TATA LAKSANA PASIEN CENTRAL NEUROGENIC DIABETES INSIPIDUS (CNDI) AKIBAT CEDERA OTAK TRAUMATIK Ni Putu Wardani*, I Ketut Sinardja**, I Wayan Aryabiantara** * Bagian Departement of Medical Education Prodi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ** Bagian Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah ABSTRAK Central Neurogenic Diabetes Insipidus (CNDI) merupakan efek sekunder cedera otak traumatik. Trauma mengakibatkan kerusakan bagian posterior kelenjar pituitari sehingga terjadi penurunan sekresi hormon anti diuretik yang berfungsi dalam keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Laki-laki, enam belas tahun, didiagnosa cedera kepala berat dengan perdarahan intrakranial. Pasien menjalani pembedahan trepanasi dan ealuasi klot. Pada hari ke delapan, pasien menunjukkan gejala poliuria, penurunan berat jenis urin, hiperosmolaritas serum, dan hipernatremia yang merupakan sindrom CNDI. Tata laksana meliputi pengawasan ketat asupan cairan dan produksi urin, hasil natrium plasma dan terapi cairan. Gejala berkurang dan kadar natrium menjadi normal setelah dua hari terapi. Vasopressin atau desmopressin tidak diberikan karena keterbatastidak ada persediaan obat pada saat itu. Pengenalan awal dan tata laksana CNDI pada pasien cedera otak traumatik penting untuk mencegah penurunan fungsi neurologi yang lebih berat. Pemantauan parameter fisiologis dan hasil laboratorium menjadi panduan bagi intensivis dalam menentukan apakah pengobatan berlangsung efektif atau tidak. Kata kunci: central neurogenic diabetes insipidus, cedera otak traumatik MANAGEMENT OF PATIENT WITH CENTRAL NEUROGENIC DIABETES INSIPIDUS (CNDI) DUE TO TRAUMATIC BRAIN INJURY (TBI) Ni Putu Wardani*, Made Wiryana**, Putu Pramana Suarjaya** * Departement of Medical Education, Medical Faculty of Udayana University ** Departement of Anesthesiology and Intensive Care, Medical Faculty of Udayana University/Sanglah Public Hospital ABSTRACT Central Neurogenic Diabetes Insipidus (CNDI) merupakan efek sekunder cedera otak traumatik. Trauma mengakibatkan kerusakan bagian posterior kelenjar pituitari sehingga terjadi penurunan sekresi hormon anti diuretik yang berfungsi dalam keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Laki-laki, enam belas tahun, didiagnosa cedera kepala berat dengan perdarahan intrakranial. Pasien menjalani pembedahan trepanasi dan ealuasi klot. Pada hari ke delapan, pasien menunjukkan gejala poliuria, penurunan berat jenis urin, hiperosmolaritas serum, dan hipernatremia yang merupakan sindrom CNDI. Tata laksana meliputi pengawasan ketat asupan cairan dan produksi urin, hasil natrium plasma dan terapi cairan. Gejala berkurang dan kadar natrium menjadi normal setelah dua hari terapi. Vasopressin atau desmopressin tidak diberikan karena keterbatastidak ada persediaan obat pada saat itu. Pengenalan awal dan tata laksana CNDI pada pasien cedera otak traumatik penting untuk mencegah penurunan fungsi neurologi yang lebih berat. Pemantauan parameter fisiologis dan hasil laboratorium menjadi panduan bagi intensivis dalam menentukan apakah pengobatan berlangsung efektif atau tidak. Keywords : central neurogenic diabetes insipidus, traumatic brain injury PENDAHULUAN Cedera otak traumatik pada orang dewasa hingga saat ini merupakan penyebab utama dari kematian dan disabilitas di berbagai negara.1 Meskipun anak dengan usia lebih muda (usia 0-4 tahun) dan remaja (usia 15-19 tahun) memiliki risiko paling tinggi terhadap trauma, akan tetapi geriatri (usia ≥75 tahun) juga memiliki angka kejadian masuk rumah sakit yang cukup tinggi terkait cedera otak traumatik dan mortalitas. Pasien yang selamat dari cedera tahap awal memiliki kemungkinan untuk mengalami komplikasi sekunder yang dapat mengakibatkan disabilitas permanen.2 Salah satu komplikasi sekunder yang dapat diobservasi setelah kejadian cedera otak traumatik adalah Central Neurogenic Diabetes Insipidus (CNDI).1 Central Neurogenic Diabetes Insipidus terkait dengan cedera otak traumatik pertama kali dilaporkan pada tahun 1921 dan laporan serial kasus dipublikasikan pada tahun 1970.3 Pada pasien trauma, CNDI biasanya dikarenakan kerusakan pada bagian posterior dari kelenjar pituitari di mana hormon anti diuretik disimpan dan disekresikan, dan mengenai hampir 16% dari seluruh pasien cedera otak.4,5 Central Neurogenic Diabetes Insipidus dikarakterisasikan sebagai peningkatan abnormal dari pengeluaran urin, peningkatan pengambilan cairan akibat penurunan sekresi hormon anti diuretik, sehingga terjadi eliminasi dari cairan ekstraseluler. Apabila kekurangan hormon ini tidak dikoreksi pada pasien dengan cedera otak traumatik, CNDI mengakibatkan dehidrasi berat dan perburukan keseimbangan elektrolit. Oleh karenanya, tata laksana CNDI penting untuk mencegah perburukan kondisi neurologi akhir pada pasien dengan cedera kepala.1 Pada laporan ini, penulis menampilkan sebuah kasus CNDI akibat cedera otak traumatik dan sebuah tinjauan mengenai penatalaksanaannya di ruang ICU berdasarkan literatur medis. LAPORAN KASUS Laki-laki, enam belas tahun, didiagnosis dengan cedera kepala berat (GCS E1VxM1), hematoma subdural bifrontal, pendarahan intrakranial frontobasal, pendarahan subarakhnoid dan fraktur maksilofasial. Pasien menjalani trepanasi dan evakuasi bekuan darah selama 5 jam di ruang operasii gawat darurat. Pasca-operasi, pasien dipindahkan ke ruang ICU dengan ventilasi terkontrol. Selama penanganan di ruang ICU, hemodinamik pasien stabil. Terapi diberikan oleh intensivis dan ahli bedah saraf berdasarkan kondisi pasien. Pada hari ke delapan terapi, pasien menunjukkan gejala CNDI. Terdapat tandatanda poliuria (produksi urin > 250 mL/h) dengan hasil laboratorium gravitasi spesifik urin sebesar 1,000 (nilai normal 1,005-1,030), peningkatan osmolaritas serum (318 mOsm/kg), peningkatan kadar serum natrium (nilai mencapai 160 mEq/L). Fluktuasi natrium dan urine output selama di ICU disajikan dalam bentuk diagram pada Tabel 1. 300 250 200 150 100 50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Natrium (mmol/L) 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Urine output (ml/h) Tabel 1. Fluktuasi Natrium dan Urine Output Tata laksana meliputi pengawasan ketat terhadap asupan cairan per hari dan produksi urin harian demikian juga dengan hasil uji laboratorium terhadap natrium plasma dan mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Penggantian cairan tubuh yang hilang dilakukan dengan cairan hipotonik (ringer laktat) yang dititrasi per jam. Natrium serum berfluktuasi dari 143 mEq/L hingga 160 mEq/L. Produksi urin berfluktuasi dari 2 ml/kgBB/jam hingga 5 ml/kgBB/jam. Setelah dua hari terapi, gejala poliuria berkurang (produksi urin 1,5 ml/kgBB/jam) dan kadar natrium menjadi normal (143 mEq/L). Vasopresin atau desmopresin tidak diberikan karena tidak ada persediaan obat pada saat itu. Gambar 2. CT Scan sebelum dan sesudah operasi Pada hari ke 16 perawatan di ICU, pasien dipindahkan ke ruangan dengan GCS 2 x 4 (terpasang kanul trachea), hemodinamik stabil. DISKUSI Central Neurogenic Diabetes Insipidus merupakan salah satu dari komplikasi sekunder akibat cedera otak traumatik yang mengakibatkan gangguan cairan dan elektrolit. Pengenalan awal terhadap sindrom ini sangat penting pada pasien dengan cedera otak traumatik untuk mencegah penurunan fungsi neurologi yang lebih berat. Meskipun sebanyak 10% kematian karena cedera otak traumatik merupakan akibat dari cedera primer, namun pada kebanyakan pasien morbiditas dan mortilitas lebih merupakan akibat dari cedera sekunder.1 Cedera primer merupakan kerusakan yang disebabkan oleh trauma awal. Kerusakan yang terjadi pada cedera primer segera tergantikan oleh cedera sekunder. Cedera sekunder, yang berlangsung dalam hitungan detik, menit, dan jam atau bahkan berharihari setelah proses biokimia yang terjadi pada tingkat seluler saat neuron mengalami kerusakan. Hipotensi, hipoksia, udem serebral, dan ketidakseimbangan elektrolit disebabkan oleh serangkaian proses iskemik pada tingkat sel yang semakin memperburuk kondisi neurologi dan secara nyata berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas.6 Sebagai tambahan terhadap proses pada tingkat sel, cedera pada kelenjar hipotalamus dan pituitari berasal dari tekanan yang diteruskan pada kepala, bersamaan dengan udem serebral, sering berakibat pada gangguan cairan dan elektrolit yang sangat berat berefek pada morbiditas dan mortalitas pada pasien cedera otak traumatik.4 Kelenjar pituitari dan hipotalamus sangat rentan terhadap trauma.7 Sistem hipotalamus-neurohipofise merupakan sistem yang meregulasi keseimbangan cairan tubuh. Nukleus yang berlokasi di hipotalamus memproduksi hormon anti-diuretik, yang mempengaruhi keseimbangan cairan dengan cara meningkatkan reabsorpsi air di tubulus kontortus distal dan duktus kolektivus di ginjal, bersama-sama dengan protein pembawa yaitu neurofisin. Fungsi dari hormon anti-diuretik berfungsi untuk menjaga volume darah sirkulasi dan osmolalitas plasma.8,9 Central Neurogenic Diabetes Insipidus biasanya terjadi 5 hingga 10 hari setelah trauma dalam 3 fase. Fase pertama terdiri atas poliuria karena inhibisi hormon antidiuretik yang berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari. Fase kedua (5-6 hari) dengan karakteristik produksi urin yang mendekati normal karena pelepasan simpanan hormon anti-diuretik. Pada fase ketiga terjadi produksi urin berlebih yang bersifat transien atau permanen sebagai akibat dari menipisnya simpanan hormon anti-diuretik atau hilangnya fungsi sel yang memproduksi hormon tersebut.7,9 Diagnosis CNDI pada pasien dengan cedera otak traumatik didasarkan pada tanda dan gejala klinis serta hasil laboratorium, secara khusus poliuria, gravitasi spesifik urin yang rendah, rendahnya osmolaritas urin, hipernatremia, dan peningkatan osmolaltias serum.7,9 Tujuan manajemen CNDI adalah untuk mengoreksi defisiensi hormon anti- diuretik dan mengembalikan keseimbangan cairan dengan memperbaki reabsorpsi natrium dan cairan.10 Perawatan pasien yang berada dalam CNDI fase akut membutuhkan pemantauan pada beberapa parameter. Dalam fase akut CNDI, produksi urin sangat banyak, lebih dari 250 hingga 800 ml/jam (3-20 liter/hari). Pada pasien ini, produksi urin sebanyak 350 ml/jam dengan penurunan gravitasi spesifik urin (1,000). Gravitasi spesifik urin yang rendah (<1,005) menunjukkan bahwa ginjal tidak memekatkan urin. Kateter urin menetap diperlukan dalam memantau protein urin secara akurat karena biasanya tingkat kesadaran terganggu pada pasien dengan cedera otak traumatik. Pada fase ini, hormon anti diuretik eksogen diberikan, dan kebutuhan cairan diseimbangkan dengan jumlah produksi urin baik pemberian cairan secara oral maupun intravena. Larutan hipotonis intravena yang paling sering digunakan untuk mengganti kehilangan cairan adalah salin 0,45% yang dititrasi setiap jam untuk mengganti produksi urin.8 Dalam kasus ini, kami menggunakan ringer laktat. Ringer laktat merupakan salah satu larutan hipotonis intravena yang dapat digunakan untuk mengganti produksi urin pada pasien dengan CNDI. Formula berikut dapat digunakan untuk menghitung defisit cairan tubuh :8 Defisit cairan tubuh (L) = (0.6 [kg]) × (natrium plasma - 140) ÷ 140 Sebagai contoh, pada pasien dengan kadar natrium serum sebesar 150 mEq/L dengan berat badan 70 kg mengalami defisit cairan sebanyak 3 liter: (0.6 [70] × (150 - 140) ÷ 140 = 3 liter. Hasil defisit cairan tubuh dapat digunakan untuk menghitung volume cairan pengganti yang dibutuhkan untuk mengembalikan stabilitas hemodinamik pada pasien yang kondisinya tidak stabil.8 Kadar osmolalitas serum dan elektrolit, khususnya kadar natrium dan kalium, diukur per hari dengan tanda berupa peningkatan kadar natrium serum (normal 135 145 mEq/L) dan meningkatnya osmolalitas serum (normal 285 – 295 mmol/L).8 Pada kasus ini, pemantauan sangat diperlukan dan tren menjadi penting. Central Neurogenic Diabetes Insipidus dari hipopituitari pasca-trauma tercatat sebagai kontributor potensial pada morbiditas dan mortalitas. Jika kekurangan hormon anti-diuretik tidak terkoreksi, dapat berakibat pada dehidrasi berat dan keseimbangan elektrolit yang memburuk.1 Hormon anti diuretik eksogen, baik desmopresin, vasopresin, atau lipresin, dapat diberikan. Desmopresin dapat diberikan melalui hidung 2 hingga 5 μg/hari dalam dosis terbagi atau secara parenteral 5 sampai 40 μg/hari dalam dosis harian terbagi. Vasopresin (aqueous Pitressin) dapat diberikan secara intravena 0.5 sampai 2 unit setiap 3 jam untuk pasien dengan produksi urin lebih dari 300 mL/jam selama 2 jam berturut-turut.8, 9 Infus vasopresin dapat diberikan, mulai pada dosis 0.2 unit/menit dan dititrasi sampai dosis maksimum sebesar 0.9 unit/menit. Dosis lipresin sebesar 5 sampai 20 unit, 3 hingga 7 kali per hari melalui hidung.9,11 RINGKASAN Perawatan pasien dengan masalah neurologis kompleks, khususnya pasien dengan cedera otak traumatik dan ketidakseimbangan elektrolit, bersifat menantang. Pengertian dan pengenalan terhadap tanda dan gejala CNDI menjadi panduan bagi seorang intesivis dalam mengambil tindakan yang tepat untuk menghindari perburukan kondisi pasien. Simpulannya, CNDI merupakan suatu hipernatremia yang dikarakteristikan dengan peningkatan kadar natrium dan osmolalitas serum, namun dengan gravitasi spesifik urin yang rendah. Pasien memiliki volume produksi urin yang besar. Pengobatan berupa penggantian volume cairan baik secara oral maupun intravena atau pengobatan dengan hormon anti duretik. Keduanya, baik natrium dan cairan harus diganti untuk memperbaiki ketidakseimbangannya. Pemantauan pasien untuk tren dan status neurologi, hasil labortaorium, dan parameter fisiologis menjadi panduan bagi intensivis dalam menentukan apakah pengobatan berlangsung efektif atau tidak. DAFTAR PUSTAKA 1. Faul M, Xu L, Wald MM, Coronado VG. Traumatic Brain Injury in the United States: Emergency Department Visits, Hospitalization and Deaths 2002-2006. Atlanta: CDC, National Center for Injury Prevention and Control; 2010.h.4-7. 2. John CA, Day MW. Central Neurogenic Diabetes Insipidus, Syndrome of Inappropiate Secretion of Antidiuretic Hormone, and Cerebral Salt-Wasting Syndrome in Traumatic Brain Injury. Critical Care Nurse; 2012;32:1-8. 3. Chou YC, Wang TY, Chou LW. Diabetes Insipidus and Traumatic Brain Injury. Dalam: Kamoi K, penyunting. Diabetes Insipidus. Shanghai: InTech; 2011. h. 11-22. 4. Boughey J, Yost M, Bynoe R. Diabetes insipidus in the head-injured patient. Am Surg. 2004;70:500-3. 5. Hadjizacharia P, Beale EO, Inaba K, Chan LS, Demetriades D. Acute Diabetes Insipidus in Severe Head Injury: A Prospective Study. J Am Coll Surg. 2008;207(4):477-84. 6. Agrawal A, Reddy PA, Prasad NR. Endocrine Manifestations of Traumatic Brain injury. The Indian Journal of Neurotrauma. 2012;9:123-8. 7. Bondanelli M, Ambrosio MR, Zatelli MC, Marinis LD, Uberti EC. Hypopituitarism after Traumatic Brain Injury. European Journal of Endocrinology. 2005;152:679-91. 8. Stutz HR, Charchaflieh J. Postoperative and Intesive Care Including Head Injury and Multisystem Sequelae. Dalam: Cottrell JE, Young WL, penyunting. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010. h. 406-7. 9. Shapiro M, Weiss JP. Diabetes Insipidus: A Review. J Diabetes Metab. 2012;8:1-11. 10. Makaryus AN, McFarlane, SI. Diabetes insipidus: Diagnosis and treatment of a complex disease. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2006;73(1):65-71. 11. Carr C. Diabetes insipidus and other polyuric syndromes. Dalam: Bersten AD, Soni N, penyunting. Oh’s Intensive Care Manual. Edisi ke-6. Philadephia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009. h. 621-36