ISBN: 1979-3081 Berbagai Ulasan dan Wawancara bersama: Sri Retno Wulandari, Kisna Pamuji, Silvia T Berbagai Ulasan dan Wawancara bersama: Sri Retno Wulandari, Kisna Pamuji, Silvia T April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 1 Perempuan Bergerak 4 Edisi II April-Juni 2013 Mengapa Kita Perlu Parpol Perempuan? Dengan bertolak dari sejarah gerakan perempuan di Indonesia, berorganisasi bagi perempuan bukanlah hal baru. Dengan dasar itu, menciptakan parpol untuk mengejahwantahkan kepentingan politisnya dalam konteks perubahan bangsa, merupakan peluang besar yang dapat direalisasikan mungkin pasca 2014. Komitmen Partai Politik Rendah Terhadap Keterwakilan Perempuan 8 Banyaknya temuan KPU tentang bacaleg ganda dan masih dibawah umur serta dikuasai dinasti keluarga petinggi parpol menunjukan, bahwa partai politik peserta pemilu 2014 tidak mempunyai keseriusan dalam mempersiapkan calon-calon wakil rakyat. 12 Menciptakan Partai Politik Perempuan 17 Berjuang Melalui Gabriela Women Party 15 Walaupun ada ketentuan kuota 30% keterwakilan perempuan di DPR, angka tersebut belum dapat dicapai. Hal itu terjadi karena tidak ada komitmen partai politik untuk memenuhinya. ................................................................................................. Gabriela menjadi jaringan nasional organisasi akar rumput yang konsen dengan isu hak asasi manusia, kemiskinan, globalisasi, militerisme, kekerasan, kesehatan, trafficking, dan isu lainnya yang mempengaruhi kehidupan perempuan. ................................................................................................. Tidak Mudah Menjadi Pemimpin Perempuan Di tengah masyarakat yang masih didominasi oleh sistem patriakhi, kepemimpinan perempuan masih dianggap tabu. ................................................................................................. 2 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 REMBUG PEREMPUAN Perempuan Bergerak Membangun Komunitas Yang Egaliter Penanggung Jawab: Listyowati Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Dewan Redaksi: Rena Herdiyani, Naning Ratningsih, Ika Agustina, Nani Ekawaty, Rakhmayuni Desain visual: Joko Sulistyo Distribusi: Joko Sulistyo Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl.SMA 14 No. 17 RT/RW 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630. Telp: 021-8004712; Fax: 021-8004712; Email: [email protected]; Website: www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Mewujudkan Agenda Baru Politik Perempuan P erjuangan politik perempuan Indonesia untuk memilih dan dipilih bukanlah agenda baru. Hal ini sudah berlangsung sejak zaman kemerdekaan. Namun perjuangan masih terus dilakukan, karena eksistensi perempuan dalam politik jauh dari memadai. Sebagian besar anggota parlemen Indonesia masih didominasi laki-laki (maskulinisasi politik). Ruang keterwakilan perempuan mulai lebih terbuka setelah Reformasi 1998. Ketetapan kuota 30% perempuan di parlemen, sebagai tindakan afirmatif, diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004, bersamaan dengan perjuangan dan tuntutan gerakan perempuan. Hasilnya, 62 perempuan terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%) Pemilu 2004. Dalam Pemilu 1999, pertama di era reformasi, hanya 45 perempuan dari 500 anggota DPR RI yang terpilih (9%). Keterwakilan perempuan di DPR RI mengalami peningkatan pada Pemilu 2009. Perempuan yang berhasil masuk menjadi anggota parlemen sekitar 18% (sekitar 103 orang). Demikian di tingkat provinsi, berkisar 16% (321 kursi). Di tingkat kabupaten/kota, berkisar 12%. Namun di beberapa kabupaten/kota, ada yang tidak memiliki keterwakilan perempuan sama sekali. Walaupun telah menerapkan sistem kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, namun hingga kini belum mencapai hasil signifikan. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen. Salah satunya, tidak adanya komitmen partai politik dalam rekrutmen. Partai politik hanya mencoba memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan sesuai ketentuan hukum. Akibatnya, partai politik merekrut perempuan yang belum tentu mewakili kepentingan praktis dan strategis perempuan. Ketidakseriusan partai politik untuk memenuhi kuota 30% perempuannya dapat dilihat dari Daftar Caleg Sementara (DCS) Pemilu 2014 yang di keluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum beberapa waktu lalu. Dari DCS yang ada, partai politik cenderung menempatkan perempuan di nomor bawah (“sepatu”). Hanya sedikit perempuan yang ditempatkan di nomor urut 1. Karena itu, sekarang perlu dipikirka agenda baru politik perempuan untuk mendirikan sendiri partai politiknya. Belajar dari pengalaman di Filipina yang memiliki partai politik perempuan yang akan lebih bisa memperjuangkan kepentingan mereka daripada masuk ke partai politik yang dikuasai laki-laki yang tidak memperjuangkan nasib kaum perempuan Indonesia. Semoga terbitan kali ini akan memberi pengetahuan bagi kita tentang situasi politik perempuan saat ini. Selamat membaca! Jakarta, 24 Juni 2013 Joko Sulistyo Redaktur Pelaksana April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 3 4 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 FOKUS Mengapa Kita Perlu Parpol Perempuan TM Suara sah di pemilu 2014 untuk caleg perempuan bukan tak mungkin akan meningkat dari angka yang ada itu, apabila masyarakat pemilih menganggap kehadiran mereka di parlemen sedikit banyak memberikan kontribusi positif bagi kemajuan masyarakat umumnya, bagi kaum perempuan khususnya. Namun demikian, asumsi ini tak bisa berjalan linear, karena banyak faktor turut mempengaruhinya. ak lama lagi Indonesia akan menyelenggarakan Pemilu legislative dan Pilpres 2014. Pemilu yang seperti biasa akan menghabiskan sumber dana negara (APBN dan APBD) dengan kualitas demokrasi yang belum tentu semakin baik. Politik uang dan kecurangan dari tahun ke tahun pemilu ternyata tak banyak berubah. Belum lagi perilaku anggota legislative dan pemerintah yang terpilih yang mengabaikan tugas dan tanggungjawabnya sesuai dengan UU dan aturan yang berlaku. Beberapa kali pemilu pasca Reformasi 1998, sikap politik dan moralitas penyelenggara negara tidak membaik, bahkan cenderung korup. Apatisme rakyat makin parah terhadap pemilu sebagai sarana berdemokrasi. Sejalan dengan akan dilaksanakannya perhelatan itu, partisipasi politik perempuan di parlemen sejak pemilu masa Reformasi 1998, didorong dan dipastikan melalui tindakan afirmatif 30%. Sejak pemilu 1999, jumlah perempuan di parlemen hanya mencapai 11,40%, tahun 2004 mencapai 10,18% dan tahun 2009 mencapai 18%. Berdasarkan data yang ada, pemilu 2009 dengan total suara sah pemilih 104.099.785, maka jumlah suara sah caleg perempuan mencapai 16.134.959, sedangkan suara sah caleg laki-laki mencapai 55.730.151. Suara sah di pemilu 2014 untuk caleg perempuan bukan tak mungkin akan meningkat dari angka yang ada itu, apabila masyarakat pemilih menganggap kehadiran mereka di parlemen sedikit banyak memberikan kontribusi positif bagi kemajuan masyarakat umumnya, bagi kaum perempuan khususnya. Namun demikian, asumsi ini tak bisa berjalan linear, karena banyak faktor turut mempengaruhinya. Salah satu faktor misalnya seberapa jauh parpol pengusung memasarkan caleg perempuannya sedemikian gencar, sehingga tingkat keterpilihannya tinggi. Dari capaian yang ada, 9 partai pemenang pemilu 2009, tidak sesungguhnya memberikan ruang kiprah bagi caleg perempuan. Mereka dipergunakan justru untuk mendongkrak raupan suara parpol. Inilah agenda tersembunyi parpol memasang caleg perempuan di partainya. Beberapa waktu lalu, dari lansiran media massa, diverifikasi semua caleg perempuan di 11 partai peserta pemilu, April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 5 FOKUS jumlahnya kini mencapai 30% lebih. Tekanan KPU untuk memastikan bahwa tiap partai peserta pemilu harus memenuhi kuota 30% caleg perempuan, memaksa parpol mengadopsi peraturan itu. Tanpa tekanan demikian, sulit diharapkan parpol peserta pemilu akan menindak lanjuti aturan yang ada. Berdasarkan kenyataan selama ini, kehadiran aleg perempuan di parlemen sulit dilacak sejauh mana kontribusi mereka bagi kemajuan perempuan, dengan 3 fungsi melekat yang mereka miliki, seperti fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam kurun waktu 2009 sampai 2014, tak banyak legislasi yang pro perempuan dihasilkan, sebaliknya, banyak kebijakan kontra produktif bagi kemajuan perempuan. Anggaran yang mereka hasilkan pun tak banyak membawa perubahan karena tak memiliki perspektif gender di dalamnya. Pengawasan mereka terhadap kinerja eksekutif yang menyelenggarakan program pembangunan juga tak jelas, sehingga capaian pembangunan selama hampir 5 tahun ini, belum banyak mengubah kondisi kehidupan rakyat menuju kesejahteraan dan keadilan 6 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 Berdasarkan kenyataan selama ini, kehadiran aleg perempuan di parlemen sulit dilacak sejauh mana kontribusi mereka bagi kemajuan perempuan, dengan 3 fungsi melekat yang mereka miliki, seperti fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan ekonomis. Dampak lemahnya kinerja aleg perempuan di parlemen, maka kehidupan kaum perempuan menjadi tak pasti. Sederhana saja, bagaimana angka kematian ibu dan anak yang tinggi di Indonesia dapat mereka turunkan melalui UU, anggaran, dan pengawasan? Bagaimana kesetaraan dan keadilan gender mereka dorong melalui UU, anggaran, dan pengawasan? Akan sulit menjawabnya, bila melihat kinerja aleg di parlemen. Tentu kelemahan tersebut tidak tunggal faktor penyebabnya, karena bisa saja dimulai dari parpol yang merekrut mereka. Apakah parpol peserta pemilu memiliki paradigma yang jelas mengenai kesetaraan dan keadilan gender? Kenyataannya tidak demikian, banyak parpol hanya menjadi arena politik laki-laki yang maskulin. Cara pandang patriarkhis begitu kental di dalam parpol sehingga tak ada ruang bagi perempuan untuk mengekspresikan kepentingan strategisnya. Parpol hanya memperalat mereka menjadi juru kampanye dan juru dana. Subordinasi parpol atas kader dan aleg perempuannya menjadi cara mudah membelenggunya. FOKUS Setelah lebih dari satu dekade Reformasi, maka partisipasi perempuan dalam politik tak bisa diterjemahkan hanya menjadi bagian arus besar politik laki-laki yang maskulin. Dengan fakta peroleh suara sah yang cukup signifikan, harusnya gerakan perempuan bergerak lebih jauh untuk mentransformasikan dirinya menjadi gelombang kesadaran baru guna menciptakan mesin politiknya sendiri. Mereka tak perlu lagi menumpangi kenderaan yang tak bisa mereka kendalikan. Mereka dapat menyetir kendaraan politiknya secara bebas dan merdeka. Contoh paling menarik, parpol perempuan Gabriella di Filipina, yang berangkat dari koalisi gerakan perempuan. Di tengah peluang demokrasi yang terbuka di Filipina, mereka lalu mentransformasikan gerakannya menjadi mesin politik baru, dengan membentuk parpol perempuan. Dalam perjalanannya, parpol ini berkompetisi dengan parpol lainnya di Filipina untuk ikut pemilu. Saat ini, beberapa kader mereka sudah menduduki kursi senat. Mereka juga secara leluasa bisa menyuarakan kepentingan politik perempuan yang akan sangat sulit disuarakan apabila melalui parpol umum yang masih bersifat maskulin. Isu-isu perempuan secara khas dapat mereka perjuangkan di parlemen melalui kebijakan-kebijakan, dan memaksa Dengan bertolak dari sejarah gerakan perempuan di Indonesia, berorganisasi bagi perempuan bukanlah hal baru. Dengan dasar itu, menciptakan parpol untuk mengejahwantahkan kepentingan politisnya dalam konteks perubahan bangsa, merupakan peluang besar yang dapat direalisasikan mungkin pasca 2014 pemerintahan Filipina menciptakan program pro perempuan. Mereka juga memiliki kekuatan bernegosiasi dengan parpol lainnya, sehingga menambah keterpercayaan masyarakat luas di Filipina untuk mendukung mereka, dengan meningkatnya perolehan suara pemilu mereka. Oleh sebab itu, perempuan sudah saatnya menciptakan sendiri parpolnya agar dapat belajar berpolitik praktis yang lebih optimal, tanpa terganggu kepentingan politik parpol yang selama ini begitu bias gender. Dengan bertolak dari sejarah gerakan perempuan di Indonesia, berorganisasi bagi perempuan bukanlah hal baru. Dengan dasar itu, menciptakan parpol untuk mengejahwantahkan kepentingan politisnya dalam konteks perubahan bangsa, merupakan peluang besar yang dapat direalisasikan mungkin pasca 2014. Tujuannya bukan sematamata untuk mengikuti pemilu, melainkan mampu menyeimbangkan antara kekuatan politik parlemen dengan politik ekstra parlementer. Dalam jangka panjang, kemungkinan untuk mengikuti pemilu pasti terbuka lebar. *****(HG) April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 7 OPINI Komitmen Partai Politik Rendah Terhadap Keterwakilan Perempuan Banyak persyaratan harus dipenuhi oleh partai politik untuk bisa menjadi peserta pemilu di 2014. Walaupun demikian, nyatanya hal itu tidak menyurutkan partai politik mendaftarkan diri. Dalam proses pendaftaran itu, sedikitnya 60 partai politik yang mendaftar yang terdiri atas 46 parpol lama dan 14 parpol baru. T ahun 2014 yang akan datang Indonesia kembali mempunyai hajat besar yakni pesta demokrasi yang dikenal dengan Pemilu. Pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dalam kesempatan ini, masyarakat berkesempatan untuk memilih wakil rakyatnya untuk DPR, DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPD). Selain itu, rakyat juga akan kembali memilih presiden dan wakilnya yang akan berkuasa selama lima tahun ke depan. Persiapan pesta demokrasi sudah dimulai jauh-jauh hari, termasuk pendaftaraan partai politik peserta pemilu. Pendaftaran partai politik telah dimulai pada 9 Agustus-7 September 2012. Sementara verifikasi partai politik dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum mulai 11 Agustus-30 september 2012. Pada tahap ini, KPU telah merevisi Peraturan KPU No. 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Parpol Calon Peserta Pemilu 2014 menjadi PKPU No. 12 Tahun 2012. Perubahan peraturan itu sebagai konsekuensi logis Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 52/ PUU-X/2012, atas perkara permohonan Pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 8 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu keputusan Mahkamah Konstitusi No. 52 /PUU-X/2012 adalah membatalkan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa ”yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru”.Oleh karena itu, menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 selengkapnya menjadi: KPU mengumumkan 3 partai politik yang seluruh nama bacalegnya tidak ada satu pun yang memenuhi persyaratan. Ketiga parpol tersebut adalah PKS, PPP dan PKPI. Selain itu, KPU juga menemukan 24 nama bacaleg yang terindikasi terdaftar ganda. (2). Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: 1. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; 2. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; 3. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; 4. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; 5. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan OPINI 6. 7. 8. 9. perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU; Banyak persyaratan harus dipenuhi oleh partai politik untuk bisa menjadi peserta pemilu di 2014. Walaupun demikian, nyatanya hal itu tidak menyurutkan partai politik mendaftarkan diri. Dalam proses pendaftaran itu, sedikitnya 60 partai politik yang mendaftar yang terdiri atas 46 parpol lama dan 14 parpol baru. Sementara setelah melalui proses verifikasi administrasi, pada 28 Oktober 2012 KPU kembali mengumumkan nama parpol yang lolos. Dan pada 8 Januari 2013, berdasarkan sidang pleno yang dituangkan dalam Keputusan KPU No. 05/KPTS/ KPU/2013, menetapkan 10 Parpol yang lolos verifikasi faktual dan akan menjadi peserta pemilu 2014. Dalam perjalanannya setelah melalui beberapa proses, 2 partai politik lagi dapat menjadi peserta pemilu tahun 2014. sebanyak 2.439 orang perempuan dan 4.139 orang laki-laki. KPU pun telah mengumumkan hasil verifikasi DCS 12 parpol peserta pemilu. Dari hasil verifikasi yang KPU hanya ada 1.327 bacaleg yang memenuhi persyaratan, dan 4.701 (71,5%) bacaleg dinyatakan tak memenuhi persyaratan yang ditentukan UU. Kekurangan persyaratan tersebut bervariasai, yakni kurang lengkap menyertakan ijazah, fotocopy KTP atau KTA, bahkan ada bacaleg yang tidak melampirkan semua dokumen persyaratan yang diminta. Tak dipenuhinya persyaratan yang ditentukan untuk mendaftar sebagai caleg tidak hanya terjadi untuk pencalonan di DPR RI, tetapi juga di DCS provinsi dan kabupaten/kota. Di Makasar, KPU Kota Makasar menemukan sejumlah caleg yang hanya berijazah SD dan di bawah umur atau belum berumur 21 tahun sebagai usia minimal pencalegan. Padahal dalam aturan yang ada, pendidikan caleg minimal SMA atau sederajat. Selain itu, juga tidak diserahkannya fomulir BB 8 yang menjelaskan jika yang bersangkutan tidak sedang pailit dan BB 9 yakni surat keterangan tidak pernah dijatuhi pidana penjara dengan ancaman lima tahun atau lebih. Sedangkan di KPU provinsi Sulsel, ditemukan banyak nama yang tidak sesuai dengan KTP. KPU juga mengumumkan 3 partai Sebagian besar partai politik mengklaim bahwa mereka telah memenuhi 30% kuota perempuan, bahkan melebihi persyaratan yang ditentukan. Namun berdasarkan catatan KPU, umumnya partai belum memenuhi kuota 30% caleg perempuan di satu atau dua dapil. Parpol-parpol tersebut adalah PKB, PDI-P, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PPP, PBB dan PKPI. DCS Amburadul Proses selanjutnya yang harus dilakukan oleh partai politik peserta pemilu untuk menghadapi pesta demokrasi tahun 2014 mendatang yakni menyerahkan daftar calon legislatif yang akan memperebutkan posisi anggota legislatif baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Daftar Caleg Sementara (DCS) sudah diserahkan oleh 12 partai politik, dan KPU telah mengumumkan siapa saja yang diusung parpol untuk memperebutkan kursi di DPR RI. Berdasarkan data KPU, 6.578 orang caleg DPR masuk Daftar Caleg Sementara (DCS) yang diserahkan oleh 12 partai politik. Dari total jumlah tersebut, April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 9 OPINI politik yang seluruh nama bacalegnya tidak ada satu pun yang memenuhi persyaratan. Ketiga parpol tersebut adalah PKS, PPP dan PKPI. Selain itu, KPU juga menemukan 24 nama bacaleg yang terindikasi terdaftar ganda. Berdasarkan data KPU, ada beberapa varian bacaleg ganda. Pertama, satu nama terdaftar di dua parpol. Kedua, satu nama terdaftar di dua atau tiga daerah pemilihan. Ketiga, satu nama terdaftar sebagai caleg untuk dua lembaga legislatif, misalnya di DPR sekaligus DPRD tingkat provinsi atau kabupaten/kota. KPU menyediakan waktu bagi parpol untuk memperbaiki DCS-nya dari tanggal 9-22 Mei 2013. Pada periode ini, parpol juga boleh mengganti nama calegnya yang pindah parpol. Carut marut DCS tidak hanya pada persyaratan dan indikasi caleg ganda. Tapi juga didominasi nama-nama artis dan publik figur. Sejumlah nama artis dipasang oleh partai politik sebagai calon anggota legislative. Berdasarkan catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), hanya 3 parpol yang tidak mengusung artis sebagai caleg, yakni PKS, PKPI, dan PBB. Sementara partai yang paling banyak mengusung artis atau publik figur adalah PAN dan Gerindra, masingmasing 9 orang, disusul PKB (7 orang), Nasdem (6 orang), Partai Demokrat dan PDIP masing-masing 5 orang, PPP (4 orang), serta Golkar dan Hanura masingmasing 3 orang. Fenomena politik dinasti juga menjadi keprihatinan tersendiri dalam DCS yang ada. Hampir semua partai politik 10 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 mengajukan calon anggota legislatif yang saling punya hubungan keluarga. Banyak petinggi partai politik yang masuk dalam DCS dan ditaruh di nomor-nomor urut pertama. Partai Demokrat misalnya, memasang Edhie Baskoro Yudoyono (Putra SBY, Jawa Timur VII, No. 1), Hartanto Edhie Prabowo (adik ipar SBY, Banten III, No. 1), Agus Hermanto (adik ipar SBY, Jawa Tengah I, No.1), Lintang Pramesti (Anak Agus Hermanto, Jawa Tengah I, No. 3), Sartono Hutomo (Sepupu SBY, Jawa Timur VII, No. 2), dan banyak lagi. Selain dekat dengan petinggi partai, DCS juga dipenuhi oleh suami istri maupun anak menantu. Keseriusan Partai Politik? Banyaknya temuan KPU tentang bacaleg ganda dan masih dibawah umur serta dikuasai dinasti keluarga petinggi parpol menunjukan, bahwa partai politik peserta pemilu 2014 tidak mempunyai keseriusan dalam mempersiapkan calon-calon wakil rakyat. Padahal para calon itulah nantinya yang akan menjadi penentu kesejahteraan rakyat, karena mereka yang akan membuat kebijakan-kebijakan. Di tangan-tangan wakil rakyat yang disiapkan oleh parpol itulah nasib rakyat dipertaruhkan. Sayangnya, partai politik tidak menganggap hal tersebut serius dan penting. Mereka cenderung asal comot dan tidak memperhitungkan kualitas calon yang ada. Fenomena artis dan dinasti keluarga memberikan gambaran nyata bahwa partai politik sebenarnya tidak mempunyai kader yang kompeten yang bisa bertarung di ranah politik yang benar-benar bisa memperjuangkan nasib rakyatnya. Padahal parpol sebagai salah satu institusi demokrasi memiliki peranan yang penting dalam melahirkan pemimpin yang akan menuntun arah pembangunan bangsa. Caleg-caleg yang tidak memenuhi syarat juga menjadi satu hal yang memprihatinkan, mengingat sejak 11 Januari 2013, parpol yang sudah dinyatakan lolos verifikasi sudah tahu harus menyiapkan daftar caleg sementara untuk kemudian diserahkan kepada KPU paling lambat 22 April 2013. Artinya, parpol yang lolos verifikasi memiliki jeda waktu selama 100 hari untuk mempersiapkan calegnya dan melengkapi persyaratan. Nyatanya, hanya 1.327 bacaleg yang memenuhi OPINI persyaratan, bahkan 3 parpol yang 100% calegnya tidak memenuhi persyaratan. Seleksi administratif hanya langkah awal rangkaian proses yang dijalani para calon anggota legislatif. Kalau dalam proses yang paling sederhana saja tak bisa memenuhinya, bagaimana mereka akan menuju proses selanjutnya? Selain itu, komitmen untuk memenuhi persyaratan saja tidak ada, bagaimana komitmen untuk mensejahterakan rakyat? Tanggung jawab yang lebih besar daripada hanya menyiapkan persyaratan pendaftaran, seperti fotocopy ijazah yang dilegalisir? Carut marutnya DCS memberikan gambaran bahwa selama ini partai politik tidak mempunyai kader. Calon-calon anggota legislatif tidak disiapkan sedini mungkin, sehingga ketika sampai batas akhir pendaftaran, parpol cenderung asal comot tanpa memperhitungkan kualitas calegnya. Keterwakilan Perempuan dalam DCS? Persyaratan lain yang harus dipenuhi adalah keterwakilan 30 persen perempuan dalam DCS di seluruh daerah pemilihan sesuai Pasal 27 Ayat (2) Huruf b Peraturan KPU No. 7 Tahun 2013. Pasal tersebut menyebutkan, apabila ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan tak terpenuhi, maka partai politik dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal calon di daerah pemilihan bersangkutan dalam Pemilu 2014. Sebagian besar partai politik mengklaim bahwa mereka telah memenuhi 30% kuota perempuan, bahkan melebihi persyaratan yang ditentukan. Namun berdasarkan catatan KPU, umumnya partai belum memenuhi kuota 30% caleg perempuan di satu atau dua dapil. Parpol-parpol tersebut adalah PKB, PDI-P, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PPP, PBB dan PKPI. Terkait penempatan caleg perempuan, hampir semua parpol masih memiliki beberapa dapil yang memenuhi syarat. Menurut data KPU, hanya PKS dan Partai Hanura yang memenuhi syarat keterwakilan perempuan secara mulus. Terpenuhinya kuota 30 persen bakal calon anggota legislatif perempuan untuk Pemilu 2014, menunjukkan bahwa sesungguhnya bukan hal yang sulit bagi partai untuk mengajukan calon perempuan, jika partai politik menginginkannya. Sayangnya, keinginan tersebut harus dipaksa dengan kebijakan dan juga persoalan pengkaderan, maka parpol cenderung mengalami kebingungan memenuhi kewajiban tersebut. Sementara di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, masih beberapa partai yang belum memenuhi persyaratan tersebut. KPU Kabupaten Ponorogo, Yogyakarta misalnya menyatakan bahwa satu partai politik yang tidak memenuhi persyaratan 30% caleg perempuan, Partai tersebut adalah PKPI. Sementara itu, KPU Kota Tangerang Selatan menemukan empat caleg perempuan tidak memenuhi syarat minimal usia atau masih di bawah umur. Formappi menemukan 8 partai yang mempunyai caleg yang ganda alias lebih dari satu daerah pemilihan bahkan juga menjadi caleg dari partai lain secara bersamaan. Walaupun semua partai politik mengklaim telah memenuhi persyaratan untuk memenuhi kuota 30% caleg perempuan, bahkan mengaku melebihinya, namun jika diamati di DCS yang dipublikasikan KPU, nama-nama perempuan masih ditempatkan di nomor urut terakhir. Skema yang dipakai oleh parpol masih sama dengan Pemilu 2009 sebelumnya, yakni menempatkan perempuan di nomor urut 3, 6, dan 9 seterusnya. Hanya sedikit perempuan yang ditempatkan di nomor urut 1. Berdasarkan analisis Perludem hanya 5,52% bacaleg perempuan yang mendapatkan nomor urut 1. Sementara bacaleg perempuan yang mendapatkan nomor urut 2 (9,43%), nomor 3 (25,81%), nomor urut 4 (6,03%), nomor urut 5 (10,86%), nomor urut 6 (20,07%), nomor urut 8 (7,35%), nomor urut 9 (5,27%), dan nomor urut 10 (0,57%). Hasil analisa Perludem tersebut jelas terlihat bahwa komitmen partai politik terhadap perempuan masih sangat rendah. Perempuan tidak dilihat sebagai kelompok yang besar dan memiliki potensi yang kuat. Sebagian besar partai politik menempatkan perempuan di nomor urut 5 dan 6, di mana nomor ini kemungkinan jadinya sangat kecil. Sementara nomor urut 1 biasanya diduduki oleh laki-laki atau penguasa partai politik terkait. Perempuan yang mendapatkan nomor urut 1 juga mereka yang dekat dengan para petinggi partai, entah itu istri, adik, anak, menantu, ibu, mertua, dan lainnya. Jarang perempuan yang benar-benar mampu dan berkomitmen berjuang di parlemen ditempatkan di nomor urut 1. Perempuan direkrut hanya untuk memenuhi kewajiban kuota 30%, tetapi tidak diperhitungkan kualitas dan kemungkinannya terpilih menjadi anggota parlemen. *****(JK) April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 11 WARTA PEREMPUAN Menciptakan Partai Politik Perempuan P “Partai politik tidak ada komitmen sama sekali, untuk memenuhi kuota itu dan perempuan hanya dijadikan alat untuk meng-’goal’-kan apa yang mereka inginkan, tetapi untuk komitmen mereka sendiri tidak ada.” 12 ada Agustus 2013 yang akan datang, bangsa Indonesia akan menginjak usia yang ke-68 tahun. Namun dalam usia yang sudah tidak muda lagi itu, Indonesia masih memiliki segudang soalan dalam hal keterwakilan perempuan. Selama negara ini berdiri, belum pernah memiliki keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 30%, “angka kritis” yang harus dicapai untuk memungkinkan perubahan. Padahal hingga hari ini banyak persoalan yang dihadapi oleh perempuan Indonesia, dalam konteks itu. Angka tertinggi keterwakilan perempuan di DPR terutama untuk DPR RI, baru mencapai 18% periode Pemilu 2009-2014. Sementara sebelumnya, angkanya cenderung kecil. Periode Pemilu 1955-1960 misalnya, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya 5,06%. Kemudian Pemilu 1971-1977, naik menjadi 7,16 % dan mengalami peningkatan pada Pemilu 1977-1982 menjadi 8,04 dan Pemilu 1982-1987 menjadi 9,13%. Pemilu 1987-1992, keterwakilan perempuan di DPR RI meningkat menjadi 11,60 % dan meningkat lagi menjadi 12,60% pada Pemilu 1992-1997. Reformasi tahun 1998 turut membuka ruang demokrasi elektoral bagi perempuan, yang juga berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan. Pasca reformasi keterwakilan perempuan di parlemen sempat mengalami penurunan pada Pemilu 1999-2004, yang turun menjadi 11,40% dan kembali turun di Pemilu 2004-2009 menjadi 10,18%. Keterwakilan perempuan meningkat lagi pada Pemilu 2009-2014 menjadi 18%. Meningkatnya keterwakilan perempuan di DPR tak terlepas dari perjuangan gerakan perempuan untuk membuat perubahan bangsa. Gerakan perempuan terus mendorong agar ada aturan perundang-undangan yang dapat menjamin proses politik yang memberikan kepastian Perempuan Bergerak April - Juni 2013 keterwakilan perempuan di semua tingkatan. Perjuangan gerakan perempuan membuahkan hasil dengan adanya ketentuan kuota 30% perempuan di DPR. Walaupun ada ketentuan kuota 30% keterwakilan perempuan di DPR, angka tersebut belum dapat dicapai. Hal itu terjadi karena tidak ada komitmen partai politik untuk memenuhinya. “Partai politik tidak ada komitmen sama sekali, untuk memenuhi kuota itu dan perempuan hanya dijadikan alat untuk meng-’goal’-kan apa yang mereka inginkan, tetapi untuk komitmen mereka sendiri tidak ada. Hal tersebut terbukti, misalnya bagaimana kaderisasi terhadap anggotanya, terlebih anggota perempuan, apa yang mereka lakukan, tidak ada”, ungkap Filomena Dias, dari Kajian Gender UI. Selain itu, proses rekrutmen parpol tidak jelas, karena hanya memenuhi aturan tanpa argumentasi yang disadari secara adil gender. “Cuma lipservices, dalam artian, kualitas perempuan tidak dilihat. Mereka hanya menempatkan, tetapi tidak dilihat kualitasnya dan bobot pestasinya”, demikian Nunung Fatma, Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia DKI Jakarta. Tak adanya caleg perempuan yang berkualitas karena pendidikan partai politik di semua partai tidak berjalan. Itu terjadi karena selama ini parpol berbau laki-laki. Hal itulah yang membuat WARTA PEREMPUAN perempuan enggan untuk terlibat dalam politik. Meskipun ia telah menjadi kader parpol, dengan berbagai pertimbangan, termasuk sulitnya untuk masuk menjadi anggota parlemen, menjadikan perempuan engan untuk dicalonkan. “Banyak kader perempuan yang menolak untuk dijadikan caleg, dengan beragam, alasan, khususnya financial. Daftar antri kader perempuan panjang, tetapi yang “nyaleg” tidak mau. Karena kita sudah berpartai, paradigma yang berlaku adalah politic is man”, demikian Sahat Tarida. Adanya ketentuan 30% pencalegan perempuan kemudian dimanfaatkan oleh “Banyak kader Sahat untuk bertarung memperebutkan perempuan yang posisi menjadi anggota DPR. Walaupun menolak untuk sebelumnya kuota 30% perempuan sebagai dijadikan caleg, dengan demokrasi Liberal, Sahat mengaku telah beragam, alasan, diuntungkan dengan adanya ketentuan khususnya financial. tersebut. “Kuota 30% perempuan, Daftar antri kader beberapa tahun yang lalu pandangan perempuan panjang, saya adalah demokrasi liberal, kenapa tetapi yang “nyaleg” harus menjadi 30%. Tetapi saat ini tidak mau. Karena diuntungkan dengan kuota 30%, sehingga kita sudah berpartai, tak terlalu berat untuk masuk dalam paradigma yang berlaku arena pertarungan elektoral”, Sahat adalah politic is man” menambahkan. Kententuan kuota 30% perempuan di DPR merupakan tindakan afirmasi (affirmative action). Dengan kebijakan tersebut, diharapkan ada peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga DPR. Tindakan afirmatif diperlukan karena selama ini masalah-masalah khusus perempuan luput dalam kebijakan-kebijakan negara. Untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR melalui tindakan afirmatif kemudian dikenal sistem kuota, yakni penetapan jumlah tertentu atau persentase sebuah badan, kandidat, majelis, komite atau suatu pemerintah. Kuota untuk perempuan bertujuan, setidaknya, menjadi “minoritas kritis” (critical minority) yang terdiri atas 30 atau 40 persen. Ide dasar kuota ialah memastikan bahwa perempuan akan masuk dan terlibat dalam politik sekaligus tidak menjadi kelompok masyarakat yang mengalami isolasi. Penetapan jumlah tertentu perempuan dalam politik harus secara nyata dituangkan dalam bentuk perundang-undangan. Selama ini, pelaksanaan kuota dilakukan melalui penetapan dalam Konstitusi, peraturanperaturan dalam undang-undang Pemilu atau Partai Politik, dan komitmen informal partai politik. Angka 30% diyakini sebagai “angka kritis” yang harus dicapai untuk memungkinkan suatu perubahan. Angka 30 persen menunjukkan “massa kritis” yang akan memberikan dampak terhadap kualitas keputusan yang diambil dalam lembagalembaga publik (DPR). Jumlah 30% ditetapkan untuk menghindari dominasi jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik. Dengan kata lain, jumlah keterwakilan lakilaki maupun perempuan tidak boleh lebih dari 70%. Mengapa perempuan terlibat politik? Perempuan berjumlah hampir setengah dari total penduduk Indonesia. Namun kepentingan perempuan selalu diabaikan. Perempuan belum dilihat sebagai kelompok yang mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi proses demokrasi, sebagai pembagian kekuasaan. Akhirnya, posisi perempuan pun makin terpinggirkan. Dalam kancah perpolitikan, perempuan April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 13 WARTA PEREMPUAN dijadikan sebagai pembantu, mereka belum memegang peran yang sangat penting. Akibatnya, kepentingan perempuan selalu ditinggalkan. Perempuan sangat penting terlibat dalam proses demokrasi terutama dalam pembuatan kebijakan-kebijakan publik. Karena hanya mereka sendiri yang tahu apa kebutuhannya. “Karena ketika berbicara mengenai persoalan perempuan, dia yang lebih tahu, oleh karena itu dengan kehadiran perempuan di parlemen, dia akan mengakomodir persoalan-persoalan perempuan, yang laki-laki pada umumnya tidak tahu dan menganggap itu tidak penting, padahal itu penting”, ungkap Mena. Melihat kondisi di lapangan, yang mana angka kematian ibu dan anak masih sangat tinggi, juga angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, dan perempuan terus mengalami berbagai diskriminasi. Sangat penting perempuan duduk dalam lembaga legislatif. Perempuan dapat menyuarakan kebutuhannya di tingkat pembuat kebijakan, karena memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dipahami paling baik oleh perempuan itu sendiri, seperti: kesehatan reproduksi (KB yang aman), kesejahteraan keluarga (harga sembilan bahan pokok yang terjangkau); kesehatan dan pendidikan anak; kelompok usia lanjut dan tuna daksa; kekerasan seksual. Dalam banyak kasus, keterlibatan perempuan mampu memperbaiki masalah-masalah yang sering menghambat laju pembangunan. “Oleh karena itu, keterwakilan perempuan penting; kalau tidak ada perempuan, pemikiran-pemikiran lakilaki yang ada di situ, di mana pemikiran perempuan? Sedangkan isu-isu perempuan sekarang banyak sekali. Banyak persoalan perempuan yang bagi kaum laki-laki itu tidak penting, hal yang biasa”, Mena menambahkan. Namun banyak perempuan yang belum berani masuk menjadi anggota partai politik, sebagai langkah awal untuk terlibat dalam politik praktis. Selama ini, masih ada pandangan miring terhadap perempuan yang aktif di partai politik. Hal itu terjadi karena selama ini politik dipahami sebagai “arena” bagi laki-laki. Politik masih dilihat sebagai suatu yang kotor. “Tinggal kita berani tidak menceburkan diri dalam partai 14 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 politik dan masuk ke dalamnya. Tidak banyak perempuan maupun LSM yang mau berpolitik. Menganggap politik itu kotor, lebih baik di luar parlemen dan luar partai”, pendapat Ika Wahyu Prihatini. Tantangan politik perempuan “Oleh karena itu, keterwakilan perempuan penting; kalau tidak ada perempuan, pemikiranpemikiran laki-laki yang ada di situ, di mana pemikiran perempuan? Sedangkan isu-isu perempuan sekarang banyak sekali. Banyak persoalan perempuan yang bagi kaum laki-laki itu tidak penting, hal yang biasa” Perempuan menghadapi banyak tantangan ketika akan masuk menjadi anggota parlemen. Walaupun ada ketentuan 30% perempuan dalam pencalegan, tetapi hal tersebut belum menjamin perempuan dapat masuk ke parlemen. Dibutuhkan kerja keras bagi caleg perempuan untuk merebut posisi tersebut. Terlebih komitmen partai politik yang masih sangat rendah terhadap keterwakilan perempuan. Nunung Fatma, sebagai orang yang pernah merasakan mencalegan diri pada Pemilu 2009-2014 lalu mengungkapkan bahwa di partai politik untuk mendapatkan nomor urut sangat sulit. Itu sebabnya perempuan ditempatkan di nomor urut buncit. Selain itu sulit mendapatkan dukungan orang yang mempunyai kompetensi. “Teman-teman harus melihat bahwa tidak segampang itu perempuan aktivis masuk di ranah perpolitikan. Ketika masuk partai, ada hal-hal yang lebih mempersulit lagi ketika kita maju sebagai caleg, kita bukan hanya penghias partai tapi kita harus mengambil posisi. Posisi-posisi ini akan dipersulit jika kita bukan kader. Pertarungan-pertarungan sebagai aktivis perempuan yang masuk ke partai politik, maka di caleg pun perlu pertarungan yang kuat, dan teman-teman harus tahu itu”, demikian Nunung Fatma. Berbicara mengenai “partai politik perempuan”, menurut Ika, ia masih pesimis, melihat masih sedikitnya aktivis perempuan yang berani masuk partai. “Jangan bicara partai politik baru, bahkan di kalangan organisasi perempuan, ketika pengurusnya masuk partai politik, itu dianggap sudah keluar dari organisasi, harus mengundurkan diri, dianggap itu berpolitik praktis yang tidak dilakukan oleh organisasi”, demikian Ika berpendapat. *****(JK) WARTA KOMUNITAS Tidak Mudah Menjadi Pemimpin Perempuan “Dulu awalnya saya tidak mau ikut nyalon, saya bilang bapaknya aja (suami) yang maju, karena saya merasa tidak bisa, tapi karena suami dan keluarga mendukung ya bismillah, saya maju dan akhirnya menang” “Menjadi perempuan pemimpin memang tidak mudah”, kata itulah yang pertama kali meluncur dari mulut seorang perempuan bernama Nurliyanti. Kata tersebut tandas diucapkan saat Perempuan Bergerak mengajaknya berbincang tentang kiprahnya sebagai Kepala Dusun di sebuah dusun yang terletak di perbukitan Menoreh atau tepatnya di desa Banjaroya, Kalibawang, Kulonprogo. Di tengah masyarakat yang masih didominasi oleh sistem patriakhi, kepemimpinan perempuan masih dianggap tabu. Tak heran jika kata-kata tersebut muncul darinya. Namun tantangan untuk menjadi pemimpin perempuan dapat Nurliyanti jalani. Ibu berputri dua ini merupakan satu-satunya kepala dusun perempuan yang pernah ada di desa Banjaroya. “Dulu awalnya saya tidak mau ikut nyalon, saya bilang bapaknya aja (suami) yang maju, karena saya merasa tidak bisa, tapi karena suami dan keluarga mendukung ya bismillah, saya maju dan akhirnya menang”, ujarnya saat menceritakan awal keterlibatannya menjadi kepala dusun (dukuh). Meskipun sejak awal dirinya tidak terlalu berharap untuk menang, namun saat pemilihan dirinya mampu mengalahkan empat calon lainnya. “Ya perasaannya senang dan tak senang; senang karena terpilih dan tak senang karena beban saya pasti akan tambah berat”, ungkapnya saat ditanya perasaannya ketika memenangkan pemilihan. Dalam perjalanannya memimpin dusun Tonogoro, memang tak selamanya berjalan mulus. Kendala sekaligus tantangan terbesar yang dihadapi ialah masyarakatnya sendiri. “Penolakan sih nggak ada, tapi protes dan ‘ngrasani’ itu yang paling sering, tapi ya saya tanggapi positif saja karena memang orang kan ada yang senang dan tidak sama kita”, jelasnya panjang lebar. Terkadang Nurliyanti sendiri merasa bebannya begitu berat, karena sering banyak yang masih meragukan dirinya bisa memimpin. “Ya biasalah karena kata orang, perempuan itu pendek langkahnya, jadinya mungkin banyak orang meragukan saya yang seorang perempuan. Mungkin dipikir perempuan kok jadi kadus”, ungkapnya. Meskipun begitu, perempuan berperawakan kecil ini tetap optimis dirinya mampu membangun dan membuat perubahan didusunnya. “Saya hanya ingin April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 15 WARTA KOMUNITAS membuat perubahan walaupun kecil. Dari dulu belum ada perempuan yang menjadi lurah maupun kadus di desa ini. Saya coba membuat perubahan dengan maju sebagai dukuh, meskipun kerja saya juga belum banyak yang maksimal, tapi minimal saya sudah mencoba”, jelasnya. “Terkadang, jujur saya merasa berat menjadi pemimpin apalagi saya perempuan. Saat harus tugas saya juga harus menyelesaikan peran saya di rumah sebagai ibu, apalagi Kirana (anak bungsunya) masih kecil, jadi tidak mungkin saya tinggal-tinggal”, jelasnya. Sejak dirinya terpilih menjadi kepala dusun, Nurliyanti memang bertekad untuk menyejahterakan warganya, maka tidak heran jika program-program yang sifatnya untuk kebaikan warganya akan selalu diberikan dengan maksimal. “Sampai kini alhamdulilah jalan-jalan di dusun ini sudah di corn block, jadi tidak licin dan berbahaya lagi. Kegiatan posyandu berjalan rutin, dan kesehatan balita kita pantau terus”, terangnya. Saat ditanya mengenai pentingnya perempuan berpolitik, Nurliyanti mengatakan jika hal itu merupakan sesuatu yang penting, maka “Sebenarnya perempuan itu juga penting berpolitik seperti menjadi RT atau kadus atau lurah, karena selama ini sebenarnya kebutuhan perempuan itu banyak, tapi yang menjadi pemimpin banyak yang laki-laki. Saya mendukung jika ada banyak perempuan yang juga menjadi pemimpin”, tegas ibu Erna dan Kirana ini. *****NR 16 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 SOSOK Liza Maza: Berjuang Melalui Gabriela Women Party Sebagai bagian dari sebuah proses demokrasi dalam berbangsa, hingga kini wajah politik di seluruh dunia masih didominasi oleh kaum elit. Kancah perpolitikan masih dikuasai oleh kaum laki-laki dan kalangan berduit. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih sangat kental terjadi di arena politik. Wajah politik menjadi sangat maskulin dan bengis terhadap masyarakat. Perempuan dan kelompok marginal lainnya makin terpinggirkan dari ranah perpolitikan. Definisi politik, jika mengacu pada Ramlan Surbakti (1999:1) adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Dari pendapat ini dapat disimpulkan, bahwa politik merupakan sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sehingga apapun program yang akan dilaksanakan pemerintah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, di mana tujuan yang dicitacitakan dapat dicapai dengan baik. Sebagai proses pembentukan dan Gabriela menjadi pembagian kekuasaan dalam masyarakat, jaringan nasional seharusnya wajah politik dapat organisasi akar rumput mengakomodir kalangan terpinggirkan. yang konsen dengan Dengan demikian, keputusan yang diambil isu hak asasi manusia, benar-benar atas kepentingan rakyat. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkannya pun kemiskinan, globalisasi, benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat. militerisme, kekerasan, kesehatan, trafficking, Namun, hal tersebut masih jauh dari realitas dan isu lainnya yang yang ada. mempengaruhi Politik menjadi satu hal yang sangat kehidupan perempuan. kotor. Di dalamnya penuh intrik. Tak heran jika perempuan lebih sering menghindari bersentuhan dengan dunia politik. Mereka cenderung enggan untuk terjun ke dunia politik. Ditambah lagi, masih kuatnya pemahaman bahwa ruang publik hanya diperuntukan bagi laki-laki, sementara perempuan harus berada dalam ruang domestik. Politik selama ini dipahami sebagai ruang milik laki-laki, perempuan dianggap tabu bersentuhan dengan dunia politik. Ruang-ruang politik untuk perempuan belum terbuka dengan lebar. Partai politik sebagai kendaraan berpolitik, tidak membuka ruang bagi perempuan. Walaupun sudah banyak aturan yang mengharuskan mengakomodir perempuan, nyatanya hal tersebut belum diimplementasikan dengan baik. Akibatnya, perempuan pun makin jauh dari ranah politik. Jika ada perempuan yang dapat terlibat dikancah politik, masih terbentur dengan berbagai aturan yang ada. Partai politik yang sangat maskulin menjadi tantangan yang sangat berat bagi perempuan ketika akan terjun ke dunia politik. Partai politik pun cenderung membawa misinya masing-masing. Tapi perempuan selalu tidak diperhitungkan sebagai kelompok masyarakat yang penting. Dengan kondisi yang demikian, ada dua pilihan yang bisa diambil oleh perempuan. Pertama, masuk menjadi anggota partai politik yang sudah ada dan mencoba merebut posisi-posisi strategis. Nyatanya hal ini tidak mudah, karena hingga saat ini, partai politik belum ramah terhadap perempuan. Pilihan kedua adalah perempuan membuat partainya sendiri. April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 17 SOSOK Terjun bebas dalam arena perpolitikan. Hal ini pun tentu tidak mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi. Selain itu juga harus menyamakan persepsi terlebih dulu dari gerakan perempuan yang sudah ada. Sedikitnya representasi perempuan yang terjun ke dunia politik, terutama juga keterwakilan perempuan di parlemen tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di negara lain, seperti di Pilipina. Di negara ini, politik juga masih didominasi oleh kelompok-kelompok elite dan orangorang yang memiliki kekuasaan serta didikte oleh orang-orang asing yang cukup berpengaruh pada kelompok elite. Walaupun pemerintahan Marcos sudah selesai dan sistem pemerintahannya sudah berubah menjadi demokrasi, tetapi tetap saja yang terjadi adalah demokrasi elit. Terjadi tekanan terhadap HAM dan kaum miskin dan kepentingan masyarakat secara umum tidak dipedulikan masyarakat dan kepentingan perempuan dimarjinalkan. Kelompok perempuan marjinal tidak mempunyai tempat dalam situasi politik seperti ini. Berlatar belakang adanya diktator kepemimpinan kemudian kelompok perempuan di Pilipina mulai bergerak untuk melawan sistem yang ada dan yang tidak pernah mempedulikan kelompok marginal, termasuk perempuan di dalamnya. Tahun 1984, didorong oleh perlawanan terhadap kediktatoran Marcos dan kebutuhan untuk perubahan, baik secara ekonomis maupun politik, perempuan dari semua lapisan masyarakat (pekerja, petani, kaum miskin kota, kelas menengah, artis, tokoh agama, dll) bersama-sama mendirikan sebuah koalisi perempuan nasional. Gabriela, demikian nama koalisi tersebut. Gabriela menjadi jaringan nasional organisasi akar rumput yang konsen dengan isu hak asasi manusia, kemiskinan, globalisasi, militerisme, kekerasan, kesehatan, trafficking, dan isu lainnya yang mempengaruhi kehidupan perempuan. Nama Gabriela diambil untuk menghormati Gabriela Silang, seorang aktivis perempuan yang memimpin pemberontakan 18 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 melawan Spanyol pada pertengahan abad 18. Kaya dengan pengalaman dan pelajaran dan telah berada di garis depan gerakan perempuan di Pilipina, dalam lebih 20 tahun keberadaannya, tahun 2000 Gabriela memutuskan untuk mendirikan partai politik yang diberi nama Gabriela Women Party (GWP). GWP berdiri secara resmi di Pilipina pada 28 Oktober 2000. GWP merupakan partai sektoral yang mendedikasikan dirinya untuk promosi hak dan kesejahteraan kelompok marjinal. Partai ini diwakili oleh perempuan-perempuan Pilipina dan memiliki 100.000 orang anggota dari 15 wilayah di Pilipina dan negara lainnya. Tujuan dibentuknya GWP adalah untuk memajukan HAM dan kepentingan perempuan, anak, buruh, pegawai, petani, nelayan, buruh migran, orang miskin, kaum muda, masyarakat adat, LBT, melalui kebijakan, kampanye, advokasi di dalam dan di luar Kongres. SOSOK Pada awal pendirian GWP, mereka tidak langsung maju sebagai peserta pemilu untuk mendapatkan kursi di parlemen, karena memang tidak mudah untuk itu. Strategi yang digunakan adalah bergabung dengan partai yang sudah ada terlebih dahulu dan sudah di kenal, yakni Partai Bayan Muna pada tahun 2001. Dalam proses bergabung ini juga terjadi proses konsolidasi isu di dalamnya, yakni bagaimana memasukkan isu perempuan di dalam partai lainnya. Dalam kesempatan tersebut, Partai Bayan Muna memperoleh 3 kursi, termasuk GWP di dalamnya. Pada periode ini, Liza Lagorza Maza, Sekretaris Jendral GWP duduk di parlemen dibawah Partai Bayan Muna, pada kongres ke-12. Sebagai aktivis perempuan, Liza Maza sejak awal telah tergabung dengan Gabriela. Ia dikenal sebagai pekerja keras, gigih dan kreatif. Pengalamannya bergabung dengan Gabriela telah mengasah semangatnya sebagai pelayan masyarakat. Jiwa aktivismenya terintergrasi dengan perempuan miskin kota dan pekerja, sejak ia masih mahasiswa di Universitas Filipina. Liza merupakan salah satu aktivis perempuan yang tidak pernah ragu membawa masalah dari akar rumput untuk ia perjuangkan dalam Kongres. Liza telah dua kali menjadi anggota Kongres. Sebagai legislator perempuan, Liza merupakan salah satu penulis dan sponsor kebijakan-kebijakan yang pernah di lahirkan, seperti anti perdagangan orang (2003) dan Anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta UU Pengadilan Anak. Liza percaya bahwa pekerjaaanya sebagai legislator dapat terus mengampanyekan hak pekerja dan petani untuk memperoleh kesejahteraan. Selain aktif dipolitik dan sebagai aktivis perempuan, Liza juga sebagai seorang advokat untuk pemenuhan hak dasar pendidikan dan kesejahteraan guru. Ia juga telah mendesak legislator untuk mengalokasikan 20% dari dana bantuan pembangunan prioritas (Priority Development Assistance Fund) untuk pembangunan kelas sekolah. Liza juga menentang kenaikan beaya kuliah dan menyerukan peningkatan subsidi pemerintah untuk universitas negeri dan swasta di Pilipina. Sebagai aktivis perempuan, Liza juga terbiasa berbicara di konferensi internasional tentang kondisi perempuan di Pilipina. Dalam forum-forum itulah, Liza kemudian tidak hanya dikenal di Pilipina, tetapi juga di kancah internasional. Liza juga menjadi salah satu penggerak Purple Rose Campaign yang dilakukan Gabriela, sebuah kampanye global untuk mengakhiri perdagangan perempuan dan anak-anak di Pilipina. Sikap militan Liza dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak marginal tak pernah tergoyahkan meskipun terjadi penganiayaan dan pelecehan terhadap dirinya dan anggota partai yang progresif, termasuk GWP. Pada puncak proklamasi Presiden Pilipina, Gloria Arroyo tahun 2006, Liza menjadi satu-satunya wakil perempuan dalam apa yang kemudian dikenal sebagai “Batasan 6”. Liza bersama dengan 5 perwakilan anggota partai lainnya terus menghadapi penangkapan illegal, mereka didakwa dengan kasus pemberontakan. Tuduhan palsu tersebut akhirnya ditolak oleh Makamah Agung. Liza sendiri selalu hadir dengan ide-ide kreatif, seperti dalam berbagai kampanye politik dia menjadi pengarah utama Gabriela Fashion Show yang disorot oposisi perempuan untuk menggulingkan Presiden Estrada. Liza juga sudah dua kali berpartisipasi dalam program V-Day untuk melawan kekerasan. Liza percaya kemajuan dan keberhasilannya berkampanye menentang kekerasan dan reformasi sejati dapat berhasil ketika ada partisipasi aktif kaum perempuan dari akar rumput. alasan mengapa GWP hadir dan bergerak untuk isu politik, salah satunya adalah untuk membuat undang-undang, di mana yang dapat mangatasi kebutuhan dan kepentingan perempuan melalui reformasi kebijakan, menciptakan standar melalui pembuatan hukum tentang bagaimana seharusnya masyarakat memandang perempuan April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 19 SOSOK GWP baru resmi mendaftarkan diri dan masuk menjadi partai peserta pemilu pada tahun 2004. Pada saat itu, GWP mendapatkan nomor urut 7 dari 66 partai yang ada dan mendapatkan 1 kursi Kongres ke-13. Pada tahun 2007, GWP kemudian naik ke posisi 4 dan berhasil memperoleh 2 kursi di Kongres ke-14. Pada pemilu 2010, GWP kembali berhasil memenangkan 2 kursi di Kongres ke-15. Pada tahun ini juga posisi GWP naik ke nomor urut 3. Selama terlibat dalam proses legislasi, ada banyak hal yang sudah dicapai oleh GWP. Hal tersebut terjadi karena GWP mempunyai track record yang bagus sebagai sebuah gerakan sosial atau perempuan yang anti diktator. Selain itu, gerakan ini juga banyak dikenal oleh maysrakat luas. Dengan basisnya sebagai organisasi perempuan dan memiliki jaringan yang luas, dari dalam dan luar partai juga menjadi salah satu capaian GWP. GWP sendiri tidak hanya membatasi isu perempuan, tetapi juga menggunakan people issues karena semua isu adalah isu perempuan. Hal inilah yang kemudian membuat GWP mudah diterima dan tidak menjadi eksklusif. Beberapa alasan mengapa GWP hadir dan bergerak untuk isu politik, salah satunya adalah untuk membuat undang-undang, di mana yang dapat mangatasi kebutuhan dan kepentingan perempuan melalui reformasi kebijakan, menciptakan standar melalui pembuatan hukum tentang bagaimana seharusnya masyarakat memandang perempuan dan bertindak terhadap perempuan, menghadang langkah-langkah atau upaya yang akan merusak hak-hak dan kesejahteraan rakyat dan mengakibatkan kemiskinan, marjinalisasi, kekerasan, kekerasan terhadap perempuan secara luas. Selain itu, juga melawan ideologi kelompok elit yang dominan dan politik yang korup, yang pro orang kaya, macho, patriarkal, feudal serta berkontribusi untuk pengembangan dan penguatan gerakan perempuan. Selama berada di dalam parlemen, beberapa kebijakan yang berhasil dikawal GWP, di antaranya Undang-Undang Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (Anti-Violence Against Women and Children Act (R.A. 9262)), UndangUndang Pengadilan dan Kesejahteraan Anak 20 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 (Juvenile Justice and Welfare Act of 2006 (R.A. 9344)), Undang-Undang Anti Perdagangan Manusia (Anti-Trafficking in Persons Act (R.A. 9208)), Magna Carta of Women (R.A. 9710), Rent Control Act of 2009 (R.A. 9653), Overseas Absentee Voting Act (R.A. 9189), Public Attorney’s Office Act (R.A. 9406), Philippine Nursing Act (R.A. 9173), Anti-Torture Law (R.A. 9745). Selain itu, GWP juga berkampanye untuk mendukung kenaikan upah, perbaikan tunjangan kehamilan, penyediaan layanan perawatan anak dan penghapusan pelecehan seksual di tempat kerja. Hal ini juga dimulai dengan tindakan untuk menghentikan adanya tenaga kontrak, terutama yang karena mengambil keuntungan dari tenaga kerja murah perempuan, dan membuat mereka rentan terhadap penyalahgunaan. GWP juga memprakarsai, mendorong, dan berjuang untuk langkah-langkah yang akan memperkuat tindakan afirmasi dalam hal kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, prostitusi, perdagangan seks, pornografi dan kekerasan dalam rumah tangga. GWP bersama dengan perempuan Pilipina berkampanye untuk hak perawatan kesehatan yang komprehensif dan pelatihan tentang kesehatan reproduksi dan penyediaan layanan. Selain itu, GWP juga berada di garis depan untuk melawan korupsi yang merajalela, kekerasan dan pelecehan, khususnya oleh pemerintahan Gloria Macapagal Arroyo. Tidak mudah memang sebuah gerakan perempuan masuk ke dalam politik praktis. Ada banyak tantangan dihadapi oleh GWP di didunia politik, seperti kurangnya dana, pengaruh dan nama keluarga yang cukup dikenal dalam masyarakat, karena kebanyakan anggota partai politik besar atau utama merupakan dinasti politik (keluarga). Selain itu, banyak politisi perempuan yang menjadi boneka politik atau membuat konflik ditambah lagi adanya pelecehan, intimidasi dan berbagai bentuk penyiksaan politik. Resistensi terhadap kehadiran GWP juga tidak dapat dihindarkan. Sayangnya, resistensi ini datang dari perempuan sendiri. Hal tersebut terjadi karena adanya pandangan perempuan bahwa politik adalah dunia laki-laki, dan perempuan hanya berperan di ruang domestik. Namun hal tersebut tidak menjadi hambatan bagi GWP untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok marginal lainnya. Menghadapi adanya tantangan tersebut, GWP kemudian melakukan pendidikan kepada perempuan agar mau masuk kedalam politik agar terwakili kepentingannya. *****(JK) PUISI Semangatmu Kartini Putri Ksatria Oleh: Salva Oleh: Pauline Angelina Habis gelap terbitlah terang Hal itulah yang ada di benakmu Dimana tidak ada pembatas Antara kita dan mereka Hujan tiada berhenti Kabut perlahan menyelimuti adat dan budaya berpilih kasih Hak perempuan pun dibatasi Ingin kau hapuskan pembatas itu Ingin kau tunjukan pada mereka Bahwa tiada yang beda antara Kau kami dan mereka Kau korbankan jiwa ragamu Hidup matimu hanya untuk itu Kau percaya semangat Bahwa kami bisa yang mereka lakukan Usaha semangatmu tak pernah padam Walau banyak caci maki menghadang Kau ingin hapuskan dinding perbedaan Untuk selama-lamanya Hingga pada akhirnya kami pun Kemetik hasil jerih payahmu Kartini kau tunjukan kau bisa Kartini kau inspirasi kami Kartini kau inspirasi wanita negeri ini Kartini kau ibu bagi kami Terima kasih atas jasa-jasamu Jasa-jasa yang telah menuntun kami Menjadi orang yang pantang menyerah Menjadi orang yang tak putus asa Terima kasih Kartini Doa kami selalu bersamamu Tangis membanjir di pipi Tak ada satu pun peduli Sekalipun rintihan bertubi-tubi Para insan berpura-pura tuli Perempuan dikekang Perempuan dilarang Perempuan terbuang Perempuan terbelakang Lemah tak berdaya Melawan pun tak kuasa Hanya dapat berpasrah Menerima siksaan jiwa Dan semua itu kini sirna Berkat sang putri ksatria Wahai Kartini yang mulia Jasamu sungguh tiada tara Perempuan bebas Perempuan lepas Perempuan setara Perempuan Merdeka Tak ada lagi luka Tak ada lagi duka Semua telah sirna Berkat sang putri ksatria Puisi Untuk Kartini Oleh: Red Face Ibu Kartini Kau adalah teladan bagi kami Kau sejajarkan kami di mata dunia Kau adalah cerminan bagi kami Ibu Kartini Meski kau telah tiada Namun semangat dan perjuanganmu Masih menyemangati kaum hawa di seluruh nusantara untuk ikut berperan serta dalam pembangunan bangsa Indonesia Lihatlah kartini-kartini sekarang Yang terus berjuang dalam semangatmu Mulai dari guru sampai capres Mulai dari dapur dampai istana Semua kini bisa berkarya Walaupun terkadang masih direndahkan Walaupun terkadang masih direndahkan Walau terkadang masih dilecehkan Tapi Mereka kini bisa berkarya Tidak hanya sekedar meminta dan sekedar menerima Lihatlah ibu Betapa agung perjuanganmu Kini aku bisa ikut berbangga Melihat hasil perjuanganmu Sekarang para Kartini muda Inilah hasil perjuangan Jerih payah dalam pergolakan Wahai Kartini yang diagungkan Kau putri ksatria pujaan perempuan April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 21 BEDAH BUKU A Cahaya Terang Politik Perempuan ni Widyani Soetjipto ialah akademisi, peneliti sekaligus aktivis isu perempuan dan politik. Buku karya Ani Soetjipto ini berisi 16 esai pilihan yang mengetengahkan dinamika dan potret perempuan di kancah politik di Indonesia, yang dipublikasikan dalam rentang tahun 1999-2004. Keenam belas esai itu dibagi menjadi tiga bagian besar, yang memperlihatkan berbagai peristiwa perempuan dalam politik mulai dari pro-kontra partisipasi perempuan dalam politik, tindakan afirmatif kuota 30 persen perempuan, tantangan perjuangan gerakan perempuan di bidang politik, pembelajaran yang dapat dipetik serta gambaran situasi politik dan posisi perempuan di dalamnya. Dinyatakan Ani Soetjipto di Pendahuluan bahwa yang tertuang dalam bukunya merupakan pengalaman politik penulis, khususnya berkaitan dengan masalah perempuan dan politik. Kumpulan tulisan ini melukiskan soal keterwakilan perempuan dalam politik yang meliputi pro-kontra tin- dakan afirmatif, kendala atau hambatan yang dialami dalam proses negosiasi politik, tantangan perjuangan politik perempuan, serta strategi-strategi yang dapat diterapkan dan harus dilakukan untuk mengatasi rendahnya representasi perempuan dalam politik. Bagian pertama buku ini menjelaskan pro-kontra kala Megawati dicalonkan menjadi presiden dari PDI Perjuangan pada Pemilu 1999. Pencalonan Megawati mendapat banyak tanggapan skeptis dan pesimis, karena sebagai perempuan dianggap tidak memiliki kualitas dan kapasitas untuk menjadi pemimpin negara. Ironisnya tanggapan ini tidak hanya datang dari pemimpin partai politik yang didominasi laki-laki, tetapi juga oleh perempuan politisi. Kualitas dan kapasitas perempuan menjadi soal pertama yang ditanyakan para politisi kala itu mengenai perempuan dalam politik. Isu kualitas dan kapasitas ini menjadi penting ditanyakan kepada perempuan, tetapi tidak kepada laki-laki. Padahal kualitas politisi laki-laki pun masih harus dipertanyakan. Hal tersebut menjadi hambatan dan tantangan perempuan dua kali lebih berat untuk berkiprah dalam politik, terutama menjadi pemimpin. Hambatan dan tantangan tersebut masih dihadapi perempuan saat ini. Peristiwa lain yang menjadi pro-kontra pada tahun 1999 ialah tindakan afirmatif kuota 30% perempuan dalam berbagai tingkatan kelembagaan yang disuarakan gerakan perempuan. Hal ini muncul berdasarkan fakta bahwa representasi perempuan dalam politik sangat rendah. Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk memperhatikan partisipasi perempuan dalam politik yang tertuang dalam CEDAW dan Deklarasi Judul Penulis Editor Penerbit Cetakan Halaman ISBN 22 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 : Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-esai Pilihan 1999-2004 : Ani Widyani Soetjipto : Nur Iman Subono : Penerbit Buku Kompas : Tahun 2005 : xxxiv+332 halaman : 979-709-188-0 BEDAH BUKU Beijing 1995. Pada kenyataannya, langkah perempuan untuk terlibat dan berperan di arena politik menemui banyak hambatan, berupa hambatan sosial-budaya, ekonomi, ideologi, dan psikologis. Hambatan politis, perempuan dihadapkan pada persoalan sistem, struktur, dan kultur politik. Sistem politik kita jauh dari peka gender dan menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas dua, yakni perannya hanya menjadi ibu rumah tangga. Dari segi struktur politik, saat ini kepemimpinan politik masih didominasi lakilaki sehingga kebijakan-kebijakan yang dihasilkan sering tak mengakomodir kepentingan perempuan. Dari kultur politik, persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menjadi budaya yang mengakar dan sulit diberantas. Selain itu, hambatan politik yang dihadapi juga berkait dengan tiadanya dukungan partai politik untuk menempatkan perempuan secara adil dan setara. Artinya, mulai dari perekrutan, penempatan nomor urut calon, dan dukungan dana tidak menguntungkan perempuan. Dengan demikian, isu-isu yang diangkat perempuan kerap diabaikan apalagi jika isu-isu tersebut mengedepankan kepentingan perempuan. Hambatan sosial-budaya yang dihadapi terkait kontruksi masyarakat yang menempatkan perempuan di posisi subordinat dan struktur di masyarakat yang sarat dengan norma patriarkal. Perempuan dianggap tidak pantas menjadi pemimpin dan lebih cocok sebagai ibu rumah tangga, yang secara langsung ataupun tidak akan melemahkan posisi perempuan. Hal ini berkorelasi dengan hambatan psikologis yang dihadapi perempuan. Adanya konstruksi masyarakat yang timpang gender menjadikan perempuan tidak percaya diri, karena dianggap kualitas dan kapasitas mereka tidak mumpuni bersaing dalam arena politik. Secara sosial-budaya, perempuan dihadapi oleh persoalan multi-beban, seperti kerja domestik yang harus ditanggung perempuan, yang oleh masyarakat dianggap bukan kerja, sehingga dianggap remeh. Hal itu menjadi suatu kendala yang dihadapi perempuan untuk berkiprah di politik, mereka tidak berada di posisi start yang sama dengan laki-laki. Berbeda dengan laki-laki, yang dalam struktur masyarakat patriarkal, tidak dibebani urusan-urusan domestik, sehingga bisa melenggang bebas berkompetisi politik.agama memperkuat persepsi tadi sehingga membatasi peran dan posisi perempuan di masyarakat. Perempuan juga menghadapi masalah ketida- kberdayaan ekonomis untuk maju dalam arena politik. Perempuan memiliki kesulitan mendapatkan dukungan dana baik dari partai politik, swasta, maupun basis dukungan partai. Perjuangan perempuan dalam politik berlipat-kali lebih terjal dibanding laki-laki, karena secara ekonomis posisi mereka dilemahkan. Hambatan-hambatan tersebut menjadi faktor rendahnya representasi perempuan dalam politik. Oleh karenanya, tindakan afirmatif kuota 30% perempuan dalam politik menjadi penting dilakukan. Dalam beberapa tulisan di buku ini ditegaskan, bahwa tindakan afirmatif harus dilakukan sebagai intervensi struktural mengatasi kendala kultural yang dihadapi kelompok marjinal. Dalam hal ini, agar perempuan dapat berkiprah di ruang politik (yang posisi start-nya tertinggal daripada laki-laki). Tindakan afirmatif merupakan tindakan sementara yang sewaktu-waktu bisa dicabut apabila telah memenuhi kuota. Kuota 30 persen ialah angka signifikan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik berdasarkan penelitian International Parliementary Union (IPU) dan angka ini telah menjadi kebijakan PBB sebagai angka batas minimal kuota untuk perempuan di berbagai tingkatan politik. Tindakan ini merupakan sarana agar perempuan lebih cepat terintergrasi dalam politik. Dengan tindakan ini diharapkan perempuan mendapat kesempatan yang sama dalam politik dan mengangkat masalah mereka, seperti kekerasan terhadap perempuan (kekerasan seksual), buruh migran, angka kematian ibu dan anak, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Tercermin dalam tulisan “Angin Segar, tetapi Bukan Angin Surga” di buku ini, bahwa 18 Februari 2003 menjadi hari yang penting dan bersejarah bagi perempuan di Indonesia karena kuota 30% keterwakilan perempuan dicantumkan dalam UU Pemilu Pasal 65 yang berbunyi: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD, Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.” Walaupun awal perjuangan ini menuai beragam reaksi, namun kebijakan tersebut membuka keran kesempatan bagi perempuan berpartisipasi dalam politik. Tentunya itu harus dijalankan konsisten dan konsekuen: dari partai politik sampai tingkatan yang lebih tinggi meskipun tidak ada sanksi hukum bagi partai politik apabila tidak menjalankan kebijakan itu. Pencantuman 30 persen memunculkan pekerjaan rumah bagi gerakan perempuan dalam menApril - Juni 2013 Perempuan Bergerak 23 BEDAH BUKU ganalisa tantangan dan menyusun strategi agar wakil perempuan itu nantinya menyuarakan kepentingan perempuan (tidak menjadi elit politik baru). Dalam buku ini dielaborasi berbagai tantangan yang dihadapi perempuan pasca pencantuman kuota 30% dalam UU Pemilu. Salah satunya, dengan pemilihan umum proporsional terbuka, maka perempuan harus berkompetisi dengan laki-laki di dalam partai politik. Karena dalam kebijakan tersebut tidak diatur kriteria rekrutmen dan pemilihan posisi nominasi. Perempuan harus bersaing mendapatkan nomor urut teratas agar dapat terpilih, karena sistem partai politik sendiri sering tidak menempatkan perempuan dalam posisi atau nomor urut strategis. Kendati pun partai telah berkomitmen mengimplementasi kebijakan tersebut, namun tidak ada perubahan sikap yang positif maupun cara pandang partai dan pengurusnya, terhadap perempuan. Tantangan lain ialah bank data tentang perempuan potensial nominasi calon legislatif. Hal ini diperlukan agar perempuan tetap membawa kepentingan mereka ketika terpilih nanti. Tentu tantangan berat yang dihadapi yakni berkaitan dengan sosial-budaya, ekonomi, agama, dan psikologis. Kendala itu membutuhkan strategi dan sinergi banyak pihak agar apa yang dicita-citakan gerakan perempuan, seperti keadilan dan kesetaraan bagi perempuan, dapat tercapai. Dalam tulisan “Membangun Sinergi dan Jejaring”, dibahas pentingnya peran civil society, akademisi, media, kaukus perempuan, dan swasta untuk mendukung langkah perempuan dalam politik. Berbagi peran dan membangun jaringan dapat menjadi strategi yang efektif agar kendala yang dihadapi perempuan dapat teratasi. Peran dan dukungan yang dapat dilakukan civil society meliputi peningkatan pengetahuan dan kapasitas perempuan melalui pendidikan politik serta membangun karakter kepemimpinan, membangun basis dukungan calon anggota legislatif, dan akses bagi perempuan untuk terlibat audiensi maupun lobby. Akademisi berperan menghasilkan kajian atau riset yang dapat digunakan sebagai pengetahuan dan informasi untuk caleg maupun aleg perempuan terpilih, sebagai agenda kerjanya, agar jelas dan terfokus. Akademisi juga dapat membuat basis data perempuan potensial. Media menjadi alat yang penting untuk mem24 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 promosikan caleg perempuan dan menyuarakan pemikiran dan gagasannya berkaitan dengan masalah yang dihadapi perempuan di Indonesia. Kampanye menjadi bagian sangat penting untuk memperoleh dukungan masyarakat. Media dapat menjadi corong informasi bagi perempuan apabila terpilih untuk mengangkat isu-isu perempuan, sehingga menjadi tujuan yang dibawa ke ranah keputusan untuk penyelesaiannya. Agar isu-isu perempuan disuarakan secara bersamaan oleh aleg perempuan dari partai apa pun, maka penting dibentuk kaukus perempuan dalam politik. Kaukus perempuan bisa berperan menjadi kelompok penekan di ranah pengambilan keputusan, sehingga bisa menghasilkan kebijakan yang mengakomodir kepentingan perempuan. Kaukus perempuan bisa menjadi kelompok penekan DPP parpol agar posisi perempuan mendapat nomor urut utama dalam pencalonan. Kaukus perempuan juga menjadi media dan sarana berbagi serta sinergi informasi antar caleg maupun aleg perempuan lintas partai di parlemen. Kemiskinan perempuan secara ekonomis menjadi faktor penghambat mereka berpartisipasi dalam politik. Dukungan dana pihak-pihak swasta dibutuhkan untuk menunjang aktivitas perempuan pada masa kampanye pemiu. Untuk merangkul pihak swasta ini, tentu peran civil society dibutuhkan untuk membuka akses, lobby, dan pemantauan pelaksanaannya. Dengan sinergi multi pihak ini tentu akan memberikan dukungan moral maupun material bagi perempuan. Dalam situasi politik Indonesia yang carut-marut ini, representasi perempuan sangat dibutuhkan untuk penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi perempuan, yang 68 tahun Indonesia merdeka, tak dapat selesai oleh sistem pemerintahan yang patriarkal. Mengutip pernyataan Ani Soetjipto: “…bahwa partisipasi di dalam politik adalah hak asasi perempuan, dan melibatkan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka demokrasi yang mendorong keseteraan dan keadilan gender”. *****(IK) BEDAH FILM Buruh Perempuan Nasibmu Kini S aat ini populasi pekerja perempuan telah mencapai sebesar 39,8 juta jiwa atau 37,9% dari total jumlah pekerja se Indonesia, yakni 104,87 juta jiwa. Jumlah tersebut akan terus meningkat. Di DKI Jakarta misalnya, terdapat sekitar 80.000 buruh. Sebanyak 90 persen dari angka tersebut merupakan buruh perempuan. Buruh perempuan berada di pabrik-pabrik, seperti pabrik garmen, tekstil, sepatu, dan rokok. Perusahaan-perusahaan lebih senang mempekerjakan buruh perempuan karena dianggap lebih teliti dan dapat dibayar murah. Biasanya buruh perempuan dipekerjakan untuk mengerjakan satu jenis pekerjaan tertentu selama bertahun-tahun yang hanya membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kerapihan. Akibatnya, tidak ada kesempatan bagi buruh perempuan untuk meningkatkan jenjang karir, pengetahuan/keterampilan, atau promosi jabatan. Jumlah buruh perempuan yang sangat besar tidak dianggap sebagai sumberdaya manusia yang potensial dan belum diperhitungkan keberadaannya. Masih banyak buruh perempuan yang mengalami berbagai diskriminasi. Posisi buruh perempuan pun makin lemah akibat penerapan sistem kerja kontrak dan outsourcing di perusahaan-perusahaan. Banyak perusahaan yang mempekerjakan buruh perempuan sebagai buruh kontrak yang tidak memiliki hak-hak normatif yang sama layaknya buruh tetap. Akibat statusnya sebagai buruh kontrak, mereka rentan mengalami berbagai persoalan, seperti PHK secara sepihak, upah rendah, lembur paksa yang tidak dibayar, larangan kebebasan berserikat, kondisi dan fasilitas kerja yang buruk, larangan cuti haid, cuti melahirkan, dan sebagainya. Problema yang dihadapi para buruh perempuan inilah yang coba diangkat dalam film “Kisah 3 Titik”, sebuah film yang berbicara tentang sisi gelap terang kehidupan buruh Indonesia secara realistis. 3 titik dalam judul film ini merujuk pada tiga karakter perempuan yang memiliki kesamaan nama, yakni Titik. Titik yang pertama ialah Titik Sulastri (diperankan oleh Ririn Ekawati), seorang perempuan dengan seorang anak dan baru ditinggal mati suaminya. Saat sang suami meninggal, Titik Sulastri sedang hamil muda. Walaupun tidak memiliki sanak saudara di Jakarta, Titik tetap bertahan untuk tidak pulang ke kampung. Ia ingin ketika pulang, ia sudah sukses. Untuk bertahan hidup di tengah kondisi hamil anak kedua, ia bekerja di sebuah pabrik garmen. Titik yang kedua adalah Titik Dewanti Sari (diperankan oleh Lola Amaria), seorang pekerja kantoran yang ambisius yang baru saja diangkat menjadi manajer SDM untuk mengelola pabrik garmen yang baru dibeli oleh perusahaannya. Namun saat melakukan observasi di pabrik, Titik menemukan hal-hal yang mengetuk rasa kemanusiaannya. Judul: Kisah Tiga Titik Sutradara: Bobby Prabowo Penulis: Charmantha Adjie Produser: Lola Amaria Pemain: Ririn Ekawati Maryam Supraba Lola Amaria Rangga Djoned Dimas Hari CSP Donny Alamsyah Ingrid Wijanarko Durasi: 104 menit Produksi: Lola Amaria Production April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 25 BEDAH FILM Sementara Titik yang ketiga ialah Kartika (diperankan oleh Maryam Supraba), anak seorang preman yang berpenampilan tomboi dan kerap dipanggil Titik. Titik yang ini bekerja di sebuah industri sepatu rumahan. Sikapnya yang keras menjadi masalah saat dirinya menemukan industry tempatnya bekerja melakukan tindakan merugikan orang lain. Kisah 3 Titik memberi gambaran tentang berbagai diskriminasi yang dialami para buruh perempuan, di mana sebagai buruh kontrak mereka sangat rentan untuk mengalami PHK. Selain itu, mereka juga tidak pernah mendapatkan hak-haknya, apalagi hak untuk cuti melahirkan. Bahkan hanya sekadar ke toilet, mereka dibatasi oleh waktu, maksimal 3 menit berada di dalam toilet dan setelah itu harus bekerja kembali. Bisa dibayangkan bila buruh ini sedang dalam kedaan haid, waktu 3 menit tentu saja tidak cukup. Apa yang dialami Titik Sulastri misalnya, pabrik garmen tempatnya bekerja selalu memperbaharuhi kontrak kerja karyawannya setiap bulan. Sistem kerja kontrak memang selalu merugikan buruh. Kontrak bisa tidak diperpanjang sewaktu-waktu, apalagi sistem suka tidak suka masih berlaku di banyak pabrik. Pembicaraan dengan sesama rekan kerja pun harus penuh hati-hati, kare- 26 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 na kalau tidak bisa diadukan ke mandor dan kontrak tidak akan diperpanjang lagi. Dengan sistem ini perusahaan sangat diuntungkan karena sewaktu-waktu bisa mengganti buruhnya yang tentu bisa dibayar dengan upah lebih murah. Di sisi lain, karena persaingan yang ketat, buruh rela dibayar murah asal mempunyai penghasilan, walaupun hak-haknya sebagai pekerja tidak diperhatikan oleh perusahaan. Buruh kontrak tidak mempunyai hak-hak yang sama sebagaimana buruh tetap. Buruh dilarang untuk hamil, karena kalau ia hamil dianggap tidak produktif, pabrik akan segera memecatnya. Maka itu mereka harus menyembunyikan kehamilannya dan tetap harus bekerja tanpa memperoleh fasilitas. Itulah yang dialami oleh Titik Sulastri, ia harus mati-matian menyembunyikan kehamilannya agar bisa terus bekerja.Padahal UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 76 ayat 2 telah melarang pengusaha untuk mempekerjakan buruh perempuan yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya, apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai pukul 07.00. Sayangnya, perusahaan tidak peduli dengan peraturan tersebut. Sebagai buruh kontrak, Titik tidak memperoleh hak cuti melahirkan dan tunjangan lainnya sebagaimana buruh tetap. Cuti melahirkan hanya diberikan kepada buruh tetap dan hanya 7 hari tanpa digaji. Pilihan yang diberikan oleh perusahaan adalah keluar dari pabrik dan mendaftarkan lagi jika suatu saat pabrik memerlukan tenaganya. Itu pun tentu tidak mudah, karena ia harus bersaing dengan tenaga kerja lainnya. Pada- BEDAH FILM hal jika mengacu UU No. 13 Tahun 2003 terutama pasal 153, pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Selain itu, undang-undang juga telah mengatur tentang hak cuti melahirkan bagi buruh perempuan, yakni selama satu setengah bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Posisi rentan sebagai buruh rendahan juga dialami Kartika. Industri rumahan tempatnya bekerja pun melakukan banyak kesewenangan terhadap buruhnya. Sewaktuwaktu, ia bisa dipecat dengan alasan perusahaan sedang pailit. Padahal perusahaan hanya ingin mengganti buruhnya dengan buruh yang mau dibayar lebih murah. Lebih parah lagi, perusahaan tempat kartika bekerja justru mempekerjakan anak-anak dibawah umur. Dibawah ancaman, anak-anak itu dijemput sepulang sekolah dan disuruh bekerja. Tujuannya hanya satu, perusahaan dapat memperoleh hasil sebanyak-banyaknya dan dapat membayar upah semurah-murahnya. Demikian dengan kondisi kerja, di perusahaan tempat Kartika bekerja, jauh dari memadai. Tidak ada cahaya sama sekali. Demikian juga dengan sirkulasi udara, jauh dari memadai, padahal dengan kondisi demikian tentu sangat mempengaruhi kes- ehatan para buruhnya. Namun apakah ketidakadilan itu hanya dialami mereka buruh-buruh di pabrik? Nyatanya tidak demikian. Titik Dewanti Sari misalnya, walaupun ia menjabat sebagai manajer SDM, ia tidak bisa berbuat banyak. Ia tidak bisa mengubah begitu saja peraturan yang ada. Walaupun sisi kemanusiaan memberontak atas keadaan yang ada, nyatanya ia tidak bisa berbuat lebih. Perusahaan memperalatnya untuk membenahi pabrik yang baru dibelinya, tapi harus tidak boleh mengeluarkan banyak uang. Film Kisah 3 Titik, memberi gambaran nyata buruh perempuan yang ada saat ini, tidak hanya mereka yang berada di tingkatan bawah sebagai buruh pabrik, tetapi juga mereka yang memiliki posisiposisi strategis. Walaupun memiliki posisi strategis mereka tidak dapat berbuat banyak, karena perusahaan selalu berpikir soal keuntungan, tanpa memperhatikan kesejahteraan para buruhnya. Sebagai kelompok potensial, seharusnya buruh perempuan dapat membuat gebrakan, dapat mempengaruhi tiap pembuatan keputusan. Sayangnya, itu belum terjadi. Di Parlemen misalnya, tidak banyak wakil rakyat yang peduli dengan kondisi buruh. Mereka cenderung mengabaikan nasib buruh, terutama buruh perempuan. Akhirnya, kebijakan yang dikeluarkan sangat jauh dari kebutuhan buruh. Memang cuti haid dan melahirkan sudah diatur dalam undang-undang, namun kebijakan tersebut tidak pernah diimplementasikan dengan baik. Demikian juga dengan pihak pemerintah yang tidak pernah melakukan monitor implementasi kebijakan itu. Memiliki wakil rakyat yang peduli dengan buruh perempuan dan mau memperjuangkan nasib mereka itu menjadi hal yang sangat penting. Sekian lama Indonesia merdeka, wakil-wakil itu tak juga ketemu. Sebenarnya, sebagai kelompok yang besar, buruh bisa membuat partainya sendiri dan ikut dalam Pemilu untuk kemudian merebut posisi-posisi strategis. Dengan demikian, buruh dapat mempengaruhi tiap keputusan yang akan dihasilkan. Namun entah kapan hal tersebut dapat terwujud. *****(JK) April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 27 KOSA KATA Politik Politik sangat erat kaitannya dengan masalah kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik, alokasi dan distribusi. Pemikiran mengenai politik di dunia barat banyak dipengaruhi oleh Filsuf Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles yang beranggapan bahwa politik sebagai usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik. Usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik ini menyangkut bermacam kegiatan yang di antaranya terdiri atas proses penentuan tujuan sistem serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Sementara definisi politik, jika mengacu pada Ramlan Surbakti (1999:1) adalah “interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu”. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa politik merupakan salah satu sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, sehingga apapun program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan masyarakat di mana tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai dengan baik. Demokrasi Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Berbicara mengenai demokrasi adalah memperbincangkan tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya, pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia. Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan. Menjaga proses demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang beru28 Perempuan Bergerak April - Juni 2013 saha melanggar hak-hak itu. Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama dalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Sedang demokrasi dalam artian lain adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. Tindakan Afirmasi Tindakan afirmasi (affirmative action) adalah hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Ia merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum, dimana jaminan pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan Undang-Undang. Affirmative action merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) atau langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum. Karena jaminan pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan UU. Dalam bidang politik, tindakan afirmatif diperlukan karena selama ini masalah-masalah khusus perempuan hampir luput dari kebijakan-kebijakan negara. Sebabnya antara lain, karena masalah-masalah yang sejatinya hanya dapat dirasakan perempuan harus “dititipkan” kepada wakil rakyat yang kebanyakan adalah laki-laki. Sementara kebijakan publik adalah hasil tawar-menawar antara pembuat keputusan (aktor politik). Hasil sebuah kebijakan sangat dipengaruhi oleh pemahaman, persepsi, sikap, moral, dan pengalaman pembuatnya. Jika masalah-masalah perempuan harus dititipkan kepada wakilwakil yang tidak mengetahui atau tidak memiliki perspektif masalah perempuan, hampir dapat dipastikan kebijakan yang dihasilkan akan tidak peka terhadap persoalan perempuan. April - Juni 2013 Perempuan Bergerak 29