Gerakan Sosial

advertisement
1
MAKALAH KOLOKIUM
Nama Pemrasaran/NIM
Departemen
Pembahas
Dosen Pembimbing/NIP
Judul Rencana Penelitian
:
:
:
:
:
Tanggal dan Waktu
:
Citra Dewi/I34100045
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Anjas Rafsan Pallawa/I34100143
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS/19550630 198103 1 003
Analisis Gerakan Sosial Masyarakat Pegunungan Karst
Kendeng
6 Maret 2014, 09.00-10.00 WIB
1. PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Proses integrasi ekonomi di seluruh dunia, yang disebut dengan globalisasi, terus
mengganggu keamanan sosial dan ekonomi miliaran orang (Devall, 2001). Berbagai cara
dilakukan Indonesia demi mengejar ketertinggalan di era globalisasi ini, salah satunya adalah
dengan melakukan pertambangan. Misalnya saja praktek pertambangan pada era Orde Baru
didukung oleh pemerintah dengan dikeluarkannya UU Pokok Pertambangan No.11 Tahun 1967
Pasal 7. Dalam Undang-Undang tersebut, disebutkan bahwa bahan galian dapat diusahakan oleh
pihak swasta. Pada saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat, namun sayangnya
pertumbuhan ekonomi ini tidak dapat dinikmati secara merata. Dengan adanya UU tersebut, hak
dan kepentingan rakyat kecil menjadi semakin tergeser karena segala bentuk pembangunan yang
dilakukan hanya untuk mengejar keuntungan pemodal besar (Ariendi GT, 2011).
Semenjak dikeluarkannya UU ini, persoalan pengaksesan sumberdaya oleh masyarakat
semakin krusial. Hal ini diperparah dengan tidak adanya legalitas hak kepemilikan sehingga
negara dapat dengan mudah bila sewaktu-waktu merelokasi atau bahkan menggusur masyarakat
dari tempat mereka. Menurut Maulida (2012) dalam kenyataanya penggunaan tanah-tanah
tersebut jauh dari upaya untuk menyejahterakan masyarakat dan lebih digunakan untuk ekspansi
industri-industri dan hanya berorientasi pada pertumbukan ekonomi praktis, jauh dari kesan
pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tjondronegoro (1999) juga berkata bahwa konflik yang
terjadi tidak diakibatkan oleh perang ideologi, tetapi sebenarnya lebih dilatarbelakangi oleh
kepentingan ekonomi, khususnya penguasaan aset tanah.
Praktek pertambangan tidak hanya menggeser kepentingan rakyat kecil secara ekonomi
saja, namun praktek ini juga memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Risyanto et al. (2001) di Kecamatan Panceng dan Paciran, dampak negatif
terhadap lingkungan akibat penambangan meliputi perubahan relief, ketidakstabilan lereng,
kerusakan tanah, terjadinya perubahan tata air permukaan dan air bawah tanah, hilangnya
vegetasi penutup, perubahan flora dan fauna, meningkatkanya kadar debu dan kebisingan,
terjadinya kerusakan jalan, serta terjadinya kecelakaan penambang dan kecelakaan lalu lintas.
Selain itu, kegiatan penambangan juga menyebabkan perubahan morfologi yang menyebabkan
pembentukan goa-goa buatan yang rentan runtuh sehingga berbahaya bagi keselamatan
penambang, pengupasan top soil, dan permukaan yang tererosi.
Dampak negatif dari aktifitas pertambangan baik dari segi ekonomi maupun mengancam
keberlangsungan kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan mereka melakukan perlawanan
dan salah satunya dengan membentuk gerakan. Gerakan perlawanan petani muncul sebagai
akibat dari akumulasi kekecewaan, ketertindasan, serta keterpurukan tenaga dan harga diri petani.
Mereka sudah tidak mementingkan status tanah, yang terpenting bagi petani adalah terjaminnya
masa depan dan kebutuhan anak cucu mereka. Menurut penelitian Hafid (2001) di kasus
Jenggawah, pada tahun 1977 petani mulai membentuk beberapa kelompok petani untuk
memobilisasi perjuangan. Kelompok ini mengkoordinasi perjuangan menentang kebijakan dan
tindakan PTP yang berkonspirasi dengan militer dan birokrat. Masalah penyebab gerakan ini
bukan hanya terjadi di Jenggawah saja, banyak tempat lain di Indonesia yang juga mengalami
nasib yang sama.
2
Seluruh gerakan, baik yang dilakukan oleh petani maupun masyarakat merupakan bagian
dari gerakan sosial. Gerakan sosial sendiri menurut Giddens (dalam Martono, 2012) merupakan
suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau gerakan yang bertujuan
untuk mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif di luar lingkup-lingkup lembaga yang
sudah ada. Sedangkan menurut Turner dan Killan (dalam Martono, 2012) secara formal gerakan
sosial didefinisikan sebagai suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar
kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam
masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri. Stompzka (dalam Martono,
2012) memiliki batasan definisi. Menurutnya gerakan sosial harus memiliki empat kriteria yaitu
adanya kolektivitas, memiliki tujuan bersama, kolektivitasnya relatif tersebar, dan tindakannya
memiliki derajat spontanitas yang tinggi.
Dalam melakukan gerakan, dinamika gerakan yang terjadi tentu saja berbeda-beda dalam
setiap kasus. Dalam dinamikanya, sebuah gerakan dapat mencapai sebuah kesuksesan,
stagnansi, bahkan kegagalan. Dinamika yang terjadi dalam gerakan ini disebabkan karena
berbagai faktor dan modal sosial dapat dijadikan pertimbangan keberhasilan suatu gerakan.
Robert Putnam (1995) dalam Alfiasari et al (2009) mengemukakan bahwa modal sosial adalah
suatu institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan
sosial (social trust), yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi)
untuk kepentingan bersama. Pierre Bourdie (1970) dalam Alfiasari et al (2009) mendefiniskan
modal sosial sebagai jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam
bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik. Jaringan sosial ini dapat memberikan kepada
anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif yang keuntungannya dapat dirasakan setiap
anggota. Modal sosial terbentuk dari investasi strategi-strategi baik dari tindakan individu maupun
kolektif dalam waktu sesaat ataupun berkelanjutan yang bertujuan untuk menstabilkan atau
menghasilkan hubungan-hubungan sosial yang secara langsung berguna dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang.
Coleman (1988) memandang modal sosial sebagai kepercayaan, norma perilaku, jaringan
sosial, dan kombinasi dari ketiganya. Modal sosial sendiri melekat pada struktur hubungan antara
aktor dan antara aktor, aspek-aspek struktur sosial kepada pelaku dilihat sebagai sumber daya
yang dapat mereka gunakan untuk mencapai kepentingan mereka. Dalam penelitiannya, Coleman
(1988) mengaitkan modal sosial dengan suatu organsiasi. Ia mengatakan sebagai berikut :
That for other purposes one wants to investigate the details of such organizational
resources, to understand the elements that are critical to their usefulness as resources
for such purpose, and to examine how they came into being in a particular case.
(Coleman, 1988)
Berdasarkan pernyataan Coleman (1988) tersebut jika dikaitkan dengan gerakan, dapat dilihat
bahwa modal sosial berfungsi untuk menyelidiki sumber daya dalam sebuah aksi kolektif, untuk
mengetahui elemen apa saja yang paling dibutuhkan untuk mencapai tujuan gerakan, dan untuk
menguji bagaimana sebuah gerakan dapat muncul.
Gerakan perlawanan petani biasanya dikaitkan dengan gerakan agraria. Akan tetapi pada
beberapa kasus di Indonesia, gerakan perlawanan petani ditujukan untuk menyelamatkan
lingkungan. Misalnya saja Masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli
Pegunungan Kendeng (JMPPK) yang tinggal dan menggantungkan hidupnya pada Pegunungan
Kendeng, telah melakukan gerakan lingkungan sejak tahun 2006 dan masih berlangsung hingga
sekarang. Dalam menjalankan kehidupannya, baik untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari
maupun bertani, masyarakat yang tersebar di Kecamatan Sukolilo, Tambakromo, dan Kayen ini
mengandalkan mata air yang terdapat pada Pegunungan Kendeng, yaitu pegunungan yang
memiliki kekayaan mineral tambang
Sejak tahun 2006, terdapat pabrik semen yang bermaksud untuk mendirikan pabrik di area
Pegunungan Kendeng, namun Masyarakat yang tinggal di kawasan Pegunungan Kendeng yang
kontra terhadap pertambangan dan pendirian pabrik semen menolak adanya usaha perusahaan
semen utntuk mendirikan pabrik dan melakukan eksploitasi. Akhirnya pada tahun 2010, pabrik
tersebut gagal untuk mengeksploitasi kawasan pegunungan tersebut. Oleh karena itu penelitian ini
3
ingin menganalisis tentang faktor-faktor yang menyebabkan gerakan perlawanan, mobilisasi modal
sosial pada gerakan perlawanan, dan juga dinamika gerakan perlawanan masyarakat yang
tergabung dalam JMPPK sehingga mereka dapat melakukan perlawanan dan berhasil
menggagalkan eksploitasi perusahaan semen di Pegunungan Kendeng.
1.2. MASALAH PENELITIAN
Konflik yang terjadi antara masyarakat di kawasan Pegunungan Kendeng dengan
perusahaan semen diawali karena pihak pabrik semen yang bermaksud untuk melakukan
eksploitasi dan mendirikan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng. Masyarakat di
kawasan Pegunungan Kendeng hidupnya sangat bergantung pada mata air dan segala
keragaman hayati yang terdapat pada Pegunungan tersebut. Hal ini menjadi salah satu penyebab
masyarakat melakukan gerakan perlawanan dengan berbagai macam cara. Cara yang dilakukan
dalam melakukan gerakan perlawanan bermacam-macam, mulai dari demo, aksi teatrikal, bahkan
sampai menempuh jalur hukum juga. Karena hal-hal tersebut maka diajukan pertanyaan
penelitian, apa saja faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya gerakan perlawanan yang
dilakukan oleh Masyarakat Pegunungan Kendeng?
Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat di kawasan Pegunungan Kendeng berfungsi
sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dari gerakan perlawanan
yang dilakukan. Kepercayaan di antara masyarakat, jaringan yang mereka miliki, dan normanorma yang mereka pegang dan jalani berpengaruh pada dinamika gerakan perlawanan.
Mengingat hal tersebut, maka pertanyaan penelitian selanjutnya adalah, bagaimana dan sejauh
mana modal sosial yang dimobilisasi berpengaruh terhadap keberhasilan gerakan
perlawanan Masyarakat Pegunungan Kendeng?
Keberhasilan yang dicapai oleh Masyarakat Pegunungan Kendeng pada kasus perlawanan
menghadapi perusahaan semen dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, bukanlah suatu hal
yang dapat dicapai secara tiba-tiba. Dalam melakukan gerakan perlawanannya, gerakan ini
mengalami dinamikanya tersendiri, mulai dari tahap pembentukan, formalisasi, hingga penurunan
yang dapat ditandai dengan keberhasilan gerakan. Terbukti pada kasus masuknya pabrik semen
pada tahun 2006, masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng melakukan berbagai bentuk gerakan
perlawanan. Hingga pada tahun 2010, mereka berhasil menggagalkan perusahaan semen untuk
mengeksploitasi dan mendirikan pabrik semen. Terkait dengan hal tersebut, maka pertanyaan
ketiga dari penelitian ini adalah, bagaimana dinamika/tahapan gerakan perlawanan yang
dimotori oleh Masyarakat Sedulur Sikep?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang telah dipaparkan yaitu
menganalisa gerakan sosial Masyarakat Pegunungan Kendeng. Kemudian, tujuan khususnya
ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:
1. Menganalisis faktor-faktor penyebab timbulnya gerakan perlawanan yang dilakukan oleh
Masyarakat Pegunungan Kendeng
2. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana modal sosial yang dimobilisasi berpengaruh
terhadap keberhasilan gerakan perlawanan Masyarakat Pegunungan Kendeng
3. Menganalisis bagaimana dinamika/tahapan gerakan perlawanan yang dimotori oleh
Masyarakat Sedulur Sikep
4
1.4. KEGUNAAN PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk berbagai pihak, diantara lain:
1. Akademisi
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber informasi mengenai dinamika
gerakan dan mobilisasi modal sosial dalam gerakan perlawanan Masyarakat Masyarakat
Pegunungan Kendeng. Selain itu diharapkan pula hasil dari penelitian ini dapat menambah
khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria dan gerakan perlawanan masyarakat.
2. Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah
dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai peraturan pemanfaatan sumber
daya alam.
3. Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat
mengenai mobilisasi modal sosial dalam dinamika gerakan perlawanan Masyarakat
Masyarakat Pegunungan Kendeng. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini dapat
digunakan Masyarakat Pegunungan Kendeng sebagai bukti tambahan dalam
memperjuangkan hak-hak atas pengelolaan Pegunungan Kendeng.
2. PENDEKATAN TEORETIS
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Gerakan Sosial
Demo, pemboikotan, sabotase, dan hal-hal yang mengarah pada tindakan anarki yang lain
sering dikaitkan dengan gerakan sosial. Namun tidak seluruh gerakan sosial berujung destruktif
seperti yang biasa dicap oleh masyarakat. Menururt Martono (2012) secara umum gerakan sosial
dimaknai sebagai sebuah gerakan yang lahir dari sekelompok individu untuk memperjuangkan
kepentingan, aspirasi atau menuntut adanya perubahan yang ditujukan oleh sekelompok tertentu,
misalnya pemerintah atau negara. Gerakan sosial merupakan bentuk dari kolektifitas orang-orang
di dalamnya untuk membawa atau menentang perubahan. Stzompka (1994) dalam Martono
(2012) memberikan batasan definisi gerakan sosial. menurutnya, gerakan sosial harus memiliki
empat kriteria, yaitu: pertama, adanya kolektivitas; kedua, memiliki tujuan bersama, yaitu
mewujudkan perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut
cara yang sama. Selanjutnya yaitu yang ketiga, kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendah
derajatnya daripada organisasi formal. Keempat, tindakannya memiliki derajat spontanitas tinggi
namun tidak terlembaga dan bentuknya tidak konvensional.
Dalam salah satu penelitiannya, Paige (1975) mengemukakan bahwa gerakan sosial terdiri
atas aksi-aksi kolektif yang berada di luar kerangka institusional normal suatu masyarakat dan
melibatkan para peserta yang memiliki beberapa kesamaan perasaan identitas. Suatu peristiwa
dianggap kolektif jika sumber menyebutkan lebih dari 10 peserta atau jika terdapat bukti tak
langsung mengenai peserta kelompok melalui penggunaan kata-kata yang mengandung arti atau
tindakan kolektif seperti “rapat umum”, “kerusuhan”, “pemogokan”, “revolusi”, “pemberontakan”,
atau kata-kata yang berkenaan dengan kolektifitas, seperti gerombolan gerilya, serikat kerja, liga,
partai, atau golongan”. Paige juga menambahkan bahwa hanya peristiwa-peristiwa kolektif noninstitusional yang pesertanya memiliki kesamaan identitas yang dianggap sebagai elemen pokok
suatu gerakan sosial.
Pada penjelasan lain, karakteristik dari gerakan sosial adalah ‘tergabung dalam hubungan
konflik dimana lawannya dapat diidentifikasi dengan jelas; terhubung oleh ikatan informal;
mempunyai identitas kolektif (De la Porta & Diani, 2006 dalam Christeansen 2009). Gerakan sosial
dapat diterjemahkan sebagai organisasi maupun kelompok informal yang terhubung dengan
konflik ekstra institutional yang berorientasi pada tujuan. Tujuan ini dapat ditujukan kepada
kebijakan yang spesifik atau samar atau bahkan untuk merubah perubahan budaya. Meyer dan
Tarroe [tidak ada tahun] dalam Martono (2012) mendefiniskan gerakan sosial sebagai tantangan-
5
tantangan bersama yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama, dalam interkasi yang
berkelanjutan dengan kelompok elite, saingan atau musuh dan pemegang otoritas. Dari definisi
tersebut, kemudian mereka menggolongkan dua ciri gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial
melibatkan beberapa tujuan yang bersifat kolektif, yang merupakan upaya-upaya terorganisasi
untuk mewujudkan perubahan dalam unsur-unsur kelembagaan. Kedua, adanya ciri gerakan yang
bersifat atau mengarah pada tujuan politis yang dibawa gerakan sosial ini. Tujuan-tujuan ini hanya
mungkin dicapai apabila gerakan sosial melibatkan diri dalam interkasi dengan berbagai aktoraktor politik, misalnya pemegang kekuasaan.
Klandermans (2001) menjelaskan bahwa gerakan sosial adalah aksi kolektif yang
dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan yang sama dan solidaritas yang berinteraksi
secara berkelanjutan dengan elit dan pemegang kekuasaan. Gerakan sosial merupakan
penolakan kolektif. Mereka berfokus pada aksi langsung yang menentang elit, pemegang
kekuasaan, kelompok lain, atau budaya lain. Berfokus pada orang-orang yang mempunyai tujuan
yang sama dan solidaritas. Mereka menginginkan pemegang kekuasaan untuk melakukan
sesuatu, untuk merubah atau mengembalikan perubahan. Menurutnya, kemunculan gerakan
sosial disebabkan karena tiga hal. Pertama karena orang-orang mengeluh, kedua karena orangorang mempunyai sumberdaya untuk dimobilisasikan, dan karena adanya kesempatan politik.
Gerakan sosial terbentuk melalui serangkaian proses. Ada beberapa tahap terbentuknya
gerakan sosial ini. Tahap pertama adalah tahap ketidaktenteraman karena ketidakpastian dan
ketidakpuasan yang semakin meningkat. Kedua, tahap perangsangan, yaitu sebuah tahap yang
terjadi ketika perasaan ketidakpuasan seudah semakin besar, penyebab-penyebabnya sudah
teridentifikasi dan saran-saran tindak lanjut sudah diperdebatkan. Ketiga, tahap formalisasi yaitu
sebuah tahap ketika sosok pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah
ditempa, dan organisasi serta taktik telah dimatangkan. Keempat, tahap institusionalisasi atau
tahap pelembagaan, yaitu tahap ketika organisasi telah diambil alih dari para pemimpin terdahulu,
birokrasi telah diperkuat dan dieologi serta program, telah diwujudkan. Kelima, tahap pembubaran
(disolusi), yaitu tahap ketika gerakan sosial tersebut berubah menjadi organisasi tetap berjalan
atau justru mengalami kemunduran, bahkan pembubaran (Horton dan Hunt 1992 dalam Martono
2012).
Henslin (2006) dalam Martono (2012) menjelaskan adanya lima tahap berkembangnya
gerakan sosial. Kelima tahap tersebut yang pertama adalah tahap agitasi awal atau kerusuhan,
tahap ini terjadi ketika orang-orang merasa terganggu oleh kondisi tertentu dan hendak
mengubahnya. Pada tahap ini muncul sosok pemimpin yang mampu menerjemahkan perasaan
orang-orang tersebut ke dalam bentuk wacana dan menyelesaikan isu-isu. Sebagian besar
gerakan sosial mengalami kegagalan pada tahap ini. Kedua, tahap mobilisasi sumber daya. Tahap
ini merupakan faktor penentu yang memungkinkan gerakan sosial melewati tahap pertama.
Sumber daya yang dimaksud di sini adalah menarik perhatian media massa. Ketiga, organisasi.
Pada tahap ini gerakan sosial sudah melakukan pembagian kerja, pimpinan gerakan memutuskan
kebijakan dan jajarannya melaksanakan tugas sehari-hari yang diperlukan agar gerakan sosial
tetap berjalan. Keempat, institusionalisasi. Pada tahap ini gerakan sosial sudah mengembangkan
suatu birokrasi, tipe hierarki formal. Kelima, kemunduran organisasi dan kemungkinan kebangkitan
kembali. Pada tahap ini, pengelolaan kegiatan sehari-hari mendominasi kepemimpinan. Gerakan
sosial pada tahap ini berpeluang untuk menghilang atau bubar.
Gerakan Lingkungan: Pengertian Gerakan Lingkungan
Gerakan lingkungan adalah jaringan dalam interaksi informal yang mencakup individu
maupun kelompok-kelompok yang tidak memiliki afiliasi organisasi maupun organisasi dari
berbagai derajat formalitas (termasuk partai politik, terutama Green Parties) yang terlibat dalam
aksi kolektif yang termotivasi oleh isu-isu lingkungan. Jaringan tersebut umumnya longgar dan
tidak terlembagakan, tetapi bentuk-bentuk aksi dan
tingkat integrasi mereka bervariasi.
Terkadang,gerakan lingkungan tidak identik dengan organisasi yang menentang. Hanya ketika
organisasi (dan lainnya, biasanya pengorganisasian aktornya kurang formal) adalah jaringan dan
terlibat dalam tindakan kolektif, apakah atau tidak melibatkan protes, bahwa gerakan lingkungan
ada. (Rootes, 2004).
6
Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Gerakan Lingkungan
Menurut Devall (2001) gerakan lingkungan memang sudah memiliki sejarah yang panjang,
namun gerakan lingkungan modern dimulai sejak akhir 1960-an. Adanya efek yang nyata dari
percepatan industrialisasi dan eksploitasi sumberdaya alam, membuat banyak orang peduli untuk
melakukan konservasi dan pencegahan. Kritik radikal untuk industrialisme kapitalis dan demokrasi
perwakilan yang terkait dengan yang kontra-budaya, menciptakan ruang publik untuk
mengembangkan gerakan sosial baru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gadgil dan
Guha (1994), karakter dari gerakan lingkungan ini berbeda-beda di tiap negara. Negara-negara
seperti Amerika, Kanada, Australia dan Asia, dan Negara-negara Nordik lebih fokus kepada isu-isu
tentang polusi sedangkan di Eropa Barat, isu lingkungan yang mendominasi adalah tentang
konsekuensi dari degradasi lingkungan terhadap manusia.
Dalam salah satu kasus di India, demonstrasi dilakukan oleh masyarakat desa yang
bertempat tinggal di sekitar Sungai Narmada karena mereka merasa terpinggirkan karena adanya
pembangunan dam. Mereka melakukan gerakan perlawanan menentang adanya dam, karena
dengan adanya dam ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem sungai dan dapat
menyebabkan berbagai macam sumber penyakit. Kasus ini adalah salah satu kasus dari beberapa
kasus dimana salah satu pengguna sumberdaya, misalnya industri atau petani komersial, dilihat
mengintimidasi (seringkali dengan bantuan negara) pemakai sumberdaya lain seperti petani
miskin. Konflik ini diperparah bila terlihat adanya degradasi lingkungan dari aktifitas perindustrian.
Tidak hanya sumberdaya air saja yang dipermasalahkan, pada tahun 1973 masyarakat
India juga membuat gerakan lingkungan untuk menentang komersialisasi hutan yang hanya
menguntungkan pihak-pihak tertentu saja dan membahayakan masyarakat di sekitar hutan. Di
India, gerakan perlawanan tidak sebatas pada daerah aliran sungai dan hutan saja, di laut pun
para nelayan melakukan perlawanan. Perlawanan ini di awali dengan adanya konflik antara
nelayan tradisional dengan nelayan modern (beroperasi dengan menggunakan trawl) yang
melanggar batas-batas nelayan tradisional. Nelayan modern dianggap telah membahayakn
lingkungan karena peningkatan polusi. Aktifitas seperti penambangan juga memberikan dampak
negatif pada lingkungan karena telah menimbulkan deforestasi, menghabiskan sumberdaya air,
dan juga menyebabkan erosi (Gadgil dan Guha 1994).
Bentuk-bentuk Gerakan Lingkungan
Menurut Rootes (2004), tidak semua hubungan dalam gerakan lingkungan selalu mudah
terlihat. Ketika gerakan sudah didirikan dengan baik, tindakan mereka mungkin telah bergeser
dari tindakan protes yang sangat terlihat menjadi lobi kurang terlihat dan bahkan melakukan
keterlibatan yang konstruktif dengan pemerintah dan perusahaan. Sama seperti aksi kolektif
lainnya yang lambat laun mungkin menjadi kurang terlihat, demikian juga banyak gerakan
lingkungan ini menjadi mengakar sehingga ada banyak keterkaitan ‘bawah tanah’ antara
kelompok dan organisasi, dan berbagai macam kegiatan gerakan kurang terwakili dalam media
massa. Rootes (2004) juga menjelaskan bahwa kemuculan gerakan lingkungan baru pada tahun
1960 ini mendorong inovasi dalam taktik, terutama agenda, dan pada akhir dari 1980 jaringan
antara organisasi yang lebih tua dan yang lebih baru dan kampanye bersama yang semakin
umum.
Rootes (2004) menjelaskan bahwa gerakan lingkungan akar rumput melibatkan hubungan
antar bidang yang lebih luas di masyarakat daripada melakukan gerakan lingkungan dengan skala
nasional, sebagian karena secara lokal penggunaan lahan yang tidak diinginkan lebih sering
dikenakan pada orang miskin. Peran perempuan lebih terlihat dalam mobilisasi akar rumput
daripada di nasional. Dari penelitian mencerminkan perempuan lebih percaya diri dalam bertindak
pada tingkat lokal daripada di ruang publik yang lebih luas. Dengan demikian aktivitas lingkungan
di tingkat akar rumput merupakan sarana penting untuk pembelajaran sosial tentang isu-isu
lingkungan, sebuah tempat belajar untuk berpartisipasi, titik masuk untuk aktivitas dan isu-isu baru,
sumber revitalisasi dari gerakan lingkungan, dan sarana yang mungkin dibuat lebih representatif
secara sosial.
7
Menurut Bruelle (2000) dalam Rootes (2004), penggunaan frames yang berbeda oleh
enviromentalis menimbulkan konsekuensi dalam cara mereka berkampanye dan bentuk organisasi
yang mereka adopsi. Organisasi gerakan lingkungan yang berkomitmen pada konservasionisme
atau ekologisme mempunyai perbedaan dalam pemilihan strategi, taktik, dan bentuk aksinya. FoE
dan Greenpeace belajar dengan etik yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi dengan yang
berkuasa, sehingga organisasi konservasi tradisional menjadi berkurang kurangnya dan lebih
terampil dalam penggunaan media massa. Meskipun nilai-nilai organisasi gerakan lingkungan
tidak mempengaruhi mereka secara strategi dan taktik, efek yang lebih besar dapat diatribusikan
ke dalam struktur kesempatan politik.
Di India, kelompok sains yang populer memainkan alat musik, memainkan lagu-lagu folk di
seluruh bagian Kerala untuk meningkatkan kesadaran akan deforestasi dan polusi. Di bagian
Karntaka, tema tentang kerusakan lingkungan disajikan dalam drama dan tari tradisional.
Beberapa camp juga didirkan untuk melakukan pemulihan lingkungan dengan mempromosikan
penghijauan kembali hutan. Walking tour juga disediakan untuk mengajak pada donatur untuk
mendonasikan tanah bagi yang tidak bertanah. Pada kasus kerusakan dipesisir, para nelayan
dibantu dengan beberapa organisasi melakukan march yang bertujuan untuk 1. Membuka
kesadaran masyarakat tentang hubungan antara air dan kehidupan dan untuk menginisiasi untuk
melindungi air ; 2. Untuk membangun jaringan kepada pihak-pihak berfokus pada bidang dengan
isu ini ; 3. Untuk meminta pemerintah agar membuat peraturan tentang keberlanjutan pemakaian
air dan untuk menguatkan keberadaan agen-agen pengatur air ; 4. Untuk menaksir dampak yang
sudah terjadi, mengidentifikasi area dan detail masalah, dan mempraktekan peremajaan
sumberdaya air ; 5. Untuk menyebarkan praktek konservasi air tradisional dan memperbarui
teknologi alat tangkap ikan (Gadgil dan Guha, 1994).
Berdasarkan penelitian Gadgil dan Guha (1994), selain melakukan kegiatan-kegiatan yang
bertujuan untuk meningktakan kesadaran untuk peduli lingkungan, sebagai taktik dalam
perjuangan dan menumbuhkan kesadaran kritis, program-program mengenai perbaikan ekologi
pun dilakukan. Banyak organisasi yang mengorganisasi masyarakat untuk melakukan penghijauan
kembali, konservasi tanah dan air, dan mengadopsi teknologi yang ramah lingkungan. Dalam
dekade terakhir, banyak yang telah membangun organisasi level makro untuk mengkoordinasikan
berbagai macam kelompok dan aktivitas.
Tahap-tahap dalam Gerakan
Suatu gerakan sosial pasti memiliki dinamikanya masing-masing. Dinamika itu terus
berlangsung dari awal pembentukan sebuah gerakan hingga gerakan itu akhirnya menghilang.
Oleh para sosiolog dinamika dari gerakan sosial disebut dengan life cycle of social movement.
Christiansen (2009) dalam tulisannya yang berjudul ‘Empat Tahap dalam Gerakan Sosial’
menjelaskan tahap-tahap yang terjadi dalam gerakan sosial berdasarkan teori para sosiolog
terdahulu mulai dari awal terbentuknya hingga terjadinya penurunan dalam gerakan. Empat tahap
dari gerakan sosial adalah emerge (kemunculan), coalescene (bergabung), bureaucratization
(formalisasi), dan decline (penurunan). Tahap ke empat yaitu penurunan bukan berarti hanya
bersifat negatif saja. Penurunan dari gerakan sosial ini dapat disebabkan oleh beberapa sebab
yang berbeda, seperti represi, kooptasi, kekeberhasilanan, kegagalan, dan mainstream. Model
empat tahap ini memiliki kegunaan yang penting dalam memahami aksi kolektif dan menyediakan
bingkai analisis untuk para sosiolog dalam memahami gerakan sosial dan mengetahui dampaknya
pada masa lalu dan masa yang akan datang.
Di dalam tulisannya juga, Christiansen menyebutkan awal mula terbentuknya teori empat
tahap dari gerakan sosial ini. Hebert Blumer (dalam De Laporta & Diani 2006) termasuk ke dalam
para sarjana awal yang mendeskripsikan empat tahap gerakan sosial, namun seiring dengan
dinamika pengetahuan para sarjana menamai ulang tahap-tahap yang telah dicetuskan oleh
Blumer. Pada saat ini keempat tahap gerakan sosial adalah emerge (kemunculan), coalescene
(bergabung), bureaucratization (formalisasi), dan decline (penurunan). Tahap ke empat yaitu
penurunan bukan berarti hanya bersifat negatif saja. Penurunan dari gerakan sosial ini dapat
disebabkan oleh beberapa sebab yang berbeda, seperti represi, kooptasi, kekeberhasilan,
kegagalan, dan establishment within mainstream society.
8
Pada tahap I yaitu emerge, individu merasa tidak puas dan tidak nyaman dengan keadaan
yang ada, baik karena disebabkan kebijakan atau kondisi sosial tertentu, tetapi mereka tidak
mengambil tindakan dan bergerak secara individu (tidak secara kolektif). Pada tahap II yaitu
coalescene, menjelaskan bahwa di tahap ini tidak hanya perasaan umum mengenai
ketidaknyamanan saja tapi sudah mengkaji tentang apa penyebab ketidaknyamanan itu dan siapa
atau apa yang bertanggungjawab. Perasaan tidak puas tidak lagi menjadi perasaan individual dan
tidak terkoordinat, namun menjadi kolektif (Rex D. Hoppe 1950 dalam Christiansen 2009). Yang
terpenting pada tahap ini adalah gerakan yang dilakukan lebih dari gerakan individu yang kecewa
namun pada titik ini mereka sudah mengorganisir dan membuat strategi. Pada tahap III yaitu
bureaucratization, gerakan sosial pernah mengalami kekeberhasilan. Pada fase ini kekuatan politik
lebih besar daripada tahap-tahap sebelumnya. Banyak gerakan sosial yang gagal pada tahap ini
karena sulit bagi para anggota untuk tetap mengelola emosi untuk terus mengejar kebutuhannya
dan karena mobilisasi terlalu bergantung kepada partisipannya.
Tahap IV yaitu decline, Miller (1999) dalam Christiansen (2009) beragumen bahwa ada
empat jalan dimana gerakan sosial mengalami penuruan, yaitu represi, kooptasi,
kekeberhasilanan, dan kegagalan. Represi muncul ketika pihak berwenang melakukan tindakan
(kadang berupa kekerasan) untuk mengontrol atau bahkan menghancurkan gerakan sosial.
Kooptasi, terjadi ketika suatu gerakan memiliki ketergantungan yang tinggi pada otoritas dan
karisma dari pemimpin, melalui kooptasi. Kooptasi dapat berlangsung ketika pemimpin pergerakn
melakukan kerjasama dengan pihak berwenang atau target dari gerakan. Pemimpin tersebut
menjadi terintegrasi dengan organisasi di luar gerakan dan memakai nilai-nilainya daripada
memakai nilai-nilai gerakan sosial itu sendiri. Yang ketiga adalah keberhasilan. Tentu saja tidak
semua gerakan sosial pada akhirnya hancur karena represi atau kooptasi. Beberapa mengalami
penurunan karena gerakan tersebut telah berhasil. Gerakan lokal yang ukurannya kecil dengan
tujuan-tujuan spesifik biasanya mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mencapai suatu
keberhasilan. Yang terakhir adalah kegagalan. Kegagalan dari gerakan sosial baik dari organisasi
atau kegagalan strategis terjadi pada banyak organisasi. Ketika kegagalan muncul pada level
organisasi, Miller (1999) berpendapat bahwa ada dua penyebab yaitu organisasi yang terbagi
menjadi beberapa golongan dan enkapsulasi.
Hartoyo (2010) menjelaskan bahwa dinamika agraria yang terjadi pada tempat
penelitannya berkahir pada involusi gerakan. Hal ini disebabkan karena gerakan petani yang
muncul dan berkembang di dalam struktur politik yang sudah terbuka di era demokratisasi saat ini
tidak mampu memperkuat dirinya dan juga dalam melakukan perubahan substansif nasib petani.
Stagnasi gerakan petani terjadi karena dalam proses penguatan struktur mobilisasi sumberdaya
diwarnai disorientasi perilaku para elit aktor yang konsekuensinya tidak dapat diprediksi dan
dikontrol. Selain itu penyebab stagnasi dari gerakan ini karena struktur sumberdaya mobilisasi
melemah dan sifat struktural organisasi gerakan semakin melekat pada sistem agraria yang
mapan, sedangkan program perjuangan belum terlembagakan. Dalam penelitiannya Paige (1975)
juga menambahkan bahwa gerakan agraria tidak mempunyai tujuan-tujuan politik jangka panjang
dan seringkali membubarkan diri jika tuntutannya atas masalah tanah tersebut telah terpuaskan.
Pada kasus SPP yang ditulis oleh Aji (2005), gerakan yang sudah terorganisir ini memiliki
strategi. Strategi dari organisasi ini adalah pemanfaatan dan pengelolaan atas pemilikan
sumberdaya secara layak, pemeliharaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya agar tetap
memberikan pemenuhan bagi kehidupan rakyat yang layak dan berkelanjutan, penguatan SDM
agraria melalui organisasi yang demokratis, setara, partisipatif, transparan, dan mandiri,
menumbuhkan kepemimpinan rakyat, berpartisipasi aktif dalam pembangunan pedesaan,
penumbuhan dan penguatan kapasitas organisasi, memperkuat gerakan tani dan gerakan agraria,
serta membangun institusi kepemimpinan rakyat, penataan produksi, membangun, dan
memperkuat institusi. Selain adanya strategi dalam gerakan, organisasi ini juga mempunyai
jaringan dengan mahasiswa. Mahasiswa ini membantu dalam kasus-kasus sengketa tanah, terlibat
dalam penyerangan-penyerangan, penataan lahan-lahan garapan, dan membantu organisaiorganisasi.
Dari penelitian-penelitian di atas dan juga penelitan lain, dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang menyebabkan dinamika gerakan terjadi karena faktor eksternal dan internal, dan
keduanya pun saling berhubungan. Faktor eksternal antara lain adalah adanya jaringan atau
9
koalisi, kondisi politik, represi, pengaruh dan intervensi kekuatan-kekuatan politik ekonomi global
berserta agendanya. Faktor internal antara lain adalah kepemimpinan, fluktuasi kebutuhan dan
keinginan anggota, nilai-nilai yang dianut, serta tingkat kohesivitas organisasi.
Konsep Modal Sosial
Para peneliti banyak mengemukakan konsep-konsep tentang modal sosial, namun hanya
terdapat tiga penulis yang definisinya banyak berpengaruh dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
Ketiga penulis tersebut adalah James Coleman, Robert Putnam, dan Pierre Bourdie. Masingmasing penulis tersebut mengemukakan konsep modal sosial dan juga dari sudut pandang yang
berbeda pula. Coleman (1988) memandang modal sosial sebagai kepercayaan, norma perilaku,
jaringan sosial, dan kombinasi dari ketiganya. Modal sosial sendiri melekat pada struktur
hubungan antara aktor dan antara aktor, aspek-aspek struktur sosial kepada pelaku dilihat sebagai
sumber daya yang dapat mereka gunakan untuk mencapai kepentingan mereka. Pada
penelitiannya, James Coleman mendefinisikan modal sosial dari sudut pandang fungsi modal
sosial dan menekankan pada struktur sosialuntuk memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk
mencapai tujuan dari anggota-anggotanya. Aspek yang dimaksud adalah kewajiban dan harapan
yang tergantung pada kepercayaan dari lingkungan sosial, jaringan informasi dari struktur sosial,
norma-norma dan sanksi-sanksi yang efektif agar dapat menjaga hubungan dengan orang lain.
Robert Putnam (1995) dalam Alfiasari et al (2009) mengemukakan bahwa modal sosial
adalah suatu institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan
kepercayaan sosial (social trust), yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan
kooperasi) untuk kepentingan bersama. Putnam juga menilai modal sosial sebagai pendorong
dalam kelembagaan demokrasi dan pengembangan ekonomi. Pierre Bourdie (1970) dalam
Alfiasari et al (2009) mendefiniskan modal sosial sebagai jaringan sosial yang terlembagakan
serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik. Jaringan
sosial ini dapat memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif yang
keuntungannya dapat dirasakan setiap anggota. Modal sosial terbentuk dari investasi strategistrategi baik dari tindakan individu maupun kolektif dalam waktu sesaat ataupun berkelanjutan
yang bertujuan untuk menstabilkan atau menghasilkan hubungan-hubungan sosial yang secara
langsung berguna dalam jangka pendek maupun panjang.
Bambang Rustanto (2007) pada penelitiannya mengemukakan bahwa modal sosial
terdapat dalam entitas sosial tertentu, seperti paguyuban, kelompok arisan, dan asosiasi. Rustanto
juga mendefinisikan bahwa modal sosial adalah jaringan sosial atau sekelompok orang yang
dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban, serta oleh norma pertukaran dan civic
engagement. Dalam penelitiannya, Rustanto juga menggunakan tipe modal sosial menurut
Woolcook (2001). Tipe-tipe tersebut adalah perekat sosial (social bounding) atau biasa disebut
dengan ikatan, institusi atau mekanisme (social bridging) yang dapat bekerja lintas kelompok
kepentingan, hubungan atau jaringan sosial (social linking), pelibatannya (netting) dapat berupa
komunikasi, kooperasi, koordinasi, dan kolaborasi, dan koordinasi. Pada akhir tulisannya Rustanto
mengemukakan bahwa pengembangan modal sosial berguna untuk: membuat individu akan
terlibat belajar mengembangkan perilaku pro sosial secara efektif guna mengatasi masalah
maupun memenuhi kebutuhannya.
Pada penelitian lain meneliti tentang hubungan antara modal sosial dengan ketahanan
pangan masyarakat urban yang miskin. Variabel modal sosial diukur dengan konsep yang
dikemukakan oleh Putnam yaitu kepercayaan, jaringan sosial (sifat, basis/bentuk, luas,
kedalaman, keragaman, dan permanency), dan norma sosial (norma tidak tertulis, tradisional, dan
norma agama). Penelitian ini menujunkkan bahwa rumah tangga yang tahan pangan adalah
rumah tangga yang mempunyai modal sosial berupa kepercayaan yang lebih tinggi dalam menjalin
hubungan tanpa rasa saling curiga, kepercayaan yang lebih tinggi dalam menjaga lingkungan
tetap langgeng, hubungan sosialnya lebih banyak dalam pemenuhan kebutuhan pangan rumah
tangganya, dan istri bukan penduduk asli lingkungan tempat tinggal.
10
Modal Sosial dalam Gerakan Sosial
Modal sosial paling baik dipahami sebagai akses sosial ke sumber daya. Modal sosial
adalah penghubung dan konsep struktural yang mengacu pada kemampuan individu atau
kelompok dalam menggunakan hubungan dan posisi sosial mereka dalam berbagai jaringan sosial
untuk mengakses berbagai sumber daya, dan untuk mengumpulkan wadah sumber daya yang
dapat diperoleh dengan secara sadar berinvestasi dalam hubungan sosial. Walaupun terdapat
perbedaan-perbedaan, teori tributarian yang dikemukakan oleh Bourdieu, Coleman and Lin
mempunyai kecocokan untuk 3 alasan. Pertama, mereka melihat modal sosial sebagai
penghubung dan ditanamkan dalam jaringan dan konteks sosial yang spesifik. Kedua, modal
sosial, seperti sumber daya lainnya, bisa didistribusikan secara merata, ataupun dapat diperoleh
secara sepadan untuk semua pelaku pergerakan sosial dalam suatu perkumpulan masyarakat.
Ketiga, ketiganya mengetahui bahwa konteks sosial mempengaruhi ‘nilai penggunaan’ suatu
modal sosial untuk pergerakan. (Edwards, 2013)
Berdasarkan penjelasan dari Edwards (2013), tingkat kepadatan dari organisasi sosial preeksis (calon organisasi sosial) di antara pengikutnya memfasilitasi kemunculan, mobilisasi, dan
berbagai aktifitas pergerakan sosial adalah salah satu penemuan yang paling konsisten yang
muncul dalam hampir 4 dekade penelitian pergerakan sosial. Hingga baru-baru ini, peneliti
pergerakan sosial jarang mendiskusikan penemuan-penemuan ini dalam istilah modal sosial,
walaupun demikian, jika sesorang me-review bahan tersebut dari segi keuntungan teori terbaru,
hal itu menjadi jelas bahwa varian struktural dan penghubung dari modal sosial telah menjadi
elemen penting dalam analisis pergerakan sosial.
Peneliti telah menonjolkan beberapa bentuk organisasi sosial yang berfungsi sebagai
struktur mobilisasi bagi pergerakan sosial: infrastruktur, ikatan dan jaringan sosial, kelompok,
koalisi, dan organisasi. Infrastruktur adalah kebutuhan publik yang bersifat sosial-organisasional
seperti kantor pos, jalan, atau internet, yang memfasilitasi kelancaran hidup sehari-hari.
Sebaliknya, akses ke jaringan sosial, koalisi, dan khususnya kelompok dan organisasi formal
dapat dibatasi oleh orang dalam. Oleh karena itu, akses ke sumber daya yang tertanam pada
mereka dapat ditabung oleh orang dalam dan dibantah terhadap orang luar, sering meningkatkan
ketidakseimbangan diantara kelompok dalam hal kemampuan memberdayakan sumber daya
penting lainnya. Karena sumber daya yang sudah tertanam dalam berbagai bentuk organisasi
sosial tidak dapat diakses secara seimbang ke semua anggota dari perkumpulan masyarakat
tersebut, organisasi sosial tidak terdiri dari modal sosial walaupun itu meningkatkan kesempatan
pelaku pergerakan sosial alam mampu mengakses sumber daya.
Edwards (2013) juga menjelaskan bahwa pelaku pergerakan sosial bisa dikatakan
mempunyai modal sosial saat sumber daya ada dan dapat diakses, dengan kata lain siap
digunakan. Agar pergerakan sosial dapat mengubah sumber daya sosial (‘bahan mentah’ modal
sosial) menjadi modal sosial, 2 komponen yang berbeda, namun diperlukan, harus ada. Pertama,
pelaku individu atau kolektif harus mengetahui bahwa sumber daya spesifik ada di konteks sosial
mereka. Kedua, mereka harus mempunyai hubungan pertukaran yang me-makelar-i akses individu
atau kelompok terhadap sumber daya tersebut. Hubungan pertukaran terjadi antara dua pihak saat
berbagai sumber daya tersedia dan dapat diakses. Walaupun demikian, hubungan pertukaran
tidak bisa dikatakan secara sederhana sebagai suatu ‘ikatan sosial’ dalam suatu struktur walaupun
saling berhubungan. Semua hubungan pertukaran melibatkan ikatan, tapi ikatan pada hakekatnya
hanya mengindikasikan kesempatan untuk pertukaran dan tidak membawa bersamanya arti sosial
atau budaya dari suatu hubungan di antara pihak terkait. Oleh karena itu, dalam analisis struktural
yang ketat mengenai ikatan sosial, jaringan sosial atau bentuk lain dari organisasi sosial
dibutuhkan, tapi tidak mencukupi, untuk memahami modal sosial. Tanpa beberapa pengetahuan
tentang kandungan hubungan sosial dan tentang sumber daya spesifik yang tersedia melalui nya,
seseorang tidak dapat menilai jumlah modal sosial individu, organisasi atau pergerakan sosial
yang sebenarnya dimiliki.
11
2.2.
KERANGKA PEMIKIRAN
Perasaan ketidaknyamanan dan perasaan terancam yang disebabkan oleh masuknya
pabrik semen untuk kegiatan penambangan dan pendirian pabrik pada kawasan Pegunungan
Kendeng menyebabkan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada Pegunungan Kendeng
melakukan gerakan perlawanan. Perasaan terancam ini disebabkan karena Pegunungan Kendeng
mempunyai sumber mata air bawah tanah serta memilki berbagai macam keanekaragaman hayati
yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti air yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan dasar serta pengairan ladang dan sawah. Masyarakat yang sebagian besar berprofesi
sebagai petani ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari Pegunungan Kendeng.
Dalam berlangsungnya proses gerakan perlawanan ini, berbagai macam dinamika dan
bentuk-bentuk gerakan pun terjadi. Dinamika ini berlangsung dari awal munculnya gerakan hingga
tahap akhir dari gerakan yang berupa penurunan yang ditandai dengan keberhasilan gerakan
perlawanan. Dinamika/ tahap-tahap serta bentuk gerakan perlawanan yang terjadi dipengaruhi
oleh faktor-faktor penyebab timbulnya gerakan perlawanan dan juga modal sosial yang dimiliki
oleh masyarakat. Modal Sosial yang telah dimobilisasi ini memberi pengaruh pada dinamika
gerakan perlawanan sehingga pada akhirnya gerakan perlawanan ini dapat mencapai
keberhasilan. Secara ringkas kerangka analisis dapat digambarkan di bawah ini:
Faktor-faktor
Penyebab
Timbulnya
Perlawanan
Gerakan
Perlawanan
Hasil
Perlawanan
:
Modal Sosial:
 Kepercayaan
 Norma
 Jaringan
Keterangan:
: berpengaruh
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2.3.
HIPOTESIS PENELITIAN
Modal sosial yang dimobilisasi oleh para petani peduli Pegunungan Kendeng berhasil mencegah
perusahaan semen untuk mendirikan pabrik dan melakukan eksploitasi di kawasan Pegunungan
Kendeng
12
2.4.
DEFINISI OPERASIONAL
Tabel 1 Tabel Definisi Operasional Penelitian analisis mobilisasi modal sosial dalam
keberhasilan gerakan perlawanan Masyarakat Pegunungan Kendeng
No.
1.
Variabel
Pemanfaatan
sumberdaya air oleh
petani
2.
Kepercayaan
3.
Jaringan
4.
Norma
5
Awal mula
terbentuknya
gerakan perlawanan
6
Penggabungan
gerakan perlawanan
7
Birokratisasi
gerakan perlawanan
8
Penurunan gerakan
ditandai dengan
keberhasilan
gerakan perlawanan
Definisi Operasional
Bentuk-bentuk
pemanfaatan
sumberdaya air dan
seberapa besar
ketergantungannya
Meliputi
kepercayaan
pada anggota yang
termasuk ke dalam
jaringan dan pihakpihak
yang
telah
membantu seperti LSM
dan akademisi
Meliputi kedekatan
dengan sesama
anggota kelompok dan
luar kelompok, jumlah
jaringan
Meliputi kesediaan
menolong orang lain;
kepedulian pada orang
lain; Peraturan yang
disepakati
Individu merasa tidak
puas dan tidak nyaman
dengan keadaan yang
ada, baik karena
disebabkan kebijakan
atau kondisi sosial
tertentu, tetapi mereka
tidak mengambil
tindakan dan bergerak
secara individu (tidak
secara kolektif)
individu sudah
mengorganisir dan
membuat strategi
politik lebih besar
daripada tahap-tahap
sebelumnya
gerakan sosial
mengalami penuruan,
yaitu represi, kooptasi,
kekeberhasilanan, dan
kegagalan
Indikator
Pemanfaatan air
untuk keperluan
rumah tangga,
pertanian, dan
kegiatan lainnya
Jenis Data
Primer dan
Sekunder
Primer
Primer dan
Sekunder
Primer
Primer dan
sekunder
Primer dan
sekunder
Primer dan
sekunder
Primer dan
sekunder
13
3. PENDEKATAN LAPANGAN
3.1.
LOKASI DAN WAKTU
Penelitian ini dilakukan di Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Provinsi
Jawa Tengah. Lokasi tersebut dipilih karena masyarakat yang tinggal pada desa tersebut sebagian
besar bekerja sebagai petani dimana pengairan sawahnya mengandalkan air dari Pegunungan
Kendeng. Sejak tahun 2006, di lokasi tersebut telah terjadi konflik antara masyarakat dengan
pabrik semen dan berakhir pada tahun 2010 dengan keberhasilan masyarakat untuk tetap
mempertahankan Pegunungan Kendeng. Selain itu, beberapa masyarakat di desa tersebut yang
bergabung dalam gerakan perlawanan masyarakat telah diorganisir ke dalam organisasi yang
bernama Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu enam bulan, terhitung mulai
bulan Januari 2014 sampai dengan Juni 2014. Penelitian ini dimulai dengan penyusunan proposal
penelitian, kolokium penyampaian proposal penelitian, perbaikan proposal penelitian, pengambilan
data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi,
dan perbaikan laporan skripsi.
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
Proposal
Skripsi
Kolokium
Perbaikan
Proposal
Skripsi
Pengambilan
Data Lapang
Pengolahan
dan Analisis
Data
Penulisan
Draft Skripsi
Uji Petik
Sidang
Skripsi
Perbaikan
Laporan
Skripsi
Tabel 2. Jadwal Penelitian
3.2.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data
primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara kuesioner (Lampiran 2), observasi, serta
wawancara mendalam dengan menggunakan panduan pertanyaan yang sudah disususn
sebelumnya (Lampiran 3). Data sekunder diperoleh baik dari dokumen-dokumen tertulis di kantor
desa, kantor kecamatan, pos JMPKK, maupun dari sumber lainnya. Data sekunder berupa
14
dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini, seperti dokumen sejarah berupa jurnal,
catatan, foto, dan data masyarakat yang menjadi anggota JMPKK maupun data mengenai
kegiatan-kegiatan perlawanan yang dilakukan oleh JMPKK.
Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel,
dan sebagainya. Responden yang menjadi sumber data penelitian ini dipilih dengan metode
simple random sampling pada masyarakat yang berprofesi sebagai petani yang mengandalkan air
dari Pegunungan Kendeng untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun untuk mengairi lahan
persawahannya dan aktif dalam gerakan perlawanan dan tergabung dalam JMPPK dengan jumlah
sampel yang akan diambil sebanyak 30 orang. Namun metode pengumpulan sampel selanjutnya
akan ditentukan setelah melakukan observasi lapang.
3.3.
TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
Data yang telah terkumpul berupa data kuantitatif dan data kualitatif akan diolah dan
dianalisis untuk melihat kebenarannya. Data kuantitatif dari pengisian kuesioner diolah dengan
tabulasi silang dan frekuensi kemudia dianalisa secara deskrptif. Untuk melihat hubungan dan
pengaruh yang signifikan antar variabel digunakan uji statistik rank sperman dengan pengujian
data menggunakan aplikasi SPSS versi 16. Data kualitatif yang berperan sebagai pelengkap data
kuantiatif akan dianalisis dengan cara mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan.
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis lapangan.
Pengujian data selanjutnya melihat bagaimana keadaan di lapangan untuk mengetahui kecocokan
dalam penggunaan uji statistik. Hasil pemilihan data tersebut kemudian disajikan agar sekumpulan
informasi dapat tersusun sehingga memberi kemungkinan pada penarikan kesimpulan. Seluruh
hasil penelitian dituliskan dalam rancangan skripsi (Lampiran 4).
DAFTAR PUSTAKA
Aji GB. 2005. Tanah Untuk Penggarap. Bogor [ID]: LATIN
Alfiasari, Dharmawan AH, Martianto D. 2009. Modal Sosial dan ketahanan pangan rumah tangga
miskin di kecamatan tanah sareal dan kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Sodality. 03 (01): 125
– 152. Dapat diunduh dari: http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5869/4534
Cormier J, Diani M, Tindall DB. 2012. Network social capital as an outcome od social movement
mobilization: using the position generator as an indicator of social network diversity. Social
Network. 34: 387 – 395. Dapat diunduh di:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378873312000020
Christiansen J. 2009. Stages of Social Movement. EBSCO Research Starter. Boston [US]: Boston
College
Coleman JS. 1988. Social capital in the creation of human capital. Social Capital (a multifaceted
perspective). Chicago: [US] University of Chicago
Devall B, Drengson A, Schroll MA. 2011. The deep ecology movement: originsm development, and
future prospects (toward a transpersonal ecosophy). International Journal of Transpersonal
Studies.30 (1-2): 101 – 117
15
Diami M. 2002. Social movements, contentious actions, and social networks: ‘from metaphor to
susbtance’. Dalam: Diani M dan McAdam D. Social movement analysis, the network perspective.
Oxford [UK]: Oxford University Press. Dapat diunduh di:
http://www.ssc.wisc.edu/~oliver/PROTESTS/NetworkPapers/DianiCh.1.pdf
Edwards B. 2013. Social capital and social movements. Dalam: Snow DA, Porta Dd, Klandermans
B, McAdam D, editor. The Wiley-Blackwell Encyclopedia od Social and Political Movements.
Blackwell. Oxford [UK]: Blackwell Publishing Ltd. Dapat diunduh di:
https://www.academia.edu/2901690/Social_Capital_and_Social_Movements
ESDM. 2008. Peta klasifikasi Kawasan Karst Sukolilo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah.
Dapat diunduh di: http://pag.bgl.esdm.go.id/?q=content/klasifikasi-kawasan-karst-sukolilokabupaten-pati-provinsi-jawa-tengah
Gadgil M, Guha R. 1994. Ecological conflicts and the environmental movement in India.
Development and Change. Vol 25: 101-136. Oxford [UK]: Blackwell Publishers
Hafid JOS. 2001. Perlawanan Petani: Kasus tanah Jenggawah. [ID] Latin
Halim Y, Jamulya, Risyanto, Sriyono, Woro S. 2001. Identifikasi kerusakan lingkungan akibat
penambangan bahangalian golongan c di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan dan
Kecamatan Panceng Kabupaten Gresik Propinsi Jawa Timur.. Prosiding Seminar Hasil-hasil
Penelitian Fakultas Geografi UGM tahun 2011. Dapat diunduh di:
http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/1592_mu11010008.pdf
Hartoyo. 2010. Involusi gerakan agraria dan nasib petani. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian
Bogor.
Klandermans B. 2004. Why social movements come into being and why people join them. Dalam
Blau JR. The Blackwell companion to sociology. Oxford [UK]: Blackwell Publishing Ltd.
Dapat diunduh di: http://skpm.ipb.ac.id/sim-fema/tmp/3/buku/20131231_IKN_52894556.pdf
Martono N. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial. [ID] Raja Grafindo Persada
Maulida YF. 2012. Mengintip konflik agraria dia negeri agraris. Dapat diakses di:
http://agriface.com/read/10252/Mengintip+Konflik+Agraria+di+Negeri+Agraris
Paige JM. 1975. Revolusi agraria (gerakan sosial dan pertanian ekspor di negara-negara dunia
ketiga). Yogyakarta [ID]: Imperium
Rootes, Christopher. 2004. Environmental movements. Dalam: Snow DA, Soule SA, Kriesi H,
editor. The Blackwell companion to social movements. Oxford [UK]: Blackwell Publishing
Rustanto B. 2007. Penguatan keluarga miskin melalui pengembangan modal sosial. Informasi. 12
(03): 22 - 32. Dapat diunduh dari:
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/1c2a8d2e06b07e498bc340d1a9c323e7.pdf
Tjondronegoro SMP. 1999. Sosiologi Agraria. [ID] Yayasan Akatiga
Undang-Undang No.11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Dapat
diunduh dari: http://psdg.bgl.esdm.go.id/kepmen_pp_uu/UU_11_1967.pdf \
16
Lampiran 1. Peta Klasifikasi Kawasan Karst di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati
17
Lampiran 2. Kuesioner
No. Responden
Hari, tanggal survey
:
:
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KUESIONER
ANALISIS MOBILISASI MODAL SOSIAL DALAM KEBERHASILAN GERAKAN PERLAWANAN
MASYARAKAT PEGUNUNGAN KARST KENDENG
I.
Identitas Responden
Nama lengkap
Jenis kelamin*
Umur
Suku
Alamat
No. Telp/HP
Lama tinggal di lokasi
Pendidikan terakhir*
Status kependudukan*
Pekerjaan utama
:
:L/P
:
tahun
:
:
:
:
tahun
: Tidak sekolah/ SD/ SMP/ SMA/ Perguruan Tinggi
: Asli/ Pendatang (dari ………………….)
:Petani/ Buruh tani/ Nelayan/ Buruh/ Wiraswasta/ Pelajar/
Lainnya……………
Keterangan : * lingkari yang perlu
II.
Identifikasi Ketergantungan Terhadap Sumberdaya air dari Pegunungan Kendeng
Pada bagian ini, Anda dimohon menjawab jawaban sesuai dengan kegiatan anda sehari-hari
Ketergantungan Terhdap Sumberdaya air dari Pegunungan Kendeng
No Pertanyaan
SL SR KD JR TP
1
Saya menggunakan air dari Pegunungan Kendeng untuk
memasak
2
Saya menggunakan air dari Pegunungan Kendeng untuk
minum
3
Saya menggunakan air dari Pegunungan Kendeng untuk
mandi
4
Saya menggunakan air dari Pegunungan Kendeng untuk
mencuci
5
Saya menggunakan air dari Pegunungan Kendeng untuk
mengairi lahan pada musim penghujan
6
Saya menggunakan air dari Pegunungan Kendeng untuk
mengairi lahan pada musim kemarau
7
Saya tidak menggunakan air selain dari Pegunungan Kendeng
untuk memasak
8
Saya tidak menggunakan air selain dari Pegunungan Kendeng
untuk minum
9
Saya tidak menggunakan air selain dari Pegunungan Kendeng
18
10
11
12
untuk mandi
Saya tidak menggunakan air selain dari Pegunungan Kendeng
untuk mencuci
Saya tidak menggunakan air selain dari Pegunungan Kendeng
untuk mengairi lahan pada musim penghujan
Saya tidak menggunakan air selain dari Pegunungan Kendeng
untuk mengairi lahan pada kemarau
III. Identifikasi Modal Sosial di Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati
Modal Sosial
Tingkat Kepercayaan
No Pertanyaan
13
Saya menaruh kepercayaan kepada petani anggota JMPPK
14
Saya menaruh kepercayaan kepada LSM yang membantu
gerakan perlawanan
15
Saya menaruh kepercayaan kepada akademisi yang membantu
gerakan perlawanan
16
Saya merasa nyaman bergabung dalam JMPPK
17
Saya selalu berhati-hati jika berurusan dengan pihak pabrik
18
Saya yakin semua anggota kelompok kontra denga pendirian
pabrik dan eskploitasi tambang
19
Keberadaan JMPPK memberi keuntungan bagi saya
20
Saya bersedia meluangkan waktu untuk melakukan pertemuan
dengan JMPPK
21
Saya hadir dalam kegiatan yang diselenggarakan JMPPK
22
Saya merasa keberadaan saya dibutuhkan dalam JMPPK
23
Saya membantu anggota kelompok yang kesulitan
24
Saya bersedia mengerahkan tenaga untuk kegiatan yang
diselenggarakan JMPPK
Kekuatan Jaringan
25
Saya mengenal sebagian besar petani yang bergabung dalam
JMPPK
26
Saya mengenal sebagian besar LSM yang membantu JMPPK
27
Saya mengenal sebagian besar akademisi yang membantu
JMPPK
28
Saya melakukan semua kegiatan selama berada di JMPPK
secara sukarela
29
Saya telah melakukan banyak hal untuk kemajuan JMPPK
30
Saya merasa bagian dari JMPPK
31
Saya berhubungan baik dengan sebagian besar petani yang
bergabung dalam JMPPK
32
Saya berhubungan baik dengan sebagian LSM yang membantu
JMPPK
33
Saya berhubungan baik dengan sebagian akademisi yang
membantu JMPPK
34
Saya tidak ragu meminta bantuan petani yang merupaka
anggota JMPPK
35
Saya tidak ragu meminta bantuan LSM yang membantu JMPPK
36
Saya tidak ragu meminta bantuan akademisi yang membantu
JMPPK
Norma
37
Saya mematuhi peraturan yang telah disepakati bersama
38
Saya menanamkan kedisiplinan dalam melakukan kegiatan
SL SR KD JR TP
19
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
dalam JMPPK
Saya tidak pernah melanggar kesepakatan yang telah dibuat
Saya menghargai petani anggota JMPPK
Saya menghargai LSM yang membantu JMPPK
Saya menghargai akademisi yang membantu JMPPK
Saya tidak ragu untuk menolong apabila dibutuhkan
Saya peduli terhadap petani anggota JMPPK
Saya peduli terhadap LSM yang membantu JMPPK
Saya peduli terhadap akademisi yang membantu JMPPK
Saya merasa bersalah apabila melanggar peraturan
Saya merasa malu apabila melanggar peraturan
Keterangan:
SL: Selalu
SR: Sering
KD: Kadang-kadang
JR: Jarang
TP: Tidak pernah
20
Lampiran 3. Panduan Pertanyaan
Tujuan Pertanyaan: Tokoh Masyarakat dan Perangkat Desa
1. Bagaimana ketergantungan masyarakat terhadap Pegunungan Kendeng?
2. Bagaimana keterikatan masyarakat dengan Pegunungan Kendeng?
3. Bagaimana proses masuknya PT SG ke dalam kawasan Pegunungan Kendeng? Siapa
saja yang terlibat?
4. Bagaimana reaksi masyarakat ketika PT SG masuk ke dalam kawasan Pegunungan
Kendeng?
5. Bagaimana awal mula gerakan perlawanan dimulai?
6. Apa yang melatarbelakangi masyarakat melakukan gerakan perlawanan? Apa motivasinya?
7. Bagaimana formalisasi gerakan perlawanan terbentuk?
8. Bagaimana respon pemerintah setempat dalam menghadapi permasalahan PT SG dengan
masyarakat? Kepada siapa ia berpihak? Apa saja yang dilakukan pemerintah?
9. Bagaimana keterlibatan pihak luar (seperti LSM atau akademisi) menanggapi gerakan
perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Pegunungan Kendeng?
10. Bagaimana strategi dan bentuk perlawanan yang dilakukan petani untuk melancarkan
perjuangannya? Apa-apa saja yang telah dilakukan petani? Adakah pihak yang terlibat
dalam perjuangan yang dilakukan petani? Siapa saja? Bagaimana bentuk keterlibatan
mereka?
11. Bagaimana respon pihak luar terhadap apa yang dilakukan oleh petani? Bagaimana mereka
(LSM, Pemerintah, PT SG, dan masyarakat umum) menyikapi hal ini?
12. Bagaimana keberhasilan dapat dicapai dalam gerakan perlawanan ini?
Tujuan Pertanyaan: Petani di Kawasan Pegunungan Kendeng
1. Bagaimana ketergantungan anda terhadap sumber daya yang dimilki oleh Pegunungan
Kendeng?
2. Bagaimana reaksi Anda ketika mengetahui PT SG akan melakukan eksploitasi di kawasan
pegunungan kendeng
3. Apakah Anda termasuk mereka yang melawan PT SG? Mengapa Anda melakukan
perlawanan?
4. Bagaimana proses awal mula pergerakan petani? Siapa yang menginisiasi? Bagaimana
langkah-langkah prosesnya? Siapa saja yang terlibat? Adakah pihak lain diluar petani di
kawasan Pegunungan Kendeng?
5. Bagaimana strategi-strategi yang ditempuh petani dalam melancarkan perjuangannya?
Usaha apa saja yang dilakukan untuk mempertahankan lahan? Siapa saja yang terlibat?
Adakah pihak luar selain petani di Kawasan Pegunungan Kendeng?
21
Lampiran 4. Rancangan Skripsi
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Masalah Penelitian
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Kegunaan Penelitian
2. Pendekatan Teoritis
2.1 Tinjauan Pustaka
2.2 Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis
2.4 Definisi Operasional
3. Pendekatan Lapangan
3.1 Metode Penelitian
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.3 Teknik Penentuan Responden dan Informan
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
4. Gambaran Lokasi Penelitian
4.1 Kondisi Geografis
4.2 Kondisi Ekonomi
4.3 Kondisi Sosial
5. Identifikasi Ketergantungan Masyarakat terhadap sumber daya Pegunungan Kendeng
6. Identifikasi modal sosial dan mobilisasi dalam gerakan perlawanan Masyarakat Pegunungan
Kendeng
6.1Tingkat kekuatan Modal Sosial
6.2 Mobilisasi Modal Sosial
7. Dinamika Gerakan Perlawanan Masyarakat Pegunungan Kendeng
7.1 Awal Mula Pembentukan Gerakan Perlawanan
7.2 Penggabungan menjadi Gerakan Perlawanan
7.3 Formalisasi Gerakan Perlawanan
7.4 Penurunan ditandai dengan Keberhasilan Gerakan Perlawanan
8. Penutup
8.1 Kesimpulan
8.2 Saran
Download