Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang Menjadi Kitosan dan Aplikasinya Sebagai Bahan Penjernih Air By Muhammad Zulaftori1), Syahrul2) and Dahlia2) Abstract This research was conducted to evaluate the quality of chitosan utilized from shrimp shell, and its capacity for water purification. Shrimp shell weighing 200 gram was processed through three stages: demineralization with HCl 1 N, deproteination with NaOH 3.5 %, and deacetylation with NaOH 50 %. Ten gram chitosan was treated into 1 liter under-ground-water of low- quality. Quality characteristic of shrimp shell chitosan was evaluated fordeacetylation degree,ash, moisture, and nitrogen. Its capacity on water purification was compared to that commercial chitosan. The result indicated that the shrimp shell chitosan was characterized by deacetylation degree 88 %, ash 2 %, moisture 8 %, and nitrogen 5.95. These values were comparable to that commercial chitosan which the values were deacetylation degree 88 %, ash 0.3 %, moisture 8 %, and nitrogen 0,5 %). Purification effect of shrimp shell chitosan moreover was better than that of commercial chitosan, except for iron, temperature, and total disolved solids . The quality of the water of untreated was : E. coli 1600 cfu/ml, turbidity 6 NTU, iron 0.0678 ppm, temperature 29.50C, pH 4, Total Dissolved Solids 81 mg/l, and Total Suspended Solids 12 mg/l; treated with shrimp shell chitosan was : E. coli 2 cfu/ml, turbidity 2NTU, iron 0.0354 ppm, temperature 25 0C, pH 7.5, Total Dissolved Solids 211 mg/l, and Total Suspended Solids 11 mg/l; and treated with commercial chitosan was : E. coli 23 cfu/ml, turbidity 5 NTU, iron 0.0059 ppm, temperature 21.40C, pH 7, Total Dissolved Solids 20 mg/l, and Total Suspended Solids 11 mg/l. Keywords: Chitosan, Shrimp Shell Waste, the Quality of Chitosan, Water Purification 1) Student of Fisheries and Marine Science Faculty, Universityof Riau 2) Lecturer of Fisheries and Marine Science Faculty,Universityof Riau PENDAHULUAN Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang umumnya diekspor dalam bentuk beku. Dalam proses pembekuan udang sekitar 60–70 % dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala). Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, karena sering dibiarkan membusuk. Limbah udang ini apabila diproses lebih lanjut akan menghasilkan kitin melalui proses deasetilasi, hampir sekitar 35 % limbah udang ini mengandung kitin dan dari kitin ini dapat dihasilkan sekitar 80 % kitosan (No dan Meyer, 1997). Dewasa ini, masalah utama sumberdaya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik terus menurun khususnya untuk air bersih. Pada dasarnya, sumber air bersih yang dapat dimanfaatkan dapat digolongkan menjadi 3 jenis yaitu air hujan, air tanah dan air permukaan. Air tanah merupakan sumber air bagi masyarakat pedesaan dalam bentuk mata air atau sumur. Air sumur yang terdapat di dalam tanah sudah mengalami beberapa penyaringan oleh lapisan tanah danpada sumur dengan kedalaman minimal tiga meter, bakteri saprofilik tidak dapathidup sehingga air bebas dari pencemaran bakteri (Sudibyo 1982 diacu dalamYuliarti 2006). Saat ini kebutuhan air bersih baik di kota maupun di pedesaan sangat sulit diperoleh, karena beberapa sumber air sudah tak layak digunakan seperti bau, keruh dan berminyak. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan air ini perlu suatu terobosan untuk mengatasi masalah tersebut, yakni dengan memanfaatkan kitosan dalam pengolahan air bersih. Pemanfaatan kitosan dalam pengolahan air ini disebabkan senyawa ini berperan sebagai senyawa pengkhelat untuk pemisahan logam berat dari larutannya. Selain itu juga berfungsi sebagai koagulan dan flokulan dalam pengolahan air bersih. Prinsip koagulasi kitosan adalah sebagai penukar ion dimana garam amina yang terbentuk karena reaksi amina dengan asam akan mempertukarkan proton yang dimiliki logam pencemar elektron yang dimiliki oleh nitrogen. Kitosan sebagai suatu polimer dapat juga berperansebagai anti bakteri dimana kitosan tersebut dapat menghambat pertumbuhanbakteri gram negatif (Muzzarelli 1982). Telah banyak teknologi terapan yang diciptakan para ahli untuk. Mengatasi permasalahan pencemaran air tersebut, tetapi belum banyak dilakukan dengan penggunaankitosan untuk mengatasi pencemaran air tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan proses penjernihan air sumur denganmenggunakan kitosan, sehingga jumlah zat pencemar yang terdapat di dalamair sumur dapat dikurangi sampai batas yang dipersyaratkan untuk kesehatan. TUJUAN DAN MANFAAT Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan kitosan didalam proses penjernihan air (air sumur perumahan), terutama dalam menurunkan jumlah bakterikoliform dan kualitas air sesuai peruntukkannya. Hasil penelitian ini dapat digunakan dalam mengatasi masalah pencemaran air untuk kebutuhan masyarakat terutama dalam mendapatkan air bersih. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu penelitian pertama dan penelitian kedua. Penelitian pertama yaitu pembuatan kitosan dari limbah cangkang/kulit udang dengan metode Pipih Suptijah. Setelah itu Kitosan yang diperoleh dianalisis proksimat dan derajat deasetilasi (DD). Adapun penelitian kedua terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menjernihkan air baku dari sumur setelah melalui proses penyaringan sederhana (tradisional) dengan perlakuan penarnbahan kitosan 1 gram (K1), 2 gr (K2), dan 3 gr (K3) serta tanpa kitosan sebagai kontrol (K0). Volume air baku sumur yang akan dijernihkan sebanyak 1 liter dengan lama pengadukan 1 menit. Air tersebut selanjutnya didiamkan selama 2 jam. Kemudian dilakukan pengujian pH, TSS dan kekeruhan. Hasil penelitian pendahuluan ini yang terbaik digunakan dalam penelitian lanjutan. Pada penelitian lanjutan dilakukan proses penyaringan air dengan menggunakan kitosan serbuk sebagai filter. Air yang digunakan dalam penelitian lanjutan adalah hasil terbaik dari penelitian pendahuluan. Filter yang digunakan berupa kolom yang berisi kitosan serbuk terbaik dari penelitian pendahuluan dan dibandingkan dengan kitosan serbuk komersil dengan jumlah yang sama serta tanpa filter kitosan sebagai kontrol. Alat yang digunakan untuk menyusun serbuk kitosan yaitu berupa selang air dengan diameter 1,7 cm. Air yang telah disaring menggunakan filter kitosan kemudian diuji kualitasnya, meliputi suhu, pH, kekeruhan, TSS (Total Suspended Solids), TDS (Total Dissolved Solids), kandungan besi dan total koliform. Penelitian tahap kedua ini menggunakan metode survei. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Kitosan Kitosan pada penelitian ini dibuat dari cangkang/kulit udang laut yang berasal dari Pasar Pagi Panam dan Pasar Pagi Arengka Pekanbaru. Pembuatan kitosan berdasarkan metode Pipih Suptijah. Analisis mutu kitosan cangkang/kulit udang yang diperoleh pada penelitian ini meliputi kadarair, kadar abu, kadar nitrogen, derajat deasetilasi, bau, warna, rasa, dan ukuran disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis mutu kitosan Parameter Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Kadar Nitrogen (%) Derajat Deasetilasi (%) Ukuran/size Warna Bau Rasa Nilai 8 2 5,95 88 Standar <10 % =2% <5 % >70% 20-30 mesh Putih Tidak berbau Tidak berasa 20-30 mesh Putih Tidak berbau Tidak berasa Kadar air Kadar air merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan mutu kitosan. Kadar air yang rendah dapat menekan atau mengurangi kerusakan pada kitosan, misalnya terhindar dari adanya aktivitas mikroorganisme akibat kelembaban. Nilai kadar air kitosan yang diperoleh pada penelitian ini 8%. Nilai kadar air ini sudah dapat memenuhi standar mutu khitosan yang ditetapkan oleh Protan Laboratories, yaitu ≤ 10. Dalam pembuatan kitosan kadar air banyak dipengaruhi oleh proses pengeringan serta kemampuan kitosan itu sendiri dalam menyerap uap air dari lingkungannya. Kadar air kitosan tidak dipengaruhi oleh jumlah bahan, nisbah dan waktu proses, tetapi oleh waktu pengeringan terhadap kitosan yang dihasilkan (Sophanodora dan Benjakula 1993, diacu dalam Fauzan 2001). Agar kadar air pada kitosan tetap rendah maka yang perlu diperhatikan adalah cara pengemasan, dan kondisi penyimpanannya. Lingkungan penyimpanan kitosan diusahakan tetap kering, karena kondisi yang lembab dapat memudahkan kitosan untuk menyerap uap air dari udara di sekitarnya. Kadar air ini dipengaruhi oleh lamanya proses pengeringan kitosan, metode pengeringan, karakteristik kitosan, serta penyimpanan dan pengemasan. Kitosan yang dihasilkan pada penelitian dikeringkan dengan metode pengeringan tradisional menggunakan cahaya matahari selama 3 hari dan disimpan dengan kemasan plastik polyetilen pada suhu ruang. Proses pengeringan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan panas dari cahaya lampu. Intensitas panas cahaya lampu sangat penting dalam prosespengeringan. Akan tetapi pengeringan dengan cahaya lampu tergantung pada jumlah lampu yang digunakan. Panas yang stabil akan membantu mempercepat proses pengeringan. Kadar abu Kadar abu menunjukan banyaknya kandungan mineral yang masih tersisa dalam suatu bahan. Tingkat kemurnian kitosan semakin tinggi dengan semakin rendahnya kadar abu kitosan. Kadar abu dianggap sebagai ukuran keberhasilan proses demineralisasi. Efektifitas demineralisasi dapat dilihat dari penurunan kadar abu kitosan yang dihasilkan. Kadar abu kitosan yang diperoleh pada penelitian adalah 2 %. Nilai rata-rata kadar abu kitosan yang rendah menunjukkan bahwa proses demineralisasi telah berjalan dengan baik. Proses demineralisasi akan berlangsung sempurna dengan mengusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai dengan pengadukan yang konstan. Pengadukan ini diharapkan dapat menciptakan panas yang homogen dan asam yang digunakan dapat bereaksi sempurna dengan bahan (Karmas 1982, diacu dalam Luhur, 2006). Pada proses demineralisasi, senyawa kalsium dalam kulit udang akan bereaksi dengan HCl dan menghasilkan kalsium klorida, asam karbonat dan asam fosfat yang larut dalam air. Pada saat pemisahan ketiga senyawa ini akan terpisah sebagai filtrat melalui air (Bastaman 1989, diacu dalam Alamsyah, 2000). Kadar abu kitosan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 2 % diduga dipengaruhi oleh proses pencucian terlalu netral dalam setiap tahapan proses, suhu demineralisasi yang tinggi, konsentrasi HCl yang cukup rendah sebesar 1 N, proses pengadukan yang konstan serta proses pencucian cangkang dengan menggunakan air mengalir,sehingga memungkinkan terbuangnya mineral yang mengendap dan terlarut dalam larutan. Kadar nitrogen Kadar itrogen ditentukan oleh proses deproteinasi atau penghilangan protein dengan menggunakan NaOH 3,5 N. Kadar nitrogen kitosan yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 5,95 %. Kadar nitrogen yang rendah menunjukkan kandungan total nitrogen yang tersisa pada kitosan, baik itu nitrogen protein maupun nitrogen dari gugus lain. Efektifitas deproteinasi dapat dilihat dari penurunan kadar nitrogen pada kitosan yang dihasilkan. Keefektifan proses deproteinasi ini tergantung dari kekuatan larutan basa dan tingginya suhu proses. Kadar nitrogen dari kitosan ternyata masih tinggi dan belum memenuhi standar mutu kitosan yang ditetap oleh Protan Laboratories jepang, yaitu ≤ 5 %. Kadar nitrogen menunjukkan jumlah total nitrogen yang tersisa pada kitosan, baik itu nitrogen protein maupun nitrogen gugus lain. Selain itu kadar nitrogen dapat dijadikan sebagai parameter yang menunjukkan keefektifan proses deproteinasi. Efektivitas proses deproteinasi tergantung pada kekuatan larutan basa dan kenaikan suhu proses. Penghilangan protein berfungsi untuk menekan proses degradasi protein pada kulit udang sehingga diperoleh kitosan yang bermutu baik. Kitosan diharapkan mempunyai kadar nitrogen yang sekecil mungkin (Luhur, 2006). Kadar total nitrogen yang tersisa dapat dijadikan indikator proses deproteinasi. Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang dapat berinteraksi dengan gugus lainnya. Keberadaan nitrogen dalam kitosan yang berupa gugus amina (-NH2) menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas kimia yang cukup tinggi ( Hong et al. 1989, diacu dalam Prantommy, 2005). Kadar nitrogen dari kitosan ternyata masih tinggi dan belum memenuhi standar mutu kitosan. Dari Tabel 1 dapat terlihat bahwa kitosan dari limbah cangkang/kulit udang mempunyai kadar nitrogen 5, 95 %. Masih tingginya kadar nitrogen ini kemungkinan disebabkan karena kurang baiknya proses pencucian yang dilakukan sehingga nitrogen tidak terpisah secara sempurna. Selain itu pada saat proses deproteinasi pengadukan yang dilakukan kurang konstan dan tidak merata, pengaruh waktu perendaman sehingga interaksi antara larutan basa dan bahan kurang sempurna. (Saleh et al, 1994) menyatakan bahwa kadar nitrogen dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH dan waktu proses deproteinasi.Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan semakin lama waktu deproteinasi yang dilakukan maka akan semakin sempurna reaksi antara protein dan larutan untuk membentuk ester, sehingga jumlah protein yang dihilangkan semakin banyak. Derajat deasetilasi Parameter mutu kitosan berikutnya adalah derajat deasetilasi. Derajat deasetilasi menunjukkan persentase gugus asetil pada kitosan yang dapat dihilangkan dari kitin sehingga dihasilkan kitosan. Penggunaan derajat deasetilasi sebagai parameter mutu kitosan disebabkan oleh adanya gugus asetil pada kitosan yang dapat menurunkan efektifitas kitosan. Derajat deasetilasi kitosan hasil penelitian ini adalah sebesar 88 %. Derajat deasetilasi adalah parameter mutu kitosan yang menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan pada kitin. Semakin tinggi derajat deasetilasi maka gugus asetil yang yang hilang dari kitosan tersebut semakin banyak, sehingga jumlah amin yang reaktif juga semakin banyak (NH2). Bila derajat deasetilasi kitosan rendah akan mengakibatkan efektifitas kitosan menjadi rendah, karena semakin banyak gugus asetil dalam kitosan maka interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin lemah (Knorr, 1982). Kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini telah memenuhi syarat untuk diaplikasikan pada penjernihan air, karena nilai derajat deasetilasinya yang cukup tinggi yaitu 88%. Tingginya nilai derajat deasetilasi diduga dipengaruhi oleh penggunaan suhu dan konsentrasi NaOH yang tinggi. Suhu yang digunakan pada saat proses deasetilasi adalah 135 oC dan proses pemanasan selama 1 jam setelah 135 oC dengan konsentrasi NaOH 50%. Proses pencucian akhir kitosan dengan menggunakan air panas mendidih diduga juga dapat mempengaruhi nilai derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan. Air panas yang digunakan pada proses pencucian menyebabkan larutan NaOH terlepas dan tidak terserap kembali oleh cangkang yang sudah menjadi kitosan. Penelitian Pendahuluan - Penyaringan Sederhana. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan penyaringan air sederhana dengan menggunakan filter batu zeolit, ijuk, kerikil, pasir laut, dan pasir silika. Air yang digunakan yaitu air sumur perumahan. batu zeolit, ijuk, kerikil, pasir laut, dan pasir silika disusun secara berlapis. Hasil penyaringan sederhana ini digunakan untuk proses penjernihan air dengan filter kitosan serbuk. Tabel 2. Nilai kualitas air dengan filter batu zeolit, ijuk, kerikil, pasir laut, dan pasir silika. Parameter Fisik : -Suhu (0C) -Kekeruhan (NTU) -TSS(mg/l) -TDS(mg/l) Kimia : -Kandungan Besi -pH Mikrobiologi : Total E.Coli (cfu/ml) Sebelum penyaringan 29,5 6 81 12 Sesudah penyaringan 29 6 130 8 0,0678 ppm 4 0,0088 ppm 6 1600 920 Berdasarkan Tabel 2, Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2002 dan 2010 secara umum nilai beberapa parameter kualitas hasil penyaringan sederhana termasuk kategori kualitas air minum untuk kandungan besi 0,0088 ppm, dan TDS 130 mg/l, kualitas air bersih untuk kekeruhan 6 NTU, kualitas air kelas 1 untuk TSS 8 mg/l, dan pH 6, dan untuk E.Coli belum memenuhi standar baku mutu air yang telah ditetapkan karena masih memiliki E.Coli 920 cfu/ml. -Penentuan Jumlah Kitosan Untuk Penjernihan Air Tabel 3. Hasil analisis kualitas air dengan dosis kitosan yang berbeda No 1 2 3 4 5 6 Penjernih (gram) Kitosan Hasil 1 gram Kitosan Hasil 2 gram Kitosan Hasil 3 gram Kitosan Komersil 1 gram Kitosan Komersil 2 gram Kitosan Komersil 3 gram Parameter TSS pH (mg/l) Kekeruhan (NTU) 6 4 3 6 20 5 6 9 6 6 18 3 6 30 3 6 25 3 Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa hasil terbaik untuk penggunaan kitosan hasil analisis yaitu kitosan dosis 1 gram dengan pH 6, TSS 4 mg/l, dan kekeruhan 3 NTU, sedangkan hasil terbaik untuk kitosan komersial yaitu 1 gram memiliki pH6, TSS 18 mg/l dan kekeruhan 3 NTU. Dari ketiga parameter tersebut, untuk pH, dan kekeruhan kitosan hasil analisis dan kitosan komersial telah memenuhi standar yang dipersyaratkan untuk air minum dan nilai TSS untuk air kelas 1 menurut kesehatan sesuai peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2002. Penelitian Lanjutan Penelitian lanjutan bertujuan untuk mengaplikasikan kitosan hasil analisis dan komersial sebagai filter air sebanyak 1 liter. Dosis dari masing-masing kitosan yang digunakan untuk menjernihkan air sebanyak 1 liter yaitu 10 gram. Dosis kitosan sebanyak ini telah ditentukan pada tahap penentuan jumlah kitosan dalam penelitian pendahuluan.Adapun hasil pengamatan selama proses penjernihan air tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 dan hasil analisis kualitas perjenihan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil pengamatan penjernihan air dengan kitosan hasil analisis, dan komersil Penjernih (gr) Kitosan gasil analisis 10 gram Hasil Pengamatan Waktu Air lebih cepat jernih, kitosan lebih cepat mengikat dan mengendap secara merata ke dasar air, pengadukan cuman sebentar, warna kitosan tidak berubah dan tetap putih seperti biasa setelah penjernihan, terjadinya proses koagulasi yang cepat 2 jam Kitosan komersial 10 gram Air lambat jernih, pengadukan lama, kitosan mengendap kedasar air secara berangsur dan tidak merata, warna kitosan gelap setelah penjernihan, terjadinya proses koagulasi yang cepat 2 jam Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa proses penjernihan air dengan penambahan kitosan buatan lebih cepat dan menghasilkan kualitas yang lebih bagus dari pada proses penjernihan air dengan penambahan kitosan komersial. Hal ini dipengaruhi oleh kemanpuan dari kitosan tersebut dalam mengikat zat-zat pengotor yang terdapat dalam air. Tabel 5.Hasil analisis kualitas air sumur dengan penambahan kitosan yang berbeda Penjernih(gr) Suhu (0C) Kitosan Komersil 10 gr 21,4 Kitosan buatan 10 gr 25 Parameter Fisika Kekeru TDS han mg/l (NTU) 5 20 2 21 Parameter Kimia TSS mg/l Fe ppm Parameter Mikro E.Coli (cfu/ml) pH 11 0,0059 7 23 11 0,0354 7,5 2 1. Suhu Suhu merupakan parameter fisika yang diukur untuk mengetahui perubahan yang ada dikarenakan faktor dari dalam pengolahan dan faktor dari lingkungan. Nilai suhu air perumahan dengan penjernihan kitosan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa suhu tertinggi terdapat pada air dengan penambahan kitosan hasil analisisyaitu 25 0C, sedangkan suhu terendah terdapat pada air dengan penambahan kitosan komersil 21,4 0 C. Secara fisik air bersih harus jernih, tidak berbau dan tidak berasa. Selain itu juga suhu air bersih sebaiknya sama dengan suhu udara atau kurang lebih 25 0C, dan apabila terjadi perbedaan maka batas yang diperbolehkan adalah 25 0C – 300C. Suhu air dengan penambahan kitosan hasil analisisdan airdengan penambahan kitosan komersil telah memenuhi persyaratan kualitas air minum sesuai dengan peraturan menteri kesehatan pada tahun 2010. 2. Kekeruhan Kejernihan air ditentukan oleh tinggi rendahnya kekeruhan (turbidity) dalam air.Kekeruhan air pada umumnya timbul sebagai akibat adanya pengotor baik oleh tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik yang tersebar maupun partikel-partikel kecil yang tersuspensi lainnya.Kekeruhan paling sering disebabkan oleh partikel-partikel koloid tanah liat yang dihasilkan akibat erosi (Tolman 1937 diacu dalam Masduki 1996). Berdasarkan tabel 5, dapat dilihat bahwa air perumahan dengan penambahan kitosan komersil dan kitosan buatan (10 gr)dapat menyebabkan nilai kekeruhan air perumahan mengalami penurunan. Air perumahan yang digunakan memiliki kekeruhan 6 NTU. Penambahan kitosan hasil analisis menyebabkan nilai kekeruhan terkecil yaitu 2 NTU, sedangkan yang tertinggi dengan penanbahan kitosan komersil yaitu 5 NTU. Nilai kekeruhan air semakin menurun disebabkan karena penyebaran kitosan selama proses penjernihan. Hal ini diduga karena kitosan mampu mengikat komponen penyebab kekeruhan yang terdapat dalam air perumahan. Kekeruhan dalam air dapat diendapkan oleh kitosan dengan cara koagulasi. Koagulasi adalah proses bergabungnya komponen yang lebih kecil membentuk komponen yang lebih besar dan mungkin menggumpal dan mungkin terjadi proses penetralan muatan-muatan partikel pengotor. Mekanisme pengikatan kotoran oleh kitosan adalah dengan cara adsorpsi dan jembatan antar partikel. Bila molekul primer bersentuhan dengan partikel koloid, maka beberapa gugusnya akan teradsorpsi dan sisanya tetap berada dalam larutan (Benefield et al 1982 diacu dalam Masduki 1996). 3.TSS (Total Suspended Solids) Padatan tersuspensi total atau Total Suspended Solid (TSS) adalah bahanbahan tersuspensi dan tidak terlarut dalam air. Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa bahwa air perumahan dengan penambahan kitosan komersil dan kitosan buatan (10 gram) dapat menyebabkan nilai TSS menurun dan menunjukkan tidak adanya pengaruh yang berbeda. Nilai TSS air perumahan dengan penambahan kitosan komersil dan kitosan hasil analisis (10 gram) memiliki nilai yang sama yaitu 11 mg/l. Menurunnya jumlah padatan terlarut ini disebabkan karena kitosan yang digunakan mampu mengikat padatan tersuspensi yang terdapat didalam air perumahan. Mekanisme pengikatan kotoran oleh kitosan adalah dengan cara adsorpsi dan jembatan antar partikel. Bila molekul primer bersentuhan dengan partikel koloid, maka beberapa gugusnya akan teradsorpsi dan sisanya tetap berada dalam larutan (Benefield et al 1982 diacu dalam Masduki 1996). Sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2002, menetapkan persyaratan TSS untuk air minum adalah 0 , akan tetapi nilai TSS yang dihasilkan pada penjernihan air ini sebesar 11 mg/l. hal ini menunjukkan bahwa air yang dihasilkan telah mememenuhi standar yang digolongkan untuk air kelas 1 yang memiliki nilai TSS < 50 mg/l. 4.TDS (Total Disolved Solids) TDS (Total Dissolve Solid) yaitu ukuran zat terlarut (baik itu zat organik maupun anorganik, misal: garam, dll) yang terdapat pada sebuah larutan air. Pengukuran TDS juga penting pada air. Tinggi rendahnya kandungan TDS dalam air menentukan kualitas akhir daripada air, termasuk air yang telah dijernihkan. Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwaair sumur perumahan dengan penambahan kitosan komersil memiliki nilai TDS yang paling rendah yaitu sebesar 20 mg/l, sedangkan dengan penambahan kitosan hasil analisis memiliki nilai TSS paling tinggi yaitu 21 mg/l. Tingginya nilai TDS air dengan penambahan kitosan buatan dibandingkan dengan yang lainnya menunjukkan bahwa zat padat terlarut pada air sumur perumahan dengan penambahan kitosan hasil analisis tersebut lebih banyak dan diduga juga dipengaruhi oleh proses penjernihan. Mengacu pada keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 bahwa standar maksimal TDS untuk kualitas air minum adalah 200 mg/l, berarti hal ini menunjukkan bahwaair hasil penjernihan dengan kitosan komersil dan kitosan hasil analisis telah memenuhi persyaratan air minum. 5.pH (Derajat Keasaman) Nilai pH pada air perumahan dengan penambahan kitosan komersil dan buatan merupakan salah satu parameter kualitas yang sangat penting.Nilai ini menunjukkan seberapa besar tingkat keasaman dari air tersebut. Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa air perumahan dengan penambahan kitosan komersil memiliki pH 7 dan kitosan hasil analisis pH 7,5 tergolong netral. Semakin dilakukan proses penjernihan air dengan kitosan, maka semakin meningkatkan nilai pH. Hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadinya reaksi interaksi antara air dan sisa NaOH yang terperangkap pada partikel kitosan yang menyebabkan pH air meningkat.Selain itu juga kitosan mampu untuk mengikat ion-ion H+ yang terdapat didalam air.ion-ion H+ tersebut akan berikatan gugus amin yang bermuatan negatif pada kitosan. Kitosan memiliki gugus amin/NH yang reaktif dan gugus hidroksil yang banyak serta kemanpuannya membentuk gel, maka kitosan dapat berperan sebagai pengikat, dan penstabil (Shahidi, 1999 diacu dalam Suptijah, 2006). Berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2002 dan 2010, bahwa persyaratan pH untuk air minum antara 6,5-8,5, sedangkan nilai pH air yang telah dijernihkan dengan kitosan komersil dan kitosan hasil yaitu 7 dan 7,5. Nilai pH ini menunjukkan bahwa air yang telah dijernihkan dengan kitosan komersil dan kitosan hasil analisismempunyai kriteria pH untuk air minum. 6.Kandungan besi Kandungan Fe yang terdapat didalam air tanah sebagian besar dipengaruhi oleh lumpur yang terdapat didasar permukaan. Kandungan logam Fe menyebabkan warna air menjadi kuning dan rasa air yang kurang enak. Salah satu kondisi geologis yang mempengaruhi kualitas air secara kimia adalah logam Fe yang berlebihan dalam dalam lapisan tanah tempat sumber air berada. Kadar besi dalam perairan alami berkisar antara 0,05-0,2 mg/l, pada air tanah dalam dengan kadar oksigen rendah dapat mencapai 100 mg/l (Raini 2004). Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa kandungan besi air sumur dengan penambahan kitosan komersil yaitu 0,0059 mg/l dan air sumur perumahan dengan penambahan kitosan hasil analisis 0,0354 mg/l. penjernihan dengan kitosan komersil dan buatan dapat mereduksi kandungan besi didalam air perumahan. Konsentrasi besi yang dihasilkan dengan penambahan kitosan komersil sangat kecil sekali, berada dibawah standar kandungan besi yang dapat terdeteksi oleh alat (minimum 0,016 mg/l).rendahnya kandungan besi karena penjernihan dengan kitosan mampu mengikat komponen besi yang ada didalam air perumahan. Selain itu bahan flokulan kitosan juga berfungsi sebagai pengkelat logam-logam berat yang beracun seperti Fe, Cu, Cd, Pb, Cr, Ni, Mn, Co, Zn, dan bahan radioaktif seperti uranium (Standford et al 1989). Berpedoman pada keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2002 dan 2010 kualitas air minum untuk kandungan besi adalah 0,30 mg/l, sedangkan nilai kandungan besi air sumur perumahan dengan penambahan kitosan komersil yaitu 0,0059 mg/l dan air sumur perumahan dengan penambahan kitosan hasil analisis 0,0354 mg/l. Hal tersebut telah menunjukkan bahwa kitosan mampu mengabsorbsi kandungan besi yang terdapat didalam airsumur perumahan. Tingginya tingkat absorbs logam Fe oleh kitosan menyebabkan kandungan besi menjadi sedikit. 7. Bakteri Escherichia coli Bakteri coliform adalah golongan bakteri intestinal, yaitu hidup dalam saluran pencernaan manusia. Bakteri coliform adalah bakteri indikator keberadaan bakteri patogenik lain. Salah satu anggota kelompok coliform adalah E.coli. Karena E.coli adalah bakteri coliform yang ada pada kotoran manusia, maka E.coli sering disebut sebagai coliform fekal. Pengujian coliform jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan uji E.coli karena hanya memerlukan uji penduga yang merupakan tahap pertama uji E.coli (Dwidjoseputro, 2005). Jumlah total bakteri E.Coli yang terdapat didalam air sumur perumahan dengan penambahan kitosan komersil dan hasil analisis disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa jumlah bakteri E.Coli pada air perumahan dengan penambahan kitosan komersil yaitu 23 cfu/ml sedangkan air air perumahan dengan penambahan kitosan hasil analisissebesar 2 cfu/ml.Adanya perbedaan yang jauh antara jumlah E.Coli yang terdapat didalam air perumahan dengan penambahan kitosan komersil dan air perumahan dengan penambahan kitosan buatan. Hal ini berarti kitosan mampu mengikat sekaligus membunuh bakteri E.Coli yang terdapat didalam air meskipun tidak secara keseluruhan sehingga jumlah bakteri menurun. Penurunan jumlah bakteri ini disebabkan karena terjadinya proses pengikatan dinding sel bakteri oleh kitosan. Kitosan tersebut memiliki grup NH2 yang merupakan gugus reaktif yang dapat berikatan dengan gugus bermuatan pada dinding sel bakteri. Terjadinya proses penghambatan dan pengikatan ini disebabkan perbedaan keelektronegatifan antara kitosan dengan gugus pada permukaan sel bakteri (Tsai dan Su diacu dalam Suptijah 2006). Sedangkan mekanisme penghambatannya bakteri oleh kitosan adalah kitosan dapat berikatan dengan protein membrane sel, diantaranya adalah glutamate yang merupakan komponen membrane sel. Selain berikatan dengan protein membrane, kitosan berikatan pula phospolipid membrane, terutama fosfatidil kolin sehingga menyebabkan permeabilitas inner membran meningkat dan dengan adanya peningkatan permeabilitas inner membrane member jalan yang mudah untuk kelurnya cairan sel (Simpson diacu dalam Suptijah 2006) Selain itu besarnya jumlah penurunan bakteri dalam proses penjernihan air dengan kitosan menunjukkan tingkat efektifitas kitosan sebagai penjernih air. Hal ini diduga karena kitosan memiliki sifat sebagai pengkelat sehingga mampu mengikat sejumlah bakteri yang ada didalam air. Kitosan memiliki grup amin yang reaktif . muatan positif pada kitosan akan berikatan dengan molekul bermuatan negatif pada permukaan sel bakteri sehingga permeabilitas sel meningkat dan menyebabkan mudahnya material yang terdapat didalam sel keluar (Tsai dan Su, 1999 diacu dan Chung dan Chen, 2004). Keputusan menteri kesehatan republic Indonesia tahun 2002 dan 2010 menetapkan bahwa bakteri E.Coli untuk air minum adalah nol cfu/ml. Sedangkan jumlah bakteri yang dihasil pada penelitian ini dari penjernihan kitosan komersil sebesar 23 cfu/ml dan kitosan buatan sebesar 2 cfu/ml. jumlah E.Coli yang dihasilkan dari proses penjernihan air menggunakan kitosan telah memenuhi standar air bersih. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil analisis mutu kitosan yang didapat pada penelitian ini yaitu derajat deasetilasi 88 %, kadar abu 2 %, kadar air 8 %, kadar nitrogen kitosan 5,95 %. Pada penelitian pendahuluan dilakukan proses penyaringan air secara sederhana dengan menggunakan zeolit, ijuk, kerikil, pasir laut, dan silika. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2002 dan 2010 secara umum nilai beberapa parameter kualitas hasil penyaringan sederhana termasuk kategori kualitas air minum untuk kandungan besi 0,0088 ppm, dan TDS 130 mg/l, kualitas air bersih untuk kekeruhan 6 NTU, kualitas air kelas 1 untuk TSS 8 mg/l, dan pH 6, dan untuk Escherichia coli belum memenuhi standar baku mutu air yang telah ditetapkan karena masih memiliki Escherichia coli 920 cfu/ml. Kemudian dilakukan penentuan jumlah kitosan yang bertujuan untuk mencari dosis kitosan terbaik dari kitosan untuk menjernihkan air sebanyak 1 liter. Pada penelitian ini dicoba dosis kitosan hasil analisis 1, 2 dan 3 gr dan kitosan komersil 1 gram, 2 gram, dan 3 gr. Hasil terbaik untuk filter kitosan hasil analisis yaitu kitosan dosis 1 gram dengan pH 6, TSS 4 mg/l, dan kekeruhan 3 NTU, sedangkan hasil terbaik untuk kitosan komersial yaitu 1 gram memiliki pH 6, TSS 18 mg/l dan kekeruhan 3 NTU. Dari ketiga parameter tersebut, untuk pH dan kekeruhan kitosan hasil analisis dan kitosan komersial telah memenuhi standar yang dipersyaratkan untuk air minum dan nilai TSS untuk air kelas 1 menurut kesehatan sesuai peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2002. Adapun pada penelitian lanjutan didapat hasil pengukuran kualitas air meliputi tiga parameter yaitu fisik, kimia, dan mikrobiologi untuk air dengan filter kitosan komersil dan air filter kitosan hasil analisis (10 gram) mengalami perubahan kearah yang lebih bagus sesuai dengan standar yang di persyaratkan seperti suhu 21,4 0C dan 25 0C standar air minum, kekeruhan 5 NTU dan 2 NTU standar air minum, TDS 20 mg/l dan 21 mg/l standar air kelas 1, TSS 11 mg/l dan 11 mg/l standar air kelas 1, konsentrasi besi 0,0059 dan 0,0354 ppm standar air minum, pH 7 dan 7,5 standar air minum dan bakteri Escherichia coli 23 cfu/ml dan 2 cfu/ml standar air bersih yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan pada tahun 2002 dan 2010. 2010. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini penulis menyarankan perlu dilakukan juga penelitian lebih lanjut untuk menurunkan jumlah bakteri hinggal nol untuk memenuhi standar air minum. Untuk menurunkan jumlah bakteri hingga nol perlu digunakan dosis serbuk kitosan yang lebih tinggi dan konsentrasi larutan kitosan yang lebih tinggi. Perlu dilakukan penelitian untuk penjernihan air dengan dosis serbuk kitosan yang lebih rendah dan konsentrasi larutan kitosan yang lebih rendah untuk membandingkan kualitas air yang dihasilkan dari proses penjernihan dengan dosis serbuk kitosan yang lebih tinggi dan konsentrasi larutan kitosan yang lebih tinggi tersebut. Air yang dihasilkan dari penelitian ini bisa dikonsumsi dengan cara dimasak terlebih dahulu hingga mendidih agar bakterinya menjadi nol. Aspinall (ed) Academic Press Inc, Orlando, San Diego. No H.K dan S.P. Meyers. 1997. Preparation of Chitin and Chitosan. Di Dalam R.A.A. Muzzarelli dan M.G. Peter (ed). Chitin Handbook. European Chitin Soc, Grottamare DAFTAR PUSTAKA Alamsyah A. 2000. Modifikasi Pembuatan Khitosan Larut Air (Skripsi). Bogor Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Dwidjoseputro, D. 2005. Dasar–Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Imagraph Fauzan A. 2001. Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Suhu Proses Terhadap Derajat Deasetilasi Khitosan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan. Institut Pertanian Bogor. Knorr D. 1982. Function Properties of Chitin and Chitosan. Food Science47 (2): 593 – 595 p. Luhur DA. 2006. Pemanfaatan Khitosan Sebagai Absorben Dalam Pembuatan Alginat Sargassum sp(Skripsi). Bogor: Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan. Institut Pertanian Bogor Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Persyaratan Kualitas Air Minum. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Baku Mutu Air.Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Masduki. 1996. Mempelajari Efektivitas Kitosan Dari Limbah Udang Untuk Penjernihan Air Sungai (Skripsi). Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Muzzarelli, R.A.A., 1985. Chitin in the Polysaccharides. Vol. 3, pp. 147, Prantommy. 2005. Pemanfaatan Kitosan Dari Kulit Udang Windu (Penaeus monodon) Untuk Pengolahan Limbah Cair Perikanan (Skripsi). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Saleh MR, Abdillah, Suherman E, Basmal J, Indriati J. 1994. Pengaruh Suhu, Waktu dan Konsentrasi Pelarut Pada Ekstraksi Khitosan Dari Limbah Pengolahan Udang Beku Terhadap Beberapa Parameter Mutu Khitosan. Jurnal Pasca Panen Perikanan. 81: hlm. 30 – 43. Standford P, Gudmund Skjak-Break, and Thorleif Atthonsen. 1989. Chitin and Chitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties, and Application. New York: Elsevier Applied Science. Suptijah P. 2006. Deskripsi Karakteristik Fungsional dan Aplikasi Kitin Kitosan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Yuliarti A. 2006. Kajian Mutu Fisikokimia Dan Mikrobiologi Air Minum Perumahan PT Badak Natural Gas Liquefaction (Skripsi). Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB.