BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Suwatno dan Priansa (2014: 16) menyatakan bahwa manajemen merupakan “Ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumbersumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Manajemen terdiri dari enam unsur (6M) yaitu: Men, Money, Method, Material, Machine, dan Market. Unsur manusia (Men) berkembang menjadi suatu bidang ilmu manajemen yang disebut dengan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Manajemen yang mengatur unsur manusia. Manajemen SDM adalah suatu bidang manajemen yang khusus mempelajari hubungan dan peranan manusia dalam organisasi perusahaan. Unsur Manajemen SDM adalah manusia yang merupakan tenaga kerja pada perusahaan.” “Manusia selalu berperan aktif dan dominan dalam setiap kegiatan organisasi, karena manusia menjadi perencana, pelaku, dan penentu terwujudnya tujuan organisasi. Tujuan tersebut tidak mungkin terwujud tanpa peran aktif karyawan bagaimanapun canggihnya alat-alat yang dimiliki perusahaan tersebut. Alat-alat canggih yang dimiliki perusahaan tidak ada manfaatnya bagi perusahaan, jika peran aktif karyawan tidak diikutsertakan. Mengatur karyawan adalah hal yang sulit dan kompleks, karena mereka mempunyai pikiran, perasaan, status, keinginan, dan latar belakang heterogen yang dibawa ke organisasi sehingga karyawan tidak dapat sepenuhnya diatur dan dikuasai seperti mengatur mesin-mesin, modal, gedung, dan lain-lain tetapi harus diatur oleh teori-teori manajemen yang memfokuskan mengenai pengaturan peranan manusia dalam mewujudkan tujuan yang optimal” (Suwatno dan Priansa, 2014: 16) Menurut Armstrong dalam Suwatno (2014: 28), praktek manajemen sumber daya manusia (SDM) berhubungan dengan segala aspek tentang bagaimana orang bekerja dan dikelola dalam lingkup organisasi tersebut, dimana kegiatan seperti tanggung jawab sosial perusahaan, manajemen imbalan, hubungan karyawan, kesejahteraan karyawan, kesehatan dan keselamatan, serta penyediaan jasa untuk karyawan merupakan salah satunya. Menurut Veithzal Rivai dalam Suwatno (2014: 29), Manajemen SDM merupakan salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi segi-segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Semua proses ini 7 8 tercakup dalam bidang produksi, pemasaran, keuangan, maupun kepegawaian. Maka dari itu, SDM dianggap semakin penting perannya dalam pencapaian tujuan perusahaan sehingga berbagai pengalaman dan hasil penelitian dalam bidang SDM dikumpulkan secara sistematis dalam apa yang disebut sebagai manajemen sumber daya manusia. Istilah manajemen dalam manajemen sumber daya manusia memiliki arti sebagai kumpulan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya mengelola sumber daya manusia. Menurut Raymond A. Noe et. Al., dalam Suwatno (2014: 29), manajemen sumber daya manusia mengacu pada kebijakan, praktik, serta sistem yang mempengaruhi perilaku, sikap, dan kinerja karyawan. Konsep MSDM sering disebut juga sebagai bentuk praktik-praktik tentang manusia. 2.2 Motivasi Kerja 2.2.1 Pengertian Motivasi Kerja Suwatno dan Priansa (2014:171) menjelaskan bahwa, “Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan, daya penggerak atau kekuatan yang menyebabkan suatu tindakan atau perbuatan. Kata movere, dalam bahasa Inggris sering disepadankan dengan motivation yang berarti pemberian motif, penimbulan motif, atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan. Seseorang melakukan suatu tindakan pada umumnya mempunyai suatu motif. Apabila individu tersebut melakukan sesuatu dengan sengaja, tentu ada suatu maksud atau tujuan yang mendorongnya untuk melakukan tindakan tersebut. Motif dasar dari seorang individu pada umumnya adalah adanya kebutuhan akan kebanggan dan kehormatan, serta limpahan materi.” Robbins & Judge (2013: 202) menyatakan bahwa motivasi adalah proses yang mempertimbangkan intensitas (intensity), arah perilaku (direction), serta persistensi atau tingkat kegigihan (persistency) atas suatu individu dalam upayanya mencapai suatu tujuan. Robbins dan Counter dalam Suwatno (2014: 171) menyatakan “motivasi kerja sebagai kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi untuk mencapai tujuan-tujuan keorganisasian yang dikondisikan oleh kemampuan upaya untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu.” 9 Motivasi pada seorang individu bertindak sebagai sebuah pendorong atas suatu tindakan untuk mencapai tujuan individu tersebut, seperti seorang individu mau bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. 2.2.2 Teori Motivasi 2.2.2.1 Teori Hierarki Kebutuhan Berdasarkan Robbins & Judge (2013: 203): salah satu teori yang paling dikenal dalam hal motivasi adalah Abraham Maslow’s hierarchy of needs, yakni hierarki kebutuhan yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Menurut Suwatno & Priansa (2014), teori ini mengungkapkan bahwa seseorang berperilaku atas adanya dorongan untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan, yang diberi tingkatan dalam hierarki tersebut. Gambar 2.1 Maslow Hierarchy of Needs Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham Maslow menyatakan terdapatnya lima tingkatan atau hierarki dalam kebutuhan setiap manusia, yakni: a) Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs), seperti: kebutuhan secara fisik yang merupakan kebutuhan paling dasar, berupa makan, minum, seksual. Implementasi yang telah dilakukan oleh Restoran Chuan Tin adalah dengan memberikan keleluasaan atas jatah makan mereka, dimana tidak terdapat penjatahan atau pengaturan atas porsi makan para karyawan. 10 b) Kebutuhan Rasa Aman (Safety Needs), yaitu kebutuhan akan perlindungan dari ancaman atau bahaya yang tidak hanya berupa fisik semata, namun juga secara mental, psikologikal, dan intelektual. Hal yang diterapkan oleh organisasi Chuan Tin adalah dengan memberikan pengkondisian atau jarak yang teratur atas ruang gerak karyawan, dimana dikondisikan sedemikian rupa demi keamanan mereka dalam bekerja. Salah satu implementasi yang telah diterapkan adalah dengan memberikan jarak antara bar dengan bagian servis, dimana diberikan sebuah sekat untuk menghindari kecenderungan para karyawan menumpahkan air panas ataupun terkena api dari kompor. Selain itu, karyawan juga diberikan asuransi kesehatan berupa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan untuk memberikan dorongan atas rasa aman selama mereka bekerja. c) Kebutuhan Sosial (Social Needs), yakni kebutuhan untuk berafiliasi, berinteraksi, serta kebutuhan untuk diterima dalam kelompok. Untuk saat ini, belum ditemukan adanya implementasi yang diterapkan oleh organisasi Chuan Tin atas kebutuhan ini. d) Kebutuhan akan Harga Diri atau Pengakuan (Esteem Needs), yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai oleh orang lain. Untuk saat ini, belum ditemukan adanya penerapan dari organisasi Chuan Tin perihal kebutuhan ini. e) Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-actualization Needs), yaitu kebutuhan untuk menggunakan kemampuan, keterampilan, serta potensi. Selain itu termasuk juga kebutuhan untuk berpendapat, mengemukakan ide, serta memberikan penilaian atau mengkritik sesuatu. Salah satu implementasi yang diberikan oleh Restoran Chuan Tin adalah dengan diadakannya pelatihan atau training dimana para karyawan akan diberikan sebuah sesi perihal pengembangan kemampuan mereka terutama dalam 11 bekerja dengan organisasi Chuan Tin, seperti contoh pelatihan mengenai “SERVICE” berdasarkan Restoran Chuan Tin ataupun pelatihan mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang waiter/ess. Maslow berpendapat bahwa kebutuhan yang diinginkan tersebut bertahap, dimana ketika kebutuhan yang pertama terpenuhi, maka akan berlanjut keinginannya kepada kebutuhan yang kedua. Ketika kebutuhan yang kedua terpenuhi, maka kebutuhan ketiga akan menjadi yang utama dan seterusnya sampai kebutuhan yang kelima. Menurut Suwatno dan Prianso (2014: 177) dasar atas teori ini adalah: (a) Manusia adalah makhluk hidup yang tidak pernah puas dan selalu menginginkan lebih banyak. Hal ini akan terus dilakukan sampai akhir hayat dari manusia tiba; (b) Kebutuhan yang telah terpenuhi tidak akan menjadi motivator atau dorongan terhadap individu tersebut. Hanya kebutuhan yang belum terpenuhi saja yang menjadi motivator; dan (c) Kebutuhan manusia tersusun dalam sebuah hierarki atau tingkatan. 2.2.2.2 Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory) Edwin Locke dalam Robbins & Judge (2013: 212), mengusulkan bahwa intensi untuk bekerja terhadap sebuah tujuan merupakan salah satu sumber utama dari motivasi kerja. Dalam hal ini, tujuan yang jelas memberitahukan karyawan apa yang perlu diselesaikan dan berapa besar usaha yang perlu diberikan. Bukti menunjukkan bahwa tujuan yang spesifik atau jelas mampu meningkatkan performa; dimana tujuan atau target yang sulit, ketika diterima dan disetujui, akan memberikan performa yang lebih baik daripada target yang mudah. Tujuan atau target yang spesifik memberikan hasil atau output yang lebih baik dikarenakan spesifikasi atau kejelasan itu sendiri merupakan suatu dorongan yang merangsang individu secara internal (Robbins & Judge, 2013: 212). 12 Robbins & Judge (2013: 212-213), menjelaskan bahwa terdapat beberapa alasan penetapan tujuan mampu meningkatkan motivasi kerja seorang individu: 1) Tujuan atau target yang menantang menarik perhatian individu yang berkaitan sehingga menjadikannya lebih fokus 2) Tujuan atau target yang sulit memberikan tenaga karena individu tersebut harus berupaya lebih keras untuk mencapainya. Seperti contoh, ketika menghadapi ujian yang sulit, akan membuat individu belajar lebih giat dibandingkan ketika diberitahu mengenai ujian yang mudah. 3) Ketika tujuan tersebut sulit dicapai, individu akan bertahan untuk berusaha mencapai tujuan tersebut. 4) Tujuan atau target yang sulit membuat individu yang bersangkutan berusaha untuk menemukan ide atau strategi untuk dapat menjalankan tugas ataupun pekerjaan dengan lebih efektif. 2.3 Kepuasan Kerja 2.3.1 Definisi Kepuasan Kerja Menurut Robbins & Judge (2013: 79), kepuasan kerja merupakan sebuah perasaan positif terhadap suatu pekerjaan berdasarkan hasil evaluasi atas karakteristiknya. Sehingga atas hasil kepuasan kerja tersebut, didapatkan dampak positif seperti meningkatnya produktivitas dalam bekerja (Robbins & Judge, 2013: 84). Menurut Moh. As’ad dalam Sunyoto (2015: 23) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah “keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaannya.” Sehingga dalam hal ini, perasaan individu akan pekerjaannya akan mencerminkan kepuasan kerja itu sendiri. 13 2.3.2 Teori Kepuasan Kerja 2.3.2.1 Discrepancy Theory Teori ini dipelopori oleh Porter pada tahun 1961, yang dimana Porter mengukur kepuasan kerja dengan menghitung hasil selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian Locke pada tahun 1969 menjelaskan bahwa kepuasan kerja bergantung pada perbedaan atau selisih (discrepancy) antara ekspektasi, kebutuhan, dan nilai dengan apa yang menurut persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaannya. Dengan demikian seorang individu akan merasa puas apabila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsi atas kenyataan yang diperoleh, karena telah melewati batas minimum atas apa yang diinginkan. Namun, ketika yang didapat lebih besar atau banyak daripada yang diinginkan, meski terdapat selisih (discrepancy) antara yang diinginkan dengan yang diterima, individu tersebut akan tetap merasa puas karena discrepancy yang didapatkan berupa discrepancy yang positif (Suwatno dan Priansa, 2014: 264). 2.3.2.2 Equity Theory Teori atas keadilan ini dikembangkan oleh Adam di tahun 1963, namun sebelumnya telah dicetuskan oleh Zaleznik pada tahun 1958. Prinsip teori ini mengemukakan bahwa seseorang akan merasa puas atau tidak puas apabila ia merasakan adanya keadilan (equity) atas situasi tertentu. Perasaan atas equity dan inequity ini diperoleh dengan cara membandingkan diri individu itu sendiri dengan orang lain yang sekelas, sekantor ataupun di tempat lain (Suwatno dan Priansa, 2014:264). 2.3.2.3 Two Factor Theory Menurut Sunyoto (2015: 24-25) prinsip atas teori ini adalah bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda, dimana kedua hal tersebut bukanlah merupakan variabel yang berkelanjutan. Teori ini pertama kali ditemukan oleh Frederick Herzberg tahun 1959, dimana ia membagi situasi yang 14 mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya ke dalam dua kelompok, yakni: a. Satisfiers: adalah situasi yang membuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja, seperti achievement, recognition, work itself, advancement, dan responsibility. b. Dissatisfiers (Hygiene Factors): adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan dalam bekerja, seperti salary, job security, company policy and administration, work condition, supervision. Berdasarkan teori ini, perbaikan upah dan kondisi kerja tidak akan memberikan kepuasan kerja, namun hanya mengurangi ketidakpuasan kerja. Hanya kelompok satisfiers yang dapat memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja. 2.3.3 Karakteristik Kepuasan Kerja Menurut Suwatno dan Priansa (2014: 266-268), beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja berupa: - Compensation (imbalan yang diterima): diutamakan berupa gaji, kebanyakan orang melihat bagaimana rata-rata gaji yang diterima untuk pekerjaan yang sejenis. Bila perusahaan membayar gaji kepada seorang individu di bawah rata-rata seperti yang diterima oleh orang lain, maka individu tersebut cenderung akan mengalami ketidakpuasan terhadap gajinya - Supervision (pengawasan yang dilakukan oleh atasan): atasan yang menunjukkan sikap penuh perhatian dan memberikan dukungan kepada bawahan akan memberikan kepuasan terhadap para pekerja dibandingkan atasan yang bersikap acuh tak acuh serta selalu mengkritik. Selain itu, kesempatan yang diberikan oleh atasan juga berpartisipasi atas meningkatnya kepuasan kerja para karyawan. - Work Itself (pekerjaan itu sendiri): sifat-sifat dari pekerjaan itu sendiri, seperti kondisi pekerjaan, pemberian tanggung jawab, 15 kesempatan untuk berkembang dan belajar, merupakan salah satu faktor penentu individu atas kepuasan dari pekerjaan itu sendiri. - Co-workers (hubungan antar rekan sekerja): interaksi antar sesama karyawan dapat menciptakan suatu suasana tertentu yang dapat berpengaruh tehadap kepuasan kerja masing-masing individu tersebut. - Job Security (keamanan kerja): rasa aman atas pekerjaan ini didapatkan dari adanya suasana kerja yang memberikan karyawan rasa nyaman atas kekhawatirannya seperti diberhentikan secara tiba-tiba, ataupun atas hal tidak pasti yang ditakuti individu. - Advancement Opportunity (kesempatan untuk memperoleh perubahan status): faktor ini memiliki peranan penting dalam menumbuhkan kepuasan kerja, karena dengan adanya promosi jabatan, karyawan dapat merasa lebih puas dalam bekerja karena individu tersebut merasa bahwa ia dapat berkembang lebih baik lagi. 2.4 Teori Penghubung Menurut Sunyoto (2015: 16), ditemukan adanya manfaat pemberian motivasi yang salah satunya merupakan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Menurut Herzberg dalam Robbins & Judge (2013: 205), teori two-factor yang dicetuskannya pun mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara motivasi dengan kepuasan kerja. Motivasi kerja akan berkembang seiring dengan perkembangan kepuasan kerja itu sendiri. Dengan adanya motivasi yang baik pada seorang individu, akan didapatkan pula kepuasan kerja yang baik pada individu tersebut. 2.5 Teori Jurnal Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Jehanzeb, Rasheed, Rasheed, dan Aamir dengan judul “Impact of Rewards and Motivation on Job Satisfaction in Banking Sector of Saudi Arabia” yang dimuat dalam International Journal of Business and Social Science Vol. 3 No. 21; November 2012 p. 272-278 ditemukan: This study aims to examine the impacts of rewards and motivation using perceived amount of rewards on job satisfaction in both public and private banks of Saudi Arabia. In this study 568 employees were participated from both sectors. To conduct 16 the study regression analysis was developed to test the relationship between rewards, motivation and job satisfaction. Results indicate that (1) rewards have positive significance on motivation, (2) motivation is positively related to the job satisfaction (3) rewards have a positive significant effect on job satisfaction. The results are inconsistent with previous studies conducted to analyse the relationship of rewards, motivation and job satisfaction in different contexts. Yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: Penelitian ini ditujukan untuk meneliti dampak dari penghargaan dan motivasi dengan memperhitungkan jumlah penghargaan yang dirasakan atas kepuasan kerja dalam bagian bank publik dan swasta di Arab Saudi. Dalam penelitian ini 568 karyawan turut berpartisipasi dari kedua sektor. Untuk melakukan penelitian, digunakan analisis regresi untuk menguji hubungan antara penghargaan, motivasi dan kepuasan kerja. Hasilnya menunjukkan bahwa (1) penghargaan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap motivasi, (2) motivasi memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan kerja (3) penghargaan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepuasan kerja. Hasil yang ditemukan tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan untuk menganalisa hubungan antara penghargaan, motivasi dan kepuasan kerja dalam konteks yang berbeda. 2.6 Hipotesis Penelitian Ho: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja terhadap kepuasan kerja Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja terhadap kepuasan kerja. 17 2.7 Kerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk menemukan adanya pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja terhadap kepuasan kerja Restoran Chuan Tin Pesanggrahan, yang dibentuk dalam kerangka pemikiran berikut: Variabel X Motivasi Kerja: Sumber: Maslow dalam Suwatno dan Priansa (2014) 1. Kebutuhan Fisiologis 2. Kebutuhan Rasa Aman 3. Kebutuhan Sosial 4. Kebutuhan akan Harga Diri atau Pengakuan 5. Kebutuhan Aktualisasi Diri Variabel Y Kepuasan Kerja: Sumber: Suwatno dan Priansa (2014) 1. Gaji atau upah 2. Supervisi 3. Pekerjaan itu sendiri 4. Rekan sekerja 5. Keamanan kerja 6. Kesempatan promosi 18