PDF - Jurnal UNESA

advertisement
Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi
PENGALAMAN MANTAN PENYALAHGUNA NAPZA DI USIA REMAJA DALAM MENCAPAI
RESILIENSI
Alivia Maulany Putri
Jurusan Psikologi, FIP, Unesa. E-mail: [email protected]
Yohana Wuri Satwika
Jurusan Psikologi, FIP, Unesa. E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini di latarbelakangi oleh bagaimana pencapaian resiliensi yang dialami oleh mantan
penyalaguna napza dia usia remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana pengalaman
partisipan terkait pencapaiannya dalam mencapai resiliensi, cara mencapai resiliensi tersebut
memperlukan fase dan faktor yang mendukung kelima partisipan dalam mencapai resiliensi. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kulitatif dengan metode fenomenologi. Data penelitian didapatkan dengan cara
wawancara semi terstruktur dan dianalisa menggunakan Interpretative Phenomenological Analysis (IPA).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam mencapai resiliensi melewati tahapan –tahapan yaitu proses
awal menjadi penyalahguna, Gambaran terburuk saat menjadi penyalahguna, proses penyesuaian dan
pemulihan dan kondisi pasca pemulihan. Faktor yang mempengaruhi penyalahguna napza dalam
mencapai resiliensi terdapat pada kemampuan dirinya sendiri, dukungan sosial dan kemampuan sosial.
Kata Kunci : Resiliensi, Mantan Penyalahguna napza, Remaja.
Abstract
This research was motivated by the way the resilience achievement experienced by the former drug
abusers in teenage. It aimed to reveal how the participant’s experience concerning the resilience
achievement, the phase to reach the resilience and the factor to support the five participants in achieving
resilience. This research applied qualitative method using phenomenology. The data were collected by
conducting structured interview and analsed using Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). The
subject of this research consisted of five teenagers who were the former drug abusers. The teenagers
around 18-21 years old and stopped abusing drugs became the criteria in this research. The result of this
research revealed that there were phases passed to achieve resilience, the phases were; the first process
becoming the abusers, the description when became the abusers, the process of adaptation and
rehabilitation and the condition after rehabilitation. The factor that influenced the drug-abusers in
achieving resilience was from themselves, social support, and the social ability. The five participants
succeeded to achieve the resilience, since they stopped doing drug-abuse and they had resolution to live
better.
Keywords : Resilience, former drug abusers, teenagers.
PENDAHULUAN
Di Indonesia banyak terjadi kasus tentang
penyalahgunaan napza. Saat ini jumlah pengguna napza
di Indonesia hingga November 2015 mencapai 5,9 juta.
Kasus napza sudah menyebar di kalangan pelajar dan
mahasiswa yang mereka masih ada pada fase remaja. jiwa
Fase perkembangan psikologis sosiol-emosional menjadi
faktor utama remaja menyalahgunakan napza. Banyak
alasan mengapa remaja mudah terjebak dalam
penyalahgunaan napza. Beberapa ahli psikologi
menunjukkan bahwa fase perkembangan psikologis
remaja membuat mereka rentan terjerumus napza
Perkembangan sosial-emosional remaja adalah suatu
1
perubahan progresif organisme, dalam konteks ini adalah
remaja yang telah mengalami masa pubertas, mulai
berfikir tentang dunia sekelilingnya (konteks sosial) dan
mulai mengekspresikan emosinya baik dalam tingkah
laku atau tidak. Perkembangan sosial-emosional lebih
mengarah pada hubungan seseorang dengan orang lain.
Perkembangan sosial- emosional pada masa remaja lebih
melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua.
Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak
melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan
sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman
(Papalia & Feldman 2009). Erikson menjelaskan salah
satu tugas perkembangan selama masa remaja adalah
menyelesaikan krisis identitas, sehingga diharapkan
terbentuk suatu identitas diri yang stabil pada akhir masa
Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan
remaja. Remaja yang berhasil mencapai suatu identitas
diri yang stabil akan memperoleh suatu pandangan yang
jelas tentang dirinya, memahami perbedaan dan
persamaannya dengan orang lain, menyadari kelebihan
dan kekurangan diri sendiri, penuh percaya diri, tanggap
terhadap berbagai situasi, mampu mengantisipasi
tantangan masa depan, serta mengenal perannya dalam
masyarakat. Jika remaja mengalami kegagalan maka akan
membahayakan masa depan remaja. Sebab, seluruh masa
depan remaja sangat ditentukan oleh penyelesaian krisis
identitas (Desmita, 2005). Individu dengan krisis identitas
akan mengalami hal-hal yang cenderung mengarah pada
hal-hal yang bersifat negatif karena pola pikirnya yang
masih labil dan instan. Hal ini yang memicu banyaknya
remaja memilih untuk terjerumus dalam penyalahgunaan
napza yang diawali dari coba-coba dan berlanjut pada
keinginan
untuk
mengkonsumsi
dan
menjadi
penyalahguna napza.
Penyalahguna napza dapat memberikan dampak
psikologis yang dapat menjadikan individu mengalami
perubahan perilaku dalam hidupnya. Dampak psikologis
penyalahguna napza lebih susah dipulihkan daripada
dampak fisik. Dampak fisik akan bisa dilewati saat
penyalahguna berhasil melewati gejala putus obat (GPO).
Dampak psikologis penyalahguna napza adalah perilaku
obsesif komplusif serta tindakan impulsif. Individu
dengan obsesif komplusif memiliki pikiran dan perilaku
yang tidak dapat mereka kendalikan, seolah-olah struktur
otak mereka yang berhubungan dengan proses ini bekerja
terus menerus, berusaha kuat untuk dapat mengendalikan
pikiran dan perasaan tersebut, Leocani, dkk (2001);
Matrix- Cols dkk., (2004). Pikiran seorang penyalahguna
akan mudah untuk terobsesi untuk menggunakan napza
kembali. Para penyalahguna tidak pernah memikirkan
dampak dari tindakan yang dilakukannya yang juga dapat
merubah perilaku si penyalahguna. Napza adalah satusatunya hal yang ada didalam pikirannya. Penyalahguna
akan menggunakan semua daya pikirnya untuk
memikirkan cara tercepat untuk mendapatkan uang agar
bisa mengkonsumsi napza lagi. Dampak perilaku yang
timbul akibat menyalahgunakan napza diantaranya suka
mencuri, berbohong, marah-marah dan berfikir
kompulsif, dalam artian ini penyalahguna mengulangi
kesalahan-kesalahan yang sama, (BNN, 2014)
Ketergantungan zat dan obat – obat terlarang masuk
dalam penyakit yang kronis. Kondisi kronis
ketergantungan Napza berpotensi untuk mudah kambuh
(Hoffiman, 2008). Meskipun penyalahguna napza
berpotensi untuk susah disembuhkan dan mudah kambuh
bukan berarti tidak bisa disembuhkan. Pemulihan dari
penyalahgunaan napza membutuhkan proses. Proses ini
dimulai dari penyalahguna menyadari akan akibat dari
ketergantungan zat yang membuat hidupnya tersiksa dan
menderita. Pemulihan ketergantungan Napza merupakan
proses dinamis seumur hidup dimana sering melibatkan
stres dan tantangan dalam menuju kehidupan yang bebas
akan narkotika, (Laudet, dkk, 2002). Melihat berbagai
tantangan tersebut diharapkan para penyalahguna napza
memiliki kekuatan untuk dapat menghadapinya.
Keberhasilan seseorang dalam pemulihan dari
penyalahgunaan napza dapat dimulai dari keinginan dari
diri individu sendiri. Salah satunya yang dapat membantu
individu menghadapi tantangan yang sedang dihadapi
adalah resiliensi.
Resiliensi
merupakan
bentuk
kemampuan
seseorang untuk bertahan dalam situasi sulit dan bangkit
dari keterpurukan untuk menghadapi masalah yang
dihadapi. Menurut Schoon (2006) menjelaskan resiliensi
adalah kemampuan manusia untuk menghadapi,
mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang
dialaminya. Resiliensi mampu membuat seseorang
mengubah masalah yang dihadapinya menjadi
peningkatan kualitas diri. Resiliensi dijadikan poin
penting dalam proses penyembuhan individu dalam
menanggulangi ketergantungan zat
Kajian dalam resiliensi terdapat fase-fase dan
resiliensi. Menurut Patterson dan Kelleher (2005)
resiliensi merupakan sebuah rekonstruksi yang
memberikan kekuatan bagi seseorang untuk bangkit dari
keterpurukan dalam situasi sulit kemudian berkembang
untuk menjadi pribadi yang mampu untuk melewati
kesulitan-kesulitan tersebut. Patterson dan Kelleher
(dalam Diah & Pradna, 2012) menjelaskan empat fase
resiliensi yang terjadi pada seseorang ketika menghadapi
suatu kesulitan atau masalah.
Deteriorating Fase dimana kesulitan atau masalah
mulai muncul pada kehidupan seseorang. seseorang akan
mengalami suatu keadaaan terburuk (deterior) yang juga
merupakan fase awal dari resiliensi b) Adapting Fase
transisi dimana seseorang mulai terbiasa dengan situasi
sulit yang mereka hadapi. Kondisi buruk yang
berlangsung cukup lama membuat seseorang mulai
terbiasa dan mampu beradaptasi dengan kondisi yang
buruk tersebut.c) Recovering Fase dimana seseorang
berada pada posisi netral. seseorang mulai berusaha untuk
memulihkan kondisinya yang dianggap sebagai sesuatu
yang tidak menguntungkan.d) Growing Fase terakhir
dimana seseorang tumbuh menjadi lebih kuat melalui
pembelajaran dan pengalaman yang diambil saat
kesulitan menghadang. Selain fase terdapat faktor yang
dapat membuat individu lebih resilien. Menurut
Gortbergh (1995) ada beberapa faktor resiliensi. Berikut
2
Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi
ini beberapa faktor resliensi diantaranya , a). I Am
(kemampuan individu) Merupakan kekuatan yang berasal
dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi
perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam
dirinya, b) I Have( Dukungan eksternal) Melalui I Have,
seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh
kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang
tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang
mencintai dan menerima diri anak tersebut dengan apa
adanya, c) I Can (kemampuan sosial dan interpersonal)
Merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan
hubungan sosial dan interpersonal yang berasal dari
lingkungan luar. Mereka dapat belajar kemampuan ini
melalui interaksinya dengan semua orang yang ada
disekitar mereka
Menurut Libertus Jehani & Antoro dkk (2006)
Penyalahguna napza yaitu seseorang yang mengkonsumsi
obat-obatan untuk sendiri tanpa indikasi medik, tanpa
petunjuk atau resep dokter, baik secara teratur atau
berkala sekurang-kurangnya selama satu bulan. Pada
penyalahgunaan ini cenderung terjadi toleransi tubuh
yaitu kecenderungan menambah dosis obat untuk
mendapat khasiat yang sama setelah pemakaian berulang.
Disamping itu menyebabkan sindroma putus obat
(withdrawal) apabila pemakaian dihentikan. Terjadinya
ketergantungan yang berkaitan gangguan pada kesehatan
jasmani, kejiwaan, dan fungsi sosialnya. Ketergantungan
tidak berlangsung seketika, tetapi melalui rangkaian
proses penyalahgunaan. Adapun beberapa tahap dan pola
pemakain napza antara lain pola coba-coba, pola sosial,
pola pemakaian situasional, pola kebiasaan dan pola
ketergantungan, Martono & Joewana (2008). Selain itu
terdapat faktor – faktor yang menyebabkan remaja
menyalahgunakan napza, diantaranya faktor kepribadian,
faktor lingkungan, faktor teman sebaya dan faktor
ketersediaan napza, Sumiati dkk( 2009).
Terdapat beberapa penelitian yang relevan terkait
resiliensi dan penyalagunaan napza pada remaja.
penelitian dari P.Tomy, Y.S, Farida Wijaya (2006)
dengan
judul
resiliensi
dan
sikap
terhadap
penyalahgunaan zat (Studi pada remaja). Penelitian ini
menggunakan penelitian kuantitatif dengan hasil tidak
terdapat hubungan antara protective factors dan sikap
terhadap penggunaan napza. Persamaan dengan penelitian
yang akan dilaksanakan terdapat pada bagian topik
resiliensi dan subjek penelitian. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian yang akan dilaksanakan terdapat pada
metode penelitian.
METODE
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan
pengalaman pengalaman mantan penyalahguna napza
diusia remaja dalam mencapai resiliensi. Model
penelitian yang digunakan adalah model penelitian
fenomenologi. Subjek penelitian yang akan dilibatkan
dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik
sampling purposive sampling, berdasarkan kriteria yang
ditentukan. Kriteria tersebut adalah: (1) Subjek penelitian
adalah remaja yang pernah ketergantungan akan napza
(2) Remaja yang berusia 18-21 tahun (3) Remaja yang
pernah
mengikuti
program
rehabilitasi
secara
sukarela(4)Berdomisili di Surabaya (5) Bersedia menjadi
partisipan penelitian dengan mengisi lembar informed
consent.Penelitian ini melibatkan lima partisipan, yang
terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan yaitu BL (18
tahun), RG (18 tahun), FS (18 tahun), RF (19 tahun) dan
VR (19 tahun).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara secara mendalam (in
depth interview). Wawancara yang dilakukan oleh
peneliti adalah wawancara semi terstruktur.
Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian menggunakan Interpretative Phenomenology
Analysis (IPA).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penelitian ini mengungkap empat tema besar. Tema
besar yang pertama adalah proses awal penyalahgunaan
napza. Pada tema ini terdapat empat sub tema yaitu
proses awal penyalahgunaan napza, proses pencetus
menyalahgunakan napza, jenis napza yang pernah
dikonsumsi, dan frekuensi pemakaian napza. Tema yang
kedua adalah gambaran keadaan terburuk. Pada tema ini
terdapat dua sub tema, yaitu efek menyalahgunakan
napza dan dampak menyalahgunakan napza. Tema yang
ketiga adalah proses penyesuaian dan pemulihan. Tema
besar yang ketiga memiliki lima sub tema diantaranya
gambaran kondisi sebelum menjadi penyalahguna napza,
gambaran kesadaran diri, gambaran pembelajaran diri,
faktor pendukung pemulihan, proses berhenti dan
dukungan sosial. Dan tema besar yang ke empat adalah
keadaan pasca pemulihan yang memiliki dua sub tema
yang mencakup tujuan ke depan dan hubungan dengan
orang lain.
Tema: Proses Awal penyalahgunaan napza
Penyalahgunaan napza pada remaja dapat terlihat
dari bagaimana gambaran dan proses individu bisa
3
Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan
dewe, kadang nggak
(RG:W1:B 158)
terjerumus dalam penyalahgunaan napza. Hasil penelitian
mengungkap penyalahguna napza memiliki proses awal
individu bisa terjerumus di dalam napza, proses pencetus
seseorang dapat menyalahgunakan napza, informasiinformasi tentang jenis-jenis
napza yang
pernah
diketahui dan dikonsumsi serta frekuensi dari pemakaian
napza .
Sub tema 1 : Alasan penyalahgunaan napza
Banyak alasan remaja bisa terjerumus dalam
penyalahgunaan napza. Proses awal penyalahgunaan ini
diawali dari keputusan individu mengkonsumsi napza.
Keputusan ini dilatar belakangi oleh berbagai hal, seperti
ajakan teman, pemerolehan napza secara gratis hingga
rasa ingin tahu. Keputusan mengonsumsi napza dialami
oleh BL. Alasan BL mengkonsumsi napza karena
ditawarin oleh teman dan mendapatkan napza secara
gratis.
pulang
juga”
Tema 2: Deteriotering
Keadaan
terburuk
pada
penelitian
ini
menggambarkan keadaan terburuk yang dialami oleh
partisipan pasca menjadi seorang penyalahguna napza.
Keadaan terburuk mencakup efek dari mengkonsumsi
napza dan dampak-dampak negatif yang muncul akibat
penyalahgunaan napza yang dialami oleh partisipan.
Sub tema 1: Efek mengkonsumsi napza
Pada saat partisipan menjadi penyalahguna napza,
partisipan adalah seorang remaja yang berusia antara 18 –
19 tahun. Partisipan menceritakan tetang efek dari
pemakaian napza yang dirasakan pada saat masih menjadi
penyalahgunadari kelas atau pekerjaan. Seperti yang
dialami oleh partisipan FS efek dari mengkonsumsi napza
yang yang dirasakan oleh FS dari jenis napza ganja
adalah mudah membuat dirinya tertawa dan mudah juga
membuat dirinya marah, jenis napza double L juga dapat
membuat membuatnya marah dan berhalusinasi
sedangkan jenis napza shabu-shabu dapat membuat lebih
bersemangat dan percaya diri
“Awalnya ya gara-gara dikenalin temen waktu
SMP itu sama double L ,terus diajakin terus,
dikasih gratis juga”(BL:W1: B 82)
Tidak hanya BL, hal yang sama juga dialami oleh
RG. Alasan RG mengkonsumsi napza berawal dari cobacoba milik temanya.
“[...]Ganja suka bikin ketwa sendiri mbak sama
bikin mudah marah, bikin ngefly juga, kalo
double L bikin fly sama mudah marah juga,
halusinasinya juga tinggi kayak suka ngomongngomong sendiri kalo shabu bikin percaya diri,
enteng badan, sama lebih bersemangat
“(FS:W1:B 112)
“Pertama awalnya coba-coba punya temen
mbak, habis itu lama kelamaan kok enak dan
nyaman yaudah aku terusin buat pakek [...]”
(RG:W1: B 17)
Sub tema 2 : Faktor pencetus menyalahgunakan napza
Selain proses awal remaja dapat menyalahgunakan
napza terdapat faktor pencetus
remaja bisa
menyalahgunakan napza. Seperti yang dialami oleh BL.
Faktor pencetus BL menyalahgunakan napza karena
lingkungan
sekolah
yang
mendukung
untuk
menyalahgunakan napza dan agar dapat diterima di
lingkungan
Begitu juga dengan yang dirasakan oleh RF. RF
merasakan efek dari mengkonsumsi napza jenis double L
dapat membuatnya dirinya tertawa, napza jenis ganja
dapat membuat dirinya tidak sadarkan diri sedangkan
efek dari napza jenis shabu dapat membuat badan
menjadi sehat dan membuat fikiran yangkacau kembali
fresh kembali
“[...]soalnya lingkunganku dari SMP sudah gitu
mangkanya ya dukung aku juga buat coba dan
makek biar bisa diterima juga dan gaul gitu
lah” (BL: W1 : B122)
“[...]Kalau pakek double L gitu aku sekali
nelen bisa sampek 10 – 15 butiran mbak itu
rasae langsung bikin teler sama ngomongngomomg sendiri , ketawa –ketawa sendiri,
pas pakek ganja ya gitu biasae satu batang
rokok yang tak isi ganja bisa bikin langsung
teler, lah kalau shabu itu bikin badan jadi
sehat, fikiran yang asline kacau jadi fresh
lagi” (RF:W1:B 109)
Selanjutnya faktor pencetus yang dialami oleh RG
akibat dari ayah yang sudah tidak tinggal satu rumah dan
RG merasa bebas untuk bermain diluar
“[...]Wes semenjak ayah keluar rumah
iku aku jadi bebas pulang sakmauku
4
Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi
Sub tema 2 : Dampak penggunaan napza
Selain efek yang ditimbukan pada saat
mengkonsumsi napza, gambaran keadaan terburuk juga
terlihat pada dampak saat mereka menkonsumsi napza.
Seperti yang dialami oleh BL. BL berkata bahwa setelah
menjadi penyalahguna napza sikapnya berubah menjadi
malas, suka membolos saat sekolah dan tidak pernah
melakukan ibadah.
“[...]pastinya kecewa banget sama aku,
aku juga merasa bersalah sama mama”
(BL:W1:B 147)
VR mengatakan bahwa dampak dari menjadi
penyalahguna napza adalah saat pacarnya membuat
kecewa dan merasa menyesal .
Kalau pas pacarku buat aku kecewa wes
nyesel aja tapi ya mau gimana lagi aku
sudah terlanjur terjerumus(VR:W1: B
352)
Tema 3: Adapting Dan Recovery
Proses penyesuaian dan pemulihan
mencakup
tentang kondisi partisipan sesudah mengkonsumsi napza,
kesadaran diri, pembelajaran diri, faktor pendukung
pemulihan, proses berhenti, dan dukungan sosial
Subtema 1 : Kondisi setelah menjadi penyalahguna
Setelah menjalani keadaan terburuk para partisipan
masih berada dalam tahap proses Penyesuaian diri. RG
mengatakan bahwa saat dirumah masih sering mengingat
waktu sedang memakai napza di kos teman
“[...]kalau dirumah gitu sek inget mbak,
pas makek sama temen-temen dikosnya
bareng bareng” (RG:WI: B 286)
kesalahan mereka berbeda pada setiap pertispan. BL
mulai menayadari kesalahannya ketika BL tertangkap
basah oleh kedua orangtuanya pada saat BL tidak
sadarkan diri saat menkonsumsi napza. Dari kejadian
tersebut BL menyesal.
“[...]yang buat sadar aku tadi itu ketahuan
mama sama papa pas aku lagi teler di
wismanya temenku, wes dari situ aku
nyeselnya” (BL: W1 : B 414)
Sedangkan RG mulai menyadari kesalahannya
karena pemikirannya sendiri. RG juga ingin mengubah
pola hidup menjadi lebih sehat.
“Sekarang wes nggak ada fikiran pakek lagi
kok mbak, wes bener-bener pengen berhenti,
aku yo wes jaga pola hidup ku juga sekarang”
(RG:W1:B 695)
Tema: Growing
Kondisi pasca pemulihan dapat membuat partisipan
berfikir tentang tujuan kedepan bagi kehidupannya.
Selain memiliki tujuan hidup mantan penyalahguna napza
juga mulai membangun hubungan kembali dengan orang
sekitar pasca mengalami pemulihan.
Sub tema 1 : Tujuan Kedepan
Setiap partisipan yang telah berhasil untuk tidak
mengkonsumsi napza akan mempunyai tujuan kedepan.
Tujuan yang baik akan membantu mereka untuk berpikir
positif dalam menjalani hidup dan meninggalkan
kebiasaan buruk . Tujuan tersebut dapat berupa cita-cita.
RG mempunyai cita-cita untuk menjadi tentara .
Begitu juga dengan RF, saat sendirian di kos RF
ingat pada saat mengkonsumsi napza bersama temantemannya dan RF sensitif ketika melihat botol dan
sedotan yang merupakan alat yang digunakan pada saat
mengkonsumsi napza
“[...]kadang kalau pas lagi sendirian di kos,
biasanya kos rame jadi sepi terus kalau lihat
botol sama sedotan gitu[...]” (RF:W1:B 351
Sub tema 2 : Kesadaran diri
Setelah berhenti mengkonsumsi napza partisipan
mulai menyadari dampak yang telah mereka lakukan.
Kejadian yang mengakibatkan partispan menyadari
5
“[...]pengen jadi tentara, pasti nanti bisa dapet
cewek cantik – cantik, langsung jadi pegawai
juga, tapi aku wes jadi pecandu gini masa sek
bisa juga, soale tes awalnya di tes bebas
narkoba[...]” (RG:W1:B 270)
Begitu juga dengan FS. FS mengatakan bahwa FS
memiliki tujuan kedepan untuk menjadi seorang general
manajer di hotel.
“Pengen jadi General Manajer dihotel
mbak” (FS:W1:B 287)
Pembahasan
Penyalahguna napza merupakan seseorang yang
mengkonsumsi zat atau obat-obatan untuk dirinya sendiri
Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan
tanpa indikasi dari medik dan petunjuk resep dokter dan
berkala sekurang-kurangnya satu bulan. Seorang
penyalahguna napza cenderung akan menambah dosis
obat –obatan tersebut untuk mendapatkan khasiat yang
sama setelah pemakaian berulang, disamping itu dapat
menyebabkan sindrom putus zat jika pemakaian
diberhentikan, Libertus Jehani & Antoro dkk (2006).
Terjebak dalam penyalahgunaan napza bukanlah
keinginan setiap orang. Kehidupan sebagai penyalahguna
napza pun tidaklah semudah menjalani kehidupan
kebanyakan orang. Seseorang yang menjalani hidup
sebagai penyalahguna napza rentan kaitannya dengan
keinginan memakai barang tersebut secara berulang,
hingga menjadi seorang yang kecanduan. Keinginan
untuk berhenti tidaklah semudah dari duduk kemudian
berdiri, perlu proses yang panjang hingga seorang
penyalahguna mampu kembali hidup normal. Kehidupan
yang berliku, dari proses awal hingga pasca rehabilitasi
menjadikan saksi hidup yang berat. Bahkan, bagi seorang
remaja, menjadi mantan penyalahguna napza di usia
remaja seringkali dihadapkan pada permasalahanpermasalahan baik dari efek napza yang dikonsumsi
maupun dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan
napza.
Erikson
menjelaskan
salah
satu
tugas
perkembangan selama masa remaja adalah menyelesaikan
krisis identitas. Remaja yang berhasil mencapai suatu
identitas diri yang stabil akan memperoleh suatu
pandangan yang jelas tentang dirinya, memahami
perbedaan dan persamaannya dengan orang lain,
menyadari kelebihan dan kekurangan diri sendiri, penuh
percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu
mengantisipasi tantangan masa depan, serta mengenal
perannya dalam masyarakat. Jika remaja mengalami
kegagalan maka akan membahayakan masa depan
remaja. Sebab, seluruh masa depan remaja sangat
ditentukan oleh penyelesaian krisis identitas (Desmita,
2005). Individu dengan krisis identitas akan mengalami
hal-hal yang cenderung mengarah pada hal-hal yang
bersifat negatif karena pola pikirnya yang masih labil dan
instan. Hal ini yang memicu banyaknya remaja memilih
untuk terjerumus dalam penyalahgunaan napza yang
diawali dari coba-coba dan berlanjut pada keinginan
untuk mengkonsumsi secara rutin dan berakhir menjadi
penyalahguna napza. Tidak sedikit remaja bisa terjerumus
dalam penyalahgunaan napza didasarkan pada latar
belakang yang beragam. Latar belakang ini berkaitan
dengan lingkungan sosial, proses internal diri seperti
keinginan mencoba, rasa dan ingin tahu hingga adanya
kesempatan untuk mencicipi napza secara gratis.
Berbagai alasan dan faktor pencetus remaja dapat
mengenal dan menjadi penyalahguna napza diantaranya
faktor kepribadian, faktor lingkungan, faktor teman
sebaya dan faktor ketersedian napza. Menurut Yatim
dalam purba (2008) faktor kepribadian penyalahguna
napza mengarah pada konsep diri yang negatif dan harga
diri yang rendah. Kemampuan untuk memecahkan
permasalahan berpengaruh terhadap bagaimana individu
mudah untuk melarikan diri seperti yang dialami oleh RF.
Semenjak ditinggal oleh kedua orangtuanya RF
menjadikan napza menjadi cara yang tepat untu
memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Selain
faktor kepribadian terdapat faktor lingkungan yang
membuat seorang remaja menyalahgunakan napza.
Lingkungan masyarakat yang rawan seperti tempat
hiburan yang buka hingga larut malam , warung –warung
remang, perumahan yang kosong dapat dijadikan tempat
untuk transaksi dan menyalahgunakan napza. RG dan RF
sering berada di warung untuk menyalahgunakan napza,
FS berada di perumahan kosong, sedangkan BL dan VR
memilih tempat di sebuah kos-kosan. Selanjutnya yaitu
faktor teman sebaya. Faktor teman sebaya dalam faktor
penyalahgunaan napza terjadi karena beberapa dari
anggota teman sebaya menjadi pengedar, ajakan dan
bujukan dari teman sebaya. Kelompok teman sebaya
dapat menimbukan tekanan bila tidak ikut melakukan
penyalahgunaan napza dianggap tidak setia terhadap
kelompok. Hal ini yang dialami oleh BL dan FS.
Sedangkan RG,RF dan VR bukan dipengaruhi oleh
adanya teman sebaya akan tetapi lingkungan tenpat
tinggal yang mendasari mereka bisa terjerumus dalam
napza. Dan faktor yang terakhir adalagh faktor
ketersediaan napza. (Sumiati dkk, 2009) menjelaskan
bahwa meningkatnya penyalahgunaan napza disebabkan
karena tersedianya napza dimana-mana seperti sekolah,
warung kopi, kampus dan didukung juga dengan harga
dari beberapa napza yang terjangkau. BL,RG,FS,RF dan
VR mendapatkan napza dari lingkungan tempat tinggal
yang selalu memberi mereka napza secara terus menerus
hingga ada beberapa partisipan yang sempat menjadi
kurir napza diantaranya RG dan RF.
Pola asuh orang tua yang salah juga dapat
membuat seorang remaja mudah untuk menjadi
penyalahguna napza. Orangtua RG yang terlalu
mengekang RG untuk bermain dan memaksa RG untuk
mematuhi segala keinginan ayahnya juga faktor
pendukung RG menyalahgunakan napza, sedangkan
orang tua RF yang sudah bercerai dan ibunya yang
meninggalkan RF hidup bersama neneknya juga faktor
pendukung RF menyalahgunakan napza, sama halnya
6
Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi
dengan orang tua VR yang menitipkan VR kerumah
saudaranya membuat VR menjadi anak yang bebas.
Proses awal penyalahgunaan napza yang di alami
oleh kelima
partisipan dalam penelitian ini
menggambarkan berbagai proses awal yang berbeda-beda
dalam proses penyalahgunaan napza. Proses terjadinya
ketergantungan akan napza berkaitan akan kesehatan
jasmani, kejiawaan dan fungsi sosial penyalahguna napza.
Proses ketergantungan akan napza tidak berlangsung
seketika, terdapat proses yang menjadikan penyalahguna
napza ketergantungan akan zat atau obat-obatan terlarang.
Menurut Martono & Joewana (2008) terdapat tahapan
atau pola yang dapat membuat seoarang menjadi
penyalahguna napza. Diantaranya yaitu pola coba-coba,
di dalam pola coba didasari karena rasa ingin tahu yang
tinggi dan pengaruh dari teman sebaya sangat besar. Hal
ini yang dialami oleh kelima partisipan dalam penelitian
ini berawal dari keinginan mereka untuk mencoba dan
pengaruh dari lingkungan teman yang mendukung, BL,
RG, FS, RF dan VR mengutarakan bahwa proses awal
mereka terjerumus ke napza dikarenakan proses cobacoba dan pengaruh dari teman.
Setelah coba-coba selesai dilalui tahap kedua adalah
pola pemakaian sosial, merupakan pola pemakaian napza
yang disebabkan karena kepentingan pergaulan serta
keinginan
untuk
tetap
diterima
dilingkungan
kelompoknya, hal ini dirasakan oleh semua partisipan.
Kelima partisipan menjadi pemakai sosial karena mereka
berkumpul dengan lingkungan yang menyalahgunakan
napza.Pengaruh dan terbiasa dengan lingkungan yang
menyalahgunakan napza akan membuat individu terbiasa
untuk mengkonsumsi napza secara terus menerus. Pola
berikutnya adalah pemakaian situasional, pola ini terjadai
karena pengalaman dari pemakaian sebelumnnya
mengkonsumsi napza dapat menjadi jalan pintas bagi
para penyalahguna napza memanipulasi emosi dan
suasana hati. Hal ini dialami oleh beberapa partisipan
diantaranya RG, FS dan RF. Saat mereka menadapatkan
masalah mereka menjadikan napza sebagai alat untuk
meluapkan emosi.
Tahapan yang selanjutnya merupakan tahapan
kebiasaan,dimana tahapan pemakaian napza sudah
teratur. Terjadi perubahan faal dan gaya hidup,termaksud
perubahan dalam kebiasaan, pakaian serta perilaku.
Tahap kebiasaan membuat para partisipan menjadi
terbiasa untuk mengkonsumsi napza secara teratur dan
memunculkan berbagai perubahan faal dan gaya hidup
termaksud perubahan kebiasaan dan perilaku. Sebelum
menjadi penyalahguna napza BL dan RG adalah seorang
remaja yang sering menghabiskan waktu bersama
keluarga, rajin beribadah, olahrga dan tidak pernah
7
berbohong kepada orangtua. Sedangkan FS adalah
seorang remaja yang penurut dan tidak pernah hutang ke
teman-temannya, begitu juga dengan RF sebelum
mengenal napza tidak pernah marah-marah kepada nenek
dan dan VR juga giat untuk membantu tantenya pada saat
sebelum mengkonsumsi napza. Pola yang terakhir adalah
pola ketergantungan, dimana tahapan ini akan
memberikan efek putus zat atau sakaw bagi si
penyalahguna napza. Individu akan memiliki pikiran dan
perilaku yang tidak dapat mereka kendalikan, seolah-olah
struktur otak mereka yang berhubungan dengan proses ini
bekerja secara terus menerus dan membutuhkan usaha
yang kuat untuk dapat mengendalikan pikirannya atau
biasa disebut dengan obsesif kompulsif Leocani, dkk
(2001).
Pikiran seorang penyalahguna napza akan mudah
terobsesi untuk mengkonsumsi napza secara terus
menerus tanpa memikirkan dampak yang ditimbulakn
dari pengkonsumsian napza jangka panjang. Para
penyalahguna napza tidak memikirkan bagaimana efek
dan dampak yang terjadi saat tidak lagi mengkonsumsi
napza. Penyalahguna napza hanya memikirkan
bagaimana bisa mendapatkan napza secara terus menerus.
Efek yang dirasakan oleh para penyalahguna napza pada
saat menjadi penyalahguna napza tidaklah sama dengan
efek yang dirasakan saat berhenti mengkonsumsi napza.
Masalah-masalah tertentu harus dihadapi oleh kelima
partisipan terkait efek yang timbul akibat berhenti
mengkonsumsi napza, selain itu terdapat dampak yang
harus
dirasakan oleh kelima partisipan dalam
penyalahgunaan napza. Efek dari pengkonsumsian napza
dapat memberikan efek yang berbeda-beda tergantung
jenis napza yang di konsumsi. Efek dari ketergantungan
napza di golongkon dalam tiga bagian yaitu golongan
depresan, stimulan dan halusinogen. Golongan depresan
dapat memperlambat sistem syaraf pusat dan dapat
membuat si pemakainya menjadi tenang dan bahkan tidak
sadarkan diri. Contohnya seperti obat penenang seperti
double L dan alkohol. Sedangkan golongan stimulan
dapat meningkatkan sistem syaraf pusat dan dapat
membuat si pemakai menjadi lebih aktif dan
bersemanagat contohnya seperti shabu-shabu. Sedangkan
golongan yang ketiga adalah halusinogen, jenis napza
yang bersifat halusinogen dapat mengubah persepsi
sensorik si pemakai dan menyebabkan halusinasi.
Contohnya adalah ganja (Sumiati, 2009).
Seperti yang dirasakan oleh kelima partisipan
dalam penelitian ini efek dari mengkonsumsi ganja dapat
membuat individu menjadi berhalusinasi dan senang,
efek dari double L dan alkohol dapat menjadikan individu
tidak sadarkan diri, sedangkan efek dari pengkonsumsian
Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan
shabu-shabu dapat membuat individu lebih percaya dan
bersemangat. Adaptasi biologis tubuh terhadap
penggunaan napza yang dikonsumsi dalam jangka waktu
yang lama bisa dibilang cukup ekstensif, terutama jenis
napza yang tergolong dalam kelompok berbahaya salah
satunya shabu-shabu. Tubuh manusia akan berubah
begitu banyak hingga sel-sel organ dalam tubuh menjadi
tergantung terhadap pada obat –obatan itu. Bila
penggunaan napza dihentikan, akan dapat mengubah
susunan dan keseimbangan kimia tubuh. Efek –efek yang
menyenangkan dari napza akan cepat berubah menjadi
gangguan
putus
zat
jika
seoarang
penguna
memberhentikan pengkonsumsian napza (BNN, 2014).
Gejala putus zat ini dapat menjadikan momok tersendiri
bagi para penyalahguna napza, rasa sakit yang muncul
dalam dirinya dapat menjadikan alasan sulit bagi para
penyalahguna berhenti dari penyalahgunaan napza. Efek
dari berhenti mengkonsumsi napza dirasakan oleh ke lima
partisipan. BL,RG,FS,RF dan VR mengalami gejala putus
zat saat mereka berhenti mengkonsumsi napza dan efek
yang ditimbulkan dari pemberhentian mengkonsumsi
napza adalah kesakitan di seluruh badan. Selain efek yang
ditimbulkan dari berhenti mengkonsumsi napza, terdapat
dampak dari penyalahgunaan napza yang muncul dan
harus ditanggung oleh kelima partisipan.
merasa malu saat tertangkap oleh polisi dan mama serta
omnya mengetahui bahwa RG adalah seorang
penyalahguna napza, FS juga merasa menyesal dan malu
kepada keluarganya karena kakak FS menemukan napza
didalam kamar FS, sedangkan RF merasa takut dengan
ayah dari teman RF yang mengetahui anaknya
menyalahgunakan napza di kontrakannya, serta merasa
malu dengan tetangga sekitar yang mengetahui nahwa RF
merupakan seorang penyalahguna napza, Sedangkan VR
juga menyesal dan malu kepada keluarga dan saudaranya
karena tertangkap polisi pada saat mengkonsumsi napza
bersama teman lelakinya.
Dari berbagai efek dan dampak yang dirasakan
akibat
penyalahgunaan
napza
dapat
membuat
penyalahguna napza mengalami penurunan kualitas
psikologi karena terperangkap dalam kondisi buruk yang
mereka alami. Indvidu yang resilien mampu bertahan
dalam situasi sulit dan bangkit dari keterpurukan untuk
menghadapi masalah yang ada di depannya, Schoon
(2006). Menurut Peterson dan Kelleher (2005), dalam
resiliensi individu akan mengalami suatu kondisi terburuk
dalam menghadapi suatu permasalahan hidup. Hal
tersebut merupakan fase awal dari resiliensi. Melihat
berbagai
tantangan
tersebut
diharapkan
para
penyalahguna napza memiliki kekuatan untuk dapat
menghadapinya.
Keberhasilan
seseorang
dalam
pemulihan dari penyalahgunaan napza dapat dimulai dari
keinginan dari diri individu sendiri untuk bangkit dari
keterpurukan yang dialami.
Dampak dari penyalahgunaan napza tergolong
menjadi tiga bagian yaitu dampak fisik, dampak psikis
dan sosial. Dampak fisik yang ditimbulkan dapat
membuat seorang penyalahguna mengalami gejala putus
zat seperti kerusakan saraf tepi, gangguan kesadaran,
sakit kepala, nyeri, susah tidur dan halusinasi ,Hariyanto
dalam Kemenkes (2010) . Kelima partisipan merasakan
kesakitan diseluruh badan akibat dari berhenti
mengkonsumsi napza, Selain dampak fisik terdapat
dampak psikis dan sosial yang timbul dari
penyalahgunaan napza. Dampak psikis yang terjadi akibat
penyalahgunaan napza diantaranya malas –malasan,
perasaan tidak aman, suka memberontak dan marahmarah, merasa tidak nyaman dan gelisah, Hariyanto
dalam Kemenkes ( 2010). Dampak psikis yang dirasakan
oleh BL dan RG adalah suka marah –marah sendiri dan
malas –malasan. Sedangkan dampak psikis yang dialami
oleh FS adalah sering memberontak dan perasaan yang
tidak aman karena sering hutang teman. Dan yang
dirasakan oleh RF dan VR adalah menjadi seorang yang
pemalas.
Sedangkan dampak sosial yang diterima
sebagai penyalahguna napza adalah rasa malu terhadap
lingkungan sekitar. Para partisipan akan merasa malu
dengan orang-orang sekitar mereka. BL merasa malu dan
menyesal ketika orangtuanya mengetahui BL sedang
mengkonsumsi napza bersama dengan temannya, RG
Setelah seseorang mengalami situasi sulit yang
berlangsung dari efek berhenti mengkonsumsi napza dan
dampak yang diterima dari penyalahgunaan napza para
penyalahguna harus bisa tetap bertahan dan melawan
efek dan dampak yang muncul dari ketergantungan
napza. Seseorang mulai terbiasa dengan situasi dan
keadaan sulit tersebut. Kondisi dimana seseorang mulai
terbiasa dengan situasi sulit yang ia hadapi disebut
dengan adapting atau proses penyesuaian Patterson &
Kelleher (2005). Proses penyesuaian atau adapting ini
tidaklah mudah untuk dilewati oleh beberapa partisipan.
Proses penyesuaian dapat dilihat dari kondisi setelah
menjadi penyalahguna napza. Seperti yang dialami oleh
beberapa partisipan yang masih sering teringat tentang
kejadian-kejadian
saat
mereka
masih
menjadi
penyalahguna napza. Seperti yang dikatakan oleh
partisipan BL yang masih sering teringat dengan teman
yang sering mengajak mengkonsumsi napza pada saat
ingin tidur. Sedangkan partisipan RG masih sering
teringat saat mengkonsumsi napza di kos teman, dan yang
dirasakan oleh partisipan RF muncul saat berada
8
Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi
sendirian di kos dan sensitif saat melihat botol dengan
sedotan yang merupakan alat untuk menyhabu.
Pada fase adapting atau proses penyesuaian diri
seseorang dapat bertahan dalam situasi sulit untuk kurun
waktu tertentu, seseorang akan mulai menerima situasi
atau keadaan yang sulit tersebut sebagai bagian dari
proses yang harus ia lakukan untuk mencapai keadaan
yang lebih baik ,Patterson & Kelleher, dalam Reivich &
Shate( 2002). Beberapa Partisipan juga mulai dapat
menerima keadaan dirinya. Seperti yang diungkapkan
oleh BL bahwa dirinya sudah berubah dan berhenti untuk
mengkonsumsi napza dan berhasil untuk menyesuaiakn
diri dengan kehidupannya dengan cara menjauhi teman
yang sering mengajaknya untuk mengkonsumsi napza.
Sedangkan perilaku penyesuaian diri yang di lakukan VR
pada saat VR mengalami putus zat saat berada di penjara
dan tempat rehab, akan tetapi VR menyadari bahwa
sekarang dirinya sudah mulai baik-baik saja.
Ketergantungan zat dan obat – obat terlarang
masuk dalam penyakit yang kronis. Kondisi kronis
ketergantungan napza berpotensi untuk mudah kambuh
(Hoffiman, 2008). Meskipun penyalahguna napza
berpotensi untuk susah disembuhkan dan mudah kambuh
bukan berarti tidak bisa disembuhkan. Pemulihan dari
penyalahgunaan napza membutuhkan proses. Proses ini
dimulai dari penyalahguna menyadari akan akibat dari
ketergantungan zat yang membuat hidupnya tersiksa dan
menderita. Pemulihan ketergantungan Napza merupakan
proses dinamis seumur hidup dimana sering melibatkan
stres dan tantangan dalam menuju kehidupan yang bebas
akan narkotika, (Laudet, dkk, 2002). Melihat berbagai
tantangan tersebut diharapkan para penyalahguna napza
memiliki kekuatan untuk dapat menghadapinya.
Keberhasilan seseorang dalam pemulihan dari
penyalahgunaan napza dapat dimulai dari keinginan dari
diri individu sendiri. Inidividu yang bisa resilien akan
memilih untuk bangkit dari keterpurukan dan berusaha
untuk menyelesaikan masalah yang menjadi beban untuk
dirinya. Keadaan dimana seseorang mulai berusaha untuk
mengubah keadaannya yang tidak menguntungkan
menjadi kondisi yang lebih baik disebut dengan
recovering atau pemulihan , Patterson & Kelleher ( 2005)
BL,RG,FS,RF dan VR menyadari bahwa menjadi
penyalahguna napza adalah hal yang salah. BL merasakan
penyesalan akibat perbuatan yang telah dia lakukan
selama ini, sedangkan RG, RF dan VR juga menyadari
dan benar-benar ingin berhenti dari penyalahgunaan
napza sedangkan FS menyadari keslahannya dengan cara
menerima keadaan dirinya kalau pernah menjadi
penyalahguna napza. Selain itu proses kesadaran yang
dimiliki oleh BL dan RG yang berinisiatif untuk datang
9
ke tempat rehabilitasi merupakan langkah awal yang
positif untuk mencapai resiliensi. Setelah menyadari akan
kesalahannya
sendiri
selanjutnya
dibutuhkan
pembelajaran diri agar setelah sadar dari kesalahannya
para penyalahguna napza dapat belajar dari kesalahan
yang pernah dilakukan. Pembelajaran diri juga penting
dalam proses untuk pemulihan dari penyalahgunaan
napza. Dalam proses pembelajaran diri dibutuhkan cara
untuk dapat membuat keputusan dan instropeksi diri.
BL,FS dan RG dapat belajar dari kesalahan yang
sudah dialami degan cara dapat membuat keputusan yang
tepat untuk tetap meninggalkan napza dan bangkit dari
penyalahgunaan napza. BL, RG ,FS,RF dan VR juga
mampu untuk berintrospeksi diri agar dapat mencapai
resiliensi. Berbagai faktor pendukung yang dapat
membuat
seoarang untuk tetap bangkit dari
penyalahgunaan napza. Faktor pendukung pemulihan
juga berasal dari perasaan yang tidak nyaman saat
menjadi seorang penyalahguna. Kelima partisipan juga
menyadari bahwa napza juga dapat menimbulkan
perasaan tidak nyaman bagi setiap pemakai. Seperti yang
dirasakan oleh BL saat orangtuanya mengetahui BL
sedang
mengkonsumsi
napza,
RG
merasakan
ketidaknyamanan dalam mengkonsumsi napza ketika dia
sadar, selanjutnya FS merasakan ketidaknyamanan saat
uang sakunya habis hanya untuk membeli napza,
sedangkan VR merasakan ketidaknyamanan saat kecewa
dengan kekasihnya.
Selain itu dalam proses pemulihan dibutuhkan
dukungan sosial dari orang lain untuk memperkuat
seoarang penyalahguna napza pulih dan bangkit.
Dukungan sosial dari orang terdekat akan menjadi faktor
penguat yang berasal dari luar dalam meningkatkan
resiliensi. Menurut Gortbergh (1995) dukungan eksternal
dari luar akan dapat menguatkan resiliensi. Sumber I
Have memiliki aspek penting yang diantaranya merasa
percaya pada orang lain yang menyayanginnya apa
adanya dan merasa memiliki orang-orang yang dapat
mendukungnya untuk mandiri. Dukungan eksternal dari
kelima partisipan datang dari dukungan orangtua yang
selalu mendukung kelima partisipan untuk bangkit dari
permasalahan yang dihadapinya. Selain dukungan
ekternal dari keluarga , dukungan eksternal dari
lingkungan dapat mendukung seorang penyalahguna
napza bangkit. Seperti yang dirasakan oleh BL yang
mendapat dukungan eksternal dari pihak BNN, RG yang
mendapat dukungan ekternal dari om tante dan
kekasihnya, FS yang mendapat dukungan ekternal dari
mantan penyalahguna dan VR yang mendapat dukungan
eksternal dari tetangga . Dalam proses pencapaian
resiliensi dibutuhkan kekuatan untuk mendukung
Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan
individu bisa bangkit lagi. Dalam resiliensi terdapat fase
Growing yang merupakan suatu tahap dimana individu
tumbuh menjadi lebih kuat karena pelajaran dan
pengalaman yang telah dilaluinya pada saat menghadapi
situasi yang sulit. Dari situasi yang sulit tersebut inidividu
belajar untuk menghadapi dan kesulitan masalahnya
Patterson & Kelleher ( 2005)
Dari situasi sulit yang dihadapinya, pada akhirya
kelima partisipan berhasil untuk bangkit kembali . Orangorang yang resilien bukan berarti mereka tidak merasa
terganggu oleh tekanan-tekanan yang mereka hadapi.
Namun, mereka mampu dengan mudah kembali ke
keadaan mereka semula dan mulai untuk menyelesaikan
tekanan-tekanan yang dirasakannya tersebut, Reivich &
Shate ( 2002). Pada akhirnya BL, RG,FS,RF dan VR
dapat
menghilangkan
keinginannya
untuk
menyalahgunakan napza kembali. Masing-masing dari
para partisipan sudah mempunyai tujuan kedepan untuk
kehidupannya. Menurut Gortbergh (1995) faktor I AM
yaitu kekuatan yang bersumber dari dalam diri individu.
Kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku,
kepercayaan pada diri sendiri dan memiliki visi untuk
kedepan. BL, RG, FS, RF, dan VR masih memiliki
kesempatan dalam dirinya untuk bisa melanjutkan
hidupnya dan menggapai tujuan hidupnya. BL memiliki
tujuan hidup menjadi seorang pengusaha, RG memiliki
tujuan kedepan untuk menjadi seorang tentara,FS
memiliki tujuan kedepan untuk menjadi seoarang general
manajer disebuah hotel, RF memiliki tujuan kedepan
untuk merubah hidupnya dengan cara sekolah kejar paket
dan VR memiliki tujuan kedepan ingin membahagiakan
keluarganya.
Selain itu menjalin hubungan dengan orang lain
setelah berhasil melewati proses bangkit juga diperlukan
bagi mantan penyalahguna napza. Menurut Gortbergh
(1995) faktor I Can yaitu kekuatan yang bersumber dari
luar untuk meningkakan resiliensi. Melalui I Have
seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh dengan
kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang
tua, anggota keluarga yang lain, teman, tetangga yang
mencintai dan bisa menerima diri anak tersebut dengan
apa danaya. RG dapat menjalin hubungan yang baik
dengan teman sebayanya dan meninggalkan teman yang
pernah mengajaknya terjerumus ke napza, sedangkan FS
dan VR memiliki hubungan yang baik dengan tetangga
sekitar rumah. Sedangkan hubungan partisipan dengan
seseorang yang membuat ke lima partisipan ini
terjerumus napza, kelima partisipan memilih untuk
menghindarinya.
PENUTUP
Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
kehidupan sebagai penyalahguna napza bukan keinginan
bagi setiap orang, apalagi bagi seorang penyalahguna
napza yang masih berada di usia remaja. Terjerumus
dalam penyalahgunaan napza justru menimbulkan
permasalahan bagi orang yang menjalaninya. Banyak
faktor pencetus dan pendukung seorang remaja
menyalahgunakan napza. Dimulai dari lingkungan yang
mendukung , pengaruh teman sebaya, rasa penasaran
untuk mencoba serta pola asuh yang salah dari orang tua
dapat menjerumuskan para remaja dalam penyalahgunaan
napza.
Proses awal penyalahgunaan napza yang bermula
dari rasa ingin tahu dan coba-coba yang dilakukan
berulang-ulang dapat membuat individu menjadi
ketergantungan
dan
ketagihan
akan
napza.
Ketergantungan akan napza dapat memberikan efek dan
dampak buruk bagi penyalahguna saat mereka berhenti
untuk mengkonsumsi napza. Penyalahguna akan
mengalami putus zat atau sakaw pada saat berhenti untuk
mengkonsumsi napza, seperti yang dirasakan oleh kelima
partisipan dalam penelitian ini yang meraskaan kesakitan
di seluruh bandannya pada saat berhenti mengkonsumsi
napza. Selain itu dampak psikis juga dirasakan oleh
kelima partisipan pada penelitian ini, dampak psikis
berupa perubahan emosi seperti suka membantah , marahmarah, pemalas dan hutang yang dialami oleh para
partisipan. Selain dampak psikis terdapat dampak sosial
yang dirasakan oleh kelima partisipan seperti rasa
penyesalan dan perasaan malu.
Ketergantungan napza dapat membuat individu
mengalami penurunan kualitas psikologi akibat
terperangkap dalam kondisi buruk yang dialami. Individu
yang resilien akan terus bangkit dari keterpurukan yang
dihadapinya. Keberhasilan seseorang dalam pemulihan
dari penyalahgunaan napza dapat dimulai dari keinginan
dari diri individu itu sendiri untuk bangkit dari
keterpurukan yang dialami. Setelah selesai melewati
situasi yang sulit akibat efek dan dampak dari
penyalahgunaan napza individu mulai terbiasa dengan
situasi sulit yang sedang dihadapi dan menyesuaikan
dengan keadaan sulit yang dihadapi.
Proses penyesuaian kelima partisipan dimulai dari
menerima situasi atau keadaannya yang sulit sebagai
bagian dari proses yang harus dilakukan untuk mencapai
keadaan yang lebih baik. Keberhasilan seseorang dalam
pemulihan penyalahgunaan napza dapat dimulai dari
bangkit dari keterpurukan dan berusaha untuk
menyelesaikan masalah yang menjadi beban untuk
10
Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi
dirinya. Keadaan dimana seseorang mulai berusaha untuk
mengubah keadaannya yang tidak menguntungkan
menjadi kondisi yang lebih baik. Kelima partisipan
menyadari akan kesalahan dirinya dan memulai untuk
merubah diri untuk menjadi individu yang lebih baik
melalui proses rehabilitasi. Selain kesdaran diri dalam
proses pemulihan seorang mantan penyalahguna napza
membutuhkan dukungan sosial untuk memperkuat
seoarang
penyalahguna
napza
bangkit
dari
keterpuruannya. Dukungan eksternal dari kelima
partisipan datang dari dukungan orangtua yang selalu
mendukung kelima partisipan untuk bangkit dari
permasalahan yang dihadapinya. Selain dukungan
ekternal dari keluarga , dukungan eksternal dari
lingkungan dapat mendukung seorang penyalahguna
napza bangkit.
Setelah berhasil melewati masa sulit dalam
menyalahgunakan napza , penyalahguna napza akan
tumbuh menjadi lebih kuat karena pelajaran dan
pengalaman yang telah dilaluinya pada saat menghadapi
situasi yang sulit. Dari situasi yang sulit tersebut inidividu
belajar dan memiliki tujuan kedepan. Kelima partisipan
dapat
menghilangkan
keinginannya
untuk
menyalahgunakan napza kembali. Masing-masing dari
para partisipan sudah mempunyai tujuan kedepan untuk
kehidupannya. Selain itu menjalin hubungan dengan
orang lain setelah berhasil melewati proses bangkit juga
diperlukan bagi mantan penyalahguna napza. Menurut
Gortbergh (1995) faktor I Can yaitu kekuatan yang
bersumber dari luar untuk meningkakan resiliensi.
Melalui I Have seseorang merasa memiliki hubungan
yang penuh dengan kepercayaan. Hubungan seperti ini
diperoleh dari orang tua, anggota keluarga yang lain,
teman, tetangga yang mencintai dan bisa menerima diri
anak tersebut dengan apa danaya
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti
memberikan saran kepada beberapa pihak terkait yang
dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi yang
membutuhkan.
1.
Peneliti
Bagi peneliti selanjutnya yang meneliti tentang
hal yang sama diharapkan dapat memaksimalkan
teknik pengumpulan data, seperti wawancara
serta observasi agar data yang diperoleh lebih
akurat dan tepat.
2.
Partisipan/mantan penyalahguna napza
Partisipan maupun mantan penyalahguna napza
yang lain agar dapat lebih optimis dalam
11
menjalani kehidupan dan tidak terpuruk dan
tidak terjerumus kembali dalam penyalahgunaan
napza
3.
Masyarakat dan keluarga
Masyarakat dan keluarga diharapkan dapat
memberikan respon dengan bijak dan tidak
memberikan stereotip kepada para mantan
penyalahguna napza khususnya bagi para
mantan penyalahguna napza remaja. Diharapkan
juga agar masyarakat dan keluarga dapat
memberikan dukungan sosial kepada mantan
penyalahguna agar mereka bisa bangkit dan
tidak terjerumus kembali dalam penyalahgunaan
napza.
DAFTAR PUSTAKA.
Ariwibowo.K (2013, Agustus 28). Efek Pemakaian
Narkoba. Retrived Desember 03, 2016,
from 1
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta:
Rineka Cipta
Azmiyati.S.R dkk (2014) Gambaran Penggunaan
Napza Pada Anak Jalanan di Kota
Semaranng. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9
(2) 137-143. ISSN 1858-1196
BNN.(2014). Dampak Langsung Dan Tidak Langsung
Penyalahgunaan
Narkoba.Retrieved
Februari,
17,
2017,
fromhttp://dedihumas.bnn.go.id/read/se
ction/artikel/2014/03/20/957/dampaklangsung-dan-tidak
langsungpenyalahgunaan-narkoba
BNN. ( 2010). Pemahaman Tentang Bahaya
Penyalahgunaan
Narkoba.
Retrieved
Februari,
17,
2017,
from
http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/
post/2010/11/23/2010-11-23__19-4455.pdf
Bungin, B. (2011). Penelitian Kualitatif: Komunikasi,
Ekonomi, Kebiajakan Publik, dan Ilmu Sosial
Lainnya. Jakarta: Kencana
Chaplin, J. P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi.
Jakarta: Rajawali Press.
Danang. ( 2016 Mei 02).
Pengguna Narkoba
dikalangan anak mencapai 14 rb. Suara.com.
Retrieved June 15, 2016,
from
http://www.suara.com/lifestyle/2016/05
/02/17
3838/memprihatinkan-anakpengguna-narkoba-capai-14-rib
Desmita. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan
Diah, R., & Pradna, P. (2012). Resiliensi Guru di
Sekolah
Terpencil.
Jurnal
Psikologi
Pendidikan dan Perkembangan 1 (2) 1-6
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009)
Human
Development
(Perkembangan
Manusia) (10ed., Vol. II) (B. Marswendy,
Penerj.) Jakarta: Salemba Humanika.
Pasudewi.C.Y (2013).
Resiliensi Pada Remaja
Binaan Bapas Ditinjau Dari Coping Stress.
Journal of Social and industrial Psychology , 1
(2) , 14- 21
Patterson, J.L., & Kelleher P. (2005). Resilient school
leaders: stategies for turning adversity
intoachievement. Alexandria: Association
for
Supervission
and
Curriculum
Develompent (ASCD)
Poerwandari K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk
penelitian
perilaku
manusia.
Jakarta:
Fakultas Psikologi Indonesia
Prastowo, A. (2009). Menguasai Teknik-Teknik Koleksi
Data Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Diva
Press
Purba, J.M., 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien
dengan Masalah Psikososial dan Gangguan
Jiwa, Medan : USU Press.
Putri A.M (2016). Wawancara pribadi di Lembaga
rehabilitasi Plato Surabaya pada tanggal
27 Desember 2016.
Rahayu, I. T., & Ardani, T. A. (2004). Observasi dan
Wawancara.
Malang:
Bayumedia
Publishing.
Santana, K. S. (2007). Menulis Ilmiiah: Metode
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor.
Santrock, J. W. (2007). Remaja. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Eleanora, F.N., 2004. Bahaya Penyalahgunaan Narkoba.
, 1(I), 439–452.
Emzir.
(2010). Metodologi Penelitian Kualitatif:
Analisis Data. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Feist, J., & Feist, G. J. (2013). Teori Kepribadian (7th
ed). (Handriatno, Penerj.) Jakarta: Salemba
Humanika.
Gunarsa, S. D., & Gunarsa, Y. S. (2008). Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta:
Gunung Mulia.
Gunawan, I. (2013). Metode Penelitian Kualitatif: Teori
& Praktik. Jakarta: Bumi Aksara.
Grothberg,E.
(1995). A Guide to Promoting
Resilience in Children: Strengthening the
Human Spirit. The Series Early Childhood
Development : Practice and Reflections.
Number8. The Hague : Benard van Leer
Voundation.
Herdiansyah, H. (2012). Metodologi Penelitian
Kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta :
Salemba Humanika.
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan :
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ira , I.( 2016, Januari 11). Pengguna Narkoba di
Indonesaia Meningkat hingga 5,9 Juta Orang.
KOMPAS.COM. Retrieved Juni 15, 2016,
from http://regional.kompas.com/read/
2016/01/11/14313191/Buwas.Pengguna.
Narkoba.di.Indonesia.Meningkat.hingga.5.
9.Juta.Orang
Jehani, Libertus. 2006. Mencegah Terjerumus Narkoba.
Jakarta: Visimedia
Laudet, A., Savage, R., & Mahmood, D. (2002).
Pathways to long-term recovery: A
preliminary investigation. Journal of
Psychoactive Drugs
Martono, L., & Joewana, S. (2008). Peran Orang Tua
dalam Mencegah dan Menanggulangi
Penyalahgunaan
Narkoba.Jakarta:
Balai
Pustaka
Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurdian. D.M, dkk (2014) . Konseling kelompok
untuk meningkatkan resiliensi pada
remaja penyandang cacat fisik (Difable).
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. 1 (2), 36-49,
ISSN: 2301-8267
Satoni, D & Komariah, A. (2012). Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Schoon,
Ingrid. (2006). Risk and Resilience.
Adaptation in Changing Time. New York:
Cambridge University Press
Smith, J.A & Eatough, V. (2007). Interpretative
Phenomenological Analysis. In E. Lyons
And A. Coyle (Eds.). Analysing Qualitative
Data in Psychology. (pp.35-50) London :
Sage. Online. http://www.bbk.ac.uk/.
Diakses 3 Januari 2015
Smith, J. A. (2009). Psikologi Kualitatif: Panduan
Praktis Metode Riset. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
12
Download