Lintasan terpusat penelitian operasional ASK

advertisement
1
Lintasan terpusat
penelitian operasional
ASK:
Kesempatan untuk meningkatkan
akses layanan kesehatan seksual
dan reproduksi bagi remaja
marjinal di Indonesia
Sambutan
Penelitian ini dikordinasikan oleh Rutgers WPF Indonesia dan dijalankan oleh ResultsinHealth dan Siklus.
Kami mengucapkan terima kasih kepada para peneliti yang terlibat dalam riset ini; responden remaja
subjek penelitian; responden tenaga kesehatan CD Bethesda, PKBI DIY, PKBI Bantul, dan Puskesmas yang
mendukung penelitian ini; Kementrian Kesehatan; Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan untuk
persetujuan etika penelitian; dan Dinas Kesehatan Provinsi DIY atas persetujuannya dalam memberikan ijin
bagi penelitian ini.
Latar belakang
Program ASK (Access, Services and Knowledge) berfokus pada remaja yang memiliki kerentanan
tinggi dalam hal hak dan kesehatan seksual dan reproduksi. Khususnya remaja dari kelompok LGBTIQ
(Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseksual dan Queer), remaja ODHA (Orang Dengan HIV dan
AIDS). Program ini bertujuan meningkatkan akses terhadap layanan ramah remaja yang berkualitas dan
komoditas terkait kesehatan seksual dan reproduksi termasuk di dalamnya ARV dan alat kontrasepsi.
Program ini memiliki keyakinan bahwa dengan meningkatkan akses terhadap informasi langsung terkait
HKSR dan meningkatkatnya penjangkauan terhadap layanan kesehatan reproduksi dan seksual yang
ramah remaja, maka akan meningkatkan jumlah pengakses layanan khususnya dari kelompok remaja yang
sulit terjangkau. Program ASK telah diimplementasikan di Uganda, Ethiopia, Ghana, Senegal, Pakistan dan
Indonesia sejak 2013 hingga 2015.
2
Sebagai bagian dari program ASK, kami membuat penelitian operasional untuk melihat kesempatan
sekaligus juga hambatan dalam meningkatkan jumlah pengakses layanan kesehatan seksual dan
reproduksi pada remaja marjinal. Penelitian ini didahului dengan kajian literatur dan bertujuan untuk
mendapatkan contoh positif dari pengalaman langsung remaja dalam mengakses layanan kesehatan
seksual dan reproduksi di DI Yogyakarta, Indonesia.
Head Office
Jl. Pejaten Barat Raya 17B
Pejaten Barat, Pasar Minggu
Jakarta Selatan, 12510 Indonesia
e. [email protected]
rutgerswpfindo.org
3
Metode
Temuan & diskusi
Penelitian ini dilaksanakan di DIY Yogyakarta (salah satu wilayah pelaksanaan program ASK), meliputi
4 wilayah yakni Kota Jogja, Kabupaten Bantul, Kulonprogro dan Sleman. Responden penelitian diambil
menggunakan metode sampel bola salju (snowball) dan purposif. Data penelitian ini dikumpulkan selama
periode Juni hingga Oktober 2015. Responden penelitian ini adalah remaja berusia 10 – 24 tahun dan
memiliki riwayat pernah mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi di wilayah penelitian, layanan
yang disediakan Puskesmas, klinik swasta dan penyedia komoditas kesehatan seperti apotek. Metode
pengumpulan data adalah wawancara semi terstruktur dan diskusi kelompok terarah (Lihat tabel 1)
Temuan lapangan menunjukan bahwa faktor predisposisi, pendukung dan pendorong mempengaruhi
keputusan untuk mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi dalam berbagai kesempatan dan
memiliki kekuatan dan sifatnya tersendiri (lihat diagram 1)
N
(=25)
Remaja
4
Status
Perkawinan
Kawin
Belum kawin
15
10
Lokasi
Perkotaan
Pinggiran
Pedesaan
8
11
6
Kelompok
usia
>_ 20 tahun
< 20 tahun
16
9
Kebutuhan/
kasus terkait
kesehatan
seksual dan
reproduksi
LSL
Kehamilan tidak
diinginkan
HIV positif
Memiliki
disabilitas dan
mengalami
kekerasan
seksual
4
12
7
2
N
(=11)
Karakteristik
Penyedia
layanan
kesehatan
Jenis penyedia
layanan
Umum
Swasta
4
7
Lokasi
penyedia
layanan
kesehatan
Perkotaan
Pinggiran
Pedesaan
5
1
5
Sebanyak 36 wawancara semi
terstruktur dan 3 diskusi kelompok
terarah telah dibuat, terdiri dari 42
responden remaja (26 dari wawancara
dan 17 dari diskusi kelompok terarah)
dan 11 dari penyedia layanan
kesehatan
Responden diskusi kelompok terarah
Kabupaten/Kotamadya
Lelaki
Perempuan
Total
Yogyakarta
7
0
7
Kulonprogo
0
5
5
Bantul
0
5
5
Total
7
10
17
Tabel 1. Responden Penelitian
Penelitian ini menggunakan model perencanaan promosi kesehatan PRECEDE-PROCEED yang
dikembangkan oleh Green dan kolega (1980). Model ini dipilih karena memungkinkan untuk proses
identifikasi faktor komponen positif dan negatif yang mendahului keluaran yang diinginkan yakni faktor
predisposisi, pendukung dan pendorong. Model ini sedikit dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan
konteks dan tujuan penelitian ini.
Faktor pendorong
Pengaruh terkuat: memiliki masalah terkait
kesehatan reproduksi dan seksual
Pengaruh terkuat: ketersediaan pendidik sebaya
(dengan pengalaman sebelumnya) untuk
menyediakan informasi kesehatan reproduksi dan
seksual dan sebagai penyerta ketika mengakses
layanan kesehatan seksual dan reproduksi
Memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi dan
seksual (meskipun cuma terbatas kesehatan
reproduksi)
Responden wawancara semi terstruktur
Karakteristik
Faktor predisposisi
Memiliki pengetahuan terhadap layanan
kesehatan seksual dan reproduksi
Faktor pendukung
Pengaruh terkuat: ketersediaan layanan kesehatan seksual dan reproduksi ramah remaja
Ketersediaan layanan kesehatan seksual dan reproduksi oleh swasta
Peran bidan dan Puskesmas sebagai penyedia layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi remaja
Adanya hukum yang mendukung dan atau peraturan bagi ketersediaan layanan kesehatan seksual dan
reproduksi ramah remaja
Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya dinamika yang berbeda antara faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap penggunaan layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Faktor predisposisi terlihat memiliki
pengaruh langsung terhadap keputusan remaja mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi.
Sementara itu faktor pendorong dan pendukung memiliki pengaruh tidak langsung terhadap akses ke
layanan (lihat diagram 1). Sebagai tambahan, faktor-faktor ini saling terhubung satu dengan yang lain
yang pada akhirnya mengarah ke kesimpulan bahwa intervensi harus dilakukan bersamaan, bukan
terpisah. Temuan ini mengkonfirmasi riset-riset sejenis terdahulu seperti model sosio-ekologis oleh
Bronfenbrenner1.
Analisa lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan akses layanan kesehatan
seksual dan reproduksi di kalangan remaja DIY menunjukkan adanya pola terkait dengan lintasan
kesehatan seksual dan reproduksi mereka. Lintasan ini menjelaskan langkah-langkah yang ditempuh oleh
remaja dalam “perjalanan” mereka mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang tersedia
(lihat diagram 2), dan bisa dibagi dua yakni jalur pendek dan panjang. Jalur pendek sering ditempuh untuk
kasus kehamilan tidak diinginkan, karena kondisi darurat (terkait waktu) menentukan keputusan yang
diambil untuk mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Di kebanyakan kasus, berbagai
jenis layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang diakses dan dipilih adalah yang diketahui bisa
menghadirkan solusi cepat terhadap kehamilan tidak diinginkan (contohnya aborsi aman). Kelompok
lain yang menempuh jalur ini adalah LSL muda yang mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS).
Gejala IMS biasanya jelas terlihat pada remaja lelaki dan mereka akhirnya mengakses langsung layanan
kesehatan seksual dan reproduksi di klinik resmi, ketimbang mencari solusi alternative.
The ecology of developmental processes. Bronfenbrenner, Urie, Morris, Pamela A. Dam, on, William (Ed); Lerner, Richard M.
(Ed), (1998). Handbook of child psychology: Volume 1: Theoretical models of human development (5th ed.). , (pp. 993-1028).
Hoboken, NJ, US: John Wiley & Sons Inc, xxii, 1274 pp.
1
5
ILUSTRASI KASUS JALUR PENDEK
ILUSTRASI KASUS JALUR PANJANG
Kasus 1
Remaja perempuan ini akhirnya memutuskan untuk ke Rumah Sakit di tengah keputusasaannya
mengatasi masalah keputihan. Kondisinya makin memburuk dan mempengaruhi keseharian dia,
padahal dia sudah mencoba pengobatan sendiri. Dia juga takut terhadap dampak keputihan ini di
masa yang akan datang jika tidak ditangani segera (Responden perempuan, Yogyakarta)
Kasus 1
Subjek penelitian mengalami kehamilan tidak diinginkan, awalnya dia hanya bisa mengakses
informasi melalui internet dan kemudian memutuskan untuk membeli obat untuk menggugurkan
kandungannya. Karena upaya ini gagal, dia datang ke klinik PKBI berdasarkan rekomendasi temannya
yang kuliah di akademi kebidanan. “Sebelumnya saya mengkonsumsi obat untuk menggugurkan
kandungan dan ada obat yang saya taruh di dalam vagina yang menyebabkan pendarahan. Kemudian
sahabat saya yang berkuliah di akademi kebidanan menuturkan bahwa pada kondisi kehamilan
seperti ini, upaya saya untuk menggugurkan kandungan sangat berisiko dan dia merekomendasikan
saya untuk ke klinik PKBI dimana saya bisa melakukan konseling”. (Responden perempuan, Sleman)
Kasus 2
Awalnya subjek penelitian melihat titik merah di tubuhnya. Karena takut terkena infeksi menular
seksual, dia pergi ke klinik swasta dengan dokter spesialis kulit dan kelamin. Gejala ini yang
mendorong subjek penelitian untuk mengakses layanan kesehatan oleh dokter di klinik swasta
dan akhirnya pergi ke rumah sakit untuk VCT (Responden LSL, Yogyakarta)
Jalur dalam mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi
6
Jalur yang panjang seringnya disebabkan oleh stigma dan stereotype (yang dirasakan) terkait
permasalahan kesehatan seksual dan reproduksi yang sedang dihadapi dan terbatasnya pengetahuan
mengenai kesehatan seksual, reproduksi dan layanan. Dalam kasus tertentu dimana permasalahan
kesehatan seksual dan reproduksi mendapat stigma (dianggap tabu atau buruk), beberapa remaja
memutuskan untuk melakukan pengobatan sendiri, bisa dengan diri sendiri, dengan teman atau keluarga
dan dengan penyedia layanan kesehatan seksual dan reproduksi informal/tradisional. Pada kondisi
dimana terbatasnya pengetahuan yang benar dan cukup, informasi dicari dari berbagai sumber, yang
pada akhirnya mendukung keputusan untuk melakukan pengobatan sendiri atau mengakses penyedia
layanan informal. Pada kasus dimana hasil dari pengobatan sendiri tidak memuaskan, beberapa remaja
memutuskan untuk mencari informasi lebih banyak atau mengakses langsung layanan kesehatan seksual
dan reproduksi yang resmi.
Tidak ada
pengetahuan
kesehatan seksual
dan reproduksi
Pengobatan
sendiri (misal oleh
diri sendiri atau
obat tradisional)
Pengobatan
sukses/
sembuh
Mencari informasi
(misal internet/
social media, teman/
keluarga, ahli atau
sumber tambahan)
Pengobatan
gagal/tidak
sembuh
Mengakses layanan
kesehatan seksual
dan reproduksi pada
penyedia layanan resmi
7
Kedua jalur ini, baik pendek maupun panjang memiliki risiko bagi remaja dan pada akhirnya membebani
remaja, keluarga dan sistem kesehatan; dan kondisi ini menggambarkan bahwa perilaku remaja terkait
kesehatan masuk kategori pencegahan tipe sekunder; bukan pencegahan tipe primer.
Kesimpulan
Kemunculan gejala terkait
kesehatan seksual dan
reproduksi (misal gejala
IMS, kehamilan tidak
diinginkan, dst)
Ada
pengetahuan
kesehatan
seksual dan
reproduksi
Kasus 2
Responden mengalami kehamilan yang tidak diinginkan namun tidak mengakses layanan aborsi secara
langsung. Responden mencoba melakukan induksi sendiri berdasarkan informasi dari temannya.
“Awalnya saya mencari informasi dari internet dan kemudian bertanya kepada orang yang lebih
berpengalaman seperti ngobrol dengan teman-teman. Ada yang sudah melakukan aborsi melalui
induksi. Namun banyak juga cerita mengenai aborsi dengan mengkonsumsi obat tertentu dan akan
hilang pada malam hari. Ada juga beberapa yang gagal, mengalami pendarahan dan perlu dibawa ke
rumah sakit. Saya tidak berani mengakses layanan aborsi di dokter atau bidan secara langsung. Namun
bila semua upaya saya gagal, upaya terakhir adalah tetap ke dokter,” (Responden perempuan, Bantul)
Strategi efektif yang
direkomendasikan untuk
meningkatkan layanan kesehatan
seksual dan reproduksi
Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor yang
mempengaruhi akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi
pada remaja dan strategi yang efektif dalam meningkatkan akses
berdasarkan data dari temuan lapangan dan kajian literatur.
Faktor
predisposisi
• Faktor yang mempengaruhi akses layanan kesehatan
seksual dan reproduksi pada remaja adalah kebutuhan,
Intervensi (multi target,
kualitas layanan, dan ketersediaan informasi dan
komprehensif, lintas
hubungan pertemanan.
sektor, tepat waktu dan
melibatkan remaja)
• Remaja di dalam studi ini secara umum memiliki
pengetahuan yang terbatas terkait informasi dan layanan;
Faktor
Faktor
pendukung
pendorong
mereka memiliki sedikit preferensi terhadap layanan
swasta dan tidak menganggap keterjangkauan dan sistem
rujukan sebagai hambatan.
• Penyedia layanan menyatakan pentingnya hukum dan peraturan yang mendukung; peraturan yang bisa
melegitimasi penyediaan layanan kesehatan seksual dan reproduksi ramah remaja di fasilitas kesehatan.
• Pendidik sebaya adalah sumber informasi dan pendamping yang dipilih remaja ketika menempuh
lintasan dalam mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi.
• Lintasan kesehatan seksual dan reproduksi ditentukan oleh kedaruratan masalah yang dihadapi
atau penerimaan pengetahuan yang benar terkait informasi dan layanan; temuan ini menyiratkan
pencegahan tipe sekunder, bukan pencegahan tipe primer.
• Strategi untuk meningkatkan akses layanan bagi remaja harus multi target, lintas sektor, komprehensif,
tepat waktu dan dikembangkan dengan metode yang mendukung partisipasi remaja (lihat diagram 3)
8
Jika anda tertarik untuk mendiskusikan
lebih lanjut penelitian ini, silakan kontak:
[email protected]
Rutgers WPF Indonesia
Jl. Pejaten Barat Raya no. 17B
Jakarta Selatan 12510
www.rutgerswpfindo.org
Download