Document

advertisement
Sajian Kasus Longitudinal
Henny Adriani Puspitasari
Jumat, 05 Juni 2014
HAP 2010076
Kepada Yth
_____________________
Pengamatan Jangka Panjang Anak Perempuan
Penderita Diabetes Melitus Tipe-1 yang Memasuki Masa Pubertas
D
iabetes melitus (DM) tipe-1 merupakan penyakit kronik yang belum
dapat disembuhkan hingga saat ini. Penyakit ini merupakan
penyakit sistemik yang ditandai oleh hiperglikemia kronik akibat berkurang
atau terhentinya produksi insulin karena terjadinya kerusakan sel beta
pankreas akibat proses autoimun ataupun idiopatik.1 Kelangsungan hidup
anak DM tipe-1 bergantung penuh pada pemberian insulin eksogen dan
kontrol metabolik.
Kemajuan pesat teknologi dunia kedokteran dan munculnya regimen terapi
modern pada beberapa dekade terakhir telah berhasil meningkatkan
kualitas perawatan terhadap pasien diabetes di seluruh dunia.2 Anak
dengan penyakit kronis memiliki angka harapan hidup yang lebih baik.3
Insidens DM tipe I di Indonesia belum diketahui pasti namun diperkirakan
mencapai 0,3 per 100.000 penduduk per tahun.4 Data Unit Kerja
Koordinasi (UKK) Endokrinologi anak dan remaja Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) Pusat dari bulan Mei 2009 sampai dengan Agustus 2011
mencatat 702 pasien DM tipe I di Indonesia dengan proporsi perempuan
lebih banyak (58%) dari pada laki-laki dan usia terbanyak adalah 10-14
tahun.5
Masa remaja merupakan bagian penting dari masa pertumbuhan anak
yaitu peralihan menuju masa dewasa muda. Pada periode ini terjadi
perubahan besar secara fisik dan psikologis anak. Remaja dengan DM
memiliki beban tambahan dalam tata laksana diabetes. Kontrol glikemik
biasanya memburuk akibat perubahan hormonal dan ketidakpatuhan
terhadap regimen terapi.6 Diabetes melitus akan berkontribusi terhadap
munculnya gangguan tumbuh kembang anak, gangguan hubungan antara
orangtua-anak, kesulitan dalam performa akademis serta berdampak
negatif terhadap kualitas hidup.3 Keluarga dan teman memiliki peran
penting dalam usaha pencapaian kontrol metabolik yang baik dan
1
pemberian dukungan emosional. Selain itu, petugas kesehatan juga
berperan terutama dalam hal diagnosis dini, terapi dan pemantauan pada
pasien DM. Pemantauan jangka panjang remaja DM tipe-1 tahap kedua ini
adalah untuk: (1) memantau tumbuh kembang pasien dan menyiapkan
pasien menuju masa pubertas, (2) mencapai kontrol metabolik yang baik
tanpa menimbulkan hipoglikemia, (3) memantau dan menangani secara
optimal komplikasi yang mungkin timbul terutama dalam kaitannya dengan
pubertas, (3) mengidentifikasi dan mengupayakan pemecahan masalah
yang dihadapi keluarga dalam tata laksana pasien.
DATA AWAL (Juli 2009)
Seorang anak perempuan, JS, berusia 6 tahun, datang pertama kali ke
RSCM karena tidak sadar dan sesak. Pasien membawa surat rujukan dari
RS P dengan keterangan tersangka ketoasidosis pada bulan Juli 2009.
Keluhan berupa sering merasa haus sehingga lebih sering minum dirasakan
oleh pasien sejak 1 tahun sebelumnya. Keluhan ini disertai dengan buang
air kecil (BAK) yang semakin sering disertai mengompol. Pasien sering
merasa lapar dan makan lebih banyak, namun berat badan tidak
bertambah. Tiga bulan terakhir, orangtua merasa pasien tampak semakin
kurus. Pada hari masuk rumah sakit pasien merasa sakit perut, lemas dan
pusing sehingga orang tua membawa ke RS P. Pasien tidak sadar dan
terlihat sesak. Saat itu baru diketahui bahwa kadar gula darah sewaktu
(GDS) pasien sangat tinggi sehingga pasien langsung dirujuk ke RSCM
untuk penanganan lebih lanjut.
Pada pemeriksaan fisis awal, pasien tampak apatis, sesak tanpa sianosis.
Laju nadi 110 kali per menit, teratur, isi cukup, laju napas 40 kali per
menit, teratur dan dalam, disertai retraksi epigastrium tanpa napas cuping
hidung, dan napas berbau keton. Suhu aksila 36,8˚C. Berat badan (BB)
pasien saat datang 14 kg (<P3 kurva CDC-NCHS 2000) dan tinggi badan
(TB) 105 cm (<P3 kurva CDC-NCHS 2000), secara klinis kesan gizi kurang.
Pemeriksaan fisis didapatkan nyeri tekan epigastrium sedangkan
pemeriksaan lain dalam batas normal serta tidak didapatkan fokus infeksi.
Hasil pemeriksaan darah di laboratorium menunjukkan hiperglikemi (GDS
413 mg/dL), leukositosis (25.600/uL), keton darah positif, kadar elektrolit
dalam batas normal, dan analisis gas darah (AGD) didapatkan kesan
asidosis metabolik dengan pH 7,133; base excess -21,6 mmol/L dan kadar
HCO3 7,7 mmol/L. Hasil urinalisis menunjukkan berat jenis 1,020,
glukosuria (+3), dan ketonuria (+3).
2
Pasien didiagnosis ketoasidosis diabetik (KAD) sedang dengan dehidrasi
ringan. Pasien segera mendapatkan infus NaCl 0,9% sesuai dehidrasi
ringan, terapi insulin reguler diberikan 1 jam kemudian, pemberian kalium
sebesar 40 mEq per liter cairan hidrasi setelah pasien BAK, serta dilakukan
edukasi terhadap orangtua. Pasien dirawat di Pediatric Intensive Care Unit
(PICU) untuk pemantauan ketat tanda vital, edema otak, dan balans cairan.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan gula darah, AGD, elektrolit, keton
darah atau urin secara berkala.
Kondisi klinis pasien membaik dalam 24 jam, pasien sudah tidak
mengalami nyeri perut maupun pernapasan Kussmaul. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil GDS 129 mg/dL dan AGD tidak lagi
menunjukkan asidosis metabolik. Pada pemantauan selanjutnya
didapatkan kadar kolesterol total 372 mg/dL, trigliserida 152 mg/dL, highdensity lipoprotein (HDL) 54 mg/dL, low-density lipoprotein (LDL) 287,6
mg/dL, dan glycosylated hemoglobin (HbA1c) 14,7%. Pasien diberikan diet
dengan total asupan 1600 kkal (pagi 400 kkal, siang 400 kkal, malam 425
kkal dengan 3 kali cemilan senilai 125 kkal/kali) dan insulin reguler 3 kali
sehari yang diberikan setengah jam sebelum makan, serta kolestiramin 2 x
2 g per oral. Pasien dirawat selama 15 hari, mendapat terapi insulin
kombinasi (kerja menengah dan kerja cepat) yaitu Novomix® 30 (30%
insulin Aspart, 70% insulin Aspart Protamine) subkutan (SK) dengan dosis
awal 12 unit di pagi hari dan 6 unit di sore hari serta analisis diet.
Pemantauan jangka panjang pertama dimulai pada saat anak berusia 6
tahun 1 bulan hingga 8 tahun 1 bulan. Permasalahan yang dihadapi adalah
pasien dan orangtua masih belum memahami dan menerima kondisi
penyakit pasien, morbiditas DM tipe-1 terhadap organ lain, kontrol
metabolik yang belum tercapai, gizi kurang dan imunisasi belum lengkap.
Permasalahan nonmedis yang dihadapi adalah masalah emosi dan
perkembangan pada pasien akibat penyakitnya dan berbagai prosedur
medis yang dijalani, ketidakpahaman orangtua akan perjalanan penyakit
dan rencana terapi, kekhawatiran orang tua akan masa depan pasien,
potensi kesalahpahaman lingkungan akan penyakit pasien serta
keterbatasan finansial.
Keberhasilan yang telah dicapai oleh pengamat pada pengamatan jangka
panjang pertama adalah pasien dapat kontrol secara rutin setiap bulan,
kontrol metabolik optimal yang dimonitor dari kadar HbA1c pasien
(penurunan dari 14,7% hingga 5,7%) dengan regimen terapi insulin splitmix.
3
Terapi insulin yang diberikan adalah kombinasi (kerja menengah dan kerja
cepat) yaitu Novomix® 30 (30% insulin Aspart, 70% insulin Aspart
Protamine) subkutan (SK) dengan dosis awal 21 unit di pagi hari dan 13
unit di sore hari serta koreksi insulin 1:50 setiap kenaikan GDS lebih dari
200 mg/dL menggunakan Novorapid® (insulin kerja cepat). Selama dua
tahun pemantauan hanya didapatkan satu kali perawatan di rumah sakit
akibat KAD. Pasien mengalami perbaikan status gizi menjadi gizi baik.
Imunisasi yang telah dilengkapi adalah imunisasi MMR sedangkan
imunisasi yang belum dilakukan adalah hepatitis A, influenza dan
imunisasi penguat Td.
Intervensi nonmedis yang telah dilakukan pada pengamatan jangka panjang
pertama
terhadap
perkembangan
psikososial
dilakukan
dengan
menggunakan instrumen pediatric symptom checklist (PSC) 35 dan
didapatkan hasil normal pada awal dan akhir pengamatan. Pasien telah
dilakukan pemeriksaan taraf kecerdasan dengan hasil 101 (rata-rata) dan
didapatkan peningkatan skor kualitas hidup (PedsQL) dibandingkan awal
pengamatan. Selain itu telah dilakukan penilaian depresi anak dengan
instrumen child depression index (CDI) dan tidak didapatkan gejala depresi.
Pasien dan keluarga telah dilibatkan dalam kegiatan seminar komunitas
pengidap diabetes yaitu Ikatan Keluarga dengan Diabetes Anak dan Remaja
(IKADAR). Masalah di sekolah telah diatasi dengan memberikan penjelasan
kepada keluarga mengenai kondisi pasien dan waktu yang diperlukan oleh
pasien untuk makan di luar jam istirahat. Masalah finansial pasien dapat
diatasi dengan adanya Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) dan
donatur yang memberikan modal kerja bagi ayah pasien. Pasien
direncanakan untuk berpindah ke regimen basal-bolus dan pasien akan
memasuki usia pubertas yang diperkirakan dapat mengganggu kepatuhan
berobat pada pasien DM tipe-1.
Pada awal pengamatan jangka panjang kedua (Juli 2011-Mei 2014),
pasien berusia berusia 8 tahun 1 bulan, dengan berat badan (BB) 24 kg
(P25-50 kurva CDC-NCHS 2000), tinggi badan (TB) 118 cm (<P3 kurva CDCNCHS 2000). Status antropometris BB/U 92,3%; TB/U 92,9%; BB/TB
109%, IMT 17,2 kg/m2 (P75-85 kurva CDC-NCHS 2000). Klinis sesuai gizi
cukup dan status pubertas A1M1P1. Keluhan hipoglikemia setiap bulan
berkurang tetapi masih didapatkan banyak periode hiperglikemia. Tidak
ada keluhan poliuria, polifagi, polidipsi dan keluhan gatal di kulit. Pada
pemeriksaan fisis, tidak didapatkan lipodistrofi. Pasien mendapat terapi
insulin regimen splitmix dengan menggunakan Novomix® 21 unit pagi dan
4
13 unit sore. Diagnosis kerja saat awal pengamatan jangka panjang
ketiga adalah diabetes melitus tipe-1. Rencana pemantauan selanjutnya
adalah pemantauan kontrol metabolik, komplikasi jangka pendek maupun
jangka panjang diabetes melitus dan pemantauan tumbuh kembang serta
kualitas hidup anak khususnya saat anak memasuki masa pubertas.
FAKTOR GENETIK/HEREDOKONSTITUTIONAL
Pasien adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara dan merupakan anak yang
diinginkan. Riwayat kehamilan dan persalinan normal. Morbiditas ibu
selama hamil tidak ada. Riwayat perkembangan normal. Saat ini pasien
duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar dengan prestasi rata-rata. Tinggi
badan ayah adalah 156 cm dan ibu 148 cm, sehingga tinggi potensi genetik
pasien adalah 137 cm (<P3 CDC-NCHS 2000) sampai 154 cm (P3-10 CDCNCHS 2000), dan mid-parental height 145,5 cm (<P3 CDC-NCHS 2000).
Pasien berada dalam rentang tinggi potensi genetik. Pasien belum pernah
sakit berat sebelumnya. Terdapat riwayat alergi pada ibu berupa alergi
udara dingin dan tidak ada riwayat penyakit diabetes dalam keluarga.
FAKTOR LINGKUNGAN & PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR
Ekosistem mikro
Ibu saat ini berusia 34 tahun, beragama Islam, suku Batak, lulusan SLTA,
dan merupakan seorang ibu rumah tangga. Ibu adalah seorang yang
religius, ramah, penyayang, dan sangat perhatian terhadap anaknya. Ibu
menerapkan pola asuh yang protektif karena sangat khawatir akan kondisi
kesehatan anak perempuannya, namun tidak otoriter. Ibu juga bersifat
permisif dan berusaha melayani semua kebutuhan anak di rumah.
Ekosistem mini
Ayah berusia 44 tahun, beragama Islam, suku Betawi, lulusan SLTA,
seorang wiraswasta dengan penghasilan tidak tetap, sekitar Rp. 1.000.000,per bulan. Ayah bersifat penyayang, tegas, dan selalu berusaha untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya. Ayah menerapkan pola pengasuhan
otoriter. Kakak pasien meninggal dunia saat pasien berusia 4 tahun karena
kejang. Adik pasien yang pertama berusia 3 tahun 4 bulan, sehat, klinis
dan antropometri sesuai gizi baik, imunisasi dasar lengkap sesuai usia,
tumbuh kembang normal dan memiliki hubungan yang baik dengan pasien.
5
Adik pasien yang kedua berusia 8 bulan, sehat, klinis dan antropometri
sesuai gizi baik, imunisasi dasar lengkap sesuai usia, tumbuh kembang
normal dan memiliki hubungan yang baik dengan pasien.
Ekosistem meso
Pasien tinggal bersama orangtua dan adik di pemukiman padat di daerah
Klender. Mereka mengontrak sebuah kamar kost berukuran 3 x 4 m2
dengan ventilasi dan cahaya yang kurang memadai. Fasilitas 2 kamar
mandi dan 1 dapur digunakan bersama-sama dengan 14 keluarga lain.
Sumber air berasal dari sumur pompa, sedangkan listrik dari PLN.
Hubungan antar tetangga terkesan baik. Fasilitas umum seperti tempat
ibadah, pelayanan kesehatan, dan sekolah berjarak sekitar 200-500 m dari
rumah pasien. Pasien harus menempuh perjalanan selama 2 jam dengan
kendaraan umum untuk menuju RSCM.
Ekosistem makro
Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh jaminan kesehatan pemerintah.
Alat pengukur (glukometri), stik pemeriksaan GDS, dan biaya kontrol ke
RSCM tiap bulan merupakan beban keluarga, selain makin tingginya biaya
hidup sehari-hari.
Pemenuhan kebutuhan dasar
Fisis Biomedis (Asuh)
Sejak kecil, pasien diasuh oleh kedua orangtua. Pasien telah mendapat
imunisasi BCG, hepatitis B 3 kali, DPT 3 kali, polio oral 4 kali, dan campak.
Imunisasi lainnya dan ulangan belum diberikan. Pasien mendapat ASI
sampai berusia dua tahun dan mulai mendapat makanan pendamping ASI
sejak usia 4 bulan. Ibu sangat memperhatikan pola makan pasien,
termasuk memberikan cemilan di luar jam makan.
Emosi atau Kasih Sayang (Asih)
Hubungan antar anggota keluarga cukup harmonis. Kedua orangtua
tampak saling menyayangi, menghargai, dan memiliki perhatian yang
cukup besar. Orangtua berusaha mencukupi kebutuhan pakaian dan
kesehatan pasien secara layak, meskipun dengan keterbatasan dana yang
6
ada. Hubungan kekerabatan dengan keluarga besar dari kedua belah pihak
dan tetangga baik.
Stimulasi Mental (Asah)
Ibu merupakan sumber utama pemberi stimulasi mental dengan membaca
dan belajar bersama, yang juga melibatkan adik pasien. Pendidikan formal
pasien dipenuhi oleh ibu melalui Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
taman kanak-kanak, dan sekolah dasar. Ibu membantu pasien belajar di
rumah dengan belajar bersama tiap malam hari sekolah selama 2 jam.
Pasien belajar bersama dengan teman sekolah 2 kali dalam seminggu. Ibu
pasien berusaha menghubungi guru sekolah untuk menanyakan tugas
sekolah apabila pasien tidak masuk sekolah.
MASALAH YANG DIHADAPI
Masalah medis
1. Diabetes melitus tipe I serta bahaya komplikasi jangka pendek maupun
panjang yang diakibatkannya.
2. Kontrol metabolik yang belum tercapai melalui pengaturan diet dan
pemberian insulin.
3. Perubahan regimen terapi insulin splitmix menjadi basal-bolus.
4. Kontrol metabolik yang terganggu akibat pengaruh pubertas.
5. Pertumbuhan dan perkembangan pada anak DM.
Masalah nonmedis
1. Pemahaman pasien yang belum tepat mengenai DM, penghitungan
basal-bolus serta potensi akut dan kronis yang ditimbulkannya.
2. Masalah emosi, perkembangan, dan akademik pasien akibat DM serta
konsekuensi penyakit dan
prosedur medis (penyuntikan dan
pengambilan sampel darah) yang harus dijalani seumur hidup masih
belum disadari pasien.
3. Sikap pasien yang cenderung memberontak dan sulit diatur dalam hal
pengaturan pola makan dan akademis.
4. Beban
finansial
sebagai
konsekuensi
pengobatan
DM
dan
pemantauannya.
UPAYA PEMECAHAN MASALAH
Masalah medis
7
1. Melakukan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai pemberian
insulin, penghitungan rasio karbohidrat dan insulin serta kalori dalam
asupan makanan. Edukasi pengaturan makan dengan menggunakan
food model dan didampingi oleh penata diet.
2. Melakukan edukasi pemantauan dan pencatatan glukosa darah harian
dengan menggunakan glukometer. Edukasi dilakukan secara lisan
dengan menggunakan penfill insulin dan alat glukometer baik dengan
memberikan contoh maupun memberikan kesempatan pasien
melakukan sendiri (mandiri).
3. Melakukan pemantauan glukosa darah serta penyesuaian insulin untuk
mencapai kadar glukosa darah normal.
4. Melakukan pemantauan kadar HbA1c secara rutin setiap 3 bulan
sebagai parameter objektif kontrol metabolik.
5. Melakukan pemantauan terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi
jangka panjang dengan melakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai
dan melakukan konsultasi ke departemen terkait komplikasi akibat DM,
seperti Departemen Mata.
6. Melakukan pemantauan berkala tumbuh kembang pasien melalui
pengukuran antropometris dan pemantauan status pubertas.
Masalah nonmedis
1. Memberikan edukasi kepada pasien mengenai cara penghitungan rasio
karbohidrat, cara penghitungan dosis insulin dan kalori, pencatatan
gula darah harian serta komplikasi jangka pendek maupun jangka
panjang DM.
2. Menekankan pentingnya kontrol teratur untuk mencegah komplikasi
akut dan kronik.
3. Mendorong pasien untuk mencapai kemandirian dalam pemantauan
dan pengobatan penyakit.
4. Mendorong pasien dan keluarga untuk melakukan kontrol berkala ke
RSCM serta memberikan nomor kontak pengamat yang bisa dihubungi
bila membutuhkan konsultasi.
5. Mengikutsertakan pasien dan keluarga pada perkumpulan keluarga
dengan penyakit metabolik dan kegiatan pertemuan orangtua dengan
penyakit serupa (parents support group).
6. Membuat surat keterangan sakit pasien dan mendorong orangtua untuk
berkomunikasi dengan pihak sekolah dan lingkungan mengenai kondisi
pasien.
8
7. Melakukan deteksi masalah psikososial dengan pemeriksaan Pediatric
Symptom Checklist (PSC) serta deteksi gangguan kualitas hidup dengan
pemeriksaan Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL) dan Audit of
Diabetes Dependent Quality of Life-Teen (ADDQoL-Teen).
8. Melakukan konsultasi ke Departemen Mata dan Psikiatri untuk
membantu pemantauan komplikasi dan perbaikan kualitas hidup
pasien.
9. Membantu keluarga pasien mendapatkan jaminan untuk meringankan
pembiayaan kesehatan dan meningkatkan kepatuhan berobat/kontrol.
HASIL PENGAMATAN
Masalah medis
Pada awal pengamatan jangka panjang kedua, pasien masih menggunakan
terapi regimen split-mix. Pasien menggunakan Novomix® 30/70 dosis 1,6
unit/kg/hari (27 iu pada pagi hari, 16 iu pada sore hari) dan asupan
makanan total yang diberikan sebanyak 1500 kkal. Pada semester pertama
pengamatan pasien mampu mengenali gejala hipoglikemia dan
mengatasinya. Periode hiperglikemia di sore hari masih sering terjadi
sehingga dilakukan beberapa kali penyesuain dosis insulin pagi. Pasien
masih belum berani menyuntikkan insulin sendiri dan memeriksa GDS
sendiri. Pasien terus dimotivasi untuk belajar melakukan pemantauan
mandiri dengan pengawasan orangtua.
Pada semester kedua pengamatan, pasien sudah mulai berani
menyuntikkan insulin dan memeriksa GDS dengan glukometer. Pada bulan
Juli 2012, pasien dirawat selama 5 hari untuk memulai regimen basalbolus. Saat memulai regimen basal-bolus, BB pasien 27 kg; TB 120,2 cm;
BB ideal 22 kg sehingga kebutuhan asupan makanan harian diperkirakan
1.500 kkal (karbohidrat 750 kkal setara dengan 187,5 gram; protein 300
kkal; lemak 450 kkal), kebutuhan insulin harian 43 iu (1,6 iu/kg/jam).
Kebutuhan insulin untuk regimen basal-bolus diperhitungkan 75% dari
kebutuhan insulin harian yaitu 32 iu (16 iu kebutuhan basal, 16 iu
kebutuhan bolus). Rasio insulin-karbohidrat yang digunakan adalah 1:12
dan koreksi GDS 1 unit setiap kenaikan GDS 50 mg/dL dengan target GDS
90-180 mg/dL. Komposisi makanan dibagi menjadi makan pagi 25% (47
gram karbohidrat), makan siang 25% (47 gram karbohidrat), makan malam
9
20% (37,5 gram karbohidrat) dan kudapan 10% (18 gram karbohidrat)
sehingga insulin bolus yang diberikan sebelum makan adalah novorapid® 6
unit (pagi), 6 unit (siang) dan 4 unit (malam). Insulin levemir diberikan
sebanyak 16 iu pada malam hari. Pemantauan GDS harian menunjukkan
pasien masih sering mengalami hiperglikemia sebelum makan dan
hipoglikemia di pagi hari. Terapi insulin pada saat itu diubah menjadi
insulin basal 17 iu dan insulin bolus 23 iu (8 iu-8 iu-7 iu) sebelum makan.
Kalori yang diberikan sebanyak 1900 kkal per hari.
Orangtua dan pasien telah dapat menghitung kebutuhan karbohidrat dan
insulin. Pemantauan GDS harian relatif stabil dan tidak pernah
didapatakan KAD sejak regimen diganti menjadi basal-bolus. Pada bulan
Ramadhan pasien ingin mencoba menjalakan ibadah puasa. Kalori yang
diberikan selama puasa tetap sebanyak 1500 kkal per hari yang terdiri dari
50% karbohidrat (750 kkal atau setara 187,5 gram) yang dibagi menjadi 90
gram (50%) saat buka puasa, 20 gram (10%) setelah tarawih dan 70 gram
(40%) saat sahur. Insulin basal yang diberikan sebesar 80% dari insulin
basal yang biasa diberikan yaitu 13 iu. Insulin bolus diberikan 7 iu saat
buka puasa, 1 iu setelah tarawih (sebelum makan kudapan). Apabila pasien
puasa setengah hari maka insulin basal tetap diberikan sebesar 16 iu.
Karbohidrat dibagi menjadi 4 kali waktu makan yaitu buka puasa sebanyak
72 gram (40%) karbohidrat, sesudah tarawih 18 gram (10%), saat sahur
sebanyak 36 gram (20%) dan sesudah Dzuhur sebesar 54 gram (30%).
Insulin bolus yang diberikan sebesar 6-1-3-5 iu. Gula darah sewaktu
diperiksa sebanyak 7 kali dan bila terdapat hipoglikemia puasa tidak
diteruskan. Selama bulan Ramadhan, pasien mengalami 2 kali hipoglikemia
sehingga puasa hanya setengah hari, sisanya pasien dapat puasa sehari
penuh.
Selama pengamatan kebutuhan kalori, dosis insulin dan rasio karbohidratinulin ditingkatkan sesuai dengan kenaikan berat badan serta monitor GDS
harian. Dilakukan beberapa kali peningkatan dosis insulin basal dan bolus
karena masih didapatkan periode hiperglikemia. Pasien tidak pernah
dirawat di RS karena KAD, hanya terdapat satu kali rawat inap pada
semester ke-3 karena demam dengue. Pada akhir pengamatan, pasien
mendapatkan diet 1900 kkal dan dosis insulin yang diberikan sebesar 22 iu
untuk insulin basal dan 26 iu untuk insulin bolus (8-10-8 iu).
Kontrol metabolik pasien cukup baik sepanjang pengamatan yang ditandai
oleh kadar GDS harian yang baik dan kenaikan berat badan yang adekuat.
10
Pasien rutin memeriksa dan mencatat hasil pemantauan GDS harian serta
melakukan kontrol setiap bulan di Poliklinik Endokrinologi IKA.
Pemantauan GDS harian dilakukan sebanyak 7 kali pada awal pemberian
terapi insulin basal-bolus. Seiring dengan kemandirian anak dan stabilnya
kadar GDS, pemeriksaan mulai dikurangi menjadi 5 kali perhari. Pada
semester ke-5 kontrol metabolik menurun. Pada saat itu pasien tidak mau
menuruti kemauan orangtua dan semakin sulit menepati aturan makan.
Pasien banyak makan kudapan di luar waktunya dan memilih kudapan
yang tidak memiliki keterangan nutrisi sehingga sulit dihitung jumlah gram
karbohidratnya. Pengamat mendatangi ke rumah pasien, menjelaskan
kembali kepada pasien dan orangtua pentingnya mematuhi aturan makan
serta meminta orangtua untuk bersikap lebih tegas terhadap anak. Pada
akhir pengamatan, kontrol metabolik mengalami perbaikan yang
ditunjukkan dengan menurunnya kadar HbA1C. (Tabel 1).
Tabel 1. Pemantauan HbA1c
Bulan
Agustus
November Februari
Mei
Agustus
November
2011
2011
2012
2012
2012
2012
HbA1c (%)
7,0
7,8
7,4
8,3
7,7
7,4
Bulan
Februari
Mei
Agustus
2013
2013
2013
7,3
8,0
7,6
HbA1c (%)
November Februari
2013
2014
9,6
9,0
Mei
2014
7,0
Nilai normal HbA1c <7,5%
Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pasien dilakukan secara
teratur setiap bulan. Pada awal pengamatan (Juli 2011) BB pasien 24 kg
(P25-50 kurva CDC-NCHS 2000) dengan tinggi badan 118 cm (P3 kurva CDCNCHS 2000), secara klinis status gizi sesuai dengan gizi cukup, perawakan
pendek. Edukasi dan pemberian diet dengan jumlah kalori yang sesuai,
penyuntikan insulin yang teratur, dan kontrol metabolik yang baik
memberikan hasil tercapainya BB ideal. Pada usia 11 tahun pasien
mengalami percepatan pertumbuhan, TB pasien mencapai 132 cm (P3-10
kurva CDC-NCHS 2000). Status gizi pasien secara klinis dan antropometris
pada akhir pengamatan sesuai dengan gizi baik yaitu BB 31,5 kg; TB 130
cm, dan BB/TB (Lampiran 1 dan 2). Pada semester ke-5 pasien mulai
muncul breast-budding sehingga status pubertas pasien menunjukkan
A1M2P1. Grafik pertumbuhan juga mulai menunjukkan pacu tumbuh.
11
Skrining komplikasi jangka panjang DM terhadap organ mata dan ginjal
dilakukan dengan melakukan konsultasi ke Departemen Mata serta
pemeriksaan ureum, kreatinin, dan mikroalbuminuria. Pemeriksaan ureum
dan kreatinin serta pemantauan mikroalbuminuria menunjukkan hasil
normal (<2,5 mg/24 jam). Skrining kelainan mata pada awal dan akhir
pemantauan menunjukkan tidak ada komplikasi, begitu pula dengan
skrining fungsi tiroid. Selama pemantauan tidak ditemukan keluhan dan
tanda-tanda neuropati. Pemantauan profil lipid pasien menunjukkan nilai
dalam batas normal yaitu kolesterol total 173 mg/dL, kolesterol high density
lipoprotein (HDL) 74 mg/dL, kolesterol low density lipoprotein (LDL) 92
mg/dL, dan trigliserida 69 mg/dL.
Masalah Non medis
Edukasi mengenai DM telah diberikan oleh pengamat kepada pasien dan
orangtua sejak awal pasien didiagnosis DM. Orangtua pasien telah cukup
memahami dan menerima kondisi pasien yang harus memerlukan
keteraturan kontrol dan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Orangtua
masih memiliki pertanyaan dan kekhawatiran khususnya mengenai
hipoglikemia. Ibu khawatir apabila kadar glukosa darah pasien di bawah
150 mg/dL, pasien akan mengalami hipoglikemia. Pengamat menjelaskan
kembali target GDS harian yang diinginkan dan bahwa anak sudah dapat
merasakan gejala hipoglikemia sehingga ibu tidak perlu khawatir secara
berlebihan.
Pada awal pengamatan, pasien belum sepenuhnya dapat secara mandiri
melakukan pemeriksaan glukosa darah rutin dan penyuntikan insulin.
Ayah dan ibu pasien sering secara bergantian perlu mengingatkan dan ikut
membantu menyuntikkan insulin dan melakukan pemeriksaan GDS. Ibu
masih sering merasa khawatir pasien mengalami hipoglikemia saat pasien
berada di sekolah. Pengamat berusaha mendekati pihak sekolah terutama
wali kelas dan menjelaskan mengenai tanda hipoglikemia dan hiperglikemia
pada pasien, cara mengatasinya dan memberikan nomor telpon yang dapat
dihubungi. Selain itu, pihak sekolah diminta untuk dapat memberikan
beberapa toleransi yang diperlukan, seperti ijin tidak mengikuti kelas bila
waktunya kontrol ke poliklinik dan ijin untuk makan kudapan di luar jam
istirahat.
Sejak adanya pergantian sistem asuransi menjadi Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN), angka absensi pasien bertambah karena harus meminta
rujukan ke RS Budi Asih sebelum datang ke RSCM sehingga pasien tidak
12
masuk sekolah minimal 2 hari setiap bulan. Hal ini menjadi masalah yang
dikeluhkan oleh guru. Pengamat berusaha untuk datang ke sekolah dan
menjelaskan kepada pihak sekolah mengenai perubahan tersebut serta
meminta dukungan dari pihak sekolah untuk dapat membantu mengejar
ketertinggalan anak saat tidak masuk sekolah. Wali kelas mengimbau
kepada pasien dan orangtua untuk lebih proaktif dalam mengejar
ketertinggalan melalui tugas sekolah. Selain itu meminta teman sekelas
pasien untuk membantu pasien memberitahukan tugas sekolah di saat
pasien tidak masuk sekolah. Keluarga besar dan tetangga pasien juga
mengetahui keadaan pasien serta menunjukkan pengertian dan dukungan.
Pada pengamatan semester ke-4, pasien duduk di kelas 5 sekolah dasar
(SD). Wali kelas mengeluh pasien sering tidak mengerjakan pekerjaan
rumah (PR). Pasien sendiri merasa mengalami kesulitan dalam belajar di
sekolah terutama dalam bidang matematika walaupun nilai rapor pasien
menunjukkan nilai rata-rata di kelas dan tidak pernah tinggal kelas.
Orangtua merasa bahwa sejak naik ke kelas 5 SD, pasien menjadi sulit
untuk belajar, malas mengerjakan PR dan lebih banyak bermain dengan
teman di sore hari. Pengamat berusaha untuk berbicara dengan pasien dan
menjelaskan pentingnya mengerjakan tugas sekolah serta menjelaskan
kepada orangtua mengenai kondisi psikologis pasien yang sedang
memasuki masa remaja.
Pada pengamatan jangka panjang kedua, pasien mulai mengerti tentang
penyakitnya dan memahami regimen terapi yang cukup kompleks. Pasien
sudah mampu menyuntikkan insulin secara mandiri, walaupun terkadang
tidak mampu menahan diri untuk mematuhi diet yang disarankan. Edukasi
dan penguatan dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan diri dan
optimisme pasien. Keterlibatan pasien dan orangtua dalam Ikatan Keluarga
Penyandang Diabetes Anak dan Remaja (IKADAR) menempatkan pasien dan
orangtua dalam lingkungan dengan karakteristik masalah yang sama
sehingga lebih mudah untuk mengungkapkan masalah, memperoleh
dukungan yang sesuai dan mengembalikan kepercayaan diri pasien dan
keluarga. Kesulitan beradaptasi pada masa pubertas seringkali dialami oleh
anak normal. Pada pasien DM kemampuan adaptasi tersebut akan menjadi
lebih sulit karena adanya terapi insulin, pengaturan makan dan
pemeriksaan GDS harian. Kesulitan yang dialami pada masa pubertas
berpotensi menimbulkan masalah psikososial, gangguan perilaku dan dapat
menurunkan kualitas hidup pasien.
13
Skrining untuk deteksi dini masalah psikososial dilakukan pada awal dan
akhir pengamatan. Skrining dilakukan dengan Pediatric Symptom Checklist35 (PSC-35) dan ditemukan adanya gangguan internalisasi dan
eksternalisasi (nilai 24; positif bila nilai > 5). Skrining gangguan perilaku
menggunakan Child Depression Inventory (CDI) menunjukkan nilai 25.
Skrining dengan kuesioner kekuatan dan kesulitan menunjukkan adanya
masalah emosional, masalah conduct, dan masalah dengan teman sebaya
(Lampiran 3-5). Masalah psikososial ini tidak ditemukan pada awal
pengamatan. Menjelang akhir pengamatan, dilakukan eksplorasi penyebab
gangguan tersebut dengan melakukan tes intelegensi ulang dan intervensi
dari pengamat. Namun setelah 1 bulan, orangtua masih mengeluhkan sikap
pasien yang sering marah dan sulit diatur. Untuk itu pasien
dikonsultasikan ke Departemen Psikiatri dan diprogramkan untuk
menjalani terapi perilaku.
Kualitas hidup pasien pada akhir pengamatan tampak menurun
berdasarkan penilaian menggunakan PedsQL dan PedsQL diabetes module.
Penurunan yang menonjol ditemukan adalah dalam hal emosi dan sekolah.
Prestasi sekolah pasien sesuai rata-rata namun angka absensi pasien
meningkat dibandingkan pengamatan jangka panjang pertama. Orangtua
dan keluarga menunjukkan peran positif dalam mendukung keberhasilan
terapi pasien.
Pada awal pengamatan, keluarga menggunakan jaminan kesehatan berupa
SKTM untuk membiayai perawatan dan pengobatan pasien. Jaminan
kesehatan ini memiliki banyak keterbatasan dalam menjamin pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan pasien seperti pengadaan glukometer dan stik
GDS. Pada awal pengobatan, pasien mendapat bantuan penfill insulin dan
glukometer dari Divisi Endokrinologi Anak karena keluarga belum mampu
membeli peralatan tersebut akibat keterbatasan biaya. Pada semester ke-4,
terdapat perpindahan jaminan kesehatan akibat perubahan peraturan
kesehatan menjadi BPJS. Sistem jaminan BPJS ini mengharuskan pasien
untuk dirujuk dari RSUD. Pada awal pergantian sistem, terapi insulin
hanya diberikan untuk 2 minggu, sehingga orangtua harus datang ke
RSCM 2 kali sebulan dan meningkatakna biaya transportasi yang harus
ditanggung keluarga. Sistem dispensing obat ini kemudian diperbaiki
sehingga pengambilan obat dapat dilakukan sekali sebulan. Pada akhir
semester pengamat, terapi dan pemeriksaan laboratorium rutin seperti
kadar HbA1c telah ditanggung oleh BPJS, namun stik GDS hingga saat ini
masih disediakan dari dana donatur.
14
DISKUSI
Diabetes melitus tipe-1 merupakan kelainan sistemik akibat gangguan
metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Hiperglikemia
kronik ini disebabkan oleh kerusakan sel ß pankreas akibat proses
autoimun atau idiopatik sehingga produksi insulin berkurang atau
berhenti.7 Insidens tertinggi DM tipe I dilaporkan pada usia 5-6 tahun dan
11 tahun serta tidak didapatkan variasi isidens berdasarkan jenis kelamin.8
Gejala klasik DM ditandai oleh polidipsia, poliuria, polifagia dan penurunan
berat badan terjadi 1-2 minggu sebelum gejala ditegakkan. Pada keadaan
berat, pasien dapat mengalami KAD akibat penumpukan benda keton yang
merupakan produk metabolisme lemak. Akumulasi benda keton
menyebabkan asidemia, ileus, terjadinya diuresis osmotik, dehidrasi
bahkan syok hipovolemik.7,8 Laporan angka kejadian KAD pada pasien yang
baru terdiagnosis DM di negara maju berkisar antara 15-70%.9 Diagnosis
dikonfirmasi bila terdapat gejala tersebut disertai peningkatan kadar gula
darah yang bermakna. Pasien didiagnosis pertama kali pada bulan Juli
2009 karena pasien mengalami KAD. Gejala dan tanda yang didapatkan
berupa nyeri perut hebat yang berkembang menjadi adanya penurunan
kesadaran, sesak dan dehidrasi, disertai hiperglikemia, peningkatan benda
keton darah, glukosuria, ketonuria, dan asidosis metabolik. Gejala klasik
DM telah ditemukan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Penurunan berat badan pasien tidak terlalu disadari oleh orangtua namun
status gizi pasien saat datang secara klinis sesuai dengan gizi kurang.
Tujuan utama tata laksana DM tipe I adalah tercapainya kualitas hidup
yang optimal melalui kontrol metabolik yang baik. Secara khusus, tujuan
tata laksana DM adalah mencapai tumbuh kembang optimal,
perkembangan emosi optimal, kontrol metabolik yang baik, angka absensi
yang rendah, pasien tidak memanipulasi penyakit dan mampu mengelola
penyakit secara mandiri. Komponen pengelolaan DM terdiri dari lima pilar
yaitu pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, edukasi dan
pemantauan mandiri.8
Penurunan ambilan glukosa yang distimulasi insulin pada remaja sehat
dibandingkan dengan anak pra-pubertas didemonstrasikan pertama kali
pada tahun 1980-an dan efek ini tampak lebih menonjol pada anak DM
tipe-1.Petugas kesehatan harus memperhatikan insensitivitas terhadap
insulin pada masa pubertas dan meningkatkan dosis insulin untuk
15
mempertahankan kontrol gula darah yang baik. Penyebab insensitivitas
insulin selama pubertas adalah perubahan hormonal besar akibat
peningkatan sekresi growth hormone (GH) dan peningkatan hormon seks
steroid. Kedua hormon tersebut dibutuhkan untuk perkembangan tanda
seks sekunder, kenaikan tinggi badan dan perubahan komposisi tubuh.
Secara biokimiawi, peningkatan GH selama pubertas akan meningkatkan
pemecahan lemak di dalam sel lipid (lipolisis) dan meningkatkan aliran
asam lemak bebas. Asam lemak bebas akan berkompetisi dengan glukosa
pada proses oksidasi glukosa sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa
dan insensitivitas terhadap insulin. Selain perubahan secara fisiologi,
terjadi perubahan bermakna secara psikososial pada masa pubertas.
Kepatuhan terhadap regimen terapi insulin, monitor GDS dan diet menjadi
hal yang berpengaruh terhadap kontrol metabolik.10
Insulin
Sesuai dengan patofisiologinya, insulin merupakan komponen utama
kelangsungan hidup pasien DM tipe-1. Terapi insulin bertujuan menjamin
ketersediaa insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan insulin basal
maupun koreksi dengan kadar yang lebih tinggi (bolus) akibat efek glikemik
makanan. Regimen terapi bersifat individual namun secara garis besar
dikenal dua macam regimen yaitu splitmix dan basal-bolus. Regimen splitmix menggunakan kombinasi insulin kerja cepat/pendek dengan menengah
yang disuntikkan 1-3 kali per hari. Pemakaian regimen split-mix
membutuhkan kepatuhan yang ketat terhadap diet. Regimen basal-bolus
menggunakan insulin kerja cepat/pendek sebelum makan utama dan
insulin basal yang diberikan sekali (pagi atau malam hari). Komponen basal
biasanya diberikan 40-60% dari kebutuhan total insulin dan sisanya dibagi
menjadi komponen bolus. Penyesuaian dosis insulin untuk regmen basalbolus tergantung dari hasil monitor GDS, pola GDS harian dan kadar
karbohidrat yang dikonsumsi.
Rotasi lokasi penyuntikan insulin juga perlu diperhatikan untuk
menghindari terjadinya lipohipertrofi jaringan lemak subkutan yang
berakibat pada gangguan absorpsi insulin. Pada kasus ini, pasien berhasil
berpindah ke regimen insulin basal-bolus dengan menggunakan insulin
kerja menengah pada malam hari serta insulin kerja cepat yang
disuntikkan sebelum makan utama. Dosis insulin basal diberikan 75% dari
kebutuhan total insulin. Perhitungan rasio antara karbohidrat dan insulin
16
pada awalnya menggunakan rasio 1:12. Pada saat pasien memasuki masa
pubertas, terjadi perburukan kadar HbA1c. Pada awal semester ke-4, dosis
insulin total dinaikkan menjadi 1,6 iu/kg/hari. Selain itu dilakukan
penyesuaian rasio karbohidrat dan insulin menjadi 1:9.
Penyesuaian dosis insulin dibutuhkan pada honeymoon period, masa
remaja, masa sakit, saat puasa dan tindakan pembedahan. Sebuah studi
literatur menyatakan bahwa terdapat tiga cara penyesuaian dosis insulin
saat puasa yaitu memberikan 70% dosis insulin pra-puasa yang dibagi
menjadi 60% insulin glargin di malam hari dan 40% insulin kerja pendek
yang diberikan 2 dosis (saat sahur dan saat berbuka). Alternatif lain adalah
memberikan 85% dosis insulin pra-puasa yang dibagi menjadi 70%
ultralente dan 30% insulin reguler, keduanya diberikan 2 dosis (saat sahur
dan saat berbuka). Pilihan lain adalah memberikan 100% dosis insulin pagi
dengan insulin premix 70/30 dan 50% dosis insulin malam hari saat
sahur.11 Namun sebagian besar literatur menyebutkan bahwa penyesuaian
dosis insulin pada pasien puasa bersifat individual.12 Pemantauan GDS
ketat dan pengaturan makanan seperti memilih karbohidrat kompleks pada
saat sahur serta menghindari makanan berkarbohidrat tinggi pada saat
berbuka diperlukan untuk mencegah hipoglikemia atau hiperglikemia pada
saat puasa.12,13 Puasa harus segera dihentikan bila kadar GDS kurang dari
80 mg/dL. Kontraindikasi puasa pada pasien DM tipe-1 adalah kontrol
metabolik yang buruk, mengalami KAD 3 bulan sebelum bulan Ramadhan,
memilikikondisi komorbid (unstable angina, hipertensi tidak terkontrol,
infeksi, gangguan ginjal, komplikasi makrovaskular lain), pasien yang tidak
patuh trhadap terapi dan diet, pasien dengan aktivitas fisik yang berat,
wanita hamil dan usia lanjut.11 Pasien telah berhasil menjalani puasa
dengan penyesuaian dosis individual. Insulin basal diberikan 80% dosis
insulin basal pra-puasa, insulin bolus diberikan 100% dosis pra-puasa
yang dibagi sebanyak 4 kali waktu makan.
Diet anak DM pada umumnya tidak berbeda dengan anak normal dalam hal
jumlah total kalori serta komposisi karbohidrat, protein dan lemaknya.
Perbedaan terletak pada pengaturan makan yaitu mencakup penghitungan
kalori, waktu makan dan jenis makanan, serta penyesuaian insulin yang
diberikan. Pengaturan makan pada anak DM bertujuan untuk mencapai
kontrol metabolik yang baik tanpa mengabaikan kalori yang dibutuhkan.8
Pengaturan makan ini terutama perlu diperhatikan pada anak DM yang
menggunakan regimen insulin split-mix. Pengaturan makan yang optimal
17
terdiri dari 3 kali pemberian makanan utama dan 3 kali pemberian
makanan kecil. Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan perhitungan
untuk mencapai berat badan ideal. American Diabetes Association (ADA)
tahun 2005 merekomendasikan penggunaan indeks glikemik dalam
intervensi diet selainpenghitungan jumlah total karbohidrat. Indeks
glikemik adalah respons glukosa darah tubuh terhadap makanan
dibandingkan dengan respons glukosa darah tubuh terhadap glukosa
murni. Makanan dengan indeks glikemik rendah (kurang dari 55) dapat
memperbaiki kontrol metabolik. Pemberian nutrisi dengan indeks glikemik
rendah selama 3-36 bulan dapat menurunkan HbA1c hingga 19% dan IMT
hingga 8%.14 Makanan dengan indeks glikemik rendah di antaranya adalah
buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, gandum dan produk susu.13
Pada kasus ini, pasien dan orangtua mendapat edukasi mengenai pemilihan
jenis penghitungan jumlah karbohidrat total dan penyediaan kalori yang
dibutuhkan, serta penentuan bahan makanan penukar. Edukasi mengenai
indeks glikemik masih perlu ditingkatkan karena selama pemantauan fokus
utama adalah pada penghitungan jumlah karbohidrat total.
Aktivitas fisik pada anak DM dapat membantu mempertahankan berat
badan ideal, meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan kadar glukosa
darah, dan menimbulkan perasaan sehat.8 Meskipun demikian, pada anak
DM dengan kontrol metabolik yang jelek, perlu diperhatikan risiko olahraga
menyebabkan hiperglikemia dan KAD, atau justru hipoglikemia dengan
segala konsekuensinya. Konsultasi dengan dokter perlu dilakukan sebelum
penderita DM tipe 1 memutuskan untuk berolahraga teratur, terutama
olahraga dengan intensitas sedang-berat. Pemantauan GDS yang lebih ketat
serta penyesuaian intensitas dan lama olahraga perlu dilakukan sebelum
dan selama berolahraga.8 Pada kasus ini, pasien cukup aktif terlibat dalam
kegiatan olahraga yaitu renang dan basket.
Pertumbuhan merupakan salah satu parameter kesehatan yang penting
pada anak. Gangguan pertumbuhan seringkali ditemukan pada pasien DM
tipe-1. Gangguan tersebut dihubungkan dengan kontrol metabolik yang
buruk dan durasi penyakit sejak terdiagnosis. Studi Oxford menunukkan
adanya kehilangan tinggi badan sebesar 0,06 SDS setiap tahun sejak
diagnosis hingga onset pubertas. Gangguan pertumbuhan berhubungan
dengan penurunan kadar insulin growth factor-1 (IGF-1) yang bersirkulasi
dan peningkatan kadar IGFBP-1 (inhibitor bioaktivitas IGF) akibat kadar
insulin portal yang rendah pada anak. Insulin portal yang memproduksi
18
insulin yang cukup untuk pembentukan IGF-1, supresi IGFBP-1 dan
insulin yang dibutuhkan agar reseptor GH berfungsi normal.15 Studi kasuskontrol di India melaporkan bahwa anak DM lebih rendah secara bermakna
dibandingkan anak normal. Pasien DM yang mendapat terapi insulin basalbolus lebih tinggi dibandingkan yang mendapatkan terapi splitmix
walaupun tidak bermakna secara statistik (height-age Z-score/HAZ -1,0±1,0
vs -1,3±1,3).16
Studi pada anak DM tipe-1 di Sudan menunjukkan keterlambatan
pematangan seksual pada anakperempuan dan lelaki. Anak perempuan
mengalami menarche pada usia rerata 15,1 tahun, lebih lambat daripada
anak normal (13,3 tahun). Anak lelaki dengan DM tipe-1 mencapai stadium
Tanner 5 pada usia 17,2 tahun sedangkan anak normal pada usia 15
tahun.2 Pemantauan pertumbuhan pasien dilakukan secara rutin setiap
kali kunjungan ke Poliklinik Endokrinologi IKA. Pasien menunjukkan
kenaikan berat badan yang baik sehingga pada akhir pemantauan. Pada
awal pemnatauan, tinggi badan berada di bawah P3 kurva CDC-NCHS 2000
tetapi saat memasuki masa pubertas tinggi badan berada di antara P3-10
kurva CDC-NCHS. Status pubertas pasien saat ini adalah A1M2P1 dan BMI
menunjukkan berat badan ideal. Pasien diharapkan dapat mencapai tinggi
akhir sesuai tinggi potensi genetiknya dan menarche sesuai dengan anak
normal.
Salah satu parameter kontrol metabolik yang penting pada DM tipe-1
adalah kadar HbA1c. Kadar HbA1c menggambarkan rerata glukosa darah
dalam 2-3 bulan terakhir. Pemeriksaan ini merupakan baku emas evaluasi
kontrol metabolik pasien DM.8 Target HbA1c bervariasi sesuai usia yaitu
7,5-8,5% untuk anak < 6 tahun, < 8% untuk anak 6-12 tahun, < 7,5%
untuk anak 13-19 tahun.17 Penyesuaian dosis insulin tidak selalu
memberikan hasil kontrol metabolik yang diharapkan karena belum ada
regimen insulin yang sepenuhnya menyamai kerja alami insulin tubuh.8
Rerata kadar HbA1c yang didapatkan di Indonesia pada studi tahun 2006
adalah 10,6±2,7%.18 Selama pemantauan pasien memiliki kadar Hba1c
yang berkisar antara 7,0% hingga 9,6%. Kadar HbA1c pada pasien,
walaupun belum berhasil mencapai kadar HbA1c yang diharapkan tetapi
berada di bawah kadar rerata pasien DM tipe-1 di Indonesia. Lonjakan
kadar Hba1c dapat disebabkan karena insensitivitas insulin pada masa
pubertas yang kemudian mengalami perbaikan setelah dilakukan intervensi
penyesuaian dosis insulin. Salah satu cara untuk memperbaiki kontrol GDS
19
adalah dengan melibatkan perawat sekolah untuk memberikan supervisi.
Remaja seringkali melakukan fabrikasi monitor GDS dan tidak
menyuntikkan insulin pada saat di sekolah. Supervisi perawat sekolah pada
studi di Texas berhasil menurunkan kadar HbA1c hingga sebesar 1,6%.19
Salah satu sasaran penting pengelolaan DM Tipe I adalah agar anak
terhindar dari komplikasi penyakit. Komplikasi DM tipe I dapat berupa
komplikasi akut maupun kronik. Komplikasi kronik terjadi akibat
perubahan-perubahan mikrovaskuler (retinopati, nefropati, neuropati) dan
makrovaskuler.8 Risiko timbulnya komplikasi sangat bervariasi, di
antaranya adalah durasi penyakit, kontrol glikemik, hipertensi yang
berhubungan dengan risiko mikrovaskuler serta kelainan profil lipid dan
albuminuria
yang
merupakan
risiko
kuat
untuk
komplikasi
20
makrovaskuler.
Penelitian mengenai pemantauan jangka panjang
komplikasi diabetes menunjukkan penurunan risiko komplikasi mata
sebesar 76%, ginjal 50%, dan sistim saraf 60% pada anak DM tipe 1 dengan
kontrol glukosa darah intensif.21 Kontrol metabolik yang baik serta skrining
berkala penting dilakukan secara teratur untuk deteksi dan tata laksana
dini komplikasi DM. Pasien telah menjalani skrining teratur komplikasi
mata
(funduskopi/oftalmoskopi)
dan
ginjal
(ureum,
kreatinin,
mikroalbuminuria) setiap tahun serta skrining kelainan makrovaskular
(profil lipid) setiap 5 tahun sebagaimana dianjurkan oleh International
Society for Pediatric and Adolescent Diabetes (ISPAD).22,23 Komplikasi
makrovaskular dan mikrovaskular tidak ditemukan pada pasien sampai
akhir pengamatan.
Fase remaja merupakan fase transisi dari masa anak ke masa dewasa yang
ditandai oleh percepatan pertumbuhan dan perkembangan psikososial
anak. Perubahan fisik yang nyata, perkembangan emosi yang masih labil,
pencarian jati diri, kebutuhan untuk diterima oleh teman sebaya (peer
group), dan keinginan untuk mandiri merupakan berbagai dinamika yang
dialami remaja dan menjadi faktor-faktor yang memengaruhi sikap remaja
dalam menghadapi permasalahannya.24 Remaja dengan DM memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengalami masalah psikiatri (10-20%), kelainan pola
makan (8-30%) dan penyalahgunaan substansi (25-50%). Masalah tersebut
akan memperburuk kontrol metabolik pasien di samping adanya perubahan
hormonal. Masalah psikiatri dan perilaku pada remaja dikategorikan
menjadi gangguan internalisasi (seperti depresi dan ansietas) atau
eksternalisasi (seperti impulsivitas, hiperaktivitas, agresi). Pada awal
diagnosis ditegakkan, anak akan mengalami kesulitan dalam menerima
20
penyakit yang disertai dengan kesedihan, penarikan diri dari lingkungan.
Pada saat remaja, depresi akan muncul akibat tekanan untuk diterima oleh
peer-group, usaha untuk meraih kemandirian dari orangtua dan usaha
untuk menemukan jati diri. Skrining psikologis rutin diperlukan untuk
deteksi dini kelainan psikiatri dan perilaku. Remaja dengan KAD berulang,
memiliki masalah terkait diabetes dengan orangtua atau memiliki konflik
dengan orangtua berisiko mengalami gangguan psikososial yang lebih
tinggi.6 Pasien tidak memiliki konflik dengan orangtua ataupun sering
dirawat karena KAD tetapi hasil skrining masalah psikososial pada akhir
semester ke-4 menunjukkan adanya tanda adanya gangguan internalisasi
sehingga pasien dikonsultasikan ke Departemen Psikiatri. Prestasi sekolah
pasien yang baik, tidak pernah tinggal kelas.
Kemajuan teknologi pengobatan telah menghasilkan luaran medis yang
lebih baik bagi pasien DM tipe-1 tetapi rasa nyeri dan regimen terapiyang
rumit memiliki implikasi pada kualitas hidup. Beberapa studi melaporkan
bahwa kualitas hidup anak dan remaja dengan DM tipe-1 lebih rendah
daripada anak normal (Lampiran 6). Kualitas hidup pada anak DM tipe-1
dapat dinilai dengan menggunakan PedsQL modul generik yang sudah
diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan divalidasi. Kualitas hidup yang
dilaporkan oleh anak dan orangtua pada awal pengamatan dinilai baik,
kemudian penilaian ulang pada akhir pengamatan menunjukkan adanya
penurunan kualitas hidup. Skor penilaian fungsi fisik, sekolah dan
emosional yang dilaporkan sendiri oleh anak lebih rendah dibandingkan
pada anak DM tipe-1 pada studi di Yunani.25 Hasil penilaian orangtua
menunjukkan gangguan pada fungsi sekolah. Hal tersebut kemungkinan
disebabkan oleh angka absensi yang cukup tinggi pada anak. Selain itu
adanya internalisasi pada anak juga kemungkinan mengganggu fungsi
kehidupan menjadi lebih buruk daripada sebelumnya.
Cara pandang dan sikap orangtua terhadap penyakit yang diderita pasien
mempengaruhi cara pandang dan sikap pasien terhadap penyakit yang
dideritanya. Latar belakang pendidikan, serta struktur dan fungsi masingmasing anggota keluarga juga memengaruhi sikap remaja dalam
menghadapi penyakitnya. Keluarga yang berfungsi baik memberikan
dukungan positif bahkan mengambil alih peran pasien ketika pasien tidak
dapat (fase penyesuaian, kondisi sakit) atau tidak mau (fase penolakan)
menjalankan regimen pengobatan DM.26,27 Pada kasus ini, pasien berasal
dari keluarga yang harmonis, memiliki orangtua dengan tipe pengasuhan
yang demokratis dan latar belakang pendidikan yang cukup. Keluarga
21
menunjukkan dukungan positif dan mengambil peran penting dalam
mendukung kepatuhan pasien berobat dan pemantauan kontrol metabolik.
Keterlibatan keluarga dalam kelompok pendukung seperti IKADAR juga
menjadi faktor positif dalam mempertahankan kontrol metabolik yang baik
dan memberikan dukungan kepada anak untuk dapat melalui masa remaja
dengan baik.3,6
RINGKASAN
Penanganan longitudinal selama 3 tahun telah dilakukan terhadap seorang
anak perempuan penderita DM tipe-1 yang memasuki masa pubertas.
Masalah yang ditemukan pada awal penanganan adalah ketidaksiapan
pasien dan keluarga menerima kenyataan sakit yang diderita pasien,
ketidakteraturan kontrol, gizi kurang, ketidakpastian jaminan kesehatan,
serta ancaman komplikasi yang mungkin timbul. Penanganan dilakukan
mencakup 5 pilar tata laksana DM yaitu melakukan edukasi secara
berkesinambungan,
memastikan
ketersediaan,
keteraturan
dan
penyesuaian dosis insulin, edukasi pengaturan makan dan aktivitas fisik,
pemantauan pencapaian kontrol metabolik dan komplikasi yang mungkin
timbul. Pasien mengalami perubahan regimen terapi dan mulai
menjalankan puasa pada periode ini. Pasien tidak pernah mengalami KAD
dan kontrol metabolik relatif baik. Pubertas cukup mempengaruhi kontrol
glikemik pasien karena perubahan hormonal,kepatuhan terhadap terapi
dan masalah psikososial remaja. Pasien telah mencapai tumbuh kembang
optimal, memiliki kontrol metabolik yang baik, mulai menunjukkan
kemandirian dalam menangani penyakitya dan tidak mengalami komplikasi
akut maupun kronik. Masalah yang tertinggal pada pemantauan ini adalah
masalah psikososial yang dialami oleh pasien di masa remaja. Pemantauan
jangka panjang lanjutan perlu dilakukan dan dititikberatkan pada
memantau tumbuh kembang dan kesiapan psikologis pasien untuk
memasuki masa dewasa.
22
Daftar Pustaka
1. Alemzadeh R, Wyatt D. Diabetes mellitus in children. In: Kliegman R
BRJHSB, editor. Nelson textbook of pediatrics. 18 ed. Philadelphia:
Saunders; 2007. 2404-25.
2. Elamin A, Hussein O, Tuvemo T. Growth, puberty, and final height in children with
Type 1 diabetes. J of Diabetes and Complications. 2006;20:252-6.
3. Rusmil K. Kualitas hidup remaja dengan kondisi penyakit kronis. In: Amalia
P, Oswari H, Hartanto F, Kadim M, editors. The 2nd adolesccent health
national symposia: current chalanges in management.Jakarta: Balai
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. 97-107.
4. Pulungan A. DM tipe I pada anak di Indonesia: where are we? 2010 Nov 7;
2010.
5. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI. Data pasien diabetes melitus
tipe 1. IDAI Pusat 2010.
6. Kakleas K, Kandyla B, Karayianni C, Karavanaki K. Psychosocial problems
in adolescents with type-1 diabetes melitus. Diabetes & Metabolism.
2009;35:339-50.
7. Craig ME, Hattersley A, Donaghue KC. Definition, epidemiology
andclassification of diabetes in children and adolescents. Pediatric Diabetes.
2009;10:3-12.
8. UKK Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus nasional
pengelolaan diabetes melitus tipe-1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2009.
9. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee Q, et al. Diabetic
ketoacidosis in children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes.
2009;10:33.
10. Tfayii H, Arslanian S. The challenge of adolescence: hormonal changes and sensitivity
to insulin. Diabetes Voice. 2007;52:28-30.
11. Kobeissy A, Zantout MS, Azar ST. Suggested insulin regimens for patients
with type 1 diabetes mellitus who wish to fast during month of Ramadhan.
Clinical Theurapeutics. 2008;30:1408-15.
12. Azad K, Mohsin F, Zargar AH, Zabeen B, Ahmad J, Raza A, et al. Fasting
guidelines for diabetic children and adolescents. Indian J Endocrinol
Metab. 2012;16:516-18.
13. Kirpitch AR, Marynuk MD. The 3R's of glycemic index: recommendations,
research and the real world. Clinical Diabetes. 2011;29:155-9.
14. Buroni J, Longo PJ. Low-glycemic index carbohydrates: an effective
behavioral change for glycemic control and weight management in patients
with type 1 and 2 diabetes. Diabetes Educ. 2006;32:78-88.
23
15. Dunger D, Ahmed L, Ong K. Growth and body composition in type-1
diabetes mellitus. Horm Res5. 2002;58:66-71.
16. Khadilkar VV, Parhasarathy LS, Mallade BB, Khadilkar AV, Chiplonkar SA
BAB. Growth status of children and adolescents with type-1 diabetes
mellitus. Indian J Endocrinol Metab. 2013;17:1057-60.
17. Cooke DW, Pulungan A. Type 1 diabetes mellitus in pediatrics. Pediatr Rev.
2008;29:374-84.
18. Craig ME, Jones TW, Slink M, Ping YJ. Diabetes care, glycemic control, and
complications in children with type 1 diabetes from Asia and the Western
Pacific Region. J of Diabetes and Complications. 2007;21:280-7.
19. Nguyen TM, Mason KJ, Sanders CG, Yazdani P, Heptulla RA. Targeting blood
glucose management in school improves glycemic control in children with
poorly controlled type 1 diabetes mellitus. J Pediatr. 2008;153:575-8.
20. Marshall SM, Flyvbjerg A. Prevention and early detection of vascular
complications of diabetes. BMJ. 2006;333:475-80.
21. The effects of of intensive treatment of diabetes on the development and
progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes
mellitus. n Enl J Med. 1993;329:977-986.
22. Donaghue KC, Chiarelli F, Trotta D, Allgrove J, Jorgensen KD. Microvascular
and macrovascular complications associated with diabetes in children and
adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10:195-203.
23. Daneman D. Early diabetes-related complications in adolescents. Horm Res.
2005;63:75-85.
24. Pardede N. Masa Remaja. In: Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih,
Suyitno H, Ranuh IG N G, editors. Tumbuh kembang anak dan remaja. 1
ed. Jakarta: Sagung Seto; 2002. 138-169.
25. Kalyva E, Malakonaki E, Eiser C, Mamoulakis D. Health-related quality of
life (HRQoL) of children with type 1 diabetes mellitus (T1DM): self and
parental perceptions. Pediatric Diabetes. 2011;12:34-40.
26. Grey M, Boland EA, Chang Yu, Bolyai SS, Tamborlane WV. Personal and
family factors associated with quality of life in adolesecents with diabetes.
Diabetes Care. 1998;21:909-914.
27. McKelvey J, Waller DA, North AJ, Marks JF, Schreiner B, Travis LB, et al.
Reliability and validity of the Diabetes Family Behavior Scale (DFBS).
Diabetes Educ. 1993;19:125-132.
24
Download