TATANIAGA RUMPUT LAUT DI DESA KUTUH DAN KELURAHAN BENOA, KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG, PROVINSI BALI SKRIPSI NI PUTU AYUNING WULAN PRADNYANI MAHAYANA H34080004 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 RINGKASAN NI PUTU AYUNING WULAN PRADNYANI MAHAYANA. Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RATNA WINANDI) Rumput laut merupakan salah satu komoditi subsesktor budidaya laut yang mendukung upaya kebijakan industrialisasi perikanan yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Rumput laut menjadi komoditi unggulan dengan total produksi terbesar dengan total produksi mencapai 3,3 juta ton pada tahun 2010. Selain itu, rumput laut juga merupakan komoditi ekspor yang memiliki volume dan nilai ekspor yang meningkat setiap tahunnya pada tahun 2006 – 2010. Bali merupakan salah satu provinsi penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Salah satu sentra pembudidayaan rumput laut di Provinsi Bali adalah Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Berdasarkan data mengenai pendekatan nilai ekspor dan nilai produksi rumput laut diketahui terdapat marjin dalam penetapan harga rumput laut ekspor di Indonesia serta terdapat data mengenai adanya fluktuasi harga di tingkat petani. Oleh karena itu dinilai perlu untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pemasaran rumput laut melalui pendekatan analisis tataniaga. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui serta menganalisis pelaksanaan si.stem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, (2) mengkaji peranan kelompok tani dalam tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, (3) menganalisis efisiensi sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali selama bulan Februari hingga Maret 2012. Responden penelitian terdiri dari petani responden yang berjumlah 35 orang dan lima orang lembaga tataniaga. Penarikan responden petani dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling sedangkan responden lembaga tataniaga dilakukan dengan metode snowball sampling. Responden lembaga tataniaga merupakan lembaga yang menjadi tujuan pemasaran responden petani pada periode penjualan sesuai dengan waktu penelitian ini dilakukan. Analisis data pada penelitian ini terdiri dari pendekatan analisis saluran dan lembaga tataniaga, analisis fungsi tataniaga, analisis struktur pasar dan analisis perilaku pasar yang dianalisis secara deskriptif. Selain itu juga dilakukan analisis kuantitatif melalui pendekatan nilai marjin tataniaga, farmer’s share, analisis rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga dan analisis efisiensi tataniaga. Sistem tataniaga rumput laut pada penelitian ini membentuk tiga pola saluran tataniaga yang melibatkan petani, kelompok tani, pedagang pengumpul, agen perantara dan eksportir. Pengelolaan aktivitas tataniaga di tingkat petani dikelola secara individu dan melibatkan peranan kelompok tani. Saluran tataniaga I melibatkan kelompok tani, agen perantara dan eksportir (Surabaya). Saluran tataniaga II melibatkan petani, pedagang pengumpul A dan eksportir (Bali). Saluran III melibatkan petani, pedagang pengumpul B dan eksportir (Bali). Setiap lembaga tataniaga menjalankan fungsi tataniaga masing – masing sebagai upaya pemberian nilai tambah pada rumput laut yang dihasilkan. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani rumput laut cenderung berhadapan dengan struktur pasar bersaing. Jumlah petani cenderung lebih banyak dibandingkan lembaga tataniaga yang berperan sebagai pembeli. Produk yang dihasilkan cenderung homogen yaitu berupa rumput laut kering yang terstandarisasi. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul rumput laut dan agen perantara cenderung pada struktur pasar tidak bersaing baik dari sisi sebagai penjual maupun pembeli. Pedagang pengumpul di Kecamatan Kuta Selatan tidak berjumlah banyak. Berdasarkan fakta yang terlihat di lapangan, terdapat perbedaan penetapan harga jual di masing – masing pedagang pengumpul. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kekuatan diantara pedagang pengumpul. Sementara itu pihak eksportir cenderung menghadapi struktur pasar bersaing dilihat dari sisi eksportir sebagai penjual karena adanya persaingan antar eksportir yang cukup ketat misalnya saja dengan sesama eksportir yang berasal dari wilayah Surabaya serta adanya kepatuhan terhadap standarisasi yang telah ditetapkan terhadap rumput laut yang akan diekspor sedangkan jika dilihat dari sisi eksportir sebagai pembeli maka struktur pasar yang dihadapi cenderung struktur pasar tidak bersaing. Sedangkan pada perhitungan pangsa pasar rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan diperoleh nilai pangsa pasar sebesar 20,9 persen pada tahun 2009 dan 21,88 persen pada tahun 2010 karena nilai berada pada kisaran 20 – 50 persen maka nilai tersebut menunjukkan bahwa tataniaga rumput laut yang dihasilkan di wilayah Kecamatan Kuta Selatan cenderung menghadapi struktur pasar oligopoli ketat. Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa dalam tataniaga rumput laut dalam penelitian ini aktivitas penjualan dan pembelian dilakukan secara bebas dan tidak ada kontrak khusus yang mengikat masing – masing lembaga tataniaga yang terlibat. Pada proses penetapan harga secara umum lembaga tataniaga yang memiliki kedudukan lebih tinggi cenderung memiliki kekuatan dalam penentuan harga. Sistem pembayaran yang berlaku terdiri atas beberapa macam yaitu pembayaran melalui sistem tunai, transfer dan pembayaran kemudian. Penelitian ini terdiri dari dua analisis kuantitatif yaitu analisis terhadap kondisi riil di lapangan serta analisis terhadap skenario. Skenario dilakukan karena adanya dugaan perbedaan kualitas standar kadar air rumput laut pada saluran I dengan saluran II dan III. Skenario dilakukan dengan melakukan penyetaraan standar kualitas rumput laut pada kadar air sebesar 35 persen. Hasil analisis marjin baik analisis terhadap kondisi riil di lapangan maupun analisis terhadap skenario yang dilakukan menunjukkan bahwa saluran I memiliki nilai marjin tataniaga terkecil yaitu sebesar Rp 1.333,00 per kilogram rumput laut kering. Pada analisis farmer’s share juga menunjukkan bahwa saluran I memiliki nilai farmer’s share tertinggi yaitu sebesar 88,23 persen. Analisis rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga menunjukkan bahwa saluran I relatif lebih efisien sebagai alternatif saluran tataniaga rumput laut. Saluran I memang bukan saluran dengan nilai rasio tertinggi, namun pada saluran ini mampu menghasilkan biaya terendah sementara mampu menghasilkan rumput laut dengan standar kualitas yang telah ditentukan yaitu sebesar 35 persen dan hal ini dinilai mampu memenuhi permintaan eksportir sebagai konsumen akhir dalam sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas kadar air pada rumput laut mampu meningkatkan efisiensi pelaksanaan sistem tataniaga khususnya di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa. TATANIAGA RUMPUT LAUT DI DESA KUTUH DAN KELURAHAN BENOA, KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG, PROVINSI BALI NI PUTU AYUNING WULAN PRADNYANI MAHAYANA H34080004 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Judul Skripsi : Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali Nama : Ni Putu Ayuning Wulan Pradnyani Mahayana NIM : H34080004 Disetujui, Pembimbing Dr. Ir. Ratna Winandi, MS NIP. 19530718 197803 2 001 Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002 Tanggal Lulus : PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juni 2012 Ni Putu Ayuning Wulan P.M H34080004 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 4 April 1990. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak I Ketut Mahayana dan Ibunda Ni Made Suartini. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 17 Pagi Cempaka Putih Barat, Jakarta pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SLTPN 2 Mataram. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 5 Denpasar diselesaikan pada tahun 2008. Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma IPB (KMHD – IPB) pada Divisi Humas periode 2008 – 2009 dan sebagai Bendahara Umum I pada periode 2009 – 2010. Selain itu penulis juga tercatat sebagai Bendahara Umum I Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) periode 2011. KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Rumput laut merupakan komoditi budidaya laut dengan total produksi terbesar di Indonesia. Komoditi ini juga merupakan komoditi tujuan ekspor dengan volume dan nilai ekspor yang mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir. Adanya perbedaan harga rumput laut di tingkat petani dengan rumput laut di tingkat pasar ekspor mengindikasikan adanya marjin tataniaga dalam kegiatan ekspor rumput laut. Hal ini yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali mengingat Bali merupakan salah satu provinsi penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan sistem tataniaga khususnya pada komoditi rumput laut, mengkaji peranan kelompok tani dalam sistem tataniaga rumput laut serta menganalisis efisiensi sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai pentingnya penetapan standarisasi kualitas rumput laut khususnya syarat kadar air yang dapat mempengaruhi efisiensi tataniaga. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi institusi serta pihak – pihak yang terkait dengan pengembangan agribisnis khususnya pada sektor perikanan dan kelautan. Bogor, Juni 2012 Ni Putu Ayuning Wulan P.M UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan karena berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis bermaksud untuk menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar – besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, pengarahan serta motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. 2. Dr. Amzul Rifin, SP.MA selaku dosen penguji utama yang telah bersedia meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran untuk perbaikan penulisan skripsi ini. 3. Etriya, SP.MM selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah bersedia meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran untuk perbaikan penulisan skripsi ini. 4. Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec yang telah menjadi dosen pembimbing akademik dan seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor terima kasih atas segala bimbingan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama menjalani kegiatan perkuliahan. 5. Ayahanda I Ketut Mahayana, SE.MM, Ibunda Ni Made Suartini, SE serta adik tercinta I Made Pradityarjuna M.M, terima kasih atas segala cinta kasih, doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama menjalani kuliah terutama saat melakukan penyusunan skripsi ini. 6. Keluarga besar Kakek I Gde Tjitra dan I Made Kondra terima kasih atas segala doa dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis. 7. Keluarga KMHD – IPB (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Institut Pertanian Bogor) khususnya untuk seluruh anggota KMHD – IPB angkatan 45 : Joni, Mita, Yudha, Putri, Wira, Mayun, Kartika, Dia, Sindra, Keswari, Debby, Sri, Yoga, Dewa, Kadek dan teman – teman angkatan 45 lainnya terima kasih atas semangat dan dukungan yang diberikan kepada penulis baik dalam kegiatan perkuliahan hingga penulisan skripsi serta dalam kegiatan kampus lainnya. 8. Sahabat terbaik Rizki Amelia, Fawzia Defrida S. dan Liska Andrini Tatilu yang selalu menemani setiap hari di bangku kuliah dan selalu memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 9. Sahabat seperjuangan dalam penyusunan tugas akhir Herawati, Arini Prihatin, dan Akbar Zaenal Mutaqin terima kasih atas semangat dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 10. Sahabat Agribisnis 45 : Syajaroh Duri, Andi Facino, Rendi Seftian, Syifa Maulia, Amelia, Emil Fatmala, Anggarini Dianing Safitri, Steffi Fikri, Shafiatul Ghina, Ratih Kusuma Ningrum, Risty Puspitasari, Rara June Azni, Gebry Ayu Diwandani, Ervan Fahreza, Andika Yuli Sutrisno, Diki More Sari, Haris Fatori A, Muhammad Fikri, Dedy Iskandar M, Mizani Adlina P, Tim Gladikarya Desa Pasir Langu (Rizky Ilham, Nursahaldin Sam, Farisah Firas, Dian Puspitasari dan Yuki Masiliana) serta seluruh sahabat di Departemen Agribisnis Angkatan 45 terima kasih atas semangat dan bantuan yang diberikan selama kegiatan pekuliahan, penelitian hingga penulisan skripsi. 11. Sahabat dan keluarga pengurus HIPMA – IPB periode 2011 terima kasih atas semangat yang diberikan kepada penulis dalam aktivitas perkuliahan hingga penulisan skripsi ini. 12. Sahabat Gian Nubekti, Dea Amanda, Finata Rastic Andrari, dan Rani Parawitasari Den Ka’a terima kasih atas semangat dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis dalam masa perkuliahan dan penulisan skripsi. 13. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. yang telah memberikan beasiswa melalui program Early Recruitment Program (ERP) BNI. 14. Keluarga Bapak dan Ibu Kamir Brata terima kasih atas segala doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 15. Bapak I Nyoman Yasa selaku Ketua Kelompok Tani Segara Amerta yang telah membimbing penulis dalam melakukan kegiatan penelitian. 16. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Bogor, Juni 2012 Ni Putu Ayuning Wulan P.M DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ....................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................... v I. PENDAHULUAN ................................................................ 1.1 Latar Belakang .............................................................. 1.2 Perumusan Masalah ...................................................... 1.3 Tujuan Penelitian .......................................................... 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ............................................. 1 1 7 11 11 II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 2.1 Rumput Laut .................................................................. 2.2 Hasil Penelitian Terdahulu tentang Tataniaga .............. 2.3 Kajian mengenai Konsep dan Penentuan Efisiensi Tataniaga ....................................................................... 2.4 Hasil Penelitian Terdahulu tentang Rumput Laut ......... 2.5 Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu ..................... 12 12 14 14 17 18 III. KERANGKA PEMIKIRAN .................................................. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................ 3.1.1 Sistem Tataniaga ............................................... 3.1.2 Fungsi Tataniaga … .......................................... 3.1.3 Lembaga dan Saluran Tataniaga ....................... 3.1.4 Struktur Pasar … ............................................... 3.1.5 Perilaku Pasar .................................................... 3.1.6 Farmer’s Share …............................................. 3.1.7 Marjin Tataniaga ............................................... 3.1.8 Rasio Keuntungan dan Biaya ............................ 3.1.9 Efisiensi Tataniaga… ........................................ 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional.................................. 20 20 20 23 26 29 31 31 32 35 36 37 IV. METODE PENELITIAN........................................................ 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian......................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data .................................................. 4.3 Metode Pengumpulan Data ........................................... 4.4 Metode Analisis Data .................................................... 4.4.1 Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga ......... 4.4.2 Analisis Fungsi Tataniaga ................................. 4.4.3 Analisis Struktur Pasar ...................................... 4.4.4 Analisis Perilaku Pasar ...................................... 4.4.5 Analisis Efisiensi Tataniaga .............................. 4.4.5.1 Analisis Marjin Tataniaga ..................... 4.4.5.2 Analisis Farmer’s Share ....................... 4.4.5.3 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya .. 40 40 40 40 42 42 43 43 44 44 45 46 47 i V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ........................ 5.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian ............................... 5.1.1 Keadaan Umum Kecamatan Kuta Selatan ........ 5.1.2 Keadaan Umum Desa Kutuh ............................. 5.1.3 Keadaan Umum Kelurahan Benoa .................... 5.2 Karakteristik Petani Responden .................................... 5.3 Karakteristik Responden Lembaga Tataniaga............... 5.4 Kelompok Tani .............................................................. 5.5 Gambaran Umum Budidaya Rumput Laut.................... 5.5.1 Pemilihan Lokasi ............................................... 5.5.2 Pembibitan ......................................................... 5.5.3 Metode Lepas Dasar .......................................... 5.5.4 Budidaya Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa ............................................... 48 48 48 50 51 51 54 56 57 57 60 61 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................. 6.1 Sistem Tataniaga ........................................................... 6.2 Saluran Tataniaga .......................................................... 6.2.1 Saluran Tataniaga I ............................................ 6.2.2 Saluran Tataniaga II .......................................... 6.2.3 Saluran Tataniaga III ......................................... 6.3 Fungsi Tataniaga pada Setiap Lembaga Pemasaran ...... 6.3.1 Petani ................................................................. 6.3.2 Pedagang Pengumpul ........................................ 6.3.3 Agen Perantara .................................................. 6.3.4 Eksportir ............................................................ 6.4 Analisis Struktur Pasar ................................................... 6.4.1 Jumlah Pembeli dan Penjual dalam Tataniaga Rumput Laut ...................................................... 6.4.2 Jenis dan Sifat Rumput Laut ............................. 6.4.3 Hambatan Keluar dan Masuk Pasar .................. 6.4.4 Informasi Pasar .................................................. 6.5 Analisis Perilaku Pasar ................................................... 6.5.1 Praktik Penjualan dan Pembelian ...................... 6.5.2 Sistem Penentuan Harga .................................... 6.5.3 Sistem Pembayaran ........................................... 6.5.4 Kerjasama antar Lembaga Tataniaga ................ 6.6 Analisis Marjin Tataniaga ............................................. 6.7 Analisis Farmer’s Share ............................................... 6.8 Rasio Keuntungan dan Biaya ........................................ 6.9 Efisiensi Tataniaga ........................................................ 64 64 66 66 70 71 72 74 77 79 80 82 VII. 62 82 84 85 87 90 91 91 92 93 94 99 101 104 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................... 7.1 Kesimpulan.................................................................... 7.2 Saran .............................................................................. 106 106 108 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 110 LAMPIRAN ..................................................................................... 113 ii DAFTAR TABEL Nomor 1. Halaman Produksi Perikanan Budidaya Laut Indonesia Tahun 2006 - 2010.................................................................................... 2 Perkembangan Ekspor Rumput Laut di Indonesia Tahun 2006 - 2010 .......................................................................... 2 3. Peluang Pasar Perdagangan Rumput Laut ........................... 3 4. Produksi Rumput Laut menurut Provinsi Utama Tahun 2004 - 2008........................................................................... 4 Total Produksi Rumput Laut di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2008 - 2010 ......................................... 5 Perkembangan Total dan Nilai Rumput Laut di Kabupaten Badung Tahun 2006 - 2010 .................................................. 6 7. Standar Nasional Rumput Laut Indonesia ............................ 14 8. Struktur Pasar pada Sistem Pangan dan Serat ...................... 30 9. Produktivitas Hasil Perikanan di Kecamatan Kuta Selatan Tahun 2011 ........................................................................... 49 10. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Kuta Selatan........ 50 11. Karakteristik Responden Petani Rumput Laut Di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. ....................................... 52 12. Karakteristik Individu dari Responden Lembaga Tataniaga Rumput Laut di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan ...................................................... 55 13. Perhitungan Marjin Tataniaga setelah Peningkatan Kualitas Rumput Laut Kering............................................................. 98 14. Farmer’s Share setelah Peningkatan Kualitas Rumput Laut Kering. .................................................................................. 100 15. Rasio Keuntungan dan Biaya setelah Peningkatan Kualitas Rumput Laut ......................................................................... 103 16. Nilai Efisiensi Pemasaran pada masing – masing Pola Saluran Tataniaga Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan .................................................................................. 105 2. 5. 6. iii DAFTAR GAMBAR Nomor 1. Halaman Tingkat Harga Rumput Laut di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali ......................................................................... 8 Perkembangan Harga Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan Tahun 2009 – 2010 .................................................. 9 3. Kurva Pembentukan Marjin Tataniaga ................................ 33 4. Kerangka Pemikiran Operasional......................................... 39 5. Skema Sistem Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan ........................ 64 2. iv DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. Halaman Petani Responden di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Tahun 2012 ..................................... 113 Data Jumlah dan Nilai Produksi Rumput Laut berdasarkan Kabupaten/Kota Penghasil Utama di Provinsi Bali 2008 2010 ...................................................................................... 116 3. Perkembangan Produksi Rumput Laut di Provinsi Bali....... 117 4. Perkembangan Produksi Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan .................................................................................. 118 Fungsi – Fungsi Tataniaga Yang Dilaksanakan Oleh Lembaga – Lembaga Yang Terlibat dalam Tataniaga Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan ............................ 119 Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga I ..................... 120 Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga II .................... 121 Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga III ................... 122 Analisis Marjin Tataniaga Rumput Laut Saluran I, II dan III di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali .......................... 123 2. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Farmer’s Share pada Saluran Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali .......................... 124 11. Rasio Keuntungan terhadap Biaya pada Saluran Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali ....................................................................................... 124 12. Perhitungan Harga, Marjin, Biaya dan Keuntungan dalam Upaya Peningkatan Kualitas Rumput Laut .......................... 125 13. Dokumentasi Penelitian........................................................ 130 v I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 6,5 persen pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2010. PDB merupakan salah satu hal yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu negara pada periode waktu tertentu. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang memiliki kontribusi dalam perekonomian nasional. Hal tersebut disampaikan melalui laporan dari Badan Pusat Statistika. Berdasarkan laporan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan disebutkan bahwa laju pertumbuhan produksi perikanan nasional sejak tahun 2006 – 2010 mencapai 9,68 persen per tahun dengan kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 3,14 persen atau sekitar Rp 148,16 triliun. Pada subsektor perikanan budidaya terjadi pertumbuhan sebesar 19,56 persen sementara pada perikanan tangkap hanya sebesar 2,78 persen. Hal tersebut menunjukkan adanya potensi untuk mengembangkan sektor perikanan khususnya pada subsektor perikanan budidaya. Perikanan budidaya merupakan salah satu sektor primadona di hulu dalam penyediaan bahan baku. Saat ini subsektor perikanan budidaya telah menetapkan empat komoditas utama dalam mendukung kebijakan industrialisasi perikanan, yaitu udang, rumput laut, bandeng dan patin. Indonesia memiliki potensi perikanan budidaya dengan luas lahan mencapai lebih dari 15,59 juta ha. Potensi perikanan budidaya ini terbagi menjadi potensi perikanan budidaya air tawar seluas 2,23 juta ha, budidaya air payau seluas 1,22 juta ha dan potensi terbesar pada budidaya laut yang mencapai 12,14 juta ha. Sampai dengan tahun 2010, pemanfaatan lahan budidaya laut baru mencapai 117.649 ha atau hanya sekitar 0,01 persen dari potensi yang ada. Berdasarkan data produksi perikanan budidaya laut pada Tabel 1, menujukkan dalam waktu lima tahun terakhir produksi rumput laut tetap menjadi komoditi unggulan pada subsektor perikanan budidaya laut. Komoditi rumput laut merupakan komoditi dengan total produksi terbesar diantara komoditi perikanan budidaya laut utama yang ada di perairan Indonesia. 1 Tabel 1. Produksi Perikanan Budidaya Laut Indonesia Tahun 2006 – 2010 (Ton) Tahun Komoditi 2006 2007 2008 2009 2010 Kerapu 3.132 6.370 4.768 7.648 7.657 Kakap 630 523 707 2.399 2.311 Udang Barong 558 - 292 339 311 18.1895 15.623 19.662 15.857 58.079 736 94 278,8 629 475,7 1.341.141 1.485.654 1.937.591 2.791.688 3.299.436 - - Kerang Teripang Rumput Laut Bandeng 469 99 311 Sumber : Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2010 (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011) Rumput laut adalah salah satu komoditi strategis kelautan dalam negeri. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011, volume produksi rumput laut Indonesia mengalami peningkatan dari produksi pada tahun 2009 sebesar 2.791.688 meningkat menjadi 3.299.436 pada tahun 2010. Nilai ekspor komoditas rumput laut pada tahun 2010 naik 54,87 persen menjadi US$ 135 juta dibanding tahun 2009 yang hanya mencapai US$ 87,77 juta. Volume ekspor rumput laut juga naik dari 94.003 ton pada tahun 2009 menjadi 123.074 ton pada tahun 2010. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan ekspor rumput laut Indonesia yang tersaji pada Tabel 2. Potensi pengembangan rumput laut di Indonesia sangat besar mengingat komoditas ini merupakan komoditas perdagangan internasional yang telah diekspor ke berbagai negara seperti Philipina, Chili, Korea Selatan dan China. Tabel 2. Perkembangan Ekspor Rumput Laut di Indonesia Tahun 2006 - 2010 Tahun Volume ( kg) Nilai (US $) Harga (Rp/kg) 2006 95.588.055 49.586.226 4.681,71 2007 94.073.398 57.522.350 5.625,45 2008 99.947.976 110.153.291 10.470,01 2009 94.003.326 87.773.297 8.870,39 2010 123.074.961 135.939.458 10.034,61 Sumber : Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2010 (KKP 2011, data diolah) 2 Berdasarkan data perkembangan ekspor rumput laut pada tahun 2006 hingga 2010 menunjukkan bahwa ekspor rumput laut cenderung mengalami peningkatan, walaupun sempat terjadi penurunan volume ekspor dan nilai ekspor pada tahun 2009 kemudian mengalami peningkatan kembali pada tahun 2010. Peningkatan volume ekspor tersebut dapat mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan permintaan rumput laut dunia untuk setiap tahunnya. Hal ini tentunya menjadi peluang bagi Indonesia, untuk meningkatkan produksi serta pemasaran rumput laut untuk pemenuhan kebutuhan di pasar internasional. Data harga ekspor pada Tabel 2 diperoleh dengan melakukan pendekatan sebagai hasil dari nilai ekspor rumput laut dibagi dengan volume ekspor rumput laut. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan daya tarik keindahan pesona wisata laut. Pesona perairan di wilayah Bali tidak hanya pada sektor pariwisata saja namun juga dari kekayaan komoditi budidaya laut yang telah lama dikembangkan, termasuk pengembangan budidaya rumput laut. Wilayah perairan laut di provinsi Bali mencapai angka ± 95.000 km2 dengan luas lahan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam budidaya laut adalah sekitar 1.551,75 ha dan berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali pada tahun 2008 luas lahan potensial tersebut baru dimanfaatkan untuk usaha budidaya laut seluas 418,5 ha dengan komoditi utama yang telah dikembangkan adalah rumput laut jenis Euchema cotonii sp dan Eucheuma spinosum sp. Rumput laut untuk jenis Eucheuma sp memiliki potensi untuk dikembangkan karena adanya peluang terkait tingginya permintaan pasar jika dibandingkan dengan jenis rumput laut lainnya seperti Gracilaria sp seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Peluang Pasar Perdagangan Rumput Laut Jenis Produk 2006 2007 Permintaan Dunia ( ton) 202.300 218.100 Produksi Indonesia (ton) 56.000 Permintaan Dunia (ton) Produksi Indonesia (ton) 2008 2009 2010 235.300 253.900 274.100 60.000 66.000 73.000 80.000 79.200 87.040 95.840 105.440 116.000 29.000 36.000 41.500 48.000 57,50 Eucheuma sp Gracilaria sp Sumber : BPPT & ISS 2006 (Dalam Buku Profil Rumput Laut Indonesia, 2009) 3 Komoditi rumput laut khususnya untuk jenis Eucheuma sp, mulai dibudidayakan secara massal di Indonesia pada tahun 1984 di wilayah perairan Bali meliputi wilayah Nusa Dua, Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Pada produksi rumput laut nasional, Bali memberikan kontribusi sebagai salah satu dari sepuluh provinsi penghasil rumput laut terbesar pada skala nasional. Hal ini didasarkan pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai produksi rumput laut di beberapa provinsi utama di Indonesia yang tersaji pada Tabel 4. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa antara tahun 2004 – 2008 terjadi fluktuasi hasil produksi rumput laut di Provinsi Bali. Produksi rumput laut mengalami penurunan pada tahun 2007 kemudian meningkat kembali pada tahun 2008. Tingkat produksi rumput laut di Provinsi Bali menempati urutan ketiga diantara sepuluh provinsi utama penghasil rumput laut di Indonesia. Tabel 4. Produksi Rumput Laut menurut Provinsi Utama Tahun 2004 - 2008 Tahun (dalam ton basah) No. Provinsi 2004 2005 2006 2007 2008 1. Sulawesi 24.784 204.397 409.422 418.063 690.385 Selatan 2. NTT 66.423 271.846 478.114 504.699 566.495 3. Bali 156.104 161.053 164.804 152.317 170.860 84.725 12.041 24.660 82.092 89.510 39.091 36.747 60.410 76.552 84.750 2.480 722 3.104 17.013 37.590 126 297 1.772 17.730 19.820 41 6.245 10.231 12.932 16.300 4. Sulawesi Tenggara 5. NTB 6. Maluku 7. Kalimantan Timur 8. Jawa Timur 9. Jawa Barat 2.687 775 143 85 14.100 10. Lampung 1.210 449 1.074 1.850 9.190 11. Lainnya 405.472 877.319 1.345.077 1.488.463 1.951.910 Sumber : Data Statistik Ditjen. Perikanan Budidaya, DKP (Dalam Buku Profil Rumput Laut Indonesia, 2009) 4 Provinsi Bali memiliki beberapa sentra wilayah dalam pembudidayaan komoditi rumput laut. Menurut data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, terdapat tiga kabupaten/kota dengan potensi terbesar dalam pengembangan budidaya rumput laut, yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten Klungkung. Hal ini dapat dilihat pada data yang tersaji pada Tabel 5 mengenai total produksi rumput laut yang dihasilkan oleh masing – masing kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali. Sampai dengan akhir tahun 2011, produksi rumput laut mencapai 141.863,4 ton basah dengan nilai produksi sebesar Rp 263.954.294.000 yang dapat dilihat pada data di Lampiran 3. Tabel 5. Total Produksi Rumput Laut di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2008 – 2010 (Ton) Tahun No. Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 1. Denpasar 2.795,8 2.931,5 1.348,5 2. Badung 23.469,0 28.393,5 29.026,4 3. Buleleng 1.614,3 1.251,4 751,3 4. Klungkung 101.210,2 103.234,5 101.514,6 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali (data diolah, 2012) Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat empat kabupaten/kota di wilayah Provinsi Bali yang berperan sebagai penghasil komoditi rumput laut. Kabupaten Badung merupakan penghasil rumput laut kedua terbesar di wilayah Provinsi Bali. Produksi rumput laut di Kabupaten Badung pada sepanjang tahun 2008 hingga 2010 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan produksi sebesar 20,98 persen dibandingkan produksi pada tahun 2008. Selanjutnya pada tahun 2010, produksi juga mengalami peningkatan namun tidak sebesar peningkatan pada tahun 2009, pada tahun 2010 peningkatan hanya sebesar 2,23 persen dari total produksi di tahun 2009 sebesar 28.393,5 ton menjadi 29.026,4 ton pada tahun 2010. Wilayah Bali Selatan yang termasuk dalam regional wilayah Kabupaten Badung memiliki areal potensi rumput laut seluas 95 ha yang tersebar dari Pantai Sawangan, Pantai Kutuh, dan Pantai Geger yang berada di dalam wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Hasil produksi rumput laut di wilayah Kabupaten 5 Badung tahun 2010 mencapai 29.026 ton basah. Perkembangan produksi rumput laut di wilayah Kabupaten Badung mengalami fluktuasi yang selanjutnya berpengaruh terhadap nilai dari rumput laut, hal ini dapat dilihat melalui data pada Tabel 6. Namun tingkat harga rumput laut di Kabupaten Badung cenderung mengalami peningkatan pada tahun 2006 hingga 2010, walaupun sempat terjadi penurunan harga sebesar 33,10 persen pada tahun 2009. Tingkat harga rumput laut diperoleh melalui perbandingan nilai produksi terhadap produksi rumput laut di Kabupaten Badung. Data pada Tabel 2 dan Tabel 6 dapat diperlihatkan bahwa terdapat marjin dalam membandingkan harga rumput laut yang masih dalam kondisi segar yang ditunjukkan pada Tabel 6 dengan rumput laut yang siap untuk ekspor yang diwakili oleh data yang ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 6. Perkembangan Total dan Nilai Produksi Rumput Laut di Kabupaten Badung Tahun 2006 – 2010 Produksi Nilai Produksi Tahun Harga (Rp/kg) % (Ton) ( Rp .000) ∆ 2006 46.166,5 - 30.009.525 650,02 2007 34.821,7 - 24,57 % 22.635.395 650,03 2008 22.005,1 - 36,81 % 36.332.685 1.651,10 2009 28.393,5 29,03 % 31.364.149 1.104,62 2010 29.026,4 2,23 % 32.302.258 1.112,85 Sumber : Buku Saku Statistik Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung 2007 – 2011 (data diolah, 2012) Hasil produksi rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan memberikan kontribusi hampir 100 persen penuh terhadap produksi rumput laut di Kabupaten Badung. Hal ini dapat dilihat pada data produksi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan pada Lampiran 4. Berdasarkan data pada Tabel 6 menunjukkan harga rumput laut setiap tahun juga cenderung mengalami peningkatan. Namun tidak demikian dengan harga yang diperoleh petani rumput laut setiap periode panen. Fluktuasi harga jual rumput laut tetap dirasakan oleh para petani rumput laut. Fluktuasi harga yang terjadi tentunya mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh petani. Dalam mengoptimalkan kegiatan budidaya rumput laut tentunya perlu didukung dengan aktivitas pemasaran yang mampu meningkatkan nilai tambah dari rumput laut yang dihasilkan serta 6 menentukan kesejahteraan di tingkat petani. Selain itu adanya marjin dalam penetapan harga rumput laut yang ditujukan untuk pasar ekspor menunjukkan adanya berbagai perilaku dalam upaya pemberian nilai tambah dalam kegiatan ekspor rumput laut. Oleh karena itu diperlukan adanya penelusuran mengenai penerapan fungsi – fungsi pemasaran rumput laut di Indonesia melalui pendekatan sistem tataniaga yang dijalankan khususnya pada komoditi rumput laut yang dihasilkan di wilayah Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. 1.2. Perumusan Masalah Peningkatan ekspor rumput laut dunia menunjukkan adanya peluang dalam hal pemasaran rumput laut. Kebutuhan dunia terhadap produk olahan rumput laut cukup tinggi diantaranya bagi industri pengolahan agar – agar, karaginan dan alginat. Kontinuitas suplai rumput laut tentunya sangat diperlukan dalam kegiatan industri pengolahan pengguna bahan baku rumput laut serta kegiatan perdagangan luar negeri terkait ekspor rumput laut. Bali sebagai salah satu sentra pembudidayaan rumput laut nasional memiliki kontribusi dalam kegiatan ekspor komoditi yang dikenal sebagai “emas” hijau lautan Indonesia. Menurut data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menyebutkan realisasi ekspor rumput laut yang berasal dari Bali pada tahun 2011 berjumlah 23,6 ton senilai US $ 15.720. Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi pengembangan budidaya rumput laut di Provinsi Bali. Rumput laut yang dihasilkan di wilayah Kabupaten Badung memiliki jaminan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang berada di wilayah Provinsi Bali. Berdasarkan Tabel 5, Kabupaten Klungkung memiliki keunggulan dalam hal kuantitas produksi rumput laut namun jika dibandingkan dengan kualitas, rumput laut di Kabupaten Badung memiliki jaminan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Klungkung. Berdasarkan hasil penelusuran kepada petani rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan, petani menyebutkan bahwa harga yang mereka terima lebih tinggi dibandingkan petani rumput laut di wilayah Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Hal ini juga dapat dilihat melalui perbandingan harga rumput laut di tiga kabupaten/kota dengan jumlah produksi rumput laut terbesar di Provinsi Bali yang tersaji pada Gambar 1. 7 Data pada Gambar 1 diolah melalui pendekatan total produksi dan nilai produksi di tiga kabupaten/kota penghasil rumput laut terbesar di Provinsi Bali yang terdapat pada Lampiran 2. Penetapan harga yang lebih tinggi mengindikasikan adanya jaminan kualitas yang lebih baik sehingga adanya kesediaan untuk Harga Rumput Laut (Rp/kg basah) membayar lebih tinggi. 1,800.00 1,600.00 1,400.00 1,200.00 1,000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 ‐ 1,569.95 840.09 666.00 1,105.00 1,113.00 984.48 820.96 593.00 700.00 Denpasar Badung Klungkung 2008 2009 2010 Tahun Gambar 1. Tingkat Harga Rumput Laut di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali (data diolah, 2011) Aktivitas pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Badung didominasi oleh para petani di wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Kuta Selatan menjadi sentra pembudidayaan rumput laut dengan kontribusi hampir 100 persen pada total produksi rumput laut di wilayah Kabupaten Badung pada tahun 2009 dan 2010. Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa merupakan lokasi sentra budidaya rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan khususnya untuk jenis Euchema cotonii sp. Para petani lebih banyak melakukan budidaya terhadap jenis ini karena berdasarkan hasil wawancara, faktor harga menjadi salah satu pertimbangan petani memlih untuk membudidayakan rumput laut jenis Eucheuma sp dibandingkan rumput laut jenis lainnya seperti Gracilaria sp. Pada rumput laut jenis Eucheuma sp petani memperoleh harga Rp 8.000 – Rp 10.000 per kg rumput laut kering sementara untuk jenis Gracilaria sp hanya berkisar pada harga Rp 2.000 – Rp 4.000 per kg. Rumput laut sebagian besar dipasarkan dalam kondisi segar yang digunakan sebagai bahan baku mentah (raw seaweeds) sehingga belum ada upaya pengolahan untuk menciptakan nilai tambah bagi komoditi rumput laut. 8 Penerapan sistem tataniaga yang baik tentunya diperlukan dalam upaya meningkatkan nilai tambah dari komoditi rumput laut dalam proses pemasaran. Proses produksi melalui pembudidayaan rumput laut yang diupayakan di Kecamatan Kuta Selatan tentunya bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan pendapatan bagi para petani. Sistem tataniaga merupakan suatu hal yang terkait dengan proses produksi rumput laut terutama dalam upaya pemasaran produk hingga sampai ke tingkat konsumen. Tataniaga merupakan aktivitas bisnis dalam upaya mengalirkan produk dari produsen primer (petani) ke konsumen akhir. Melalui sistem tataniaga dapat diketahui proses penyaluran suatu produk hingga sampai ke tangan konsumen, jumlah biaya yang dikeluarkan dalam penyaluran produk tersebut serta pihak – pihak yang terlibat di dalamnya. Permasalahan yang dihadapi oleh petani dalam memasarkan suatu komoditi agribisnis adalah mengenai rendahnya posisi tawar petani khususnya dalam penetapan harga. Begitu pula halnya pada petani rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan khususnya bagi petani yang tidak terfasilitasi oleh keberadaan kelompok tani dalam aktivitas tataniaga. Peningkatan nilai tambah suatu komoditi merupakan suatu hal penting yang dapat dijadikan sebagai upaya untuk meningkatkan harga jual dari produk tersebut. Berdasarkan grafik yang tersaji pada Gambar 2, terlihat bahwa terdapat fluktuasi nilai penjualan rumput laut di 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Harga (Rp/kg basah) Kecamatan Kuta Selatan. Gambar 2. Perkembangan Harga Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan Tahun 2009 – 2010 Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kab. Badung (Data diolah, 2011) 9 Pembudidayaan rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan sebagian telah dikelola oleh petani melalui suatu wadah bersama dengan membentuk kelompok tani. Keberadaan kelompok dalam aktivitas usahatani tentunya akan mempermudah pengelolaan kegiatan usaha. Peranan kelompok tidak hanya mengkoordinasikan aktivitas budidaya saja melainkan juga dalam hal pemasaran komoditi. Dalam tataniaga rumput laut, keberadaan kelompok tani juga memiliki peranan dalam aktivitas pemasaran khususnya pada pengembangan budidaya rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Perbedaan wilayah desa lokasi pembudidayaan rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan juga menimbulkan perbedaan peranan kelompok khususnya dalam pemasaran rumput laut. Petani di wilayah Desa Kutuh memiliki empat kelompok tani yang aktif. Kelompok tani di wilayah ini telah berperan dalam aktivitas pemasaran rumput laut bagi para anggotanya. Selain dalam bentuk kelompok, pengelolaan kegiatan usaha budidaya rumput laut di wilayah Desa Kutuh juga ada yang dikelola secara individual oleh petani. Berdasarkan informasi yang diperoleh, adanya penetapan syarat mutu tertentu dari rumput laut yang harus dipatuhi oleh anggota kelompok menjadi salah satu alasan petani memilih untuk mengelola usaha budidaya rumput laut secara individual. Sementara itu, berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa para petani di wilayah Kelurahan Benoa memiliki gambaran yang berbeda dalam aktivitas pemasaran. Para petani di kawasan ini tergabung dalam kelompok, namun keberadaan kelompok tidak menunjang aktivitas pemasaran rumput laut para petani. Petani di wilayah ini memasarkan rumput laut secara individu melalui perantara yaitu para pedagang pengumpul. Perbedaan sistem manajemen dalam kegiatan usaha ini tentunya juga akan memberikan perbedaan terhadap pendapatan yang akan diperoleh antara petani yang tergabung dalam kelompok dengan petani yang mengelola usahanya secara individual. Mengacu pada uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan adalah sebagai berikut. 1) Bagaimana pelaksanaan sistem tataniaga pada komoditi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan? 10 2) Bagaimana peranan kelompok tani dalam mempengaruhi sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan? 3) Apakah sistem tataniaga yang diterapkan oleh para petani di Kecamatan Kuta Selatan sudah efisien? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan maka adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Mengetahui serta menganalisis pelaksanaan sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. 2) Mengkaji peranan kelompok tani dalam tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. 3) Menganalisis efisiensi sistem tataniaga rumput laut dari Kecamatan Kuta Selatan. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Kecamatan Kuta Selatan merupakan sentra rumput laut yang berada di wilayah Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Hasil produksi rumput laut yang cukup besar di wilayah Kecamatan Kuta Selatan mengindikasikan adanya peluang pengembangan perekonomian desa. Pengembangan usaha komoditi rumput laut merupakan salah satu upaya yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Kecamatan Kuta Selatan. Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara dan literatur terkait, pemasaran rumput laut dari wilayah Kecamatan Kuta Selatan telah menjangkau permintaan pasar ekspor di wilayah Provinsi Bali dan luar Provinsi Bali seperti melalui eksportir yang berasal dari Surabaya (Jawa Timur). Rendahnya akses petani untuk dapat menjual langsung hasil panen rumput laut kepada pihak eksportir menjadi salah satu kendala bagi petani untuk memperoleh posisi tawar yang baik dalam menentukan harga. Berdasarkan informasi tersebut maka dalam penelitian ini hanya mengkaji aktivitas tataniaga rumput laut yang berasal dari wilayah Kecamatan Kuta Selatan hingga para pedagang pengumpul, eksportir, serta berbagai lembaga tataniaga yang terkait dengan tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. 11 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumput Laut Algae (ganggang laut) atau lebih dikenal dengan sebutan rumput laut adalah salah satu biota laut yang berpotensi di wilayah perairan Indonesia. Rumput laut yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah seaweed merupakan salah satu komoditas perikanan yang sudah populer dalam dunia perdagangan dan menjadi salah satu komoditas utama perikanan Indonesia yang diekspor ke berbagai negara di belahan dunia. Menurut Anggadiredja dkk (2010), rumput laut dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelas yaitu : 1) Rhodophyceae (ganggang merah) 2) Phaeophyceae (ganggang cokelat) 3) Chlorophyceae (ganggang hijau) 4) Cyanophyceae (ganggang biru – hijau) Beberapa jenis rumput laut Indonesia yang bernilai ekonomis dan sejak dulu sudah diperdagangkan yaitu Eucheuma sp, Hypnea sp, dan Gelidium sp dari kelas Rhodophyceae serta Sargassum sp dari kelas Phaeophyceae. Namun sebaran rumput laut komersial yang dibudidayakan hanya terbatas untuk jenis Euchema dan Gracilaria. Pembudidayaan kedua jenis rumput laut tersebut disesuaikan dengan permintaan pasar yang cukup besar terhadap kedua jenis rumput laut. Di wilayah Kabupaten Badung, Provinsi Bali, pengembangan budidaya rumput laut lebih didominasi oleh rumput laut jenis Eucheuma sp, hal ini berdasarkan data dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung mengenai produksi perikanan, menunjukkan bahwa untuk budidaya laut khususnya pada komoditi rumput laut, wilayah Kabupaten Badung hanya mengusahakan dua jenis rumput laut yaitu jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Jenis Euchema dibudidayakan di laut yang agak jauh dari sumber air tawar, seperti sungai atau air buangan dari pemukiman. Rumput laut jenis Euchema sp. pertama kali dibudidayakan secara massal pada tahun 1984 di perairan Pulau Bali dan Nusa Tenggara Barat (Anggadiredja dkk 2010). Perairan yang memiliki dasar berupa pasir yang bercampur dengan pecahan karang cocok digunakan untuk budidaya rumput laut Euchema sp. Hal tersebut menunjukkan adanya pergerakan air yang baik. Selain itu, lokasi yang tepat untuk budidaya 12 rumput laut jenis ini adalah wilayah perairan yang terlindung dari arus dan hempasan ombak yang terlalu kuat. Waktu pemanenan rumput laut yang baik adalah ketika rumput laut telah memiliki umur 6 – 8 minggu. Dalam penanganan pascapanen, rumput laut yang telah dipanen melalui tahapan pencucian dan pengeringan yang biasanya menghabiskan waktu 2 – 3 hari. Pada rumput laut jenis Euchema sp. kadar air yang harus dicapai dalam pengeringan berkisar 30 – 35 persen (Ditjen Perikanan Budidaya, 2011). Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku industri sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat pada data mengenai peluang pasar perdagangan rumput laut pada Tabel 3. Data tersebut menunjukkan adanya peluang dalam mengusahakan komoditi rumput laut khususnya jenis Eucheuma sp. Euchema cotonii sebagai penghasil karaginan yang merupakan salah satu produk turunan dari komoditi rumput laut yang digunakan sebagai bahan baku berbagai industri baik pangan maupun non pangan. Penggunaan karaginan dalam industri pangan diantaranya pada produk saus dan kecap, karaginan digunakan sebagai bahan pengental dan penstabil alami. Sementara itu pada produk non pangan, karaginan juga digunakan pada produk pewangi ruangan air-freshner gel sebagai gelling agent, pada produk pasta gigi karaginan memiliki fungsi sebagai binder dan stabilizer serta pada produk kosmetik seperti lotion dan cream, karaginan digunakan sebagai bodying agent (Anggadiredja dkk 2010). Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku dalam produk olahan menjadikan pentingnya jaminan mutu dan keamanan pangan pada komoditi rumput laut. Persyaratan standar kadar air pada rumput laut kering menjadi hal yang diutamakan oleh pihak eksportir dalam melakukan aktivitas ekspor. Adapun persayaratan rumput laut yang ditetapkan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dapat dilihat pada data yang tersaji pada Tabel 7. Sebagai komoditi ekspor, rumput laut memiliki kode perdagangan internasional yang digunakan sebagai pengenal dan dikenal dengan istilah kode HS (Harmonized System). Komoditi rumput laut termasuk dalam kode HS.1212.20 yang merupakan kelompok seaweed and other alga, fresh and dried wether or not ground (ganggang laut dan ganggang lainnya) (Rajagukguk 2009). 13 Tabel 7. Standar Nasional Rumput Laut Indonesia Eucheuma spp Sensori 7 Kimia -Kadar Air % Fraksi 30 – 35 Massa - Clean Anhydrous Weed Fisik -Benda Asing Gracilaria spp 7 Gelidium spp 15 – 18 15 – 20 7 % Fraksi Massa Minimal 30 Minimal 30 Minimal 30 % Fraksi Massa Maksimal 5 Maksimal 5 Maksimal 5 Sumber : Direktorat Standarisasi dan Akreditasi DKP, 2008 (Dalam Buku Profil Rumput Laut Indonesia, 2009) 2.2. Hasil Penelitian Terdahulu tentang Tataniaga Ketersediaan hasil penelitian terkait sistem tataniaga rumput laut masih sangat terbatas, oleh karena itu terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait tataniaga beberapa komoditi yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Penelitian mengenai aktivitas tataniaga berbagai komoditi agribisnis umumnya melakukan pengukuran terhadap efisiensi dari pelaksanaan sistem tataniaga suatu komoditi tertentu. Berbagai pendekatan yang digunakan dalam mengukur efisiensi adalah melalui marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran yang dikeluarkan. Beberapa penelitian yang terkait dengan aktivitas tataniaga/pemasaran diantaranya Zulham (2007) menganalisis tentang risiko dan marjin pemasaran pada rumput laut di Gorontalo, Firdaus dan Wagiono (2009) melakukan penelitian mengenai dayasaing dan sistem pemasaran manggis Indonesia serta Puspitasari (2010) yang menganalisis mengenai efisiensi tataniaga pada komoditi ikan lele di Kecamatan Ciawi. 2.3. Kajian mengenai Konsep dan Penentuan Efisiensi Tataniaga Zulham (2007), Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010) menggunakan data primer dan sekunder pada masing - masing penelitian. Data primer diperoleh menggunakan metode wawancara dan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian Zulham (2007) serta Firdaus dan Wagiono (2009) adalah melakukan penelitian lebih dari satu 14 lokasi yang menjadi sentra pengembangan dari masing – masing komoditi yang dijadikan objek penelitian. Penentuan petani responden dilakukan dengan purposive sampling dan selanjutnya digunakan metode snowball sampling dalam melakukan penelusuran terhadap lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran tataniaga dari setiap komoditi yang diteliti. Penelitian Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010) mempertimbangkan beberapa hal yang menjadi penilaian kualitatif dalam aktivitas pemasaran/tataniaga yang dikaji meliputi analisis struktur, analisis saluran dan perilaku lembaga pemasaran/tataniaga yang terlibat. Sementara itu dalam penilaian kuantitatif Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010) menggunakan analisis terhadap nilai marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Sementara itu pada penelitian Zulham (2007) digunakan penilaian terhadap share harga dan marjin pemasaran dalam melakukan kajian terhadap aktivitas pemasaran serta menghitung nilai expected keuntungan untuk mengetahui peluang dan risiko yang dihadapi oleh petani rumput laut di wilayah Gorontalo. Penilaian kualitatif terhadap sistem tataniaga salah satunya dilakukan melalui analisis perilaku pasar. Puspitasari (2010) melakukan analisis terhadap perilaku pasar melalui beberapa pendekatan seperti praktik pembelian dan penjualan, pada pendekatan tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara petani (pembudidaya) dengan pedagang pengumpul atau lembaga tataniaga telah tercipta hubungan kepercayaan yang baik sehingga pedagang pengumpul telah menjadi pembeli langganan dari petani, begitu juga halnya antara pedagang pengumpul dengan lembaga tataniaga selanjutnya, namun para pelaku tataniaga bebas menentukan pembeli yang menjadi tujuan penjualan dan tidak ada kontrak atau perjanjian yang mengikat antar pelaku tataniaga. Selain itu, Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010) juga melakukan pendekatan dari sistem penentuan harga untuk menganalisis perilaku pasar dalam sistem tataniaga. Pendekatan tersebut menunjukkan bahwa posisi tawar dari petani/pembudidaya cenderung lemah karena keterbatasan modal, lemahnya akses pasar dan keterbatasan informasi yang dimiliki oleh petani sehingga harga cenderung ditentukan oleh lembaga tataniaga yang lebih tinggi tingkatannya. Berbeda dengan lembaga 15 tataniaga yang berada lebih tinggi tingkatannya daripada petani. Para pelaku ini menetapkan harga dengan sistem tawar - menawar karena adanya pengetahuan terhadap informasi pasar dari para pelaku yang setingkat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak informasi pasar yang diterima oleh pelaku tataniaga maka posisi dalam penentuan harga akan semakin kuat. Zulham (2007) mengidentifikasi bahwa informasi harga rumput laut dari wilayah Gorontalo dari lini akhir hingga lini awal berjalan dengan baik sehingga tidak terdapat distorsi harga yang merugikan setiap pelaku bisnis rumput laut. Pendekatan marjin pemasaran pada umumnya menjadi salah satu indikator dalam penentuan efisiensi suatu aktivitas pemasaran/tataniaga. Begitu pula halnya dengan ketiga penelitian yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Zulham (2007) dan Puspitasari (2010) menganalisis marjin pada setiap saluran yang terbentuk maupun marjin di masing – masing lembaga yang terlibat dalam aktivitas tataniaga. Sementara itu Firdaus dan Wagiono (2009) melihat marjin yang terbentuk secara keseluruhan di setiap pola saluran tataniaga. Puspitasari (2010) mengidentifikasi empat saluran tataniaga yang diterapkan dalam tataniaga komoditi ikan lele. Penilaian efisiensi melalui pendekatan nilai marjin tataniaga yang dilakukan oleh Puspitasari (2010) menunjukkan bahwa tidak selalu saluran dengan marjin tataniaga yang bernilai tinggi menunjukkan bahwa saluran tersebut tidak efisien. Penelitian Puspitasari (2010) menunjukkan bahwa salah satu penyebab tingginya marjin adalah akibat adanya pelaksanaan aktivitas pengolahan yang meningkatkan biaya tataniaga sebagai upaya penambahan kegunaan bentuk yang akan diperoleh konsumen hal ini menunjukkan bahwa terjadi pemenuhan kepuasan yang diterima oleh konsumen yang merupakan tujuan dari pelaksanaan sistem tataniaga. Namun Puspitasari (2010) tetap menjadikan indikator bahwa saluran dengan marjin terkecil dinilai relatif lebih efisien karena melibatkan sedikit lembaga tataniaga sehingga produk dinilai akan lebih cepat sampai ke tangan konsumen. Sementara itu pada penelitian Zulham (2007) dilakukan perhitungan terhadap share harga di masing – masing lembaga yang terlibat dalam tataniaga rumput laut di Gorontalo. Zulham (2007) menganalisis nilai marjin yang diperoleh yang dihubungkan dengan expected keuntungan di setiap lembaga 16 yang selanjutnya dapat menggambarkan peluang dan risiko yang akan dihadapi masing – masing lembaga dalam aktivitas pemasaran/tataniaga rumput laut. Penelitian Zulham (2007) juga menunjukkan bahwa salah satu penyebab tingginya marjin tataniaga adalah faktor jarak dalam pendistribusian produk yang selanjutnya akan mempengaruhi biaya pemasaran yang dikeluarkan. Zulham (2007) juga memberikan gambaran bahwa semakin kecil marjin menunjukkan semakin kecil pula expected keuntungan dari sistem tataniaga yang dijalankan sehingga risiko yang mungkin dihadapi juga akan lebih kecil. Penentuan efisiensi pada suatu aktivitas tataniaga tidak hanya dilakukan melalui pendekatan dari besarnya marjin yang terbentuk. Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010) dilakukan pula pendekatan melalui nilai farmer’s share dan nilai rasio keuntungan biaya. Puspitasari (2010) menentukan efisiensi pada saluran tataniaga juga didasarkan pada nilai marjin tataniaga yang kecil serta tingkat farmer’s share yang tinggi, selain itu Firdaus dan Wagiono (2009) juga menyatakan bahwa kriteria tersebut juga menjadi indikator untuk penentuan saluran pemasaran yang paling menguntungkan. Sementara itu, nilai rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan nilai keuntungan yang diterima oleh produsen setiap satu rupiah biaya tataniaga yang dikeluarkan. 2.4. Hasil Penelitian Terdahulu tentang Rumput Laut Beberapa penelitian terkait dengan komoditi rumput laut diantaranya membahas mengenai skala usaha dan efisiensi ekonomi relatif dalam usahatani rumput laut serta daya saing rumput laut. Sobari (1993) melakukan penelitian mengenai usaha usaha dan efisiensi ekonomi relatif usahatani rumput laut dengan mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali. Pada penelitian tersebut, peneliti melihat hubungan antara skala usaha petani dengan tingkat efisiensi yang dicapai dari masing – masing skala usaha tersebut. Peneliti mengambil 130 responden yang diambil secara acak dengan membagi ke dalam tiga skala usaha berdasarkan luas lahan usaha budidaya rumput laut, yaitu skala usaha kecil (≤ 250 m2), skala usaha sedang (251 – 500 m2) dan skala usaha besar ( ≥ 500 m2). Hubungan luas lahan dengan efisiensi ekonomi dilakukan dengan menggunakan model analisis fungsi keuntungan dan dengan asumsi fungsi produksi dalam bentuk Cobb – Douglas. 17 Sobari (1993) menyebutkan ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan dan dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan usahatani rumput laut, yaitu kondisi alam yang meliputi salinitas, arus, gelombang, suhu, dasar perairan dan kedalaman laut; ketersediaan dan penerapan teknologi yang sudah dilakukan oleh petani rumput laut; dan faktor yang ketiga adalah kondisi sosial ekonomi yang meliputi struktur sosial, kelembagaan (bank, koperasi) dan pasar (penawaran, permintaan dan harga). Hasil yang diperoleh dalam penelitian Sobari (1993) menunjukkan bahwa secara ekonomis semakin besar skala usaha maka akan semakin efisien usaha yang dijalankan tersebut. Selain itu juga diperoleh variabel yang memiliki pengaruh terhadap tingkat keuntungan usahatani rumput laut yaitu luas lahan, modal investasi dan pengalaman usaha. Rajagukguk (2009) membahas mengenai daya saing rumput laut di Indonesia guna mengkaji pangsa pasar ekspor rumput laut di pasar internasional. Pada penelitian tersebut, analisis dilakukan berdasarkan negara tujuan ekspor yang diurutkan berdasarkan nilai ekspor terbesar. Selain itu, pada penelitian tersebut dilakukan analisis mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan pangsa pasar ekspor rumput laut dan pengaruhnya terhadap pangsa pasar ekspor rumput laut di negara tujuan. Rajagukguk (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan data sekunder. Pada analisis faktor – faktor yang mempengaruhi pangsa pasar ekspor rumput laut, dilakukan dengan menggunakan metode Pooled OLS, metode Fixed Effect dan metode Random Effect. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari lima faktor yang diduga mempengaruhi pangsa pasar ekspor rumput laut Indonesia di negara tujuan yaitu volume ekspor rumput laut Indonesia ke negara tujuan, harga ekspor rumput laut Indonesia, nilai tukar, GDP per kapita negara tujuan ekspor dan produksi nasional rumput laut Indonesia, maka variabel yang dinyatakan berpengaruh nyata terhadap pangsa pasar ekspor rumput laut Indonesia di negara tujuan adalah volume ekspor ke negara tujuan, nilai tukar dan GDP per kapita negara tujuan. 2.5. Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu. Persamaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu diantaranya 18 adalah metode penentuan responden yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode purposive sampling dan snowball sampling. Salah satu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis efisiensi dari penerapan sistem tataniaga seperti penelitian yang dilakukan oleh Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010). Pengukuran efisiensi tataniaga dilakukan melalui pendekatan nilai marjin tataniaga yang terbentuk, nilai farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya pada pola saluran tataniaga yang terbentuk. Kesamaan lain dari penelitian ini adalah pemilihan lebih dari satu lokasi yang merupakan sentra pengembangan budidaya sebagai studi kasus seperti yang dilakukan oleh Zulham (2007) dan Firdaus dan Wagiono (2009). Sementara itu perbedaan penelitian ini dari penelitian terdahulu terletak dari pemilihan komoditi dan lokasi yang dijadikan sebagai objek penelitian. Penelitian ini memfokuskan pada analisis tataniaga rumput laut yang dibudidayakan di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Selain itu, perbedaan yang terdapat pada penelitian ini adalah mengkaji dua lokasi budidaya yang terletak dalam satu wilayah kecamatan yang dijadikan sentra pengembangan rumput laut serta menganalisis adanya perbedaan pengelolaan sistem tataniaga rumput laut di tingkat petani melalui ada atau tidaknya peranan kelompok tani. Pada penelitian ini juga dilakukan upaya pemberian alternatif saluran tataniaga melalui peningkatan kualitas rumput laut yang mampu meningkatkan efisiensi sistem tataniaga. 19 III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Sistem Tataniaga Tataniaga adalah suatu kegiatan dalam mengalirkan produk dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga erat kaitannya dengan kegiatan pemasaran. Tataniaga disebut juga pemasaran atau marketing merupakan salah satu bagian dari ilmu pengetahuan ekonomi (Limbong dan Sitorus 1985). Pemasaran adalah proses yang mengakibatkan aliran produk melalui suatu sistem dari produsen ke konsumen (Downey dan Erickson 1992). Hanafiah dan Saefuddin (2006) menjelaskan bahwa aktivitas tataniaga erat kaitannya dengan penciptaan atau penambahan nilai guna dari suatu produk baik barang atau jasa, sehingga tataniaga termasuk ke dalam kegiatan yang produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh aktivitas tataniaga meliputi kegunaan tempat, kegunaan waktu dan kegunaan kepemilikan. Asmarantaka (2009) menyebutkan bahwa pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ekonomi dan aspek manajemen. Pengertian tataniaga dari aspek ilmu ekonomi adalah : 1) Tataniaga (pemasaran) produk agribisnis merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis yang meliputi aliran dari barang dan jasa dari petani sebagai titik awal kegiatan usahatani hingga barang dan jasa tersebut sampai ke tangan konsumen akhir (Kohls dan Uhl 2002). 2) Tataniaga pertanian merupakan serangkaian tahapan, fungsi yang diperlukan untuk memperlihatkan pergerakan input atau produk dari tingkat produksi primer (usahatani) hingga konsumen akhir. Hal tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi ataupun hubungan antara lembaga tataniaga yang terlibat (Hammond and Dahl 1977). 3) Rangkaian fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitas bisnis dan merupakan kegiatan produktif sebagai proses meningkatkan atau menciptakan nilai (value added) yaitu nilai guna bentuk (form utility), tempat (place utility), waktu (time utility) dan kepemilikan (possession utility) (Asmarantaka 2009). Petani/peternak dalam proses produksi merubah input-input pertanian menjadi output produk pertanian (nilai guna bentuk dan kepemilikan). Pedagang pengumpul, mengumpulkan produk dan mengemas, kemudian 20 menjual (nilai guna kepemilikan dan tempat). Pabrik penggilingan tepung dan pembuat kue kemudian menjual kue (nilai guna bentuk dan tempat). Pabrik pengolah memanfaatkan output dari petani sebagai bahan baku (gandum) menjadi tepung dikemas dan kemudian menjual tepung ke grosir (nilai guna bentuk dan kepemilikan), grosir ke pedagang eceran (nilai guna tempat dan waktu) yang akhirnya ke pabrik roti (nilai guna bentuk) dan konsumen akhir (kepuasan). Dari proses tataniaga ini banyak nilai guna yang terjadi dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. 4) Tataniaga pertanian merupakan salah satu sub-sistem dari sistem agribisnis yaitu sub-sistem : sarana produksi pertanian, usahatani (produksi primer), tataniaga dan pengolahan hasil pertanian dan sub-sistem penunjang (penelitian, penyuluhan, pembiayaan, kebijakan tataniaga). Pelaksanaan aktivitas tataniaga merupakan faktor penentu efisiensi dan efektivitas dari pelaksanaan sistem agribisnis. Sementara itu tataniaga dapat dipandang dari sisi makro dan mikro (Asmarantaka 2009). Dari sisi makro tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari lembaga – lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses aliran produk dari produsen primer ke konsumen. Sementara itu dari sisi mikro, tataniaga/pemasaran dipandang sebagai upaya masing – masing individu untuk memperoleh keuntungan yang salah satunya ditempuh melalui pelaksanaan bauran pemasaran. Analisis terhadap suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Pada masing – masing pendekatan akan menunjukkan perspektif secara nyata dan pelaksanaan proses dari aktivitas pemasaran/tataniaga (Kohls dan Uhl 2002). Kohls dan Uhl (2002) menyebutkan beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu sistem tataniaga diantaranya : 1) Pendekatan Fungsi Fungsi dalam aktivitas tataniaga dapat diartikan sebagai spesialisasi aktivitas yang dilakukan dalam upaya menyempurnakan sistem tataniaga (Kohls dan Uhl 2002). Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui beragam fungsi tataniaga yang diterapkan pada suatu sistem tataniaga dalam upaya menciptakan efisiensi pemasaran serta mencapai suatu tujuan yaitu 21 meningkatkan kepuasan konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga meliputi fungsi pertukaran yang pengumpulan; meliputi fungsi fungsi fisik yang pembelian, penjualan dan fungsi terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan; dan fungsi fasilitas yang merupakan fungsi yang memperlancar pelakasanaan fungsi pertukaran dan fungsi fisik, fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standarisasi, fungsi keuangan, fungsi penanggungan risiko dan fungsi intelijen pemasaran. Melalui pendekatan fungsi juga dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan biaya tataniaga pada beragam komoditi agribisnis. 2) Pendekatan Kelembagaan Merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui para pelaku serta pihak – pihak yang terlibat dalam suatu sistem tataniaga. Para pelaku yang terlibat dalam aktivitas tataniaga dikelompokkan dalam kelembagaan tataniaga. Kelembagaan tataniaga adalah berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan/mengembangkan aktivitas bisnis berupa kegiatan – kegiatan produktif yang diwujudkan melalui pelaksanaan fungsifungsi tataniaga. Melalui pendekatan ini dapat diketahui peranan lembaga – lembaga yang terlibat dalam penanganan suatu komoditi mulai dari tingkat produsen hingga konsumen (Limbong dan Sitorus 1985). Sementara itu Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa pendekatan kelembagaan ini sekaligus menjawab “siapa” dan “apa” yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan dalam sistem tataniaga. Para pelaku dalam aktivitas tataniaga terdiri dari pedagang perantara (merchant middlemen), agen perantara (agent middlemen), spekulator (speculative middlemen), pengolah dan pabrikan (processors and manufactures) dan organisasi (facilitative organization). 3) Pendekatan Sistem Pendekatan sistem dalam aktivitas tataniaga dilakukan untuk mengetahui efisiensi serta kontinuitas dari pelaksanaan suatu sistem tataniaga (Asmarantaka 2009). Pemahaman aktivitas tataniaga dalam konteks sebagai suatu sistem merupakan perpaduan antara ilmu ekonomi dengan aktivitas fisik serta penerapan ilmu teknologi (Kohls dan Uhl 2002). Seperti yang telah dijelaskan pada pendekatan kelembagaan bahwa dalam suatu sistem 22 tataniaga terdapat berbagai pelaku/lembaga tataniaga yang terlibat. Para pelaku/lembaga tataniaga dapat dipandang sebagai suatu sistem perilaku yang digunakan dalam membuat suatu keputusan khususnya yang terkait dengan kegiatan pemasaran/tataniaga dari suatu produk. Pendekatan ini terdiri dari input-output system, power system, communications system, dan the behavioral system for adapting to internal-external change. 3.1.2. Fungsi Tataniaga Tataniaga merupakan suatu kegiatan produktif yang mencakup proses pertukaran serta serangkaian kegiatan yang terkait pada proses pemindahan produk baik berupa barang ataupun jasa dalam upaya menciptakan dan meningkatkan nilai guna (Asmarantaka 2009). Beragam kegiatan produktif yang terdapat di dalam sistem tataniaga disebut dengan fungsi tataniaga. Pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga akan menetukan efisiensi dari pelaksanaaan suatu sistem tataniaga. Tujuan dari pelaksanaan fungsi tataniaga adalah untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Kemampuan suatu produk untuk memuaskan keinginan konsumen dapat diukur dengan utilitas yang mampu diberikan oleh produk tersebut. Utilitas merupakan nilai guna suatu produk yang meliputi nilai guna bentuk yaitu bagaimana menciptakan produk memiliki nilai guna misalnya dengan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi; nilai guna waktu yaitu membuat produk tersedia pada waktu yang tepat sesuai dengan keinginan konsumen; nilai guna tempat yaitu menyediakan produk di tempat yang sesuai bagi konsumen yang membutuhkan; serta nilai guna kepemilikan yaitu bagaimana produk bisa untuk dimiliki serta digunakan oleh konsumen. Fungsi tataniaga dapat digolongkan pada tiga kelompok fungsi utama (Limbong dan Sitorus 1985; Asmarantaka 2009), fungsi tataniaga tersebut adalah sebagai berikut : 1) Fungsi Pertukaran Fungsi Pertukaran merupakan aktivitas yang terkait dengan pemindahan hak milik atas barang (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002). Aktivitas pertukaran juga disesuaikan pada utilitas yang diharapkan para konsumen, yaitu menyangkut tempat, waktu dan bentuk barang/jasa yang 23 dibutuhkan. Fungsi pertukaran terdiri atas dua fungsi yaitu fungsi penjualan dan pembelian (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). - Fungsi penjualan, merupakan pengalihan produk kepada pihak pembeli dengan tingkat harga tertentu sebagai akibat dari pemberian nilai tambah dari produk tersebut. Fungsi penjualan diperlukan untuk melakukan penjualan produk yang sesuai dengan yang diinginkan konsumen dilihat dari jumlah, bentuk dan mutu pada tempat dan waktu yang tepat. - Fungsi pembelian terhadap produk – produk pertanian dilatarbelakangi oleh beragam kebutuhan konsumen diantaranya pembelian untuk konsumsi langsung ataupun pembelian untuk bahan baku produksi seperti pembelian yang dilakukan oleh pabrik yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi yang siap pakai. 2) Fungsi Fisik Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan pengertian fungsi fisik sebagai seluruh aktivitas yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga memiliki nilai kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Sementara itu Kohls dan Uhl (2002) menyebutkan bahwa fungsi fisik menyangkut aktivitas penanganan, perpindahan serta perubahan fisik dari suatu komoditi. Fungsi fisik terdiri atas tiga fungsi yaitu fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan, dan fungsi pengolahan (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). - Fungsi pengangkutan, yaitu pemindahan barang-barang dari tempat produksi/tempat penjualan ke tempat dimana barang - barang tersebut akan dipakai. Proses pengangkutan akan menciptakan nilai guna tempat dan waktu. Dalam fungsi ini tentunya aspek terpenting yang perlu diperhatikan oleh pelaku tataniaga adalah penggunaan alternatif sarana pengangkutan yang selanjutnya akan mempengaruhi biaya pengangkutan. Besarnya biaya pengangkutan yang dikeluarkan akan berdampak pada penentuan dari harga produk tersebut ketika sampai di tangan konsumen. Proses pengangkutan juga sangat bergantung pada efektifitas dalam 24 informasi dan komunikasi serta pemanfaatan teknologi yang ada sehingga efisiensi dalam proses pengangkutan dapat tercapai. - Fungsi penyimpanan, berarti menahan barang – barang selama jangka waktu tertentu sejak produk dihasilkan atau diterima hingga sampai ke proses penjualan. Kegiatan penyimpanan menciptakan nilai guna waktu pada produk. Proses penyimpanan pada produk pertanian dilakukan mengingat produk – produk pertanian memiliki karakteristik khusus yang bersifat musiman namun terkadang produk – produk ini dikonsumsi sepanjang tahun. Pelaksanaan fungsi penyimpanan dapat memperkecil terjadinya fluktuasi harga antara musim panen dan musim paceklik. - Fungsi pengolahan, merupakan suatu upaya mengubah bahan mentah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi yang siap pakai. Fungsi pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang dalam rangka memperkuat daya tahan barang maupun sebagai upaya untuk meningkatkan nilai produk. Fungsi ini menciptakan nilai guna bentuk pada suatu produk. Kegiatan pengolahan erat kaitannya dengan kegiatan penyimpanan khususnya pada produk yang sifatnya musiman. Misalnya saja pada produk mangga yang sifatnya musiman, ketika sedang musim mangga, perusahaan jus dapat melakukan pengolahan terdapat buah mangga segar menjadi bentuk pasta dalam rangka menjaga ketersediaan bahan baku jus mangga pada waktu buah mangga tidak pada musimnya. 3) Fungsi Fasilitas/Pelancar merupakan aktivitas yang memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik (Kohls dan Uhl 2002). Fungsi ini meliputi kegiatan standarisasi dan grading produk, informasi pasar, fungsi keuangan/pembiayaan serta fungsi penangulangan risiko. - Standarisasi dan grading Standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai ukuran seperti warna, susunan kimia, ukuran bentuk, kekuatan atau ketahanan, kadar air, tingkat kematangan, rasa dan kriteria yang lain (Limbong dan Sitorus 1985). Standarisasi kualitas adalah sifat umum yang diterima oleh konsumen serta membuat diferensiasi dari nilai produk (Asmarantaka 2009). 25 Grading adalah klasifikasi atau menggolongkan produk/ hasil pertanian berdasarkan suatu standarisasi kualitas tertentu dan pemilahan dari produkproduk yang kategorinya tidak seragam menjadi seragam. Menurut Downey dan Erickson (1992), penggolongan mutu produk pertanian ke dalam kelas atau golongan standar sangat mempermudah proses usaha pembelian dan penjualan serta membantu sistem pemasaran bekerja lebih efisien. - Informasi pasar Fungsi informasi pasar meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi tersebut. Informasi mengenai pasar erat kaitannya dengan keputusan yang akan diambil oleh pelaku tataniaga. Misalnya terkait dengan perubahan harga di pasar, bagaimana pendistribusian serta penanganan produk di mata konsumen. - Penanggulangan risiko Dalam pemasaran suatu produk khususnya produk pertanian, kemungkinan dalam menghadapi risiko pada kegiatan bisnis ini cukup besar. Risiko yang terjadi di dalam proses pemasaran dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu risiko fisik dan risiko ekonomi atau risiko penurunan harga (Limbong dan Sitorus 1985). Risiko-risiko tersebut diantaranya risiko kerusakan produk karena produk pertanian bersifat bulky,voluminous dan perishable; risiko fluktuasi harga khususnya bagi komoditi yang bersifat musiman. Pengalihan risiko dapat dilakukan melalui kontrak pembelian dan penjualan serta melalui mekanisme hedging pada future market. 3.1.3. Lembaga dan Saluran Tataniaga Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga sehingga barang/produk bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Istilah lembaga tataniaga ini termasuk produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa (Hanafiah dan Saeffudin, 2002). Keberadaan lembaga – lembaga tataniaga dimulai ketika produk dihasilkan oleh produsen primer hingga suatu produk siap dikonsumsi oleh konsumen. Lembaga tataniaga menunjukkan keberagaman pada organisasi bisnis yang memiliki peranan dalam pengembangan sistem tataniaga atau pemasaran 26 (Kohls dan Uhl 2002). Sementara itu Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan lembaga tataniaga adalah suatu badan yang menyelenggarakan kegiatan tataniaga atau pemasaran, dan mengelempokkan lembaga tataniaga/pemasaran menurut fungsinya serta menurut penguasaan terhadap barang. Limbong dan Sitorus (1985) menyebutkan pengelompokkan lembaga tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukan dapat dibedakan menjadi : 1) Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga – lembaga yang menjalankan fungsi fisik, misalnya badan pengangkut/transportasi. 2) Lembaga perantara tataniaga adalah suatu lembaga khusus yang melakukan fungsi pertukaran. 3) Lembaga fasilitas tataniaga yaitu lembaga yang menjalankan fungsi fasilitas seperti Bank, Lembaga Perkreditan Desa, KUD. Selain itu Limbong dan Sitorus (1985) juga mengelompokkan lembaga tataniaga menurut penguasaan terhadap barang, yang terdiri dari : 1) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, misalnya agen, perantara dan broker. Badan – badan ini menjalankan fungsinya untuk mempertemukan atau menyampaikan produk dari produsen ke konsumen. Penguasaan terhadap barang dimaksudkan bahwa perantara tidak berhak atas barang namun ia boleh menyimpan, mengadakan sortasi serta melakukan pengepakan kembali. Sementara Kohls dan Uhl (2002) menyampaikan definisi terkait pengelompokkan lembaga tataniaga yang serupa dengan klasifikasi ini sebagai pengertian dari agent middlemen yaitu lembaga yang termasuk sebagai perantara dalam aktivitas tataniaga. Kelompok agen perantara melaksanankan fungsi tataniaga tertentu dengan menerima komisi sebagai balas jasa. Agen perantara adalah pelaku yang umumnya hanya mewakili lembaga tataniaga lain. Agen perantara tidak memiliki hak untuk memiliki barang yang diperdagangkan (Kohls dan Uhl 2002). Agen perantara biasanya dikelompokkan menjadi dua yaitu commission dan brokers (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). Broker merupakan perantara yang dalam pelaksanaan fungsi tataniaga tidak melakukan penanganan fisik tertentu terhadap produk yang diterima. Sedangkan commission merupakan perantara 27 yang melakukan aktivitas penanganan fisik terhadap produk yang diterima dan memperoleh pendapatan berupa komisi. 2) Lembaga tataniaga yang memiliki dan menguasai barang, seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer, grosir, eksportir/importir. Badan yang tergolong pada kelompok ini menjalankan fungsinya untuk memiliki dan menguasai barang dengan cara membeli barang tersebut terlebih dahulu sebelum dijual kembali. Badan ini akan menanggung risiko ekonomi maupun teknis. 3) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki dan tidak menguasai barang, yaitu badan yang menjalankan fungsi sebagai fasilitas pengangkutan, pergudangan, asuransi dan lain – lain. Produsen merupakan pihak yang berperan sebagai penyedia produk baik produk sebagai bahan konsumsi ataupun produk yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri terkait. Kemudian terdapat pedagang perantara yang fungsinya menyalurkan produk dari produsen ke konsumen apabila terdapat jarak dan ketiadaan akses bagi produsen untuk menyalurkan produknya secara langsung kepada konsumen. Para pelaku dalam sistem tataniaga yang dapat digolongkan sebagai pedagang perantara adalah pedagang pengumpul (assembler), pedagang eceran (retailer) dan pedagang grosir (wholesalers) (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). Pedagang grosir adalah pedagang yang menjual produknya kepada pedagang eceran dan pedagang antara lainnya. Pedagang grosir memiliki volume usaha yang relatif lebih besar daripada pedagang eceran. Pedagang eceran adalah pedagang yang menjual produknya langsung untuk konsumen akhir. Sementara itu, ada juga yang disebut sebagai spekulator. Spekulator adalah pedagang perantara yang membeli/menjual suatu produk dan memanfaatkan serta mencari keuntungan dari adanya pergerakan harga pada komoditi/produk tersebut. Lembaga lain yang berperan dalam aktivitas tataniaga adalah pengolah dan pabrikan. Kelompok ini berfungsi dalam merubah suatu produk yang merupakan bahan baku sehingga menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir yang siap untuk dikonsumsi. Organisasi juga bisa menjadi lembaga/pelaku dalam tataniaga, misalnya pemerintah yang dalam hal ini berupaya menciptakan kebijakan serta peraturan yang terkait dengan aktivitas 28 tataniaga dan perdagangan. Selain itu keterlibatan asosiasi eksportir dan importir juga dapat dikategorikan sebagai lembaga tataniaga. Penyaluran produk dari produsen hingga ke tangan konsumen yang telah melibatkan berbagai lembaga tataniaga akan membentuk suatu saluran tataniaga (marketing channel). Saluran pemasaran dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu sehingga berpindah dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus 1985). Menurut Downey dan Erickson (1992) saluran pemasaran adalah jejak penyaluran barang dari produsen ke konsumen akhir. Panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui tergantung pada beberapa faktor (Hanafiah dan Saefuddin 2002) diantaranya adalah : 1) Jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh suatu produk. 2) Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak harus segera diterima konsumen, dan oleh karena itu diperlukan saluran yang pendek dan cepat. 3) Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, dan dinilai tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Pada kondisi ini kehadiran pedagang perantara diharapkan sehingga saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang. 4) Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung akan memperpendek saluran tataniaga. Produsen yang posisi keuangan kuat akan dapat melakukan fungsi tataniaga lebih banyak dibandingkan dengan pedagang yang posisi modalnya lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga. 3.1.4. Struktur Pasar Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan definisi industri dan perusahaan, atau pabrik dalam suatu pasar, distribusi perusahaan atau pabrik dengan berbagai ukuran “size and consentration”, deskripsi produk dan 29 diferensiasi produk serta syarat – syarat untuk memasuki pasar ( Limbong dan Sitorus, 1985). Menurut Asmarantaka (2009), struktur pasar adalah tipe atau jenis pasar yang diartikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar. Struktur pasar yang terbentuk akan mempengaruhi perilaku pasar serta keragaan pasar. Hammond dan Dahl (1977) menyebutkan terdapat empat karakteristik dalam struktur pasar yang satu sama lain saling menentukan perilaku yang berlaku di seluruh pasar, yaitu jumlah dan ukuran perusahaan/unit usaha yang terlibat, sifat dari produk yang diperjualbelikan, kondisi keluar dan masuk pasar terkait hambatan yang mungkin dihadapi oleh para pelaku pasar, dan arus informasi pasar antara pelaku – pelaku yang terlibat meliputi informasi biaya, harga dan kondisi pasar. Tabel 8. Struktur Pasar pada Sistem Pangan dan Serat Karakteristik Struktural Jumlah Struktur Pasar Sifat Produk Sisi Penjual Sisi Pembeli Banyak Standarisasi Persaingan Sempurna Persaingan Sempurna Banyak Diferensiasi Monopolistic Competition Monopsonistic Competition Sedikit Standarisasi Oligopoli Murni Oligopsoni Murni Sedikit Diferensiasi Oligopoli Diferensiasi Oligopsoni Diferensiasi Satu Unik Monopoli Monopsoni Perusahaan Sumber : Hammond dan Dahl (1977) Penentuan struktur pasar dapat dilakukan melalui pengukuran rasio konsentrasi (CR4). Namun, pengukuran ini dilakukan pada kondisi industri yaitu dengan mengukur pangsa pasar dari empat perusahaan terbesar. Dilana (2012) menyatakan bahwa struktur pasar didefinisikan oleh rasio konsentrasi pasar. Konsentrasi pasar diperoleh dari pengukuran pangsa pasar. Pangsa pasar adalah persentase dari suatu pasar (perusahaan) yang diukur baik dari jumlah unit maupun pendapatan yang diterima terhadap suatu kesatuan yang spesifik (industri) selain itu pangsa pasar dapat dijadikan sebagai indikator seberapa baik suatu perusahaan menghadapi persaingan dengan pesaingnya ( Farris et all, 2007). 30 Pada situasi pasar monopoli, CR4 akan bernilai 100 persen, sedangkan untuk pasar persaingan sempurna CR4 akan mendekati nilai 0 (nol), hal tersebut dikarenakan perusahaan – perusahaan dengan output terbesar pun mempunyai proporsi yang sangat kecil pada industri (Subanidja dalam Hapsari 2011). 3.1.5. Perilaku Pasar Asmarantaka (2009) mendefinisikan perilaku pasar sebagai seperangkat strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik oleh penjual maupun pembeli dalam mencapai tujuan masing – masing. Perilaku pasar merupakan kumpulan hubungan antara pembeli dan penjual. Tiga cara yang digunakan dalam mengenal perilaku, yaitu : 1) Penentuan harga dan setting level of output; harga yang ditetapkan bisa tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, ditetapkan secara bersama – sama antar penjual atapun penetapan berdasarkan pemimpin harga. 2) Product promotion policy; yaitu melalui kegiatan promosi seperti pameran dan iklan yang mengatasnamakan perusahaan. 3) Predatory and exclusivenary tactics; strategi ini bersifat ilegal karena bertujuan mendorong pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi yang dilakukan adalah dengan menetapkan harga di bawah biaya marginal atau dengan cara melakukan integrasi vertikal melalui penguasaan bahan baku. Menurut Hammond dan Dahl (1977) perilaku pasar menunjukkan pola perilaku yang diikuti oleh perusahaan dalam hubungannya dengan pasar yang dihadapi. Pola perilaku ini meliputi cara – cara yang digunakan oleh sekelompok perusahaan dalam menentukan harga dan produk yang dihasilkan, kebijakan dalam promosi penjualan, kebijakan yang berkaitan dengan pengubahan sifat produk yang dijual serta beragam taktik penjualan yang digunakan untuk meraih pasar tertentu. 3.1.6. Farmer’s Share Salah satu indikator yang dapat digunakan dalam menentukan efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir. Kohls dan Uhl (2002) menyatakan farmer’s share merupakan bagian yang 31 diterima petani dari nilai uang yang dibayarkan oleh konsumen, nilai farmer’s share biasa dinyatakan dalam persentase. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan nilai marjin tataniaga. Semakin tinggi nilai marjin tataniaga menunjukkan semakin kecil bagian yang diterima petani dalam melaksanakan suatu aktivitas tataniaga. Alternatif perhitungan nilai farmer’s share diperoleh dari rasio antara harga di tingkat usahatani terhadap harga di tingkat pengecer dari suatu komoditi. Secara matematis, farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut (Asmarantaka 2009) : 100% Keterangan : Fs : Persentase yang diterima petani dari harga konsumen akhir Pf : Harga di tingkat petani Pr : Harga di tingkat konsumen akhir 3.1.7. Marjin Tataniaga Tomek dan Robinson (1990) memberikan alternatif definisi marjin tataniaga (pemasaran) yaitu perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang didapatkan oleh produsen (petani), selain itu marjin pemasaran juga dapat didefinisikan sebagai harga dari kumpulan jasa – jasa pemasaran sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran terhadap jasa – jasa tersebut. Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (petani) (Pf) dengan harga ditingkat retailer atau konsumen akhir (Pr) dengan demikian marjin tataniaga dapat dirumuskan dengan MT = Pr – Pf (Hammond dan Dahl 1977). Limbong dan Sitorus (1985) menyampaikan bahwa besarnya marjin tataniaga (MT) pada suatu saluran tataniaga merupakan penjumlahan dari marjin yang diperoleh setiap lembaga pemasaran (Mi). Marjin juga didefinisikan sebagai penjumlahan dari keuntungan dan biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam pelaksanaan sistem tataniaga. Sementara itu Asmarantaka (2009) menyatakan pengertian marjin yang lebih luas yaitu sebagai cerminan dari aktivitas-aktivitas bisnis atau fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan dalam suatu sistem tataniaga. Artinya marjin merupakan kumpulan balas jasa karena adanya kegiatan produktif 32 berupa penambahan dan penciptaan nilai guna dalam mengalirkan produk-prduk agribisnis dari tingkat petani sampai ke tangan retailer ataupun konsumen akhir. DS1 Price DS2 PS1 PS2 Pr Margin Pf PD2 DD2 PD1 DD1 Quantity Q1 Q2 Keterangan : Pr Pf PD1 PD2 DD1 DD2 PS1 PS2 DS1 DS2 Q1 Q2 : Harga di tingkat pabrik pengolah atau pedagang eceran : Harga di tingkat petani : Primary Demand 1 : Primary Demand 2 : Derived Demand 1 : Derived Demand 2 : Primary Supply 1 : Primary Supply 2 : Derived Supply 1 : Derived Supply 2 : Jumlah produk yang diminta/ditawarkan pada kondisi awal : Jumlah produk yang diminta/ditawarkan setelah ada perubahan : Kondisi awal : Kondisi setelah ada perubahan Gambar 3. Kurva Pembentukan Marjin Tataniaga Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa marjin merupakan selisih harga di tingkat pengecer (retail) dengan harga yang diterima di tingkat petani (farm). Harga di tingkat petani terbentuk sebagai pertemuan antara kurva primary supply dengan kurva derived demand. Primary supply menggambarkan penawaran yang ada di tingkat petani dari komoditi yang diusahakan dalam kegiatan usahatani. Bentuk dari primary supply dalam sistem agribisnis dapat digambarkan sebagai penawaran yang dilakukan petani terhadap komoditi yang dihasilkan dan biasanya digunakan sebagai bahan baku oleh industri pengolahan. Misalkan penawaran 33 petani cabai terhadap produk cabai yang dihasilkan kepada pabrik pengolahan sambal botolan. Sementara itu, derived demand menggambarkan permintaan di tingkat pedagang perantara atau pabrik pengolah terhadap produk yang dihasilkan oleh petani. Derived demand merupakan turunan dari primary demand. Derived demand dalam aktivitas agribisnis dapat dicontohkan melalui permintaan cabai oleh pabrik pengolahan sambal botolan kepada petani yang membudidayakan komoditi cabai. Oleh karena itu, karena adanya penawaran dari pihak petani (PS1) dan terdapat juga permintaan dari pihak pabrik pengolah ataupun pedagang eceran (DD1) maka akan terbentuk harga keseimbangan di tingkat petani (Pf). Harga di tingkat pengecer terbentuk sebagai pertemuan antara kurva primary demand dengan kurva derived supply. Primary demand menggambarkan permintaan yang ada di tingkat konsumen kepada pedagang pengecer atau pabrik pengolahan. Misalnya permintaan konsumen terhadap produk sambal botolan yang dihasilkan oleh pabrik pengolah sambal botolan. Sedangkan derived supply merupakan turunan dari primary supply yang menggambarkan penawaran yang dilakukan pada tingkat pedagang perantara ataupun pabrik pengolah. Bentuk dari derived supply dapat dicontohkan sebagai penawaran yang dilakukan oleh pabrik pengolahan sambal botolan kepada konsumen yang biasa mengkonsumsi sambal. Oleh karena itu, karena adanya penawaran dari pihak pabrik pengolah ataupun pedagang eceran (DS1) dan terdapat juga permintaan dari pihak konsumen (PD1) maka akan terbentuk harga keseimbangan di tingkat pedagang eceran ataupun pabrik pengolah (Pr). Penetapan harga di tingkat petani cabai dan harga sambal botolan di tingkat pabrik pengolahan tentunya akan menghasilkan penetapan harga yang berbeda. Perbedaan penetapan harga di tingkat petani cabai (farm) dengan harga sambal di tingkat pabrik pengolahan (retail) menunjukkan adanya marjin dalam tataniaga komoditi cabai, sehingga terbukti bahwa marjin tataniaga terbentuk dari selisih harga di tingkat petani (farm) dengan harga di tingkat pengecer/pabrik pengolah (retail) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Perubahan kondisi pasar dapat mempengaruhi jumlah produk yang diminta/ditawarkan, seperti adanya perubahan jumlah penduduk ataupun perubahan selera di tingkat konsumen. Misalnya saja adanya peningkatan jumlah 34 penduduk maka hal ini akan mengakibatkan peningkatan jumlah yang diminta oleh konsumen. Peningkatan jumlah tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar 3 sebagai perubahan jumlah yang diminta yaitu dari Q1 akan berubah menjadi Q2. Perubahan jumlah ini tentunya akan mempengaruhi kurva permintaan dan kurva penawaran di pasar. Apabila terjadi pergeseran dari DD1 menjadi DD2 yang dipengaruhi oleh perubahan lebih awal pada primary demand yang bergeser dari PD1 ke kurva PD2. Hal ini dikarenakan derived demand merupakan turunan dari primary demand. Peningkatan pada primary demand yaitu permintaan di tingkat konsumen tentunya akan mengakibatkan respon dari derived supply yaitu pihak pedagang pengecer akan berupaya meningkatkan penawaran produk sehingga mampu memenuhi kuantitas yang diinginkan oleh konsumen. Kurva derived supply akan bergeser dari DS1 ke DS2. Adanya peningkatan penawaran di tingkat pengecer menimbulkan peluang bagi petani sebagai pemasok produk primer kepada pengecer. Hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran pada kurva primary supply yang bergeser dari PS1 ke PS2. Perubahan yang terjadi pada kuantitas produk dari Q1 ke Q2 ternyata tidak mempengaruhi besarnya marjin yang berlaku. Kondisi ini sesuai dengan Hammond dan Dahl (1977) yang menyatakan bahwa marjin tataniaga tidak dipengaruhi oleh volume produk yang dipasarkan. 3.1.8. Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga Tingkat efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga dapat pula diukur melalui besarnya rasio keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga menunjukkan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan aktivitas tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1987) dalam Puspitasari (2010) menyatakan bahwa semakin merata penyebaran rasio keuntungan dan biaya tataniaga, maka dari segi (teknis) operasional sistem tataniaga tersebut akan semakin efisien. Asmarantaka (2009) menyatakan bahwa dalam pengukuran efisiensi operasional salah satu indikator yang dapat digunakan adalah menggunakan rasio antara keuntungan terhadap biaya tataniaga. Hal ini dikarenakan keuntungan merupakan opportunity cost dari biaya. 35 3.1.9. Efisiensi Tataniaga Efisiensi suatu sistem tataniaga diukur dari kepuasan konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan suatu produk dari produsen primer (petani) hingga sampai ke tangan konsumen. Terdapat perbedaan pengertian efisiensi tataniaga di mata konsumen dan produsen. Produsen mengganggap suatu sistem tataniaga yang efisien adalah jika penjualan produknya mampu mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi produsen, sementara di mata konsumen suatu sistem tataniaga dinilai efisien jika konsumen bisa mendapatkan suatu produk dengan harga yang rendah. Dalam menentukan tingkat kepuasan dari para lembaga/pelaku tataniaga sangatlah sulit dan sifatnya relatif. Efisiensi merupakan rasio dari nilai output dengan input. Kohls and Uhl (2002) menyatakan efisiensi dapat diukur sebagai rasio output terhadap input. Indikator dalam mengukur efisiensi tataniaga produk agribisnis dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu : 1) Efisiensi operasional atau teknis berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas tataniaga yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input tataniaga. Efisiensi operasional adalah ukuran frekuensi dari produktivitas penggunaan input-input tataniaga. Peningkatan efisiensi merupakan upaya peningkatan rasio output terhadap input, menurut Downey dan Erickson (1992), peningkatan efisiensi dapat dilakukan melalui salah satu dari empat cara berikut ini : a) Menurunkan masukan/input tanpa merubah total output yang dihasilkan. b) Meningkatkan total output tanpa merubah total masukan/input yang digunakan c) Meningkatkan output disertai dengan peningkatan total masukan/input yang digunakan dengan tambahan total output lebih besar dari tambahan input. d) Menurunkan penggunaan masukan/input yang disertai dengan penurunan total output yang dihasilkan namun penurunan output lebih kecil dari penurunan input. 36 Keluaran per jam kerja merupakan salah satu rasio produktivitas yang biasanya digunakan sebagai tolak ukur efisiensi operasional (Downey dan Erickson 1992, Kohls dan Uhl 2002). 2) Efisiensi harga menekankan kemampuan sistem tataniaga dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh proses dalam sistem tataniaga sehingga efisien sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga bertujuan untuk mencapai efisiensi alokasi sumberdaya antara apa yang diproduksi dan apa yang diinginkan konsumen serta memaksimumkan output ekonomi. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Kecamatan Kuta Selatan merupakan sentra pembudidayaan rumput laut di wilayah Kabupaten Badung. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan tentang aktivitas tataniaga pada dua lokasi yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Selatan yaitu Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa. Rumput laut merupakan komoditi dengan tujuan pasar ekspor. Perbedaan penetapan harga di tingkat ekspor dengan harga di tingkat usahatani menunjukkan adanya marjin dalam tataniaga rumput laut. Hal tersebut menimbulkan permasalahan yaitu rendahnya harga yang diterima oleh petani khususnya para petani yang melakukan penjualan rumput laut secara individu. Hal ini diakibatkan pada fluktuasi hasil produksi yang dihasilkan yang diakibatkan oleh faktor alam serta rendahnya kesadaran petani untuk memenuhi ketetapan standar kualitas rumput laut ekspor misalnya pada syarat kadar air pada rumput laut kering yang dipasarkan. Posisi petani yang sebagian besar sebagai price taker menunjukkan lemahnya posisi tawar petani dalam hal penentuan harga. Keberadaan lembaga – lembaga tataniaga tentunya dapat membantu petani khususnya dalam meningkatkan aktivitas tataniaga/pemasaran rumput laut. Apabila para petani berada dalam suatu wadah yang mampu menaungi kepentingan dari para petani tentunya permasalahan – permasalahan seperti penentuan harga yang tidak sesuai di kalangan petani dapat teratasi. Para petani rumput laut di wilayah Desa Kutuh telah tergabung dalam wadah kelompok tani. Keberadaan wadah kelompok tani diharapkan dapat memperkuat posisi petani rumput laut khususnya dalam penerimaan harga. 37 Rumput laut sebagai komoditi dengan tujuan pasar ekspor tentunya memiliki standar kualitas tertentu yang harus dipenuhi. Kelompok tani dalam hal ini berperan sebagai pengatur standarisasi dari rumput laut yang dihasilkan. Pengelolaan kegiatan usaha rumput laut di wilayah Desa Kutuh juga dikelola secara perorangan oleh beberapa petani setempat. Hal serupa juga diterapkan oleh para petani rumput laut di wilayah Kelurahan Benoa. Pemberlakuan standarisasi pada wadah kelompok tani membuat beberapa petani memilih untuk melakukan aktivitas usaha budidaya rumput laut secara mandiri. Perbedaan sistem pengelolaan usaha diantara petani tentunya akan mempengaruhi tingkat harga yang akan diterima oleh petani. Perbedaan tingkat harga ini juga akan berpengaruh pada fungsi tataniaga (pemasaran) yang diterapkan. Perbedaan fungsi yang dijalankan tentunya akan berpengaruh pada saluran dan lembaga tataniaga yang terlibat serta tingkat efisiensi tataniaga rumput laut yang berlaku di masing – masing pihak petani yang berkelompok maupun tidak tergabung dalam kelompok tani. Lembaga tataniaga sebagai pelaksana dari fungsi tataniaga perlu menjalankan perannya dalam upaya pemenuhan kepuasan konsumen. Berbagai kegiatan produktif yang dilakukan dalam rangka pemberian nilai tambah terhadap komoditi rumput laut seperti upaya penyediaan rumput laut dengan kualitas mutu yang baik. Hal tersebut merupakan pelaksanaan dari fungsi – fungsi tataniaga dalam pemasaran komoditi rumput laut. Kegiatan tataniaga dari pembudidaya, lembaga tataniaga dan konsumen akan membentuk tingkat harga tertentu dari suatu produk. Marjin tataniaga menunjukkan perbedaan tingkat harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima di tingkat petani. Farmer’s share digunakan untuk membandingkan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen yang dinyatakan dalam bentuk persentase. Sementara itu, rasio keuntungan dan biaya tataniaga digunakan untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing – masing lembaga tataniaga. Marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya tataniaga dapat menjadi indikator dalam mengukur efisiensi dari suatu sistem tataniaga. Sistem tataniaga yang efisien tentunya akan memberikan alternatif mengenai saluran tataniaga yang efisien yang mampu meningkatkan pendapatan petani tanpa mengabaikan 38 pemenuhan kepuasan konsumen salah satunya dengan upaya melakukan standarisasi kualitas rumput laut kering khususnya di tingkat petani sehingga petani dapat memperoleh harga jual yang tinggi. Kerangka pemikiran operaional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Petani Rumput Laut • • • Perbedaan harga antara rumput laut segar dengan rumput laut yang siap untuk ekspor yang menunjukkan terdapat marjin tataniaga Perbedaan sistem pengelolaan di tingkat petani secara kelompok dan individu Standarisasi kualitas rumput laut mempengaruhi harga jual Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga • Petani/Kelompok Tani • Pedagang Pengumpul • Agen Perantara • Eksportir Analisis Struktur Pasar • Jumlah penjual dan pembeli • Sifat Produk • Kondisi Keluar Masuk Pasar • Sumber Informasi Harga Analisis Perilaku Pasar • Sistem Penentuan Harga • Sistem Pembayaran • Kerjasama antar Lembaga Tataniaga Analisis Fungsi Tataniaga • Fungsi Pertukaran • Fungsi Fisik • Fungsi Fasilitas Analisis Efisiensi Tataniaga • Marjin Tataniaga • Farmer’s Share • Rasio Keuntungan dan Biaya Efisiensi Saluran Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan Rekomendasi Alternatif Saluran Tataniaga yang dapat dipilih oleh Petani Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan melalui upaya peningkatan kualitas rumput laut Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional 39 IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Februari/Maret 2012 di dua wilayah yaitu Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa yang termasuk di dalam wilayah Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Bali merupakan salah satu dari sepuluh provinsi penghasil rumput laut terbesar di Indonesia, dan Kecamatan Kuta Selatan merupakan sentra penghasil rumput laut di Provinsi Bali. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang diperoleh dari proses pengambilan data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan wawancara melalui panduan kuisioner dengan petani responden serta lembaga – lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga rumput laut dari Kecamatan Kuta Selatan. Selain itu, juga dilakukan pengamatan terkait aktivitas yang dilakukan oleh responden seperti aktivitas pembudidayaan rumput laut yang dilakukan oleh petani serta penanganan pascapanen terhadap produk rumput laut kering. Sementara itu, data sekunder yang digunakan berasal dari berbagai sumber pustaka dan literatur yang dikeluarkan oleh lembaga – lembaga yang terkait dengan penelitian ini, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perikanan dan Kelautan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali, Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung, Perpustakaan LSI IPB. 4.3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara terhadap responden petani dengan menggunakan panduan kuisioner. Para petani rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan telah mengelola aktivitas usaha melalui pembentukan kelompok tani. Responden yang dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah para petani rumput laut yang berada di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan yang tergabung dalam kelompok tani 40 dan selanjutnya diambil sampel beberapa anggota dari masing – masing kelompok tani yang ada. Selain itu juga diambil responden petani yang merupakan petani rumput laut namun tidak ikut serta bergabung dalam kelompok tani yang ada serta tidak melakukan aktivitas tataniaga yang difasilitasi melalui kelompok. Penentuan petani responden dilakukan secara purposive sampling, yaitu secara sengaja namun dengan pertimbangan karakteristik tertentu. Beberapa karakteristik petani rumput laut yang dijadikan pertimbangan dalam penarikan responden diantaranya dilihat dari volume produksi rata – rata setiap kali panen, pengalaman usaha budidaya serta menjadikan aktivitas budidaya rumput laut sebagai rutinitas harian. Pada penelitian ini terdapat 35 responden petani yang terdiri dari 30 orang petani yang melakukan penjualan rumput laut secara berkelompok yang berasal dari empat kelompok tani yaitu Kelompok Tani Segara Amertha (sembilan orang), Kelompok Tani Merta Sari (12 orang), Kelompok Tani Segara Sari (empat orang), dan Kelompok Tani Arta Segara Jati (lima orang) serta terdapat lima orang petani yang melakukan penjualan rumput laut secara individu. Penarikan respoden petani yang mengelola aktivitas tataniaga melalui kelompok tani dilakukan berdasarkan arahan dari pihak perwakilan kelompok tani. Wawancara dilakukan dengan mendatangi pondok – pondok milik petani yang berlokasi berdekatan dengan pantai lokasi pembudidayaan rumput laut. Selain aktivitas pengambilan data melalui kegiatan wawancara, penulis juga melakukan pengamatan terhadap aktivitas pembudidayaan rumput laut dan penanganan pascapanen yang dilakukan oleh petani. Selain para petani rumput laut, lembaga – lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga rumput laut dari wilayah Kecamatan Kuta Selatan juga menjadi responden dalam penelitian ini. Penarikan sampel dilakukan dengan metode snowball sampling yaitu diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari sampel sebelumnya yang dalam penelitian ini adalah para petani rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan dengan melakukan penelusuran saluran tataniaga dari pembudidaya sampai konsumen akhir. Responden lembaga tataniaga dalam penelitian ini merupakan lembaga tataniaga yang menjadi tujuan aliran rumput laut dari responden petani pada waktu penelitian dilakukan. Para responden lembaga tataniaga dalam penelitian ini terdiri dari dua orang pedagang 41 pengumpul, satu orang agen perantara dan dua orang eksportir. Pengambilan data terhadap responden lembaga tataniaga dilakukan untuk pencarian informasi terkait dengan data – data kuantitatif seperti biaya yang dikeluarkan oleh lembaga – lembaga yang terlibat dalam tataniaga rumput laut serta penetapan harga di masing – masing lembaga yang selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan berbagai alat analisis dan melalui analisis tersebut dapat ditentukan saluran tataniaga yang efisien untuk diterapkan oleh petani rumput laut. 4.4. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga, lembaga tataniaga dan fungsi-fungsi tataniaga, serta struktur dan perilaku pasar melalui wawancara dan pengisian kuisioner. Pemaparan data kualitatif yang diperoleh selama pelaksanaan penelitian dilakukan secara deskriptif. Analisis data kuantitatif digunakan untuk menganalisis marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengolahan data analisis kuantitatif menggunakan kalkulator, program komputer Microsoft Excel, dan sistem tabulasi data. 4.4.1. Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga Analisis lembaga tataniaga digunakan untuk mengetahui lembaga-lembaga tataniaga yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan juga fungsi fasilitas. Lembaga-lembaga ini juga berfungsi sebagai sumber informasi mengenai suatu barang dan jasa. Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Analisis saluran tataniaga menggambarkan rantai aliran produk yang terjadi antara titik produksi hingga titik konsumsi dan fungsi - fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terkait dalam saluran tataniaga tersebut dalam mengalirkan produk. Alur tataniaga tersebut dijadikan dasar dalam menggambar pola saluran tataniaga. Analisis ini juga didasarkan pada metode snowball sampling yang dilakukan dalam penelitian. Snowball sampling dilakukan dengan melakukan penelusuran terhadap responden lembaga tataniaga yang dijadikan tujuan aliran tataniaga 42 rumput laut yang berasal dari responden petani dalam penelitian. Penentuan responden lembaga tataniaga disesuaikan dengan proses penjualan rumput laut yang berlangsung pada periode penjualan petani pada bulan Januari 2012. Selain itu, para petani yang berada di lokasi penelitian melakukan pengelolaan kegiatan usaha budidaya rumput laut secara kelompok maupun individu. Pada analisis ini juga dilihat perbandingan tingkat efisiensi antara petani yang mengelola usahanya secara kelompok dengan petani yang mengelola usahanya secara individu. Analisis dilakukan secara deskriptif dan perbandingan. 4.4.2. Analisis Fungsi Tataniaga Analisis fungsi tataniaga digunakan untuk mengetahui kegiatan tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga dalam menyalurkan produk dari produsen sampai ke konsumen. Analisis fungsi tataniaga dapat dilihat dari fungsi pertukaran yang terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik yang terdiri dari fungsi pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan, serta fungsi fasilitas yang terdiri dari standarisasi, penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar. Data yang diperoleh tersebut disajikan dalam bentuk tabulasi data sederhana. Selain itu data tersebut juga dideskripsikan sehingga menunjukkan adanya perubahan nilai guna, baik nilai guna bentuk, tempat, waktu, ataupun kepemilikan dari pelaksanaan fungsi tataniaga. 4.4.3. Analisis Struktur Pasar Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan definisi industri dan perusahaan. Namun pada penelitian ini analisis struktur pasar dilakukan dengan menganalisis masing – masing lembaga tataniaga yang terlibat dengan melakukan pendekatan dari struktur pasar yang digunakan untuk menganalisis kondisi pasar suatu industri. Dilana (2012) menyatakan bahwa struktur pasar didefinisikan oleh rasio konsentrasi pasar. Konsentrasi pasar diperoleh dari pengukuran pangsa pasar. Namun karena keterbatasan data, pengukuran pangsa pasar rumput laut dari Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan tidak dapat disajikan, sehingga dalam pengukuran ini dilakukan pendekatan dari proporsi total produksi 43 rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan terhadap total produksi rumput laut di Provinsi Bali. Hidayati (2009) menyebutkan indikator terhadap hasil rasio konsentrasi (CR4) adalah sebagai berikut : ≤ 33 % : competitive market structure 33 – 50 % : weak oligopsonist market structure > 50 % : strongly oligopsonist market structure Sementara itu Jaya (2001) menyebutkan bahwa pada pangsa pasar terbesar yang berkisar antara 20 – 50 persen maka struktur pasar yang mungkin timbul adalah oligopoli ketat. Analisis struktur pasar tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan dilakukan melalui identifikasi dan analisis terhadap faktor penentu karakteristik struktur pasar seperti banyaknya jumlah penjual dan pembeli yang terlibat, keadaan atau jenis produk, syarat masuk-keluar pasar dan mudah tidaknya mendapatkan informasi pasar. 4.4.4. Analisis Perilaku Pasar Menurut Hammond dan Dahl (1977) perilaku pasar menunjukkan pola perilaku yang diikuti oleh perusahaan dalam hubungannya dengan pasar yang dihadapi. Pola perilaku ini meliputi cara – cara yang digunakan oleh sekelompok perusahaan dalam menentukan harga dan produk yang dihasilkan, kebijakan dalam promosi penjualan, kebijakan yang berkaitan dengan perubahan sifat produk yang dijual serta beragam taktik penjualan yang digunakan untuk meraih pasar tertentu. Perilaku pasar dalam tataniaga rumput laut dianalisis dengan mengamati aktivitas praktik penjualan dan pembelian antara petani pembudidaya hingga pihak pabrik pengolahan/eksportir, sistem penentuan harga di masing – masing pelaku yang terlibat dalam aktivitas tataniaga, sistem pembayaran dan kerjasama yang dilakukan antar lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Analisis perilaku pasar dilakukan secara deskriptif. 4.4.5. Analisis Efisiensi Tataniaga Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta apabila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga memperoleh kepuasan dengan 44 adanya aktivitas tataniaga tersebut (Limbong dan Sitorus 1985). Penurunan biaya input dari pelaksanaan pekerjaan tersebut tanpa mengurangi kepuasan konsumen terhadap output barang dan jasa, menunjukkan efisiensi. Setiap kegiatan fungsi lembaga memerlukan biaya yang selanjutnya diperhitungkan ke dalam harga produk. Pengukuran efisiensi dalam sistem tataniaga dapat dibedakan menjadikan efisiensi operasional dan efisiensi harga (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009) Peningkatan efisiensi pada suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui dua cara berikut ini (Asmarantaka 2009) : 1) Perubahan sistem tataniaga/pemasaran melalui pengurangan biaya yang dikeluarkan dalam menjalani fungsi – fungsi tataniaga tanpa mengakibatkan perubahan terhadap manfaat/kepuasan yang diterima oleh konsumen. 2) Meningkatkan manfaat/kegunaan dari produk yang dihasilkan tanpa meningkatakan biaya tataniaga. Selain itu, kenaikan biaya tataniaga yang mampu menghasilkan proporsi kenaikan yang lebih pada manfaat produk yang akan diterima oleh konsumen juga akan meningkatkan efisiensi (Kohls dan Uhl 2002). 4.4.5.1. Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (Pf) dengan harga ditingkat konsumen akhir (Pr) dengan demikian marjin tataniaga adalah MT = Pr - Pf. Melalui penelusuran saluran tataniaga, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang marjin pada tiap lembaga tataniaga. Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga diantara lembaga tataniaga. Analisis marjin tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga rumput laut. Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1985) besarnya marjin tataniaga pada suatu saluran tataniaga merupakan penjumlahan dari marjin yang diperoleh setiap lembaga pemasaran. Marjin juga didefinisikan sebagai penjumlahan dari keuntungan dan biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam pelaksanaan sistem tataniaga. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh Limbong dan Sitorus (1985) tersebut maka secara matetmatis perhitungan nilai marjin tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut: 45 Mi = Hji – Hbi atau Mi = Ci + πi Dan besarnya marjin tataniaga pada suatu saluran tataniaga adalah: MT = ΣMi Keterangan: Mi = Marjin tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) Hji = Harga penjualan pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) Hbi = Harga pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) Ci = Biaya pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) πi = Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) i = 1,2,3,…….,n MT = Total marjin tataniaga Selain itu, marjin tataniaga juga dapat diperoleh dari penjumlahan biaya tataniaga dan keuntungan tataniaga pada suatu saluran tataniaga yang terbentuk. Hal ini dapat diartikan sebagai value added dari komoditi yang dipasarkan ( Limbong dan Sitorus 1985). Analisis marjin tataniaga dapat dipakai untuk melihat keragaan pasar yang terjadi pada suatu sistem tataniaga. 4.4.5.2. Analisis Farmer’s Share Farmer’s share adalah proporsi dari harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir yang dinyatakan dalam persentase. Farmer’s share dapat digunakan dalam menganalisis efisiensi saluran tataniaga dengan membandingkan seberapa besar bagian yang diterima oleh petani dari harga yang dibayarkan konsumen akhir. Jika harga yang ditawarkan pedagang/lembaga tataniaga semakin tinggi dan kemampuan konsumen dalam membayar harga semakin tinggi, maka bagian yang diterima oleh petani akan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan petani menjual komoditinya dengan harga yang relatif rendah. Dengan demikian dapat diketahui Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga, artinya semakin tinggi marjin tataniaga maka bagian yang akan diperoleh petani 46 (Farmer’s share) semakin rendah. Farmer’s share akan menunjukkan apakah tataniaga memberikan balas jasa yang seimbang kepada semua pihak yang terlibat dalam tataniaga. Secara matematis farmer’s share dapat dirumuskan dengan (Asmarantaka 2009) : 100% Keterangan: Fs = Farmer’s share Pf = Harga di tingkat petani Pr = Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir 4.4.5.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Rasio keuntungan dan biaya tataniaga merupakan besarnya keuntungan yang diterima lembaga tataniaga sebagai imbalan atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Penyebaran marjin tataniaga dapat pula dilihat berdasarkan persentase keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masing-masing lembaga tataniaga. Menurut Asmarantaka (2009) rasio keuntungan terhadap biaya setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio Keuntungan terhadap Biaya = Keuntungan ke-i Biaya ke-i x 100 % Keterangan: Keuntungan ke-i = Keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Kg) Biaya ke-i = Biaya lembaga tataniaga (Rp/Kg) Pengukuran efisiensi operasional dapat dilakukan melalui salah satu indikator yaitu dengan menggunakan rasio antara keuntungan terhadap biaya tataniaga (Asmarantaka 2009). Hal ini dikarenakan keuntungan merupakan opportunity cost dari biaya. Apabila Π/C bernilai positif (Π/C >0), maka aktivitas tataniaga tersebut dinilai efisien, dan apabila Π/C bernilai negatif (Π/C < 0), maka aktivitas tataniaga tersebut dinilai tidak efisien. 47 V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian 5.1.1. Keadaan Umum Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten yang termasuk dalam regional Provinsi Bali. Kabupaten Badung secara geografis terletak pada 8°14’20” - 8°50’48” Lintang Selatan dan 115°05’00” - 115°26’16” Bujur Timur dengan wilayah seluas 418,52 km2 atau sekitar 7,43 persen dari daratan Pulau Bali. Wilayah Kabupaten Badung terdiri dari enam wilayah kecamatan dan 62 desa/kelurahan. Enam kecamatan yang termasuk di wilayah Kabupaten Badung terdiri dari Kecamatan Kuta Selatan, Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Mengwi, Kecamatan Abiansemal dan Kecamatan Petang. Perbandingan suhu udara di Kabupaten Badung selama tahun 2010 dengan suhu maksimum tertinggi terjadi pada Bulan Maret yaitu 32,3 °C, sedangkan suhu terendah terjadi pada Bulan Juli dan Agustus dengan suhu sebesar 29,5 °C. Sementara itu suhu minimum tertinggi terjadi pada Bulan Mei 26,0 °C dan terendah pada Bulan November sebesar 24,9 °C. Kelembapan udara di wilayah ini berkisar antara 81 - 86 persen. Curah hujan di wilayah Kabupaten Badung berkisar antara 66 – 508,2 mm per tahun. Kecamatan Kuta Selatan berjarak 36 km dari Kabupaten Badung. Luas wilayah Kecamatan Kuta Selatan adalah 101,13 km2 dengan ketinggian 28 m di atas permukaan laut. Batas – batas wilayah Kecamatan Kuta Selatan terdiri dari sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kuta, sedangkan sebelah selatan, barat dan timur berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Secara geografis wilayah Kecamatan Kuta Selatan terletak pada 08°46’58.7” Lintang Selatan dan 115°10,41.3” Bujur Timur. Kecamatan Kuta Selatan merupakan wilayah Kabupaten Badung yang langsung berbatasan dengan pesisir pantai. Kondisi ini mendukung pengembangan potensi perikanan di wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Tabel berikut menunjukkan hasil produksi perikanan di wilayah Kecamatan Kuta Selatan. 48 Tabel 9. Produktivitas Hasil Perikanan di Kecamatan Kuta Selatan Tahun 2011 Komoditi Produktivitas (ton/ha) Udang/Lobster 8,52 Tuna 289,54 Tongkol 103,29 Cakalang 623,52 Layang 126,97 Kakap 18,55 Kerapu 13,48 Lencam/Jangki 10,77 Tenggiri 2,37 Ekor Kuning 9,80 Lemuru Layur Nila Kepiting Rumput Laut 43,76 7,21 17,25 2,69 14.036,66 Sumber : Profil Kecamatan Kuta Selatan, 2011 Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 9, terlihat beberapa komoditi yang dihasilkan dari wilayah perairan yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Pada data tersebut ditunjukkan bahwa rumput laut merupakan komoditi perikanan dengan produktivitas tertinggi. Penduduk Kecamatan Kuta Selatan sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai nelayan sebanyak 6.644 orang atau 15,06 persen. Hal ini didasarkan oleh kesesuaian dari kondisi alam dan lingkungan wilayah Kuta Selatan yang dikelilingi oleh wilayah perairan yang sangat mendukung aktivitas penduduk khususnya dalam kegiatan budidaya laut. Jenis mata pencaharian lain yang mendominasi penduduk di wilayah Kecamatan Kuta Selatan adalah pekerjaan sebagai karyawan swasta sebanyak 13.636 atau 30,91 persen. Pekerjaan ini biasanya didominasi oleh penduduk yang bekerja sebagai karyawan di bidang pariwisata dan perhotelan. Data mengenai mata pencaharian penduduk di Kecamatan Kuta Selatan dapat dilihat pada Tabel 10. 49 Tabel 10. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Kuta Selatan Jenis Mata Pencaharian Penduduk (orang) Petani 3.635 Pegawai Negeri Sipil 5.919 Pengrajin Rumah Tangga 30 Peternak 1.269 Nelayan 6.644 Montir 162 Dokter Swasta Bidan/Perawat Swasta TNI 22 6 56 POLRI 11.048 Pengusaha Kecil dan Menengah Pengacara Dosen Swasta Karyawan Swasta 1.659 2 24 13.636 Sumber : Profil Kecamatan Kuta Selatan, 2011 5.1.2. Keadaan Umum Desa Kutuh Desa Kutuh merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Batas – batas wilayah Desa Kutuh terdiri dari sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Jimbaran yang masih termasuk dalam regional Kecamatan Kuta Selatan, sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Desa Ungasan yang masih termasuk dalam regional Kecamatan Kuta Selatan dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Benoa yang juga termasuk dalam wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Desa Kutuh memiliki luas wilayah sebesar 831,720 ha. Jumlah penduduk di wilayah Desa Kutuh adalah 3.362 orang. Aktivitas mata pencaharian warga sebagian besar bekerja di sektor agribisnis seperti pertanian, peternakan dan perikanan. Hal ini terbukti dari jumlah penduduk yang beraktivitas pada sektor ini terdiri dari 753 orang penduduk yang tercatat sebagai petani (termasuk petani rumput laut) dan 455 orang sebagai peternak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Buku Profil Desa Kutuh pada Tahun 2010, menunjukkan 50 tanaman rumput laut memiliki kontribusi dalam perekonomian warga desa, hal ini ditunjukkan melalui nilai produksi rumput laut di Desa Kutuh pada Tahun 2010 yang mencapai Rp 15.925.170.000 dengan luas lahan sebesar 70 ha. 5.1.3. Keadaan Umum Kelurahan Benoa Kelurahan Benoa merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Selatan dengan ketinggian 50 – 500 m di atas permukaan laut. Batas – batas wilayah Kelurahan Benoa terdiri dari sebelah utara berbatasan dengan Keluarahan Tanjung Benoa yang masih termasuk dalam regional Kecamatan Kuta Selatan, sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Desa Ungasan dan Kelurahan Jimbaran yang masih termasuk dalam regional Kecamatan Kuta Selatan dan sebelah timur berbatasan langsung dengan Selat Lombok. Kelurahan Benoa secara administrasi memiliki luas wilayah sebesar 2.828 ha dengan kondisi bentang alam terdiri dari dataran seluas 1.207,6 ha dan perbukitan seluas 1.620,4 ha. Keadaan suhu rata – rata minimal 23,5 - 25˚C dan maksimum 29,5 – 32 ˚C. Jumlah penduduk di wilayah Desa Kutuh adalah 21.340 orang. Aktivitas mata pencaharian warga Kelurahan Benoa di sektor agribisnis terdiri dari aktivitas di bidang peternakan dan perikanan/kelautan. Penduduk yang berprofesi sebagai peternak berjumlah 785 orang sedangkan yang berprofesi sebagai nelayan (termasuk petani rumput laut) berjumlah 151 orang. 5.2. Karakteristik Petani Responden Petani rumput laut yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini berjumlah 35 orang. Para petani responden berasal dari dua desa/kelurahan di wilayah Kecamatan Kuta Selatan, yaitu Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa yang merupakan sentra pembudidayaan rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan bahkan di wilayah Kabupaten Badung. Metode penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive). Para petani responden pada umumnya menjadikan mata pencaharian sebagai petani rumput laut sebagai pekerjaan utama dan melakukan kegiatan budidaya rumput laut secara rutin. Identitas responden dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman dalam berbudidaya rumput laut dilihat dari segi waktu dan luas lahan garapan budidaya 51 rumput laut yang dimiliki. Data mengenai identitas petani responden dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Karakteristik Responden Petani Rumput Laut Di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Karakteristik Umur ≤ 25 tahun 25 – 50 tahun ≥ 50 tahun Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Perguruan Tinggi Pengalaman Budidaya < 5 tahun 5 -10 tahun ≥ 10 tahun Luas Garapan ≤ 1000 tali ris 1000 – 2000 tali ris ≥ 2000 tali ris Jumlah (orang) Kelompok Non Tani Kelompok Tani Persentase Kelompok Non Kelompok Tani Tani 2 15 13 4 1 6,67 % 50,00 % 43,33 % 80,00 % 20,00 % 7 16 1 6 - 1 3 1 - 23,33 % 53,33 % 3,33 % 20,00 % - 20,00 % 60,00 % 20,00 % - 2 28 4 1 6,67 % 93,33 % 80,00 % 20,00 % 8 10 12 4 1 26,67 % 33,33 % 40,00 % 80,00 % 20,00 % Total petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini berjumlah 35 orang. Petani responden yang berasal dari Desa Kutuh berjumlah 31 orang dan empat orang berasal dari wilayah Kelurahan Benoa. Jumlah petani yang berasal dari Desa Kutuh juga terbagi atas petani yang tergabung dalam kelompok tani dan yang tidak bergabung ke dalam kelompok. Di wilayah Desa Kutuh sendiri terdapat empat kelompok tani rumput laut yang aktif, yaitu Kelompok Tani Segara Amertha, Kelompok Tani Merta Sari, Kelompok Tani Sari Segara dan Kelompok Tani Arta Segara Jati. Pengambilan responden petani rumput laut yang tergabung dalam kelompok tani di wilayah Desa Kutuh juga terdiri dari para anggota yang mewakili dari empat kelompok tani yang ada. Umur petani responden dalam penelitian ini berkisar antara 20 – 65 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebanyak 19 orang petani responden yang 52 terdiri dari 15 orang petani yang menjalankan aktivitas tataniaga melalui kelompok dan empat orang petani yang tidak menjalankan aktivitas tataniaga melalui kelompok tani memiliki umur berkisar antara 25 – 50 tahun. Sementara itu petani dengan umur yang relatif muda ( < 25 tahun) yang menjadi responden dalam penelitian ini hanya berjumlah dua orang. Data tersebut menunjukkan bahwa ketertarikan pemuda untuk ikut serta dalam aktivitas pembudidayaan rumput laut sangat jarang ditemui di lokasi penelitian, hal ini dikarenakan sebagian besar pemuda di wilayah ini cenderung lebih banyak memiliki mata pencaharian di sektor lain, khususnya di sektor pariwisata. Tingkat pendidikan menjadi salah satu hal yang diperhatikan dari identitas petani responden. Sebanyak 19 orang petani responden hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar (SD) saja. Sebanyak satu orang lulus di tingkat SLTP, tujuh orang lulus di tingkat SLTA sementara delapan orang tidak tamat Sekolah Dasar. Tingkat pendidikan petani tentunya dapat mempengaruhi kinerja petani khususnya terkait perolehan informasi dalam kegiatan budidaya rumput laut. Dalam melakukan kegiatan budidaya rumput laut, sebanyak 29 petani responden baik yang menjalankan aktivitas tataniaga melalui kelompok tani ataupun non kelompok tani telah menjalankan kegiatan usahatani rumput laut selama sepuluh tahun. Pengalaman petani ini akan menjadi salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan budidaya rumput laut. Luas lahan garapan dalam aktivitas budidaya rumput laut dihitung berdasarkan jumlah tali ris yang dimiliki oleh petani. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebanyak 13 orang petani responden memiliki luas lahan sebanyak ≥ 2000 tali ris. Berdasarkan hasil wawancara dengan perwakilan kelompok tani di Desa Kutuh menyatakan bahwa rata – rata lahan yang dimiliki oleh petani adalah seluas lima are dengan 1000 tali ris. Berdasarkan data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa responden petani yang mengelola aktivitas tataniaga secara individu cenderung memiliki lahan pembudidayaan rumput laut lebih sedikit dibandingkan petani yang mengelola aktivitas tataniaga melalui kelompok. Di wilayah Desa Kutuh petani responden memiliki jumlah tali ris yang lebih banyak dibandingkan petani di wilayah Kelurahan Benoa. Hal ini dikarenakan lahan pantai di wilayah Pantai Geger, Kelurahan Benoa sudah mulai diambil alih oleh 53 para investor sebagai bagian dari pembangunan proyek perhotelan di kawasan tersebut, sehingga lahan petani untuk mengusahakan budidaya rumput laut semakin berkurang. Para petani rumput laut yang menjadi responden dalam penelitian ini mengelola kegiatan usaha budidaya rumput laut secara individu dan kelompok. Di Pantai Kutuh yang merupakan lokasi budidaya rumput laut yang termasuk di dalam wilayah Desa Kutuh, petani rumput laut sebagian besar melakukan kegiatan budidaya rumput laut secara kelompok. Kelompok petani rumput laut di wilayah Desa Kutuh berperan langsung dalam memfasilitasi pemasaran rumput laut milik anggota. Namun, terdapat juga beberapa petani rumput laut di wilayah Desa Kutuh yang mengelola kegiatan budidaya rumput laut secara individu. Para petani ini menjual hasil panen rumput laut yang dihasilkan melalui pedagang pengumpul. Berbeda halnya dengan para petani rumput laut di wilayah Pantai Geger, Kelurahan Benoa. Di wilayah pantai ini para petani rumput laut juga tergabung ke dalam wadah kelompok tani, namun kelompok tani di Pantai Geger hanya mengkoordinir aktivitas pembudidayaan rumput laut saja, namun dalam kegiatan pemasaran hasil panen dilakukan masing – masing oleh anggota petani. Petani di wilayah Pantai Geger juga menjual hasil panen rumput laut kepada pedagang pengumpul. 5.3. Karakteristik Responden Lembaga Tataniaga Rumput laut merupakan salah satu komoditi hasil perairan yang memiliki nilai tinggi di wilayah Kabupaten Badung. Rumput laut juga menjadi salah satu komoditi perairan yang memiliki nilai ekspor, hal ini tentunya mengakibatkan adanya keterlibatan beberapa lembaga dalam tataniaga rumput laut. Peranan beberapa lembaga dalam tataniaga rumput laut juga dapat dilihat dalam tataniaga rumput laut yang berasal dari wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Beberapa lembaga yang terlibat dalam tataniaga rumput laut ini diantaranya adalah pedagang pengumpul, agen perantara dan eksportir. Lembaga tataniaga yang terdapat dalam saluran tataniaga rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan diperoleh melalui metode snowball sampling yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan, pedagang pengumpul yang terlibat dalam saluran tataniaga rumput laut 54 berjumlah dua orang. Kedua pedagang pengumpul tersebut berasal dari wilayah Desa Sawangan, Kecamatan Kuta Selatan. Para pedagang pengumpul ini selanjutnya akan memasarkan rumput laut kepada satu orang eksportir yang sama yang berada di wilayah Provinsi Bali. Selain pedagang pengumpul dan eksportir, terdapat pula peranan agen perantara yang mengirimkan produk rumput laut yang berasal dari wilayah Desa Kutuh ke pihak eksportir yang berada di Surabaya. Masing – masing individu dari lembaga tataniaga tersebut memiliki beberapa karakteristik yang dapat mempengaruhi kinerja serta kegiatan usaha yang dilakukan, data mengenai karakteristik individu dari responden lembaga tataniaga dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Karakteristik Individu dari Responden Lembaga Tataniaga Rumput Laut di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan Lembaga Tataniaga Karakteristik Pedagang Agen Pengumpul Perantara Orang % Orang Eksportir % Orang % Umur ≤ 25 tahun - - 1 100 - - 25 – 50 tahun 1 50 - - 2 100 ≥ 50 tahun 1 50 - - - - Tamat SD 1 50 - - - - Tamat SLTP - - - - - - Tamat SLTA 1 50 1 100 - - Perguruan Tinggi - - - - 2 100 < 5 tahun - - 1 100 - - 5 -10 tahun 2 100 - - 2 100 Tingkat Pendidikan Pengalaman Usaha Pada Tabel 12 tersaji data yang menunjukkan tingkat pendidikan dari responden akan mempengaruhi tingkatan individu dari lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga rumput laut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, pelaku 55 eksportir memiliki tingkat pendidikan paling tinggi dibandingkan pelaku lembaga pemasaran yang lain yaitu hingga jenjang perguruan tinggi. Selain itu, pengalaman usaha dari para pelaku lembaga pemasaran sudah tergolong lama yaitu berkisar pada 5 – 10 tahun kecuali pada agen perantara yang baru menggeluti usaha pengangkutan rumput laut selama kurang dari lima tahun. 5.4. Kelompok Tani Kelompok tani rumput laut yang berada di Desa Kutuh berperan dalam aktivitas budidaya dan pemasaran hasil panen rumput laut milik anggota. Peranan kelompok tani dalam aktivitas budidaya meliputi penyediaan sarana budidaya dan memberikan panduan teknis dalam pelaksanaan budidaya rumput laut. Salah satu kelompok tani rumput laut di Desa Kutuh yaitu Kelompok Tani Segara Amerta menjadi kelompok tani terbaik dan memperoleh penghargaan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2010. Prestasi tersebut menjadikan aktivitas budidaya rumput laut di Desa Kutuh mendapatkan perhatian khusus seperti adanya bantuan untuk pembangunan pondok milik petani rumput laut. Salah satu keunggulan dari kelompok tani rumput laut di wilayah Desa Kutuh ini adalah adanya peranan kelompok tani dalam aktivitas tataniaga khususnya dalam memfasilitasi pemasaran hasil panen rumput laut kering milik petani. Kelompok tani memberikan persyaratan kualitas dari hasil panen rumput laut yang harus dipatuhi oleh masing – masing anggota. Persyaratan tersebut meliputi persyaratan kadar air, kebersihan hasil rumput laut yaitu tidak ada kotoran seperti organisme laut lain yang menempel dan tidak mengandung pasir karena berdasarkan hasil wawancara dengan pihak kelompok tani yang mengatakan bahwa pasir dapat mempengaruhi kualitas dalam penepungan. Peranan kelompok tani dalam aktivitas tataniaga dimulai dengan pencarian informasi harga jual rumput laut yang berlaku di sentra pembudidayaan rumput laut di seluruh Indonesia selanjutnya pihak pengurus kelompok akan menentukan kisaran harga yang akan ditawarkan kepada calon pembeli. Selanjutnya pengurus kelompok akan menentukan jadwal penjualan di tingkat kelompok tani yang biasa dilakukan setiap dua bulan sekali. Pihak pengurus akan mengumpulkan hasil panen rumput laut kering dari setiap anggota. Rumput laut kering yang dikumpulkan telah dikemas dalam karung dengan volume ± 100 kg per karung. 56 Pengemasan yang dilakukan merupakan salah satu persyaratan yang ditetapkan oleh pembeli. Hasil panen rumput laut kering selanjutnya akan dikumpulkan di balai kelompok. Pelayanan lain yang diberikan oleh kelompok tani kepada para anggota adalah bantuan permodalan dengan penetapan bunga sebesar 1 – 1,5 persen per tahun. Pengembalian terhadap pinjaman dari masing – masing anggota akan diperhitungkan pada saat waktu penjualan yang ditentukan. Kelompok tani juga menyediakan barang – barang kebutuhan sehari – hari seperti kebutuhan bahan pokok bagi para anggota. Fasilitas tersebut hanya diberikan kepada para anggota kelompok tani. Para petani rumput laut yang tidak tergabung dalam keanggotaan kelompok tani bisa melakukan penjualan melalui kelompok namun dengan pemberlakuan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan anggota kelompok tani yaitu dengan pemotongan harga sebesar Rp 1.000,00 per kilogram rumput laut kering. 5.5. Budidaya Rumput Laut 5.5.1. Pemilihan Lokasi Budidaya Pemilihan lokasi yang tepat menjadi faktor utama dalam menentukan keberhasilan budidaya rumput laut. Hal ini dikarenakan pertumbuhan rumput laut sangat ditentukan oleh kondisi ekologi setempat, pertumbuhan rumput laut tentunya akan mempengaruhi tingkat produksi dan kualitas. Penentuan lokasi harus disesuaikan dengan metode budidaya yang akan digunakan. Pemilihan lokasi budidaya rumput laut perlu memperhatikan tiga faktor yang akan saling berkaitan dan berpengaruh satu sama lain, yaitu faktor ekologis, faktor kemudahan (aksesibilitas) dan faktor risiko (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2009). 1) Faktor Ekologis Beberapa parameter terkait faktor ekologis yang perlu diperhatikan dalam kegiatan budidaya rumput laut antara lain : pergerakan air, kondisi dasar perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, pencemaran dan ketersedian bibit dan tenaga kerja yang terampil. 57 a) Pergerakan air Lokasi yang baik untuk budidaya rumput laut adalah lokasi perairan harus terlindung dari arus dan hempasan ombak yang terlalu kuat. Besarnya kecepatan arus yang ideal antara : 20 – 40 cm/detik. Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik adalah adanya tumbuhan karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu arah. Pergerakan air yang cukup akan membawa hara sebagai nutrisi yang cukup dan sekaligus mencuci kotoran yang menempel pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi suhu air yang besar. Suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20 – 28 °C. b) Dasar perairan dan kedalaman air Dasar perairan yang terdiri atas pecahan – pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik. Lokasi budidaya yang baik untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah pada kedalaman 1 – 7 meter. Kedalaman air pada saat surut terendah minimal 0,40 meter. Hal yang perlu diperhatikan adalah pada kedalaman perairan tersebut sinar matahari masih dapat mencapai tanaman dan petani tetap dapat melakukan kegiatan poduksi seperti pemasangan sarana budidaya. c) Salinitas Eucheuma cottonii adalah rumput laut yang bersifat stenohaline. Organisme ini tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik berkisar antara 28 – 35 ppt. Untuk memperoleh perairan dengan kondisi salinitas tersebut harus dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai. d) Kecerahan Cahaya matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya matahari. 58 Kecerahan perairan yang ideal adalah lebih dari satu meter. Air yang keruh (biasanya mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Di samping itu kotoran dapat menutupi permukaan thallus, dan menyebabkan thallus tersebut membusuk dan patah. Secara keseluruhan kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. e) Pencemaran Perairan yang telah tercemar oleh limbah rumah tangga, industri, maupun limbah kapal laut harus dihindari. Semua bahan cemaran dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. f) Ketersediaan bibit Bibit rumput laut yang baik harus tersedia baik kuantitas maupun kualitas secara kontinyu. Apabila di lokasi budidaya tidak tersedia bibit maka harus didatangkan dari lokasi lain. g) Tenaga Kerja Tenaga kerja sebaiknya dipilih yang bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi budidaya terutama petani/nelayan lokal. Penggunaan tenaga lokal dapat menghemat biaya produksi dan sekaligus membuka peluang/kesempatan kerja. 2) Faktor Kemudahan Pemilik usaha budidaya rumput laut biasanya memilih lokasi yang berdekatan dengan tempat tinggal sehingga kegiatan monitoring dan penjagaan keamanan dapat dilakukan dengan mudah. Jarak maksimum yang direkomendasikan adalah satu kilometer. Lokasi diharapkan berdekatan dengan sarana jalan, karena akan mempermudah dalam pengangkutan bahan, sarana budidaya, bibit, dan hasil panen. Hal tersebut akan mengurangi biaya pengangkutan. 3) Faktor Risiko a) Faktor Keterlindungan Untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan tumbuhan rumput laut, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari pengaruh angin 59 dan gelombang yang besar. Lokasi yang terlindung biasanya didapatkan di perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung (ada penghalang atau pulau di depannya) b) Faktor keamanan Masalah pencurian dan perbuatan sabotase mungkin dapat terjadi, sehingga upaya pengamanan baik secara individual maupun bersama – sama harus dilakukan. Beberapa pemilik usaha berupaya menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar juga harus dilakukan. c) Faktor Sosial Beberapa kegiatan perikanan (kegiatan penangkapan ikan, pengumpul ikan hias) dan kegiatan non perikanan (pariwisata, perhubungan laut, industri, taman nasional laut) dapat berpengaruh negatif terhadap aktivitas usaha rumput laut. 5.5.2. Pembibitan Bibit sebaiknya dipilih dari tanaman yang masih segar yang dapat diperoleh dari tanaman rumput laut yang tumbuh secara alami maupun dari tanaman budidaya. Penyediaan bibit harus tepat waktu yaitu segera setelah kontruksi rakit budidaya terpasang. Bibit yang digunakan berupa stek harus sehat, masih muda dan banyak cabang. Dalam penyediaan bibit sebaiknya diseleksi bibit yang baik dari hasil panen dengan ciri – ciri : a) Bercabang banyak, rimbun dan runcing, b) Tidak terdapat bercak dan terkelupas, c) Warna spesifik (cerah), d) Thallus tidak berlendir dan layu, e) Bagian thallus transparan dan berpigmen, f) Bau alami, g) Bebas dari penyakit dan lumut efifit h) Umur 25 – 35 hari. i) Berat bibit yang ditanam adalah antara 50 – 100 g/rumpun. Selain pemilihan kriteria yang baik dalam penggunaan bibit pada kegiatan budidaya rumput laut, hal lain yang harus diperhatikan terkait dengan penanganan 60 bibit adalah dalam transportasi dan cara pengepakan bibit. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam transportasi bibit antara lain adalah : • Bibit harus tetap dalam keadaan basah/lembab selama dalam perjalanan • Tidak terkena air tawar • Tidak terkena minyak atau kotoran – kotoran lain • Jauh dari sumber panas (seperti mesin kendaraan) • Tidak terkena sinar matahari Sementara itu, dalam pengepakan bibit rumput laut, adapun tata cara yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut : • Karung plastik lebar sesuai dengan potongan – potongan bibit yang akan dibawa • Bibit rumput laut dimasukkan ke dalam karung plastik tanpa dipadatkan supaya bibit tidak rusak, mulut kantong kemudian diikat. • Bagian atas kantong dilubangi dengan diameter sekitar 1 cm untuk sirkulasi udara. Setelah sampai di tujuan, bibit harus segera dibuka dan direndam dalam air laut yang diberi aerasi kemudian diseleksi selanjutnya siap dilakukan penanaman. Dalam penyediaan bibit rumput laut, perlu diperhatikan kualitas dan kontinyuitas bibit. Sebaiknya bibit yang digunakan untuk budidaya adalah bibit yang berasal dari kebun bibit rumput laut yang berumur antara 25 – 35 hari. Namun pada kenyataannya masyarakat pembudidaya belum memahami dengan baik kegunaan dan keuntungan dari kebun bibit rumput laut tersebut, sehingga jumlah pembudidaya yang memiliki kebun bibit sendiri masih sedikit. Kebun bibit rumput laut merupakan unit budidaya rumput laut yang produksinya diperuntukkan sebagai penghasil bibit bukan untuk produk rumput laut kering. Tujuannya adalah untuk menghasilkan bibit dengan kualitas yang baik dan adaptif. Sebagai acuan dalam pembuatan kebun bibit rumput laut telah diterbitkan Standar Operasional Prosedur Kebun Bibit rumput laut. 5.5.3. Metode Lepas Dasar Metode ini ideal untuk dilakukan pada perairan yang dasarnya berpasir atau pasir berlumpur. Hal ini penting untuk memudahkan penancapan 61 patok/pancang. Metode lepas dasar merupakan metode budidaya rumput laut yang diterapkan di wilayah perairan di Kecamatan Kuta Selatan. Penancapan patok akan sulit dilakukan bila dasar perairan terdiri dari batu karang. Patok terbuat dari kayu yang kuat dengan (diameter sekitar 10 cm sepanjang 1 m) yang salah satu ujungnya diruncingi. Jarak antar patok sekitar 2,5 m. Setiap patok dipasang berjajar dan dihubungkan dengan tali ris utama polyethylen (PE) berdiameter 8 mm. Jarak antara tali ris rentang sekitar 20 cm. Tali ris rentang yang telah berisi ikatan tanaman direntangkan pada tali ris utama dan posisi tanaman budidaya berada sekitar 30 cm di atas dasar perairan (perkirakan pada saat surut terendah masih tetap terendam air). Luasan yang ideal untuk mengaplikasikan metode lepas dasar biasanya seluas 100 m x 5 m. Luasan ini membutuhkan bahan – bahan sebanyak ; • Patok kayu : panjang 1 m (diameter 10 cm) sebanyak 275 buah • Tali ris rentang : bahan PE (diameter 4 – 5 mm) sebanyak 10 kg • Tali ris utama : bahan PE (diameter 8 mm) sebanyak 15 kg • Tali PE (diameter 1 – 2 mm) sebanyak 1 kg • Bibit rumput laut sebanyak 1.000 kg (ukuran bibit biasanya 50 – 100 g/titik) 5.5.4. Budidaya Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa Kegiatan budidaya rumput laut di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa dilakukan di wilayah lepas pantai yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Aktivitas budidaya rumput laut di kedua wilayah telah dikelola dengan membentuk kelompok tani masing – masing berjumlah empat kelompok tani di wilayah Pantai Kutuh, Desa Kutuh, dan satu kelompok tani di wilayah Pantai Geger, Kelurahan Benoa. Lokasi pembudidayaan rumput laut di wilayah Pantai Geger sudah mulai berkurang karena adanya proyek pembangunan hotel di sekitar pantai dan sebagian wilayah pantai ditujukan sebagai obyek wisata. Metode yang digunakan oleh petani dalam melakukan budidaya rumput laut baik di Pantai Kutuh maupun Pantai Geger adalah dengan menggunakan metode lepas dasar. Hal ini mengingat kedua wilayah pantai tersebut merupakan perairan yang memiliki kondisi dasar perairan yang berpasir. Penanaman rumput laut di kedua lokasi budidaya menggunakan alat berupa tali polyethylen yang 62 dibentangkan sepanjang 2,5 – 3 m, yang di sepanjang tal tersebut diikatkan diikatkan tali rafia dengan jarak di setiap ikatan sebesar 10 – 15 cm yang berfungsi untuk mengikat bibit rumput laut. Bibit yang digunakan oleh para petani rumput laut di lokasi penelitian, pada umumnya diperoleh dari sebagian hasil panen yang selanjutnya dibudidayakan kembali. Di wilayah Pantai Kutuh sendiri sempat diwacanakan untuk menciptakan areal khusus bagi kebun bibit rumput laut guna menciptakan keberlangsungan dalam penyediaan bibit. Namun hal ini belum dapat terealisasi mengingat areal yang dibutuhkan adalah areal yang bebas dari serangan penyakit tanaman pada rumput laut seperti penyakit ice – ice. 63 VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Sistem Tataniaga Tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan dari petani hingga eksportir melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat dalam aktivitas tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan terdiri dari pedagang pengumpul, agen perantara (distributor) dan eksportir. Pada penelitian ini, lokasi budidaya rumput laut yang dijadikan lokasi penelitian adalah Pantai Kutuh yang berada di wilayah Desa Kutuh dan Pantai Geger yang termasuk di dalam wilayah Kelurahan Benoa. Rumput laut yang diproduksi di wilayah ini merupakan produk yang ditujukan untuk pasar ekspor, sehingga dalam penelitian ini tidak dilakukan penelusuran hingga konsumen akhir. Skema saluran tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5. Pola I ( 30 orang petani = 85,71 %) Petani Anggota Kelompok Tani Pola I (Volume : 57,8 ton) UD. 89 (Eksportir di Surabaya) Agen Perantara Pedagang Pengumpul A Petani non Anggota Kelompok Tani Pola II ( 1 orang = 2,86 %) Pola II (Volume : 2 ton) UD. Rahmat Bahari (Eksportir) Pedagang Pengumpul B Pola III ( 4 orang petani = 11,43 %) Pola III (Volume : 16 ton) Gambar 5. Skema Sistem Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan Berdasarkan skema yang terlihat pada Gambar 5, terbentuk suatu sistem tataniaga yang merupakan kesatuan yang saling berkaitan satu sama lain antar lembaga tataniaga. Gambar 5 menunjukkan tiga pola saluran tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan yaitu : Pola I : Petani (melalui Kelompok Tani) Agen Perantara Eksportir (Surabaya) (ditunjukkan dengan garis penghubung berwarna biru Pola II : Petani (Individu) ) Pedagang Pengumpul A Eksportir (Bali) (ditunjukkan dengan garis penghubung berwarna merah Pola III : Petani (Individu) ) Pedagang Pengumpul B Eksportir (Bali) (ditunjukkan dengan garis penghubung berwarna hijau ) Aktivitas tataniaga rumput laut di tingkat petani yang berada di lokasi penelitian terbagi menjadi dua, tataniaga rumput laut melalui kelompok tani dan tataniaga rumput laut yang dilakukan secara individual oleh petani. Petani rumput laut di wilayah Pantai Kutuh mengelola aktivitas tataniaga secara kelompok maupun individu, namun aktivitas tataniaga lebih didominasi oleh petani yang menjalankan penjualan rumput laut melalui kelompok tani. Sementara itu, petani di Pantai Geger melakukan penjualan hasil panen rumput laut secara individu. Petani rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan menjual hasil panen rumput laut dalam bentuk rumput laut kering. Pola saluran tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa cenderung membentuk rantai tataniaga yang pendek. Hal ini mengingat bahwa produk yang dihasilkan merupakan bahan baku (raw material) yang digunakan bagi industri pengolahan khususnya dalam pengolahan karaginan yang diimpor oleh beberapa negara seperti China, Philipina dan Amerika Serikat. Sedangkan industri pengolahan rumput laut di dalam negeri masih jarang ditemui. Petani rumput laut pada umumnya menjual seluruh hasil panen kepada satu tujuan lembaga tataniaga. Petani di wilayah Pantai Kutuh pada umumnya mengumpulkan hasil rumput laut kering kepada kelompok tani pada waktu yang telah ditentukan oleh pengurus kelompok. Setelah seluruh hasil panen dari setiap 65 anggota telah terkumpul, pengurus kelompok kemudian bertugas mencari pembeli dan melakukan negosiasi harga yang disesuaikan dengan informasi harga jual rumput laut di pasaran. Pembeli dengan pengajuan harga tertinggi yang akan memperoleh hasil rumput laut kering. Berbeda halnya dengan petani di wilayah Pantai Geger. Para petani di wilayah ini melakukan penjualan rumput laut secara individu. Masing – masing petani menjual hasil rumput laut kering kepada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul selanjutnya akan menjual rumput laut kepada pihak eksportir. 6.2. Saluran Tataniaga Saluran tataniaga atau dikenal juga sebagai saluran pemasaran adalah sekelompok individu ataupun lembaga yang memiliki hubungan satu sama lain dalam penyaluran produk dari produsen ke tangan konsumen. Saluran tataniaga juga menggambarkan keterkaitan antar pelaku tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan dan pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga sebagai upaya peningkatan nilai tambah dari rumput laut yang dipasarkan. Penelusuran saluran tataniaga komoditi rumput laut dimulai dari pihak petani sebagai produsen primer hingga pihak agen perantara dan eksportir yang berada di wilayah Bali dan luar Pulau Bali (Surabaya). Penelusuran tidak dilakukan hingga tingkat konsumen akhir karena produk rumput laut yang disalurkan merupakan produk ekspor dengan permintaan dalam bentuk rumput laut kering yang biasanya dijadikan sebagai bahan baku produk olahan dan pangan di negara importir rumput laut. Lembaga tataniaga yang dijadikan konsumen akhir dalam penelitian ini adalah pihak eksportir. 6.2.1. Saluran Tataniaga I Saluran tataniaga I merupakan saluran yang banyak digunakan oleh petani rumput laut yang menjadi responden dalam penelitian ini dengan persentase responden sebesar 85,71 persen. Pada saluran tataniaga I, petani menjual hasil panen berupa rumput laut kering secara kolektif melalui wadah kelompok tani. Baga (2009) menyebutkan definisi kelompok tani – nelayan merupakan kumpulan petani – nelayan yang tumbuh berdasarkan keakraban dan keserasian, selain itu juga terdapat kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian 66 untuk bersama – sama meningkatkan produktivitas usahatani nelayan dan kesejahteraan anggota. Pola saluran tataniaga ini sebagian besar diterapkan oleh para petani rumput laut di wilayah Pantai Kutuh. Pada pola saluran ini, petani responden berasal dari empat kelompok tani rumput laut yang berada di Desa Kutuh. Pada saluran ini jumlah rumput laut yang berasal dari empat kelompok tani tersebut mencapai jumlah 57.800 kg rumput laut kering. Alasan petani memilih untuk menggunakan saluran ini karena dengan berkelompok petani merasa mampu menerima harga yang lebih baik, karena bargaining position petani menjadi lebih kuat, dan para petani tidak perlu kesulitan dalam mencari pembeli. Berdasarkan Saragih (2010) menyatakan bahwa salah satu hal yang patut menjadi agenda pokok dalam upaya pengembangan sektor perikanan pada abad 21 adalah pengembangan organisasi bisnis nelayan dan jaringan bisnis dengan sasaran utama untuk meningkatkan kemampuan nelayan kecil merebut nilai tambah sehingga pendapatan riil dari nelayan dapat ditingkatkan. Adanya peranan kelompok tani dalam sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan merupakan salah satu dari aplikasi dari upaya pengembangan di sektor perikanan dan kelautan. Kelompok tani rumput laut di wilayah Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan memberikan beragam manfaat terkait hal yang mencakup kebutuhan para anggota. Kebutuhan tersebut meliputi bantuan permodalan berupa pinjaman kepada anggota, penyediaan sarana budidaya rumput laut hingga penyediaan barang – barang kebutuhan sehari – hari seperti sembako. Keberadaan kelompok tani memberikan kekuatan dalam penawaran harga jual dikarenakan kuantitas rumput laut kering yang dikumpulkan melalui kelompok akan terakumulasi dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan kuantitas barang milik dari masing – masing petani yang rata – rata mampu mengumpulkan sebanyak 200 – 300 kg untuk satu kali periode penjualan yaitu rata – rata setiap dua bulan sekali. Sebagian besar pihak eksportir rumput laut memiliki kuantitas permintaan dalam volume yang besar yaitu 200 – 400 ton untuk satu kali pengiriman ekspor rumput laut kering, sehingga apabila terdapat penawaran rumput laut dalam kuantitas 67 yang besar maka hal ini dinilai mampu meningkatkan efisiensi khususnya dalam pengangkutan yang dilakukan oleh agen perantara maupun eksportir. Kelompok tani juga berperan dalam mengontrol aktivitas standarisasi mutu rumput laut yang dihasilkan oleh setiap anggota. Kelompok tani memberlakukan syarat kualitas yang harus dipenuhi oleh para anggota seperti kadar air (tingkat kekeringan) rumput laut, kebersihan dari rumput laut kering sehingga tidak ada kotoran atau organisme laut yang menempel pada rumput laut yang diserahkan serta telah melakukan pengemasan pada rumput laut kering dengan menggunakan karung yang memiliki muatan sekitar 100 kg per karung. Penetapan syarat yang ditetapkan oleh kelompok tani dalam pengumpulan rumput laut kering ini sebagai upaya peningkatan nilai tambah terhadap hasil rumput laut serta memenuhi permintaan dari pihak konsumen dalam hal ini agen perantara atau eksportir. Melalui penetapan tersebut membuktikan bahwa kelompok tani bisa memperoleh harga yang lebih tinggi yang pada saluran ini diperoleh harga jual di tingkat petani sebesar Rp 8.600,00 per kilogram rumput laut kering dibandingkan para petani yang mengelola aktivitas tataniaga secara individu pada saluran II dan III dengan perolehan harga jual hanya sebesar Rp 7.000,00 per kilogram rumput laut kering. Kelompok tani telah menentukan penjadwalan terkait waktu penjualan rumput laut yaitu waktu pengumpulan rumput laut kering dari setiap anggota kelompok tani rumput laut. Waktu penjualan biasa dilakukan setiap dua bulan sekali, hal ini disesuaikan dengan waktu periode tanam hingga panen rumput laut dalam kondisi normal yaitu selama 45 hari. Pada waktu penjualan yang telah ditentukan, perwakilan dari pihak kelompok mendatangi masing – masing anggota petani rumput laut untuk mengambil hasil rumput laut kering yang selanjutnya ditimbang dan dicatat lalu dikumpulkan di balai milik kelompok tani. Pengangkutan hasil rumput laut kering dilakukan oleh pihak kelompok dengan menggunakan mobil pick up yang disewa dengan sistem penyewaan per hari. Sistem penyewaan per hari dilakukan mengingat jumlah rumput laut kering yang harus diangkut ke balai kelompok sangat besar sehingga pelaksanaan pengangkutan di tingkat kelompok tani bisa berlangsung dalam waktu satu hari penuh. 68 Tahapan selanjutnya yang dilakukan oleh kelompok tani setelah pengumpulan rumput laut kering dari masing – masing anggota adalah mencari pembeli. Pada waktu penelitian dilakukan, pembeli yang mengajukan penawaran berasal dari agen perantara untuk pengiriman ekspor melalui eksportir yang berada di Surabaya dan eksportir yang berada di wilayah Bali. Dalam penentuan pembeli ini, kelompok tani tidak memberlakukan kontrak tertentu dengan pihak pembeli. Kelompok tani hanya diminta untuk memenuhi kesepakatan syarat kualitas yang ditentukan oleh pembeli. Syarat yang ditetapkan pada umumnya terkait dengan kadar air, kebersihan dan pengemasan rumput laut kering. Penetapan harga jual di tingkat kelompok tani dilakukan dengan sistem tawar menawar. Pengurus kelompok tani sebelumnya telah melakukan pencarian informasi yang diperoleh melalui media internet mengenai kisaran harga jual rumput laut kering di beberapa daerah di Indonesia. Informasi ini selanjutnya dijadikan sebagai patokan bagi petani dalam menentukan harga jual sehingga petani tetap memiliki kekuatan dalam penentuan harga. Keputusan penentuan pembeli barang dari kelompok tani didasarkan pada pembeli yang mampu memberikan harga tertinggi. Kemampuan kelompok tani dalam mengelola penyetaraan kualitas rumput laut diantara anggota mampu menghasilkan penetapan harga yang sesuai dengan standar harga pasar rumput laut di seluruh Indonesia. Pada periode penjualan saat penelitian dilakukan, pembeli rumput laut pada kelompok tani rumput laut wilayah Pantai Kutuh berasal dari agen perantara. Dalam penentuan harga, agen perantara murni menjalankan fungsinya sebagai perantara antara petani (dalam hal ini kelompok) dengan pihak eksportir yang berada di Surabaya. Sebelum keputusan pembelian dilakukan, agen memperoleh informasi kisaran harga jual yang ditawarkan oleh kelompok tani, selanjutnya informasi ini disampaikan kepada pihak eksportir. Apabila pihak eksportir setuju dengan penetapan harga yang ditawarkan maka keputusan untuk melakukan pembelian dilakukan. Pada periode penjualan saat penelitian dilakukan petani menjual rumput laut kepada agen perantara dengan harga Rp 8.600 per kilogram rumput laut kering. Pada waktu pembelian, agen perantara datang langsung ke lokasi budidaya untuk mengambil barang. Pada saluran ini agen perantara 69 melakukan fungsi tataniaga berupa fungsi pengangkutan. Pengambilan barang oleh agen perantara biasanya dilakukan dengan menggunakan truk tronton berkapasitas 20 ton rumput laut kering. Penggunaan sarana pengangkutan berupa truk tronton dinilai efisien dan efektif karena jumlah rumput laut kering yang dipasok dari pihak kelompok tani dalam jumlah besar yaitu rata – rata mencapai 50 ton untuk setiap satu kali periode penjualan. Pengangkutan rumput laut kering biasanya sudah dalam bentuk kemasan per karung dengan total berat rumput laut kering sebesar 100 kg per karung. Setelah dilakukan pengangkutan ke dalam truk milik agen perantara, barang langsung didistribusikan menuju Surabaya tanpa melalui penanganan produk lebih lanjut oleh pihak agen perantara. Rumput laut kering yang diperoleh dari pihak kelompok tani selanjutnya dibawa oleh agen perantara menuju gudang milik eksportir yang berada di Surabaya. Pada saat penerimaan barang, pihak eksportir akan memeriksa rumput laut yang diterima, jika sudah sesuai dengan standar yang ditentukan maka rumput laut kering tersebut dimasukkan ke dalam container dan siap untuk diekspor. Eksportir yang terdapat di wilayah Surabaya ini memiliki tujuan ekspor khusus ke negara China. Dalam aktivitas pengiriman rumput laut kering ini pihak eksportir menggunakan sistem C and F. 6.2.2. Saluran Tataniaga II Saluran tataniaga kedua ini juga diterapkan oleh petani rumput laut yang berada di wilayah Pantai Kutuh, hanya saja terdapat hal yang membedakan pada saluran ini yaitu petani yang menggunakan saluran ini tidak tergabung dalam kelompok tani. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani rumput laut yang berada di wilayah Pantai Kutuh, jumlah petani di wilayah Pantai Kutuh yang tidak tergabung ke dalam kelompok tani hanya berjumlah sekitar tiga sampai empat orang saja, namun dalam penelitian ini hanya satu orang petani yang dijadikan sebagai petani responden karena petani rumput lain hanya menjalankan kegiatan budidaya rumput laut sewaktu - waktu. Hal ini didasarkan pada persyaratan penentuan petani responden yaitu harus menjalankan budidaya rumput laut sebagai rutinitas harian. Pada saluran ini, petani menjual hasil panen rumput laut kepada pihak pedagang pengumpul yang berasal dari Desa Sawangan yang masih termasuk dalam Kecamatan Kuta Selatan. Pada penelitian ini terdapat 70 dua pedagang pengumpul yang terlibat dan pada saluran I pedagang pengumpul yang terlibat diberi sebutan sebagai pedagang pengumpul A. Pedagang pengumpul A bertugas mengumpulkan hasil panen rumput laut kering dari para petani. Pada saluran tataniaga II ini ada yang membedakan antara kegiatan pascapanen yang dilakukan oleh petani pada saluran tataniaga II dibandingkan dengan petani rumput laut pada saluran tataniaga I. Pada saluran ini petani hanya melakukan penjemuran terhadap hasil panen rumput laut. Setelah itu, hasil rumput laut kering selanjutnya diserahkan langsung kepada pihak pedagang pengumpul, tanpa melakukan proses pengemasan terhadap rumput laut kering yang dihasilkan. Sehingga dalam aktivitas tataniaga pada saluran tataniaga ini petani tidak mengeluarkan biaya tataniaga. Pedagang pengumpul A selanjutnya menyerahkan rumput laut kering yang dikumpulkan dari para petani kepada pihak eksportir. Eksportir yang dijadikan tujuan penyaluran rumput laut kering umumnya merupakan pelanggan tetap di setiap periode penjualan. Pedagang pengumpul menyerahkan hasil rumput laut kering yang sudah dikemas dalam karung. Pedagang pengumpul pada saluran II ini melakukan pengemasan serta penyortiran kembali terhadap hasil rumput laut kering yang diterima dari petani sebelum diserahkan kepada eksportir. Pihak eksportir selanjutnya yang akan mendatangi langsung ke pedagang pengumpul. Eksportir rumput laut ini berada di wilayah Bali. Pihak eksportir selanjutnya mengirimkan langsung hasil rumput laut kering ke negara tujuan ekspor melalui pelabuhan yang ada di Jawa Timur. Sebelum mengirimkan hasil rumput laut kering untuk ekspor, pihak eksportir terlebih dahulu melakukan penyortiran dan pengepakan kembali terhadap hasil rumput laut kering yang diterima dari pihak pedagang pengumpul. Eksportir melakukan pengemasan rumput laut kering kembali dengan ukuran yang sama. Eksportir terkadang juga harus melakukan penjemuran kembali terhadap hasil rumput laut yang diterima. Penanganan ini dilakukan untuk memperoleh rumput laut dengan standar kualitas ekspor yang telah ditentukan. 6.2.3. Saluran Tataniaga III Saluran tataniaga ketiga memiliki pola yang sama dengan saluran tataniaga kedua. Petani pada saluran tataniaga ketiga ini berasal dari wilayah 71 Pantai Geger yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Para petani responden pada saluran ketiga ini juga memasarkan rumput laut secara individu. Petani di wilayah ini juga membentuk wadah kelompok tani namun tidak menaungi kegiatan pemasaran rumput laut para anggota petani rumput laut di kawasan Pantai Geger. Sama halnya dengan petani pada saluran II, pada saluran ini petani menjual hasil panen rumput laut kering kepada pedagang pengumpul, namun dengan pihak pedagang pengumpul yang berbeda dari pedagang pengumpul yang terdapat pada saluran tataniaga II. Pada saluran ini pedagang pengumpul yang terlibat diberi sebutan sebagai pedagang pengumpul B. Pedagang pengumpul B akan mendatangi langsung ke lokasi pondok – pondok milik petani rumput laut. Pada saluran ini petani juga melakukan penjemuran terhadap hasil panen rumput laut yang dibawa dari pantai. Pada saat periode penjualan, pedagang pengumpul B akan datang serta melakukan pengemasan terhadap rumput laut kering ke dalam karung dan selanjutnya dibawa ke gudang milik pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul pada saluran ini hanya menjalankan kegiatan pengemasan tanpa penyortiran terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada pihak eksportir. Pada saat periode penjualan yang dikaji dalam penelitian ini, pada saluran tataniaga ketiga ini menjual kepada pihak eksportir yang sama dengan pihak eksportir yang ada pada saluran tataniaga II. Eksportir menjalankan aktivitas penanganan yang sama terhadap rumput laut kering dalam sistem tataniaga pada saluran tataniaga II. 6.3. Fungsi – Fungsi Tataniaga pada Setiap Lembaga Tataniaga Pada sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan terdiri atas beberapa lembaga tataniaga yang terlibat. Masing – masing lembaga tataniaga tentunya menjalankan fungsi – fungsi tataniaga dengan tujuan untuk memperlancar proses penyaluran produk. Fungsi tataniaga yang dijalankan terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Setiap lembaga tataniaga dapat menjalankan lebih dari satu fungsi sesuai dengan peranan masing – masing dalam keberlangsungan aktivitas tataniaga. Fungsi pertukaran merupakan proses perpindahan hak milik atas suatu barang dari produsen kepada konsumen, fungsi ini terdiri atas fungsi penjualan 72 dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan merupakan pelaksanaan dari hal – hal yang berkaitan dengan cara penjualan serta penentuan keputusan dalam penjualan sehingga diperoleh penetapan harga yang menguntungkan. Sementara fungsi pembelian merupakan penentuan jenis produk yang akan dibeli sesuai dengan kebutuhan konsumen. Pada kedua fungsi ini kegiatan utama yang dijalankan adalah menentukan jenis, kuantitas dan mutu dari barang yang sesuai dengan keinginan konsumen. Fungsi fisik merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dengan produk sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk dan kegunaan waktu. Fungsi fisik terdiri dari beberapa aktivitas seperti penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan. Fungsi penyimpanan dilakukan untuk mengatur keseimbangan suplai produk sepanjang tahun. Pada sistem tataniaga rumput laut ini pelaksanaan fungsi penyimpanan memiliki peranan dalam membantu petani meningkatkan kualitas produk yang dijual. Hal ini dikarenakan permintaan dari pihak konsumen adalah rumput laut dalam bentuk kering, karena dengan penyimpanan yang semakin lama akan meningkatkan kualitas dari rumput laut kering yang dijual. Sementara itu, yang menjadi bagian dari kegiatan pada fungsi fasilitas meliputi fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko dan fungsi informasi pasar. Kegiatan yang termasuk dalam fungsi fasilitas merupakan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperlancar penyaluran dan pertukaran antara produsen dan konsumen. Lembaga – lembaga tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan pada umumnya menjalankan fungsi – fungsi tataniaga yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga pada masing – masing lembaga memiliki perbedaan kualitas dan fasilitas yang digunakan dalam menjalankan fungsi tataniaga. Hal ini akan menentukan nilai yang akan diperoleh di setiap tingkat lembaga yang dapat diukur berdasarkan tingkat harga yang diperoleh. Selain itu, perbedaan kualitas dan fasilitas yang digunakan dalam menjalankan fungsi tataniaga akan mempengaruhi tingkat biaya di masing – masing lembaga dalam sistem tataniaga rumput laut. Berikut ini penjelasan mengenai pelaksanaan 73 fungsi tataniaga di masing – masing pelaku dalam sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. 6.3.1. Petani Pada pelaksanaan penelitian ini, penjualan rumput laut yang dilakukan oleh petani dibagi ke dalam dua bagian, pertama penjualan petani yang dikelola melalui kelompok tani dan penjualan oleh petani secara individu. Perbedaan pengelolaan dalam kegiatan penjualan di tingkat petani menimbulkan perbedaan tingkat lembaga tataniaga yang dijadikan tujuan pemasaran rumput laut. Petani responden menjual hasil panen rumput laut kepada pedagang pengumpul, eksportir atau agen perantara eksportir. Petani responden yang melakukan penjualan melalui kelompok tani pada umumnya langsung melakukan penjualan kepada pihak eksportir yang berada di Pulau Bali atau kepada agen perantara eksportir dari luar Pulau Bali (Surabaya). Hal ini dikarenakan kualitas dari rumput laut yang ditawarkan telah memenuhi standar kualitas yang ditetapkan, yaitu diantaranya kadar air 35 persen dan kebersihan dari rumput laut kering. Kualitas yang dihasilkan tersebut sebagai akibat adanya penanganan yang baik terhadap produk rumput laut kering yang dilakukan oleh para petani anggota kelompok yaitu melalui pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga secara optimal. Pada periode penjualan yang berlangsung saat penelitian dilakukan, petani yang tergabung di dalam kelompok tani khususnya petani rumput laut di wilayah Pantai Kutuh menjual hasil panen kepada pihak agen perantara eksportir dari luar Pulau Bali (Surabaya). Petani responden yang melakukan penjualan melalui kelompok tani berjumlah 30 orang atau 85,71 persen dari total petani responden yang terdapat dalam kegiatan penelitian ini. Penjualan petani rumput laut di wilayah Pantai Kutuh dijalankan oleh empat kelompok tani dengan satu tujuan lembaga tataniaga. Total penjualan dari empat kelompok tani rumput laut tersebut mencapai 57.800 kg rumput laut kering kepada pihak agen perantara eksportir dari luar Pulau Bali (Surabaya). Pihak agen perantara biasanya mendatangi langsung gudang – gudang milik kelompok tani untuk mengambil hasil panen rumput laut. Sementara itu, dari 35 orang petani responden, sebanyak lima orang atau 14,29 persen dari petani responden menjual hasil panen rumput laut kering secara 74 individu. Lembaga yang dijadikan sebagai tujuan pemasaran rumput laut biasanya adalah para pedagang pengumpul yang berada di wilayah Desa Sawangan, Kecamatan Kuta Selatan. Para petani yang menjual secara individu tidak memiliki akses untuk menjual langsung kepada pihak agen perantara atau eksportir karena jumlah hasil panen rumput laut kering terlampau kecil yaitu dengan rata – rata sebanyak 100 – 200 kg rumput laut kering, sementara permintaan dari pihak agen perantara maupun eksportir biasanya dalam jumlah satuan ton sehingga pengambilan secara individu dari pihak agen perantara maupun eksportir ke masing – masing petani dinilai tidak efisien. Sementara itu, pada kelompok tani seluruh hasil panen anggota dijual secara kolektif sehingga memiliki kuantitas yang lebih besar dalam penjualan yaitu mencapai 57.800 kg. Selain itu, para petani yang menjual secara individu juga belum mampu memenuhi syarat standar kualitas rumput laut kering yang diperuntukkan bagi pasar ekspor. Baik dari pihak pedagang pengumpul maupun agen perantara datang langsung ke gudang kelompok petani atau pondok milik petani rumput laut untuk membawa hasil panen rumput laut kering. Pelaksanaan fungsi pengangkutan di tingkat petani dilakukan oleh para petani responden yang melakukan pemasaran melalui kelompok tani. Para petani sebagai anggota dan pengurus kelompok mendatangi pondok – pondok anggota petani untuk mengambil hasil panen rumput laut kering. Pengangkutan biasa dilakukan dengan menggunakan kendaraan berupa pick up yang disewa oleh pihak kelompok tani. Kegiatan pengangkutan ini biasanya dilakukan selama satu hari penuh. Sedangkan untuk pelaksanaan fungsi penyimpanan, baik pada petani responden yang melakukan penjualan secara kelompok maupun individu tetap melakukan fungsi penyimpanan. Fungsi penyimpanan memiliki peranan yang penting dalam pemasaran rumput laut. Permintaan rumput laut dalam bentuk kering mengharuskan petani melakukan penjemuran selanjutnya melakukan penyimpanan terhadap hasil panen rumput laut kering hingga waktu penjualan tiba. Semakin lama rumput laut disimpan hal ini akan meningkatkan mutu rumput laut kering yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, petani responden yang melaksanakan aktivitas tataniaga pada saluran II dan saluran III hanya 75 menjalankan fungsi penjualan dan fungsi penyimpanan saja. Berbeda dengan petani responden yang mengelola pemasaran secara berkelompok. Tataniaga rumput laut melalui kelompok tani menuntut petani untuk melaksanakan fungsi fasilitas yang meliputi fungsi sortasi, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Pelaksanaan fungsi ini dalam rangka meningkatkan kualitas dan tuntutan atas jaminan mutu produk karena mengingat tujuan pemasaran dari kelompok tani adalah langsung kepada lembaga tataniaga yang memiliki tingkat lebih tinggi dan menuntut jaminan kualitas produk yang terbaik. Selain itu perbedaan pelaksanaan fungsi ini juga mempengaruhi tingkat penerimaan harga rumput laut. Harga rumput laut di tingkat kelompok tani mencapai Rp 8.600 per kilogram rumput laut kering sedangkan di tingkat petani individu pada saluran II dan III hanya sebesar Rp 7.000 per kilogram rumput laut kering. Fungsi sortasi dilakukan oleh petani responden yang melakukan penjualan melalui kelompok tani. Pada penerapan fungsi ini, kelompok tani menentukan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh setiap anggota dalam menyerahkan hasil panen rumput laut kering seperti kadar air dan kebersihan dari rumput laut kering yang diserahkan. Setelah proses pemanenan, petani melakukan fungsi penyortiran. Sebelum rumput laut dijemur, petani terlebih dahulu melakukan penyortiran yaitu dengan membersihkan hasil panen rumput laut, pembersihan ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran serta organisme laut lain yang menempel di rumput laut. Fungsi penanggungan risiko yang dihadapi petani adalah penurunan harga jual rumput laut akibat adanya syarat kualitas yang tidak terpenuhi, misalnya pada kadar air dan kebersihan dari produk yang dijual. Syarat kadar air yang tidak terpenuhi dengan baik biasanya disebabkan karena penanganan saat penjemuran yang tidak optimal, hal ini juga bisa diakibatkan karena faktor cuaca yang tidak menentu. Selain melaksanakan fungsi sortasi dan fungsi penanggungan risiko sebagai fungsi fasilitas, petani dalam hal ini kelompok tani menjalankan fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Fungsi pembiayaan dilakukan oleh kelompok tani dengan memberikan bantuan modal dengan memberikan bantuan yang dikenakan bunga sebesar 1 – 1,5 persen per tahun. Pinjaman ini biasa digunakan oleh petani responden untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Fungsi 76 pembiayaan yang dijalankan oleh kelompok tani juga dilakukan dalam bentuk penyediaan sarana budidaya rumput laut bagi para anggota. Biaya dalam penyediaan sarana budidaya ini selanjutnya akan dipotong pada saat penjualan hasil panen rumput laut kering sesuai dengan pengeluaran masing – masing petani anggota. Selanjutnya adalah pelaksanaan fungsi informasi pasar yang dilakukan oleh kelompok tani rumput laut di wilayah Pantai Kutuh. Pelaksanaan fungsi informasi pasar adalah melalui penyampaian informasi mengenai perkembangan harga rumput laut di seluruh wilayah Indonesia kepada anggota kelompok tani. Pencarian informasi dilakukan oleh pengurus kelompok melalui media internet yaitu melalui website milik JaSuDa.Net yang merupakan situs mengenai jaringan sumber daya informasi dan teknologi rumput laut di Indonesia. 6.3.2. Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan umumnya menjalankan ketiga fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah pembelian rumput laut kering dari petani dan menjual kepada pihak eksportir yang berada di wilayah Pulau Bali. Penetapan harga baik harga jual maupun beli di tingkat pedagang pengumpul biasanya disesuaikan terlebih dahulu dengan informasi harga yang diperoleh dari pihak eksportir. Fungsi fisik yang dilaksanakan berupa kegiatan pengangkutan dan penyimpanan. Pelaksanaan kedua fungsi tersebut hampir sama dengan pelaksanaan fungsi pada tingkat kelompok tani. Fungsi pengangkutan dilakukan oleh pedagang pengumpul untuk mangangkut hasil panen rumput laut kering milik petani. Kegiatan pengangkutan dilakukan dengan menggunakan alat pengangkutan berupa mobil pick up yang mampu menampung muatan rumput laut sebanyak delapan karung atau sekitar 800 kg rumput laut kering. Penggunaan sarana pengangkutan dengan kapasitas tersebut mengharuskan pedagang pengumpul berulang kali melakukan pengangkutan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi tingkat biaya tataniaga yang dikeluarkan untuk pengangkutan. Selanjutnya adalah pelaksanaan fungsi penyimpanan. Para pedagang pengumpul biasanya mengambil hasil panen rumput laut kering setiap satu bulan sekali atau dari pihak petani yang menghubungi pedagang pengumpul langsung 77 ketika hasil rumput laut kering sudah terkumpul dalam jumlah tertentu. Hal ini dikarenakan waktu panen yang tidak bersamaan antar para petani yang memasok rumput laut kering kepada pihak pedagang pengumpul. Waktu pengambilan rumput laut yang dilakukan oleh pedagang pengumpul tidak selalu berdekatan dengan waktu penjualan terdekat dengan pihak eksportir. Adanya selisih waktu ini mengharuskan pedagang pengumpul juga melakukan fungsi penyimpanan. Pedagang pengumpul juga menjalankan fungsi fasilitas, terdapat perbedaan diantara pedagang pengumpul A dan pedagang pengumpul B dalam menjalankan fungsi fasilitas. Berdasarkan hasil wawancara dalam penelitian ini, pedagang pengumpul A dan pedagang pengumpul B sama – sama menjalankan fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Namun pada pedagang pengumpul B tidak menjalankan fungsi sortasi. Pedagang pengumpul A mengumpulkan rumput laut kering dari petani, setelah terkumpul pedagang pengumpul A kembali melakukan penyortiran terhadap seluruh rumput laut kering yang diperoleh. Penyortiran dilakukan adalah untuk memastikan bahwa rumput laut yang akan dijual kepada eksportir bersih dari kotoran – kotoran. Sementara itu pedagang pengumpul B akan langsung melakukan pengemasan langsung di pondok petani dengan bantuan beberapa tenaga kerja saat mendatangi pondok petani yang akan menjual hasil rumput laut kering. Hal serupa juga dilakukan oleh pedagang pengumpul A, kemudian selanjutnya dibawa menuju gudang penyimpanan milik masing - masing pedagang pengumpul. Fungsi penanggungan risiko yang dijalankan oleh pedagang pengumpul adalah terkait penurunan harga jual rumput laut kering jika barang yang tersedia tidak memenuhi syarat mutu yang ditentukan oleh eksportir. Selain itu, dalam fungsi fasilitas ini, pedagang pengumpul juga menjalankan fungsi biaya yang membantu petani rumput laut dalam hal permodalan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap petani responden, petani mengatakan dalam melakukan pinjaman kepada pihak pedagang pengumpul, tidak terdapat penetapan bunga terhadap pinjaman yang diberikan oleh pedagang pengumpul kepada petani. Pengembalian pinjaman akan dilakukan melalui pemotongan dari total harga pembelian atas rumput laut kering milik petani yang diserahkan kepada pedagang pengumpul. Jumlah pemotongan disesuaikan dengan jumlah pinjaman 78 yang diterima petani tanpa ada bunga atas pinjaman tersebut. Sedangkan dalam menjalankan fungsi informasi pasar, pedagang pengumpul memperoleh informasi perkembangan harga rumput laut yang diperoleh dari sesama pedagang pengumpul dan pihak eksportir. 6.3.3. Agen Perantara Agen perantara merupakan pihak yang memfasilitasi aktivitas tataniaga antara petani pembudidaya rumput laut dengan pihak eksportir yang berada di luar Pulau Bali (Surabaya). Agen perantara melakukan fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Pada fungsi pertukaran, agen perantara melakukan pembelian rumput laut kering dari kelompok tani yang berada di wilayah Pantai Kutuh. Dalam aktivitas jual beli ini biasanya dari pihak kelompok tani menghubungi pihak agen perantara untuk memberikan informasi mengenai ketersediaan barang. Selanjutnya penentuan harga yang akan dibayar ditentukan oleh eksportir dari Surabaya. Pada aktivitas ini pihak agen perantara murni menjadi perantara dalam kegiatan tawar menawar yang dilakukan antara petani dengan pihak eksportir. Setelah melakukan kegiatan pembelian dari petani, agen perantara selanjutnya langsung mengirim rumput laut kering tersebut menuju Surabaya. Penetapan kualitas rumput laut yang diterima dari kelompok tani disesuaikan dengan permintaan dari pihak eksportir. Fungsi pengangkutan yang dilakukan oleh pihak agen perantara adalah mengangkut hasil panen rumput laut kering dari lokasi budidaya petani ke pihak eksportir yang berada di wilayah Surabaya. Dalam menjalankan kegiatan pengangkutan ini, agen perantara menggunakan truk tronton dengan muatan per truk sebesar 20 ton. Agen perantara tidak melakukan fungsi penyimpanan, karena hasil rumput laut kering dari Pantai Kutuh langsung dikirim langsung kepada pihak eksportir Surabaya dengan tujuan ekspor ke China. Dalam melakukan pengiriman, seluruh biaya pengiriman dan pengangkutan yang dilakukan oleh agen perantara ditanggung oleh pihak eksportir Surabaya. Selain itu, melalui agen perantara pihak eksportir juga menanggung biaya penggantian karung baru bagi kelompok tani sebagai biaya pengemasan. 79 6.3.4. Eksportir Eksportir merupakan lembaga tataniaga akhir yang dijadikan responden dalam penelitian ini. Eksportir yang menjadi responden dalam penelitian ini merupakan eksportir yang berada di wilayah Pulau Bali dengan nama usaha UD. Rahmat Bahari dan di wilayah Surabaya dengan nama usaha UD. 89. Pihak eksportir melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Pada fungsi pertukaran, pihak eksportir dari Surabaya melakukan pembelian melalui agen perantara yang berada di Bali. Selanjutnya pihak eksportir juga melakukan fungsi penjualan dengan mengekspor rumput laut kering ke China sebagai negara tujuan ekspor. Sementara itu pihak eksportir Bali membeli hasil rumput laut kering dari pihak pedagang pengumpul. Pihak eksportir biasanya memiliki posisi yang lebih kuat dalam penetapan harga kepada pedagang pengumpul. Rumput laut kering jenis Eucheuma cottonii merupakan produk ekspor. Eksportir dari wilayah Pulau Bali ini selanjutnya akan mengekspor rumput laut kering ini ke tiga negara tujuan ekspor, yaitu China, Filipina dan Amerika Serikat. Penjualan rumput laut ekspor menggunakan harga dalam satuan Dollar Amerika Serikat per ton. Pada pelaksanaan fungsi fisik, pihak eksportir Surabaya hanya melakukan fungsi pengangkutan yaitu pemindahan hasil rumput laut kering yang dibawa dari Bali oleh agen perantara untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam container. Pada pengangkutan yang dilakukan oleh eksportir menggunakan sistem perhitungan EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut), pada sistem EMKL seluruh biaya pengangkutan telah diperhitungkan mulai dari biaya supir container, freight hingga pengurusan dokumentasi perkapalan. Penghitungan biaya angkut ini dibebankan sesuai dengan jumlah container. Pada proses pengangkutan, muatan untuk satu container berkisar antara 26 – 28 ton. Transaksi ekspor memberlakukan berbagai persyaratan dan standarisasi tidak hanya pada produk namun juga pada prosedur pelaksanaan transaksi, termasuk dalam proses pengiriman dan penyerahan barang. Sesuai dengan ketentuan International Commercial Terms 2000 terdapat beberapa persyaratan penyerahan barang oleh eksportir kepada importir, diantaranya (Ahsjar 2007) : 1) EXW (Ex Works) yaitu penyerahan barang di gudang penjual. 2) FOB (Free On Board) yaitu penyerahan barang di atas kapal. 80 3) C and F (Cost and Freight) yaitu penyerahan barang di atas kapal namun uang tambang sudah dibayar hingga ke pelabuhan tujuan. 4) CIF (Cost, Insurance and Freight) yaitu penyerahan barang di atas kapal namun uang tambang dan premi asuransi sudah dibayar hingga ke pelabuhan tujuan. Pada prosedur pengiriman ekspor rumput laut ini, UD. 89 menggunakan sistem C and F. Dalam pelaksanaan fungsi fisik, eksportir tidak melakukan fungsi lainnya seperti penyortiran ataupun pengemasan kembali. Hal ini dikarenakan pihak petani dan agen perantara yang terlibat pada saluran tataniaga I mampu memenuhi permintaan rumput laut kering sesuai dengan standar kualitas yang telah ditetapkan. Sedangkan pada eksportir yang berada di wilayah Bali, pelaksanaan fungsi fisik diantaranya juga meliputi fungsi pengangkutan pada saat pengambilan barang dari pihak pedagang pengumpul dan pengiriman barang ke luar negeri melalui Pelabuhan Tanjung Perak di Jawa Timur. Pengangkutan ke pihak pedagang pengumpul menggunakan truk tronton dengan kapasitas 20 ton. Selanjutnya rumput laut kering tersebut dibawa dan disimpan di gudang milik eksportir yang berada di Desa Munggu, Kabupaten Badung, Bali. Rumput laut kering yang diperoleh dari pihak pedagang pengumpul kembali melalui proses penyortiran di gudang milik eksportir. Pada proses ini menunjukkan bahwa pihak eksportir juga melakukan fungsi fasilitas yaitu fungsi sortasi, bahkan di lokasi gudang juga dilakukan penjemuran rumput laut kembali akibat kadar air yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Selain disortir kembali selanjutnya rumput laut kering dikemas dalam karung kemudian dipress sehingga setiap karung memiliki ukuran yang sama dengan rata – rata berat per karung sebesar 80 kg. Hal ini memperlihatkan terdapat perbedaan teknis pelaksanaan fungsi pengemasan yang dilakukan di tingkat eksportir dibandingkan pengemasan di tingkat petani (kelompok tani) ataupun di tingkat pedagang pengumpul. Pengemasan ini juga dimaksudkan untuk mempermudah proses pengangkutan sehingga penyusunan karung – karung rumput laut dapat tersusun dengan rapi dan tidak memakan tempat (bulky). 81 Selain fungsi pengangkutan, fungsi fisik lainnya yang dilakukan oleh pihak eksportir di wilayah Bali adalah fungsi penyimpanan. Selanjutnya barang dibawa ke gudang penyimpanan milik UD. Rahmat Bahari, kemudian pada waktu yang telah ditentukan untuk pengiriman, rumput laut dibawa ke pelabuhan. Prosedur pengiriman ke negara tujuan ekspor dibagi menjadi dua, untuk negara China dan Filipina digunakan sistem C and F sementara itu untuk tujuan Amerika Serikat digunakan sistem FOB. Sistem C and F mengharuskan pihak eksportir untuk menanggung biaya pengangkutan dan biaya dokumen pengiriman, sementara itu pada sistem FOB pihak eksportir hanya menanggung biaya dokumen saja. Fungsi fasilitas lain yang dilakukan oleh eksportir adalah fungsi penanggungan risiko. Fungsi penanggungan risiko yang dihadapi oleh eksportir adalah terkait fluktuasi harga rumput laut yang disesuaikan dengan tingkat permintaan dunia serta fluktuasi terhadap nilai tukar mata uang. Selain itu, persyaratan mutu rumput laut yang diterima dari petani ataupun pedagang pengumpul yang tidak terpenuhi dengan baik. Hal ini menyebabkan eksportir perlu melakukan penyortiran kembali terhadap rumput laut kering yang diterima. Fungsi fasilitas lain yang dilakukan oleh eksportir adalah fungsi informasi pasar yaitu terkait informasi pasar dan pelaksanaan kontrak yang dilakukan oleh eksportir di wilayah Bali dengan pihak importir yang mengalami perubahan setiap tiga bulan sekali. Sementara itu, pihak eksportir Surabaya tidak melakukan sistem kontrak dalam kegiatan ekspor yang dilakukan. 6.4. Analisis Struktur Pasar Analisis terhadap struktur pasar rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan dapat dilihat melalui beberapa faktor penentu. Hal - hal yang dijadikan sebagai landasan dalam melakukan analisis terhadap struktur pasar adalah jumlah pembeli dan penjual yang terlibat, sifat dari produk rumput laut yang diperjualbelikan, hambatan keluar masuk pasar, dan informasi pasar yang terjadi. 6.4.1. Jumlah Pembeli dan Penjual dalam Tataniaga Rumput Laut Aktivitas tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa terdiri dari beberapa lembaga tataniaga yang membentuk pola – pola saluran tataniaga. 82 Rumput laut yang dibudidayakan di wilayah ini merupakan produk dengan tujuan pasar ekspor. Saluran tataniaga yang terbentuk menunjukkan aliran tataniaga rumput laut dari tingkat petani hingga tingkat eksportir. Lembaga yang terlibat dalam aktivitas tataniaga ini dimulai dari tingkat petani yang mengelola kegiatan pemasaran rumput laut secara berkelompok dan individu. Perbedaan pengelolaan aktivitas tataniaga di tingkat petani mengakibatkan adanya perbedaan bargaining position para petani rumput laut. Petani yang tergabung dalam kelompok tani pada umumnya mampu menjual hasil panen rumput laut kepada lembaga tataniaga yang memiliki tingkatan lebih tinggi seperti agen perantara ataupun eksportir. Para petani tersebut juga mampu memperoleh harga yang lebih baik dibandingkan para petani yang mengelola penjualan rumput laut secara individu. Para pembeli yang memperoleh rumput laut dari kelompok tani bersedia membayar dengan harga yang lebih tinggi karena adanya jaminan mutu dari produk rumput laut kering yang ditawarkan. Antara pihak kelompok tani dan pembeli sebelumnya melakukan tawar menawar dalam penetapan harga. Pembeli dengan penawaran harga tertinggi yang akan memperoleh hasil rumput laut kering dari kelompok petani yang berada di kawasan Pantai Kutuh. Para petani yang mengelola aktivitas tataniaga rumput laut secara individu pada umumnya ketergantungan dengan keberadaan pedagang pengumpul. Kondisi di lokasi penelitian sesuai dengan Asnawi dan Sastrawidjaja (2007) yang menyatakan bahwa pada komoditi rumput laut, petani tidak dapat menjual produknya langsung ke industri tetapi harus melalui jalur pedagang pengumpul. Jumlah petani rumput laut di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan relatif lebih banyak daripada jumlah pedagang pengumpul. Penelitian ini terdiri dari dua orang responden dari pihak pedagang pengumpul rumput laut. Hubungan petani dengan pedagang pengumpul umumnya sudah bersifat langganan. Jual beli antara petani dan pedagang pengumpul tidak terikat pada suatu kontrak khusus. Para petani rumput laut bebas menjual hasil panen rumput laut kering kepada pedagang pengumpul manapun. Namun, karena keterikatan dalam bantuan modal yang diberikan oleh pedagang pengumpul 83 menjadikan petani akan menjual kepada pedagang pengumpul yang sama untuk setiap periode penjualan. Antar pedagang pengumpul rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan umumnya dapat dikatakan bahwa tidak terdapat persaingan. Masing – masing pedagang pengumpul umumnya telah memiliki petani langganan yang rutin menyerahkan hasil panen rumput laut sehingga antar pedagang pengumpul tidak harus saling bersaing untuk memperoleh pasokan rumput laut. Penentuan harga jual di tingkat petani biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul. Penetapan harga yang ditentukan oleh pedagang pengumpul umumnya disesuaikan dengan harga yang ditetapkan oleh eksportir. Pedagang pengumpul rumput laut yang menjadi responden dalam penelitian ini pada umumnya menjual kepada satu pihak eksportir yang sama. Pada tingkat eksportir pada umumnya memiliki jumlah permintaan yang cukup tinggi dengan persyaratan standar mutu dari rumput laut kering yang akan diperjualbelikan. 6.4.2. Jenis dan Sifat Rumput Laut Pembudidayaan rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan difokuskan pada satu jenis rumput laut, yaitu Eucheuma cottonii. Jenis rumput laut ini biasa digunakan sebagai bahan baku penghasil karaginan. Rumput laut yang diperjualbelikan dalam aktivitas tataniaga dalam penelitian ini merupakan rumput laut kering. Dalam tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan ini tidak terdapat aktivitas grading. Rumput laut sebagai produk yang memiliki pasar ekspor memiliki penetapan kualitas tertentu sebagai syarat ekspor. Standar yang ditetapkan sebagai syarat ekspor adalah kadar air dan kebersihan rumput laut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap petani mengatakan bahwa rumput laut yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Selatan khususnya yang berasal dari perairan di Pantai Kutuh. Pihak agen perantara juga menyebutkan kualitas rumput laut dari Pantai Kutuh jauh lebih baik dibandingkan dengan rumput laut yang berada di Nusa Penida yang juga merupakan sentra budidaya rumput laut di Pulau Bali. Kadar air yang ditetapkan sebagai standar ekspor adalah pada kadar air 35 persen. Berdasarkan pengalaman dari pihak petani, cara pengukuran kadar air pada rumput laut secara manual dapat dilakukan 84 dengan cara menggenggam rumput laut yang sudah kering kemudian jika telapak tangan tetap kering maka menunjukkan kadar air sudah sesuai dengan standar kadar air untuk rumput laut berkualitas baik. Selama masa pengeringan, rumput laut tidak boleh terkena oleh air hujan maupun air tawar. Selain persyaratan kadar air, hal lain yang juga harus dipenuhi untuk rumput laut kering yang akan diekspor adalah syarat kebersihan. Rumput laut kering harus bebas dari kotoran seperti tali rafia sisa pengikatan bibit yang menempel pada rumput laut saat pemanenan, jenis rumput laut lain yang juga menempel pada rumput laut jenis Eucheuma cottonii dan butiran – butiran garam akibat penguapan air laut yang terbentuk ketika proses penjemuran. 6.4.3. Hambatan Keluar dan Masuk Pasar Hambatan keluar dan masuk pasar menjadi salah satu hal yang dapat dijadikan landasan dalam penentuan struktur pasar yang dihadapi masing – masing lembaga tataniaga. Tinggi rendahnya hambatan yang akan dihadapi tergantung dari kekuatan masing – masing lembaga yang bersangkutan. Hambatan yang terlihat dalam aktivitas tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan diantaranya terkait dengan ketersediaan modal, jaringan dan keterikatan yang dimiliki oleh lembaga mengingat produk ini merupakan produk tujuan ekspor serta kemampuan dalam melakukan penanganan pada masa pascapanen sehingga kualitas produk dapat terjamin. Hambatan keluar dan masuk pasar rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan dimulai dari tingkat petani. Gambaran mengenai besarnya hambatan di tingkat petani terlihat dari berbagai aktivitas petani rumput laut yang berada di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan. Ketersediaan modal yang minim di tingkat petani mengharuskan adanya lembaga yang mampu membantu permodalan di tingkat petani. Misalnya para petani rumput laut yang tergabung dalam kelompok tani. Para petani telah terfasilitasi dalam hal bantuan permodalan yang diperoleh dari kegiatan kelompok seperti penyediaan sarana produksi dan budidaya. Kekuatan kelompok tani khususnya yang berperan dalam kegiatan produksi maupun pemasaran ini menjadi hambatan bagi para individu yang ingin melakukan aktivitas pembudidayaan rumput laut. 85 Jumlah anggota yang besar menjadi modal kelompok karena mampu menghimpun produksi rumput laut kering dalam kuantitas yang tinggi. Keberadaan kelompok tani dalam mengelola aktivitas tataniaga rumput laut bagi para petani terlihat menjadi hambatan tersendiri bagi pihak pedagang pengumpul. Kemampuan kelompok tani untuk menghimpun petani mengakibatkan adanya posisi tawar yang tinggi dalam penjualan baik dari segi kuantitas maupun penerimaan harga jual yang lebih baik dibandingkan di tingkat pedagang pengumpul. Selain itu kemampuan kelompok tani dalam mengelola anggotanya untuk mengikuti standar persyaratan kualitas rumput laut yang sesuai menjadikan suatu modal karena adanya kepercayaan di tingkat eksportir khususnya terhadap jaminan kualitas produk, sehingga selain menghasilkan rumput laut dalam kuantitas tinggi namun juga rumput laut berkualitas tinggi. Sementara itu, antar pedagang pengumpul tidak terlihat hambatan yang cukup berarti. Masing – masing pedagang pengumpul juga telah memiliki petani yang rutin menyerahkan hasil panen rumput laut kering, walaupun jika dilihat dari sisi kuantitas rumput laut kering yang mampu dikumpulkan biasanya jumlahnya lebih sedikit dibandingkan di tingkat kelompok tani. Para petani yang mengelola aktivitas tataniaga secara individu tidak memiliki kekuatan jaringan untuk menjual langsung kepada pihak eksportir. Sebaliknya kemampuan pedagang pengumpul dalam membina jaringan yang cukup baik dengan pihak eksportir dan menjadikan hal ini sebagai suatu kelebihan untuk memperoleh keuntungan dalam aktivitas tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Berbeda halnya dengan hambatan keluar dan masuk pasar di tingkat eksportir. Kebutuhan terhadap modal yang besar menjadi salah satu penghambat bagi pendatang baru di tingkat eksportir karena kebutuhan biaya dalam pengiriman mengingat akses pelabuhan yang harus melalui wilayah Surabaya terlebih dahulu serta prosedur perdagangan yang berbeda di masing – masing negara tujuan yang harus dipatuhi untuk kelancaran aktivitas tataniaga rumput laut. Selain itu, rumput laut yang dipasarkan merupakan produk ekspor oleh karena itu pengetahuan dan informasi mengenai standarisasi produk yang harus dipatuhi oleh pelaku baru dalam pemasaran produk ke luar negeri (eksportir) dapat menjadi hambatan untuk memasuki pasar. 86 6.4.4. Informasi Pasar Ketersediaan informasi pasar dalam sistem tataniaga memiliki peranan yang penting dalam menunjang keberlangsungan aktivitas tataniaga. Informasi pasar yang diperlukan oleh lembaga – lembaga tataniaga diantaranya mencakup kondisi pasar, jenis dan mutu produk yang diinginkan, serta yang paling utama adalah mengenai informasi harga pasar yang berlaku. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Hammond dan Dahl (1977) bahwa informasi pasar dapat digunakan oleh para pelaku pasar dalam mengarahkan keputusan yang akan diambil dalam mengendalikan lingkungan pasar yang dihadapi. Informasi pasar di tingkat petani dibedakan berdasarkan pengelolaan tataniaga yang dilakukan oleh petani, yaitu melalui individu atau kelompok. Para petani yang mengelola aktivitas tataniaga dengan tergabung di dalam kelompok tani dapat memperoleh informasi pasar dengan baik, salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi internet dalam pencarian informasi pasar. Pengurus kelompok tani secara rutin terus memperbaharui informasi terkait kegiatan usaha rumput laut di seluruh Indonesia. Informasi diperoleh dengan mengakses media internet khususnya informasi mengenai perkembangan harga rumput laut di Indonesia yang selanjutnya disebarkan kepada para petani anggota. Ketersediaan informasi ini mengakibatkan petani memiliki bargaining position yang lebih baik khususnya dalam penetapan harga. Sementara itu, petani yang mengelola tataniaga secara individu biasanya memperoleh informasi pasar dari pedagang pengumpul. Informasi terkait perkembangan harga yang diperoleh diantara pedagang pengumpul biasanya bersumber dari pihak eksportir. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dapat terlihat bahwa struktur pasar yang dihadapi oleh petani rumput laut baik petani yang menerapkan sistem tataniaga melalui kelompok tani cenderung menghadapi struktur pasar bersaing. Jumlah petani yang banyak menjadikan tidak adanya kekuatan yang mendominasi dalam memberikan pasokan rumput laut kering. Produk yang dihasilkan cenderung homogen yaitu berupa rumput laut kering yang terstandarisasi walaupun fakta yang terlihat di lapangan menunjukkan terdapat perbedaan kualitas antara rumput laut kering yang dihasilkan oleh petani yang mengelola aktivitas penjualan secara berkelompok dengan petani yang mengelola aktivitas 87 penjualan secara individu. Khusus bagi petani yang tergabung dalam aktivitas kelompok cenderung memperoleh informasi pasar yang lebih baik karena adanya kemampuan untuk mengakses informasi mengenai harga rumput laut di seluruh Indonesia melalui media internet. Berdasarkan hasil wawancara, suplai rumput laut kering yang didapat oleh pihak agen perantara ataupun eksportir tentunya tidak hanya berasal dari para petani yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Selatan saja. Untuk wilayah Provinsi Bali sendiri terdapat petani dari wilayah lain seperti Nusa Penida yang juga memasok hasil budidaya rumput laut. Pada proses penetapan harga dilakukan dengan tawar menawar dan disesuaikan dengan harga yang berlaku di pasaran rumput laut nasional. Kedua pihak memiliki kekuatan yang sama dalam menentukan harga, tidak ada salah satu pihak yang memiliki bargaining position lebih kuat. Selain itu adanya pengaruh dari penetapan harga rumput laut yang berlaku di sentra pembudidayaan rumput laut di Indonesia terhadap tingkat harga yang ditetapkan oleh petani khususnya yang tergabung dalam kelompok. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sudarsono (1995) yang menyatakan bahwa pada struktur pasar khususnya pasar persaingan sempurna pihak produsen/pedagang dapat saja melakukan penetapan harga yang lebih tinggi dibandingkan produsen lain namun harus berani menanggung risiko produk yang ditawarkan tersebut tidak laku terjual. Pedagang pengumpul dan agen perantara melakukan dua fungsi pertukaran yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul rumput laut dan agen perantara sebagai penjual cenderung menghadapi struktur pasar tidak bersaing. Pedagang pengumpul di Kecamatan Kuta Selatan tidak berjumlah banyak, dalam penelitian ini terdapat dua responden pedagang pengumpul yang menjadi tujuan pemasaran rumput laut dari petani yang menjadi responden. Responden pedagang pengumpul tersebut hanya menjual kepada satu pihak eksportir yang sudah menjadi pembeli langganan untuk setiap periode penjualan. Pedagang pengumpul memperoleh pasokan rumput laut kering dari responden petani yang menjalankan aktivitas penjualan secara individu. Penentuan harga dilakukan oleh pedagang pengumpul berdasarkan informasi dari pihak eksportir. 88 Namun jika dilihat dari sisi pedagang pengumpul ataupun agen perantara sebagai pembeli juga menunjukkan struktur pasar yang dihadapi cenderung pada struktur pasar tidak bersaing. Hal ini dikarenakan dalam proses pembelian masing – masing pedagang pengumpul telah memiliki petani langganan yang memasok rumput laut. Sementara itu, pihak agen sebagai mitra dari pihak eksportir memiliki kekuatan untuk bersedia membayar mahal untuk rumput laut berkualitas tinggi. Berdasarkan fakta yang terlihat di lapangan, terdapat perbedaan penetapan harga jual di masing – masing pedagang pengumpul. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kekuatan diantara pedagang pengumpul sehingga struktur pasar yang dihadapi cenderung mengarah pada struktur pasar tidak bersaing. Pada kegiatan transaksi penjualan rumput laut antara pedagang pengumpul dengan eksportir, pihak eksportir memiliki kekuatan yang lebih tinggi dalam penentuan harga. Namun, dalam hal ini tidak ada perjanjian yang mengikat untuk transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan eksportir. Hal serupa juga berlaku bagi agen perantara. Sistem kepercayaan yang telah berlangsung dengan baik antara agen perantara dengan eksportir Surabaya menjadikan agen perantara hanya menjual rumput laut kepada pihak eksportir Surabaya saja dan peranan agen perantara murni sebagai penghubung antara pihak kelompok tani dengan eksportir. Sementara itu di tingkat eksportir juga cenderung menghadapi struktur pasar bersaing jika dilihat dari sisi eksportir sebagai penjual. Hal ini dikarenakan adanya persaingan antar pihak eksportir misalnya dalam penelitian ini yaitu antara eksportir yang berada di wilayah Pulau Bali dengan eksportir yang berada di wilayah Surabaya (Jawa Timur). Adanya persaingan tersebut mengharuskan eksportir untuk berhati – hati dalam mengambil keputusan seperti penentuan harga, teknik produksi dan jasa – jasa yang diberikan kepada pihak importir karena suatu keputusan yang diambil oleh eksportir akan mempengaruhi pelaku lainnya khususnya yang bertindak sebagai pesaing. Selain itu, produk yang ditawarkan cenderung produk homogen yang telah terstandarisasi sesuai syarat ekspor rumput laut. Berdasarkan Hammond dan Dahl (1977) menyatakan bahwa pada penjualan produk yang terstandarisasi dan telah disesuaikan dengan standar yang ditetapkan oleh pembeli maka pasar yang dihadapi cenderung pasar 89 persaingan murni. Sementara itu, jika dilihat dari sisi eksportir sebagai pembeli, struktur pasar yang dihadapi justru cenderung mengarah pada struktur pasar tidak bersaing karena eksportir menjadi tujuan utama dalam pemasaran rumput laut dan eksportir juga telah memiliki jaringan yang kuat khususnya dengan pihak pedagang pengumpul. Pengukuran terhadap konsentrasi pasar dapat diperoleh melalui pengukuran pangsa pasar rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa. Pengukuran pangsa pasar dilakukan melalui pendekatan proporsi total produksi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan (pada Lampiran 4) terhadap total produksi rumput laut di Provinsi Bali pada tahun 2009 dan 2010 (Lampiran 3). Total produksi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan pada tahun 2009 sebesar 28.394,168 ton sedangkan total produksi rumput laut di Provinsi Bali pada tahun 2009 sebesar 135.810,9 ton sehingga produksi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan memiliki pangsa pasar sebesar 20,9 persen pada tahun 2009. Pada tahun 2010 total produksi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan sebesar 29.026,358 ton sedangkan total produksi rumput laut di Provinsi Bali pada tahun 2010 adalah sebesar 132.640,8 ton sehingga produksi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan memiliki pangsa pasar sebesar 21,88 persen pada tahun 2010. Berdasarkan Jaya (2001) karena nilai pangsa pasar tersebut berkisar antara 20 – 50 persen maka struktur pasar yang dihadapi pada produksi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan cenderung mengarah pada struktur pasar oligopoli ketat. 6.5. Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar pada aktivitas tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan dapat dilihat dengan mengamati kegiatan penjualan dan pembelian yang dilakukan masing – masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, sistem pembayaran yang diterapkan dalam transaksi jual beli dan kerjasama yang dilakukan di setiap lembaga tataniaga. Perilaku pasar yang terbentuk akan mencerminkan strategi yang dipilih oleh para pelaku pasar dalam mencapai tujuan masing – masing. 90 6.5.1. Praktik Penjualan dan Pembelian Pola saluran tataniaga yang terbentuk dalam aktivitas tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan memperlihatkan bahwa praktik pembelian dan penjualan dijalankan oleh seluruh lembaga tataniaga yang terlibat kecuali di tingkat petani yang hanya menjalankan kegiatan penjualan. Saluran tataniaga yang terbentuk diawali dari pihak petani yang menjual hasil panen rumput laut kering. Petani yang memasarkan rumput laut melalui kelompok menjual kepada pihak agen perantara, sementara petani yang memasarkan secara individu menjual kepada pedagang pengumpul. Dalam kegiatan pascapanen melalui kelompok tani, para petani anggota mengeluarkan biaya pengangkutan dan pengemasan yang ditanggung melalui biaya operasional kelompok. Sementara itu bagi petani yang memasarkan rumput laut secara individu tidak mengeluarkan biaya pascapanen karena petani tidak melakukan penanganan khusus pada hasil rumput laut kering dan langsung menjual kepada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul rumput laut membeli hasil rumput laut kering dari para petani yang sudah menjadi langganan setiap periode penjualan. Pedagang pengumpul selanjutnya akan menjual hasil rumput laut kering kepada pihak eksportir yang berada di wilayah Bali. Transaksi jual beli yang dilakukan antara pedagang pengumpul dan eksportir dilakukan secara bebas tanpa ada kontrak tertentu yang mengikat kedua belah pihak. Sementara itu pada pihak agen perantara, barang yang diterima dari kelompok tani sudah dalam kondisi siap kirim. Para petani yang tergabung dalam kelompok tani telah melakukan penyortiran dan pengemasan terhadap rumput laut kering yang dihasilkan sehingga pihak agen perantara langsung melakukan pengangkutan dan membawa rumput laut ke pihak eksportir yang berada di Surabaya. 6.5.2. Sistem Penentuan Harga Tingkat pendapatan petani tentunya sangat dipengaruhi dengan tingkat harga yang diperoleh dalam memasarkan suatu komoditi. Hal tersebut juga nampak dalam aktivitas tataniaga rumput laut yang dijalankan oleh petani rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Perbedaan sistem pengelolaan pemasaran di tingkat petani memberikan dampak yang cukup besar dalam mekanisme 91 penentuan harga jual rumput laut di tingkat petani. Hal tersebut memberikan gambaran mengenai perbedaan bargaining position yang dihadapi oleh petani rumput laut. Pengelolaan penjualan rumput laut melalui kelompok tani memberikan dampak positif bagi petani khususnya dalam penentuan harga jual yang diterima. Dalam kegiatan penjualan, kelompok tani sebelumnya melakukan pencarian informasi terkait perkembangan harga rumput laut di seluruh Indonesia. Informasi harga ini dijadikan acuan bagi kelompok tani dalam mengajukan penawaran harga kepada pihak pembeli yang dalam penelitian ini adalah agen perantara. Sistem penentuan harga diantara kedua belah pihak dilakukan dengan cara tawar menawar. Agen perantara memberikan informasi harga yang diterima dari pihak kelompok tani kepada mitra eksportir yang berada di Surabaya. Jika pihak eksportir tersebut telah sepakat dengan harga yang ditentukan barulah transaksi jual beli dilaksanakan. Berbeda halnya dengan para petani responden yang menjual hasil panen rumput laut kering secara individu. Dalam sistem pengelolaan ini, posisi tawar petani rendah untuk mengajukan penentuan harga jual. Penentuan harga di tingkat petani lebih dipengaruhi oleh pedagang pengumpul. Harga beli yang ditentukan oleh pedagang pengumpul tersebut merupakan penyesuaian terhadap harga jual yang ditawarkan oleh pihak eksportir kepada pedagang pengumpul. Pada tingkat eksportir, penentuan harga dilakukan melalui tawar menawar yaitu dengan negosiasi kepada pihak importir. Informasi mengenai harga di tingkat eksportir terkadang juga diperoleh dari para pesaing. 6.5.3. Sistem Pembayaran Sistem pembayaran yang diterapkan oleh lembaga – lembaga tataniaga dalam penelitian ini yaitu : 1) Sistem Pembayaran Tunai Pembayaran tunai dalam aktivitas tataniaga rumput laut ini dilakukan oleh kelompok tani kepada anggota. Pembayaran diberikan sesuai dengan jumlah hasil panen rumput laut kering yang diserahkan. Total pembayaran ini selanjutnya dikurangi dengan biaya operasional yang berkaitan dengan pemasaran rumput laut dan hutang dari masing – masing anggota yang 92 biasanya digunakan untuk pembelian sarana budidaya dan pembelian sembako yang disediakan di balai kelompok tani. Pembayaran dengan sistem tunai ini juga dibayarkan oleh pedagang pengumpul kepada petani rumput laut. Pembayaran langsung disesuaikan dengan total volume penjualan dari masing – masing petani, yang selanjutnya dikurangi dengan pembayaran pinjaman jika petani melakukan pinjaman kepada pedagang pengumpul. 2) Sistem Pembayaran Transfer Pembayaran ini dilakukan oleh pihak agen perantara kepada kelompok tani. Hal ini mengingat jumlah uang yang dibayarkan tidaklah sedikit, sehingga dilakukan pembayaran langsung melalui transfer ke rekening milik kelompok tani. Pembayaran melalui transfer ini juga dilakukan oleh pihak eksportir Surabaya dengan agen perantara. 3) Sistem Pembayaran Kemudian Sistem pembayaran ini dilakukan oleh pihak eksportir kepada pedagang pengumpul. Eksportir biasanya memberikan bayaran dimuka terlebih dahulu sebesar 30 – 50 persen dari total penjualan, yang selanjutnya dilunasi dalam waktu dua hari setelah penjualan. Selain itu, pembayaran dari pihak importir kepada eksportir juga dilakukan dengan sistem pembayaran kemudian yang dibayar melalui transfer. Mekanisme pembayaran yang dilakukan importir kepada pihak eksportir di wilayah Bali dilakukan secara bertahap. Pembayaran awal dilakukan saat terjadi kesepakatan jual beli, dari pihak importir membayar 50 persen dari total penjualan, selanjutnya ketika barang telah sampai di negara tujuan pihak eksportir akan membayar kembali sebanyak 25 persen dan sisa pembayaran sebesar 25 persen berikutnya akan dibayar satu minggu setelah barang sampai di negara tujuan. Sementara itu bagi eksportir dari wilayah Surabaya, pembayaran dilakukan dengan dua tahap. Pembayaran dimuka dibayar 50 persen ketika barang sudah dikirim, selanjutnya jika dokumen pengiriman telah dikirim melalui faksimile lalu dilanjutkan dengan melunasi sisa pembayaran sebesar 50 persen. 6.5.4. Kerjasama antar Lembaga Tataniaga Kerjasama yang dilakukan oleh lembaga tataniaga yang terdapat dalam pola saluran tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, 93 Kecamatan Kuta Selatan adalah antara pedagang pengumpul dengan petani yang mengelola pemasaran secara individu. Kerjasama yang dilakukan adalah terkait mengenai hal permodalan. Pedagang pengumpul memberikan bantuan pinjaman modal kepada para petani. Pinjaman modal yang diberikan bebas dari bunga pinjaman, sehingga tidak memberatkan petani. Bantuan pinjaman ini juga sebagai upaya untuk menjaga keberlanjutan pasokan rumput laut kering dari para petani ke pihak pedagang pengumpul. Dalam pemberian pinjaman selain didasari oleh adanya hubungan dagang tetapi juga rasa saling percaya antara petani dengan pihak pedagang pengumpul. 6.6. Analisis Marjin Tataniaga Penentuan tingkat efisiensi suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui pendekatan analisis marjin tataniaga. Marjin tataniaga adalah penjumlahan dari seluruh biaya pemasaran/tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dan besarnya keuntungan yang diambil dalam aktivitas penyaluran komoditas dari lembaga tataniaga yang satu ke lembaga tataniaga lainnya. Marjin tataniaga yang diperhitungkan dalam penelitian ini berdasarkan pada pola saluran tataniaga yang terbentuk dalam aktivitas tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa. Dalam penelitian ini, marjin tataniaga dapat dilihat di masing – masing lembaga tataniaga maupun secara keseluruhan di setiap saluran tataniaga. Perhitungan marjin diperoleh dari nilai selisih antara harga jual dan harga beli di setiap lembaga tataniaga serta selisih antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat lembaga tataniaga akhir yang terdapat dalam pola saluran tataniaga yang terbentuk. Beberapa komponen yang diperhitungkan dalam penentuan marjin tataniaga meliputi biaya pemasaran/tataniaga dan keuntungan yang diperoleh. Biaya pemasaran/tataniaga merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam menyalurkan rumput laut dari Kecamatan Kuta Selatan sampai ke tangan eksportir. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh masing – masing lembaga tergantung dari banyaknya penanganan terhadap rumput laut atau fungsi – fungsi tataniaga yang dijalankan. Biaya yang dikeluarkan dalam penyaluran komoditi rumput laut meliputi biaya pengangkutan, biaya tenaga kerja, biaya pengemasan, retribusi dan biaya lainnya. Sedangkan nilai keuntungan diperoleh dari pengurangan harga jual terhadap harga 94 beli yang telah ditambah dengan biaya pemasaran yang dikeluarkan. Rincian perhitungan marjin tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa dapat dilihat pada Lampiran 9. Lampiran 9 menunjukkan tingkat marjin yang diperoleh pada masing – masing lembaga tataniaga serta marjin yang terbentuk dalam setiap pola saluran tataniaga seperti skema yang terbentuk pada Gambar 5. Penentuan efisiensi menurut marjin tataniaga pada suatu saluran dilihat dengan membandingkan nilai marjin yang ada pada setiap saluran. Semakin kecil marjin yang diperoleh maka saluran tataniaga tersebut dianggap semakin efisien. Berdasarkan Lampiran 8, terlihat bahwa terdapat perbedaan harga jual di tingkat petani. Hal ini terlihat antara harga jual pada saluran I terhadap harga jual di saluran II dan III dengan selisih harga sebesar Rp 1.600,00 per kilogram rumput laut kering. Perbedaan harga ini diakibatkan karena adanya perbedaan sistem pengelolaan penjualan yang diterapkan oleh petani rumput laut. Pada saluran I pengelolaan penjualan dilakukan melalui kelompok tani sementara pada saluran II dan III petani rumput laut mengelola pemasaran secara individu. Perbedaan sistem pengelolaan aktivitas tataniaga di tingkat petani juga mengakibatkan adanya perbedaan struktur biaya pascapanen yang dikeluarkan oleh petani. Pada petani yang tergabung dalam kelompok tani terdapat biaya tataniaga yang dikeluarkan sebagai biaya operasional kelompok untuk memperlancar aktivitas tataniaga yang dijalankan. Selain itu, kelompok tani memiliki tujuan pemasaran langsung kepada agen perantara dari eksportir yang terdapat di Surabaya, sehingga jaminan mutu serta penyaluran produk harus melalui penanganan yang baik misalnya saja terkait pengemasan yang dilakukan oleh kelompok tani untuk tetap menjaga kualitas rumput laut selama proses pengangkutan. Sementara itu pada tingkat petani di saluran II dan III tidak terdapat pengeluaran untuk biaya tataniaga. Petani pada kedua saluran ini umumnya hanya menyerahkan rumput laut kering langsung kepada pihak pedagang pengumpul tanpa melakukan pengemasan terhadap hasil panen yang diperoleh. Biaya tataniaga tertinggi dalam sistem tataniaga rumput laut yang ada di Kecamatan Kuta Selatan terdapat pada saluran tataniaga II yaitu sebesar Rp 95 1.126,41 untuk setiap kilogram rumput laut kering. Tingginya biaya tataniaga pada saluran ini dipengaruhi oleh jumlah lembaga tataniaga yang terlibat serta banyaknya penerapan fungsi – fungsi tataniaga yang dijalankan oleh masing – masing lembaga yang terlibat di dalam saluran. Sementara itu, pada saluran tataniaga I, biaya tataniaga yang dikeluarkan merupakan biaya tataniaga terkecil diantara tiga pola saluran tataniaga yang terbentuk. Biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran I adalah sebesar Rp 523,94 per kilogram rumput laut kering. Rendahnya biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran ini karena dalam saluran ini terdapat upaya yang optimal dalam memenuhi standar kualitas bagi rumput laut yang akan diekspor, sehingga tidak terjadi pelaksanaan fungsi tataniaga yang berulang di setiap lembaga tataniaga, karena pengulangan pelaksanaan fungsi ini akan mengakibatkan biaya tataniaga yang berlipat yang dikeluarkan dalam saluran tataniaga. Pada saluran tataniaga III terbentuk pola yang sama dengan saluran II, namun terdapat perbedaan pelaksanaan fungsi tataniaga dan penanganan produk yang dilakukan di tingkat pedagang pengumpul, berupa penyortiran kembali di tingkat pedagang pengumpul yang mampu meningkatkan nilai tambah dari rumput laut yang akan dijual kepada pihak eksportir sehingga mempengaruhi tingkat perolehan marjin yang diinginkan. Keuntungan terbesar terdapat pada saluran tataniaga III dengan keuntungan sebesar Rp 1.846,09. Keuntungan yang tinggi ini akibat standarisasi yang tidak terlaksana dengan baik khususnya di tingkat petani. Hal ini mengakibatkan lembaga tataniaga khususnya di tingkat eksportir perlu melakukan penanganan yang lebih dengan pelaksanaan fungsi yang berulang terhadap rumput laut yang diterima sehingga pihak eksportir perlu mengeluarkan biaya tataniaga yang lebih tinggi. Total biaya yang dikeluarkan tinggi akibat semakin banyak fungsi tataniaga yang dijalankan oleh suatu lembaga tataniaga maka akan semakin besar pengharapan marjin yang ingin didapatkan dari aktivitas tataniaga yang dijalankan, begitu juga halnya pada tingkat eksportir pada pola saluran tataniaga III. Sementara itu, pada saluran tataniaga I memiliki keuntungan terkecil dengan nilai keuntungan sebesar Rp 809,06 per kilogram rumput laut kering. Pada saluran ini petani memiliki kemampuan dalam mengakses informasi harga yang berlaku di pasaran serta adanya upaya menjamin kualitas rumput laut yang ditawarkan 96 merupakan bentuk nilai tambah yang diberikan sehingga dapat memotong marjin yang akan terbentuk dalam saluran, sehingga keuntungan pun akan semakin kecil. Pada sistem tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Keurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan yang dianalisis dalam penelitian ini terdapat perbedaan kualitas rumput laut yang diperdagangkan pada saluran I dengan saluran II dan III. Perbedaan harga di tingkat petani dipengaruhi oleh tingkat kualitas rumput laut kering yang dihasilkan oleh petani. Pada saluran I, rumput laut kering yang dijual dengan harga Rp 8.600 per kilogram merupakan rumput laut kering berkualitas baik dengan kadar air 35 persen, sementara pada saluran II dan III memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan rumput laut pada saluran I. Pada waktu penelitian tidak diperoleh informasi kadar air pada rumput laut kering yang diperdagangkan pada saluran II dan III. Melalui perhitungan dengan asumsi bahwa semakin tinggi kadar air yang dihasilkan maka perolehan harga rumput laut di tingkat petani akan semakin kecil, maka diperoleh nilai kadar air rumput laut kering pada saluran II dan III sebesar 43 persen. Perbandingan antar saluran dapat dilakukan dengan menyetarakan kualitas rumput laut kering yang diperjualbelikan pada masing – masing saluran tataniaga. Dalam analisis marjin tataniaga pada penelitian ini dilakukan perhitungan dengan asumsi dilakukan peningkatan kualitas rumput laut kering pada saluran II dan III melalui peningkatan kualitas kadar air dari kondisi awal dengan nilai kadar air 43 persen menjadi 35 persen. Penurunan kadar air sebesar delapan persen ini menunjukkan peningkatan kualitas rumput laut kering sehingga akan berdampak pada peningkatan harga jual di tingkat petani pada saluran II dan III dari penetapan harga awal Rp 7.000 menjadi Rp 8.540 per kilogram rumput laut kering. 97 Tabel 13. Perhitungan Marjin Tataniaga setelah Peningkatan Kualitas Rumput Laut Kering Saluran I II III Unsur Kelompok Tani/Petani Harga Jual Biaya Tataniaga Margin Keuntungan (π) Pedagang Pengumpul Harga Beli Harga Jual Biaya Tataniaga Margin Keuntungan (π) Agen Perantara Harga Beli Harga Jual Biaya Tataniaga Margin Keuntungan (π) Eksportir Harga Beli Harga Jual Biaya Tataniaga Margin Keuntungan (π) Total Biaya Tataniaga Total Keuntungan Total Marjin Rp/kg 8.600,00 120,33 186,00 65,67 % 88,23 1,23 1,91 0,67 Rp/kg % Rp/kg % 8.540,00 119,49 86,02 1,20 8.540,00 119,49 86,02 1,20 8.540,00 8.949,00 82,95 409,00 326,05 86,02 90,14 0,84 4,12 3,28 8.540,00 8.703,00 45,97 163,00 117,03 86,02 87,67 0,46 1,64 1,18 8.600,00 8.750,00 150,00 150,00 0 88,23 89,77 1,54 1,54 8.750,00 9.747,00 253,61 997,00 743,39 523,94 89,77 100,00 2,60 10,23 7,63 5,38 8.949,00 9.927,50 413,16 978,50 565,34 90,14 100,00 4,16 9,86 5,69 8.703,00 9.927,50 416,00 1.224,50 808,34 87,67 100,00 4,19 12,33 8,14 615,60 6,20 581,62 5,86 809,06 1.333,00 8,30 13,68 891,39 1.387,50 8,98 13,98 925,37 1.387,50 9,32 13,98 Peningkatan kualitas rumput laut kering ini mengakibatkan terjadinya pengeluaran biaya tataniaga di tingkat petani. Peningkatan kualitas akan memperkecil marjin tataniaga pada saluran tataniaga II dan III. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13. Melalui peningkatan kualitas melalui penurunan kadar air sebesar delapan persen mampu memperkecil marjin sebesar 53 persen atau menurun dari nilai Rp 2.927,50 menjadi Rp 1.387,50. Adanya upaya tersebut dinilai mampu meningkatkan efisiensi saluran terbukti dengan adanya penurunan nilai marjin dan adanya peningkatan kualitas rumput laut yang diproduksi. 98 Sementara saluran I tetap menghasilkan nilai marjin tataniaga terkecil yaitu sebesar Rp 1.333,00 per kg rumput laut kering. 6.7. Analisis Farmer’s Share Farmer’s share merupakan bagian yang diterima petani dalam suatu aktivitas tataniaga dan dinyatakan dalam bentuk persentase. Nilai farmer’s share diperoleh melalui perbandingan harga yang diterima di tingkat petani terhadap harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir. Pada penelitian ini, lembaga yang dijadikan sebagai konsumen akhir dalam aktivitas tataniaga rumput laut adalah pihak eksportir dengan menggunakan tingkat harga jual rumput laut kering saat diekspor ke negara tujuan. Nilai farmer’s share memiliki hubungan yang negatif dengan nilai marjin pemasaran yang terbentuk dalam suatu saluran tataniaga. Semakin tinggi farmer’s share yang diperoleh petani pada suatu saluran tataniaga maka saluran tersebut dinilai efisien. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa farmer’s share yang tinggi tidak selalu mencerminkan bahwa aktivitas tataniaga tersebut berjalan efisien. Hal ini tergantung dari upaya yang dilakukan oleh lembaga tataniaga yang terlibat dalam memberikan value added pada produk sehingga produk yang dihasilkan sesuai dengan keinginan konsumen. Nilai farmer’s share yang diterima oleh petani dalam aktivitas tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan data yang tersaji pada Lampiran 10, bagian terbesar yang diterima petani terdapat pada saluran tataniaga I dengan nilai farmer’s share sebesar 88,23 persen. Pada Saluran I, dalam penelitian ini penelusuran saluran tataniaga dilakukan hingga tingkat eksportir sama halnya dengan saluran II dan III. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak agen perantara, rumput laut kering yang diperoleh selanjutnya didistribusikan kepada pihak eksportir yang berada di Surabaya (Jawa Timur). Pihak eksportir tersebut kemudian akan mengekspor rumput laut kering dengan tujuan ke negara China. Dalam perhitungan nilai farmer’s share pada saluran I pembanding untuk nilai harga di tingkat eksportir adalah harga yang ditetapkan dalam penjualan rumput laut ke China pada saat periode penjualan bulan Januari/Februari 2012 yaitu US $ 1.080 per ton rumput laut kering. 99 Sementara itu pada saluran II dan III nilai farmer’s share yang dihasilkan pada masing – masing saluran adalah 70,51 persen. Pada saluran II dan III terdapat pengulangan pelaksanaan fungsi tataniaga yang sama antar lembaga tataniaga. Misalnya saja di tingkat petani telah melakukan penjemuran rumput laut, namun hal tersebut tidak dilakukan sesuai standar kualitas yang ditentukan, hal ini menyebabkan eksportir pada saluran II dan III harus melakukan penjemuran kembali. Pengulangan pelaksanaan ini akan mengakibatkan biaya tataniaga yang berlipat yang akan mempengaruhi penentuan harga yang akan dibayar oleh konsumen akhir sehingga harga yang diterima konsumen semakin tinggi dan persentase terhadap harga di tingkat petani akan semakin kecil. Pada saluran II dan III, sumber informasi harga di tingkat eksportir diperoleh langsung dari pihak eksportir. Pihak eksportir pada saluran II dan III memiliki tujuan ekspor ke lebih dari satu negara, yaitu Filipina, China dan Amerika Serikat. Pada analisis nilai farmer’s share digunakan tingkat harga ekspor ke Filipina yaitu sebesar US $ 1.100 per ton rumput laut kering. Penggunaan harga ekspor ke Filipina didasarkan pada alasan karena ekspor rumput laut yang dilakukan eksportir ke Filipina merupakan ekspor dengan volume terbesar yaitu sebanyak 200 ton pada setiap periode penjualan dibandingkan ke China dan Amerika Serikat dengan volume impor rumput laut kering dari masing – masing negara sebesar 100 ton. Penyetaraan harga di tingkat eksportir pada masing – masing saluran menggunakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang berlaku pada tanggal 23 Januari 2012 yaitu saat periode penjualan dilakukan dengan nilai kurs sebesar Rp 9.025,00/US $. Tabel 14. Farmer’s Share setelah Peningkatan Kualitas Rumput Laut Kering Saluran Tataniaga Harga di Tingkat Harga di Tingkat Farmer’s Share Petani (Rp/kg) Eksportir (Rp/kg) (%) Saluran I 8.600,00 9.747,00 88,23 Saluran II 8.540,00 9.927,50 86,02 Saluran III 8.540,00 9.927,50 86,02 Pada perhitungan nilai farmer’s share juga dirumuskan perubahan farmer’s share yang akan diterima petani apabila dilakukan peningkatan kualitas rumput laut kering yang dijual petani pada saluran II dan III. Nilai farmer’s share 100 yang dihasilkan akibat adanya perbaikan kadar air dapat dilihat melalui data yang tersaji pada Tabel 14. Jika dilihat, ketika terjadi penyamaan standar kualitas, tingkat harga di petani yang tergabung dalam pemasaran kelompok tani (saluran I) dengan petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani (saluran II dan III) memiliki perbedaan harga hanya sebesar Rp 60,00 per kilogram rumput laut kering. Namun, petani yang tergabung dalam pemasaran kelompok tetap memiliki manfaat lebih karena memperoleh berbagai fasilitas dari kelompok seperti bantuan pinjaman permodalan serta pembelian kebutuhan sehari – hari yang bisa difasilitasi dari hasil penjualan yang diperoleh dari kelompok tani. Data pada Tabel 14 juga menunjukkan bahwa peningkatan kualitas melalui penyetaraan kadar air rumput laut juga akan mengakibatkan perubahan nilai farmer’s share dari kondisi awal sebesar 70,51 persen menjadi 86,02 persen atau meningkat sebesar 10,11 persen. Pada analisis nilai farmer’s share yang dilakukan berdasarkan kondisi riil pada saat waktu penelitian yang tersaji pada Lampiran 10 maupun saat dilakukan upaya untuk peningkatan dan penyetaraan standar kualitas yang tersaji pada Tabel 14 menunjukkan bahwa saluran tataniaga I merupakan saluran yang dinilai paling menguntungkan bagi petani rumput laut karena memiliki nilai farmer’s share terbesar. 6.8. Rasio Keuntungan dan Biaya Biaya tataniaga merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam menyalurkan rumput laut dari tingkat petani hingga tingkat konsumen akhir yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram rumput laut kering. Sedangkan nilai keuntungan diperoleh dari selisih marjin tataniaga dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam pelaksanaan aktivitas tataniaga. Rasio keuntungan terhadap biaya dalam saluran tataniaga menunjukkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan untuk biaya tataniaga. Rincian mengenai keuntungan dan biaya yang terdapat pada masing – masing saluran tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan dapat dilihat pada Lampiran 11. Pada saluran tataniaga I total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 523,94 per kilogram rumput laut kering. Petani dalam saluran ini mengeluarkan biaya tataniaga berupa biaya operasional dalam kelompok tani dengan biaya sebesar Rp 101 120,33. Pemenuhan biaya ini diperoleh dari nilai marjin yang ditetapkan oleh kelompok tani namun tetap mengutamakan kesejahteraan anggota petani. Oleh karena itu, dalam aktivitas tataniaga rumput laut ini kelompok tani tidak memperoleh keuntungan yang cukup besar. Hal ini terlihat dari rasio keuntungan terhadap biaya yang diperoleh di tingkat kelompok tani hanya sebesar 0,55. Biaya terbesar dikeluarkan di tingkat eksportir dengan biaya sebesar Rp 253,61 per kilogram dengan nilai rasio terbesar pula senilai 2,93. Nilai rasio menunjukkan bahwa setiap Rp 100/kg biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh eksportir akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 293/kg. Pada saluran ini, tidak terdapat keuntungan yang diperoleh di tingkat agen perantara. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, agen perantara melakukan kegiatan pengangkutan rumput laut ini sebagai usaha sampingan. Kegiatan usaha utama dari agen perantara adalah mengangkut berbagai macam kebutuhan pokok dari Surabaya menuju Bali dan pengangkutan rumput laut ini dilakukan untuk mengisi kekosongan muatan truk tronton milik agen dari Bali menuju Surabaya. Selain itu, menurut agen perantara, pihaknya tetap memperoleh keuntungan tanpa memperhitungkan kegiatan pengangkutan rumput laut yang dijadikan usaha sampingan ini. Oleh karena itu, nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang diperoleh pada tingkat agen perantara bernilai nol. Aktivitas pada saluran tataniaga II dan III memiliki pola saluran yang sama sehingga pada kedua saluran ini terdapat kesamaan struktur biaya tataniaga yang dikeluarkan karena memiliki tujuan konsumen akhir yaitu pihak eksportir yang sama. Pada tingkat eksportir biaya tataniaga yang dikeluarkan pada kedua saluran adalah Rp 1.025,00 per kilogram rumput laut kering. Namun tingkat keuntungan yang diperoleh pada tingkat eksportir berbeda, pada saluran II pihak eksportir hanya memperoleh keuntungan sebesar Rp 1.402,50 sementara pada saluran III diperoleh keuntungan sebesar Rp 1.702,50 per kilogram rumput laut kering. Perbedaan ini akibat adanya pengaruh dari tingkat biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul. Pada saluran II, pedagang pengumpul I mengeluarkan biaya sebesar Rp 101, 41 per kilogram rumput laut kering dengan perolehan keuntungan sebesar Rp 398,59 per kilogram. Sementara pada pedagang pengumpul II yang berperan dalam saluran tataniaga III mengeluarkan biaya 102 sebesar Rp 56,41 dengan keuntungan Rp 143,59 per kilogram rumput laut kering. Perbedaan biaya tataniaga ini diakibatkan karena adanya perbedaan kuantitas rumput laut yang diperjualbelikan saat periode penjualan pada waktu penelitian ini dilakukan. Pedagang pengumpul I hanya mampu menjual dua ton rumput laut kering kepada eksportir, sementara itu pedagang pengumpul II mampu mengumpulkan sebanyak 16 ton rumput laut kering. Perbedaan kuantitas dalam penjualan ini menunjukkan tingkat efisiensi biaya yang dikeluarkan oleh masing – masing pedagang pengumpul. Sementara itu, perbedaan keuntungan diantara pedagang pengumpul diakibatkan adanya pelaksanaan fungsi tataniaga yang berbeda diantara kedua pengumpul. Pada pedagang pengumpul I terdapat pelaksanaan fungsi penyortiran yang tidak dilakukan oleh pedagang pengumpul II. Hal ini mengakibatkan posisi pedagang pengumpul I lebih baik dalam menjamin kualitas produk rumput laut yang dijual sehingga dapat memperoleh marjin yang lebih tinggi yang mengakibatkan tingginya keuntungan yang dapat diperoleh. Tabel 15. Rasio Keuntungan dan Biaya setelah Peningkatan Kualitas Rumput Laut Kering Saluran Tataniaga Lembaga Tataniaga I II III Kelompok Tani 65,67 Πi (Rp) 120,33 Ci (Rp) 0,55 Rasio πi/Ci Pedagang Pengumpul Πi (Rp) 326,05 117,03 Ci (Rp) 82,95 45,97 Rasio πi/Ci 3,93 2,55 Agen Perantara 0 Πi (Rp) 150,00 Ci (Rp 0 Rasio πi/Ci Eksportir 743,39 Πi (Rp) 565,34 808,34 253,61 Ci (Rp) 413,16 416,16 2,93 Rasio πi/Ci 1,37 1,94 Total 809,06 Πi (Rp) 891,39 925,37 523,94 Ci (Rp) 615,60 581,62 1,54 Rasio πi/Ci 1,45 1,59 103 Dalam membandingkan tingkat rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga dari masing – masing saluran juga perlu dilakukan penyamaan standarisasi kualitas rumput laut kering yang diperjualbelikan di tingkat petani pada setiap saluran tataniaga yang terbentuk. Berikut ini adalah rumusan perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan setelah dilakukan penyetaraan standar kualitas rumput laut dengan meningkatkan kualitas kadar air. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 15, menunjukkan bahwa setelah adanya peningkatan kualitas terhadap hasil rumput laut kering terjadi penurunan pada nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran II dan III dengan nilai masing – masing yaitu 1,45 pada saluran II dan 1,59 pada saluran III. Penurunan nilai tersebut menunjukkan bahwa terjadi penambahan biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam menjalankan tataniaga rumput laut pada saluran II dan III. Namun, hal ini dinilai efisien karena penambahan biaya yang dilakukan bertujuan untuk memberikan nilai tambah pada rumput laut kering yang diperdagangkan melalui adanya peningkatan kualitas. Peningkatan kualitas ini juga sebagai upaya untuk memenuhi kepuasan konsumen akhir pada saluran ini yaitu pihak eksportir. Penetapan rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga baik berdasarkan data yang tersaji pada Lampiran 11 maupun Tabel 15 menunjukkan bahwa nilai rasio pada saluran I dinilai relatif lebih efisien karena dapat dilihat bahwa biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran I relatif lebih rendah dibandingkan pada saluran II dan III. Pada Tabel 15 saluran I mampu menghasilkan kualitas rumput yang setara diantara ketiga saluran yang ada dengan mengeluarkan biaya tataniaga paling rendah dibandingkan dua saluran lainnya. 6.9. Efisiensi Tataniaga Efisiensi merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam suatu aktivitas tataniaga. Sistem tataniaga dapat dikatakan terlaksana secara efisien apabila kepuasan dari setiap pihak/lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan sistem tataniaga dapat tercapai. Pihak atau lembaga tidak hanya terdiri dari para pelaku yang terlibat dalam proses penyaluran produk, melainkan hingga tingkat konsumen akhir. Hal yang dapat dijadikan sebagai indikator penentu efisiensi dari 104 suatu aktivitas tataniaga diantaranya pola saluran tataniaga yang terbentuk, penerapan fungsi tataniaga dalam penyaluran produk, struktur pasar, perilaku pasar dan nilai marjin tataniaga serta farmer’s share yang terbentuk. Pada penentuan efisiensi tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan dilakukan penyetaraan standarisasi kualitas rumput laut kering pada setiap saluran tataniaga untuk membandingkan nilai efisiensi masing – masing saluran. Komponen – komponen yang diperhitungkan dalam menentukan nilai efisiensi tataniaga diperoleh dari hasil perhitungan pada kondisi kualitas rumput laut kering dengan kadar air sebesar 35 persen. Tabel 16. Nilai Efisiensi Pemasaran pada masing – masing Pola Saluran Tataniaga Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan Saluran Harga Total Biaya Tataniaga (Rp/kg) (Rp/kg) Marjin (%) Farmer’s Share (%) π/C Saluran I 8.600,00 523,94 13,68 88,23 1,54 Saluran II 8.540,00 615,60 13,98 86,02 1,45 Saluran III 8.540,00 581,62 13,98 86,02 1,59 Tabel 16 menyajikan data mengenai nilai efisiensi tataniaga pada setiap pola saluran tataniaga yang terbentuk dengan kondisi produk rumput laut kering dengan kualitas yang sama pada masing – masing saluran yaitu dengan kadar air 35 persen. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat dari nilai marjin dan farmer’s share maka saluran I relatif lebih efisien dibandingkan dua saluran yang lain, dengan nilai marjin sebesar 13,68 persen dan farmer’s share 88,23 persen. Walaupun dari nilai rasio π/C pada saluran ini lebih kecil dibandingkan saluran III namun perbedaan nilai tersebut tidak signifikan. Nilai rasio yang dihasilkan lebih kecil, hal ini diduga akibat karakteristik dari lembaga yang terlibat, seperti kelompok tani yang tidak mengejar keuntungan dan pihak agen perantara yang menjadikan aktivitas tataniaga yang dijalankan sebagai usaha sampingan sehingga tidak memperhitungkan tingkat keuntungan yang diperoleh dengan menjalankan kegiatan tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaan aktivitas tataniaga rumput laut dengan memberdayakan peranan kelompok tani merupakan salah satu alternatif saluran tataniaga yang dapat digunakan oleh petani sebagai upaya peningkatan posisi tawar petani rumput laut. 105 VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya : 1) Aktivitas tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan berdasarkan kasus di dua sentra pembudidayaan, yaitu Pantai Kutuh (Desa Kutuh) dan Pantai Geger (Kelurahan Benoa) memiliki perbedaan sistem pengelolaan di tingkat petani, yakni pengelolaan secara individu oleh petani dan adanya peranan kelompok dalam memfasilitasi keberlangsungan aktivitas tataniaga. Lembaga yang terlibat diantaranya pedagang pengumpul, agen perantara dan eksportir. Rumput laut merupakan produk dengan tujuan pasar ekspor yang diekspor dalam bentuk rumput laut kering. Pada sistem tataniaga rumput laut ini terdapat tiga pola saluran tataniaga. Saluran tataniaga yang banyak digunakan adalah tataniaga dengan melibatkan peranan kelompok tani dalam kegiatan pemasaran. Penerapan fungsi – fungsi tataniaga oleh para pelaku yang terlibat dalam penyaluran rumput laut telah berjalan dengan relatif baik walaupun belum berjalan optimal khususnya pada petani yang mengelola tataniaga secara individu dan di tingkat pedagang pengumpul, khususnya dalam pelaksanaan fungsi fisik berupa penyortiran rumput laut. Struktur pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan yaitu, di tingkat petani baik yang tergabung melalui kelompok tani ataupun individu cenderung menghadapi struktur pasar bersaing. Pada tingkat pedagang pengumpul dan agen perantara cenderung menghadapi pasar tidak bersaing baik dilihat dari sisi pedagang pengumpul sebagai penjual maupun pembeli. Sementara itu pihak eksportir cenderung menghadapi struktur pasar bersaing dilihat dari sisi eksportir sebagai penjual karena adanya persaingan antar eksportir yang cukup ketat misalnya saja dengan sesama eksportir yang berasal dari wilayah Surabaya serta adanya kepatuhan terhadap standarisasi yang telah ditetapkan terhadap rumput laut yang akan diekspor sedangkan jika dilihat dari sisi eksportir sebagai pembeli maka struktur pasar yang dihadapi cenderung struktur pasar tidak bersaing. Sementara pada 106 perhitungan pangsa pasar rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan diperoleh nilai pangsa pasar sebesar 20,9 persen pada tahun 2009 dan 21,88 persen pada tahun 2010 karena nilai berada pada kisaran 20 – 50 persen maka nilai tersebut menunjukkan bahwa tataniaga rumput laut yang dihasilkan di wilayah Kecamatan Kuta Selatan cenderung menghadapi struktur pasar oligopoli ketat. 2) Peranan kelompok tani sangat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam keberlangsungan tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan. Kelompok tani tidak hanya memiliki peranan dalam aktivitas budidaya rumput laut, namun juga pada aktivitas pemasaran. Kelompok tani bertugas langsung mencari calon pembeli rumput laut. Petani yang menjalani aktivitas tataniaga melalui kelompok tani memperoleh pendapatan yang lebih baik, karena dengan adanya kelompok tani semakin memperkuat bargaining position petani khususnya dalam perolehan tingkat harga jual rumput laut kering. Petani yang melakukan penjualan rumput laut melalui kelompok tani memperoleh harga jual yang lebih tinggi yaitu pada harga Rp 8.600,00 per kilogram rumput laut kering dibandingkan dengan petani yang melakukan penjualan secara individu yaitu hanya Rp 7.000,00 per kilogram rumput laut kering. Kelompok tani juga memberikan pelayanan lebih kepada anggota yaitu memfasilitasi penyediaan kebutuhan sehari – hari dan membantu permodalan anggota petani. 3) Pada hasil analisis efisiensi tataniaga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan biaya, keuntungan dan marjin yang diperoleh oleh setiap pelaku di dalam tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh penerapan dalam pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga oleh masing – masing lembaga. Saluran I memiliki perolehan marjin terkecil diantara tiga pola saluran yang terbentuk yaitu sebesar 13,68 persen dan farmer’s share tertinggi sebesar 88,23 persen. Namun, pada nilai rasio π/C saluran ini memiliki nilai terkecil yaitu 1,54. Namun, saluran ini dinilai sebagai alternatif saluran yang efisien karena tercapainya kesejahteraan petani yang terlibat dalam saluran ini terlihat dari nilai marjin dan farmer’s share yang dihasilkan. Sementara itu dari sisi konsumen, produk rumput laut yang 107 diproduksi pada saluran I memiliki kualitas rumput laut yang lebih baik karena kelompok tani telah menetapkan standarisasi mutu rumput laut sehingga memenuhi standar ekspor. Selain itu adanya upaya peningkatan kualitas rumput laut di tingkat petani khususnya pada saluran II dan III dapat meningkat efisiensi sistem tataniaga yang dilaksanakan, hal ini terbukti dengan adanya peningkatan nilai farmer’s share dan penurunan nilai marjin tataniaga. 7.2. Saran Pengaktifan peranan kelompok tani dalam aktivitas tataniaga rumput laut perlu dilakukan khususnya bagi para petani di wilayah Pantai Geger (Kelurahan Benoa) dalam upaya memperkuat bargaining position para petani sekaligus mengupayakan peningkatan kesejahteraan petani melalui perolehan harga jual yang lebih baik. Selain itu melalui keberadaan kelompok tani, diharapkan dapat mengontrol standar kualitas rumput laut kering ekspor, sehingga kelompok tani tidak hanya berperan dalam aktivitas pembudidayaan saja. Oleh karena itu perlu dilakukan sosialisasi atau pelatihan mengenai pentingnya peranan kelompok tani serta informasi tentang standarisasi kualitas rumput laut yang baik untuk ekspor. Peningkatan standar kualitas rumput laut khususnya melalui penurunan tingkat kadar air dapat dilakukan sebagai upaya peningkatan harga jual di tingkat petani serta meningkatkan kepuasan konsumen dalam hal ini eksportir karena terpenuhi standarisasi ekspor pada tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Ketersediaan rumput laut sebagai bahan baku berbagai olahan dengan jaminan kualitas menjadikan nilai lebih bagi pengembangan kegiatan industri di Pulau Bali khususnya bagi industri pengolahan rumput laut. Melalui pendirian industri pengolahan rumput laut atau dengan memberikan pelatihan kepada anggota kelompok tani di wilayah Kecamatan Kuta Selatan tentunya akan memberikan tambahan pendapatan bagi petani serta nilai tambah tersendiri bagi komoditi rumput laut sehingga rumput laut tidak hanya diekspor dalam bentuk rumput laut kering saja melainkan sudah dalam bentuk olahan. Kemampuan kelompok tani dalam mengontrol standar kualitas rumput laut kering dapat menjadi modal untuk menghasilkan produk olahan yang berkualitas. Hal ini tentunya juga akan meningkatkan devisa negara yang diperoleh melalui kegiatan 108 ekspor. Apabila hal tersebut dapat terealisasi, maka Bali dapat dijadikan sebagai salah satu wilayah pengembangan klaster rumput laut nasional. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah dapat dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai peranan lembaga kelompok tani sendiri terhadap usaha pembudidayaan rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Selain itu, mengingat rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan merupakan produk dengan tujuan ekspor, maka dapat dilakukan analisis daya saing dari rumput laut di wilayah ini terhadap rumput laut di sentra pembudidayaan lain di Indonesia. 109 DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Berita Resmi Statistik. Jakarta : Badan Pusat Statistik. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Profil Rumput Laut Indonesia. Jakarta : Departemen Kelautan dan Perikanan. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut Eucheuma spp. Jakarta : Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2010. Jakarta : Kementerian Kelautan dan Perikanan. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2010. Jakarta : Kementerian Kelautan dan Perikanan. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011. Jakarta : Kementerian Kelautan dan Perikanan. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. SDM dan IPTEK Kunci Sukses Industrialisasi Berbasis Perikanan Budidaya. Jakarta : Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ahsjar, Djauhari. 2007. Pedoman Transaksi Ekspor & Impor. Jakarta : Prestasi Pustakaraya. Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2010. Rumput Laut. Jakarta : Penebar Swadaya. Asmarantaka, Ratna Winandi. 2009. Pemasaran Produk – Produk Pertanian. Di Dalam Nunung Kusnadi, Anna Fariyanti, Dwi Rachmina, Siti Jahroh, editor. Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Bogor : IPB Press. Hlm. 19 – 43. Asmarantaka, Ratna Winandi. 2009. Modul Kuliah Tataniaga Produk Agribisnis. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asnawi, Sastrawidjaja. 2007. Permintaan Komoditas Perikanan Indonesia : Trend Konsumsi, Ekspor dan Mekanisme Harga. Di Dalam Manadiyanto, Zahri Nasution, editor. Potret dan Strategi Pengembangan Perikanan Tuna, Udang dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta : Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Hlm. 67 – 80. Baga LM, Yanuar R, Karo – Karo FW, Aziz K. 2009. Koperasi dan Kelembagaan Agribisnis. Departemen Agrbisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 110 Dahl DC, Hammond JW. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industries. USA : McGraw-Hill. Dilana, Indra Akbar. 2012. Tinjauan Teoritis dan Tinjauan Empiris Struktur, Perilaku dan Kinerja [makalah]. Bogor : Program Studi Magister Sains Agribisnis, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Downey WD, Erickson SP. 1992. Manajemen Agribisnis Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga. Farris PW, Bendle NT, Pfeifer PE, Reibstein DJ. 2007. Marketing Metrics. USA : Pearson Education Inc. Firdaus M, Wagiono YK. 2009. Dayasaing dan Sistem Pemasaran Manggis Indonesia. Di Dalam Nunung Kusnadi dkk, editor. Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Bogor : IPB Press. Hlm. 117 – 136. Hanafiah AM, Saefudin. 2006. Tataniaga Hasil Perikanan. Jakarta : Universitas Indonesia (UI) Press. Hapsari, Tiara Kusuma. 2011. Analisis Pengaruh CAR, NPL, BOPO, LDR, GWM, dan Rasio Konsentrasi terhadap ROA (Studi Empiris pada Bank Umum yang Listing di BEI 2005 -20090 [skripsi]. Semarang : Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro. Hidayati, Wiwiek. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar Rumput Laut Eucheuma Cottonii : Kasus di Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan [thesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jaya, Wihana Kirana. 2001. Ekonomi Industri. Yogyakarta : BPFE – Yogyakarta. Kohls RL, Uhl JN. 2002. Marketing of Agricultural Products Ninth Edition. USA : Prentice – Hall Inc. Limbong W.H, Sitorus P. 1985. Bahan Kuliah Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Puspitasari, Euis Yunita. 2010. Analisis efisiensi tataniaga pada kelompok usaha budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rajagukguk, Mark Majus. 2009. Analisis daya saing rumput laut Indonesia di Pasar Internasional [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Saragih, Bungaran. 2010. Pengembangan Agribisnis Berbasis Perikanan Berbasis Era Perdagangan Bebas Abad 21. Bogor : IPB Press. Sobari, Moch Prihatna. 1993. Skala Usaha dan Efisiensi Ekonomi Relatif Usahatani Rumput Laut. Buletin Ekonomi Perikanan Nomor 1 Tahun ke – I. Hlm 12 – 26 Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta : LP3ES. 111 Sukirno, Sadono. 1994. Pengantar Teori Mikroekonomi Edisi Ketiga. PT RajaGrafindo Persada : Jakarta. Tomek WG, Robinson KL. 1990. Agricultural Product Prices Third Edition. New York : Cornell University Press. Zulham, Armen. 2007. Marjin Pemasaran dan Risiko Pedagang Kasus Pengembangan Rumput Laut di Propinsi Gorontalo. Jakarta : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 112 Lampiran 1. Petani Responden di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Tahun 2012 No. Nama Petani Jenis Umur Kelamin (Tahun) Pendidikan Pengalaman Luas Lahan Budidaya Rumput (tali ris) Sistem Pemasaran Laut (tahun) 1. Wayan Sudarita Laki - laki 38 SD 2000 19 Kelompok 2. Nyoman Konti Laki - laki 55 SD 2000 15 Kelompok 3. Guru Dadit Laki - laki 50 SD 2000 19 Kelompok 4. Nyoman Wena Laki - laki 43 SD 2000 14 Kelompok 5. Made Mudita Laki - laki 30 SMA 5000 5 Kelompok 6. Wayan Sukada Laki - laki 50 Tidak tamat SD 2000 17 Kelompok 7. Made Warsana Laki - laki 33 SMA 2000 12 Kelompok 8. Wayan Juku Laki - laki 42 SMA 1500 12 Kelompok 9. I Made Kasib Laki - laki 66 SD 1000 10 Kelompok 10. Wayan Natra Laki - laki 57 SD 1500 20 Kelompok 11. Nyoman Sudani Perempuan 40 SD 2000 10 Kelompok 12. Wayan Letra Laki - laki 40 SMA 2000 15 Kelompok 13. Wayan Jana Laki - laki 43 SD 2000 15 Kelompok 14. Wayan Lote Laki - laki 50 Tidak tamat SD 1000 10 Kelompok 113 No. Nama Petani Jenis Umur Kelamin (Tahun) Pendidikan Pengalaman Luas Lahan Budidaya Rumput (tali ris) Sistem Pemasaran Laut (tahun) 15. Jagrin Laki - laki 50 Tidak tamat SD 1500 15 Kelompok 16. Made Wandra Laki - laki 55 Tidak tamat SD 3000 15 Kelompok 17. Ketut Sukadanta Laki - laki 45 SMP 1200 10 Kelompok 18. Lerniati Perempuan 39 SD 1000 10 Kelompok 19. Swastika Laki - laki 35 SD 1500 10 Kelompok 20. Ketut Mangdi Laki - laki 49 SD 3000 1 Kelompok 21. Wayan Swastika Laki - laki 32 SMA 1000 6 Kelompok 22. Nyoman Sunada Laki - laki 25 SD 1500 10 Kelompok 23. Ketut Merta Laki - laki 49 SD 1000 15 Kelompok 24. Ketut Weca Laki - laki 60 SD 1500 14 Kelompok 25. Gembun Laki - laki 60 SD 1500 19 Kelompok 26. Ketut Sukra Laki - laki 60 SD 1000 1 Kelompok 27. Nyoman Giriyasa Laki - laki 41 SMA 1500 15 Kelompok 28. Nyoman Medik Laki - laki 49 Tidak tamat SD 1500 20 Kelompok 29. Wayan Resta Laki - laki 59 Tidak tamat SD 1000 14 Kelompok 114 No. Nama Petani Jenis Umur Kelamin (Tahun) Pendidikan Luas Lahan (tali ris) Pengalaman Budidaya Rumput Sistem Pemasaran Laut (tahun) 30. Wayan Kirda Laki - laki 62 Tidak tamat SD 1000 10 Kelompok 31. Nyoman Rumanti Perempuan 32 SMA 200 10 Individu 32. Soni Laki - laki 49 SD 500 10 Individu 33. Made Darta Laki - laki 25 SD 300 10 Individu 34. Wayan Ngirit Perempuan 40 SD 600 10 Individu 35. Wayan Monggol Laki - laki 52 Tidak tamat SD 2000 30 Individu 115 Lampiran 2. Data Jumlah dan Nilai Produksi Rumput Laut berdasarkan Kabupaten/Kota Penghasil Utama di Provinsi Bali 2008 - 2010 Tahun Kabupaten/Kota Penghasil Rumput Laut Terbedsar di Provinsi Bali Denpasar Badung Klungkung Produksi Nilai Harga Produksi Nilai Harga Produksi Nilai Harga (Ton) (Rp 000) (Rp/kg) (Ton) (Rp/kg) (Ton) (Rp 000) (Rp/kg) (Rp 000) 2008 2.795,8 1.863.380 666,00 23.469,0 36.845.051,0 1.569,95 101.210,2 85.026.111,3 840,09 2009 2.931,5 1.738.450 593,00 28.393,5 31.364.229 1.105,00 103.234,5 84.751.092 820,96 2010 1.348,5 943.950 700,00 29.026,4 32.302.203 1.113,00 101.514,6 99.939.014 984,48 116 Lampiran 3. Perkembangan Produksi Rumput Laut di Provinsi Bali Tahun Produksi (Ton) Nilai Produksi (Rp .000) Harga (Rp/Ton) 2006 164.687,0 116.531.975,0 707.596,7 2007 152.226,1 71.065.191,0 466.839,7 2008 129.095,3 126.006.562,3 976.074,0 2009 135.810,9 119.855.371,4 882.516,6 2010 132.640,8 135.814.542,0 1.023.927,0 2011 141.863,4 263.954.294,0 1.860.623,0 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali (data diolah, 2012) 117 Lampiran 4. Perkembangan Produksi Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan Tahun 2009 Tahun 2010 No. Bulan Produksi Nilai Produksi Nilai Basah (Kg) (Rp .000) Basah (Kg) (Rp .000) 1. Januari 1.270.400 1.509.235 4.006.800 4.257.225 2. Februari 1.248.200 1.451.033 4.018.080 4.269.210 3. Maret 2.264.000 2.631.900 1.419.792 1.508.529 4. April 1.809.448 1.583.267 1.284.376 1.766.017 5. Mei 1.351.760 1.182.790 1.295.768 1.781.681 6. Juni 1.343.800 1.259.813 1.411.914 1.941.382 7. Juli 1.413.600 2.120.400 1.443.584 2.254.878 8. Agustus 1.508.800 2.262.120 1.940.108 3.030.449 9. September 2.007.680 3.137.000 2.545.752 2.545.752 10. Oktober 3.396.400 3.396.400 2.843.520 2.843.520 11. November 5.318.880 5.651.310 3.210.016 3.210.016 12. Desember 5.461.200 5.802.525 3.606.648 3.606.648 Total 28.394.168 31.987.793 29.026.358 33.015.307 Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung ( data diolah, 2012) 118 Lampiran 5. Fungsi – Fungsi Tataniaga Yang Dilaksanakan Oleh Lembaga – Lembaga Yang Terlibat dalam Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa Saluran dan Lembaga Tataniaga Saluran I Fungsi Tataniaga Saluran II Kelompok Agen Eksportir Tani Perantara (Surabaya) √ Pedagang Petani Pengumpul A √ √ Saluran III Eksportir (Bali) √ Pedagang Petani Pengumpul B Jual √ √ Beli √ √ √ Angkut √ √ √ Simpan √ Kemas √ √ √ √ √ √ √ Sortasi √ √ √ √ √ √ √ Risiko √ Biaya √ √ √ √ √ Informasi Pasar √ √ √ √ √ √ Eksportir (Bali) √ Fungsi Pertukaran Fungsi Fisik √ √ √ √ √ √ √ √ √ Fungsi Fasilitas √ √ √ √ √ √ 119 Lampiran 6. Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap Lembaga Taniaga pada Saluran Tataniaga I Jenis Biaya Jumlah Biaya (Rp/kg) Kelompok Tani - Biaya Angkut 27,78 - Biaya Tenaga Kerja 55,56 - Biaya Pengemasan 37,00 Agen Perantara - Biaya Angkut 125,00 - Biaya Pengemasan 20,00 - Biaya Tenaga Kerja 5,00 Eksportir - EMKL Freight Container Tracking dan Dokumen - Biaya lainnya (pengiriman 161,16 89,29 3,16 dokumen melalui jasa titipan kilat) Total Biaya Tataniaga 523,94 120 Lampiran 7. Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga II Jenis Biaya Petani Jumlah Biaya (Rp/kg) - Pedagang Pengumpul I - Biaya Angkut 1,41 - Biaya Tenaga Kerja 60,00 - Biaya Pengemasan 40,00 Eksportir - Biaya Angkut 500,00 - Biaya Pengemasan 100,00 - Biaya Tenaga Kerja 100,00 - Retribusi - Biaya Penyimpanan 100,00 - Biaya Bongkar Muat 100,00 - Lainnya 100,00 Total Biaya Tataniaga 25,00 1.126,41 121 Lampiran 8. Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga III Jenis Biaya Petani Jumlah Biaya (Rp/kg) - Pedagang Pengumpul II - Biaya Angkut 1,41 - Biaya Tenaga Kerja 15,00 - Biaya Pengemasan 40,00 Eksportir - Biaya Angkut 500,00 - Biaya Pengemasan 100,00 - Biaya Tenaga Kerja 100,00 - Retribusi - Biaya Penyimpanan 100,00 - Biaya Bongkar Muat 100,00 - Lainnya 100,00 Total Biaya Pemasaran 25,00 1.081,41 122 Lampiran 9. Analisis Marjin Tataniaga Rumput Laut Saluran I, II dan III di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali Saluran I II III Unsur Kelompok Tani/Petani Harga Jual Biaya Tataniaga Margin Keuntungan (π) Pedagang Pengumpul Harga Beli Harga Jual Biaya Tataniaga Margin Keuntungan (π) Agen Perantara Harga Beli Harga Jual Biaya Tataniaga Margin Keuntungan (π) Eksportir Harga Beli Harga Jual Biaya Tataniaga Margin Keuntungan (π) Total Biaya Tataniaga Total Keuntungan Total Marjin Rp/kg 8.600,00 120,33 186,00 65,67 % 88,23 1,23 1,91 0,67 Rp/kg % Rp/kg % 7.000,00 70,51 7.000,00 70,51 7.000,00 7.500,00 101,41 500,00 398,59 70,51 75,55 1,02 5,04 4,02 7.000,00 7.200,00 56,41 200,00 143,59 70,51 72,53 0,57 2,01 1,45 8.600,00 8.750,00 150,00 150,00 0 88,23 89,77 1,54 1,54 8.750,00 9.747,00 253,61 997,00 743,39 523,94 89,77 100,00 2,60 10,23 7,63 5,38 7.500,00 9.927,50 1.025,00 2.427,50 1.402,50 1.126,41 75,55 100,00 10,32 24,45 14,13 11,35 7.200,00 9.927,50 1.025,00 2.727,50 1.702,50 1.081,41 72,53 100,00 10,32 27,47 17,15 10,89 809,06 1.333,00 8,30 13,68 1.801,09 2.927,50 18,14 29,49 1.846,09 2.927,50 18,60 29,49 123 Lampiran 10. Farmer’s Share pada Saluran Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung Bali Saluran Tataniaga Harga di Tingkat Harga di Tingkat Farmer’s Share Petani (Rp/kg) Eksportir (Rp/kg) (%) Saluran I 8.600,00 9.747,00 88,23 Saluran II 7.000,00 9.927,50 70,51 Saluran III 7.000,00 9.927,50 70,51 Lampiran 11. Rasio Keuntungan terhadap Biaya pada Saluran Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali Lembaga Tataniaga Kelompok Tani Πi (Rp) Ci (Rp) Rasio πi/Ci Pedagang Pengumpul Πi (Rp) Ci (Rp) Rasio πi/Ci Agen Perantara Πi (Rp) Ci (Rp) Rasio πi/Ci Eksportir Πi (Rp) Ci (Rp) Rasio πi/Ci Total Πi (Rp) Ci (Rp) Rasio πi/Ci Saluran Tataniaga II I III 65,67 120,33 0,55 - - - 398,59 101,41 3,93 143,59 56,41 2,55 0 150,00 0 - - 743,39 253,61 2,93 1.402,50 1.025,00 1,37 1.702,50 1.025,00 1,66 809,06 523,94 1,54 1.801,09 1.126,41 1,60 1.846,09 1.081,41 1,71 124 Lampiran 12. Perhitungan Harga, Marjin, Biaya dan Keuntungan dalam Upaya Peningkatan Kualitas Rumput Laut. • Perhitungan Tingkat Kadar Air pada Saluran II dan III Saluran I merupakan saluran yang memasarkan rumput laut berkualitas baik dengan kadar air 35 %. Sementara itu, pada saluran II dan III kualitas rumput laut yang dipasarkan lebih rendah dari kualitas rumput laut pada saluran I. Namun, pada saluran II dan III petani tidak mengetahui kadar air dari rumput laut. Dengan menggunakan rumus perbandingan terbalik dengan asumsi bahwa ketika terjadi penurunan kadar air (kualitas rumput laut semakin baik) maka harga jual yang diperoleh petani akan meningkat. Harga di Saluran II dan III : Rp 7.000/kg Harga di Saluran I : Rp 8.600/kg Kadar air rumput laut pada Saluran II dan III : X Kadar air rumput laut pada Saluran I : 35 % 7.000 = 1/ 8.600 7.000 = 8.000 35 X X = 8.000 x 35 7.000 X = 43 Jadi, dapat diperhitungkan bahwa kadar air rumput laut pada saluran II dan III memiliki kadar air 43 %. • Perhitungan penetapan harga di tingkat petani pada Saluran II dan III setelah dilakukan peningkatan kualitas kadar air rumput laut Peningkatan kualitas rumput laut diasumsikan dengan meningkatkan kadar air dari 43 persen menjadi 35 persen. Peningkatan delapan persen pada kadar air akan setara dengan adanya kelebihan volume berat rumput laut kering sebesar 0,22 kg. Perhitungan penyetaraan tersebut sebagai berikut. Asumsi : Rumput laut dengan kadar air 35 persen memiliki volume berat 1 kg (100 %) maka penurunan kadar air sebesar delapan persen akan setara dengan pengurangan berat volume rumput laut kering. 35 100 = 8 X 125 X = (100 x 8)/35 X = 22,85 % Maka, adanya kelebihan kadar air sebesar delapan persen setara dengan kelebihan volume berat rumput laut sebesar 22,85 persen. Jadi harga ketika rumput laut pada saluran II dan III mengalami peningkatan kualitas kadar air maka harga yang akan diperoleh sebesar Rp 7.000 x (1 + (1 x 22,85 %)) Rp 7.000 x 1,22 = Rp 8.540 • Penentuan Biaya yang dikeluarkan di tingkat petani dalam upaya peningkatan kualitas rumput laut kering. Kondisi harga rumput laut kering pada saluran I jika memiliki kadar air 43 persen : Rp 8.600 x 1/1,22 = Rp 7.049,18 Hal ini menunjukkan adanya selisih harga sebanyak Rp 1.550,82 ketika terdapat perbedaan kualitas pada rumput laut kering di Saluran I. Pada saluran I biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam upaya peningkatan kualitas adalah Rp 120,33. Sementara itu pada Saluran II dan III terdapat selisih harga sebesar Rp 1.540,00 untuk peningkatan kualitas rumput laut, maka besarnya biaya tataniaga yang akan dikeluarkan adalah 1.550,82 1.540,00 = 120,33 X X = (1.540 x 120,33)/1.550,82 X = 119,49 Jadi, biaya yang dikeluarkan petani pada Saluran II dan III untuk meningkatkan kualitas rumput laut adalah sebesar Rp 119,49 per kg. • Perhitungan Marjin Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul Ketika terjadi peningkatan kualitas yang lebih tinggi pada saluran II dan III maka harga beli di tingkat pedagang pengumpul juga akan lebih tinggi, sehingga akan menimbulkan marjin yang ada di tingkat pedagang pengumpul akan semakin rendah karena terjadi pengurangan biaya tataniaga dari pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga. Pengurangan biaya tersebut akibat adanya pelaksanaan fungsi tataniaga di tingkat petani. 126 1. Marjin Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul pada Saluran II Harga pada kondisi awal = Harga setelah Peningkatan Kualitas 7.000 8.540 = Marjin Awal Marjin Baru 500 X X = (8.540 x 500)/7.000 = 409 Jadi, marjin di tingkat pedagang pengumpul pada saluran II setelah terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 409,00/kg 2. Marjin Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul pada Saluran III Harga pada kondisi awal = Harga setelah Peningkatan Kualitas 7.000 8.540 = Marjin Awal Marjin Baru 200 X X = (8.540 x 200)/7.000 = 163 Jadi, marjin di tingkat pedagang pengumpul pada saluran II setelah terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 163,00/kg • Perhitungan Biaya Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul Ketika terjadi peningkatan kualitas yang lebih tinggi pada saluran II dan III maka harga beli di tingkat pedagang pengumpul juga akan lebih tinggi, sehingga akan menimbulkan marjin yang ada di tingkat pedagang pengumpul akan semakin rendah karena terjadi pengurangan biaya tataniaga dari pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga. Pengurangan biaya tersebut akibat adanya pelaksanaan fungsi tataniaga di tingkat petani. 1. Biaya Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul pada Saluran II = Marjin pada kondisi awal Marjin setelah Peningkatan Kualitas 500 409 = Biaya Tataniaga Awal Biaya Tataniaga Baru 101,41 X X = (409 x 101,41)/500 = 82,95 127 Jadi, biaya tataniaga di tingkat pedagang pengumpul pada saluran II setelah terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 82,95/kg 2. Biaya Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul pada Saluran III Marjin pada kondisi awal = Marjin setelah Peningkatan Kualitas 200 163 = Biaya Tataniaga Awal Biaya Tataniaga Baru 56,41 X X = (163 x 56,41)/200 = 45,97 Jadi, marjin di tingkat pedagang pengumpul pada saluran III setelah terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 45,97/kg • Perhitungan Biaya Tataniaga di Tingkat Eksportir Ketika terjadi peningkatan kualitas yang lebih tinggi pada saluran II dan III maka harga beli di tingkat eksportir juga akan lebih tinggi, sehingga akan menimbulkan marjin yang ada di tingkat eksportir akan semakin rendah karena terjadi pengurangan biaya tataniaga dari pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga. Pengurangan biaya tersebut akibat adanya pelaksanaan fungsi tataniaga di tingkat petani. Oleh karena itu, setelah peningkatan kualitas maka : Harga beli di tingkat eksportir di saluran II = Harga beli di tingkat pedagang pengumpul + Marjin Baru = Rp 8.540 + Rp 409 = Rp 8.949 Harga beli di tingkat eksportir di saluran III = Harga beli di tingkat pedagang pengumpul + Marjin Baru = Rp 8.540 + Rp 163 = Rp 8.703 128 1. Biaya Tataniaga di Tingkat Eksportir pada Saluran II Marjin pada kondisi awal = Marjin setelah Peningkatan Kualitas 2.427,5 978,5 = Biaya Tataniaga Awal Biaya Tataniaga Baru 1.025 X X = (978,5 x 1.025)/2.427,5 = 413,16 Jadi, biaya tataniaga di tingkat eksportir pada saluran II setelah terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 413,16/kg 2. Biaya Tataniaga di Tingkat Eksportir pada Saluran III Marjin pada kondisi awal = Marjin setelah Peningkatan Kualitas 2.727,5 1.224,5 = Biaya Tataniaga Awal Biaya Tataniaga Baru 1.025 X X = (1.224,5 x 1.025)/1.025 = 460,16 Jadi, marjin di tingkat pedagang pengumpul pada saluran III setelah terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 460,16/kg 129 Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian Gambar 1. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii Gambar 3. Petani menggunakan alat bantu jukung untuk penanaman dan pemanenan di tengah pantai Gambar 5. Pembudidayaan rumput laut Eucheuma cottonii dengan menggunakan Gambar 2. Proses pengikatan bibit rumput laut Gambar 4. Areal penanaman rumput laut Euchema cottonii Gambar 6. Proses pengeringan rumput laut yang dilakukan oleh para petani. tali sebagai alat bantu. 130 Gambar 7. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii dalam kondisi kering Gambar 9. Kegiatan sortasi yang dilakukan di tingkat Eksportir Gambar 11. Pengangkutan yang dilakukan oleh Eksportir Gambar 8. Pengemasan rumput laut di tingkat Kelompok Tani Gambar 10. Pengemasan yang dilakukan di tingkat Eksportir 131