmi dan daftar pemiliknya; PPT menunjuk tim juru taksir tanah/perusahaan untuk menaksir harga tanah; penilaian bangunan dan tanaman dapat juga dilakukan dengan institusi lain (misalnya, penaksiran harga tanaman dari kantor pertanian setempat); PPT kemudian mengundang pemilik tanah bernegosiasi; negosiasi pembelian tanah dilakukan sampai setidaknya 75 persen (51 persen) dari masyarakat yang terkena dampak menyetujui nilai taksiran PPT; Setelah berhasil negosiasi maka PPT akan mengeluarkan berita acara tentang hasil negosiasi; Jika negosiasi gagal: a. Negosiasi akan diulang sampai berhasil; b. Jika gagal juga, maka PPT akan mengusulkan penggantian lokasi proyek, atau negosiasi lagi; c. Jika gagal negosiasi dan tidak ada pilihan lokasi lain maka PPT akan melanjutkan kembali negosiasi sampai 120 hari. Setelah masa ini lewat, penyelesaian akan dilakukan melalui pengadilan, dan PPT akan meminta pada pemilik proyek untuk memberi deposito pembayaran kompensasi pada pengadilan; xi) PPT akan membuat daftar pemilik tanah yang sudah setuju dengan penaksiran dan menetapkan nilai kompensasi/ganti rugi; xii) PPT memberitahukan pemilik proyek untuk membayar kompensasi; xiii) Pemilik tanah menerima pembayarankompensasi; xiv) Jika: a. pemilik tanah menerima pencairan pembayaran dan memberikan salinan asli dari sertifikat tanah dan Pelepasan Hak Tanah ke PPT; b. pemilik tanah tidak bisa menerima pencairan pembayaran (misalnya, tanah sengketa hukum/keluarga), pembayaran dilakukan ke pengadilan, dan sehingga c. berdasarkan catatan pengadilan dan deposit pembayaran kompensasi, pengadilan akan membuat keputusan akhir tentang penjualan tanah/ pembelian dan menetapkan nilai kompensasi. xv) PPT mengeluarkan berita acara tentang pembayaran kompensasi, kwitansi, salinan asli sertifikat tanah, dan berita acara pembebasan lahan (penjualan dan pembelian); 111 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur xvi) Pemilik proyek menerima dokumen pembebasan tanah dari PPT; xvii) Mengajukan permohonan transfer hak tanah kepada kantor agraria kotamadya/kabupaten setempat; xviii)Kantor agraria kotamadya/kabupaten setempatmengeluarkan sertifikat tanah yang baru atas nama pemilik proyek; xix) Berdasarkan surat pembebasan tanah ini maka pemilik proyek akan dapat memulai kegiatan pembangunan; xx) Berdasarkan keputusan pengadilan, pemilik proyek membuat permohonan pemindahan hak milik kepada kantor agraria kotamadya/kabupaten setempat; xxi) Berdasarkan keputusan pengadilan, bupati/walikota/gubernur mengeluarkan surat ijin untuk pemilik proyek untuk memulai pembangunan. Lampiran Tabel 4: Jalan Tol yang Beroperasi Sektor Konsesi Panjang (km) Investor Mulai Lamanya (tahun) Jakarta - Bogor – Ciawi 59,00 PT. Jasa Marga 2005 40 Cawang – Tomang 16,00 PT. Jasa Marga 2005 40 Tomang - Grogol – Pluit 7,55 PT. Jasa Marga 2005 40 Prof. Dr. Ir. Soedyatmo (Cengkareng) 14,30 PT. Jasa Marga 2005 40 Jakarta – Cikampek 83,00 PT. Jasa Marga 2005 40 Jakarta – Tangerang 33,00 PT. Jasa Marga 2005 40 Cikampek – Padalarang 58,50 PT. Jasa Marga 2005 40 Padalarang – Cileunyi 64,40 PT. Jasa Marga 2005 40 Palimanan - Cirebon/Kanci 26,30 PT. Jasa Marga 2005 40 Semarang Seksi A,B,C 24,75 PT. Jasa Marga 2005 40 Surabaya – Gempol 49,00 PT. Jasa Marga 2005 40 Belawan - Medan - Tanjung Morawa 42,70 PT. Jasa Marga 2005 40 Pondok Aren – Jembartan Bintaro - Ulujami 5,55 PT. Jasa Marga 2005 40 JORR (Jakarta Outer Ring Road) 45,37 PT. Jasa Marga 2005 40 Jembatan Tol Suramadu 5,40 PT. Jasa Marga 2009 40 Bogor Ring Road Bagian I 3,80 PT. Jasa Marga Tangerang – Merak 73,00 PT. Marga Sakti Ir. Wiyoto Wiyono M.Sc. (Cawang - Tg. Priok) 15,50 PT. CMNP Tbk 112 Mandala 2009 40 1990 30 1994 29 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Harbour Road (Pluit - Ancol Jembatan Tiga) 11,55 PT. CMNP Tbk 1994 29 Surabaya – Gresik 20,70 PT. Margabumi Matraraya 1991 25 Ujung Pandang Tahap I 6,05 PT. Bosowa Nusantara Marga 1994 30 Serpong - Pondok Aren 7,25 PT. Bintaro Serpong Damai 1997 27 Waru – Djuanda 12,80 PT. CMNP Tbk 2008 30 Makassar Section IV 11,60 PT Jalan Tol Seksi Empat 2008 30 TOTAL 697,07 Sumber: DG Bina Marga, PU, and Jasa Marga, 2009 Lampiran Tabel 5: Jalan Tol Dalam Perbaikan, Juni 2009 Jalan Tol Panjang (km) Investor Status Juni 2009 Kanci – Pejagan 35,00 PT. Semesta Marga Raya C Surabaya – Mojokerto 34,05 PT. Marga Nujyasumo Agung L&C JORR Seksi W1 9,85 PT. Jakarta Lingkar Baratsatu C Bogor Ring Road 11,00 PT. Marga Sarana Jabar C Kertosono – Mojokerto 41,65 PT. Marga Hanurata Intrinsic Lp Cinere – Jagorawi 14,70 PT. Trans Lingkar Kita Jaya L Semarang – Solo 75,70 PT. Trans Marga Jateng Gempol – Pasuruan 33,75 PT. Jasa Marga L L&C Gempol – Pandaan 13,61 PT. Margabumi Adhikaraya L Depok – Antasari 21,55 PT. Citra Wassphutowa L Bekasi - Cawang - Kp.Melayu 21,04 PT. Kresna Kusuma Dyandra Marga L Cikampek – Palimanan 116,00 PT. Lintas Marga Sedaya L Cikarang (Cibitung) - Tj.Priok (Cilincing) 34,50 PT. MTD - CTP Expressways D&L Pejagan – Pemalang 57,50 PT. Pejagan Pemalang Tol Road D&L Pemalang – Batang 39,00 PT. Pemalang Batang Tol Road D&L Semarang – Batang 75,00 PT. Marga Setiapuritama D&L JORR W2 Utara 7,00 PT. Jasa Marga D&L Ciawi – Sukabumi 54,00 PT. Trans Jabar Tol Lp & D Waru (Aloha) - Wonokromo Tg.Perak 17,72 PT. Margaraya Jawa Tol 113 Lp Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Pasuruan – Probolinggo 45,32 PT. Trans-Jawa Paspro Jalan Tol Lp Kunciran – Serpong 11,19 PT. Marga Trans Nusantara Lp & D Cengkareng - Batu Ceper – Kunciran 15,22 PT. Marga Kunciran Cengkareng Lp Serpong – Cinere 10,14 PT. Cinere Serpong Jaya A Cimanggis – Cibitung 25,39 PT. Cimanggis Cibitung Tollways A Solo – Ngawi 90,10 PT. Thies Contractor Indonesia A Ngawi – Kertosono 87,02 PT. Thies Contractor Indonesia A Akses Tanjung Priok 12,10 Government (public sector project) L Total 1.009,10 Sumber: BPJT, 2009 Catatan: L:Pembebasan Tanah; D:desain rekayasa rinci ; Lp:sebelum pembebasan tanah; C:konstruksi dan A:negosiasi konsesi. Lampiran Tabel 6. Kemajuan Konsesi Jalan Tol yang ditandatangani sebelum Agustus 2007 Jumlah Jalan Panjang (Km) Investor Tanda tangan kontrak Biaya investasi (Rp. milyar) Dana pinjaman (Rp. Milyar) Biaya Pembebasan Tanah (Rp. milyar) Pembebasan Tanah (%) A. Konstruksi Makassar Seksi IV 11,6 PT. Jalan Tol Seksi Empat 29-Mei06 517 350 10 70,00 Kanci-Pejagan 34 PT. Semesta Marga Raya 29-Mei06 2.095 1.381 122 96,10 Surabaya – Mojokerto 37 PT. Marga Nujyasumo Agung 06-Apr06 2.953 1.526 400 9,30 JORR W1 9,7 PT. Jakarta Lingkar Baratsatu 02-Feb07 1.628 1.522 - 100 7.193 4.779 532 SUB TOTAL A 92,30 B. Dalam persiapan Pembebasan Tanah Bogor Ring Road 11,00 PT. Marga Sarana Jabar 29-Mei06 1.577 1.158 80 63,5 Cinere – Jagorawi 14,70 PT. Trans Lingkar Kita Jaya 29-Mei06 1.867 1.461 845 8,3 Kertosono – Mojokerto 41,00 PT. Marga Hanurata Intrinsic 30-Jun05 2.212 1.390 191 8,4 Semarang – Solo 75,70 PT Jasa Marga 15-Des06 6.135 4.549 800 1,9 114 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Gempol – Pasuruan 32,00 PTJasa Marga 29-Mei06 1.800 1.3 61 220 0 Gempol – Pandaan 13,61 PT. Margabumi Adhikaraya 19-Des06 826 795 166 67 Depok – Antasari 21,70 PT Citra Waspphutowa 29-Mei06 2.516 1.796 699 0 Bekasi – Cawang-Kp. Melayu 21,04 PT. Kresna Kusuma Dyandra Marga 22-Feb07 6.185 4.018 449 9,9 Cikampek – Palimanan 116,00 PT. Lintas Marga Sedaya 21-Jul06 5.906 5.000 500 2,3 Cikarang – Tanjung Priok 33,92 MTD-CTP Expresswaya 29-Jan07 2.358 225 0 Pejagan Pemalang 57,50 PT. Pejagan Pemalang Tol Road 21-Jul06 3.236 2.380 189 0 Pemalang – Batang 39,00 PT. Pemalang Batang Tol Road 21-Jul06 2.293 1.640 134 0 Semarang – Batang 75,00 PT. Marga Sediapuritama 21-Jul06 3.635 2.470 225 0 JORR W2 N (Ulujami – Kb. Keruk) 7,00 PT. Jasa Marga 07-Jul07 1.411 800 0 Clawi – Sukabumi 54,00 PT. Trans Jabar Tol 27-Jul07 4.924 726 0 Wanu (Aloha) – Wonokromo – Tg. Perak 18,60 PT. Margaraya Jawa Tol 19-Jul07 6.491 1.295 0 Pasaruan – Probolinggo 45,00 PT. Trans-Jawa Paspro Jalan Tol 25-Jun07 3.315 150 0 SUB TOTAL B 676,77 56.686 880 28.899 7695 C. Selesai Ciranjang – Padalarang 33,00 Bina Puri Nindyacipta Karyatama 27-Jul07 3.248 390 SUB TOTAL C 33,00 3.248 390 TOTAL 802,07 67.126 8617 Sumber: World Bank Second Infrastructure Loan (Des. 2008) 115 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur LAMPIRAN C : Pelabuhan Kinerja pelabuhan daerah yang melayani pasar domestik buruk. Produktivitas pelabuhan yang terkait dengan bongkar muat kapal relatif rendah. Tingkat okupansi tambatan kapal78 dari 19 pelabuhan domestik utama di tahun 2006 adalah sekitar 57,6 persen, yang berada di atas standar kelayakan internasional 40-50 persen. Waktu proses rata-rata adalah 82 jam (sekitar 3,5 hari). Hal ini menunjukkan bahwa kapal di Indonesia terlalu banyak menghabiskan waktu menganggur di pelabuhan. Produktivitas yang rendah ini disebabkan oleh kemacetan, rute dangkal, kurangnya peralatan penanganan, dan kendala tenaga kerja (Lampiran Tabel 7). Karena rute di Samarinda dangkal, kapal harus menunggu air pasang untuk bisa masuk ke pelabuhan. Selain itu, peraturan tenaga kerja tidak memungkinkan untuk bekerja 24-jam, hal ini lebih lanjut menghambat pengoperasian pelabuhan secara efektif. Oleh karena itu, tanpa perbaikan besar dalam kapasitas pelabuhan, jika jumlah atau volume kargo meningkat maka akan terjadi kenaikan waktu tunggu dan proses. Lampiran Tabel 7: Kondisi Pelabuhan Regional di Indonesia Pelabuhan Belawan Tingkat perlabuhan (%) Waktu tunggu (jam) Draft (m) Masalah 52,4 72,6 7-9 Padat/macet dan kurang fasilitas bongkar muat Palembang 34,7 61,8 4-8 Dangkal Banjarmasin 74,7 52,0 4-9 Penuh dan dangkal Samarinda 6,9 88,8 6-7 Padat/macet Makassar 43,2 124,3 3-12 Padat/macet Pelabuhan domestic rata-rata 57,6 82 Sumber: STRAMINDO – JICA, 2005; Dep Perhub, 2006; Kontrol tarif oleh pemerintah menghambat kompetisi dan menghilangkan insentif/ doronganuntuk memperbaiki kinerja kerja. Pemerintah mengontrol tarif yang dikenakan untuk penumpang kelas ekonomi yang diangkut oleh perusahan milik negara PELNI. Untuk mengkompensasi biaya layanan PELNI, maka pemerintah memberikan suatu subsidi yang dimasukkan pada mata anggaran Dana Subsidi Layanan Publik pada anggaran negara. Tarif pelabuhan juga ditentukan oleh pemerintah dan besarannya distandarkan untuk seluruh pelabuhan yang mengurangi peluang untuk kompetisi. Dalam banyak hal, tarif pelabuhan ditetapkan di bawah tingkat pemulihan biaya (dengan pengecualian untuk pelabuhan utama yang melayani pelayaran domestik), dan dengan demikian, biaya operasi dan pemeliharaan tidak dapat sepenuhnya tertutupi. Peraturan tarif oleh pemerintah dan subsidi-silang pelabuhan oleh Pelindo tidak memberikan insentif bagi penyediaan layanan. Kecil kemungkinan situasi ini akan membaik, karena hukum maritim baru menunjukkan bahwa pemerintah akan terus mempengaruhi penetapan tarif melalui penetapan jenis, struktur dan kelompok Tingkat okupansi tambatan kapal adalah total tahunan lamanya kapal tertambat dibagi dengan jam secara total dalam setahun 78 116 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur konsumen, tetapi tidak melalui tingkat tarif yang diperbolehkan(harga dasar dan harga paling tinggi). Oleh karena itu, hal ini akan menghambat terciptanya kompetisi dalam harga dan layanan. Intervensi pemerintah dalam kegiatan pesisir dan peraturan tenaga kerja juga menghalangi operasi pelabuhan secara efektif. Sampai diimplementasikannya secara efektif hukum maritim baru pada tahun 2011, operasi pelabuhan kegiatan pesisir dikelola oleh administrator pelabuhan (ADPEL), terutama dalam kaitannya dengan navigasi kapal dan keselamatan. Pengalokasian kapal ke tempat berlabuh kapal merupakan tanggung jawab bersama dari kedua operator pelabuhan PELINO dan ADPEL, dan cara ini tidak mendorong operasi pelabuhan yang efisien. ADPEL juga mengatur dan melaksanakan implementasi peraturan tenaga kerja di operasi pelabuhan. Hal ini tidak mendorong terbentuknya suatu operasi pelabuhan kelas dunia karena peraturan yang ada hanya membolehkan satu jam kerja satu giliran (single shift working hours). Kurangnya keamanan meningkatkan biaya kargo dari dan ke Indonesia. Pada Mei 2007, sekitar 226 pelabuhan di Indonesia telah menerima sertifikat kepatuhan ISPS, dimana sekitar 16 diantaranya diakui oleh US Coast Guard telah memenuhi persyaratan penuh. Jadi kapal yang datang dari 16 pelabuhan tersebut tidak perlu menjalani prosedur keamanan ekstra sebelum memasuki pelabuhan-pelabuhan AS. Meskipun ada perkembangan ini, pengiriman kargo dari Indonesia biasanya menarik premi asuransi 30-40 persen lebih tinggi dari kargo yang berasal dari Singapura79. Menurut Carana (2004), ini bukan hanya disebabkan oleh pembajakan di laut, tapi juga oleh kegiatan kelompok kejahatan terorganisir di pelabuhan, pencurian umum dan pencurian, serta pemogokan dan penghentian kerja. Operator pelabuhan milik negara PELINDO mendominasi industri. Setiap pulau besar di Indonesia setidaknya memiliki satu kota pelabuhan penting. Indonesia memiliki 1.887 pelabuhan, dimana 725 adalah pelabuhan umum, dan 141 diantaranya melayani perdagangan internasional. Dari pelabuhan umum, 111 pelabuhan komersial yang dikelola oleh empat perusahaan milik negara (BUMN), yang dikenal sebagai PELINDO I hingga IV. Enam ratus empat belas pelabuhan umum lainnya yang dianggap non-komersial (cenderung tidak menguntungkan dan bernilai strategis kecil), dikelola oleh Unit Operator Pelabuhan di bawah naungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan. Sisanya merupakan pelabuhanpelabuhan swasta yang melayani keperluan tertentu dari perusahaan pribadi/pemilik pada sejumlah industri termasuk pertambangan, minyak dan gas, perikanan dan pariwisata. Indonesia memiliki empat pelabuhan utama: Medan di Sumatera Utara, Ujung Pandang di Sulawesi Selatan, Tanjung Perak Surabaya di Jawa Timur, dan Tanjung Priok di Jakarta, semua dikendalikan oleh empat PELINDO. Sampai dengan tahun 2011 ketika hukum maritim menjadi efektif, PELINDO menikmati monopoli di pelabuhan komersial utama, bertindak sebagai operator pelabuhan dan sekaligus otoritas pelabuhan. Namun, tidak semua pelabuhan yang dioperasikan oleh PELINDO menguntungkan. Patunru et al (2007) mencatat bahwa PELINDO 79 Ray, David, Indonesian Port Sector Reform and the 2008 Shipping Law, USAID, 2008 117 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur diwajibkan secara hukum untuk melakukan subsidi silang satu sama lainnya untuk memastikan kesinambungan keuangan secara keseluruhan dan untuk memenuhi kewajiban layanan umum. Kinerja pelayanan pelabuhan di bawah yang diharapkan. Kinerja pelayanan pelabuhan belum memenuhi harapan pengguna dan berada di bawah standar internasional. Beberapa penyebab utamanya adalah kekurangan infrastruktur dasar pelabuhan dan rendahnya kapasitas pelabuhan untuk menangani kapal besar . Tanjung Priok, terminal kontainer terbesar di Indonesia, adalah yang paling tidak kompetitif dibandingkan dengan pelabuhan besar lainnya di daerah (Lampiran Tabel 8). Pengguna telah risau karena proses birokrasi, waktu penyelesaian yang lama (suatu ukuran agregate tentang waktu kapal yang dibutuhkan untuk berada di pelabuhan, termasuk waktu tunggu, waktu pendekatan, waktu menganggur/idle, dan waktu kerja), dan akses ke pelabuhan yang amat buruk telah membuat transportasi kargo mahal dan lambat. Selain itu, tingkat ‘draft’ pelabuhan hanya dapat menerima kapal-kapal dengan maksimum ukuran 3.000- 3.500020 kaki unit ekivalen (Twenty-foot Equivalent Units-TEU), dan dengan demikian hanya sedikit kapal-kapal besar masuk ke pelabuhan Indonesia. Lampiran Tabel 8: Lalu lintas container di pelabuhan (Ribu TEU), 2006 Tanjung Priok Laem Chabang Port Kelang Jakarta Bangkok Malaysia Pengurusan Impor (hari) 5,5 3 1–3 Keluar masuk kontainer (juta TEU) 3,81 4,12 6,32 Waktu tunggu kapal (jam) 6 – 12 0 0 Sumber: Poesposoetjipto, 2007 Sekilas tentang Kerangka Peraturan Hukum maritime yang baru menganjurkan pemisahan antara fungsi pengaturan dan operasi dari pemerintah, desentralisasi, partisipasi sektor swasta. UU 17/2008 tentang transportasi laut memisahkan peran pengaturan dari sebuah otoritas pelabuhan dari operator pelabuhan yang berorientasi komersial. Otoritas pelabuhan mewakili pemerintah dalam pemberian konsesi pelabuhan atau lisensi lain untuk layanan pendukung, seperti sewa tanah, gudang, dan terminal penumpang pada operator sektor swasta. Untuk pelabuhan komersial, pemerintah telah membentuk otoritas terpisah untuk setiap pelabuhan yang bertanggung jawab kepada Menteri Perhubungan, sedangkan untuk pelabuhan non-komersial (yaitu, pelabuhan yang melayani daerah terbelakang), otoritas pelabuhan adalah Satuan Operasi Pelabuhan yang didirikan oleh pemerintah pusat (yaitu, Kementerian Perhubungan ) atau pemerintah daerah (Gubernur/ Bupati). Undang-undang ini akan berlaku efektif pada tahun 2011, dan akan memisahkan otoritas pelabuhan dan operator. Hal ini akan menciptakan kesamaan peranan karena PELINDO akan berfungsi sebagai operator pelabuhan dengan cara yang sama sebagaimana operator swasta lain. Selain itu, hukum ini juga memvalidasi Instruksi Presiden tahun 2005 yang mewajibkan penerapan prinsip cabotage, yang mengharuskan kapal-kapal yang melayani pasar Indonesia untuk terdaftar di Indonesia (memakai bendera Indonesia). Penggunaan 118 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur prinsip-prinsip cabotage diharapkan dapat meningkatkan industri pelayaran nasional, karena semua perusahaan (baik domestik maupun asing) harus mendaftarkan kapal mereka di Indonesia, membawa investasi, menyiapkan bisnis, menggunakan asuransi dan jasa perbankan, sehingga akan menciptakan lapangan pekerjaan. Undang-undang baru ini juga mengadopsi dan meratifikasi standar internasional mengenai keselamatan, keamanan (Kode Keamanan International untuk Kapal dan Fasilitas Pelabuhan – International Ships and Port Facility Security Code-ISPS), dan perlindungan lingkungan (Konvensi Internasional untuk Pencegahan Pencemaran dari Kapal- International Convention for Prevention of Pollution from Ships). Desentralisasi dapat melemahkan manajemen publik pelabuhan regional kecil. Alokasi penyediaan pelayanan publik antara pemerintah pusat dan daerah ditangani dalam peraturan umum tentang otonomi daerah. Untuk transportasi laut, hukum laut yang baru memberikan gambaran yang lebih rinci tentang wewenang pelabuhan yaitu dengan memberikan kewenangan pelabuhan komersial besar kepada pemerintah pusat dan pelabuhan kecil untuk pemerintah daerah. Namun, banyak pemerintah daerah enggan untuk menerima tanggung jawab terhadap pelabuhan kecil dan, secara finansial, tidak menguntungkan, yang dibebankan oleh pemerintah pusat, karena tanggung jawab ini dapat mempengaruhi (secara negatif) anggaran mereka. Sebenarnya, Indonesia dengan lebih dari 17.000 pulau harus bergantung pada banyak pelabuhan-pelabuhan kecil ini untuk menghubungkan pulau-pulau terpencil. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya terpadu untuk mendorong pemerintah daerah agar mencurahkan sumber daya tambahan pada pelabuhan kecil. Hal ini dapat dicapai melalui hibah yang berdasarkan kinerja yang dirancang dengan baik. Lampiran 9. Kuesioner Indeks Kinerja Logistik (dari 150 negara) Berdasarkan pengalaman anda dalam logistic internasional, silahkan ambil pilihan yang paling Persentasi responden yang menjawab tinggi/sangat tinggi tepat yang paling menggambarkan keadaan operasi logistik di negara tempat anda bekerja Indonesia Malaysia Filipina Thailand Vietnam Biaya Pelabuhan/ bandara 43,75% 50% 66,67% 0 7,69% Keseluruhan biaya logistik (mis. Biaya Pelabuhan, transport domestik, biaya agen dll.) 37,50% 25% 50% 0 23,08% Biaya layanan gudang 18,75% 0 33,33% 0 23,08% Transportasi Kereta Api 18,75% 0 100% 0 7,69% 25% 0 33,33% 0 30,77% 18,75% 25% 66,67% 0 23,08% Biaya layanan muatan kurang dari satu truk Biaya muatan satu truk penuh Kualitas Infrastruktur Nilailah kualitas infrastruktur yang dipakai untuk operasi logistik di negara tempat anda bekerja Persen responden yang menjawab rendah/sangat rendah 119 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Indonesia Malaysia Philippines Thailand Vietnam Infrastruktur telekomunikasi dan layanan 26,67% 0 0 0 7,69% Infrastruktur transportasi tak bergerak (mis. pelabuhan, jalan, gudang) 46,67% 0 66,67% 0 8,33% efektifitas dan efisiensi proses Persen dari responden menjawab tinggi/sangat tinggi Indonesia Malaysia Filipina Thailand Vietnam Apakah pedagang yang menunjukkan tingginya kepatuhan tinggi mendapat kliring Bea Cukai dengan cepat? 25% 75% 0 25% 30,77% Apakah dokumen kepabean dapat dikirim dan diproses secara elektronik? 75% 75% 0 25% 15,38% Apakah anda menerima informasi yang layak dan tepat waktu jika ada perubahan peraturan? 31,25% 75% 33,33% 25% 38,46% Apakah pengeluaran barang impor merupakan proses transparan? 31,25% 50% 0 0 38,46% Apakah pengapalan ekspor di kliring dan di kirim sesuai jadwal? 93,75% 100% 66,67% 100% 84,62% Apakah pengapalan Import di kliring dan dikirim sesuai jadwal? 37,50% 100% 0 75% 61,54% Tingkat kempetensi jabatan Nilai kempetensi jabatan berikut di negara tempat anda bekerja Persen responden menjawab tinggi/sangat tinggi Filipina Thailand Asosiasi yang berhubungan dengan transportasi dan perdagangan Indonesia 17,65% 0 0 66,67% 25% Agen pemerintah yang berhubungan dengan urusan antar perbatasan 5,88% 0 33,33% 25% 16,67% Petugas pabean 29,41% 0 33,33% 25% 23,08% Perusahaan pengiriman barang 47,06% 0 66,67% 50% 46,15% 23,53% 0 100% 50% 30,77% 29,41% 25% 0 50% 23,08% Penyedia jasa transportasi udara 52,94% 50% 0 75% 46,15% Penyedia kereta api transportasi 11,76% 0 100% 25% 0 Penyedia layanan transportasi jalan raya 23,53% 25% 33,33% 50% 15,38% broker pabean 11,76% 25% 33,33% 50% 38,46% Penerima atau pengirim barang Operator distribusi pergudangan layanan dan Malaysia 120 Vietnam Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Perkembangan faktor di 3 tahun belakangan Nilai perkembangan faktor berikut di 3 tahun belakangan di negara tempat anda bekerja Persen dari responden menjawab membaik/jauh membaik Indonesia Situasi bisnis keseluruhan Malaysia Filipina Thailand Vietnam 40% 50% 33,33% 50% 76,92% 20% 75% 0 50% 46,15% 40% 50% 33,33% 0 38,46% Adanya layanan swasta 40% 75% 33,33% 75% 61,54% Kualitas telekomunikasi 60% 50% 33,33% 50% 84,62% Kualitas infrastruktur transportasi 46,67% 66,67% 33,33% 75% 69,23% Prosedur kliring oleh badan pemerintah yang berkaitan dengan perbatasan dengan negara lain 26,67% 50% 0 25% 69,23% Prosedur kliring di pabean 53,33% 50% 33,33% 25% 69,23% Tata Kelola yang pembasmian korupsi baik dan Regim peraturan infrastruktur Insiden dalam kegiatan anda tentang kendala berikut, dinegara tempat anda bekerja Nilai Insiden dalam kegiatan anda tentang kendala berikut, dinegara Persen responden menjawab tinggi/sangat tinggi tempat anda bekerja Indonesia Malaysia Filipina Thailand Vietnam Permintaan biaya tidak resmi 37,50% 50% 100% 50% 23,08% Kejadian kriminal (mis. Kargo yang dicuri) 6,25% 0 33,33% 0 0 Keterlambatan besar inspeksi pra- pengapalan karena 12,50% 0 66,67% 0 30,77% Keterlambatan besar penggudangan wajib akibat 12,50% 25% 0 0 7,69% Sumber: World Bank, 2007. Connecting to Compete. Trade Logistics in the Global Economy. The Logistics Performance Index and its Indicators. 121 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur LAMPIRAN D: Kereta Api Sekilas tentang Kerangka Kerja Peraturan Desain kelembagaan mempersulit koordinasi dalam investasi dan operasi jaringan kereta api. Sektor kereta api di Indonesia dibuat meniru sistem Uni Eropa yang memisahkan infrastruktur dan pengoperasian saham bergerak (rolling stock), di mana: • Pemerintah memiliki dan memelihara infrastruktur tetap perkereta-apian, tetapi PTKA yang melakukan pekerjaan yang sebenarnya. Pemerintah mengganti biaya yang berkaitan dengan Pemeliharaan Infrastruktur dan Biaya Operasional ke PTKA; • PTKA hanya memiliki aset bergerak (rolling stock), dan harus membayar Biaya Akses Trak/Rel (Track Access Charge-TAC) pada pemerintah untuk penggunaan fasilitas infrastruktur kereta api; • Selain Biaya Pemeliharaan Infrastruktur dan Biaya Operasional, pemerintah berkewajiban untuk membayar PTKA untuk kewajiban pelayanan public (public service obligation-PSO) yang dilakukan oleh PTKA dalam layanan nonkomersial. Ini dihitung berdasarkan selisih antara biaya dan tarif penumpang kelas ekonomi yang diatur oleh pemerintah. Meskipun pengaturan keuangan yang dijelaskan di atas secara teori tidak bermasalah, dalam prakteknya sebenarnya tidak efektif. Pembayaran pemeliharaan infrastruktur dan biaya operasional dan kewajiban pelayanan publik dari pemerintah lebih rendah dari jumlah yang telah diusulkan dan disepakati. Kurangnya dana dari pemerintah disebabkan oleh kendala anggaran dan perselisihan pendapat tentang besaran jumlah yang harus dibayarkan80. Pada tahun 2007, $ 70 juta pembayaran biaya pemeliharaan infrastruktur dan biaya operasional dari pemerintah dikompensasi dengan kewajiban pembayaran Biaya Akses Trak (TAC) dari PTKA, sehingga menimbulkan infrastruktur yang terakumulasi dan bermasalah dan keterlambatan pemeliharaan aset berjalan. Selain itu, tidak jelas apakah pembayaran yang diterima oleh PTKA benar-benar digunakan untuk perawatan rel kereta api. Sesuai dengan peraturan kereta api yang lama, PPP dengan perusahaan swasta asing tidak diizinkan. Berdasarkan undang-undang kereta api yang baru, perusahaan swasta mana saja diizinkan untuk berinvestasi di sektor ini. Namun, struktur institusional saat ini (infrastruktur dipisahkan dari operasi), dan implementasi biaya akses trak merumitkan pelaksanaan PPP. Meskipun demikian, peraturan ini memungkinkan layanan kereta api oleh pihak ketiga di luar PTKA. Kerumitan muncul karena operator pihak ketiga harus membayar biaya akses trak kepada pemerintah dan biaya pemeliharaan infrastruktur kepada PTKA. Peraturan Baru tersedia, tapi sedang menunggu pelaksanaan. Undand-undangperkereta apianbaru telah berlaku sejak 2007 (UU 23/2007) yang membawa dua perubahan penting: (i) penghilangan monopoli PTKA sebagai penyedia jasa tunggal; dan (ii) keterlibatan pemerintah daerah dalam pengembangan sektor kereta api dalam daerah 80 Lubis, Harun Al-Rasyid, Roadmap for National Railway Institutional Development, 2008. 122 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur hukum masing-masing. Penghapusan monopoli PTKA membuka pasar bagi sektor swasta untuk bersaing dengan PTKA dalam investasi di kereta api. Undang-undang ini baru akan efektif dalam tiga tahun ini,, karena peraturan pelaksanaan sedang dalam persiapan, dan reformasi kelembagaan PTKA dan Kementerian Perhubungan sedang dilaksanakan. Detil peraturan tentang bagaimana sektor swasta bisa berpartisipasi dalam jaringan kereta api yang sudah ada juga sedang dipersiapkan oleh Kementerian Perhubungan. Investasi Sektor Publik dalam Infrastruktur Kereta Api Tidak ada pengaturan investasi sektor public yang jelas untuk sektor kereta api. Pemerintah menyediakan investasi untuk ekspansi jalan kereta api dan mengganti kembali biaya operasi dan pemeliharaan ke PTKA. Selain biaya operasi dan pemeliharaan infrastruktur, PTKA menerima pembayaran kewajiban pelayanan publik untuk mengembalikanbiaya subsidi penumpang kelas ekonomi. Pembayaran kewajiban pelayanan publik periode 2003-2007 disajikan pada Lampiran Tabel 10. Meskipun PTKA melaporkan laba kecil, laba yang sebenarnya tak jelas akibat kurangnya transparansi dan disebabkan oleh adanya pengaturan keuangan dengan pemerintah yang terkait dengan pembayaran biaya operasi dan pemeliharaan, biaya akses trek/rel dan pembayaran kewajiban pelayanan publik. Lampiran Tabel 10: Pembayaran Kewajiban Pelayanan Publik pada PJKA Kewajiban Pelayanan Publik yang dihasilkan (juta rupiah) 2003 2004 2005 2006 2007 106.200 140.000 270.000 350.000 425.000 32 93 30 21 Pertumbuhan (%) Sumber: Departemen Perhubungan, 2007 123 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur LAMPIRAN E: Transportasi Udara Jumlah kedatangan dan keberangkatan pesawat internasional meningkat secara signifikan: Jumlah kedatangan penerbangan internasional meningkat dari 23.000 pada tahun 1990 menjadi 48.000 di tahun 2007 (kenaikan tahunan rata-rata 4 persen). Demikian pula, keberangkatan internasional meningkat dari 23.000 ke 49.400, menunjukkan pertumbuhan tahunan sebesar 3,8 persen selama periode yang sama. Demikian pula, sehubungan dengan kargo, kedatangan meningkat sebesar 7,2 persen sementara keberangkatan naik sebesar 2,6 persen selama 1990-2007 (Lampiran Gambar 4). Namun, perlu dicatat bahwa selama tahun 2006 dan 2007, baik kedatangan dan keberangkatan kargo mengalami penurunan. 60,000 Lampiran Gambar 4: Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat dan Kargo Internasional, 1990-2007 180,000 50,000 160,000 140,000 40,000 120,000 100,000 30,000 80,000 20,000 (Ton) (jumlah) 200,000 60,000 40,000 10,000 20,000 0 Kedatangan Pesawat (jumlah) Kedatangan Kargo (Ton) 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 0 Keberangkatan Pesawat (jumlah) Keberangkatan Kargo (Ton) Sum ber: Badan Pusat Statistik, Jakarta - Indonesia: Transportation and Communication Statistics, 2007 Kebijakan desentralisasi untuk manajemen bandara telah gagal. Ada 187 bandar udara di Indonesia yang dioperasikan oleh pemerintah dan dua operator bandara milik negara, Angkasa Pura (AP). Dua puluh tiga bandara komersial dikendalikan oleh AP, dan sekitar 26 dikendalikan oleh pemerintah pusat melalui Unit Pelaksana Teknis Bandar Udara di bawah pengawasan Kementerian Perhubungan. Yang 138 lainnya adalah bandara non-komersial, tidak menguntungkan dan bernilai strategis kecil. Selain ini, ada lebih dari 300 lapangan terbang perintis di daerah terpencil yang melayani penerbangan terjadwal. Sebagian besar bandara non-komersial dan lapangan terbang non-komersial berada di kawasan timur Indonesia. Wilayah ini memiliki kepadatan penduduk relatif rendah, jarak yang jauh, dan pulau yang tersebar dan daerah pegunungan, yang membuat akses melalui jalan dan perairan sulit, mahal dan tidak praktis. Meskipun ada kebijakan desentralisasi, tidak ada pengelolaan bandar udara tersebut berhasil ditransfer ke pemerintah daerah karena pemerintah daerah tidak mau menanggung pengelolaan bandara yang berbiaya tinggi. 124 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Sekilas tentang Kerangka Peraturan Hukum penerbangan yang baru mengusulkan desentralisasi dan lebih banyak partisipasi sektor swasta. Sektor transportasi udara mengalami reformasi dengan adanya sebuah undang-undang penerbangan baru pada tahun 2009. UU 1/2009 tentang transportasi udara memperkuat kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola bandara setempat, dengan mempertahankan pengontrol lalu lintas udara dan bandara yang berfungsi sebagai ‘hub’ tetap dibawah wewenang pemerintah pusat. Menurut undang-undangini, pemerintah daerah akan dapat memberikan lisensi/ konsesi ke sektor swasta, dan mengatur tarif bandara. Namun pengembangan bandara baru, termasuk bandara baru dengan fungsi lokal, akan tetap di bawah pengawasan pemerintah pusat (seperti yang disyaratkan oleh peraturan keselamatan penerbangan). Partisipasi swasta didorong melalui penggunaan kemitraan publik-swasta, dengan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah sebagai otoritas kontrak, dan Angkasa Pura I dan II dibatasi fungsinya sebagai operator bandara. Undang-undang penerbangan baru mengamanatkan pembentukan pengontrol lalu lintas udara terpadu di seluruh Indonesia. Operasi kontrol lalu lintas udara oleh pihak yang berbeda (Kementerian Perhubungan menjadi pemain kunci) menimbulkan masalah perencanaan dan koordinasi dalam memperkenalkan teknologi yang lebih tinggi, sistem baru dan prosedur, serta perencanaan dan pembangunan sumber daya manusia. Dengan dibentuknya sistim kontrol lalu lintas udara tunggal yang bertanggung jawab atas maskapai penerbangan Indonesia, operasi konrol lintas udara dapat dilakukan oleh badan independen, yang ketertarikannya, insentif, dan kinerja keuangannya tidak akan dikaitkan dengan operasi bandara. Kepatuhan terhadap peraturan keselamatan dan keamanan internasional. Undangundang penerbangan baru juga mendorong kepatuhan kepada peraturan keamanan internasional baru, seperti pengenalan tentang polisi udara, agen yang tertib, dan pemeriksaan bagasi100 persen. 125 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur LAMPIRAN F: Listrik Sekilas tentang Kinerja PLN- Badan Usaha Milik Negara PLN mendominasi sektor listrik di Indonesia, termasuk transmisi, distribusi dan penyaluran. Partisipasi swasta dalam pembangkit listrik terbatas melalui kerjasama dengan PLN yang bertindak sebagai pembeli eksklusif dari produsen listrik swasta. Pada tahun 2007, kapasitas dayaterpasang di Indonesia mencapai 44,5 gigawatts (GW), yang 25,2 GW (56,6 persen) dimiliki oleh PLN. Kapasitas pembangkit nonPLN ini dimiliki oleh produsen listrik kaptif (captive)81 (14,8 GW), produsen swasta (4.3 GW), dan koperasi (0,2 GW). Yang pertama terdiri dari sekitar 10.000 perusahaan industri dan yang lain harus mengandalkan pembangkitan listrik pribadi karena tidak tersedianya pasokan PLN atau kekhawatiran terhadap keamanan pasokan. Generator diesel merupakan hampir 60 persen dari kapasitas kaptif, dan pusat pembangkitan listrik kogenerasi (cogeneration) sekitar 25 persen82. Kapasitas kaptif dibagi hampir sama antara sistem Jawa-Madura-Bali (JAMALI) dan pulau-pulau sekitarnya. PLN mengoperasikan empat jaringan utama di JAMALI, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan, dan sekitar 600 sistem yang terpisah di pulau-pulau kecil lainnya. Jaringan JAMALI adalah yang terbesar, melayani sekitar 60 persen dari total penduduk Indonesia (sekitar 133 juta orang), ini merupakan hampir tiga perempat dari kapasitas PLN. Keterkaitan antara PLN dan pemerintah dilaporkan dalam Lampiran Kotak 1. Kriteria keandalan yang digunakan dalam perluasan sistem perencanaan adalah untuk mempertahankan rasio marjin cadangan sekitar 30 persen, dan probabilitas hilangnya beban 1 hari/tahun83. Secara umum, PLN berencana untuk mengurangi penggunaan minyak dalam pembangkit listrik menjadi nol persen, dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan energi alam. Kapasitas baru dikembangkan melalui pembangunan atau perluasan pusat pembangkit PLN sendiri, Produsen Listrik Swasta, atau pembelian tenaga yang kelebihan dari pembangkit kaptif. Opsi ini diambil dan dan dijalankan berdasarkan optimisasi faktor kapasitas pembangkit dan biaya minimum produksi listrik (Lampiran Kotak 2). Karena tingkat pemasangan listrik rendah di Indonesia, pemerintah terus memberikan pendanaan langsung untuk sambungan baru rumah tangga di daerah pedesaan. Dengan harga minyak relatif lebih tinggi, biaya operasi tenaga listrik kaptif meningkat, sementara tarif listrik tetap mendapat subsidi yang tinggi. Oleh karena ini maka tenaga listrik kaptif kemudian mencari pasokan dari PLN. Hal ini, digabung dengan penyambungan baru untuk pelanggan perumahan, bisnis, dan industri, serta pemasangan listrik di pedesaan, adalah faktor utama mengapa permintaan pasokan listrik PLN terus meningkat. Suatu Produsen Listrik Kaptif (captive power producer) adalah pemilik pusat pembangkit tenaga listrik yang menghasilkan listrik untuk konsumsi sendiri. 82 Generator Diesel tetap menjadi opsi yang terpercaya walaupun harga bahan bakar internasional amat tinggi, karena pemerintah memberikan subsidi yang tinggi untukbahan bakar. 83 Berarti adanya peluang permintaan puncak melampaui kapasitas yang tersediahanya satu hari dalam setahun. 81 126 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Lampiran Kotak 1: Keterkaitan PLN dengan Pemerintah Pendirian PLN dan pengelolaan listrik diatur oleh UU No 15/1985 yang memberikan kontrol atas pasokan listrik untuk sebuah perusahaan milik negara yang ditunjuk oleh pemerintah. Pada tahun 1994, PLN secara hukum ditetapkan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (“PKUK “) dan secara khusus diberi tugas oleh pemerintah untuk menyediakan listrik dan menjalankan bisnis pendukung lainnya. Pengumuman tentang Undang-Undang baru Listrik UU No 30/2009 pada 23 September 2009 mencabut “PKUK” listrik dari PLN, yang menghapus monopoli. Namun, ini tidak akan dilaksanakan dalam dua tahun yang akan datang, sementara pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaan penegakan sistem perizinan untuk usaha listrik. Untuk sementara, PLN berinteraksi dengan pemerintah pada tiga tingkatan: Pemerintah sebagai pemegang saham: Pemerintah Indonesia, diwakili oleh Menteri Negara BUMN memiliki 100 persen saham PLN. Pemerintah berkomitmen untuk kesinambungan jangka panjang PLN sebagai bagian dari tujuan PLN untuk menjamin pasokan listrik yang stabil di Indonesia. Dukungan keuangan disediakan kepada PLN melalui subsidi (untuk menutupi perbedaan antara biaya aktual dan tarif yang lebih lebih rendah), perpanjangan jatuh tempo pinjaman pemerintah, konversi tunggakan bunga dan denda menjadi modal, keringanan bunga atas penangguhan pembayaran pajak tertentu, dan dengan memberikan PLN waktu tambahan untuk membayar bahan bakar yang dipasok ke PLN oleh Pertamina (badan usaha milik negara dalam minyak dan gas). Subsidi listrik dimasukkan dalam anggaran negara dan peraturan yang berlaku mengharuskan pemerintah untuk menutupi kerugian PLN yang timbul akibat tarif listrik yang diatur pemerintah yang lebih rendah dari biaya PLN dalam menyediakan listrik ke pelanggan. Pemerintah sebagai pemberi subsidi: UU No 19/2003 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ditetapkan, yang menentukan bahwa, jika suatu badan usaha milik negara yang ditetapkan pemerintah secara khusus untuk melakukan tugas layanan publik dan tugas tersebut tidak layak secara finansial, pemerintah harus membayar kompensasi biaya ditambah dengan suatu marjin . Pemerintah, oleh karena itu, wajib untuk mengkompensasi PLN atas selisih biaya antara biaya PLN untuk menghasilkan listrik dengan harga yang diizinkan bagi PLN untuk membebankan pada pelanggan. Pada tahun 2009, subsidi yang disisihkan untuk PLN sekitar 1,5 persen dari PDB. Pemerintah sebagai Regulator: Pemerintah mengatur pembangkitan, transmisi dan distribusi listrik di Indonesia melalui Kementerian Enerji dan Sumber Daya Mineral. Secara khusus, kebijakan pemerintah tentang hal-hal seperti tarif listrik dan subsidi dapat berdampak signifikan terhadap posisi kompetitif, operasi dan kondisi keuangan PLN. Kaitan hukum dengan DPR dan Departemen • • • • • • Parlemen memeriksa dan menyetujui anggaran negara, yang meliputi subsidi yang harus dibayar kepada PLN. Menteri Negara BUMN menyetujui anggaran tahunan PLN, termasuk jumlah subsidi, pada pertemuan pemegang saham PLN dan rencana pendanaan dan investasi jangka panjang PLN untuk periode lebih dari satu tahun. Kementerian Keuangan memonitor keuangan PLN dan menyediakan pinjaman luar negeri, hibah dan subsidi kepada PLN. KementerianKeuangan dan BAPPENAS menyetujui proyek-proyek investasi (sebagai bagian dari anggaran pemerintah). Kementerian Enerji dan Sumber Daya Mineral adalah regulator utama PLN. Kementerian menyiapkan proposal tarif listrik PLN. Tarif listrik tersebut kemudian ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia setelah berkonsultasi dengan DPR. Kementerian Enerji dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan lisensi, kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan penjualan listrik dan metodologi pengadaan dengan Produsen Listrik Swasta dan mengeluarkan rencana listrik nasional secara umum. BAPPENAS bertanggung jawab untuk menetapkan kebijakan investasi nasional dan memberikan persetujuan untuk pinjaman luar negeri, hibah dan proyek-proyek investasi, yang juga merupakan bagian dari anggaran pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup memonitor kepatuhan terhadap undang-undang lingkungan hidup. 127 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Lampiran Kotak 2: Program Jalur Cepat (Fast Track) PLN 10 ribu MW Dalam rangka mengurangi ketergantungan PLN terhadap bahan bakar minyak dan meningkatkan s portofolio pembangkit tenaga listrik, pemerintah memperkenalkan apa yang disebut Fast Track Program, yang menugaskan PLN untuk membangun pembangkit listrik tenaga batubara di 40 lokasi di seluruh Indonesia. Sepuluh di antaranya di Jawa-Bali (lihat tabel di bawah ini) dengan total kapasitas sekitar 6.900 MW, dan 30 lainnya berada di luar Jawa-Bali dengan total kapasitas sekitar 1.852 MW. Pusat pembangkit listrik tersebut harus dibangun dan beroperasi pada 2010, menggantikan sekitar 2.400 MW pembangkit listrik berbahan bakar minyak. Pada akhir tahun 2007, PLN telah menandatangani delapan kontrak EPC dengan kontraktor. Fast Track Program juga mencakup pembangunan jaringan transmisi yang terkait dan sub-stasiun. Pada tahun 2007, PLN telah menenderkan 15 proyek berkaitan dengan perbaikan-sirkuit sepanjang 793 km dan membangun sirkuit sepanjang 543 km jaringan transmisi baru dan 151 sub-stasiun di Jawa. Dengan menggantikan 59 persen dari pabrik listrik berbahan bakar minyak dengan pembangkit listrik tenaga batubara, PLN mengharapkan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar minyak pada campuran bahan bakar dari 34 persen pada tahun 2006 menjadi sekitar 5,6 persen pada 2010, sementara secara bersamaan meningkatkan kapasitas pembangkitan listrik ‘base load’. Proyek Fast Track di JAMALI Lokasi Propinsi Kapasitas yang ada (MW) Kapasitas beroperasi (MW) 2009 2010 Suralaya Baru* Banten 625 - 625 Labuan* Banten 630 315 315 Indramayu* Jawa Barat 990 330 660 Rembang* Jawa Tengah 630 315 315 New Paiton* Jawa Timur 660 - 660 Pelabuhan Ratu* Jawa Barat 1050 - 1050 Pacitan* Jawa Timur 630 - Teluk Naga* Banten 945 Adipala Cilacap Jawa Tengah 660 - 660 Tanjung AwarAwar Jawa Timur 700 - 700 7.520 960 6.560 Total 630 945 Sumber: PLN, 2009, Catatan: *kontrak EPC ditanda tangani tahun 2007 Kinerja Fiskal PLN PLN beroperasi dengan kerugian sejak tahun 1997 akibat meningkatnya harga BBM dan ketidak-mampuannya untuk menaikkan tarif listrik84. Tarif belum meningkat secara signifikan sejak krisis keuangan Asia karena pertimbangan sosial, dengan harga yang tetap statis sejak September 2003. Karena harga minyak yang menanjak pada tahun 2008, yang mengakibatkan melonjaknya biaya operasional, maka subsidi 84 Seperti yang telah dikatakan, tarif bahan bakar ditentukan dan dikendalikan oleh pemerintah 128 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur telah menjadi dua kali lipat di tahun 2007, dengan subsidi pemerintah merupakan sekitar 50 persen dari biaya operasional PLN (Lampiran Tabel 11). Lampiran Tabel 11: Laba dan Rugi Operasi (milyar Rp) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Penghasilan dari operasi 39.444 50.334 58.803 64.032 71.817 76.286 84.250 Subsidi pemerintah 4.739 4.097 3.470 12.511 32.909 36.606 78.577 Pembelian tenaga listrik 11.169 10;834 11.971 13.598 14.845 16.947 20.743 Bahan bakar dan pelumas 17.957 21.478 24.491 37.355 63.401 65.560 107.783 Biaya operasi lain 23.219 23.565 23.249 25.079 26.982 28.999 32.072 Total biaya operasi 52.346 55.877 59.711 76.033 105.228 111.507 160.598 Laba/rugi (8.162) (1.446) 2.562 511 (502) 1.385 2.229 Sumber: PLN, 2009 Lampiran Tabel 12: Kinerja PLN, 2002-2008 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah pelanggan (juta) 31,0 32,2 33,4 34,6 35,8 34,6 38,6 Penjualan eneri (ribu watt jam) 87,1 90,4 100,1 107,0 112.6 120.4 131.3 PErtumbuhan penjualan (%/thn) 3,1 3,8 10,7 6,9 5,2 7,0 9,0 Tarif rata-rata (Rp/ kWh) 448 551 582 591 628 629 653 Tarif rata-rata (sen $/ kW jam) 4,7 6,4 6,8 6,1 6,9 6,1 6,9 Kehilangan energi (%) 16,5 16,9 11,3 11,5 11,5 11,1 10,5 EBITDA (juta $)* 831 1.366 760 1.050 1.386 1.432 1.651 Sumber: PLN, 2009. *EBITDA: earnings before interest, tax, depreciation, and amortization Menanggapi harga BBM yang lebih tinggi di tahun 2008, PLN memulai implementasi tarif “non-subsidi” untuk pelanggan kaya. Ini akan memungkinkan PLN untuk mengurangi subsidi pemerintah. Selain itu, meskipun kerugian transmisi dan distribusi telah menurun secara signifikan dari 16,9 persen pada tahun 2003 menjadi 10,5 persen pada tahun 2008, namun masih lebih tinggi daripada rata-rata global sekitar 7 persen (Lampiran Tabel 12). Idealnya, hal ini harus segera ditangani karena keuntungan bersifatsegera dapat dirasakan, dan berdampak secara signifikan pada pasokan.. 129 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Sejak tahun 2006, PLN telah mengalami pertumbuhan laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi, dari sekitar Rp 1 triliun menjadi Rp 1,65 triliun di tahun 2008. Hal ini terkait dengan pertumbuhan jumlah pelanggan dan penjualan. Namun, karena penetapan tarif sosial,begitu operasi semakin besar, kerugianpun semakin meningkat, membuat PLN enggan untuk memperluas operasi. Sekilas tentang Kerangka Peraturan Fungsi pengaturandan pembuatan kebijakan di sektor listrik ada di bawah tanggung jawab Kementerian Enerji dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan dijalankan melalui Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Enerji (DJLPE). Selain bertindak sebagai regulator sektor di tingkat nasional85, DJLPE bertanggung jawab untuk: • Mempersiapkan Rencana Umum Ketenaga-listrikan Nasional (RUKN); • Memastikan pencapaian tujuan RUKN; • Mengoptimalkan pemanfaatan berbagai sumber enerji untuk pembangkit listrik; • Mendirikan dan mengembangkan penyediaan listrik, pemanfaatan dan manajemen operasi; dan • Memfasilitasi partisipasi sektor swasta dalam pasokan listrik. Fungsi regulasi dari DJPLE tidak mencakup tarif listrik, yang ditetapkan oleh Presiden86. Karena tarif seragam di seluruh Indonesia87, pelanggan di jaringan JAMALI memiliki banyak subsidi dibandingkan di pulau-pulau terpencil, di mana biaya pengadaan jauh lebih tinggi. Ada juga subsidi silang yang signifikan ke konsumen kecil oleh yang besar, khususnya industri dan perusahaan komersial. Selain Kementerian Enerji dan Sumber Daya Mineral, PLN berada di bawah lingkup dari: (i) Kementerian Negara BUMN yang mewakili pemerintah sebagai pemilik, dan dalam kapasitas ini mengawasi manajemen PLN, menetapkan target kinerja perusahaan, dan menyetujui anggaran tahunan, dan (ii) Kementerian Keuangan yang menentukan subsidi listrik dan pengaturan pinjaman bagi PLN. Investasi Sektor Publik dalam Infrastruktur Listrik Hal ini terutama dilakukan melalui anggaran investasi PLN, yang terutama didanai melalui pinjaman yang berasal dari penerbitan obligasi dan lembaga keuangan bilateral/ multilateral dan anggaran negara, yang terutama digunakan untuk pemasangan listrik pedesaan. Perlu dicatat bahwa pemasangan listrik pedesaan (walaupun ada dampak sosial nya) secara finansial tidak menarik bagi PLN karena kepadatan penduduk yang rendah dengan faktor beban yang sangat rendah. Selain itu, pasar ini didominasi oleh konsumen berpenghasilan rendah yang menikmati suatu tarif yang sangat disubsidi Pemerintah daerah menjalankan tugas hukum untuk bisnis-bisnis listrik daerah yang tidak memiliki sambungan dengan jaringan PLN. 86 Berdasarkan rekomendasi Menteri Enerji dan Sumber Daya Mineral dan setelah berkonslutasi dengan Parlemen. 87 Pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan suatu saran untuk menerapkan tarif listrik berdasarkan daerah, yang akan mengakibatkan penduduk Jakarta akan membayar lebih mahal dibandingkan dengan daerah lain. 85 130 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Lampiran Gambar 5: Rata-Rata Pendapatan PLN dan Biaya Pelayanan di Seluruh Daerah (2007) Maluku 669 NTT 688 Bangka Belitung 621 NTB 642 Papua 3,955 3,796 3,213 3,211 3,565 709 Kalimantan Barat 3,272 628 Riau 1,667 668 Aceh 2,792 603 Kalimantan Timur 686 Sulawesi Utara 646 Kalimantan Selatan 2,597 2,094 1,867 649 Sumatra Selatan 990 668 Sumatra Barat 999 595 Lampung 663 Sumatra Utara 956 2,224 630 Sulawesi Selatan 1,462 631 Bali 1,184 766 Jakarta 1,090 720 Jawa Timur 1,116 652 Jawa Tengan 619 Jawa Barat 613 Indonesia 656 - 500 1,162 1,056 1,000 1,286 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 4,500 Rp/kWh Sum ber: PLN, 2008 Biaya Pelayanan Rata-Rata Pendapatan (tariff rata-rata PLN tingkat nasional Rp 653/kWh pada tahun 2008). Daerah-daerah tersebut cenderung “off-grid” (diluar jangkauan jaringan listrik PLN) dan dipasok oleh pembangkit listrik dengan bahan solar, yang mengkonsumsi solar dengan harga tinggi. Hal ini mengakibatkan biaya produksi yang lebih dari Rp. 2.000 / kWh (Lampiran Gambar 5). Dalam rangka meningkatkan rasio pemasangan listrik, PLN harus memusatkan perhatian pada desa-desa yang lebih terpencil, yang kurang dapat diakses, jauh 131 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur dari jaringan listrik, serta lebih jarang penduduknya88. Implikasinya adalah biaya produksi melampaui Rp. 4.000 (biaya produksi di Maluku saat ini Rp 3.955 dengan pendapatan yang dibatasi sekitar Rp. 669). Dengan demikian, PLN sangat enggan untuk memperluas jaringan, dan menanggung biaya tambahan dan kerugian. Bahkan di Jakarta yang padat penduduknya, pendapatan PLN berada di bawah biaya operasional. Dengan demikian, tingkat tarif yang rendah merupakan faktor yang membatasi kemampuan PLN untuk investasi lebih lanjut. Lampiran Tabel 13: Proyek PLS (Produsen Listrik Swasta) di Indonesia Jumlah Tahap operasional Total Kapasitas (MW) 20 4.419 Sumatera 3 240 Jamali Nusra 11 3.847 Kalimantan 1 45 Sulawesi & IT 5 287 Tahap pembangunan 16 2.248 Sumatera 7 253 Jamali Nusra 2 1.700 Kalimantan 3 76 Sulawesi & IT 4 219 Sumatera 14 1.332 Tahan Pendanaan 30 3.648 Jamali Nusra 8 1.897 Kalimantan 3 78 Sulawesi & IT 5 342 Sumatera 2 Perampungan PPL 6 937 17 Jamali Nusra 1 660 Kalimantan 1 130 Sulawesi & IT 2 Proses Tender 130 29 8.538 Sumatera 16 5.998 Jamali Nusra 6 1.957 Kalimantan 3 451 Sulawesi & IT 4 Proyek potensial Kapasitas Total (MW) 132 20 5.964 Pada dasarnya, karena makin banyak penduduk desa yang mendapat akses listrik, daerah-daerah yang belum memiliki listrik makin tidak menarik secara finansial bagi PLN untuk investasi. 88 132 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Sumatera 6 2.054 Jamali Nusra 6 2.940 Kalimantan 2 400 Sulawesi & IT 6 570 Proyek yang tidak diminati 29 Sumatera 17 5.436 4.002 Jamali Nusra 5 730 Kalimantan 5 494 Sulawesi & IT 2 210 29 5.436 TOTAL Sumatera 65 13.895 Jamali Nusra 39 13.731 Kalimantan 18 1.674 Sulawesi & IT 28 1.891 150 31.191 133 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur LAMPIRAN G: Telekomunikasi Komunikasi Telepon Tetap dan Seluler Dalam hal teledensitas, terlihat ada kesenjangan besar, mulai dari 25 di Jakarta sampai antara 11dan 20 di kota-kota besar lainnya, turun menjadi 0,2 di daerah pedesaan di Indonesia Timur. Kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan begitu besar, karena enam kota metropolitan besar mencakup sekitar 50 persen dari semua layanan sambungan tetap. Pada masa lalu, layanan telepon umum dan kios telepon sangat penting dalam penyediaan akses telekomunikasi kepada kelompokkelompok berpenghasilan rendah. Sampai dengan tahun 2002, hampir 25 persen dari lalu lintas telepon dilakukan melalui cara ini. Meningkatnya penggunaan telepon seluler (pada akhir tahun 2002, jumlah ponsel mengalahkan jumlah jaringan tetap) telah mengurangi peran penting dari telepon umum dan kios di perkotaan. Namun, keduanya tetap penting untuk penyediaan layanan di daerah pedesaan. Layanan sambungan telepon tetap, juga transmisi pendukung utama telepon, telah menerapkan teknologi modern (98 persen dijital), sehingga memberikan tingkat kualitas pelayanan yang memuaskan, terutama di Jawa. Dalam sambungan telpon tetap dan nirkabel tetap, Telkom adalah pemain dominan, dengan pangsa pasar sekitar 98 persen. Tiga operator lain adalah Indosat, Bakrie Telecom (nirkabel tetap), dan Batam Bintan Telekomunikasi (yang bidang lisensinya terbatas untuk Batam dan Kepulauan Bintan). Telkom praktis memonopoli layanan sambungan tetap, meskipun deregulasi (berdasarkan UU No 36/1999) telah membuka pasar. Pemerintah merencanakan membuat persaingan yang lebih besar antara Telkom, Indosat, dan pelaku pasar lainnya pada 2010, dengan menghilangkan hak eksklusif mereka dan menghentikan sistim kepemilikan silang di Telkom dan anak perusahaan operasi Indosat. Namun, posisi Telkom yang kuat ditambah dengan lingkungan peraturan yang relatif lemah dan susunan kelembagaan yang ada,telah menghilangkan keinginan persaingan, meningkatkan hambatan untuk masuk dan resiko bagi operator baru. Hal ini dapat diilustrasikan dengan bisnis sambungan tetap Indosat, yang meskipun sejak tahun 2002 telah mendapat lisensi untuk telepon lokal dan nasional layanan jarak jauh, masih tidak punya terobosan pasar yang berarti dibidang ini. Penyebaran telepon seluler di Indonesia telah meningkat karena daya saing harga dan kemudahan sambungan. Pasar selular itu menghadapi persaingan yang ketat pada paruh kedua tahun 2007, yang telah mengakibatkan pengurangan tarif sebesar 80 persen. Lebih unggulnya prabayar dari sistem pasca bayar dan ketersediaan telepon genggam yang murah telah meningkatkan penetrasi pasar. Pada paruh kedua tahun 2009, pendapatan rendah rata-rata bulanan per pengguna (average revenue per userARPU ) menandakan bahwa pemotongan harga lebih lanjut tidak akan bertahan. Efek yang dihasilkan adalah bahwa ARPU Indonesia rata-rata adalah hanya $ 3,9, terendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand ($ 7.6), Filipina ($ 17,8), dan rata-rata regional ($ 15,4) (Lampiran Tabel 14). ARPU yang rendah seperti itu sebagian disebabkan oleh penggunaan menit yang lebih rendah dari166 menit di 134 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Indonesia, yang secara signifikan lebih rendah dari Thailand (267 menit), atau 340 menit rata-rata regional. Lampiran Tabel 14: Kinerja operasi Seluler Perusahaan ARPU Pemakain (US$) dalam menit Indonesia Telkom 4,9 149 Indosat 3,5 84 Excelcomindo 3,3 268 Thailand AIS 7,0 267 DTAC 8,1 NA Filipina Globe 30,3 NA PLDT 15,1 NA Regional Average (includes 15,4 340 China, India, Hong Kong, and Korea) Negara Pelanggan (juta) 76 28,9 24,7 27,9 19,2 24,7 35,2 Sumber: Mandiri Sekuritas (2009) Akses Internet dan Broadband Akses internet di Indonesia dimulai pada tahun 1994 sebagai hasil dari upaya komunitas akademik dan penelitian. Penghapusan kontrol media dan liberalisasi sistem politik telah menyebabkan pertumbuhan pesat dalam penggunaan internet (47,3 persen per tahun) bersama dengan perkembangan penyedia layanan yang terkait. Pada akhir tahun 2007, diperkirakan ada 6,9 juta pengguna internet dan 8 juta telah memiliki akses ke komputer (Lampiran Tabel 15). Layanan Internet secara aktif ditawarkan oleh 60 penyedia layanan (dibandingkan dengan 100 Internet Service Provider yang terdaftar saat ini). Namun, kualitas layanan dan penetrasi pasar terhalangi karena “tulang punggung” infrastruktur yang buruk . Lampiran Tabel 15: Persentase Rumah tangga dengan akses Ke Komputer dan Internet di Indonesia dan Negara-negara tetangga Akses pada Komputer Akses pada Internet 2002 2007 CAGR (%) 2002 2007 CAGR (%) Indonesia 2,5 8,0 26,3 1,0 6,9 47,3 Malaysia 24,0 35,9 8,4 10,5 20,0 13,7 Filipina 5,3 18,3 28,1 4,9 12,3 20,2 Thailand 8,4 27,2 26,6 4,0 7,3 12,9 Vietnam 2,6 10,1 31,1 0,6 5,0 53,8 Source: ITU, 2009. Karena dominasi pasar oleh beberapa pemain kunci, koneksi internet dua arah broad band nirkabel yang baik relatif mahal, biayanya antara $50 sampai $ 80 per bulan. Penyedia layanan internet hanya baru-baru ini diizinkan masuk ke pasar sambungan 135 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur tetap broadband (kabel atau serat optik), dan harga sudah mulai menurun (biaya yang umum adalah sekitar $22 per bulan)89, tapi masih tetap lebih tinggi dari Malaysia, Thailand, dan Vietnam (Lampiran Tabel 16). Namun, area layanan sangat terbatas pada lokasi tertentu di kota-kota besar. Pada akhir 2007, terdapat lebih dari 256.000 pelanggan internet broadband terdaftar, peningkatan sekitar 46 persen per tahun sejak tahun 2002. Saat ini, ada dua pilihan dial-up di Indonesia (keduanya seharga sekitar $2 sen per menit), salah satunya adalah melalui Telkomnet Instan milik Telkom, dan yang lainnya melalui sambungan Penyelenggara Jasa Internet (internet service provider-ISP) biasa. Annex Lampiran Tabel 16: Harga Bulanan Internet Broadband Tetap di Indonesia dan Beberapa Negara, 2008 $ PPP $ % dari Pendapatan Per Kapita Indonesia 21,7 42,5 15,8 Malaysia 20,5 37,7 3,8 Filipina 23,4 45,0 17,3 Thailand 18,0 36,1 6,3 Vietnam 17,0 53,2 25,8 Sumber: ITU, 2009. Catatan: Pendapatan Nasional per kapita berdasarkan Metode Atlas Bank Dunia Pembentukan Telkomnet Instan dengan Telkom telah mengubah gambaran suasana kompetitif ISP. Telkom meningkatkan tarif interkoneksi untuk ISP pesaing sebanyak 1000 persen90, sementara menyubsidi Telkomnet Instan milik sendiri. Efek yang dihasilkan adalah ditutupnya ISP pesaing, dan meningkatnya pangsa pasar dengan Telkomnet Instan. Pada akhir 2008, terdapat 232 ISP berlisensi, tapi 134 yang benarbenar operasional. Hal ini mungkin disebabkan oleh perilaku tidak kompetitif dari Telkomnet. Sekilas Tentang Kerangka Peraturan Badan pengawas yang ada saat ini, Badan Regulasi Telekomunikasi dan Informatika (BRTI), diketuai oleh Direktur Jenderal Telekomunikasi, yang melapor kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (MKI), dan dengan demikian praktis menempatkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan, otoritas kontraktor, dan regulator untuk sektor telekomunikasi91. Pemerintah berpendapat bahwa BRTI adalah sebuah badan pengawas dalam masa transisi, dan pemerintah berniat merevisi hukum telekomunikasi untuk membentuk dasar hukum yang lebih kuat bagi BRTI dan melengkapi BRTI dengan langkahlangkah pengaturan yang efektif dalam bidang penetapan tarif, perizinan, pemantauan kinerja, penyelesaian sengketa, dan pengawasan kompetisi. Donny B.U., Rapin Mudiarjo,. Id Indonesia, Digital Review of Asia Pacific 2007-2008 Promoting Internet policy adn regulatroy reform in Indonesia, Assessment Report, EU, 2003 BRTI terdiri dari Chairman, dan enam orang lain dari berbagai sektor swasta, publik, akademik dan dibentuk melalui Keputusan Menteri, seperti yang dimandatkan oleh Undang-Undang Telekomunikasi 36/1999. 89 90 91 136 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Kelemahan dalam lingkungan pengaturan ini terlihat jika kita meneliti cara penetapan tarif dan perizinan. Harga sambungan tetap yang ditentukan oleh Telkom bersifat monopoli (tinggi), dan Telkom tidak bersedia untuk menggunakan rumus berbasis biaya yang lebih wajar. Pemerintah, oleh karena itu, tidak mampu menerapkan peraturan tarif biaya layanan yang wajar. Selain itu, Telkom mengajukan permohonan kenaikan tarif dengan meminta agar tarif ditinjau dan disesuaikan setiap tahun berdasarkan indeks harga konsumen (IHK). BRTI tidak bisa mendikte harga yang ditentukan dengan rumus berbasis biaya, namun hanya membatasi kenaikan tarif maksimum untuk layanan sambungan tetap untuk disetujui Parlemen. Praktek pengaturan tarif yang tak transparan ini juga tampak jelas terlihat dalam harga tarif interkoneksi, yang merupakan sumber kekhawatiran besar kalangan pembela konsumen. Di pasar layanan seluler, ada persaingan, operator-operator jaringan seluler menuntut keadilan dan pemerataan dalam pengaturan tarif inter-koneksi (yang saat ini masih di bawah pengawasan Telkom). BRTI telah menyiapkan rumusan tarif inter-koneksi berbasis biaya untuk menangani masalah ini, tetapi menghadapi resistensi dari Telkom. Selain itu, lisensi untuk telekomunikasi dan penyediaan jasa internet sangat tidak transparan dan masih penuh dengan ketidakpastian. Layanan Voice over Internet Protocol (VoIP), yang dianggap lebih sebagai layanan internet, pada awalnya tidak diatur and sebagian besar dilakukan oleh Penyelenggara Layanan Internet (internet service providerISP). Namun, pada tahun 2001, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Ministry of Communiction and Information-MCI) mengeluarkan persyaratan perizinan baru, dimana ISP yang memberikan layanan VoIP harus mengakhiri bisnis mereka, dan hanya lima operator yang diberi lisensi VoIP. Pada tahun 2007, pemerintah memberlakukan pembatasan kepemilikan asing dalam telekomunikasi seluler dan sambungan tetap, dengan alasan demi kepentingan keamanan bangsa.. Berdasarkan peraturan baru, kepemilikan asing dibatasi maksimum 65 persen untuk operator seluler dan 49 persen untuk operator sambungan tetap. Menariknya, peraturan tidak dibuat retroaktif sehingga memungkinkan keuntungan Telekom Malaysia, yang memiliki hampir 84 persen dari PT Excelcomindo Pratama, dan Malaysia Maxis Communications, yang memiliki 95 persen dari PT Natrindo Telepon Selular. Pemain lainnya termasuk SingTel (35 persen dari Telkomsel), Maxis Communications (51 persen dari Lippo Telecom), QTel (65 persen dari Indosat), dan Hutchison Telecommunications International (60 persen dari Hutchison CP Telecommunications) semua dalam batas kepemilikan asing ini. 137 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur DAFTAR PUSTAKA ADB, 2007. “Public Private Partnership for Infrastructure Development.” Kertas Kerja Indonesia, Diajukan pada Rapat Presented at High Level Expert Group Meeting ,UNESCAP. Korea, 1-3. Oktober ADB, Indonesia Infrastructure Reform Sector Development Program Loan SubProgram 2, 2008 ADB, Indonesia Country Strategy and Program 2006-2009 ADB and World Bank. 2005. Sri Lanka: Improving the Rural and Urban Investment Climate. Colombo/Manila. ADB/ILO/IDB, 2009a. “Indonesia: Country Diagnostic Study - Constraints to Growth”, Diajukan di Bappenas, Jakarta, 16 September 2009. -------. 2009b. “Indonesia: Country Diagnostic Study - Critical Constraints to Reducing Poverty and Inequality”, Diajukan di Bappenas, Jakarta, 16 September 2009. ------. 2009c. “Indonesia: Country Diagnostic Study - Diagnostic Constraints to Infrastructure Development in Indonesia”, Diajukan di Bappenas, Jakarta, 16 September 2009 Aswicahyono, H. and Deni Friawan. undated. Chapter 5. Infrastructure Development in Indonesia. BPS, 2007. Statistik Perhubungan 2006. Jakarta. BPS, 2008a. Statistik Kesejahteraan Rakyat 1995-2007 (People’s Welfare Statistics 1995-2007). Jakarta. ------, 2008b. Statistik Indonesia 2008. Jakarta. Canlas, D.; M.E. Khan and J. Zhuang (eds.). 2008. Diagnosing the Philippine Economy: Toward Inclusive Growth. ADB. Manila. Canning, D. and Peter Pedroni. 1999. “Infrastructure and Long Run Economic Growth”. July. Carana, Impact of Transport and Logistics on Indonesia’s Trade Competitiveness, USAID, 2004 CIDES (Center for Information and Development Studies). 2007. “Pengaruh Faktorfaktor Instituional dan Infrastruktur.” Selasa, 27 November. Kementrian Koordinasi Bidang Ekonomi,. “Infrastructure Development Options for Indonesia: Outlokk and Strategy for 2009.” Press Release, Jakarta, 5 Maret 2009. Dardak, A.H. “Upaya Pemerintah Memenuhi Kebutuhan Infrastruktur Jalan.” Sarasehan Prospek Pembangunan Jalan Tol di Indonesia. Jakarta, 29 June 2005. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, 2009. “Arah dan Kebijakan Pembangunan Infrastruktur 2010-2014”, Bappenas, Jakarta, 12 August 2009. 138 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Gramlich, E.M. (1994). “Infrastructure Investment: A Review Essay.” Journal of Economic Literature. Vol. XXXII, pp. 1176-1196. Haris. A. “Pengaruh Penatagunaan Tanah Terhadap Keberhasilan Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi.” Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas, Jakarta. Indrawati, Sri Mulyani. 2005. “Strategic Initiatives to Accelerate Infrastructure Development in Indonesia”. Pidato diberikan dalam rangka Indonesia Infrastructure Summit, Shangri-La Hotel, Jakarta, 17-18 Januari 2005. JETRO (Japan External Trade Organization). 2009. Survey on International Operations of Japanese Firms (FY 2008): Survey Report. Kasim, S.T. Analisis Pengaruh Kinerja Infrastruktur Listrik Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Thesis. Kompas, Infrastruktur Terganjal (Infrastructure Hampered), August 12, 2009 Kompas, Tarif Terlalu Rendah, Pelayanan KA Buruk (Tariff Too Low, KA’s Service is Bad), November 4, 2009 KPMG, A Guide to Airports in Asia Pacific, 2007 Llanto, G.M. 2004. Infrastructure Development: Experience and Policy Options for the Future. Makati City: Philippine Institute for Development Studies. LPEM-FEUI. 2007. Investment Climate Monitoring. Round IV. Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi dan Sosial, universitas Indonesia. Lubis, Harun al-Rasyid, Road Map for National Railway Institutional Development, 2008 Mawardi, D.R. 2004. Hubungan antara infrastruktur ekonomi dan pertumbuhan PDRB di Jawa Timur dengan menggunakan pendekatan model persamaan produksi Cobb–Douglas. Thesis/Dissertation. Petra Christian Universitas Indonesia. Kementrian Pekerjaan Umum. 2005. “Pembangunan Infrastruktur di Indonesia.” Dialog Bersama Menteri Pekerjaan Umum. Jakarta, 22 August 2005. Kementrian Pembangunan Ekonomi. 2008. Linkages between Infrastructure and Economic Growth. New Zealand. Murty, K.N. and Soumya, A. 200? “Macroeconomic effects of changes in public investment in infrastructure in India”. World Bank Working Paper No. Mustajab, M. 2009. Infrastructure Investment in Indonesia: Process and Impact. PhD dissertation. Rijksuniversiteit. Netherlands. Nathan Associates, Indonesian Shipping and Port Sector Review, USAID, 2001 O’Fallon, C. 2003. Linkages between Infrastructure and Economic Growth. Report submitted to the New Zealand Ministry of Economic Development. December. 139 Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruktur Patunru, A. Nurridzki, N and Rivayani, Port Competitiveness: A Case Study of Semarang and Surabaya, Indonesia. Institute for Economic and Social Research (LPEM), University of Indonesia, Asian Development Bank Institute (ADBI), 2007 Patunru, A., N. Nurridzki and Rivayani. Port Competitiveness: a Case Study of Semarang and Surabaya, Indonesia. in Infrastructure’s Role in Lowering Asia’s Trade Costs: Building for Trade. Edited by D.H. Brooks and D. Hummels. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing, 2009. Peterson, G.E and Eliza Muzzini. (undated). “Decentralizing Basic Infrastructure Services”, Pikiran Rakyat, Pelayanan KA Masih Buruk (KA’s Services is Still Bad), December 1, 2009 Poesposoetjipto, Shanti L., Peningkatan Daya Saing Bangsa Melalui Peningkatan Kualitas Infrastruktur Transportasi Maritim, Samudera Indonesia, 2007. Ray, D., Indonesian Port Sector Reform and the 2008 Shipping Law, USAID, 2008 Stramindo - JICA, Study on the Development of Domestic Sea Transportation and Maritime Industry, 2005 Straub, S. 2007. “Infrastructure and Development: A Critical Appraisal of the Macro Level Literature.” Mimeo. World Bank. Washington, D.C. Straub, S., Vellutini, C. and M. Warlters. 2008. “Infrastructure and Economic Growth in East Asia.” Policy Research Working Paper. No. 4589. World Bank. Susantono, B. 2009. Memacu Infrastruktur Ditengah Krisis. Pustaka Bisnis Indonesia. Jakarta. Tempo Interaktif, Pemerintah Batal Ambil Alih Proyek Kereta Bandara SukarnoHatta, (Government Cancelled Plan to Take-Over Sukarno-Hatta Rail-link Project), June 29, 2009 Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, and ITB. Kajian Aspek Kemasyarakatan di Dalam Pengembangan Infrastruktur Indonesia. Warta Ekonomi, Kenaikan Airport Tax Digugat Pengguna Layanan (Increase of Airport Tax Challenged by the Service Users), May 1, 2009 World Bank. 1994. World Development Report: Infrastructure for Development. Washington, D.C. World Bank, 2003. “Indonesia: Selected Fiscal Issues in a New Era”. Report 25437:IND. Washington, D.C. World Bank, Infrastructure Development Policy Loan Program Document, 2008 World Bank. 2009. Doing Business, 2008-2009. Washington, D.C. 140