tataniaga rumput laut di desa kutuh dan kelurahan

advertisement
TATANIAGA RUMPUT LAUT DI DESA KUTUH DAN
KELURAHAN BENOA, KECAMATAN KUTA SELATAN,
KABUPATEN BADUNG, PROVINSI BALI
SKRIPSI
NI PUTU AYUNING WULAN PRADNYANI MAHAYANA
H34080004
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
RINGKASAN
NI PUTU AYUNING WULAN PRADNYANI MAHAYANA. Tataniaga
Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta
Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Skripsi. Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan
RATNA WINANDI)
Rumput laut merupakan salah satu komoditi subsesktor budidaya laut yang
mendukung upaya kebijakan industrialisasi perikanan yang ditetapkan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Rumput laut menjadi komoditi unggulan
dengan total produksi terbesar dengan total produksi mencapai 3,3 juta ton pada
tahun 2010. Selain itu, rumput laut juga merupakan komoditi ekspor yang
memiliki volume dan nilai ekspor yang meningkat setiap tahunnya pada tahun
2006 – 2010. Bali merupakan salah satu provinsi penghasil rumput laut terbesar di
Indonesia. Salah satu sentra pembudidayaan rumput laut di Provinsi Bali adalah
Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Berdasarkan data mengenai
pendekatan nilai ekspor dan nilai produksi rumput laut diketahui terdapat marjin
dalam penetapan harga rumput laut ekspor di Indonesia serta terdapat data
mengenai adanya fluktuasi harga di tingkat petani. Oleh karena itu dinilai perlu
untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pemasaran rumput laut melalui
pendekatan analisis tataniaga. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui
serta menganalisis pelaksanaan si.stem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta
Selatan, (2) mengkaji peranan kelompok tani dalam tataniaga rumput laut di
Kecamatan Kuta Selatan, (3) menganalisis efisiensi sistem tataniaga rumput laut
di Kecamatan Kuta Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa,
Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali selama bulan Februari
hingga Maret 2012. Responden penelitian terdiri dari petani responden yang
berjumlah 35 orang dan lima orang lembaga tataniaga. Penarikan responden
petani dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling sedangkan
responden lembaga tataniaga dilakukan dengan metode snowball sampling.
Responden lembaga tataniaga merupakan lembaga yang menjadi tujuan
pemasaran responden petani pada periode penjualan sesuai dengan waktu
penelitian ini dilakukan. Analisis data pada penelitian ini terdiri dari pendekatan
analisis saluran dan lembaga tataniaga, analisis fungsi tataniaga, analisis struktur
pasar dan analisis perilaku pasar yang dianalisis secara deskriptif. Selain itu juga
dilakukan analisis kuantitatif melalui pendekatan nilai marjin tataniaga, farmer’s
share, analisis rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga dan analisis efisiensi
tataniaga.
Sistem tataniaga rumput laut pada penelitian ini membentuk tiga pola
saluran tataniaga yang melibatkan petani, kelompok tani, pedagang pengumpul,
agen perantara dan eksportir. Pengelolaan aktivitas tataniaga di tingkat petani
dikelola secara individu dan melibatkan peranan kelompok tani. Saluran tataniaga
I melibatkan kelompok tani, agen perantara dan eksportir (Surabaya). Saluran
tataniaga II melibatkan petani, pedagang pengumpul A dan eksportir (Bali).
Saluran III melibatkan petani, pedagang pengumpul B dan eksportir (Bali). Setiap
lembaga tataniaga menjalankan fungsi tataniaga masing – masing sebagai upaya
pemberian nilai tambah pada rumput laut yang dihasilkan. Struktur pasar yang
dihadapi oleh petani rumput laut cenderung berhadapan dengan struktur pasar
bersaing. Jumlah petani cenderung lebih banyak dibandingkan lembaga tataniaga
yang berperan sebagai pembeli. Produk yang dihasilkan cenderung homogen yaitu
berupa rumput laut kering yang terstandarisasi. Struktur pasar yang dihadapi oleh
pedagang pengumpul rumput laut dan agen perantara cenderung pada struktur
pasar tidak bersaing baik dari sisi sebagai penjual maupun pembeli. Pedagang
pengumpul di Kecamatan Kuta Selatan tidak berjumlah banyak. Berdasarkan
fakta yang terlihat di lapangan, terdapat perbedaan penetapan harga jual di masing
– masing pedagang pengumpul. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kekuatan diantara pedagang pengumpul. Sementara itu pihak eksportir
cenderung menghadapi struktur pasar bersaing dilihat dari sisi eksportir sebagai
penjual karena adanya persaingan antar eksportir yang cukup ketat misalnya saja
dengan sesama eksportir yang berasal dari wilayah Surabaya serta adanya
kepatuhan terhadap standarisasi yang telah ditetapkan terhadap rumput laut yang
akan diekspor sedangkan jika dilihat dari sisi eksportir sebagai pembeli maka
struktur pasar yang dihadapi cenderung struktur pasar tidak bersaing. Sedangkan
pada perhitungan pangsa pasar rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan diperoleh
nilai pangsa pasar sebesar 20,9 persen pada tahun 2009 dan 21,88 persen pada
tahun 2010 karena nilai berada pada kisaran 20 – 50 persen maka nilai tersebut
menunjukkan bahwa tataniaga rumput laut yang dihasilkan di wilayah Kecamatan
Kuta Selatan cenderung menghadapi struktur pasar oligopoli ketat.
Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa dalam tataniaga rumput laut
dalam penelitian ini aktivitas penjualan dan pembelian dilakukan secara bebas dan
tidak ada kontrak khusus yang mengikat masing – masing lembaga tataniaga yang
terlibat. Pada proses penetapan harga secara umum lembaga tataniaga yang
memiliki kedudukan lebih tinggi cenderung memiliki kekuatan dalam penentuan
harga. Sistem pembayaran yang berlaku terdiri atas beberapa macam yaitu
pembayaran melalui sistem tunai, transfer dan pembayaran kemudian.
Penelitian ini terdiri dari dua analisis kuantitatif yaitu analisis terhadap
kondisi riil di lapangan serta analisis terhadap skenario. Skenario dilakukan
karena adanya dugaan perbedaan kualitas standar kadar air rumput laut pada
saluran I dengan saluran II dan III. Skenario dilakukan dengan melakukan
penyetaraan standar kualitas rumput laut pada kadar air sebesar 35 persen. Hasil
analisis marjin baik analisis terhadap kondisi riil di lapangan maupun analisis
terhadap skenario yang dilakukan menunjukkan bahwa saluran I memiliki nilai
marjin tataniaga terkecil yaitu sebesar Rp 1.333,00 per kilogram rumput laut
kering. Pada analisis farmer’s share juga menunjukkan bahwa saluran I memiliki
nilai farmer’s share tertinggi yaitu sebesar 88,23 persen. Analisis rasio
keuntungan terhadap biaya tataniaga menunjukkan bahwa saluran I relatif lebih
efisien sebagai alternatif saluran tataniaga rumput laut. Saluran I memang bukan
saluran dengan nilai rasio tertinggi, namun pada saluran ini mampu menghasilkan
biaya terendah sementara mampu menghasilkan rumput laut dengan standar
kualitas yang telah ditentukan yaitu sebesar 35 persen dan hal ini dinilai mampu
memenuhi permintaan eksportir sebagai konsumen akhir dalam sistem tataniaga
rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa
peningkatan kualitas kadar air pada rumput laut mampu meningkatkan efisiensi
pelaksanaan sistem tataniaga khususnya di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa.
TATANIAGA RUMPUT LAUT DI DESA KUTUH DAN
KELURAHAN BENOA, KECAMATAN KUTA SELATAN,
KABUPATEN BADUNG, PROVINSI BALI
NI PUTU AYUNING WULAN PRADNYANI MAHAYANA
H34080004
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Skripsi
: Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan
Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung,
Provinsi Bali
Nama
: Ni Putu Ayuning Wulan Pradnyani Mahayana
NIM
: H34080004
Disetujui,
Pembimbing
Dr. Ir. Ratna Winandi, MS
NIP. 19530718 197803 2 001
Diketahui
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Tataniaga
Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, Provinsi Bali” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
Juni 2012
Ni Putu Ayuning Wulan P.M
H34080004
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 4 April 1990. Penulis adalah
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak I Ketut Mahayana dan
Ibunda Ni Made Suartini.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 17 Pagi Cempaka Putih
Barat, Jakarta pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan
pada tahun 2005 di SLTPN 2 Mataram. Pendidikan lanjutan menengah atas di
SMAN 5 Denpasar diselesaikan pada tahun 2008.
Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) pada tahun 2008. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai
pengurus Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma IPB (KMHD – IPB) pada Divisi
Humas periode 2008 – 2009 dan sebagai Bendahara Umum I pada periode 2009 –
2010. Selain itu penulis juga tercatat sebagai Bendahara Umum I Himpunan
Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) periode 2011.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala berkat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tataniaga
Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, Provinsi Bali”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi
persyaratan penyelesaian Program Sarjana di Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Rumput laut merupakan komoditi budidaya laut dengan total produksi
terbesar di Indonesia. Komoditi ini juga merupakan komoditi tujuan ekspor
dengan volume dan nilai ekspor yang mengalami kenaikan selama lima tahun
terakhir. Adanya perbedaan harga rumput laut di tingkat petani dengan rumput
laut di tingkat pasar ekspor mengindikasikan adanya marjin tataniaga dalam
kegiatan ekspor rumput laut. Hal ini yang mendorong penulis untuk melakukan
penelitian mengenai tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten
Badung, Provinsi Bali mengingat Bali merupakan salah satu provinsi penghasil
rumput laut terbesar di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis pelaksanaan sistem tataniaga khususnya pada komoditi rumput laut,
mengkaji peranan kelompok tani dalam sistem tataniaga rumput laut serta
menganalisis efisiensi sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai
pentingnya penetapan standarisasi kualitas rumput laut khususnya syarat kadar air
yang dapat mempengaruhi efisiensi tataniaga.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi institusi serta
pihak – pihak yang terkait dengan pengembangan agribisnis khususnya pada
sektor perikanan dan kelautan.
Bogor, Juni 2012
Ni Putu Ayuning Wulan P.M
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan karena berkat
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi ini. Pada kesempatan ini
penulis bermaksud untuk menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan
sebesar – besarnya kepada :
1.
Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, pengarahan serta motivasi
kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
2.
Dr. Amzul Rifin, SP.MA selaku dosen penguji utama yang telah bersedia
meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran untuk perbaikan
penulisan skripsi ini.
3.
Etriya, SP.MM selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah bersedia
meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran untuk perbaikan
penulisan skripsi ini.
4.
Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec yang telah menjadi dosen pembimbing
akademik dan seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor terima kasih atas segala
bimbingan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama menjalani
kegiatan perkuliahan.
5.
Ayahanda I Ketut Mahayana, SE.MM, Ibunda Ni Made Suartini, SE serta
adik tercinta I Made Pradityarjuna M.M, terima kasih atas segala cinta kasih,
doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama menjalani kuliah
terutama saat melakukan penyusunan skripsi ini.
6.
Keluarga besar Kakek I Gde Tjitra dan I Made Kondra terima kasih atas
segala doa dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.
7.
Keluarga KMHD – IPB (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Institut
Pertanian Bogor) khususnya untuk seluruh anggota KMHD – IPB angkatan
45 : Joni, Mita, Yudha, Putri, Wira, Mayun, Kartika, Dia, Sindra, Keswari,
Debby, Sri, Yoga, Dewa, Kadek dan teman – teman angkatan 45 lainnya
terima kasih atas semangat dan dukungan yang diberikan kepada penulis baik
dalam kegiatan perkuliahan hingga penulisan skripsi serta dalam kegiatan
kampus lainnya.
8.
Sahabat terbaik Rizki Amelia, Fawzia Defrida S. dan Liska Andrini Tatilu
yang selalu menemani setiap hari di bangku kuliah dan selalu memberikan
semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9.
Sahabat seperjuangan dalam penyusunan tugas akhir Herawati, Arini Prihatin,
dan Akbar Zaenal Mutaqin terima kasih atas semangat dan motivasi yang
diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Sahabat Agribisnis 45 : Syajaroh Duri, Andi Facino, Rendi Seftian, Syifa
Maulia, Amelia, Emil Fatmala, Anggarini Dianing Safitri, Steffi Fikri,
Shafiatul Ghina, Ratih Kusuma Ningrum, Risty Puspitasari, Rara June Azni,
Gebry Ayu Diwandani, Ervan Fahreza, Andika Yuli Sutrisno, Diki More Sari,
Haris Fatori A, Muhammad Fikri, Dedy Iskandar M, Mizani Adlina P, Tim
Gladikarya Desa Pasir Langu (Rizky Ilham, Nursahaldin Sam, Farisah Firas,
Dian Puspitasari dan Yuki Masiliana) serta seluruh sahabat di Departemen
Agribisnis Angkatan 45 terima kasih atas semangat dan bantuan yang
diberikan selama kegiatan pekuliahan, penelitian hingga penulisan skripsi.
11. Sahabat dan keluarga pengurus HIPMA – IPB periode 2011 terima kasih atas
semangat yang diberikan kepada penulis dalam aktivitas perkuliahan hingga
penulisan skripsi ini.
12. Sahabat Gian Nubekti, Dea Amanda, Finata Rastic Andrari, dan Rani
Parawitasari Den Ka’a terima kasih atas semangat dan dukungan yang selalu
diberikan kepada penulis dalam masa perkuliahan dan penulisan skripsi.
13. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. yang telah memberikan beasiswa
melalui program Early Recruitment Program (ERP) BNI.
14. Keluarga Bapak dan Ibu Kamir Brata terima kasih atas segala doa dan
dukungan yang diberikan kepada penulis.
15. Bapak I Nyoman Yasa selaku Ketua Kelompok Tani Segara Amerta yang
telah membimbing penulis dalam melakukan kegiatan penelitian.
16. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih
atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
Bogor, Juni 2012
Ni Putu Ayuning Wulan P.M
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................
i
DAFTAR TABEL ............................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................
v
I.
PENDAHULUAN ................................................................
1.1 Latar Belakang ..............................................................
1.2 Perumusan Masalah ......................................................
1.3 Tujuan Penelitian ..........................................................
1.4 Ruang Lingkup Penelitian .............................................
1
1
7
11
11
II.
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................
2.1 Rumput Laut ..................................................................
2.2 Hasil Penelitian Terdahulu tentang Tataniaga ..............
2.3 Kajian mengenai Konsep dan Penentuan Efisiensi
Tataniaga .......................................................................
2.4 Hasil Penelitian Terdahulu tentang Rumput Laut .........
2.5 Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu .....................
12
12
14
14
17
18
III.
KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................
3.1.1 Sistem Tataniaga ...............................................
3.1.2 Fungsi Tataniaga … ..........................................
3.1.3 Lembaga dan Saluran Tataniaga .......................
3.1.4 Struktur Pasar … ...............................................
3.1.5 Perilaku Pasar ....................................................
3.1.6 Farmer’s Share ….............................................
3.1.7 Marjin Tataniaga ...............................................
3.1.8 Rasio Keuntungan dan Biaya ............................
3.1.9 Efisiensi Tataniaga… ........................................
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional..................................
20
20
20
23
26
29
31
31
32
35
36
37
IV.
METODE PENELITIAN........................................................
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.........................................
4.2 Jenis dan Sumber Data ..................................................
4.3 Metode Pengumpulan Data ...........................................
4.4 Metode Analisis Data ....................................................
4.4.1 Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga .........
4.4.2 Analisis Fungsi Tataniaga .................................
4.4.3 Analisis Struktur Pasar ......................................
4.4.4 Analisis Perilaku Pasar ......................................
4.4.5 Analisis Efisiensi Tataniaga ..............................
4.4.5.1 Analisis Marjin Tataniaga .....................
4.4.5.2 Analisis Farmer’s Share .......................
4.4.5.3 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya ..
40
40
40
40
42
42
43
43
44
44
45
46
47
i V.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ........................
5.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian ...............................
5.1.1 Keadaan Umum Kecamatan Kuta Selatan ........
5.1.2 Keadaan Umum Desa Kutuh .............................
5.1.3 Keadaan Umum Kelurahan Benoa ....................
5.2 Karakteristik Petani Responden ....................................
5.3 Karakteristik Responden Lembaga Tataniaga...............
5.4 Kelompok Tani ..............................................................
5.5 Gambaran Umum Budidaya Rumput Laut....................
5.5.1 Pemilihan Lokasi ...............................................
5.5.2 Pembibitan .........................................................
5.5.3 Metode Lepas Dasar ..........................................
5.5.4 Budidaya Rumput Laut di Desa Kutuh dan
Kelurahan Benoa ...............................................
48
48
48
50
51
51
54
56
57
57
60
61
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................
6.1 Sistem Tataniaga ...........................................................
6.2 Saluran Tataniaga ..........................................................
6.2.1 Saluran Tataniaga I ............................................
6.2.2 Saluran Tataniaga II ..........................................
6.2.3 Saluran Tataniaga III .........................................
6.3 Fungsi Tataniaga pada Setiap Lembaga Pemasaran ......
6.3.1 Petani .................................................................
6.3.2 Pedagang Pengumpul ........................................
6.3.3 Agen Perantara ..................................................
6.3.4 Eksportir ............................................................
6.4 Analisis Struktur Pasar ...................................................
6.4.1 Jumlah Pembeli dan Penjual dalam Tataniaga
Rumput Laut ......................................................
6.4.2 Jenis dan Sifat Rumput Laut .............................
6.4.3 Hambatan Keluar dan Masuk Pasar ..................
6.4.4 Informasi Pasar ..................................................
6.5 Analisis Perilaku Pasar ...................................................
6.5.1 Praktik Penjualan dan Pembelian ......................
6.5.2 Sistem Penentuan Harga ....................................
6.5.3 Sistem Pembayaran ...........................................
6.5.4 Kerjasama antar Lembaga Tataniaga ................
6.6 Analisis Marjin Tataniaga .............................................
6.7 Analisis Farmer’s Share ...............................................
6.8 Rasio Keuntungan dan Biaya ........................................
6.9 Efisiensi Tataniaga ........................................................
64
64
66
66
70
71
72
74
77
79
80
82
VII.
62
82
84
85
87
90
91
91
92
93
94
99
101
104
KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................
7.1 Kesimpulan....................................................................
7.2 Saran ..............................................................................
106
106
108
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
110
LAMPIRAN .....................................................................................
113
ii DAFTAR TABEL
Nomor
1.
Halaman
Produksi Perikanan Budidaya Laut Indonesia Tahun 2006
- 2010....................................................................................
2
Perkembangan Ekspor Rumput Laut di Indonesia Tahun
2006 - 2010 ..........................................................................
2
3.
Peluang Pasar Perdagangan Rumput Laut ...........................
3
4.
Produksi Rumput Laut menurut Provinsi Utama Tahun
2004 - 2008...........................................................................
4
Total Produksi Rumput Laut di Kabupaten/Kota di
Provinsi Bali Tahun 2008 - 2010 .........................................
5
Perkembangan Total dan Nilai Rumput Laut di Kabupaten
Badung Tahun 2006 - 2010 ..................................................
6
7.
Standar Nasional Rumput Laut Indonesia ............................
14
8.
Struktur Pasar pada Sistem Pangan dan Serat ......................
30
9.
Produktivitas Hasil Perikanan di Kecamatan Kuta Selatan
Tahun 2011 ...........................................................................
49
10. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Kuta Selatan........
50
11. Karakteristik Responden Petani Rumput Laut Di Desa
Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, Provinsi Bali. .......................................
52
12. Karakteristik Individu dari Responden Lembaga Tataniaga
Rumput Laut di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa,
Kecamatan Kuta Selatan ......................................................
55
13. Perhitungan Marjin Tataniaga setelah Peningkatan Kualitas
Rumput Laut Kering.............................................................
98
14. Farmer’s Share setelah Peningkatan Kualitas Rumput Laut
Kering. ..................................................................................
100
15. Rasio Keuntungan dan Biaya setelah Peningkatan Kualitas
Rumput Laut .........................................................................
103
16. Nilai Efisiensi Pemasaran pada masing – masing Pola
Saluran Tataniaga Rumput Laut di Kecamatan Kuta
Selatan ..................................................................................
105
2.
5.
6.
iii DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.
Halaman
Tingkat Harga Rumput Laut di Kabupaten/Kota di
Provinsi Bali .........................................................................
8
Perkembangan Harga Rumput Laut di Kecamatan Kuta
Selatan Tahun 2009 – 2010 ..................................................
9
3.
Kurva Pembentukan Marjin Tataniaga ................................
33
4.
Kerangka Pemikiran Operasional.........................................
39
5.
Skema Sistem Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan
Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan ........................
64
2.
iv DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1.
Halaman
Petani Responden di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten
Badung, Provinsi Bali, Tahun 2012 .....................................
113
Data Jumlah dan Nilai Produksi Rumput Laut berdasarkan
Kabupaten/Kota Penghasil Utama di Provinsi Bali 2008 2010 ......................................................................................
116
3.
Perkembangan Produksi Rumput Laut di Provinsi Bali.......
117
4.
Perkembangan Produksi Rumput Laut di Kecamatan Kuta
Selatan ..................................................................................
118
Fungsi – Fungsi Tataniaga Yang Dilaksanakan Oleh
Lembaga – Lembaga Yang Terlibat dalam Tataniaga
Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan ............................
119
Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap
Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga I .....................
120
Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap
Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga II ....................
121
Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap
Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga III ...................
122
Analisis Marjin Tataniaga Rumput Laut Saluran I, II dan III
di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta
Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali ..........................
123
2.
5.
6.
7.
8.
9.
10. Farmer’s Share pada Saluran Tataniaga Rumput Laut di
Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta
Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali ..........................
124
11. Rasio Keuntungan terhadap Biaya pada Saluran Tataniaga
Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa,
Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi
Bali .......................................................................................
124
12. Perhitungan Harga, Marjin, Biaya dan Keuntungan dalam
Upaya Peningkatan Kualitas Rumput Laut ..........................
125
13. Dokumentasi Penelitian........................................................
130
v I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan Produk Domestik Bruto
(PDB) sebesar 6,5 persen pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2010. PDB
merupakan salah satu hal yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk
mengetahui kondisi perekonomian suatu negara pada periode waktu tertentu.
Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang memiliki kontribusi dalam
perekonomian nasional. Hal tersebut disampaikan melalui laporan dari Badan
Pusat Statistika.
Berdasarkan laporan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan disebutkan
bahwa laju pertumbuhan produksi perikanan nasional sejak tahun 2006 – 2010
mencapai 9,68 persen per tahun dengan kontribusi terhadap PDB nasional sebesar
3,14 persen atau sekitar Rp 148,16 triliun. Pada subsektor perikanan budidaya
terjadi pertumbuhan sebesar 19,56 persen sementara pada perikanan tangkap
hanya sebesar 2,78 persen.
Hal tersebut menunjukkan adanya potensi untuk
mengembangkan sektor perikanan khususnya pada subsektor perikanan budidaya.
Perikanan budidaya merupakan salah satu sektor primadona di hulu dalam
penyediaan bahan baku. Saat ini subsektor perikanan budidaya telah menetapkan
empat komoditas utama dalam mendukung kebijakan industrialisasi perikanan,
yaitu udang, rumput laut, bandeng dan patin. Indonesia memiliki potensi
perikanan budidaya dengan luas lahan mencapai lebih dari 15,59 juta ha. Potensi
perikanan budidaya ini terbagi menjadi potensi perikanan budidaya air tawar
seluas 2,23 juta ha, budidaya air payau seluas 1,22 juta ha dan potensi terbesar
pada budidaya laut yang mencapai 12,14 juta ha. Sampai dengan tahun 2010,
pemanfaatan lahan budidaya laut baru mencapai 117.649 ha atau hanya sekitar
0,01 persen dari potensi yang ada.
Berdasarkan data produksi perikanan budidaya laut pada Tabel 1,
menujukkan dalam waktu lima tahun terakhir produksi rumput laut tetap menjadi
komoditi unggulan pada subsektor perikanan budidaya laut. Komoditi rumput laut
merupakan komoditi dengan total produksi terbesar diantara komoditi perikanan
budidaya laut utama yang ada di perairan Indonesia.
1
Tabel 1. Produksi Perikanan Budidaya Laut Indonesia Tahun 2006 – 2010 (Ton)
Tahun
Komoditi
2006
2007
2008
2009
2010
Kerapu
3.132
6.370
4.768
7.648
7.657
Kakap
630
523
707
2.399
2.311
Udang Barong
558
-
292
339
311
18.1895
15.623
19.662
15.857
58.079
736
94
278,8
629
475,7
1.341.141
1.485.654
1.937.591 2.791.688
3.299.436
-
-
Kerang
Teripang
Rumput Laut
Bandeng
469
99
311
Sumber : Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2010 (Kementerian Kelautan dan Perikanan,
2011)
Rumput laut adalah salah satu komoditi strategis kelautan dalam negeri.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011, volume
produksi rumput laut Indonesia mengalami peningkatan dari produksi pada tahun
2009 sebesar 2.791.688 meningkat menjadi 3.299.436 pada tahun 2010. Nilai
ekspor komoditas rumput laut pada tahun 2010 naik 54,87 persen menjadi US$
135 juta dibanding tahun 2009 yang hanya mencapai US$ 87,77 juta. Volume
ekspor rumput laut juga naik dari 94.003 ton pada tahun 2009 menjadi 123.074
ton pada tahun 2010. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan ekspor rumput
laut Indonesia yang tersaji pada Tabel 2. Potensi pengembangan rumput laut di
Indonesia sangat besar mengingat komoditas ini merupakan komoditas
perdagangan internasional yang telah diekspor ke berbagai negara seperti
Philipina, Chili, Korea Selatan dan China.
Tabel 2. Perkembangan Ekspor Rumput Laut di Indonesia Tahun 2006 - 2010
Tahun
Volume ( kg)
Nilai (US $)
Harga (Rp/kg)
2006
95.588.055
49.586.226
4.681,71
2007
94.073.398
57.522.350
5.625,45
2008
99.947.976
110.153.291
10.470,01
2009
94.003.326
87.773.297
8.870,39
2010
123.074.961
135.939.458
10.034,61
Sumber : Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2010 (KKP 2011, data diolah)
2
Berdasarkan data perkembangan ekspor rumput laut pada tahun 2006
hingga 2010 menunjukkan bahwa ekspor rumput laut cenderung mengalami
peningkatan, walaupun sempat terjadi penurunan volume ekspor dan nilai ekspor
pada tahun 2009 kemudian mengalami peningkatan kembali pada tahun 2010.
Peningkatan volume ekspor tersebut dapat mengindikasikan bahwa terjadi
peningkatan permintaan rumput laut dunia untuk setiap tahunnya. Hal ini tentunya
menjadi peluang bagi Indonesia, untuk meningkatkan produksi serta pemasaran
rumput laut untuk pemenuhan kebutuhan di pasar internasional. Data harga ekspor
pada Tabel 2 diperoleh dengan melakukan pendekatan sebagai hasil dari nilai
ekspor rumput laut dibagi dengan volume ekspor rumput laut.
Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan
daya tarik keindahan pesona wisata laut. Pesona perairan di wilayah Bali tidak
hanya pada sektor pariwisata saja namun juga dari kekayaan komoditi budidaya
laut yang telah lama dikembangkan, termasuk pengembangan budidaya rumput
laut. Wilayah perairan laut di provinsi Bali mencapai angka ± 95.000 km2 dengan
luas lahan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam budidaya laut
adalah sekitar 1.551,75 ha dan berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Bali pada tahun 2008 luas lahan potensial tersebut baru
dimanfaatkan untuk usaha budidaya laut seluas 418,5 ha dengan komoditi utama
yang telah dikembangkan adalah rumput laut jenis Euchema cotonii sp dan
Eucheuma spinosum sp. Rumput laut untuk jenis Eucheuma sp memiliki potensi
untuk dikembangkan karena adanya peluang terkait tingginya permintaan pasar
jika dibandingkan dengan jenis rumput laut lainnya seperti Gracilaria sp seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Peluang Pasar Perdagangan Rumput Laut
Jenis Produk
2006
2007
Permintaan Dunia ( ton)
202.300
218.100
Produksi Indonesia (ton)
56.000
Permintaan Dunia (ton)
Produksi Indonesia (ton)
2008
2009
2010
235.300
253.900
274.100
60.000
66.000
73.000
80.000
79.200
87.040
95.840
105.440
116.000
29.000
36.000
41.500
48.000
57,50
Eucheuma sp
Gracilaria sp
Sumber : BPPT & ISS 2006 (Dalam Buku Profil Rumput Laut Indonesia, 2009)
3
Komoditi rumput laut khususnya untuk jenis Eucheuma sp, mulai
dibudidayakan secara massal di Indonesia pada tahun 1984 di wilayah perairan
Bali meliputi wilayah Nusa Dua, Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa
Ceningan. Pada produksi rumput laut nasional, Bali memberikan kontribusi
sebagai salah satu dari sepuluh provinsi penghasil rumput laut terbesar pada skala
nasional. Hal ini didasarkan pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan
mengenai produksi rumput laut di beberapa provinsi utama di Indonesia yang
tersaji pada Tabel 4. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa antara tahun 2004 –
2008 terjadi fluktuasi hasil produksi rumput laut di Provinsi Bali. Produksi rumput
laut mengalami penurunan pada tahun 2007 kemudian meningkat kembali pada
tahun 2008. Tingkat produksi rumput laut di Provinsi Bali menempati urutan
ketiga diantara sepuluh provinsi utama penghasil rumput laut di Indonesia.
Tabel 4. Produksi Rumput Laut menurut Provinsi Utama Tahun 2004 - 2008
Tahun (dalam ton basah)
No.
Provinsi
2004
2005
2006
2007
2008
1.
Sulawesi
24.784
204.397
409.422
418.063
690.385
Selatan
2.
NTT
66.423
271.846
478.114
504.699
566.495
3.
Bali
156.104
161.053
164.804
152.317
170.860
84.725
12.041
24.660
82.092
89.510
39.091
36.747
60.410
76.552
84.750
2.480
722
3.104
17.013
37.590
126
297
1.772
17.730
19.820
41
6.245
10.231
12.932
16.300
4.
Sulawesi
Tenggara
5.
NTB
6.
Maluku
7.
Kalimantan
Timur
8.
Jawa Timur
9.
Jawa Barat
2.687
775
143
85
14.100
10.
Lampung
1.210
449
1.074
1.850
9.190
11.
Lainnya
405.472
877.319 1.345.077 1.488.463 1.951.910
Sumber : Data Statistik Ditjen. Perikanan Budidaya, DKP (Dalam Buku Profil Rumput Laut
Indonesia, 2009)
4
Provinsi Bali memiliki beberapa sentra wilayah dalam pembudidayaan
komoditi rumput laut. Menurut data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Bali, terdapat tiga kabupaten/kota dengan potensi terbesar dalam pengembangan
budidaya rumput laut, yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten
Klungkung. Hal ini dapat dilihat pada data yang tersaji pada Tabel 5 mengenai
total produksi rumput laut yang dihasilkan oleh masing – masing kabupaten/kota
yang ada di Provinsi Bali. Sampai dengan akhir tahun 2011, produksi rumput laut
mencapai 141.863,4 ton basah dengan nilai produksi sebesar Rp 263.954.294.000
yang dapat dilihat pada data di Lampiran 3.
Tabel 5. Total Produksi Rumput Laut di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun
2008 – 2010 (Ton)
Tahun
No.
Kabupaten/Kota
2008
2009
2010
1.
Denpasar
2.795,8
2.931,5
1.348,5
2.
Badung
23.469,0
28.393,5
29.026,4
3.
Buleleng
1.614,3
1.251,4
751,3
4.
Klungkung
101.210,2
103.234,5
101.514,6
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali (data diolah, 2012)
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat empat kabupaten/kota di
wilayah Provinsi Bali yang berperan sebagai penghasil komoditi rumput laut.
Kabupaten Badung merupakan penghasil rumput laut kedua terbesar di wilayah
Provinsi Bali. Produksi rumput laut di Kabupaten Badung pada sepanjang tahun
2008 hingga 2010 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan setiap tahun.
Pada tahun 2009 terjadi peningkatan produksi sebesar 20,98 persen dibandingkan
produksi pada tahun 2008. Selanjutnya pada tahun 2010, produksi juga
mengalami peningkatan namun tidak sebesar peningkatan pada tahun 2009, pada
tahun 2010 peningkatan hanya sebesar 2,23 persen dari total produksi di tahun
2009 sebesar 28.393,5 ton menjadi 29.026,4 ton pada tahun 2010.
Wilayah Bali Selatan yang termasuk dalam regional wilayah Kabupaten
Badung memiliki areal potensi rumput laut seluas 95 ha yang tersebar dari Pantai
Sawangan, Pantai Kutuh, dan Pantai Geger yang berada di dalam wilayah
Kecamatan Kuta Selatan. Hasil produksi rumput laut di wilayah Kabupaten
5
Badung tahun 2010 mencapai 29.026 ton basah. Perkembangan produksi rumput
laut di wilayah Kabupaten Badung mengalami fluktuasi yang selanjutnya
berpengaruh terhadap nilai dari rumput laut, hal ini dapat dilihat melalui data
pada Tabel 6. Namun tingkat harga rumput laut di Kabupaten Badung cenderung
mengalami peningkatan pada tahun 2006 hingga 2010, walaupun sempat terjadi
penurunan harga sebesar 33,10 persen pada tahun 2009. Tingkat harga rumput
laut diperoleh melalui perbandingan nilai produksi terhadap produksi rumput laut
di Kabupaten Badung. Data pada Tabel 2 dan Tabel 6 dapat diperlihatkan bahwa
terdapat marjin dalam membandingkan harga rumput laut yang masih dalam
kondisi segar yang ditunjukkan pada Tabel 6 dengan rumput laut yang siap untuk
ekspor yang diwakili oleh data yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 6. Perkembangan Total dan Nilai Produksi Rumput Laut di Kabupaten
Badung Tahun 2006 – 2010
Produksi
Nilai Produksi
Tahun
Harga (Rp/kg)
%
(Ton)
( Rp .000)
∆
2006
46.166,5
-
30.009.525
650,02
2007
34.821,7
- 24,57 %
22.635.395
650,03
2008
22.005,1
- 36,81 %
36.332.685
1.651,10
2009
28.393,5
29,03 %
31.364.149
1.104,62
2010
29.026,4
2,23 %
32.302.258
1.112,85
Sumber : Buku Saku Statistik Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung 2007
– 2011 (data diolah, 2012)
Hasil produksi rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan
memberikan kontribusi hampir 100 persen penuh terhadap produksi rumput laut di
Kabupaten Badung. Hal ini dapat dilihat pada data produksi rumput laut di
Kecamatan Kuta Selatan pada Lampiran 4. Berdasarkan data pada Tabel 6
menunjukkan harga rumput laut setiap tahun juga cenderung mengalami
peningkatan. Namun tidak demikian dengan harga yang diperoleh petani rumput
laut setiap periode panen. Fluktuasi harga jual rumput laut tetap dirasakan oleh
para petani rumput laut. Fluktuasi harga yang terjadi tentunya mempengaruhi
tingkat pendapatan yang diperoleh petani. Dalam mengoptimalkan kegiatan
budidaya rumput laut tentunya perlu didukung dengan aktivitas pemasaran yang
mampu meningkatkan nilai tambah dari rumput laut yang dihasilkan serta
6
menentukan kesejahteraan di tingkat petani. Selain itu adanya marjin dalam
penetapan harga rumput laut yang ditujukan untuk pasar ekspor menunjukkan
adanya berbagai perilaku dalam upaya pemberian nilai tambah dalam kegiatan
ekspor rumput laut. Oleh karena itu diperlukan adanya penelusuran mengenai
penerapan fungsi – fungsi pemasaran rumput laut di Indonesia melalui pendekatan
sistem tataniaga yang dijalankan khususnya pada komoditi rumput laut yang
dihasilkan di wilayah Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.
1.2. Perumusan Masalah
Peningkatan ekspor rumput laut dunia menunjukkan adanya peluang
dalam hal pemasaran rumput laut. Kebutuhan dunia terhadap produk olahan
rumput laut cukup tinggi diantaranya bagi industri pengolahan agar – agar,
karaginan dan alginat. Kontinuitas suplai rumput laut tentunya sangat diperlukan
dalam kegiatan industri pengolahan pengguna bahan baku rumput laut serta
kegiatan perdagangan luar negeri terkait ekspor rumput laut. Bali sebagai salah
satu sentra pembudidayaan rumput laut nasional memiliki kontribusi dalam
kegiatan ekspor komoditi yang dikenal sebagai “emas” hijau lautan Indonesia.
Menurut data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti)
menyebutkan realisasi ekspor rumput laut yang berasal dari Bali pada tahun 2011
berjumlah 23,6 ton senilai US $ 15.720.
Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten yang memiliki
potensi pengembangan budidaya rumput laut di Provinsi Bali. Rumput laut yang
dihasilkan di wilayah Kabupaten Badung memiliki jaminan kualitas yang lebih
baik dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang berada di wilayah Provinsi
Bali. Berdasarkan Tabel 5, Kabupaten Klungkung memiliki keunggulan dalam hal
kuantitas produksi rumput laut namun jika dibandingkan dengan kualitas, rumput
laut di Kabupaten Badung memiliki jaminan kualitas yang lebih baik
dibandingkan dengan Kabupaten Klungkung. Berdasarkan hasil penelusuran
kepada petani rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan, petani
menyebutkan bahwa harga yang mereka terima lebih tinggi dibandingkan petani
rumput laut di wilayah Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Hal ini juga dapat
dilihat melalui perbandingan harga rumput laut di tiga kabupaten/kota dengan
jumlah produksi rumput laut terbesar di Provinsi Bali yang tersaji pada Gambar 1.
7
Data pada Gambar 1 diolah melalui pendekatan total produksi dan nilai produksi
di tiga kabupaten/kota penghasil rumput laut terbesar di Provinsi Bali yang
terdapat pada Lampiran 2. Penetapan harga yang lebih tinggi mengindikasikan
adanya jaminan kualitas yang lebih baik sehingga adanya kesediaan untuk
Harga Rumput Laut (Rp/kg basah)
membayar lebih tinggi.
1,800.00 1,600.00 1,400.00 1,200.00 1,000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 ‐
1,569.95 840.09 666.00 1,105.00 1,113.00 984.48 820.96 593.00 700.00 Denpasar
Badung
Klungkung
2008
2009
2010
Tahun
Gambar 1. Tingkat Harga Rumput Laut di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali (data diolah, 2011)
Aktivitas pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Badung didominasi
oleh para petani di wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Kuta Selatan menjadi sentra
pembudidayaan rumput laut dengan kontribusi hampir 100 persen pada total
produksi rumput laut di wilayah Kabupaten Badung pada tahun 2009 dan 2010.
Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa merupakan lokasi sentra budidaya rumput laut
di wilayah Kecamatan Kuta Selatan khususnya untuk jenis Euchema cotonii sp.
Para petani lebih banyak melakukan budidaya terhadap jenis ini karena
berdasarkan hasil wawancara, faktor harga menjadi salah satu pertimbangan
petani memlih untuk membudidayakan rumput laut jenis Eucheuma sp
dibandingkan rumput laut jenis lainnya seperti Gracilaria sp. Pada rumput laut
jenis Eucheuma sp petani memperoleh harga Rp 8.000 – Rp 10.000 per kg rumput
laut kering sementara untuk jenis Gracilaria sp hanya berkisar pada harga Rp
2.000 – Rp 4.000 per kg.
Rumput laut sebagian besar dipasarkan dalam kondisi segar yang
digunakan sebagai bahan baku mentah (raw seaweeds) sehingga belum ada upaya
pengolahan untuk menciptakan nilai tambah bagi komoditi rumput laut.
8
Penerapan sistem tataniaga yang baik tentunya diperlukan dalam upaya
meningkatkan nilai tambah dari komoditi rumput laut dalam proses pemasaran.
Proses produksi melalui pembudidayaan rumput laut yang diupayakan di
Kecamatan Kuta Selatan tentunya bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan
pendapatan bagi para petani. Sistem tataniaga merupakan suatu hal yang terkait
dengan proses produksi rumput laut terutama dalam upaya pemasaran produk
hingga sampai ke tingkat konsumen. Tataniaga merupakan aktivitas bisnis dalam
upaya mengalirkan produk dari produsen primer (petani) ke konsumen akhir.
Melalui sistem tataniaga dapat diketahui proses penyaluran suatu produk hingga
sampai ke tangan konsumen, jumlah biaya yang dikeluarkan dalam penyaluran
produk tersebut serta pihak – pihak yang terlibat di dalamnya.
Permasalahan yang dihadapi oleh petani dalam memasarkan suatu
komoditi agribisnis adalah mengenai rendahnya posisi tawar petani khususnya
dalam penetapan harga. Begitu pula halnya pada petani rumput laut di Kecamatan
Kuta Selatan khususnya bagi petani yang tidak terfasilitasi oleh keberadaan
kelompok tani dalam aktivitas tataniaga. Peningkatan nilai tambah suatu komoditi
merupakan suatu hal penting yang dapat dijadikan sebagai upaya untuk
meningkatkan harga jual dari produk tersebut. Berdasarkan grafik yang tersaji
pada Gambar 2, terlihat bahwa terdapat fluktuasi nilai penjualan rumput laut di
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Harga (Rp/kg basah)
Kecamatan Kuta Selatan.
Gambar 2. Perkembangan Harga Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan
Tahun 2009 – 2010
Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kab. Badung (Data diolah, 2011)
9
Pembudidayaan rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan sebagian telah
dikelola oleh petani melalui suatu wadah bersama dengan membentuk kelompok
tani.
Keberadaan
kelompok
dalam
aktivitas
usahatani
tentunya
akan
mempermudah pengelolaan kegiatan usaha. Peranan kelompok tidak hanya
mengkoordinasikan aktivitas budidaya saja melainkan juga dalam hal pemasaran
komoditi. Dalam tataniaga rumput laut, keberadaan kelompok tani juga memiliki
peranan dalam aktivitas pemasaran khususnya pada pengembangan budidaya
rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Perbedaan wilayah desa lokasi
pembudidayaan rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan juga
menimbulkan perbedaan peranan kelompok khususnya dalam pemasaran rumput
laut.
Petani di wilayah Desa Kutuh memiliki empat kelompok tani yang aktif.
Kelompok tani di wilayah ini telah berperan dalam aktivitas pemasaran rumput
laut bagi para anggotanya. Selain dalam bentuk kelompok, pengelolaan kegiatan
usaha budidaya rumput laut di wilayah Desa Kutuh juga ada yang dikelola secara
individual oleh petani. Berdasarkan informasi yang diperoleh, adanya penetapan
syarat mutu tertentu dari rumput laut yang harus dipatuhi oleh anggota kelompok
menjadi salah satu alasan petani memilih untuk mengelola usaha budidaya rumput
laut secara individual.
Sementara itu, berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan
bahwa para petani di wilayah Kelurahan Benoa memiliki gambaran yang berbeda
dalam aktivitas pemasaran. Para petani di kawasan ini tergabung dalam kelompok,
namun keberadaan kelompok tidak menunjang aktivitas pemasaran rumput laut
para petani. Petani di wilayah ini memasarkan rumput laut secara individu melalui
perantara yaitu para pedagang pengumpul. Perbedaan sistem manajemen dalam
kegiatan usaha ini tentunya juga akan memberikan perbedaan terhadap
pendapatan yang akan diperoleh antara petani yang tergabung dalam kelompok
dengan petani yang mengelola usahanya secara individual. Mengacu pada uraian
di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam tataniaga rumput
laut di Kecamatan Kuta Selatan adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana pelaksanaan sistem tataniaga pada komoditi rumput laut di
Kecamatan Kuta Selatan?
10
2) Bagaimana peranan kelompok tani dalam mempengaruhi sistem tataniaga
rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan?
3) Apakah sistem tataniaga yang diterapkan oleh para petani di Kecamatan Kuta
Selatan sudah efisien?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan maka adapun tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Mengetahui serta menganalisis pelaksanaan sistem tataniaga rumput laut di
Kecamatan Kuta Selatan.
2) Mengkaji peranan kelompok tani dalam tataniaga rumput laut di Kecamatan
Kuta Selatan.
3) Menganalisis efisiensi sistem tataniaga rumput laut dari Kecamatan Kuta
Selatan.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Kecamatan Kuta Selatan merupakan sentra rumput laut yang berada di
wilayah Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Hasil produksi rumput laut yang cukup
besar di wilayah Kecamatan Kuta Selatan mengindikasikan adanya peluang
pengembangan perekonomian desa. Pengembangan usaha komoditi rumput laut
merupakan salah satu upaya yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat
Kecamatan Kuta Selatan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara dan literatur
terkait, pemasaran rumput laut dari wilayah Kecamatan Kuta Selatan telah
menjangkau permintaan pasar ekspor di wilayah Provinsi Bali dan luar Provinsi
Bali seperti melalui eksportir yang berasal dari Surabaya (Jawa Timur).
Rendahnya akses petani untuk dapat menjual langsung hasil panen rumput laut
kepada pihak eksportir menjadi salah satu kendala bagi petani untuk memperoleh
posisi tawar yang baik dalam menentukan harga. Berdasarkan informasi tersebut
maka dalam penelitian ini hanya mengkaji aktivitas tataniaga rumput laut yang
berasal dari wilayah Kecamatan Kuta Selatan hingga para pedagang pengumpul,
eksportir, serta berbagai lembaga tataniaga yang terkait dengan tataniaga rumput
laut di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.
11
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rumput Laut
Algae (ganggang laut) atau lebih dikenal dengan sebutan rumput laut
adalah salah satu biota laut yang berpotensi di wilayah perairan Indonesia.
Rumput laut yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah seaweed
merupakan salah satu komoditas perikanan yang sudah populer dalam dunia
perdagangan dan menjadi salah satu komoditas utama perikanan Indonesia yang
diekspor ke berbagai negara di belahan dunia. Menurut Anggadiredja dkk (2010),
rumput laut dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelas yaitu :
1) Rhodophyceae (ganggang merah)
2) Phaeophyceae (ganggang cokelat)
3) Chlorophyceae (ganggang hijau)
4) Cyanophyceae (ganggang biru – hijau)
Beberapa jenis rumput laut Indonesia yang bernilai ekonomis dan sejak
dulu sudah diperdagangkan yaitu Eucheuma sp, Hypnea sp, dan Gelidium sp dari
kelas Rhodophyceae serta Sargassum sp dari kelas Phaeophyceae. Namun sebaran
rumput laut komersial yang dibudidayakan hanya terbatas untuk jenis Euchema
dan Gracilaria. Pembudidayaan kedua jenis rumput laut tersebut disesuaikan
dengan permintaan pasar yang cukup besar terhadap kedua jenis rumput laut. Di
wilayah Kabupaten Badung, Provinsi Bali, pengembangan budidaya rumput laut
lebih didominasi oleh rumput laut jenis Eucheuma sp, hal ini berdasarkan data
dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung mengenai
produksi perikanan, menunjukkan bahwa untuk budidaya laut khususnya pada
komoditi rumput laut, wilayah Kabupaten Badung hanya mengusahakan dua jenis
rumput laut yaitu jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum.
Jenis Euchema dibudidayakan di laut yang agak jauh dari sumber air
tawar, seperti sungai atau air buangan dari pemukiman. Rumput laut jenis
Euchema sp. pertama kali dibudidayakan secara massal pada tahun 1984 di
perairan Pulau Bali dan Nusa Tenggara Barat (Anggadiredja dkk 2010). Perairan
yang memiliki dasar berupa pasir yang bercampur dengan pecahan karang cocok
digunakan untuk budidaya rumput laut Euchema sp. Hal tersebut menunjukkan
adanya pergerakan air yang baik. Selain itu, lokasi yang tepat untuk budidaya
12
rumput laut jenis ini adalah wilayah perairan yang terlindung dari arus dan
hempasan ombak yang terlalu kuat.
Waktu pemanenan rumput laut yang baik adalah ketika rumput laut telah
memiliki umur 6 – 8 minggu. Dalam penanganan pascapanen, rumput laut yang
telah dipanen melalui tahapan pencucian dan pengeringan yang biasanya
menghabiskan waktu 2 – 3 hari. Pada rumput laut jenis Euchema sp. kadar air
yang harus dicapai dalam pengeringan berkisar 30 – 35 persen (Ditjen Perikanan
Budidaya, 2011).
Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku industri sangat tinggi. Hal
ini dapat dilihat pada data mengenai peluang pasar perdagangan rumput laut pada
Tabel 3. Data tersebut menunjukkan adanya peluang dalam mengusahakan
komoditi rumput laut khususnya jenis Eucheuma sp. Euchema cotonii sebagai
penghasil karaginan yang merupakan salah satu produk turunan dari komoditi
rumput laut yang digunakan sebagai bahan baku berbagai industri baik pangan
maupun non pangan. Penggunaan karaginan dalam industri pangan diantaranya
pada produk saus dan kecap, karaginan digunakan sebagai bahan pengental dan
penstabil alami. Sementara itu pada produk non pangan, karaginan juga digunakan
pada produk pewangi ruangan air-freshner gel sebagai gelling agent, pada produk
pasta gigi karaginan memiliki fungsi sebagai binder dan stabilizer serta pada
produk kosmetik seperti lotion dan cream, karaginan digunakan sebagai bodying
agent (Anggadiredja dkk 2010).
Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku dalam produk olahan
menjadikan pentingnya jaminan mutu dan keamanan pangan pada komoditi
rumput laut. Persyaratan standar kadar air pada rumput laut kering menjadi hal
yang diutamakan oleh pihak eksportir dalam melakukan aktivitas ekspor. Adapun
persayaratan rumput laut yang ditetapkan menurut Standar Nasional Indonesia
(SNI) yang dapat dilihat pada data yang tersaji pada Tabel 7. Sebagai komoditi
ekspor, rumput laut memiliki kode perdagangan internasional yang digunakan
sebagai pengenal dan dikenal dengan istilah kode HS (Harmonized System).
Komoditi rumput laut termasuk dalam kode HS.1212.20 yang merupakan
kelompok seaweed and other alga, fresh and dried wether or not ground
(ganggang laut dan ganggang lainnya) (Rajagukguk 2009).
13
Tabel 7. Standar Nasional Rumput Laut Indonesia
Eucheuma
spp
Sensori
7
Kimia
-Kadar Air
% Fraksi
30 – 35
Massa
- Clean Anhydrous Weed
Fisik
-Benda Asing
Gracilaria
spp
7
Gelidium
spp
15 – 18
15 – 20
7
% Fraksi
Massa
Minimal 30
Minimal 30
Minimal 30
% Fraksi
Massa
Maksimal 5
Maksimal 5
Maksimal 5
Sumber : Direktorat Standarisasi dan Akreditasi DKP, 2008 (Dalam Buku Profil Rumput Laut
Indonesia, 2009)
2.2. Hasil Penelitian Terdahulu tentang Tataniaga
Ketersediaan hasil penelitian terkait sistem tataniaga rumput laut masih
sangat terbatas, oleh karena itu terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait
tataniaga beberapa komoditi yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini.
Penelitian mengenai aktivitas tataniaga berbagai komoditi agribisnis umumnya
melakukan pengukuran terhadap efisiensi dari pelaksanaan sistem tataniaga
suatu komoditi tertentu. Berbagai pendekatan yang digunakan dalam mengukur
efisiensi adalah melalui marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan
terhadap biaya pemasaran yang dikeluarkan.
Beberapa penelitian yang terkait dengan aktivitas tataniaga/pemasaran
diantaranya Zulham (2007) menganalisis tentang risiko dan marjin pemasaran
pada rumput laut di Gorontalo, Firdaus dan Wagiono (2009) melakukan
penelitian mengenai dayasaing dan sistem pemasaran manggis Indonesia serta
Puspitasari (2010) yang menganalisis mengenai efisiensi tataniaga pada
komoditi ikan lele di Kecamatan Ciawi.
2.3. Kajian mengenai Konsep dan Penentuan Efisiensi Tataniaga
Zulham (2007), Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010)
menggunakan data primer dan sekunder pada masing - masing penelitian. Data
primer diperoleh menggunakan metode wawancara dan pengamatan langsung di
lokasi penelitian. Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian Zulham (2007)
serta Firdaus dan Wagiono (2009) adalah melakukan penelitian lebih dari satu
14
lokasi yang menjadi sentra pengembangan dari masing – masing komoditi yang
dijadikan objek penelitian. Penentuan petani responden dilakukan dengan
purposive sampling dan selanjutnya digunakan metode snowball sampling dalam
melakukan penelusuran terhadap lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran
tataniaga dari setiap komoditi yang diteliti.
Penelitian Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010)
mempertimbangkan beberapa hal yang menjadi penilaian kualitatif dalam
aktivitas pemasaran/tataniaga yang dikaji meliputi analisis struktur, analisis
saluran dan perilaku lembaga pemasaran/tataniaga yang terlibat. Sementara itu
dalam penilaian kuantitatif Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010)
menggunakan analisis terhadap nilai marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio
keuntungan terhadap biaya. Sementara itu pada penelitian Zulham (2007)
digunakan penilaian terhadap share harga dan marjin pemasaran dalam
melakukan kajian terhadap aktivitas pemasaran serta menghitung nilai expected
keuntungan untuk mengetahui peluang dan risiko yang dihadapi oleh petani
rumput laut di wilayah Gorontalo.
Penilaian kualitatif terhadap sistem tataniaga salah satunya dilakukan
melalui analisis perilaku pasar. Puspitasari (2010) melakukan analisis terhadap
perilaku pasar melalui beberapa pendekatan seperti praktik pembelian dan
penjualan, pada pendekatan tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara petani
(pembudidaya) dengan pedagang pengumpul atau lembaga tataniaga telah tercipta
hubungan kepercayaan yang baik sehingga pedagang pengumpul telah menjadi
pembeli langganan dari petani, begitu juga halnya antara pedagang pengumpul
dengan lembaga tataniaga selanjutnya, namun para pelaku tataniaga bebas
menentukan pembeli yang menjadi tujuan penjualan dan tidak ada kontrak atau
perjanjian yang mengikat antar pelaku tataniaga. Selain itu, Firdaus dan Wagiono
(2009) dan Puspitasari (2010) juga melakukan pendekatan dari sistem penentuan
harga untuk menganalisis perilaku pasar dalam sistem tataniaga. Pendekatan
tersebut menunjukkan bahwa posisi tawar dari petani/pembudidaya cenderung
lemah karena keterbatasan modal, lemahnya akses pasar dan keterbatasan
informasi yang dimiliki oleh petani sehingga harga cenderung ditentukan oleh
lembaga tataniaga yang lebih tinggi tingkatannya. Berbeda dengan lembaga
15
tataniaga yang berada lebih tinggi tingkatannya daripada petani. Para pelaku ini
menetapkan harga dengan sistem tawar - menawar karena adanya pengetahuan
terhadap informasi pasar dari para pelaku yang setingkat. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin banyak informasi pasar yang diterima oleh pelaku tataniaga maka
posisi dalam penentuan harga akan semakin kuat. Zulham (2007) mengidentifikasi
bahwa informasi harga rumput laut dari wilayah Gorontalo dari lini akhir hingga
lini awal berjalan dengan baik sehingga tidak terdapat distorsi harga yang
merugikan setiap pelaku bisnis rumput laut.
Pendekatan marjin pemasaran pada umumnya menjadi salah satu indikator
dalam penentuan efisiensi suatu aktivitas pemasaran/tataniaga. Begitu pula halnya
dengan ketiga penelitian yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini.
Zulham (2007) dan Puspitasari (2010) menganalisis marjin pada setiap saluran
yang terbentuk maupun marjin di masing – masing lembaga yang terlibat dalam
aktivitas tataniaga. Sementara itu Firdaus dan Wagiono (2009) melihat marjin
yang terbentuk secara keseluruhan di setiap pola saluran tataniaga.
Puspitasari (2010) mengidentifikasi empat saluran tataniaga yang diterapkan
dalam tataniaga komoditi ikan lele. Penilaian efisiensi melalui pendekatan nilai
marjin tataniaga yang dilakukan oleh Puspitasari (2010) menunjukkan bahwa
tidak selalu saluran dengan marjin tataniaga yang bernilai tinggi menunjukkan
bahwa saluran tersebut tidak efisien. Penelitian Puspitasari (2010) menunjukkan
bahwa salah satu penyebab tingginya marjin adalah akibat adanya pelaksanaan
aktivitas pengolahan yang meningkatkan biaya tataniaga sebagai upaya
penambahan kegunaan bentuk yang akan diperoleh konsumen hal ini
menunjukkan bahwa terjadi pemenuhan kepuasan yang diterima oleh konsumen
yang merupakan tujuan dari pelaksanaan sistem tataniaga. Namun Puspitasari
(2010) tetap menjadikan indikator bahwa saluran dengan marjin terkecil dinilai
relatif lebih efisien karena melibatkan sedikit lembaga tataniaga sehingga produk
dinilai akan lebih cepat sampai ke tangan konsumen.
Sementara itu pada penelitian Zulham (2007) dilakukan perhitungan
terhadap share harga di masing – masing lembaga yang terlibat dalam tataniaga
rumput laut di Gorontalo. Zulham (2007) menganalisis nilai marjin yang
diperoleh yang dihubungkan dengan expected keuntungan di setiap lembaga
16
yang selanjutnya dapat menggambarkan peluang dan risiko yang akan dihadapi
masing – masing lembaga dalam aktivitas pemasaran/tataniaga rumput laut.
Penelitian Zulham (2007) juga menunjukkan bahwa salah satu penyebab
tingginya marjin tataniaga adalah faktor jarak dalam pendistribusian produk
yang selanjutnya akan mempengaruhi biaya pemasaran yang dikeluarkan.
Zulham (2007) juga memberikan gambaran bahwa semakin kecil marjin
menunjukkan semakin kecil pula expected keuntungan dari sistem tataniaga
yang dijalankan sehingga risiko yang mungkin dihadapi juga akan lebih kecil.
Penentuan efisiensi pada suatu aktivitas tataniaga tidak hanya dilakukan
melalui pendekatan dari besarnya marjin yang terbentuk. Firdaus dan Wagiono
(2009) dan Puspitasari (2010) dilakukan pula pendekatan melalui nilai farmer’s
share dan nilai rasio keuntungan biaya. Puspitasari (2010) menentukan efisiensi
pada saluran tataniaga juga didasarkan pada nilai marjin tataniaga yang kecil
serta tingkat farmer’s share yang tinggi, selain itu Firdaus dan Wagiono (2009)
juga menyatakan bahwa kriteria tersebut juga menjadi indikator untuk penentuan
saluran pemasaran yang paling menguntungkan.
Sementara itu, nilai rasio
keuntungan terhadap biaya menunjukkan nilai keuntungan yang diterima oleh
produsen setiap satu rupiah biaya tataniaga yang dikeluarkan.
2.4. Hasil Penelitian Terdahulu tentang Rumput Laut
Beberapa penelitian terkait dengan komoditi rumput laut diantaranya
membahas mengenai skala usaha dan efisiensi ekonomi relatif dalam usahatani
rumput laut serta daya saing rumput laut. Sobari (1993) melakukan penelitian
mengenai usaha usaha dan efisiensi ekonomi relatif usahatani rumput laut dengan
mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung,
Bali. Pada penelitian tersebut, peneliti melihat hubungan antara skala usaha petani
dengan tingkat efisiensi yang dicapai dari masing – masing skala usaha tersebut.
Peneliti mengambil 130 responden yang diambil secara acak dengan membagi ke
dalam tiga skala usaha berdasarkan luas lahan usaha budidaya rumput laut, yaitu
skala usaha kecil (≤ 250 m2), skala usaha sedang (251 – 500 m2) dan skala usaha
besar ( ≥ 500 m2). Hubungan luas lahan dengan efisiensi ekonomi dilakukan
dengan menggunakan model analisis fungsi keuntungan dan dengan asumsi fungsi
produksi dalam bentuk Cobb – Douglas.
17
Sobari (1993) menyebutkan ada tiga faktor penting yang harus
diperhatikan dan dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan usahatani rumput
laut, yaitu kondisi alam yang meliputi salinitas, arus, gelombang, suhu, dasar
perairan dan kedalaman laut; ketersediaan dan penerapan teknologi yang sudah
dilakukan oleh petani rumput laut; dan faktor yang ketiga adalah kondisi sosial
ekonomi yang meliputi struktur sosial, kelembagaan (bank, koperasi) dan pasar
(penawaran, permintaan dan harga). Hasil yang diperoleh dalam penelitian Sobari
(1993) menunjukkan bahwa secara ekonomis semakin besar skala usaha maka
akan semakin efisien usaha yang dijalankan tersebut. Selain itu juga diperoleh
variabel yang memiliki pengaruh terhadap tingkat keuntungan usahatani rumput
laut yaitu luas lahan, modal investasi dan pengalaman usaha.
Rajagukguk (2009) membahas mengenai daya saing rumput laut di
Indonesia guna mengkaji pangsa pasar ekspor rumput laut di pasar internasional.
Pada penelitian tersebut, analisis dilakukan berdasarkan negara tujuan ekspor
yang diurutkan berdasarkan nilai ekspor terbesar. Selain itu, pada penelitian
tersebut dilakukan analisis mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi
perubahan pangsa pasar ekspor rumput laut dan pengaruhnya terhadap pangsa
pasar ekspor rumput laut di negara tujuan.
Rajagukguk (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan data
sekunder. Pada analisis faktor – faktor yang mempengaruhi pangsa pasar ekspor
rumput laut, dilakukan dengan menggunakan metode Pooled OLS, metode Fixed
Effect dan metode Random Effect. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut
menunjukkan bahwa dari lima faktor yang diduga mempengaruhi pangsa pasar
ekspor rumput laut Indonesia di negara tujuan yaitu volume ekspor rumput laut
Indonesia ke negara tujuan, harga ekspor rumput laut Indonesia, nilai tukar, GDP
per kapita negara tujuan ekspor dan produksi nasional rumput laut Indonesia,
maka variabel yang dinyatakan berpengaruh nyata terhadap pangsa pasar ekspor
rumput laut Indonesia di negara tujuan adalah volume ekspor ke negara tujuan,
nilai tukar dan GDP per kapita negara tujuan.
2.5. Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian
terdahulu. Persamaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu diantaranya
18
adalah metode penentuan responden yang dilakukan yaitu dengan menggunakan
metode purposive sampling dan snowball sampling. Salah satu tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk menganalisis efisiensi dari penerapan sistem tataniaga
seperti penelitian yang dilakukan oleh Firdaus dan Wagiono (2009) dan
Puspitasari (2010). Pengukuran efisiensi tataniaga dilakukan melalui pendekatan
nilai marjin tataniaga yang terbentuk, nilai farmer’s share dan rasio keuntungan
dan biaya pada pola saluran tataniaga yang terbentuk. Kesamaan lain dari
penelitian ini adalah pemilihan lebih dari satu lokasi yang merupakan sentra
pengembangan budidaya sebagai studi kasus seperti yang dilakukan oleh Zulham
(2007) dan Firdaus dan Wagiono (2009).
Sementara itu perbedaan penelitian ini dari penelitian terdahulu terletak
dari pemilihan komoditi dan lokasi yang dijadikan sebagai objek penelitian.
Penelitian ini memfokuskan pada analisis tataniaga rumput laut yang
dibudidayakan di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta
Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Selain itu, perbedaan yang terdapat
pada penelitian ini adalah mengkaji dua lokasi budidaya yang terletak dalam satu
wilayah kecamatan yang dijadikan sentra pengembangan rumput laut serta
menganalisis adanya perbedaan pengelolaan sistem tataniaga rumput laut di
tingkat petani melalui ada atau tidaknya peranan kelompok tani. Pada penelitian
ini juga dilakukan upaya pemberian alternatif saluran tataniaga melalui
peningkatan kualitas rumput laut yang mampu meningkatkan efisiensi sistem
tataniaga.
19
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Sistem Tataniaga
Tataniaga adalah suatu kegiatan dalam mengalirkan produk dari produsen
(petani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga erat kaitannya dengan kegiatan
pemasaran. Tataniaga disebut juga pemasaran atau marketing merupakan salah
satu bagian dari ilmu pengetahuan ekonomi (Limbong dan Sitorus 1985).
Pemasaran adalah proses yang mengakibatkan aliran produk melalui suatu sistem
dari produsen ke konsumen (Downey dan Erickson 1992).
Hanafiah dan Saefuddin (2006) menjelaskan bahwa aktivitas tataniaga erat
kaitannya dengan penciptaan atau penambahan nilai guna dari suatu produk baik
barang atau jasa, sehingga tataniaga termasuk ke dalam kegiatan yang produktif.
Kegunaan yang diciptakan oleh aktivitas tataniaga meliputi kegunaan tempat,
kegunaan waktu dan kegunaan kepemilikan. Asmarantaka (2009) menyebutkan
bahwa pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ekonomi dan
aspek manajemen. Pengertian tataniaga dari aspek ilmu ekonomi adalah :
1) Tataniaga (pemasaran) produk agribisnis merupakan keragaan dari semua
aktivitas bisnis yang meliputi aliran dari barang dan jasa dari petani sebagai
titik awal kegiatan usahatani hingga barang dan jasa tersebut sampai ke
tangan konsumen akhir (Kohls dan Uhl 2002).
2) Tataniaga pertanian merupakan serangkaian tahapan, fungsi yang diperlukan
untuk memperlihatkan pergerakan input atau produk dari tingkat produksi
primer (usahatani) hingga konsumen akhir. Hal tersebut dapat dilihat dari
pelaksanaan fungsi ataupun hubungan antara lembaga tataniaga yang terlibat
(Hammond and Dahl 1977).
3) Rangkaian fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitas bisnis dan merupakan
kegiatan produktif sebagai proses meningkatkan atau menciptakan nilai
(value added) yaitu nilai guna bentuk (form utility), tempat (place utility),
waktu (time utility) dan kepemilikan (possession utility) (Asmarantaka 2009).
Petani/peternak dalam proses produksi merubah input-input pertanian
menjadi output produk pertanian (nilai guna bentuk dan kepemilikan).
Pedagang pengumpul, mengumpulkan produk dan mengemas, kemudian
20
menjual (nilai guna kepemilikan dan tempat). Pabrik penggilingan tepung dan
pembuat kue kemudian menjual kue (nilai guna bentuk dan tempat). Pabrik
pengolah memanfaatkan output dari petani sebagai bahan baku (gandum)
menjadi tepung dikemas dan kemudian menjual tepung ke grosir (nilai guna
bentuk dan kepemilikan), grosir ke pedagang eceran (nilai guna tempat dan
waktu) yang akhirnya ke pabrik roti (nilai guna bentuk) dan konsumen akhir
(kepuasan). Dari proses tataniaga ini banyak nilai guna yang terjadi dan
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
4) Tataniaga pertanian merupakan salah satu sub-sistem dari sistem agribisnis
yaitu sub-sistem : sarana produksi pertanian, usahatani (produksi primer),
tataniaga dan pengolahan hasil pertanian dan sub-sistem penunjang
(penelitian, penyuluhan, pembiayaan, kebijakan tataniaga). Pelaksanaan
aktivitas tataniaga merupakan faktor penentu efisiensi dan efektivitas dari
pelaksanaan sistem agribisnis.
Sementara itu tataniaga dapat dipandang dari sisi makro dan mikro
(Asmarantaka 2009). Dari sisi makro tataniaga merupakan suatu sistem yang
terdiri dari lembaga – lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses aliran produk
dari
produsen
primer
ke
konsumen.
Sementara
itu
dari
sisi
mikro,
tataniaga/pemasaran dipandang sebagai upaya masing – masing individu untuk
memperoleh keuntungan yang salah satunya ditempuh melalui pelaksanaan
bauran pemasaran. Analisis terhadap suatu sistem tataniaga dapat dilakukan
melalui berbagai
pendekatan.
Pada masing – masing pendekatan akan
menunjukkan perspektif secara nyata dan pelaksanaan proses dari aktivitas
pemasaran/tataniaga (Kohls dan Uhl 2002). Kohls dan Uhl (2002) menyebutkan
beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu sistem
tataniaga diantaranya :
1) Pendekatan Fungsi
Fungsi dalam aktivitas tataniaga dapat diartikan sebagai spesialisasi aktivitas
yang dilakukan dalam upaya menyempurnakan sistem tataniaga (Kohls dan
Uhl 2002). Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui beragam fungsi
tataniaga yang diterapkan pada suatu sistem tataniaga dalam upaya
menciptakan efisiensi pemasaran
serta mencapai suatu tujuan yaitu
21
meningkatkan kepuasan konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga meliputi fungsi
pertukaran
yang
pengumpulan;
meliputi
fungsi
fungsi
fisik
yang
pembelian, penjualan dan fungsi
terdiri
dari
fungsi
penyimpanan,
pengangkutan dan pengolahan; dan fungsi fasilitas yang merupakan fungsi
yang memperlancar pelakasanaan fungsi pertukaran dan fungsi fisik, fungsi
fasilitas
terdiri
dari
fungsi
standarisasi,
fungsi
keuangan,
fungsi
penanggungan risiko dan fungsi intelijen pemasaran. Melalui pendekatan
fungsi juga dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan biaya tataniaga pada
beragam komoditi agribisnis.
2) Pendekatan Kelembagaan
Merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui para pelaku serta
pihak – pihak yang terlibat dalam suatu sistem tataniaga. Para pelaku yang
terlibat dalam aktivitas tataniaga dikelompokkan dalam kelembagaan
tataniaga. Kelembagaan tataniaga adalah berbagai organisasi bisnis atau
kelompok bisnis yang melaksanakan/mengembangkan aktivitas bisnis berupa
kegiatan – kegiatan produktif yang diwujudkan melalui pelaksanaan fungsifungsi tataniaga. Melalui pendekatan ini dapat diketahui peranan lembaga –
lembaga yang terlibat dalam penanganan suatu komoditi mulai dari tingkat
produsen hingga konsumen (Limbong dan Sitorus 1985). Sementara itu Kohls
dan Uhl (2002) menyatakan bahwa pendekatan kelembagaan ini sekaligus
menjawab “siapa” dan “apa” yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan
dalam sistem tataniaga. Para pelaku dalam aktivitas tataniaga terdiri dari
pedagang
perantara
(merchant
middlemen),
agen
perantara
(agent
middlemen), spekulator (speculative middlemen), pengolah dan pabrikan
(processors and manufactures) dan organisasi (facilitative organization).
3) Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem dalam aktivitas tataniaga dilakukan untuk mengetahui
efisiensi serta kontinuitas dari pelaksanaan suatu sistem tataniaga
(Asmarantaka 2009). Pemahaman aktivitas tataniaga dalam konteks sebagai
suatu sistem merupakan perpaduan antara ilmu ekonomi dengan aktivitas
fisik serta penerapan ilmu teknologi (Kohls dan Uhl 2002). Seperti yang
telah dijelaskan pada pendekatan kelembagaan bahwa dalam suatu sistem
22
tataniaga terdapat berbagai pelaku/lembaga tataniaga yang terlibat. Para
pelaku/lembaga tataniaga dapat dipandang sebagai suatu sistem perilaku yang
digunakan dalam membuat suatu keputusan khususnya yang terkait dengan
kegiatan pemasaran/tataniaga dari suatu produk. Pendekatan ini terdiri dari
input-output system, power system, communications system, dan the
behavioral system for adapting to internal-external change.
3.1.2. Fungsi Tataniaga
Tataniaga merupakan suatu kegiatan produktif yang mencakup proses
pertukaran serta serangkaian kegiatan yang terkait pada proses pemindahan
produk baik berupa barang ataupun jasa dalam upaya menciptakan dan
meningkatkan nilai guna (Asmarantaka 2009). Beragam kegiatan produktif yang
terdapat di dalam sistem tataniaga disebut dengan fungsi tataniaga. Pelaksanaan
fungsi – fungsi tataniaga akan menetukan efisiensi dari pelaksanaaan suatu sistem
tataniaga.
Tujuan dari pelaksanaan fungsi tataniaga adalah untuk meningkatkan
kepuasan konsumen. Kemampuan suatu produk untuk memuaskan keinginan
konsumen dapat diukur dengan utilitas yang mampu diberikan oleh produk
tersebut. Utilitas merupakan nilai guna suatu produk yang meliputi nilai guna
bentuk yaitu bagaimana menciptakan produk memiliki nilai guna misalnya
dengan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi; nilai guna waktu yaitu
membuat produk tersedia pada waktu yang tepat sesuai dengan keinginan
konsumen; nilai guna tempat yaitu menyediakan produk di tempat yang sesuai
bagi konsumen yang membutuhkan; serta nilai guna kepemilikan yaitu bagaimana
produk bisa untuk dimiliki serta digunakan oleh konsumen.
Fungsi tataniaga dapat digolongkan pada tiga kelompok fungsi utama
(Limbong dan Sitorus 1985; Asmarantaka 2009), fungsi tataniaga tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Fungsi Pertukaran
Fungsi Pertukaran merupakan aktivitas yang terkait dengan pemindahan hak
milik atas barang (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002).
Aktivitas pertukaran juga disesuaikan pada utilitas yang diharapkan para
konsumen, yaitu menyangkut tempat, waktu dan bentuk barang/jasa yang
23
dibutuhkan. Fungsi pertukaran terdiri atas dua fungsi yaitu fungsi penjualan
dan pembelian (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002;
Asmarantaka 2009).
-
Fungsi penjualan, merupakan pengalihan produk kepada pihak pembeli
dengan tingkat harga tertentu sebagai akibat dari pemberian nilai tambah
dari produk tersebut. Fungsi penjualan diperlukan untuk melakukan
penjualan produk yang sesuai dengan yang diinginkan konsumen dilihat
dari jumlah, bentuk dan mutu pada tempat dan waktu yang tepat.
-
Fungsi pembelian terhadap produk – produk pertanian dilatarbelakangi
oleh beragam kebutuhan konsumen diantaranya pembelian untuk
konsumsi langsung ataupun pembelian untuk bahan baku produksi
seperti pembelian yang dilakukan oleh pabrik yang mengolah bahan
mentah menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi yang siap
pakai.
2) Fungsi Fisik
Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan pengertian fungsi fisik sebagai
seluruh aktivitas yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa
sehingga memiliki nilai kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Sementara itu
Kohls dan Uhl (2002) menyebutkan bahwa fungsi fisik menyangkut aktivitas
penanganan, perpindahan serta perubahan fisik dari suatu komoditi. Fungsi
fisik terdiri atas tiga fungsi yaitu fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan,
dan fungsi pengolahan (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002;
Asmarantaka 2009).
- Fungsi pengangkutan, yaitu pemindahan barang-barang dari tempat
produksi/tempat penjualan ke tempat dimana barang - barang tersebut
akan dipakai. Proses pengangkutan akan menciptakan nilai guna tempat
dan waktu. Dalam fungsi ini tentunya aspek terpenting yang perlu
diperhatikan oleh pelaku tataniaga adalah penggunaan alternatif sarana
pengangkutan yang selanjutnya akan mempengaruhi biaya pengangkutan.
Besarnya biaya pengangkutan yang dikeluarkan akan berdampak pada
penentuan dari harga produk tersebut ketika sampai di tangan konsumen.
Proses pengangkutan juga sangat bergantung pada efektifitas dalam
24
informasi dan komunikasi serta pemanfaatan teknologi yang ada sehingga
efisiensi dalam proses pengangkutan dapat tercapai.
-
Fungsi penyimpanan, berarti menahan barang – barang selama jangka
waktu tertentu sejak produk dihasilkan atau diterima hingga sampai ke
proses penjualan. Kegiatan penyimpanan menciptakan nilai guna waktu
pada produk. Proses penyimpanan pada produk pertanian dilakukan
mengingat produk – produk pertanian memiliki karakteristik khusus yang
bersifat musiman namun terkadang produk – produk ini dikonsumsi
sepanjang tahun. Pelaksanaan fungsi penyimpanan dapat memperkecil
terjadinya fluktuasi harga antara musim panen dan musim paceklik.
-
Fungsi pengolahan, merupakan suatu upaya mengubah bahan mentah
menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi yang siap pakai. Fungsi
pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang dalam rangka
memperkuat
daya
tahan
barang
maupun
sebagai
upaya
untuk
meningkatkan nilai produk. Fungsi ini menciptakan nilai guna bentuk pada
suatu produk. Kegiatan pengolahan erat kaitannya dengan kegiatan
penyimpanan khususnya pada produk yang sifatnya musiman. Misalnya
saja pada produk mangga yang sifatnya musiman, ketika sedang musim
mangga, perusahaan jus dapat melakukan pengolahan terdapat buah
mangga segar menjadi bentuk pasta dalam rangka menjaga ketersediaan
bahan baku jus mangga pada waktu buah mangga tidak pada musimnya.
3) Fungsi Fasilitas/Pelancar merupakan aktivitas yang memperlancar fungsi
pertukaran dan fungsi fisik (Kohls dan Uhl 2002). Fungsi ini meliputi
kegiatan standarisasi dan grading produk, informasi pasar, fungsi
keuangan/pembiayaan serta fungsi penangulangan risiko.
-
Standarisasi dan grading
Standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang
dengan menggunakan berbagai ukuran seperti warna, susunan kimia,
ukuran bentuk, kekuatan atau ketahanan, kadar air, tingkat kematangan,
rasa dan kriteria yang lain (Limbong dan Sitorus 1985).
Standarisasi
kualitas adalah sifat umum yang diterima oleh konsumen serta membuat
diferensiasi dari nilai produk (Asmarantaka 2009).
25
Grading adalah klasifikasi atau menggolongkan produk/ hasil pertanian
berdasarkan suatu standarisasi kualitas tertentu dan pemilahan dari produkproduk yang kategorinya tidak seragam menjadi seragam.
Menurut Downey dan Erickson (1992), penggolongan mutu produk
pertanian ke dalam kelas atau golongan standar sangat mempermudah
proses usaha pembelian dan penjualan serta membantu sistem pemasaran
bekerja lebih efisien.
-
Informasi pasar
Fungsi informasi pasar meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar
serta menafsirkan data informasi tersebut. Informasi mengenai pasar erat
kaitannya dengan keputusan yang akan diambil oleh pelaku tataniaga.
Misalnya
terkait
dengan
perubahan
harga
di
pasar,
bagaimana
pendistribusian serta penanganan produk di mata konsumen.
-
Penanggulangan risiko
Dalam pemasaran suatu produk khususnya produk pertanian, kemungkinan
dalam menghadapi risiko pada kegiatan bisnis ini cukup besar. Risiko
yang terjadi di dalam proses pemasaran dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu risiko fisik dan risiko ekonomi atau risiko penurunan harga
(Limbong dan Sitorus 1985). Risiko-risiko tersebut diantaranya risiko
kerusakan produk karena produk pertanian bersifat bulky,voluminous dan
perishable; risiko fluktuasi harga khususnya bagi komoditi yang bersifat
musiman. Pengalihan risiko dapat dilakukan melalui kontrak pembelian
dan penjualan serta melalui mekanisme hedging pada future market.
3.1.3. Lembaga dan Saluran Tataniaga
Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan
atau fungsi tataniaga sehingga barang/produk bergerak dari pihak produsen
sampai pihak konsumen. Istilah lembaga tataniaga ini termasuk produsen,
pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa (Hanafiah dan Saeffudin, 2002).
Keberadaan lembaga – lembaga tataniaga dimulai ketika produk dihasilkan oleh
produsen primer hingga suatu produk siap dikonsumsi oleh konsumen.
Lembaga tataniaga menunjukkan keberagaman pada organisasi bisnis
yang memiliki peranan dalam pengembangan sistem tataniaga atau pemasaran
26
(Kohls dan Uhl 2002). Sementara itu Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan
lembaga tataniaga adalah suatu badan yang menyelenggarakan kegiatan tataniaga
atau pemasaran, dan mengelempokkan lembaga tataniaga/pemasaran menurut
fungsinya serta menurut penguasaan terhadap barang.
Limbong dan Sitorus (1985) menyebutkan pengelompokkan lembaga
tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukan dapat dibedakan menjadi :
1) Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga – lembaga yang menjalankan fungsi
fisik, misalnya badan pengangkut/transportasi.
2) Lembaga perantara tataniaga adalah suatu lembaga khusus yang melakukan
fungsi pertukaran.
3) Lembaga fasilitas tataniaga yaitu lembaga yang menjalankan fungsi fasilitas
seperti Bank, Lembaga Perkreditan Desa, KUD.
Selain itu Limbong dan Sitorus (1985) juga mengelompokkan lembaga
tataniaga menurut penguasaan terhadap barang, yang terdiri dari :
1) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, misalnya
agen, perantara dan broker. Badan – badan ini menjalankan fungsinya untuk
mempertemukan atau menyampaikan produk dari produsen ke konsumen.
Penguasaan terhadap barang dimaksudkan bahwa perantara tidak berhak atas
barang namun ia boleh menyimpan, mengadakan sortasi serta melakukan
pengepakan kembali. Sementara Kohls dan Uhl (2002) menyampaikan
definisi terkait pengelompokkan lembaga tataniaga yang serupa dengan
klasifikasi ini sebagai pengertian dari agent middlemen yaitu lembaga yang
termasuk sebagai perantara dalam aktivitas tataniaga. Kelompok agen
perantara melaksanankan fungsi tataniaga tertentu dengan menerima komisi
sebagai balas jasa. Agen perantara adalah pelaku yang umumnya hanya
mewakili lembaga tataniaga lain. Agen perantara tidak memiliki hak untuk
memiliki barang yang diperdagangkan (Kohls dan Uhl 2002). Agen perantara
biasanya dikelompokkan menjadi dua yaitu commission dan brokers (Kohls
dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). Broker merupakan perantara yang dalam
pelaksanaan fungsi tataniaga tidak melakukan penanganan fisik tertentu
terhadap produk yang diterima. Sedangkan commission merupakan perantara
27
yang melakukan aktivitas penanganan fisik terhadap produk yang diterima
dan memperoleh pendapatan berupa komisi.
2) Lembaga tataniaga yang memiliki dan menguasai barang, seperti pedagang
pengumpul, pedagang pengecer, grosir, eksportir/importir. Badan yang
tergolong pada kelompok ini menjalankan fungsinya untuk memiliki dan
menguasai barang dengan cara membeli barang tersebut terlebih dahulu
sebelum dijual kembali. Badan ini akan menanggung risiko ekonomi maupun
teknis.
3) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki dan tidak menguasai barang, yaitu
badan yang menjalankan fungsi sebagai fasilitas pengangkutan, pergudangan,
asuransi dan lain – lain.
Produsen merupakan pihak yang berperan sebagai penyedia produk baik
produk sebagai bahan konsumsi ataupun produk yang digunakan sebagai bahan
baku bagi industri terkait. Kemudian terdapat pedagang perantara yang fungsinya
menyalurkan produk dari produsen ke konsumen apabila terdapat jarak dan
ketiadaan akses bagi produsen untuk menyalurkan produknya secara langsung
kepada konsumen. Para pelaku dalam sistem tataniaga yang dapat digolongkan
sebagai pedagang perantara adalah pedagang pengumpul (assembler), pedagang
eceran (retailer) dan pedagang grosir (wholesalers) (Kohls dan Uhl 2002;
Asmarantaka 2009). Pedagang grosir adalah pedagang yang menjual produknya
kepada pedagang eceran dan pedagang antara lainnya. Pedagang grosir memiliki
volume usaha yang relatif lebih besar daripada pedagang eceran. Pedagang eceran
adalah pedagang yang menjual produknya langsung untuk konsumen akhir.
Sementara itu, ada juga yang disebut sebagai spekulator. Spekulator
adalah
pedagang
perantara
yang
membeli/menjual
suatu
produk
dan
memanfaatkan serta mencari keuntungan dari adanya pergerakan harga pada
komoditi/produk tersebut. Lembaga lain yang berperan dalam aktivitas tataniaga
adalah pengolah dan pabrikan. Kelompok ini berfungsi dalam merubah suatu
produk yang merupakan bahan baku sehingga menjadi bahan setengah jadi atau
produk akhir yang siap untuk dikonsumsi.
Organisasi juga bisa menjadi
lembaga/pelaku dalam tataniaga, misalnya pemerintah yang dalam hal ini
berupaya menciptakan kebijakan serta peraturan yang terkait dengan aktivitas
28
tataniaga dan perdagangan. Selain itu keterlibatan asosiasi eksportir dan importir
juga dapat dikategorikan sebagai lembaga tataniaga.
Penyaluran produk dari produsen hingga ke tangan konsumen yang telah
melibatkan berbagai lembaga tataniaga akan membentuk suatu saluran tataniaga
(marketing channel). Saluran pemasaran dapat didefinisikan sebagai himpunan
perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak atau membantu dalam
pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu sehingga berpindah dari produsen ke
konsumen (Limbong dan Sitorus 1985). Menurut Downey dan Erickson (1992)
saluran pemasaran adalah jejak penyaluran barang dari produsen ke konsumen
akhir.
Panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui tergantung pada
beberapa faktor (Hanafiah dan Saefuddin 2002) diantaranya adalah :
1) Jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan
konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh suatu produk.
2) Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak harus
segera diterima konsumen, dan oleh karena itu diperlukan saluran yang
pendek dan cepat.
3) Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka
jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, dan dinilai tidak
menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Pada kondisi
ini kehadiran pedagang perantara diharapkan sehingga saluran yang akan
dilalui produk cenderung panjang.
4) Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat
cenderung akan memperpendek saluran tataniaga. Produsen yang posisi
keuangan kuat akan dapat melakukan fungsi tataniaga lebih banyak
dibandingkan dengan pedagang yang posisi modalnya lemah. Dengan kata
lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran
tataniaga.
3.1.4. Struktur Pasar
Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan definisi industri dan
perusahaan, atau pabrik dalam suatu pasar, distribusi perusahaan atau pabrik
dengan berbagai ukuran “size and consentration”, deskripsi produk dan
29
diferensiasi produk serta syarat – syarat untuk memasuki pasar ( Limbong dan
Sitorus, 1985). Menurut Asmarantaka (2009), struktur pasar adalah tipe atau jenis
pasar yang diartikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli)
dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga
dan pengorganisasian pasar.
Struktur pasar yang terbentuk akan mempengaruhi perilaku pasar serta
keragaan pasar. Hammond dan Dahl (1977) menyebutkan terdapat empat
karakteristik dalam struktur pasar yang satu sama lain saling menentukan perilaku
yang berlaku di seluruh pasar, yaitu jumlah dan ukuran perusahaan/unit usaha
yang terlibat, sifat dari produk yang diperjualbelikan, kondisi keluar dan masuk
pasar terkait hambatan yang mungkin dihadapi oleh para pelaku pasar, dan arus
informasi pasar antara pelaku – pelaku yang terlibat meliputi informasi biaya,
harga dan kondisi pasar.
Tabel 8. Struktur Pasar pada Sistem Pangan dan Serat
Karakteristik Struktural
Jumlah
Struktur Pasar
Sifat Produk
Sisi Penjual
Sisi Pembeli
Banyak
Standarisasi
Persaingan Sempurna
Persaingan Sempurna
Banyak
Diferensiasi
Monopolistic Competition
Monopsonistic Competition
Sedikit
Standarisasi
Oligopoli Murni
Oligopsoni Murni
Sedikit
Diferensiasi
Oligopoli Diferensiasi
Oligopsoni Diferensiasi
Satu
Unik
Monopoli
Monopsoni
Perusahaan
Sumber : Hammond dan Dahl (1977)
Penentuan struktur pasar dapat dilakukan melalui pengukuran rasio
konsentrasi (CR4). Namun, pengukuran ini dilakukan pada kondisi industri yaitu
dengan mengukur pangsa pasar dari empat perusahaan terbesar. Dilana (2012)
menyatakan bahwa struktur pasar didefinisikan oleh rasio konsentrasi pasar.
Konsentrasi pasar diperoleh dari pengukuran pangsa pasar. Pangsa pasar adalah
persentase dari suatu pasar (perusahaan) yang diukur baik dari jumlah unit
maupun pendapatan yang diterima terhadap suatu kesatuan yang spesifik
(industri) selain itu pangsa pasar dapat dijadikan sebagai indikator seberapa baik
suatu perusahaan menghadapi persaingan dengan pesaingnya ( Farris et all, 2007).
30
Pada situasi pasar monopoli, CR4 akan bernilai 100 persen, sedangkan untuk
pasar persaingan sempurna CR4 akan mendekati nilai 0 (nol), hal tersebut
dikarenakan perusahaan – perusahaan dengan output terbesar pun mempunyai
proporsi yang sangat kecil pada industri (Subanidja dalam Hapsari 2011).
3.1.5. Perilaku Pasar
Asmarantaka (2009) mendefinisikan perilaku pasar sebagai seperangkat
strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik oleh penjual maupun pembeli dalam
mencapai tujuan masing – masing. Perilaku pasar merupakan kumpulan hubungan
antara pembeli dan penjual. Tiga cara yang digunakan dalam mengenal perilaku,
yaitu :
1) Penentuan harga dan setting level of output; harga yang ditetapkan bisa tidak
berpengaruh terhadap perusahaan lain, ditetapkan secara bersama – sama
antar penjual atapun penetapan berdasarkan pemimpin harga.
2) Product promotion policy; yaitu melalui kegiatan promosi seperti pameran
dan iklan yang mengatasnamakan perusahaan.
3) Predatory and exclusivenary tactics; strategi ini bersifat ilegal karena
bertujuan mendorong pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi yang
dilakukan adalah dengan menetapkan harga di bawah biaya marginal atau
dengan cara melakukan integrasi vertikal melalui penguasaan bahan baku.
Menurut Hammond dan Dahl (1977) perilaku pasar menunjukkan pola
perilaku yang diikuti oleh perusahaan dalam hubungannya dengan pasar yang
dihadapi. Pola perilaku ini meliputi cara – cara yang digunakan oleh sekelompok
perusahaan dalam menentukan harga dan produk yang dihasilkan, kebijakan
dalam promosi penjualan, kebijakan yang berkaitan dengan pengubahan sifat
produk yang dijual serta beragam taktik penjualan yang digunakan untuk meraih
pasar tertentu.
3.1.6. Farmer’s Share
Salah satu indikator yang dapat digunakan dalam menentukan efisiensi
dari suatu aktivitas tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima
petani (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir.
Kohls dan Uhl (2002) menyatakan farmer’s share merupakan bagian yang
31
diterima petani dari nilai uang yang dibayarkan oleh konsumen, nilai farmer’s
share biasa dinyatakan dalam persentase. Nilai farmer’s share berbanding terbalik
dengan nilai marjin tataniaga. Semakin tinggi nilai marjin tataniaga menunjukkan
semakin kecil bagian yang diterima petani dalam melaksanakan suatu aktivitas
tataniaga. Alternatif perhitungan nilai farmer’s share diperoleh dari rasio antara
harga di tingkat usahatani terhadap harga di tingkat pengecer dari suatu komoditi.
Secara matematis, farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut (Asmarantaka
2009) :
100%
Keterangan :
Fs : Persentase yang diterima petani dari harga konsumen akhir
Pf : Harga di tingkat petani
Pr : Harga di tingkat konsumen akhir
3.1.7. Marjin Tataniaga
Tomek dan Robinson (1990) memberikan alternatif definisi marjin
tataniaga (pemasaran) yaitu perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen
dengan harga yang didapatkan oleh produsen (petani), selain itu marjin pemasaran
juga dapat didefinisikan sebagai harga dari kumpulan jasa – jasa pemasaran
sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran terhadap jasa – jasa tersebut.
Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (petani)
(Pf) dengan harga ditingkat retailer atau konsumen akhir (Pr) dengan demikian
marjin tataniaga dapat dirumuskan dengan MT = Pr – Pf (Hammond dan Dahl
1977). Limbong dan Sitorus (1985) menyampaikan bahwa besarnya marjin
tataniaga (MT) pada suatu saluran tataniaga merupakan penjumlahan dari marjin
yang diperoleh setiap lembaga pemasaran (Mi). Marjin juga didefinisikan sebagai
penjumlahan dari keuntungan dan biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam
pelaksanaan sistem tataniaga. Sementara itu Asmarantaka (2009) menyatakan
pengertian marjin yang lebih luas yaitu sebagai cerminan dari aktivitas-aktivitas
bisnis atau fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan dalam suatu sistem tataniaga.
Artinya marjin merupakan kumpulan balas jasa karena adanya kegiatan produktif
32
berupa penambahan dan penciptaan nilai guna dalam mengalirkan produk-prduk
agribisnis dari tingkat petani sampai ke tangan retailer ataupun konsumen akhir.
DS1
Price
DS2
PS1
PS2
Pr
Margin
Pf
PD2
DD2
PD1
DD1
Quantity
Q1
Q2
Keterangan :
Pr
Pf
PD1
PD2
DD1
DD2
PS1
PS2
DS1
DS2
Q1
Q2
: Harga di tingkat pabrik pengolah atau pedagang eceran
: Harga di tingkat petani
: Primary Demand 1
: Primary Demand 2
: Derived Demand 1
: Derived Demand 2
: Primary Supply 1
: Primary Supply 2
: Derived Supply 1
: Derived Supply 2
: Jumlah produk yang diminta/ditawarkan pada kondisi awal
: Jumlah produk yang diminta/ditawarkan setelah ada perubahan
: Kondisi awal
: Kondisi setelah ada perubahan
Gambar 3. Kurva Pembentukan Marjin Tataniaga
Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa marjin merupakan selisih harga di
tingkat pengecer (retail) dengan harga yang diterima di tingkat petani (farm).
Harga di tingkat petani terbentuk sebagai pertemuan antara kurva primary supply
dengan kurva derived demand. Primary supply menggambarkan penawaran yang
ada di tingkat petani dari komoditi yang diusahakan dalam kegiatan usahatani.
Bentuk dari primary supply dalam sistem agribisnis dapat digambarkan sebagai
penawaran yang dilakukan petani terhadap komoditi yang dihasilkan dan biasanya
digunakan sebagai bahan baku oleh industri pengolahan. Misalkan penawaran
33
petani cabai terhadap produk cabai yang dihasilkan kepada pabrik pengolahan
sambal botolan. Sementara itu, derived demand menggambarkan permintaan di
tingkat pedagang perantara atau pabrik pengolah terhadap produk yang dihasilkan
oleh petani. Derived demand merupakan turunan dari primary demand. Derived
demand dalam aktivitas agribisnis dapat dicontohkan melalui permintaan cabai
oleh pabrik pengolahan sambal botolan kepada petani yang membudidayakan
komoditi cabai. Oleh karena itu, karena adanya penawaran dari pihak petani (PS1)
dan terdapat juga permintaan dari pihak pabrik pengolah ataupun pedagang eceran
(DD1) maka akan terbentuk harga keseimbangan di tingkat petani (Pf).
Harga di tingkat pengecer terbentuk sebagai pertemuan antara kurva
primary demand dengan kurva derived supply. Primary demand menggambarkan
permintaan yang ada di tingkat konsumen kepada pedagang pengecer atau pabrik
pengolahan. Misalnya permintaan konsumen terhadap produk sambal botolan
yang dihasilkan oleh pabrik pengolah sambal botolan. Sedangkan derived supply
merupakan turunan dari primary supply yang menggambarkan penawaran yang
dilakukan pada tingkat pedagang perantara ataupun pabrik pengolah. Bentuk dari
derived supply dapat dicontohkan sebagai penawaran yang dilakukan oleh pabrik
pengolahan sambal botolan kepada konsumen yang biasa mengkonsumsi sambal.
Oleh karena itu, karena adanya penawaran dari pihak pabrik pengolah ataupun
pedagang eceran (DS1) dan terdapat juga permintaan dari pihak konsumen (PD1)
maka akan terbentuk harga keseimbangan di tingkat pedagang eceran ataupun
pabrik pengolah (Pr).
Penetapan harga di tingkat petani cabai dan harga sambal botolan di
tingkat pabrik pengolahan tentunya akan menghasilkan penetapan harga yang
berbeda. Perbedaan penetapan harga di tingkat petani cabai (farm) dengan harga
sambal di tingkat pabrik pengolahan (retail) menunjukkan adanya marjin dalam
tataniaga komoditi cabai, sehingga terbukti bahwa marjin tataniaga terbentuk dari
selisih harga di tingkat petani (farm) dengan harga di tingkat pengecer/pabrik
pengolah (retail) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Perubahan kondisi pasar dapat mempengaruhi jumlah produk yang
diminta/ditawarkan, seperti adanya perubahan jumlah penduduk ataupun
perubahan selera di tingkat konsumen. Misalnya saja adanya peningkatan jumlah
34
penduduk maka hal ini akan mengakibatkan peningkatan jumlah yang diminta
oleh konsumen. Peningkatan jumlah tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar 3
sebagai perubahan jumlah yang diminta yaitu dari Q1 akan berubah menjadi Q2.
Perubahan jumlah ini tentunya akan mempengaruhi kurva permintaan dan kurva
penawaran di pasar. Apabila terjadi pergeseran dari DD1 menjadi DD2 yang
dipengaruhi oleh perubahan lebih awal pada primary demand yang bergeser dari
PD1 ke kurva PD2. Hal ini dikarenakan derived demand merupakan turunan dari
primary demand. Peningkatan pada primary demand yaitu permintaan di tingkat
konsumen tentunya akan mengakibatkan respon dari derived supply yaitu pihak
pedagang pengecer akan berupaya meningkatkan penawaran produk sehingga
mampu memenuhi kuantitas yang diinginkan oleh konsumen. Kurva derived
supply akan bergeser dari DS1 ke DS2. Adanya peningkatan penawaran di tingkat
pengecer menimbulkan peluang bagi petani sebagai pemasok produk primer
kepada pengecer. Hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran pada kurva
primary supply yang bergeser dari PS1 ke PS2. Perubahan yang terjadi pada
kuantitas produk dari Q1 ke Q2 ternyata tidak mempengaruhi besarnya marjin yang
berlaku. Kondisi ini sesuai dengan Hammond dan Dahl (1977) yang menyatakan
bahwa marjin tataniaga tidak dipengaruhi oleh volume produk yang dipasarkan.
3.1.8. Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga
Tingkat efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga dapat pula diukur melalui
besarnya rasio keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas tataniaga.
Rasio keuntungan dan biaya tataniaga menunjukkan besarnya keuntungan yang
diterima atas biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan aktivitas tataniaga.
Menurut Limbong dan Sitorus (1987) dalam Puspitasari (2010) menyatakan
bahwa semakin merata penyebaran rasio keuntungan dan biaya tataniaga, maka
dari segi (teknis) operasional sistem tataniaga tersebut akan semakin efisien.
Asmarantaka (2009) menyatakan bahwa dalam pengukuran efisiensi operasional
salah satu indikator yang dapat digunakan adalah menggunakan rasio antara
keuntungan terhadap biaya tataniaga. Hal ini dikarenakan keuntungan merupakan
opportunity cost dari biaya.
35
3.1.9. Efisiensi Tataniaga
Efisiensi suatu sistem tataniaga diukur dari kepuasan konsumen, produsen
maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan suatu produk dari
produsen primer (petani) hingga sampai ke tangan konsumen. Terdapat perbedaan
pengertian efisiensi tataniaga di mata konsumen dan produsen. Produsen
mengganggap suatu sistem tataniaga yang efisien adalah jika penjualan produknya
mampu mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi produsen, sementara di mata
konsumen suatu sistem tataniaga dinilai efisien jika konsumen bisa mendapatkan
suatu produk dengan harga yang rendah. Dalam menentukan tingkat kepuasan
dari para lembaga/pelaku tataniaga sangatlah sulit dan sifatnya relatif. Efisiensi
merupakan rasio dari nilai output dengan input.
Kohls and Uhl (2002) menyatakan efisiensi dapat diukur sebagai rasio
output terhadap input. Indikator dalam mengukur efisiensi tataniaga produk
agribisnis dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu :
1) Efisiensi operasional atau teknis berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas
tataniaga yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input
tataniaga. Efisiensi operasional adalah ukuran frekuensi dari produktivitas
penggunaan input-input tataniaga. Peningkatan efisiensi merupakan upaya
peningkatan rasio output terhadap input, menurut Downey dan Erickson
(1992), peningkatan efisiensi dapat dilakukan melalui salah satu dari empat
cara berikut ini :
a) Menurunkan masukan/input tanpa merubah total output yang dihasilkan.
b) Meningkatkan total output tanpa merubah total masukan/input yang
digunakan
c) Meningkatkan output disertai dengan peningkatan total masukan/input
yang digunakan dengan tambahan total output lebih besar dari tambahan
input.
d) Menurunkan penggunaan masukan/input yang disertai dengan penurunan
total output yang dihasilkan namun penurunan output lebih kecil dari
penurunan input.
36
Keluaran per jam kerja merupakan salah satu rasio produktivitas yang
biasanya digunakan sebagai tolak ukur efisiensi operasional (Downey dan
Erickson 1992, Kohls dan Uhl 2002).
2) Efisiensi
harga
menekankan
kemampuan
sistem
tataniaga
dalam
mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh proses dalam
sistem tataniaga sehingga efisien sesuai dengan keinginan konsumen.
Efisiensi harga bertujuan untuk mencapai efisiensi alokasi sumberdaya antara
apa
yang
diproduksi
dan
apa
yang
diinginkan
konsumen
serta
memaksimumkan output ekonomi.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Kecamatan Kuta Selatan merupakan sentra pembudidayaan rumput laut di
wilayah Kabupaten Badung. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan tentang
aktivitas tataniaga pada dua lokasi yang berada di wilayah Kecamatan Kuta
Selatan yaitu Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa.
Rumput laut merupakan
komoditi dengan tujuan pasar ekspor. Perbedaan penetapan harga di tingkat
ekspor dengan harga di tingkat usahatani menunjukkan adanya marjin dalam
tataniaga rumput laut. Hal tersebut menimbulkan permasalahan yaitu rendahnya
harga yang diterima oleh petani khususnya para petani yang melakukan penjualan
rumput laut secara individu. Hal ini diakibatkan pada fluktuasi hasil produksi
yang dihasilkan yang diakibatkan oleh faktor alam serta rendahnya kesadaran
petani untuk memenuhi ketetapan standar kualitas rumput laut ekspor misalnya
pada syarat kadar air pada rumput laut kering yang dipasarkan. Posisi petani yang
sebagian besar sebagai price taker menunjukkan lemahnya posisi tawar petani
dalam hal penentuan harga. Keberadaan lembaga – lembaga tataniaga tentunya
dapat
membantu
petani
khususnya
dalam
meningkatkan
aktivitas
tataniaga/pemasaran rumput laut. Apabila para petani berada dalam suatu wadah
yang mampu menaungi kepentingan dari para petani tentunya permasalahan –
permasalahan seperti penentuan harga yang tidak sesuai di kalangan petani dapat
teratasi.
Para petani rumput laut di wilayah Desa Kutuh telah tergabung dalam
wadah kelompok tani. Keberadaan wadah kelompok tani diharapkan dapat
memperkuat posisi petani rumput laut khususnya dalam penerimaan harga.
37
Rumput laut sebagai komoditi dengan tujuan pasar ekspor tentunya memiliki
standar kualitas tertentu yang harus dipenuhi. Kelompok tani dalam hal ini
berperan sebagai pengatur standarisasi dari rumput laut yang dihasilkan.
Pengelolaan kegiatan usaha rumput laut di wilayah Desa Kutuh juga dikelola
secara perorangan oleh beberapa petani setempat. Hal serupa juga diterapkan oleh
para petani rumput laut di wilayah Kelurahan Benoa. Pemberlakuan standarisasi
pada wadah kelompok tani membuat beberapa petani memilih untuk melakukan
aktivitas usaha budidaya rumput laut secara mandiri. Perbedaan sistem
pengelolaan usaha diantara petani tentunya akan mempengaruhi tingkat harga
yang akan diterima oleh petani. Perbedaan tingkat harga ini juga akan
berpengaruh pada fungsi tataniaga (pemasaran) yang diterapkan. Perbedaan fungsi
yang dijalankan tentunya akan berpengaruh pada saluran dan lembaga tataniaga
yang terlibat serta tingkat efisiensi tataniaga rumput laut yang berlaku di masing –
masing pihak petani yang berkelompok maupun tidak tergabung dalam kelompok
tani. Lembaga tataniaga sebagai pelaksana dari fungsi tataniaga perlu
menjalankan perannya dalam upaya pemenuhan kepuasan konsumen. Berbagai
kegiatan produktif yang dilakukan dalam rangka pemberian nilai tambah terhadap
komoditi rumput laut seperti upaya penyediaan rumput laut dengan kualitas mutu
yang baik. Hal tersebut merupakan pelaksanaan dari fungsi – fungsi tataniaga
dalam pemasaran komoditi rumput laut. Kegiatan tataniaga dari pembudidaya,
lembaga tataniaga dan konsumen akan membentuk tingkat harga tertentu dari
suatu produk.
Marjin tataniaga menunjukkan perbedaan tingkat harga yang dibayarkan
oleh konsumen dengan harga yang diterima di tingkat petani. Farmer’s share
digunakan untuk membandingkan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat
konsumen yang dinyatakan dalam bentuk persentase. Sementara itu, rasio
keuntungan dan biaya tataniaga digunakan untuk mengetahui penyebaran rasio
keuntungan dan biaya pada masing – masing lembaga tataniaga. Marjin tataniaga,
farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya tataniaga dapat menjadi indikator
dalam mengukur efisiensi dari suatu sistem tataniaga. Sistem tataniaga yang
efisien tentunya akan memberikan alternatif mengenai saluran tataniaga yang
efisien yang mampu meningkatkan pendapatan petani tanpa mengabaikan
38
pemenuhan kepuasan konsumen salah satunya dengan upaya melakukan
standarisasi kualitas rumput laut kering khususnya di tingkat petani sehingga
petani dapat memperoleh harga jual yang tinggi. Kerangka pemikiran operaional
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Petani Rumput Laut
•
•
•
Perbedaan harga antara rumput laut segar dengan rumput laut yang siap
untuk ekspor yang menunjukkan terdapat marjin tataniaga
Perbedaan sistem pengelolaan di tingkat petani secara kelompok dan
individu
Standarisasi kualitas rumput laut mempengaruhi harga jual
Analisis Lembaga dan
Saluran Tataniaga
• Petani/Kelompok
Tani
• Pedagang
Pengumpul
• Agen Perantara
• Eksportir
Analisis Struktur Pasar
• Jumlah penjual dan
pembeli
• Sifat Produk
• Kondisi Keluar
Masuk Pasar
• Sumber Informasi
Harga
Analisis Perilaku
Pasar
• Sistem Penentuan
Harga
• Sistem Pembayaran
• Kerjasama antar
Lembaga Tataniaga
Analisis
Fungsi
Tataniaga
• Fungsi Pertukaran
• Fungsi Fisik
• Fungsi Fasilitas
Analisis Efisiensi Tataniaga
• Marjin Tataniaga
• Farmer’s Share
• Rasio Keuntungan dan
Biaya
Efisiensi Saluran Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh
dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan
Rekomendasi Alternatif Saluran Tataniaga yang dapat
dipilih oleh Petani Rumput Laut di Desa Kutuh dan
Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan melalui upaya
peningkatan kualitas rumput laut
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional
39
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Februari/Maret 2012 di dua
wilayah yaitu Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa yang termasuk di dalam wilayah
Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Pemilihan lokasi
penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Bali
merupakan salah satu dari sepuluh provinsi penghasil rumput laut terbesar di
Indonesia, dan Kecamatan Kuta Selatan merupakan sentra penghasil rumput laut
di Provinsi Bali.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang diperoleh dari proses pengambilan data dalam penelitian ini
terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui
pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan wawancara melalui panduan
kuisioner dengan petani responden serta lembaga – lembaga tataniaga yang
terlibat dalam tataniaga rumput laut dari Kecamatan Kuta Selatan. Selain itu, juga
dilakukan pengamatan terkait aktivitas yang dilakukan oleh responden seperti
aktivitas pembudidayaan rumput laut yang dilakukan oleh petani serta
penanganan pascapanen terhadap produk rumput laut kering.
Sementara itu, data sekunder yang digunakan berasal dari berbagai sumber
pustaka dan literatur yang dikeluarkan oleh lembaga – lembaga yang terkait
dengan penelitian ini, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perikanan
dan Kelautan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Bali, Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Badung, Perpustakaan LSI IPB.
4.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara terhadap
responden petani dengan menggunakan panduan kuisioner. Para petani rumput
laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan telah mengelola aktivitas usaha melalui
pembentukan kelompok tani. Responden yang dijadikan populasi dalam penelitian
ini adalah para petani rumput laut yang berada di wilayah Desa Kutuh dan
Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan yang tergabung dalam kelompok tani
40
dan selanjutnya diambil sampel beberapa anggota dari masing – masing kelompok
tani yang ada. Selain itu juga diambil responden petani yang merupakan petani
rumput laut namun tidak ikut serta bergabung dalam kelompok tani yang ada serta
tidak melakukan aktivitas tataniaga yang difasilitasi melalui kelompok. Penentuan
petani responden dilakukan secara purposive sampling, yaitu secara sengaja
namun dengan pertimbangan karakteristik tertentu. Beberapa karakteristik petani
rumput laut yang dijadikan pertimbangan dalam penarikan responden diantaranya
dilihat dari volume produksi rata – rata setiap kali panen, pengalaman usaha
budidaya serta menjadikan aktivitas budidaya rumput laut sebagai rutinitas harian.
Pada penelitian ini terdapat 35 responden petani yang terdiri dari 30 orang petani
yang melakukan penjualan rumput laut secara berkelompok yang berasal dari
empat kelompok tani yaitu Kelompok Tani Segara Amertha (sembilan orang),
Kelompok Tani Merta Sari (12 orang), Kelompok Tani Segara Sari (empat orang),
dan Kelompok Tani Arta Segara Jati (lima orang) serta terdapat lima orang petani
yang melakukan penjualan rumput laut secara individu. Penarikan respoden petani
yang mengelola aktivitas tataniaga melalui kelompok tani dilakukan berdasarkan
arahan dari pihak perwakilan kelompok tani. Wawancara dilakukan dengan
mendatangi pondok – pondok milik petani yang berlokasi berdekatan dengan
pantai lokasi pembudidayaan rumput laut. Selain aktivitas pengambilan data
melalui kegiatan wawancara, penulis juga melakukan pengamatan terhadap
aktivitas pembudidayaan rumput laut dan penanganan pascapanen yang dilakukan
oleh petani.
Selain para petani rumput laut, lembaga – lembaga tataniaga yang terlibat
dalam tataniaga rumput laut dari wilayah Kecamatan Kuta Selatan juga menjadi
responden dalam penelitian ini. Penarikan sampel dilakukan dengan metode
snowball sampling yaitu diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari
sampel sebelumnya yang dalam penelitian ini adalah para petani rumput laut di
Kecamatan Kuta Selatan dengan melakukan penelusuran saluran tataniaga dari
pembudidaya sampai konsumen akhir. Responden lembaga tataniaga dalam
penelitian ini merupakan lembaga tataniaga yang menjadi tujuan aliran rumput
laut dari responden petani pada waktu penelitian dilakukan. Para responden
lembaga tataniaga dalam penelitian ini terdiri dari dua orang pedagang
41
pengumpul, satu orang agen perantara dan dua orang eksportir. Pengambilan data
terhadap responden lembaga tataniaga dilakukan untuk pencarian informasi terkait
dengan data – data kuantitatif seperti biaya yang dikeluarkan oleh lembaga –
lembaga yang terlibat dalam tataniaga rumput laut serta penetapan harga di
masing – masing lembaga yang selanjutnya dilakukan analisis dengan
menggunakan berbagai alat analisis dan melalui analisis tersebut dapat ditentukan
saluran tataniaga yang efisien untuk diterapkan oleh petani rumput laut.
4.4. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif.
Analisis kualitatif bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga, lembaga
tataniaga dan fungsi-fungsi tataniaga, serta struktur dan perilaku pasar melalui
wawancara dan pengisian kuisioner. Pemaparan data kualitatif yang diperoleh
selama pelaksanaan penelitian dilakukan secara deskriptif. Analisis data
kuantitatif digunakan untuk menganalisis marjin tataniaga, farmer’s share, dan
rasio
keuntungan
terhadap
biaya.
Pengolahan
data
analisis
kuantitatif
menggunakan kalkulator, program komputer Microsoft Excel, dan sistem tabulasi
data.
4.4.1. Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga
Analisis lembaga tataniaga digunakan untuk mengetahui lembaga-lembaga
tataniaga yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran, fungsi
fisik, dan juga fungsi fasilitas. Lembaga-lembaga ini juga berfungsi sebagai
sumber informasi mengenai suatu barang dan jasa. Saluran tataniaga adalah
serangkaian organisasi yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk
atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Analisis saluran tataniaga
menggambarkan rantai aliran produk yang terjadi antara titik produksi hingga titik
konsumsi dan fungsi - fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
yang terkait dalam saluran tataniaga tersebut dalam mengalirkan produk. Alur
tataniaga tersebut dijadikan dasar dalam menggambar pola saluran tataniaga.
Analisis ini juga didasarkan pada metode snowball sampling yang dilakukan
dalam penelitian. Snowball sampling dilakukan dengan melakukan penelusuran
terhadap responden lembaga tataniaga yang dijadikan tujuan aliran tataniaga
42
rumput laut yang berasal dari responden petani dalam penelitian. Penentuan
responden lembaga tataniaga disesuaikan dengan proses penjualan rumput laut
yang berlangsung pada periode penjualan petani pada bulan Januari 2012.
Selain itu, para petani yang berada di lokasi penelitian melakukan
pengelolaan kegiatan usaha budidaya rumput laut secara kelompok maupun
individu. Pada analisis ini juga dilihat perbandingan tingkat efisiensi antara petani
yang mengelola usahanya secara kelompok dengan petani yang mengelola
usahanya secara individu. Analisis dilakukan secara deskriptif dan perbandingan.
4.4.2. Analisis Fungsi Tataniaga
Analisis fungsi tataniaga digunakan untuk mengetahui kegiatan tataniaga
yang dilakukan lembaga tataniaga dalam menyalurkan produk dari produsen
sampai ke konsumen. Analisis fungsi tataniaga dapat dilihat dari fungsi
pertukaran yang terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik yang
terdiri dari fungsi pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan, serta fungsi
fasilitas yang terdiri dari standarisasi, penanggungan risiko, pembiayaan dan
informasi pasar. Data yang diperoleh tersebut disajikan dalam bentuk tabulasi data
sederhana. Selain itu data tersebut juga dideskripsikan sehingga menunjukkan
adanya perubahan nilai guna, baik nilai guna bentuk, tempat, waktu, ataupun
kepemilikan dari pelaksanaan fungsi tataniaga.
4.4.3. Analisis Struktur Pasar
Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa struktur pasar adalah
suatu dimensi yang menjelaskan definisi industri dan perusahaan. Namun pada
penelitian ini analisis struktur pasar dilakukan dengan menganalisis masing –
masing lembaga tataniaga yang terlibat dengan melakukan pendekatan dari
struktur pasar yang digunakan untuk menganalisis kondisi pasar suatu industri.
Dilana (2012) menyatakan bahwa struktur pasar didefinisikan oleh rasio
konsentrasi pasar. Konsentrasi pasar diperoleh dari pengukuran pangsa pasar.
Namun karena keterbatasan data, pengukuran pangsa pasar rumput laut dari Desa
Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan tidak dapat disajikan,
sehingga dalam pengukuran ini dilakukan pendekatan dari proporsi total produksi
43
rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan terhadap total produksi rumput laut di
Provinsi Bali.
Hidayati (2009) menyebutkan indikator terhadap hasil rasio konsentrasi
(CR4) adalah sebagai berikut :
≤ 33 %
: competitive market structure
33 – 50 %
: weak oligopsonist market structure
> 50 %
: strongly oligopsonist market structure
Sementara itu Jaya (2001) menyebutkan bahwa pada pangsa pasar terbesar yang
berkisar antara 20 – 50 persen maka struktur pasar yang mungkin timbul adalah
oligopoli ketat. Analisis struktur pasar tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan
Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan dilakukan melalui identifikasi dan
analisis terhadap faktor penentu karakteristik struktur pasar seperti banyaknya
jumlah penjual dan pembeli yang terlibat, keadaan atau jenis produk, syarat
masuk-keluar pasar dan mudah tidaknya mendapatkan informasi pasar.
4.4.4. Analisis Perilaku Pasar
Menurut Hammond dan Dahl (1977) perilaku pasar menunjukkan pola
perilaku yang diikuti oleh perusahaan dalam hubungannya dengan pasar yang
dihadapi. Pola perilaku ini meliputi cara – cara yang digunakan oleh sekelompok
perusahaan dalam menentukan harga dan produk yang dihasilkan, kebijakan
dalam promosi penjualan, kebijakan yang berkaitan dengan perubahan sifat
produk yang dijual serta beragam taktik penjualan yang digunakan untuk meraih
pasar tertentu.
Perilaku pasar dalam tataniaga rumput laut dianalisis dengan mengamati
aktivitas praktik penjualan dan pembelian antara petani pembudidaya hingga
pihak pabrik pengolahan/eksportir, sistem penentuan harga di masing – masing
pelaku yang terlibat dalam aktivitas tataniaga, sistem pembayaran dan kerjasama
yang dilakukan antar lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga rumput laut di
Kecamatan Kuta Selatan. Analisis perilaku pasar dilakukan secara deskriptif.
4.4.5. Analisis Efisiensi Tataniaga
Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta apabila seluruh lembaga
tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga memperoleh kepuasan dengan
44
adanya aktivitas tataniaga tersebut (Limbong dan Sitorus 1985). Penurunan biaya
input dari pelaksanaan pekerjaan tersebut tanpa mengurangi kepuasan konsumen
terhadap output barang dan jasa, menunjukkan efisiensi. Setiap kegiatan fungsi
lembaga memerlukan biaya yang selanjutnya diperhitungkan ke dalam harga
produk. Pengukuran efisiensi dalam sistem tataniaga dapat dibedakan menjadikan
efisiensi operasional dan efisiensi harga (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009)
Peningkatan efisiensi pada suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui
dua cara berikut ini (Asmarantaka 2009) :
1) Perubahan sistem tataniaga/pemasaran melalui pengurangan biaya yang
dikeluarkan dalam menjalani fungsi – fungsi tataniaga tanpa mengakibatkan
perubahan terhadap manfaat/kepuasan yang diterima oleh konsumen.
2) Meningkatkan manfaat/kegunaan dari produk yang dihasilkan tanpa
meningkatakan biaya tataniaga.
Selain itu, kenaikan biaya tataniaga yang mampu menghasilkan proporsi kenaikan
yang lebih pada manfaat produk yang akan diterima oleh konsumen juga akan
meningkatkan efisiensi (Kohls dan Uhl 2002).
4.4.5.1. Analisis Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen
(Pf) dengan harga ditingkat konsumen akhir (Pr) dengan demikian marjin
tataniaga adalah MT = Pr - Pf. Melalui penelusuran saluran tataniaga, diharapkan
dapat diperoleh informasi tentang marjin pada tiap lembaga tataniaga. Marjin
tataniaga merupakan perbedaan harga diantara lembaga tataniaga. Analisis marjin
tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga rumput laut. Marjin
tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga
pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus
(1985) besarnya marjin tataniaga pada suatu saluran tataniaga merupakan
penjumlahan dari marjin yang diperoleh setiap lembaga pemasaran. Marjin juga
didefinisikan sebagai penjumlahan dari keuntungan dan biaya tataniaga yang
dikeluarkan dalam pelaksanaan sistem tataniaga. Berdasarkan pengertian yang
dikemukakan oleh Limbong dan Sitorus (1985) tersebut maka secara matetmatis
perhitungan nilai marjin tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:
45
Mi = Hji – Hbi
atau
Mi = Ci + πi
Dan besarnya marjin tataniaga pada suatu saluran tataniaga adalah:
MT = ΣMi
Keterangan:
Mi = Marjin tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Hji = Harga penjualan pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Hbi = Harga pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Ci = Biaya pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
πi
= Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
i
= 1,2,3,…….,n
MT = Total marjin tataniaga
Selain itu, marjin tataniaga juga dapat diperoleh dari penjumlahan biaya
tataniaga dan keuntungan tataniaga pada suatu saluran tataniaga yang terbentuk.
Hal ini dapat diartikan sebagai value added dari komoditi yang dipasarkan (
Limbong dan Sitorus 1985). Analisis marjin tataniaga dapat dipakai untuk melihat
keragaan pasar yang terjadi pada suatu sistem tataniaga.
4.4.5.2. Analisis Farmer’s Share
Farmer’s share adalah proporsi dari harga yang diterima petani produsen
dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir yang dinyatakan dalam
persentase. Farmer’s share dapat digunakan dalam menganalisis efisiensi saluran
tataniaga dengan membandingkan seberapa besar bagian yang diterima oleh
petani dari harga yang dibayarkan konsumen akhir.
Jika harga yang ditawarkan pedagang/lembaga tataniaga semakin tinggi
dan kemampuan konsumen dalam membayar harga semakin tinggi, maka bagian
yang diterima oleh petani akan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan petani
menjual komoditinya dengan harga yang relatif rendah. Dengan demikian dapat
diketahui Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga, artinya
semakin tinggi marjin tataniaga maka bagian yang akan diperoleh petani
46
(Farmer’s share) semakin rendah. Farmer’s share akan menunjukkan apakah
tataniaga memberikan balas jasa yang seimbang kepada semua pihak yang terlibat
dalam tataniaga. Secara matematis farmer’s share dapat dirumuskan dengan
(Asmarantaka 2009) :
100%
Keterangan:
Fs = Farmer’s share
Pf = Harga di tingkat petani
Pr = Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir
4.4.5.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
Rasio keuntungan dan biaya tataniaga merupakan besarnya keuntungan
yang diterima lembaga tataniaga sebagai imbalan atas biaya tataniaga yang
dikeluarkan. Penyebaran marjin tataniaga dapat pula dilihat berdasarkan
persentase keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masing-masing lembaga
tataniaga. Menurut Asmarantaka (2009) rasio keuntungan terhadap biaya setiap
lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rasio Keuntungan terhadap Biaya =
Keuntungan ke-i
Biaya ke-i
x 100 %
Keterangan:
Keuntungan ke-i = Keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Kg)
Biaya ke-i = Biaya lembaga tataniaga (Rp/Kg)
Pengukuran efisiensi operasional dapat dilakukan melalui salah satu
indikator yaitu dengan menggunakan rasio antara keuntungan terhadap biaya
tataniaga (Asmarantaka 2009). Hal ini dikarenakan keuntungan merupakan
opportunity cost dari biaya. Apabila Π/C bernilai positif (Π/C >0), maka aktivitas
tataniaga tersebut dinilai efisien, dan apabila Π/C bernilai negatif (Π/C < 0), maka
aktivitas tataniaga tersebut dinilai tidak efisien.
47
V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian
5.1.1. Keadaan Umum Kecamatan Kuta Selatan
Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten yang termasuk dalam
regional Provinsi Bali. Kabupaten Badung secara geografis terletak pada 8°14’20”
- 8°50’48” Lintang Selatan dan 115°05’00” - 115°26’16” Bujur Timur dengan
wilayah seluas 418,52 km2 atau sekitar 7,43 persen dari daratan Pulau Bali.
Wilayah Kabupaten Badung terdiri dari enam wilayah kecamatan dan 62
desa/kelurahan. Enam kecamatan yang termasuk di wilayah Kabupaten Badung
terdiri dari Kecamatan Kuta Selatan, Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Utara,
Kecamatan Mengwi, Kecamatan Abiansemal dan Kecamatan Petang.
Perbandingan suhu udara di Kabupaten Badung selama tahun 2010 dengan
suhu maksimum tertinggi terjadi pada Bulan Maret yaitu 32,3 °C, sedangkan suhu
terendah terjadi pada Bulan Juli dan Agustus dengan suhu sebesar 29,5 °C.
Sementara itu suhu minimum tertinggi terjadi pada Bulan Mei 26,0 °C dan
terendah pada Bulan November sebesar 24,9 °C. Kelembapan udara di wilayah ini
berkisar antara 81 - 86 persen. Curah hujan di wilayah Kabupaten Badung
berkisar antara 66 – 508,2 mm per tahun.
Kecamatan Kuta Selatan berjarak 36 km dari Kabupaten Badung. Luas
wilayah Kecamatan Kuta Selatan adalah 101,13 km2 dengan ketinggian 28 m di
atas permukaan laut. Batas – batas wilayah Kecamatan Kuta Selatan terdiri dari
sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kuta, sedangkan sebelah selatan,
barat dan timur berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Secara geografis
wilayah Kecamatan Kuta Selatan terletak pada 08°46’58.7” Lintang Selatan dan
115°10,41.3” Bujur Timur.
Kecamatan Kuta Selatan merupakan wilayah
Kabupaten Badung yang langsung berbatasan dengan pesisir pantai. Kondisi ini
mendukung pengembangan potensi perikanan di wilayah Kecamatan Kuta
Selatan. Tabel berikut menunjukkan hasil produksi perikanan di wilayah
Kecamatan Kuta Selatan.
48
Tabel 9. Produktivitas Hasil Perikanan di Kecamatan Kuta Selatan Tahun 2011
Komoditi
Produktivitas (ton/ha)
Udang/Lobster
8,52
Tuna
289,54
Tongkol
103,29
Cakalang
623,52
Layang
126,97
Kakap
18,55
Kerapu
13,48
Lencam/Jangki
10,77
Tenggiri
2,37
Ekor Kuning
9,80
Lemuru
Layur
Nila
Kepiting
Rumput Laut
43,76
7,21
17,25
2,69
14.036,66
Sumber : Profil Kecamatan Kuta Selatan, 2011
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 9, terlihat beberapa komoditi
yang dihasilkan dari wilayah perairan yang berada di wilayah Kecamatan Kuta
Selatan, Kabupaten Badung. Pada data tersebut ditunjukkan bahwa rumput laut
merupakan komoditi perikanan dengan produktivitas tertinggi.
Penduduk Kecamatan Kuta Selatan sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai nelayan sebanyak 6.644 orang atau 15,06 persen. Hal ini
didasarkan oleh kesesuaian dari kondisi alam dan lingkungan wilayah Kuta
Selatan yang dikelilingi oleh wilayah perairan yang sangat mendukung aktivitas
penduduk khususnya dalam kegiatan budidaya laut. Jenis mata pencaharian lain
yang mendominasi penduduk di wilayah Kecamatan Kuta Selatan adalah
pekerjaan sebagai karyawan swasta sebanyak 13.636 atau 30,91 persen. Pekerjaan
ini biasanya didominasi oleh penduduk yang bekerja sebagai karyawan di bidang
pariwisata dan perhotelan. Data mengenai mata pencaharian penduduk di
Kecamatan Kuta Selatan dapat dilihat pada Tabel 10.
49
Tabel 10. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Kuta Selatan
Jenis Mata Pencaharian
Penduduk (orang)
Petani
3.635
Pegawai Negeri Sipil
5.919
Pengrajin Rumah Tangga
30
Peternak
1.269
Nelayan
6.644
Montir
162
Dokter Swasta
Bidan/Perawat Swasta
TNI
22
6
56
POLRI
11.048
Pengusaha Kecil dan Menengah
Pengacara
Dosen Swasta
Karyawan Swasta
1.659
2
24
13.636
Sumber : Profil Kecamatan Kuta Selatan, 2011
5.1.2. Keadaan Umum Desa Kutuh
Desa Kutuh merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan
Kuta Selatan. Batas – batas wilayah Desa Kutuh terdiri dari sebelah utara
berbatasan dengan Kelurahan Jimbaran yang masih termasuk dalam regional
Kecamatan Kuta Selatan, sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera
Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Desa Ungasan yang masih termasuk
dalam regional Kecamatan Kuta Selatan dan sebelah timur berbatasan dengan
Kelurahan Benoa yang juga termasuk dalam wilayah Kecamatan Kuta Selatan.
Desa Kutuh memiliki luas wilayah sebesar 831,720 ha.
Jumlah penduduk di wilayah Desa Kutuh adalah 3.362 orang. Aktivitas mata
pencaharian warga sebagian besar bekerja di sektor agribisnis seperti pertanian,
peternakan dan perikanan. Hal ini terbukti dari jumlah penduduk yang beraktivitas
pada sektor ini terdiri dari 753 orang penduduk yang tercatat sebagai petani
(termasuk petani rumput laut) dan 455 orang sebagai peternak. Berdasarkan data
yang diperoleh dari Buku Profil Desa Kutuh pada Tahun 2010, menunjukkan
50
tanaman rumput laut memiliki kontribusi dalam perekonomian warga desa, hal ini
ditunjukkan melalui nilai produksi rumput laut di Desa Kutuh pada Tahun 2010
yang mencapai Rp 15.925.170.000 dengan luas lahan sebesar 70 ha.
5.1.3. Keadaan Umum Kelurahan Benoa
Kelurahan Benoa merupakan salah satu desa yang berada di wilayah
Kecamatan Kuta Selatan dengan ketinggian 50 – 500 m di atas permukaan laut.
Batas – batas wilayah Kelurahan Benoa terdiri dari sebelah utara berbatasan
dengan Keluarahan Tanjung Benoa yang masih termasuk dalam regional
Kecamatan Kuta Selatan, sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera
Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Desa Ungasan dan Kelurahan Jimbaran
yang masih termasuk dalam regional Kecamatan Kuta Selatan dan sebelah timur
berbatasan langsung dengan Selat Lombok. Kelurahan Benoa secara administrasi
memiliki luas wilayah sebesar 2.828 ha dengan kondisi bentang alam terdiri dari
dataran seluas 1.207,6 ha dan perbukitan seluas 1.620,4 ha. Keadaan suhu rata –
rata minimal 23,5 - 25˚C dan maksimum 29,5 – 32 ˚C.
Jumlah penduduk di wilayah Desa Kutuh adalah 21.340 orang. Aktivitas
mata pencaharian warga Kelurahan Benoa di sektor agribisnis terdiri dari aktivitas
di bidang peternakan dan perikanan/kelautan. Penduduk yang berprofesi sebagai
peternak berjumlah 785 orang sedangkan yang berprofesi sebagai nelayan
(termasuk petani rumput laut) berjumlah 151 orang.
5.2. Karakteristik Petani Responden
Petani rumput laut yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini
berjumlah 35 orang. Para petani responden berasal dari dua desa/kelurahan di
wilayah Kecamatan Kuta Selatan, yaitu Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa yang
merupakan sentra pembudidayaan rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta
Selatan bahkan di wilayah Kabupaten Badung. Metode penentuan responden
dilakukan secara sengaja (purposive). Para petani responden pada umumnya
menjadikan mata pencaharian sebagai petani rumput laut sebagai pekerjaan utama
dan melakukan kegiatan budidaya rumput laut secara rutin. Identitas responden
dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman dalam
berbudidaya rumput laut dilihat dari segi waktu dan luas lahan garapan budidaya
51
rumput laut yang dimiliki. Data mengenai identitas petani responden dapat dilihat
pada Tabel 11.
Tabel 11. Karakteristik Responden Petani Rumput Laut Di Desa Kutuh dan
Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung,
Provinsi Bali.
Karakteristik
Umur
≤ 25 tahun
25 – 50 tahun
≥ 50 tahun
Tingkat Pendidikan
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Perguruan Tinggi
Pengalaman Budidaya
< 5 tahun
5 -10 tahun
≥ 10 tahun
Luas Garapan
≤ 1000 tali ris
1000 – 2000 tali ris
≥ 2000 tali ris
Jumlah (orang)
Kelompok
Non
Tani
Kelompok
Tani
Persentase
Kelompok
Non Kelompok
Tani
Tani
2
15
13
4
1
6,67 %
50,00 %
43,33 %
80,00 %
20,00 %
7
16
1
6
-
1
3
1
-
23,33 %
53,33 %
3,33 %
20,00 %
-
20,00 %
60,00 %
20,00 %
-
2
28
4
1
6,67 %
93,33 %
80,00 %
20,00 %
8
10
12
4
1
26,67 %
33,33 %
40,00 %
80,00 %
20,00 %
Total petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini berjumlah 35
orang. Petani responden yang berasal dari Desa Kutuh berjumlah 31 orang dan
empat orang berasal dari wilayah Kelurahan Benoa. Jumlah petani yang berasal
dari Desa Kutuh juga terbagi atas petani yang tergabung dalam kelompok tani dan
yang tidak bergabung ke dalam kelompok. Di wilayah Desa Kutuh sendiri
terdapat empat kelompok tani rumput laut yang aktif, yaitu Kelompok Tani
Segara Amertha, Kelompok Tani Merta Sari, Kelompok Tani Sari Segara dan
Kelompok Tani Arta Segara Jati. Pengambilan responden petani rumput laut yang
tergabung dalam kelompok tani di wilayah Desa Kutuh juga terdiri dari para
anggota yang mewakili dari empat kelompok tani yang ada.
Umur petani responden dalam penelitian ini berkisar antara 20 – 65 tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebanyak 19 orang petani responden yang
52
terdiri dari 15 orang petani yang menjalankan aktivitas tataniaga melalui
kelompok dan empat orang petani yang tidak menjalankan aktivitas tataniaga
melalui kelompok tani memiliki umur berkisar antara 25 – 50 tahun. Sementara
itu petani dengan umur yang relatif muda ( < 25 tahun) yang menjadi responden
dalam penelitian ini hanya berjumlah dua orang. Data tersebut menunjukkan
bahwa ketertarikan pemuda untuk ikut serta dalam aktivitas pembudidayaan
rumput laut sangat jarang ditemui di lokasi penelitian, hal ini dikarenakan
sebagian besar pemuda di wilayah ini cenderung lebih banyak memiliki mata
pencaharian di sektor lain, khususnya di sektor pariwisata.
Tingkat pendidikan menjadi salah satu hal yang diperhatikan dari identitas
petani responden. Sebanyak 19 orang petani responden hanya mengenyam
pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar (SD) saja. Sebanyak satu orang lulus di
tingkat SLTP, tujuh orang lulus di tingkat SLTA sementara delapan orang tidak
tamat Sekolah Dasar. Tingkat pendidikan petani tentunya dapat mempengaruhi
kinerja petani khususnya terkait perolehan informasi dalam kegiatan budidaya
rumput laut. Dalam melakukan kegiatan budidaya rumput laut, sebanyak 29 petani
responden baik yang menjalankan aktivitas tataniaga melalui kelompok tani
ataupun non kelompok tani telah menjalankan kegiatan usahatani rumput laut
selama sepuluh tahun. Pengalaman petani ini akan menjadi salah satu faktor
pendukung dalam keberhasilan budidaya rumput laut.
Luas lahan garapan dalam aktivitas budidaya rumput laut dihitung
berdasarkan jumlah tali ris yang dimiliki oleh petani. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan sebanyak 13 orang petani responden memiliki luas lahan sebanyak ≥
2000 tali ris. Berdasarkan hasil wawancara dengan perwakilan kelompok tani di
Desa Kutuh menyatakan bahwa rata – rata lahan yang dimiliki oleh petani adalah
seluas lima are dengan 1000 tali ris. Berdasarkan data pada Tabel 11
menunjukkan bahwa responden petani yang mengelola aktivitas tataniaga secara
individu cenderung memiliki lahan pembudidayaan rumput laut lebih sedikit
dibandingkan petani yang mengelola aktivitas tataniaga melalui kelompok. Di
wilayah Desa Kutuh petani responden memiliki jumlah tali ris yang lebih banyak
dibandingkan petani di wilayah Kelurahan Benoa. Hal ini dikarenakan lahan
pantai di wilayah Pantai Geger, Kelurahan Benoa sudah mulai diambil alih oleh
53
para investor sebagai bagian dari pembangunan proyek perhotelan di kawasan
tersebut, sehingga lahan petani untuk mengusahakan budidaya rumput laut
semakin berkurang.
Para petani rumput laut yang menjadi responden dalam penelitian ini
mengelola kegiatan usaha budidaya rumput laut secara individu dan kelompok. Di
Pantai Kutuh yang merupakan lokasi budidaya rumput laut yang termasuk di
dalam wilayah Desa Kutuh, petani rumput laut sebagian besar melakukan
kegiatan budidaya rumput laut secara kelompok. Kelompok petani rumput laut di
wilayah Desa Kutuh berperan langsung dalam memfasilitasi pemasaran rumput
laut milik anggota. Namun, terdapat juga beberapa petani rumput laut di wilayah
Desa Kutuh yang mengelola kegiatan budidaya rumput laut secara individu. Para
petani ini menjual hasil panen rumput laut yang dihasilkan melalui pedagang
pengumpul. Berbeda halnya dengan para petani rumput laut di wilayah Pantai
Geger, Kelurahan Benoa. Di wilayah pantai ini para petani rumput laut juga
tergabung ke dalam wadah kelompok tani, namun kelompok tani di Pantai Geger
hanya mengkoordinir aktivitas pembudidayaan rumput laut saja, namun dalam
kegiatan pemasaran hasil panen dilakukan masing – masing oleh anggota petani.
Petani di wilayah Pantai Geger juga menjual hasil panen rumput laut kepada
pedagang pengumpul.
5.3. Karakteristik Responden Lembaga Tataniaga
Rumput laut merupakan salah satu komoditi hasil perairan yang memiliki
nilai tinggi di wilayah Kabupaten Badung. Rumput laut juga menjadi salah satu
komoditi perairan yang memiliki nilai ekspor, hal ini tentunya mengakibatkan
adanya keterlibatan beberapa lembaga dalam tataniaga rumput laut. Peranan
beberapa lembaga dalam tataniaga rumput laut juga dapat dilihat dalam tataniaga
rumput laut yang berasal dari wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Beberapa
lembaga yang terlibat dalam tataniaga rumput laut ini diantaranya adalah
pedagang pengumpul, agen perantara dan eksportir.
Lembaga tataniaga yang terdapat dalam saluran tataniaga rumput laut di
wilayah Kecamatan Kuta Selatan diperoleh melalui metode snowball sampling
yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelusuran yang
dilakukan, pedagang pengumpul yang terlibat dalam saluran tataniaga rumput laut
54
berjumlah dua orang. Kedua pedagang pengumpul tersebut berasal dari wilayah
Desa Sawangan, Kecamatan Kuta Selatan. Para pedagang pengumpul ini
selanjutnya akan memasarkan rumput laut kepada satu orang eksportir yang sama
yang berada di wilayah Provinsi Bali. Selain pedagang pengumpul dan eksportir,
terdapat pula peranan agen perantara yang mengirimkan produk rumput laut yang
berasal dari wilayah Desa Kutuh ke pihak eksportir yang berada di Surabaya.
Masing – masing individu dari lembaga tataniaga tersebut memiliki beberapa
karakteristik yang dapat mempengaruhi kinerja serta kegiatan usaha yang
dilakukan, data mengenai karakteristik individu dari responden lembaga tataniaga
dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Karakteristik Individu dari Responden Lembaga Tataniaga Rumput
Laut di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta
Selatan
Lembaga Tataniaga
Karakteristik
Pedagang
Agen
Pengumpul
Perantara
Orang
%
Orang
Eksportir
%
Orang
%
Umur
≤ 25 tahun
-
-
1
100
-
-
25 – 50 tahun
1
50
-
-
2
100
≥ 50 tahun
1
50
-
-
-
-
Tamat SD
1
50
-
-
-
-
Tamat SLTP
-
-
-
-
-
-
Tamat SLTA
1
50
1
100
-
-
Perguruan Tinggi
-
-
-
-
2
100
< 5 tahun
-
-
1
100
-
-
5 -10 tahun
2
100
-
-
2
100
Tingkat Pendidikan
Pengalaman Usaha
Pada Tabel 12 tersaji data yang menunjukkan tingkat pendidikan dari
responden akan mempengaruhi tingkatan individu dari lembaga tataniaga dalam
saluran tataniaga rumput laut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, pelaku
55
eksportir memiliki tingkat pendidikan paling tinggi dibandingkan pelaku lembaga
pemasaran yang lain yaitu hingga jenjang perguruan tinggi. Selain itu,
pengalaman usaha dari para pelaku lembaga pemasaran sudah tergolong lama
yaitu berkisar pada 5 – 10 tahun kecuali pada agen perantara yang baru
menggeluti usaha pengangkutan rumput laut selama kurang dari lima tahun.
5.4. Kelompok Tani
Kelompok tani rumput laut yang berada di Desa Kutuh berperan dalam
aktivitas budidaya dan pemasaran hasil panen rumput laut milik anggota. Peranan
kelompok tani dalam aktivitas budidaya meliputi penyediaan sarana budidaya dan
memberikan panduan teknis dalam pelaksanaan budidaya rumput laut. Salah satu
kelompok tani rumput laut di Desa Kutuh yaitu Kelompok Tani Segara Amerta
menjadi kelompok tani terbaik dan memperoleh penghargaan dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan pada tahun 2010. Prestasi tersebut menjadikan aktivitas
budidaya rumput laut di Desa Kutuh mendapatkan perhatian khusus seperti
adanya bantuan untuk pembangunan pondok milik petani rumput laut. Salah satu
keunggulan dari kelompok tani rumput laut di wilayah Desa Kutuh ini adalah
adanya peranan kelompok tani dalam aktivitas tataniaga khususnya dalam
memfasilitasi pemasaran hasil panen rumput laut kering milik petani. Kelompok
tani memberikan persyaratan kualitas dari hasil panen rumput laut yang harus
dipatuhi oleh masing – masing anggota. Persyaratan tersebut meliputi persyaratan
kadar air, kebersihan hasil rumput laut yaitu tidak ada kotoran seperti organisme
laut lain yang menempel dan tidak mengandung pasir karena berdasarkan hasil
wawancara dengan pihak kelompok tani yang mengatakan bahwa pasir dapat
mempengaruhi kualitas dalam penepungan.
Peranan kelompok tani dalam aktivitas tataniaga dimulai dengan pencarian
informasi harga jual rumput laut yang berlaku di sentra pembudidayaan rumput
laut di seluruh Indonesia selanjutnya pihak pengurus kelompok akan menentukan
kisaran harga yang akan ditawarkan kepada calon pembeli. Selanjutnya pengurus
kelompok akan menentukan jadwal penjualan di tingkat kelompok tani yang biasa
dilakukan setiap dua bulan sekali. Pihak pengurus akan mengumpulkan hasil
panen rumput laut kering dari setiap anggota. Rumput laut kering yang
dikumpulkan telah dikemas dalam karung dengan volume ± 100 kg per karung.
56
Pengemasan yang dilakukan merupakan salah satu persyaratan yang ditetapkan
oleh pembeli. Hasil panen rumput laut kering selanjutnya akan dikumpulkan di
balai kelompok.
Pelayanan lain yang diberikan oleh kelompok tani kepada para anggota
adalah bantuan permodalan dengan penetapan bunga sebesar 1 – 1,5 persen per
tahun. Pengembalian terhadap pinjaman dari masing – masing anggota akan
diperhitungkan pada saat waktu penjualan yang ditentukan. Kelompok tani juga
menyediakan barang – barang kebutuhan sehari – hari seperti kebutuhan bahan
pokok bagi para anggota. Fasilitas tersebut hanya diberikan kepada para anggota
kelompok tani. Para petani rumput laut yang tidak tergabung dalam keanggotaan
kelompok tani bisa melakukan penjualan melalui kelompok namun dengan
pemberlakuan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan anggota kelompok
tani yaitu dengan pemotongan harga sebesar Rp 1.000,00 per kilogram rumput
laut kering.
5.5. Budidaya Rumput Laut
5.5.1. Pemilihan Lokasi Budidaya
Pemilihan lokasi yang tepat menjadi faktor utama dalam menentukan
keberhasilan budidaya rumput laut. Hal ini dikarenakan pertumbuhan rumput laut
sangat ditentukan oleh kondisi ekologi setempat, pertumbuhan rumput laut
tentunya akan mempengaruhi tingkat produksi dan kualitas. Penentuan lokasi
harus disesuaikan dengan metode budidaya yang akan digunakan. Pemilihan
lokasi budidaya rumput laut perlu memperhatikan tiga faktor yang akan saling
berkaitan dan berpengaruh satu sama lain, yaitu faktor ekologis, faktor
kemudahan (aksesibilitas) dan faktor risiko (Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, 2009).
1) Faktor Ekologis
Beberapa parameter terkait faktor ekologis yang perlu diperhatikan dalam
kegiatan budidaya rumput laut antara lain : pergerakan air, kondisi dasar
perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, pencemaran dan ketersedian bibit
dan tenaga kerja yang terampil.
57
a) Pergerakan air
Lokasi yang baik untuk budidaya rumput laut adalah lokasi perairan
harus terlindung dari arus dan hempasan ombak yang terlalu kuat.
Besarnya kecepatan arus yang ideal antara : 20 – 40 cm/detik. Indikator
suatu lokasi yang memiliki arus yang baik adalah adanya tumbuhan
karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke
satu arah. Pergerakan air yang cukup akan membawa hara sebagai nutrisi
yang cukup dan sekaligus mencuci kotoran yang menempel pada thallus,
membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi suhu air yang
besar. Suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20 – 28
°C.
b) Dasar perairan dan kedalaman air
Dasar perairan yang terdiri atas pecahan – pecahan karang dan pasir
kasar, dipandang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii.
Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya
gerakan air yang baik. Lokasi budidaya yang baik untuk pengembangan
usaha budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah pada kedalaman 1
– 7 meter. Kedalaman air pada saat surut terendah minimal 0,40 meter.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pada kedalaman perairan tersebut
sinar matahari masih dapat mencapai tanaman dan petani tetap dapat
melakukan kegiatan poduksi seperti pemasangan sarana budidaya.
c) Salinitas
Eucheuma cottonii adalah rumput laut yang bersifat stenohaline.
Organisme ini tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi.
Salinitas yang baik berkisar antara 28 – 35 ppt. Untuk memperoleh
perairan dengan kondisi salinitas tersebut harus dihindari lokasi yang
berdekatan dengan muara sungai.
d) Kecerahan
Cahaya matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis.
Dalam proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang
diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
Kecerahan perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya matahari.
58
Kecerahan perairan yang ideal adalah lebih dari satu meter. Air yang
keruh (biasanya mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya
cahaya matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi
terganggu. Di samping itu kotoran dapat menutupi permukaan thallus,
dan menyebabkan thallus tersebut membusuk dan patah. Secara
keseluruhan
kondisi
ini
akan
mengganggu
pertumbuhan
dan
perkembangan rumput laut.
e) Pencemaran
Perairan yang telah tercemar oleh limbah rumah tangga, industri, maupun
limbah kapal laut harus dihindari. Semua bahan cemaran dapat
menghambat pertumbuhan rumput laut.
f)
Ketersediaan bibit
Bibit rumput laut yang baik harus tersedia baik kuantitas maupun kualitas
secara kontinyu. Apabila di lokasi budidaya tidak tersedia bibit maka
harus didatangkan dari lokasi lain.
g) Tenaga Kerja
Tenaga kerja sebaiknya dipilih yang bertempat tinggal berdekatan
dengan lokasi budidaya terutama petani/nelayan lokal. Penggunaan
tenaga lokal dapat menghemat biaya produksi dan sekaligus membuka
peluang/kesempatan kerja.
2) Faktor Kemudahan
Pemilik usaha budidaya rumput laut biasanya memilih lokasi yang berdekatan
dengan tempat tinggal sehingga kegiatan monitoring dan penjagaan
keamanan dapat dilakukan dengan mudah. Jarak maksimum yang
direkomendasikan adalah satu kilometer. Lokasi diharapkan berdekatan
dengan sarana jalan, karena akan mempermudah dalam pengangkutan bahan,
sarana budidaya, bibit, dan hasil panen. Hal tersebut akan mengurangi biaya
pengangkutan.
3) Faktor Risiko
a) Faktor Keterlindungan
Untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan tumbuhan
rumput laut, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari pengaruh angin
59
dan gelombang yang besar. Lokasi yang terlindung biasanya didapatkan
di perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung (ada penghalang
atau pulau di depannya)
b) Faktor keamanan
Masalah pencurian dan perbuatan sabotase mungkin dapat terjadi,
sehingga upaya pengamanan baik secara individual maupun bersama –
sama harus dilakukan. Beberapa pemilik usaha berupaya menjalin
hubungan baik dengan masyarakat sekitar juga harus dilakukan.
c) Faktor Sosial
Beberapa kegiatan perikanan (kegiatan penangkapan ikan, pengumpul
ikan hias) dan kegiatan non perikanan (pariwisata, perhubungan laut,
industri, taman nasional laut) dapat berpengaruh negatif terhadap
aktivitas usaha rumput laut.
5.5.2. Pembibitan
Bibit sebaiknya dipilih dari tanaman yang masih segar yang dapat
diperoleh dari tanaman rumput laut yang tumbuh secara alami maupun dari
tanaman budidaya. Penyediaan bibit harus tepat waktu yaitu segera setelah
kontruksi rakit budidaya terpasang. Bibit yang digunakan berupa stek harus sehat,
masih muda dan banyak cabang.
Dalam penyediaan bibit sebaiknya diseleksi bibit yang baik dari hasil
panen dengan ciri – ciri :
a) Bercabang banyak, rimbun dan runcing,
b) Tidak terdapat bercak dan terkelupas,
c) Warna spesifik (cerah),
d) Thallus tidak berlendir dan layu,
e) Bagian thallus transparan dan berpigmen,
f)
Bau alami,
g) Bebas dari penyakit dan lumut efifit
h) Umur 25 – 35 hari.
i)
Berat bibit yang ditanam adalah antara 50 – 100 g/rumpun.
Selain pemilihan kriteria yang baik dalam penggunaan bibit pada kegiatan
budidaya rumput laut, hal lain yang harus diperhatikan terkait dengan penanganan
60
bibit adalah dalam transportasi dan cara pengepakan bibit. Hal – hal yang harus
diperhatikan dalam transportasi bibit antara lain adalah :
•
Bibit harus tetap dalam keadaan basah/lembab selama dalam perjalanan
•
Tidak terkena air tawar
•
Tidak terkena minyak atau kotoran – kotoran lain
•
Jauh dari sumber panas (seperti mesin kendaraan)
•
Tidak terkena sinar matahari
Sementara itu, dalam pengepakan bibit rumput laut, adapun tata cara yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
•
Karung plastik lebar sesuai dengan potongan – potongan bibit yang akan
dibawa
•
Bibit rumput laut dimasukkan ke dalam karung plastik tanpa dipadatkan
supaya bibit tidak rusak, mulut kantong kemudian diikat.
•
Bagian atas kantong dilubangi dengan diameter sekitar 1 cm untuk sirkulasi
udara. Setelah sampai di tujuan, bibit harus segera dibuka dan direndam
dalam air laut yang diberi aerasi kemudian diseleksi selanjutnya siap
dilakukan penanaman.
Dalam penyediaan bibit rumput laut, perlu diperhatikan kualitas dan
kontinyuitas bibit. Sebaiknya bibit yang digunakan untuk budidaya adalah bibit
yang berasal dari kebun bibit rumput laut yang berumur antara 25 – 35 hari.
Namun pada kenyataannya masyarakat pembudidaya belum memahami dengan
baik kegunaan dan keuntungan dari kebun bibit rumput laut tersebut, sehingga
jumlah pembudidaya yang memiliki kebun bibit sendiri masih sedikit. Kebun bibit
rumput laut merupakan unit budidaya rumput laut yang produksinya
diperuntukkan sebagai penghasil bibit bukan untuk produk rumput laut kering.
Tujuannya adalah untuk menghasilkan bibit dengan kualitas yang baik dan
adaptif. Sebagai acuan dalam pembuatan kebun bibit rumput laut telah diterbitkan
Standar Operasional Prosedur Kebun Bibit rumput laut.
5.5.3. Metode Lepas Dasar
Metode ini ideal untuk dilakukan pada perairan yang dasarnya berpasir
atau pasir berlumpur. Hal ini penting untuk memudahkan penancapan
61
patok/pancang. Metode lepas dasar merupakan metode budidaya rumput laut yang
diterapkan di wilayah perairan di Kecamatan Kuta Selatan. Penancapan patok
akan sulit dilakukan bila dasar perairan terdiri dari batu karang. Patok terbuat dari
kayu yang kuat dengan (diameter sekitar 10 cm sepanjang 1 m) yang salah satu
ujungnya diruncingi. Jarak antar patok sekitar 2,5 m. Setiap patok dipasang
berjajar dan dihubungkan dengan tali ris utama polyethylen (PE) berdiameter 8
mm. Jarak antara tali ris rentang sekitar 20 cm. Tali ris rentang yang telah berisi
ikatan tanaman direntangkan pada tali ris utama dan posisi tanaman budidaya
berada sekitar 30 cm di atas dasar perairan (perkirakan pada saat surut terendah
masih tetap terendam air). Luasan yang ideal untuk mengaplikasikan metode lepas
dasar biasanya seluas 100 m x 5 m. Luasan ini membutuhkan bahan – bahan
sebanyak ;
•
Patok kayu : panjang 1 m (diameter 10 cm) sebanyak 275 buah
•
Tali ris rentang : bahan PE (diameter 4 – 5 mm) sebanyak 10 kg
•
Tali ris utama : bahan PE (diameter 8 mm) sebanyak 15 kg
•
Tali PE (diameter 1 – 2 mm) sebanyak 1 kg
•
Bibit rumput laut sebanyak 1.000 kg (ukuran bibit biasanya 50 – 100 g/titik)
5.5.4. Budidaya Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa
Kegiatan budidaya rumput laut di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan
Benoa dilakukan di wilayah lepas pantai yang berbatasan langsung dengan
Samudera Hindia. Aktivitas budidaya rumput laut di kedua wilayah telah dikelola
dengan membentuk kelompok tani masing – masing berjumlah empat kelompok
tani di wilayah Pantai Kutuh, Desa Kutuh, dan satu kelompok tani di wilayah
Pantai Geger, Kelurahan Benoa. Lokasi pembudidayaan rumput laut di wilayah
Pantai Geger sudah mulai berkurang karena adanya proyek pembangunan hotel di
sekitar pantai dan sebagian wilayah pantai ditujukan sebagai obyek wisata.
Metode yang digunakan oleh petani dalam melakukan budidaya rumput
laut baik di Pantai Kutuh maupun Pantai Geger adalah dengan menggunakan
metode lepas dasar. Hal ini mengingat kedua wilayah pantai tersebut merupakan
perairan yang memiliki kondisi dasar perairan yang berpasir. Penanaman rumput
laut di kedua lokasi budidaya menggunakan alat berupa tali polyethylen yang
62
dibentangkan sepanjang 2,5 – 3 m, yang di sepanjang tal tersebut diikatkan
diikatkan tali rafia dengan jarak di setiap ikatan sebesar 10 – 15 cm yang
berfungsi untuk mengikat bibit rumput laut. Bibit yang digunakan oleh para petani
rumput laut di lokasi penelitian, pada umumnya diperoleh dari sebagian hasil
panen yang selanjutnya dibudidayakan kembali. Di wilayah Pantai Kutuh sendiri
sempat diwacanakan untuk menciptakan areal khusus bagi kebun bibit rumput laut
guna menciptakan keberlangsungan dalam penyediaan bibit. Namun hal ini belum
dapat terealisasi mengingat areal yang dibutuhkan adalah areal yang bebas dari
serangan penyakit tanaman pada rumput laut seperti penyakit ice – ice.
63
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Sistem Tataniaga
Tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan dari petani hingga
eksportir melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat
dalam aktivitas tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan terdiri dari
pedagang pengumpul, agen perantara (distributor) dan eksportir. Pada penelitian
ini, lokasi budidaya rumput laut yang dijadikan lokasi penelitian adalah Pantai
Kutuh yang berada di wilayah Desa Kutuh dan Pantai Geger yang termasuk di
dalam wilayah Kelurahan Benoa. Rumput laut yang diproduksi di wilayah ini
merupakan produk yang ditujukan untuk pasar ekspor, sehingga dalam penelitian
ini tidak dilakukan penelusuran hingga konsumen akhir. Skema saluran tataniaga
rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan secara keseluruhan dapat dilihat pada
Gambar 5.
Pola I ( 30 orang petani = 85,71 %)
Petani
Anggota
Kelompok
Tani
Pola I (Volume : 57,8 ton)
UD. 89
(Eksportir
di
Surabaya)
Agen Perantara
Pedagang
Pengumpul A
Petani non
Anggota
Kelompok
Tani
Pola II ( 1 orang = 2,86 %)
Pola II (Volume : 2 ton)
UD.
Rahmat
Bahari
(Eksportir)
Pedagang
Pengumpul
B
Pola III ( 4 orang petani = 11,43 %)
Pola III (Volume : 16 ton)
Gambar 5. Skema Sistem Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan
Benoa, Kecamatan Kuta Selatan
Berdasarkan skema yang terlihat pada Gambar 5, terbentuk suatu sistem
tataniaga yang merupakan kesatuan yang saling berkaitan satu sama lain antar
lembaga tataniaga. Gambar 5 menunjukkan tiga pola saluran tataniaga rumput laut
di Kecamatan Kuta Selatan yaitu :
Pola I
: Petani (melalui Kelompok Tani)
Agen Perantara
Eksportir (Surabaya)
(ditunjukkan dengan garis penghubung berwarna biru
Pola II
: Petani (Individu)
)
Pedagang Pengumpul A
Eksportir (Bali)
(ditunjukkan dengan garis penghubung berwarna merah
Pola III
: Petani (Individu)
)
Pedagang Pengumpul B
Eksportir (Bali)
(ditunjukkan dengan garis penghubung berwarna hijau
)
Aktivitas tataniaga rumput laut di tingkat petani yang berada di lokasi
penelitian terbagi menjadi dua, tataniaga rumput laut melalui kelompok tani dan
tataniaga rumput laut yang dilakukan secara individual oleh petani. Petani rumput
laut di wilayah Pantai Kutuh mengelola aktivitas tataniaga secara kelompok
maupun individu, namun aktivitas tataniaga lebih didominasi oleh petani yang
menjalankan penjualan rumput laut melalui kelompok tani. Sementara itu, petani
di Pantai Geger melakukan penjualan hasil panen rumput laut secara individu.
Petani rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan menjual hasil panen
rumput laut dalam bentuk rumput laut kering.
Pola saluran tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa
cenderung membentuk rantai tataniaga yang pendek. Hal ini mengingat bahwa
produk yang dihasilkan merupakan bahan baku (raw material) yang digunakan
bagi industri pengolahan khususnya dalam pengolahan karaginan yang diimpor
oleh beberapa negara seperti China, Philipina dan Amerika Serikat. Sedangkan
industri pengolahan rumput laut di dalam negeri masih jarang ditemui.
Petani rumput laut pada umumnya menjual seluruh hasil panen kepada
satu tujuan lembaga tataniaga. Petani di wilayah Pantai Kutuh pada umumnya
mengumpulkan hasil rumput laut kering kepada kelompok tani pada waktu yang
telah ditentukan oleh pengurus kelompok. Setelah seluruh hasil panen dari setiap
65
anggota telah terkumpul, pengurus kelompok kemudian bertugas mencari pembeli
dan melakukan negosiasi harga yang disesuaikan dengan informasi harga jual
rumput laut di pasaran. Pembeli dengan pengajuan harga tertinggi yang akan
memperoleh hasil rumput laut kering. Berbeda halnya dengan petani di wilayah
Pantai Geger. Para petani di wilayah ini melakukan penjualan rumput laut secara
individu. Masing – masing petani menjual hasil rumput laut kering kepada
pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul selanjutnya akan menjual rumput laut
kepada pihak eksportir.
6.2. Saluran Tataniaga
Saluran tataniaga atau dikenal juga sebagai saluran pemasaran adalah
sekelompok individu ataupun lembaga yang memiliki hubungan satu sama lain
dalam penyaluran produk dari produsen ke tangan konsumen. Saluran tataniaga
juga menggambarkan keterkaitan antar pelaku tataniaga rumput laut di Kecamatan
Kuta Selatan dan pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap
lembaga tataniaga sebagai upaya peningkatan nilai tambah dari rumput laut yang
dipasarkan. Penelusuran saluran tataniaga komoditi rumput laut dimulai dari pihak
petani sebagai produsen primer hingga pihak agen perantara dan eksportir yang
berada di wilayah Bali dan luar Pulau Bali (Surabaya). Penelusuran tidak
dilakukan hingga tingkat konsumen akhir karena produk rumput laut yang
disalurkan merupakan produk ekspor dengan permintaan dalam bentuk rumput
laut kering yang biasanya dijadikan sebagai bahan baku produk olahan dan
pangan di negara importir rumput laut. Lembaga tataniaga yang dijadikan
konsumen akhir dalam penelitian ini adalah pihak eksportir.
6.2.1. Saluran Tataniaga I
Saluran tataniaga I merupakan saluran yang banyak digunakan oleh petani
rumput laut yang menjadi responden dalam penelitian ini dengan persentase
responden sebesar 85,71 persen. Pada saluran tataniaga I, petani menjual hasil
panen berupa rumput laut kering secara kolektif melalui wadah kelompok tani.
Baga (2009) menyebutkan definisi kelompok tani – nelayan merupakan kumpulan
petani – nelayan yang tumbuh berdasarkan keakraban dan keserasian, selain itu
juga terdapat kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian
66
untuk bersama – sama meningkatkan produktivitas usahatani nelayan dan
kesejahteraan anggota.
Pola saluran tataniaga ini sebagian besar diterapkan oleh para petani
rumput laut di wilayah Pantai Kutuh. Pada pola saluran ini, petani responden
berasal dari empat kelompok tani rumput laut yang berada di Desa Kutuh. Pada
saluran ini jumlah rumput laut yang berasal dari empat kelompok tani tersebut
mencapai jumlah 57.800 kg rumput laut kering. Alasan petani memilih untuk
menggunakan saluran ini karena dengan berkelompok petani merasa mampu
menerima harga yang lebih baik, karena bargaining position petani menjadi lebih
kuat, dan para petani tidak perlu kesulitan dalam mencari pembeli. Berdasarkan
Saragih (2010) menyatakan bahwa salah satu hal yang patut menjadi agenda
pokok dalam upaya pengembangan sektor perikanan pada abad 21 adalah
pengembangan organisasi bisnis nelayan dan jaringan bisnis dengan sasaran
utama untuk meningkatkan kemampuan nelayan kecil merebut nilai tambah
sehingga pendapatan riil dari nelayan dapat ditingkatkan. Adanya peranan
kelompok tani dalam sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan
merupakan salah satu dari aplikasi dari upaya pengembangan di sektor perikanan
dan kelautan.
Kelompok tani rumput laut di wilayah Desa Kutuh, Kecamatan Kuta
Selatan memberikan beragam manfaat terkait hal yang mencakup kebutuhan para
anggota. Kebutuhan tersebut meliputi bantuan permodalan berupa pinjaman
kepada anggota, penyediaan sarana budidaya rumput laut hingga penyediaan
barang – barang kebutuhan sehari – hari seperti sembako. Keberadaan kelompok
tani memberikan kekuatan dalam penawaran harga jual dikarenakan kuantitas
rumput laut kering yang dikumpulkan melalui kelompok akan terakumulasi dalam
jumlah yang besar dibandingkan dengan kuantitas barang milik dari masing –
masing petani yang rata – rata mampu mengumpulkan sebanyak 200 – 300 kg
untuk satu kali periode penjualan yaitu rata – rata setiap dua bulan sekali.
Sebagian besar pihak eksportir rumput laut memiliki kuantitas permintaan dalam
volume yang besar yaitu 200 – 400 ton untuk satu kali pengiriman ekspor rumput
laut kering, sehingga apabila terdapat penawaran rumput laut dalam kuantitas
67
yang besar maka hal ini dinilai mampu meningkatkan efisiensi khususnya dalam
pengangkutan yang dilakukan oleh agen perantara maupun eksportir.
Kelompok tani juga berperan dalam mengontrol aktivitas standarisasi
mutu rumput laut yang dihasilkan oleh setiap anggota. Kelompok tani
memberlakukan syarat kualitas yang harus dipenuhi oleh para anggota seperti
kadar air (tingkat kekeringan) rumput laut, kebersihan dari rumput laut kering
sehingga tidak ada kotoran atau organisme laut yang menempel pada rumput laut
yang diserahkan serta telah melakukan pengemasan pada rumput laut kering
dengan menggunakan karung yang memiliki muatan sekitar 100 kg per karung.
Penetapan syarat yang ditetapkan oleh kelompok tani dalam pengumpulan rumput
laut kering ini sebagai upaya peningkatan nilai tambah terhadap hasil rumput laut
serta memenuhi permintaan dari pihak konsumen dalam hal ini agen perantara
atau eksportir. Melalui penetapan tersebut membuktikan bahwa kelompok tani
bisa memperoleh harga yang lebih tinggi yang pada saluran ini diperoleh harga
jual di tingkat petani sebesar Rp 8.600,00 per kilogram rumput laut kering
dibandingkan para petani yang mengelola aktivitas tataniaga secara individu pada
saluran II dan III dengan perolehan harga jual hanya sebesar Rp 7.000,00 per
kilogram rumput laut kering.
Kelompok tani telah menentukan penjadwalan terkait waktu penjualan
rumput laut yaitu waktu pengumpulan rumput laut kering dari setiap anggota
kelompok tani rumput laut. Waktu penjualan biasa dilakukan setiap dua bulan
sekali, hal ini disesuaikan dengan waktu periode tanam hingga panen rumput laut
dalam kondisi normal yaitu selama 45 hari. Pada waktu penjualan yang telah
ditentukan, perwakilan dari pihak kelompok mendatangi masing – masing anggota
petani rumput laut untuk mengambil hasil rumput laut kering yang selanjutnya
ditimbang dan dicatat lalu dikumpulkan di balai milik kelompok tani.
Pengangkutan hasil rumput laut kering dilakukan oleh pihak kelompok dengan
menggunakan mobil pick up yang disewa dengan sistem penyewaan per hari.
Sistem penyewaan per hari dilakukan mengingat jumlah rumput laut kering yang
harus diangkut ke balai kelompok sangat besar sehingga pelaksanaan
pengangkutan di tingkat kelompok tani bisa berlangsung dalam waktu satu hari
penuh.
68
Tahapan selanjutnya yang dilakukan oleh kelompok tani setelah
pengumpulan rumput laut kering dari masing – masing anggota adalah mencari
pembeli. Pada waktu penelitian dilakukan, pembeli yang mengajukan penawaran
berasal dari agen perantara untuk pengiriman ekspor melalui eksportir yang
berada di Surabaya dan eksportir yang berada di wilayah Bali. Dalam penentuan
pembeli ini, kelompok tani tidak memberlakukan kontrak tertentu dengan pihak
pembeli. Kelompok tani hanya diminta untuk memenuhi kesepakatan syarat
kualitas yang ditentukan oleh pembeli. Syarat yang ditetapkan pada umumnya
terkait dengan kadar air, kebersihan dan pengemasan rumput laut kering.
Penetapan harga jual di tingkat kelompok tani dilakukan dengan sistem tawar
menawar. Pengurus kelompok tani sebelumnya telah melakukan pencarian
informasi yang diperoleh melalui media internet mengenai kisaran harga jual
rumput laut kering di beberapa daerah di Indonesia. Informasi ini selanjutnya
dijadikan sebagai patokan bagi petani dalam menentukan harga jual sehingga
petani tetap memiliki kekuatan dalam penentuan harga. Keputusan penentuan
pembeli barang dari kelompok tani didasarkan pada pembeli yang mampu
memberikan harga tertinggi. Kemampuan kelompok tani dalam mengelola
penyetaraan kualitas rumput laut diantara anggota mampu menghasilkan
penetapan harga yang sesuai dengan standar harga pasar rumput laut di seluruh
Indonesia.
Pada periode penjualan saat penelitian dilakukan, pembeli rumput laut
pada kelompok tani rumput laut wilayah Pantai Kutuh berasal dari agen perantara.
Dalam penentuan harga, agen perantara murni menjalankan fungsinya sebagai
perantara antara petani (dalam hal ini kelompok) dengan pihak eksportir yang
berada di Surabaya. Sebelum keputusan pembelian dilakukan, agen memperoleh
informasi kisaran harga jual yang ditawarkan oleh kelompok tani, selanjutnya
informasi ini disampaikan kepada pihak eksportir. Apabila pihak eksportir setuju
dengan penetapan harga yang ditawarkan maka keputusan untuk melakukan
pembelian dilakukan. Pada periode penjualan saat penelitian dilakukan petani
menjual rumput laut kepada agen perantara dengan harga Rp 8.600 per kilogram
rumput laut kering. Pada waktu pembelian, agen perantara datang langsung ke
lokasi budidaya untuk mengambil barang. Pada saluran ini agen perantara
69
melakukan fungsi tataniaga berupa fungsi pengangkutan. Pengambilan barang
oleh agen perantara biasanya dilakukan dengan menggunakan truk tronton
berkapasitas 20 ton rumput laut kering. Penggunaan sarana pengangkutan berupa
truk tronton dinilai efisien dan efektif karena jumlah rumput laut kering yang
dipasok dari pihak kelompok tani dalam jumlah besar yaitu rata – rata mencapai
50 ton untuk setiap satu kali periode penjualan. Pengangkutan rumput laut kering
biasanya sudah dalam bentuk kemasan per karung dengan total berat rumput laut
kering sebesar 100 kg per karung. Setelah dilakukan pengangkutan ke dalam truk
milik agen perantara, barang langsung didistribusikan menuju Surabaya tanpa
melalui penanganan produk lebih lanjut oleh pihak agen perantara.
Rumput laut kering yang diperoleh dari pihak kelompok tani selanjutnya
dibawa oleh agen perantara menuju gudang milik eksportir yang berada di
Surabaya. Pada saat penerimaan barang, pihak eksportir akan memeriksa rumput
laut yang diterima, jika sudah sesuai dengan standar yang ditentukan maka rumput
laut kering tersebut dimasukkan ke dalam container dan siap untuk diekspor.
Eksportir yang terdapat di wilayah Surabaya ini memiliki tujuan ekspor khusus ke
negara China. Dalam aktivitas pengiriman rumput laut kering ini pihak eksportir
menggunakan sistem C and F.
6.2.2. Saluran Tataniaga II
Saluran tataniaga kedua ini juga diterapkan oleh petani rumput laut yang
berada di wilayah Pantai Kutuh, hanya saja terdapat hal yang membedakan pada
saluran ini yaitu petani yang menggunakan saluran ini tidak tergabung dalam
kelompok tani. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani rumput laut
yang berada di wilayah Pantai Kutuh, jumlah petani di wilayah Pantai Kutuh yang
tidak tergabung ke dalam kelompok tani hanya berjumlah sekitar tiga sampai
empat orang saja, namun dalam penelitian ini hanya satu orang petani yang
dijadikan sebagai petani responden karena petani rumput lain hanya menjalankan
kegiatan budidaya rumput laut sewaktu - waktu. Hal ini didasarkan pada
persyaratan penentuan petani responden yaitu harus menjalankan budidaya
rumput laut sebagai rutinitas harian. Pada saluran ini, petani menjual hasil panen
rumput laut kepada pihak pedagang pengumpul yang berasal dari Desa Sawangan
yang masih termasuk dalam Kecamatan Kuta Selatan. Pada penelitian ini terdapat
70
dua pedagang pengumpul yang terlibat dan pada saluran I pedagang pengumpul
yang terlibat diberi sebutan sebagai pedagang pengumpul A.
Pedagang pengumpul A bertugas mengumpulkan hasil panen rumput laut
kering dari para petani. Pada saluran tataniaga II ini ada yang membedakan antara
kegiatan pascapanen yang dilakukan oleh petani pada saluran tataniaga II
dibandingkan dengan petani rumput laut pada saluran tataniaga I. Pada saluran ini
petani hanya melakukan penjemuran terhadap hasil panen rumput laut. Setelah itu,
hasil rumput laut kering selanjutnya diserahkan langsung kepada pihak pedagang
pengumpul, tanpa melakukan proses pengemasan terhadap rumput laut kering
yang dihasilkan. Sehingga dalam aktivitas tataniaga pada saluran tataniaga ini
petani tidak mengeluarkan biaya tataniaga.
Pedagang pengumpul A selanjutnya menyerahkan rumput laut kering yang
dikumpulkan dari para petani kepada pihak eksportir. Eksportir yang dijadikan
tujuan penyaluran rumput laut kering umumnya merupakan pelanggan tetap di
setiap periode penjualan. Pedagang pengumpul menyerahkan hasil rumput laut
kering yang sudah dikemas dalam karung. Pedagang pengumpul pada saluran II
ini melakukan pengemasan serta penyortiran kembali terhadap hasil rumput laut
kering yang diterima dari petani sebelum diserahkan kepada eksportir. Pihak
eksportir selanjutnya yang akan mendatangi langsung ke pedagang pengumpul.
Eksportir rumput laut ini berada di wilayah Bali. Pihak eksportir
selanjutnya mengirimkan langsung hasil rumput laut kering ke negara tujuan
ekspor melalui pelabuhan yang ada di Jawa Timur. Sebelum mengirimkan hasil
rumput laut kering untuk ekspor, pihak eksportir terlebih dahulu melakukan
penyortiran dan pengepakan kembali terhadap hasil rumput laut kering yang
diterima dari pihak pedagang pengumpul. Eksportir melakukan pengemasan
rumput laut kering kembali dengan ukuran yang sama. Eksportir terkadang juga
harus melakukan penjemuran kembali terhadap hasil rumput laut yang diterima.
Penanganan ini dilakukan untuk memperoleh rumput laut dengan standar kualitas
ekspor yang telah ditentukan.
6.2.3. Saluran Tataniaga III
Saluran tataniaga ketiga memiliki pola yang sama dengan saluran
tataniaga kedua. Petani pada saluran tataniaga ketiga ini berasal dari wilayah
71
Pantai Geger yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta
Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Para petani responden pada saluran ketiga ini
juga memasarkan rumput laut secara individu. Petani di wilayah ini juga
membentuk wadah kelompok tani namun tidak menaungi kegiatan pemasaran
rumput laut para anggota petani rumput laut di kawasan Pantai Geger.
Sama halnya dengan petani pada saluran II, pada saluran ini petani
menjual hasil panen rumput laut kering kepada pedagang pengumpul, namun
dengan pihak pedagang pengumpul yang berbeda dari pedagang pengumpul yang
terdapat pada saluran tataniaga II. Pada saluran ini pedagang pengumpul yang
terlibat diberi sebutan sebagai pedagang pengumpul B. Pedagang pengumpul B
akan mendatangi langsung ke lokasi pondok – pondok milik petani rumput laut.
Pada saluran ini petani juga melakukan penjemuran terhadap hasil panen rumput
laut yang dibawa dari pantai. Pada saat periode penjualan, pedagang pengumpul B
akan datang serta melakukan pengemasan terhadap rumput laut kering ke dalam
karung dan selanjutnya dibawa ke gudang milik pedagang pengumpul. Pedagang
pengumpul pada saluran ini hanya menjalankan kegiatan pengemasan tanpa
penyortiran terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada pihak eksportir.
Pada saat periode penjualan yang dikaji dalam penelitian ini, pada saluran
tataniaga ketiga ini menjual kepada pihak eksportir yang sama dengan pihak
eksportir yang ada pada saluran tataniaga II. Eksportir menjalankan aktivitas
penanganan yang sama terhadap rumput laut kering dalam sistem tataniaga pada
saluran tataniaga II.
6.3. Fungsi – Fungsi Tataniaga pada Setiap Lembaga Tataniaga
Pada sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan terdiri atas
beberapa lembaga tataniaga yang terlibat. Masing – masing lembaga tataniaga
tentunya menjalankan fungsi – fungsi tataniaga dengan tujuan untuk
memperlancar proses penyaluran produk. Fungsi tataniaga yang dijalankan terdiri
dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Setiap lembaga tataniaga
dapat menjalankan lebih dari satu fungsi sesuai dengan peranan masing – masing
dalam keberlangsungan aktivitas tataniaga.
Fungsi pertukaran merupakan proses perpindahan hak milik atas suatu
barang dari produsen kepada konsumen, fungsi ini terdiri atas fungsi penjualan
72
dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan merupakan pelaksanaan dari hal – hal
yang berkaitan dengan cara penjualan serta penentuan keputusan dalam penjualan
sehingga diperoleh penetapan harga yang menguntungkan. Sementara fungsi
pembelian merupakan penentuan jenis produk yang akan dibeli sesuai dengan
kebutuhan konsumen. Pada kedua fungsi ini kegiatan utama yang dijalankan
adalah menentukan jenis, kuantitas dan mutu dari barang yang sesuai dengan
keinginan konsumen.
Fungsi fisik merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dengan
produk sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk dan kegunaan
waktu. Fungsi fisik terdiri dari beberapa aktivitas seperti penyimpanan,
pengolahan dan pengangkutan. Fungsi penyimpanan dilakukan untuk mengatur
keseimbangan suplai produk sepanjang tahun. Pada sistem tataniaga rumput laut
ini pelaksanaan fungsi penyimpanan memiliki peranan dalam membantu petani
meningkatkan kualitas produk yang dijual. Hal ini dikarenakan permintaan dari
pihak konsumen adalah rumput laut dalam bentuk kering, karena dengan
penyimpanan yang semakin lama akan meningkatkan kualitas dari rumput laut
kering yang dijual.
Sementara itu, yang menjadi bagian dari kegiatan pada fungsi fasilitas
meliputi fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko dan
fungsi informasi pasar. Kegiatan yang termasuk dalam fungsi fasilitas merupakan
kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperlancar penyaluran dan
pertukaran antara produsen dan konsumen. Lembaga – lembaga tataniaga rumput
laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan pada
umumnya menjalankan fungsi – fungsi tataniaga yang dapat dilihat pada
Lampiran 5.
Pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga pada masing – masing lembaga
memiliki perbedaan kualitas dan fasilitas yang digunakan dalam menjalankan
fungsi tataniaga. Hal ini akan menentukan nilai yang akan diperoleh di setiap
tingkat lembaga yang dapat diukur berdasarkan tingkat harga yang diperoleh.
Selain itu, perbedaan kualitas dan fasilitas yang digunakan dalam menjalankan
fungsi tataniaga akan mempengaruhi tingkat biaya di masing – masing lembaga
dalam sistem tataniaga rumput laut. Berikut ini penjelasan mengenai pelaksanaan
73
fungsi tataniaga di masing – masing pelaku dalam sistem tataniaga rumput laut di
Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.
6.3.1. Petani
Pada pelaksanaan penelitian ini, penjualan rumput laut yang dilakukan
oleh petani dibagi ke dalam dua bagian, pertama penjualan petani yang dikelola
melalui kelompok tani dan penjualan oleh petani secara individu. Perbedaan
pengelolaan dalam kegiatan penjualan di tingkat petani menimbulkan perbedaan
tingkat lembaga tataniaga yang dijadikan tujuan pemasaran rumput laut. Petani
responden menjual hasil panen rumput laut kepada pedagang pengumpul,
eksportir atau agen perantara eksportir.
Petani responden yang melakukan penjualan melalui kelompok tani pada
umumnya langsung melakukan penjualan kepada pihak eksportir yang berada di
Pulau Bali atau kepada agen perantara eksportir dari luar Pulau Bali (Surabaya).
Hal ini dikarenakan kualitas dari rumput laut yang ditawarkan telah memenuhi
standar kualitas yang ditetapkan, yaitu diantaranya kadar air 35 persen dan
kebersihan dari rumput laut kering. Kualitas yang dihasilkan tersebut sebagai
akibat adanya penanganan yang baik terhadap produk rumput laut kering yang
dilakukan oleh para petani anggota kelompok yaitu melalui pelaksanaan fungsi –
fungsi tataniaga secara optimal.
Pada periode penjualan yang berlangsung saat penelitian dilakukan, petani
yang tergabung di dalam kelompok tani khususnya petani rumput laut di wilayah
Pantai Kutuh menjual hasil panen kepada pihak agen perantara eksportir dari luar
Pulau Bali (Surabaya). Petani responden yang melakukan penjualan melalui
kelompok tani berjumlah 30 orang atau 85,71 persen dari total petani responden
yang terdapat dalam kegiatan penelitian ini. Penjualan petani rumput laut di
wilayah Pantai Kutuh dijalankan oleh empat kelompok tani dengan satu tujuan
lembaga tataniaga. Total penjualan dari empat kelompok tani rumput laut tersebut
mencapai 57.800 kg rumput laut kering kepada pihak agen perantara eksportir dari
luar Pulau Bali (Surabaya). Pihak agen perantara biasanya mendatangi langsung
gudang – gudang milik kelompok tani untuk mengambil hasil panen rumput laut.
Sementara itu, dari 35 orang petani responden, sebanyak lima orang atau
14,29 persen dari petani responden menjual hasil panen rumput laut kering secara
74
individu. Lembaga yang dijadikan sebagai tujuan pemasaran rumput laut biasanya
adalah para pedagang pengumpul yang berada di wilayah Desa Sawangan,
Kecamatan Kuta Selatan. Para petani yang menjual secara individu tidak memiliki
akses untuk menjual langsung kepada pihak agen perantara atau eksportir karena
jumlah hasil panen rumput laut kering terlampau kecil yaitu dengan rata – rata
sebanyak 100 – 200 kg rumput laut kering, sementara permintaan dari pihak agen
perantara maupun eksportir biasanya dalam jumlah satuan ton sehingga
pengambilan secara individu dari pihak agen perantara maupun eksportir ke
masing – masing petani dinilai tidak efisien. Sementara itu, pada kelompok tani
seluruh hasil panen anggota dijual secara kolektif sehingga memiliki kuantitas
yang lebih besar dalam penjualan yaitu mencapai 57.800 kg. Selain itu, para
petani yang menjual secara individu juga belum mampu memenuhi syarat standar
kualitas rumput laut kering yang diperuntukkan bagi pasar ekspor. Baik dari pihak
pedagang pengumpul maupun agen perantara datang langsung ke gudang
kelompok petani atau pondok milik petani rumput laut untuk membawa hasil
panen rumput laut kering.
Pelaksanaan fungsi pengangkutan di tingkat petani dilakukan oleh para
petani responden yang melakukan pemasaran melalui kelompok tani. Para petani
sebagai anggota dan pengurus kelompok mendatangi pondok – pondok anggota
petani untuk mengambil hasil panen rumput laut kering. Pengangkutan biasa
dilakukan dengan menggunakan kendaraan berupa pick up yang disewa oleh
pihak kelompok tani. Kegiatan pengangkutan ini biasanya dilakukan selama satu
hari penuh. Sedangkan untuk pelaksanaan fungsi penyimpanan, baik pada petani
responden yang melakukan penjualan secara kelompok maupun individu tetap
melakukan fungsi penyimpanan. Fungsi penyimpanan memiliki peranan yang
penting dalam pemasaran rumput laut. Permintaan rumput laut dalam bentuk
kering mengharuskan petani melakukan penjemuran selanjutnya melakukan
penyimpanan terhadap hasil panen rumput laut kering hingga waktu penjualan
tiba. Semakin lama rumput laut disimpan hal ini akan meningkatkan mutu rumput
laut kering yang dihasilkan.
Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan,
petani
responden
yang
melaksanakan aktivitas tataniaga pada saluran II dan saluran III hanya
75
menjalankan fungsi penjualan dan fungsi penyimpanan saja. Berbeda dengan
petani responden yang mengelola pemasaran secara berkelompok. Tataniaga
rumput laut melalui kelompok tani menuntut petani untuk melaksanakan fungsi
fasilitas yang meliputi fungsi sortasi, fungsi penanggungan risiko, fungsi
pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Pelaksanaan fungsi ini dalam rangka
meningkatkan kualitas dan tuntutan atas jaminan mutu produk karena mengingat
tujuan pemasaran dari kelompok tani adalah langsung kepada lembaga tataniaga
yang memiliki tingkat lebih tinggi dan menuntut jaminan kualitas produk yang
terbaik. Selain itu perbedaan pelaksanaan fungsi ini juga mempengaruhi tingkat
penerimaan harga rumput laut. Harga rumput laut di tingkat kelompok tani
mencapai Rp 8.600 per kilogram rumput laut kering sedangkan di tingkat petani
individu pada saluran II dan III hanya sebesar Rp 7.000 per kilogram rumput laut
kering.
Fungsi sortasi dilakukan oleh petani responden yang melakukan penjualan
melalui kelompok tani. Pada penerapan fungsi ini, kelompok tani menentukan
syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh setiap anggota dalam menyerahkan hasil
panen rumput laut kering seperti kadar air dan kebersihan dari rumput laut kering
yang diserahkan. Setelah proses pemanenan, petani melakukan fungsi penyortiran.
Sebelum rumput laut dijemur, petani terlebih dahulu melakukan penyortiran yaitu
dengan membersihkan hasil panen rumput laut, pembersihan ini dilakukan untuk
menghilangkan kotoran serta organisme laut lain yang menempel di rumput laut.
Fungsi penanggungan risiko yang dihadapi petani adalah penurunan harga
jual rumput laut akibat adanya syarat kualitas yang tidak terpenuhi, misalnya pada
kadar air dan kebersihan dari produk yang dijual. Syarat kadar air yang tidak
terpenuhi dengan baik biasanya disebabkan karena penanganan saat penjemuran
yang tidak optimal, hal ini juga bisa diakibatkan karena faktor cuaca yang tidak
menentu. Selain melaksanakan fungsi sortasi dan fungsi penanggungan risiko
sebagai fungsi fasilitas, petani dalam hal ini kelompok tani menjalankan fungsi
pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Fungsi pembiayaan dilakukan oleh
kelompok tani dengan memberikan bantuan modal dengan memberikan bantuan
yang dikenakan bunga sebesar 1 – 1,5 persen per tahun. Pinjaman ini biasa
digunakan oleh petani responden untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Fungsi
76
pembiayaan yang dijalankan oleh kelompok tani juga dilakukan dalam bentuk
penyediaan sarana budidaya rumput laut bagi para anggota. Biaya dalam
penyediaan sarana budidaya ini selanjutnya akan dipotong pada saat penjualan
hasil panen rumput laut kering sesuai dengan pengeluaran masing – masing petani
anggota. Selanjutnya adalah pelaksanaan fungsi informasi pasar yang dilakukan
oleh kelompok tani rumput laut di wilayah Pantai Kutuh. Pelaksanaan fungsi
informasi pasar adalah melalui penyampaian informasi mengenai perkembangan
harga rumput laut di seluruh wilayah Indonesia kepada anggota kelompok tani.
Pencarian informasi dilakukan oleh pengurus kelompok melalui media internet
yaitu melalui website milik JaSuDa.Net yang merupakan situs mengenai jaringan
sumber daya informasi dan teknologi rumput laut di Indonesia.
6.3.2. Pedagang Pengumpul
Pedagang pengumpul rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan
umumnya menjalankan ketiga fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fungsi
fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang
pengumpul adalah pembelian rumput laut kering dari petani dan menjual kepada
pihak eksportir yang berada di wilayah Pulau Bali. Penetapan harga baik harga
jual maupun beli di tingkat pedagang pengumpul biasanya disesuaikan terlebih
dahulu dengan informasi harga yang diperoleh dari pihak eksportir.
Fungsi fisik yang dilaksanakan berupa kegiatan pengangkutan dan
penyimpanan. Pelaksanaan kedua fungsi tersebut hampir sama dengan
pelaksanaan fungsi pada tingkat kelompok tani. Fungsi pengangkutan dilakukan
oleh pedagang pengumpul untuk mangangkut hasil panen rumput laut kering
milik petani. Kegiatan pengangkutan dilakukan dengan menggunakan alat
pengangkutan berupa mobil pick up yang mampu menampung muatan rumput laut
sebanyak delapan karung atau sekitar 800 kg rumput laut kering. Penggunaan
sarana pengangkutan dengan kapasitas tersebut mengharuskan pedagang
pengumpul berulang kali melakukan pengangkutan. Hal ini tentunya akan
mempengaruhi tingkat biaya tataniaga yang dikeluarkan untuk pengangkutan.
Selanjutnya adalah pelaksanaan fungsi penyimpanan. Para pedagang
pengumpul biasanya mengambil hasil panen rumput laut kering setiap satu bulan
sekali atau dari pihak petani yang menghubungi pedagang pengumpul langsung
77
ketika hasil rumput laut kering sudah terkumpul dalam jumlah tertentu. Hal ini
dikarenakan waktu panen yang tidak bersamaan antar para petani yang memasok
rumput laut kering kepada pihak pedagang pengumpul. Waktu pengambilan
rumput laut yang dilakukan oleh pedagang pengumpul tidak selalu berdekatan
dengan waktu penjualan terdekat dengan pihak eksportir. Adanya selisih waktu ini
mengharuskan pedagang pengumpul juga melakukan fungsi penyimpanan.
Pedagang pengumpul juga menjalankan fungsi fasilitas, terdapat
perbedaan diantara pedagang pengumpul A dan pedagang pengumpul B dalam
menjalankan fungsi fasilitas. Berdasarkan hasil wawancara dalam penelitian ini,
pedagang pengumpul A dan pedagang pengumpul B sama – sama menjalankan
fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar.
Namun pada pedagang pengumpul B tidak menjalankan fungsi sortasi. Pedagang
pengumpul A mengumpulkan rumput laut kering dari petani, setelah terkumpul
pedagang pengumpul A kembali melakukan penyortiran terhadap seluruh rumput
laut kering yang diperoleh. Penyortiran dilakukan adalah untuk memastikan
bahwa rumput laut yang akan dijual kepada eksportir bersih dari kotoran –
kotoran. Sementara itu pedagang pengumpul B akan langsung melakukan
pengemasan langsung di pondok petani dengan bantuan beberapa tenaga kerja
saat mendatangi pondok petani yang akan menjual hasil rumput laut kering. Hal
serupa juga dilakukan oleh pedagang pengumpul A, kemudian selanjutnya dibawa
menuju gudang penyimpanan milik masing - masing pedagang pengumpul.
Fungsi penanggungan risiko yang dijalankan oleh pedagang pengumpul
adalah terkait penurunan harga jual rumput laut kering jika barang yang tersedia
tidak memenuhi syarat mutu yang ditentukan oleh eksportir. Selain itu, dalam
fungsi fasilitas ini, pedagang pengumpul juga menjalankan fungsi biaya yang
membantu petani rumput laut dalam hal permodalan. Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan terhadap petani responden, petani mengatakan dalam
melakukan pinjaman kepada pihak pedagang pengumpul, tidak terdapat penetapan
bunga terhadap pinjaman yang diberikan oleh pedagang pengumpul kepada
petani. Pengembalian pinjaman akan dilakukan melalui pemotongan dari total
harga pembelian atas rumput laut kering milik petani yang diserahkan kepada
pedagang pengumpul. Jumlah pemotongan disesuaikan dengan jumlah pinjaman
78
yang diterima petani tanpa ada bunga atas pinjaman tersebut. Sedangkan dalam
menjalankan fungsi informasi pasar, pedagang pengumpul memperoleh informasi
perkembangan harga rumput laut yang diperoleh dari sesama pedagang
pengumpul dan pihak eksportir.
6.3.3. Agen Perantara
Agen perantara merupakan pihak yang memfasilitasi aktivitas tataniaga
antara petani pembudidaya rumput laut dengan pihak eksportir yang berada di luar
Pulau Bali (Surabaya). Agen perantara melakukan fungsi pertukaran dan fungsi
fisik. Pada fungsi pertukaran, agen perantara melakukan pembelian rumput laut
kering dari kelompok tani yang berada di wilayah Pantai Kutuh. Dalam aktivitas
jual beli ini biasanya dari pihak kelompok tani menghubungi pihak agen perantara
untuk memberikan informasi mengenai ketersediaan barang. Selanjutnya
penentuan harga yang akan dibayar ditentukan oleh eksportir dari Surabaya. Pada
aktivitas ini pihak agen perantara murni menjadi perantara dalam kegiatan tawar
menawar yang dilakukan antara petani dengan pihak eksportir. Setelah melakukan
kegiatan pembelian dari petani, agen perantara selanjutnya langsung mengirim
rumput laut kering tersebut menuju Surabaya. Penetapan kualitas rumput laut
yang diterima dari kelompok tani disesuaikan dengan permintaan dari pihak
eksportir.
Fungsi pengangkutan yang dilakukan oleh pihak agen perantara adalah
mengangkut hasil panen rumput laut kering dari lokasi budidaya petani ke pihak
eksportir yang berada di wilayah Surabaya. Dalam menjalankan kegiatan
pengangkutan ini, agen perantara menggunakan truk tronton dengan muatan per
truk sebesar 20 ton. Agen perantara tidak melakukan fungsi penyimpanan, karena
hasil rumput laut kering dari Pantai Kutuh langsung dikirim langsung kepada
pihak eksportir Surabaya dengan tujuan ekspor ke China. Dalam melakukan
pengiriman, seluruh biaya pengiriman dan pengangkutan yang dilakukan oleh
agen perantara ditanggung oleh pihak eksportir Surabaya. Selain itu, melalui agen
perantara pihak eksportir juga menanggung biaya penggantian karung baru bagi
kelompok tani sebagai biaya pengemasan.
79
6.3.4. Eksportir
Eksportir merupakan lembaga tataniaga akhir yang dijadikan responden
dalam penelitian ini. Eksportir yang menjadi responden dalam penelitian ini
merupakan eksportir yang berada di wilayah Pulau Bali dengan nama usaha UD.
Rahmat Bahari dan di wilayah Surabaya dengan nama usaha UD. 89. Pihak
eksportir melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Pada
fungsi pertukaran, pihak eksportir dari Surabaya melakukan pembelian melalui
agen perantara yang berada di Bali. Selanjutnya pihak eksportir juga melakukan
fungsi penjualan dengan mengekspor rumput laut kering ke China sebagai negara
tujuan ekspor. Sementara itu pihak eksportir Bali membeli hasil rumput laut
kering dari pihak pedagang pengumpul. Pihak eksportir biasanya memiliki posisi
yang lebih kuat dalam penetapan harga kepada pedagang pengumpul. Rumput laut
kering jenis Eucheuma cottonii merupakan produk ekspor. Eksportir dari wilayah
Pulau Bali ini selanjutnya akan mengekspor rumput laut kering ini ke tiga negara
tujuan ekspor, yaitu China, Filipina dan Amerika Serikat. Penjualan rumput laut
ekspor menggunakan harga dalam satuan Dollar Amerika Serikat per ton.
Pada pelaksanaan fungsi fisik, pihak eksportir Surabaya hanya melakukan
fungsi pengangkutan yaitu pemindahan hasil rumput laut kering yang dibawa dari
Bali oleh agen perantara untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam container. Pada
pengangkutan yang dilakukan oleh eksportir menggunakan sistem perhitungan
EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut), pada sistem EMKL seluruh biaya
pengangkutan telah diperhitungkan mulai dari biaya supir container, freight
hingga pengurusan dokumentasi perkapalan. Penghitungan biaya angkut ini
dibebankan sesuai dengan jumlah container. Pada proses pengangkutan, muatan
untuk satu container berkisar antara 26 – 28 ton.
Transaksi ekspor memberlakukan berbagai persyaratan dan standarisasi
tidak hanya pada produk namun juga pada prosedur pelaksanaan transaksi,
termasuk dalam proses pengiriman dan penyerahan barang. Sesuai dengan
ketentuan International Commercial Terms 2000 terdapat beberapa persyaratan
penyerahan barang oleh eksportir kepada importir, diantaranya (Ahsjar 2007) :
1) EXW (Ex Works) yaitu penyerahan barang di gudang penjual.
2) FOB (Free On Board) yaitu penyerahan barang di atas kapal.
80
3) C and F (Cost and Freight) yaitu penyerahan barang di atas kapal namun
uang tambang sudah dibayar hingga ke pelabuhan tujuan.
4) CIF (Cost, Insurance and Freight) yaitu penyerahan barang di atas kapal
namun uang tambang dan premi asuransi sudah dibayar hingga ke pelabuhan
tujuan.
Pada prosedur pengiriman ekspor rumput laut ini, UD. 89 menggunakan
sistem C and F. Dalam pelaksanaan fungsi fisik, eksportir tidak melakukan fungsi
lainnya seperti penyortiran ataupun pengemasan kembali. Hal ini dikarenakan
pihak petani dan agen perantara yang terlibat pada saluran tataniaga I mampu
memenuhi permintaan rumput laut kering sesuai dengan standar kualitas yang
telah ditetapkan.
Sedangkan pada eksportir yang berada di wilayah Bali, pelaksanaan fungsi
fisik diantaranya juga meliputi fungsi pengangkutan pada saat pengambilan
barang dari pihak pedagang pengumpul dan pengiriman barang ke luar negeri
melalui Pelabuhan Tanjung Perak di Jawa Timur. Pengangkutan ke pihak
pedagang pengumpul menggunakan truk tronton dengan kapasitas 20 ton.
Selanjutnya rumput laut kering tersebut dibawa dan disimpan di gudang milik
eksportir yang berada di Desa Munggu, Kabupaten Badung, Bali. Rumput laut
kering yang diperoleh dari pihak pedagang pengumpul kembali melalui proses
penyortiran di gudang milik eksportir. Pada proses ini menunjukkan bahwa pihak
eksportir juga melakukan fungsi fasilitas yaitu fungsi sortasi, bahkan di lokasi
gudang juga dilakukan penjemuran rumput laut kembali akibat kadar air yang
tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Selain disortir kembali selanjutnya
rumput laut kering dikemas dalam karung kemudian dipress sehingga setiap
karung memiliki ukuran yang sama dengan rata – rata berat per karung sebesar 80
kg. Hal ini memperlihatkan terdapat perbedaan teknis pelaksanaan fungsi
pengemasan yang dilakukan di tingkat eksportir dibandingkan pengemasan di
tingkat petani (kelompok tani) ataupun di tingkat pedagang pengumpul.
Pengemasan ini juga dimaksudkan untuk mempermudah proses pengangkutan
sehingga penyusunan karung – karung rumput laut dapat tersusun dengan rapi dan
tidak memakan tempat (bulky).
81
Selain fungsi pengangkutan, fungsi fisik lainnya yang dilakukan oleh
pihak eksportir di wilayah Bali adalah fungsi penyimpanan. Selanjutnya barang
dibawa ke gudang penyimpanan milik UD. Rahmat Bahari, kemudian pada waktu
yang telah ditentukan untuk pengiriman, rumput laut dibawa ke pelabuhan.
Prosedur pengiriman ke negara tujuan ekspor dibagi menjadi dua, untuk negara
China dan Filipina digunakan sistem C and F sementara itu untuk tujuan Amerika
Serikat digunakan sistem FOB. Sistem C and F mengharuskan pihak eksportir
untuk menanggung biaya pengangkutan dan biaya dokumen pengiriman,
sementara itu pada sistem FOB pihak eksportir hanya menanggung biaya
dokumen saja.
Fungsi fasilitas lain yang dilakukan oleh eksportir adalah fungsi
penanggungan risiko. Fungsi penanggungan risiko yang dihadapi oleh eksportir
adalah terkait fluktuasi harga rumput laut yang disesuaikan dengan tingkat
permintaan dunia serta fluktuasi terhadap nilai tukar mata uang. Selain itu,
persyaratan mutu rumput laut yang diterima dari petani ataupun pedagang
pengumpul yang tidak terpenuhi dengan baik. Hal ini menyebabkan eksportir
perlu melakukan penyortiran kembali terhadap rumput laut kering yang diterima.
Fungsi fasilitas lain yang dilakukan oleh eksportir adalah fungsi informasi pasar
yaitu terkait informasi pasar dan pelaksanaan kontrak yang dilakukan oleh
eksportir di wilayah Bali dengan pihak importir yang mengalami perubahan setiap
tiga bulan sekali. Sementara itu, pihak eksportir Surabaya tidak melakukan sistem
kontrak dalam kegiatan ekspor yang dilakukan.
6.4. Analisis Struktur Pasar
Analisis terhadap struktur pasar rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan
dapat dilihat melalui beberapa faktor penentu. Hal - hal yang dijadikan sebagai
landasan dalam melakukan analisis terhadap struktur pasar adalah jumlah pembeli
dan penjual yang terlibat, sifat dari produk rumput laut yang diperjualbelikan,
hambatan keluar masuk pasar, dan informasi pasar yang terjadi.
6.4.1. Jumlah Pembeli dan Penjual dalam Tataniaga Rumput Laut
Aktivitas tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa terdiri
dari beberapa lembaga tataniaga yang membentuk pola – pola saluran tataniaga.
82
Rumput laut yang dibudidayakan di wilayah ini merupakan produk dengan tujuan
pasar ekspor. Saluran tataniaga yang terbentuk menunjukkan aliran tataniaga
rumput laut dari tingkat petani hingga tingkat eksportir. Lembaga yang terlibat
dalam aktivitas tataniaga ini dimulai dari tingkat petani yang mengelola kegiatan
pemasaran rumput laut secara berkelompok dan individu.
Perbedaan pengelolaan aktivitas tataniaga di tingkat petani mengakibatkan
adanya perbedaan bargaining position para petani rumput laut. Petani yang
tergabung dalam kelompok tani pada umumnya mampu menjual hasil panen
rumput laut kepada lembaga tataniaga yang memiliki tingkatan lebih tinggi seperti
agen perantara ataupun eksportir. Para petani tersebut juga mampu memperoleh
harga yang lebih baik dibandingkan para petani yang mengelola penjualan rumput
laut secara individu. Para pembeli yang memperoleh rumput laut dari kelompok
tani bersedia membayar dengan harga yang lebih tinggi karena adanya jaminan
mutu dari produk rumput laut kering yang ditawarkan. Antara pihak kelompok
tani dan pembeli sebelumnya melakukan tawar menawar dalam penetapan harga.
Pembeli dengan penawaran harga tertinggi yang akan memperoleh hasil rumput
laut kering dari kelompok petani yang berada di kawasan Pantai Kutuh.
Para petani yang mengelola aktivitas tataniaga rumput laut secara individu
pada umumnya ketergantungan dengan keberadaan pedagang pengumpul. Kondisi
di lokasi penelitian sesuai dengan Asnawi dan Sastrawidjaja (2007) yang
menyatakan bahwa pada komoditi rumput laut, petani tidak dapat menjual
produknya langsung ke industri tetapi harus melalui jalur pedagang pengumpul.
Jumlah petani rumput laut di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa,
Kecamatan Kuta Selatan relatif lebih banyak daripada jumlah pedagang
pengumpul.
Penelitian ini terdiri dari dua orang responden dari pihak pedagang
pengumpul rumput laut. Hubungan petani dengan pedagang pengumpul umumnya
sudah bersifat langganan. Jual beli antara petani dan pedagang pengumpul tidak
terikat pada suatu kontrak khusus. Para petani rumput laut bebas menjual hasil
panen rumput laut kering kepada pedagang pengumpul manapun. Namun, karena
keterikatan dalam bantuan modal yang diberikan oleh pedagang pengumpul
83
menjadikan petani akan menjual kepada pedagang pengumpul yang sama untuk
setiap periode penjualan.
Antar pedagang pengumpul rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan
umumnya dapat dikatakan bahwa tidak terdapat persaingan. Masing – masing
pedagang pengumpul umumnya telah memiliki petani langganan yang rutin
menyerahkan hasil panen rumput laut sehingga antar pedagang pengumpul tidak
harus saling bersaing untuk memperoleh pasokan rumput laut. Penentuan harga
jual di tingkat petani biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul. Penetapan
harga yang ditentukan oleh pedagang pengumpul umumnya disesuaikan dengan
harga yang ditetapkan oleh eksportir. Pedagang pengumpul rumput laut yang
menjadi responden dalam penelitian ini pada umumnya menjual kepada satu pihak
eksportir yang sama. Pada tingkat eksportir pada umumnya memiliki jumlah
permintaan yang cukup tinggi dengan persyaratan standar mutu dari rumput laut
kering yang akan diperjualbelikan.
6.4.2. Jenis dan Sifat Rumput Laut
Pembudidayaan rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa,
Kecamatan Kuta Selatan difokuskan pada satu jenis rumput laut, yaitu Eucheuma
cottonii. Jenis rumput laut ini biasa digunakan sebagai bahan baku penghasil
karaginan. Rumput laut yang diperjualbelikan dalam aktivitas tataniaga dalam
penelitian ini merupakan rumput laut kering. Dalam tataniaga rumput laut di
Kecamatan Kuta Selatan ini tidak terdapat aktivitas grading. Rumput laut sebagai
produk yang memiliki pasar ekspor memiliki penetapan kualitas tertentu sebagai
syarat ekspor.
Standar yang ditetapkan sebagai syarat ekspor adalah kadar air dan
kebersihan rumput laut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap petani
mengatakan bahwa rumput laut yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Selatan
khususnya yang berasal dari perairan di Pantai Kutuh. Pihak agen perantara juga
menyebutkan kualitas rumput laut dari Pantai Kutuh jauh lebih baik dibandingkan
dengan rumput laut yang berada di Nusa Penida yang juga merupakan sentra
budidaya rumput laut di Pulau Bali. Kadar air yang ditetapkan sebagai standar
ekspor adalah pada kadar air 35 persen. Berdasarkan pengalaman dari pihak
petani, cara pengukuran kadar air pada rumput laut secara manual dapat dilakukan
84
dengan cara menggenggam rumput laut yang sudah kering kemudian jika telapak
tangan tetap kering maka menunjukkan kadar air sudah sesuai dengan standar
kadar air untuk rumput laut berkualitas baik. Selama masa pengeringan, rumput
laut tidak boleh terkena oleh air hujan maupun air tawar.
Selain persyaratan kadar air, hal lain yang juga harus dipenuhi untuk
rumput laut kering yang akan diekspor adalah syarat kebersihan. Rumput laut
kering harus bebas dari kotoran seperti tali rafia sisa pengikatan bibit yang
menempel pada rumput laut saat pemanenan, jenis rumput laut lain yang juga
menempel pada rumput laut jenis Eucheuma cottonii dan butiran – butiran garam
akibat penguapan air laut yang terbentuk ketika proses penjemuran.
6.4.3. Hambatan Keluar dan Masuk Pasar
Hambatan keluar dan masuk pasar menjadi salah satu hal yang dapat
dijadikan landasan dalam penentuan struktur pasar yang dihadapi masing –
masing lembaga tataniaga. Tinggi rendahnya hambatan yang akan dihadapi
tergantung dari kekuatan masing – masing lembaga yang bersangkutan. Hambatan
yang terlihat dalam aktivitas tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan
Benoa, Kecamatan Kuta Selatan diantaranya terkait dengan ketersediaan modal,
jaringan dan keterikatan yang dimiliki oleh lembaga mengingat produk ini
merupakan produk tujuan ekspor serta kemampuan dalam melakukan penanganan
pada masa pascapanen sehingga kualitas produk dapat terjamin.
Hambatan keluar dan masuk pasar rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta
Selatan dimulai dari tingkat petani. Gambaran mengenai besarnya hambatan di
tingkat petani terlihat dari berbagai aktivitas petani rumput laut yang berada di
wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan.
Ketersediaan modal yang minim di tingkat petani mengharuskan adanya lembaga
yang mampu membantu permodalan di tingkat petani. Misalnya para petani
rumput laut yang tergabung dalam kelompok tani. Para petani telah terfasilitasi
dalam hal bantuan permodalan yang diperoleh dari kegiatan kelompok seperti
penyediaan sarana produksi dan budidaya. Kekuatan kelompok tani khususnya
yang berperan dalam kegiatan produksi maupun pemasaran ini menjadi hambatan
bagi para individu yang ingin melakukan aktivitas pembudidayaan rumput laut.
85
Jumlah anggota yang besar menjadi modal kelompok karena mampu menghimpun
produksi rumput laut kering dalam kuantitas yang tinggi.
Keberadaan kelompok tani dalam mengelola aktivitas tataniaga rumput
laut bagi para petani terlihat menjadi hambatan tersendiri bagi pihak pedagang
pengumpul.
Kemampuan
kelompok
tani
untuk
menghimpun
petani
mengakibatkan adanya posisi tawar yang tinggi dalam penjualan baik dari segi
kuantitas maupun penerimaan harga jual yang lebih baik dibandingkan di tingkat
pedagang pengumpul. Selain itu kemampuan kelompok tani dalam mengelola
anggotanya untuk mengikuti standar persyaratan kualitas rumput laut yang sesuai
menjadikan suatu modal karena adanya kepercayaan di tingkat eksportir
khususnya terhadap jaminan kualitas produk, sehingga selain menghasilkan
rumput laut dalam kuantitas tinggi namun juga rumput laut berkualitas tinggi.
Sementara itu, antar pedagang pengumpul tidak terlihat hambatan yang
cukup berarti. Masing – masing pedagang pengumpul juga telah memiliki petani
yang rutin menyerahkan hasil panen rumput laut kering, walaupun jika dilihat dari
sisi kuantitas rumput laut kering yang mampu dikumpulkan biasanya jumlahnya
lebih sedikit dibandingkan di tingkat kelompok tani. Para petani yang mengelola
aktivitas tataniaga secara individu tidak memiliki kekuatan jaringan untuk
menjual langsung kepada pihak eksportir. Sebaliknya kemampuan pedagang
pengumpul dalam membina jaringan yang cukup baik dengan pihak eksportir dan
menjadikan hal ini sebagai suatu kelebihan untuk memperoleh keuntungan dalam
aktivitas tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan.
Berbeda halnya dengan hambatan keluar dan masuk pasar di tingkat
eksportir. Kebutuhan terhadap modal yang besar menjadi salah satu penghambat
bagi pendatang baru di tingkat eksportir karena kebutuhan biaya dalam
pengiriman mengingat akses pelabuhan yang harus melalui wilayah Surabaya
terlebih dahulu serta prosedur perdagangan yang berbeda di masing – masing
negara tujuan yang harus dipatuhi untuk kelancaran aktivitas tataniaga rumput
laut. Selain itu, rumput laut yang dipasarkan merupakan produk ekspor oleh
karena itu pengetahuan dan informasi mengenai standarisasi produk yang harus
dipatuhi oleh pelaku baru dalam pemasaran produk ke luar negeri (eksportir)
dapat menjadi hambatan untuk memasuki pasar.
86
6.4.4. Informasi Pasar
Ketersediaan informasi pasar dalam sistem tataniaga memiliki peranan
yang penting dalam menunjang keberlangsungan aktivitas tataniaga. Informasi
pasar yang diperlukan oleh lembaga – lembaga tataniaga diantaranya mencakup
kondisi pasar, jenis dan mutu produk yang diinginkan, serta yang paling utama
adalah mengenai informasi harga pasar yang berlaku. Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Hammond dan Dahl (1977) bahwa informasi
pasar dapat digunakan oleh para pelaku pasar dalam mengarahkan keputusan yang
akan diambil dalam mengendalikan lingkungan pasar yang dihadapi.
Informasi pasar di tingkat petani dibedakan berdasarkan pengelolaan
tataniaga yang dilakukan oleh petani, yaitu melalui individu atau kelompok. Para
petani yang mengelola aktivitas tataniaga dengan tergabung di dalam kelompok
tani dapat memperoleh informasi pasar dengan baik, salah satunya adalah dengan
memanfaatkan teknologi internet dalam pencarian informasi pasar. Pengurus
kelompok tani secara rutin terus memperbaharui informasi terkait kegiatan usaha
rumput laut di seluruh Indonesia. Informasi diperoleh dengan mengakses media
internet khususnya informasi mengenai perkembangan harga rumput laut di
Indonesia yang selanjutnya disebarkan kepada para petani anggota. Ketersediaan
informasi ini mengakibatkan petani memiliki bargaining position yang lebih baik
khususnya dalam penetapan harga. Sementara itu, petani yang mengelola
tataniaga secara individu biasanya memperoleh informasi pasar dari pedagang
pengumpul. Informasi terkait perkembangan harga yang diperoleh diantara
pedagang pengumpul biasanya bersumber dari pihak eksportir.
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dapat terlihat bahwa struktur
pasar yang dihadapi oleh petani rumput laut baik petani yang menerapkan sistem
tataniaga melalui kelompok tani cenderung menghadapi struktur pasar bersaing.
Jumlah petani yang banyak menjadikan tidak adanya kekuatan yang mendominasi
dalam memberikan pasokan rumput laut kering. Produk yang dihasilkan
cenderung homogen yaitu berupa rumput laut kering yang terstandarisasi
walaupun fakta yang terlihat di lapangan menunjukkan terdapat perbedaan
kualitas antara rumput laut kering yang dihasilkan oleh petani yang mengelola
aktivitas penjualan secara berkelompok dengan petani yang mengelola aktivitas
87
penjualan secara individu. Khusus bagi petani yang tergabung dalam aktivitas
kelompok cenderung memperoleh informasi pasar yang lebih baik karena adanya
kemampuan untuk mengakses informasi mengenai harga rumput laut di seluruh
Indonesia melalui media internet.
Berdasarkan hasil wawancara, suplai rumput laut kering yang didapat oleh
pihak agen perantara ataupun eksportir tentunya tidak hanya berasal dari para
petani yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Selatan saja. Untuk wilayah
Provinsi Bali sendiri terdapat petani dari wilayah lain seperti Nusa Penida yang
juga memasok hasil budidaya rumput laut. Pada proses penetapan harga dilakukan
dengan tawar menawar dan disesuaikan dengan harga yang berlaku di pasaran
rumput laut nasional. Kedua pihak memiliki kekuatan yang sama dalam
menentukan harga, tidak ada salah satu pihak yang memiliki bargaining position
lebih kuat. Selain itu adanya pengaruh dari penetapan harga rumput laut yang
berlaku di sentra pembudidayaan rumput laut di Indonesia terhadap tingkat harga
yang ditetapkan oleh petani khususnya yang tergabung dalam kelompok. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Sudarsono (1995) yang menyatakan bahwa pada
struktur pasar khususnya pasar persaingan sempurna pihak produsen/pedagang
dapat saja melakukan penetapan harga yang lebih tinggi dibandingkan produsen
lain namun harus berani menanggung risiko produk yang ditawarkan tersebut
tidak laku terjual.
Pedagang pengumpul dan agen perantara melakukan dua fungsi pertukaran
yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Struktur pasar yang dihadapi oleh
pedagang pengumpul rumput laut dan agen perantara sebagai penjual cenderung
menghadapi struktur pasar tidak bersaing. Pedagang pengumpul di Kecamatan
Kuta Selatan tidak berjumlah banyak, dalam penelitian ini terdapat dua responden
pedagang pengumpul yang menjadi tujuan pemasaran rumput laut dari petani
yang menjadi responden. Responden pedagang pengumpul tersebut hanya
menjual kepada satu pihak eksportir yang sudah menjadi pembeli langganan untuk
setiap periode penjualan. Pedagang pengumpul memperoleh pasokan rumput laut
kering dari responden petani yang menjalankan aktivitas penjualan secara
individu. Penentuan harga dilakukan oleh pedagang pengumpul berdasarkan
informasi dari pihak eksportir.
88
Namun jika dilihat dari sisi pedagang pengumpul ataupun agen perantara
sebagai pembeli juga menunjukkan struktur pasar yang dihadapi cenderung pada
struktur pasar tidak bersaing. Hal ini dikarenakan dalam proses pembelian masing
– masing pedagang pengumpul telah memiliki petani langganan yang memasok
rumput laut. Sementara itu, pihak agen sebagai mitra dari pihak eksportir
memiliki kekuatan untuk bersedia membayar mahal untuk rumput laut berkualitas
tinggi. Berdasarkan fakta yang terlihat di lapangan, terdapat perbedaan penetapan
harga jual di masing – masing pedagang pengumpul. Hal tersebut menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan kekuatan diantara pedagang pengumpul sehingga
struktur pasar yang dihadapi cenderung mengarah pada struktur pasar tidak
bersaing. Pada kegiatan transaksi penjualan rumput laut antara pedagang
pengumpul dengan eksportir, pihak eksportir memiliki kekuatan yang lebih tinggi
dalam penentuan harga. Namun, dalam hal ini tidak ada perjanjian yang mengikat
untuk transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan eksportir. Hal
serupa juga berlaku bagi agen perantara. Sistem kepercayaan yang telah
berlangsung dengan baik antara agen perantara dengan eksportir Surabaya
menjadikan agen perantara hanya menjual rumput laut kepada pihak eksportir
Surabaya saja dan peranan agen perantara murni sebagai penghubung antara pihak
kelompok tani dengan eksportir.
Sementara itu di tingkat eksportir juga cenderung menghadapi struktur
pasar bersaing jika dilihat dari sisi eksportir sebagai penjual. Hal ini dikarenakan
adanya persaingan antar pihak eksportir misalnya dalam penelitian ini yaitu antara
eksportir yang berada di wilayah Pulau Bali dengan eksportir yang berada di
wilayah Surabaya (Jawa Timur). Adanya persaingan tersebut mengharuskan
eksportir untuk berhati – hati dalam mengambil keputusan seperti penentuan
harga, teknik produksi dan jasa – jasa yang diberikan kepada pihak importir
karena suatu keputusan yang diambil oleh eksportir akan mempengaruhi pelaku
lainnya khususnya yang bertindak sebagai pesaing. Selain itu, produk yang
ditawarkan cenderung produk homogen yang telah terstandarisasi sesuai syarat
ekspor rumput laut. Berdasarkan Hammond dan Dahl (1977) menyatakan bahwa
pada penjualan produk yang terstandarisasi dan telah disesuaikan dengan standar
yang ditetapkan oleh pembeli maka pasar yang dihadapi cenderung pasar
89
persaingan murni. Sementara itu, jika dilihat dari sisi eksportir sebagai pembeli,
struktur pasar yang dihadapi justru cenderung mengarah pada struktur pasar tidak
bersaing karena eksportir menjadi tujuan utama dalam pemasaran rumput laut dan
eksportir juga telah memiliki jaringan yang kuat khususnya dengan pihak
pedagang pengumpul.
Pengukuran
terhadap
konsentrasi
pasar
dapat
diperoleh
melalui
pengukuran pangsa pasar rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa.
Pengukuran pangsa pasar dilakukan melalui pendekatan proporsi total produksi
rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan (pada Lampiran 4) terhadap total produksi
rumput laut di Provinsi Bali pada tahun 2009 dan 2010 (Lampiran 3). Total
produksi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan pada tahun 2009 sebesar
28.394,168 ton sedangkan total produksi rumput laut di Provinsi Bali pada tahun
2009 sebesar 135.810,9 ton sehingga produksi rumput laut di Kecamatan Kuta
Selatan memiliki pangsa pasar sebesar 20,9 persen pada tahun 2009. Pada tahun
2010 total produksi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan sebesar 29.026,358
ton sedangkan total produksi rumput laut di Provinsi Bali pada tahun 2010 adalah
sebesar 132.640,8 ton sehingga produksi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan
memiliki pangsa pasar sebesar 21,88 persen pada tahun 2010. Berdasarkan Jaya
(2001) karena nilai pangsa pasar tersebut berkisar antara 20 – 50 persen maka
struktur pasar yang dihadapi pada produksi rumput laut di Kecamatan Kuta
Selatan cenderung mengarah pada struktur pasar oligopoli ketat.
6.5. Analisis Perilaku Pasar
Perilaku pasar pada aktivitas tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta
Selatan dapat dilihat dengan mengamati kegiatan penjualan dan pembelian yang
dilakukan masing – masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, sistem
pembayaran yang diterapkan dalam transaksi jual beli dan kerjasama yang
dilakukan di setiap lembaga tataniaga. Perilaku pasar yang terbentuk akan
mencerminkan strategi yang dipilih oleh para pelaku pasar dalam mencapai tujuan
masing – masing.
90
6.5.1. Praktik Penjualan dan Pembelian
Pola saluran tataniaga yang terbentuk dalam aktivitas tataniaga rumput
laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan
memperlihatkan bahwa praktik pembelian dan penjualan dijalankan oleh seluruh
lembaga tataniaga yang terlibat kecuali di tingkat petani yang hanya menjalankan
kegiatan penjualan. Saluran tataniaga yang terbentuk diawali dari pihak petani
yang menjual hasil panen rumput laut kering. Petani yang memasarkan rumput
laut melalui kelompok menjual kepada pihak agen perantara, sementara petani
yang memasarkan secara individu menjual kepada pedagang pengumpul. Dalam
kegiatan pascapanen melalui kelompok tani, para petani anggota mengeluarkan
biaya pengangkutan dan pengemasan yang ditanggung melalui biaya operasional
kelompok. Sementara itu bagi petani yang memasarkan rumput laut secara
individu tidak mengeluarkan biaya pascapanen karena petani tidak melakukan
penanganan khusus pada hasil rumput laut kering dan langsung menjual kepada
pedagang pengumpul.
Pedagang pengumpul rumput laut membeli hasil rumput laut kering dari
para petani yang sudah menjadi langganan setiap periode penjualan. Pedagang
pengumpul selanjutnya akan menjual hasil rumput laut kering kepada pihak
eksportir yang berada di wilayah Bali. Transaksi jual beli yang dilakukan antara
pedagang pengumpul dan eksportir dilakukan secara bebas tanpa ada kontrak
tertentu yang mengikat kedua belah pihak. Sementara itu pada pihak agen
perantara, barang yang diterima dari kelompok tani sudah dalam kondisi siap
kirim. Para petani yang tergabung dalam kelompok tani telah melakukan
penyortiran dan pengemasan terhadap rumput laut kering yang dihasilkan
sehingga pihak agen perantara langsung melakukan pengangkutan dan membawa
rumput laut ke pihak eksportir yang berada di Surabaya.
6.5.2. Sistem Penentuan Harga
Tingkat pendapatan petani tentunya sangat dipengaruhi dengan tingkat
harga yang diperoleh dalam memasarkan suatu komoditi. Hal tersebut juga
nampak dalam aktivitas tataniaga rumput laut yang dijalankan oleh petani rumput
laut di Kecamatan Kuta Selatan. Perbedaan sistem pengelolaan pemasaran di
tingkat petani memberikan dampak yang cukup besar dalam mekanisme
91
penentuan harga jual rumput laut di tingkat petani. Hal tersebut memberikan
gambaran mengenai perbedaan bargaining position yang dihadapi oleh petani
rumput laut.
Pengelolaan penjualan rumput laut melalui kelompok tani memberikan
dampak positif bagi petani khususnya dalam penentuan harga jual yang diterima.
Dalam kegiatan penjualan, kelompok tani sebelumnya melakukan pencarian
informasi terkait perkembangan harga rumput laut di seluruh Indonesia. Informasi
harga ini dijadikan acuan bagi kelompok tani dalam mengajukan penawaran harga
kepada pihak pembeli yang dalam penelitian ini adalah agen perantara. Sistem
penentuan harga diantara kedua belah pihak dilakukan dengan cara tawar
menawar. Agen perantara memberikan informasi harga yang diterima dari pihak
kelompok tani kepada mitra eksportir yang berada di Surabaya. Jika pihak
eksportir tersebut telah sepakat dengan harga yang ditentukan barulah transaksi
jual beli dilaksanakan.
Berbeda halnya dengan para petani responden yang menjual hasil panen
rumput laut kering secara individu. Dalam sistem pengelolaan ini, posisi tawar
petani rendah untuk mengajukan penentuan harga jual. Penentuan harga di tingkat
petani lebih dipengaruhi oleh pedagang pengumpul. Harga beli yang ditentukan
oleh pedagang pengumpul tersebut merupakan penyesuaian terhadap harga jual
yang ditawarkan oleh pihak eksportir kepada pedagang pengumpul. Pada tingkat
eksportir, penentuan harga dilakukan melalui tawar menawar yaitu dengan
negosiasi kepada pihak importir. Informasi mengenai harga di tingkat eksportir
terkadang juga diperoleh dari para pesaing.
6.5.3. Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran yang diterapkan oleh lembaga – lembaga tataniaga
dalam penelitian ini yaitu :
1) Sistem Pembayaran Tunai
Pembayaran tunai dalam aktivitas tataniaga rumput laut ini dilakukan oleh
kelompok tani kepada anggota. Pembayaran diberikan sesuai dengan jumlah
hasil panen rumput laut kering yang diserahkan. Total pembayaran ini
selanjutnya dikurangi dengan biaya operasional yang berkaitan dengan
pemasaran rumput laut dan hutang dari masing – masing anggota yang
92
biasanya digunakan untuk pembelian sarana budidaya dan pembelian
sembako yang disediakan di balai kelompok tani. Pembayaran dengan sistem
tunai ini juga dibayarkan oleh pedagang pengumpul kepada petani rumput
laut. Pembayaran langsung disesuaikan dengan total volume penjualan dari
masing – masing petani, yang selanjutnya dikurangi dengan pembayaran
pinjaman jika petani melakukan pinjaman kepada pedagang pengumpul.
2) Sistem Pembayaran Transfer
Pembayaran ini dilakukan oleh pihak agen perantara kepada kelompok tani.
Hal ini mengingat jumlah uang yang dibayarkan tidaklah sedikit, sehingga
dilakukan pembayaran langsung melalui transfer ke rekening milik kelompok
tani. Pembayaran melalui transfer ini juga dilakukan oleh pihak eksportir
Surabaya dengan agen perantara.
3) Sistem Pembayaran Kemudian
Sistem pembayaran ini dilakukan oleh pihak eksportir kepada pedagang
pengumpul. Eksportir biasanya memberikan bayaran dimuka terlebih dahulu
sebesar 30 – 50 persen dari total penjualan, yang selanjutnya dilunasi dalam
waktu dua hari setelah penjualan. Selain itu, pembayaran dari pihak importir
kepada eksportir juga dilakukan dengan sistem pembayaran kemudian yang
dibayar melalui transfer. Mekanisme pembayaran yang dilakukan importir
kepada pihak eksportir di wilayah Bali dilakukan secara bertahap.
Pembayaran awal dilakukan saat terjadi kesepakatan jual beli, dari pihak
importir membayar 50 persen dari total penjualan, selanjutnya ketika barang
telah sampai di negara tujuan pihak eksportir akan membayar kembali
sebanyak 25 persen dan sisa pembayaran sebesar 25 persen berikutnya akan
dibayar satu minggu setelah barang sampai di negara tujuan. Sementara itu
bagi eksportir dari wilayah Surabaya, pembayaran dilakukan dengan dua
tahap. Pembayaran dimuka dibayar 50 persen ketika barang sudah dikirim,
selanjutnya jika dokumen pengiriman telah dikirim melalui faksimile lalu
dilanjutkan dengan melunasi sisa pembayaran sebesar 50 persen.
6.5.4. Kerjasama antar Lembaga Tataniaga
Kerjasama yang dilakukan oleh lembaga tataniaga yang terdapat dalam
pola saluran tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa,
93
Kecamatan Kuta Selatan adalah antara pedagang pengumpul dengan petani yang
mengelola pemasaran secara individu. Kerjasama yang dilakukan adalah terkait
mengenai hal permodalan. Pedagang pengumpul memberikan bantuan pinjaman
modal kepada para petani. Pinjaman modal yang diberikan bebas dari bunga
pinjaman, sehingga tidak memberatkan petani. Bantuan pinjaman ini juga sebagai
upaya untuk menjaga keberlanjutan pasokan rumput laut kering dari para petani
ke pihak pedagang pengumpul. Dalam pemberian pinjaman selain didasari oleh
adanya hubungan dagang tetapi juga rasa saling percaya antara petani dengan
pihak pedagang pengumpul.
6.6. Analisis Marjin Tataniaga
Penentuan tingkat efisiensi suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui
pendekatan analisis marjin tataniaga. Marjin tataniaga adalah penjumlahan dari
seluruh biaya pemasaran/tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dan
besarnya keuntungan yang diambil dalam aktivitas penyaluran komoditas dari
lembaga tataniaga yang satu ke lembaga tataniaga lainnya. Marjin tataniaga yang
diperhitungkan dalam penelitian ini berdasarkan pada pola saluran tataniaga yang
terbentuk dalam aktivitas tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan
Benoa. Dalam penelitian ini, marjin tataniaga dapat dilihat di masing – masing
lembaga tataniaga maupun secara keseluruhan di setiap saluran tataniaga.
Perhitungan marjin diperoleh dari nilai selisih antara harga jual dan harga
beli di setiap lembaga tataniaga serta selisih antara harga di tingkat petani dengan
harga di tingkat lembaga tataniaga akhir yang terdapat dalam pola saluran
tataniaga yang terbentuk. Beberapa komponen yang diperhitungkan dalam
penentuan marjin tataniaga meliputi biaya pemasaran/tataniaga dan keuntungan
yang diperoleh.
Biaya pemasaran/tataniaga merupakan seluruh biaya yang
dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam menyalurkan rumput laut dari
Kecamatan Kuta Selatan sampai ke tangan eksportir. Biaya tataniaga yang
dikeluarkan oleh masing – masing lembaga tergantung dari banyaknya
penanganan terhadap rumput laut atau fungsi – fungsi tataniaga yang dijalankan.
Biaya yang dikeluarkan dalam penyaluran komoditi rumput laut meliputi biaya
pengangkutan, biaya tenaga kerja, biaya pengemasan, retribusi dan biaya lainnya.
Sedangkan nilai keuntungan diperoleh dari pengurangan harga jual terhadap harga
94
beli yang telah ditambah dengan biaya pemasaran yang dikeluarkan. Rincian
perhitungan marjin tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa
dapat dilihat pada Lampiran 9.
Lampiran 9 menunjukkan tingkat marjin yang diperoleh pada masing –
masing lembaga tataniaga serta marjin yang terbentuk dalam setiap pola saluran
tataniaga seperti skema yang terbentuk pada Gambar 5. Penentuan efisiensi
menurut marjin tataniaga pada suatu saluran dilihat dengan membandingkan nilai
marjin yang ada pada setiap saluran. Semakin kecil marjin yang diperoleh maka
saluran tataniaga tersebut dianggap semakin efisien. Berdasarkan Lampiran 8,
terlihat bahwa terdapat perbedaan harga jual di tingkat petani. Hal ini terlihat
antara harga jual pada saluran I terhadap harga jual di saluran II dan III dengan
selisih harga sebesar Rp 1.600,00 per kilogram rumput laut kering. Perbedaan
harga ini diakibatkan karena adanya perbedaan sistem pengelolaan penjualan yang
diterapkan oleh petani rumput laut. Pada saluran I pengelolaan penjualan
dilakukan melalui kelompok tani sementara pada saluran II dan III petani rumput
laut mengelola pemasaran secara individu.
Perbedaan sistem pengelolaan aktivitas tataniaga di tingkat petani juga
mengakibatkan adanya perbedaan struktur biaya pascapanen yang dikeluarkan
oleh petani. Pada petani yang tergabung dalam kelompok tani terdapat biaya
tataniaga yang dikeluarkan sebagai biaya operasional kelompok untuk
memperlancar aktivitas tataniaga yang dijalankan. Selain itu, kelompok tani
memiliki tujuan pemasaran langsung kepada agen perantara dari eksportir yang
terdapat di Surabaya, sehingga jaminan mutu serta penyaluran produk harus
melalui penanganan yang baik misalnya saja terkait pengemasan yang dilakukan
oleh kelompok tani untuk tetap menjaga kualitas rumput laut selama proses
pengangkutan. Sementara itu pada tingkat petani di saluran II dan III tidak
terdapat pengeluaran untuk biaya tataniaga. Petani pada kedua saluran ini
umumnya hanya menyerahkan rumput laut kering langsung kepada pihak
pedagang pengumpul tanpa melakukan pengemasan terhadap hasil panen yang
diperoleh.
Biaya tataniaga tertinggi dalam sistem tataniaga rumput laut yang ada di
Kecamatan Kuta Selatan terdapat pada saluran tataniaga II yaitu sebesar Rp
95
1.126,41 untuk setiap kilogram rumput laut kering. Tingginya biaya tataniaga
pada saluran ini dipengaruhi oleh jumlah lembaga tataniaga yang terlibat serta
banyaknya penerapan fungsi – fungsi tataniaga yang dijalankan oleh masing –
masing lembaga yang terlibat di dalam saluran. Sementara itu, pada saluran
tataniaga I, biaya tataniaga yang dikeluarkan merupakan biaya tataniaga terkecil
diantara tiga pola saluran tataniaga yang terbentuk. Biaya tataniaga yang
dikeluarkan pada saluran I adalah sebesar Rp 523,94 per kilogram rumput laut
kering. Rendahnya biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran ini karena
dalam saluran ini terdapat upaya yang optimal dalam memenuhi standar kualitas
bagi rumput laut yang akan diekspor, sehingga tidak terjadi pelaksanaan fungsi
tataniaga yang berulang di setiap lembaga tataniaga, karena pengulangan
pelaksanaan fungsi ini akan mengakibatkan biaya tataniaga yang berlipat yang
dikeluarkan dalam saluran tataniaga. Pada saluran tataniaga III terbentuk pola
yang sama dengan saluran II, namun terdapat perbedaan pelaksanaan fungsi
tataniaga dan penanganan produk yang dilakukan di tingkat pedagang pengumpul,
berupa penyortiran kembali di tingkat pedagang pengumpul yang mampu
meningkatkan nilai tambah dari rumput laut yang akan dijual kepada pihak
eksportir sehingga mempengaruhi tingkat perolehan marjin yang diinginkan.
Keuntungan terbesar terdapat pada saluran tataniaga III dengan
keuntungan sebesar Rp 1.846,09. Keuntungan yang tinggi ini akibat standarisasi
yang tidak terlaksana dengan baik khususnya di tingkat petani. Hal ini
mengakibatkan lembaga tataniaga khususnya di tingkat eksportir perlu melakukan
penanganan yang lebih dengan pelaksanaan fungsi yang berulang terhadap rumput
laut yang diterima sehingga pihak eksportir perlu mengeluarkan biaya tataniaga
yang lebih tinggi. Total biaya yang dikeluarkan tinggi akibat semakin banyak
fungsi tataniaga yang dijalankan oleh suatu lembaga tataniaga maka akan semakin
besar pengharapan marjin yang ingin didapatkan dari aktivitas tataniaga yang
dijalankan, begitu juga halnya pada tingkat eksportir pada pola saluran tataniaga
III. Sementara itu, pada saluran tataniaga I memiliki keuntungan terkecil dengan
nilai keuntungan sebesar Rp 809,06 per kilogram rumput laut kering. Pada saluran
ini petani memiliki kemampuan dalam mengakses informasi harga yang berlaku
di pasaran serta adanya upaya menjamin kualitas rumput laut yang ditawarkan
96
merupakan bentuk nilai tambah yang diberikan sehingga dapat memotong marjin
yang akan terbentuk dalam saluran, sehingga keuntungan pun akan semakin kecil.
Pada sistem tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Keurahan Benoa,
Kecamatan Kuta Selatan yang dianalisis dalam penelitian ini terdapat perbedaan
kualitas rumput laut yang diperdagangkan pada saluran I dengan saluran II dan
III. Perbedaan harga di tingkat petani dipengaruhi oleh tingkat kualitas rumput
laut kering yang dihasilkan oleh petani. Pada saluran I, rumput laut kering yang
dijual dengan harga Rp 8.600 per kilogram merupakan rumput laut kering
berkualitas baik dengan kadar air 35 persen, sementara pada saluran II dan III
memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan rumput laut pada saluran I.
Pada waktu penelitian tidak diperoleh informasi kadar air pada rumput laut kering
yang diperdagangkan pada saluran II dan III. Melalui perhitungan dengan asumsi
bahwa semakin tinggi kadar air yang dihasilkan maka perolehan harga rumput
laut di tingkat petani akan semakin kecil, maka diperoleh nilai kadar air rumput
laut kering pada saluran II dan III sebesar 43 persen.
Perbandingan antar saluran dapat dilakukan dengan menyetarakan kualitas
rumput laut kering yang diperjualbelikan pada masing – masing saluran tataniaga.
Dalam analisis marjin tataniaga pada penelitian ini dilakukan perhitungan dengan
asumsi dilakukan peningkatan kualitas rumput laut kering pada saluran II dan III
melalui peningkatan kualitas kadar air dari kondisi awal dengan nilai kadar air 43
persen menjadi 35 persen. Penurunan kadar air sebesar delapan persen ini
menunjukkan peningkatan kualitas rumput laut kering sehingga akan berdampak
pada peningkatan harga jual di tingkat petani pada saluran II dan III dari
penetapan harga awal Rp 7.000 menjadi Rp 8.540 per kilogram rumput laut
kering.
97
Tabel 13. Perhitungan Marjin Tataniaga setelah Peningkatan Kualitas Rumput
Laut Kering
Saluran
I
II
III
Unsur
Kelompok
Tani/Petani
Harga Jual
Biaya Tataniaga
Margin
Keuntungan (π)
Pedagang
Pengumpul
Harga Beli
Harga Jual
Biaya Tataniaga
Margin
Keuntungan (π)
Agen Perantara
Harga Beli
Harga Jual
Biaya Tataniaga
Margin
Keuntungan (π)
Eksportir
Harga Beli
Harga Jual
Biaya Tataniaga
Margin
Keuntungan (π)
Total
Biaya
Tataniaga
Total Keuntungan
Total Marjin
Rp/kg
8.600,00
120,33
186,00
65,67
%
88,23
1,23
1,91
0,67
Rp/kg
%
Rp/kg
%
8.540,00
119,49
86,02
1,20
8.540,00
119,49
86,02
1,20
8.540,00
8.949,00
82,95
409,00
326,05
86,02
90,14
0,84
4,12
3,28
8.540,00
8.703,00
45,97
163,00
117,03
86,02
87,67
0,46
1,64
1,18
8.600,00
8.750,00
150,00
150,00
0
88,23
89,77
1,54
1,54
8.750,00
9.747,00
253,61
997,00
743,39
523,94
89,77
100,00
2,60
10,23
7,63
5,38
8.949,00
9.927,50
413,16
978,50
565,34
90,14
100,00
4,16
9,86
5,69
8.703,00
9.927,50
416,00
1.224,50
808,34
87,67
100,00
4,19
12,33
8,14
615,60
6,20
581,62
5,86
809,06
1.333,00
8,30
13,68
891,39
1.387,50
8,98
13,98
925,37
1.387,50
9,32
13,98
Peningkatan kualitas rumput laut kering ini mengakibatkan terjadinya
pengeluaran biaya tataniaga di tingkat petani. Peningkatan kualitas akan
memperkecil marjin tataniaga pada saluran tataniaga II dan III. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 13. Melalui peningkatan kualitas melalui penurunan kadar air
sebesar delapan persen mampu memperkecil marjin sebesar 53 persen atau
menurun dari nilai Rp 2.927,50 menjadi Rp 1.387,50. Adanya upaya tersebut
dinilai mampu meningkatkan efisiensi saluran terbukti dengan adanya penurunan
nilai marjin dan adanya peningkatan kualitas rumput laut yang diproduksi.
98
Sementara saluran I tetap menghasilkan nilai marjin tataniaga terkecil yaitu
sebesar Rp 1.333,00 per kg rumput laut kering.
6.7. Analisis Farmer’s Share
Farmer’s share merupakan bagian yang diterima petani dalam suatu
aktivitas tataniaga dan dinyatakan dalam bentuk persentase. Nilai farmer’s share
diperoleh melalui perbandingan harga yang diterima di tingkat petani terhadap
harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir. Pada penelitian ini, lembaga yang
dijadikan sebagai konsumen akhir dalam aktivitas tataniaga rumput laut adalah
pihak eksportir dengan menggunakan tingkat harga jual rumput laut kering saat
diekspor ke negara tujuan.
Nilai farmer’s share memiliki hubungan yang negatif dengan nilai marjin
pemasaran yang terbentuk dalam suatu saluran tataniaga. Semakin tinggi farmer’s
share yang diperoleh petani pada suatu saluran tataniaga maka saluran tersebut
dinilai efisien. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa farmer’s share yang
tinggi tidak selalu mencerminkan bahwa aktivitas tataniaga tersebut berjalan
efisien. Hal ini tergantung dari upaya yang dilakukan oleh lembaga tataniaga yang
terlibat dalam memberikan value added pada produk sehingga produk yang
dihasilkan sesuai dengan keinginan konsumen. Nilai farmer’s share yang diterima
oleh petani dalam aktivitas tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan
dapat dilihat pada Lampiran 10.
Berdasarkan data yang tersaji pada Lampiran 10, bagian terbesar yang
diterima petani terdapat pada saluran tataniaga I dengan nilai farmer’s share
sebesar 88,23 persen. Pada Saluran I, dalam penelitian ini penelusuran saluran
tataniaga dilakukan hingga tingkat eksportir sama halnya dengan saluran II dan
III. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak agen perantara, rumput laut
kering yang diperoleh selanjutnya didistribusikan kepada pihak eksportir yang
berada di Surabaya (Jawa Timur). Pihak eksportir tersebut kemudian akan
mengekspor rumput laut kering dengan tujuan ke negara China. Dalam
perhitungan nilai farmer’s share pada saluran I pembanding untuk nilai harga di
tingkat eksportir adalah harga yang ditetapkan dalam penjualan rumput laut ke
China pada saat periode penjualan bulan Januari/Februari 2012 yaitu US $ 1.080
per ton rumput laut kering.
99
Sementara itu pada saluran II dan III nilai farmer’s share yang dihasilkan
pada masing – masing saluran adalah 70,51 persen. Pada saluran II dan III
terdapat pengulangan pelaksanaan fungsi tataniaga yang sama antar lembaga
tataniaga. Misalnya saja di tingkat petani telah melakukan penjemuran rumput
laut, namun hal tersebut tidak dilakukan sesuai standar kualitas yang ditentukan,
hal ini menyebabkan eksportir pada saluran II dan III harus melakukan
penjemuran kembali. Pengulangan pelaksanaan ini akan mengakibatkan biaya
tataniaga yang berlipat yang akan mempengaruhi penentuan harga yang akan
dibayar oleh konsumen akhir sehingga harga yang diterima konsumen semakin
tinggi dan persentase terhadap harga di tingkat petani akan semakin kecil. Pada
saluran II dan III, sumber informasi harga di tingkat eksportir diperoleh langsung
dari pihak eksportir. Pihak eksportir pada saluran II dan III memiliki tujuan
ekspor ke lebih dari satu negara, yaitu Filipina, China dan Amerika Serikat. Pada
analisis nilai farmer’s share digunakan tingkat harga ekspor ke Filipina yaitu
sebesar US $ 1.100 per ton rumput laut kering. Penggunaan harga ekspor ke
Filipina didasarkan pada alasan karena ekspor rumput laut yang dilakukan
eksportir ke Filipina merupakan ekspor dengan volume terbesar yaitu sebanyak
200 ton pada setiap periode penjualan dibandingkan ke China dan Amerika
Serikat dengan volume impor rumput laut kering dari masing – masing negara
sebesar 100 ton. Penyetaraan harga di tingkat eksportir pada masing – masing
saluran menggunakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang
berlaku pada tanggal 23 Januari 2012 yaitu saat periode penjualan dilakukan
dengan nilai kurs sebesar Rp 9.025,00/US $.
Tabel 14. Farmer’s Share setelah Peningkatan Kualitas Rumput Laut Kering
Saluran Tataniaga Harga di Tingkat
Harga di Tingkat
Farmer’s Share
Petani (Rp/kg)
Eksportir (Rp/kg)
(%)
Saluran I
8.600,00
9.747,00
88,23
Saluran II
8.540,00
9.927,50
86,02
Saluran III
8.540,00
9.927,50
86,02
Pada perhitungan nilai farmer’s share juga dirumuskan perubahan
farmer’s share yang akan diterima petani apabila dilakukan peningkatan kualitas
rumput laut kering yang dijual petani pada saluran II dan III. Nilai farmer’s share
100
yang dihasilkan akibat adanya perbaikan kadar air dapat dilihat melalui data yang
tersaji pada Tabel 14. Jika dilihat, ketika terjadi penyamaan standar kualitas,
tingkat harga di petani yang tergabung dalam pemasaran kelompok tani (saluran I)
dengan petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani (saluran II dan III)
memiliki perbedaan harga hanya sebesar Rp 60,00 per kilogram rumput laut
kering. Namun, petani yang tergabung dalam pemasaran kelompok tetap memiliki
manfaat lebih karena memperoleh berbagai fasilitas dari kelompok seperti bantuan
pinjaman permodalan serta pembelian kebutuhan sehari – hari yang bisa
difasilitasi dari hasil penjualan yang diperoleh dari kelompok tani.
Data pada Tabel 14 juga menunjukkan bahwa peningkatan kualitas
melalui penyetaraan kadar air rumput laut juga akan mengakibatkan perubahan
nilai farmer’s share dari kondisi awal sebesar 70,51 persen menjadi 86,02 persen
atau meningkat sebesar 10,11 persen. Pada analisis nilai farmer’s share yang
dilakukan berdasarkan kondisi riil pada saat waktu penelitian yang tersaji pada
Lampiran 10 maupun saat dilakukan upaya untuk peningkatan dan penyetaraan
standar kualitas yang tersaji pada Tabel 14 menunjukkan bahwa saluran tataniaga
I merupakan saluran yang dinilai paling menguntungkan bagi petani rumput laut
karena memiliki nilai farmer’s share terbesar.
6.8. Rasio Keuntungan dan Biaya
Biaya tataniaga merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh lembaga
tataniaga dalam menyalurkan rumput laut dari tingkat petani hingga tingkat
konsumen akhir yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram rumput laut
kering. Sedangkan nilai keuntungan diperoleh dari selisih marjin tataniaga dengan
biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam pelaksanaan aktivitas tataniaga. Rasio
keuntungan terhadap biaya dalam saluran tataniaga menunjukkan besarnya
keuntungan yang akan diperoleh setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan untuk
biaya tataniaga. Rincian mengenai keuntungan dan biaya yang terdapat pada
masing – masing saluran tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan dapat
dilihat pada Lampiran 11.
Pada saluran tataniaga I total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 523,94 per
kilogram rumput laut kering. Petani dalam saluran ini mengeluarkan biaya
tataniaga berupa biaya operasional dalam kelompok tani dengan biaya sebesar Rp
101
120,33. Pemenuhan biaya ini diperoleh dari nilai marjin yang ditetapkan oleh
kelompok tani namun tetap mengutamakan kesejahteraan anggota petani. Oleh
karena itu, dalam aktivitas tataniaga rumput laut ini kelompok tani tidak
memperoleh keuntungan yang cukup besar. Hal ini terlihat dari rasio keuntungan
terhadap biaya yang diperoleh di tingkat kelompok tani hanya sebesar 0,55. Biaya
terbesar dikeluarkan di tingkat eksportir dengan biaya sebesar Rp 253,61 per
kilogram dengan nilai rasio terbesar pula senilai 2,93. Nilai rasio menunjukkan
bahwa setiap Rp 100/kg biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh eksportir akan
menghasilkan keuntungan sebesar Rp 293/kg. Pada saluran ini, tidak terdapat
keuntungan yang diperoleh di tingkat agen perantara. Berdasarkan wawancara
yang dilakukan, agen perantara melakukan kegiatan pengangkutan rumput laut ini
sebagai usaha sampingan. Kegiatan usaha utama dari agen perantara adalah
mengangkut berbagai macam kebutuhan pokok dari Surabaya menuju Bali dan
pengangkutan rumput laut ini dilakukan untuk mengisi kekosongan muatan truk
tronton milik agen dari Bali menuju Surabaya. Selain itu, menurut agen perantara,
pihaknya tetap memperoleh keuntungan tanpa memperhitungkan kegiatan
pengangkutan rumput laut yang dijadikan usaha sampingan ini. Oleh karena itu,
nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang diperoleh pada tingkat agen perantara
bernilai nol.
Aktivitas pada saluran tataniaga II dan III memiliki pola saluran yang
sama sehingga pada kedua saluran ini terdapat kesamaan struktur biaya tataniaga
yang dikeluarkan karena memiliki tujuan konsumen akhir yaitu pihak eksportir
yang sama. Pada tingkat eksportir biaya tataniaga yang dikeluarkan pada kedua
saluran adalah Rp 1.025,00 per kilogram rumput laut kering. Namun tingkat
keuntungan yang diperoleh pada tingkat eksportir berbeda, pada saluran II pihak
eksportir hanya memperoleh keuntungan sebesar Rp 1.402,50 sementara pada
saluran III diperoleh keuntungan sebesar Rp 1.702,50 per kilogram rumput laut
kering. Perbedaan ini akibat adanya pengaruh dari tingkat biaya tataniaga yang
dikeluarkan oleh pedagang pengumpul. Pada saluran II, pedagang pengumpul I
mengeluarkan biaya sebesar Rp 101, 41 per kilogram rumput laut kering dengan
perolehan keuntungan sebesar Rp 398,59 per kilogram. Sementara pada pedagang
pengumpul II yang berperan dalam saluran tataniaga III mengeluarkan biaya
102
sebesar Rp 56,41 dengan keuntungan Rp 143,59 per kilogram rumput laut kering.
Perbedaan biaya tataniaga ini diakibatkan karena adanya perbedaan kuantitas
rumput laut yang diperjualbelikan saat periode penjualan pada waktu penelitian
ini dilakukan. Pedagang pengumpul I hanya mampu menjual dua ton rumput laut
kering kepada eksportir, sementara itu pedagang pengumpul II mampu
mengumpulkan sebanyak 16 ton rumput laut kering. Perbedaan kuantitas dalam
penjualan ini menunjukkan tingkat efisiensi biaya yang dikeluarkan oleh masing –
masing pedagang pengumpul.
Sementara itu, perbedaan keuntungan diantara pedagang pengumpul
diakibatkan adanya pelaksanaan fungsi tataniaga yang berbeda diantara kedua
pengumpul. Pada pedagang pengumpul I terdapat pelaksanaan fungsi penyortiran
yang tidak dilakukan oleh pedagang pengumpul II. Hal ini mengakibatkan posisi
pedagang pengumpul I lebih baik dalam menjamin kualitas produk rumput laut
yang dijual sehingga dapat memperoleh marjin yang lebih tinggi yang
mengakibatkan tingginya keuntungan yang dapat diperoleh.
Tabel 15. Rasio Keuntungan dan Biaya setelah Peningkatan Kualitas Rumput
Laut Kering
Saluran Tataniaga
Lembaga Tataniaga
I
II
III
Kelompok Tani
65,67
Πi (Rp)
120,33
Ci (Rp)
0,55
Rasio πi/Ci
Pedagang Pengumpul
Πi (Rp)
326,05
117,03
Ci (Rp)
82,95
45,97
Rasio πi/Ci
3,93
2,55
Agen Perantara
0
Πi (Rp)
150,00
Ci (Rp
0
Rasio πi/Ci
Eksportir
743,39
Πi (Rp)
565,34
808,34
253,61
Ci (Rp)
413,16
416,16
2,93
Rasio πi/Ci
1,37
1,94
Total
809,06
Πi (Rp)
891,39
925,37
523,94
Ci (Rp)
615,60
581,62
1,54
Rasio πi/Ci
1,45
1,59
103
Dalam membandingkan tingkat rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga
dari masing – masing saluran juga perlu dilakukan penyamaan standarisasi
kualitas rumput laut kering yang diperjualbelikan di tingkat petani pada setiap
saluran tataniaga yang terbentuk. Berikut ini adalah rumusan perhitungan rasio
keuntungan terhadap biaya tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan
setelah dilakukan penyetaraan standar kualitas rumput laut dengan meningkatkan
kualitas kadar air. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 15, menunjukkan
bahwa setelah adanya peningkatan kualitas terhadap hasil rumput laut kering
terjadi penurunan pada nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran II dan
III dengan nilai masing – masing yaitu 1,45 pada saluran II dan 1,59 pada saluran
III.
Penurunan nilai tersebut menunjukkan bahwa terjadi penambahan biaya
tataniaga yang dikeluarkan dalam menjalankan tataniaga rumput laut pada saluran
II dan III. Namun, hal ini dinilai efisien karena penambahan biaya yang dilakukan
bertujuan untuk memberikan nilai tambah pada rumput laut kering yang
diperdagangkan melalui adanya peningkatan kualitas. Peningkatan kualitas ini
juga sebagai upaya untuk memenuhi kepuasan konsumen akhir pada saluran ini
yaitu pihak eksportir. Penetapan rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga baik
berdasarkan data yang tersaji pada Lampiran 11 maupun Tabel 15 menunjukkan
bahwa nilai rasio pada saluran I dinilai relatif lebih efisien karena dapat dilihat
bahwa biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran I relatif lebih rendah
dibandingkan pada saluran II dan III. Pada Tabel 15 saluran I mampu
menghasilkan kualitas rumput yang setara diantara ketiga saluran yang ada
dengan mengeluarkan biaya tataniaga paling rendah dibandingkan dua saluran
lainnya.
6.9. Efisiensi Tataniaga
Efisiensi merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam suatu
aktivitas tataniaga. Sistem tataniaga dapat dikatakan terlaksana secara efisien
apabila kepuasan dari setiap pihak/lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan
sistem tataniaga dapat tercapai. Pihak atau lembaga tidak hanya terdiri dari para
pelaku yang terlibat dalam proses penyaluran produk, melainkan hingga tingkat
konsumen akhir. Hal yang dapat dijadikan sebagai indikator penentu efisiensi dari
104
suatu aktivitas tataniaga diantaranya pola saluran tataniaga yang terbentuk,
penerapan fungsi tataniaga dalam penyaluran produk, struktur pasar, perilaku
pasar dan nilai marjin tataniaga serta farmer’s share yang terbentuk.
Pada penentuan efisiensi tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan
dilakukan penyetaraan standarisasi kualitas rumput laut kering pada setiap saluran
tataniaga untuk membandingkan nilai efisiensi masing – masing saluran.
Komponen – komponen yang diperhitungkan dalam menentukan nilai efisiensi
tataniaga diperoleh dari hasil perhitungan pada kondisi kualitas rumput laut kering
dengan kadar air sebesar 35 persen.
Tabel 16.
Nilai Efisiensi Pemasaran pada masing – masing Pola Saluran
Tataniaga Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan
Saluran
Harga
Total Biaya
Tataniaga
(Rp/kg)
(Rp/kg)
Marjin (%)
Farmer’s
Share (%)
π/C
Saluran I
8.600,00
523,94
13,68
88,23
1,54
Saluran II
8.540,00
615,60
13,98
86,02
1,45
Saluran III
8.540,00
581,62
13,98
86,02
1,59
Tabel 16 menyajikan data mengenai nilai efisiensi tataniaga pada setiap
pola saluran tataniaga yang terbentuk dengan kondisi produk rumput laut kering
dengan kualitas yang sama pada masing – masing saluran yaitu dengan kadar air
35 persen. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat dari nilai marjin dan farmer’s
share maka saluran I relatif lebih efisien dibandingkan dua saluran yang lain,
dengan nilai marjin sebesar 13,68 persen dan farmer’s share 88,23 persen.
Walaupun dari nilai rasio π/C pada saluran ini lebih kecil dibandingkan saluran III
namun perbedaan nilai tersebut tidak signifikan. Nilai rasio yang dihasilkan lebih
kecil, hal ini diduga akibat karakteristik dari lembaga yang terlibat, seperti
kelompok tani yang tidak mengejar keuntungan dan pihak agen perantara yang
menjadikan aktivitas tataniaga yang dijalankan sebagai usaha sampingan sehingga
tidak memperhitungkan tingkat keuntungan yang diperoleh dengan menjalankan
kegiatan tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaan aktivitas tataniaga rumput laut
dengan memberdayakan peranan kelompok tani merupakan salah satu alternatif
saluran tataniaga yang dapat digunakan oleh petani sebagai upaya peningkatan
posisi tawar petani rumput laut.
105
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan
mengenai sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, dapat ditarik
beberapa kesimpulan diantaranya :
1) Aktivitas tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan berdasarkan kasus
di dua sentra pembudidayaan, yaitu Pantai Kutuh (Desa Kutuh) dan Pantai
Geger (Kelurahan Benoa) memiliki perbedaan sistem pengelolaan di tingkat
petani, yakni pengelolaan secara individu oleh petani dan adanya peranan
kelompok dalam memfasilitasi keberlangsungan aktivitas tataniaga. Lembaga
yang terlibat diantaranya pedagang pengumpul, agen perantara dan eksportir.
Rumput laut merupakan produk dengan tujuan pasar ekspor yang diekspor
dalam bentuk rumput laut kering. Pada sistem tataniaga rumput laut ini
terdapat tiga pola saluran tataniaga. Saluran tataniaga yang banyak digunakan
adalah tataniaga dengan melibatkan peranan kelompok tani dalam kegiatan
pemasaran. Penerapan fungsi – fungsi tataniaga oleh para pelaku yang terlibat
dalam penyaluran rumput laut telah berjalan dengan relatif baik walaupun
belum berjalan optimal khususnya pada petani yang mengelola tataniaga
secara individu dan di tingkat pedagang pengumpul, khususnya dalam
pelaksanaan fungsi fisik berupa penyortiran rumput laut. Struktur pasar yang
dihadapi oleh pelaku tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan yaitu,
di tingkat petani baik yang tergabung melalui kelompok tani ataupun individu
cenderung menghadapi struktur pasar bersaing. Pada tingkat pedagang
pengumpul dan agen perantara cenderung menghadapi pasar tidak bersaing
baik dilihat dari sisi pedagang pengumpul sebagai penjual maupun pembeli.
Sementara itu pihak eksportir cenderung menghadapi struktur pasar bersaing
dilihat dari sisi eksportir sebagai penjual karena adanya persaingan antar
eksportir yang cukup ketat misalnya saja dengan sesama eksportir yang
berasal dari wilayah Surabaya serta adanya kepatuhan terhadap standarisasi
yang telah ditetapkan terhadap rumput laut yang akan diekspor sedangkan
jika dilihat dari sisi eksportir sebagai pembeli maka struktur pasar yang
dihadapi cenderung struktur pasar tidak bersaing. Sementara pada
106
perhitungan pangsa pasar rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan diperoleh
nilai pangsa pasar sebesar 20,9 persen pada tahun 2009 dan 21,88 persen pada
tahun 2010 karena nilai berada pada kisaran 20 – 50 persen maka nilai
tersebut menunjukkan bahwa tataniaga rumput laut yang dihasilkan di
wilayah Kecamatan Kuta Selatan cenderung menghadapi struktur pasar
oligopoli ketat.
2) Peranan kelompok tani sangat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
keberlangsungan tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa,
Kecamatan Kuta Selatan. Kelompok tani tidak hanya memiliki peranan dalam
aktivitas budidaya rumput laut, namun juga pada aktivitas pemasaran.
Kelompok tani bertugas langsung mencari calon pembeli rumput laut. Petani
yang menjalani aktivitas tataniaga melalui kelompok tani memperoleh
pendapatan yang lebih baik, karena dengan adanya kelompok tani semakin
memperkuat bargaining position petani khususnya dalam perolehan tingkat
harga jual rumput laut kering. Petani yang melakukan penjualan rumput laut
melalui kelompok tani memperoleh harga jual yang lebih tinggi yaitu pada
harga Rp 8.600,00 per kilogram rumput laut kering dibandingkan dengan
petani yang melakukan penjualan secara individu yaitu hanya Rp 7.000,00
per kilogram rumput laut kering. Kelompok tani juga memberikan pelayanan
lebih kepada anggota yaitu memfasilitasi penyediaan kebutuhan sehari – hari
dan membantu permodalan anggota petani.
3) Pada hasil analisis efisiensi tataniaga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
biaya, keuntungan dan marjin yang diperoleh oleh setiap pelaku di dalam
tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Perbedaan ini dipengaruhi
oleh penerapan dalam pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga oleh masing –
masing lembaga. Saluran I memiliki perolehan marjin terkecil diantara tiga
pola saluran yang terbentuk yaitu sebesar 13,68 persen dan farmer’s share
tertinggi
sebesar 88,23 persen. Namun, pada nilai rasio π/C saluran ini
memiliki nilai terkecil yaitu 1,54. Namun, saluran ini dinilai sebagai alternatif
saluran yang efisien karena tercapainya kesejahteraan petani yang terlibat
dalam saluran ini terlihat dari nilai marjin dan farmer’s share yang
dihasilkan. Sementara itu dari sisi konsumen, produk rumput laut yang
107
diproduksi pada saluran I memiliki kualitas rumput laut yang lebih baik
karena kelompok tani telah menetapkan standarisasi mutu rumput laut
sehingga memenuhi standar ekspor. Selain itu adanya upaya peningkatan
kualitas rumput laut di tingkat petani khususnya pada saluran II dan III dapat
meningkat efisiensi sistem tataniaga yang dilaksanakan, hal ini terbukti
dengan adanya peningkatan nilai farmer’s share dan penurunan nilai marjin
tataniaga.
7.2. Saran
Pengaktifan peranan kelompok tani dalam aktivitas tataniaga rumput laut
perlu dilakukan khususnya bagi para petani di wilayah Pantai Geger (Kelurahan
Benoa) dalam upaya memperkuat bargaining position para petani sekaligus
mengupayakan peningkatan kesejahteraan petani melalui perolehan harga jual
yang lebih baik. Selain itu melalui keberadaan kelompok tani, diharapkan dapat
mengontrol standar kualitas rumput laut kering ekspor, sehingga kelompok tani
tidak hanya berperan dalam aktivitas pembudidayaan saja. Oleh karena itu perlu
dilakukan sosialisasi atau pelatihan mengenai pentingnya peranan kelompok tani
serta informasi tentang standarisasi kualitas rumput laut yang baik untuk ekspor.
Peningkatan standar kualitas rumput laut khususnya melalui penurunan tingkat
kadar air dapat dilakukan sebagai upaya peningkatan harga jual di tingkat petani
serta meningkatkan kepuasan konsumen dalam hal ini eksportir karena terpenuhi
standarisasi ekspor pada tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan.
Ketersediaan rumput laut sebagai bahan baku berbagai olahan dengan
jaminan kualitas menjadikan nilai lebih bagi pengembangan kegiatan industri di
Pulau Bali khususnya bagi industri pengolahan rumput laut. Melalui pendirian
industri pengolahan rumput laut atau dengan memberikan pelatihan kepada
anggota kelompok tani di wilayah Kecamatan Kuta Selatan tentunya akan
memberikan tambahan pendapatan bagi petani serta nilai tambah tersendiri bagi
komoditi rumput laut sehingga rumput laut tidak hanya diekspor dalam bentuk
rumput laut kering saja melainkan sudah dalam bentuk olahan. Kemampuan
kelompok tani dalam mengontrol standar kualitas rumput laut kering dapat
menjadi modal untuk menghasilkan produk olahan yang berkualitas. Hal ini
tentunya juga akan meningkatkan devisa negara yang diperoleh melalui kegiatan
108
ekspor. Apabila hal tersebut dapat terealisasi, maka Bali dapat dijadikan sebagai
salah satu wilayah pengembangan klaster rumput laut nasional.
Saran bagi penelitian selanjutnya adalah dapat dilakukan penelitian yang
lebih mendalam mengenai peranan lembaga kelompok tani sendiri terhadap usaha
pembudidayaan rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Selain itu, mengingat
rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan merupakan produk dengan tujuan
ekspor, maka dapat dilakukan analisis daya saing dari rumput laut di wilayah ini
terhadap rumput laut di sentra pembudidayaan lain di Indonesia.
109
DAFTAR PUSTAKA
[BPS]
Badan Pusat Statistik. 2012. Berita Resmi Statistik. Jakarta : Badan
Pusat Statistik.
[DKP]
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Profil Rumput Laut
Indonesia. Jakarta : Departemen Kelautan dan Perikanan.
[KKP]
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Petunjuk Teknis Budidaya
Rumput Laut Eucheuma spp. Jakarta : Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya.
[KKP]
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik Perikanan
Budidaya Indonesia 2010. Jakarta : Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
[KKP]
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik Ekspor Hasil
Perikanan 2010. Jakarta : Kementerian Kelautan dan Perikanan.
[KKP]
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan
dalam Angka 2011. Jakarta : Kementerian Kelautan dan Perikanan.
[KKP]
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. SDM dan IPTEK Kunci
Sukses Industrialisasi Berbasis Perikanan Budidaya. Jakarta :
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ahsjar, Djauhari. 2007. Pedoman Transaksi Ekspor & Impor. Jakarta : Prestasi
Pustakaraya.
Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2010. Rumput Laut. Jakarta :
Penebar Swadaya.
Asmarantaka, Ratna Winandi. 2009. Pemasaran Produk – Produk Pertanian. Di
Dalam Nunung Kusnadi, Anna Fariyanti, Dwi Rachmina, Siti Jahroh,
editor. Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Bogor : IPB Press.
Hlm. 19 – 43.
Asmarantaka, Ratna Winandi. 2009. Modul Kuliah Tataniaga Produk Agribisnis.
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Asnawi, Sastrawidjaja. 2007. Permintaan Komoditas Perikanan Indonesia : Trend
Konsumsi, Ekspor dan Mekanisme Harga. Di Dalam Manadiyanto,
Zahri Nasution, editor. Potret dan Strategi Pengembangan Perikanan
Tuna, Udang dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta : Badan Riset
Kelautan dan Perikanan. Hlm. 67 – 80.
Baga LM, Yanuar R, Karo – Karo FW, Aziz K. 2009. Koperasi dan Kelembagaan
Agribisnis. Departemen Agrbisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
110
Dahl DC, Hammond JW. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural
Industries. USA : McGraw-Hill.
Dilana, Indra Akbar. 2012. Tinjauan Teoritis dan Tinjauan Empiris Struktur,
Perilaku dan Kinerja [makalah]. Bogor : Program Studi Magister Sains
Agribisnis, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Downey WD, Erickson SP. 1992. Manajemen Agribisnis Edisi Kedua. Jakarta :
Erlangga.
Farris PW, Bendle NT, Pfeifer PE, Reibstein DJ. 2007. Marketing Metrics. USA :
Pearson Education Inc.
Firdaus M, Wagiono YK. 2009. Dayasaing dan Sistem Pemasaran Manggis
Indonesia. Di Dalam Nunung Kusnadi dkk, editor. Bunga Rampai
Agribisnis Seri Pemasaran. Bogor : IPB Press. Hlm. 117 – 136.
Hanafiah AM, Saefudin. 2006. Tataniaga Hasil Perikanan. Jakarta : Universitas
Indonesia (UI) Press.
Hapsari, Tiara Kusuma. 2011. Analisis Pengaruh CAR, NPL, BOPO, LDR,
GWM, dan Rasio Konsentrasi terhadap ROA (Studi Empiris pada Bank
Umum yang Listing di BEI 2005 -20090 [skripsi]. Semarang : Fakultas
Ekonomi, Universitas Diponegoro.
Hidayati, Wiwiek. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar Rumput
Laut Eucheuma Cottonii : Kasus di Kecamatan Mangarabombang,
Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan [thesis]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Jaya, Wihana Kirana. 2001. Ekonomi Industri. Yogyakarta : BPFE – Yogyakarta.
Kohls RL, Uhl JN. 2002. Marketing of Agricultural Products Ninth Edition. USA
: Prentice – Hall Inc.
Limbong W.H, Sitorus P. 1985. Bahan Kuliah Pengantar Tataniaga Pertanian.
Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Puspitasari, Euis Yunita. 2010. Analisis efisiensi tataniaga pada kelompok usaha
budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) di Kecamatan Ciawi
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rajagukguk, Mark Majus. 2009. Analisis daya saing rumput laut Indonesia di
Pasar Internasional [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Saragih, Bungaran. 2010. Pengembangan Agribisnis Berbasis Perikanan Berbasis
Era Perdagangan Bebas Abad 21. Bogor : IPB Press.
Sobari, Moch Prihatna. 1993. Skala Usaha dan Efisiensi Ekonomi Relatif
Usahatani Rumput Laut. Buletin Ekonomi Perikanan Nomor 1 Tahun
ke – I. Hlm 12 – 26
Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta : LP3ES.
111
Sukirno, Sadono. 1994. Pengantar Teori Mikroekonomi Edisi Ketiga. PT
RajaGrafindo Persada : Jakarta.
Tomek WG, Robinson KL. 1990. Agricultural Product Prices Third Edition. New
York : Cornell University Press.
Zulham, Armen. 2007. Marjin Pemasaran dan Risiko Pedagang Kasus
Pengembangan Rumput Laut di Propinsi Gorontalo. Jakarta : Balai
Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
112
Lampiran 1. Petani Responden di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Tahun 2012
No.
Nama Petani
Jenis
Umur
Kelamin
(Tahun)
Pendidikan
Pengalaman
Luas Lahan
Budidaya Rumput
(tali ris)
Sistem Pemasaran
Laut (tahun)
1.
Wayan Sudarita
Laki - laki
38
SD
2000
19
Kelompok
2.
Nyoman Konti
Laki - laki
55
SD
2000
15
Kelompok
3.
Guru Dadit
Laki - laki
50
SD
2000
19
Kelompok
4.
Nyoman Wena
Laki - laki
43
SD
2000
14
Kelompok
5.
Made Mudita
Laki - laki
30
SMA
5000
5
Kelompok
6.
Wayan Sukada
Laki - laki
50
Tidak tamat SD
2000
17
Kelompok
7.
Made Warsana
Laki - laki
33
SMA
2000
12
Kelompok
8.
Wayan Juku
Laki - laki
42
SMA
1500
12
Kelompok
9.
I Made Kasib
Laki - laki
66
SD
1000
10
Kelompok
10.
Wayan Natra
Laki - laki
57
SD
1500
20
Kelompok
11.
Nyoman Sudani
Perempuan
40
SD
2000
10
Kelompok
12.
Wayan Letra
Laki - laki
40
SMA
2000
15
Kelompok
13.
Wayan Jana
Laki - laki
43
SD
2000
15
Kelompok
14.
Wayan Lote
Laki - laki
50
Tidak tamat SD
1000
10
Kelompok
113
No.
Nama Petani
Jenis
Umur
Kelamin
(Tahun)
Pendidikan
Pengalaman
Luas Lahan
Budidaya Rumput
(tali ris)
Sistem Pemasaran
Laut (tahun)
15.
Jagrin
Laki - laki
50
Tidak tamat SD
1500
15
Kelompok
16.
Made Wandra
Laki - laki
55
Tidak tamat SD
3000
15
Kelompok
17.
Ketut Sukadanta
Laki - laki
45
SMP
1200
10
Kelompok
18.
Lerniati
Perempuan
39
SD
1000
10
Kelompok
19.
Swastika
Laki - laki
35
SD
1500
10
Kelompok
20.
Ketut Mangdi
Laki - laki
49
SD
3000
1
Kelompok
21.
Wayan Swastika
Laki - laki
32
SMA
1000
6
Kelompok
22.
Nyoman Sunada
Laki - laki
25
SD
1500
10
Kelompok
23.
Ketut Merta
Laki - laki
49
SD
1000
15
Kelompok
24.
Ketut Weca
Laki - laki
60
SD
1500
14
Kelompok
25.
Gembun
Laki - laki
60
SD
1500
19
Kelompok
26.
Ketut Sukra
Laki - laki
60
SD
1000
1
Kelompok
27.
Nyoman Giriyasa
Laki - laki
41
SMA
1500
15
Kelompok
28.
Nyoman Medik
Laki - laki
49
Tidak tamat SD
1500
20
Kelompok
29.
Wayan Resta
Laki - laki
59
Tidak tamat SD
1000
14
Kelompok
114
No.
Nama Petani
Jenis
Umur
Kelamin
(Tahun)
Pendidikan
Luas Lahan
(tali ris)
Pengalaman
Budidaya Rumput
Sistem Pemasaran
Laut (tahun)
30.
Wayan Kirda
Laki - laki
62
Tidak tamat SD
1000
10
Kelompok
31.
Nyoman Rumanti
Perempuan
32
SMA
200
10
Individu
32.
Soni
Laki - laki
49
SD
500
10
Individu
33.
Made Darta
Laki - laki
25
SD
300
10
Individu
34.
Wayan Ngirit
Perempuan
40
SD
600
10
Individu
35.
Wayan Monggol
Laki - laki
52
Tidak tamat SD
2000
30
Individu
115
Lampiran 2. Data Jumlah dan Nilai Produksi Rumput Laut berdasarkan Kabupaten/Kota Penghasil Utama di Provinsi Bali 2008 - 2010
Tahun
Kabupaten/Kota Penghasil Rumput Laut Terbedsar di Provinsi Bali
Denpasar
Badung
Klungkung
Produksi
Nilai
Harga
Produksi Nilai
Harga
Produksi
Nilai
Harga
(Ton)
(Rp 000)
(Rp/kg)
(Ton)
(Rp/kg)
(Ton)
(Rp 000)
(Rp/kg)
(Rp 000)
2008
2.795,8
1.863.380
666,00 23.469,0 36.845.051,0
1.569,95
101.210,2
85.026.111,3
840,09
2009
2.931,5
1.738.450
593,00 28.393,5
31.364.229
1.105,00
103.234,5
84.751.092
820,96
2010
1.348,5
943.950
700,00 29.026,4
32.302.203
1.113,00
101.514,6
99.939.014
984,48
116
Lampiran 3. Perkembangan Produksi Rumput Laut di Provinsi Bali
Tahun Produksi (Ton)
Nilai Produksi (Rp .000)
Harga (Rp/Ton)
2006
164.687,0
116.531.975,0
707.596,7
2007
152.226,1
71.065.191,0
466.839,7
2008
129.095,3
126.006.562,3
976.074,0
2009
135.810,9
119.855.371,4
882.516,6
2010
132.640,8
135.814.542,0
1.023.927,0
2011
141.863,4
263.954.294,0
1.860.623,0
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali (data diolah, 2012)
117
Lampiran 4. Perkembangan Produksi Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan
Tahun 2009
Tahun 2010
No.
Bulan
Produksi
Nilai
Produksi
Nilai
Basah (Kg)
(Rp .000)
Basah (Kg)
(Rp .000)
1.
Januari
1.270.400
1.509.235
4.006.800
4.257.225
2.
Februari
1.248.200
1.451.033
4.018.080
4.269.210
3.
Maret
2.264.000
2.631.900
1.419.792
1.508.529
4.
April
1.809.448
1.583.267
1.284.376
1.766.017
5.
Mei
1.351.760
1.182.790
1.295.768
1.781.681
6.
Juni
1.343.800
1.259.813
1.411.914
1.941.382
7.
Juli
1.413.600
2.120.400
1.443.584
2.254.878
8.
Agustus
1.508.800
2.262.120
1.940.108
3.030.449
9.
September
2.007.680
3.137.000
2.545.752
2.545.752
10.
Oktober
3.396.400
3.396.400
2.843.520
2.843.520
11.
November
5.318.880
5.651.310
3.210.016
3.210.016
12.
Desember
5.461.200
5.802.525
3.606.648
3.606.648
Total
28.394.168
31.987.793
29.026.358
33.015.307
Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung ( data diolah, 2012)
118
Lampiran 5. Fungsi – Fungsi Tataniaga Yang Dilaksanakan Oleh Lembaga – Lembaga Yang Terlibat dalam Tataniaga Rumput Laut di
Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa
Saluran dan Lembaga Tataniaga
Saluran I
Fungsi
Tataniaga
Saluran II
Kelompok
Agen
Eksportir
Tani
Perantara
(Surabaya)
√
Pedagang
Petani
Pengumpul
A
√
√
Saluran III
Eksportir
(Bali)
√
Pedagang
Petani
Pengumpul
B
Jual
√
√
Beli
√
√
√
Angkut
√
√
√
Simpan
√
Kemas
√
√
√
√
√
√
√
Sortasi
√
√
√
√
√
√
√
Risiko
√
Biaya
√
√
√
√
√
Informasi Pasar
√
√
√
√
√
√
Eksportir
(Bali)
√
Fungsi Pertukaran
Fungsi Fisik
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Fungsi Fasilitas
√
√
√
√
√
√
119
Lampiran 6. Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap Lembaga
Taniaga pada Saluran Tataniaga I
Jenis Biaya
Jumlah Biaya (Rp/kg)
Kelompok Tani
-
Biaya Angkut
27,78
-
Biaya Tenaga Kerja
55,56
-
Biaya Pengemasan
37,00
Agen Perantara
-
Biaya Angkut
125,00
-
Biaya Pengemasan
20,00
-
Biaya Tenaga Kerja
5,00
Eksportir
-
EMKL
Freight Container
Tracking dan Dokumen
-
Biaya lainnya (pengiriman
161,16
89,29
3,16
dokumen melalui jasa titipan
kilat)
Total Biaya Tataniaga
523,94
120
Lampiran 7. Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap Lembaga
Tataniaga pada Saluran Tataniaga II
Jenis Biaya
Petani
Jumlah Biaya (Rp/kg)
-
Pedagang Pengumpul I
-
Biaya Angkut
1,41
-
Biaya Tenaga Kerja
60,00
-
Biaya Pengemasan
40,00
Eksportir
-
Biaya Angkut
500,00
-
Biaya Pengemasan
100,00
-
Biaya Tenaga Kerja
100,00
-
Retribusi
-
Biaya Penyimpanan
100,00
-
Biaya Bongkar Muat
100,00
-
Lainnya
100,00
Total Biaya Tataniaga
25,00
1.126,41
121
Lampiran 8. Biaya Tataniaga Rumput Laut yang Dikeluarkan Setiap Lembaga
Tataniaga pada Saluran Tataniaga III
Jenis Biaya
Petani
Jumlah Biaya (Rp/kg)
-
Pedagang Pengumpul II
-
Biaya Angkut
1,41
-
Biaya Tenaga Kerja
15,00
-
Biaya Pengemasan
40,00
Eksportir
-
Biaya Angkut
500,00
-
Biaya Pengemasan
100,00
-
Biaya Tenaga Kerja
100,00
-
Retribusi
-
Biaya Penyimpanan
100,00
-
Biaya Bongkar Muat
100,00
-
Lainnya
100,00
Total Biaya Pemasaran
25,00
1.081,41
122
Lampiran 9. Analisis Marjin Tataniaga Rumput Laut Saluran I, II dan III di
Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, Provinsi Bali
Saluran
I
II
III
Unsur
Kelompok
Tani/Petani
Harga Jual
Biaya Tataniaga
Margin
Keuntungan (π)
Pedagang
Pengumpul
Harga Beli
Harga Jual
Biaya Tataniaga
Margin
Keuntungan (π)
Agen Perantara
Harga Beli
Harga Jual
Biaya Tataniaga
Margin
Keuntungan (π)
Eksportir
Harga Beli
Harga Jual
Biaya Tataniaga
Margin
Keuntungan (π)
Total
Biaya
Tataniaga
Total Keuntungan
Total Marjin
Rp/kg
8.600,00
120,33
186,00
65,67
%
88,23
1,23
1,91
0,67
Rp/kg
%
Rp/kg
%
7.000,00
70,51
7.000,00
70,51
7.000,00
7.500,00
101,41
500,00
398,59
70,51
75,55
1,02
5,04
4,02
7.000,00
7.200,00
56,41
200,00
143,59
70,51
72,53
0,57
2,01
1,45
8.600,00
8.750,00
150,00
150,00
0
88,23
89,77
1,54
1,54
8.750,00
9.747,00
253,61
997,00
743,39
523,94
89,77
100,00
2,60
10,23
7,63
5,38
7.500,00
9.927,50
1.025,00
2.427,50
1.402,50
1.126,41
75,55
100,00
10,32
24,45
14,13
11,35
7.200,00
9.927,50
1.025,00
2.727,50
1.702,50
1.081,41
72,53
100,00
10,32
27,47
17,15
10,89
809,06
1.333,00
8,30
13,68
1.801,09
2.927,50
18,14
29,49
1.846,09
2.927,50
18,60
29,49
123
Lampiran 10. Farmer’s Share pada Saluran Tataniaga Rumput Laut di Desa
Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung Bali
Saluran Tataniaga Harga di Tingkat
Harga di Tingkat
Farmer’s Share
Petani (Rp/kg)
Eksportir (Rp/kg)
(%)
Saluran I
8.600,00
9.747,00
88,23
Saluran II
7.000,00
9.927,50
70,51
Saluran III
7.000,00
9.927,50
70,51
Lampiran 11. Rasio Keuntungan terhadap Biaya pada Saluran Tataniaga
Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan
Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali
Lembaga Tataniaga
Kelompok Tani
Πi (Rp)
Ci (Rp)
Rasio πi/Ci
Pedagang Pengumpul
Πi (Rp)
Ci (Rp)
Rasio πi/Ci
Agen Perantara
Πi (Rp)
Ci (Rp)
Rasio πi/Ci
Eksportir
Πi (Rp)
Ci (Rp)
Rasio πi/Ci
Total
Πi (Rp)
Ci (Rp)
Rasio πi/Ci
Saluran Tataniaga
II
I
III
65,67
120,33
0,55
-
-
-
398,59
101,41
3,93
143,59
56,41
2,55
0
150,00
0
-
-
743,39
253,61
2,93
1.402,50
1.025,00
1,37
1.702,50
1.025,00
1,66
809,06
523,94
1,54
1.801,09
1.126,41
1,60
1.846,09
1.081,41
1,71
124
Lampiran 12. Perhitungan Harga, Marjin, Biaya dan Keuntungan dalam Upaya
Peningkatan Kualitas Rumput Laut.
•
Perhitungan Tingkat Kadar Air pada Saluran II dan III
Saluran I merupakan saluran yang memasarkan rumput laut berkualitas baik
dengan kadar air 35 %. Sementara itu, pada saluran II dan III kualitas rumput
laut yang dipasarkan lebih rendah dari kualitas rumput laut pada saluran I.
Namun, pada saluran II dan III petani tidak mengetahui kadar air dari rumput
laut. Dengan menggunakan rumus perbandingan terbalik dengan asumsi
bahwa ketika terjadi penurunan kadar air (kualitas rumput laut semakin baik)
maka harga jual yang diperoleh petani akan meningkat.
Harga di Saluran II dan III : Rp 7.000/kg
Harga di Saluran I : Rp 8.600/kg
Kadar air rumput laut pada Saluran II dan III : X
Kadar air rumput laut pada Saluran I : 35 %
7.000 = 1/
8.600
7.000 =
8.000
35
X
X = 8.000 x 35
7.000
X = 43
Jadi, dapat diperhitungkan bahwa kadar air rumput laut pada saluran II dan III
memiliki kadar air 43 %.
•
Perhitungan penetapan harga di tingkat petani pada Saluran II dan III
setelah dilakukan peningkatan kualitas kadar air rumput laut
Peningkatan kualitas rumput laut diasumsikan dengan meningkatkan kadar air
dari 43 persen menjadi 35 persen. Peningkatan delapan persen pada kadar air
akan setara dengan adanya kelebihan volume berat rumput laut kering sebesar
0,22 kg. Perhitungan penyetaraan tersebut sebagai berikut.
Asumsi : Rumput laut dengan kadar air 35 persen memiliki volume berat 1 kg
(100 %) maka penurunan kadar air sebesar delapan persen akan setara dengan
pengurangan berat volume rumput laut kering.
35
100
=
8
X
125
X = (100 x 8)/35
X = 22,85 %
Maka, adanya kelebihan kadar air sebesar delapan persen setara dengan
kelebihan volume berat rumput laut sebesar 22,85 persen. Jadi harga ketika
rumput laut pada saluran II dan III mengalami peningkatan kualitas kadar air
maka harga yang akan diperoleh sebesar
Rp 7.000 x (1 + (1 x 22,85 %))
Rp 7.000 x 1,22 = Rp 8.540
•
Penentuan Biaya yang dikeluarkan di tingkat petani dalam upaya
peningkatan kualitas rumput laut kering.
Kondisi harga rumput laut kering pada saluran I jika memiliki kadar air 43
persen : Rp 8.600 x 1/1,22 = Rp 7.049,18
Hal ini menunjukkan adanya selisih harga sebanyak Rp 1.550,82 ketika
terdapat perbedaan kualitas pada rumput laut kering di Saluran I. Pada saluran
I biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam upaya peningkatan kualitas adalah
Rp 120,33. Sementara itu pada Saluran II dan III terdapat selisih harga
sebesar Rp 1.540,00 untuk peningkatan kualitas rumput laut, maka besarnya
biaya tataniaga yang akan dikeluarkan adalah
1.550,82
1.540,00
=
120,33
X
X = (1.540 x 120,33)/1.550,82
X = 119,49
Jadi, biaya yang dikeluarkan petani pada Saluran II dan III untuk
meningkatkan kualitas rumput laut adalah sebesar Rp 119,49 per kg.
•
Perhitungan Marjin Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul
Ketika terjadi peningkatan kualitas yang lebih tinggi pada saluran II dan III
maka harga beli di tingkat pedagang pengumpul juga akan lebih tinggi,
sehingga akan menimbulkan marjin yang ada di tingkat pedagang pengumpul
akan semakin rendah karena terjadi pengurangan biaya tataniaga dari
pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga. Pengurangan biaya tersebut akibat
adanya pelaksanaan fungsi tataniaga di tingkat petani.
126
1. Marjin Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul pada Saluran II
Harga pada kondisi awal
=
Harga setelah Peningkatan Kualitas
7.000
8.540
=
Marjin Awal
Marjin Baru
500
X
X = (8.540 x 500)/7.000
= 409
Jadi, marjin di tingkat pedagang pengumpul pada saluran II setelah terjadi
peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 409,00/kg
2. Marjin Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul pada Saluran III
Harga pada kondisi awal
=
Harga setelah Peningkatan Kualitas
7.000
8.540
=
Marjin Awal
Marjin Baru
200
X
X = (8.540 x 200)/7.000
= 163
Jadi, marjin di tingkat pedagang pengumpul pada saluran II setelah terjadi
peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 163,00/kg
•
Perhitungan Biaya Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul
Ketika terjadi peningkatan kualitas yang lebih tinggi pada saluran II dan III
maka harga beli di tingkat pedagang pengumpul juga akan lebih tinggi,
sehingga akan menimbulkan marjin yang ada di tingkat pedagang pengumpul
akan semakin rendah karena terjadi pengurangan biaya tataniaga dari
pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga. Pengurangan biaya tersebut akibat
adanya pelaksanaan fungsi tataniaga di tingkat petani.
1. Biaya Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul pada Saluran II
=
Marjin pada kondisi awal
Marjin setelah Peningkatan Kualitas
500
409
=
Biaya Tataniaga Awal
Biaya Tataniaga Baru
101,41
X
X = (409 x 101,41)/500 = 82,95
127
Jadi, biaya tataniaga di tingkat pedagang pengumpul pada saluran II
setelah terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 82,95/kg
2. Biaya Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul pada Saluran III
Marjin pada kondisi awal
=
Marjin setelah Peningkatan Kualitas
200
163
=
Biaya Tataniaga Awal
Biaya Tataniaga Baru
56,41
X
X = (163 x 56,41)/200
= 45,97
Jadi, marjin di tingkat pedagang pengumpul pada saluran III setelah
terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 45,97/kg
•
Perhitungan Biaya Tataniaga di Tingkat Eksportir
Ketika terjadi peningkatan kualitas yang lebih tinggi pada saluran II dan III
maka harga beli di tingkat eksportir juga akan lebih tinggi, sehingga akan
menimbulkan marjin yang ada di tingkat eksportir akan semakin rendah
karena terjadi pengurangan biaya tataniaga dari pelaksanaan fungsi – fungsi
tataniaga. Pengurangan biaya tersebut akibat adanya pelaksanaan fungsi
tataniaga di tingkat petani. Oleh karena itu, setelah peningkatan kualitas maka
:
Harga beli di tingkat eksportir di saluran II
= Harga beli di tingkat pedagang pengumpul + Marjin Baru
= Rp 8.540 + Rp 409
= Rp 8.949
Harga beli di tingkat eksportir di saluran III
= Harga beli di tingkat pedagang pengumpul + Marjin Baru
= Rp 8.540 + Rp 163
= Rp 8.703
128
1. Biaya Tataniaga di Tingkat Eksportir pada Saluran II
Marjin pada kondisi awal
=
Marjin setelah Peningkatan Kualitas
2.427,5
978,5
=
Biaya Tataniaga Awal
Biaya Tataniaga Baru
1.025
X
X = (978,5 x 1.025)/2.427,5 = 413,16
Jadi, biaya tataniaga di tingkat eksportir pada saluran II setelah terjadi
peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 413,16/kg
2. Biaya Tataniaga di Tingkat Eksportir pada Saluran III
Marjin pada kondisi awal
=
Marjin setelah Peningkatan Kualitas
2.727,5
1.224,5
=
Biaya Tataniaga Awal
Biaya Tataniaga Baru
1.025
X
X = (1.224,5 x 1.025)/1.025
= 460,16
Jadi, marjin di tingkat pedagang pengumpul pada saluran III setelah
terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 460,16/kg
129
Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Rumput laut jenis Eucheuma
cottonii
Gambar 3. Petani menggunakan alat bantu
jukung untuk penanaman dan pemanenan di
tengah pantai
Gambar 5. Pembudidayaan rumput laut Eucheuma cottonii dengan menggunakan
Gambar 2. Proses pengikatan bibit
rumput laut
Gambar 4. Areal penanaman rumput laut
Euchema cottonii
Gambar 6. Proses pengeringan rumput
laut yang dilakukan oleh para petani.
tali sebagai alat bantu.
130
Gambar 7. Rumput laut jenis Eucheuma
cottonii dalam kondisi kering
Gambar 9. Kegiatan sortasi yang dilakukan
di tingkat Eksportir
Gambar 11. Pengangkutan yang dilakukan oleh Eksportir
Gambar 8. Pengemasan rumput laut di
tingkat Kelompok Tani
Gambar 10. Pengemasan yang dilakukan
di tingkat Eksportir
131
Download