BAB IV REPRODUKSI DAN INOVASI TEKNOLOGI REPRODUKSI Endang Triwulanningsih t , Trinil Susilawati 2 dan Kustono 3 'Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor 2Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang 3Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta I. PERFORMANS REPRODUKSI Reproduksi merupakan suatu barometer untuk menilai kehidupan normal seekor ternak . Untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam usaha peternakan, perlu diketahui prinsipprinsip reproduksi, penyebab menurunnya efisiensi reproduksi, serta cara-cara untuk meningkatkannya . Fenomena reproduksi yang perlu diperhatikan antara lain umur pertama kali melahirkan dan interval antara dua kelahiran atau calving interval . Umur pertama kali melahirkan tergantung pada umur pertama kali dikawinkan dan umur pertama kali dikawinkan tergantung pada umur saat pubertas, ketika ternak menunjukkan tanda-tanda kematangan seksualnya . Pada masa tersebut ternak bersedia menerima kehadiran pejantan, walaupun kadangkadang tidak menunjukkan tanda birahi yang jelas . Performans reproduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain manajemen, kesehatan, nuttisi, lingkungan dan faktor-faktor biologi yang dimiliki oleh ternak tersebut . Beberapa faktor yang dapat mencenninkan performans reproduksi ternak sapi meliputi siklus estrus, lama bunting, birahi pertama setelah beranak, kawin pertama setelah beranak, 117 Prn%rl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia waktu kosong (days open) service per conception jarak beranak calving interval dan skor kondisi tubuh Siklus Estrus Siklus estrus adalah interval antara mulainya estrus ke estrus berikutnya yang merupakan suatu proses yang distimulasi hormon estrogen Tagama Siklus estrus pada sapi rata rata hari hari dengan lama estrus jam thur et al dan ovulasi terjadi jam setelah estrus berakhir Hafez Pengetahuan dasar tentang siklus estrus ini penting diketahui oleh peternak sehingga deteksi birahi dapat dilakukan dengan benar dan tepat Hardjopranyoto Lama Bunting Secara umum masa kebuntingan dibagi dalam tiga periode yaitu periode ovum periode embrio dan periode fetus Periode ovum dimulai sejak terjadinya fertilisasi kemudian berlanjut ke stadium morula blastula sampai zygote siap untuk implantasi Periode embrio atau periode triwulan kedua dimulai sejak terjadinya implantasi sampai ke stadium pembentukan alat alat tubuh bagian dalam dan deferensiasi fungsi sel organ Pada periode ini terjadi pembentukan plasenta secara lengkap dan pembentukan cairan uterin Periode fetus atau periode triwulan ketiga dimulai dari pembentukan organ tubuh bagian dalam sampai terbentuknya ekstremitas dan terus berlanjut sampai anak lahir Baliarti Kebuntingan pada sapi dikontrol oleh hormon progesteron Hafez Selama kebuntingan terjadi perubahan berat badan induk yang mengikuti perkembangan fetus membran membran beserta cairannya serta perkembangan kelenjar susu yang dengan bertambahnya umur kebuntingan maka berat badan akan semakin bertambah Pertambahan berat badan nyata terlihat pada periode sepertiga akhir kebuntingan atau triwulan ketiga kebuntingan disebabkan pertambahan berat badan fetus pada masa ini mencapai sampai dari berat lahir Pro/il Uraha Peternakan Sapi Perah di Indonesia menyatakan Orskov Bondi ; Parakkasi bahwa selama kebuntingan induk sapi lebih mementingkan atau memprioritaskan kebutuhan fetus dibandingkan kebutuhannya sendiri Umumnya apabila induk dalam keadaan kekurangan pakan induk akan menggunakan jaringan tubuhnya untuk mempertahankan pertumbuhan fetus dan bila keadaan ini terjadi maka berat badannya menjadi berkurang demikian juga daya hidup anak setelah lahir akan menurun Perkawinan Setelah Beranak Pospartum Mating Postpartum mating adalah waktu yang ditentukan oleh induk untuk dikawinkan kembali setelah beranak Perkawinan setelah beranak ini akan menentukan panjang pendeknya calving menyatakan bahwa terlambatnya interval Ya niz et al perah setelah beranak dapat memperpanjang mengawinkan sapi calving interval dan secara ekonomis tidak tpenguntungkan bulan sedangkan calving interval yang ideal adalah Panjang pendeknya perkawinan pertama setelah beranak juga dipengaruhi oleh estrus pertama kali setelah seekor ternak betina beranak Hal ini sangat penting untuk segera diketahui oleh peternak sapi perah sebagai salah satu faktor yang menentukan dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi Ya niz et al Munculnya estrus pada sapi betina setelah beranak sangat dipengaruhi oleh kemampuan hypothalamo hypophisial untuk mensekresikan gonadotropin Kemampuan hypothalamo hypophisial dalam mensekresikan gonadotropin sangat dipengaruhi oleh faktor extrinsik seperti musim dan pakan serta faktor intrinsik seperti energi dan status Estrus yang pertama kali metabolisme Guedon et al setelah beranak ini penting mengingat nantinya akan berperan nyata dalam menentukan kapan pertama kali ternak harus dikawinkan sehingga days open dapat dicapai dengan optimal yang pada akhirnya menentukan lama calving interval sapi perah PrrJI Usaho Pelernakarr Sapi Perch di Indonsia Salisbury dan Van Demark menyatakan bahwa perkawinan atau inseminasi buatan pertama setelah sapi beranak sebaiknya dilakukan hari setelah beranak dengan harapan mempunyai konsepsi yang tinggi dengan kernungkinan gangguan reproduksi yang lebih kecil Siregar menyatakan bahwa inseminasi buatan pertarna kali pada sapi setelah beranak yang ideal adalah dalam interval waktu hari setelah sapi tersebut beranak Hal ini dipertegas oleh Hafez yang menyatakan bahwa fertilitas maksimum pada sapi terjadi pada hari ke setelah kelahiran Perkawinan yang dilakukan terlalu dim sesudah kelahiran akan berpengaruh terhadap konsepsi karena berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan kembali uterus pada keadaan normal involusi uterus Pramono melaporkan dalam basil penelitiannya di Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap sapi perah rakyat anggota Koperasi Unit Desa sebanyak ekor bahwa terjadinya perkawinan setelah berarlak rata rata ± bulan Service Per Conception Surahamdani dan Sartika menyatakan bahwa pada peternakan sapi perah di Jawa Barat pencapaian rata rata nilai kali Sementara itu menurut S C sebesar sampai rekapitulasi hasil pemeriksaan kebuntingan sapi perah di Jawa Timur yang dilaporkan oleh Wironio dalam nam nilai rata rata S C yang dicapai sebesar sedangkan untuk Kabupaten Malang pencapaian rata rata nilai S C sebesar kali Di Daerah Istimewa Yogyakarta basil penelitian Pramono terhadap sapi perah rakyat anggota dari tiga KUD diperoleh nilai S C sebesar ± kali Calving Interval Calving Interval atau interval beranak pada sapi adalah waktu yang diperlukan dari sejumlah induk sejak beranak pertama hingga beranak berikutnya Calving interval pada usaha Protil Usaha Pelernakan Sapi Perah di Indonesia sapi perah merupakan komponen utama yang harus diperhatikan dalam manajemen induk agar efisiensi reproduksi dan ekonomi dapat tercapai Sturman et al Frekuensi beranak selama sapi hidup dapat memengaruhi produksi selama hidupnya sedangkan untuk menilai keberhasilan reproduksi sapi perah dapat dilihat dari panjang atau pendeknya calving interval yang dicapai Hardjosubroto Tingkat efisiensi reproduksi sapi perah dikatakan baik bila calving interval yang dicapai sebesar hari dengan persentasi kebuntingan sebesar Hafez Montiel dan buja Beberapa faktor yang memengaruhi panjang pendeknya calving interval antara lain postpartum estrus postpartum mating service per conception ketepatan saat mengawinkan dan jadi tidaknya kebuntingan Skor Kondisi Tubuh Putro menyatakan bahwa performans reproduksi sapi dipengaruhi oleh skor kondisi badan berat badan serta perubahan perubahan berat badan Penurunan berat badan atau skor kondisi badan akan diikuti dengan gejala anestrus Pulihnya kembali siklus estrus pasca beranak ada hubungannya dengan perubahan berat badan pada akhir kebuntingan dan kondisi badan saat melahirkan Lebih lanjut dikatakan bahwa suatu cara untuk menilai kondisi badan sapi adalah skor kondisi tubuh SKT body condition score = BCS da beberapa cara namun yang paling banyak digunakan adalah skor antara I dan Skor sangat kurus emasiasi skor I kurus skor sedang skor gemuk skor sangat gemuk obesitas Sapi dengan kondisi badan bagus sekitar akan kembali estrus dalarn waktu minimal kurang dari skor itu akan membutuhkan waktu pulihnya siklus lebih lama Skor kondisi tubuh terlalu rendah cenderung akan menimbulkan keadaan yang disebabkan hipofungsi ovaria dimana ovaria akan mengecil permukaannya halus tidak ada folikel dan atau korpus luteum serta uterusnya tidak bertonus konsistensi lembek Pro il U aha Pelenuakan S api Perah di lndonesia Penurunan berat badan segera setelah melahirkan akan menunda pulihnya siklus estrus kembali dicatat bahwa ada penundaan hari pada setiap penurunan berat badan ngka kebuntingan yang rendah akan terjadi pada sapi dengan skor kondisi tubuh yang rendah Pada sapi perah dan potong dengan skor cenderung untuk infertil Putro II KEG G L N REPRODUKSI Kegagalan reproduksi adalah tidak tercapainya efisiensi reproduksi pada seekor ternak atau kelompok ternak secara optimal Faktor faktor yang menyebabkan kegagalan proses reproduksi adalah faktor lingkungan hormonal genetik dan infeksi penyakit Faktor faktor tersebut dapat mengganggu proses reproduksi pada berbagai kondisi kibat gangguan proses reproduksi tersebut menyebabkan anestrus infertilitas akibat kegagalan fertilisasi dan kematian embri o dim kematian embrio kematian fetus kematian perinatal dan neonatal nestrus nestrus adalah suatu keadaan ketika aktivitas seksual berhenti ditandai dengan tidak munculnya estrus da dua macam anestrus yaitu fisiologis dan patologis nestrus fisiologis misalnya sebelum pubertas selama bunting dan laktasi dan selama tidak pada muslin kawin bagi hewan hewan yang mempunyai breeding season Sedangkan anestrus yang patologis karena ada gangguan pada ovarium atau uterus yang dapat menghambat timbulnya estrus ktivitas ovarium pada sapi yang diperah akan kembali dalam waktu hari setelah beranak postpartum Hafez Sebaliknya sapi perah dan kerbau yang menyusui anaknya postpartum estrus akan Iebih lama Lama anestrus pada induk sapi yang menyusui anaknya Iebih lama daripada sapi yang diperah dua kali sehari Ini menunjukkan bahwa aktivitas menyusui atau frekuensi pemerahan memengaruhi kerja hormon gonadotropin dari hipofise Pemerahan yang Protil Usaha Peternakan Sapi Peiah di Indonesia teratur pada sapi perah tidak begitu menghambat pelepasan luteinizing hormon LH dibandingkan dengan jika dilakukan dua duanya yaitu diperah dan anaknya dibiarkan menyusu Sedangkan adanya dugaan bahwa terhambatnya pelepasan LH disebabkan oleh tingginya level cortisol selama menyusui atau diperah nestrus karena defisiensi nutrisi pada sapi perah yang sedang tumbuh menekan estrus lebih kuat daripada sapi perah yang telah dewasa Level energi yang rendah menyebbabkan ovarium tidak aktif dan menyebabkan anestrus pada sapi perah yang sedang laktasi Pramono Siklus Estrus yang Tidak Normal Siklus estrus pendek siklus estrus panjang split estrus nymphomania dan silent estrus birahi tenang atau quite ovulation adalah kondisi tidak normal Siklus estrus mungkin pendek tanpa adanya tanda tanda yang jelas Pada ternak yang masih muda tidak teramati terdeteksi oleh pemiliknya kecuali dengan pejantan atau estrus pada malam hari Kejadian siklus estrus yang panjang dan split estrus jarang dijumpai pada sapi perah kejadian tersebut lebih banyak pada kuda pada saat menjelang musim kawin Pada sapi perah nymphomania ditandai dengan estrus yang terlihat terus menerus atau sering estrus dengan interval yang tidak teratur produksi susu turun dari vulva sering keluar banyak mukus yang jernih vulva membengkak ligamentum sacrospinosum kendor dan pangkal ekornya sering diangkat Sapi perah lebih sering mengalami nymphomania daripada sapi potong dan kuda dan nymphomania in] merupakan salah satu tanda adanya kista ovarium kista folikel Silent estrus quite ovulation adalah adanya ovulasi yang tidak disertai tanda tanda estrus terutama sering terjadi pada ternak yang masih muda Kejadian ini dapat diketahui jika jarak antara dua estrus dua atau tiga kali dart normal Pada sapi perah Proil Ucaha Pelernakan Sapi Perah di Indonesia kejadian ini sering dijumpai pada sapi perah yang diperah tiga kali per hari Hafez nestrus Karena Proses Penuaan Dengan pertimbangan ekonomis memelihara ternak yang tua tidak menguntungkan karena kesuburannya menurun Kejadian infertilitas pada sapi yang telah berumur tahun lebih dari mempunyai korpus luteum abnormal atau ovarium tidak ada korpus luteum Ovarium yang tidak berfungsi mi ada hubungannya dengan salah satu atau semua fakt or faktor berikut ini yaitu : a Kegagalan sel sel folikel merespons rangsangan hormon yang dapat memengaruhi b Perubahan kuantitas dan atau kualitas sekresi hormon c Berkurangnya stimulus nestrus karena proses penuaan mungkin rnengubah fungsi hubungan poros hipotalamus hipofisa ovarium akibatnya sekresi gonadotropin menurun atau respons ovarium terhadap rangsangan hormon berubah Kista luteal terjadi karena LH di dalam darah rendah sedangkan LTH tinggi Tingginya LTH ini menyebabkan sel sel folikel mengalami luteinisasi sehingga terbentuk sel sel lutein dan warnanya berubah menjadi kuning berisi cairan disebut kista luteal Kista luteal kadang kadang dijurnpai bersama sama dengan korpus luteum yang normal baik pada ovarium yang sama maupun pada ovarium yang lain Kista luteal dapat memproduksi hormon progesteron yang tinggi sehingga menyebabkan anestrus Kista luteal ini sering terjadi pada sapi perah yang produksi susunya tinggi setelah beranak Pramono Kegagalan Ovulasi Kegagalan ovulasi mungkin disebabkan oleh kegagalan folikel untuk ovulasi selama siklus estrus yang normal atau Profil U ha Peternakan Sapi Perah di Indaneria terjadi kista ovarium Pada kejadian estrus tanpa ovulasi ternak memperlihatkan siklus normal dan folikel ovarium mencapai ukuran sebelum ovulasi preovulatory tetapi tidak pecah Sebagian sel selnya mengalami luteinasi dan kemudian regresi selama siklus estrus seperti pada sebuah korpus luteum normal Kista ovarium biasa terjadi pada sapi perah dan babi tetapi jarang ditemui pada sapi potong dan spesies yang lain Penyakit ini biasa terjadi karena ketidaknormalan hormonal pada sapi perah terutama pada sapi yang produksi susunya t inggi Kebanyakan kista ovarium berkembang sebelum ovulasi pertama setelah beranak first ovulation postpartum karena lebih banyak kista ovarium ditemui pada sapi yang diperiksa pada hari ke setelah beranak daripada setelah dikawinkan atau sesudah abnormal estrus Gangguan Fertilisasi ngka fertilisasi pada ternak biasanya sangat tinggi Pada sel telur yang diovulasikan berhasil kondisi yang normal dibuahi Tetapi sebagian besar sel telur yang telah dibuahi tersebut gagal berkembang sampai menjadi keturunan yang komplit Gangguan fertilisasi meliputi kegagalan fertilisasi dan fertilisasi yang tidak menentu Kegagalan fertilisasi dapat diakibatkan dari kematian sel telur sebelum dimasuki spermatozoa abnormalitas sel abnormalitas spermatozoa spermatozoa tanpa ekor abnormal pada kepala atau abnormal pada ekor dengan gumpalan sitoplasma pada bagian proksimal dan ekor dengan gumpalan sitoplasma pada bagian distal Kegagalan fertilisasi juga dapat disebabkan adanya struktur yang merintangi terjadinya fertilisasi Seperti suatu kelainan bawaan dihubungkan dengan gene untuk warna kulit putih white coat color adalah penyakit "white heifer disease dimana perkembagan prenatal dari ductus Mullerian berhenti dan saluran vagina tersumbat oleh adanya perkembangan hymen yang tidak normal Ini dapat dibedakan dari freemartin oleh adanya ovarium vulva dan labia yang tidak normal Juga Profit Usaha Pemrnakan Sapi Perah di Indonevia adanya kejadian adhesi atau melekatnya infundibulum pada ovarium atau cornua uteri Ini akan mengganggu penangkapan sel telur atau menyebabkan sumbatan pada salah satu bagian dari saluran reproduksi Fertilisasi yang tidak menentu merupakan suatu proses dimana terjadi penyimpangan misalnya polyspermi fertilisasi monospermi sebuah sel telur yang mempunyai proniklei betina kegagalan pembentukan pronukleus dan gynogenesis atau androgenesis Fertilisasi yang tidak menentu in] mungkin terjadi secara langsung sebagai akibat garnet yang menua atau kenaikan temperatur lingkungan Hafez Kematian Prenatal ngka fertilisasi conception rate pada ternak biasanya sangat tinggi Pada kondisi normal sel telur diovulasikan berhasil dibuahi Tetapi sebagian besar sel telur yang telah dibuahi tersebut gagal berkembang sampai menjadi keturunan yang komplit dan dilahirkan normal Sebagai contoh sebanyak hilang mati selama perkembangan embrio dan fetus Hilangnya embrio atau fetus ini secara ekonomi sangat merugikan karena gagal mendapat keturunan Kematian embrio adalah kematian yang terjadi sejak fertilisasi sampai terjadi deferensiasi embrio Pada sapi perah kurang lebih sampai hari ke kematian embrio yang terjadi sebelum maternal recognition of pregnancy sehingga korpus luteum tidak diperpanjang disebut early embryonic death EED atau kematian dim Kematian embrio setelah korpus luteum diperpanjang disebut late embryonic death LED Pada sapi perah dara kebanyakan kematian pada hari ke setelah dikawinkan post service Perkembangan prenatal merupakan proses yang terus menerus menyangkut diferensiasi jaringan organogenesis dan pemasakan atau penyempurnaannya Penyebab kematian embrio dapat disebabkan oleh faktor genetik faktor lingkungan atau gabungan kedua faktor tersebut Faktor lingkungan meliputi Profil Usaha Peternakan Sapi Petah di Indnnesia iklim stres angka ovulasi kegagalan maternal recognition of pregnancy kondisi uterus hormonal penyakit infeksi dan teratogen Beberapa agen teratogenik pada ruminansia antara lain virus blue tongue bovine viral diarrhea tanaman veratrum colivornicum lupins agen lain yaitu hipotermi defisiensi yodium Pada sapi perah ketepatan waktu inseminasi sangat penting Putro Inseminasi terlalu lambat pada masa estrus menyebabkan kematian embrio karena sel telurnya sudah tua dan mengakibatkan abnormalitas kromosom Inseminasi yang dilakukan pada saat bunting dapat menyebabkan kematian embrio baik karena trauma mekanik atau selaput embrio atau karena menyebabkan terjadi infeksi Induk sapi yang terlalu cepat dikawinkan dan terjadi fertilisasi menghasilkan kematian embrio yang lebih tinggi karena keadaan lingkungan di dalam uterus tidak balk bagi embrio Penyebab pakan defisiensi B karoten selenium fosfor dan Cu tembaga dapat menyebabkan kematian embrio Mengonsumsi terlalu tinggi protein kasar terutama rumen degradable proteine RDP menurunkan fertilisasi karena efek toksik dari urea atau amonia di dalam darah embrio Stres misalnya heat stress dapat menyebabkan kematian embrio Kenaikan produksi susu yang tinggi dan juga produksi susu yang tinggi pada awal laktasi mempunyai korelasi negatif dengan fertilitas bortus bortus didefinisikan sebagai berakhirnya kebuntingan dengan dikeluarkannya fetus balk dalam keadaan hidup tetapi belum sanggup hidup terus mati sampai kebuntingan hari mat] atau hidup kurang dari jam bortus dapat spontan atau dibuat dapat karena infeksi atau bukan infeksi bortus spontan lebih sering terjadi pada sapi terutama sapi perah bortus spontan yang disebabkan bukan karena infeksi misalnya faktor genet k kromosom hormonal atau nutrisi bortus spontan dapat juga terjadi pada hewan betina yang dikawinkan segera setelah pubertas atau segera setelah beranak Faktor hormonal Profi! U ha Peiernakan Sapi Perah di Indonwia yang menyebabkan abortus adalah estrogen glukokortikoid PGF tinggi defisiensi progesteron Faktor nutrisi misalnya kelaparan malnutrisi defisiensi energi defisiensi vitamin zat besi kalsium Co yodium Faktor genetik atau kromosom terjadi kematian embrio kelainan fetus conginetal genetik lethal Faktor fisik yaitu inseminasi kawin pada uterus yang telah bunting stres transport palpasi berkelahi sedangkan faktor lain kemungkinan karena kejadian kembar alergi dan anaphylaxis Kematian Perinatal Kematian perinatal adalah kematian fetus yang terjadi dekat sebelum selama dilahirkan dan dalam waktu jam pertama pada kehidupan normal termasuk stillbirth lahir mati Kematian paling banyak terjadi selama jam setelah dilahirkan Faktor penyebab kematian paling banyak adalah asphyxia kelaparan kedinginan dan cacat bawaan Kelelahan uterus akibat proses beranak yang terlalu lama juga dapat menyebabkan stillbirth maka pada sapi perah saat proses melahirkan perlu ditunggui untuk mengantisipasi bila diperlukan pertolongan selama proses melahirkan Soetarno Kematian Neonatal Kematian neonatal adalah kematian yang terjadi selama beberapa minggu pertama setelah lahir Ini disebabkan oleh faktor herediter lingkungan nutrisi dan infeksi Respiratory distress syndrome RDS karakteristik dengan kegagalan paru paru fetus memproduksi phospholipid yang penting untuk memelihara stabilitas batas ruang udara paru paru setelah dilahirkan RDS pada anak sapi akibat defisiensi phospholipid dan dianogsisnya berdasar level dua macam yaitu phospholipid lechitin dan sphingomyelin Kematian neonatal juga dapat disebabkan oleh terlalu lama labor mengejan nutrisi buruk dari induk induk dan fetus yang lemah infeksi bakteri lewat tali pusat Temperatur lingkungan yang dingin dapat menyebabkan Pro il Usaha Perernukar Sapi Perah di Indonesia hipotermi hipoglikemia dan mati demikian juga temperatur tinggi dapat menyebabkan kematian neonatal III INOV SI TEKNOLOGI REPRODUKSI Teknologi reproduksi pada ternak meliputi Inseminasi Buatan IB Transfer Embrio TE Fertilisasi in vitro FIV dan manipulasi embrio Tujuan dari inovasi teknologi reproduksi pada ternak adalah sebagai cara atau alat untuk mempcrbaiki mutu genetik ternak IB adalah bioteknologi reproduksi yang telah terbukti dapat meningkatkan mutu genetik ternak dan dapat diterima oleh masyarakat sehingga saat ini B telah dilaksanakan secara swadaya Selain itu IB merupakan cara yang ampuh untuk mengatasi kekurangan pejantan dan meningkatkan produktivitas ternak baik secara kualitatif maupun kuantitatif da beberapa faktor utama yang mengakibatkan teknologi IB menjadi pilihan yang utama dibandingkan kawin alam yaitu a Jumlah kepemilikan yang rendah smallholder dan ternak dipelihara di dalam kandang b Keterbatasan pejantan baik secara kualitas maupun kuantitas c Menunjang program crossbreeding untuk mempercepat peningkatan produksi IV TEKNOLOGI IB D N PENG WET N SEMEN IB adalah teknik untuk memasukkan semen yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan bermutu genetik unggul ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan alat khusus yang disebut insemination gun Inseminasi buatan mempunyai keuntungan antara lain Memanfaatkan pejantan unggul semaksimal mungkin Semen beku yang berasal dari bibit unggul dapat disebarkan di areal yang Was dalam jangka waktu yang lama Peternak tidak harus memelihara pejantan Betina terhindar dari penyakit veneral disease Projil Usuha Peternukan Sapi Perah di Indonesia Teknologi IB secara komersial di Indonesia sudah diterapkan sejak tahun pada sapi perah Teknologi IB sebagai alat untuk meningkatkan produksi ternak telah secara luas dilaporkan khususnya pada ternak sapi Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan IB dan secara garis besar dibagi empat faktor utama yaitu a Kondisi induk dan kualitas sel telur Sel telur adalah sel garnet betina yang diproduksi ovari indung telur yang dikenal dengan proses oogenesis Pada ternak sapi yang sehat umumnya hanya satu sel telur terovulasi pada setiap siklus berahi Kualitas sel telur ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak betina dan manajemen pemberian pakan b Ketepatan deteksi birahi Peran peternak sangat penting dalam mengetahui saat pertama kali terlihat gejala birahi Setelah terjadi ovulasi sel telur ditangkap saluran reproduksi betina ditransfer ke tanduk uterus untuk menunggu pembuahan Proses pematangan ovulasi dan transfer sel telur dipengaruhi oleh hormon a FSH estrogen LH dan progesteron c Kualitas semen terutama di tingkat peternak Salah satu faktor utama yang memengaruhi keberhasilan IB adalah daya hidup spermatozoa Penyimpanan semen beku diperlukan tanki dan nitrogen cair yang harganya relatif mahal karena itu telah dikembangkan penggunaan semen dingin yang dapat disimpan pada suhu °C di dalam refrigerator namun semen dingin daya hidupnya terbatas hanya selama sekitar seminggu d Keterampilan inseminator Seorang inseminator sangat menentukan keberhasilan IB karena inseminator yang sudah terlatih dapat menentukan saat yang tepat dilakukan IB Hal mi berhubungan erat dengan saat yang tepat ketika ternak tersebut ovulasi biasanya sekitar jam setelah saat pertama kali terlihat birahi Projil Uvaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia V PEN MPUNG N SEMEN Dalam program IB semen dapat ditampung dengan tiga cara yaitu Pengurutan massage Elektro ejakulator vagina buatan VB Pada saat penampungan kolektor semen memegang vagina buatan pada tangan kanannya sementara tangan kiri memegang preputium dan mengarahkan penis ke vagina buatan Kolektor semen tidak boleh membengkokkan penis sebelum atau pada saat terjadi loncatan ejakulasi karena akan mengganggu dan menyakiti pejantan Karena hal ini dapat menimbulkan trauma dan pejantan jadi sulit ditampung semennya Pembantu kolektor berusaha untuk menurunkan pejantan pada saat pertama kali pejantan menaiki betina supaya libido meningkat pada saat penampungan semen dan kualitas semen yang ditampung menjadi lebih balk Setelah terjadi ejakulasi ditandai adanya dorongan dan pengeluaran semen dari penis pejantan vagina buatan ditarik ke arah depan penis dan diputar membentuk angka delapan agar semen cepat turun ke dalam tabung kerucut berskala dan hindarkan dari sinar matahari Tabung ditutup dengan aluminium foil lalu disimpan dalam termos air bersuhu °C dan segera dibawa ke laboratorium Evaluasi semen meliputi volume warna konsistensi konsentrasi sperma pH motilitas massa dan individu dan morfologi spermatozoa VI UJI KU LIT S SEMEN Uji kualitas semen dilakukan segera setelah penampungan atau sebelum diencerkan yang meliputi pemeriksaan makroskopis volume warna konsistensi pH serta perneriksaan secara mikroskopis meliputi motilitas massa motilitas individu persentase hidup mati konsentrasi dan abnormalitas Prohi ilsaha Pelernakcrn Sapi Perah di Indonesia VI Uji Motilitas Massa Penilaian motilitas spermatozoa dilakukan setelah semen diencerkan atau setelah freezing dan thawing Motilitas massa diamati dengan menggunakan mikroskop tanpa cover glass dengan pembesaran kali atau kali pada suhu yang dijaga konstan °C Evans dan Maxwell Kriteria penilaian gerak massa spermatozoa antara lain adalah Toelihere Sangat baik terlihat adanya gelombang besar banyak gelap tebal dan aktif seperti gumpalan awan hitam dekat waktu hujan yang bergerak cepat berpindah pindah tempat Baik bila terdapat gelombang gelombang kecil tipis jarang kurang jelas dan bergerak lamban Kurang balk jika tidak terlihat gelombang melainkan gerakan gerakan individual aktif progresif Buruk bila hanya sedikit ada gerakan gerakan individual VI Persentase Hidup Mati Viabilitas Spermatozoa yang hidup dan mati dapat dibedakan reaksinya terhadap warna tertentu set spermatozoa yang tidak motil dan dianggap coati mengisap warna dan set spermatozoa yang motil dan yang hidup tidak berwarna Bahan pewarna yang biasa digunakan adalah eosin dan negrosin Eosin dan negrosin adalah pewarna set yang paling balk dipergunakan untuk prosedur ini sehingga pengamatan set spermatozoa yang berwarna dan tidak berwarna menjadi jelas dan spermatozoa yang berwarna sebagian juga dianggap mati VI Konsentrasi Spermatozoa Konsentrasi semen sapi bervariasi dari spermatozoa tiap milliliter Toelihere atau spermatozoa tiap milliliter Garner dan Hafez juta juta dalam Profil Usaha Peternakarz Sapi Peral di Inor nesia Bearden dan Fuquay membedakan Hafez juta konsentrasi antara sapi perah dan sapi potong yaitu juta spermatozoa tiap milliliter untuk sapi perah dan spermatozoa tiap milliliter pada sapi potong Penilaian konsentrasi spermatozoa tiap milliliter semen sangat penting karena faktor ini dipakai sebagai kriteria penentu kualitas semen dan menentukan tingkat pengencerannya V Produksi Semen Evaluasi tentang kualitas semen tidak dapat dilakukan hanya dengan satu parameter uji kualitas saja tetapi lebih sesuai jika menggunakan penggabungan dari beberapa parameter di atas sehingga lebih mudah dalam melakukan evaluasi terutama dalam menguji produksi semen dart seekor ternak dapun cara menghitungnya adalah sebagai berikut a Total spermatozoa volume semen x konsentrasi b Total spermatozoa yang motil volume semen x konsentrasi x motilitas individu c Total spermatozoa yang hidup volume semen x konsentrasi x spermatozoa yang hidup d Total spermatozoa yang abnormal spermatozoa yang abnormal volume semen x konsentrasi x VIL PENG WET N SPERM Teknologi pengawetan semakin penting artinya karena berbeda dengan sel lainnya spermatozoa hanya dapat hidup sangat singkat post ejakulasi Kehidupan spermatozoa hanya tergantung dari penggunaan energi yang tersedia pada seminal plasma dan tidak dapat mensintesis sendiri energi yang diperlukan baik untuk proses metabolisme maupun memperbaiki kerusakan sel Oleh karena itu teknologi pengawetan semen adalah mutlak diperlukan dalam menunjang program IB Perkembangan pengawetan semen kemudian berkembang dengan didapatnya bahan yang dapat mencegah pengaruh kejut Pro U h Pelernakau Sapi Perch di Indonesia dingin seperti misalnya kuning telur dan susu Secara umum pengawetan semen dapat dilakukan dengan menurunkan suhu ke °C sehingga mengurangi metabolisme sel yang akhirnya memperpanjang daya hidup spermatozoa Penambahan cryoprotectant semen dapat dibekukan sampai °C sehingga daya hidupnya dapat dipertahankan sampai bertahun tahun Walaupun pembekuan dapat memperpanjang daya hidup spermatozoa sampai tahunan beberapa hambatan teknis dapat dipertimbangkan untuk pemakaian semen dingin terutama pada daerah daerah dimana ketersediaan peralatan dan nitrogen cair masih merupakan kendala Perbandingan keuntungan dan kerugian penggunaan semen dingin dan semen beku terlihat pada Tabel Situmorang et al melaporkan bahwa penambahan carnitine ke dalam Tris sitrat nyata meningkatkan daya hidup spermatozoa setelah penyimpanan lebih dari tiga hari pada suhu °C Persen motilitas dan persen hidup pada hari ketiga adalah dan dan dan serta dan berturut turut untuk perlakuan kontrol dan mM carnitine Demikian pula pada perlakuan penambakan proline ke dalam Tris sitrat nyata meningkatkan daya hidup spermatozoa sampai hari ke penyimpanan pada suhu °C rataan persen motilitas dan persen hidup berturut turut adalah dan dan dan serta dan untuk perlakuan kontrol dan mM proline Tabell Perbandingan untung rugi penggunaan semen beku dan semen din in chille Semen beku Daya hidup hampir tidak terbatas Memerlukan peralatan dan laboratorium yang lebih kompleks dan mahal Konsentrasi spermatozoa perdosis tinggi maka jumlah betina terinseminasi lebih rendah per ejakulasi Penanganan yang lebih kompleks Fertilitas lebih rendah Memerlukan penyediaan kontainer dan nitrogen cair Semen dingin Daya hidup terbatas sampai hanan Peralatan dan laboratorium yang lebih sederhana dan murah Konsentrasi sperma lebih rendah sehingga jumlah betina terinseminasi lebih tinggi per ejakulasi Penanganan sederhana Fertilitas lebih tinggi Tidak diperlukan kontainer dan nitrogen cair Prq iI Usahu Peternakan Sapi Pernh di Indonesia mM pada medium Penambahan glutathione sebanyak semen dingin chilled semen Tris sitrat memberikan basil mM dan mM terbaik dibandingkan dengan perlakuan glutathione terhadap viabilitas semen cair yang disimpan pada suhu C dan mungkin dapat mencegah kerusakan spermatozoa Namun dari radikal bebas Triwulanningsih et al apabila glutathione diberikan ke dalam medium tris sitrat untuk semen beku menghasilkan viabilitas spermatozoa setelah °C menunjukkan bahwa dithawing menit pada suhu antar perlakuan tanpa diberi motilitas berbeda nyata persentase dibandingkan dengan yang diberi glutathione tetapi mM dan mM glutathione sebesar mM Dapat tidak berbeda nyata dengan perlakuan mM dapat mengurangi terlihat bahwa pemberian glutathione kerusakan sperma sapi beku akibat adanya radikal bebas Triwulanningsih et al a b Situmorang et al dan Situmorang • yang telah melakukan uji fertilitas di KUD Tanjungsari Sumedang dan Pangalengan Jawa Barat melaporkan bahwa persentase kebuntingan didapat lebih tinggi dengan penggunaan Penambahan semen dingin dibandingkan semen beku Tabel kebuntingan meningkatkan persentase kolesterol mg ml nyata Tidak didapat dari kedua jenis semen yang digunakan Tabel perbedaan yang nyata antara penyimpanan sampai hari pada suhu °C dimana rataan persentase kebuntingan adalah dan untuk masing masing hari selama dan penyimpanan Tabel Persentase kebuntingan hasil B dengan menggunakan semen dingin dan semen beku di KUD Tanjungsari dan Pangalengan Situmorang a Lokasi Uji KUD Tanjungsari KUD Pangalengan Rata rata Catatan n KB Semen beku Semen dingin n Jumlah sapi yang di IB Persentase kebuntingan KB n KB Pro z Usaha Perernakarr Sapi Perah di Indonesia Situmorang melaporkan bahwa pemilihan pejantan unggul balk dari segi kualitas maupun kuantitas sangat berperan dalam usaha peningkatan produksi nasional khusunya sapi perah melalui penggunaan semen dingin chilled semen Estimasi ekonomi menunjukkan keuntungan yang lebih tinggi di dapat dengan menggunakan semen dingin Tabel Pengaruh penambahan kolesterol pada semen dingin dan beku terhada ersentase kebuntin an Situmoran b Perlakuan Semen dingin Semen beku Rata rata n KB n _ KB KB Kontrol mg Kolesterol mg Kolesteroi Rata rata Catatan n Jumlah sapi yang di B KB Persentase kebuntingan VIII PENGENCER N SEMEN Terdapat dua alasan pokok semen perlu diencerkan sebelum pembekuan yaitu alasan teknis dan alasan biologis lasan teknis adalah untuk dapat menginseminasi lebih banyak betina dari semen pejantan unggul sedangkan alasan biologisnya agar dapat memberikan medium yang cocok sebagai sumber nutrisi kontrol pH serta mempertahankan tekanan osmotik spermatozoa Evans dan Maxwell Syarat penting yang harus dimiliki oleh setiap pengencer menurut Toelihere adalah murah sederhana praktis dibuat tetapi mempunyai daya preservasi tinggi mengandung unsur yang sifat fisik dan kimiawinya hampir sama dengan semen dan tidak mengandung zat yang bersifat racun bagi spermatozoa dan saluran kelamin betina serta tetap dapat mempertahankan daya fertilisasi spermatozoa dan tidak terlalu kental agar tidak menghambat fertilisasi Fungsi pengencer menurut Partodihardjo adalah memperbanyak volume semen sehingga dapat dipakai untuk IB dalam jumlah besar melindungi spermatozoa terhadap kejutan dingin selama pembekuan menyediakan zat makanan sebagai sumber energi spermatozoa menyediakan Pro il Usaha Peternakan Sap Perah di G donevia buffer untuk mencegah perubahan pH dan dapat mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan elektrolit dan tidak terdapat kuman serta mencegah kemungkinan pertumbuhannya Mottershead berpendapat bahwa pengencer semen harus dapat memenuhi kebutuhan hidup spermatozoa seperti nutrisi buffer krioprotektan dan antibiotik Nutrisi tersebut dapat berupa glukosa atau sukrosa yang menyediakan sumber energi bagi spermatozoa Buffer ditambahkan untuk menjaga keseimbangan pH dan osmolaritas Krioprotektan seperti gliserol dapat digunakan untuk menstabilkan spermatozoa selama proses pembekuan dan thawing karena selama proses tersebut banyak spermatozoa yang mengalami stres Bermacam macan antibiotik ditambahkan untuk mengontrol pertumbuhan bakteri Komposisi kimia pengencer Tris aminomethan dalam ml adalah g Tris aminomethan g asam sitrat g lactose g fructose ml kuning telur g raffinose g streptomycin g penicillin ml aquadest Pengencer Tris minomethan Kuning Telur Pengencer ini memiliki bahan atau zat yang diperlukan oleh spermatozoa yang merupakan sumber makanan baginya antara lain fruktosa laktosa rafnosa asam asam amino dan vitamin dalam kuning telur sehingga spermatozoa dapat memperoleh sumber energi dalam jumlah yang cukup untuk motilitasnya Pengencer tris aminomethan kuning telur terdiri dari tris aminomethan asam sitrat laktosa levulosa fruktosa raffinosa penicillin dan streptomycin Komposisi kimia pengencer Tris aminomethan dalam ml adalah g asam sitrat g Tris aminomethan g lactose g fructose ml kuning telur g raffinose g streptomycin g penicillin ml aquadest Pro il Usaha Peiernakan Sapi Perah di Indonesia Pengencer ndroMed® ndroMed® merupakan suatu medium tanpa kuning telur untuk semen beku dan cair yang mempunyai angka fertilitas tinggi walaupun tanpa kandungan dari hewan aslinya Selain itu juga tidak mempunyai risiko kontaminasi mikroorganisme serta mudah dalam penanganan dan waktu penyimpanan Bahan pengencer instan ini berupa cairan tersusun atas aquabidest fruktose glyserol asam sitrat buffer phosfolipid spectynomycine lincomycine mg tylocin mg gentamycine mg Simmet Pengencer Skim Milk Pengenceran dengan skim milk ini banyak digunakan oleh BIB di Indonesia selain biaya operasional lebih murah dan Inseminator menyukai juga karena pada saat melakukan IB tekanan pada straw terasa dan hash keberhasilan IB nya juga baik Pengenceran dan Pendinginan Karena daya hidup spermatozoa sangat terbatas di luar tubuh maka penambahan pengencer mutlak perlu Pengencer Tris sitrat yang mengandung v v kuning telur KT digunakan untuk semen beku dan Tris citrat v v Kuning Telur dan air kelapa untuk semen dingin cair Tabel Konsentrasi dan persentase hidup spermatozoa harus segera dievaluasi untuk menentukan besarnya pengeceran spermatozoa Rumus yang digunakan untuk menghitung berapa besarnya pengenceran untuk semen cair konsentrasi juta spermatozoa ml adalah konsentrasi semen dikalikan persentase spermatozoa hidup dibagi konsentrasi semen yang diinginkan juta ml untuk semen cair dan juta untuk semen beku Misalnya diperoleh perhitungan dalam kamar hitung neaubeur spermatozoa dan perhitungan spermatozoa hidup maka pengenceran yang dilakukan adalah Pro il Usaha Peternuka x x x Sapi Perah di Indonesia kali ml maka pengencer yang Misalkan diperoleh semen ml terdiri dari medium dipersiapkan sebanyak x Medium pengencer dibagi dua B masing masing ml dan ditambahkan pada pengencer dan bagian sample semen dari °C bersama medium B tanpa semen suhunya diturunkan menjadi °C Medium pengencer B ditambahkan pada medium dengan volume yang sama pada saat suhu mencapai dan °C sehingga total konsentrasi semen cair menjadi sebesar juta mI Semen yang bersuhu °C dikemas dalam ministraw ml Pengisian semen di straw dilakukan yang berukuran pada suhu °C Penutupan straw dilakukan dengan powder penutup kemudian dicelupkan ke air bersuhu °C lalu dikeringkan dengan tissue dan disimpan di refrigerator bersuhu °C sampai digunakan Penyimpanan di refrigerator hares semua permukaan straw terendam dalam air bersuhu °C n r tris sitrat dan air kela a Bahan Semen beku Tris sitrat Bag Bag B Semen dingin Tris sitrat ir kelapa Bag B Bag Bag B Bag Tris hydroxymethyl amino methane g sam sitrat citric acid g Fructosa g Streptomycin mg ml Benzylpenicillin IU ml Glycerol VN Kuninq telur V V quades ml ir kelapa ml* ir kelapa terlebih dahulu dibuat pH nya menj adi NaOH dengan menambahkan N VIIL Pendinginan dan Pembekuan Semen Pendinginan dan pembekuan semen dapat dilakukan dengan menggunakan mesin pendingin yang penurunan suhunya dapat diatur secara otomatis Kalau mesin pendingin tidak tersedia maka pendinginan dapat dilakukan secara sederhana yaitu Pro il Usaha Pt ernu un Sapt Perak di ladunecra dengan memasukkan semen pengencer langsung ke dalam kulkas dengan catatan volume semen dan pengencer minimal ml pabila volume semen pengencer kurang dari cc dalam becker glass maka semen encer tersebut dimasukkan yang berisi cc air dengan suhu °C Cooling adalah proses pendinginan semen setelah diencerkan dimasukkan dalam gelas ukur tertutup dan ditempatkan pada gelas piala berisi air dengan suhu °C kemudian diletakkan di dalam alat pendingin cool top selama menit Bearden dan Fuquay Cooling harus berjalan secara perlahan dan minimal jam untuk menurunkan suhu semen dari °C menjadi °C dan semen harus direndam air untuk mencegah cold shock Hafez Menurut Moce dan Vicente proses pendinginan menyebabkan stress fisik dan kimia pada membran spermatozoa yang dapat menurunkan viabilitas dan kemampuan memfertilisasi spermatozoa Masuda berpendapat bahwa proses pendinginan semen pada suhu °C sesuai prosedur meliputi penambahan pengencer yang dilakukan pada suhu °C pendinginan pada suhu °C dilakukan selama jam penambahan pengencer B yang mengandung gliserol dan dilanjutkan proses pembekuan setelah jam dari proses glisero ekuilibrasi Pendinginan semen pada suhu °C sebelum penambahan pengencer B atau pengencer yang mengandung gliserol dapat meningkatkan daya hidup sel setelah proses pembekuan atau pencairan thawing Selain itu gliserolisasi di suhu dingin °C memberikan hasil yang lebih baik Proses pendinginan pembekuan dan thawing mengakibatkan stress fisik dan kimia pada membran spermatozoa yang dapat menurunkan viabilitas dan kemampuan memfertilisasi spermatozoa Spermatozoa yang mengalami cold shock diakibatkan adanya stress oksidatif oleh reactive oxygen species ROS Semen beku juga dilaporkan menyebabkan spermatozoa perubahan fungsi penurunan viabilitas spermatozoa komposisi lipid dan susunan plasma membrane Pro ll U aha Peternakau Sapi Pernh di Indonesia spermatozoa dan perubahan kelompok sulfhydiyl pada membran protein Selama pendinginan konsentrasi intra dan extraseluler larutan terjadi perubahan sebagai hasil pembentukan es eksternal cker dan McGann dan pengeluaran air dari dalam sel Han dan Bischof Bermacam penelitian dilakukan pada sistem pendinginan jam sebelum penambahan pengencer B suhu °C selama dengan hasil motilitas spermatozoa jauh lebih balk dari prosedur beku dan lebih baik dari metode berikut ini yaitu semer yang disimpan setelah proses glisero ekuilibrasi atau setelah jam Masuda penambahan pengencer B selama Gliserolisasi adalah penambahan gliserol pada pengencer berfungsi melindungi dari efek lethal selama proses pembekuan Penambahan cryoprotectan gliserol dilakukan beberapa jam sebelum pembekuan agar sel spermatozoa berkesempatan untuk berekuilibrasi dengan gliserol Gliserol dipakai sebagai zat pelindung pada proses pembekuan semen dan ditambahkan secara bertahap pada semen setelah cooling Hafez Zenichiro et al Pada proses pembekuan spermatozoa penempatan straw cm di atas permukaan nitrogen cair dan dengan menggunakan rak dinamis menghasilkan persentase motilitas dan spermatozoa hidup nyata lebih baik Hal tersebut didukung straw ditempatkan cm di atas oleh Mottershead permukaan nitrogen cair Kerusakan sel spermatozoa akan terjadi apabila dibiarkan °C selama lebih dari empat detik Setelah semen dimasukkan dalam N cair maka motilitas dan jam setelah viabilitas semen beku dapat dievaluasi sebelum pembekuan dengan dithawing dalam air suhu °C selama Mottershead Rasul et al detik Brogliatti et al Kemampuan memfertilisasi semen beku lebih rendah dari semen segar Hal ini disebabkan adanya kerusakan sel yang dapat menurunkan kemampuan memfertilisasi Kerusakan tersebut umumnya terdapat pada akrosom dan mitokondria Nishizono et al Selama pembekuan ada dua proses Profi Uraho Pe ernakan Sa i Perch di Indonesia penting yaitu pertama adalah produksi dari ROS yang dapat mengubah fungsi dan struktur membran Kedua adalah perubahan sistem pertahanan antioksidan berdasarkan penurunan isi glutathionine intraseluler Gadea et al Devireddy et al menyatakan bahwa kerusakan membran spermatozoa banyak terjadi karena pembentukan kristal es khususnya selama titik kritis °C Hal tersebut didukung pendapat Rasul et al kerusakan terbesar pada plasma membran dan tudung akrosom terjadi selama pembekuan dan thawing yang diikuti oleh equilibrasi VIII Pengemasan dan Penyimpanan Semen Semen cair dingin dapat disimpan pada tabung atau dikemas dalam straw dan disimpan pada kulkas suhu °C sedangkan semen beku harus disimpan pada kontainer nitrogen dan isi nitrogen harus tetap dijaga selama penyimpanan Secara garis besar isi nitrogen cair tidak boleh kurang dari dari tinggi kontainer Thawing Pencairan Kembali Sebelum IB semen beku dicairkan kembali dengan memasukkan straw beku pada air dengan suhu °C selama menit atau air dengan suhu °C selama detik Waktu Inseminasi Faktor metodologi dan waktu inseminasi sangat penting berhubung daya hidup sel telur lebih pendek dibandingkan spermatozoa Keberhasilan kebuntingan tergantung dari waktu dan tempat semen dideposisikan Inserninasi dilakukan dengan teknik trans cervical dimana IB gun dideposisikan sedemikian rupa melewati cervix dan semen diseinprotkan post cervix Waktu inseminasi yang terbaik adalah pada waktu berahi dan hubungan antara keberhasilan kebuntingan dan waktu inseminasi Prulil Usaha Pete raakan Sap, Percdr di Indonesia IX. EVALUASI KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN DAN PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN Jumlah perkawinan perkebuntingan atau service per conception (S/C) merupakan suatu ukuran untuk mengetahui berapa kali sapi betina dikawinkan sampai bunting . Nilai normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0 . Semakin rendah nilai tersebut menunjukkan tingkat kesuburan sapi semakin tinggi . Besarnya jumlah nilai perkawinan per kebuntingan dipengaruh i oleh kualitas semen yang rendah, selain kurang terampilnya petugas inseminator di lapang (Toelihere, 1993) . Diagnosis kebuntingan pada sapi dapat dilakukan dengan mengetahui ukuran nonreturn rate (NRR), palpasi rektal dan conception rate (CR) (Susilawati dan Suyadi, 1992) . Non return rate, yaitu persentase jumlah ternak yang tidak kembali estrus antara hari ke-60-90 setelah dikawinkan . Nilainilai ini disebut juga nilai NRR pada 28 sampai 35 hari atau nilai NRR pada 60 sampai 90 hari . NRR merupakan kriteria umum yang digunakan secara luas untuk menentukan kebuntingan . Meskipun demikian, terdapat beberapa kelernahan, yaitu tidak semua ternak dapat diamati secara cermat sehingga tidak semua ternak yang kembali birahi diketahui . Ada juga kejadian ketika ternak bunting dapat menunjukkan berahi dan sapi tidak bunting atau mengalami abortus menunjukkan anestrus (Lindsay et al., 1982) . Palpasi rektal merupakan suatu cara untuk mendiagnosais kebuntingan . Sebagai indikasi ternak bunting, dapat diketahui melalui palpasi per rektal terhadap cornua uteri, ketika cornua uteri yang membesar berisi cairan plasenta (amnion dan allantois) . Perabaan dan pemantulan kembali fetus di dalam uterus yang membesar berisi selaput fetus dan cairan plasenta . Untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul dalam melakukan palpasi rektal maka diperlukan kandang jepit dan sarung tangan yang menutupi lengan untuk menjaga kebersihan . Palpasi pada 35-40 hari kebuntingan lebih 'membutuhkan kemahiran daripada fase berikutnya . Walaupun demikian, bila 143 Profi! U.-ha Peernakan Sapi Perah di Indonesia ketepatan hasil bisa diperoleh pada fase ini maka akan memberikan nilai ekonomis yang lebih tinggi (Susilawati dan Suyadi, 1992) . Conception rate, yaitu persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama, disebut juga sebagai angka konsepsi . Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosis kebuntingan dalam waktu 40-60 hari sesudah inseminasi (Toelihere, 1993) . Kadar progesterone dapat digunakan sebagai cara untuk mendeteksi kebuntingan . Sapi yang bunting korpus hiteumnya akan tetap persisten selama bunting sehingga kadar hormon progesterone dalam darah tetap tinggi . Sedangkan pada hewan yang tidak bunting kadar progesteron akan turun akibat regresi korpus luteum pada hari ke-18-24 setelah berahi . Kadar progresteron lebih dari 11 ng/ml menandakan adanya kebuntingan (Osinga et al ., 1989 ; Drajat, 2002) . Pemeriksaan kebuntingan menggunakan' ultranosonografi (USG), yaitu dengan mengamati bagian dalam hewan tanpa harus memotong hewan . Teknik ini menggunakan suara yang tidak dapat didengar dengan telinga normal karena suara tersebut mempunyai gelombang pendek dan frekuensi tinggi . Suara tersebut dipancarkan oleh probe menuju jaringan tubuh . Penyerapan dan pemantulan suara ini terjadi secara bervariasi terhadap cairan, jaringan lemak, daging dan tulang . Jaringan yang mengandung banyak air akan menyerap suara yang akan dipantulkan kembali . Pantulan suara yang kembali dipantulkan oleh probe dan dijelmakan dalam bentuk gambar dalam monitor . Pemeriksaan kebuntingan menggunakan USG ini merupakan cara yang sangat sensitif karena hasilnya mendekati kebenaran, yaitu foetus dapat terlihat pada monitor. Keakuratan teknik ini mendekati 100% setelah 40 hari umur kebuntingan (Drajat, 2002) . 144 Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia X. TEKNOLOGI SEXING SPERMATOZOA X DAN Y Pejantan pada mammalia menentukan jenis kelamin anak yang dilahirkan . Sebagai hasil pembelahan reduksi selama spermatogenesis, spermatozoa hanya mengandung setengah jumlah DNA pada sel-sel somatik dari spesies yang sama dan terbentuklah dua macam spermatozoa . Spermatozoa yang mengandung kromosom X (spermatozoa X) jika terjadi fertilisasi akan menghasilkan embrio betina, sedangkan spermatozoa yang mengandung kromosom Y (spermatozoa Y) akan menghasilkan embrio jantan. Beberapa perbedaan spermatozoa X dan Y menurut Erricson dan Glass (1982) tertera pada Tabel 5. Tabel 5 . Bebera a erbedaan s ennatozoa X dan Y Parameter DNA Ukuran Perbedaan Spermatozoa Y lebih sedikit Spermatozoa X lebih besar Identifikasi Spermatozoa mengandung Motilitas Spermatozoa Y lebih cepat Muatan Permukaan fluorescent Spermatozoa X migrasi ke katoda Sumber : Erricson dan Glass (1982) Evaluasi Terukur Spermatozoa Y dapat diukur atau harus representatif dalam random populasinya Spesies spesifik Identifikasi yang akurat bile spermatozoa di staining F-body nya Tidak ada perbedaan muatan antara spermatozoa X dan Y Spermatozoa X mengandung kromatin lebih banyak di kepalanya sehingga mengakibatkan ukuran kepala spermatozoa X lebih besar (Hafez, 1993) . Susilawati et al. (1997) melakukan identifikasi spermatozoa X dan Y berdasarkan pada ukuran kepala, yaitu panjang kali lebar, apabila lebih besar dari rata-rata maka dianggap spermatozoa X sedangkan bila lebih kecil adalah spermatozoa Y . Berdasarkan cara penentuan tersebut diperoleh hasil persentase spermatozoa yang diprediksi sebagai spermatozoa X sebanyak 52,10% dan spermatozoa yang diprediksi sebagai spermatozoa Y sebanyak 47,9% . Situmorang et al . (2003) melaporkan bahwa berdasarkan morfometri ukuran kepala, menunjukkan pemisahan dengan menggunakan putih telur dan sephadex dapat mengubah ratio kromosom X dan Y dari 50% :50% menjadi kurang lebih 70% :30% . Pada penelitian 1 45 Pr,,fil Usaha Peienraknn So ti Perth di Indonesia tahun berikutnya, penambahan kolesterol dan glutathione dapat meningkatkan daya hidup spermatozoa pasca pemisahan . Hasil pengukuran morfornetri luas kepala spermatozoa menunjukkan bahwa ratio X dan Y untuk fraksi atas dan bawah berturut-turut adalah adalah 77,5% : 22,5% dan 12,5% : 87,5% . Persentase kebuntingan adalah 23,3% ; 66,7% dan 58,6% masing-masing untuk sapi-sapi di kandang Balai Penelitian Ternak, KUD Tandangsari dan KPBS Pengalengan . Didapatkan persentase kebuntingan yang lebih rendah dengan menggunakan putih telur sebagai media pemisahan dibandingkan sephadex, kemungkinan sebagai konsekuensi kerusakan membran spermatozoa selama proses sentrifugasi dan pengaruh putih telur itu sendiri . Spermatozoa Y biasanya lebih kecil kepalanya, lebih ringan dan lebih pendek dibandingkan dengan spermatozoa X, sehingga spermatozoa Y lebih cepat dan lebih banyak bergerak, serta kemungkinan materi genetik dan DNA yang dikandung spermatozoa Y lebih sedikit daripada spermatozoa X (Sumner dan Robinson, 1976) . Dengan demikian, apabila dilakukan sentrifugasi maka spermatozoa X cenderung lebih cepat membentuk endapan dibandingkan dengan spermatozoa Y (Mohri, 1997) . Spermatozoa Y bergerak ke arah katode (Ericson dan Glass, 1982 dalam Hafez, 1993) . Berdasarkan perbedaanperbedaan tersebut, berkembang metode pemisahan spermatozoa dengan menggunakan kolom albumin, velocity sedimentation, sentrifugasi dengan gradien densitas, motilitas dan pemisahan elektroforesis, isoelectric focusing, H-Y antigen, flow sorting dan sephadex kolom (Hafez, 1993) dan (De Jonge et al ., 1997) . Dar] sekian banyak metode pemisahan spermatozoa X dan Y yang paling umum adalah yang berdasarkan pada perbedaan densitas atau motilitas . Pemisahan spermatozoa X dan Y saat ini yang menghasilkan populasi spermatozoa X dan Y terbanyak adalah dengan flow cytometry, akan tetapi alat yang digunakan harganya mahal (Seidel et al., 1997) . Pemisahan spermatozoa dengan flow cytometry dapat memisahkan spermatozoa X dan Y lebih baik dibandingkan 1 46 Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia dengan metode pemisahan yang lain, tetapi alat yang digunakan harganya mahal . Metode pemisahan lain yang lebih murah, valid, lebih mudah dihasilkan dan diaplikasikan, adalah filtrasi menggunakan sephadex yang dapat menghasilkan spermatozoa X 70-75% (Beernik, 1986 dalam Hafez, 1993) . Kegunaan sexing sperma antara lain untuk menghasilkan lebih banyak betina yang superior sebagai pengganti induk atau untuk peremajaan ; dapat pula menghasilkan sap] jantan untuk mempercepat penyediaan calon pejantan dalam program progeny test . Teknik yang digunakan untuk memisahkan spermatozoa X dan Y disajikan secara terperinci dalam Tabel 6 . Tabel 6 . Teknik an di unakan untuk memisahkan s ermatozoa X dan Y Teknik Sedimentasi pada media dengan immobilisasi spermatozoa Skim milk powder, Glysin, sodium sitrat, Gliserol Albumin kolom Velocity sedimentation Sentrifugasi gradien densitas Motilitas dan pemisahan menggunakan elektroforesis Isoelectric focusing H-Y antigen Flow sorting oleh kandungan DNA Sephadex coulom Hasil IB dengan semen tersebut menghasilkan betina sebanyak 70% Meningkatkan jumlah kelahiran anak jantan bila yang digunakan lapisan atas Spermatozoa setelah preseleksi dengan nletode ini berhasil dibekukan Sedimentasi berdasarkan ukuran, densitas dan bentuk kepala . Perbedaan ukuran kepala faktor yang dominan pada type pemisahan ini, sedanqkan bentuk tidak begitu penting Spermatozoa dipisahkan untuk mendapatkan sedimen dengan sentrifugasi grandien densitas, bahan yang dibuat gradien densitasnya lebih rendah dari spermatozoa . Dikembangkan dengan sentrifugasi pada waktu yang pendek, waktu yang pendek tidak menyebabkan pengaruh difusi yang signifikan . Spermatozoa yang immotil dengan elektroforesis akan bergerak ke anoda pada pH netral, ketika pemisahan dengan elektroforesis pada kondisi yang konsisten maka spermatozoa yang motil akan bergerak ke arah katode . Hasil pengamatan pada daerah kepala spermatozoa mempunyai muatan sehingga dia bergerak, jika muatan negatif spermatozoa akan diorrientasikan ke daerah ekor yang bergerak ke arah anoda yang mempunyai muatan negatif lebih besar . Pemisahan menggunakan kolom dengan cairan yang stabil yang dibuat gradien densitas . Spermatozoa membentuk lapisan atau suspensi spermatozoa akan bermigrasi ke arah isoelektrik Spermatozoa diperlakukan dengan anti serum H-Y . Inseminasi pada tikus menggunanan spermatozoa yang diperlakukan dengan anti serum H-Y, anti gen menghasilkan 45,4% jantan sedangkan kontrol 53% Spermatozoa Y berhasil di sorting sebanyak 72-80% Didapat 70% spermatozoa X dengan cars spermatozoa dimasukkan di bagian atas . 65-85% spermatozoa X didapat pada filtrat . 1 47 Pro/il U.coltu Petervwkan Sapi Pernlt di Indonesia XI. PENINGKATAN MUTU GENETIK MELALUI TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO Permasalahan yang dihadapi dalarn bidang peternakan di Indonesia antara lain adalah masih rendahnya produktivitas dan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar petemakan di Indonesia masih merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi, dan keterampilan peternak relatif masih rendah . Penerapan teknologi transfer embrio (TE) atau alih janin merupakan alternatif untuk meningkatkan populasi dan mutu genetik sapi secara cepat . Teknologi TE pada sapi merupakan generasi kedua bioteknologi reproduksi setelah IB . Pada prinsipnya, teknik TE adalah rekayasa fungsi alat reproduksi sapi betina unggul dengan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Sel telur hasil superovulasi in] akan dibuahi oleh spermatozoa unggul melalui teknik IB sehingga terbentuk embrio yang unggul . Embrio yang diperoleh dari ternak sapi donor, dikoleksi dan dievaluasi, kemudian ditransfer ke induk sapi resipien sampai terjadi kelahiran. TE merupakan bioteknologi reproduksi mutakhir yang sudah diaplikasikan secara terstruktur di Indonesia sejak tahun 1996 pada sapi perah dan sapi potong . Teknologi ini memang merupakan sarana yang sangat efektif untuk peningkatan mutu genetik secara cepat . Aplikasinya hanya terbatas pada sapi-sapi elite saja, karena masih mahalnya biaya pelaksanaan transfer embrio. Di Indonesia hanya ada satu Balai Embrio Ternak di Cipelang Bogor, dengan produksi embrio beku sapi sekitar beberapa ratus saja setahun sehingga penggunaan teknologi ini untuk pengembangan sapi perah rakyat sangat terbatas . Mardijono (2003) melaporkan bahwa dari 52 kali flushing menghasilkan 107 embrio atau rataan 2,057 embrio . Pada tahun 2002, dihasilkan 350 embrio dan ditransfer pada 241 resipien dengan 241 embrio (satu embrip per ekor), dari hasil transfer tersebut telah bunting 48 ekor (C/R = 19,92) . 1 48 Pro/il Ucoha Peiernakon Sop Perah di Indonesia Teknologi TE sudah sangat luas diaplikasikan dalam dua dasawarsa terakhir ini (Cunningham, 1999), antara lain dengan pelaksanaan multiple ovulation and embryo transfer (MOET) . Tujuan dari teknologi ini adalah untuk menghasilkan anak (embrio) yang banyak dalam satu kali siklus . Saat ini produksi embrio dapat mencapai 30 embrio/koleksi, tetapi rata-rata hanya sekitar 5 embrio/koleksi yang layak untuk ditransfer atau dibekukan . Aplikasinya banyak dilakukan pada sapi perah untuk tujuan perbaikan mutu genetik, yaitu dengan meningkatkan intensitas seleksi (i) pada galur induk . Akan tetapi, ada kerugian yang ditimbulkan, yaitu interval generasi (L) induk juga akan meningkat (Triwulanningsih dan Diwyanto, 2003) . Untuk tujuan perbanyakan ternak yang berkualitas, teknologi MOET akan sangat efektif, karena yang diperbaiki adalah hewannya (diploid), bukan sekedar up-grading (haploid) seperti pada teknologi IB . Oleh karena itu, teknologi TE dapat dipandang sebagai upaya mengganti ternak yang ada dengan populaSi baru (breed replacement) . Pada tahun 1997 aplikasi TE di dunia sudah mencapai sekitar 460 .000 embrio (Thibier, 1997) dan di India aplikasi TE pada kerbau perah telah mencapai sekitar 1000 embrio (Cunningham, 1999) . Koleksi dan transfer embrio saat ini sudah dapat dilakukan dengan cara non operasi sehingga akan memudahkan pelaksanaan, selain biaya yang relatif lebih ekonomis . Keberhasilan transfer embrio segar dapat mencapai 55-65%, sedangkan embrio beku sekitar 50-60% (Hasler, 1995) . Teknik ini akan mampu meningkatkan kualitas genetik ternak sampai 10% (Lohuis, 1995) yang jauh di atas metode konvensional yang hanya sekitar 2-5%. Salah satu program yang pernah dikembangkan Balai Penelitian Ternak, adalah upaya membentuk sapi perah hibrida . Pendekatan ini didasarkan pada kenyataan bahwa program upgrading sapi lokal dengan IB di negara berkembang kurang berhasil dengan baik (Rutledge, 1995), sehingga diperlukan suatu terobosan dengan memanfaatkan teknologi IVM/IVF/IVC dan TE. Walaupun basil dari penelitian ini belum optimal, tetapi 1 49 Profi/ Ucaha Pe(ernaknn Sapi Perah di Indone .ia beberapa informasi dapat dipergunakan sebagai landasan untuk mengembangkan inovasi lebih lanjut . XI .l Produksi Embrio Secara In Vitro Produksi embrio secara in vitro mencakup tiga aspek utama, yaitu pematangan sel telur (IVM), pembuahan sel telur (IVF), dan pembiakan embrio (IVC) secara in vitro . Teknologi IVM/IVF/IVC sudah berkembang dengan pesat, seperti yang telah dilaporkan oleh Kanagawa et al . (1995). Sel telur umumnya didapat dari ovari yang berasal dari rumah potong hewan . Sel telur dikumpulkan dengan metode aspirasi maupun slicing secepatnya setelah sapi dipotong, kemudian dimatangkan secara in vitro . Pematangan dilakukan pada media sederhana sampai yang kompleks, umumnya mengandung hormon estrogen, FSH, LH, prolactin, progesteron ataupun protein ovari dan peptida (Gordon, 1994) . Hormon yang paling umum digunakan saat ini adalah FSH, estrogen dan LH (Fukui et al ., 1989 ; Wiemer et al., 1991 ; Zuelke dan Brackett, 1993 ; Eyestone dan First, 1989 ; Keefer et al., 1993) . Penggunaan serum sapi betina yang sedang estrus (ES) dilaporkan dapat digunakan untuk mengganti penggunaan hormon sintetik (Wahjuningsih et al., 2003) . Keberhasilan pembuahan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa . Proses kapasitasi dapat dilakukan pada medium BO, TALP ataupun CRlaa yang telah diberi tambahan kafein, heparin (Rosenkrans dan First, 1991) . Triwulanningsih et al . (2002) melaporkan bahwa dengan menggunakan metode kapasitasi sperma menggunakan metode Percoll gradient 45% dan 90% sebanyak 0 .5 ml/lapis ternyata dapat meningkatkan persentase perolehan expanded blastosis menjadi 33 .02% (n = 1055 oosit) dari 21 .06% (n = 1007 oosit) bila lapisan Percoll 2 ml/lapis . Media untuk pembiakan yang banyak digunakan adalah media CR l aa, KSOM (protein free pottasium simplexoptimize medium) maupun synthetic oviductal fluid (SOF) . Dilaporkan bahwa medium CRlaa ternyata lebih 1 50 Pro/il Usoha Peternokon Supt Perah di Indoneeia cocok digunakan untuk kultur embrio sapi dibandingkan dengan medium KSOM (Triwulanningsih et al ., 2002) . Dengan menggunakan media CRlaa telah diperoleh 31 .2% expanded blastosis dari 61 .5% blastosis (n = 1549 oosit), sementara dengan medium KSOM hanya 5.1% yang berkembang dari 38.5% blastosis (n-675 oosit) . Penambahan bovine oviductal cells (BOEC) dan cumuslus/granulosa monolayer sel sudah banyak dilaporkan dapat meningkatkan persentase blastocyst (Goto et al., 1988 ; Wang et al., 1989 ; Fukuda et al., 1990 ; Xu et al., 1992) . Secara umum teknologi pematangan, pembuahan dan pembiakan untuk tujuan memproduksi embrio secara in vitro sudah sangat tersedia dan bukan lagi merupakan hambatan untuk penerapan secara luas . Walaupun didapat variasi persentase blastosis yang disebabkan perbedaan metode pematangan, pembuahan dan pembiakan, secara keseluruhan rataan persentase blastosist adalah 30-50% . Hambatan yang masih ada adalah ketersediaan sel telur, baik secara kuantitatif maupun kualitatif di Indonesia . Untuk itu sumber sel telur dari negara-negara yang sudah maju antara lain Australia, Selandia Baru, Jepang dan Amerika maupun Eropa perlu dipikirkan . Triwulanningsih et al. (2001) melaporkan bahwa oosit dapat dikultur dalam media TCM-199 pada suhu 30°C selama 30 sampai 36 jam dan setelah difertilisasi dapat terus berkembang menjadi blastosis dan bahkan expanded blastosis . Kemampuan oosit yang mengalami cleveage memperlihatkan keadaan oosit tersebut telah cukup matang untuk difertilisasi . Walaupun demikian, kemampuan untuk terus berkembang menjadi expanded blastosis tergantung pula pada medium kultur yang digunakan, pada penelitian tersebut digunakan medium KSOM yang telah dijual secara komersial di Amerika. Jaswandi (2002) melaporkan penggunaan hepes dan butiran efervesen dalam sistem inkubasi produksi embrio domba secara in vitro memungkinkan pematangan sel telur dalam perjalanan dapat dilakukan tanpa menggunakan C02 inkubator. 15! Profil Usahu Peternakan Sup Perah di Indonesia Alternatif lain sebagai sumber sel telur dapat diperoleh dari sapi betina muda (umur 4-6 bulan) tanpa mengganggu kemampuannya berproduksi secara normal kembali setelah dewasa . Penelitian telah dilakukan di Balai Penelitian Ternak, sel telur ditampung dengan jalan operasi dari sapi betina muda yang sebelumnya telah mendapatkan perlakuan superovulasi, kemudian sel telur yang terkumpul difertilisasi secara in vitro . Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan control intravaginal divice release (CIDR) yang berisi 0,3 mg progesterone dalam inert silicone elastomer selama 5 hari dan dikombinasikan dengan perlakuan injeksi folicle stimulating hormone selama 3 hari berturut-turut dengan dosis menurun dan interval 12 jam, dapat meningkatkan jumlah oosit yang dapat dikoleksi (Lubis et al., 2002) . Hal ini membuktikan bahwa CIDR yang dikombinasikan dengan FSH dapat menstimulasi pertumbuhan folikel dan meningkatkan jumlah oosit yang dihasilkan . Amstrong et al . (1992) menyatakan bahwa embrio yang diperoleh dari oosit anak sapi muda dapat mencapai blatosis (28%), sedangkan yang dari oosit abatoir diperoleh 17% blastosis . Triwulanningsih et al . (2001) melaporkan bahwa penggunaan CIDR selama 5 hari dan injeksi 2,4 mg FSH adalah dosis yang balk untuk juvenile berumur sekitar 4-5 bulan . Karena dengan dosis tersebut, dapat diperoleh oosit dan morula yang paling banyak dibandingkan dosis FSH yang lain (2,8 mg, 3,2 mg dan 3,6 mg). Walaupun demikian, keberhasilan teknologi ini masih bervariasi di antara berbagai laboratorium IVF . Sekitar 15-40% sel telur yang dikultur dapat berkembang menjadi blastosis yang balk dan setelah melalui proses freezing and thawing maka viabilitasnya menurun dan survival embrio basil IVF masih lebih rendah dibandingkan embrio konvensional . Walaupun aplikasi teknik ini secara praktis dapat mengurangi generasi interval (L), faktor penghambat adalah masih tetap menggunakan hormon dan proses operasi yang memerlukan biaya yang cukup mahal . 152 Pratil G:vaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Beberapa masalah dan kendala yang harus diperhatikan dalam pengembangan teknologi TE adalah : (1) menentukan ternak donor yang mempunyai kualifikasi yang sangat bagus, (2) metode superovulasi serta koleksi embrio yang mudah dan ekonomis, (3) evaluasi, seleksi, dan penyimpanan embrio, (4) penyediaan resipien, serta (5) proses transfer embrio . Kesiapan ternak resipien sangat berpengaruh pada keberhasilan teknologi yang Pada penelitian terdahulu ternak resipien disinkronisasi-kan estrusnya, temyata tidak semuanya mampu menghasilkan corpus lutheum yang mampu menghasilkan hormon progesteron yang cukup untuk memelihara kebuntingan . Jadi, walaupun embrio yang ditransfer bagus, namun apabila endometirum uterus resipien tidak mampu mempertahankan kebuntingan, maka hal ini akan memengaruhi kegagalan kebuntingan setelah 2-3 bulan . Kerjasama dengan KUD Tanjungsari, Sumedang dalarn transfer embrio hasil fertilisasi in vitro maupun in vivo segar diperoleh hasil yang cukup balk, dengan rata-rata persentase kebuntingan 50% (Triwulanningsih, 2002) . Pada penelitian ini telah diinjeksikan 2 ml IFN pada resipien di hari ke-11 setelah estrus, dengan harapan resipien dapat mempertahankan konseptus . Reproduksi ternak sangat dipengaruhi oleh faktor nutrisi/pakan . Dalam melaksanakan TE sinkronisasi antara embrio dan endometrium resipien sangat berpengaruh pada keberhasilan implantasi embrio . Ashworth (1992) menyatakan bahwa adanya produk konseptus (embrio) untuk menghasilkan bovine trophoblastprotein-one (bTP-1) yang kini disebut sebagai interferon (IFN), ketika protein tersebut bertanggung jawab pada pencegahan regresi corpus lutheum karena adanya protaglandin (PGF2a ), agar corpus lutheum tetap menghasilkan progesteron untuk mempertahankan kebuntingan . Teknologi TE adalah suatu alat untuk memperbaiki produktivitas ternak . Oleh karena itu, dalam aplikasinya perlu dipertimbangkan aspek kernudahan dan efisiensi ekonominya . 1 53 Profit Usaha PeIernakan Sap, Per"" di Indonwia XI.2 Cloning dan Splitting Embrio Pada tahun 1952, untuk pertama kalinya dilaporkan keberhasilan cloning pada katak, dan pada tahun 1980-an untuk pertama kali dilaporkan cloning pada domba (Willadsen, 1986, Cunningham, 1999) . Saat ini pembelahan embrio secara fisik telah berhasil menghasilkan kembar identik pada domba, sapi, babi, dan kuda (Brem, 1995). Walaupun secara teoritis pembelahan dapat dilakukan beberapa kali, tetapi sampai saat ini tingkat keberhasilannya masih sangat rendah . Embrio sapi pada stadium akhir dan blastosis dapat dikoleksi secara nonoperasi . Setelah dibelah menjadi dua bagian, setengahnya dapat dikembalikan langsung ke dalam uterus, dan sebagian sisanya dapat segera ditransfer ke resipien . Teknik splitting ini di masa depan mempunyai prospek yang sangat bagus, terutama pada ternak yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (sapi perah) . Akan tetapi, penyempurnaan agar tingkat keberhasilannya lebih baik lag] dan aplikasi yang lebih mudah dan murah perlu terus dilakukan . Saat ini perkembangan teknologi splitting embrio di Indonesia masih sangat terbatas, baik dalam arti jumlah kegiatannya maupun tingkat keberhasilanya . Pada tahun 1996, telah dilaporkan suatu hasil cloning domba yang berasal dari sel somatik jaringan kelenjar susu . Selanjutnya cloning pada tikus yang berasal dari sel kumulus sel telur pada stadium methaphase 11 juga telah berhasil . Dan yang terbaru adalah keberhasilan kelahiran delapan ekor pedet hasil cloning yang berasal dari sel epithel jaringan reproduksi sapi betina dewasa (Campbell et al ., 1996 ; Wilnut et al ., 1997 ; Wakayama et al., 1998 ; Kato et al., 1998) . Keberhasilan dari teknologi ini akan member] peluang yang besar terhadap kemajuan Iptek peternakan di masa yang akan datang. Splitting maupun cloning juga akan sangat bermanfaat dalam membantu program konservasi secara in vitro (cryogenic preservation) . Akan tetapi, upaya-upaya agar teknologi ini mempunyai manfaat ekonomis masih perlu dikaji, di samping masalah lain yang berkaitan dengan masalah sosial (Triwulanningsih dan Diwyanto, 2003) . 1 54 Pro/il C.caha Pefernakan Sapi Perah di Indorre .+in DAFTAR PUSTAKA Acker, J .P ., and McGann, L.E . 2003 . Protective Effect of Intracellular Ice During Freezing . Cryobiology 46 : 197-202 . Amstrong, D .T ., P . Holm, B . Irvine, B .A . Petersen, R .B . Stubbings, D . McLean, G . Stevens and R.F . Seamark. 1992 . Pregnancy and Live Birth from in vitro Fertilization of Calf Oocytes Collected by Laparoscopic Follicular Aspiration . Theriogenology 38 : 667-678 . Anam, A .C . 1999 . Kinerja Reproduksi Sapi Perah Rakyat di Dataran Tinggi Malang dan Dataran Rendah Tulung Agung . Tesis . Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta . Ashworth, C .J . 1992 . Synchrony Embryo-Uterus . In : Clinical Trends and Basic Research in Animal Reproduction . Elsevier . AmsterdamLondon-New York-Tokyo . pp : 259-267 . Arthur, G .H, D .E . Noakes T .J . Parkinson and G .C .W . England . 2005 . Veterinary Reproduction and Obstretic . Eight Edition . Sauders, China . Baliarti, E . 1999 . Kinerja Induk dan Anak Sapi PO yang Diberi Ransum Basal Jerami Padi dengan Suplementasi Daun Lamtoro dan Vitamin A . Disertasi . Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. d Bearden, J .H . and Fuquay, J .W . 1984 . Applied Animal Reproduction 2" Edition Reston Publishing Company Inc . A Prentice Halls Company Virginia : 341-345 . Bondi , A .A . 1987 . Animal Nutrition . A Wiley Interscience Publication . Chichester, New York . Brem . 1995 . Splitting and Sexing of Bovine Embryo . In : FAO Animal Production and Health Division . Biotechnology for livestock production . pp : 71-78 . Brogliatti, G .M ., G . Larraburu, R . Cavia, M .E . Carini . 2005 . Evaluation of Bull Semen at 1 H vs 48 H of Post Frozen Stabilatation Time . Reproduction, Fertility and Development 18(2) : 150-150 . Campbell, K .H .S ., J . McWhir, W .A . Ritchie, 1 . Wilnut . 1996 . Sheep Cloned by Nuclear Transfer from a Cultured Cell Line . Nature 380 : 64-66. Cunningham, E.P . 1999 . Recent Developments in Biotecnology as They Related to Animal Genetic Resources for Food and Agricultural . Commision on Genetic Resources for Food and Agriculture . 1 55 Pta/il Usaha Peernakan Sapi Perah di brdonesia De Jonge C .J, S .P . Flaherty, A .M . Barness, N .J . Swann and Mathew . 1997 . Failure of Multitube Sperm Swim-up for Pre Selection Fertility and Sterility Vol . 67(6) : 1109-1114. Devireddy . R .V, D .J . Swanlun, K .P . Roberts, J .L . Pryor, J .C . Bischof. 2000 . The Effect of Extra Cellular Ice and Cryoprotective Agents on the Water Permeability Parameters of Human Sperm Plasma Membrane During Freezing . Human Reproduction 15(5) : 1125-35 . Drajat, S .A . 2002 . Ilmu Reproduksi Ternak . Mataram University Press, Mataram . Errickson, R .J . and R.H . Glass . 1982 . Fungsional Differences Between Sperm Bearing the X or Y Chromosome . In . Prospects for Sexing Mammalian Sperm, In : R .P . Aman and G .E . Seidel, Jr (eds) Boulder, Colorado University Associated Press . Evans G ., dan W .M .C . Maxwell . 1987 . Salamon's Artificial Insemination of Sheep and Goats . Butterworths . Eyestone, W .H and N .L . First . 1989 . Co-Culture of Early Bovine Embryos to the Blastocyst Stage with Oviductal Tissue or in Conditioned Medium . Journal Reprod . Fert . 85 : 715-720 . Fukuda, F ., M . Ichikawa ., K . Naito and Y . Toyoda . 1990 . Birth of Normal Calves Resulting from Bovine Oocytesmatured, Fertilized and Cultured with Cumulus Cells in vitro up to the Blastocyst Stage . Biol . Reprod . 42 :114-119 . Fukui, Y ., M . Fukushima and Ono . 1989. Effect of Sera, Hormone and Granulosa Cells Added to Culture Media for in vitro Maturation, Fertilization, Cleavage and Development of Bovine Oocytes . Journal Reprod . Fert . 86 : 501-506 . Gadea, J, F .G . Vazquez, C . Matas, J . C . Gardon, S . Canovas and D . Gumbao . 2005 . Cooling and Freezing of Boar Spermatozoa : Supplementation of the Freezing Media with Reduced Glutathione Preserves Sperm Function . Journal Andrology, 26(3) : 396-404 . Goedon, L, J . Saumande, F . Dupron, C . Couquet, B . Desbals . 1999 . Serum Cholesterol and Triglycerides in Postpartum Beef Cows and their Relationship to the Resumption of Ovulation . Theriogenology . 51 :1405-1415 . Gordon, I . 1994 . Laboratory Production of Cattle Embryos . Cab International, University Press, Cambridge . 1 56 Profl[ Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Goto, K ., Y . Kajihara, S . Kosaka, M . Koba, Y . Nakanishi and K . Ogawa. 1988 . Pregnancies After Co-Culture of Cumulus Cells with Bovine Embryos Derived from In Vitro Fertilization of In Vitro Matured Folliculars Oocytes . Journal Reprod . Fert 83 : 753-758 . Hafez, E .S .E . 1993 . Reproduction in Farm Animals . 6"' Edition . Lea and Febiger, Philadelphia . Hafez, E .S .E . 2000 . Reproduction in Farm Animals . 7th Edition . Lea and Febiger, Philadelphia . Han, B and J .C . Bischof . 2004 . Direct Cell Injury Associated with Eutectic Crystallization During Freezing . Cryobiology 48(1) : 8--21 . Hardjopranjoto, H .S . 1995 . Ilmu Kemajiran pada Ternak . Atrlangga University Press, Surabaya . Hardjosubroto, W . 1994 . Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan . Gramedia Widyasarana, Jakarta . Hasler, J .F . 1995 . Production, Freezing and Transfer of Bovine IVF Embryos and Subsequent Calving Results . Theriogenology 43 : 141152 . Herold, F .C . D . Gerber and J .E . Aurich . 2002 . Influence of Homologous Seminal Plasma on Bovine Epididymal Semen Frozen with Triladyl TM or AndroMed® . Abstract from the section of Reproduction, Department of Production Animal Studies, Faculty of Veterinary Science . University of Pretoria and the Universitats Klinik fur Geburtshilfe, Germany . Jaswandi . 2002 . Penggunaan Hepes dan Butiran Efervesen dalam Sistem Incubasi pada Produksi Embrio Domba secara In Vitro . Thesis Doktor pada Program Pascaserjana Institut Pertanian Bogor, Bogor Kanagawa, H ., O . Abas-Mazni, C .A . Valdez . 1995 . Oocyte Maturation and In Vitro Fertilization . In : FAO Biotechnology for Livestock Production . pp : 9-95 . Kato, Y ., T . Tani, Y . Sotomaru, K. Kurokawa, J . Kato, H . Doguchi, H . Yasue and Y . Tsunoda . 1998 . Eight Calves Cloned from Somatic Cells of a Single Adult . Science 282 : 095-2098 . Keefer, C .L ., S .L Stice and A .M Paprocki . 1993 . Effect of Follicle Stimulating Hormone and Lutenizing Hormone During Bovine In Vitro on Development Following In Vitro Fertilization and Nuclear Transfer . Journal Mol . Reprod . and Dev, 36 : 69-474 . Lindsay, D .R ., K .W . Entwistle and A . Winantea . 1982 . Reproduction in Domestic Livestock in Indonesia . Australia University, Queensland . 157 Profil Usaha Peternakan Saj,i Perah di brdonesia Lohuis, M .M . 1995 . Potential Benefits of Bovine Embryo Manipulation Technologies to Genetic Improvements Programs . Theriogenology 43 : 51-60. Lubis, A .M ., P . Situmorang, E . Triwulanningsih dan T . Sugiarti . 2002 . Pengaruh Stimulasi CIDR terhadap Perkembangan Folikel Bovine Oosit Folikel Juvenile yang Diperoleh melalui Laparotomy . Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian . Mardijono, H . 2003 . Implementasi Produksi dan Transfer Embrio di Balai Embrio Ternak . Prosiding Pertemuan Koordinasi Produksi, Aplikasi Transfer Embrio dan Penjaringan Bibit . Direktorat Perbibitan . Balai Embrio Ternak . Masuda, H. 1992 . Artificial Insemination Manual for Cattle . Association of Livestock Technology, Japan . Mohri, H . 1997 . New Horizons in Sperm Cell Research . Japan Scientific Societies Press, Tokyo : 474 . Moce, E ., and Vicente, J . S . 2002 . Effect of Cooling and Freezing, the Two Steps of a Freezing Protocol, on Fertilizing Ability of Rabbit Sperm. Reprod . Nutr . Dev . 42 : 189-196 . Montiel . F and C . Ahuja. 2005 . Body Condition and Suckling as Factors Influencing the Duration of Postpartum Anestrus in Cattle . Journal Anim Rep Sci . 85 : 1-26 . Mottershead, J . 2000 . Frozen Semen Preparation and Use . Article at Canadian Morgan Magazine . Nov/Dec 2000 . Nishizono, H ., M . Shioda, T . Takeo, T . Irie, and Nakagata . 2004 . Decrease of Fertilizing Ability of Mouse Spermatozoa After Freezing and Thawing is Related to Cellular Injury . Biol . Reprod., 71 : 973-978 . Orskov, E . R. 1987 . The Feeding of Ruminants, Principles and Practice . Chalcombe Publications, Marlow . Osinga, A ., T . Van Derlende and J.A .M . Mattej . 1989 . Reproduksi dan Dasar-dasar Endrokonologi pada Hewan-hewan Ternak . NUFFIC Universitas Brawijaya, Malang . Parakkasi, A . 1995 . Ilmi Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia . Universitas Indonesia, Jakarta . Partodihardjo, S . 1992 . Ilmu Reproduksi Hewan . Mutiara, Jakarta . 1 58 Prod (i'.vaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Pramono, A . 2008 . Calving Interval Sapi Perah di Daerah Istimewa Yogyakarta Ditinjau dari Kinerja Reproduksi dan Imbangan Ransurn yang Diberikan . Tesis Pascasarjana . Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta . Putro, P .P . 2001 . Status Reproduksi Sapi Perah Indonesia (Unpublished) . Putro, P .P . 2005 . (Unpublished) . Infertilitas Metabolik dan Nutrisi pada Sapi Rasul, Z ., N . Ahmad and M . Anzar. 2001 . Changes in Motion Characteristics, Plasma Membrane Integrity and Aciosome Morphology During Cryopreservation of Buffalo Spermatozoa . Journal of Andrology, Vol 22, Issue 2 278-283 . Rutledge, J..J . 1995 . Aplication on In Vitro Cattle Embryo Production on Milk and Beef Production in The Republic of Indonesia . AARD . Rosenkrans, C .F and N .L . First . 1991 . Culture of Bovine Zygotes to the Blastocyst Stage Effects of Amino Acids and Vitamins . Therionelogy 35 :266 . Salisbury G .W . dan N .L . Van Demark. 1985 . Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi . Gadjah Mada University Press, Yogyakarta . Seidel, J .R G.E ., L .A . Johnson, C .A . Allen and G .R . Welch . 1997 . Artificial Insemination with X and Y Bearing Bovine Sperm . Theriogenology . 47 : 234-236 . Simmet, M .V .C . 2005 . Bovine Artificial Insemination . Minitub Abfulund Labortechnik GmbH and Co KG, Germany . Siregar, S . 1996 . Sapi Perah . Penebar Swadaya, Jakarta . Situmorang, P ., E . Triwulanningsih, A . Lubis, W . Caroline dan T . Sugiarti . 2001 . Pengaruh Proline, Carnitine terhadap Daya Hidup Spermatozoa yang Disimpan dalam Suhu 5 ° C (Chilling semen) . JITV Vol 6(l) . Situmorang, P . 2003 . Prospek Penggunaan Semen Dingin (Chilled Semen) dalam Usaha Meningkatkan Produksi Sapi Perah . Wartazoa Vol 13(l) . Situmorang, P ., E . Triwulanningsih, R .G . Sianturi dan D .A . Kusumaningrum . 2003 . Optimalisasi Pemisahan Spermatozoa X dan Y . Laporan Penelitian Balai Penelitian Ternak . 1 59 Pro/il Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Situmorang, P . 2003a. The Effects of Inclusion of Exogenous Phospholipid in Tris Diluent Containing Different Level of Egg Yolk on the Viability of Bull Spermatozoa. JITV Vol 7(3) . Situmorang, P . 2003b . Pengaruh Kolesterol terhadap Daya Hidup dan Fertilitas Spermatozoa Sapi . JITV Vol 7(4). Soetarno, T. 2003 . Manajemen Budidaya Sapi Perah . Edisi Khusus Kenangan Puma Tugas, 3 September 2003 . Laboratorium Ternak Perah . Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta . Sumner, A .T . and J .A . Robinson . 1976 . A Difference in Dry Mass Berween the Heads of X and Y Bearing Human Spermatozoa Journal Reprod . Fertil . 48 : 9-15 . Surahamdani, Z . dan D . Sartika . 1996 . Evaluasi Recording Sapi Perah di Jawa Barat Guna Menunjang Program Produksi Calon Pejantan Unggul Sapi Perah Lokal . Prosiding Pertemuan Teknis Evaluasi Rekording Sapi Perah untuk Produksi Calon Pejantan Unggul Lokal . BIB Singosari, Malang . Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta . Susilawati, T dan Suyadi . 1992 . Pengantar Fisiologi Reproduksi . Universitas Brawijaya, Malang . Susilawati, T ., S .B . Sumitro dan H . Sutanto . 1997 . Upaya Pembekuan Semen Hasil Sexing serta Penerapannya dalam Inseminasi Buatan pada Sapi untuk Mendapatkan Pedet dengan Jenis Kelamin sesuai Harapan . Laporan Akhir Penelitian Riset Unggulan Terpadu . Universitas Brawijaya : 17-21 . Susilawati, T ., S .B . Sumitro, S . Hardjopranjoto, Y . Mantara dan Nuryadi . 1999 . Pola Kapasitasi Spermatozoa X dan Y Sapi Hasil Pemisahan Menggunakan Filtrasi Sephadex dan Sentrifugasi Gradien Densitas Percoll . Jurnal Penelitian 11mu-ilmu Hayati 11 : 29-40 . Susilawati . T ., S . Hardjopranjoto, S .B . Sumitro dan A. Hinting . 2000 . Perubahan Fungsi Membran Spermatozoa Sapi Hasil Sentrifugasi Gradien Densitas Percoll pada Proses Seleksi Jenis Kelamin . Jurnal Ternak Tropika. Vol .1 . Susilawati, T dan Suyadi . 2003 . Perubahan Fungsi Membran Spermatozoa Sapi pada Proses Seleksi Jenis Kelamin Menggunakan Sentrifugasi Gradien Densitas Percoll . Jurnal Widya Agrika Vol . 11(1), Malang . Susilawati, T . 2008 . Peran Manajemen Reproduksi dalam Usaha Peterrnakan . Buku Orasi Guru Besar. 1 60 Prod Usaha Peternakan S'api Perah di Indonesia Sturman. H ., E . A . B . Oltenacu . and R . H . Foote . 2000 . Importance of Inseminating Only Cows in Estrus . Theriogenology . 53 : 1657-1667 . Tagama, T . R . 2005 . Kemajiran dan Teknik Peningkatan Efisiensi Reproduksi Temak . BritZ Publisher, Bekasi . Thibier, M . 1998 . The 1997 Statistics on the World Embryo Transfer Industry . Embryo Transfer Newsletter. Vol 16(4) : 17-20 . Toelihere, M .R . 1993 . Inseminasi Buatan pada Ternak . Angkasa . Bandung . Triwulanningsih, E ., A .M . Lubis, P . Situmorang dan T . Sugiarti . 2001 . Produksi Embrio In Vitro dari Oosit Sapi Betina Muda (Juvenile) . Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner . Puslat Penelitian dan Pengembangan Peternakan . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta . Triwulanningsih, E ., P . Situmorang, T. Sugiarti, J .J . Rutledge . 2001 . Modification of Using Gonadotrophin Hormone and its Relations with Oocytes Maturation at the Time of Insemination in Cattle In Vitro Embryo Production . Journal Biosains . Vol 6(2) : 37-42 . Triwulanningsih E . 2002 . Produksi Embrio Sapi In Vitro dengan Modifikasi Waktu dan Suhu pada Medium Maturasi yang Diperkaya dengan FSH dan Estradiol 17 G3 . Disertasi . Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor . Triwulanningsih E, M .R . Toelihere, T .I . Yusuf, B . Purwantara, K . Diwyanto and J .J . Rutledge . 2002 . Using CRIaa Versus KSOM as the Culture Medium for In Vitro Embryo Production of Cattle . JITV Vol 7(1) : 30-37 . Triwulanningsih, E, M .R. Toelihere, T .I . Yusuf, B . Purwantara, K . Diwyanto and J .J . Rutledge . 2002 . Seleksi dan Kapasitasi Spermatozoa dengan Metode Percoll Gradient untuk Fertilisasi Oosit dan Produksi Embrio In Vitro pada Sapi . Berita Biologi Vol 6(3) : 423-430 . Triwulanningsih, E, dan K . Diwyanto . 2003 . Tantangan dan Peluang Penerapan Teknologi Embrio Transfer di Indonesia . Prosiding Pertemuan Koordinasi Produksi, Aplikasi Transfer Embrio dan Penjaringan Bibit Direktorat Perbibitan . Balai Embrio Ternak . Triwulanningsih, E ., P . Situmorang, T . Sugiarti, R .G . Sianturi, D .A . Kusumaningrum . 2003 . Pengaruh Penambahan Glutathione pada Medium Pengencer Sperma terhadap Kualitas Semen Cair (Chilled semen) . JITV Vol 8(2) . 1 61 Prufil Usaho Peler,,akan Sup Perah di lne/onesiu Triwulanningsih, E, M .R . Toelihere, T .I . Yusuf, B . Purwantara, K . Diwyanto and J .J. Rutledge . 2005 . The Effect of Feeding Serum on Bovine Blastocyst Development . International Asia Link Symposium : Reproductive Biotechnology for Improved Animal Breeding in Southeast Asia, 19-20 August 2005 . Triwulanningsih, E, P . Situmorang, R.G . Sianturi, D .A . Kusumaningrum . 2005 . Peningkatan Kualitas Semen Beku Sapi melalui Penambahan Gluthatione pada Medium Pengencer Sperma . Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya saing di Lahan Kering . Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta . Wahjuningsih, S ., D . Sasmito, E . Triwulaningsih dan P . Situmorang . 2003 . Produksi Embrio Sapi Potong secara Murah dengan Teknologi IVF dan Aplikasinya dalam Transfer Embrio untuk Penyediaan Bakalan . Laporan PAATP, Departemen Pertanian, Jakarta . Wakayama,T ., A .C .F . Perry, M . Zuccotti, K .R . Johnson, R.Yanagi Machi . 1998 . Full-Term Development of Mice from Enucleated Oocytes Injected with Cumulus Cell Nuclei . Nature . 394 :369 . Wang, W .L ., H.S Jiang ., K.H Lu ., D . Mcarthy and I .'Gordon. 1989 . The Effects of Media and Sera on the In Vitro Development of Early Bovine Embryos . Journal Reprod . Fert . Abstract No .3 :50 . Wiemer, K .E ., A .J . Watson ., V . Polanski ., A .I Mcenna ., G .A . Schultz and S . Willadsen . 1991 . Effects of Maturation and Co-Culture Treatments on the Developmental Capacity of Early Bovine Embryos . Biol . Reprod . 44 :97 . Willadsen, S .M . 1986 . Nuclear Transplantation in Sheep . Nature 320 : 6365 . Wilnut, I ., A .E . Schnieke, J . Mcwhir, A .J . Kind, K .H .S . Campbell . 1997 . Viable Offspring Derived from Fetal and Adult Mammalian Cells . Nature 385 : 810-813 . Xu, K.P ., B .R Yadav ., R .W Rorie ., L . Planta., K .J . Betteridge and W .A King . 1992 . Development and Viability of Bovine Embryos Derived From Oocyttes Matured and Fertilized In Vitro and Co-Cultured with Bovine Oviducal Epithelial Cells . Journal Refrod . Fert . 94 : 34-43 . Ya'niz . J . L ., P . Santolaria, A . Giribet and F . Lo'pez-Gatius . 2006 . Factors Affecting Walking Activity at Estrus During Postpartum Period and Subsequent Fertility in Dairy Cows . Theriogenology. 66 : 1943-1950 . 1 62 Profit Usaha Peternakon Sop Perah di Indonesia Zenichiro, K ., Herliantien dan Sarastina. 2002 . Teknologi Prosessing Semen Beku pada Sapi . Balai Inseminasi Buatan Singosari, Malang . Zuelke, K .A and B .G . Brackett . 1993 . Increased Glutamine Metabolism in Bovine Cumulus Cell-enclosed and Denuded Oocytes After In Vitro Maturation with Luteinizing Hormone . Biology of Reproduction 48 : 815-820 . 163