Kapasitas Institusi Wajib Lapor Dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI. 2015 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Pembimbing: 1. Direktur Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza 2. Prof. Dr. Paulus Tangdilintin Penulis: Drs. Suradi, M.Si. PU Drs. Setyo Sumarno, M.Si, PU Dra. Haryati Roebyantho Sugiyanto, S.Pd, M.Si Dra. Nunung Unayah Tata letak & Desain Sampul: Tim Inovasi Cet. I. Jakarta 2015 vi + 113 hal; 14,8 x 21cm. ISBN 978-602-363-009-7 Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial bekerja sama dengan P3KS Press Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta-Timur. Telp. (021) 8017126 Email: [email protected] Website: puslit.kemsos.go.id Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku sebagian atau seluruhnya tanpa izin dari penerbit KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas perkenan, rahmat dan nikmat-Nya, maka laporan hasil penelitian tentang KAPASITAS INSTITUSI WAJIB LAPORAN DALAM PENANGANAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NAPZA’ ini dapat diselesaikan sesuai rencana. Sebagaimana diketahui, bahwa pada saat ini Indonesia dinyatakan sebagai negara darurat narkoba. Hal ini didasarkan pada situasi, di mana jumlah kasus dan korban penyalahgunaan narkoba atau napza di Indonesia cukup besar, dan trendnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. BNN (2013) mencatat korban penyalahgunaan napza di Indonesia berjumlah 4.5 juta orang. Sebagian besar korban masuk kelompok usia produktif, yaitu pada usia 15-39 tahun. Situasi yang makin mengkhawatirkan, karena saat ini anak-anak usia SD pun sudah menjadi korban penyalahgunaan napza. Merespon situasi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan, bahwa bagi sesorang yang benar-benar sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan napza, maka mereka itu tidak akan dipenjara. Mereka memperoleh hak untuk mendapatkan rehabilitasi medis maupun sosial di IPWL-IPWL yang sudah disiapkan. Berkenaan dengan itu, Kementerian Sosial RI sudah menyiapkan 118 unit IPWL, baik milik pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Seiring dengan kebijakan rehabilitasi, maka IPWL-IPWL tersebut perlu disiapkan sebaik-baiknya, berkaitan dengan kelembaaan, regulasi, sumber daya, sarana prasarana, dana dan program. Untuk mengetahui kesiapan IPWL-IPWL tersebut, Puslitbangkesos melaksanakan penelitian evaluasi terhadap IPWL-IPWL yang ada di Sumatera Utara, Yogyakarta dan Jawa Timur. IPWL yang menjadi sasaran penelitian ini berjumlah 13 unit IPWL. Dari jumlah tersebut satu unit milik Pusat, dua unit milik Pemerintah Daerah dan 10 unit milik masyarakat. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza i Berdasarkan hasil penelitian, semua IPWL dikatakan siap untuk memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza. Meskipun demikian, untuk meningkatkan kapasitas IPWL tersebut, perlu ditempuh langkah-langkah segera, baik yang terkait dengan regulasi maupun implementasinya. Kritik dan saran sangat diharapkan guna penyempurnaan penelitian di masa yang akan datang. Selanjutnya, diharapkan semoga hasil penelitian ini dapat menyediakan bahan bagi Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza Kementerian Sosial, dan para pemangku kepentingan yang penyelenggarakan program penanganan korban penyalahgunaan napza. Jakarta, Desember 2015 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kepala, DR. Dwi Heru Sukoco, M.Si ii Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI iii DAFTAR TABEL v BAB I PENDAHULUAN 1 A.Latar Belakang 1 B.Permasalahan Penelitian 5 C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 6 D.Metode yang Digunakan 7 E.Sistematika Penulisan BAB II KAJIAN PUSTAKA 11 13 A.Permasalahan Napza 13 B.Rehabilitasi Sosial 16 C.Kapasitas Lembaga Rehabilitasi Sosial 22 BAB IIIKAPASITAS IPWL DI YOGYAKARTA 25 A.Gambaran Umum Lokasi 25 B.Pengenalan Responden 31 C.Komponen Program 37 D.Pelaksanaan Kegiatan 45 E.Hasil yang dicapai 49 F.Faktor-Faktor Berpengaruh 53 BAB IVKAPASITAS IPWL DI JAWA TIMUR 55 A.Gambaran Umum Lokasi 55 B.Pengenalan Responden 58 C.Komponen Kegiatan 65 D.Pelaksanaan Program 70 E.Hasil yang dicapai 74 F.Faktor-faktor berpengaruh 76 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza iii BAB V KAPASITAS IPWL DI SUMATERA UTARA 78 A.Gambaran Umum Lokasi 78 B.Responden Penelitian 82 C.Komponen Program 86 D.Pelaksanaan Program 94 E.Hasil yang Dicapai 98 F.Faktor - Faktor Berpengaruh BAB VIKESIMPULAN DAN REKOMENDASI 101 103 A.Kesimpulan 103 B.Rekomendasi 104 DAFTAR PUSTAKA 107 BIODATA PENELITI 110 iv Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza DAFTAR TABEL Tabel 1: Kasus Penyalahgunaan Napza Di Indonesia 1 Tabel 2: Kondisi Awal IPWL Di Tiga Lokasi Penelitian 8 Tabel 3: IPWL Terpilih Di Tiga Lokasi Penelitian 8 Tabel 4: Informan Penelitian 9 Tabel 5. Responden Menurut Usia 31 Tabel 6: Responden Menurut Pendidikan 32 Tabel 8. Korban Penerima Rehabilitasi Sosial di Empat IPWL 40 Tabel 9. Petugas di IPWL yang menjadi Responden 41 Tabel 10. Persentase Kepuasan Korban terhadap Pelayanan IPWL (n=40) 51 Tabel 11. Kepuasan Orang Tua/keluarga Korban terhadap Pelayanan IPWL 52 Tabel 12. Responden Menurut Kelompok Usia 58 Tabel 13. Responden Menurut Tingkat Pendidikan 59 Tabel 14. Responden Menurut Pekerjaan 60 Tabel 15. Responden Menurut Kondisi Keutuhan Orang Tua Korban 60 Tabel 16. Responden Tempat Tinggal sebelum di IPWL 61 Tabel 17. Korban Penerima Rehabilitasi Sosial di Lima IPWL 67 Tabel 18. Petugas di IPWL yang menjadi Responden 68 Tabel 19. Persentase Kepuasan Korban terhadap Pelayanan IPWL (n=50) 74 Tabel 20. Kepuasan Orang Tua/keluarga Korban terhadap Pelayanan IPWL 76 Tabel 21. Responden Menurut Pendidikan 82 Tabel 22. Responden Menurut Pekerjaan Orang Tua 82 Tabel 23. Korban Penerima Rehabilitasi Sosial di Empat IPWL 90 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza v Tabel 24. Petugas di IPWL yang menjadi Responden Tabel 25. Persentase Kepuasan Orang Tua/keluarga Korban terhadap Pelayanan IPWL (n=40) vi Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 91 101 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia saat ini sebagai negara yang berada dalam status “DARURAT NARKOBA”. Hal ini didasari oleh tingginya kasus penyalahgunaan narkoba atau napza di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini. Selain jumlah kasus yang tinggi, jumlah korban, jenis dan jumlah napza yang beredar di masyarakat, dan kerugian negara sangat fantastis pada beberapa tahun terakhir ini. Berdasarkan penjelasan Kepala BNN, sekitar 50 orang meninggal setiap hari karena narkoba, dan kerugian ekonomi maupun sosial mencapai Rp 63 triliun per tahun (Kompasiana, 2015), Data kasus dan tersangka (pengguna, pengedar) penyalahgunaan napza di Indonesia, sebagaimana tampak pada tabel berikut: Tabel 1: Kasus Penyalahgunaan Napza Di Indonesia No TAHUN JUMLAH KASUS JUMLAH TERSANGKA 1. 2009 30.878 38.497 2. 2010 26.614 33.497 3. 2011 29.713 36.732 4. 2012 28.623 35.640 5. 2013 35.436 44.012 151.670 188.378 Jumlah Sumber: Badan Narkotika Nasional, 2014. Data penyalahgunaan napza tersebut bersifat dinamis, data yang relatif cepat mengalami perubahan dalam hitungan hari atau bahkan perubahan setiap jam. Berkenaan dengan sifat dinamis dari data kasus maupun tersangka dan korban penyalahgunaan napza, BNN Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 1 memperkirakan pada tahun 2015 jumlah pengguna narkoba/napza di Indonesia mencapai 5,8 juta orang. Namun demikian, sebenarnya data sesungguhnya pengguna napza tidak dapat diketahui dengan pasti. Hal ini dikarenakan, kasus penyalahgunaan napza merupakan fenomena gunung es. Data yang dapat diketahui merupakan sebagian kecil dari data yang sesungguhnya. Artinya, masih sangat banyak kasus penyalahgunaan napza yang tidak terungkap ke publik. Korban atau penyalahguna napza sebagian besar termasuk pada kelompok usia produktif. Situasi ini merupakan tantangan dan sekaligus ancaman yang luar biasa, dan kerena itu penyalahgunaan napza ini ditetapkan oleh negara sebagai masalah nasional. Penetapan sebagai masalah nasional ini tentu akan membawa konsekuensi pada komitmen dari semua elemen bangsa untuk secara sinergis melakukan perlawanan terhadap peredaran dan penyalahgunaan napza di Indonesia (BNN dan UI, 2014). Kemudian, dilaporkan oleh BNN (2014), bahwa tersangka kasus penyalahgunaan napza, baik sebagai pengedar maupun pecandu dan korban tidak memandang: pendidikan, kelompok umur, agama, suku bangsa, status sosial ekonomi dan kewilayahan. Penyalahgunaan napza terjadi mulai dari pendidikan rendah sampai pendidikan tinggi, mulai kelompok umur anak-anak sampai dewasa dan lanjut usia, pada pemeluk agama tertentu, keluarga miskin maupun keluarga mampu, masyarakat umum maupun pejabat publik, di desa maupun di kota, dan bahkan terjadi peredaran napza secara internasional. Ketika data kasus dan tersangka penyalahgunaan napza disandingkan dengan kondisi korban (pecandu), maka dapat dibayangkan akibat buruk yang akan terjadi pada bangsa dan negara Indonesia pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Berdasarkan data itu dapat dibayangkan, bahwa sumber daya manusia Indonesia mengalami kerusakan yang luar biasa, di mana situasi itu akan membawa implikasi pada hilangnya modal manusia sebagai modal dasar penyelenggaraan pembangunan nasional. 2 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Persoalan lain, di mana penyalahgunaan dan peredaran napza merupakan permasalahan yang bersifat multidimensional. Di mana di dalamnya meliputi aspek medis, sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum (Martono dan Joewana, 2005; Suradi, 2012; Lisa dan Sutrisna, 2013). Berbagai aspek di dalam penyalahgunaan dan peredaran napza tersebut tentunya akan membawa implikasi pada upaya yang perlu ditempuh dan anggaran yang perlu disiapkan oleh pemerintah. Sebagaimana diketahui, bahwa penyalahgunaan napza memiliki jaringan peredaran di dalam dan luar negeri yang sangat rapi. Bukan rahasia lagi, bahwa pesebaran napza melibatkan berbagai pihak, dan termasuk di dalam jaringannya, yaitu oknum penegak hukum. Sebagaimana dilansir media massa nasional, unsur bisnis pada peredaran dan penyalahgunaan napza, telah mendorong oknum penegak hukum terlibat langsung dalam peredaran napza, baik dalam jaringan nasional maupun internasional. Sebagai respon terhadap penyalahgunaan dan peredaran napza di Indonesia, negara dan pemerintah telah menyiapkan peraturan perundang-undangan, regulasi dan program-program dalam rangka pencegahan, penindakan maupun rehabilitasi bagi pencandu dan korban penyalahgunaan napza. Pemerintah telah menetapkan kebijakan, di mana bagi korban penyalahgunaan napza, mereka tidak lagi dipidana kurungan atau penjara. Akan tetapi, sebagai korban mereka akan memperoleh pelayanan rehabilitasi medis maupun sosial pada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Pada tahun 2015 presiden telah mengintruksikan kepada instansi terkait untuk melaksanakan rehabilitasi terhadap 200.000 orang korban penyalahgunaan napza. Dari arahan presiden tersebut, intansi terkait hanya mampu merehabilitasi 100.000 orang korban, dari jumlah tersebut 10.000 orang korban direhabilitasi oleh Kementerian Sosial. Kebijakan pemerintah bahwa korban penyalahgunaan napza tidak dipidana kurungan atau penjara, merupakan pendekatan yang mengedepankan nilai humanis. Pendekatan ini dimaksudkan untuk Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 3 membangun kesadaran bagi pecandu dan korban penyalahgunaan napza maupun keluarga dan masyarakat, untuk melaporkan diri kepada institusi-institusi yang sudah disiapkan oleh pemerintah sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Berkenaan dengan IPWL, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden RI Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Pada Peraturan Presiden tersebut dijelaskan, bahwa IPWL adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan / atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah. Oleh karena di dalam ruang lingkup IPWL tersebut di dalamnya meliputi lembaga rehabilitasi sosial, maka Kementerian Sosial RI mendapatkan mandat untuk menyelenggarakan IPWL, khususnya dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial. Berdasarkan data pada Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan napza (2014), di seluruh Indonesia terdapat 118 unit IPWL. Dari jumlah tersebut 2 (dua) unit milik Pusat, 5 (lima) unit milik daerah dan 102 unit milik masyarakat. IPWL tersebut sudah disiapkan untuk menerima dan melaksanakan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza. Berkaitan dengan penyiapan IPWL tersebut, Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza (RSKPN) telah melakukan berbagai upaya dalam bentuk: koordinasi, bimbingan teknis dan asistensi. Meskipun demikian, sejauh ini belum diperoleh informasi yang pasti, bagaimana kapasitas IPWL tersebut dalam penanganan korban penyalahgunaan napza di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, pada tahun 2014 telah melakukan penelitian berkaitan dengan penyalahgunaan napza ini. Pada penelitian yang dilaksanakan oleh Gunawan, Sugiyanto dan Roebiyanto (2014), difokuskan pada eksistensi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (RBM) di DI Yogyakarta dan Jawa Barat. RBM merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam penanggulangan napza yang dimulai dari 4 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza tingkat akar rumput. Partisipasi masyarakat ini sangat diharapkan, mengingat penyalahgunaan napza sudah meluas ke semua lapisan masyarakat. Sementara itu, penelitian yang memfokuskan pada kapasitas IPWL dalam penanganan korban napza sejauh ini belum dilakukan. Di sisi lain, pemerintah sangat berharap kepada IPWL agar sebanyak 100.000 orang korban napza pada tahun 2015 dapat diberikan layanan rehabilitasi. Sehubungan dengan itu, maka Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial melakukan penelitian dengan judul: “Kapasitas Institusi Penerima Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan napza”. Diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan data dan informasi yang bermanfaat bagi peningkatan efektivitas IPWL dalam penanganan korban penyalahgunaan napza di Indonesia. B. PERMASALAHAN PENELITIAN Kebijakan yang berkaitan dengan rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza, membawa konsekuensi pada kesiapan IPWL sebagai lembaga penyelenggara rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Kesiapan dimaksud berkaitan dengan kapasitas yang dimiliki dan didayagunakan oleh IPWL dalam proses rehabilitasi medis maupun sosial. Sesuai dengan kompetensinya, maka IPWL yang berada di bawah pengelolaan dan koordinasi Kementerian Sosial, menyelenggarakan kegiatan utamanya dalam bentuk rehabilitasi sosial. Berkaitan dengan itu, maka sumber daya yang perlu disiapkan adalah sumber daya yang mendukung proses rehabilitasi sosial. Sehubungan dengan itu, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana komponen kegiatan IPWL yang meliputi: kelembagaan (status lembaga, visi misi, struktur organisasi), SDM, korban napza, sarana prasarana, dan dana? 2. Bagaimana pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sosial di dalam Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 5 IPWL meliputi: bentuk kegiatan, tahapan, jaringan, dukungan keluarga dan masyarakat? 3. Bagaimana hasil yang dicapai IPWL? 4. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pelaksanaan kegiatan IPWL? Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan, didasarkan pertimbangan bahwa melalui penelitian ini dapat digali data dan informasi yang faktual untuk menjelaskan kapasitas IPWL dalam penangan korban penyalahgunan napza. C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Menyediakan informasi mengenai komponen kegiatan di IPWL yang meliputi: kelembagaan (status lembaga, visi misi, struktur organisasi), SDM, korban napza, sarana prasarana, dan dana. 2. Menyediakan informasi mengenai pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sosial di dalam IPWL meliputi: bentuk kegiatan, tahapan, jaringan, dukungan keluarga dan masyarakat. 3. Menyediakan informasi mengenai hasil yang dicapai IPWL. 4. Menyediakan informasi mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pelaksanaan kegiatan IPWL. Manfaat penelitian kapasitas IPWL dalam penanganan korban napza ini adalah: 1. Secara praktis a.Sebagai bahan penyusunan laporan kinerja Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan napza. b. Sebagai bahan penyempurnaan, pengembangan dan atau penguatan kebijakan dan program peningkatan kapasitas IPWL dalam penanganan korban napza. 2.Secara teoretis akan menambah bahan kepustakaan terkait dengan permasalahan, kebijakan dan program penanggulangan korban penyalahgunaan napza di Indonesia. 6 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza D. METODE YANG DIGUNAKAN Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi terhadap program dan kegiatan rehabilitasi sosial korban napza di IPWL. Oleh karena penerima manfaat yang menjadi obyek penelitian ini berada dalam lembaga, dan masih dalam proses rehabilitasi sosial, maka penelitian ini adalah evaluasi formatif atau midle test. Penelitian dilaksanakan untuk menyediakan data, informasi dan keteranganketerangan tentang komponen kegiatan, aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan dan hasil pelaksanaan pelayanan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza di IPWL. Penelitian evaluasi ini akan menyediakan bahan bagi decision maker dalam perumusan dan/atau pengembangan kebijakan peningkatan kapasitas IPWL dalam penanganan korban penyalahgunaan napza berbasis institusi (institusional based). Untuk mengetahui kapasitas IPWL, penelitian ini memfokuskan pada aspek: 1. 2. 3. 4. Komponen kegiatan. Aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan di IPWL. Hasil pelaksanaan kegiatan Faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan kegiatan. Sehubungan dengan itu, maka desain di dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut: Gambar 1: Desain Penelitian, 2015 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 7 Penelitian dilaksanakan di 3 (tiga) provinsi yang ditentukan dengan pertimbangan: (1) ketersediaan data IPWL milik Kementerian Sosial, milik Pemda dan milik masyarakat, (2) ketersediaan data korban/korban pada IPWL, dan (3) dukungan sumber daya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, terpilih provinsi: Sumatera Utara, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Adapun data dan informasi terkait dengan IPWL dan korban/residen yang memperoleh pelayanan rehabilitasi sosial di IPWL di 3 (tiga) lokasi penelitian sebagai berikut: Tabel 2: Kondisi Awal IPWL Di Tiga Lokasi Penelitian NO PROVINSI JUMLAH IPWL JUMLAH WAJIB LAPOR 1. SUMATERA UTARA 5 356 2. DI YOGYAKARTA 4 106 3. JAWA TIMUR 6 139 15 601 Jumlah Sumber: Direktorat RSKPN, 2014. Berdasarkan data tersebut, dipilih sampel penelitian dengan mempertimbangkan status institisusi, dan jumlah wajib lapor di atas 10 orang di setiap IPWL. Maka diperoleh jumlah IPWL di masingmasing provinsi yang menjadi sasaran pada penelitian ini sebagai berikut: Tabel 3: IPWL Terpilih Di Tiga Lokasi Penelitian NO PROVINSI JUMLAH IPWL JUMLAH WAJIB LAPOR 1. SUMATERA UTARA 4 247 2. DI YOGYAKARTA 4 106 3. JAWA TIMUR Jumlah 5 270 13 623 Sumber: Tim Penelitian, 2015. 8 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Mempertimbangkan dukungan sumber daya yang ada, dan kondisi korban, maka pada penelitian ini ditetapkan sampel korban atau korban sebanyak 130 orang di 13 IPWL. Kondisi korban dimaksud, yaitu korban/residen yang mampu berkomunikasi, memberikan informasi atau menjawab pertanyaan quesioner. Sebagaimana diketahui, bahwa sebagian korban/residen termasuk pada kategori spikotik. Mereka ini tentunya mengalami kesulitan ketika memberikan informasi atau menjawab quesioner. Kemudian, informan penelitian ditentukan berdasarkan kepemilikan data dan informasi dan/atau terlibat langsung dalam penanganan korban penyalahgunaan napza, yang terdiri dari unsurunsur: Tabel 4: Informan Penelitian NO INFORMAN JUMLAH 1. Petugas pada Dit RSKPN 3 2. Petugas pada Instansi Sosial Provinsi 3 3. Petugas pada Instansi Sosial Kabupaten/Kota 3 4. Administrasi (4), teknis rehabilitasi sosial (9) dan penunjang (5) 90 5. Korban penyalahgunaan napza yang memperoleh penanganan dalam IPWL (15 unit x 10 orang). 150 6. Keluarga ( 15 unit x 5 orang) 75 7. Masyarakat di sekitar IPW (15 unit x 2 orang) 30 8. Instansi terkait (BNN, BNP, Orsos/LSM, instansi terkait). 10 Jumlah 364 KET: Pusat dan 3 (tiga) provinsi. Sebagai upaya untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini, maka digunakan berbagai teknik pengumpulan data, yaitu: 1. Studi dokumentasi Pengumpulan data dan informasi tentang data korban, kebijakan Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 9 dan program penanganan korban penyalahgunaan napza, dan data lain yang relevan dengan tujuan penelitian, pada: a. Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan napza, Kementerian Sosial. b.Instansi Sosial Provinsi dan Instansi Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi penelitian. c. Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, Badan Narkotika Kabupaten/Kota serta instansi terkait lainnya. 2.Wawancara Wawancara dilakukan terhadap petugas manajemen, petugas teknis, kanselor, pekerja sosial, keluarga, warga masyarakat dan petugas dari instansi terkait. Pada wawancana tersebut digunakan instrumen penelitian untuk masing-masing informan penelitian. 3. Diskusi kelompok terfokus (FGD) FGD dilakukan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan kapasitas IPWL dalam penanganan korban penyalahgunaan napza. Peserta FGD, yaitu: unsur instansi sosial provinsi, instansi sosial kabupaten/kota, instansi sektoral terkait, LK3, Orsos/LSM dan pihak-pihak terkait lainnya di tingkat provinsi. 4.Observasi Melakukan pengamatan secara langsung terhadap aktivitas di dalam IPWL, lingkungan dan sarana prasarana IPWL dan aktivitas korban penyalahgunaan napza di dalam IPWL. Analisis data yang digunakan dalam penelitian, yaitu analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis ini digunakan dalam upaya menjelaskan kapasitas IPWL, serta manfaat pelayanan rehabilitasi sosial di IPWL yang dirasakan oleh korban penyalahgunaan napza. Analisis hasil penelitian difokuskan pada tujuan penelitian, yaitu: komponen kegiatan, pelaksanaan kegiatan, hasil dan faktorfaktor yang memengaruhi kegiatan IPWL. Untuk memperjelas dan memudahkan memahami data dan informasi yang disajikan, maka selain dalam bentuk deskripsi, didukung dengan gambar, tabel dan diagram. 10 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza E. SISTEMATIKA PENULISAN Laporan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang B.Permasalahan Penelitian C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian D.Metode Yang Digunakan E.Sistematika Penulisa BAB II: KAJIAN PUSTAKA BAB III: KAPASITAS IPWL DI YOGYAKARTA A.Gambaran Lokasi B.Identitas Responden C.Komponden Kegiatan D.Pelaksanaan Kegiatan E.Hasil yang Dicapai F.Faktor-Faktor Berpengaruh BAB IV: KAPASITAS IPWL DI JAWA TIMUR A.Gambaran Lokasi B.Identitas Responden C.Komponden Kegiatan D.Pelaksanaan Kegiatan E.Hasil yang Dicapai F.Faktor-Faktor Berpengaruh BAB V: KAPASITAS IPWL DI SUMATERA UTARA A.Gambaran Lokasi B.Pengenalan Responden C.Komponden Kegiatan D.Pelaksanaan Kegiatan E.Hasil yang Dicapai F.Faktor-Faktor Berpengaruh Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 11 BAB VI: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A.Kesimpulan B.Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA 12 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PERMASALAHAN NAPZA Napza merupakan kependekan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat prikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat Adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus menerus yang jika dihentikan dapat memberi efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa, atau zat yang bukan narkotika dan psikotropika, tetapi menimbulkan ketagihan (Kemensos, 2014; UU No 35 Tahun 2009). Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa pecandu atau korban penyalahgunaan napza menghadapi risiko yang mengancam kondisi fisik atau kesehatan, kondisi psikologis (emosional) dan gangguan perilaku sosial. Kondisi tersebut akan berdampak pada kehidupan sosial pecandu atau korban dalam lingkungan keluarga, kelompok dan masyarakat. Menurut Romeal (Suradi, 2012), dampak negatif dari penyalahgunaan napza adalah: a. Dampak terhadap Mental Dampak terhadap mental dalam bentuk sugesti, yaitu munculnya keinginan untuk kembali menggunakan napza. Sugesti bisa Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 13 digambarkan sebagai suara-suara yang menggema di dalam kepala seseorang yang menyuruhnya untuk menggunakan napza. Dampak mental yang lain, yaitu pikiran dan perilaku obsesif kompulsif serta tindakan impulsif. Pikirannya hanya tertuju untuk mendapatkan napza, dan seringkali mengulangi kesalahan yang sama. Pencandu atau korban sudah tidak memiliki akal sehat. b. Dampak terhadap Fisik Dampak terhadap kondisi fisik mulai dari yang ringan sampai yang berat. Bentuk dampak dimaksud, seperti: pegal-pegal, ngilu, sakit-sakit pada sekujur tubuh dan persendian, kram otot dan insomnia. Kemudian risiko yang lebih berat, seperti: katup jantung bocor, paru-paru bolong, gagal ginjal, liver rusak, inveksi virus hepatitis C dan HIV/AIDS. c. Dampak terhadap Emosional Dampak terhadap emosional dalam bentuk perubahan mood yang ekstrim yang dapat mendorong perilaku agresif yang berlebihan, emosinya sangat labil, dan dapat melakukan tindak kekerasan. Munculnya kepribadian baru yang tidak peduli terhadap orang lain, ada perasaan tidak berguna dan depresi mendalam yang dapat mengantarnya untuk melakukan bunuh diri. d. Dampak terhadap Spiritual Dampak terhadap spiritual dalam bentuk: tidak mau melakukan aktivitas yang produktif, tidak mau sekolah, dan meninggalkan kegiatan ritual/ibadah. Korban menjalani hidup dalam dunianya sendiri, dan mengisolasi diri dari keluarga, teman-temannya dan masyarakat. Situasi spiritual seseorang, dapat sebagai faktor akibat, tetapi juga dapat menjadi faktor penyebab. Sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Gallup (Rozi, 2007), menyebutkan bahwa orang-orang yang spiritualnya tinggi memiliki risiko yang lebih rendah untuk terkena depresi, narkoba, usaha bunuh diri dan lebih puas dengan keberadaan dan hidupnya. e.Retardasi Penyalahgunaan napza menyebabkan korban tidak memiliki pola pikir dan kestabilan emosi seperti layaknya orang-orang 14 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza seusianya. Korban tidak mampu membuat keputusan karena kemampuan berpikirnya sangat terbatas. Korban tidak memiliki kestabilan emosi, tidak mampu mengurus diri sendiri dan tidak tertarik untuk membangun relasi sosial dengan keluarga dan lingkungan sosialnya. Penyalahgunaan napza tidak saja berdampak bagi invididu, tetapi juga berdampak bagi keluarga, masyarakat dan negara. Keluarga yang memiliki anggota sebagai korban penyalahgunaan napza akan menghadapi berbagai permasalahan, baik secara ekonomi, mental dan sosial. Secara ekonomi, pengeluarkan keluarga akan jauh meningkat. Bahkan, pada banyak kasus harta milik (aset) keluarga dijual oleh korban untuk membeli napza. Kemudian, secara mental, anggota keluarga mengalami rasa tidak tenang dan tidak nyaman, karena korban yang sakaw bisa melakukan tindak kekerasan untuk memperoleh uang yang akan dibelikan napza. Selanjutnya secara sosial, keluarga akan menghadapi masalah dalam mengembangkan hubungan sosial. Korban napza akan menciptakan sosial di dalam keluarga menjadi tidak harmonis lagi. Aktivitas-aktivitas yang biasanya dilaksanakan secara bersama-sama oleh anggota keluarga, akan sulit diwujudkan lagi (see Martono dan Joewana, 2005). Kemudian dampak terhadap masyarakat, yaitu masyarakat merasa tidak tenang dan tidak aman dikarenakan di lingkungannya ada korban penyalahgunaan napza. Pada beberapa kasus, terjadinya kehilangan harta milik (aset) warga masyarakat yang pencurinya mengarah pada korban penyalahgunaan napza. Selain itu, lingkungan masyarakat di mana ada korban penyalahgunaan napza, berpotensi terjadinya tindak kekerasan. Hal ini akan memengaruhi situasi hubungan sosial dalam masyarakat. Selanjutnya dampak terhadap negara dan pemerintah pun relatif sama, dengan skala yang lebih luas. Negara mengalami kerugian hingga triyunan rupiah akibat penyalahgunaan napza. Pada tahun 2008 (Suradi, 2012), kerugian negara mencapai 15.37 triliyun rupiah. Angka tersebut akan meningkat apabila dikaitkan dengan jumlah napza yang berhasil diamankan oleh negara pada lima tahun Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 15 terakhir ini. Selain itu, kasus penyalahgunaan napza mengakibatkan terjadinya ancaman bagi keamanan nasional, mengingat transaksi napza sudah lintas negara. Dan pada saat ini, Indonesia dinyatakan sebagai ‘darurat narkoba’, mengingat penyalahgunaan napza sudah meluas di semua lapisan masyararkat dan wilayah Indonesia. Penyalahgunaan napza ditetapkan sebagai salah satu musuh besar negara karena mengancam generasi muda dan masa depan bangsa Indonesia. B. REHABILITASI SOSIAL Penyalahgunaan napza berkaitan dengan sikap dan perilaku seseorang yang tidak sesuai dengan norma dan standar sosial yang berlaku di masyarakat, melanggar hukum dan merugikan negara. Pada perspektif psikologi sosial, orang yang menyalahgunakan napza dikatakan mengalami perilaku menyimpang (social diviant), dan dalam perspektif sosiologi dikatakan mengalami patologi atau patologi sosial (Kartono, 2007). Sementara itu, dalam perspetif pekerjaan sosial, merupakan bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan tatanan sosial (social disorder) yang berlaku di masyarakat. Kemudian, Kementerian Sosial RI menempatkan seseorang yang menyalahgunakan atau pecandu Nazpa itu sebagai korban. Implikasi dari status sebagai korban tersebut, maka seseorang yang menyalahgunakan atau pencandu napza memerlukan intervensi sosial dalam bentuk rehabilitasi sosial, dan bukan dipenjarakan. Sehubungan dengan itu, maka penanganan korban penyalahgunaan napza masuk ke dalam rumpun “rehabilitasi sosial”. Menurut Tomas dan Pierson yang dikutip Suradi (et.all, 2014), rehabilitasi sosial didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki kapasitas fisik, mental dan sosial klien secara optimal. Kemudian, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Menteri Sosial No 26 Tahun 2012, dan Peratruan Menteri Sosial No 03 Tahun 2012, mendefinisikan rehabilitasi sosial sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan yang memungkinkan seseorang mampu 16 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, khusus berkaitan dengan penyalahgunaan napza, Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, rehabilitasi sosial didefinisikan sebagai suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar mantan pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pengertian rehabilitasi sosial di atas, dapat dipahami bahwa unsur-unsur di dalam rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza, yaitu (1) pecandu atau korban, (2) arah kegiatan pada pemulihan fisik, mental dan sosial dan (3) tujuannya untuk mencapai keberfungsian sosial orang. Berdasarkan ketiga pokok pikiran tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pecandu narkotika didefinisikan sebagai orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Kemudian korban penyalahgunaan napza didefinisikan sebagai seseorang yang menggunakan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter (Kemensos, 2014). 2. Pemulihan fisik, mental dan sosial sebagai tujuan yang akan dicapai dari rehabilitasi sosial. Ketiga aspek tersebut dibahas secara luas oleh Lisa dan Sutrisna (2013), Martono dan Joewana (2005), tim penelitian BNN (2014), Suradi (2012) dan Abdalla (2009). Intinya, bahwa napza merusak keberfungsian ketiga aspek tersebut. 3. Korban penyalahgunaan napza yang selanjutnya disebut dengan korban, adalah seseorang yang mengalami gangguan fisik, psikis mapun sosialnya, sehingga ia tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya atau mengalami disfungsi sosial. Menurut Siporin (Suradi, 2012), bahwa seseorang mengalami disfungsi sosial ketika seseorang itu menunjukkan kondisi: (1) tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar (2) tidak mampu mengakses pelayanan sosial, sehingga tidak mampu memecahkan masalah Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 17 yang dihadapi, dan (3) tidak mampu melaksanakan peranan sesuai dengan tugas-tugas kehidupannya. Berkenaan dengan itu, maka lahir pendekatan intervensi sosial bagi korban penyalahgunaan napza, yaitu pendekatan biopsikososial. Berdasarkan kondisi yang dihadapi oleh korban, maka rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Rehabilitasi sosial sebagaimana tersebut dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif dan koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Kemudian, dikemukakan oleh Coleman yang dikutip oleh Haryanto (Suradi, et.all,2014), bahwa tujuan rehabilitasi sosial adalah: 1. Meningkatkan insight individu terhadap problem yang dihadapi, kesulitan dan tingkah lakunya. 2. Membentuk sosok self identity yang lebih baik pada individu. 3. Memecahkan konflik yang menghambat dan mengganggu. 4.Merubah dan memperbaiki pola kebiasaan dan pola reaksi tingkah laku yang tidak diinginkan. 5.Meningkatkan kemampuan melakukan relasi interpersonal maupun kemampuan lainnya. 6. Modifikasi asumsi-asumsi individu yang tidak tepat tentang dirinya sendiri dan dunia lingkungannya. 7. Membuka jalan bagi eksistensi individu yang lebih berarti dan bermakna atau berguna. Sedangkan tujuan rehabilitasi sosial yang khusus bagi korban penyalahgunaan napza sebagaimana diatur di dalam standar rehabilitasi sosial (Kemensos, 2014), yaitu: 1.Korban penyalahgunaan napza dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang meliputi: kemampuan dalam melaksanakan peran, memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah dan aktualisasi diri. 2.Terciptanya lingkungan sosial yang mendukung keberhasilan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza. 18 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Kondisi korban penyalahgunaan napza yang dikatakan berfungsi sosial (social functioning) setelah memperoleh rehabilitasi sosial dapat dicermati dari perubahan yang terjadi pada korban, sebagai berikut: 1. Melaksanakan peran Peran menunjuk pada perilaku sosial yang diharapkan dari seseorang sesuai dengan status sosial, interaksi sosial, harapan, tingkah laku dan situasional. Korban yang telah memperoleh rehabilitasi sosial, diharapkan dapat melaksanakan peranannya dengan baik. 2. Memenuhi kebutuhan Kebutuhan (dasar) manusia meliputi kebutuhan fiisik/material, psikis/mental spiritual dan sosial (UU No 11/2009). Korban yang telah memperoleh rehabilitasi sosial diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan dasar tersebut secara layak, yaitu: a. Kebutuhan material Kebutuhan material dalam bentuk makanan, pakaian, tempat tinggal dan kesehatan. b. Kebutuhan spiritual Kebutuhan spiritual berkaitan dengan situasi emosional, rasa nyaman dan aman, bahagia, mampu mengendalikan diri. c. Kebutuhan sosial Kebutuhan sosial berkaitan dengan komunikasi dan interaksi sosial dengan orang lain, baik di lingkungan keluarga, lingkungan ketetanggaan, sekolah dan lingkungan kerja. Kemudian, Maslow (wikipedia, 2015), mengemukakan kebutuhan dasar manusia, yaitu: a. Kebutuhan fisiologis (physological), meliputi kebutuhan pangan, pakaian dan tempat tinggal maupun kebutuhan biologis. b. Kebutuhan keamanan dan keselamatan (safety), meliputi kebutuhan keamanan kerja, kemerdekaan dari rasa takut ataupun tekanan, keamanan dari kejadian atau lingkungan yang mencekam. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 19 c. Kebutuhan rasa memiliki dan kasih sayang (social), meliputi kebutuhan terhadap persahabatan, berkeluarga, berkelompok dan interaksi. d.Kebutuhan terhadap penghargaan (esteem), meliputi kebutuhan harga diri, status, martabat, kehormatan, dan penghargaan dari pihak lain. e. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization), meliputi kebutuhan memenuhi keberadaan diri (selffulfillment) dengan memaksimumkan penggunaan kemampuan dan potensi diri. 3. Memecahkan masalah Kemampuan memecahkan masalah berkaitan dengan aspek afektif, kognitif dan psikomotorik seseorang dalam mengatasi masalah yang dihadapi, tanpa menunggu bantuan orang lain. Korban yang telah memperoleh rehabilitasi sosial diharapkan dapat memecahkan masalah yang dihadapi tanpa tergantung kepada orang lain. Selanjutnya, di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, ditegaskan bahwa rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk, yaitu: 1. Motivasi dan diagnosis psikososial; 2. Perawatan dan pengasuhan; 3. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; 4. Bimbingan mental spiritual; 5. Bimbingan fisik; 6. Bimbingan sosial dan konseling psikososial; 7. Pelayanan aksesibilitas; 8. Bantuan dan asistensi sosial; 9. Bimbingan resosialisasi; 10.Bimbingan lanjut; dan/atau 11.Rujukan. Rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza dapat menggunakan sistem dasar (basic system) dalam intervensi 20 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza pekerjaan sosial. Menurut Pincus dan Minahan (Suradi, 2012), ada empat sistem dasar dalam intervensi pekerjaan sosial, yaitu: 1. Sistem klien (client system) Sistem klien adalah seseorang yang akan memperoleh pelayanan atas dasar kesepakatan bersama dengan pekerja sosial, untuk memecahkan masalah yang dihadapi. 2. Sistem pelaksana perubahan (change agen system) Pekerja sosial dan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial merupakan sistem pelaksana perubahan, yang karena kewenangannya melaksanakan pelayanan bagi klien dalam rangka pemecahan masalah dan pemulihan fungsi sosial. 3. Sistem target (target system) Sistem target adalah individu, keluarga, kelompok dan atau lembaga yang membantu memberikan kemudahan dalam rangka pemecahan masalah dan pemulihan fungsi sosial klien. 4. Sistem kegiatan (action system) Seorang profesional atau institusi sebagai mitra dan jejaring kerja yang terlibat secara langsung dalam proses pemecahan masalah dan pemulihan fungsi sosial klien. Rehabilitasi sosial dilaksanakan melalui tahapan kegiatan. Sesuai dengan Stardar Rehabilitasi Sosial (Kemsos, 2012), tahapan rehabilitasi sosial bagi korban penyelahgunaan napza, yaitu: 1. Pendekatan awal Pada tahap ini dilaksanakan kegiatan sosialisasi, konsultasi, identifikasi, motivasi, seleksi dan penerimaan. 2. Pengungkapan dan pemahaman masalah Merupakan kegiatan mengumpulkan, menganalisis, merumuskan masalah, kebutuhan, potensi dan sumber yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial, spiritual dan budaya. 3. Menyusun rencana pemecahan masalah Kegiatan penyusunan rencana pemecahan masalah berdasarkan hasil pengungkapan dan pemahaman masalah, Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 21 yang meliputi penentuan tujuan, sasaran, kegiatan, metode, strategi dan teknik, tim pelaksana, waktu pelaksanaan dan indikator keberhasilan. 4.Resosialisasi Kegiatan menyiapkan lingkungan pendidikan dan lingkungan kerja. sosial, lingkungan 5.Terminasi Kegiatan pengakhiran rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza. Terminasi dapat dilakukan dalam hal (a) korban telah selesai mengikuti rehabilitasi sosial, (b) keinginan korban sendiri untuk tidak melanjutkan rehabilitasi sosial, (c) korban meninggal dunia, dan (d) keterbatasan lembaga rehabilitasi sosial, sehingga diperlukan rujukan. 6. Pembinaan lanjut Pembinaan lanjut ditujukan bagi korban yang sudah selesai mengikuti rehabilitasi sosial. Pembinaan lanjut bertujuan agar korban mampu (a) melaksanakan fungsi sosialnya, (b) menjaga kepulihan, (c) mengembangkan kewirausahaan untuk mencapai kemandirian ekonomi, dan (d) menciptakan lingkungan keluarga dan lingkungan sosial secara kondusif. Pembinaan lanjut ditujukan bagi korban penyalahgunaan napza yang telah selesai direhabilitasi sosial yang meliputi berbagai kegiatan, yaitu: a. Penguatan potensi diri (minat, bakat, motivasi) dan pemeliharaan kepulihan. b. Informasi dan konsultasi. c. Kerja dan atau pendidikan. d. Rumah usaha (UEP). e. Pendampingan (individu/kelompok). f. Pembinaan keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar. C. KAPASITAS LEMBAGA REHABILITASI SOSIAL Salah satu sistem yang dikembangkan di Indonesia dalam penanganan korban penyalahgunaan napza, yaitu sistem institusional. Pada sistem institusional ini, korban dalam jangka waktu tertentu 22 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza tinggal di sebuah lembaga untuk memperoleh pelayanan dan bantuan dari tim profesional agar pulih dari pengaruh napza. Lembaga dimaksud dikenal dengan lembaga rehabilitasi sosial. Kementerian Sosial (2014) memberikan definisi, bahwa lembaga rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza adalah lembaga yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau masyarakat, guna menyelenggarakan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Sebagai sebuah lembaga pelayanan profesional bagi korban penyalahgunaan napza, maka lembaga rehabilitasi sosial dituntut untuk memenuhi standar lembaga pelayanan, yaitu: status lembaga, visi dan misi lembaga, program pelayanan, struktur organisasi, sumber daya manusia baik tenaga administrasi, tenaga teknis dan penunjang; sarana dan prasarana baik hardware maupun software, ketersediaan dana, manajemen pengelolaan dan pertanggungjawaban (Kemensos, 2014). Hal ini perlu diketahui oleh masyarakat secara luas, agar korban penyalahgunaan napza yang memerlukan pelayanan dan bantuan untuk pemulihan, memperoleh pelayanan yang tepat dan tuntas. Unsur-unsur di dalam standar lembaga rehabilitasi sosial tersebut merupakan sumber daya yang dimiliki oleh sebuah lembaga yang siap untuk digunakan. Sedangkan kapasitas, merupakan kemampuan lembaga tersebut untuk mendayagunakan sumber-sumber yang tersedia untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan. Pengertian kapasitas sebenarnya lebih banyak digunakan dalam bidang ekonomi, khususnya unit-unit produksi yang menghasilkan barang dan jasa. Sebagaimana dikemukakan oleh McNair (Mutiara, 2015), bahwa kapasitas merupakan sumber daya yang dimiliki perusahaan yang siap untuk digunakan dan dapat menggambarkan potensi keuntungan yang akan didapatkan oleh perusahaan pada masa mendatang. Kemudian, menurut Chase (Mutiara, 2015), kapasitas didefinisikan sebagai kemampuan pengelolaan Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 23 sumberdaya yang ada untuk menghasilkan hasil akhir yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dalam kerangka waktu tertentu. Berdasarkan definisi dan pengertian tersebut dalam konteks IPWL sebagai lembaga rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza, kapasitas adalah kemampuan IPWL dalam proses rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza melalui pemberian bantuan dan pelayanan profesional, sehingga korban penyalahgunaan napza mencapai kepulihan dan mampu melaksanakan keberfungsian sosialnya. Kemampuan berfungsi sosial dimaksud ditandai dengan kemampuan dalam melaksanakan peranan, memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah dan aktualisasi diri. Kemudian, terciptanya lingkungan sosial yang mendukung keberhasilan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza. Berdasarkan kajian pustaka, maka kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut: Gambar 1: Kerangka Pikir Penelitian, 2015. 24 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza BAB III KAPASITAS IPWL DI YOGYAKARTA A. GAMBARAN UMUM LOKASI Provinsi D.I. Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di pulau jawa. Tepatnya terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah, dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Sumadera Hindia. Provinsi ini memiliki lima kabupaten/kota, yakni Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Wates, Kabupaten Wonosari, dan Kabupaten Bantul. Masing-masing kabupaten/kota memiliki kekhasan sendiri-sendiri secara sosial budaya. Dari lima kabupaten/ kota yang ada, kabupaten yang memiliki banyak kesamaan secara sosial budaya, dan infrastruktur ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman. Secara keseluruhan, Provinsi DI. Yogyakarta dikenal di tingkat nasional dan internasional sebagai tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi Bali. Selain itu, DI Yogyakarta dikenal pula sebagai kota pelajar, dan kota budaya. Pada saat ini terdapat 5.071 lembaga pendidikan setingkat TK - SLTA dan 131 lembaga perguruan tinggi. Siswa yang sekolah dan kuliah di DI Yogyakarta berasal dari berbagai daerah di wilayah Indonesia, dan bahkan berasal dari berbagai negara asing. Kehadiran siswa dan mahasiswa dari luar DI Yogyakarta tersebut tentu membawa serta kebudayaan dan cara hidup mereka. Kebudayaan dari dalam dan dari luar DI Yogyakarta melahirkan cara-cara hidup baru. Permasalahannya, cara-cara hidup baru tersebut ada yang tidak sesuai dengan nilai, norma dan standar sosial yang berlaku dalam kehidupan sosial kemasyarakat. Salah satu bentuk permasalahan itu, yakni penyalahgunaan narkoba atau napza. Penyalahgunaan napza di DI Yogyakarta pada tahun 2013 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 25 mencapai 87.473 orang. Penyalahgunanya didominasi oleh generasi muda, pelajar, dan mahasiswa. Angka tersebut diperkirakan akan mengalami peningkatan setiap tahun, dan diprediksi pada tahun 2015 menjadi lebih 100.000 orang. Alasan penggunanya pun beragam, dari sekedar coba-coba sampai pada yang memang sengaja mencari pelampiasan dan pelarian dari himpitan persoalan. Angka prevalensi penyalahgunaan napza di DI Yogyakarta, sebagaimana tampak pada gambar berikut: Sumber: Badan Narkotika Nasional Provinsi DI Yogyakarta, 2013. Ket: *) angka hasil estimasi. Penyalahgunaan napza di DI Yogyakarta tidak hanya terjadi di ibu kota provinsi, tetapi juga terjadi di kabupaten-kabupaten lain. Sehingga tidak ada satupun kabupaten/kota di wilayah Provinsi DI Yogyakarta yang luput dari kasus penyalahgunaan napza. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional Provinsi DI Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, merupakan kabupaten/kota yang memiliki kasus penyalahgunaan napza signifikan dibandingkan dengan kabupaten lain, sehingga ketiga kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai Daerah Rawan I. Penetapan Daerah Rawah I ini di dasarkan pada jumlah kasus dan jenis napza yang disalahgunakan. Wilayah rawan penyalahgunaan 26 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza napza di provinsi DI Yogyakarta, sebagaimana tampak pada gambar berikut: Gambar 3 : Wilayah Rawan Penyalahgunaan Napza di Provinsi DI Yogyakarta. Pemerintah Daerah Provinsi DI Yogyakarta, memberikan respon yang sungguh-sungguh terhadap penanganan penyalahgunaan napza dengan diterbitkannya peraturan-peraturan berkaitan dengan penanggulangan penyalahgunaan napza. Peraturan-peraturan dimaksud, yakni: Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 27 a. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Terhadap Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. b. Peraturan Gubenur DI Yogyakarta Nomor 9 Tahun 2014 tentang Forum Koordinasi Pencegahan dan Penanggulangan Terhadap Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif c. Peraturan Gubenur Nomor 20 Tahun 2014 tentang Penegakan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010. Selain itu, adanya Peraturan Gubenur DIY Nomor 97 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Institusi Penerima Wajib Lapor Bagi Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif. Meskipun demikian, peraturan-peraturan tersebut belum cukup efektif sebagai instrumen hukum dalam penanggulangan penyalahgunaan napza di DI Yogyakarta. Hal ini apabila dikaitkan dengan kecenderungan peningkatan angka korban penyalahgunaan napza dari tahun ke tahun. Tersedianya instrumen hukum tersebut, memang memerlukan kesiapan sumber daya manusia untuk menterjemahkannya ke dalam kegiatan-kegiatan operasional. Jika tidak, maka instrumen hukum tersebut tidak memiliki fungsi dalam rangka penanggulangan penyalahgunaan napza. Khusus Kabupaten Sleman yang menjadi lokasi penelitian ini, merupakan kabupaten yang berbatasan langsung dengan ibu kota Provinsi DI Yogyakarta, sehingga menjadi kabupaten penyangga. Kabupaten Sleman termasuk salah satu kabupaten yang dikenal pula sebagai kota pelajar, kota budaya dan kota wisata. Kabupaten ini memiliki penduduk yang heterogen dilihat dari kondisi suku bangsa. Suku bangsa yang ada di Kabupaten Sleman, antara lain Suku Jawa, Sunda, Melayu, Tionghoa, Minangkabau, Bali, Madura, Banjar, Bugis, Banten dan Betawi. Selain itu, Kabupaten Sleman merupakan daerah bertemunya para siswa, mahasiswa dan kaum migran serta wisatawan dari berbagai wilayah di Indonesia dan mancanegara. 28 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Kebupaten Sleman dengan penduduk dan sosial budaya yang majemuk, di satu sisi merupakan potensi bagi pengembangan perekonomian dan sosial budaya. Namun demikian, pada sisi yang lain permasalahan sosial angkanya juga cukup signifikan, antara lain korban penyalahgunaan napza dan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Berdasarkan data BNN Kabupaten Sleman, secara umum semua wilayah di Sleman rawan narkoba. Jumlah kasus pengguna narkoba di Sleman saat ini sudah mencapai 24.000 orang, dan sebagian besar dari mereka berusia antara 15 - 39 tahun. Menurut Kuntadi, Kepala BNN Kabupaten Sleman, tingginya angka penyalahgunaan narkoba disebabkan banyak terdapat perguruan tinggi, kost-kostan hingga tempat hiburan. Untuk itu, bagi pengedar ini merupakan jalur strategis. Kecamatan Depok, Gamping, Mlati dan Ngaglik merupakan kecamatan yang mendominasi lokasi penyalahgunaan narkoba (Krjogja.com, 2015). Berkaitan dengan hal tersebut, ditegaskan oleh Kuntadi, Kepala BNN Kabupaten Sleman bahwa Kabupaten Sleman, dinilai rentan dengan kasus peredaran narkoba, dan bahkan terkorelasi secara erat dengan penyebaran virus HIV/AIDS (Antara Jogja, 2015). Kemudian, ditegaskan oleh Mulyanto, Kepala Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten bahwa faktor risiko HIV/ADIS di Kabupaten Sleman dari 2004 - 2014 untuk narkotik suntik berjumlah 80 orang, dan 44 persen pengguna narkoba suntik (penasun) pernah berhubungan seks dengan wanita pekerja seks (Antara Jogja, 2015). Berdasarkan data tersebut, maka menurut Yuni Setia Rahaya, wakil Bupati Sleman tingginya kasus HIV/AIDS di Sleman, satu di antaranya diduga akibat penyalahgunaan narkoba, terutama di kalangan generasi muda (lifestyle.okezone.com, 2013). Hal ini menunjukkan, bahwa ada korelasi positif antara penyalahgunaan napza dengan penyebaran HIV/AIDS yang memerlukan perhatian semua pihak. Selanjutnya, Pemda Kabupaten Sleman dipilih Badan Narkotika Nasional Provinsi di Yogyakarta sebagai pilot project Program Rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan napza. Terpilihnya Kabupaten Sleman sebagai pilot project ini di dasarkan pada Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 29 komitmen Pemda dalam penanggulangan korban napza, dan tersedianya fasilitas rehabilitasi medis maupun sosial. Pusat rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan napza, yang kemudian diperkenalkan dengan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di Kabupaten Sleman, yaitu (1) IPWL binaan kementerian Kesehatan: (rehabilitasi medis) Rumah Sakit Grasia, Rumah Sakit Bayangkara, dan RSUP dr. Sardjito; dan (2) IPWL binaan Kementerian Sosial (rehabilitasi sosial): Panti Sosial Permadi Putra Yogyakarta, Lembaga Rehabilitasi Kunci, Yayasan Yayasan IndoCharis, dan Yayasan Gria Pemulihan Siloam. Tersedianya lembaga rehabilitasi medis maupun sosial tersebut tentu menjadi modal utama dalam kerangka kebijakan penanggulangan penyalahgunaan napza di Kabupaten Sleman. Tentunya di dalam lembaga tersebut dilengkapi dengan sumber daya manusia, dan sarana prasarana yang memenuhi standard rehabilitasi medis maupun sosial. Untuk merealisasikan pilot project tersebut, dibentuk Tim Asesmen Terpadu yang terdiri unsur POLRI, Kejaksaan, Kementeria Hukum dan HAM, Badan Narkotika Nasional Provinsi, Rumah Sakit Ghrasia, Rumah Sakit Bhayangkara, dan Panti Sosial Pamardi Putra. Tim Asesmen Terpadu yang telah bersertifikasi asesor ini memiliki wewenang untuk: a.Atas permintaan penyidik untuk melakukan analisis peran seseorang yang ditangkap atau tertangkap tangan sebagai korban penyalahgunaan narkotika, pecandu narkotika atau pengedar narkotika. b.Menentukan kriteria tingkat keparahan pengguna narkotika sesuai dengan jenis kandungan yang dikonsumsi, situasi dan kondisi ketika ditangkap pada tempat kejadian perkara. c. Merekomendasikan rencana terapi dan rehabilitasi terhadap pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika sebagaimana dimaksud di atas. 30 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza B. PENGENALAN RESPONDEN Identitas responden dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Korban / Residen Berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 90 persen laki-laki dan sebanyak 10 persen perempuan. Kemudian, berdasarkan kelompok usia, hampir seluruh responden termasuk kelompok usia produktif, sebagaimana tampak pada tabel berikut: Tabel 5. Responden Menurut Usia No Kelompok Usia Frekuensi Persentase 7 17.5 1 <18 2 18 - 39 22 55 3 40 - 59 11 27.5 40 100 Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2015 Berdasarkan data pada tabel tersebut, respon kelompok usia anak jumlahnya tidak signifikan, yaitu tujuh orang atau 17.5 persen. Meskipun demikian, angka tersebut menunjukkan, bahwa penyalahgunaan napza di Provinsi DI Yogyakarta dan khususnya di Kabupaten Sleman, sudah menjangkau kelompok anak. Kemudian berjumlah 22 orang (55%) responden termasuk kelompok usia dewasa muda (18-39 tahun), di mana pada kelompok ini seseorang berada pada fase yang masih labil. Mereka itu belum cukup matang dalam membuat penilaian dan keputusan menyakut diri dan keluarga, dan masih mudah dipengaruhi oleh lingkungan di sekitaranya. Kemudian, responden menurut pendidikan sebagaimana tampak pada tabel berikut: Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 31 Tabel 6: Responden Menurut Pendidikan No Pendidikan yg ditamatkan 1 SD 2 Frekuensi Persentase 1 2,5 SLTP 10 25 3 SLTA 24 60 4 Sarjana 5 12,5 40 100 Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2015 Dari tabel tersebut di atas diketahui, bahwa pendidikan responden merentang dari pendidikan SD sampai dengan sarjana. Hal ini memperkuat informasi yang diberedar di masyarakat, bahwa penyalahgunaan napza terjadi pada semua jenjang pendidikan. Berdasarkan data pada tabel terebut, responen yang berpendidikan menengah ke atas (SLA - Sarjana), frekuensinya lebih besar di bandingkan dengan responden dengan pendidikan SLP ke bawah (SLP – SD). Kemudian, dilihat dari jenis pekerjaan, 65 persen responden tidak memiliki pekerjaan dan sebagian besar dari mereka statusnya sebagai pelajar dan mahasiswa. Sedangkan sebanyak 35 persen, memiliki pekerjaan sebagai buruh/karyawan swasta, kuli bangunan dan wiraswasta. Kemudian dilihat dari tempat tinggal sebelum menjadi korban penyalahgunaan napza, sebesar 57,14 persen tinggal bersama famili dan 42,86 persen tinggal satu rumah dengan orang tuanya. Data ini membuktikan, bahwa anak yang diasuh dan tinggal bersama famili lebih berisiko menjadi korban penyalahgunaan napza, dibandingkan dengan anak yang tinggal bersama orang tuanya. Data isi juga mempertegas kembali, bahwa eksistensi keluarga yang tidak dapat digantikan oleh lembaga lain dalam proses tumbuh kembang anak. Dilihat dari keutuhan orang tua korban, maka diperoleh informasi ada orang tua korban sudah meninggal, masih utuh, cerai dan pisah rumah (tidak harmonis). Kondisi keutuhan orang tua korban sebagaimana disajikan pada tabel berikut: 32 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Tabel 7. Responden Menurut Kondisi Keutuhan Orang Tua Korban No Kondisi Orang Tua Frekuensi Persentase 1 Bapak atau Ibu meninggal 17 42,5 2 Utuh 15 37,5 3 Cerai 6 15 4 Pisah Rumah 2 5 100 100 Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2015 Berdasarkan data pada tabel tersebut, korban dengan orang tua tunggal (bapak atau ibunya meninggal), presentasenya paling tinggi dibandingkan kondisi yang lain, yaitu 42.5 persen. Kemudian, menyusul pada keluarga utuh dengan persentase 37.5 persen. Data ini membuktikan, bahwa keluarga yang secara fisiologis kelihatan utuh, tidak menjamin anggota keluarganya tidak menjadi korban penyalahgunaan napza. Hal ini sangat bergantung pada harmonisasi sosial di dalam keluarga. Pada keluarga yang kurang atau tidak harmonis (cerai dan pisah rumah), presentase korban pun cukup signifikan, yaitu sebesar 20 persen. Data ini membuktikan, bahwa situasi keluarga yang secara sosial psikologis tidak memberikan ketenteraman dan kenyamaman bagi anggotanya, mendorong anggota keluarga itu untuk menyalahgunaan napza. 2. Orang Tua Korban / Residen Responden orang tua atau keluarga korban sebagian besar tinggal di luar Kabupaten Sleman, dan bahkan tidak sedikit yang tinggal di luar pulai jawa. Pada penelitian ini berhasil diwawancarai 14 orang responden orang tua atau keluarga korban. Dilihat dari pendidikan, orang tua korban penyalahgunaan napza yang memiliki pendidikan tinggi (menamatkan D3 dan Sarjana), yaitu sebesar sebesar 5 (lima) orang atau 35,37 persen; pendidikan menengah (SLA) sebesar 8 (delapan) atau Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 33 57,14 persen dan pendidikan rendah (SD) satu orang. Kondisi pendidikan orang tua korban ini memberikan informasi, bahwa korban penyalahgunaan napza dapat terjadi pada keluarga pendidikan rendah sampai dengan pendidikan tinggi. Pada orang tua dengan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, jumlah korban lebih besar dibandingkan dengan pendidikan rendah. Selanjutnya dilihat dari jenis pekerjaan, dari 14 orang tua korban, yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil, karyawan swasta dan wirausaha dengan frekuensi sama, yaitu 4 (empat) orang, dan untuk jenis pekerjaan ‘pensiunan’ berjumlah 2 (dua) orang. Pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil, karyawan swasta dan wirausaha, merupakan jenis-jenis pekerjaan yang memerlukan waktu lebih banyak di luar rumah. Hal ini diduga memengaruhi frekuensi dan kualitas relasi sosial antara orang tua dengan anak, sehingga mengakibatkan anak mencari komunitas di luar rumah untuk memperoleh kebutuhan sosial. 3. Petugas IPWL Sumber daya manusia di IPWL terdiri dari petugas administrasi dan petugas teknis. Masing-masing dari petugas tersebut diambil satu orang sebagai responden dalam penelitian yang mewakili IPWL. Secara garis besar responden dan tugas IPWL dibedakan menjadi tiga, yaitu petugas administrasi, petugas teknis dan tenaga penunjang. Petugas administrasi adalah orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas administrai umum atau perkantoran. Petugas teknis, adalah orang-orang yang melaksanakan kegiatan teknis tekait dengan proses rehabilitasi medis maupun sosial bagi korban penyalahgunaan napza. Kemudian, petugas penunjang adalah orang-orang yang melaksanakan kegiatan terkait dengan permakanan korban, kebersihan, kenyamanan dan keamanan IPWL. a. Petugas Administrasi Petugas administrasi di dalam penelitian ini, yaitu orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas adminitrasi, yakni: kepala 34 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza lembaga, sekretaris atau staf administrasi umum senior. Pada penelitian ini, petugas administrasi yang menjadi informan, yaitu kepala-kepala IPWL yang dibantu oleh staf administrasi umum. Wawancara dilakukan dengan Kepala IPWL (Siloam, Kunci dan IndoCharis) dan kepala sub bagian tata usaha (PSMP Yogyakarta), dibantu staf administrasi umum dalam menyiapkan data sekunder (dokumen-dokumen) yang diperlukan peneliti. Reponden sudah berpengalaman lebih 5 (lima) tahun sebagai pimpinan lembaga, berpengalaman mengikuti palatihan dan pemantapan IPWL, dan aktif menjadi anggota forum peduli pananggulangan napza. Pengalaman-pengalaman tersebut yang sangat membantu dalam proses penggalian data dan informasi terkait dengan aspek kelembagaan IPWL. b. Petugas Teknis Petugas teknis di dalam penelitian ini, yaitu orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas teknis pelayanan dan rehabilitasi, yakni: pekerja sosial, kanselor adiksi, dokter, para medik, psikiater, psikolog, pembimbing rohani, instruktur keterampilan, tenaga kesejahteraan sosial. Dilihat dari status kepegawaiannya, petugas teknis tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu petugas tetap dan petugas tidak tetap. 1)Petugas Tetap Petugas tetap adalah orang-orang yang sudah menjadi pegawai tetap IPWL. Mereka masuk di dalam kepegawaian, memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas dan pasti, memperoleh fasilitas yang disediakan lembaga dan mendapatkan gaji serta insentif lain yang menjadi kebijakan IPWL. Pada penelitian ini, pekerja sosial, kanselor adiksi, tenaga kesejahteraan sosial, para medik dan pembimbing rohani, merupakan petugas-petugas yang termasuk petugas tetap pada keempat IPWL. Pada IPWL PSMP, selain petugaspetugas yang termasuk petugas tetap, yakni instruktur keterampilan dan para medik. Sebagai catatan, bahwa pekerja sosial di IPWL adalah orang-orang yang pernah Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 35 mengikuti pemantapan pekerjaan sosial adiksi, tetapi mereka belum tersertifikasi sebagai pekerja sosial. 2)Petugas tidak tetap Petugas tidak tetap adalah orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas di IPWL sesuai dengan keahliannya, tetapi mereka bukan sebagai pegawai tetap IPWL. Penugasan mereka di IPWL melalui bentuk kerjasama antara IPWL dengan lembaga (dimana ahli tersebut bekerja) atau kerjasama secara individual. Petugas tidak tetap dalam penelitian ini, yaitu dokter, psikolog, psiakter, dan para medik serta instruktur keterampilan (kedua petugas terakhir kecuali di PSMP sudah menjadi petugas tetap). Petugas-petugas teknis tersebut sudah bekerjasama dengan IPWL rata-rata lebih 4 (empat) tahun. Pengalaman tersebut ditambah dengan keikutsertaannya dalam workshop, diskusi dengan pengurus IPWL dan sharing pengalaman dengan petugas teknis lain selama proses rehabilitasi, merupakan faktor yang banyak membantu dalam proses pengumpulan data dan informasi terkait dengan rehabilitasi medis maupun sosial. c. Tenaga Penunjang Tenaga penunjang adalah orang-orang yang melaksanakan tugas untuk penujang pelayanan dan rehabilitasi bagi korban (korban). Tenaga penunjang dimaksud, yakni tenaga permakanan, tenaga kebersihan dan tenaga keamanan IPWL. Seluruh tenaga penujang di 4 (empat) IPWL, merupakan tenaga tetap IPWL. Mereka sudah bekerja di IPWL ratarata lebih dari 5 (lima) tahun, sehingga sudah banyak pengalaman di bidangnya. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa tenaga penunjang ini ikut menentukan proses dan keberhasilan pelayanan dan rehabilitasi di IPWL. Karena kegiatan yang mereka laksanakan berkaitan dengan aspek biologis (fisiologis), psikologis dan sosial korban penyalahgunan napza (korban) di IPWL. Pengalaman dan kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas penunjang tersebut, merupakan faktor yang membantu penelitian dalam 36 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza proses pengumpulan data dan informasi terkait pelayanan dan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan napza. 4.Masyarakat Responden yang mewakili masyarakat, yakni ketua RT/RW, guru dan tokoh agama yang berada di sekitar lokasi IPWL. Pada penelitian ini, berhasil ditemui 7 (tujuh) orang tokoh masyarakat, dan dari mereka dihimpun informasi-informasi yang berkaitan dengan kegiatan IPWL. Pengenalan terhadap tokoh masyarakat, dapat dijelaskan bahwa (1) berdasarkan tingkat pendidikan, sebanyak 5 (lima) orang berpendidikan SLTA dan 2 (dua) orang berpendidikan sarjana, dan (2) berdasarkan usia, mereka masih termasuk usia produktif, yakni berusia antara antara 29 - 52 tahun. Identitas tokoh masyarakat tersebut tentu membantu proses penggalian informasi yang obyektif berkaitan dengan penyalahgunaan napza dan rehabilitasi sosial di IPWL. 5. Instansi terkait Instansi terkait di dalam penelitian ini adalah Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman dan BNNK Sleman. Adapun yang menjadi informan di dalam instansi-instansi tersebut, yaitu: a. Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Penyalahgunaan Napza pada Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, b. Kasie Rehabilitasi BNNP Daerah Istimewa Yogyakarta c. Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial pada Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman. d. Kepala Seksi pada BNNK Sleman. C. KOMPONEN PROGRAM 1.Kelembagaan Pada kelembagaan ini dilihat organisasi IPWL yang meliputi status lembaga, visi dan misi dan struktur organisasi. Hasil penelitian berhasil mengumpulkan informasi, bahwa dari 4 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 37 (empat) IPWL yang diteliti, yaitu Panti Sosial Pamardi Putra, Griya Pemulihan Siloam, Yayasan IndoCharis dan Lemabga Rehabilitasi Kunci, yang berstatus sebagai institusi pemerintah adalah Panti Sosial Pamardi Putra. Tiga lembaga yang lain berstatus sebagai lembaga swasta atau milik masyarakat dalam bentuk yayasan sosial keagamaan (Kristen). Semua IPWL telah memiliki visi dan misi yang dapat dibaca di papan informasi maupun di dalam brosur dan buku profil lembaga, sebagai berikut: a. Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Lembaga ini memiliki visi mewujudkan kondisi korban penyalahgunaan napza yang sehat, bersih, produktif melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial. Visi tersebut dioperasional ke dalam sejumlah misi, yaitu: (1) menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza, (2) sebagai institusi wajib lapor bagi korban penyalahgunaan napza, (3) memperluas jaringan koordinasi dengan dinas/ instansi/lembaga terkait serta yayasan/orsos yang menangani penyalahgunaan napza, (4) memperluas rujukan baik pada tahap pra rehabilitasi, tahap proses rehabilitasi maupun pasca rehabilitasi, (5) meningkatkan peran serta masyarakat dalam penanganan penyalahgunaan napza, dan (6) menjadi pusat pelatihan, penelitian, pengembangan bagi tenaga kesejahteraan sosial pemerintah, maupun tenaga kesejahteraan sosial masyarakat. Selain memiliki visi dan misi, lembaga ini juga sudah memiliki struktur organisasi yang baku. b. Yayasan IndoCharis Lembaga ini memiliki visi membangun manusia yang terabaikan dengan sentuhan. Visi tersebut dioperasionalkan ke dalam misi, yaitu: menjalankan kegiatan-kegiatan di bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan dengan komitmen untuk eksis menyatakan kasih Allah kepada manusia sebagai sentral utamanya, tanpa memandang suku, agama, budaya, jenis kelamin, warna kulit, status ekonomi dan idiologi. 38 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza c. Lembaga Pemulihan Siloam Lembaga ini memiliki visi membawa generasi muda ke dalam kehidupan yang lebih baik serta menjawab panggilan Tuhan untuk melayani, memenangkan dan percaya kepada Tuhan (Matius: 19-20). Visi tersebut dioperasionalkan ke dalam sejumlah misi, yaitu: (1) memuliakan hubungan dengan Allah, diri sendiri, keluarga dan masyarakat, (2) menumbuhkan dan mengembalikan kepercayaan diri di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, (3) membentuk karakter dan mendewasakan kehidupan rohani yang berpusatkan pada kristus, (4) menolong generasi muda dalam mengatasi masalah ketergantungan napza dan masalah bawaannya seperti: HIV-AIDS, skizofrenia, (5) mengentaskan masalah anak dan perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, hamil di luar nikah, narapidana perempuan, dan (6) membina dan mendampingi warga binaan pemasyarakatan/narapidana) dan keluarganya. d. Yayasan Rehabilitasi Kunci Lembaga ini memiliki visi mercapai kualitas kehidupan yang sehat bagi seluruh korban penyalahguna napza, sehingga mampu memenuhi target profesionalitas yang tinggi. Visi tersebut dioperasionalkan dalam misi, yaitu: (1) membantu semua orang yang ingin bebas dari masalah penyalahgunaan dan ketergantungan pada narkoba, dan (2) meningkatkan kualitas hidup dan kualitas kepribadian dengan menciptakan kesempatan dan harapan baru demi penyempurnaan hidup selaras citra penciptaan. Sebagai sebuah lembaga, keempat IPWL memiliki struktur organisasi, yang di dalam struktur organisasi tersebut diisi dengan ketua, sekretaris, bendahara, bidang dan seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Struktur organisasi pada PSPP sebagai instansi pemerintah setingkat eselon III, lebih besar di bandingkan dengan ketiga lembaga lain, mengingat beban tugasnya cukup banyak. Struktur organisasi tersebut dilengkapi dengan uraian tugas, sehingga individu-individu yang mengisi jabatan di dalam Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 39 setiap bagian di dalam struktur organisasi, memahami tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Pengisian bagian di dalam struktur organisasi pada IPWL pemerintah (PSPP Yogyakarta), berdasarkan karier seseorang. Sementara itu, pada IPWL yang dikelola masyarakat, yaitu Yayasan IndoCharis, Lembaga Pemulihan Siloam dan Yayasan Rehabilitasi Kunci, pengisian orang di dalam struktur organisasi masih ada hubungan kekerabatan dan atau hubungan dalam organisasi keagamaan. 2.Sasaran IPWL memberikan pelayanan rehabilitasi sosial bagi seseorang yang menjadi korban penyalahgunaan napza. Korban/korban yang memperoleh pelayanan dan rehabilitasi di IPWL adalah mereka yang sudah memperoleh pelayanan medis dari rumah sakit Garsia. Jumlah korban penyalahgunaan napza yang memperoleh pelayanan rehabilitasi sosial di empat IPWL seluruhnya berjumlah 204 orang dengan rincian sebagaimana berikut: Tabel 8. Korban Penerima Rehabilitasi Sosial di Empat IPWL Jumlah Korban No. Nama IPWL Dalam Lembaga Luar Frekuensi Lembaga 1. PSPP Yogyakarta 40 - 40 2. Griya Pemulihan Siloam 60 - 60 3. Yayasan IndoCharis 50 30 80 4. Lembaga Rehabilitasi Kunci 24 - 24 Jumlah 174 30 204 Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Berdasarkan tabel tersebut, 4 (empat) IPWL yang mengimplementasikan sistem lembaga, yaitu itu IPWL PSPP Yogyakarta, Griya Pemulihan Siloam dan Lembaga Rehabilitasi Kunci. Sedangkan Yayasan IndoCharis, selain mengimplementasikan sistem lembaga, juga mengimplementasikan sistem luar lembaga. Langkah 40 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza yang dilakukan Yayasan IndoCharis tersebut sebagai strategi untuk memperbanyak menjangkau korban napza, Sebagaimana tampak pada tabel di atas, bahwa korban napza yang menjadi sasarannya lebih banyak dibandingkan dengan IPWL yang lain. 3. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia pada IPWL, dibedakan menjadi petugas administrasi dan petugas teknis. Termasuk ke dalam petugas administrasi, yaitu pimpinan lembaga dan staf yang mengerjakan kegiatan administrasi. Selanjutnya, termasuk ke dalam petugas teknis, yaitu pekerja sosial, kanselor adiksi, doter, psikiater, psikolog, pembimbing rohani, instruktur keterampilan, para medik, tenaga kesejahteraan sosial. Kondisi SDM pada IPWL tampak pada tabel berikut: Tabel 9. Petugas di IPWL yang menjadi Responden NO PETUGAS IPWL KETERANGAN (1) (2) (3) (4) 2 2 2 2 a. Pekerja Sosial 13 3 7 5 b.Konselor Adiksi 9 3 12 4 c.Dokter 1 1 1 1 d.Psikiater 2 1 1 1 e.Psikolog 3 2 2 3 f. Pembimbing Rohani 2 2 2 2 g.Instruktur Ketrampilan 3 3 3 3 h.Paramedik 2 1 1 1 i. Tenaga Kesejahteraan Sosial 1 1 1 1 j. Tenaga Penunjang 2 2 2 2 1. Petugas Administrasi 2. Petugas Teknis: Keterangan: (1) SPP Yogyakarta; (2). Griya Pemulian Siloam; (3). Yayasan IndoCharis; (4). Lembaga Rehabilitasi Kunci. Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 41 Data Tabel 6 tersebut di atas menunjukkan, bahwa tenaga administrasi IPWL masih terbatas, di mana seluruh IPWL memiliki tenaga administrasi masing-masing berjumlah 2 (dua) orang. Padahal, tugas-tugas di bidang adinistrasi ini cukup banyak berkaitan dengan urusan kerumahtanggaan, personalia, surat menyurat dan keuangan. Dengan jumlah tenaga administrasi berjumlah 2 (dua) orang, menggambarkan perangkapan tugas pada tenaga administrasi tersebut. Pada pedoman standar kelembagaan, memang belum diatur standar minimal tenaga administrasi ini dibandingkan dengan jumlah penerima manfaat. Tetapi, 2 (dua) orang tenaga administrasi dibandingkan dengan jumlah penerima manfaat rata-rata 50 orang, menjadikan beban tugas tenaga administrasi ini cukup berat. Selanjutnya mengenai pekerja sosial, di dalam pedoman disebutkan, bahwa rasio pekerja sosial dengan korban 1: 9. Jadi dari IPWL yang diteliti, Lembaga Rehabilitasi Kunci yang sudah memenuhi standar. Pada PSPP Yogayakarta cukup diperlukan 5 (lima) orang pekerja sosial, sehingga kelebihan pekerja sosial 8 (delapan) orang. Sementara itu, pada IPWL GP Siloam kekurangan 7 (tujuh) orang pekerja sosial, dan IndoCharist kekurangan 2 (dua) orang pekerja sosial. Kemudian mengenai kanselor adiksi, di dalam pedoman disebutkan, bahwa rasio pekerja sosial dengan korban 1: 10. Jadi dari IPWL yang diteliti, Lembaga Rehabilitasi Kunci yang sudah memenuhi stnadar. Pada PSPP Yogayakarta cukup diperlukan 4 (empat) orang pekerja sosial, sehingga kelebihan konselor adiksi 5 (lima) orang, IndoCharist kelebihan 4 (empat) orang, dan Lembaga Rehabilitasi Kunci kelebihan satu orang. Sementara itu, pada IPWL GP Siloam kekurangan 3 (tiga) orang kanselor adiksi. Pada pelaksanaan kegiatan, belum tersedia pedoman yang membedakan secara tegas perbedaan ranah kegiatan pekerja sosial dengan kanselor adiksi. Pada kedua tenaga teknis tersebut berpotensi terjadi tumpang tindih. Bahkan pada IPWL yang 42 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza kekurangan pekerja sosial, kanselor adiksi melaksanakan tugastugas pekerja sosial. Kemudian, kanselor adiksi tersebut direkrut dari mantan korban penyalahguna napza tanpa mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan profesionalitasnya di bidang konseling dan pendampingan. Padahal, untuk melaksanakan tugas konseling dan pendampingan diperlukan pendidikan profesi yang khusus (seperti, ilmu kesejahteraan sosial dan atau psikologi). Tugas kaselor adiksi tersebut sebenarnya merupakan salah satu tugas pekerja sosial profesional. Tenaga teknis lain, seperti psikolog, psikiater, dokter, paramedis, pembimbing rohani, dan instruktur keterampilan, sudah ada di semua IPWL. Untuk tenaga psikolog, psiater dan dokter, sebagian besar IPWL mendapatkan melalui bentuk kerjasama dengan perguruan tinggi (seperti UGM), rumah sakit (seperti Rumah Sakit dr. Sardjito, Rumah Sakit Jiwa Grhasia, dan Rumah Sakit Panti Rapih) dan lembaga profesi. Sedangkan pembimbing rohani dan instruktur keterampilan, pada umumnya tenaga yang ada di IPWL. Semua IPWL memiliki tenaga kesejahteraan sosial atau relawan sosial, masing-masing satu orang. Tetapi apabila dilihat tugasnya lebih banyak membantu tenaga adinistrasi dan penunjang. Oleh karena itu, TKS/relawan sosial ini seyogyanya tidak menjadi unsur tenaga yang ada di dalam IPWL. 4. Sarana Prasana Sarana prasarana dibadi menjadi dua, yaitu sarana prasarana fisik dan instrumen teknis rehabilitasi sosial. Pada empat IPWL yang diteliti, semuanya menempati sebuah gedung kantor sebagai pusat kegiatan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza. Dari empat IPWL, Lembaga Pemulihan Siloam menempati gedung kantor dengan status kontrak. Sementara itu, tiga lembaga yang lain sudah menempati gedung kantor sendiri. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 43 Berkaitan dengan sarana prasarana dalam bentuk bangunan fisik, Kementerian Sosial RI telah menetapkan standar lembaga rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza. Di dalam standar tersebut diatur, bahwa sarana dan prasarana fisik dibagi menjadi perkantoran, ruang pelayanan teknis dan ruang pelayanan umum (Kemensos, 2012). Berdasarkan hasil penelitian, pada keempat IPWL sudah memiliki sarana prasarana sebagaimana standar dimaksud, yaitu: a. Perkantoran yang terdiri dari ruang: pimpinan, ruang kerja staf, ruang rapat, dan ruang data dan informasi. b. Ruang pelayanan teknis terdiri dari ruang: asrama, pengasuh, asesmen, konseling, isolasi, olah raga, bimbingan mental dan sosial, praktik keterampilan dan rekreasi. Khusus terkait dengan keterampilan, keempat IPWL memiliki lahan atau tempat untuk mengembangkan keterampilan korban, antara lain: kolam ikan, ternak kelinci dan kambing, pertukangan dan berkebun. c. Ruang pelayanan umum terdiri dari ruang: makan, belajar, ibadah, kesehatan, aula, pos keamanan, tamu, gudang, kamar mandi, tempat parkir dan rumah pengurus. Selain sarana prasarana dalam bentuk perkantoran dan ruangan, pada penelitian ini juga dihimpun informasi yang berkaitan dengan sarana prasarana yang berupa peralatan yang mendukung pelayanan teknis maupun pelayanan umum. Peralatan yang tersedia pada keempat IPWL, yaitu peralatan: komunikasi, penerangan, kebersihan, instalasi air bersih, tansportasi, dan peralatan lain. Dari empat IPWL yang diteliti, PSPP memiliki sarana prasarana yang lebih lengkap dan memadai (jumlah dan kondisi) dibandingkan dengan ketiga lembaga yang lain, baik mengenai perkantoran, ruang pelayanan teknis, ruang pelayanan umum dan peralatan yang mendukung pelayanan rehabilitasi sosial. 44 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 5.Kegiatan Kegiatan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza yang dilaksanakan di empat IPWL yaitu: pelayanan kebutuhan dasar, pelayanan kesehatan, konseling, bimbingan sosial, bimbingan mental spiritual, bimbingan/pelatihan vokasional dan kewirausahaan, bimbingan resosialisasi dan bimbingan lanjut. 6.Pembiayaan Komponen penting yang menjadi penentu berjalannya program di IPWL, yakni ketersediaan biaya atau anggaran. Sumber pembiyaan pada PSPP bersumber dari APBD I dan APBN. Kemudian, pada ketiga IPWL yang lain sumber pembiayaan diperoleh dari orang tua/keluarga korban, usaha lembaga, donatur dalam dan luar negeri, subsidi pemerintah pusat maupun daerah. D. PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Pelayanan Kebutuhan Dasar IPWL memberikan pelayanan permakanan bagi korban 3 kali sehari dengan makanan tambahan, seperti kue-kue dan kopi. Kemudian, bagi korban yang tinggal di dalam lembaga, mereka memperoleh pelayanan tempat tinggal/kamar tidur. Pada setiap kamar ditempati 2 - 10 orang korban, tergantung dengan luas ruangan pada setiap IPWL. Untuk kebutuhan pakaian, korban pada umumnya mandapat dari keluarga. Selain itu, pakaian diperoleh dari bantuan masyarakat melalui komunitas atau yayasan sosial. 2. Pelayanan Kesehatan Bagi korban yang mengalami sakit dan atau sakaw, IPWL memberikan pelayanan kesehatan. Untuk perawatan medis ini, IPWL menjalin kerjasama dengan Puskesmas setempat dan Rumah Sakit Gracia Yogyakarta. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 45 3.Konseling Konseling di empat IPWL dilakukan oleh konselor adiksi, psikolog, psikiater dan pekerja sosial untuk mengilangkan masalah psikologis yang dihadapi korban. Pelaksanaan konseling tersebut dilakukan secara individu maupun kelompok. Bagi korban yang mengalami masalah psikologis yang sedang dan berat, konseling dilakukan secara individu, dan bagi korban yang mengalami masalah psikologis ringan konseling dilakukan secara kelompok. Keempat IPWL yang diteliti sudah memiliki jadwal konseling. Namun jadwal tersebut tidak berlaku secara ‘kaku’, mengingat IPWL belum memiliki psikater dan psikolog sendiri. Psikiater dan psikolog didatangkan dari institusi lain melalui bentuk kerjasama. 4. Bimbingan Sosial Bimbingan sosial merupakan kegiatan sangat penting dalam upaya membantu korban mengembangkan sikap dan perilaku sosialnya. Materi bimbingan sosial, yakni berkaitan dengan komunikasi yang baik kepada orang lain, kepedulian sosial, tanggung jawab, memahami dan menerima perbedaan pada setiap orang, kerja sama, dan kegiatan kelompok. Pada keempat IPWL telah tersedia jadwal kegiatan bimbingan sosial, dan wajib diikuti oleh semua korban. Namun demikian, sebagimana dikemukakan oleh pekerja sosial, pada praktiknya kegiatan bimbingan sosial ini tidak dapat diikuti oleh semua korban dengan alasan malas dan pura-pura sakit. 5. Bimbingan Mental Spiritual Pada umumnya korban tidak mampu menghayati dan mempraktikkan nilai dan norma agama serta aktivitas keagamaan (ibadah, berdoa) sesuai keyakinannya. Kecuali PSPP, ketiga IPWL merupakan lembaga yang diladasi oleh nilai agama Kristen. Karena itu, salah seorang pengurus dari IPWL tersebut adalah seorang pastur. Berkaitan dengan bimbingan mental spiritual, pada ketiga 46 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza lembaga (keculai PSPP) menyediakan tempat khusus untuk ibadah (kebaktian) bagi korban, dan ditunjuk petugas lembaga sebagai pembimbing. Kemudian, untuk PSPP disediakan tempat ibadah bagi korban muslim dan bagi korban non muslim diberikan kesempatan untuk beribadah di luar lembaga. Materi bimbingan pada kegiatan tersebut, yakni: berkaitan dengan ritual/ibadah/ berdoa, berperilaku sesuai dengan nilai dan norma agama dan keyakinan, berbudi pekerti dan berakhlak mulia kepada semua orang (terutama orang tua, guru), kemandirian dan keyakinan diri menghadapi masa depan. 6. Bimbingan/Pelatihan Vokasional dan Kewirausahaan Korban dibimbing oleh pekerja sosial dan kanselor adiksi untuk mengisi waktunya dengan kesibukan-kesibukan. Selain itu, pada suatu saat korban akan kembali ke keluarga dan ke masyarakat. Oleh karena itu, mereka dituntut untuk dapat hidup secara mandiri, baik secara ekonomi maupun sosial. Berkaitan dengan itu, keempat IPWL menyelanggarakan kegiatan pelatihan vokasional dan kewirausahaan bagi korban. Di PSPP korban dilatih untuk beternak (ikan air tawar, lele, ayam dan kambing), melukis, membatik, service HP, bengkel motor, meubelair, dan keterampilan melakukan aktivitas seharihari seperti mencuci, memasak, membersihkan kamar tidur, pekarangan lembaga dan lain-lain. Di Griya Pemulihan Siloam, keterampilan yang dilatihkan, yaitu perikanan air tawar (kolam ikan), berjualan BBM, dan harbal. Di Yayasan IndoCharis, keterampilan yang dilatihkan yaitu perikanan air tawar (kolam ikan), peternakan ayam dan keterampilan melakukan ativitas sehari-hari seperti mencuci, memasak, membersihkan kamar tidur, pekarangan lembaga dan lain-lain. Di Lembaga Rehabilitasi Kunci, keterampilan yang dilatihakan yaitu keterampilan meubelair, berkebun, dan keterampilan melakukan aktivitas sehari-hari seperti mencuci, memasak, membersihkan kamar tidur dan lain-lain. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 47 7.Resosialisasi Pada keempat IPWL, pelibatan lingkungan sosial masih kurang (belum ada agenda yang jelas). IPWL secara berkala memberikan kesempatan kepada keluarga untuk bertemu korban, tetapi belum ada program yang secara khusus untuk orang tua atau keluarga korban. Begitu juga program IPWL yang melibatkan lingkungan masyarakat sekitar masih kurang. Berkenaan dengan resosialisasi ini IPWL telah memberikan pemahaman dan penyadaran bagi orang tua atau keluarga korban, agar bersedia menerima korban yang sudah selesai menjalani rehabilitasi sosial. Selain itu, hal yang sama dilakukan kepada masyarakat atau lingkungan sosial di mana korban tinggal, di sekolah dan tempat kerja. Resosialisasi ini merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena tidak semua orang tua atau keluarga mau menerima kembali korban. Informasi yang dikemukakan pekerja sosial, ada korban yang tetap tinggal dan membantu kegiatan di IPWL, dikarenakan orang tua atau keluarganya belum menerima. Ada lagi korban yang tinggal bersama saudaranya, karena orang tuanya belum bersedia menerima kehadiran korban, meskipun IPWL sudah memberikan jaminan, bahwa korban tersebut sudah berperilaku baik. 8. Bimbingan Lanjut Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa korban setelah selesai mengikuti program rehabilitasi sosial di dalam IPWL, mereka kembali ke keluarga dan masyarakat. Bagi korban yang siap bekerja, mereka diberikan modal kerja baik secara individu maupun kelompok. Kemudian, bagi korban yang melanjutkan sekolah atau kuliah, IPWL memberikan layanan akses bagi korban untuk melanjutkan sekolah atau kuliah dengan tetap mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan korban tersebut. Rehabilitasi sosial bagi korban napza di keempat IPWL menggunakan metode theraupetic communiy (TC). Metode ini digunakan dengan alasan bahwa TC merupakan metode yang komprehensif, dan dinilai oleh tenaga teknis sebagai metode yang efektif dalam proses pemulihan korban napza. 48 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di IPWL, wajib diikuti oleh korban yang ada di IPWL. Tetapi pada kenyataannya ada korban yang tidak dapat mengikuti kegiatan tersebut dengan alasan sakit, malas, dan mood tidak baik. Apabila ada korban tidak mengikuti salah satu kegiatan, maka petugas memberikan motivasi agar korban memiliki semangat untuk mengikuti kegiatan. Sebenarnya, pada waktu pertama kali masuk ke IPWL, korban sudah memperoleh penjelasan dari lembaga mengenai kewajiban selama rehabilitasi sosial, antara lain mentaati peraturan dan wajib mengikuti program/kegiatan. IPWL juga menyampaikan kewajiban orang tua/keluarga selama proses rehabilitasi sosial, terutama terkait dengan masalah administrasi dan kesepakatan-kesepakatan selama anak/keluarganya menjalani rehabilitasi sosial. Misalnya, biaya permakanan dan perawatan yang dibebankan kepada keluarga yang dipandang mampu sebesar 1 - 1,5 juta rupiah per bulan (untuk resdien di Yayasan Indocharis, Griaya Pemulihan Siloam dan Lembaga Rehabilitasi Kunci). Sedangkan korban yang ada lembaga Panti Sosial Pamardi Putra dibebaskan dari biaya. Namun demikian orang tua/keluarga diwajibkan memenuhi kebutuhan korban yang tidak dianggarkan oleh lembaga. Adapun hak-hak orang tua/keluarga korban yang disampaikan oleh lembaga, yaitu keluarga korban akan mendapat pelayanan sebaik mungkin dan dipersilahkan melakukan complain apabila ada perlakuan lembaga kepada korban yang kurang memuaskan. Berkaitan dengan itu, lembaga menyediakan tempat/kotak pengaduan masyarakat. E. HASIL YANG DICAPAI Responden dalam penelitian ini, yaitu korban penyalahgunaan napza yang masih dalam proses rehabilitasi sosial di IPWL. Oleh karena itu, evaluasi dalam penelitian ini mengukur dan menilai perubahan-perubahan yang terjadi pada korban yang masih dalam proses rehabilitasi sosial. Mengingat berbagai keterbatasan untuk Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 49 memperoleh data primer dari korban, maka untuk mengetahui perubahan pada korban dihimpun informasi dari petugas teknis, korban dan orang tua korban. 1. Menurut Tenaga Teknis Untuk mengetahui hasil dari pelaksanaan rehabilitasi sosial di IPWL, digali informasi dari tenaga teknis IPWL, yaitu: psikolog, psikiater, pekerja sosial, kanselor adiksi, pembimbing rohani dan instruktur. Aspek-aspek yang ditetapkan untuk mengukur perubahan pada korban setelah memperoleh pelayanan rehabilitasi sosial di IPWL, yaitu (1) sikap, (2) tidak mengalami keluhan fisik dan putus obat, (3) perilaku sosial, (4) aktivitas menjalankan ibadah/doa secara mandiri, (5) mentalitas/dorongan untuk menjadi lebih baik/berguna dan (6) relasi sosial. Dari empat IPWL yang diteliti, tenaga teknis di PSPP Yogyakarta yang dapat menyajikan data kuantitatif dalam bentuk persentase korban yang mengalami perubahan setelah mendapatkan pelayanan di IPWL, yaitu: 1. Psikolog: korban yang mengalami kemajuan pada sikap, respon dan perilaku sebesar 95 persen. 2.Pembimbing rohani: terjadi perubahan pada aktivitas/ kemandirian dalam menjalankan ibadah/doa. 3. Dokter: korban yang mengalami kemajuan /tidak mengalami keluhan fisik dan putus obat sebesar 75 persen. 4. Psikiater: korban yang mengalami kemajuan sebesar 85 persen. 5. Pekerja sosial: korban yang mengalami perubahan pada aspek fisik, mental dan sosial sebesar 80 - 90 persen. 2. Menurut Korban / Residen Kapasitas pelayanan dan rehabilitasi sosial IPWL dapat diketahui dari pendapat korban selama mereka memperoleh pelayanan dan rehabilitasi sosial di IPWL, sebagaimana disajikan pada tabel berikut: 50 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Tabel 10. Persentase Kepuasan Korban terhadap Pelayanan IPWL (n=40) No Aspek yang Ditanyakan/ Diukur Kepuasan Korban Puas Kurang Tidak Tidak tahu 92,50 7,50 0 0 100,00 0 0 0 3. Kepuasan terhadap Pekerja Sosial (Peksos). 87,50 0 2,50 10,00 4 92,50 0 7,50 0 5. Kepuasan terhadap Konselor Adiksi 90,00 0 5,00 5,00 6 Kepuasan terhadap pemenuhan permakanan 97,50 0 0 2,50 7 Kepuasan terhadap tempat tinggal/lembaga 92,50 0 7,50 0 8 Kepuasan terhadap fasilitas 80,00 lembaga (keamanan, kebersihan, air, MCK, penerangan, dll.). 0 17,50 2,50 9 Kepuasan terhadap 90,00 peralatan/sarana pelayanan 0 10,00 0 1. Kepuasan terhadap kegiatan yang dilaksanakan lembaga 2. Kepuasan terhadap petugas administrasi Kepuasan terhadap pelayanan medis/dokter Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Berdasarkan data pada tabel tersebut, sebagian besar (di atas 35 orang atau 87 persen) menyatakan puas dengan tenaga administrasi, tenaga teknis, permakanan, tempat tinggal, fasilitas lembaga dan peralatan yang dalam rehabilitasi sosial. Pernyataan kurang puas pada kegiatan yang dilaksanakan IPWL (7,50%), dan tidak puas dengan presentase cukup tinggi (17,50%) pada fasilitas lembaga (keamanan, kebersihan, air, MCK, penerangan). Kemudian, selain mengetahui kepuasan korban dikumpulkan informasi yang berkenaan dengan perubahan menurut apa yang Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 51 dirasakan oleh korban sendiri. Dari empat IPWL, sebanyak 32 orang yang bersedia memberikan informasi mengenai perubahan yang dirasakan setelah menerima pelayanan dari IPWL. Pada aspek fisik dan kesehatan, perubahan yang dirasakan korban, seperti merasa sehat, nafsu makan bagus, dan berat badan meningkat. Selanjutnya dari aspek sosial, seperti memiliki teman, mau berbagi informasi, mengikuti kegiatan kelompok, dan tidak merasa menang sendiri. Kemudian dari aspek mental spiritual, seperti taat peraturan yang ada, semangat untuk hidup lebih baik, memotivasi teman, dan memanfaatkan waktu sebaikbaiknya. 3. Menurut Orang Tua/Keluarga Korban/ Residen Selain kepuasan korban, untuk memperoleh informasi kapasitas IPWL juga dihimpun informasi tentang kepuasan orang tua korban terhadap pelayanan dan rehabilitasi sosial di IPWL, sebagaimana disajikan pada tabel berikut: Tabel 11. Kepuasan Orang Tua/keluarga Korban terhadap Pelayanan IPWL No 52 Aspek yang Ditanyakan/ Diukur Kepuasan Korban Puas Kurang Tidak Tdk tahu 1. Kepuasan terhadap kegiatan yang dilaksanakan lembaga 97,50 2,50 0 0 2. Kepuasan terhadap petugas administrasi 95.00 5,00 0 0 Kepuasan terhadap Pekerja Sosial (Peksos). 87,50 0 2,50 10,00 3. Kepuasan terhadap Pekerja Sosial (Peksos). 100,00 0 0 0 4 Kepuasan terhadap pelayanan medis/dokter 95,00 5,00 0 0 5. Kepuasan terhadap Konselor Adiksi 100.00 0 0 0 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 6 Kepuasan terhadap pemenuhan permakanan 7 Kepuasan terhadap tempat tinggal/lembaga 8 Kepuasan terhadap peralatan/sarana pelayanan 97,50 2,50 0 0 100,00 0 0 0 95,00 5,00 0 0 Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Pernyataan subyektif orang tua korban mengenai kepuasan terhadap pelayanan dan rehabilitasi sosial IPWL cenderung sama dengan pernyataan yang disampaikan korban. Sebagian besar orang tua/keluarga menyatakan puas dengan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan IPWL bagi anak/ keluarganya. Orang tua yang menyatakan kurang puas hanya sedikit, dan bahkan yang tidak puas tidak ada. F. FAKTOR-FAKTOR BERPENGARUH Kondisi yang kurang mendukung kinerja IPWL, yaitu: 1. Belum ada kejelasan tentang kewenangan dinas sosial provinsi dan kabupaten/kota terkait dengan pembinaan IPWL, tugas IPWL dalam membina pekerja sosial dan kanselor adiksi, serta uraian tugas pekerja sosial dan kanselor adiksi. 2.Belum meluasnya informasi mengenai IPWL di dinas sosial kabupaten/kota, sehingga pemahaman tentang IPWL tidak tepat, yang mengakibatkan unit kerja terkait tidak memiliki data IPWL dan tugas-tugas yang mesti dilaksanakan. 3. Belum ada ketegasan domain BNN dengan Kemensos dalam penanganan korban napza melalui IPWL. Di lapangan ditemukan kegiatan-kegiatan yang tumpang tindih antara BNN provinsi dengan Dinas Sosial provinsi. Hal ini seringkali menyebabkan kebingungan pada petugas IPWL. 4. Putusan pengadilan terhadap korban yang berbeda dengan waktu yang diperlukan untuk rehabilitasi sosial, yang menyulitkan IPWL melakukan tindak lanjut. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 53 5. Profesionalitas tenaga teknis (terutama pekerja sosial dan kanselor adiksi) perlu peningkatan dalam proses rehabilitasi sosial. Kemudian kondisi yang mendukung kinerja IPWL, yaitu: 1. Masyarakat dan keluarga memberikan respon positif dan dukungan terhadap keberadaan dan kegiatan-kegiatan IPWL serta terhadap eks korban. Masyarat dan keluarga bersedia menerima kehadiran korban di dalam keluarga dan atau beraktivitas di masyarakat. 2. Bimbingan dan pembinaan dari dinas sosial provinsi. Petugas dari dinas sosial provinsi proaktif memberikan bimbingan dan pembinaan serta secara berkala melakukan kunjungan ke IPWL. 3. Bantuan dana, sarana kerja dan SDM (pekerja sosial dan kanselor adiksi) dari Kementerian Sosial. 4.Kemitraan dengan BNN provinsi, Rumah Sakit dan tenaga profesional (terutama dalam penyediaan psikolog, dokter, psikiater). 54 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza BAB IV KAPASITAS IPWL DI JAWA TIMUR A. GAMBARAN UMUM LOKASI Jawa Timur adalah sebuah provinsi di bagian timur Pulau Jawa, dengan ibu kotanya di Surabaya. Jawa Timur memiliki wilayah terluas di antara 6 provinsi di Pulau Jawa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia setelah Jawa Barat. Jawa Timur dikenal sebagai pusat Kawasan Timur Indonesia, dan memiliki signifikansi perekonomian yang cukup tinggi, yakni terhadap Produk Domestik Bruto nasional. Sebagai kota metropolitan, Jawa Timur merupakan kota budaya (pariwisata), industri, perdagangan dan kota pelajar. Mayoritas penduduk Jawa Timur adalah Suku Jawa. Namun demikian, etnisitas di Jawa Timur lebih heterogen. Suku Jawa menyebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur daratan. Suku Madura mendiami di Pulau Madura, dan daerah Tapal Kuda (Jawa Timur bagian timur), terutama di daerah pesisir utara, dan selatan. Di sejumlah kawasan Tapal Kuda, Suku Madura bahkan merupakan mayoritas. Hampir di seluruh kota di Jawa Timur terdapat minoritas Suku Madura, umumnya mereka bekerja di sektor informal. Dibalik hal-hal yang bersifat positif, di Jawa Timur terdapat permasalahan sosial yang pada saat ini menjadi perhatian nasional, yaitu penyalahgunaan napza. Kasus penyalahgunaan napza di Jawa Timur cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data tersebut belum menggambarkan kondisi yang sesungguhnya ada di masyarakat. Hal ini karena, kasus penyalahgunaan napza merupakan fenomena gunung es. Kasus yang diketahui merupakan sebagian kecil dari penyalahgunaan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Data yang berhasil dikumpulkan oleh BNN, merupakan data hasil penangkapan. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 55 Data tentang persebaran penyalahgunaan napza di Provinsi Jawa Timur saat ini belum tersedia dengan baik. Berdasarkan data BNN Provinsi Jawa Timur (new.liputan6.com, 2015), pecandu narkoba di Jawa Timur didominasi perempuan. Berdasarkan data BNN tahun 2013, jumlah pengguna narkoba di Jawa Timur ternyata masih tinggi, jumlah pengguna narkoba di Jawa yaitu mencapai 3.202 orang. Jumlah pengguna narkoba di Jawa Timur peringkat dua di bawah Jakarta sebanyak 5.086 orang. Sedangkan peringkat ketiga adalah Sumatera Utara sebanyak 2.302 orang, lalu disusul Banten 2.027 orang dan Sumatera Selatan sebanyak 1.314 orang (halopolisi.com, 2015). Kemudian, berdasarkan data BNN, pecandu narkoba di Jawa Timur meningkat cukup ekstrem, yaitu mencapai angka 543.782 orang di tahun 2014 (suarasurabaya.net, 2015). Data ini patut dipertanyaan, karena peningkatannya tidak rasional. Dilihat dari asal korban yang pernah direhabilitasi, diperoleh informasi bahwa persebaran penyalahgunaan napza hampir di seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur, antara lain: Sidoarjo, Lumajang, Jember, Kota Surabaya, Sumenep, Lamongan, Kediri, Nganjuk, Gresik, Tuban, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Jember, Banyuwangi dan Pamekasan. Menurut BNN, persebaran penyalahgunaan napza yang terbanyak adalah di wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dan Kota Malang. Kota Surabaya merupakan kota metropolitan ke dua setelah DKI Jakarta memiliki posisi yang sangat strategis sebagai pusat kegiatan ekonomi dan budaya. Kota Surabaya dikenal sebagai kota perjuangan atau kota pahlawan. Sebagai kota metropolitan, Kota Surabaya menjadi kota tujuan wisata, perdagangan dan indusri. Hal ini yang menjadi penarik orang-orang dari daerah lain untuk bermigrasi ke Kota Surabaya untuk mencari pekerjaan atau penghidupan yang lebih baik. Kota Surabaya merupakan kota multi etnis, karena berbagai suku bangsa dan etnis ditemukan di kota ini, seperti suku Madura, Sunda, Batak, Kalimantan, Bali dan Sulawesi. Kemudian terdapat etnis 56 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Melayu, Cina, India, Arab, dan Eropa. Mereka hidup membaur dan membentuk pluralisme budaya, yang selanjutnya menjadi ciri khas kota Surabaya. Membaurnya berbagai suku bangsa dan etnis tersebut menyebabkan tingginya dinamika masyarakat. Mobilitas penduduk Kota Surabaya cukup tinggi, dan membawa pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan penduduk dan kemajuan Kota Surabaya. Berbagai kondisi positif telah dicapai sebagai hasil interaksi dan traksaksi yang terjadi di Kota Surabaya. Namun demikian, dibalik kondisi positif tersebut, di Kota Surabaya terdapat permasalahan yang memerlukan perhatian serius oleh semua pihak, yaitu penyalahgunaan napza. Kondisi yang mengkhawatirkan, bahwa korban penyalahgunaan napza ternyata ada kelompok pelajar (rri. co.id, 2015). Berdasarkan hasil penelitian BNN Kota Surabaya, 10 Persen pelajar SMP dan SMA di Surabaya menggunakan narkoba (news.detik.com, 2015). Situasi itu tentu menjadi kekhawatiran semua pihak, mengingat pelajar merupakan generasi penerus dan masa depan bangsa. Kabupaten Malang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, merupakan kabupaten terluas kedua di Jawa Timur setelah Kabupaten Banyuwangi dan merupakan kabupaten dengan populasi terbesar di Jawa Timur. Kabupaten Malang juga merupakan kabupaten terluas ketiga di Pulau Jawa setelah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Sukabumi di Provinsi Jawa Barat. Ibu kota Kabupaten Malang adalah Kepanjen. Sebagian besar wilayahnya merupakan pegunungan yang berhawa sejuk, Kabupaten Malang dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Jawa Timur. Bersama dengan Kota Batu dan Kota Malang, Kabupaten Malang merupakan bagian dari kesatuan wilayah yang dikenal dengan Malang Raya (Wilayah Metropolitan Malang). Selain kota wisata, Malang juga merupakan kota pelajar. Pada sisi yang lain, di Kabupaten Malang terdapat permasalahan penyalahgunaan napza yang cukup siginifikan. Pengguna narkoba di Kabupaten Malang sesuai data statistik mencapai 2.000 orang Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 57 lebih. Jumlah ini, diprediksi terus bertambah setiap tahunnya (malangraya.info, 2011). Pada tahun 2015, ada peningkatan 15 sampai 20 persen. Hal ini dibuktikan dengan jumlah barang bukti yang diamankan Kejaksaan Negeri Kepanjen, sepanjang 2015 (malang-post.com, 2015). Mengatasi penyalahgunaan napza, BNN Kabupaten Malang terus mensosialisasikan program rehabilitasi oleh pecandu narkoba dengan sasaran utama pelajar. B. PENGENALAN RESPONDEN Responden dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1. Korban Penyalahgunaan Napza Berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 48 orang (96%) laki-laki dan sebanyak dua orang (4%) perempuan. Kemudian, berdasarkan kelompok usia responden, hampir seluruh responden termasuk kelompok usia produktif, sebagaimana tampak pada tabel berikut: Tabel 12. Responden Menurut Kelompok Usia No Kelompok Usia Frekuensi Persentase 1 <18 10 20 2 18 - 39 35 70 3 40 - 59 5 10 4 >60 0 0 50 100 Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2015 Berdasarkan data pada tabel tersebut, respon kelompok usia anak jumlahnya 10 orang (20%). Meskipun demikian, angka tersebut menunjukkan, bahwa penyalahgunaan napza di Provinsi Jawa Timur dan khususnya di Kota Surabaya dan Malang, sudah menjangkau kelompok anak. Kemudian berjumlah 40 orang (80%) responden termasuk kelompok usia dewasa muda (18-59 tahun), di mana pada kelompok ini seseorang berada pada fase yang masih 58 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza labil. Mereka itu belum cukup matang dalam membuat penilaian dan keputusan menyakut diri dan keluarga, dan masih mudah dipengaruhi oleh lingkungan di sekitaranya. Pada kelompok ini secara sosial psikologis sudah mengalami kematangan, sehingga sudah mampu membuat pertimbangan atau keputusan yang lebih rasional. Aspek penting yang juga perlu diketahui, yaitu pendidikan responden. Hal ini didasarkan asumsi, bahwa pendidikan seseorang akan berkaitan dengan kemampuan memahami situasi yang dihadapi, dan obyektivitas dalam memberikan informasi yang diperlukan. Pendidikan responden sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 13. Responden Menurut Tingkat Pendidikan No Pendidikan yg ditamatkan Jumlah Persentase 1 SD 6 12 2 SLTP 9 18 3 SLTA 32 64 4 Sarjana 3 6 50 100 Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2015 Dari tabel tersebut di atas diketahui, bahwa pendidikan responden merentang dari pendidikan SD sampai dengan sarjana. Hal ini memperkuat informasi yang beredar di masyarakat, bahwa penyalahgunaan napza terjadi pada semua jenjang pendidikan. Berdasarkan data pada tabel tersebut, responden yang berpendidikan menengah ke atas (SLA - Sarjana), frekuensinya lebih besar di bandingkan dengan responden dengan pendidikan SLP ke bawah (SLP - SD). Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 59 Tabel 14. Responden Menurut Pekerjaan No Jumlah Persentase 1 Swasta Pekerjaan 10 20 2 Wiraswasta 15 30 3 Tidak bekerja 23 46 4 Pelajar 2 4 50 100 Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2015 Data pada tabel tersebut menunjukkan, bahwa sebagian besar (46%) responden tidak bekerja atau tidak memiliki pekerjaan yang layak (sah). Tuntutan kebutuhan hidup seharhari mendorong seseorang untuk menempuh jalan pintas, tanpa mempertimbangkan apakah yang dilakukan itu sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku. Selanjutnya, dilihat dari keutuhan orang tua korban, maka diperoleh informasi ada orang tua korban sudah meninggal, masih utuh, cerai dan pisah rumah (tidak harmonis). Kondisi keutuhan orang tua korban sebagaimana disajikan pada tabel berikut: Tabel 15. Responden Menurut Kondisi Keutuhan Orang Tua Korban No Frekuensi Persentase 1 Bapak atau Ibu meninggal Kondisi Orang Tua 15 30 2 Utuh 30 60 3 Cerai 1 2 4 Pisah Rumah 4 8 50 100 Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2015 Berdasarkan data pada tabel tersebut, korban dengan keluarga utuh, presentasenya paling tinggi dibandingkan kondisi yang lain, yaitu 60 persen. Kemudian, menyusul pada keluarga bapak/ibu meninggal dengan persentase 30 persen. Data ini 60 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza membuktikan, bahwa keluarga yang secara fisiologis kelihatan utuh, tidak menjamin anggota keluarganya tidak menjadi korban penyalahgunaan napza. Kemudian, dilihat dari tempat tinggal sebelum di IPWL, sebagian besar responden bersama orang tuanya, yaitu sebesar 64 persen, dan disusul tinggal bersama famili sebesar 26 persen. Kondisi responden menurut tempat tinggal sebelum di IPWL sebagaimana tampak pada tabel berikut: Tabel 16. Responden Tempat Tinggal sebelum di IPWL No Tempat tinggal 1 Rumah orang tua 2 Bersama kakek/nenek 3 Bersama famili 4 Sendiri Jumlah Jumlah Persentase 32 64 1 2 13 26 4 8 50 100 Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Data pada tabel tersebut konsisten dengan data pada tabel sebelumnya, di mana responden dengan keluarga utuh dan tinggal bersama orang tua, berpotensi seseorang menyalahgunaan napza. Data tersebut membuktikan, bahwa situasi di dalam keluarga tidak memberikan ketenteraman dan kenyamaman bagi anggotanya, sehingga mendorong anggota keluarga itu untuk menyalahgunaan napza 2. Orang Tua Korban Responden orang tua atau keluarga korban sebagian besar tinggal di luar Kabupaten Sleman, dan bahkan tidak sedikit yang tinggal di luar pulau jawa. Pada penelitian ini berhasil diwawancarai lima orang responden orang tua atau keluarga korban. Dilihat dari pendidikan orang tua, dua orang berpendidikan SD, dua orang berpendidikan SLP dan seorang berpendidikan sarjana. Kondisi pendidikan orang tua korban ini Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 61 memberikan informasi, bahwa korban penyalahgunaan napza dapat terjadi pada keluarga pendidikan rendah sampai dengan pendidikan tinggi. Pada orang tua dengan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, jumlah korban lebih besar dibandingkan dengan pendidikan rendah. Selanjutnya dilihat dari jenis pekerjaan, dari lima orang tua yang diteliti, sebanyak dua orang bekerja di sektor swasta, dua orang wiraswasta dan seorang pedagang. Jenis-jenis pekerjaan tersebut merupakan jenis-jenis pekerjaan yang memerlukan waktu lebih banyak di luar rumah. Hal ini diduga mempengaruhi frekuensi dan kualitas relasi sosial antara orang tua dengan anak, sehingga mengakibatkan anak menjadi komunitas di luar rumah untuk memperoleh kebutuhan sosial. 3. Petugas IPWL Sumber daya manusia di IPWL terdiri dari petugas administrasi dan petugas teknis. Masing-masing dari petugas tersebut diambil satu orang sebagai responden dalam penelitian yang mewakili IPWL. Secara garis besar respon pertugas IPWL dibedakan menjadi tiga, yaitu petugas administrasi, petugas teknis dan tenaga penunjang. Petugas administrasi adalah orangorang yang melaksanakan tugas-tugas administrasi umum atau perkantoran. Petugas teknis, adalah orang-orang yang melaksanakan kegiatan teknis tekait dengan proses rehabilitasi medis maupun sosial bagi korban penyalahgunaan napza. Kemudian, petugas penunjang adalah orang-orang yang melaksanakan kegiatan terkait dengan permakanan korban, kebersihan, kenyamanan dan keamanan IPWL. a. Petugas Administrasi Petugas administrasi di dalam penelitian ini, yaitu orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas administrasi, yakni: kepala lembaga, sekretaris atau staf administrasi umum senior. Pada penelitian ini, petugas administrasi yang menjadi informan, 62 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza yaitu kepala-kepala IPWL yang dibantu oleh staf administrasi umum. Wawancara dilakukan dengan Kepala IPWL dan dengan kepala sub bagian tata usaha (ANKN Surabaya), dibantu staf administrasi umum dalam menyiapkan data sekunder (dokumen-dokumen) yang diperlukan peneliti. Reponden sudah berpengalaman lebih 4 tahun sebagai pimpinan lembaga, berpengalamn mengikuti palatihan dan pemantapan IPWL, dan aktif menjadi anggota forum peduli pananggulangan napza. Pengalaman-pengalaman tersebut yang sangat membantu dalam proses penggalian data dan informasi terkait dengan aspek kelembagaan IPWL. b. Petugas Teknis Petugas teknis di dalam penelitian ini, yaitu orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas teknis pelayanan dan rehabilitasi, yakni: pekerja sosial, konselor adiksi, dokter, para medik, psikiater, psikolog, pembimbing rohani, instruktur keterampilan, tenaga kesejahteraan sosial. Dilihat dari status kepegawaiannya, petugas teknis tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu tenaga organik dan tenaga tidak tetap. 1)Petugas Tetap Petugas tetap adalah orang-orang yang sudah menjadi pegawai tetap IPWL. Mereka masuk di dalam kepegawaian, memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas dan pasti, memperoleh fasilitas yang disediakan lembaga dan mendapatkan gaji serta insentif lain yang menjadi kebijakan IPWL. Pada penelitian ini, pekerja sosial, kanselor adiksi, tenaga kesejahteraan sosial, para medik dan pembimbing rohani, merupakan petugas-petugas yang termasuk tenaga organik pada keempat IPWL. Pada IPWL ANKN Surabaya, selain petugas-petugas yang termasuk petugas organik, yakni instruktur keterampilan dan para medik. Sebagai catatan, bahwa pekerja sosial di IPWL adalah orang-orang yang pernah mengikuti pemantapan pekerjaan sosial adiksi, tetapi mereka belum tersertifikasi sebagai pekerja sosial. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 63 2)Petugas tidak tetap Petugas tidak tetap adalah orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas di IPWL sesuai dengan keahliannya, tetapi mereka bukan sebagai pegawai tetap IPWL. Penugasan mereka di IPWL melalui bentuk kerjasama antara IPWL dengan lembaga (dimana ahli tersebut bekerja) atau kerjasama secara individual. Petugas tidak tetapdalam penelitian ini, yaitu dokter, psikolog, psikiater, dan para medik serta instruktur keterampilan (kedua petugas terakhir kecuali di PSMP sudah menjadi petugas tetap). Petugas-petugas teknis tersebut sudah bekerjasama dengan IPWL rata-rata lebih 2 tahun. Pengalaman tersebut ditambah dengan keikutsertaannya dalam workshop, diskusi dengan pengurus IPWL dan sharing pengalaman dengan petugas teknis lain selama proses rehabilitasi, merupakan faktor yang banyak membantu dalam proses pengumpulan data dan informasi terkait dengan rehabilitasi medis maupun sosial. c. Tenaga Penunjang Tenaga penunjang adalah orang-orang yang melaksanakan tugas sebagai untuk penujang pelayanan dan rehabilitasi bagi korban (korban). Tenaga penunjang dimaksud, yakni tenaga permakanan, tenaga kebersihan dan tenaga keamanan IPWL. Seluruh tenaga penunjang di 5 (lima) IPWL, merupakan tenaga tetap IPWL. Mereka sudah bekerja di IPWL rata-rata lebih dari 4 tahun, sehingga sudah banyak pengalaman di bidangnya. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa tenaga penunjang ini ikut menentukan proses dan keberhasilan pelayanan dan rehabilitasi di IPWL. Karena kegiatan yang mereka laksanakan berkaitan dengan aspek biologis (fisiologis), psikologis dan sosial korban penyalahgunaan napza (korban) di IPWL. Pengalaman dan kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas penunjang tersebut, merupakan 64 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza faktor yang membantu penelitian dalam proses pengumpulan data dan informasi terkait pelayanan dan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan napza. 4.Masyarakat Responden yang mewakili masyarakat, yakni ketua RT/RW dan tokoh agama yang berada di sekitar lokasi lembaga IPWL. Pada penelitian ini, berhasil ditemui tiga orang tokoh masyarakat, dan dari mereka dihimpun informasi-informasi yang berkaitan dengan kegiatan IPWL. 5. Instansi terkait Instansi terkait di dalam penelitian ini adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Timur, Dinas Tenaga Sosial Kota Surabaya dan Malang dan BNN Kota Surabaya dan Malang. Adapun yang menjadi informan di dalam instansi-instansi tersebut, yaitu: a. Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. b. Kasie Rehabilitasi BNNP Provinsi Jawa Timur. c. Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial pada Dinas Sosial Kota Surabaya. d. Kepala Seksi pada BNN Kota Surabaya. e. Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial pada Dinas Sosial Kabupaten Malang. f. Kepala Seksi pada BNN Kabupaten Malang. C. KOMPONEN KEGIATAN 1.Kelembagaan a. UPT ANKN Surabaya. Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Anak Nakal dan Korban Narkotika (UPT ANKN) Surabaya merupakan pusat rehabilitasi sosial di bawah pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur. Lembaga ini sebagai pusat rehabilitasi sosial korban Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 65 penyalahgunaan narkotika/napza dengan visi “terwujudnya peningkatani kesejahteraan sosial bagi korban Napza melalui rehabilitasi sosial yang lebih berkualitas”. Visi lembaga tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam tujuan, yaitu (1) pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan penyalahgunan napza sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya, dan (2) hidup sehat dan bebas tanpa napza. b. Yayasan Orbit Surabaya Yayasan Orbit merupakan lembaga swasta yang berkiprah di dalam penanganan masalah sosial, salah satunya adalah menangani masalah korban penyalahgunaan napza. Sejak melaksanakan program IPWL lembaga ini telah merehabilitasi sebanyak 50 klien dengan rincian: bulan Juli - Desember 2014 menangani 20 klien. Kemudian bulan Januari - Juni 2015, merehabilitasi korban sebanyak 30 orang. c. Yayasan Corpus Christy Corpus Christy merupakan IPWL yang dikelola oleh masyarakat yang lokasinya di Malang - Jawa Timur. Lembaga ini semula menangani korban penyalahgunan napza di wilayah Povinsi Jawa Timur. Namun demikian, sekarang sudah merambah ke luar Pulau Jawa. Pendekatan yang digunakan dalam penanganan korban napza adalah pendekatan religi, yang diintegrasikan dengan pendekatan sosial, yaitu: konseling, morning metting, ataupun seksi kelas. d. Yayasan Inabah XIX Surabaya Yayasan Inabah XIX merupakan IPWL yang dikelola masyarakat, berdiri sejak tahun 1986. Lembaga ini merupakan salah satu cabang dari Inabah Suryalaya di Jawa Barat. Yayasan ini khusus menangani korban penyalahgunaan napza melalui pendekatan religi. Sejak yayasan ini berdiri, sampai saat ini telah menangani banyak korban. e. Pondok Pemulihan Doulus Pondok Pemulihan Doulus merupakan IPWL yang dikelola masyarakat, di samping menangani korban penyalahgunaan napza, juga menangani masalah gangguan jiwa. Lembaga 66 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza ini menerima klien dari berbagai wilayah di Indonesia. Untuk mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi keluarga/ wali, membayar setiap bulan Rp 1.800.000,- sebagai beaya operasional dan pengobatan klien. 2.Sasaran IPWL memberikan pelayanan rehabilitasi sosial bagi seseorang yang menjadi korban penyalahgunaan napza. Korban yang memperoleh pelayanan dan rehabilitasi di IPWL adalah mereka yang sudah memperoleh pelayanan medis dari rumah sakit ketergantungan obat setempat. Jumlah korban penyalahgunaan napza yang memperoleh pelayanan rehabilitasi sosial di empat IPWL berjumlah 270 orang dengan rincian sebagaimana tampak pada tabel berikut berikut: Tabel 17. Korban Penerima Rehabilitasi Sosial di Lima IPWL No. Nama IPWL Jumlah Korban Dalam Panti Luar Panti Frekuensi 1. ANKN 90 0 90 2. Corpus Christy 21 0 21 3. Doulus 50 0 50 4. Orbit 50 0 50 5. Inabah XIX 59 0 59 270 0 270 Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2015. 3. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia pada IPWL, dibedakan menjadi petugas administrasi dan petugas teknis. Termasuk ke dalam petugas administrasi, yaitu pimpinan lembaga dan staf yang mengerjakan kegiatan administrasi Selanjutnya, termasuk ke dalam petugas teknis, yaitu pekerja sosial, kanselor adiksi, dokter, psikiater, psikolog, pembimbing rohani, instruktur keterampilan, para medik, tenaga kesejahteraan sosial. Kondisi SDM pada IPWL dapat tampak pada tabel berikut: Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 67 Tabel 18. Petugas di IPWL yang menjadi Responden NO PETUGAS IPWL KETERANGAN (1) (2) (3) (4) (5) 2 1 1 1 1 a. Pekerja Sosial 3 3 3 3 3 b.Konselor Adiksi 3 3 3 3 3 c.Dokter 1 1 1 1 1 d.Psikiater 1 1 1 1 1 e.Psikolog 1 1 1 1 1 f. Pembimbing Rohani 1 1 1 1 1 g.Instruktur Ketrampilan 1 1 1 1 1 h.Paramedik 1 1 1 1 1 i.Tenaga Kesejahteraan Sosial 1 1 1 1 1 j. Tenaga Penunjang 2 2 2 2 2 1 Petugas Administrasi 2. Petugas Teknis: Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Berdasarkan data pada tabel tersebut, seluruh IPWL sudah memiliki jenis-jenis sumber daya manusia sebagaimana diatur di dalam standar lembaga rehabilitasi sosial. Dari tenaga teknis yang diatur, jumlah pekerja sosial dan tenaga teknis pekerja sosial dan kanselor adiksi. Rasio yang ideal pekerja sosial dengan korban, yaitu 1: 9, dan rasio dengan kanselor adiksi, yaitu 1: 10. Pada UPT ANKN kekurangan pekerjaan sosial tujuh orang, Corpus Chisty kurang lebih satu orang, Doulus, Orbit dan Inabah masing-masing kekurangan tiga orang. Kemudian pada kanselor adiksi, UPT ANKN kekurangan kanselor adiksi enam orang, Corpus Chisty kurang lebih satu orang, Doulus dan Orbit kurang dua orang, dan Inabah kekurangan tiga orang. Pada umumnya IPWL belum memiliki tenaga dokter maupun paramedis tetap. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga 68 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza medis tersebut, IPWL menjalin kerja sama dengan Rumah Sakit setempat. Dokter dan paramedis dijadwalkan kehadirannya di IPWL. Kemudian, pada UPT ANKN Surabaya sudah memiliki tenaga dokter tetap. Selanjutnya, terkait dengan tenaga psikiater, setiap IPWL bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat.. 4. Sarana Prasana Sarana prasarana dibagi menjadi dua, yaitu sarana prasarana fisik dan instrumen teknis rehabiliatsi sosial. Pada empat IPWL yang diteliti, semuanya menempati sebuah gedung kantor sebagai pusat kegiatan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza. Berkaitan dengan sarana prasarana dalam bentuk bangunan fisik, Kementerian Sosial RI telah menetapkan standar lembaga rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza. Di dalam standar tersebut diatur, bahwa sarana dan prasarana fisik dibagi menjadi perkantoran, ruang pelayanan teknis dan ruang pelayanan umum (Kemensos, 2012). Berdasarkan hasil penelitian, pada keempat IPWL sudah memiliki sarana prasarana sebagaimana standar dimaksud, yaitu: a. Perkantoran yang terdiri dari ruang: pimpinan, ruang kerja staf, ruang rapat, dan ruang data dan informasi. b. Ruang pelayanan teknis terdiri dari ruang: asrama, pengasuh, asesmen, konseling, isolasi, olah raga, bimbingan mental dan sosial, praktik keterampilan dan rekreasi. Khusus terkait dengan keterampilan, kelima IPWL memiliki lahan atau tempat untuk mengembangkan keterampilan korban, antara lain: berkebun, anyaman dan perbengkelan. c. Ruang pelayanan umum terdiri dari ruang: makan, belajar, ibadah, kesehatan, aula, pos keamanan, tamu, gudang, kamar mandi, tempat parkir dan rumah pengurus. Selain sarana prasarana dalam bentuk perkantoran dan ruangan, pada penelitian ini juga dihimpun informasi yang berkaitan dengan sarana prasarana yang berupa peralatan Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 69 yang mendukung pelayanan teknis maupun pelayanan umum. Peralatan yang tersedia pada keempat IPWL, yaitu peralatan: komunikasi, penerangan, kebersihan, instalasi air bersih, tansportasi, dan peralatan lain. Dari empat IPWL yang diteliti, PSPP memiliki sarana prasarana yang lebih lengkap dan memadai (jumlah dan kondisi) dibandingkan dengan ketiga lembaga yang lain, baik mengenai perkantoran, ruang pelayanan teknis, ruang pelayanan umum dan peralatan yang mendukung pelayanan rehabilitasi sosial. D. PELAKSANAAN PROGRAM Seperti telah diurai sebelumnya bahwa program kegiatan antara lembaga yang dikelola oleh pemerintah dan swasta atau masyarakat tidak sama tergantung dari pendekatan yang dilakukan. Pada pusat rehabilitasi sosial korban penyahgunaan napza yang dikelola pemerintah, baik laki-laki maupun perempuan melalui therapeutic community (TC), kegiatan yang dilakukan meliputi: (1). rehabilitasi sosial (bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan), (2). penyuluhan dan konsultasi napza, (3). voluntary counseling dan testing (VCT), (4). perlindungan dan advokasi sosial, (5). bantuan pengembangan usaha ekonomis produktif (bp-uep), (6). family support group (FSG) dan (7). peer support group (PSG). Kegitan tersebut dilaksanakan melalui tahapan berikut: a. Intake process Proses awal calon klien/korban beserta walinya melakukan penjajagan untuk mengikuti program di TC. b. Prospect Merupakan fase observasi ketika calon korban sudah mendaftar, mengisi formulir pendaftaran secara umum. c. Joint family Jika seseorang korban sudah stabil kondisi fisik dan mentalnya secara umum, lalu dilakukan inisiasi menurut tradisi sebuah rehabilitasi TC, sehingga korban akhirnya resmi menjadi korban Fase induction 70 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza d. Fase induction Merupakan fase awal rehabilitasi korban/klien dengan menerima walking paper yang berisi filosofi, nilai dan norma TC. e. Primary stage Tahap pembentukan perilaku, pengendalian emosi dan psikologi, pengembangan pemikiran dan rokhanian, ketrampilan kerja dan ketrampilan sosial serta bertahan hidup (4 structures) f. Re-entry stage Re berarti kembali entry berarti masuk, arti secara umum klien dipersiapkan untuk memasuki kembali kehidupan normal di masyarakat g. After care a. Ketrampilan personal b. Ketrampilan sosial c. Ketrampilan vokasional d. Servis mobil, sepeda motor dan las Kemudian, pada IPWL yang dikelola masyarakat, kegiatan yang dilaksanakan dalam rehabilitasi sosial terhadap korban penyalahgunaan napza secara umum sebagai berikut: a. Pelayanan Kesehatan dan Terapi Fisik Pelayanan kesehatan yang dilakukan di IPWL diarahkan pada: 1)Penjangkauan dan pendampingan korban napza dalam mengurangi dampak buruk penggunaan napza. Kegiatannya antara lain: outreach, kesehatan dasar, layanan alat suntik steril (LASS), dan rujukan terapi subtitusi. 2) Kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dengan memperkuat sistem layanan komunitas dan sistem layanan kesehatan dalam rangka mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat HIV/AIDS. Kegiatan yang dilakukan meliputi: konseling VCT, rujukan test HIV, rujukan managemen kasus, rujukan pengobatan infeksi opportunistik (IQ), pemeriksaan infeksi menular seksual (IMS) dan distribusi kondom dan media KIE. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 71 3) Penjangkauan dan pendampingan kepada kelompok resiko tinggi HIV-AIDS seperti: transgender (waria), lelaki seks lelaki (LSL), wanita pekerja seks (WPS), high risk man (lelaki beresiko tinggi). Kegiatan yang dilakukan adalah outreach (penjangkauan dan pendampingan), dan pemeriksaan kesehatan. 4) Melakukan sistem rujukan dan pemberian layanan kesehatan dasar yang ditunjang oleh paramedis secara fixed maupun mobile kepada kelompok rentan. 5) Selain pelayanan medis, pada IPWL Doulus dilaksanakan olah raga sebagai media pemulihan, meliputi: tennis meja, bulu tangkis, senam, renang, sepak bola, skyping, senam pagi, aerobik, bola voli, cross country dan baris berbaris. Juga permainan, yaitu: catur, halma, karambol dan permainan lainnya. b. Bimbingan Mental Spiritual Kegiatan yang dilakukan dalam terapi jiwa meliputi, konsultasi psikiater dan psikolog, melakukan wawancara, psykoterapi test IQ (Intelektual Question), EQ (Emosional Question), SQ (Spiritual Question), ESQ (Emosional Spiritual Question) dan Formakoterapi (pemberian obat psikiater). Terapi rokhani dilakukan melalui kegiatan, konseling dan pendampingan, doa, ibadah raya, bimbingan, ceramah dan share and care. c. Bimbingan Sosial Terpadu. Kegiatan-kegiatan dalam bimbingan sosial, yaitu konseling sosial, terapi kerja/keterampilan, terapi kognitif, terapi musik, malam keakraban, home visit dan refresing. Dari lima IPWL yang diteliti, IPWL Doulus telah membuat indikator keberhasilan dari program rehabilitasi sosial, yaitu: 1. Kondisi fisik • Dapat merawat diri sendiri (mandi, berpakaian, membersihkan kamar, cuci pakaian) • Makan 3 x sehari secara teratur 72 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza • Tidur malam teratur (tidur selama 6 - 8 jam dalam keadaan nyenyak) • Olah raga ringan setiap hari • Keadaan umum secara medis baik (sistem kerja jantung dan pembuluh darah, sistem syaraf dan sistem pernafasan) • Timbulnya keinginan/dorongan untuk hidup sehat, teratur dan tertib. 2.Jiwa/Rohani • Cara berfikir teratur, berkomunikasi dengan baik, serta dapat menjawab dengan tepat dan benar • Adanya perubahan pola pikir, perilaku serta sikap hidup yang konstruktif (membangun) • Timbulnya kemampuan untuk mengendalikan diri dan disiplin diri. • Percaya dan mengandalkan Tuhan sang pencipta dengan sungguh-sungguh • Ada buah-buah roh (kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri) dalam kehidupan pribadi • Sudah mendapat pelayanan pelepasan dari pengaruh okultisme ataupun narkoba • Adanya dorongan dan kemauan untuk berdoa, merenungkan dan melakukan firman Tuhan dengan teratur • Adanya dorongan dan kemauan untuk beribadah dengan teratur dan tertib • Dapat memelihara kualitas kerokhaniannya secara pribadi. 3.Sosial • Siap menghadapi keberadaan lingkungan keluarga dan masyarakat • Dapat bergaul secara sehat dan benar • Bertanggung jawab • Dapat dipercaya • Patuh Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 73 • Ramah • Adanya semangat dan dorongan untuk bersekolah dan belajar secara teratur • Adanya dorongan dan semangat untuk bekerja serta berkarya dengan tekun • Adanya dorongan dan semangat dalam memanfaatkan waktu luang untuk diisi dengan hal yang baik dan benar E. HASIL YANG DICAPAI Korban yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah korban yang masih ada dalam IPWL atau masih dalam proses rehabilitasi sosial. Sehubungan dengan itu, untuk mengetahui hasil pelaksanaan IPWL, dihimpun informasi subyektif tentang perubahan yang dirasakan korban dan kepuasan mereka menerima pelayanan di dalam IPWL. Kepuasan korban terhadap pelayanan yang diberikan oleh IPWL, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 19. Persentase Kepuasan Korban terhadap Pelayanan IPWL (n=50) No Aspek yang Ditanyakan/ Diukur Kepuasan Korban Puas Kurang Tidak Tdk tahu 1. Kepuasan terhadap kegiatan yang dilaksanakan lembaga 76 20 2 2 2. Kepuasan terhadap petugas administrasi 72 12 6 10 3. Kepuasan terhadap Pekerja Sosial (Peksos). 72 14 8 6 4 Kepuasan terhadap pelayanan medis/dokter 56 30 4 10 5. Kepuasan terhadap Konselor Adiksi 88 6 2 6 6 Kepuasan terhadap pemenuhan permakanan 59 34 8 0 7 Kepuasan terhadap tempat tinggal/lembaga 60 36 2 2 74 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 8 Kepuasan terhadap fasilitas lembaga (keamanan, kebersihan, air, MCK, penerangan, dll.). 60 32 6 2 9 Kepuasan terhadap peralatan/sarana pelayanan 60 30 6 2 Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa korban yang mendapatkan kepuasan atas kegiatan, SDM, sarana, faslitas dan pelayanan yang diberikan oleh IPWL. Informasi tentang kepuasan korban tersebut memberikan gambaran, bahwa empat IPWL memiliki kapasitas memadai dalam penanganan korban penyalahgunaan napza. Kemudian perubahan yang dirasakan oleh korban setelah menerima pelayanan dari IPWL. Hanya 10 orang korban dari empat IPWL yang dapat memberikan jawaban tentang perubahan yang dirasakan. Menurut korban, perubahan pada kondisi fisik dan kesehatan, seperti: merasa sehat, nafsu makan tinggi, dan berat badan meningkat. Selanjutnya, perubahan pada kondisi sosial, seperti: banyak berteman, berbagai informasi, mengikuti kegiatan kelompk, dan lebih membuka diri. Kemudian, perubahan mental spiritual, seperti: mentaati aturan lembaga, semangat untuk hidup lebih baik, memotivasi teman, dan memanfaatkan waktu dengan baik. Selain kepuasan pada korban, dikumpulkan pula informasi subyektif kepuasan orang tua korban. Informasi ini penting, karena proses pelayanan IPWL juga dipengaruhi oleh pemahaman dan penilaian orang tua korban, terutama pada IPWL yang dikelola swasta karena orang tua berpartisipasi dalam pembiayaan. Kepuasan orang tua sebagaimana tampak pada tabel berikut: Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 75 Tabel 20. Kepuasan Orang Tua/keluarga Korban terhadap Pelayanan IPWL No Aspek yang Ditanyakan/ Diukur Kepuasan Korban Puas Kurang Tidak Tdk tahu 1. Kepuasan terhadap kegiatan yang dilaksanakan lembaga 5 - - - 2. Kepuasan terhadap petugas administrasi 5 - - - 3. Kepuasan terhadap Pekerja Sosial (Peksos). 5 - - - 4 Kepuasan terhadap pelayanan medis/dokter 5 - - - 5. Kepuasan terhadap Konselor Adiksi 5 - - - 6 Kepuasan terhadap pemenuhan permakanan 5 - - - 7 Kepuasan terhadap tempat tinggal/lembaga 5 - - - 8 Kepuasan terhadap peralatan/sarana pelayanan 5 - - - Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Berdasarkan data tersebut, bahwa semua orang tua korban merasa puas dengan situasi dan pelayanan yang diberikan oleh IPWL kepada anak atau anggota keluarganya. Informasi ini sebagai gambaran, bahwa eksistensi empat IPWL telah mendapatkan kepercayaan orang tua dalam proses pemulihan anak atau anggota keluarganya. F. FAKTOR -FAKTOR BERPENGARUH Beberapa faktor yang berpengaruh di dalam pelaksanaan IPWL adalah adanya berbagai dukungan baik yang berasal dari lembaga, mulai dari program, kegiatan, sarana prasarana, fasilitas yang tersedia, SDM maupun sarana penunjang lainnya. Peran serta masyarakat juga ikut ambil bagian di dalam penyelenggaraan 76 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza kegiatan IPWL, sehingga program dapat berjalan sesuai dengan harapan. Namun demikian, terdapat faktor penghambat pelaksanaan program IPWL seperti kurangnya sosialisasi program IPWL sampai pada lapisan masyarakat sehingga program tersebut tidak begitu dikenal di lingkungan masyarakat. Padahal tujuan dari IPWL adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat bahwa IPWL sebagai tempat untuk membantu pemulihan korban penyahgunaan napza, sehingga dengan informasi tersebut diharapkan dapat memberikan kesadaran kepada individu, keluarga ataupun masyarakat untuk datang ke IPWL dalam rangka penyembuhan. Kenyataan dilapangan justru yang mengerti tentang IPWL adalah perwakilan dari lembagalembaga yang diundang dan dilibatkan pada waktu pelaksanaan sosialisasi. Dinas Sosial sebagai mitra kerja dalam penanganan PMKS tidak dilibatkan dalam persoalan ini sehingga informasi yang di dapat dari Dinas Sosial kurang memadai seperti yang diharapkan. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 77 BAB V KAPASITAS IPWL DI SUMATERA UTARA A. GAMBARAN UMUM LOKASI Sumatera Utara adalah sebuah provinsi yang terletak di Pulau Sumatera dan beribukota di Medan. Provinsi ini terdiri dari 33 kabpaten/kota. Sumatera Utara merupakan provinsi keempat terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis, di mana di provinsi ini terdapat suku bangsa Batak, Nias, dan Melayu. Daerah pesisir timur Sumatera Utara, pada umumnya dihuni oleh orang-orang Melayu. Pantai barat dari Barus hingga Natal, banyak bermukim orang Minangkabau. Wilayah tengah sekitar Danau Toba, banyak dihuni oleh Suku Batak yang sebagian besarnya beragama Kristen. Suku Nias berada di kepulauan sebelah barat. Sejak dibukanya perkebunan tembakau di Sumatera Timur, pemerintah kolonial Hindia Belanda banyak mendatangkan kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan. Pendatang tersebut kebanyakan berasal dari etnis Jawa danTionghoa. Agama yang dianut oleh penduduk Sumatera Utara, yaitu Islam, kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Parmalim, dan animisme. Sumatera Utara kaya akan sumber daya alam berupa gas alam di daerah Tandam, Binjai dan minyak bumi diPangkalan Brandan, Kabupaten Langkat yang telah dieksplorasi sejak zaman Hindia Belanda. Selain itu di Kuala Tanjung, Kabupaten Asahan juga terdapat PT Inalum yang bergerak di bidang penambangan bijih dan peleburan aluminium yang merupakan satu-satunya di Asia Tenggara. PLTA Asahan yang merupakan PLTA terbesar di Sumatra terdapat di Kabupaten Toba Samosir. Provinsi ini tersohor karena luas perkebunannya, hingga kini, perkebunan tetap menjadi primadona perekonomian provinsi. Perkebunan tersebut dikelola oleh perusahaan swasta maupun negara. 78 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Di balik potensi dan sumber daya tersebut, Sumatera Utara menempati peringkat 12 nasional dalam penyalahgunaan narkoba. Hasil survei yang dilakukan BNN bersama Universitas Indonesia tahun 2013, pengguna narkoba sebesar 1,99 persen pada usia 10-69 tahun, dan pada pengguna narkoba pada kelompok usia produktif yang berkisar 10-20 tahun. Berdasarkan data asumsi di Badan Narkotika Provinsi (BNP) Provinsi Sumatera Utara tahun 2014, terdapat sekitar 600 ribu orang yang telah terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. Sebagian besar jumlah pengguna narkoba itu merupakan kelompok usia produktif. Kemudian, Kota Medan yang menjadi lokasi penelitian ini merupakan salah satu kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, dan sekaligus merupakan ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara. Kota ini merupakan kota metropolitan terbesar di luar Pulau Jawa dan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya, Kota Medan merupakan pintu gerbang wilayah Indonesia bagian barat, dan juga sebagai pintu gerbang bagi para wisatawan untuk menuju objek wisata Brastagi di daerah dataran tinggi Karo, objek wisata penangkaran Orang Utan di Bukit Lawang, serta kawasan Danau Toba. Kota Medan memiliki beragam etnis dengan mayoritas penduduk beretnis Jawa, Batak, dan Tionghoa. Adapun etnis aslinya adalah Minangkabau, India, dan Melayu serta etnis lainnya. Keanekaragaman etnis di Medan terlihat dari jumlah masjid, gereja dan vihara Tionghoa yang banyak tersebar di seluruh kota. Sebagai kota terbesar di Pulau Sumatera dan di Selat Malaka, Penduduk Medan banyak yang berprofesi di bidang perdagangan. Biasanya pengusaha Medan banyak yang menjadi pedagang komoditas perkebunan. Kota Medan patut disberi sebutan kota pelajar, karena di kota ini terdapat 72 perguruan tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa Kota Medan merupakan kota pusat perekonomian dan perdagangan, budaya dan pendidikan. Hal ini yang menjadikan Kota Medan Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 79 sebagai kota tujuan wisata bagi wisatawan domistik maupun manca negara, dan juga memiliki daya tarik yang kuat bagi migran dari luar wilayah Kota Medan. Kondisi ini merupakan faktor yang mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan pembangunan di Kota Medan. Selanjutnya, kabupaten kedua yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Kabupaten Deli Serdang. Kabupaten ini merupakan sebuah kabupaten di provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini berada di Lubuk Pakam. Kabupaten Deli Serdang dikenal sebagai salah satu daerah dari 33 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang memiliki keanekaragaman sumber daya alamnya yang besar, dan keanekaragaman budaya. Penduduk Deli Serdang terdiri dari: Suku Melayu, Suku Jawa, Suku Karo, suku Nias, selebihnya terdiri dari: Suku Batak, Minang, dan Tionghoa. Berdasarkan data 2013, Penduduk Deli Serdang sebanyak 1,886 juta orang dengan kepadatan penduduk sebanyak 755 orang per kilometer persegi. Deli serdang saat ini sedang berkembang menjadi salah satu pusat industri dan perdagangan di Sumatera Utara. 51 tempat wisata. 34 industri menengah dan tinggi yang menyerap tenaga lebih 2.000 orang. Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan lah yang berkontribusi paling besar. Dimana kedua sektor perekonomian tersebut, pada umumnya berada di dua daerah tersebut. Kota Medan tercatat berkontribusi sebesar 35 persen atau hampir 2,1 persen terhadap pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6.01 persen itu. Sementara Deli Serdang, berkontribusi sekira 15 persen, atau hampir satu persen terhadap total pertumbuhan ekonomi tersebut. Sebagai pusat industri, perdagangan dan tujuan wisata, menjadikan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten yang banyak didatangi orang-orang dari daerah lain. Kedatangan penduduk dari luar untuk berbagai keperluan tersebut, menyebabkan Deli Serdang memiliki dinamika yang relatif cepat di berbagai bidang, dibandingkan dengan kabupaten lain. 80 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Namun demikian, hal-hal yang positif tersebut dinodai dengan permasalahan penyalahgunaan napza yang sudah mengkhawatirkan. Berdasarakan catatan BNN Pusat (2013), Medan Jakarta dan Kalimantan Timur adalah daerah dengan pengguna narkoba terbanyak di Indonesia. Jumlah keseluruhan pengguna narkotika di kalangan pelajar dan mahasiswa pada 2014 sebanyak 1.390 orang. Jumlah itu meningkat dibandingkan kasus pada 2013. Terdata pelajar pengguna narkoba dari sekolah dasar berjumlah 123 orang, sekolah menengah pertama (SMP) 292 orang, sekolah menengah atas (SMA) 863 orang, dan mahasiswa 40 orang. Secara keseluruhan ada 1.318 orang (Koran Sindo, 2014). Data tersebut merupakan data yang dilaporkan atau data hasil razia dan penangkapan yang dilakukan oleh pihak BNN dan kepolisian. Padahal, penyalahgunaan napza merupakan fenomena gunung es, di mana data yang ada hanya sebagian kecil saja data data yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Sebagimana dipaparkan, bahwa pelajar mulai dari SD, SLP dan SLA hingga mahasiswa, jumlahnya sudah cukup siginifikan. Hal ini berarti, penyalahgunaan napza sudah sangat serius mengancam generasi muda di Kota Medan. Kemudian, di Kabupaten Deli Serdang. Di kabupaten kasus penyalahgunaan napza termasuk tinggi. Namun demikian, angka pasti korban penyalahgunaan napza tidak dipublikasikan secara luas, sehingga tidak dapat dikertahui dengan pasti berapa angka korban di Deli Serdang. Informasi mengenai penyalahgunaan napza diperoleh dari kasus-kasus yang dipublikasi media masa. Misalnya, pada tahun 2015, Polres Deli Serdang berhasil mengungkap 51 kasus peyalahgunaan narkoba jenis sabu dan ganja dengan 74 tersangka (portalkriminal.com, 2015). Pemerintah Daerah Deli Serdang merasa khawatir dengan kasus penyalahgunaan napza ini, karena korbannya dari berbagai lapisan dan bahkan termasuk kelompok anak-anak. Berkenaan dengan itu, Pemda bersama BNN kabupaten Deli Serdang telah menempuh Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 81 langkah-langkah, antara lain dengan melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah dalam rangka pencegahan. B. RESPONDEN PENELITIAN 1.Korban/Residen Korban penyalahgunaan napza yang dijadikan responden dalam penelitian ini berjumlah 40 orang. Seluruh responden adalah laki-laki. Berdasarkan pendidikan, sebagian besar berpndidikan SLTA. Distribusi responden menurut pendidikan sebagaimana tampak pada tabel berikut: Tabel 21. Responden Menurut Pendidikan NO FREKUENSI PERSENTASE 1 SD PENDIDIKAN 9 22.5 2 SLP 3 7.5 3 SLA 22 55 4 Sarjana 6 15 40 100 Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Berdasarkan data pada tabel tersebut menunjukkan, bahwa kelompok masyarakat berdasarkan pendidikan, terwakili pada responden dalam penelitian ini. Menarik dari data tersebut, bahwa kelompok remaja (SLP-SLA), frekuensinya lebii besar (62.5%). Tabel 22. Responden Menurut Pekerjaan Orang Tua NO PEKERJAAN ORANG TUA FREKUENSI PERSENTASE 9 22.5 1 Tidak bekerja 2 Swasta 27 67.5 3 Pedagang 3 7.5 4 Petani 1 2.5 40 100 Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2015. 82 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Data pada tabel tersebut menunjukkan, bahwa responden dalam penelitian ini mewakili jenis-jenis pekerjaan orang tua di sektor swasta, pedagang dan petani. Kemudian, terdapat responden yang orang tuanya tidak bekerja dengan persentase yang cukup signifikan (22.5%). Dilihat dari tempat tinggal sebelum mendapatkan pelayanan IPWL, sebagian besar responden tinggal bersama dengan orang tuanya. 2. Orang Tua Responden Pada penelitian ini dikumpulkan informasi dari 15 orang tua korban. Pada umumnya orang tua bekerja di sektor swasta. Dilihat dari usia, sebagian besar (72%) berada pada usia 52 – 61 tahun. Pendidikan orang tua cukup baik, sebagian besar (64%) berpendidikan SLA. 3. Petugas IPWL Sumber daya manusia di IPWL terdiri dari petugas administrasi dan petugas teknis. Masing-masing dari petugas tersebut diambil satu orang sebagai responden dalam penelitian yang mewakili IPWL. Secara garis besar respon pertugas IPWL dibedakan menjadi tiga, yaitu petugas administrasi, petugas teknis dan tenaga penunjang. Petugas administrasi adalah orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas administrai umum atau perkantoran. Petugas teknis, adalah orang-orang yang melaksanakan kegiatan teknis tekait dengan proses rehabilitasi medis maupun sosial bagi korban penyalahgunaan napza. Kemudian, petugas penunjang adalah orang-orang yang melaksanakan kegiatan terkait dengan permakanan korban, kebersihan, kenyamanan dan keamanan IPWL. a. Petugas Administrasi Petugas administrasi di dalam penelitian ini, yaitu orangorang yang melaksanakan tugas-tugas adminitrasi, yakni: kepala lembaga, sekretaris atau staf administrasi umum Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 83 senior. Pada penelitian ini, petugas administrasi yang menjadi informan, yaitu kepala-kepala IPWL yang dibantu oleh staf administrasi umum. Wawancara dilakukan dengan Kepala IPWL dan dengan kepala sub bagian tata usaha, dibantu staf administrasi umum dalam menyiapkan data sekunder (dokumen-dokumen) yang diperlukan peneliti. Reponden sudah berpengalaman lebih 5 (lima) tahun sebagai pimpinan lembaga, berpengalaman mengikuti palatihan dan pemantapan IPWL, dan aktif menjadi anggota forum peduli pananggulangan napza. Pengalaman-pengalaman tersebut yang sangat membantu dalam proses penggalian data dan informasi terkait dengan aspek kelembagaan IPWL. b. Petugas Teknis Petugas teknis di dalam penelitian ini, yaitu orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas teknis pelayanan dan rehabilitasi, yakni: pekerja sosial, kanselor adiksi, dokter, para medik, psikiater, psikolog, pembimbing rohani, instruktur keterampilan, tenaga kesejahteraan sosial. Dilihat dari status kepegawaiannya, petugas teknis tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu tenaga tetap dan tenaga tidak tetap. 1)Petugas tetap Petugas tetap adalah orang-orang yang sudah menjadi pegawai tetap IPWL. Mereka masuk di dalam kepegawaian, memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas dan pasti, memperoleh fasilitas yang disediakan lembaga dan mendapatkan gaji serta insentif lain yang menjadi kebijakan IPWL. Pada penelitian ini, pekerja sosial, kanselor adiksi, tenaga kesejahteraan sosial, para medik dan pembimbing rohani, merupakan petugas-petugas yang termasuk tenaga organik pada keempat IPWL. Pada IPWL PSMP, selain petugas-petugas yang termasuk petugas tetap, yakni instruktur keterampilan dan para medik. Sebagai catatan, bahwa pekerja sosial di IPWL adalah orang-orang yang pernah mengikuti pemantapan pekerjaan sosial adiksi, tetapi mereka belum tersertifikasi sebagai pekerja sosial. 84 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 2) Petugas tidak tetap Petugas tidak tetap adalah orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas di IPWL sesuai dengan keahliannya, tetapi mereka bukan sebagai pegawai tetap IPWL. Penugasan mereka di IPWL melalui bentuk kerjasama antara IPWL dengan lembaga (dimana ahli tersebut bekerja) atau kerjasama secara indivual. Petugas tidak tetap dalam penelitian ini, yaitu dokter, psikolog, psiakter, dan para medik serta instruktur keterampilan (kedua petugas terakhir kecuali di PSMP sudah menjadi petugas tetap). Petugas-petugas teknis tersebut sudah bekerjasama dengan IPWL rata-rata lebih 4 (empat) tahun. Pengalaman tersebut ditambah dengan keikutsertaannya dalam worshop, diskusi dengan pengurus IPWL dan sharing pengalaman dengan petugas teknis lain selama proses rehabilitasi, merupakan faktor yang banyak membantu dalam proses pengumpulan data dan informasi terkait dengan rehabilitasi medis maupun sosial. 4. Tenaga Penunjang Tenaga penunjang adalah orang-orang yang melaksanakan tugas sebagai untuk penujang pelayanan dan rehabilitasi bagi korban (korban). Tenaga penunjang dimaksud, yakni tenaga permakanan, tenaga kebersihan dan tenaga keamanan IPWL. Seluruh tenaga penujang di 4 (empat) IPWL, merupakan tenaga tetap IPWL. Mereka sudah bekerja di IPWL rata-rata lebih dari 5 (lima) tahun, sehingga sudah banyak pengalaman di bidangnya. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa tenaga penunjang ini ikut menentukan proses dan keberhasilan pelayanan dan rehabilitasi di IPWL. Karena kegiatan yang mereka laksanakan berkaitan dengan aspek biologis (fisiologis), psikologis dan sosial korban penyalahgunan napza (korban) di IPWL. Pengalaman dan kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas penunjang tersebut, merupakan faktor yang membantu penelitia dalam proses pengumpulan data dan informasi terkait pelayanan dan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan napza. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 85 5.Masyarakat Masyarat yang menjadi responden dalam penelitian, yaitu ketua lingkungan, tokoh agama dan pendidik. Mereka dijadikan responden untuk mewakili suara masyarakat terkait dengan pemahaman, sikap dan perilakunya terhadap IPWL dan kegiatan yang dilaksanakan dalam penanganan korban napza. 6. Instansi terkait Instansi terkait di dalam penelitian ini adalah Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Utara, Dinas Sosial Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang dan BNNK Medan. Adapun yang menjadi informan di dalam instansi-instansi tersebut, yaitu: a. Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial pada Dinas Sosial Provinsi Sumtera Utara, b. Kasie Rehabilitasi BNNP Sumatera Utara c. Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial pada Dinas Sosial Kota Medan. d.Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial pada Dinas Sosial Kabupaten Deli Serdang. C. KOMPONEN PROGRAM Dari hasil penelitian terlihat masing-masing IPWL mempunyai kemampuan yang tidak sama antara satu dengan yang lain. Ketidaksamaan ini dapat dilihat dari, program, kegiatan, sarana prasarana, fasilitas yang tersedia, sumber dana, pendekatan yang digunakan sampai pada sumber daya manusia yang tersedia, disamping capai hasil dan faktor-faktor yang berpengaruh di dalam pelaksanaan rehabiltasi sosial. 1. Kelembagaan IPWL Pada kelembagaan ini dilihat organisasi IPWL yang meliputi status lembaga, visi dan misi dan struktur organisasi. Hasil penelitian berhasil mengumpulkan informasi, bahwa dari 4 (empat) IPWL yang diteliti, yaitu Panti Sosial Pamardi Putra 86 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza “Insyaf”, Sibolangit Centre, Yayasan Nazar, Yayasan Minar Christ. Satu IPWL yang berstatus sebagai institusi pemerintah adalah Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf”. Tiga lembaga yang lain berstatus sebagai lembaga swasta atau milik masyarakat dalam bentuk yayasan sosial. Semua IPWL telah memiliki visi dan misi yang dapat dibaca di papan informasi maupun di dalam brosur dan buku profil lembaga, sebagai berikut: a. Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dalam melaksanakan pelayanan bagi korban penyalahgunaan naspza, memiliki visi “mewujudkan Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara sebagai penyelenggara rehabilitasi dan perlindungan sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika secara prima. Visi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam misi, yaitu: 1) Melaksanakan rehabilitasi sosial bagi penyalahgunaan narkotika sesuai dengan pelayanan korban standart 2)Melaksanakan program dan advokasi pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika secara efisien dan efektif 3)Melaksanakan dukungan manajemen rehabilitasi sosial Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara, mempunyai kapasitas isi 200 orang dan kapasitas tampung 200 orang. Korban yang memperoleh pelayanan di dalam lembaga, bukan hanya dari Kota Medan, tetapi berasal dari wilayah sumater dan di luar sumatera. b. Sibolangit Centre Sibolangit Centre merupakan organisasi non pemerintah yang berdiri pada tahun 2001, di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Dalam pelaksanaan rehabilitasi Sibolangit Centre mengacu pada visi dan misi lembaga, yaitu: Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 87 1)Membantu pemerintah dan masyarakat dalam usahausaha menyelamatkan anak bangsa yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba 2)Melaksanakan rehabilitasi sesuai dengan standart yang ada 3)Meningkatkan SDM petugas rehabiltasi 4) Membangun dan menjalin jaringan kerja dengan pihak-pihak lain yang berkompeten dalam bidang penanggulangan dan rehabilitasi narkoba 5)Melaksanakan sosialisasi bahaya narkoba dan rehabilitasi korban narkoba kepada masyarakat Visi lembaga tersebut melandasi prinsip pelayanan lembaga, yaitu: “berobat, bertobat dan bersobat”. Berobat dengan mengikuti semua program pemulihan di tempat rehabilitasi, Bertobat dilakukan dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui berbagai kegiatan agama, dan Bersobat berarti bisa bergaul dan bersahabat agar mendapat dukungan dari keluarga, sahabat dan lingkungan terdekat untuk bisa kembali ke masyarakat. Sejak berdiri tahun 2001 hingga sekarang Sibolangit centre telah merawat banyak korban dan pada tahun 2015 yang ditangani berjumlah 60 orang. c. Yayasan Nazar Yayasan Nazar sudah dikenal masyarakat Sumut sejak tahun 2001 dengan aktivitasnya bergerak di bidang sosial masyarakat, ikut serta secara langsung terlibat dalam pemberantasan napza dengan cara penyuluhan dan kampanye serta merehabilitasi orangorang korban penyalahgunaan napza maupun ketergantungan serta sudah pada tingkat klasifikasi “dualdiagnosis” atau gangguan mental. Terdapat tiga tujuan yang dicapai oleh yayasan Nazar, yaitu: 1)Umum: membantu pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan napza 88 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 2) Khusus: menjadi mitra pemerintah Provinsi Sumatera Utara 3) Menyelamatkan dan membebaskan generasi anak bangsa dari penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba sebagai wujud kami peduli bangsa Sedangkan sasaran kegiatan meliputi: 1)Merehabilitasi orang ketergantungan narkoba dan sakit serta gangguan jiwa akibat napza 2)Edukasi, penyuluhan, memotivasi serta menyadarkan masyarakat agar ikut serta memberantas napza Sebagai tenaga penunjang rehabilitasi sosial tersedia sumber daya manusia yang seluruhnya berjumlah 34 orang. d. Yayasan Minar Christ Yayasan Minar Christ merupakan IPWL yang dikelola oleh masyarakat, berdiri pada tahun 2013. Lembaga ini memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi korban penyalahgunaan napza, sehingga mereka menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Lembaga ini memiliki struktur organisasi, yaitu seorang pimpinan, sekretaris, bendaha dan seksi-seksi pada kegiatan teknis. Selain itu, juga memiliki tenaga penunjang, seperti juru masak, petugas kebersihan dan satuan pengamanan. 2.Sasaran IPWL memberikan pelayanan rehabilitasi sosial bagi seseorang yang menjadi korban penyalahgunaan napza. Korban/korban yang memperoleh pelayanan dan rehabilitasi di IPWL adalah mereka yang sudah memperoleh pelayanan medis dari rumah sakit. Jumlah korban penyalahgunaan napza yang memperoleh pelayanan rehabilitasi sosial di empat IPWL seluruhnya berjumlah 204 orang dengan rincian sebagaimana berikut: Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 89 Tabel 23. Korban Penerima Rehabilitasi Sosial di Empat IPWL Jumlah Korban No. Nama IPWL 1. PSPP Sumatera Utara 97 0 97 2. Sibolangit Centre 60 0 60 3. Yayasan Nazar 40 0 40 4. Minar Christ Jumlah Dalam Institusi Luar Institusi Jumlah 50 0 50 247 0 247 Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Berdasarkan tabel tersebut, semua IPWL yang menjadi sasaran dalam penelitian ini, melaksanakan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza dengan sistem institusi. Tidak ada satu pun IPWL yang mengimplementasikan sistem luar institusi. 3. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia pada IPWL, dibedakan menjadi petugas administrasi dan petugas teknis. Termasuk ke dalam petugas administrasi, yaitu pimpinan lembaga dan staf yang mengerjakan kegiatan administrasi Selanjutnya, termasuk ke dalam petugas teknis, yaitu pekerja sosial, kanselor adiksi, doter, psikiater, psikolog, pembiming rohani, instruktur keterampilan, para medik, tenaga kesejahteraan sosial. Dari empat IPWL yang diteliti, seluruhnya sudah didukung dengan ternaga administratif maupun tenaga teknis yang memadai. Namun demikian untuk tenaga dokter, psikolog dan psikiater, hampir seluruhnya IPWL belum memliki tenaga tetap. Tenaga teknsi tersebut diperoleh dari rumah sakit, perguruan tinggi, dan lembaga profesi. 90 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Tabel 24. Petugas di IPWL yang menjadi Responden NO PETUGAS IPWL KETERANGAN (1) (2) (3) (4) (5) 4 2 6 2 1 a. Pekerja Sosial 16 8 7 2 3 b.Konselor Adiksi 0 10 5 5 3 c.Dokter 1 2 1 1 1 d.Psikiater 1 1 1 1 1 e.Psikolog 2 1 1 1 1 f. Pembimbing Rohani 2 4 2 2 1 g.Instruktur Ketrampilan 3 1 1 2 1 h.Paramedik 1 4 2 0 1 i. Tenaga Kesejahteraan Sosial 3 10 10 3 1 j. Tenaga Penunjang 2 2 2 2 2 1 Petugas Administrasi 2. Petugas Teknis: Keterangan: (1) PSPP Sumatera Utara, (2) Sibolangit Center, (3) Yayasan Nazar, (4) Minar Christ. Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Berdasarkan data pada tabel tersebut, semua IPWL sudah memiliki SDM, baik petugas administrasi, petuags teknis dan petugas penunjang. Tenaga administrasi, pekekrja sosial, kanselor adiksi, pembimbing rohani dan petugas penunjang, merupakan pegawai tetap. Sedangkan psikolog, psikiater, para medis dan instruktur keterampilan merupakan tenaga tidak tetap. Tenaga teknis tidak tetap tersebut diperoleh dari kemitraan antara IPWL dengan rumah sakit, perguruan tinggi, lembaga profesi dan lembaga pelatihan. Pada pelaksanaan kegiatan, belum tersedia pedoman yang membedakan secara tegas perbedaan ranah kegiatan pekerja sosial dengan kanselor adiksi. Pada kedua tenaga teknis tersebut berpotensi terjadi tumpang tindih. Bahkan pada IPWL yang kekurangan pekerja sosial, kanselor adiksi Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 91 melaksanakan tugas-tugas pekerja sosial. Kemudian, kanselor adiksi tersebut direkrut dari mantan korban penyalahguna napza tanpa mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan profesionalitasnya di bidang konseling dan pendampingan. Padahal, untuk melaksanakan tugas konseling dan pendampingan diperlukan pendidikan profesi yang khusus (seperti, ilmu kesejahteraan sosial dan atau psikologi). Tugas kaselor adiksi tersebut sebenarnya merupakan salah satu tugas pekerja sosial profesional. Tenaga teknis lain, seperti psikolog, psikiater, dokter, paramedis, pembimbing rohani, dan instruktur keterampilan, sudah ada di semua IPWL. Untuk tenaga psikolog, psiater dan dokter, sebagian besar IPWL mendapatkan melalui bentuk kerjasama dengan perguruan tinggi dan rumah sakit dan lembaga profesi. Sedangkan pembimbing rohani dan instruktur keterampilan, pada umumnya tenaga organik yang ada di IPWL. Semua IPWL memiliki tenaga kesejahteraan sosial atau relawan sosial, masing-masing satu orang. Tetapi apabila dilihat tugasnya lebih banyk membantu tenaga adinistrasi dan penunjang. Oleh karena itu, TKS/relawan sosial ini seyogyanya tidak menjadi unsur tenaga yang ada di dalam IPWL. 4. Sarana Prasana Sarana prasarana dibadi menjadi dua, yaitu sarana prasarana fisik dan instrumen teknis rehabiliatsi sosial. Pada empat IPWL yang diteliti, semuanya menempati sebuah gedung kantor sebagai pusat kegiatan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza. Dari empat IPWL, Lembaga Pemulihan Siloam menempati gedung kantor dengan status kontrak. Sementara itu, tiga lembaga yang lain sudah menempati gedung kantor sendiri. Berkaitan dengan sarana prasarana dalam bentuk bangunan fisik, Kementerian Sosial RI telah menetapkan standar lembaga rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza. Di dalam standar 92 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza tersebut diatur, bahwa sarana dan prasarana fisik dibagi menjadi perkantoran, ruang pelayanan teknis dan ruang pelayanan umum (Kemensos, 2012). Berdasarkan hasil penelitian, pada keempat IPWL sudah memiliki sarana prasarana sebagaimana standar dimaksud, yaitu: a. Perkantoran yang terdiri dari ruang: pimpinan, ruang kerja staf, ruang rapat, dan ruang data dan informasi. b. Ruang pelayanan teknis terdiri dari ruang: asrama, pengasuh, asesmen, konseling, isolasi, olah raga, bimbingan mental dan sosial, praktik keterampilan dan rekreasi. Khusus terkait dengan keterampilan, keempat IPWL memiliki lahan atau tempat untuk mengembangkan keterampilan korban, antara lain: kolam ikan, ternak kelinci dan kambing, pertukangan dan berkebun. c. Ruang pelayanan umum terdiri dari ruang: makan, belajar, ibadah, kesehatan, aula, pos keamanan, tamu, gudang, kamar mandi, tempat parkir dan rumah pengurus. Selain sarana prasarana dalam bentuk perkantoran dan ruangan, pada penelitain ini juga dihimpun informasi yang berkaitan dengan sarana prasarana yang berupa peralatan yang mendukung pelayanan teknis maupun pelayanan umum. Peralatan yang tersedia pada keempat IPWL, yaitu peralatan: komunikasi, penerangan, kebersihan, instalasi air bersih, tansportasi, dan peralatan lain. Dari empat IPWL yang diteliti, PSPP memiliki sarana prasarana yang lebih lengkap dan memadai (jumlah dan kondisi) dibandingkan dengan ketiga lembaga yang lain, baik mengenai perkantoran, ruang pelayanan teknis, ruang pelayanan umum dan peralatan yang mendukung pelayanan rehabilitasi sosial. 5.Kegiatan Kegiatan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza yang dilaksanakan di empat IPWL yaitu: pelayanan kebutuhan dasar, pelayanan kesehatan, konseling, bimbingan Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 93 sosial, bimbingan mental spiritual, bimbingan/pelatihan vokasional dan kewirausahaan, bimbingan resosialisasi dan bimbingan lanjut. 6.Pembiayaan Komponen penting yang menjadi penentu berjalannya program di IPWL, yakni ketersediaan biaya atau anggaran. Sumber pembiyaan pada PSPP bersumber dari Kementerian Sosial. Kemudian, pada ketiga IPWL yang lain bersumber pembiayaan diperoleh dari orang tua/keluarga korban, usaha lembaga, donatur dalam dan luar negeri, subsidi pemerintah pusat maupun daerah. D. PELAKSANAAN PROGRAM Pada sub ini akan dideskripsikan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh IPWL di Provinsi Sumatera Utara, yang berjumlah empat unit, yaitu: SPPP Insyaf, Sibolangit Center, Minar Christ dan Yayasan Nazar. Pada Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara, kegiatan yang dilakukan, yaitu: 1) Rehabilitasi sosial dalaam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan ketrampilan. 2) Penyuluhan dan konsultasi napza. 3) Voluntary counseling dan testing (VCT). 4) Perlindungan dan advokasi sosial. 5) Bantuan pengembangan usaha ekonomis produktif (BP-UEP). 6) Family support group (FSG). 7) Peer support group (PSG). Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam suatu tahapan rehabilitasi sosial, yaitu: a. Pendekatan awal Pendekatan awal merupakan bentuk kegiatan yang mengawali keseluruhan proses rehabilitasi sosial melalui penyampaian informasi program rehabilitasi sosial kepada masyarakat, instansi 94 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza terkait, organisasi sosial untuk mendapatkan data awal korban penyalahgunaan narkotika sesuai dengan syarat yang ditentukan. b.Asesmen Tahap pengungkapan dan pemahaman masalah merupakan serangkaian kegiatan untuk menelaah kasus yang dialami korban serta potensi dan sumber yang dimiliki. c. Penyusunan rencanan intervensi Kegiatan dilakukan untuk merencanakan penanganan kasus sesuai dengan hasil assesment. d.Pemecahan masalah/intervensi yang dilaksanakan melalui bimbingan fisik dan kesehatan, bimbingan mental spiritual, bimbingan sosial, dan bimbingan ketrampilan dan praktek belajar kerja. Pendekatan dalam rehabilitasi sosial, yaitu theraupetic community. e.Resosialisasi/Reintegrasi, Tahap ini dilakukan untuk menyiapkan penerima manfaat, keluarga dan lingkungan sosial dimana ia tinggal. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kemauan dan kemampuan keluarga/ lingkungan untuk menerima eks korban narkotika. Harapan dari kegiatan ini agar penerima manfaat dapat berintegrasi ditengahtengah kehidupan keluarga/masyarakat setelah mendapatkan rehabilitasi sosial. f.Terminasi Berakhirnya kegiatan pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada penyalahgunaan narkotika untuk kembali ke keluarga/ masyarakat. g. Pembinaan lanjut. Tahap untuk memelihara dan memantapkan kondisi kepulihan eks penerima manfaat dari ketergantungan terhadap narkotika setelah selesai menjalani pelayanan dan rehabilitasi sosial dipanti. h. Monitoring dan evaluasi Dilakukan untuk mengetahui perkembangan dan kondisi eks penerima manfaat setelah selesai melaksanakan program Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 95 rehabilitasi sosial serta untuk mengetahui eks penerima manfaat dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Sedangkan kegiatan yang dilaksanakan oleh IPWL masyarakat, secara umum relatif sama, mereka mengkombinasikan antara pendekatan therapeutic community dengan nilai-nilai keagamaan dan cara-cara tradisional. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan adalah: 1) Pemenuhan kebutuhan dasar: sandang, pangan, papan 2) Penanganan korban dengan pendekatan teurapetic community. 3)Konsultasi Pelayanan konsultasi tentang bahaya pemakaian narkoba tanpa dipungut beaya. 4)Konseling Pembinaan konseling dalam bentuk pribadi dan konseling kelompok oleh staf ahli sesuai dengan bidang masing-masing. 5) Organisasi perkumpulan keluarga Pembinaan tentang pemulihan penyalahgunaan narkoba kepada keluarga klien serta pemahaman kecanduan 6) Pengetahuan permasalahan narkoba dan pembinaan pemulihan Rehabilitasi memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bahaya narkoba serta metode pemulihan. 7) Keterampilan hidup Ketrampilan baik mental maupun sosial serta vokasional, seperi bengkel sepeda, bengkel motor, bengkel mobil, elektronika, las, desain grafis/sablon, peternakan kambing etawa. Metode pemulihan yang dilakukan, yaitu: 1) Terapi spiritual Korban dibimbing mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama yang dianutnya, seperti, sholat, zikir, dan pengajian bagi yang beragama Islam. Mengikuti kebaktian setiap minggu bagi yang beragama Kristiani bagitu juga dengan yang beragama lain. Kegiatan ini merupakan fondasi spiritual 96 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza yang diharapkan bisa membingkai kesadaran secara permanen. Untuk menunjang kegiatan ini, di samping menyediakan ustad dan atau pendeta. 2) Terapi tradisional Jenis-jenis terapi tradisional, seperti oukup, pijat dan jamu. Oukup untuk mengeluarkan racun narkoba melalui pori-pori badan. Pijit untuk mengedurkan, melancarkan peredaran darah dan menyehatkan tubuh. Kemudian, jamu untuk mencuci perut, mengeluarkan racun, menetralisir syaraf dan menstabilkan fungsi tubuh. Jamu berasal dari ramu-ramuan seperti, kunyit, kencur, temulawak, dan lain-lain yang berasal dari tanaman alami yang kemudian diramu khusus. Ada juga IPWL yang menggunakan terapi tradisional dengan cara mandi air belerang ditambah garam yang diguyurkan ke kepala korban. Tujuannya untuk melancarkan aliran darah di kepala. Terapi ini dilakukan di pemandian alam Lau Debuk-Debuk. 3) Terapi medis Pengobatan dan perawatan medis dilakukan untuk penyakitpenyakit ikutan dari pengaruh penyalahgunaan narkoba. Secara terjadwal, korban diperiksa dokter dan perawat. Untuk pengobatan medis, IPWL melakukan kerjasama dengan Puskesmas dan Rumah Sakit Mahoni Medan. Pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap dua kali seminggu. 4) Terapi fisik Bentuk-bentuk terapi fisik ini, seperti olah raga, senam dan cross country dan kegiatan lain yang bersifat rekreatif. Pada pagi hari korban melakukan senam kesegaran jasmani, kemudian bersihbersih kamar dan area asrama. Sore hari kegiatan olah raga, sepak bola, basket, tenis meja, bulu tangkis, futsal dan berenang. Malam hari mereka bebas melakukan aktivitas masing-masing seperti bermain musik dan nonton bareng. Hal ini maksudkan agar korban tidak merasa jenuh dengan aktivitas rutinitas sehari-hari. 5) Terapi kelompok pemulihan Terapi kelompok pemulihan, merupakan sebuah “keluarga” yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai masalah dan tujuan Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 97 yang sama, bersedia menolong diri sendiri dan sesama melalui kelompok. Dari proses ini diharapkan terjadi perubahan tingkah laku dari yang negatif kearah tingkah laku yang positif. Terapi ini menggunakan kekuatan kelompok teman sebaya untuk saling memberikan dorongan dalam melakukan perubahan di dalam diri mereka. Terapi ini berguna untuk membantu korban dalam memenuhi kebutuhan umum, perubahan perilaku dan mengatasi masalah yang mengganggu kehidupan mereka menuju pemulihan. Kelompok ini terbentuk secara sukarela untuk saling berusaha mencapai tujuan khusus. Bentuk dukungan berupa komunikasi antar pribadi dan komunikasi kelompok diantara mereka dengan cara pengungkapan diri secara terbuka bahwa mereka mempunyai masalah, diskusi, curhat, konseling dan kerjasama dalam menyelesaikan tugas dan masalah. Dengan adanya dukungan dari teman sebaya diharapkan korban mampu merubah sikap dari yang negatif menjadi positif dan dapat menyelesaikan masalahnya sehingga mereka berhasil pulih. E. HASIL YANG DICAPAI Responden dalam penelitian ini, yaitu korban penyalahgunaan napza yang masih dalam proses rehabilitasi sosial di IPWL. Oleh karena itu, evaluasi dalam penelitian ini mengukur dan menilai perubahan-perubahan yang terjadi pada korban yang masih dalam proses rehabilitasi sosial. Mengingat berbagai keterbatasan untuk memperoleh data primer dari korban, maka untuk mengetahui perubahan pada korban dihimpun informasi dari petugas teknis, korban dan orang tua korban. 1. Menurut Tenaga Teknis Untuk mengetahui hasil dari pelaksanaan rehabilitasi sosial di IPWL, digali informasi dari tenaga teknis IPWL, yaitu: psikolog, psikiater, pekerja sosial, kanselor adiksi, pembimbing rohani dan instruktur. Aspek-aspek yang ditetapkan untuk mengukur perubahan pada korban setelah memperoleh pelayanan rehabilitasi sosial di IPWL, yaitu (1) sikap, (2) tidak mengalami 98 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza keluhan fisik dan putus obat, (3) perilaku sosial, (4) aktivitas menjalankan ibadah/doa secara mandiri, (5) mentalitas/dorongan untuk menjadi lebih baik/berguna dan (6) relasi sosial. Namun demikian, tenaga-tenaga teknis tersebut tidak dapat menyajikan data kuantitaf pada responden yang sudah mengalami perubahan. 2. Menurut Korban / Residen Kapasitas pelayanan dan rehabilitasi sosial IPWL dapat diketahui dari pendapat korban selama mereka memperoleh pelayanan dan rehabilitasi sosial di IPWL, sebagaimana disajikan pada tabel berikut: Tabel 25. Persentase Kepuasan Korban terhadap Pelayanan IPWL (n=40) No Aspek yang Ditanyakan/ Diukur Kepuasan Korban Puas Kurang Tidak Tdk tahu 1. Kepuasan terhadap kegiatan yang dilaksanakan lembaga 92,50 7,50 0 0 2. Kepuasan terhadap petugas administrasi 100,00 0 0 0 3. Kepuasan terhadap Pekerja Sosial (Peksos). 87,50 0 2,50 10,00 4 92,50 0 7,50 0 5. Kepuasan terhadap Konselor Adiksi 90,00 0 5,00 5,00 6 Kepuasan terhadap pemenuhan permakanan 97,50 0 0 2,50 7 Kepuasan terhadap tempat tinggal/lembaga 92,50 0 7,50 0 8 Kepuasan terhadap fasilitas lembaga (keamanan, kebersihan, air, MCK, penerangan, dll.). 80,00 0 17,50 2,50 9 Kepuasan terhadap peralatan/sarana pelayanan 90,00 0 10,00 0 Kepuasan terhadap pelayanan medis/dokter Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 99 Berdasarkan data pada tabel tersebut, sebagian besar (di atas 35 orang atau 87%) menyatakan puas dengan tenaga administrasi, tenaga teknis, permakanan, tempat tinggal, fasilitas lembaga dan peralatan yang dalam rehabilitasi sosial. Pernyataan kurang puas pada kegiatan yang dilaksanakan IPWL (7,50%), dan tidak puas dengan presentase cukup tinggi (17,50%) pada fasitas lembaga (keamanan, kebersihan, air, MCK, penerangan.). Kemduian, kepada korban juga ditanyakan perubahan yang dirasakan setelah menerima pelayanan di IPWL. Dari 50 korban di empat IPWL, yang memberikan informasi mengenai perubahan pada dirinya yang dapat dirasakan sebanyak 40 orang. Pada aspek fisik dan kesehatan terjadi perubahan, seperti: badan lebih sehat, nafsu makan bagus, dan berat badan meningkat. Pada aspek sosial, seperti: memiliki teman, mau memberi informasi, aktif mengikuti kegiatan kelompok, dan menghargai pendatapat teman. Kemudian, pada aspem mental spiritual, seperti: mentaati aturan IPWL, memiliki semangat hidup lebih baik, membantu teman untuk berubah, dan bersama teman mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat. 3. Menurut Orang Tua/Keluarga Korban/ Residen Selain kepuasan korban, untuk memperoleh informasi kapasitas IPWL juga dihimpun informasi tentang kepuasan orang tua korban terhadap pelayanan dan rehabilitasi sosial di IPWL, sebagaimana disajikan pada tabel berikut: 100 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Tabel 26. Kepuasan Orang Tua/keluarga Korban terhadap Pelayanan IPWL No Aspek yang Ditanyakan/ Diukur Kepuasan Korban Puas Kurang Tidak Tdk tahu 1. Kepuasan terhadap kegiatan yang dilaksanakan lembaga 97,50 2,50 0 0 2. Kepuasan terhadap petugas administrasi 95.00 5,00 0 0 3. Kepuasan terhadap Pekerja Sosial (Peksos). 100,00 0 0 0 4 Kepuasan terhadap pelayanan medis/dokter 95,00 5,00 0 0 5. Kepuasan terhadap Konselor Adiksi 100.00 0 0 0 6 Kepuasan terhadap pemenuhan permakanan 97,50 2,50 0 0 7 Kepuasan terhadap tempat tinggal/lembaga 100,00 0 0 0 8 Kepuasan terhadap peralatan/sarana pelayanan 95,00 5,00 0 0 Sumber: Hasil Penelitian, 2015. Pernyataan subyektif orang tua korban mengenai kepuasan terhadap pelayanan dan rehabilitasi sosial IPWL cenderung sama dengan pernyataan yang disampaikan korban. Sebagian besar orang tua/keluarga menyatakan puas dengan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan IPWL bagi anak/ keluarganya. Orang tua yang menyatakan kurang puas hanya sedikit, dan bahkan yang tidak puas tidak ada. F. FAKTOR - FAKTOR BERPENGARUH Beberapa faktor yang berpengaruh di dalam pelaksanaan IPWL adalah adanya berbagai dukungan baik yang berasal dari lembaga, mulai dari program, kegiatan, sarana prasarana, fasilitas yang tersedia, SDM maupun sarana penunjang lainnya. Peran serta Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 101 masyarakat juga ikut ambil bagian di dalam penyelenggaran kegiatan IPWL, sehingga program dapat berjalan sesuai dengan harapan. Sedangkan faktor penghambat pelaksanaan program IPWL, yaitu kurangnya sosialisasi program IPWL sampai pada lapisan masyarakat sehingga program tersebut kurang dikenal di lingkungan masyarakat. Padahal tujuan dari IPWL adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat bahwa IPWL sebagai tempat untuk membantu pemulihan korban penyalahgunaan napza, sehingga dengan informasi tersebut diharapkan dapat memberikan kesadaran kepada individu, keluarga ataupun masyarakat untuk datang ke IPWL dalam rangka penyembuhan. Kenyataan dilapangan justru yang mengerti tentang IPWL adalah perwakilan dari lembaga-lembaga yang diundang dan dilibatkan pada waktu pelaksanaan sosialisasi. Dinas Sosial sebagai mitra kerja dalam penanganan PMKS tidak dilibatkan dalam persoalan ini sehingga informasi yang di dapat dari Dinas Sosial kurang memadai. 102 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A.KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka dapat dikesimpulan sebagai berikut: 1. Komponen Kegiatan Komponen kegiatan pada IPWL, yang meliputi aspek kelembagaan, sumber daya manusia, sarana prasarana dan dana membuktikan bahwa IPWL sudah memiliki kapasitas sebagai lembaga pelaksana rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza. Meskipun demikian, untuk pekerja sosial masih diperlukan penambahan jumlah, sehingga memehuhi rasio, dan mutunya pun perlu ditingkatkan di bidang konseling dan pendampingan. 2. Pelaksanaan Kegiatan IPWL dalam melaksanakan rehabilitasi sosial telah mengembangkan metode, teknik, pendekatan dan tahapan kegiatan yang bervariasi. Secara substantif kegiatan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan upaya pemulihan korban. Pada pelaksanaan kegiatan, IPWL membangun kemitraan dengan sistem sumber, seperti rumah sakit, perguruan tinggi, lembaga profesi, instansi pemerintah terkait, tokoh masyarakat dan orang tua/keluarga korban. Sehubungan denan itu, IPWL sudah siap sebagai lembaga pelaksana rehabilitasi sosial korban penyelahgunaan napza. 3. Hasil yang Dicapai Korban yang mendapatkan pelayanan IPWL mengalami perubahan pada kondisi fisik, sikap mental dan perilaku sosialnya berkisar 70 persen. Hal ini membuktikan, bahwa IPWL berhasil dalam melaksanakan rehabilitasi sosial korban penyelahgunaan napza. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 103 4. Faktor-faktor Berpengaruh Faktor yang mendukung pelaksanaan dan hasil yang dicapai oleh IPWL dalam melaksanakan rehabilitasi sosial, yaitu (a) bantuan dari Kementerian Sosial (pembinaan kelembagaan, SDM, dana), (b) dukungan dari instanssi sosial provinsi dan kabupaten kota, (c) dukungan dan bantuan dari BNN (penguatan kelembagaan, sarana, SDM, dana), (d) kemitraan dengan rumah sakit, perguruan tinggi, lembaga profesi, (e) dukungan masyarakat, (f) dukungan keluarga. Kemudian faktor yang kurang mendukung, yaitu (a) belum tersedia pedoman tentang IPWL, (b) terbatasnya sosialisasi, (c) belum terbangun harmonisasi antara BNN dengan Kementerian Sosial terkait pembinaan IPWL, dan (d) belum dilibatkannya pekerja sosial profesional terkait putusan pengadilan (lamanya korban menjalani rehabilitasi sosial). B.REKOMENDASI 1.Regulasi a. Diperlukan pedoman pelaksanaan IPWL yang disusun oleh Kementerian Sosial sebagai acuan bagi IPWL di daerah dalam melaksanakan rehabilitasi sosial. Di dalam pedoman tersebut diatur dengan jelas terkait dengan bidang kelembagaan dan rehabilitasi sosial (ada dua pedoman yang terpisah). Pedoman juga mengatur tugas dan kewenangan Kementerian Sosial, instansi sosial provinsi, instansi sosial kabupaten/kota dan IPWL. b. Pedoman tersebut menjadi buku pegangan utama seluruh instansi sosial, IPWL, dan pihak-pihak terkait, sehingga terbangun kesamaan persepsi dalam penyelenggaraan IPWL dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza. 2. Sumber Daya Manusia a. Pada pelaksanaan rehabilitasi sosial, IPWL sudah memiliki tenaga teknis pekerja sosial dan kanselor adiksi. Namun 104 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza demikian, jumlah dan mutunya masih perlu ditingkatkan. Untuk peningkatan jumlah pekerja sosial, disarankan Kementerian Sosial menempatkan sakti peksos (sarjana pekerjaan sosial bidang klinis/ adiksi) dengan status tenaga kontrak. Sebelum ditempatkan di IPWL sakti peksos tersebut diberikan pelatihan di bidang adiksi. b. Sakti peksos di IPWL akan melaksanakan tugas dan peranan sebagai tenaga konseling (konselor), dan pendampingan. Sehubungan dengan itu, menempatkan kanselor adiksi (mantan pecandu) tidak diperlukan lagi atau tidak menjadi unsur tenaga teknis di IPWL. Tenaga teknis dimaksud diisi oleh tenaga-tenaga profesional. c. Selain tenaga teknis kanselor adiksi, tenaga teknis lain yang tidak perlu menjadi unsur di dalam SDM IPWL, yaitu tenaga kesejahteraan sosial atau relawan sosial. Pekerjaan yang dilakukan TKS atau relawan ini dapat dikerjakan oleh tenaga penunjang atau tenaga administrasi. 3. Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial a. IPWL yang dikelola masyarakat mengembangkan pendekatan yang berbeda-beda meskipun secara substansi kegiatan pelayanannya menyangkut aspek biologis/fisiologis, mental spiritual dan sosial. Kementerian Sosial secara periodik melakukan supervisi dan monitoring untuk mengetahui implementasi pelaksanaan rehabilitasi sosial IPWL, sehingga memastikan bahwa korban penyalahgunaan napza mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan melindungi hak-hak mereka. b.Kementerian Sosial menginisiasi untuk membangun kesamaan pemahaman antara kepolisian, kejaksanaan, pengadilan dan pekerja sosial profesional, terkait dengan putusan yang dijatuhkan kepada korban menyangkut waktu yang diperlukan untuk rehabilitasi sosial. Putusan hakim terkait waktu yang diperlukan korban untuk menjalani rehabilitasi sosial, perlu memperhatikan saksi ahli dari pekerja sosial profesional. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 105 4.Lain-lain a. Perlu dilakukan sosialisasi secara intensif dan berjenjang dengan sasaran instansi sosial provinsi, kabupaten/kota, instansi terkait, lembaga non pemerintah, IPWL dan masyarakat tentang eksistensi IWPL dalam penanganan korban penyalahgunaan napza. b. Kementerian Sosial perlu mendorong IPWL untuk membangun jejaring kerja antar IPWL (asosiasi), dengan sistem sumber (kemitraan), dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan kegiatannya. c.Kementerian Sosial memberikan kewenangan kepada IPWL untuk mengeluarkan kartu identitas bagi korban, sehingga ketika mereka berada di luar IPWL mendapatkan perlindungan. d.Kementerian Sosial mengembangkan program untuk memperkuat kapasitas IPWL dalam penanganan penyalahgunaan napza. IPWL ke depan tidak hanya melaksanakan rehabilitasi sosial, tetapi juga melaksanakan kegiatan pencegahan terjadinya penyalahgunaan napza. Kemudian, IPWL juga didorong untuk mengembangkan sistem rehabilitasi berbasis masyarakat. 106 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza DAFTAR PUSTAKA Badan Narkotika Nasional, (2014), “Jurnal Data Pencegahan dan Pemberatasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba, Tahun 2013”, Jakarta: Badan Narkotika Nasional. Gunawan, Sugiyanto, dan Roebiyanto, Haryati, (2014), Eksistensi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat bagi Korban Penyalahgunaan Napza, Jakarta: P3KS press. Kartono, Kartini, (2007), Patologi Sosial, Jakarta: CV Rajawali. Kementerian Sosial (Kemensos) RI, (2014), Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya, Jakarta: Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA. -----------, (2014), Standar Rehabilitasi Sosial bagi Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya, Jakarta: Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA. Lisa, FR Juliana dan Sutrisna W Nengah, (2013), Narkoba, Psikotropika dan Gangguan Jiwa: Tinjuan Kesehatan dan Hukum, Yogyakarta: Nuha Medika. Martono, Lydia Marlina dan Joewana, Satya, (2005), Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya, Jakarta: Balai Pustaka. Mutiara, (2015), “Pengembangan Kapasitas Organisasi”, http://mutiarafisip11.web.unair,ac.id/artikel_detail-75610-Pengembangan% 2 0 K e l e m b a g a a n - Pe n g e m b a n g a n % 2 0 k a p a s i t a s % 2 0 Organisasi%20 (Capacity%20Building). html, diakses tanggal 28 Februari 2015. Rozi, (2007) dalam Suradi ed (2012), Intervensi Indiviual, Bimbingan Psikosial 1: Kebahagiaan, Stress dan Potensi Diri, Yogyakarta: Citra Media Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 107 Suradi, (2012), NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif), Penyalahgunaan dan Penanganannya, Jakarta: P3KS Press. Suradi, (2012), Intervensi Indiviual, Bimbingan Psikosial 1: Kebahagiaan, Stress dan Potensi Diri, Yogyakarta: Citra Media. Sumber website: Abdalla, Romeal, (2009), “Napza Berdampak Negatif dan Ganggu Syaraf”, Jakarta, http:?/www.waspada.co.id, tuesdya, 16 Juni 2009. BNK Surabaya: Pengguna Narkoba di Surabaya Trennya Pelajar, http:// www.rri.co.id/surabaya/post/berita/87161/sosial/bnk surabaya pengguna narkoba di surabaya trennya pelajar. html, diakses 7 Nopember 2015. BNN Surabaya Targetkan Rehabilitasi 100 Ribu Pecandu, http://www. suarasurabaya.net/print_news/Kelana%20Kota/2015/149699 BNN Surabaya Targetkan Rehabilitasi 100 Ribu Pecandu, diakses 7 Nopember 2015. BNN: 10 Persen Lebih Pelajar SMP dan SMA di Surabaya Pengguna Narkoba,http://news.detik.com/jawatimur/2618226/bnn 10 persen lebih pelajar smp dan sma di surabaya pengguna narkoba, diakses 7 Nopember 2015. http://news.liputan6.com/read/2224515/bnn pecandu narkoba di jawa timur didominasi perempuan, diakses tgl 7 November 2015. http://m.tribunnews.com/regional/2015/03/17/jawa timur provinsi terbanyak pengguna narkoba di indonesia, diakses tgl 7 Nopember 2015. Malangtimes.com, 2015, “Kasus Narkotika di Kabupaten Malang Peringkat Ketiga di Jawa Timur”, http://www.malangtimes.com/ baca/2948/20150812/124446/kasus narkotika di kabupaten malang peringkat ketiga di jawa timur/diakses tgl 7 November 2015. 108 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Malang-post, 2015, “Bentengi Pelajar dari Penyalahgunaan Napza”, http://www.malang-post.com/pendidikan/109099-bentengi pelajar dari penyalahgunaan narkoba/diakses tgl 7 Nopember 2015. Pengguna Narkoba di Jawa Timur 30202 orang”, http://halopolisi.com/ 2014/08/18/pengguna narkoba di jawa timur 3.202 orang/ diakses tgl 7 Nopember 2015. Peredaran Narkoba Meningkat 20 Persen, http://www.malang-post.com/ malang-raya/107372-peredaran narkoba meningkat 20 persen, diakses 7 Nopember 2015. Pengguna Narkoba Terus Bertambah, (2011), http://www.malangraya. info/2011/08/10/134442/2557/pengguna narkoba terus bertambah/diakses 2015. Koran Sindo, “Pelajar Pengguna Narkoba Meningkat” Kamis, 25 Desember 2014, source: http://daerah.sindonews.com/read/942082/151/ pelajar pengguna narkoba meningkat-1419488999/diakses tgl 10 Novemver 2015. 100 hari Kinerja Kapolri, Kapolres Deli Serdang Gulung 74 pengguna narkoba,“or talkriminal.com/index.php/home/kriminaldaerah/27657-100 hari kinerja kapolri polres deli serdang gulung 74 pengguna narkoba, diakses tgl 11 November 2015. Waspada, 2014, “Darurat Narkoba Sumatera Utara (1)”, http://www. mandailingonline.com/darurat-narkoba-sumatera-utarabagian-1/diakses 11 November 2015. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 109 BIODATA PENELITI Drs. Suradi, M.Si. PU, penelitian bidang kebijakan sosial pada Puslitbangkesos. Karya tulis yang sudah diterbitkan secara individu maupun kelompok, antara lain: Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di Kabupaten Tertinggal (2014), Kebijakan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (2013), Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan: Studi Evaluasi Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni bagi Keluarga Miskin di Perkotaan (2012, Penanganan Anak Jalanan, dan (2011), Pemberdayaan Keluarga: Studi Evaluasi AKSK (2010). Selain dalam bentuk buku, karya tulis ilmiah diterbitkan pada Jurnal Sosio Konsepsia dan Sosio Informa yang diterbitkan Puslitbangkesos. Jabatan pada saat ini Ketua Dewan Redaksi Jurnal Sosio Konsepsia, dan Wakil Ketua Tim Penilai Instansi. Tim teknis pada Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dan Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan Kementerian Sosial RI. Drs. Setyo Sumarno, M.Si, PU, lahir di Solo, 8 Juni 1957. Menamatkan program Sarjana PekerjaanSosialdari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung (1983) dan Magister Kesejahteraan Sosial dari STISIP Widuri (2010). Pada tahun 1984 bekerja bekerja di Yayasan Usaha Mulia,tahun 1985 hingga sekarang bekerja di Kementerian Sosial RI. 110 Jabatan Fungsional, (1) Staf Balitbang Kesos tahun 1985, (2) Asisten Peneliti Muda, Balitbang Kesos tahun 1988, (3) Asisten Peneliti Madya, Balitbang Kesos tahun 1992, (4) Ajun Peneliti Muda, Balitbang Kesos tahun 1996, (5) Ajun Peneliti Madya, Balitbang Kesos tahun 2000, (6) Peneliti Muda, Balatbang tahun 2002, (7) Peneliti Madya (IV/a), pada Puslitbang Kesos, Badiklit Kesos tahun 2003, Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza (8) Peneliti Madya (IV/b), pada Puslitbang Kesos, Badiklit Kesos tahun 2008, dan (9) Peneliti Madya (IV/c), pada Puslitbang Kesos, Badiklit Kesos tahun 2011. Jabatan Struktural, (1) Kepala Sub Bidang Tisdok, Balitbang Kesos tahun 1966 (Jab.rangkap), (2) Kepala Seksi Standarisasi dan Bimb.Teknis, pada Direktorat Fakir Miskin tahun 2007. Pengalaman Penelitian: Penelitian Anak jalanan, Lanjut Usia, Kenakalan Remaja, Masyarakat Terasing, Paca, Napza, Karang Taruna, Eks Kusta, Masalah Tenaga Kerja di Sektor Industri, Akreditasi Panti, Penanganan Anak Terlantar Berbasis Kekerabatan,Penanganan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan, Implementasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin (studi evaluasi di delapan daerah Indonesia), Penelitian uji coba model pemberdayaan fakir miskin di kawasan pinggiran hutan,Penelitian Wanita Rawan Sosial Ekonomi, Penelitian Penyandang Cacat Berat, Penelitian tentang Penyerapan Tenaga Kerja Penyandang Cacat dalam Pasar Kerja, Penelitian tentang Multilayanan, Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial, Rehabilitasi Sosial Wanita Tuna Susila, Pengembangan Lembaga Kesejahteraan Sosial untuk Mengatasi Kemiskinan, Evaluasi Program Bedah Kampung, Program Keserasian Sosial dalam Penanganan Konflik Sosial, penelitian Kabuter, Penelitian disabiltas, dan terakhir penelitian tentang kapasitas IPWL dan penanganan Penyalahgunaan Napza. Pengalaman lainnya adalah kerja sama dengan Safe the Children UK, Sustainable Integrated Rural Development (SIRD) ASEAN New Zealand dan beberapa lembaga lain dalam berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan sosial. Saat ini masih aktif di Tim Redaksi Majalah Sosiokonsepsia Puslitbang Kesos, Tim Penilai Peneliti Instansi (TP2I) Kementerian Sosial RI dan sebagai Direktur Pelaksana P3KS Press. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 111 Dra. Haryati Roebyantho, lahir di Tondano, Sulawesi Utara, 7 April 1956, Pendidkan S1 Sosiatri UGM 1984, Pangkat/ Golongan: Pembina (IV.a), Peneliti Madya. Pengalaman Penelitian, (1) Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial Paska Penutupan Lokalisasi WTS di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2003, (2) Penelitian Penyandang Cacat di Indonesia (studi kasus: Penyediaan Aksesibilitas Fisik di lima Kota besar Indonesia) Tahun 2003, (3) Kajian tentang Sistem Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Sosial/Konflik di Medan Tahun 2004, (4) Penelitian Penanganan Anak di Lokalisasi WTS di Kabupaten Pontianak Tahun 2004, (5) Penelitian tentang Peranan Pranata Sosial Dalam Pengelolaan Konflik di Medan Tahun 2004, (6) Penelitian Penyandang Cacat di Indonesia, studi Penyediaan Aksesibilitas Non Fisik (pelayanan informasi dan pelayanan khusus) di Sulawesi Selatan, Tahun 2004, (7) Penelitian Implementasi Kebijakan Peraturan Pemerintah Tentang Penyediaan Aksesibilitas Non Fisik Bagi Penyandang Cacat di Provinsi Bengkulu Tahun 2005, (8) Penelitian tentang Konflik dan Penanganan Kemiskinan di Kalimantan Barat Tahun 2005, dan (9) Penelitian Faktor Penghambat Perkembangan Potensi Sosial Masyarakat Di Daerah Miskin di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat tahun 2006. Sugiyanto, S.Pd, M.Si, lahir di Tawangharjo 8 Januari 1961. Magister Sains Program Studi Ilmu Administrasi Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Publik, Kekhususan Pengembangan Masyarakat (S2), diperoleh dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2005) dan S1(Sarjana Pendidikan Moral Pancasila dan Kewargaan Negara) diperoleh dari Sekolah Tinggi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (STPIPS) YAPSI Jayapura (1994). Jabatan peneliti: Peneliti Madya Bidang Kesejahteraan Sosial 112 Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Aktif mengikuti kegiatan penelitian bidang kesejahteraan sosial, dan berbagai seminar permasalahan sosial di Indonesia. Beberapa hasil penelitiannya telah diterbitkan, baik secara mandiri maupun kelompok, dan tulisanya pernah diterbitkan di JURNAL maupun INFORMASI. Dra. Nunung Unayah, lahir di Bandung 16 Mei 1957, S1 FISIP UMJ 1987, Pangkat/Golongan Pembina (IV.a), Jabatan Peneliti Madya. Pengalaman penelitian (1) Ujicoba di Pemukiman Yang Berbaur Dengan Tempat Tindak Tuna Susila, (2) Penelitian ujicoba model pemberdayaan remaja melalui Karang Taruna, (3) Model Pemberdayaan Keluarga Dalam Mencegah Tindak Tuna Sosial Remaja Di Perkotaan, (4) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah, (5) Studi Kebutuhan dan Tingkat Kepuasan Anak Sebagai Penerima Pelayanan Sosial, (6) Studi Penanganan Anak Berkonflik Hukum, (6) Penanganan Program Pendampingan Sosial Bagi Calon Pekerja Migran (TKI Dan Keluarganyadi Daerah Asal), (7) Pengaruh Subsidi Panti Terhadap Kelangsungan Penyelenggaraan Pelayanan Sosial dalam Panti, dan (8) Pola Penanganan Anak Di Lokasi Tindak Tuna Susila. Kapasitas Institusi Wajib Lapor dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza 113