Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Lama Waktu Perendaman Larva Ikan Cupang (Betta splendens) yang Berumur 5 Hari dengan Hormon 17α-Metiltestosteron terhadap Keberhasilan Monosex Jantan Prama Hartami, Asyraf dan Muhammad Hatta Fakultas Pertanian Program Studi Budidaya Perairan Universitas Malikussaleh, Aceh Utara [email protected] Abstract Prama Hartami, Asyraf and Muhammad Hatta. 2013. Time Depth of 5th Day of Cupang (Betta splendens) Hormone Soak With 17α-Metiltestosteron For Monosex Masculine Efficacy. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. The aim of this research was to know influence of 17α-Metiltestosteron hormone for monosex masculine efficarcy of 5nd of cupang (B. splendens) larva and the survival rate. The research was done in March 25th until May 23nd 2012 at Hatchery and Aquaculture Technology Laboratory, GOR Cunda Lhokseumawe. The methode that used in this research was non factorial complete random device by 4 treatment and 3 replication (10 hours, 12 hours, 14 hours and control). Result of using hormone 17α-Metiltestosteron for masculinitation indicate that the highest percentage showed in first treatment (10 hours) that was equal to 92.3%. Based on F test can showed that F count (8.255158) > F Table 0.01 (7.59) due to the survival rate (83.33%). Mean while, water quality check during the research showed us that temperature range was 26.79 – 28.11oC and than pH was 6.86 – 6.89. This water quality value still in optimal range for standard culture of B. splendens. Keywords: 17α-Metiltestosteron; B. splendens; Monosex; Sex reversal Abstrak Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 25 Maret sampai 23 Mei 2012, yang bertempat di Laboratorium Hatchery dan Tekonologi Budidaya GOR Cunda Lhokseumawe. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh hormon 17α-metiltestosteron terhadap larva ikan cupang yang berumur 5 hari terhadap rasio seks jantan ikan cupang (B. splendens) dan kelulus hidupan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak lengkap (RAL) non faktorial dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu perlakuan dengan perendaman 10 jam, perlakuan dengan perendaman 12 jam, perlakuan dengan perendaman 14 jam, dan kontrol. Hasil penggunaan larutan hormon 17α-metiltestosteron terhadap perubahan jenis kelamin menunjukkan bahwa persentase kelamin ikan cupang jantan tertinggi pada perendaman hormon 10 jam yaitu sebesar 92,13%, 12 jam yaitu sebesar 73,21%, 14 jam yaitu sebesar 42,22%, dan terendah pada kontrol atau tanpa perendaman hormon sebesar 34,44%. Hasil uji F menunjukkan bahwa pengaruh lama waktu perendaman berbeda sangat nyata (F hitung > F Tabel 0,01) nilai F hitung 8.255158 dan nilai F tabel 7,59 terhadap nisbah kelamin ikan cupang. Sedangkan tingkat kelulushidupan tertinggi terjadi pada perlakuan 10 jam yaitu 83,33%, 12 jam yaitu sebesar 76,67%, kontrol 56,67%, dan terendah terdapat pada perlakuan 14 jam yaitu 53,33%. Hasil uji F menunjukkan bahwa tingkat kelulushidupan ikan cupang berbeda sangat nyata (F hitung > F Tabel 0,01) nilai F hitung 19,58333 dan nilai F tabel 7,59%. Hasil pengukuran parameter kualitas air yang diperoleh menunjukkan bahwa selama penelitian untuk suhu berkisar antara 26,79 – 28,11oC dan pH 6,86 - 6,89. Kata kunci: 17α-Metiltestosteron; B. splendens; Monosex; Sex reversal Pendahuluan Latar belakang Keindahan tubuh dan ciri-ciri yang spesifik yang dimiliki oleh setiap ikan hias serta nilai ekonomisnya adalah faktor utama yang harus diperhatikan dalam budidaya ikan hias. Salah satu jenis ikan yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah ikan cupang. Ikan cupang (B. splendens) merupakan ikan yang memiliki banyak bentuk (Polimorphisme), seperti ekor bertipe mahkota crown tail, ekor penuh full tail dan bertipe slayer, dengan sirip panjang dan berwarna-warni. 1 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Keindahan bentuk sirip dan warna sangat menentukan nilai estetika dan nilai komersial ikan hias cupang. Penampakan warna pada jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, kematangan gonad, genetik dan faktor geografi. Ikan cupang B. splendens, sebagai ikan hias air tawar yang banyak digemari masyarakat, di dalam maupun luar negeri. Permintaan pasar ditujukan pada (B. splendens) yang berjenis kelamin jantan. Ikan cupang jantan memiliki warna mencolok, sirip panjang dan ukuran tubuh lebih kecil dibanding betinanya. Ikan cupang (B. splendens) jantan memiliki nilai komersial tinggi sehingga sangat disukai dan diburu oleh pecinta ikan hias. Selain itu ikan cupang ini bisa juga untuk diadu atau dilaga. Kendalanya saat ini adalah ketersediaan ikan cupang jantan sangatlah sedikit dibandingkan dengan ikan cupang betina, dikarenakan dari hasil pemijahan yang dilakukan tidak dapat dikontrol terhadap rasio jumlah ikan jantan yang didapatkan. Untuk itu perlu adanya upaya manipulasi untuk menghasilkan ikan (B. splendens) jantan. Melalui penggunaan hormon steroid. Hormon steroid yang digunakan untuk mengubah kelamin ikan terbagi atas dua kelompok yaitu 1) Androgen sebagai hormon yang mengarahkan diferensiasi kejantan, seperti androstenedion, metiltestosteron dan Testosteronpropionat 2) Estrogen adalah hormon yang mengarahkan ke betina seperti estron dan estradiol. Metode yang biasa digunakan dalam perubahan kelamin disebut sex reversal. Sexs reversal adalah suatu metode mengubah arah diferensiasi kelamin ikan secara buatan dari yang seharusnya betina menjadi jantan atau sebaliknya melalui aplikasi hormon. Perubahan diferensiasi secara buatan dimungkinkan pada fase larva, dikarenakan pada masa tersebut kelamin ikan belum terbentuk secara permanen. Berdasarkan hal ini maka peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian tentang lama waktu perendaman larva ikan cupang (B. splendens) berumur 5 hari dengan hormon 17 α-metiltestosteron terhadap keberhasilan monosex jantan. Tujuan dan manfaat Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh hormon 17α-metiltestosteron terhadap larva ikan cupang yang berumur 5 hari terhadap rasio seks jantan ikan cupang (B. splendens) dan kelulushidupan. Adapun manfaat yang bisa didapat adalah sebagai sumber informasi kepada semua pihak pembudidaya ikan cupang untuk dapat menghasilkan jenis ikan cupang jantan secara massal. Metodelogi Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 25 Maret - 23 Mei 2012, yang bertempat di Laboratorium Hatchery dan Tekonologi Budidaya GOR Cunda Lhokseumawe. Bahan dan alat Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva ikan cupang yang berumur 5 hari, hormon 17α-metiltestosteron, alkohol. Adapun peralatan yang digunakan pada saat penelitian yaitu berupa: toples berjumlah 12 buah, thermometer, pH meter, timbangan digital, gelas ukur, kertas tissue, selang, skopnet, tabung polietilen, kamera dan alat tulis. Metode penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimen laboratorium dengan pola rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dengan 4 perlakuan 3 ulangan. Keempat perlakuan tersebut adalah : Perlakuan A : Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron 10 jam. Perlakuan B : Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron 12 jam. Perlakuan C : Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron 14 jam. Perlakuan D : Kontrol (tanpa perendaman hormon). 2 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Prosedur penelitian a. Persiapan wadah Wadah pemeliharaan larva selama penelitian berupa toples yang terbuat dari plastik berukuran (15,5 x 15,5 x 11) cm3 sebanyak 12 buah, sebelum digunakan terlebih dahulu wadah di cuci bersih lalu dikeringkan, kemudian diisi air dengan volume 2 L. Khusus wadah pemijahan digunakan toples plastik dengan tinggi air/volume 2 L dan kepadatan masing-masing berjumlah 1 pasang induk. b. Pemijahan ikan cupang (B. splendens) Untuk menghasilkan larva yang berumur 5 hari dan seragam maka dilakukan pemijahan sendiri sebelum dimulai penelitian. Setelah induk menghasilkan telur dan menempal pada sarang berupa busa yang dipersiapkan oleh induk jantan, maka induk betina segera dipindahkan dan jantannya tetap dibiarkan di wadah untuk merawat telur sampai menetas, lama waktu penetasan adalah 24 jam. c. Penyiapan hormon Hormon 17α-metiltestosteron ditimbang sebanyak 20 mg lalu dilarutkan kedalam tabung polietilen dan ditambahkan 0,5 mL alkohol 70%. Selanjutnya campuran hormon dan alkohol diaduk sampai hormon larut. Kemudian dituangkan hormon kedalam wadah perendaman yang berisi air sebanyak 2 L. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 1 yang menunjukkan bagan alir penyajian pembuatan larutan hormon 17α-metiltestosteron, sebagai berikut: Timbang 20 mg 17α metiltestosteron ↓ Masukkan ke tabung polietilen 5 mL ↓ Tambahkan 0,5 mL alkohol 70%, tutup ↓ Lalu kocok hingga larut ↓ Tuangkan dalam wadah perendaman larva yang berisi air sebanyak 2 liter air ↓ Lakukan perendaman sesuai dengan perlakuan Gambar 1. Bagan penyajian pembuatan hormon. d. Introduksi hormon pada larva Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron dilakukan dengan waktu 10 jam, 12 jam, 14 jam dan kontrol. Setelah dilakukan perendaman sesuai dengan perlakuan, maka selanjutnya larva dipelihara dalam toples lain yang telah dipersiapkan sebelumnya. e. Pemeliharaan pada larva Setiap wadah pemeliharaan larva dimasukkan biota uji sebanyak 10 ekor. Pemberian pakan larva dilakukan pada saat kuning telur sudah mulai habis, yaitu pada hari ke-3. Memasuki hari ke-4 larva sudah bisa diberi pakan berupa suspensi kuning telur ayam yang telah direbus. Pemberian pakan ini dilakukan pada pagi, siang dan sore hari secara adlibitum (sampai kenyang) sampai larva berumur 9 hari. Kemudian pada hari ke-10 larva sudah diberikan kutu air dan jentik nyamuk sebagai makanan utama, sedangangkan cacing sutra diberikan sebagai makanan tambahan. 3 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 f. Identifikasi kelamin Identifikasi kelamin dilakukan dengan metode pengamatan berdasarkan perubahan pada morfologinya, yaitu dengan mengamati ciri-ciri seksual sekunder yang tampak pada ikan, pengamatan baru dapat dilakukan setelah umur ikan cupang 60 hari. Parameter yang diamati Pengamatan parameter uji berupa kelulushidupan dan nisbah kelamin dilakukan mulai hari ke- 60 pada masa pemeliharaan. Cara mendapatkan data hasil dari setiap parameter tersebut adalah sebagai berikut: a. Nisbah kelamin Nisbah kelamin jantan dapat dihitung dengan persamaan (Zairin, 2002) yaitu : J (%) = Jumlah ikan jantan x 100% (1) Jumlah ikan sampel b. Kelulushidupan larva Derajat kelulushidupan larva ikan cupang dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979) sebagai berikut : SR Jumlah Ikan Hidup Akhir Penelitian x 100% (2) Jumlah Ikan Awal Penelitian c. Kualitas air Adapun kualitas air yang di ukur selama penelitian yaitu suhu, dan pH, yang diamati setiap satu minggu sekali. Untuk menjaga agar kualitas air tetap terjaga selama penelitian maka dilakukan penyiponan seminggu sekali, sebanyak 20% dari total air di dalam wadah. Analisis data Untuk analisis data digunakan uji sidik ragam apabila menunjukkan perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Hasil perlakuan dan hasil analisis ditabulasi ke dalam tabel serta dilakukan pembahasan secara deskriptif. Model umum rancangan dalam penelitian ini adalah model tetap seperti yang dikemukakan oleh Hanafiah (1991) yaitu: Yij = µ + Ui + Kj+∑ij (3) Keterangan : Yij = Hasil pengamatan pengaruh hormon 17α-metiltestosteron pada ulangan ke-i µ = Rataan umum Ui = Pengaruh ulangan ke-i Kj = Pengaruh lama hormone 17α-metiltestosteron ke-j ∑ij = Pengaruh galat perlakuan hormon 17α-metiltestosteron ke-k pada ulangan i Hasil dan Pembahasan Nisbah kelamin jantan Berdasakan hasil dari penelitian didapatkan bahwa nisbah kelamin jantan ikan cupang tertinggi terdapat pada perlakuan A (Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 10 jam) dengan nisbah kelamin jantan 92,13%, disusul perlakuan B (Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 12 jam) dengan nisbah kelamin jantan sebanyak 73,21%. Perlakuan C (Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 14 jam) dengan 4 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 nisbah kelamin jantan sebanyak 42,22%. Dan yang terendah perlakuan D (kontrol) dengan nisbah kelamin jantan 34,44%. Rata-rata nisbah kelamin jantan ikan cupang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nisbah kelamin jantan ikan cupang. Perlakuan (%) C D 66,67 50,00 40,00 33,33 20,00 20,00 126,67 103,33 42,22 34,44 Ulangan A B 1 100,00 87,50 2 88,89 75,00 3 87,50 57,14 Jumlah 276,39 219,64 Rata-rata 92,13 73,21 Sumber : Data Hasil Pengamatan (2012). Keterangan: Perlakuan A = Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 10 jam Perlakuan B = Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 12 jam Perlakuan C = Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 14 jam Perlakuan D = Kontrol Jumlah 304,17 237,22 184,64 726,03 242,01 Berdasarkan Tabel 1 bahwa nisbah kelamin jantan ikan cupang tertinggi terdapat pada perlakuan A (Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 10 jam) sebesar 92,13% dan terendah pada perlakuan D (kontrol) dengan nisbah kelamin jantan 34,44%. Hal ini sama dengan hasil penelitian Umardani (2010) yang menyatakan bahwa perendaman larva ikan cupang selama 10 jam dengan perendaman hormon 17α-metiltestosteron yang menghasil nisbah kelamin jantan yang tertinggi. Kholidin (1996) menambahkan bahwa dengan perendaman larva ikan cupang selama 10 jam dengan perendaman hormon 17α-metiltestosteron dengan menghasilkan nisbah kelamin jantan ikan cupang yang tertinggi. Anna, et al. (1995) menyatakan fakta bahwa pada perendaman selama 10 jam lebih efektif untuk perubahan kelamin menjadi jantan, sehingga menghasilkan nisbah kelamin jantan yang tinggi. Oleh sebab itu, agar ikan cupang menjadi jantan semua, maka perlu ditambahkan hormon androgen yang dapat menghasilkan sel jantan. Sehingga dengan penambahan tersebut, dimaksudkan agar ikan cupang bisa menjadi 100% jantan semua (Zairin, 2002). Metiltestosteron pada ikan jantan meningkatkan spermatogenesis sedangkan pada betina mendorong timbulnya karakter sekunder sex jantan seperti perpanjangan sirip anal pada ikan cupang dan dapat menyebabkan reabsorpsi telur dan degenerasi ovary. Keberhasilan penggunaan hormon steroid untuk mengubah jenis kelamin ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis dan umur ikan, dosis hormon, lama dan waktu pemberian hormon, cara pemberian hormon dan suhu pada saat perlakuan (Sukendi, 2007). Menurut Chan dan Yeung (1983), pengubahan kelamin buatan mencakup manipulasi buatan atas diferensiasi kelamin yang terjadi pada embrio spesies normal, untuk menghasilkan individu dengan kelamin fenotip yang tidak sama dengan kelamin genotipnya. Yamazaki (1983), dinyatakan bahwa pengubahan kelamin secara buatan hanyalah merubah kelamin fenotip tanpa merubah kelamin genotip ikan. Hormon steroid kelamin merupakan penyebab utama beberapa fenomena reproduksi seperti terbentuknya gonad, pembentukan sel benih (gametogenesis), proses pemijahan, ciri sekunder kelamin, perubahan morfologi atau fisiologi kelamin pada musim pemijahan. Proses pembentukan gonad terjadi terlebih dahulu kemudian disusul oleh fenomena yang lain sesuai dengan perkembangan gonad (Yamazaki, 1983). Hormon steroid pada ikan diproduksi oleh testis dan ovarium (Matty, 1985). Mekanisme kerja hormon steroid untuk mempengaruhi diferensiasi kelamim dimulai dari masuknya hormon steroid ke sel melintasi membran plasma secara difusi, berinteraksi dengan reseptor spesifik yang terdapat dalam sitoplasma kemudian berpindah ke dalam inti yang terikat pada reseptor yang terdapat pada kromatin. Bila keadaan ini telah tercapai maka terdapat rangkaian RNA spesifik sehingga efek-efek hormon steroid dapat dimanifestasikan dalam bentuk fenomena biologis dan fisiologis (Djojosoebagio, 1990). Keberhasilan penggunaan 5 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 hormon steroid untuk pengubahan kelamin dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis dan dosis hormon yang digunakan, cara pemberian hormon, lama pemberian, jenis ikan, usia ikan, faktor lingkungan terutama suhu air dan jenis makanan yang digunakan (Hunter dan Donaldson, 1983). Sedangkan nisbah kelamin jantan ikan cupang terendah terdapat pada perlakuan D. Hal ini diduga bahwa rendahnya nisbah kelamin jantan ikan cupang pada kondisi normal tanpa adanya gangguan, perkembangan gonad akan berlangsung secara normal. Individu dengan genotip xx akan berkembang menjadi betina, sedangkan individu dengan genotip xy akan berkembang menjadi jantan dengan perbandingan jantan dan betina sebesar 1:1 atau 50:50. Proses diferensiasi seks pada betina ditandai dengan meosis oogenia atau perbanyakan sel sel somatik berbentuk rongga ovari. Sebaliknya, proses diferensiasi seks pada jantan ditandai dengan munculnya spermatogonia serta pembentukan sistem vascular pada testis (Zairin, 2002). Hasil uji analisis statistik pada penelitian ini menujukkan bahwa nisbah kelamin jantan ikan cupang berbeda sangat nyata (F hitung > F Tabel 0,01) nilai F hitung 8.255158 > nilai F Tabel 0,01 (7,59). Selanjutnya dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dari hasil yang diperoleh bahwa perlakuan A (Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 10 jam) merupakan perlakuan yang terbaik dibandingkan perlakuan B, perlakuan C, dan perlakuan D. Kelulushidupan ikan cupang Berdasakan hasil dari penelitian didapatkan bahwa tingkat kelulushidupan ikan cupang tertinggi terdapat pada perlakuan A (Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 10 jam) dengan kelulushidupan 83,33%, disusul perlakuan B (Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 12 jam) dengan tingkat kelulushidupan sebanyak 76,67%. Kemudian perlakuan D (kontrol) dengan tingkat kelulushidupan 56,67%, sedangkan yang terendah pada perlakuan C (Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 14 jam) dengan tingkat kelulushidupan sebanyak 53,33%. Rata-rata tingkat kelulushidupan larva selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Tingkat kelulushidupan ikan cupang. Perlakuan C 60,00 50,00 50,00 160,00 53,33 Ulangan A B D 1 80,00 80,00 60,00 2 90,00 80,00 60,00 3 80,00 70,00 50,00 Jumlah 250,00 230,00 170,00 Rata-rata 83,33 76,67 56,67 Sumber : Data Hasil Pengamatan (2012). Keterangan: Perlakuan A = Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 10 jam Perlakuan B = Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 12 jam Perlakuan C = Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 14 jam Perlakuan D = Kontrol Jumlah 280,00 280,00 250,00 810,00 270,00 Berdasarkan Tabel 2 bahwa kelulushidupan ikan cupang tertinggi terdapat pada perlakuan A (dengan lama waktu perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 10 jam), hal ini diduga bahwa tingginya kelulushidupan dikarenakan lama waktu perendaman yang diberikan pada penelitian ini sesuai. Apabila lama waktu perendaman yang terlalu tinggi dapat menyebabkan ikan menjadi steril dan mengalami kematian, serta penambahan larutan hormon sebagai salah satu bahan organik sintesis pada media berpengaruh terhadap sistem metabolisme larva, sehingga akan berpengaruh terhadap kelulushidupan larva (Zairin, 2002). Proses differensiasi seks sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan hormon yang disintesis oleh individu tersebut. Sedangkan kelulushidupan ikan cupang terendah terdapat pada perlakuan C, hal ini diduga bahwa rendahnya kelulushidupan karena perendaman dengan hormon terlalu lama, sehingga larva mengalami stres. 6 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Hal ini sesuai dengan pendapat Yamamoto (1969) menyatakan bahwa dosis hormon yang diberikan harus sesuai, karena dosis yang terlalu tinggi dapat menyebabkan ikan menjadi steril dan mengalami kematian. Selanjutnya Pulungan (2005) menyatakan tahapan larva adalah tahapan paling kritis dalam kehidupan ikan sehingga akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan untuk dapat bertahan hidup. Berdasarkan bahwa hasil uji analisis stasistik pada penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kelulushidupan ikan cupang berbeda sangat nyata (F hitung > F Tabel 0,01) nilai F hitung 19,58333 dan nilai F Tabel 0,01 (7,59). Selanjutnya dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dari hasil yang diperoleh bahwa perlakuan A = Perendaman larva dengan hormon 17α-metiltestosteron selama 10 jam merupakan perlakuan yang terbaik dibandingkan perlakuan B, perlakuan C, dan perlakuan D. Kualitas air Hasil pengukuran kualitas air pada saat pemeliharaan larva ikan cupang dapat dilihat pada tabel di bawah ini dengan nilai kualitas air rata-rata tergolong layak untuk kehidupan ikan cupang. Tabel 3. Kualitas air selama pemeliharaan larva ikan cupang. Suhu Perlakuan Pagi Sore A 26,68 28,11 B 26,85 28,17 C 26,74 28,11 D 26,90 28,04 Jumlah 107,17 112,43 Rata-rata 26,79 28,11 Sumber: Data Hasil Pengamatan (2012). pH Pagi 6,91 6,74 6,84 7,05 27,54 6,89 Sore 6,88 6,68 6,82 7,04 27,42 6,86 Suhu air rata-rata pada setiap perlakuan, pagi 26,79oC, sedangkan sore 28,11oC dan suhu air selama penelitian masih tergolong normal. Hal ini sama seperti yang dikemukakan oleh (Innes, 1996), toleransi terhadap suhu berkisar antara 25-29°C. Nilai pH air rata-rata selama penelitian pada tiap-tiap perlakuan pagi 6,89, sedangkan pada sore 6,86. Berdasarkan Tabel diatas rata-rata nilai pH pada setiap perlakuan menyatakan kisaran pH yang sangat cocok dengan pemeliharaan larva ikan cupang. Keasaman optimal untuk ikan cupang adalah pH 7,0-7,2, tetapi ikan ini mampu hidup pada kisaran pH 6,4-7,4 (Ostrow, 1989). Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa larva ikan cupang (Betta splendes) berumur 5 hari yang direndam dengan hormone 17α-metiltestosteron memberikan hasil terbaik dengan rasio saks jantan (92,13%) dan kelulushidupan 83,33%. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap ikan hias yang lain terkait keberhasilan kegiatan monosex jantan. Daftar Pustaka Anna, N.R., L. Mulyati, K. Sumantadinata, M. Zairin dan H. Arfah. 1995. Pengaruh Pemberian Hormon 17α-metiltestosteron secara Oral pada Induk Ikan Guppy (Poecilia reticulate Peters) Strain tuxedo terhadap Jenis Kelamin Keturunannya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 1:74-81. Chan, S.T.H. and W.S.B. Yeung. 1983. Sex Control and Sex Reversal in Fish Under Natural Conditions. p:171-213. In "Fish Physiology" (W.S. Hoar, D.J, Randall and E.M. Donaldson, Eds.); Vol DOB. Academic Press, Inc. New York. Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi Kelenjar Endokrin. PAU JPB. 247 hlm. 7 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Dwi Sri. Bogor. Hanafiah, K.A. 1991. Rancangan Percobaan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hunter, G.A. and E.M. Donaldson. 1983. Hormonal Sex Control and Its Application to Fish Culture. P: 223-291. In "Fish Physiology" (W.S. Hoar. D.J. Randall, and E.M. Donaldson, Eds.); Vol LXB. Academic Press, Inc. New York. Innes, W.T. 1996. Exotic Aquarium Fishes. 21 st rev. ed- Nepture, NJ and The Publication. 524p. Kholidin, E.B. 1996. Pengaruh Lama Perendaman Embrio di dalam Larutan Hormon 17αMetiltestosteron terhadap Nisbah Kelamin Ikan Betta (B. splendens REGAN), skripsi (Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, 1996). Matty, A.J. 1985. Fish Endocrinology. Croom Helm. London. P:138-241. Ostrow, M.E. 1989. Bettas. T.F.H Publications Inc. United State. 93p. Pulungan. 2005. Kumpulan hand out kuliah. Mata Ajaran Biologi Perikanan. Laboratorium Biologi Perikanan. Universitas Riau. Sukendi. 2007. Fisiologi Reproduksi Ikan. Penerbit CV. Mina Mandiri. Pekambaru Riau. Umardani. 2010. Pengaruh Lama Waktu Perendaman Larva Ikan Guppy (Poecillia reticulata) Dalam Larutan Hormon 17α-metiltestosteron Terhadap Perubahan Jenis Kelamin (Skripsi). Yamamoto, T.O. 1969. Sex Differentiation. P: 117-163. In "Fish Physiology" (W.S. Hoar and D J. Randall, eds.). Vol m. Academic Press, Inc. New York. Yamazaki, F. 1983. Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture, 33;329-354. Zairin, M., Jr.O. Carman dan E. Nurdiana. 2000. Pengaruh Embrio di Dalam Larutan 17αmetiltestosteron Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Tetra (Micralestes interruptus). Jurnal Biosain, 5; 7-12. Zairin, M. 2002. Sex Reversal, Memproduksi Benih Ikan Jantan Atau Betina. Penerbar Swadaya. Jakarta. 8