Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi PENGALAMAN MANTAN PENYALAHGUNA NAPZA DI USIA REMAJA DALAM MENCAPAI RESILIENSI Alivia Maulany Putri Jurusan Psikologi, FIP, Unesa. E-mail: [email protected] Yohana Wuri Satwika Jurusan Psikologi, FIP, Unesa. E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini di latarbelakangi oleh bagaimana pencapaian resiliensi yang dialami oleh mantan penyalaguna napza dia usia remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana pengalaman partisipan terkait pencapaiannya dalam mencapai resiliensi, cara mencapai resiliensi tersebut memperlukan fase dan faktor yang mendukung kelima partisipan dalam mencapai resiliensi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kulitatif dengan metode fenomenologi. Data penelitian didapatkan dengan cara wawancara semi terstruktur dan dianalisa menggunakan Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam mencapai resiliensi melewati tahapan –tahapan yaitu proses awal menjadi penyalahguna, Gambaran terburuk saat menjadi penyalahguna, proses penyesuaian dan pemulihan dan kondisi pasca pemulihan. Faktor yang mempengaruhi penyalahguna napza dalam mencapai resiliensi terdapat pada kemampuan dirinya sendiri, dukungan sosial dan kemampuan sosial. Kata Kunci : Resiliensi, Mantan Penyalahguna napza, Remaja. Abstract This research was motivated by the way the resilience achievement experienced by the former drug abusers in teenage. It aimed to reveal how the participant’s experience concerning the resilience achievement, the phase to reach the resilience and the factor to support the five participants in achieving resilience. This research applied qualitative method using phenomenology. The data were collected by conducting structured interview and analsed using Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). The subject of this research consisted of five teenagers who were the former drug abusers. The teenagers around 18-21 years old and stopped abusing drugs became the criteria in this research. The result of this research revealed that there were phases passed to achieve resilience, the phases were; the first process becoming the abusers, the description when became the abusers, the process of adaptation and rehabilitation and the condition after rehabilitation. The factor that influenced the drug-abusers in achieving resilience was from themselves, social support, and the social ability. The five participants succeeded to achieve the resilience, since they stopped doing drug-abuse and they had resolution to live better. Keywords : Resilience, former drug abusers, teenagers. PENDAHULUAN Di Indonesia banyak terjadi kasus tentang penyalahgunaan napza. Saat ini jumlah pengguna napza di Indonesia hingga November 2015 mencapai 5,9 juta. Kasus napza sudah menyebar di kalangan pelajar dan mahasiswa yang mereka masih ada pada fase remaja. jiwa Fase perkembangan psikologis sosiol-emosional menjadi faktor utama remaja menyalahgunakan napza. Banyak alasan mengapa remaja mudah terjebak dalam penyalahgunaan napza. Beberapa ahli psikologi menunjukkan bahwa fase perkembangan psikologis remaja membuat mereka rentan terjerumus napza Perkembangan sosial-emosional remaja adalah suatu 1 perubahan progresif organisme, dalam konteks ini adalah remaja yang telah mengalami masa pubertas, mulai berfikir tentang dunia sekelilingnya (konteks sosial) dan mulai mengekspresikan emosinya baik dalam tingkah laku atau tidak. Perkembangan sosial-emosional lebih mengarah pada hubungan seseorang dengan orang lain. Perkembangan sosial- emosional pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua. Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Papalia & Feldman 2009). Erikson menjelaskan salah satu tugas perkembangan selama masa remaja adalah menyelesaikan krisis identitas, sehingga diharapkan terbentuk suatu identitas diri yang stabil pada akhir masa Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan remaja. Remaja yang berhasil mencapai suatu identitas diri yang stabil akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, memahami perbedaan dan persamaannya dengan orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan diri sendiri, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengantisipasi tantangan masa depan, serta mengenal perannya dalam masyarakat. Jika remaja mengalami kegagalan maka akan membahayakan masa depan remaja. Sebab, seluruh masa depan remaja sangat ditentukan oleh penyelesaian krisis identitas (Desmita, 2005). Individu dengan krisis identitas akan mengalami hal-hal yang cenderung mengarah pada hal-hal yang bersifat negatif karena pola pikirnya yang masih labil dan instan. Hal ini yang memicu banyaknya remaja memilih untuk terjerumus dalam penyalahgunaan napza yang diawali dari coba-coba dan berlanjut pada keinginan untuk mengkonsumsi dan menjadi penyalahguna napza. Penyalahguna napza dapat memberikan dampak psikologis yang dapat menjadikan individu mengalami perubahan perilaku dalam hidupnya. Dampak psikologis penyalahguna napza lebih susah dipulihkan daripada dampak fisik. Dampak fisik akan bisa dilewati saat penyalahguna berhasil melewati gejala putus obat (GPO). Dampak psikologis penyalahguna napza adalah perilaku obsesif komplusif serta tindakan impulsif. Individu dengan obsesif komplusif memiliki pikiran dan perilaku yang tidak dapat mereka kendalikan, seolah-olah struktur otak mereka yang berhubungan dengan proses ini bekerja terus menerus, berusaha kuat untuk dapat mengendalikan pikiran dan perasaan tersebut, Leocani, dkk (2001); Matrix- Cols dkk., (2004). Pikiran seorang penyalahguna akan mudah untuk terobsesi untuk menggunakan napza kembali. Para penyalahguna tidak pernah memikirkan dampak dari tindakan yang dilakukannya yang juga dapat merubah perilaku si penyalahguna. Napza adalah satusatunya hal yang ada didalam pikirannya. Penyalahguna akan menggunakan semua daya pikirnya untuk memikirkan cara tercepat untuk mendapatkan uang agar bisa mengkonsumsi napza lagi. Dampak perilaku yang timbul akibat menyalahgunakan napza diantaranya suka mencuri, berbohong, marah-marah dan berfikir kompulsif, dalam artian ini penyalahguna mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama, (BNN, 2014) Ketergantungan zat dan obat – obat terlarang masuk dalam penyakit yang kronis. Kondisi kronis ketergantungan Napza berpotensi untuk mudah kambuh (Hoffiman, 2008). Meskipun penyalahguna napza berpotensi untuk susah disembuhkan dan mudah kambuh bukan berarti tidak bisa disembuhkan. Pemulihan dari penyalahgunaan napza membutuhkan proses. Proses ini dimulai dari penyalahguna menyadari akan akibat dari ketergantungan zat yang membuat hidupnya tersiksa dan menderita. Pemulihan ketergantungan Napza merupakan proses dinamis seumur hidup dimana sering melibatkan stres dan tantangan dalam menuju kehidupan yang bebas akan narkotika, (Laudet, dkk, 2002). Melihat berbagai tantangan tersebut diharapkan para penyalahguna napza memiliki kekuatan untuk dapat menghadapinya. Keberhasilan seseorang dalam pemulihan dari penyalahgunaan napza dapat dimulai dari keinginan dari diri individu sendiri. Salah satunya yang dapat membantu individu menghadapi tantangan yang sedang dihadapi adalah resiliensi. Resiliensi merupakan bentuk kemampuan seseorang untuk bertahan dalam situasi sulit dan bangkit dari keterpurukan untuk menghadapi masalah yang dihadapi. Menurut Schoon (2006) menjelaskan resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya. Resiliensi mampu membuat seseorang mengubah masalah yang dihadapinya menjadi peningkatan kualitas diri. Resiliensi dijadikan poin penting dalam proses penyembuhan individu dalam menanggulangi ketergantungan zat Kajian dalam resiliensi terdapat fase-fase dan resiliensi. Menurut Patterson dan Kelleher (2005) resiliensi merupakan sebuah rekonstruksi yang memberikan kekuatan bagi seseorang untuk bangkit dari keterpurukan dalam situasi sulit kemudian berkembang untuk menjadi pribadi yang mampu untuk melewati kesulitan-kesulitan tersebut. Patterson dan Kelleher (dalam Diah & Pradna, 2012) menjelaskan empat fase resiliensi yang terjadi pada seseorang ketika menghadapi suatu kesulitan atau masalah. Deteriorating Fase dimana kesulitan atau masalah mulai muncul pada kehidupan seseorang. seseorang akan mengalami suatu keadaaan terburuk (deterior) yang juga merupakan fase awal dari resiliensi b) Adapting Fase transisi dimana seseorang mulai terbiasa dengan situasi sulit yang mereka hadapi. Kondisi buruk yang berlangsung cukup lama membuat seseorang mulai terbiasa dan mampu beradaptasi dengan kondisi yang buruk tersebut.c) Recovering Fase dimana seseorang berada pada posisi netral. seseorang mulai berusaha untuk memulihkan kondisinya yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan.d) Growing Fase terakhir dimana seseorang tumbuh menjadi lebih kuat melalui pembelajaran dan pengalaman yang diambil saat kesulitan menghadang. Selain fase terdapat faktor yang dapat membuat individu lebih resilien. Menurut Gortbergh (1995) ada beberapa faktor resiliensi. Berikut 2 Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi ini beberapa faktor resliensi diantaranya , a). I Am (kemampuan individu) Merupakan kekuatan yang berasal dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya, b) I Have( Dukungan eksternal) Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut dengan apa adanya, c) I Can (kemampuan sosial dan interpersonal) Merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal yang berasal dari lingkungan luar. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka Menurut Libertus Jehani & Antoro dkk (2006) Penyalahguna napza yaitu seseorang yang mengkonsumsi obat-obatan untuk sendiri tanpa indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, baik secara teratur atau berkala sekurang-kurangnya selama satu bulan. Pada penyalahgunaan ini cenderung terjadi toleransi tubuh yaitu kecenderungan menambah dosis obat untuk mendapat khasiat yang sama setelah pemakaian berulang. Disamping itu menyebabkan sindroma putus obat (withdrawal) apabila pemakaian dihentikan. Terjadinya ketergantungan yang berkaitan gangguan pada kesehatan jasmani, kejiwaan, dan fungsi sosialnya. Ketergantungan tidak berlangsung seketika, tetapi melalui rangkaian proses penyalahgunaan. Adapun beberapa tahap dan pola pemakain napza antara lain pola coba-coba, pola sosial, pola pemakaian situasional, pola kebiasaan dan pola ketergantungan, Martono & Joewana (2008). Selain itu terdapat faktor – faktor yang menyebabkan remaja menyalahgunakan napza, diantaranya faktor kepribadian, faktor lingkungan, faktor teman sebaya dan faktor ketersediaan napza, Sumiati dkk( 2009). Terdapat beberapa penelitian yang relevan terkait resiliensi dan penyalagunaan napza pada remaja. penelitian dari P.Tomy, Y.S, Farida Wijaya (2006) dengan judul resiliensi dan sikap terhadap penyalahgunaan zat (Studi pada remaja). Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan hasil tidak terdapat hubungan antara protective factors dan sikap terhadap penggunaan napza. Persamaan dengan penelitian yang akan dilaksanakan terdapat pada bagian topik resiliensi dan subjek penelitian. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilaksanakan terdapat pada metode penelitian. METODE Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan pengalaman pengalaman mantan penyalahguna napza diusia remaja dalam mencapai resiliensi. Model penelitian yang digunakan adalah model penelitian fenomenologi. Subjek penelitian yang akan dilibatkan dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik sampling purposive sampling, berdasarkan kriteria yang ditentukan. Kriteria tersebut adalah: (1) Subjek penelitian adalah remaja yang pernah ketergantungan akan napza (2) Remaja yang berusia 18-21 tahun (3) Remaja yang pernah mengikuti program rehabilitasi secara sukarela(4)Berdomisili di Surabaya (5) Bersedia menjadi partisipan penelitian dengan mengisi lembar informed consent.Penelitian ini melibatkan lima partisipan, yang terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan yaitu BL (18 tahun), RG (18 tahun), FS (18 tahun), RF (19 tahun) dan VR (19 tahun). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara secara mendalam (in depth interview). Wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah wawancara semi terstruktur. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian menggunakan Interpretative Phenomenology Analysis (IPA). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian ini mengungkap empat tema besar. Tema besar yang pertama adalah proses awal penyalahgunaan napza. Pada tema ini terdapat empat sub tema yaitu proses awal penyalahgunaan napza, proses pencetus menyalahgunakan napza, jenis napza yang pernah dikonsumsi, dan frekuensi pemakaian napza. Tema yang kedua adalah gambaran keadaan terburuk. Pada tema ini terdapat dua sub tema, yaitu efek menyalahgunakan napza dan dampak menyalahgunakan napza. Tema yang ketiga adalah proses penyesuaian dan pemulihan. Tema besar yang ketiga memiliki lima sub tema diantaranya gambaran kondisi sebelum menjadi penyalahguna napza, gambaran kesadaran diri, gambaran pembelajaran diri, faktor pendukung pemulihan, proses berhenti dan dukungan sosial. Dan tema besar yang ke empat adalah keadaan pasca pemulihan yang memiliki dua sub tema yang mencakup tujuan ke depan dan hubungan dengan orang lain. Tema: Proses Awal penyalahgunaan napza Penyalahgunaan napza pada remaja dapat terlihat dari bagaimana gambaran dan proses individu bisa 3 Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan dewe, kadang nggak (RG:W1:B 158) terjerumus dalam penyalahgunaan napza. Hasil penelitian mengungkap penyalahguna napza memiliki proses awal individu bisa terjerumus di dalam napza, proses pencetus seseorang dapat menyalahgunakan napza, informasiinformasi tentang jenis-jenis napza yang pernah diketahui dan dikonsumsi serta frekuensi dari pemakaian napza . Sub tema 1 : Alasan penyalahgunaan napza Banyak alasan remaja bisa terjerumus dalam penyalahgunaan napza. Proses awal penyalahgunaan ini diawali dari keputusan individu mengkonsumsi napza. Keputusan ini dilatar belakangi oleh berbagai hal, seperti ajakan teman, pemerolehan napza secara gratis hingga rasa ingin tahu. Keputusan mengonsumsi napza dialami oleh BL. Alasan BL mengkonsumsi napza karena ditawarin oleh teman dan mendapatkan napza secara gratis. pulang juga” Tema 2: Deteriotering Keadaan terburuk pada penelitian ini menggambarkan keadaan terburuk yang dialami oleh partisipan pasca menjadi seorang penyalahguna napza. Keadaan terburuk mencakup efek dari mengkonsumsi napza dan dampak-dampak negatif yang muncul akibat penyalahgunaan napza yang dialami oleh partisipan. Sub tema 1: Efek mengkonsumsi napza Pada saat partisipan menjadi penyalahguna napza, partisipan adalah seorang remaja yang berusia antara 18 – 19 tahun. Partisipan menceritakan tetang efek dari pemakaian napza yang dirasakan pada saat masih menjadi penyalahgunadari kelas atau pekerjaan. Seperti yang dialami oleh partisipan FS efek dari mengkonsumsi napza yang yang dirasakan oleh FS dari jenis napza ganja adalah mudah membuat dirinya tertawa dan mudah juga membuat dirinya marah, jenis napza double L juga dapat membuat membuatnya marah dan berhalusinasi sedangkan jenis napza shabu-shabu dapat membuat lebih bersemangat dan percaya diri “Awalnya ya gara-gara dikenalin temen waktu SMP itu sama double L ,terus diajakin terus, dikasih gratis juga”(BL:W1: B 82) Tidak hanya BL, hal yang sama juga dialami oleh RG. Alasan RG mengkonsumsi napza berawal dari cobacoba milik temanya. “[...]Ganja suka bikin ketwa sendiri mbak sama bikin mudah marah, bikin ngefly juga, kalo double L bikin fly sama mudah marah juga, halusinasinya juga tinggi kayak suka ngomongngomong sendiri kalo shabu bikin percaya diri, enteng badan, sama lebih bersemangat “(FS:W1:B 112) “Pertama awalnya coba-coba punya temen mbak, habis itu lama kelamaan kok enak dan nyaman yaudah aku terusin buat pakek [...]” (RG:W1: B 17) Sub tema 2 : Faktor pencetus menyalahgunakan napza Selain proses awal remaja dapat menyalahgunakan napza terdapat faktor pencetus remaja bisa menyalahgunakan napza. Seperti yang dialami oleh BL. Faktor pencetus BL menyalahgunakan napza karena lingkungan sekolah yang mendukung untuk menyalahgunakan napza dan agar dapat diterima di lingkungan Begitu juga dengan yang dirasakan oleh RF. RF merasakan efek dari mengkonsumsi napza jenis double L dapat membuatnya dirinya tertawa, napza jenis ganja dapat membuat dirinya tidak sadarkan diri sedangkan efek dari napza jenis shabu dapat membuat badan menjadi sehat dan membuat fikiran yangkacau kembali fresh kembali “[...]soalnya lingkunganku dari SMP sudah gitu mangkanya ya dukung aku juga buat coba dan makek biar bisa diterima juga dan gaul gitu lah” (BL: W1 : B122) “[...]Kalau pakek double L gitu aku sekali nelen bisa sampek 10 – 15 butiran mbak itu rasae langsung bikin teler sama ngomongngomomg sendiri , ketawa –ketawa sendiri, pas pakek ganja ya gitu biasae satu batang rokok yang tak isi ganja bisa bikin langsung teler, lah kalau shabu itu bikin badan jadi sehat, fikiran yang asline kacau jadi fresh lagi” (RF:W1:B 109) Selanjutnya faktor pencetus yang dialami oleh RG akibat dari ayah yang sudah tidak tinggal satu rumah dan RG merasa bebas untuk bermain diluar “[...]Wes semenjak ayah keluar rumah iku aku jadi bebas pulang sakmauku 4 Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi Sub tema 2 : Dampak penggunaan napza Selain efek yang ditimbukan pada saat mengkonsumsi napza, gambaran keadaan terburuk juga terlihat pada dampak saat mereka menkonsumsi napza. Seperti yang dialami oleh BL. BL berkata bahwa setelah menjadi penyalahguna napza sikapnya berubah menjadi malas, suka membolos saat sekolah dan tidak pernah melakukan ibadah. “[...]pastinya kecewa banget sama aku, aku juga merasa bersalah sama mama” (BL:W1:B 147) VR mengatakan bahwa dampak dari menjadi penyalahguna napza adalah saat pacarnya membuat kecewa dan merasa menyesal . Kalau pas pacarku buat aku kecewa wes nyesel aja tapi ya mau gimana lagi aku sudah terlanjur terjerumus(VR:W1: B 352) Tema 3: Adapting Dan Recovery Proses penyesuaian dan pemulihan mencakup tentang kondisi partisipan sesudah mengkonsumsi napza, kesadaran diri, pembelajaran diri, faktor pendukung pemulihan, proses berhenti, dan dukungan sosial Subtema 1 : Kondisi setelah menjadi penyalahguna Setelah menjalani keadaan terburuk para partisipan masih berada dalam tahap proses Penyesuaian diri. RG mengatakan bahwa saat dirumah masih sering mengingat waktu sedang memakai napza di kos teman “[...]kalau dirumah gitu sek inget mbak, pas makek sama temen-temen dikosnya bareng bareng” (RG:WI: B 286) kesalahan mereka berbeda pada setiap pertispan. BL mulai menayadari kesalahannya ketika BL tertangkap basah oleh kedua orangtuanya pada saat BL tidak sadarkan diri saat menkonsumsi napza. Dari kejadian tersebut BL menyesal. “[...]yang buat sadar aku tadi itu ketahuan mama sama papa pas aku lagi teler di wismanya temenku, wes dari situ aku nyeselnya” (BL: W1 : B 414) Sedangkan RG mulai menyadari kesalahannya karena pemikirannya sendiri. RG juga ingin mengubah pola hidup menjadi lebih sehat. “Sekarang wes nggak ada fikiran pakek lagi kok mbak, wes bener-bener pengen berhenti, aku yo wes jaga pola hidup ku juga sekarang” (RG:W1:B 695) Tema: Growing Kondisi pasca pemulihan dapat membuat partisipan berfikir tentang tujuan kedepan bagi kehidupannya. Selain memiliki tujuan hidup mantan penyalahguna napza juga mulai membangun hubungan kembali dengan orang sekitar pasca mengalami pemulihan. Sub tema 1 : Tujuan Kedepan Setiap partisipan yang telah berhasil untuk tidak mengkonsumsi napza akan mempunyai tujuan kedepan. Tujuan yang baik akan membantu mereka untuk berpikir positif dalam menjalani hidup dan meninggalkan kebiasaan buruk . Tujuan tersebut dapat berupa cita-cita. RG mempunyai cita-cita untuk menjadi tentara . Begitu juga dengan RF, saat sendirian di kos RF ingat pada saat mengkonsumsi napza bersama temantemannya dan RF sensitif ketika melihat botol dan sedotan yang merupakan alat yang digunakan pada saat mengkonsumsi napza “[...]kadang kalau pas lagi sendirian di kos, biasanya kos rame jadi sepi terus kalau lihat botol sama sedotan gitu[...]” (RF:W1:B 351 Sub tema 2 : Kesadaran diri Setelah berhenti mengkonsumsi napza partisipan mulai menyadari dampak yang telah mereka lakukan. Kejadian yang mengakibatkan partispan menyadari 5 “[...]pengen jadi tentara, pasti nanti bisa dapet cewek cantik – cantik, langsung jadi pegawai juga, tapi aku wes jadi pecandu gini masa sek bisa juga, soale tes awalnya di tes bebas narkoba[...]” (RG:W1:B 270) Begitu juga dengan FS. FS mengatakan bahwa FS memiliki tujuan kedepan untuk menjadi seorang general manajer di hotel. “Pengen jadi General Manajer dihotel mbak” (FS:W1:B 287) Pembahasan Penyalahguna napza merupakan seseorang yang mengkonsumsi zat atau obat-obatan untuk dirinya sendiri Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan tanpa indikasi dari medik dan petunjuk resep dokter dan berkala sekurang-kurangnya satu bulan. Seorang penyalahguna napza cenderung akan menambah dosis obat –obatan tersebut untuk mendapatkan khasiat yang sama setelah pemakaian berulang, disamping itu dapat menyebabkan sindrom putus zat jika pemakaian diberhentikan, Libertus Jehani & Antoro dkk (2006). Terjebak dalam penyalahgunaan napza bukanlah keinginan setiap orang. Kehidupan sebagai penyalahguna napza pun tidaklah semudah menjalani kehidupan kebanyakan orang. Seseorang yang menjalani hidup sebagai penyalahguna napza rentan kaitannya dengan keinginan memakai barang tersebut secara berulang, hingga menjadi seorang yang kecanduan. Keinginan untuk berhenti tidaklah semudah dari duduk kemudian berdiri, perlu proses yang panjang hingga seorang penyalahguna mampu kembali hidup normal. Kehidupan yang berliku, dari proses awal hingga pasca rehabilitasi menjadikan saksi hidup yang berat. Bahkan, bagi seorang remaja, menjadi mantan penyalahguna napza di usia remaja seringkali dihadapkan pada permasalahanpermasalahan baik dari efek napza yang dikonsumsi maupun dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan napza. Erikson menjelaskan salah satu tugas perkembangan selama masa remaja adalah menyelesaikan krisis identitas. Remaja yang berhasil mencapai suatu identitas diri yang stabil akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, memahami perbedaan dan persamaannya dengan orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan diri sendiri, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengantisipasi tantangan masa depan, serta mengenal perannya dalam masyarakat. Jika remaja mengalami kegagalan maka akan membahayakan masa depan remaja. Sebab, seluruh masa depan remaja sangat ditentukan oleh penyelesaian krisis identitas (Desmita, 2005). Individu dengan krisis identitas akan mengalami hal-hal yang cenderung mengarah pada hal-hal yang bersifat negatif karena pola pikirnya yang masih labil dan instan. Hal ini yang memicu banyaknya remaja memilih untuk terjerumus dalam penyalahgunaan napza yang diawali dari coba-coba dan berlanjut pada keinginan untuk mengkonsumsi secara rutin dan berakhir menjadi penyalahguna napza. Tidak sedikit remaja bisa terjerumus dalam penyalahgunaan napza didasarkan pada latar belakang yang beragam. Latar belakang ini berkaitan dengan lingkungan sosial, proses internal diri seperti keinginan mencoba, rasa dan ingin tahu hingga adanya kesempatan untuk mencicipi napza secara gratis. Berbagai alasan dan faktor pencetus remaja dapat mengenal dan menjadi penyalahguna napza diantaranya faktor kepribadian, faktor lingkungan, faktor teman sebaya dan faktor ketersedian napza. Menurut Yatim dalam purba (2008) faktor kepribadian penyalahguna napza mengarah pada konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Kemampuan untuk memecahkan permasalahan berpengaruh terhadap bagaimana individu mudah untuk melarikan diri seperti yang dialami oleh RF. Semenjak ditinggal oleh kedua orangtuanya RF menjadikan napza menjadi cara yang tepat untu memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Selain faktor kepribadian terdapat faktor lingkungan yang membuat seorang remaja menyalahgunakan napza. Lingkungan masyarakat yang rawan seperti tempat hiburan yang buka hingga larut malam , warung –warung remang, perumahan yang kosong dapat dijadikan tempat untuk transaksi dan menyalahgunakan napza. RG dan RF sering berada di warung untuk menyalahgunakan napza, FS berada di perumahan kosong, sedangkan BL dan VR memilih tempat di sebuah kos-kosan. Selanjutnya yaitu faktor teman sebaya. Faktor teman sebaya dalam faktor penyalahgunaan napza terjadi karena beberapa dari anggota teman sebaya menjadi pengedar, ajakan dan bujukan dari teman sebaya. Kelompok teman sebaya dapat menimbukan tekanan bila tidak ikut melakukan penyalahgunaan napza dianggap tidak setia terhadap kelompok. Hal ini yang dialami oleh BL dan FS. Sedangkan RG,RF dan VR bukan dipengaruhi oleh adanya teman sebaya akan tetapi lingkungan tenpat tinggal yang mendasari mereka bisa terjerumus dalam napza. Dan faktor yang terakhir adalagh faktor ketersediaan napza. (Sumiati dkk, 2009) menjelaskan bahwa meningkatnya penyalahgunaan napza disebabkan karena tersedianya napza dimana-mana seperti sekolah, warung kopi, kampus dan didukung juga dengan harga dari beberapa napza yang terjangkau. BL,RG,FS,RF dan VR mendapatkan napza dari lingkungan tempat tinggal yang selalu memberi mereka napza secara terus menerus hingga ada beberapa partisipan yang sempat menjadi kurir napza diantaranya RG dan RF. Pola asuh orang tua yang salah juga dapat membuat seorang remaja mudah untuk menjadi penyalahguna napza. Orangtua RG yang terlalu mengekang RG untuk bermain dan memaksa RG untuk mematuhi segala keinginan ayahnya juga faktor pendukung RG menyalahgunakan napza, sedangkan orang tua RF yang sudah bercerai dan ibunya yang meninggalkan RF hidup bersama neneknya juga faktor pendukung RF menyalahgunakan napza, sama halnya 6 Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi dengan orang tua VR yang menitipkan VR kerumah saudaranya membuat VR menjadi anak yang bebas. Proses awal penyalahgunaan napza yang di alami oleh kelima partisipan dalam penelitian ini menggambarkan berbagai proses awal yang berbeda-beda dalam proses penyalahgunaan napza. Proses terjadinya ketergantungan akan napza berkaitan akan kesehatan jasmani, kejiawaan dan fungsi sosial penyalahguna napza. Proses ketergantungan akan napza tidak berlangsung seketika, terdapat proses yang menjadikan penyalahguna napza ketergantungan akan zat atau obat-obatan terlarang. Menurut Martono & Joewana (2008) terdapat tahapan atau pola yang dapat membuat seoarang menjadi penyalahguna napza. Diantaranya yaitu pola coba-coba, di dalam pola coba didasari karena rasa ingin tahu yang tinggi dan pengaruh dari teman sebaya sangat besar. Hal ini yang dialami oleh kelima partisipan dalam penelitian ini berawal dari keinginan mereka untuk mencoba dan pengaruh dari lingkungan teman yang mendukung, BL, RG, FS, RF dan VR mengutarakan bahwa proses awal mereka terjerumus ke napza dikarenakan proses cobacoba dan pengaruh dari teman. Setelah coba-coba selesai dilalui tahap kedua adalah pola pemakaian sosial, merupakan pola pemakaian napza yang disebabkan karena kepentingan pergaulan serta keinginan untuk tetap diterima dilingkungan kelompoknya, hal ini dirasakan oleh semua partisipan. Kelima partisipan menjadi pemakai sosial karena mereka berkumpul dengan lingkungan yang menyalahgunakan napza.Pengaruh dan terbiasa dengan lingkungan yang menyalahgunakan napza akan membuat individu terbiasa untuk mengkonsumsi napza secara terus menerus. Pola berikutnya adalah pemakaian situasional, pola ini terjadai karena pengalaman dari pemakaian sebelumnnya mengkonsumsi napza dapat menjadi jalan pintas bagi para penyalahguna napza memanipulasi emosi dan suasana hati. Hal ini dialami oleh beberapa partisipan diantaranya RG, FS dan RF. Saat mereka menadapatkan masalah mereka menjadikan napza sebagai alat untuk meluapkan emosi. Tahapan yang selanjutnya merupakan tahapan kebiasaan,dimana tahapan pemakaian napza sudah teratur. Terjadi perubahan faal dan gaya hidup,termaksud perubahan dalam kebiasaan, pakaian serta perilaku. Tahap kebiasaan membuat para partisipan menjadi terbiasa untuk mengkonsumsi napza secara teratur dan memunculkan berbagai perubahan faal dan gaya hidup termaksud perubahan kebiasaan dan perilaku. Sebelum menjadi penyalahguna napza BL dan RG adalah seorang remaja yang sering menghabiskan waktu bersama keluarga, rajin beribadah, olahrga dan tidak pernah 7 berbohong kepada orangtua. Sedangkan FS adalah seorang remaja yang penurut dan tidak pernah hutang ke teman-temannya, begitu juga dengan RF sebelum mengenal napza tidak pernah marah-marah kepada nenek dan dan VR juga giat untuk membantu tantenya pada saat sebelum mengkonsumsi napza. Pola yang terakhir adalah pola ketergantungan, dimana tahapan ini akan memberikan efek putus zat atau sakaw bagi si penyalahguna napza. Individu akan memiliki pikiran dan perilaku yang tidak dapat mereka kendalikan, seolah-olah struktur otak mereka yang berhubungan dengan proses ini bekerja secara terus menerus dan membutuhkan usaha yang kuat untuk dapat mengendalikan pikirannya atau biasa disebut dengan obsesif kompulsif Leocani, dkk (2001). Pikiran seorang penyalahguna napza akan mudah terobsesi untuk mengkonsumsi napza secara terus menerus tanpa memikirkan dampak yang ditimbulakn dari pengkonsumsian napza jangka panjang. Para penyalahguna napza tidak memikirkan bagaimana efek dan dampak yang terjadi saat tidak lagi mengkonsumsi napza. Penyalahguna napza hanya memikirkan bagaimana bisa mendapatkan napza secara terus menerus. Efek yang dirasakan oleh para penyalahguna napza pada saat menjadi penyalahguna napza tidaklah sama dengan efek yang dirasakan saat berhenti mengkonsumsi napza. Masalah-masalah tertentu harus dihadapi oleh kelima partisipan terkait efek yang timbul akibat berhenti mengkonsumsi napza, selain itu terdapat dampak yang harus dirasakan oleh kelima partisipan dalam penyalahgunaan napza. Efek dari pengkonsumsian napza dapat memberikan efek yang berbeda-beda tergantung jenis napza yang di konsumsi. Efek dari ketergantungan napza di golongkon dalam tiga bagian yaitu golongan depresan, stimulan dan halusinogen. Golongan depresan dapat memperlambat sistem syaraf pusat dan dapat membuat si pemakainya menjadi tenang dan bahkan tidak sadarkan diri. Contohnya seperti obat penenang seperti double L dan alkohol. Sedangkan golongan stimulan dapat meningkatkan sistem syaraf pusat dan dapat membuat si pemakai menjadi lebih aktif dan bersemanagat contohnya seperti shabu-shabu. Sedangkan golongan yang ketiga adalah halusinogen, jenis napza yang bersifat halusinogen dapat mengubah persepsi sensorik si pemakai dan menyebabkan halusinasi. Contohnya adalah ganja (Sumiati, 2009). Seperti yang dirasakan oleh kelima partisipan dalam penelitian ini efek dari mengkonsumsi ganja dapat membuat individu menjadi berhalusinasi dan senang, efek dari double L dan alkohol dapat menjadikan individu tidak sadarkan diri, sedangkan efek dari pengkonsumsian Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan shabu-shabu dapat membuat individu lebih percaya dan bersemangat. Adaptasi biologis tubuh terhadap penggunaan napza yang dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama bisa dibilang cukup ekstensif, terutama jenis napza yang tergolong dalam kelompok berbahaya salah satunya shabu-shabu. Tubuh manusia akan berubah begitu banyak hingga sel-sel organ dalam tubuh menjadi tergantung terhadap pada obat –obatan itu. Bila penggunaan napza dihentikan, akan dapat mengubah susunan dan keseimbangan kimia tubuh. Efek –efek yang menyenangkan dari napza akan cepat berubah menjadi gangguan putus zat jika seoarang penguna memberhentikan pengkonsumsian napza (BNN, 2014). Gejala putus zat ini dapat menjadikan momok tersendiri bagi para penyalahguna napza, rasa sakit yang muncul dalam dirinya dapat menjadikan alasan sulit bagi para penyalahguna berhenti dari penyalahgunaan napza. Efek dari berhenti mengkonsumsi napza dirasakan oleh ke lima partisipan. BL,RG,FS,RF dan VR mengalami gejala putus zat saat mereka berhenti mengkonsumsi napza dan efek yang ditimbulkan dari pemberhentian mengkonsumsi napza adalah kesakitan di seluruh badan. Selain efek yang ditimbulkan dari berhenti mengkonsumsi napza, terdapat dampak dari penyalahgunaan napza yang muncul dan harus ditanggung oleh kelima partisipan. merasa malu saat tertangkap oleh polisi dan mama serta omnya mengetahui bahwa RG adalah seorang penyalahguna napza, FS juga merasa menyesal dan malu kepada keluarganya karena kakak FS menemukan napza didalam kamar FS, sedangkan RF merasa takut dengan ayah dari teman RF yang mengetahui anaknya menyalahgunakan napza di kontrakannya, serta merasa malu dengan tetangga sekitar yang mengetahui nahwa RF merupakan seorang penyalahguna napza, Sedangkan VR juga menyesal dan malu kepada keluarga dan saudaranya karena tertangkap polisi pada saat mengkonsumsi napza bersama teman lelakinya. Dari berbagai efek dan dampak yang dirasakan akibat penyalahgunaan napza dapat membuat penyalahguna napza mengalami penurunan kualitas psikologi karena terperangkap dalam kondisi buruk yang mereka alami. Indvidu yang resilien mampu bertahan dalam situasi sulit dan bangkit dari keterpurukan untuk menghadapi masalah yang ada di depannya, Schoon (2006). Menurut Peterson dan Kelleher (2005), dalam resiliensi individu akan mengalami suatu kondisi terburuk dalam menghadapi suatu permasalahan hidup. Hal tersebut merupakan fase awal dari resiliensi. Melihat berbagai tantangan tersebut diharapkan para penyalahguna napza memiliki kekuatan untuk dapat menghadapinya. Keberhasilan seseorang dalam pemulihan dari penyalahgunaan napza dapat dimulai dari keinginan dari diri individu sendiri untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami. Dampak dari penyalahgunaan napza tergolong menjadi tiga bagian yaitu dampak fisik, dampak psikis dan sosial. Dampak fisik yang ditimbulkan dapat membuat seorang penyalahguna mengalami gejala putus zat seperti kerusakan saraf tepi, gangguan kesadaran, sakit kepala, nyeri, susah tidur dan halusinasi ,Hariyanto dalam Kemenkes (2010) . Kelima partisipan merasakan kesakitan diseluruh badan akibat dari berhenti mengkonsumsi napza, Selain dampak fisik terdapat dampak psikis dan sosial yang timbul dari penyalahgunaan napza. Dampak psikis yang terjadi akibat penyalahgunaan napza diantaranya malas –malasan, perasaan tidak aman, suka memberontak dan marahmarah, merasa tidak nyaman dan gelisah, Hariyanto dalam Kemenkes ( 2010). Dampak psikis yang dirasakan oleh BL dan RG adalah suka marah –marah sendiri dan malas –malasan. Sedangkan dampak psikis yang dialami oleh FS adalah sering memberontak dan perasaan yang tidak aman karena sering hutang teman. Dan yang dirasakan oleh RF dan VR adalah menjadi seorang yang pemalas. Sedangkan dampak sosial yang diterima sebagai penyalahguna napza adalah rasa malu terhadap lingkungan sekitar. Para partisipan akan merasa malu dengan orang-orang sekitar mereka. BL merasa malu dan menyesal ketika orangtuanya mengetahui BL sedang mengkonsumsi napza bersama dengan temannya, RG Setelah seseorang mengalami situasi sulit yang berlangsung dari efek berhenti mengkonsumsi napza dan dampak yang diterima dari penyalahgunaan napza para penyalahguna harus bisa tetap bertahan dan melawan efek dan dampak yang muncul dari ketergantungan napza. Seseorang mulai terbiasa dengan situasi dan keadaan sulit tersebut. Kondisi dimana seseorang mulai terbiasa dengan situasi sulit yang ia hadapi disebut dengan adapting atau proses penyesuaian Patterson & Kelleher (2005). Proses penyesuaian atau adapting ini tidaklah mudah untuk dilewati oleh beberapa partisipan. Proses penyesuaian dapat dilihat dari kondisi setelah menjadi penyalahguna napza. Seperti yang dialami oleh beberapa partisipan yang masih sering teringat tentang kejadian-kejadian saat mereka masih menjadi penyalahguna napza. Seperti yang dikatakan oleh partisipan BL yang masih sering teringat dengan teman yang sering mengajak mengkonsumsi napza pada saat ingin tidur. Sedangkan partisipan RG masih sering teringat saat mengkonsumsi napza di kos teman, dan yang dirasakan oleh partisipan RF muncul saat berada 8 Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi sendirian di kos dan sensitif saat melihat botol dengan sedotan yang merupakan alat untuk menyhabu. Pada fase adapting atau proses penyesuaian diri seseorang dapat bertahan dalam situasi sulit untuk kurun waktu tertentu, seseorang akan mulai menerima situasi atau keadaan yang sulit tersebut sebagai bagian dari proses yang harus ia lakukan untuk mencapai keadaan yang lebih baik ,Patterson & Kelleher, dalam Reivich & Shate( 2002). Beberapa Partisipan juga mulai dapat menerima keadaan dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh BL bahwa dirinya sudah berubah dan berhenti untuk mengkonsumsi napza dan berhasil untuk menyesuaiakn diri dengan kehidupannya dengan cara menjauhi teman yang sering mengajaknya untuk mengkonsumsi napza. Sedangkan perilaku penyesuaian diri yang di lakukan VR pada saat VR mengalami putus zat saat berada di penjara dan tempat rehab, akan tetapi VR menyadari bahwa sekarang dirinya sudah mulai baik-baik saja. Ketergantungan zat dan obat – obat terlarang masuk dalam penyakit yang kronis. Kondisi kronis ketergantungan napza berpotensi untuk mudah kambuh (Hoffiman, 2008). Meskipun penyalahguna napza berpotensi untuk susah disembuhkan dan mudah kambuh bukan berarti tidak bisa disembuhkan. Pemulihan dari penyalahgunaan napza membutuhkan proses. Proses ini dimulai dari penyalahguna menyadari akan akibat dari ketergantungan zat yang membuat hidupnya tersiksa dan menderita. Pemulihan ketergantungan Napza merupakan proses dinamis seumur hidup dimana sering melibatkan stres dan tantangan dalam menuju kehidupan yang bebas akan narkotika, (Laudet, dkk, 2002). Melihat berbagai tantangan tersebut diharapkan para penyalahguna napza memiliki kekuatan untuk dapat menghadapinya. Keberhasilan seseorang dalam pemulihan dari penyalahgunaan napza dapat dimulai dari keinginan dari diri individu sendiri. Inidividu yang bisa resilien akan memilih untuk bangkit dari keterpurukan dan berusaha untuk menyelesaikan masalah yang menjadi beban untuk dirinya. Keadaan dimana seseorang mulai berusaha untuk mengubah keadaannya yang tidak menguntungkan menjadi kondisi yang lebih baik disebut dengan recovering atau pemulihan , Patterson & Kelleher ( 2005) BL,RG,FS,RF dan VR menyadari bahwa menjadi penyalahguna napza adalah hal yang salah. BL merasakan penyesalan akibat perbuatan yang telah dia lakukan selama ini, sedangkan RG, RF dan VR juga menyadari dan benar-benar ingin berhenti dari penyalahgunaan napza sedangkan FS menyadari keslahannya dengan cara menerima keadaan dirinya kalau pernah menjadi penyalahguna napza. Selain itu proses kesadaran yang dimiliki oleh BL dan RG yang berinisiatif untuk datang 9 ke tempat rehabilitasi merupakan langkah awal yang positif untuk mencapai resiliensi. Setelah menyadari akan kesalahannya sendiri selanjutnya dibutuhkan pembelajaran diri agar setelah sadar dari kesalahannya para penyalahguna napza dapat belajar dari kesalahan yang pernah dilakukan. Pembelajaran diri juga penting dalam proses untuk pemulihan dari penyalahgunaan napza. Dalam proses pembelajaran diri dibutuhkan cara untuk dapat membuat keputusan dan instropeksi diri. BL,FS dan RG dapat belajar dari kesalahan yang sudah dialami degan cara dapat membuat keputusan yang tepat untuk tetap meninggalkan napza dan bangkit dari penyalahgunaan napza. BL, RG ,FS,RF dan VR juga mampu untuk berintrospeksi diri agar dapat mencapai resiliensi. Berbagai faktor pendukung yang dapat membuat seoarang untuk tetap bangkit dari penyalahgunaan napza. Faktor pendukung pemulihan juga berasal dari perasaan yang tidak nyaman saat menjadi seorang penyalahguna. Kelima partisipan juga menyadari bahwa napza juga dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi setiap pemakai. Seperti yang dirasakan oleh BL saat orangtuanya mengetahui BL sedang mengkonsumsi napza, RG merasakan ketidaknyamanan dalam mengkonsumsi napza ketika dia sadar, selanjutnya FS merasakan ketidaknyamanan saat uang sakunya habis hanya untuk membeli napza, sedangkan VR merasakan ketidaknyamanan saat kecewa dengan kekasihnya. Selain itu dalam proses pemulihan dibutuhkan dukungan sosial dari orang lain untuk memperkuat seoarang penyalahguna napza pulih dan bangkit. Dukungan sosial dari orang terdekat akan menjadi faktor penguat yang berasal dari luar dalam meningkatkan resiliensi. Menurut Gortbergh (1995) dukungan eksternal dari luar akan dapat menguatkan resiliensi. Sumber I Have memiliki aspek penting yang diantaranya merasa percaya pada orang lain yang menyayanginnya apa adanya dan merasa memiliki orang-orang yang dapat mendukungnya untuk mandiri. Dukungan eksternal dari kelima partisipan datang dari dukungan orangtua yang selalu mendukung kelima partisipan untuk bangkit dari permasalahan yang dihadapinya. Selain dukungan ekternal dari keluarga , dukungan eksternal dari lingkungan dapat mendukung seorang penyalahguna napza bangkit. Seperti yang dirasakan oleh BL yang mendapat dukungan eksternal dari pihak BNN, RG yang mendapat dukungan ekternal dari om tante dan kekasihnya, FS yang mendapat dukungan ekternal dari mantan penyalahguna dan VR yang mendapat dukungan eksternal dari tetangga . Dalam proses pencapaian resiliensi dibutuhkan kekuatan untuk mendukung Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan individu bisa bangkit lagi. Dalam resiliensi terdapat fase Growing yang merupakan suatu tahap dimana individu tumbuh menjadi lebih kuat karena pelajaran dan pengalaman yang telah dilaluinya pada saat menghadapi situasi yang sulit. Dari situasi yang sulit tersebut inidividu belajar untuk menghadapi dan kesulitan masalahnya Patterson & Kelleher ( 2005) Dari situasi sulit yang dihadapinya, pada akhirya kelima partisipan berhasil untuk bangkit kembali . Orangorang yang resilien bukan berarti mereka tidak merasa terganggu oleh tekanan-tekanan yang mereka hadapi. Namun, mereka mampu dengan mudah kembali ke keadaan mereka semula dan mulai untuk menyelesaikan tekanan-tekanan yang dirasakannya tersebut, Reivich & Shate ( 2002). Pada akhirnya BL, RG,FS,RF dan VR dapat menghilangkan keinginannya untuk menyalahgunakan napza kembali. Masing-masing dari para partisipan sudah mempunyai tujuan kedepan untuk kehidupannya. Menurut Gortbergh (1995) faktor I AM yaitu kekuatan yang bersumber dari dalam diri individu. Kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, kepercayaan pada diri sendiri dan memiliki visi untuk kedepan. BL, RG, FS, RF, dan VR masih memiliki kesempatan dalam dirinya untuk bisa melanjutkan hidupnya dan menggapai tujuan hidupnya. BL memiliki tujuan hidup menjadi seorang pengusaha, RG memiliki tujuan kedepan untuk menjadi seorang tentara,FS memiliki tujuan kedepan untuk menjadi seoarang general manajer disebuah hotel, RF memiliki tujuan kedepan untuk merubah hidupnya dengan cara sekolah kejar paket dan VR memiliki tujuan kedepan ingin membahagiakan keluarganya. Selain itu menjalin hubungan dengan orang lain setelah berhasil melewati proses bangkit juga diperlukan bagi mantan penyalahguna napza. Menurut Gortbergh (1995) faktor I Can yaitu kekuatan yang bersumber dari luar untuk meningkakan resiliensi. Melalui I Have seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh dengan kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga yang lain, teman, tetangga yang mencintai dan bisa menerima diri anak tersebut dengan apa danaya. RG dapat menjalin hubungan yang baik dengan teman sebayanya dan meninggalkan teman yang pernah mengajaknya terjerumus ke napza, sedangkan FS dan VR memiliki hubungan yang baik dengan tetangga sekitar rumah. Sedangkan hubungan partisipan dengan seseorang yang membuat ke lima partisipan ini terjerumus napza, kelima partisipan memilih untuk menghindarinya. PENUTUP Simpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kehidupan sebagai penyalahguna napza bukan keinginan bagi setiap orang, apalagi bagi seorang penyalahguna napza yang masih berada di usia remaja. Terjerumus dalam penyalahgunaan napza justru menimbulkan permasalahan bagi orang yang menjalaninya. Banyak faktor pencetus dan pendukung seorang remaja menyalahgunakan napza. Dimulai dari lingkungan yang mendukung , pengaruh teman sebaya, rasa penasaran untuk mencoba serta pola asuh yang salah dari orang tua dapat menjerumuskan para remaja dalam penyalahgunaan napza. Proses awal penyalahgunaan napza yang bermula dari rasa ingin tahu dan coba-coba yang dilakukan berulang-ulang dapat membuat individu menjadi ketergantungan dan ketagihan akan napza. Ketergantungan akan napza dapat memberikan efek dan dampak buruk bagi penyalahguna saat mereka berhenti untuk mengkonsumsi napza. Penyalahguna akan mengalami putus zat atau sakaw pada saat berhenti untuk mengkonsumsi napza, seperti yang dirasakan oleh kelima partisipan dalam penelitian ini yang meraskaan kesakitan di seluruh bandannya pada saat berhenti mengkonsumsi napza. Selain itu dampak psikis juga dirasakan oleh kelima partisipan pada penelitian ini, dampak psikis berupa perubahan emosi seperti suka membantah , marahmarah, pemalas dan hutang yang dialami oleh para partisipan. Selain dampak psikis terdapat dampak sosial yang dirasakan oleh kelima partisipan seperti rasa penyesalan dan perasaan malu. Ketergantungan napza dapat membuat individu mengalami penurunan kualitas psikologi akibat terperangkap dalam kondisi buruk yang dialami. Individu yang resilien akan terus bangkit dari keterpurukan yang dihadapinya. Keberhasilan seseorang dalam pemulihan dari penyalahgunaan napza dapat dimulai dari keinginan dari diri individu itu sendiri untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami. Setelah selesai melewati situasi yang sulit akibat efek dan dampak dari penyalahgunaan napza individu mulai terbiasa dengan situasi sulit yang sedang dihadapi dan menyesuaikan dengan keadaan sulit yang dihadapi. Proses penyesuaian kelima partisipan dimulai dari menerima situasi atau keadaannya yang sulit sebagai bagian dari proses yang harus dilakukan untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Keberhasilan seseorang dalam pemulihan penyalahgunaan napza dapat dimulai dari bangkit dari keterpurukan dan berusaha untuk menyelesaikan masalah yang menjadi beban untuk 10 Pengalaman Mantan Penyalahguna Napza Di Usia Remaja Dalam Mencapai Resiliensi dirinya. Keadaan dimana seseorang mulai berusaha untuk mengubah keadaannya yang tidak menguntungkan menjadi kondisi yang lebih baik. Kelima partisipan menyadari akan kesalahan dirinya dan memulai untuk merubah diri untuk menjadi individu yang lebih baik melalui proses rehabilitasi. Selain kesdaran diri dalam proses pemulihan seorang mantan penyalahguna napza membutuhkan dukungan sosial untuk memperkuat seoarang penyalahguna napza bangkit dari keterpuruannya. Dukungan eksternal dari kelima partisipan datang dari dukungan orangtua yang selalu mendukung kelima partisipan untuk bangkit dari permasalahan yang dihadapinya. Selain dukungan ekternal dari keluarga , dukungan eksternal dari lingkungan dapat mendukung seorang penyalahguna napza bangkit. Setelah berhasil melewati masa sulit dalam menyalahgunakan napza , penyalahguna napza akan tumbuh menjadi lebih kuat karena pelajaran dan pengalaman yang telah dilaluinya pada saat menghadapi situasi yang sulit. Dari situasi yang sulit tersebut inidividu belajar dan memiliki tujuan kedepan. Kelima partisipan dapat menghilangkan keinginannya untuk menyalahgunakan napza kembali. Masing-masing dari para partisipan sudah mempunyai tujuan kedepan untuk kehidupannya. Selain itu menjalin hubungan dengan orang lain setelah berhasil melewati proses bangkit juga diperlukan bagi mantan penyalahguna napza. Menurut Gortbergh (1995) faktor I Can yaitu kekuatan yang bersumber dari luar untuk meningkakan resiliensi. Melalui I Have seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh dengan kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga yang lain, teman, tetangga yang mencintai dan bisa menerima diri anak tersebut dengan apa danaya Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti memberikan saran kepada beberapa pihak terkait yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi yang membutuhkan. 1. Peneliti Bagi peneliti selanjutnya yang meneliti tentang hal yang sama diharapkan dapat memaksimalkan teknik pengumpulan data, seperti wawancara serta observasi agar data yang diperoleh lebih akurat dan tepat. 2. Partisipan/mantan penyalahguna napza Partisipan maupun mantan penyalahguna napza yang lain agar dapat lebih optimis dalam 11 menjalani kehidupan dan tidak terpuruk dan tidak terjerumus kembali dalam penyalahgunaan napza 3. Masyarakat dan keluarga Masyarakat dan keluarga diharapkan dapat memberikan respon dengan bijak dan tidak memberikan stereotip kepada para mantan penyalahguna napza khususnya bagi para mantan penyalahguna napza remaja. Diharapkan juga agar masyarakat dan keluarga dapat memberikan dukungan sosial kepada mantan penyalahguna agar mereka bisa bangkit dan tidak terjerumus kembali dalam penyalahgunaan napza. DAFTAR PUSTAKA. Ariwibowo.K (2013, Agustus 28). Efek Pemakaian Narkoba. Retrived Desember 03, 2016, from 1 Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta Azmiyati.S.R dkk (2014) Gambaran Penggunaan Napza Pada Anak Jalanan di Kota Semaranng. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9 (2) 137-143. ISSN 1858-1196 BNN.(2014). Dampak Langsung Dan Tidak Langsung Penyalahgunaan Narkoba.Retrieved Februari, 17, 2017, fromhttp://dedihumas.bnn.go.id/read/se ction/artikel/2014/03/20/957/dampaklangsung-dan-tidak langsungpenyalahgunaan-narkoba BNN. ( 2010). Pemahaman Tentang Bahaya Penyalahgunaan Narkoba. Retrieved Februari, 17, 2017, from http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/ post/2010/11/23/2010-11-23__19-4455.pdf Bungin, B. (2011). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebiajakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Chaplin, J. P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Press. Danang. ( 2016 Mei 02). Pengguna Narkoba dikalangan anak mencapai 14 rb. Suara.com. Retrieved June 15, 2016, from http://www.suara.com/lifestyle/2016/05 /02/17 3838/memprihatinkan-anakpengguna-narkoba-capai-14-rib Desmita. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya Volume 04 Nomor 1 Tahun (2017): Character: Jurnal Psikologi Pendidikan Diah, R., & Pradna, P. (2012). Resiliensi Guru di Sekolah Terpencil. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 1 (2) 1-6 Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009) Human Development (Perkembangan Manusia) (10ed., Vol. II) (B. Marswendy, Penerj.) Jakarta: Salemba Humanika. Pasudewi.C.Y (2013). Resiliensi Pada Remaja Binaan Bapas Ditinjau Dari Coping Stress. Journal of Social and industrial Psychology , 1 (2) , 14- 21 Patterson, J.L., & Kelleher P. (2005). Resilient school leaders: stategies for turning adversity intoachievement. Alexandria: Association for Supervission and Curriculum Develompent (ASCD) Poerwandari K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Fakultas Psikologi Indonesia Prastowo, A. (2009). Menguasai Teknik-Teknik Koleksi Data Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Diva Press Purba, J.M., 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa, Medan : USU Press. Putri A.M (2016). Wawancara pribadi di Lembaga rehabilitasi Plato Surabaya pada tanggal 27 Desember 2016. Rahayu, I. T., & Ardani, T. A. (2004). Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia Publishing. Santana, K. S. (2007). Menulis Ilmiiah: Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor. Santrock, J. W. (2007). Remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga. Eleanora, F.N., 2004. Bahaya Penyalahgunaan Narkoba. , 1(I), 439–452. Emzir. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Feist, J., & Feist, G. J. (2013). Teori Kepribadian (7th ed). (Handriatno, Penerj.) Jakarta: Salemba Humanika. Gunarsa, S. D., & Gunarsa, Y. S. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia. Gunawan, I. (2013). Metode Penelitian Kualitatif: Teori & Praktik. Jakarta: Bumi Aksara. Grothberg,E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Series Early Childhood Development : Practice and Reflections. Number8. The Hague : Benard van Leer Voundation. Herdiansyah, H. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta : Salemba Humanika. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Ira , I.( 2016, Januari 11). Pengguna Narkoba di Indonesaia Meningkat hingga 5,9 Juta Orang. KOMPAS.COM. Retrieved Juni 15, 2016, from http://regional.kompas.com/read/ 2016/01/11/14313191/Buwas.Pengguna. Narkoba.di.Indonesia.Meningkat.hingga.5. 9.Juta.Orang Jehani, Libertus. 2006. Mencegah Terjerumus Narkoba. Jakarta: Visimedia Laudet, A., Savage, R., & Mahmood, D. (2002). Pathways to long-term recovery: A preliminary investigation. Journal of Psychoactive Drugs Martono, L., & Joewana, S. (2008). Peran Orang Tua dalam Mencegah dan Menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba.Jakarta: Balai Pustaka Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurdian. D.M, dkk (2014) . Konseling kelompok untuk meningkatkan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik (Difable). Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. 1 (2), 36-49, ISSN: 2301-8267 Satoni, D & Komariah, A. (2012). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Schoon, Ingrid. (2006). Risk and Resilience. Adaptation in Changing Time. New York: Cambridge University Press Smith, J.A & Eatough, V. (2007). Interpretative Phenomenological Analysis. In E. Lyons And A. Coyle (Eds.). Analysing Qualitative Data in Psychology. (pp.35-50) London : Sage. Online. http://www.bbk.ac.uk/. Diakses 3 Januari 2015 Smith, J. A. (2009). Psikologi Kualitatif: Panduan Praktis Metode Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 12