departemenpekerjaanum um

advertisement
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM
DAN PERUMAHAN RAKYAT
NOMOR
: 11/PRT/M/2015
TANGGAL
: 6 April 2015
TENTANG EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN
JARINGAN REKLAMASI RAWA PASANG SURUT
BAB I
UMUM
A. Pendahuluan
Pengelolaan rawa pasang surut dilandasi pada prinsip keseimbangan antara
upaya
konservasi
dan
pendayagunaan
rawa
pasang
surut
dengan
memperhatikan daya rusak air di daerah rawa pasang surut. Tujuan utama
dari pengelolaan rawa pasang surut adalah untuk melestarikan rawa pasang
surut
sebagai
sumber
air
dan
meningkatkan
kemanfaatannya
untuk
mendukung kegiatan sosial, ekonomi, budaya, dan pengembangan wilayah.
Reklamasi dalam rangka pengembangan rawa pasang surut dilakukan secara
bertahap; tahap pertama membangun saluran terbuka tanpa pintu sehingga
muka air tidak dapat dikendalikan (drainase terbuka); tahap kedua melengkapi
saluran sekunder dan tersier dengan bangunan pintu pengatur (muka air
dapat dikendalikan sebagian); dan tahap ketiga melengkapi prasarana jaringan
reklamasi rawa sehingga muka air dapat dikendalikan penuh.
Agar
dapat
menyelenggarakan
pengelolaan
rawa
pasang
surut
secara
berkelanjutan, perlu dibuat pedoman umum mengenai pengelolaan jaringan
reklamasi rawa pasang surut. Pedoman ini memuat tata cara dan mekanisme
penyusunan rencana dan pelaksanaan, operasi, pemeliharaan, pemantauan
dan evaluasi, serta pengaturan mengenai kelembagaan termasuk sumber daya
manusia dan pembiayaan.
Rencana operasi meliputi rencana tata tanam dan rencana pengelolaan air
yaitu rencana pengaturan muka air pada sistem saluran jaringan reklamasi
rawa dan muka air tanah sedemikian sehingga tercipta kondisi optimal dalam
pemanfaatan lahan bagi pertanian dan kehidupan masyarakat. Rencana
pengelolaan
air
diterjemahkan
dalam
prosedur
operasi
pintu
bagunan
pengendali air.
1
JDIH Kementerian PUPR
Pengelolaan air dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan air yang cukup
bagi tanaman, membuang air hujan kelebihan dari lahan pertanian, mencegah
tumbuhnya tanaman liar di lahan sawah (tanaman padi), mencegah timbulnya
zat racun dan kondisi tertutupnya muka tanah oleh genangan air diam,
mencegah penurunan kualitas air, mencegah kerusakan tanaman oleh
pengaruh air asin, dan dalam kasus tertentu mencegah pembentukan tanah
asam sulfat.
Pengelolaan air diselenggarakan pada dua tingkatan, yaitu: i) pengelolaan air di
petak tersier, atau tata air mikro, yaitu pengelolaan air di lahan usaha tani
yang menentukan secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan
tanaman dan ii) pengelolaan air di jaringan utama (primer dan sekunder), atau
tata air makro, yaitu pengelolaan air di tingkat sistem makro yang berfungsi
menciptakan
kondisi
yang
memenuhi
kesesuaian
bagi
terlaksananya
pengelolaan air dipetak tersier (tata air mikro).
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam menyusun rencana operasi meliputi
iklim, topografi, hidro-topografi, kondisi tanah, fluktuasi pasang surut harian
dan musiman, intrusi air asin, hidrologi sungai dan lahan kesesuaian.
Pelaksanaan pemeliharaan secara teratur mutlak diperlukan agar kegiatan
pengelolaan air dapat terselenggara dengan baik dan terpercaya. Prasarana
jaringan yang kurang terpelihara dapat mengacaukan rencana pengelolaan air
yang sudah disusun dan ditetapkan. Pemeliharaan meliputi pemeliharaan rutin
dan berkala.
Paralel dengan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan maka dilakukan
pemantauan dan evaluasi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi
efektifitas pengelolaan air, mengidentifikasi perubahan dan fluktuasi kondisi
alami (tanah, sungai, kualitas air) dan kondisi prasarana (saluran, timbunan
tanah, bangunan), menyesuaikan rencana pengelolaan air terhadap perubahan
dan
kebutuhan
lapangan
dan
mengumpulkan
data
untuk
keperluan
perencanaan kedepan.
B. Iklim
Pada umumnya rawa pasang surut di Indonesia beriklim hujan tropis dengan
temperatur kelembaban udara dan curah hujan yang tinggi. Temperatur harian
rata-rata berkisar antara 25 0C sampai 30 0C dengan sedikit fluktuasi
musiman. Kelembaban udara pada umumnya di atas 80%. Referensi
evapotranspirasi bervariasi antara 3,5 mm/hari dan 4,5 mm/hari. Curah hujan
tahunan rata-rata pada sebagian besar daerah rawa berkisar antara 2.000 mm
2
JDIH Kementerian PUPR
sampai 2.500 mm. Daerah yang memiliki curah hujan kurang dari 2.000 mm
terdapat di bagian selatan Papua, sedangkan yang memiliki curah hujan lebih
dari 3.000 mm ditemukan di Kalimantan Barat dan sebagian Papua.
Variasi curah hujan bulanan rata-rata sangat penting dalam menentukan pola
musim tanam terutama kemungkinan musim tanam kedua dengan sistem
tadah hujan. Menurut Agro-climatic criteria dan classification Oldeman, paling
sedikit dibutuhkan 7 bulan basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan)
untuk dapat menanam padi dua kali setahun (Hidrotopografi lahan kategori A
dan B). Berdasarkan klasifikasi dimaksud, sebagian besar daerah rawa pasang
surut di Indonesia berpeluang ditanami padi dua kali setahun.
C. Topografi
1. Lahan Rawa Pasang Surut
Elevasi muka tanah rawa pasang surut umumnya berkisar pada elevasi
muka air pasang purnama rata-rata musim hujan di lokasi sungai terdekat
dengan ketinggian rata-rata antara 1 m sampai dengan 3 m diatas muka air
laut ratarata (MSL-Mean Sea Level). Perbedaan elevasi sering berhubungan
dengan kubah gambut (peat dome). Perbedaan elevasi lahan yang kecil
sangat biasa dijumpai di lapangan, kondisi demikian sangat berperan
dalam proses reklamasi dan kemungkinan pengelolaan air. Perbedaan
elevasi yang hanya beberapa desimeter sudah dapat menentukan apakah
suatu areal dapat diairi dengan irigasi pasang surut atau tidak dan hal ini
berpengaruh besar terhadap potensi lahan untuk pengembangan pertanian.
Setelah reklamasi, muka tanah asli akan turun (subsidence). Elevasi muka
tanah sangat penting untuk diketahui tidak saja elevasi saat ini, tetapi juga
elevasi lapisan tanah mineral setelah tanah organik hilang.
2. Hidrotopografi
Kebutuhan
pengamanan
banjir
dan
peluang
irigasi
pasang
surut
ditentukan oleh hubungan antara elevasi muka tanah, tinggi muka air
pasang, dan peredaman muka air pasang dalam sistem saluran antara
sungai dan lahan yang bersangkutan. Hubungan ini dikenal sebagai
hidrotopografi
pengembangan
lahan
lahan
dan
sangat
pertanian.
penting
Dapat
dalam
dibedakan
menilai
potensi
empat
kategori
hidrotopografi (Gambar 1) sebagai berikut:
3
JDIH Kementerian PUPR
a. Kategori A (lahan terluapi air pasang).
Lahan terluapi air pasang sekurang-kurangnya 4 atau 5 kali dalam 14
hari siklus pasang perbani-purnama, baik di musim hujan maupun di
musim kemarau. Lahan ini kebanyakan berada di kawasan rendah atau
berdekatan dengan muara sungai.
b. Kategori B (lahan secara periodik terluapi air pasang).
Lahan terluapi air pasang sekurang-kurangnya 4 atau 5 kali dalam 14
hari siklus pasang perbani-purnama tetapi hanya di musim hujan saja.
c. Kategori C (lahan berada di atas elevasi muka air pasang tinggi).
Lahan tidak bisa diluapi air pasang secara teratur meskipun pasang
tinggi, sedang muka air tanah masih bisa dipengaruhi oleh fluktuasi
pasang surut. Karena elevasinya relatif tinggi, kemungkinan kehilangan
air akibat perkolasi relatif tinggi sehingga sulit mempertahankan
genangan air di atas lahan sawah. Dengan demikian, hanya palawija
dan tanaman perkebunan yang lebih cocok untuk dibudidayakan di
lahan kategori ini.
d. Kategori D (lahan kering).
Keseluruhan lahan berada di luar pengaruh pasang surut. Tanaman
kering dan perkebunan paling cocok untuk lahan kategori ini.
D. Tanah
Ada beberapa jenis tanah yang paling banyak dijumpai di daerah rawa pasang
surut yaitu tanah mineral rawa, tanah gambut, tanah bergambut dan tanah
mineral lahan kering.
1. Tanah mineral rawa
4
JDIH Kementerian PUPR
Tanah mineral rawa mempunyai tekstur halus, berwarna abu-abu, pada
umumnya mengandung bahan organik yang tinggi (tanah bergambut) dan di
bagian atas tanah terdapat lapisan organik dangkal sampai medium. Tanah
mineral rawa memiliki drainase yang buruk, dan sebelum reklamasi
tanahnya mentah atau sebagian matang pada 0,70 m lapisan atas. Daya
dukung tanah yang sangat rendah walaupun proses reklamasi telah
berlangsung cukup lama. Kesuburan tanahnya bervariasi, tetapi pada
umumnya sedang sampai dengan tinggi. Karena dalam kondisi aslinya
kandungan air tanah mineral rawa tinggi, maka setelah reklamasi terjadi
penurunan muka tanah. Drainase menyebabkan meningkatnya tegangan
tanah dan karenanya terjadi penurunan muka tanah.
Dalam rangka reklamasi dan pengembangan pertanian, ada 2 (dua) aspek
yang paling penting diperhatikan berkaitan dengan tanah mineral rawa (clay)
keberadaan bahan sulfat masam atau pirit serta permeabilitas dan tingkat
kematangan tanah.
Lapisan tanah clay yang mengandung bahan sulfat masam atau pirit terletak
di bawah permukaan tanah. Selama terendam air, keberadaan pirit tersebut
tidak akan membahayakan tanaman, kondisi seperti ini disebut tanah
sulfat masam potensial. Apabila terjadi drainase yang berlebihan atau pada
musim kering penurunan muka air tanah tidak dapat dihindari sehingga
bahan pirit ini terkena udara dan teroksidasi maka tanah sulfat masam
potensial berubah menjadi tanah sulfat masam aktual, yang ditandai
dengan rendahnya pH tanah dan tingginya kandungan racun Fe2+ dan Al3+.
Oleh karena itu perlu dilakukan pencucian tanah secara intensif disamping
meningkatkan intensitas penggelontoran sebelum musim tanam berikutnya.
Permeabilitas lapisan tanah atas sangat tinggi, dengan nilai k antara 2-20
m/hari.
Permeabilitas sangat berpengaruh terhadap drainabilitas, retensi air dan
karakteristik pencucian tanah. Kondisi lapisan tanah atas yang baru
sebagian
matang
membuat
pembajakan
tanah
kurang
efektif
dan
menghambat penyiapan lahan dengan cara mekanisasi.
2. Tanah Gambut dan Tanah Bergambut
Tanah gambut adalah tanah dengan lapisan organik lebih dari 40 cm dan
kandungan abu di bawah 25%. Tanah gambut umumnya memiliki tingkat
kesuburan yang rendah, potensi pengembangan tanah gambut untuk
budidaya pertanian tergantung pada ketebalan gambut, tingkat kematangan
dan kandungan tanah mineralnya. Tanah gambut yang ketebalannya kurang
5
JDIH Kementerian PUPR
dari 1 meter berpotensi untuk pengembangan pertanian sedangkan tanah
gambut
dengan
ketebalan
lebih
dari
3
meter
harus
dihindari
pemanfaatannya.
Tanah bergambut (muck soil) adalah tanah mineral yang kaya dengan
kandungan bahan organik. Tanah bergambut memiliki lapisan organik
kurang dari 40 cm dan kandungan abunya lebih dari 25 %. Tanah
bergambut seringkali mengandung bahan pirit, dalam kondisi tergenang
bahan organik akan melepaskan asam organik yang pada gilirannya akan
memperburuk kadar racun. Karena pertimbangan itu, dari segi perencanaan
operasi air, tanah bergambut memerlukan perlakuan yang serupa dengan
tanah sulfat asam.
3. Tanah mineral lahan kering
Singkapan tanah mineral lahan kering kadang-kadang ditemukan di daerah
perbatasan antara lahan rawa dan lahan kering. Sebagai contoh, tanah
putih yang disebut sebagai ‘formasi Palembang’ di Sumatera Selatan. Tanah
ini mempunyai karakteristik yang sangat miskin untuk pengembangan
pertanian karena mempunyai struktur tanah yang tidak menguntungkan
disamping
tingkat
kesuburan
tanah
kimiawi
sangat
rendah
karena
kandungan basa tukar rendah dan kandungan aluminium terekstraksi
tinggi. Tanah ini memiliki permeabilitas rendah dan kapasitas menahan air
yang buruk, sehingga rentan terhadap kekeringan. Dari segi pengelolaan
airnya, perlakuannya sama dengan tanah lahan kering.
E. Gerakan pasang surut dan intrusi air asin
1. Muka air laut rata-rata
Muka air laut rata-rata (MSL) adalah ketinggian rata-rata muka air laut
selama satu periode yang panjang (satu tahun atau lebih). Fluktuasi muka
air laut musiman disebabkan oleh faktor-faktor iklim (variasi dalam tekanan
udara, arah, dan kecepatan angin dikombinasi dengan morfologi dasar laut
dan garis pantai) serta pengaruh aliran sungai. Fluktuasi musiman ini
menimbulkan perbedaan penting dalam hal peluang irigasi pasang surut
dan drainase antara musim hujan dan musim kemarau.
2. Karakteristik pasang surut
Karakteristik pasang surut di sepanjang pantai Indonesia bervariasi dari
satu tempat ke tempat lainnya. Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat
mempunyai pasang surut jurnal, yaitu sekali pasang dan sekali surut setiap
6
JDIH Kementerian PUPR
hari. Sumatera Utara dan Kalimantan Timur mempunyai pasang surut semijurnal, yaitu dua kali pasang dan dua kali surut setiap harinya. Tempat
lainnya
mempunyai
pasang
surut
campuran
yang
kadang-kadang
didominasi oleh pasang surut jurnal ataupun semi-jurnal. Karakteristik
pasang surut berpengaruh terhadap kecepatan aliran dan waktu yang
tersedia untuk navigasi, drainase dan pemberian air.
3. Kisaran pasang surut dan peluang drainase
Rentang pasang surut merupakan perbedaan antara muka air pasang dan
muka air surut harian. Kisarannya bervariasi secara tetap setiap dua
minggu dan mencapai maksimum pada pasang purnama (spring tide) serta
minimum pada pasang perbani (neap tide). Kisaran ini dipengaruhi oleh
perubahan musim. Kisaran pasang surut bervariasi dari satu tempat ke
tempat lain. Pada pantai utara Jawa hanya sekitar 1,00 m, sedangkan pada
pantai timur Sumatera dan pantai selatan Kalimantan bervariasi antara 2,00
- 3,00 m, dan pada pantai selatan Irian Jaya dapat mencapai sekitar 6,00 m.
Karena elevasi lahan pasang surut umumnya berkisar elevasi muka air
pasang purnama, kisaran pasang surut pada saat pasang purnama
memberikan indikasi kedalaman muka air surut dibawah permukaan tanah,
dan juga merupakan kedalaman drainase maksimum yang mungkin ada.
Dengan masuk dan mengalir di saluran, fluktuasi pasang surut akan
mengecil. Pemeliharaan saluran yang buruk akan semakin mengurangi
kisaran pasang surut dan demikian potensi kedalaman drainase.
4. Intrusi air asin
Intrusi air asin mencapai jarak terjauh pada saat puncak pasang tinggi,
tepat sebelum air mulai mengalir ke luar kembali, dan mencapai jarak
terdekat pada saat surut terendah, tepat sebelum air mulai mengalir masuk
ke sungai. Karena air asin sedikit lebih berat daripada air tawar, air tawar
akan berada di permukaan, sedangkan air asin berada di bagian yang lebih
dalam disebut stratifikasi intrusi air asin. Walaupun demikian, pada
kebanyakan kasus, air asin dan air tawar akan bercampur dengan baik yang
disebut intrusi air asin campuran.
5. Sedimentasi
Sedimentasi pada sungai pasang surut sering terjadi di bagian dekat muara
sungai,
di
mana
penampang
sungai
menjadi
lebih
besar
yang
mengakibatkan menurunnya kecepatan aliran air dan terjadinya flokulasi
partikel liat akibat percampuran dengan air laut. Kedalaman sungai dapat
7
JDIH Kementerian PUPR
mencapai 10 m atau lebih, tetapi pada bagian muara sungai mungkin
kedalamannya tidak lebih dari 2 atau 3 m, atau bahkan kurang.
F. Hidrologi Sungai
Dalam rentang sungai pasang surut dapat dibedakan menjadi 4 (empat) ruas
dimana
masing-masing
mempunyai
konsekuensi
spesifik
terhadap
pengembangan lahan (Gambar 2).
Ruas sungai I
Elevasi muka air ditentukan terutama oleh pasang surut dan tidak banyak
perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau. Air laut masuk sering
pada sebagian musim hujan. Elevasi muka tanah dasar mineral sebelum
reklamasi sama dengan elevasi muka air pasang. Tanah sulfat masam jarang
ditemukan, lapisan gambutnya dangkal dan air tanahnya kemungkinan payau.
Ruas sungai II
Elevasi muka air masih dipengaruhi kuat oleh pasang surut. Muka air
maksimum tidak banyak berbeda dengan bagian hilirnya. Muka air minimum
dipengaruhi oleh debit air sungai dari daerah hulu yang lebih tinggi pada
musim hujan. Intrusi air asin hanya terjadi pada musim kemarau ketika
pasang purnama.
Ruas sungai III
Muka air masih dipengaruhi oleh pasang surut. Pengaruh tersebut lebih besar
pada musim kemarau daripada musim penghujan. Banjir dapat terjadi
perlahan-lahan tergantung dari rejim sungai yang bersangkutan. Arah aliran
8
JDIH Kementerian PUPR
balik tidak selalu terjadi. Muka tanah pada tanah dasar mineral mungkin sama
dengan muka air pasang. Akan tetapi, pembentukan tanggul sungai dapat
terjadi
dengan
daerah
rawa
yang
berdrainase
buruk
dibelakangnya
(backswamp). Kubah gambut sering ditemukan dan terjadi pembentukan tanah
sulfat masam.
Ruas sungai IV
Muka air sungai sangat dipengaruhi oleh debit air dari hulu. Banjir yang
berlangsung lama terjadi dan intrusi air asin pernah sampai di ruas ini.
1. Muka air banjir maksimum
Muka air banjir maksimum dari satu tempat ke tempat lain di sepanjang
sungai menentukan kebutuhan pengamanan banjir. Pada ruas sungai yang
sepenuhnya dipengaruhi pasang surut, muka air banjir maksimum hampir
seluruhnya ditentukan oleh muka air pasang. Pada ruas sungai yang tidak
dipengaruhi pasang surut (dataran banjir sungai), banjir ditentukan oleh
aliran sungai dan muka air sungai. Walaupun sudah dilengkapi dengan
tanggul pengaman banjir yang memadai, muka air banjir sungai tersebut
dapat menghambat aliran air drainase dari lahan dan daerah tertentu dapat
diklasifikasikan sebagai lahan yang tidak cocok untuk dikembangkan
sebagai akibat dari banjir sungai tersebut.
2. Aliran sungai
Aliran sungai dari daerah hulu yang melewati daerah rawa pasang surut
tergantung pada luas dan karakteristik daerah tangkapannya (catchment
area). Sungai dengan daerah tangkapan seluruhnya berada di dataran
pantai yang datar sering hanya memiliki aliran dari hulu yang terbatas
(kecuali selama periode curah hujan besar), intrusi air asin jauh masuk ke
hulu, dan peluang untuk suplesi air irigasi terbatas.
G. Satuan Lahan dan Kesesuaian Lahan
1. Klasifikasi satuan lahan
Berdasarkan pembentukan geomorfologi daerah rawa pasang surut dapat
dibedakan menjadi tiga jenis satuan lahan utama yaitu:
-
tanah mineral dan tanah bergambut, dengan atau tanpa pirit;
-
tanah gambut; dan
-
tanah lahan kering, keputihan, kesuburan rendah.
9
JDIH Kementerian PUPR
Tanah mineral dan tanah bergambut merupakan yang terpenting dalam
pengembangan pertanian dan dapat dibagi lagi berdasarkan sifat-sifat
fisiknya yaitu:
-
hidrotopografi (peluang irigasi pasang surut selama musim tanam);
-
Intrusi air asin (peluang irigasi pompa selama musim tanam);
-
Peluang drainase
-
Keberadaan lapisan pirit di daerah perakaran tanaman.
Berdasarkan aspek-aspek tersebut diatas, daerah rawa pasang surut dapat
dibedakan dalam 10 (sepuluh) satuan lahan.
a. Satuan lahan 1: lahan rawa tergenangi (irigasi) pasang surut Semua
lahan yang selama musim tanam secara teratur dapat diluapi air pasang
tinggi (kategori A dan B). Lahan terdiri dari tanah gambut atau tanah
mineral, dengan atau tanpa bahan sulfidik.
b. Satuan lahan 2 sampai 5: tanah berpirit dan tanah bergambut Tanah
mineral dengan bahan sulfidik (pirit) pada kedalaman kurang dari 1 m
atau tanah dengan bahan organik (kadar abu total > 25%). Lahan tidak
dapat diluapi air pasang secara teratur karena agak tinggi (kategori C
dan D),
c. Satuan lahan 6: tanah gambut Tanah organik dengan ketebalan lebih
dari 40 cm dan kandungan abu total kurang dari 25%, termasuk tanah
gambut terdahulu yang masuk kedalam lapisan tanah mineral (clay) dan
masih beracun.
d. Satuan lahan 7: tanah keputih-putihan dengan kesuburan rendah Tanah
mineral dengan kesuburan rendah (KTK kurang dari 5 me/100 g),
kejenuhan aluminium tinggi (lebih dari 50%), dan kandungan tanah liat
rendah (atau liat non-aktif), dengan atau tanpa lapisan pirit.
e. Satuan lahan 8 sampai 10: tanah tidak berpirit (tanpa irigasi pasang
surut) Tanah mineral dengan kesuburan tinggi (KTK lebih dari 5 me/100
g) tanpa bahan sulfidik (pirit) pada kedalaman 1 m atau kurang.
2. Kesesuaian lahan
Kesesuaian daerah rawa pasang surut untuk pengembangan pertanian
bervariasi menurut iklim, hidrotopografi, karakteristik tanah dan sistem
pengelolaan air. Evaluasi kesesuaian lahan pada satuan lahan, terutama
didasarkan atas aspek fisik, sedangkan kesuburan tanah tidak semuanya
diperhitungkan.
10
JDIH Kementerian PUPR
a. Satuan lahan 1: lahan irigasi rawa pasang surut (dengan air tawar
selama musim tanam)
Satuan lahan 1 sangat sesuai (S1) untuk tanaman padi sawah asalkan
air di saluran tidak asam. Lahan ini terbatas (S3) untuk tanaman
palawija atau tanaman keras karena drainasenya tidak memadai.
b. Satuan lahan 2 sampai 5: tanah berpirit dan tanah bergambut (tanpa
irigasi pasang surut)
Selama musim tanam, muka air tanah harus dijaga jangan sampai turun
di bawah batas atas lapisan pirit untuk mencegah terbentuknya asam
dan zat racun. Pendekatan baru untuk pemanfaatan lahan ini adalah
dengan merangsang terjadinya oksidasi pirit pada lapisan atas tanah
melalui drainase dangkal secara terkontrol dan memanfaatkan air hujan
untuk mencuci asam keluar dari dalam tanah. Dengan cara ini,
kesesuaian lahan dapat berubah kelasnya menjadi sesuai sedang (S2)
atau sesuai terbatas (S3) untuk tanaman padi tadah hujan. Jika drainase
di bawah 60 cm dapat dilakukan, maka kesesuaian lahan menjadi sangat
sesuai (S1) untuk tanaman keras.
c. Satuan lahan 6: tanah gambut
Tanah gambut tidak sesuai (N) untuk menanam padi secara normal dan
sebagaimana
lazimnya.
Padi
hanya
bisa
tumbuh
baik
dengan
pengendalian drainase secara hati-hati, pemadatan tanah, pemakaian
pupuk yang seimbang, dan penutup tanah permanen untuk mencegah
pengeringan tanah lapisan atas yang tidak dapat dipulihkan (irreversible
drying). Tanaman keras seperti kelapa dan kelapa sawit lebih sesuai
untuk tanah ini dibandingkan dengan tanaman setahun. Karena bahan
organik akan hilang dalam beberapa tahun kedepan, maka untuk
menjaga keberlanjutan pengembangan, perlu dipertimbangkan peluang
drainase lahan setelah seluruh lapisan gambut hilang.
d. Satuan lahan 7: tanah keputih-putihan dengan kesuburan rendah.
Tanah ini tidak sesuai (N) untuk tanaman padi, dan hanya sesuai
terbatas (S3) untuk palawija dan tanaman keras. Tanaman keras
mungkin harus ditanam di atas permukaan tanah yang ditinggikan
untuk memberikan drainase yang memadai.
e. Satuan lahan 8 sampai 10: tanah tidak berpirit (tanpa irigasi pasang
surut)
Dengan stabilitas struktur tanah yang memadai dan tidak adanya
ancaman zat beracun, tanah tidak berpirit ini sangat sesuai (S1) dan
dapat memelihara dengan baik produksi padi tadah hujan yang layak.
11
JDIH Kementerian PUPR
Tanah lapisan atas kebanyakan sudah matang sehingga dapat dibajak
dan lapisan air (genangan) dapat dijaga untuk padi sawah. Tanaman
keras dapat diusahakan, namun perlu diperhatikan agar lahan dapat
didrainase dengan baik (sesuai sedang, S2 atau sesuai terbatas, S3).
Karena permeabilitasnya rendah, tanah ini lebih mudah tergenang
daripada tanah berpirit dan tanah bergambut.
Tabel 1. memperlihatkan kesesuaian lahan pada setiap satuan lahan untuk tipe
penggunaan lahan yang paling umum di daerah rawa pasang surut yaitu:
-
padi rawa pasang surut;
-
padi irigasi pompa;
-
padi tadah hujan;
-
palawija; dan
-
tanaman keras.
12
JDIH Kementerian PUPR
13
JDIH Kementerian PUPR
BAB II
KEGIATAN OPERASI JARINGAN REKLAMASI RAWA PASANG SURUT
Tujuan kegiatan operasi jaringan reklamasi rawa pasang surut adalah untuk
mengatur air di jaringan reklamasi rawa pasang surut sehingga bermanfaat bagi
masyarakat. Sasaran operasi jaringan reklamasi rawa pasang surut meliputi:
a) terciptanya kondisi tanah (pematangan tanah, keasaman dan zat racun) dan
kualitas air yang memenuhi syarat untuk budi daya tanaman;
b) terpenuhinya kebutuhan air suplesi dan drainase sesuai dengan kebutuhan
tanaman;
c) terhindarnya
drainase
yang
berlebihan
(over
drainage)
yang
dapat
mengakibatkan terbentuknya asam dan racun serta penurunan muka tanah
(subsidence) yang berlebihan, khususnya pada tanah gambut;
d) terciptanya
keseimbangan
kebutuhan
air
untuk
tanaman
dan
untuk
pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari;
e) terhindarnya pengaruh air asin agar tidak mengganggu tanaman dan penerima
manfaat;
f)
terlaksananya pengaturan navigasi (bila diperlukan); dan/atau
g). terhindarnya erosi/longsor pada tebing saluran.
A. Jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut
1. Tipe Jaringan Reklamasi Rawa
Dalam pengembangan rawa pasang surut telah diperkenalkan beberapa tipe
jaringan sistem pengaturan air. Tipe jaringan pada tingkat primer dan
sekunder dapat dilihat pada Gambar 3.
2. Jenis Pintu Air
a. Pintu Sorong
Pintu sorong adalah pintu yang terbuat dari plat besi/kayu/fiber,
bergerak vertikal dan dioperasikan secara manual. Fungsi pintu sorong
adalah untuk mengatur aliran air yang melalui bangunan sesuai dengan
kebutuhan, seperti: (1) menghindari banjir yang datang dari luar, (2)
mencegah intrusi air asin, dan (3) menahan air di saluran pada saat
kemarau panjang.
14
JDIH Kementerian PUPR
b. Pintu Klep
Pintu klep dibuat dari kayu atau fiber dengan engsel pada bagian atas.
Pintu ini dapat membuka dan menutup secara otomatis akibat
perbedaan tinggi muka air. Fungsi pintu klep adalah menahan aliran air
waktu pasang dan membuang air waktu surut (aliran satu arah) atau
sebaliknya.
c. Pintu Skot Balok
Pintu skot balok (stoplog) adalah balok kayu yang dapat dipasang pada
alur pintu/sponeng bangunan. Pintu ini berfungsi untuk mengatur muka
air saluran pada ketinggian tertentu. Bila muka air lebih tinggi dari pintu
skot balok, akan terjadi aliran di atas pintu skot balok tersebut.
Penggunaan pintu sorong/klep/skot balok pada jaringan reklamasi rawa
diperlihatkan pada Gambar 4.
15
JDIH Kementerian PUPR
16
JDIH Kementerian PUPR
B. Pengaturan Air di Jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut
1. Pengaturan Air di Jaringan Primer dan Sekunder
Pada pengembangan tahap satu infrastruktur jaringan reklamasi rawa
pasang surut berupa saluran-saluran terbuka, yaitu suatu sistem tanpa
bangunan pintu pengatur air, baik di primer, sekunder maupun di tingkat
tersier. Pengaturan air pada sistem terbuka hanya mungkin dilakukan di
tingkat lahan usaha tani. Pematang mengelilingi sawah dan gorong-gorong
kecil di parit kuarter sangat dianjurkan untuk dibangun.
Pengaturan air di jaringan primer, dan sekunder berdasarkan ketinggian
rata-rata permukaan pada satu blok sekunder. Pemasangan pintu klep dan
pintu geser di saluran sekunder memungkinkan pengaturan muka air secara
efektif asalkan pengoperasiannya dilakukan dengan benar.
Ada perbedaan antara pengoperasian di musim hujan dengan pengoperasian
di musim kemarau, dan juga selama kondisi normal dan kondisi ekstrem.
Kondisi ekstrem adalah periode terlampau basah di musim hujan, dan
periode sangat kering di musim kemarau. Kondisi terlampau basah bisa
disebabkan oleh adanya curah hujan berlebihan di musim penghujan. Pada
umumnya dalam kasus seperti itu, pembuangan kelebihan curah hujan
harus dilakukan secepat mungkin namun perlu dicegah terjadinya drainase
yang berlebihan (over drainage).
2. Pengaturan Air di Jaringan Tersier
a. Pengaturan Air untuk Padi Sawah
Budi daya tanaman padi sawah merupakan kegiatan yang dominan di
jaringan rawa selama musim hujan. Akibat tingginya kebutuhan air
untuk pencucian tanah, kebutuhan air untuk tanaman padi cukup
besar, dan pada umumnya tidak bisa dipenuhi dari curah hujan saja
(terutama tahun-tahun yang memiliki curah hujan di bawah rata-rata,
apalagi tahun kering). Jika tidak ada tambahan pasokan air dari sumber
lain, lebih baik menanam padi tadah hujan jadi tidak perlu menghadapi
konsekuensi negatif dari genangan air di lahan sawah.
Pengaturan air di jaringan tersier:
1) Drainase dan pencucian tanah Drainase diperlukan:
-
selama pengolahan lahan;
-
setelah terjadi hujan lebat;
-
sebelum dilakukan pemupukan;
17
JDIH Kementerian PUPR
-
bila kualitas tanah dan air memburuk;
-
selama masa panen.
Untuk mencegah terbentuknya bahan beracun dalam tanah yang
tinggi kandungan bahan organiknya, drainase sama pentingnya
dengan retensi air. Harus dicegah drainase yang terlampau dalam. Hal
ini mungkin tidak mengakibatkan kekurangan air bagi tanaman, tetapi
di areal tertentu bisa menimbulkan risiko terjadinya oksidasi pirit di
bawah permukaan tanah.
Selama musim kemarau, seringkali tidak bisa dicegah penurunan
muka air tanah di bawah lapisan pirit sehingga terbentuk zat asam
sebagai hasil dari oksidasi pirit. Zat asam ini harus sesering mungkin
dibilas dari lapisan tanah dengan air hujan pada awal-awal musim
penghujan.
2) Suplesi air pasang surut
Apabila
suplesi
pasang
surut
dengan
kualitas
air
yang
baik
dimungkinkan tidak saja menjamin kecukupan air untuk tanaman
padi, tetapi juga akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas
tanah. Genangan air dalam waktu lama harus dicegah, dan unsur
racun yang sudah terbentuk selama masa bero (tidak ada kegiatan
pertanaman) bisa dibilas dari tanah pada periode-periode air surut.
Keuntungan
lain
dengan
suplesi
pasang
surut,
dimungkinkan
menanam jenis padi unggul dan penanaman bisa dimulai lebih awal,
yang pada gilirannya meningkatkan peluang bertanam padi dua kali
setahun.
Kebanyakan
tanah
di
daerah
rawa
pasang
surut
angka
permeabilitasnya tinggi sehingga pada umumnya kehilangan air akibat
perkolasi juga besar. Dengan pemasokan air yang hanya berlangsung
beberapa jam saja perharinya, volume air dalam jumlah besar harus
bisa dialirkan ke lahan sawah dalam waktu yang singkat. Untuk itu,
saluran haruslah terpelihara agar suplesi berjalan baik. Saluran
cacing berukuran dangkal di lahan sawah dapat membantu agar air
pasang mengalir masuk ke sawah dengan cepat.
3) Retensi air
Pada
umumnya,
lapisan
genangan
air
di
lahan
sawah
perlu
dipertahankan untuk berbagai tujuan, antara lain, untuk menciptakan
kondisi
lingkungan
bagi
penyerapan
nutrisi
yang
dibutuhkan
18
JDIH Kementerian PUPR
tanaman, mengatasi gulma tanaman dan sebagai cadangan air jika
terjadi kekurangan air. Tanpa suplesi, satu-satunya sumber air
berasal dari curah hujan. Retensi air di sawah pada daerah rawa
pasang surut seringkali sulit dilakukan karena tingginya permeabilitas
tanah di lapisan atas. Akibatnya, penjenuhan tanah juga sulit
dilakukan. Variasi mikro relief lahan juga menjadi persoalan tersendiri
yang membuat upaya retensi air di atas lahan sawah relatif sulit
dilakukan.
Pematang
sawah
dari
tanah
liat
seringkali
direkomendasikan untuk mengurangi rembesan air.
Permasalahan lain yang bisa muncul adalah meningkatnya unsur
racun di dalam tanah sebagai dampak dari retensi air dengan
penggenangan terusmenerus tanpa penggantian air segar (anaerobik).
Jika hal itu terjadi, proses pembuangan keasaman akibat oksidasi dari
pirit dan bahan organik akan terhambat. Akibat adanya hal-hal
semacam ini, retensi air dalam waktu yang cukup panjang bukanlah
opsi terbaik. Oleh karena itu, drainase dan pencucian tetap harus
diupayakan.
4) Pemompaan
Jika peluang suplesi pasang surut tidak ada, tetapi air disaluran
kualitasnya cukup baik, pemompaan bisa membantu untuk mengatasi
kekurangan air pada saat kemarau. Volume air yang perlu dipompa
biasanya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah air yang
masuk atau keluar pada saat pasang surut. Kadang-kadang para
petani cenderung untuk menghemat biaya pemompaan, yaitu dengan
cara menyimpan air di sawah sebanyak mungkin sehingga muncul
risiko negatif yang hampir sama dengan kondisi genangan air yang
”stagnant” (dibiarkan menggenang lama) seperti yang sudah dibahas
sebelumnya yang menyangkut retensi air.
b. Pengaturan Air untuk Tanaman Palawija
Fokus utama dari pengaturan air untuk tanaman palawija adalah
menyangkut drainase dan mengendalikan kestabilan muka air tanah (40
cm di bawah muka tanah). Saluran kuarter yang berada di antara
saluran tersier mungkin saja diperlukan dengan jarak tidak lebih dari
100 meter.
19
JDIH Kementerian PUPR
Di beberapa areal tertentu, penanaman palawija dilakukan setelah
pertanaman padi musim hujan, yaitu ketika muka air tanah masih
cukup tinggi, dan tanaman tumbuh di atas guludan agar drainase
perakarannya terjamin, dan bisa dengan cepat membuang air hujan yang
berlebih melalui parit yang berada di antara guludan. Untuk makin
menyempurnakan
kondisi
drainase,
tanaman
palawija
juga
bisa
diusahakan dengan sistem surjan.
Sistem surjan
Konstruksi sistem guludan terdiri atas bagian-bagian yang direndahkan
elevasinya, dan bagian-bagian lainnya ditinggikan. Pada bagian yang
rendah, peluang suplesi pasang surut menjadi lebih besar, sedangkan
bagian
yang
ditinggikan
drainasenya
lebih
baik,
sehingga
bisa
dimanfaatkan untuk tanaman palawija. Bagian yang rendah biasanya
memiliki lebar 4 meter sampai 8 meter, sedangkan bagian yang
ditinggikan memiliki lebar 2 meter sampai 4 meter dengan ketinggian
0.40 m sampai 0.80 m. Teknik surjan ini memberi peluang diversifikasi
tanaman karena pada saat bersamaan para petani bisa bercocok tanam
padi dan palawija sekaligus. Jika bagian yang rendah benar-benar bisa
mendapatkan suplesi pasang surut (kategori A), produksi tanaman bisa
meningkat
pesat.
Akan
tetapi,
sistem
surjan
memiliki
berbagai
kelemahan. Jika tidak mungkin diluapi pasang surut secara teratur,
sistem ini sebaiknya tidak dianjurkan untuk diterapkan pada hal-hal
sebagai berikut:
- Air di bagian yang rendah akan mengalami stagnasi (drainabilitasnya
buruk, limpasan air dari bagian guludan, lapisan pirit bisa saja
tersingkap).
- Muka air tanah dibagian bawah tetap saja relatif terlalu tinggi bagi
tanaman keras yang tumbuh dibagian guludan.
- Konstruksi surjan memerlukan input tenaga kerja yang cukup banyak
(600 – 800 hari orang per-ha).
- Bagian yang rendah tidak bisa dimanfaatkan selain untuk tanaman
padi, sehingga perubahan penggunaan lahan akan menjadi sulit
dilakukan.
- Mekanisasi pertanian relatif sulit diaplikasikan.
20
JDIH Kementerian PUPR
c. Pengaturan untuk Tanaman Keras
Fokus dari pengaturan air untuk tanaman keras adalah menyangkut
drainase dan mempertahankan kestabilan muka air tanah. Pada
dasarnya diberlakukan aturan yang sama seperti pada tanaman kering
namun kedalaman muka air tanah yang lebih cocok untuk tanaman
keras adalah 0.60 meter sampai 0.80 meter dari muka tanah. Saluran
kuarter di antara saluran tersier sangat penting, jarak satu sama lain
berkisar antara 25 meter sampai 50 meter. Pada areal yang muka air
tanahnya tidak bisa diturunkan 16 lebih rendah lagi, tanaman sebaiknya
ditanam pada bagian tanah yang ditinggikan (guludan).
Selama masa-masa awal, ketika kanopi pohon belum sepenuhnya
berkembang, tanaman sela bisa saja dibudidayakan. Jika tanaman sela
berupa tanaman padi, tanaman kerasnya harus tumbuh di atas bagian
yang ditinggikan, sekitar 0.50 meter tingginya. Tanaman kelapa bisa
diselingi dengan tanaman tahunan semacam kopi, buah-buahan, dan
sebagainya.
d. Pengaturan Air Masa Bero (Tidak Ada Pertanaman)
Selama tidak ada kegiatan pertanaman, jika diperlukan, pembilasan zat
racun dari dalam tanah bisa dilakukan dengan drainase dalam, diikuti
pencucian dengan air hujan dan jika memungkinkan dengan air pasang.
Masa bero biasanya terjadi pada musim kemarau. Pada awal musim
hujan berikutnya, pencucian dengan air hujan sangat diperlukan. Hal
tersebut secara berangsur akan memperdalam letak lapisan pirit
sehingga dalam jangka panjang akan memperbaiki kesesuaiannya
sebagai lahan pertanian. Drainase juga akan mendorong pematangan
tanah secara berangsur-angsur dan oksidasi bahan organik. Hal ini
memungkinkan pengolahan tanah yang lebih baik hasilnya melalui
penjenuhan yang mana efeknya kecil kalau diterapkan pada tanah yang
belum matang dan tanah dengan kandungan bahan organik tinggi.
C. Dasar Perencanaan Operasi
Kegiatan penting dalam jaringan reklamasi rawa adalah pengoperasian pintupintu air, baik di jaringan utama (primer, sekunder) maupun jaringan tersier.
Sementara itu, dasar perencanaan operasi pintu air diperlihatkan pada
Gambar 5.
21
JDIH Kementerian PUPR
Dalam menyusun rencana operasi pintu air, perlu diperhatikan beberapa hal
sebagai berikut.
1. Rencana Tata Tanam
Informasi tentang jenis tanaman, kalender, dan kondisi fisik areal pertanaman
merupakan masukan yang sangat penting sebelum rencana pengaturan air
ditetapkan. Di sini jenis tanaman yang dominan akan dipilih sebagai dasar
penetapan operasi dan pengaturan air pada hamparan yang bersangkutan.
P3A, Juru Pengairan, dan PPL harus bekerja sama dalam menyusun persiapan
rencana tata tanam. Saran-saran dan informasi dari hasil pengalaman
sebelumnya perlu ditampung guna memperoleh optimalisasi operasi pintu air.
Data mengenai rencana tata tanam dan laporan pengamatan tanaman per
petak tersier dicatat dalam blangko O – 09.
Dalam menyusun rencana tata tanam yang baik, dibutuhkan pengetahuan
yang mendetail tentang kondisi-kondisi lapangan yang sesungguhnya, yaitu:
a. Curah hujan yang diharapkan, pada umumnya sama dengan curah hujan
rata-rata dalam waktu tertentu. Data curah hujan dicatat dalam blangko O
– 01 dan O – 02.
22
JDIH Kementerian PUPR
b. Tinggi muka air dan kualitas air pada saluran. Data tinggi muka air pada
saluran dicatat dalam blangko O-03 dan O-04. Sedangkan data kualitas air
pada saluran dicatat dalam blangko O-05.
c. Tinggi muka air tanah dan kualitas air tanah. Data-data tersebut dicatat
dalam blangko O-06.
d. Keadaan prasarana jaringan saat ini berdasarkan hasil inventarisasi
termasuk permasalahan yang dihadapi seperti banjir/genangan (data diisi
dalam blangko O-07 serta pengamatan penampang saluran dan tanggul
rawan banjir (data diisi dalam blangko O-10 dan O-11).
2. Rencana Pengaturan atau Pengelolaan Air
Rencana pengaturan atau pengelolaan air musiman dipersiapkan untuk setiap
areal yang dikontrol oleh satu atau lebih bangunan pintu air. Pada areal tanpa
bangunan, pengaturan atau pengelolaan air hanya berlangsung pada tingkat
lahan usaha tani melalui saluran kuarter dan rencana musiman tergantung
pada
petani.
Rencana
pengaturan
atau
pengelolaan
air
musiman
ini
dipersiapkan oleh juru pengairan bersama-sama dengan P3A dan PPL. Dalam
rencana pengaturan/pengelolaan air musiman terdapat hal-hal sebagai
berikut.
a. Curah hujan yang diharapkan, biasanya curah hujan ini sama dengan
curah hujan rata-rata.
b. Tanggal pasang purnama (pasang besar), data ini diambil dari Ramalan
Pasang Surut (Hidral)
c. Kalender penanaman menurut rencana pertanaman (pola tanam)
d. Adanya tujuan tertentu dalam pengelolaan dan pengoperasian air selama
musim tanam, seperti penyegaran air pada saat pasang besar
Tinggi rendahnya muka air yang ingin dicapai dalam saluran selama musim
tanam Salah satu manfaat dari penyusunan rencana pengaturan atau
pengelolaan adalah untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan melalui
kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak yang terkait, seperti
kesepakatan elevasi muka air maksimum atau minimum dan kesepakatan
pembagian waktu untuk memenuhi kepentingan yang berbeda. Rencana
pengaturan atau pengelolaan air pada musim tanam dicatat dalam blangko O12.
3. Rencana Operasi
Rencana operasi musiman, mingguan, dan harian dibuat oleh pengamat
pengairan berdasarkan rencana pengaturan yang disampaikan oleh juru
pengairan.
23
JDIH Kementerian PUPR
Rencana Operasi Musiman
Berdasarkan rencana pengaturan musiman, dapat disusun rencana operasi
musiman
untuk
setiap
bangunan
air.
Rencana
tersebut
menjelaskan
kebutuhan operasi pintu air dan sasaran tinggi muka air saluran yang
diinginkan selama berbagai tahap pertumbuhan tanaman.
Rencana Operasi Mingguan
Rencana operasi mingguan dibuat untuk menetapkan elevasi muka air di
saluran dan cara pengoperasian pintu air berdasarkan kebutuhan tanaman
aktual dan curah hujan yang terjadi.
Rencana Operasi Harian
Rencana operasi pintu harian didasarkan pada target operasi mingguan. Hanya
dalam kondisi tertentu (ekstrem) seperti banjir dan curah hujan sangat lebat,
penjaga
pintu
berdasarkan
pertimbangannya
sendiri,
operasi
dapat
menyimpang dari target yang telah ditetapkan guna penyesuaian operasi
terhadap kondisi ekstrem yang terjadi.
Penyesuaian operasi didasarkan pada hasil-hasil pemantauan antara lain
yaitu:
- Curah hujan tinggi
→ lebih ditekankan pada drainase
- Curah hujan rendah
→ lebih ditekankan pada retensi dan suplesi air
- Kualitas air dilahan buruk
→ lebih ditekankan pada drainase terkendali
- Kualitas air di saluran buruk
→ pencucian dan penggantian air saluran
- Elevasi muka air di bawah target → lebih ditekankan pada suplesi air
- Banjir dan salinitas tinggi
→ mencegah air jangan masuk ke lahan
4. Definitif Operasi Pintu Air
Berdasarkan
rencana
operasi
musiman,
mingguan,
dan
harian
yang
disampaikan oleh pengamat pengairan, kemudian balai wilayah sungai
provinsi/kabupaten/kota memutuskan secara definitif operasi pintu air.
5. Pelaksanaan Operasi Pintu Air
Pelaksanaan operasi pintu air merupakan kegiatan pengaturan air sesuai
dengan yang telah direncanakan. Apabila terjadi kondisi ekstrem (misalnya
banjir), operasi pintu air segera disesuaikan untuk menangulangi kondisi
ekstrem tersebut. Sebagai pelaksana operasi di tingkat tersier adalah P3A,
sedangkan tingkat sekunder oleh juru pengairan atau PPA.
24
JDIH Kementerian PUPR
Adapun data dan informasi yang dapat menjadi masukan untuk perencanaan
tata tanam meliputi:
a. aspek pelayanan air (curah hujan, elevasi muka air saluran, kedalaman
drainase, operasi pintu, kualitas air, muka air tanah),
b. aspek tanaman (luas tanaman, produksi, kerusakan tanaman),
c. aspek tanah (pH dan racun, salinitas, subsidence, ketebalan gambut),
d. aspek banjir atau genangan (muka air banjir atau genangan dan
kerusakan),
e. aspek biaya O&P.
D. Pelaksanaan Operasi
1. Prosedur Pelaksanaan Operasi
a. Operasi Normal
Pelaksanaan operasi pintu air didasarkan pada kondisi normal (tidak ada
banjir/kekeringan/air asin/air terlalu asam). Dasar pelaksanaan, operasi
ini berpegang teguh pada rencana operasi yang telah ditetapkan. Apabila
diperlukan tindak lanjut, penyesuaian operasi dapat dilakukan dengan
mudah, dan dicatat sebagai data pada tahap pemantauan.
b. Operasi Darurat
Jika dari hasil evaluasi keadaan lapangan memperlihatkan keadaan
darurat seperti kebanjiran, kekeringan, air asin, air terlalu asam (dengan
pH < 4,5), prosedur operasi dilaksanakan dalam keadaan darurat.
Operasi darurat dilakukan setelah ada koordinasi antara staf O&P dan
P3A.
2. Operasi Pintu Air di Saluran Sekunder
Pengoperasian pintu air di saluran sekunder dapat dilakukan apabila
terdapat
bangunan
pengatur
air,
pengoperasian
bangunan
tersebut
sebaiknya mengikuti apa yang telah diuraikan dalam rencana operasi pintu
air (lihat Tabel 2 s/d 5), kecuali ada kesepakatan umum antara pihak-pihak
terkait bahwa aturan pengoperasian lain harus dijalankan karena kondisi
ekstrem.
25
JDIH Kementerian PUPR
Di sini aturan pengoperasian secara normal harus diikuti, dan aturan untuk
keadaan musim kering dan musim hujan yang ekstrem hanya dapat diikuti
apabila disepakati oleh staf O&P dan perwakilan dari P3A. Beberapa opsi
operasi yang diterapkan pada bangunan air di saluran sekunder, yaitu :
a. Drainase Terkendali
Pada saat kondisi normal, operasi bangunan air di saluran sekunder
terdiri atas drainase, suplesi, dan retensi selama periode pasang tinggi
(spring tide), sedangkan drainase terkendali dilakukan pada waktu
pasang perbani (neap tide).
Waktu di antara pasang tinggi, pintu skot balok diatur untuk
mempertahankan muka air saluran sekurang-kurangnya 40 – 60 cm di
bawah permukaan tanah. Pintu sorong dibuka dan pintu klep beroperasi
secara otomatis guna memungkinkan drainase pada ketinggian tertentu
berlangsung terus menerus.
b. Penggelontoran
Pada 1 – 2 hari sebelum pasang purnama, dilakukan drainase
maksimum dengan membuka semua pintu air. Apabila proses drainase
dianggap belum cukup dan perlu dilanjutkan pada hari berikutnya
dilakukan pemasukan air segar pada saat pasang purnama. Dianjurkan
agar secara teratur dilakukan penggelontoran pada saluran sekunder
guna peningkatan kualitas air.
c. Operasi Darurat
Operasi darurat dilakukan jika muka air saluran primer terlalu tinggi
(terutama pada musim hujan), dan dapat mengakibatkan banjir pada
areal usaha tani atau pekarangan. Untuk mengatasinya dapat dilakukan
penutupan air sehingga air tidak masuk ke saluran sekunder. Jika
terjadi hujan yang besar pada areal pertanian, pintu air dioperasikan
pada posisi drainase. Operasi darurat juga ditujukan untuk mencegah
masuknya air asin ke dalam saluran.
3. Operasi Pintu Air di Saluran Tersier
Apabila di saluran tersier terdapat bangunan pengatur air, pengoperasian
bangunan tersebut sebaiknya mengikuti apa yang telah diuraikan pada
Rencana Operasi Pintu Air (Tabel 2 s/d 5), kecuali ada kesepakatan umum
antara pihak-pihakterkait bahwa aturan pengoperasian lain harus diikuti.
26
JDIH Kementerian PUPR
Mengingat saluran tersier berada pada lahan usaha tani, produk-produk
hasil pencucian lahan seperti asam dan zat besi (Fe) akan terakumulasi
pada saluran tersier. Oleh karena itu, secara teratur perlu dilakukan operasi
pintu untuk penyegaran air guna mendukung produktivitas lahan pertanian.
Jika lahan reklamasi rawa pasang surut, masih berupa sistem saluran
terbuka, yaitu suatu sistem tanpa bangunan pintu pengatur air, baik pada
jaringan tersier maupun pada tingkat yang lebih tinggi, pengaturan pada
sistem terbuka ini hanya mungkin dilakukan di dalam lahan usaha tani
dengan membuat pematang mengelilingi sawah dan gorong-gorong kecil
pada parit kuarter.
27
JDIH Kementerian PUPR
28
JDIH Kementerian PUPR
29
JDIH Kementerian PUPR
30
JDIH Kementerian PUPR
31
JDIH Kementerian PUPR
BAB III
PEMELIHARAAN JARINGAN REKLAMASI RAWA PASANG SURUT
Tujuan kegiatan pemeliharaan jaringan reklamasi rawa adalah untuk menjamin
kelestarian fungsi jaringan reklamasi rawa selama mungkin sesuai dengan masa
pelayanan yang direncanakan. Sasaran pemeliharaan jaringan reklamasi rawa
adalah terjaminnya kondisi dan fungsi jaringan reklamasi rawa pasang surut.
A.
Jenis Pemeliharaan
Jenis pemeliharaan jaringan reklamasi rawa terdiri atas kegiatan berikut.
1. Pemeliharaan Rutin
Pemeliharaan rutin adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan
tata air rawa agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar
operasi dan mempertahankan kelestarian fungsi dan manfaat prasarana
tata air rawa yang dilakukan secara terus-menerus. Pemeliharaan rutin
antara lain sebagai berikut:
a. Pembersihan sampah di muka bangunan air pada saluran primer,
sekunder, dan tersier.
b. Pemotongan rumput di tanggul/berm pada tanggul pengaman, saluran
primer, sekunder, dan tersier.
c. Pembersihan saluran (tumbuhan air) pada saluran primer, sekunder,
dan tersier.
d. Pemeliharaan tanggul pada tanggul pengaman, saluran primer,
sekunder, dan tersier.
e. Pemeliharaan
bangunan
air
(pembersihan,
pelumasan,
dan
pengecatan) pada saluran primer, sekunder, dan tersier.
f.
Pemeliharaan jembatan dan dermaga (pengecatan dan perbaikan
ringan).
g. Pemeliharaan jalan pada jalan inspeksi dan jalan usaha tani.
h. Pemeliharaan kantor dan rumah dinas (termasuk perbaikan ringan).
i.
Kalibrasi alat ukur.
Untuk lebih jelasnya interval dan frekuensi pemeliharaan rutin dapat dilihat
pada Tabel 6.
32
JDIH Kementerian PUPR
2. Pemeliharaan Berkala
Pemeliharaan berkala adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan
tata air rawa agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar
operasi dan mempertahankan kelestarian fungsi dan manfaat prasarana
tata air rawa yang dilakukan tiap tahun atau lima tahunan atau juga
tergantung pada kondisi bangunan dan saluran.
Pemeliharaan berkala antara lain berupa:
a. Pengangkatan lumpur pada saluran primer, sekunder, dan tersier
b. Perbaikan tanggul (longsor dan erosi) pada saluran primer, sekunder,
tersier dan tanggul pengaman.
33
JDIH Kementerian PUPR
c. Perbaikan bangunan air (penggantian yang rusak) pada saluran
primer, sekunder, dan tersier.
d. Perbaikan jembatan dan dermaga (penggantian yang rusak) pada
saluran navigasi, primer, sekunder, dan tersier.
e. Perbaikan jalan pada jalan inspeksi dan jalan usaha tani.
f.
Perbaikan kantor dan rumah dinas (rehabilitasi).
g. Pengamanan jaringan berupa pemasangan patok batas jalur hijau dan
sempadan, papan larangan, nomenklatur bangunan, portal dan patok
km.
Untuk jelasnya interval dan frekuensi pemeliharaan berkala dapat dilihat
pada Tabel 7.
Catatan : angka yang tertera pada kolom (4) tergantung pada kondisi masing
masing jaringan atau berdasarkan hasil survei di lapangan.
34
JDIH Kementerian PUPR
B.
Fasilitas dan Peralatan O&P
Fasilitas dan peralatan diperlukan untuk menunjang kegiatan O&P. Untuk
menyusun kebutuhan fasilitas dan peralatan harus didasarkan kebutuhan
nyata di lapangan dari sistem jaringan yang bersangkutan. Fasilitas dan
peralatan dimaksud bukan bagian dari biaya O&P tapi merupakan investasi
yang pendanaannya di luar biaya O&P. Fasilitas dan Peralatan O&P lebih rinci
dapat dilihat pada Tabel 8.
35
JDIH Kementerian PUPR
C.
Kapasitas kerja
Untuk dapat menghitung kebutuhan biaya pemeliharaan, diperlukan standar
kapasitas kerja untuk pekerjaan, yaitu pemotongan rumput (tumbuhan
normal dan tumbuhan padat), pemeliharaan tanggul, pembersihan saluran
(tumbuhan air), pemeliharaan jalan, pembersihan sampah, pengangkatan
lumpur, perbaikan tanggul, dan perbaikan jalan. Kapasitas kerja lebih rinci
dapat dilihat pada tabel 9.
Catatan : Tumbuhan normal : rumput, ilalang
Tumbuhan padat : rumput gajah, purun, asosiasi perdu, perumpuk, semak
* Angka-angka pada kolom 3 tergantung pada kondisi setempat
D.
Perencanaan Pemeliharaan
Penyusunan rencana pemeliharaan (rutin dan berkala) dilakukan dengan
mekanisme sebagai berikut.
1.
Penelusuran Jaringan
Juru pengairan bersama dengan P3A melakukan penelusuran jaringan
untuk mendapatkan data akurat dari lapangan tentang rencana
pemeliharaan jaringan tersebut. Data penelusuran jaringan berupa data
inspeksi rutin kerusakan dan data inspeksi rutin alat-alat hidroklimatologi dicatat dalam blangko P-02 dan P- 03.
36
JDIH Kementerian PUPR
2.
Rencana Pemeliharaan Tingkat Juru Pengairan
Juru
pengairan
menyusun
rencana
pemeliharaan
dalam
wilayah
kerjanya berdasarkan hasil penyelusuran jaringan dengan P3A kemudian
dikirim ke Pengamat Pengairan.
3.
Rencana Pemeliharaan Tingkat Pengamat Pengairan
Pengamat Pengairan mengevaluasi usulan rencana pemeliharaan dari
setiap juru pengairan dan membuat rekapitulasinya dan selanjutnya
dikirim kepada kepala dinas sda kabupaten/kota/provinsi/balai wilayah
sungai sesuai dengan kewenangannya. Dalam mengevaluasi usulan
rencana pengamat pengairan mencatat hasil inspeksi rutin kerusakan,
alat-alat hidro-klimatologi, laporan pengukuran dan perencanaan teknis
pemeliharaan,
daftar
usulan
pekerjaan
pemeliharaan
yang
diborongkan/diswakelolakan kedalam blangko P-02, P-03, P- 04, P-05, P06 dan P-07.
4.
Program Pemeliharaan Definitif
Kepala
dinas
sda
kabupaten/kota/provinsi/balai
wilayah
sungai
melakukan evaluasi usulan rencana pemeliharaan dari setiap pengamat
pengairan dan menetapkan program pemeliharaan definitif/final dan
selanjutnya mengirimkan kembali kepada setiap pengamat pengairan.
Data program pekerjaan pemeliharaan yang diborongkan/diswakelolakan
dicatat dalam blangko P-08 dan P-09.
5.
Program Pemeliharaan Definitif Tingkat Pengamat Pengairan
Pengamat
pengairan
setelah
menerima
program
pemeliharaan
definitif/final segera menyusun jadwal waktu pelaksanaan pemeliharaan
yang menjadi tanggung jawabnya.
6.
Program Pemeliharaan Definitif Tingkat Juru Pengairan.
Juru pengairan setelah menerima program pemeliharaan definitif/final
segera menyusun jadwal waktu pelaksanaan pemeliharaan yang menjadi
tanggung jawabnya.
7.
Pelaksanaan
Pelaksanaan pemeliharaan dilakukan sesuai dengan jadwal waktu yang
telah disepakati. Laporan pelaksanaan kegiatan dicatat dalam blangko P10, P-11 dan P-12.
37
JDIH Kementerian PUPR
Untuk jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 6.
E.
Pelaksanaan Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan pada umumnya dilakukan dengan 2 (dua) cara,
yaitu:
1. Swakelola
Pekerjaan pemeliharaan dengan swakelola adalah pemeliharaan rutin.
Untuk pekerjaan ini yang diperlukan tenaga biasa dan peralatan
sederhana (parang, cangkul, dan lain-lain).
2. Kontraktual
Pekerjaan pemeliharaan dengan menggunakan jasa pemborong adalah
pekerjaan
pemeliharaan
berkala.
Pekerjaan
ini
memerlukan/menggunakan tenaga terampil/ahli dan peralatan khusus.
F.
Sosialisasi
Sebelum memulai pekerjaan pemeliharaan, perlu dilakukan sosialisasi atau
pemberitahuan kepada masyarakat (P3A) tentang pekerjaan pemeliharaan
rutin dan berkala.
38
JDIH Kementerian PUPR
G.
Koordinasi
Sebelum melakukan pekerjaan pemeliharaan (swakelola dan kontraktual),
perlu dilakukan koordinasi dengan P3A, PPL, dan kepala desa menyangkut
jadwal pelaksanaan pemeliharaan.
Khusus P3A dapat membahas masalah penyediaan tenaga kerja, bahkan
mengambil bagian dalam pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan sesuai dengan
kemampuan P3A dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
39
JDIH Kementerian PUPR
BAB IV
PEMANTAUAN DAN EVALUASI KEGIATAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN
JARINGAN REKLAMASI RAWA PASANG SURUT
A.
Pemantauan Operasi
Pemantauan dilakukan terhadap objek melalui kondisi sebagai berikut :
1. Pengamatan
muka
air
di
saluran
/
sungai
dilakukan
dengan
menggunakan AWLR (Automatic Water Level Recorder) atau manual.
2. Penampang saluran
3. Penurunan muka tanah (Soil Subsidence)
4. Muka air tanah
5. Curah hujan
6. Kualitas air permukaan
7. Kualitas air tanah
8. Kualitas tanah
9. Pengambilan air diluar kepentingan pertanian harus mendapatkan izin
dari yang berwenang
10. Daerah genangan diamati pada saat terjadi genangan.
11. Pengamatan tanggul dan daerah rawan banjir dilakukan pada saat kondisi
kritis/ banjir.
12. Pengamatan lalu lintas air dilakukan terhadap jenis dan jumlah
kendaraan air yang melewati saluran.
13. Pertumbuhan tanaman dan produksi.
14. Pemantauan ini menjadi tugas bersama antara P3A, juru pengairan dan
PPL.
B.
Pemantauan Pemeliharaan
Pemantauan dilakukan terhadap objek melalui indikator-indikator sebagai
berikut.
1. Pekerjaan swakelola, indikatornya adalah jenis pekerjaan, volume, waktu,
tenaga kerja, bahan dan kualitas pekerjaan.
2. Pekerjaan kontraktual, indikatornya adalah jenis pekerjaan, volume,
waktu, tenaga kerja, bahan, peralatan dan kualitas pekerjaan.
40
JDIH Kementerian PUPR
C.
Evaluasi Operasi
Evaluasi dilakukan terhadap hal-hal yang telah dipantau, yaitu:
1. Evaluasi Langsung
Evaluasi langsung dilakukan terhadap kondisi air yang meliputi:
a. curah hujan
b. muka air dan kedalaman drainase (drain depth)
c. operasi pintu
d. kualitas air
e. muka air tanah
f.
navigasi
2. Evaluasi Musim Tanam
Objek-objek yang perlu dievaluasi meliputi:
a. Kondisi Air
i)
curah hujan
ii) muka air dan kedalaman drainase (drain depth)
iii) operasi pintu
iv) kualitas air
v) muka air tanah
vi) navigasi
b. Tanaman
i)
luas lahan
ii) jenis tanaman
iii) kerusakan tanaman
iv) produk
c. Tanah
i)
pH
ii) racun (toxic)
iii) salinitas
iv) penurunan (subsidence)
v) kelembapan
41
JDIH Kementerian PUPR
d. Banjir dan Genangan
i)
tanggul-tanggul rawan banjir
ii) muka air banjir dan genangan
iii) kerusakan akibat banjir dan genangan
e. Perizinan dan Retribusi
i) perizinan untuk penggunaan air di luar kebutuhan pertanian
ii) perizinan untuk pembuangan limbah ke dalam jaringan
iii) retribusi untuk penggunaan air di luar kebutuhan pertanian
iv) retribusi untuk pembuangan limbah ke dalam jaringan
D. Evaluasi Pemeliharaan
Evaluasi dilakukan terhadap pekerjaan swakelola dan pekerjaan kontraktual
dalam dua periode, yaitu:
1.
Evaluasi
langsung
dilakukan
terhadap
hal-hal
antara
lain
jenis
pekerjaan, volume, waktu, tenaga kerja, bahan, peralatan, dan kualitas
pekerjaan. Evaluasi langsung dilakukan pada saat pekerjaan sedang
berjalan.
2.
Evaluasi
tahunan
dilakukan
terhadap
hal-hal
antara
lain
jenis
pekerjaan, volume, waktu, tenaga kerja, bahan, peralatan, dan kualitas
pekerjaan. Evaluasi tahunan dilakukan pada akhir tahun.
E.
Pelaporan Operasi
Hal-hal yang dilaporkan menyangkut kegiatan operasi adalah:
1. Muka air di saluran / sungai dilaporkan tiap bulan
2. Kondisi saluran dilaporkan 1 kali setahun
3. Penurunan muka tanah (soil subsidence) dilaporkan 1 kali setahun
4. Muka air tanah dilaporkan tiap bulan
5. Curah hujan dilaporkan tiap bulan
6. Kualitas air permukaan dilaporkan tiap bulan
7. Kualitas air tanah dilaporkan tiap bulan
8. Kualitas tanah dilaporkan 1 kali dalam setahun
9. Pengambilan air di luar kepentingan pertanian
10. Daerah genangan dilaporkan tiap bulan
42
JDIH Kementerian PUPR
11. Tanggul pada tempat rawan banjir dilaporkan 1 kali dalam setahun
12. Lalu lintas air dilaporkan tiap bulan
F.
Pelaporan Pemeliharaan
Laporan realisasi pekerjaan pemeliharaan dilakukan sebagai berikut.
1.
Untuk pekerjaan swakelola dan kontrak, pelaporan dilakukan sesuai
dengan ketentuan swakelola dan kontrak
2.
Pelaporan dilakukan secara tahunan
G. Rekomendasi
Rekomendasi
kegiatan
O&P
yang
perlu
mendapatkan
perhatian
atau
perbaikan pelaksanaan pada periode berikutnya didasarkan pada evaluasi
kegiatan O&P saat ini termasuk juga rekomendasi kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan O&P.
43
JDIH Kementerian PUPR
BAB V
KELEMBAGAAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA
A. Organisasi Operasi dan Pemeliharaan (O&P) di Lapangan.
Organisasi Operasi dan Pemeliharaan (O&P) di tingkat lapangan sebagai ujung
tombak pelaksanaan kegiatan O&P adalah sebagai berikut :
B.
Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Operasi dan Pemeliharaan (O&P) di
Lapangan
1.
Pengamat Pengairan
a.
Memimpin
rapat
rutin
setiap
minggu
untuk
mengetahui
permasalahan O&P yang dihadiri juru pengairan, petugas pintu air
dan P3A/GP3A/IP3A
b.
Mengikuti rapat di balai wilayah sungai. provinsi, kabupaten/kota
dan kecamatan.
44
JDIH Kementerian PUPR
c.
Membina staf
d.
Membina
P3A/GP3A/IP3A
jaringan
tersier
yang
untuk
menjadi
dapat
melaksanakan
tanggung
jawabnya
O&P
serta
berpartisipasi dalam kegiatan O&P aringan utama (sekunder dan
primer)
e.
Membantu
proses
pengajuan
bantuan
biaya
O&P
kepada
P3A/GP3A/IP3A
f.
Membuat laporan kegiatan O&P ke balai wilayah sungai. provinsi,
kabupaten/kota
2.
Juru Pengairan
a. Membantu pengamat pengairan dalam menjalankan kegiatan O&P
dalam wilayah kerjanya
b. Melakukan
pengawasan
pekerjaan
pemeliharaan
rutin
dan
pekerjaan yang dikontrakkan.
c. Membuat laporan pemeliharaan mengenai:
-
kerusakan saluran dan bangunan
-
realisasi pemeliharaan rutin, berkala, dan lain-lain
-
biaya pemeliharaan berkala.
d. Bersama P3A melakukan penelusuran jaringan untuk mengetahui
kerusakan saluran dan bangunan untuk segera diatasi
e. Menyusun biaya O&P dalam wilayah kerjanya bersama P3A
3.
Petugas Pintu Air
a. Membuka dan menutup pintu air sesuai dengan kebutuhan
b. Memberi minyak pelumas pada pintu air.
c. Membersihkan sampah dan rumput di sekitar bangunan
d. Mencatat kerusakan pintu air pada formulir yang disediakan
C.
Luas Wilayah Kerja Staf O&P
Kerapatan personel O&P di lapangan adalah sebagai berikut:
1. Pengamat pengairan
1 orang + 3 staf, dengan luas areal layanan
: 3.000 – 25.000 Ha.
2. Juru pengairan
1 orang dengan luas areal layanan
: 1.000 – 2.000 Ha.
45
JDIH Kementerian PUPR
3. Petugas pintu air
1 orang untuk melayani pintu air
4. P3A
D.
: 3-5 buah pintu air
: beberapa blok tersier
Kompetensi Petugas
Kompetensi setiap petugas diuraikan sebagai berikut:
Catatan : persyaratan kompetensi petugas ini untuk merekrut petugas yang
baru, petugas yang sudah ada di lapangan tetap terus difungsikan.
E.
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)
1. Tanggung Jawab
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air bahwa operasi dan pemeliharaan jaringan
tersier menjadi tanggung jawab P3A.
2. Pembentukan P3A/GP3A/IP3A
Untuk dapat melaksanakan tanggung jawabnya melakukan operasi dan
pemeliharaan jaringan tersier, petani yang ada dalam beberapa blok
tersier membentuk P3A. Sementara itu, dan untuk pelayanan tingkat
sekunder dapat dibentuk GP3A sebagai gabungan dari P3A dan untuk
pelayanan daerah reklamasi rawa dapat dibentuk IP3A sebagai gabungan
GP3A.
3. Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A
Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A dilakukan oleh instansi terkait (Dinas
SDA, Dinas Pertanian, dan Pemerintah Daerah), yaitu untuk:
a. memperkuat kelembagaan dengan status berbadan hukum.
b. meningkatkan kemampuan personil/sumber daya manusia di bidang
teknik rawa, teknik pertanian, dan organisasi.
c. melibatkan P3A/GP3A/IP3A dalam penyusunan program operasi dan
pemeliharaan jaringan rawa tersebut.
46
JDIH Kementerian PUPR
d. memberikan kesempatan kepada P3A/GP3A/IP3A (bagi yang sudah
mampu) untuk mengambil bagian dalam jaringan primer dan
sekunder.
4. Bentuk Organisasi P3A
Bentuk organisasi P3A yang disarankan sebagaimana gambar di bawah
ini, tetapi dapat disesuaikan dengan kondisi setempat dan dilengkapi
dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
47
JDIH Kementerian PUPR
5. Bentuk Organisasi Gabungan P3A (GP3A)
GP3A terdiri atas beberapa P3A dan bentuk organisasi GP3A disarankan
sebagaimana gambar di bawah ini, tetapi dapat disesuaikan dengan
kondisi setempat dan dilengkapi dengan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD/ ART).
48
JDIH Kementerian PUPR
6. Bentuk Organisasi Induk P3A (IP3A)
Organisasi IP3A terdiri atas beberapa GP3A dan bentuk organisasi IP3A
disarankan sebagaimana gambar di bawah ini, tetapi dapat disesuaikan
dengan kondisi setempat dan dilengkapi dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART).
49
JDIH Kementerian PUPR
BAB VI
PEMBIAYAAN
A. Penyediaan biaya
Penyediaan biaya didasarkan atas kebutuhan biaya yang diperlukan untuk
melakukan kegiatan Operasi dan Pemeliharaan
B. Perhitungan Kebutuhan Biaya Operasi dan Pemeliharaan
1. Komponen-Komponen Pembiayaan O&P
a. Biaya Operasi
1) Insentif Pengamat, Juru, PPA, dan Staf
2) Perjalanan Dinas Pengamat dan Juru Pengairan (rapat koordinasi
dan pemantauan)
3) Operasional Kantor (listrik, telepon, air, ATK, bahan survei, dll)
4) Operasional Peralatan (sepeda motor, genset, pemotong rumput, dll)
b. Biaya Pemeliharaan
1) Pemeliharaan Rutin
i)
Pembersihan sampah di muka bangunan air pada:
- saluran primer
- saluran sekunder
- saluran tersier
ii) Pemotongan rumput di tanggul/ berm pada:
- tanggul pengaman
- saluran primer
- saluran sekunder
- saluran tersier
iii) Pembersihan saluran (tumbuhan air) pada:
- saluran primer
- saluran sekunder
- saluran tersier
iv) Pemeliharaan tanggul pada:
- tanggul pengaman
- saluran primer
50
JDIH Kementerian PUPR
- saluran sekunder
- saluran tersier
v) Pemeliharaan bangunan air (pembersihan, pelumasan, dan
pengecatan) pada:
- saluran primer
- saluran sekunder
- saluran tersier
vi) Pemeliharaan jembatan dan dermaga (pengecatan dan perbaikan
ringan) pada:
- saluran navigasi
- saluran primer
- saluran sekunder
- saluran tersier
vii) Pemeliharaan jalan pada:
- jalan inspeksi
- jalan usaha tani
viii) Pemeliharaan kantor dan rumah dinas (termasuk perbaikan
ringan)
ix) Kalibrasi alat ukur
2) Pemeliharaan Berkala
i)
Pengangkatan lumpur pada:
- saluran primer
- saluran sekunder
- saluran tersier
ii) Perbaikan tanggul (longsor dan erosi) pada:
- tanggul pengaman
- saluran primer
- saluran sekunder
- saluran tersier
51
JDIH Kementerian PUPR
iii) Perbaikan bangunan air (penggantian yang rusak) pada:
- saluran primer
- saluran sekunder
- saluran tersier
iv) Perbaikan jembatan dan dermaga (penggantian yang rusak)
pada:
- saluran navigasi
- saluran primer
- saluran sekunder
- saluran tersier
v) Perbaikan jalan pada:
- jalan inspeksi
- jalan usaha tani
vi) Perbaikan kantor dan rumah dinas (rehabilitasi)
vii) Pengamanan jaringan (patok batas jalur hijau dan sempadan,
papan larangan, portal, nomenklatur bangunan, dan patok km)
2. Cara Perhitungan
a. Biaya Operasi
1) Insentif .......................................................................................(1)
i)
Pengamat : Jumlah pengamat x 12 x Rp…….../bln
ii) Juru : Jumlah juru x 12 x Rp…….../bln
iii) PPA : Jumlah PPA x 12 x Rp…….../bln
iv) Staf Pengamat : Jumlah staf x 12 x Rp…….../bln
2) Perjalanan Dinas Pengamat danJuru Pengairan............................(2)
i) Pemantauan
Pengamat : Jumlah pengamat x frekuensi x Rp……./hr
Juru : Jumlah juru x frekuensi x Rp……./hr
ii) Rapat (ke kabupaten/kota/prov./BWS) Pengamat : Jumlah
pengamat x frekuensi x Rp……./hr Juru : Jumlah juru x
frekuensi x Rp….…/hr
52
JDIH Kementerian PUPR
3) Operasional Kantor (sesuai dengan kebutuhan) ............................(3)
i)
Listrik
: 12 x Rp……../bln
ii) Telepon
: 12 x Rp……../bln
iii) Air
: 12 x Rp……../bln
iv) ATK
: 12 x Rp……../bln
v) Bahan Survey : 12 x Rp……../bln
4) Operasional Peralatan (sesuai dengan kebutuhan)........................(4)
i) Sepeda Motor
: Jumlah sepeda motor x 12 x Rp ….../bln
ii) Gen-Set
: Jumlah Gen-Set x 12 x Rp…..../bln
iii) Pemotong Rumput : Jumlah pemotong rumput x 12 x Rp……/bln
iv) Lain-lain
: ....... x 12 x Rp. ............ /bln
b. Biaya Pemeliharaan
1) Pemeliharaan Rutin:
i)
Pembersihan sampah di muka bangunan air
Keterangan:
Ps = Pembersihan sampah di muka bangunan air
n = jumlah bangunan yang berfungsi dalam satu skema(bh)
k = kapasitas (bh/hr)  (lihat tabel 9)
f
= frekuensi /thn
 (lihat tabel 6)
u = upah kerja/hari (Rp/hr)
53
JDIH Kementerian PUPR
ii) Pemotongan rumput di tanggul/berm :
Rumus tersebut berlaku pada tanggul pengaman, saluran
primer, sekunder, dan tersier
Keterangan
Pr = Pemotongan rumput
p = panjang tanggul (m)
l = lebar rata-rata tumbuhan rumput (m)
k = kapasitas (m2/hr)  (lihat tabel 9)
f = frekuensi /thn
 (lihat tabel 6)
u = upah kerja/hari (Rp/hr)
iii) Pembersihan saluran (tumbuhan air) :
Psal 
pl
 f u
k
................................................................(7)
Rumus tersebut berlaku pada saluran primer, sekunder, dan
tersier
Keterangan:
Psal = Pembersihan saluran
P
= panjang saluran (m)
l
= lebar rata-rata tumbuhan rumput (m)
k
= kapasitas (m2/hr)
 (lihat tabel 9)
f
= frekuensi/thn
 (lihat tabel 6)
u
= upah kerja/hari (Rp/hr)
iv) Pemeliharaan tanggul
Pt 
pl
 f u
k
...................................................................(8)
Rumus tersebut berlaku pada tanggul pengaman, saluran
primer, sekunder, dan tersier
Keterangan:
Pt
= Pemeliharaan tanggul
54
JDIH Kementerian PUPR
p
= panjang tanggul yang rusak (m)
l
= lebar rata-rata tanggul yang rusak (m)
k
= kapasitas (m2/hr)
 (lihat tabel 9)
f
= frekuensi/thn
 (lihat tabel 6)
u
= upah kerja/hari (Rp/hr)
v) Pemeliharaan bangunan air (pembersihan, pelumasan, dan
pengecatan)
Pb = (Hb + u) x n x f
.........................................................(9)
Rumus tersebut berlaku pada saluran primer, sekunder, dan
tersier
Keterangan:
Pb
=
Pemeliharaan bangunan air
n
=
jumlah bangunan air
Hb
=
biaya bahan/ bangunan
f
=
frekuensi
u
=
Upah/bangunan
 ( lihat tabel 6)
vi) Pemeliharaan jembatan dan dermaga (pengecatan dan perbaikan
ringan)
Pjd = (Hb + u) x n x f
........................................(10)
Rumus tersebut berlaku pada saluran primer, sekunder dan
terrier.
Keterangan:
Pjd
= Pemeliharaan jembatan dan dermaga (pengecatan dan
perbaikan ringan)
n
=
jumlah bangunan air
Hb
= biaya bahan/ jembatan, dermaga
f
= frekuensi
u
= Upah/ jembatan, dermaga
 ( lihat tabel 6)
55
JDIH Kementerian PUPR
vii) Pemeliharaan jalan:
Pj 
pl
 f u
k
...............................................................(11)
Rumus tersebut berlaku untuk jalan inspeksi dan jalan usaha
tani
Keterangan:
Pj
=
Pemeliharaan jalan
p
=
panjang jalan yang rusak (m)
l
=
lebar rata-rata jalan yang rusak (m)
k
=
kapasitas (m2/hr)
 (lihat tabel 9)
f
=
frekuensi/thn
 (lihat tabel 6)
u
=
upah kerja/hari (Rp/hr)
viii) Pemeliharaan Kantor dan Rumah Dinas (termasuk perbaikan
ringan)
PK = (Hb + u) x n x f
........................................................(12)
Keterangan
Pk
=
Pemeliharaan kantor dan rumah dinas
n
=
jumlah kantor dan rumah dinas
Hb
=
biaya bahan kantor dan rumah dinas
f
=
frekuensi/thn
u
=

(lihat tabel 6)
upah/ kantor dan rumah dinas
ix) Kalibrasi alat ukur (tergantung spesifikasi alat)
Ka = n x f x u
...................................................................(13)
Keterangan:
Ka
=
Kalibrasi alat ukur
n
=
jumlah alat ukur
f
=
frekuensi
u
=
upah/ alat ukur

(lihat tabel 6)
56
JDIH Kementerian PUPR
2) Pemeliharaan Berkala
i)
Pengerukan lumpur
Pl 
pl t
 f u
k
..........................................................(14)
Rumus tersebut berlaku untuk saluran primer, sekunder, dan
tersier
Keterangan:
p
=
panjang saluran (m)
l
=
lebar saluran (m)
t
=
tinggi endapan (m)
k
=
kapasitas (m3/hr)
f
=
frekuensi/thn
u
=
upah kerja/hari (Rp/hr)
 (lihat tabel 9)
 (lihat tabel 7)
ii) Perbaikan tanggul (longsor dan erosi)
 pl u

Ptb  
 Hb   f
k


.............................................(15)
Rumus tersebut berlaku pada tanggul pengaman, saluran
primer, sekunder, dan tersier
Keterangan:
Ptb
=
Perbaikan tanggul
p
=
panjang tanggul yang rusak (m)
l
=
lebar rata-rata tanggul yang rusak (m)
k
=
kapasitas (m2/hr)
 (lihat tabel 9)
f
=
frekuensi/thn
 (lihat tabel 7)
u
=
upah kerja/hari (Rp/hr)
57
JDIH Kementerian PUPR
iii) Perbaikan Bangunan air (penggantian yang rusak)
Pbb = (Hb + u) x n x f
........................................................(16)
Keterangan:
Pbb
=
Perbaikan bangunan air
n
=
jumlah bangunan air
Hb
=
biaya bahan/ bangunan air
f
=
frekuensi/thn
u
=
upah kerja/bangunan air
 (lihat tabel 7)
iv) Perbaikan Kantor dan Rumah Dinas (rehabilitasi)
PKb = (Hb + u) x n x f
..................................................(17)
Keterangan:
PKb
=
Perbaikan kantor dan rumah dinas
n
=
jumlah kantor dan rumah dinas
Hb
=
biaya bahan kantor dan rumah dinas
f
=
frekuensi
u
=
upah/bangunan
 (lihat Tabel 7)
v) Pengamanan Jaringan (patok batas jalur hijau dan sempadan,
papan larangan, portal, nomenklatur jaringan, patok km)
Pjar=((n1xHb1)+(n2xHb2)+(n3xHb3)+(n4xHb4)+(n5xHb5)+...)).(18)
Keterangan:
Pjar
= Pengamanan jaringan
n
= jumlah patok, portal, papan larangan, nomenklatur,
patok km
Hb
= biaya bahan dan upah pemasangan
58
JDIH Kementerian PUPR
3. Biaya O&P Keseluruhan
Biaya O&P secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
Total Biaya O&P = O + PR + PB
.........................................................(19)
Keterangan:
O
=
Operasi
PR
=
Pemeliharaan Rutin
PB
=
Pemeliharaan Berkala
MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
M. BASUKI HADIMULJONO
59
JDIH Kementerian PUPR
Download