Hubungan Dukungan Sosial dengan Motivasi untuk Sembuh pada Mantan Penyalahguna Napza di Pesantren Al Islamy, Kalibawang,Kulon Progo Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) di Tanah Air kian mengerikan sekaligus memprihatinkan. Menurut hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Universitas Indonesia (UI) tahun 2006, sebanyak 15 ribu penduduk Indonesia setiap tahun tewas sia-sia akibat pengaruh obat terlarang. Dimana 3,2 juta atau sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia telah menjadi korban penyalahgunaan NAPZA (Parjiyono.Rully.2008) . Di Indonesia kasus penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat aditif lainnya) baru diketahui pada tahun 1969 (data resmi DEPKES RI dan POLRI), namun berkembang sangat pesat. Ini terlihat dari data DEPKES RI pada tahun 1970 - 1979 tercatat ada 7000 orang penyalahguna dan ketergantungan NAPZA dan angka ini melonjak menjadi dua belas kali lipat yaitu 85.000 orang pada tahun 1980-1989. Survei Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (2003) yang mengutip penelitian hukum, menyatakan bahwa sekitar 3,4 juta orang terlibat penyalahgunaan narkoba. Menurut data WHO, kasus ini adalah fenomena gunung es, dimana kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil, dan yang sebenarnya terjadi adalah tersembunyi dan jumlahnya cukup tinggi (Purwanti, 2004). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hawari et al pada 1998 yang menyatakan bahwa angka sebenarnya adalah sepuluh kali lipat dari angka resmi. Artinya jika ditemukan satu orang penyalahguna NAPZA maka ada sepuluh orang penyalahguna NAPZA lainnya. Data BAKOLAK INPRES 6/71 pada 1995 menyebutkan jumlah penyalahguna NAPZA (penderita/pasien) sebesar 0,065% dari jumlah penduduk 200 juta atau sama dengan 130.000 orang (Hawari, 1999). Penyalahguna NAPZA dari tahun ke tahun senantiasa mengalami peningkatan dengan rata-rata 28% per tahun. Hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa diantara 3,3 juta pecandu NAPZA 1,1 juta orang adalah pelajar. 49% penyalahguna menggunakan lebih dari 1 jenis NAPZA. Kenyataan yang cukup menumbuhkan keprihatinan bagi siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap kualitas generasi dan kelangsungan kehidupan bangsa (Puspandari. 2008). Menurut data Kepolisian Negara RI di Daerah Istimewa Yogyakarta, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan kasus penyalahgunaan NAPZA. Tahun 2000 tercatat 191 kasus, 2001 tercatat 199 kasus, 2002 tercatat 202 kasus (Purwanti, 2004), tahun 2003 tercatat 207 kasus, tahun 2004 jumlah kasus hukum penyalahgunaan NAPZA meningkat menjadi 385 kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana 80% dari kasus tersebut terdiri dari pemula ataupun pengguna yang sebagian besar adalah mahasiswa dan pelajar aktif. Hal ini menyebabkan Daerah Istimewa Yogyakarta dinobatkan menduduki urutan ketujuh dalam kasus penyalahgunaan NAPZA di Indonesia (Puspandari. 2008). Proses penyalahgunaan maupun ketergantungan NAPZA dapat digambarkan dengan piramida NAPZA, dimulai dengan tahap coba-coba yang selanjutnya berlanjut dipakai untuk bersenang senang pada tahap pemakaian sosial. Berikutnya NAPZA digunakan hanya dalam kondisi tertentu misalnya saat stres, depresi, atau untuk meningkatkan percaya diri, ini disebut sebagai tahap pemakaian sosial. Jika penggunaan NAPZA dilakukan tanpa indikasi dan dengan jumlah dan waktu yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi sosial, maka ini disebut tahap penyalahgunaan. Adanya toleransi tubuh, gejala putus obat ( withdrawal syndrome) jika dosis ataupun penggunaan NAPZA dihentikan disertai adanya perilaku kompulsif mencari obat ( compulsive drug seeking behaviour ) menunjukkan tahap ketergantungan (Situs Informasi Kesehatan Seksual dan Sosial Remaja.2006). Proses terjadinya penyalahgunaan NAPZA menurut Hawari (2000) dipengaruhi oleh tiga faktor : 1. Faktor kontribusi keluarga, meliputi keintiman hubungan anak orangtua, pola asuh, kehidupan dan ketaatan beragama. 2. Faktor predisposisi, meliputi kecemasan, depresi, kecendrungan memiliki kepribadian neurotik dan sosiopatik (antisosial). 3. Faktor pencetus, meliputi pengaruh lingkungan, teman sekelompok dan ketersediaan NAPZA sendiri. Penyalahgunaan NAPZA menyebabkan dampak baik dari segi fisik ataupun psikologik pasien. Dari segi fisik penyalahguna NAPZA akan menunjukkan gejala : pupil mengecil, bicara pelo, gangguan atensi dan daya ingat, takikardi, mata merah nafsu makan bertambah, mulut kering, muka merah, bicara tidak jelas, gangguan koordinasi, nistagmus, palpitasi, hipertensi/hipotensi, hiperhidrosis, dehidrasi, kejang, nafsu makan berkurang, mual. Dari segi psikologik pada penyalahguna NAPZA dapat ditemukan gejala perilaku maladaptif, gangguan fungsi sosial dan okupasional, depersonalisasi, derealisasi, halusinasi, gangguan atensi, euforia, depresi, emosi labil, gelisah, paranoid, cemas, panik, dan lain lain. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan bermakna antara kejiwaan individu dan penyalahgunaan NAPZA. Dalam berbagai penelitian suatu rentang 35% - 60% populasi dengan penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat juga memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan kepribadian anti sosial ( Kaplan et al, 1997). Ada teori psikososial yang menjelaskan mengenai hubungan keluarga dan masyarakat dengan terjadinya penyalahgunaan NAPZA, dimana ada banyak alasan untuk mencurigai peranan masyarakat dan keluarga dalam perkembangan pola penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat. Deans ( 1997) dalam sebuah artikel menyatakan bahwa perubahan dalam kepercayaan terhadap orang lain atau struktur dukungan sosial seorang pecandu obat maka perilaku ketergantungan obatnya dapat dihentikan. Dukungan sosial adalah persepsi seseorang bahwa dirinya menjadi bagian dari jaringan sosial yang didalamnya tiap anggotanya saling mendukung (Kaplan, 1993). Adanya dukungan sosial menjadi pendorong adanya pergerakan positif untuk mencapai tujuan yaitu kesembuhan dari penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA. Motivasi adalah pendorong usaha untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu hingga tercapai tujuannya (Wikipedia. 2008). Adanya dukungan sosial menjadi pendorong adanya pergerakan positif atau motivasi untuk mencapai tujuan yaitu kesembuhan dari penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA . Dengan pertimbangan adanya hubungan dukungan sosial dengan motivasi untuk sembuh ini, peneliti melakukan penelitian tentang korelasi kedua hal tersebut. Penelitian tentang Hubungan Dukungan Sosial dengan Depresi pada Remaja Penyalahguna NAPZA di lembaga pemasyarakatan Wirogunan (Purwanti,2004) dan Rista Tri Wulandari (2006) meneliti tentang Hubungan Dukungan Sosial dengan Stres pada Napi Penyalahguna NAPZA di lembaga pemasyarakatan Wirogunan, keduanya menemukan tidak ada hubungan bermakna antar kedua variabel. Ini disebabkan kelemahan penelitian yang menggunakan kuesioner dukungan sosial yang bersifat relatif dan tidak mempunyai standar penilaian absolut. Seorang dengan skor dukungan sosial tinggi tidak menjamin ia merasakan keintiman hubungan yang benar benar memuaskan dari pihak yang mendukungnya. Sehingga untuk penelitian serupa perlu dilakukan wawancara mendalam yang terbimbing. Selain itu tidak dilakukan tes ulang untuk memastikan kuesioner dijawab dengan sungguh sungguh (Purwanti 2004). Abstrak Latar belakang : Kasus penyalahgunaan dan ketergantungan Napza di Indonesia terus meningkat. Penyalahgunaan Napza berdampak pada kondisi fisik dan psikologik, termasuk didalamnya gangguan mental organik dan gangguan fungsi sosial. Adanya perubahan dalam struktur dukungan sosial dapat merubah perilaku ketergantungan seorang pecandu Napza Dukungan sosial adalah jenis sumber penanggulangan stres yang mempunyai pengaruh penting terhadap kondisi kesehatan seseorang. Dukungan sosial mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis seseorang. Motivasi adalah pendorong usaha untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu hingga tercapai tujuannya. Adanya dukungan sosial menjadi pendorong adanya pergerakan positif untuk mencapai tujuan yaitu kesembuhan dari penyalahgunaan dan ketergantungan Napza Tujuan : Untuk mengetahui hubungan dukungan sosial dan motivasi untuk sembuh dari penyalahgunaan Napza pada mantan penyalahguna Napza di Pesantren Al Islamy, Kali Bawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Metode :Menggunakan disain studi kualitatif. Subyek penelitian ini adalah mantan penyalahguna Napza yang memenuhi kriteria penelitian. Instrumen yang digunakan adalah pertanyaan wawancara yang disusun berdasarkan kuesioner dukungan sosial oleh Sarason bentuk alternatif dan kuesioner motivasi untuk sembuh. Hasil : Sumber dukungan sosial didapat subyek dari keluarga inti (saudara kandung dan ibu) dengan adanya kesempatan untuk berdialog, berdiskusi mengenai subyek sehingga self esteem subyek meningkat. Self esteem inilah yang akhirnya menimbulkan motivasi pada diri subyek Kesimpulan : Adanya kesempatan untuk berdialog, berdiskusi mengenai subyek sehingga self esteem subyek meningkat yang menimbulkan motivasi sehingga subyek melakukan tindakan untuk sembuh dari penyalahgunaan Napza Kata Kunci : Dukungan sosial, motivasi untuk sembuh, mantan penyalahguna Napza Rumusan Masalah Hubungan dukungan sosial dengan proses penyembuhan mungkin dimediasi efek dukungan pada perilaku hidup sehat dan atau mobilisasi sistem imun. Prilaku hidup sehat, informasi dari orang sekitar tentang hal tersebut dan cara menghadapi penyakit, dapat mempengaruhi persepsi dan kemampuan seseorang untuk menghadapi penyakit tersebut. Perawatan pasien non profesional dapat mempengaruhi penyembuhan pasien, perlakuan yang didapat mempengaruhi motivasi untuk sembuh sehingga meningkatkan respon terapi dan perilaku hidup sehat. Dukungan sosial meningkatkan self-esteem, kemampuan untuk mengatasi masalah, motivasi untuk sembuh dengan mempengaruhi secara kognitif dan emosional (Cohen dan Syme.1985). Adanya dukungan sosial menjadi pendorong adanya pergerakan positif untuk mencapai tujuan yaitu kesembuhan dari penyalahgunaan dan ketergantungan Napza . Orisinalitas Penelitian Sepengetahuan peneliti, penelitian mengenai hubungan dukungan sosial dengan motivasi untuk sembuh dari penyalahgunaan Napza pada mantan penyalahguna Napza belum pernah dilakukan. Namun beberapa penelitian mengenai dukungan sosial dan motivasi pernah dilakukan, diantaranya sebagai berikut : 1. Asih Purwanti (2004), meneliti hubungan dukungan sosial dengan depresi pada remaja penyalahguna Napza di lembaga pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan dukungan sosial dengan depresi pada remaja penyalahguna Napza di lembaga pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta. Rancangan penelitian dilakukan secara cross sectional dengan analisis korelasi product moment dan hasil yang didapat bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dengan depresi pada remaja penyalahguna Napza Dimana dukungan sosial yang didapat terukur tinggi sedangkan depresi terukur tinggi pula. 2. Rista Tri Wulandari (2006). Meneliti Hubungan Dukungan Sosial dengan Stres pada Narapidana Penyalahguna Napza di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta. Rancangan penelitian dilakukan secara cross sectional dengan metode deskriptif analitik korelasional menggunakan analisis Kendall Tau. Hasil yang didapat bahwa tidak ada hubungan bermakna antara dukungan sosial dengan stres dimana dukungan sosial yang terukur rendah dan tingkat stress yang rendah pula pada narapidana penyalahguna Napza di lembaga pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta. Tujuan Penelitian Tujuan umum a. Untuk mengetahui hubungan dukungan sosial dengan motivasi untuk sembuh dari penyalahgunaan Napza pada mantan penyalahguna Napza di Pesantren Al Islamy, Kalibawang, Kulon Progo. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui tingkat dukungan sosial pada mantan penyalahguna Napza di Pesantren Al Islamy, Kalibawang, Kulon Progo. b. Untuk mengetahui ada tidaknya motivasi untuk sembuh dari penyalahgunaan Napza pada mantan penyalahguna Napza di Pesantren Al Islamy, Kalibawang, Kulon Progo. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan wacana tentang kondisi dukungan sosial dan hubungannya dengan motivasi untuk sembuh Manfaat praktis A. Bagi dunia kedokteran Sebagai gambaran hubungan antara dukungan sosial dan motivasi untuk sembuh pada mantan penyalahguna NAPZA sehingga dapat digunakan sebagai referensi dalam memberikan edukasi dan terapi pada penyalahguna NAPZA. B. Bagi keluarga dan masyarakat Untuk tambahan pengetahuan bagi keluarga pasien penyalahguna NAPZA dan masyarakat sekitar pasien penyalahguna NAPZA mengenai pentingnya dukungan sosial dan motivasi untuk kesembuhan pasien penyalahguna NAPZA C. Bagi peneliti Penelitian ini menjadi pengalaman pertama dan nyata bagi peneliti dalam melakukan penelitian secara baik dan benar, sehingga menjadi referensi dan motivator bagi peneliti untuk penelitian selanjutnya. Tinjauan Pustaka Landasan teori 1. Napza a. Definisi Napza b. Faktor penyebab penyalahgunaan Napza c. Jenis Napza d. Dampak penyalahgunaan Napza 2. Dukungan sosial a. Definisi b. Sumber dukungan sosial 3. Motivasi a. Definisi b. Model motivasi Kerangka teori Cohen dan Syme (1985) menyebutkan adanya hubungan faktor psikososial dan penyakit, terutama etiologi penyakit. Faktor psikososial mempengaruhi lewat efeknya yang mengganggu jaringan sosial. Sebagai contoh, orang yang sering berganti pekerjaan, kehilangan pekerjaan, sering berpindah, migrasi, dan mengalami kematian seseorang yang dicintai, menunjukkan angka kesakitan yang lebih tinggi. Gangguan pada hubungan interpersonal juga dapat menjelaskan kenapa orang yang menikah menunjukkan angka kesakitan yang lebih rendah dibandingkan lajang, janda/duda, bercerai. Angka kesakitan rendah juga ditemukan pada anggota kelompok religi dan pada kelompok wanita (Cohen dan Syme. 1985). Ada tiga komponen utama motivasi, yaitu kebutuhan, dorongan dan tujuan. Kebutuhan akan timbul bila seseorang merasa ada kekurangan dalam dirinya, atau secara homeostatatik kebutuhan akan timbul bila dirasakan adanya ketidak seimbangan antara apa yang dimiliki dengan apa yang menurut persepsi apa yang seharusnya dimiliki secara fisiologis dan psikologis. Seseorang yang mendapat dukungan sosial dalam proses penyembuhannya, maka ia akan terdorong untuk terus mengorbankan waktu dan energi untuk berubah, termotivasi untuk melanjutkan usahanya untuk berubah, merasa didukung dan diperhatikan ketika berada pada fase plateau dimana hanya tampak sedikit perubahan, merasa baik tentang diri sendiri dan usaha yang sedang dilakukan, mau menempuh jalan baru dengan merubah gaya hidup, berusaha lebih keras dan lama dalam usaha untuk sembuh, merasa dilibatkan dan tertarik dalam proses penyembuhan, lebih bersungguh sungguh berusaha untuk sembuh, menjadi lebih realistik mengenai usaha dan waktu yang diperlukan untuk sembuh (Petri et al.2004) Penyalahguna NAPZA yang mendapat dorongan untuk sembuh akan berusaha untuk mencapai kesembuhannya dengan mengubah perilakunya misal dengan mengurangi penggunaan NAPZA, berhenti menggunakan NAPZA, menemui orang yang dapat membantunya sembuh (dokter). Salah satu hal yang dikategorikan sebagai dorongan untuk sembuh dalam dunia medis adalah adanya dukungan sosial, sehingga pasien termotivasi untuk mengubah perilaku demi mencapai tujuan yaitu kesembuhan. Hal yang sama juga berlaku untuk penyalahguna NAPZA, adanya dukungan sosial diharapkan dapat menjadi tenaga pendorong yang menggerakkan penyalahguna NAPZA untuk sembuh dengan mengurangi penggunaan NAPZA atau bahkan berhenti menggunakan NAPZA serta mengikuti program terapi dokter yang merawat. Kerangka Teori Motivasi sembuh Kebutuhan Dukungan sosial - Keluarga - Teman - Masyarakat Dorongan Tujuan Kerangka konsep Dukungan sosial Motivasi Sembuh - Keluarga - mengurangi penggunaan NAPZA - Teman - berhenti menggunakan NAPZA - Masyarakat Hipotesis Dukungan sosial berhubungan dengan motivasi untuk sembuh dari penyalahgunaan Napza Jenis dan rancangan penelitian Contoh 1: Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan tujuan mengetahui hubungan dukungan sosial dengan motivasi untuk sembuh pada mantan penyalahguna NAPZA di pondok pesantren Al Islamy, Kali bawang, Kulon Progo. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh responden penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, serta tindakan secara menyeluruh dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata kata dan bahasa, pada suatu konteks yang khusus, alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode yang alamiah pula (Moleong,2006). Teknik penelitian kualitatif yang digunakan yaitu studi kasus instrumental. Studi kasus instrumental dimana seorang peneliti yang menggunakan studi kasus untuk memahami beberapa hal yang dianggapnya menarik. Studi kasus oleh Yin (1994) merupakan metode yang menyeluruh, berhubungan dengan tempat lebih banyak variabel ketertarikan daripada poin data. Yin juga mengidentifikasi enam sumber bukti utama dalam penelitian studi kasus yaitu dokumentasi, catatan catatan arsip, wawancara, observasi langsung, observasi partisipasi dan barang barang peninggalan. Contoh 2: Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan pengumpulan data berkala (longitudinal). Deskripsi sikap para praktisi klinis di unit gawat darurat RS Nur Hidayah mengenai patient safety sebagai variabel independen akan diperoleh melalui kuesioner. Variabel independen kedua yang diduga mempunyai dampak berarti dalam penelitian ini yaitu karakteristik ( usia, jenis kelamin, profesi, masa kerja) juga akan didapatkan melalui kuesioner. Sedangkan untuk mengetahui perilaku safety dalam proses pelayanan pada pasien sebagai variabel dependen, peneliti melakukan observasi . Dalam penelitian longitudinal pengumpulan data dilakukan berulang ulang dalam jangka waktu tertentu. Sehingga diharapkan hasil penelitian dapat menggambarkan perilaku sebenarnya (Cooper, 1996). Perilaku safety yang diukur diambil dari Nine Live Saving Patient Safety Solutions (WHO, 2007), dipilih 3 solusi yang berhubungan dengan tindakan yang sering dilakukan di UGD RS Nur Hidayah yaitu: memastikan identifikasi pasien, pemasangan kateter intravena, dan hand hygiene. Selanjutnya data yang didapat akan dianalisa untuk mengetahui pengaruh sikap mengenai patient safety dan karakteristik praktisi klinis terhadap perilaku safety Definisi Operasional Mantan Penyalahguna NAPZA Adalah seseorang yang pernah terbukti menggunakan NAPZA tanpa indikasi medis (penggunaan obat dengan indikasi yang salah dengan jumlah dan waktu yang salah) dan sudah pernah dinyatakan sembuh oleh dokter. Dukungan sosial Adalah dukungan informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkahlaku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.Pada penelitian ini berasal dari teman dan keluarga pasien penyalahguna kepada mantan penyalahguna NAPZA di Pesantren Al Islamy, Kali Bawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Dukungan sosial ini ditentukan dalam wawancara, dimana pertanyaan wawancara mengacu pada kuesioner dukungan sosial oleh Sarason bentuk alternatif yang sudah pernah digunakan Purwanti (2004) dan telah dilakukan uji korelasi dengan instrument pengukur dukungan sosial lain yang menunjukkan kesamaan penuh dengan kuesioner dukungan sosial Sarason bentuk penuh. Motivasi Adalah dorongan yang menggerakkan individu melakukan tindakan untuk mencapai tujuan, dalam penelitian ini untuk mencapai kesembuhan pada mantan penyalahguna NAPZA di Pesantren Al Islamy, Kali Bawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Untuk mengetahui ada tidaknya motivasi dilakukan dengan pertanyaan wawancara berdasarkan kuesioner motivasi yang dibuat sendiri oleh peneliti. Pesantren Al Islamy, Kali Bawang, Kulon Progo, Yogyakarta Sebuah pondok pesantren yang terletak di Dusun Padakan Desa Banjarharjo Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo Propinsi D.I Yogyakarta. Dalam perjalanannya Pondok Pesantren Al - Islamy, telah banyak membina Santri Rehabilitasi Mental korban Penyalahgunaan Narkoba dengan metode Terapi Agama (tercatat dari tahun 1984 – 2007 sekitar 1249 orang Santri Rehabilitasi Mental baik yang rawat inap maupun rawat jalan). Sampel dan alat Populasi Populasi penelitian ini adalah seluruh praktisi klinis yaitu dokter dan perawat di unit gawat darurat RS Nur Hidayah Besar sampel dan cara pengambilan sampel Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan total sampling, dengan mengambil seluruh populasi yaitu dokter dan perawat di unit gawat darurat RS Nur Hidayah yang berjumlah 17 orang (8 dokter dan 9 perawat), sebagai sampel penelitian. krieri Alat Penelitian ini menggunakan kuesioner untuk mengetahui sikap praktisi klinis terhadap patient safety. Kuesioner yang digunakan emergency medical services safety attitude questionnaire ditambah dengan beberapa item mengenai sikap terhadap Nine Life Saving Patient Safety Solutions . Untuk pengisiannya kuesioner ini menggunakan skala Likert. Dari kuesioner juga akan didapatkan data mengenai karakteristik praktisi klinis meliputi usia, jenis kelamin, profesi (perawat atau dokter) dan masa kerja. Sebelum penelitian, kuesioner akan diujikan validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan alat ukur dalam memberikan hasil pengukuran sesuai dengan tujuan pengukuran tersebut. Pada kuesioner sikap dilakukan uji validitas dengan formula koefisien korelasi product moment Pearson, untuk mengetahui korelasi antara skor item dan skor dari tes itu sendiri. Koefisien korelasi minimal 0,30 dan item kuesioner yang koefisien korelasinya lebih rendah akan dikeluarkan karena tidak konsisten dengan kuesioner. Konsep reliabilitas yaitu mengenai kepercayaan terhadap hasil pengukuran. Reliabel berarti konsistensi hasil pengukuran dengan menggunakan alat ukur sama jika dilakukan pengukuran ulang pada subyek penelitian yang sama. Reliabilitas ditentukan dengan formula koefisien alpha Cronbach, dimana kuesioner dikatakan reliabel jika koefisien alpha Cronbach > 0,60 . Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada responden dengan karakteristik mirip subyek penelitian yaitu para praktisi klinis di ruang rawat inap RS Nur Hidayah (Azwar, 2009). Perilaku safety diukur dengan mengobservasi berdasarkan daftar tilik. Daftar tilik perilaku safety pengecekan identitas mengacu pada Nine Life Savings Patient Safety Solutions (WHO Collaborating Centre for Patient Safety Solutions,2007), pemasangan kateter intravena mengacu pada rekomendasi CDC (O`Grady et al, 2002), sedangkan perilaku hand hygiene mengacu pada rekomendasi WHO. Observasi akan dilakukan oleh 3 orang observer saat praktisi klinis melakukan tindakan berdasarkan daftar tilik. Dengan jumlah sampel 17, maka tiap observer akan mengamati kira kira 6 orang subyek. Agar observasi berlangsung efektif maka observer hendaknya memiliki pengetahuan cukup mengenai obyek dan gejala yang akan diamati, memahami tujuan penelitian, memahami dan mampu melakukan pencatatan data secara cermat dan terpisah agar tidak saling mempengaruhi. Untuk itu, peneliti akan merekrut observer dengan latar belakang pendidikan medis dan memahami obyek dan tujuan penelitian. Observer terdiri atas 3 asisten perawat UGD RS Nur Hidayah yang sudah berpengalaman dan memiliki pengetahuan medis serta dapat memahami maksud dan tujuan penelitian. Observasi dilakukan secara langsung dengan cara observasi partisipan dimana observer ikut ambil bagian dalam kehidupan subyek. Pencatatan hasil observasi dilakukan tanpa sepengetahuan subyek. Sebelumnya dilakukan uji coba observasi untuk memastikan observer memahami dan mampu melakukan pencatatan secara cermat menggunakan daftar tilik. Dari uji coba diharapkan semua observer akan memiliki kesamaan dalam cara mencatat dan mengkategorikan gejala yang diamati (Nawawi, 2007). Berdasarkan metode Lot Quality Assurance Sampling (LQAS), observasi sebaiknya dilakukan hingga 19 kali (Bergeron, 2006) . Namun, karena keterbatasan waktu penelitian, dikhawatirkan tidak semua subyek dapat diobservasi perilakunya hingga 19 kali maka jumlah minimal observasi dibatasi minimal 5 kali . Cara Penelitian 1. Persiapan Peneliti melakukan studi pendahuluan untuk penyusunan proposal penelitian. Dilanjutkan dengan seminar proposal penelitian dan revisi proposal penelitian. Sebelum pengumpulan data, peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian dan perekrutan observer. Untuk meminimalisir kelemahan yang mungkin terjadi dalam observasi maka observer diberi pelatihan singkat mengenai penelitian. Observer diberi pemahaman mengenai tujuan dan manfaat penelitian bagi quality improvement RS serta sifat pengumpulan data yang confidential dan menjaga anonimitas subyek dan observer. Peneliti melakukan uji coba observasi untuk memastikan observer memahami dan mampu melakukan pencatatan secara cermat menggunakan daftar tilik. Dari uji coba diharapkan semua observer akan memiliki kesamaan dalam cara mencatat dan mengkategorikan gejala yang diamati (Nawawi,2007) 2. Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan di unit gawat darurat RS Nur Hidayah, Bantul. Subyek penelitian diberi pemahaman mengenai tujuan penelitian ini dan diminta kesediaannya untuk terlibat dalam penelitian ini. Dikarenakan 1 orang dokter sudah keluar saat penelitian dilangsungkan dan 1 orang lagi sedang cuti maka jumlah subyek penelitian menjadi 15 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner oleh responden dan observasi yang dilakukan oleh 3 orang observer. Analisis data Data yang didapatkan dari kuesioner akan diolah untuk mendapatkan deskripsi sikap dan karakteristik para praktisi klinis terhadap patient safety. Hasil kuesioner akan dihubungkan dengan data observasional peneliti untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap perilaku safety. Hasil 1. Karakteristik subyek penelitian Responden sejumlah 15 orang terdiri atas 6 dokter (40%) dan 9 perawat (60%) dengan usia rata rata 31 tahun. Dua belas responden (80%) memiliki masa kerja lebih dari 1 tahun. Dari kuesioner sikap terhadap patient safety didapatkan rerata skor sikap 92,27 dan dari observasi didapatkan rerata skor perilaku 3,09. Tabel 3. Karakteristik responden penelitian (n=15) Sikap terhadap patient safety dan pengaruhnya pada perilaku safety di UGD RS Nur Hidayah Bantul, 2010 Karakteristik Jumlah Persentase Dokter 6 40% Perawat 9 60% 24-31 tahun 9 60% 32-40 tahun 6 40% Pria 10 67% Wanita 5 33% < 1 tahun 3 20% > 1 tahun 12 80% Profesi Usia Jenis kelamin Masa kerja Sikap dan perilaku responden penelitian (n=15) Sikap terhadap patient safety dan pengaruhnya pada perilaku safety di UGD RS Nur Hidayah Bantul,2010 Karakteristik min maks rerata SD Sikap 82 110 92,27 8,614 Perilaku 0,75 4,90 3,09 1,480 2. Hasil kuesioner sikap terhadap patient safety Kuesioner yang digunakan merupakan modifikasi dari Emergency Medical Service Safety Attitude Questionnaire (EMS-SAQ) yang ditambahkan beberapa item mengenai perilaku safety yang akan diamati. Berdasarkan manual of operation EMSSAQ, deskripsi hasil kuesioner ini dibagi atas beberapa faktor atau domain yaitu teamwork climate, job satisfaction, perceptions of management, safety climate, working condition, stress recognition. Deskripsi item kuesioner dapat dilihat pada tabel 5. Tiap domain dihitung persentase responden yang merespon positif pada item yang mewakili, yaitu yang menjawab dengan skala Likert ≥ 4 (Patterson, 2007). Sejak tahun 1986 SAQ sudah diadaptasi secara luas dan digunakan di unit perawatan intensif, unit rawat inap, unit bedah, unit rawat jalan. Kuesioner ini terdiri atas kumpulan pertanyaan yang berhubungan dengan kultur dan safety di tempat kerja. Kumpulan pertanyaan dikelompokkan kedalam 6 domain/faktor yaitu: safety climate, teamwork climate, stress recognition, perceptions of management, working conditions dan job satisfaction. Namun, tetap dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara faktor tersebut diatas dengan variabel lain, misal staff turnover, morbiditas pasien, length of stay serta kejadian error ( Sexton et al,2006) Tingkat respon positif praktisi klinis di UGD RS Nur Hidayah Bantul paling tinggi terhadap job satisfaction (100%) diikuti dengan teamwork climate (93,33%), perceptions of management (86,67%), safety climate (80%), stress recognition (60%) dan working condition (53,33%). Secara umum tingkat respon positif dokter lebih tinggi dibanding perawat. Pada beberapa faktor terdapat perbedaan respon positif yang cukup jauh antara dokter dan perawat yaitu stress recognition (38,89%),working condition (22,23%) dan perception of management (22,22%). Deskripsi lengkap perbedaan tingkat respon positif terhadap kuesioner sikap antara dokter dan perawat dapat dilihat pada tabel 11. Tabel 11. Perbedaan tingkat respon positif terhadap kuesioner sikap antara dokter dan perawat di UGD RS Nur Hidayah Bantul, 2010 Faktor Dokter Perawat Job satisfaction 100% 100% Teamwork climate 100% 93,33% Safety climate 83,33% 77,78% Stress recognition 83,33% 44,44% Perceptions of 100% 77,78% management Working condition 66,67% 44,44% Robbins (1993) mendefinisikan sikap sebagai pernyataan pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan, maupun yang tidak menyenangkan atau penilaian mengenai objek, manusia, atau peristiwa peristiwa. Secara umum, sikap dapat dirumuskan sebagai kecendrungan untuk merespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, obyek atau situasi tertentu. Selain bersifat positif dan negatif, sikap juga memiliki kedalaman berbeda, misal: sangat benci, agak benci, dsb (Sarwono, 2004). Sikap terdiri atas tiga komponen yaitu: komponen kognitif, afektif dan kecendrungan perilaku. Komponen kognitif berisikan informasi deskriptif yang sangat dipercaya oleh seseorang mengenai sesuatu hal (obyek). Komponen afektif berisikan perasaan/respon seseorang pada obyek yang diketahui (komponen kognitif), biasanya melibatkan emosi dan menentukan kesukaan ataupun ketidaksukaan. Kepercayaan seseorang terhadap sesuatu hal akan mempengaruhi rasa suka ataupun tidak sukanya terhadap hal tersebut. Namun, terkadang manusia memiliki penilaian sendiri menyangkut sesuatu yang dipercayainya. Sehingga,komponen kognitif yang sama antara satu dengan lainnya, belum tentu diikuti dengan komponen afektif yang sama. Artinya komponen kognitif akan menentukan komponen afektif, namun komponen kognitif yang sama belum tentu akan menghasilkan komponen afektif yang sama pula (Muchlas, 2008). Komponen kecendrungan perilaku, merupakan rencana seseorang untuk berperilaku terhadap obyek. Komponen kognitif dan afektif akan mempengaruhi kecendrungan perilaku seseorang. Dua orang dengan komponen kognitif dan afektif berbeda mengenai satu obyek yang sama, tentunya akan berperilaku berbeda terhadap obyek tersebut (Muchlas, 2008; Kreitner & Kinicki, 1991). Dapat disimpulkan bahwa sekelompok orang dengan pengetahuan (kognitif) yang sama, belum tentu memiliki afeksi yang berbeda. Seperti yang terlihat antara dokter dan perawat, dimana lebih banyak dokter yang merespon positif dibandingkan dengan perawat. Hal ini mungkin disebabkan perbedaan kepercayaan dan penilaian tiap individu yang tentunya akan menghasilkan sikap yang berbeda pula. Berbeda dengan Modak et al (2007) yang meneliti dokter, perawat, manajer, asisten perawat pada klinik rawat jalan di Texas dengan menggunakan SAQ. Dari penelitian tersebut secara keseluruhan tingkat respon positif perawat lebih tinggi dibandingkan dokter. Dimana untuk teamwork climate respon positif dokter sebesar 52% dan perawat 58%, untuk safety climate respon positif dokter sebesar 39% dan perawat 65%, untuk stress recognition respon positif dokter sebesar 37% dan perawat 45%, tingkat respon positif terhadap perceptions of management dokter sebesar 18% dan perawat 32%, dan tingkat respon positif terhadap working conditions dokter sebesar 29% dan perawat 36% (Modak et al, 2007). Dalam penelitiannya yang juga menggunakan SAQ pada RS Universitas Norwegia, Deilkas and Hofoss (2010) menyebutkan bahwa perbedaan hasil pengukuran antara unit/bagian sangat nyata jika dibandingkan dengan antar RS. Variasi hasil biasanya ditemukan antar individu. Namun, Deilkas and Hofoss (2010) juga menemukan variasi antar level organisasi terutama unit rawat inap. Hasil SAQ sangat bergantung pada ketertarikan pribadi, perhatian dan keterikatan antar staf. Faktor faktor ini sayangnya memerlukan penelitian lebih lanjut dan mendalam dari hanya sekedar kuesioner. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada praktisi klinis di UGD RS Nur Hidayah maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Secara umum sikap para praktisi klinis terhadap patient safety cukup baik. dengan tingkat respon positif yang sangat baik untuk job satisfaction, teamwork climate, perceptions of management, safety climate. Tingkat respon positif paling rendah yaitu pada faktor working condition dan stress recognition. 2. Terjadi inkonsistensi antara sikap dan perilaku safety, perilaku safety para praktisi klinis untuk hand hygiene dan pemasangan kateter intravena berbeda jauh dengan sikap praktisi terhadap patient safety. Terutama untuk hand hygiene yang tingkat pencapaiannya terhadap skor maksimal sangat rendah. 3. Sikap dan variabel karakteristik profesi praktisi memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku safety. Sedangkan variabel demografis praktisi seperti usia, jenis kelamin dan masa kerja tidak berhubungan signifikan dengan perilaku safety Saran 1. Menjadikan patient safety sebagai prioritas dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di RS Nur Hidayah 2. Membentuk tim khusus patient safety untuk membantu RS dalam persiapan, pelaksanaan dan evaluasi penerapan patient safety 3. Menambah, memperbarui, memperbaiki fasilitas penunjang yang dapat mendukung perilaku safety para praktisi. Misal: penyediaan alcohol-based hand rub, penambahan jumlah sarung tangan. 4. Edukasi pentingnya patient safety kepada seluruh jajaran fungsional maupun manajerial RS termasuk mengenai dampaknya terhadap pasien dan terutama RS (infeksi nosokomial, biaya), sehingga dalam penerapannya nanti akan didukung oleh berbagai pihak. 5. Mengadakan pelatihan mengenai patient safety untuk para praktisi klinis baik dokter maupun perawat. Contoh penulisan tabel Tabel 1. Deskripsi jumlah kunjungan pasien di UGD RS Nur Hidayah Bantul perbulan pada tahun 2009 Bulan Kasus bedah Kasus Total kunjungan non bedah Januari 170 126 296 Februari 163 105 268 Maret 151 127 278 April 111 123 234 Mei 123 95 218 Juni 162 100 262 Juli 177 97 274 Agustus 161 109 270 September 181 109 290 Oktober 175 102 277 November 187 132 319 Desember 170 106 276 Jumlah 1931 1331 3262 Contoh penulisan gambar Stimulus/ Proses stimulus Reaksi rangsangan Tingkah laku Sikap terbuka (tertutup) Gambar 1. Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi (Notoatmojo, 2007) Contoh penulisan kuotasi "Patient safety atau keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman " . Keselamatan pasien meliputi: risk assessment, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalisasi resiko (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).