4 Udara Udara sebagai sumber daya yang tidak terbatas merupakan sumber daya milik bersama, yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya sehingga harus dijaga dan dipelihara fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta melindungi makhluk hidup lainnya. Kecenderungan menurunnya kualitas udara diakibatkan oleh beragam aktivitas termasuk transportasi, industri, perumahan, persampahan dan dari alam (vulkanik). Secara umum kualitas udara di Jawa Barat khususnya kota-kota besar cenderung menurun. Hal ini diindikasikan dengan meningkatnya nilai beberapa parameter pencemaran kualitas udara. Agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui Pengendalian Pencemaran Udara (PP 41/ 1999). Instansi pemerintah yang bertanggung jawab melakukan program pemantauan kualitas udara diantaranya : Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) untuk skala nasional, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah untuk setiap provinsi maupun tingkat kota/kabupaten. 4.1 4.1.1 Status Pemantauan Udara Ambien Kabupaten & Kota di Jawa Barat Berdasarkan PP no. 41 tahun 1999, udara ambien nasional adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada di wilayah yuridiksi RI yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup, unsur lingkungan hidup lainnya. 1 Parameter yang terkandung dalam baku mutu udara ambien adalah SO2, CO, NO2, O3, HC, PM10, PM2,5, TSP, Pb dan beberapa parameter lain dengan waktu pengukuran tiap 1 jam, 24 jam ataupun 1 tahun. Dari hasil pengukuran udara ambien di beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat pada tahun 2007 maka dapat dilihat bahwa parameter sulfur dioksida (SO2) dan karbon monoksida (CO) masih menunjukan nilai rata-rata dibawah baku mutu yang ditetapkan baik nasional maupun daerah. Hasil pengukuran parameter NO2, dari kabupaten dan kota yang dipantau, hanya satu titik pantau di Kota Bekasi yang melebihi baku mutu yang ditentukan yaitu pada konsentrasi 874,49 µg/Nm3 hampir 6 kali diatas baku mutu ambien yang ditetapkan pada titik pantau yang berlokasi di Jl. Raya Narogong (perbatasan Kota Bekasi - Kab. Bekasi). Untuk parameter PM10, maka beberapa titik pantau di Kabupaten Indramayu dan Kota Depok melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan. Di Kabupaten Indramayu, nilai PM10 sangat tinggi yaitu sebesar 920 µg/Nm3 melebihi 6 kali diatas baku mutu dengan lokasi pemantauan di desa Majakerta. Untuk kota Depok terdapat 5 lokasi yang melebihi partikulat yang ada yang berlokasi di : 1. Kecamatan Sawangan Depok, Jl.Sawangan 2. Kelurahan Sukamaju Depok, Jl. Raya Bogor 3. Mall cinere, Jl. Cinere Raya 4. TPA Cipayung Kampung Bulak, Desa Kapuran Depok 5. Depan Kantor PT.Mutuagung Lestari, Jl. Raya Bogor Semua lokasi yang melebihi nilai ambang batas tersebut berada di lokasi padat lalu lintas dan umumnya merupakan jalan penghubung utama untuk aktivitas industri . Untuk parameter Pb dari semua yang dipantau, hanya satu lokasi yang melebihi nilai ambang batas yaitu di kota Depok yang berlokasi di depan kantor PT. Mutuagung Lestari Jl. Raya Bogor. Untuk itu, perlu pengaturan dan pengelolaan yang mampu menurunkan pencemar udara khususnya 2 transportasi di lokasi yang melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan seperti di kota Depok khususnya di Jl. Raya Bogor (depan PT. Mutu Agung Lestari). Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Kualitas Udara Menurut Jenis Parameter SO2 NO LOKASI Kabupaten 1 Majalengka 2 Indramayu 3 Cirebon 4 Bogor Kota 1 Tasikmalaya 2 Cirebon 3 Sukabumi 4 Depok 5 Bekasi Kisaran SO2 3 (µg/Nm ) 365 Jumlah Pengukuran SO2 Jumlah yang > BM SO2 % 5,63 - 8,9 2,91 - 20,13 223,5 1,06 - 19,03 4 7 12 7 0 0 0 0 0% 0% 0% 0% 14,71 - 40,5 1,84 - 3,02 0,83 - 2,91 0,07 - 13,2 26,24 - 62,67 3 10 5 10 22 0 0 0 0 0 0% 0% 0% 0% 0% Jumlah Pengukuran NO2 Jumlah yang > BM NO2 % 29,8 - 104,3 9,8 - 33,87 32,62 7.,46 - 50,99 4 7 12 7 0 0 0 0 0% 0% 0% 0% 17,5 - 31,43 8.27 - 22.56 16.8 - 20.39 7,61 - 74,6 24,78 874.49 3 10 5 10 0 0 0 0 0% 0% 0% 0% 22 1 5% Sumber : SLHD Jawa Barat Tahun 2007 NO2 NO LOKASI Kabupaten 1 Majalengka 2 Indramayu 3 Cirebon 4 Bogor Kota 1 Tasikmalaya 2 Cirebon 3 Sukabumi 4 Depok 5 Bekasi Kisaran NO2 3 (µg/Nm ) 150 Sumber : SLHD Jawa Barat Tahun 2007 3 CO NO LOKASI Kabupaten 1 Majalengka 2 Indramayu 3 Cirebon 4 Bogor Kota 1 2 3 4 5 Tasikmalaya Cirebon Sukabumi Depok Bekasi Kisaran CO 3 (µg/Nm ) 10000 Jumlah Pengukuran CO Jumlah > BM CO 1,53 - 1,75 687.12 - 926,76 1404 1.49 - 50,28 4 7 12 7 0 0 0 0 0% 0% 0% 0% 919,06 1703,49 139 - 1349.2 0.32 - 0.69 29,53 - 449,9 14,7 - 5827 3 10 5 10 22 0 0 0 0 0 0% 0% 0% 0% 0% % Sumber : SLHD Jawa Barat Tahun 2007 PM10 No Lokasi Kisaran pm10 3 (µg/nm ) 150 Jumlah Pengukuran PM10 Jumlah > bm PM10 209,1 214,6 9,86 - 920 4 7 0 1 0% 14% 8,197 42,59 9.36 - 66,6 139 - 301 3 5 6 0 0 5 0% 0% 83% Jumlah Pengukuran Pb Jumlah > BM Pb % Kabupaten 1 Majalengka 2 Indramayu Kota 1 2 3 Tasikmalaya Sukabumi Depok Sumber : SLHD Jawa Barat Tahun 2007 Pb NO LOKASI Kisaran Pb 3 (µg/Nm ) 2 % Kabupaten 1 Cirebon 0,44 12 0 0% 2 Indramayu < 0,03 7 0 0% Depok 0,01 - 2,56 10 1 10% Kota 1 Sumber : SLHD Jawa Barat Tahun 2007 4 4.1.2 Pengukuran Kualitas Udara di Tempat-tempat Lainnya A. Pengukuran Udara Ambien Lokasi Industri Pengukuran Udara Ambien di Lokasi Industri pada tahun 2004 telah dilakukan di Kota Bandung. Dari lima lokasi yang dipantau 4 lokasi melebihi nilai ambang batas untuk oksidan (ozon), sedangkan dua lokasi melebihi ambang batas PM10 dan debu. Dari kelima lokasi tersebut lokasi 3 dan 4 perlu mendapat perhatian lebih karena 3 parameter telah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Namun tidak dijelaskan tepatnya lokasi yang ada, dari peta dapat terlihat kondisi sebaran industri di Kota Bandung sebagai berikut. Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Udara Ambien di 5 Lokasi Industri di Kota Bandung, 2004 Parameter NO2 SO2 CO O3 HC PM10 Debu NH3 H2S Bising NAB*) 400 900 30.000 235 160 150 230 2 3,45 70 Satuan 3 µg/m (1 jam) 3 µg/m (1 jam) 3 µg/m (1 jam) 3 µg/m (1 jam) 3 µg/m (1 jam) 3 µg/m (1 jam) 3 µg/m (1 jam) 3 µg/m (1 jam) 3 µg/m (1 jam) dBA Lokasi 1 24,97 8,85 329,08 329,08 12,53 63,86 117,31 0,001 2,95 63,15 Lokasi 2 36,56 15,99 377,04 377,04 19 80,51 160,37 0,0075 2,85 59,85 Lokasi 3 26,3 20,91 344,01 344,01 14,53 191,16 314,11 0,047 3,12 59 Lokasi 4 26,16 68,79 576,5 576,5 15,54 231,39 340,34 0,021 2,88 68,1 NAB = Nilai Ambang Batas Sumber : Laporan Kegiatan Pemantauan Sumber Pencemar Udara Bergerak dan Tidak Bergerak BPLH Kota Bandung, 2004 5 Lokasi 5 29,27 13,14 328,01 328,01 15,11 67,77 111,95 0,007 3,99 55 Gambar 4.1 Sebaran Lokasi Industri di Kota Bandung Sumber : Atlas Kualitas Udara Kota Bandung, 2004 B. Jaringan Pemantau Kualitas Udara Ambien Nasional Jaringan pemantau kualitas udara ambien (Air Quality Monitoring System - AQMS) adalah jaringan pemantauan udara ambien otomatis yang diselenggarakan oleh KLH dan pemerintah 9 kota di Indonesia, DKI Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Pontianak, Palangkaraya, Jambi, Pekanbaru, dan Medan. Di kota-kota tersebut terdapat beberapa stasiun pemantau tetap (fixed station), stasiun bergerak (mobile station) dan beberapa papan display. Stasiun pemantau mengukur secara kontinyu konsentrasi parameterparameter PM10, SO2, NOx, CO, dan O3; serta parameter meteorologi lokal yaitu arah dan kecepatan angin, temperatur, kelembaban udara, dan radiasi global. Konsentrasi setiap pencemar yang diukur di stasiun pemantau dicatat dalam satuan mikrogram ( µg/m3) kecuali CO yang dicatat dalam miligram (mg)/m3. Data konsentrasi tersebut kemudian dikonversikan ke dalam Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) melalui perhitungan yang ditetapkan dalam Keputusan Kepala BAPEDAL No. KEP-107/KABAPEDAL/11/1997. Konversi 6 data pemantauan ke nilai indeks yang kualitatif dan tidak berdimensi tersebut dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat menterjemahkan hasil pemantauan kualitas udara ambien. Kategori ISPU terdiri atas 5 kategori, yaitu BAIK, SEDANG, TIDAK SEHAT, SANGAT TIDAK SEHAT, dan BERBAHAYA. Saat ini Kota Bandung mempunyai 5 stasiun pemantau udara ambien tetap, 1 stasiun bergerak, dan 5 papan display yang beroperasi sejak tahun 2001. Stasiun-stasiun tetap terletak di Dago Pakar (BAF1), perumahan Arya Graha (BAF2), Tirtalega (BAF3), perumahan Batununggal Indah (BAF4), dan Cisaranten Wetan (BAF5). Lima data display terpasang di Bundaran Cibiru, Taman Tegalega, Alun-alun, Jl.Setiabudi, dan Pintu Tol Pasteur. Gambar 4.2 Lokasi Stasiun Pemantau Otomatis dan Data Display Sumber : atlas kualitas udara kota Bandung, 2004 C. Pengukuran udara ambien PM10 di Kota Bandung Di beberapa lokasi ambang batas baku mutu harian untuk PM10 telah dilampaui yaitu dilokasi perumahan (TPA Pasir Impun, Perumahan KPAD Sarijadi), perkantoran dan perdagangan (Jl. Diponegoro, Jl. Wastukencana, Alun-alun, Jl. Buah Batu), ruang terbuka hijau (Jl. Soekarno Hatta) dan terminal (Leuwipanjang, Ledeng). Kontribusi sumber 7 transportasi terhadap emisi total PM10 diperkotaan berkisar 40% - 55% yang berasal dari kendaraan bermotor. Di terminal Ledeng, konsentrasi PM10 meningkat tajam hampir 3 kali lipat dari tahun 2003 ke tahun 2004; di terminal Cicaheum peningkatan konsentrasi selama kurun waktu 20022005 terlihat jelas. Selain karena peningkatan volume kendaraan, kondisi emisi gas buang kendaraan rata-rata yang kurang baik juga menjadi faktor penyebab meningkatnya konsentrasi PM10 di lokasi-lokasi padat lalu lintas. Sementara itu, di lokasi-lokasi yang hasil pengukuran menunjukkan penurunan konsentrasi PM10, hal ini dapat disebabkan oleh faktor 1) berkurangnya beban emisi dari sumber-sumber pengemisi di sekitar lokasi dan/atau 2) kondisi meteorologi lokal yang membantu dispersi dan deposisi pencemar. Untuk menentukan apakah faktor yang pertama berlaku, analisis sumber pengemisi dan beban emisi di lokasi terkait perlu dilakukan. Sedangkan untuk faktor yang kedua, kondisi meteorologi seperti kecepatan dan arah angin disamping presipitasi, kelembaban, temperatur, dan radiasi matahari mempengaruhi transport pencemar dari lokasi terkait ke lokasi hilir atau sebaliknya. Ini berarti variasi musim yang diindikasikan dalam waktu pengukuran akan mempengaruhi hasil pengukuran. Pengaruh transport regional juga mempengaruhi konsentrasi pencemar di suatu lokasi. 8 D. Pengukuran udara ambien Pb di Kota Bandung Pengukuran parameter timbal (Pb) di udara ambien dilakukan pada 15 lokasi (Data BPLH Kota Bandung). Hasil pengukuran pada tahun 2003 memperlihatkan konsentrasi Pb yang mencapai atau melebihi ambang batas baku mutu harian (2µg/m3) di 6 lokasi (Terminal Leuwipanjang, Terminal Cicaheum, Terminal Ledeng, Jl. Soekarno Hatta, Jl. Elang, dan Jl. Ahmad Yani). Sumber utama Pb berasal dari kendaraan bermotor dari bensin bertimbal. Sumber : diolah dari data pemantauan BPLH Kota Bandung, 2006 4.2 Tekanan / Pressure Kualitas udara yang memburuk umumnya diakibatkan oleh beberapa tekanan sebagai berikut : - sumber pencemaran udara bergerak - sumber pencemaran udara tidak bergerak - atmosferik Sumber pencemaran udara bergerak berasal dari kendaraan bermotor. Di kota-kota besar, kontribusi gas buang kendaraan bermotor terhadap polusi udara mencapai 60 - 70%. Sedangkan dari sumber tidak bergerak berasal dari cerobong asap industri sebesar 10 - 15%, sisanya berasal dari sumber pembakaran lain misalnya dari rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran hutan dan lain sebagainya. 9 4.2.1 Sumber Pencemaran Udara Bergerak 4.2.1.1 Transportasi A. Kualitas Gas Buang Kendaraan Bermotor Alat transportasi yang memberikan kontribusi terbesar pada pencemaran udara adalah kendaraan bermotor, baik roda empat maupun sepeda motor. Dari tahun ke tahun jumlah kendaraan bermotor di Jawa Barat terus meningkat. Jika perlakukan terhadap kendaraan masih tetap seperti saat ini, hal ini tentu saja diikuti dengan meningkatnya volume gas buang yang berarti pencemaran udara semakin meningkat. Sumber : Lomba Tertib Lalu Lintas dan Survei BPS, 2004 Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal ini Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat pernah melakukan kegiatan uji emisi kendaraan bermotor di beberapa kota di Jawa Barat. Berbeda dengan tahun lalu (2007) dimana uji emisi gas buang dilaksanakan pada lima kabupaten dan satu kota yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor, Kabupaten Ciamis serta Kota Depok dengan hasil uji emisi rata-rata untuk keenam lokasi tersebut rata-rata 61,59% memenuhi baku mutu emisi (BME) pada kategori bahan bakar bensin sedangkan untuk kategori berbahan bakar solar hanya sebesar 24,71% yang memenuhi BME. Pada tahun 2008, pelaksanaan uji emisi dilakukan di halaman kantor Bakorwil Bogor pada tanggal 14 - 16 April 2008 serta di halaman kantor Bakorwil Cirebon pada tanggal 21 - 23 Mei 2008. 10 Pengukuran Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor di Kota Bogor Jumlah kendaraan yang diuji untuk bahan bakar bensin sebanyak 346 serta 58 kendaraan untuk bahan bakar solar. Dari hasil perhitungan kategori bensin, dari 346 yang diuji : - 94 kendaraan melebihi BME, dengan kendaraan yang melebihi parameter CO > 4,5% berjumlah 72 kendaraan, parameter HC > 1200 ppm berjumlah 2 kendaraan, dan kedua parameter melebihi BME (CO > 4,5% dan HC > 1200 ppm) berjumlah 20 kendaraan - 252 kendaraan dibawah BME dengan parameter CO < 4,5% dan HC < 1200 ppm. Hasil perhitungan kategori solar, dari jumlah 58 kendaraan : - 35 kendaraan melebihi BME - 23 kendaraan memenuhi BME Tabel 4.3 Hasil Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Kategori Bensin di Kota Bogor, 2008 No 1 2 BME Bensin Memenuhi BME Melebihi BME Total Jumlah 252 94 346 % 72,83 27,17 100 No 1 2 3 Melebihi BME Bensin CO HC CO & HC Total Jumlah 72 2 20 94 % 76,6 2,1 21,3 100 Sumber : Data BPLHD Jawa Barat, 2008 Dari tabel diatas memperlihatkan bahwa sebesar 72,83% memenuhi BME untuk kategori bahan bakar bensin dan 27,17% melebihi BME. Kondisi melebihi ini lebih disebabkan oleh tingginya nilai CO yang umumnya terjadi pada kendaraan yang kurang melaksanakan perawatan terhadap kondisi pengapiannya. Sedangkan untuk kendaraan berbahan bakar solar sebesar 60,34% melebihi BME. 11 Tabel 4.4 Hasil Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Kategori Solar di Kota Bogor, 2008 No BME Solar Jumlah % 1 Memenuhi BME 23 39,66 2 Melebihi BME 35 60,34 Total 58 100 Sumber : Data BPLHD Jawa Barat, 2008 Hasil uji emisi gas buang berdasarkan kategori tahun pembuatan dan kepemilikan di kota Bogor ditampilkan pada grafik berikut. Kategori mobil pribadi berbahan bakar bensin 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 87 70 69 31 30 melebihi BME 13 1980 -1989 1990 - 1999 memenuhi BME 2000 -2009 tahun pembuatan Sumber : diolah dari uji emisi BPLHD Jawa Barat, 2008 Untuk kategori mobil pribadi berbahan bakar bensin di Kota Bogor maka dapat terlihat bahwa umumnya kendaraan dengan tahun pembuatan diantara tahun 2000 - 2008 memenuhi BME yang disyaratkan (87,4%) dibandingkan dengan tahun pembuatan sebelumnya. 12 kategori mobil angkutan berbahan bakar bensin 100.0 80.0 60.0 50.0 63.0 50.0 37.0 40.0 melebihi BME 20.0 memenuhi BME 0.0 1990 - 1999 2000 -2009 tahun pembuatan Sumber : diolah dari uji emisi BPLHD Jawa Barat, 2008 Ilustrasi lain diatas memperlihatkan bahwa dengan tahun pembuatan kendaraan yang baru yaitu antara tahun 2000 - 2009 bila kondisi tidak terawat maka tetap akan melebihi baku mutu yang dipersyaratkan hal ini terjadi pada jenis angkutan kota yang persentasenya sebesar 37%. Angkutan kota umumnya kurang menyisihkan anggarannya untuk perawatan kendaraan. Kategori mobil pribadi berbahan bakar solar 100 83 80 60 50 50 40 47 53 melebihi BME 17 20 memenuhi BME 0 1980 -1989 1990 - 1999 2000 -2009 tahun pembuatan Sumber : diolah dari uji emisi BPLHD Jawa Barat, 2008 Untuk kategori berbahan bakar solar pada mobil angkutan maka tahun pembuatan yang lebih lama melebihi baku mutu emisi yang ditetapkan dan hal ini juga terjadi untuk tipe kendaraan pribadi. 13 Kategori mobil angkot berbahan bakar solar 100.0 100.0 80.0 67 60.0 33 40.0 20.0 0.0 56 44 melebihi BME 0.0 memenuhi BME 1980 -1989 1990 - 1999 2000 -2009 tahun pembuatan Sumber : diolah dari uji emisi BPLHD Jawa Barat, 2008 Pengukuran Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor di Kota Cirebon Jumlah kendaraan yang diuji untuk bahan bakar bensin sebanyak 309 serta 49 kendaraan untuk bahan bakar solar dengan kategori angkutan kota, mobil dinas serta mobil pribadi. Dari hasil perhitungan kategori bensin, dari 309 yang diuji : - 115 kendaraan melebihi BME, dengan kendaraan yang melebihi parameter CO > 4,5% berjumlah 97 kendaraan, parameter HC > 1200 ppm berjumlah 30 kendaraan, dan kedua parameter melebihi BME (CO > 4,5% dan HC > 1200 ppm) berjumlah 28 kendaraan - 154 kendaraan dibawah BME dengan parameter CO < 4,5% dan HC < 1200 ppm. Hasil perhitungan kategori solar, dari jumlah 49 kendaraan : - 36 kendaraan melebihi BME - 13 kendaraan memenuhi BME Tabel 4.5 Hasil Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Kategori Bensin di Kota Cirebon, 2008 No 1 2 No 1 2 3 BME Bensin Memenuhi BME Melebihi BME Total Melebihi BME Bensin CO HC CO & HC Total Jumlah 154 155 309 Jumlah 97 30 28 155 Sumber : Data BPLHD Jawa Barat, 2008 14 % 49,84 50,16 100 % 62,58 19,35 18,06 100 Dari tabel 4.5 diatas maka terlihat bahwa sebesar 49,84% memenuhi BME untuk kategori bahan bakar bensin dan 50,16% melebihi BME. Kondisi agak berbeda dibandingkan dengan di Kota Bogor dimana persentase yang memenuhi diatas 70%. Tabel 4.6 Hasil Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Kategori Solar di Kota Cirebon, 2008 No 1 2 BME Solar Memenuhi BME Melebihi BME Total Jumlah 36 13 58 % 73,47 26,53 100 Sumber : Data BPLHD Jawa Barat, 2008 B. Tingkat Kemacetan dan Kerusakan Jalan sebagai Faktor Pendorong Meningkatnya Emisi Gas Buang Sebagai ilustrasi, jumlah kendaraan di kota Bandung dari segala jenis mencapai 250.669 buah pada tahun 2004. Berbagai penelitian menyatakan bahwa panjang jalan di Kota Bandung kurang sebanding dengan jumlah kendaraan yang ada, akibatnya sering terjadi kemacetan yang tentunya akan diikuti dengan meningkatnya volume gas buang dari kendaraan dibandingkan dalam keadaan normal (tidak macet). Kualitas jalan juga berpengaruh terhadap besaran volume gas buang kendaraan. Pada tahun 2004 sekitar 11 % kendaraan di Kota Bandung dalam keadaan rusak dan 11 % dalam keadaan sedang (menjelang rusak). Akan tetapi keadaan ini semakin memburuk pad tahun 2007, dimana jalan yang rusak berat mencapai 12%, yang rusak 29 % dan yang sedang menjelang rusak mencapai 26 %. Tabel 4.7 Kondisi Jalan di Kota Bandung Tahun 2004 baik 897.44 Kondisi Jalan (km) sedang rusak rusak berat 123.9 101.37 0 * tidak termasuk sepeda motor 15 Jumlah Kendaraan* jumlah 1122.71 250669 Sumber : diolah dari Jabar dalam angka 2007 (BPS Provinsi Jawa Barat) C. Uji Emisi Masih Tebang Pilih Uji emisi untuk mengetahui kadar gas buang kendaraan di perkotaan masih dilakukan secara tebang pilih, tidak semua wajib melakukannya. Kendaraan yang wajib uji emisi hanya kendaraan yang dikomersilkan seperti bus, truk, mini bus dan kendaraan angkutan umum berplat nomor kuning. Sedangkan kendaraan non komersial yang berplat hitam tidak wajib uji emisi. Padahal sektor transportasi yang terdiri atas kendaraan komersial dan pribadi merupakan sumber utama pencemaran udara. Sebagai ilustrasi sampling hasil uji emisi di kota Bandung sebagai berikut : Tabel 4.8 Hasil Uji Emisi Kendaraan di Beberapa Kota di Jawa Barat Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 Bahan Bakar Bensin Solar Bensin Solar Bensin Solar Bensin Solar Bensin Solar Jumlah Pengukuran 873 567 2700 693 2134 866 588 124 771 229 Jumlah yang memenuhi baku mutu emisi 447 51,2% 385 67,9% 2477 91,7% 210 30,3% 1004 47% 244 28,2% 498 84,7% 17 13,7% 389 50,5% 49 21,4% Sumber : BPLH Kota Bandung, September 2008 Dari data tersebut diatas trend jumlah pengguna bahan bakar bensin dan solar dari tahun ke tahun jumlah kendaraan yang memenuhi baku mutu emisi mengalami penurunan. Disamping 16 itu, pengguna bahan bakar solar lebih sedikit dibandingkan pengguna bensin dalam memenuhi ketentuan peraturan baku mutu emisi kendaraannya. Sumber : diolah dari data BPLH Kota Bandung, 2008 Hal ini terjadi pula pada kondisi di wilayah Bakorwil Bogor serta Bakorwil Cirebon dimana untuk kendaraan solar sangat rendah dalam memenuhi baku mutu emisi yang ada. 4.2.2 Sumber Pencemaran Tidak Bergerak 4.2.2.1 Aktivitas Industri Industri yang dominan berpotensi memberikan kontribusi terhadap pencemaran udara adalah industri yang melakukan proses pembakaran pada proses produksi atau aktivitas industrinya. Walaupun kontribusi gas buang dari cerobong asap industri hanya berkisar 10 - 15% namun sumber pencemar dari industri dapat dengan mudah diamati karena posisinya tidak bergerak (point source of pollution). Bagian paling besar yang dibebaskan oleh industri adalah padatan renik atau debu. Debu ini memberikan dampak negatif yang nyata bagi lingkungan biotik dan fisik. Hal ini lebih menampilkan dampak negatif industri bagi masyarakat, sedangkan senyawa-senyawa pencemar yang lain dalam fasa gas tidak akan tampak langsung, meskipun tingkat bahaya senyawa-senyawa ini tidak lebih rendah daripada tingkat bahaya yang diakibatkan oleh debu. 17 50% % Berat 40% 30% 20% 10% 0% CO HC NOx Debu SOx Gambar Histogram Jenis Senyawa Pencemar yang dibebaskan oleh industri (Ross, 1972; Snell, 1981) Gambar diatas menyatakan debu merupakan bagian yang paling besar dibebaskan ke lingkungan oleh industri dalam kaitan dengan pencemaran udara oleh industri. Pemantauan Emisi Industri Meningkatnya penggunaan energi batubara sebagai boiler dalam industri tekstil di Jawa Barat akhirnya memunculkan permasalahan baru yang berasal dari limbah hasil pembakaran yang berupa fly ash dan bottom ash. Dari 173 industri tekstil yang terdata dalam API maka sebanyak 73 industri telah menggunakan batu bara sebagai sumber energinya (data Desember 2005) yang berlokasi di Kota Bandung, Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat dan Kota Cimahi. Tabel 4.9 Kualitas Emisi dan Udara Dari Cerobong Asap Industri Tahun 2005 (sebagai ilustrasi) Parameter Total partikulat SO2 NO2 Opasitas CO CO2 Efisiensi pembakaran Kapasitas boiler batu bara Satuan 3 µg/nm 3 µg/nm 3 µg/nm % 3 µg/nm 3 µg/nm % ton/jam Rentang nilai 8 - 2025 96 - 1477 90 - 393 10 - 20 23 - 1593 73.79 - 153.88 98.22 - 99.99 10 - 30 Rata-rata 310,9 601,5 202,9 12 407,3 130,41 99,63 15,56 Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi 2005 Industri Tekstil di Bandung Raya & Kebutuhan Energi Dari studi industri tekstil di Bandung Raya (GTZ –ProLH-Lab. B3 Dept.Teknik Lingkungan ITB) pada Desember 2005 terindikasi bahwa industri tekstil mendominasi jenis industri yang berada di Bandung Raya (63%) dengan sebaran : 18 84% industri berada di Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Kota Cimahi 13% berada di Kota Bandung 3% berada di Kabupaten Sumedang Akibat kenaikan Tarif Dasar Listrik dan harga bahan minyak mengakibatkan banyak industri yang beralih menggunakan energi alternatif seperti batu bara merupakan salah satu pemecahan masalah. Penggunaan energi batu bara akan memunculkan limbah padat yang dihasilkan berupa fly-ash (FA) dan bottom-ash (BA). Limbah ini digolongkan limbah B3 menurut PP18/99 jo PP85/99, yang terdapat dalam daftar lampiran 1 Tabel 2 dengan kode D223 dan D-230. Masuknya limbah dalam regulasi tersebut berarti segala aktivitas pengelolaannya termasuk upaya pemanfaatannya harus memiliki izin khusus dari Kementerian Lingkungan Hidup Pusat. Menurut informasi, di wilayah Bandung terdapat lebih dari 300 perusahaan tekstil yang tersebar di tiga wilayah yaitu Kabupaten Bandung (Kab. Bandung Barat masih bersatu), Kota Bandung dan Kota Cimahi. Namun dari jumlah tersebut hanya 173 buah perusahaan yang terdapat dalam daftar Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). 73 buah industri sampai Desember 2005 telah menggunakan batubara sebagai sumber energinya. 31,14% yang menggunakan batu bara tersebut dilakukan penjaringan data menggunakan kuesioner (22 buah). Dari hasil suatu penelitian diperoleh jawaban sebagai berikut : Menjawab Limbah Jumlah batu bara yang dihasilkan (ton/hari) 57,14% Fly Ash 0,2 - 20 ton/hari 61,90% Bottom Ash 0,08 - 7 ton/hari Sumber : Laporan academic considerations in FA & BA in Greater Bandung, 2005 Sebagai gambaran jumlah penggunaan batubara oleh industri di beberapa wilayah di Jawa Barat sebagai berikut : 19 Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2008 Pencemaran udara akibat penggunaan batu bara adalah yang paling sering dikeluhkan masyarakat sekitar. Sekitar 60% responden menjawab bahwa pengendalian partikulat khususnya dengan cyclone merupakan upaya yang digunakan untuk mengurangi pencemaran udara, data terlampir. Tabel 4.10 Pengendali Pencemaran Udara dari Boiler Batu Bara Menjawab (60%) Pencemaran udara dari Boiler Pengendalian partikulat Gravity settler Cyclone Bag house filter Electrostatic presipitator lainnya (%) 88,24 86,67 13,33 6,67 Sumber : Laporan academic considerations in FA & BA in Greater Bandung, 2005 4.2.2.2 Aktivitas Pengelolaan Sampah Domestik (TPA) Permasalahan limbah padat dan sampah domestik dewasa ini menjadi cukup serius mengingat volume dan laju timbulan makin meningkat seiring dengan peningkatan biaya penanganannya yang makin tinggi. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi di Jawa Barat, timbulan sampah yang dihasilkan setiap hari menjadi semakin meningkat jumlahnya sedangkan penanganannya banyak menghadapi kendala karena keterbatasan biaya dan fasilitas. 20 Limbah padat dan sampah domestik yang tidak tertangani setiap hari, saat ini umumnya tertumpuk di beberapa lokasi penampungan sementara berupa timbulan dalam jumlah yang besar. Persoalan pengelolaan sampah tidak hanya berakibat pada pencemaran udara akibat titik sumber kebakaran tapi juga pencemaran air, pencemaran tanah serta bau. Titik sumber kebakaran yang terjadi di TPA ini berdasarkan dari karakteristik sumber limbah padat yang memiliki sifat yang berhubungan dengan nilai kalor bahan heating value. Jawa Barat memiliki TPA yang umumnya beroperasi dengan sistem control landfill dan open dumping Dari 25 kabupaten dan kota yang ada di Jawa Barat sebesar 52 % memiliki TPA yang beroperasi dengan sistem open dumping di tiap kotanya. Hanya sebesar 48 % di kabupaten dan kota yang mengoperasikan TPA-nya dengan sistem control landfill sementara sisanya merupakan dengan sistem open dumping atau pun campuran (lihat Bab 8). Dari kedua sistem ini yang berpengaruh besar terhadap potensi pencemaran udara adalah sistem open dumping. 4.3 Dampak / Impact Pencemaran udara atau sering kita dengar istilah polusi udara adalah peristiwa pemasukan dan/atau penambahan senyawa, bahan, atau energi ke dalam lingkungan udara akibat kegiatan alam dan manusia sehingga udara dan temperatur tidak sesuai lagi untuk tujuan pemanfaatan yang paling baik atau nilai lingkungan udara itu menurun. Selain menyebabkan penyakit bagi manusia, juga mengancam kelangsungan eksistensi tumbuhan dan hewan, maupun ekosistem dimana mereka hidup. Beberapa unsur pencemar (pollutant) kembali ke bumi melalui deposisi asam atau salju yang mengakibatkan sifat korosif pada bangunan, tanaman, hutan, disamping itu juga membuat sungai dan danau menjadi suatu lingkungan yang berbahaya bagi ikan-ikan karena pH yang rendah. Secara umum, dampak lingkungan akibat pencemaran udara dapat diamati pada : 1. lingkungan fisik dan 2. lingkungan kesehatan 21 Dampak lingkungan fisik diakibatkan oleh padatan renik atau debu, gas-gas karbon monoksida, hidrokarbon, nitrogen oksida, dan sulfur oksida. Dampak ini mengakibatkan dampak lanjutan pada lingkungan kesehatan. Dampak-dampak yang terlihat seperti : a. penurunan jarak pandang dan radiasi matahari b. kenyamanan yang berkurang c. kerusakan tanaman d. percepatan kerusakan bahan konstruksi dan sifat tanah dan e. peningkatan laju kematian atau jenis penyakit 4.3.1 Dampak Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan Berdasarkan laporan WHO-Erope 2004 yang diumumkan di Berlin, Copenhagen dan Roma pada tanggal 15 April 2005 silam menyebutkan bahwa pencemaran udara yang melibatkan zat PM10, NO2, SO2, dan O3, berhubungan secara langsung dengan terjadinya peningkatan jumlah dan keparahan gejala saluran pernafasan bawah dan atas pada anak-anak. Ditemukan bukti pula adanya kemungkinan interaksi antar pencemar udara dan infeksi saluran pernafasan. Di Jawa Barat, dari hasil Profil Kesehatan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2006 maka dapat terlihat dampak pencemaran udara terhadap kesehatan. Pengaruh dari udara tersebut terdiri dari berbagai faktor misalnya cuaca dan paparan yang terus menerus terhadap tubuh manusia, namun dari pemeringkatan lima tertinggi penyakit yang terdata di puskesmas untuk rawat jalan dan rawat inap diduduki oleh penyakit berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Tahun 2007 22 Untuk lebih jelasnya mengenai pengaruh berbagai parameter kualitas udara maka dapat dijelaskan sebagai berikut : Karbon monoksida (CO). WHO telah membuktikan bahwa karbon monoksida yang secara rutin mencapai tingkat tidak sehat di banyak kota dapat mengakibatkan kecilnya berat badan janin, meningkatnya kematian bayi dan kerusakan otak, dimana hal ini bergantung pada lamanya seorang wanita hamil terpapar dan bergantung pada kekentalan polutan di udara. Asap kendaraan merupakan sumber hampir seluruh karbon monoksida yang dikeluarkan hampir semua perkotaan. Dampak : beracun, bereaksi dengan haemoglobin (Hb) dalam darah manusia menghasilkan carboxyhemoglobin (COHb) sehingga mengurangi kemampuan darah untuk mengalirkan oksigen sehingga mengakibatkan letih, sakit kepala, mengantuk, kegagalan pernafasan, koma dan kematian. Nitrogen Oksida. Nitrogen oksida yang terjadi ketika panas pembakaran menyebabkan bersatunya oksigen dan nitrogen yang terdapat di udara memberikan berbagai ancaman bahaya. Zat nitrogen oksida ini sendiri menyebabkan kerusakan paru-paru. Setelah beraksi di atmosfer, zat ini membentuk partikel-partikel nitrat amat halus yang menembus bagian terdalam paru-paru. Partikel ini bila bergabung dengan air baik di paru-paru atau uap air di awan akan membentuk asam. Akhirnya zat-zat oksida ini bereaksi dengan asap bensin yang tidak terbakar dan zat-zat hidrokarbon lain di sinar matahari dan membentuk ozon rendah atau ”smog” kabut berwarna coklat kemerahan yang menyelimuti sebagian besar kota di dunia. Dampak : menghambat pertumbuhan tanaman, gangguan kesehatan, photochemical smog, hujan asam, pemanasan global, korosi logam, merusak pakaian. Sulfur oksida. Emisi sulfur dioksida terutama timbul dari pembakaran batu bara fosil yang mengandung sulfur terutama batu bara yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik atau pemanasan rumah tangga. Sistem pemantauan lingkungan global yang disponsori PBB memperkirakan bahwa pada 1987 dua pertiga penduduk kota hidup di kota-kota yang konsentrasi sulfur dioksida diudara sekitarnya diatas atau tepat pada ambang batas yang ditetapkan WHO. Gas ini berbau tajam dan tidak berwarna namun dapat menimbulkan serangan asma. Dampak : hujan asam, korosi logam, merusak batuan dan tumbuhan, mengganggu pernafasan. 23 Materi Partikulat. Zat ini sering disebut sebagai asap atau jelaga; benda-benda partikulat ini sering merupakan pencemar udara yang secara visual terlihat jelas dan biasanya paling berbahaya. Sistem pemantauan lingkungan global yang disponsori oleh PBB memperkirakan pada tahun 1987 sebanyak 70% penduduk kota di dunia hidup di kotakota dengan partikel yang mengambang diudara melebihi ambang batas yang ditetapkan WHO. Sebagian benda partikulat keluar dari cerobong pabrik sebagai asap hitam tebal, tetapi yang paling berbahaya adalah partikel halus (butiran kecil) sehingga dapat menembus bagian terdalam paru-paru. Sebagian besar partikel halus ini terbentuk dengan polutan lain terutama sulfur dioksida dan oksida nitrogen dan secara kimiawi berubah dan membentuk zat-zat nitrat dan sulfat. Dampak : mengurangi visibilitas, korosi logam, merusak bangunan, gangguan nafas dan kesehatan. Ozon (asap kabut fotokimiawi). Terdiri dari beratus-ratus zat kimiawi yang terdapat dalam asap kabut, terbentuk ketika hidrokarbon pekat di perkotaan beraksi dengan oksida nitrogen. Tetapi karena salah satu zat kimiawi itu (ozon) adalah yang dominan maka pemerintah menggunakan sebagai tolok ukur menentapkan konsentrasi oksidan secara umum. Ozon sebagai oksidan kuat dan beracun sehingga sering digunakan sebagai desinfektan pada pengolahan air minum. Dampak : pemanasan global, kerusakan hutan, photochemical smog, mengurangi visibilitas dan gangguan kesehatan. Timbal. Logam berwarna kelabu keperakan yang amat beracun dalam setiap bentuknya ini merupakan ancaman berbahaya bagi anak di bawah usia 6 tahun. Logam berat ini bersumber dari asap kendaraan berbahan bakar bensin yang mengandung timah maka polutan ini dapat ditemui di mana ada mobil, truk dan bus. Di kota Mexico City misalnya tujuh dari 10 bayi yang baru lahir memiliki kadar timah dalam darah lebih tinggi daripada standar yang diizinkan oleh WHO. Dampak : merusak kecerdasan, menghambat pertumbuhan, mengurangi kemampuan mendengar dan memahami bahasa dan menghilangkan konsentrasi. 24 Tabel 4.11 Dampak Kualitas Udara Terhadap Penyakit Kategori Dan warna Baik Rentang 0 - 50 Sedang 51 - 100 Tidak sehat 101 - 199 Sangat tidak sehat 200 - 299 Berbahaya > 300 CO NO2 Tidak ada efek Sedikit berbau Perubahan kimia darah tapi tidak terdeteksi Peningkatan kardiovaskuler pada perokok yang sakit jantung berbau Peningkatan kardiovaskuler pada orang bukan perokok yang sakit jantung Bau dan kehilangan warna, tingkat reaktivitas pembuluh tenggorokan naik Sensitivitas pasien penyakit asma dan bronkhitis meningkat O3 SO2 Luka pada beberapa spesies tumbuhan akibat kombinasi dengan SO2 (selama 4 jam) Luka pada beberapa spesies tumbuhan Penurunan kemampuan atlet (yang berlatih keras) Luka pada beberapa spesies tumbuhan akibat kombinasi dengan O3 (selama 4 jam) Luka pada beberapa spesies tumbuhan Bau, meningkatnya kerusakan tanaman Tidak ada efek Sensitivitas pasien penyakit asma dan bronkhitis meningkat Sensitivitas pasien penyakit asma dan bronkhitis meningkat Olah raga ringan berpengaruh terhadap pernafasan pasien penyakit paru dan jantung Tingkat berbahaya bagi semua populasi yang terpapar Sumber : KLH, 2004 25 Partikulat Terjadi penurunan jarak pandang penurunan jarak pandang & pengotoran debu Kotak 4.1 Pengukuran Uji Kadar Timbal Dalam Darah Murid SD di Beberapa Wilayah Di Jawa Barat Mengkhawatirkan Sejak penelitian yang dilaksanakan oleh ITB pada tahun 2005 tentang kadar timbal dalam darah anak-anak SD menunjukkan bahwa dari 400 anak tersebar di kota Bandung, rata-rata melebihi ambang batas (10 µg/dL) adalah 264 orang atau 66% dari sampel dilaksanakan penelitian yang sama dengan sampel pada lokasi yang berbeda. Penelitian kedua pada tahun 2008 telah dilaksanakan oleh BPLHD Provinsi Jawa Barat dengan meneliti empat SD yang ada di Jawa Barat yaitu : 1. SD Negeri Soka Kota Bandung (50 sampel) 2. SD Negeri Cibiru Kabupaten Bandung (52 sampel) 3. SD Negeri Cimahi Mandiri 2 Kota Cimahi (53 sampel) 4. SD Negeri Cibodas Lembang Kabupaten Bandung Barat (53 sampel) Dari total keseluruhan sampel maka sebanyak 63 orang dari 203 anak melebihi ambang batas (10 µg/dL). Bila dilihat dari lokasi masing-masing maka SDN Soka menunjukkan jumlah siswa yang lebih banyak melewati ambang batas WHO yaitu 46% (23 sampel). Lokasi SD merupakan sekolah dengan lokasi lalu lintas lebih padat dibandingkan dengan lokasi lainnya. Dampak Penurunan Kualitas Udara A. Efek Rumah Kaca, Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Perubahan iklim maupun pemanasan global adalah isu yang masih asing bagi kita. Dampak yang terjadi tidak membuat kita percaya bahwa pengaruh pemanasan global dapat menyengsarakan hidup kita. Hal ini diperkuat pula oleh kontranya negara maju seperti Amerika Serikat yang belum meratifikasi Protokol Kyoto sebagai komitmen pengurangan emisi penyebab gas rumah kaca. Efek rumah kaca adalah penyebab sementara pemanasan global dan perubahan iklim adalah akibat. Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya akumulasi panas di atmosfer yang kemudian akan mempengaruhi sistem iklim global. Hal ini bisa menyebabkan naiknya temperatur rata-rata bumi yang kemudian disebut dengan 26 pemanasan global (data terakhir naiknya temperatur permukaan bumi sebesar 0,7C sejak tahun 1900). Efek rumah kaca adalah peristiwa alam yang disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca (GRK) diatmosfer yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Gas ini berkemampuan menyerap radiasi matahari di atmosfer sehingga menyebabkan suhu permukaan bumi menjadi lebih hangat. Dalam konvensi PBB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change - UNFCC) ada enam jenis gas yang digolongkan GRK sebagai berikut : Tabel 4.12 Jenis-jenis GRK Berdasarkan UNFCCC Gas Rumah Kaca Karbondioksida (CO2) Metan (CH4) Dinitroksida (N2O) Sulfur heksafluorida (SF6) Hidrofluorokarbon (HFCs) Perfluorokarbon (PFCs) Sumber Pembakaran bahan bakar fosil, transportasi, deforestasi, pertanian Pertanian, perubahan tata guna lahan, pembakaran biomassa, tempat pembuangan akhir sampah Pembakaran bahan bakar fosil, industri, pertanian Transmisi listrik, manufaktur, industri pendingin (freon), penggunaan aerosol Industri manufaktur, industri pendingin (freon), penggunaan aerosol Industri manufaktur, industri pendingin (freon), penggunaan aerosol Sumber : KLH, 2004 Dampak GRK terhadap pemanasan global sangat bervariasi. Untuk jumlah konsentrasi yang sama, tiap GRK memberikan dampak pemanasan global yang berbeda. Untuk memudahkan dalam membandingkan dampak yang berlainan ini maka digunakan Indeks potensi pemanasan global (GWP). Indeks ini ditentukan dengan menggunakan CO2 sebagai acuan yaitu dengan cara membandingkan satu satuan berat GRK tertentu dengan sejumlah CO2 yang memberikan dampak pemanasan global yang sama. Misalnya satu juta ton emisi gas metana (CH4) akan memberikan dampak yang sama dengan 21 gas CO2. 27 Tabel 4.13 Indeks Potensi Pemanasan Global Beberapa GRK Terhadap CO2 Dalam Waktu 100 Tahun No Jenis Gas Indeks Potensi Pemanasan Global 1 CO2 1 2 CH4 21 3 4 N2O HFCs 310 500 5 SF6 9200 Sumber : KLH, Indonesia, The First National Communication, 1999 Dari ilustrasi tersebut maka dapat terlihat bahwa karbon-dioksida adalah penyumbang utama gas kaca. Sebagai gambaran, dari masa pra-industri yang sebesar 280 ppm meningkat menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Angka ini melebihi angka alamiah dari studi perubahan iklim dari masa lalu (paleoklimatologi), dimana selama 650 ribu tahun hanya terjadi peningkatan dari 180-300 ppm. Terutama dalam dasawarsa terakhir (1995-2005), tercatat peningkatan konsentrasi karbon-dioksida terbesar pertahun (1,9 ppm per tahun), jauh lebih besar dari pengukuran atmosfer pada tahun 1960, (1.4 ppm per tahun), kendati masih terdapat variasi tahun per tahun. Selain itu karbondioksida walaupun hanya sebagai trace gas dalam atmosfer bumi, dengan konsentrasi sekitar 0,033%-v memiliki peran penting dalam mengatur iklim bumi dan karbondioksida memberikan kontribusi besar terhadap pemanasan global yaitu sebesar 55% dibandingkan terhadap gas-gas rumah kaca lainnya. B. Sumber Peningkatan Karbondioksida Sumber peningkatan konsentrasi karbon-dioksida adalah penggunaan bahan bakar fosil, ditambah pengaruh perubahan permukaan tanah. Peningkatan konsentrasi metana (CH4), dari 715 ppb (part per billion=satu per milyar) di jaman pra-industri menjadi 1732 ppb di awal 1990-an, dan 1774 pada tahun 2005. Ini melebihi angka yang berubah secara alamiah selama 650 ribu tahun (320 - 790 ppb). Sumber utama peningkatan metana pertanian dan penggunaan bahan bakar fosil. Konsentrasi nitro-oksida (N2O) dari 270 ppb - 319 ppb pada 2005. Seperti juga penyumbang emisi yang lain, sumber utamanya adalah manusia dari agricultural. Kombinasi ketiga komponen utama tersebut menjadi penyumbang terbesar pada pemanasan global. 28 Kontribusi antropogenik pada aerosol (sulfat, karbon organik, karbon hitam, nitrat dan debu) memberikan efek mendinginkan, tetapi efeknya masih tidak dominan dibanding terjadinya pemanasan, disamping ketidakpastian perhitungan yang masih sangat besar. Demikian juga dengan perubahan ozon troposper akibat proses kimia pembentukan ozon (nitrogen oksida, karbon monoksida dan hidrokarbon) berkontribusi pada pemanasan global. Kemampuan pemantulan cahaya Matahari (albedo), akibat perubahan permukaan Bumi dan deposisi aerosol karbon hitam dari salju, mengakibatkan perubahan yang bervariasi, dari pendinginan sampai pemanasan. Perubahan dari pancaran sinar Matahari (solar irradiance) tidaklah memberi kontribusi yang besar pada pemanasan global. Dari tabel berikut ini memperlihatkan kandungan emisi karbon dari berbagai jenis bahan bakar dimana pengaruh penggunaan bahan bakar batubara menduduki peringkat tertinggi diikuti oleh minyak bumi dan gas alam cair. Tabel 4.14 Kandungan Emisi Karbon Tiap Jenis Bahan Bakar No Jenis Bahan Bakar 1 2 3 Batubara Minyak Bumi Gas Alam Cair Emisi CO2/kwh (gr CO2) 940 798 581 Sumber : May Antoinette Ajero, Estimating CO2 Emissions Reduction by example, 2003 Dampak Terhadap Jawa Barat Khusus untuk Indonesia IPCC juga menyebutkan akan menghadapi resiko besar akibat pemanasan global. Dimana pada tahun 2030, diprediksi akan terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 8-29 cm dari saat ini. Bila benar, Indonesia dikhawatirkan akan kehilangan sekitar 2000 pulau-pulau kecil. Penduduk Jawa Barat di pesisir pantai utara dan pantai selatan akan kekurangan air bersih (krisis air bersih) Pada sejumlah daerah aliran sungai akan terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yang kian tajam. Akibatnya, akan sering terjadi banjir, sekaligus kekeringan yang sekarang sudah mulai terasa di beberapa daerah di Jawa Barat 29 Perubahan iklim akan mengakibatkan terjadinya krisis persediaan makanan akibat tingginya potensi gagal panen (lihat data kekeringan, ancaman kekeringan serta puso di Jawa Barat) Meluasnya penyebaran penyakit tropis seperti malaria, demam berdarah dan diare. Kasus malaria yang umumnya berdasarkan indikator habitat nyamuk di daerah dataran rendah mulai dapat beradaptasi dengan kondisi dataran tinggi membutuhkan tingkat kewaspadaan dan kesiapan yang tinggi. Di Jawa terjadi kenaikan penyakit malaria dari 18 kasus per 100 ribu pada tahun 1998, menjadi 48 kasus per 100 ribu pada tahun 2000, atau naik hampir 3 kali lipat (Kompas, 18 Januari 2002). 4.4 A. Respon Ratifikasi Perubahan Iklim Indonesia meratifikasi Konvensi Kerangka PBB mengenai Perubahan Iklim lewat UU No. 6 tahun 1994. Sepuluh tahun kemudian Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto lewat UU No. 17 tahun 2004. Komitmen tersebut sekarang membutuhkan usaha dan tindakan nyata yang menyeluruh, mencakup segenap sektor penyumbang emisi gas rumah-kaca serta sekuestrasi karbon. Komitmen tersebut harus pula secara serentak diterapkan dengan usaha perbaikan pemenuhan syarat kualitas hidup rakyat dan kualitas lingkungan hidup, dan tercermin dalam pengelolaan sektor-sektor produksi dan konsumsi prioritas untuk tindakan mitigasi dan adaptasi. Mitigasi perubahan iklim adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperlambat terjadinya perubahan iklim lebih lanjut. Adaptasi perubahan iklim adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi perubahan iklim yang terjadi. Mitigasi Pelaku Pemerintah Masyarakat Kegiatan Meratifikasi konvensi perubahan iklim (UNFCCC) dan Protokol Kyoto Pengembangan program terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan Mengurangi konsumsi listrik (penggunaan peralatan hemat energi) Mematikan peralatan elektronik yang tidak digunakan Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi Meningkatkan penggunaan transportasi masal Bersepeda atau berjalan kaki untuk jarak dekat 30 Pelaku Industri Kegiatan Menanam pohon di sekitar tempat tinggal Pemanfaatan energi secara efisien Pemanfaatan bahan bakar dan bahan ramah lingkungan Sumber : Panduan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim KLH, 2007 Kegiatan Adaptasi Pelaku Pemerintah Masyarakat Kegiatan Mendorong pemangku kepentingan untuk melakukan kajian kerentanan dan adaptasi Menyusun strategi dan kebijakan nasional untuk kegiatan adaptasi perubahan iklim Mengurangi konsumsi air bersih Membiasakan diri dengan makanan pokok lain (selain beras) Merelokasi industri yang berlokasi di tepi pantai ke tempat yang lebih tinggi Sumber : Panduan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim KLH, 2007 B. Transportasi Umum di Bandung Menerapkan Program Zero Growth Jumlah kendaraan angkutan kota (angkot) di Kota Bandung dinilai sudah terlalu banyak. Hingga kini terdapat 5.521 angkot yang beroperasi. Berdasarkan data Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung pada tahun 2002 lalu jumlah angkot yang beroperasi tidak lagi mengalami penambahan karena dinilai sudah terlalu banyak. Sejak saat itu dishub pun tidak lagi mengeluarkan izin baru untuk operasi angkot baru. Penyetopan izin penambahan jumlah angkot ini dilakukan sejak dikeluarkan SK no. 551.2 tahun 2002. Tahun 1999 2002 - sekarang Jumlah Trayek Jumlah Angkot 5.436 kendaraan 5.521 kendaraan 38 trayek Sumber : Dishub Kota Bandung, 2008 Operator angkot Kobatar Baru : 4.000 unit Kobutri : 600 unit Kopamas : 400 unit Dari dua data diatas terlihat sebanyak 521 kendaraan merupakan kendaraan yang tidak beroperator. Menurut pengamat transportasi ITB Kusbiantoro (Sindo, 29 Agustus 2008) salah satu faktor hal ini terjadi merupakan pengawasan pemerintah yang lemah sehingga kurang 31 tertatanya sistem transportasi. Berdasarkan keterangan Dishub, pembatasan jumlah angkutan umum dilakukan dishub hanya untuk angkot yang beroperasi di dalam Kota Bandung. Sedangkan penyumbang angkot terbanyak berasal dari luar kota Bandung, seperti Kabupaten Bandung dan Cimahi. Hal ini tidak serta merta bisa menghentikan laju angkot yang masuk ke Kota Bandung dari wilayah sekitar karena hal itu merupakan kewenangan Dishub Jawa Barat. Jumlah angkot yang masuk ke Kota Bandung dari Kabupaten Bandung dan Cimahi melebihi jumlah angkot yang beroperasi di Kota Bandung, permasalahan ini telah disampaikan kepada Dishub Jawa Barat. Fenomena pemakaian kendaraan pribadi dan sepeda motor menjadi salah satu penyebab menurunnya jumlah penumpang sehingga muncul penilaian bahwa angkot yang ada di kota Bandung semakin banyak dan tidak terkendali. Konversi Angkot dengan Bus Untuk menekan tingkat polusi sekaligus mewujudkan transportasi masal yang nyaman dan ramah lingkungan, pemerintah diminta tidak lagi memberikan perpanjangan izin operasi angkutan kota. Menurut pakar transportasi dari ITB Prof. Ofyar Zainuddin Tamin menegaskan angkot yang izinnya tidak diperpanjang harus diganti dengan bus. Tiga angkot yang tidak diperpanjang dikonversi ke satu bus. Bus ini pun harus menggunakan bahan bakar gas atau bensin non timbal. Hanya pemerintah yang bisa mengeluarkan kebijakan tersebut. Selain konversi angkot ke bus, penyediaan transportasi masal mensyaratkan infrastruktur memadai. Pemerintah harus menyediakan terminal atau halte di titik-titik penumpang. Arus angkot yang teratur berdampak positif karena arus kendaraan semakin lancar dan tingkat polusi semakin rendah. Resume Pengendalian Pencemaran Udara Akibat Kendaraan Bermotor - Pemberian izin bagi angkutan umum kecil dibatasi, sementara untuk kendaraan angkutan masal seperti bus dan kereta api diperbanyak - Pembatasan usia kendaraan, karena semakin tua kendaraan terutama yang kurang terawat semakin besar potensi polusi udaranya, hal ini terbukti pada uji emisi di Bakorwil Bogor dan Cirebon 32 Pengaturan lalu lintas, perjelas dan perbanyak rambu-rambu serta tindakan tegas bagi - pelanggar aturan lalu lintas, karena potensi terbesar polusi kendaraan bermotor adalah kemacetan lalu lintas Pemberian penghambat laju kendaraan di permukiman atau gang-gang (polisi tidur) - justru merupakan biang polusi. Kendaraan bermotor akan memperlambat laju kendaraannya Uji emisi dilaksanakan secara berkala pada kendaraan umum maupun pribadi meskipun - secara uji petik Penghijauan atau penanaman pohon berdaun lebar di pinggir jalan ataupun di tempat- - tempat perhentian sementara kendaraan pada lalu lintas padat untuk mengurangi polusi udara Konversi bahan bakar menjadi bahan bakar gas untuk mengurangi polutan akibat bahan - bakar bensin non timbal Penghematan Dimulai di Rumah Tangga Upaya untuk menghemat listrik dapat dilakukan dengan cara beradaptasi dengan lingkungan dan mengurangi panas yang datang dari luar, lalu diikuti dengan perbaikan konfigurasi arsitektural. “Saat ini 2/3 panas ruangan disebabkan oleh desain atap yang salah, padahal penggunaan atap bening dapat menyerap hingga 90% panas (Sumber : seminar Home Design Going Green, September 2007). Sumber-sumber Emisi CO2 Disekitar Kita Yang Dapat Dilakukan Penghematan Konsumsi listrik memberi sumbangan kenaikan emisi CO2 sebesar 19%. Di rumah tinggal, penggunaan pendingin ruangan menempati urutan pertama konsumsi listrik (38%) , diikuti oleh komputer (10%); penanak nasi (10%); mesin cuci (9%); setrika (9%); mesin air (6%); lampu (5%); pemanas air (4%); kipas: 3%; lemari es dan televisi (2%) serta radio/tape (1%). Sementara untuk gedung, penggunaan AC mencapai (39%), lampu (24%); kipas angin (17%); lift ( 7%) dan perlengkapan lainnya sebesar 1(3%). 4.4.1 Kebijakan, Undang - undang dan Peraturan yang Berhubungan dengan Udara A. Terkait Langsung dengan Pengelolaan Udara Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara antara lain mengatur tentang : 33 o Perlindungan mutu udara yang didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemaran Udara. o Operasionalisasi pengendalian pencemaran udara berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh kepala instansi yang berwenang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dikoordinasikan oleh Gubernur. o Pencegahan pencemaran udara dilaksanakan dengan keharusan setiap saat. o Kepmenlh No. Kep-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. o Kepmenlh No. Kep-13/Menlh/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak. o Kepmenlh No. Kep-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan . o Kepmenlh No. Kep-49/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran. o Kepmenlh No. Kep-50/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan. o Kepmenlh No. Kep-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara. o Kepmenlh No. 141 Tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi. o Kepmenlh No. 15/1996 tentang Program Langit Biru. o Keputusan Kepala Bappedal No. 107/Bapedal/XI/1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemaran Udara. B. Terkait Tidak Langsung dengan Pengelolaan Udara SK Dirjen Migas No.108 K/72/DDDJM/1997 tentang Penentuan Spesifikasi Bahan Bakar yang boleh diperjualbelikan di wilayah Indonesia. Saat ini spesifikasi bahan bakar yang tersedia di pasar memiliki kandungan timbal s/d 0.30 gr/liter, dan tekanan uap Reid 62 kPa pada suhu 37.8°C. Sedangkan untuk minyak solar penetapan spesifikasi teknis mengikuti pada SK Dirjen Migas No. 113.K/72/DJM/1999 yang mengijinkan kandungan belerang s/d 5000 ppm wt, serta mengharuskan Angka Setana lebih tinggi dari 48. Penghapusan bensin bertimbal. Bensin tanpa timbal telah mulai tersedia di Jakarta dan sekitarnya pada Juli 2001 sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk penghapusan bensin bertimbal di seluruh Indonesia. Selanjutnya, pemerintah juga 34 telah menyediakan bensin tanpa timbal untuk kota-kota lainnya seperti Denpasar, Batam, dan Cirebon. Namun disayangkan, bahwa rencana pemerintah untuk menghapuskan timbal dari seluruh Indonesia pada Januari 2003 tidak terlaksana. Tabel 4.15 Kadar Timbal Dalam Bensin di Beberapa Kota Tahun 2004 Kota Kadar Timbal (gr/l) Contoh daerah yang telah dipasok bensin tanpa timbal 1. BATAM 2. DENPASAR 3. JABOTABEK 0.002 0.004 0.002 Contoh kota yang masih dipasok bensin bertimbal 1. MAKASAR 2. SEMARANG 3. YOGYAKARTA 4. BANDUNG 0.228 0.203 0.224 0.193 Sumber : Komite Penghapusan Bensin Bertimbal 4.4.2 Peraturan/Perundangan yang Terkait Sektor Transportasi dan Industri Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan. Berdasarkan PP ini maka pemeriksaan kendaraan di jalan dapat dilakukan untuk memeriksa kelaikan jalan kendaraan, termasuk memeriksa emisi gas buang kendaraan jika diperlukan. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi. PP ini mengatur tentang persyaratan teknis yang harus dimiliki oleh kendaraan yang akan diproduksi di Indonesia, termasuk kewajiban untuk melaksanakan pengujian emisi sebagai bagian dari uji tipe maupun uji berkala kendaraan. Undang - undang Nomor 5 tahun 1984 tentang perindustrian merupakan landasan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan untuk mencegah dampak akibat kegiatan industri yang berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan. Sebagai contoh adalah pasal 21 yang secara tegas melarang kegiatan industri menyebabkan degradasi dan pencemaran lingkungan serta ekosistem. 35 Tabel 4. 16 Analisis State, Pressure dan Response Untuk Aspek Udara No 1. Kualitas udara di Jawa Barat Semakin memburuk Pressure Sumber Penyebab Pencemaran Udara adalah : 1. Emisi Kendaraan Bermotor 2. Sistem Transportasi dan Manajemen Lalu Lintas 3. Emisi Industri 4. Responsibiliti dan Kemampuan SDM 5. Sumber Pencemar Lainnya Aktivitas domestic Aktivitas Perkotaan Aktivitas Pembuangan Sampah sampah yang berpotensi untuk mencemari udara berupa debu hasil pembakaran. State Kondisi Kualitas Udara Ambien di beberapa lokasi: Hasil pengukuran udara ambien di beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat pada tahun 2007 : parameter SO2) dan CO dibawah baku mutu nasional maupun daerah. parameter NO2, dari kabupaten dan kota yang dipantau, hanya satu titik pantau di Kota Bekasi yang melebihi baku mutu (hampir 6 kali diatas baku mutu ambien). PM10, di Kabupaten Indramayu dan Kota Depok melebihi nilai ambang batas. Di Kabupaten Indramayu, nilai PM10 melebihi 6 kali diatas baku mutu. Di Kota Depok terdapat 5 lokasi yang melebihi baku mutu. Parameter Pb dari semua yang dipantau, hanya satu lokasi yang melebihi nilai ambang batas yaitu di kota Depok. Dampak Pencemaran Udara adalah : 1. Perubahan Iklim Dampak dari perubahan iklim global adalah sebagai berikut: a. Krisis air bersih perkotaan b. Persediaan air tanah, semakin menipis c. Naiknya curah hujan akan mempercepat erosi tanah, d. Meningkatnya permukaan air laut e. Rusaknya infrastruktur daerah tepi pantai. f. Beberapa jenis 36 Response Response yang Dilakukan : sudah 1. Kebijakan pemerintah: Ratifikasi perubahan iklim Indonesia meratifikasi Konvensi Kerangka PBB mengenai Perubahan Iklim lewat UU No. 6 tahun 1994 dan Protokol Kyoto lewat UU No. 17 tahun 2004. Pengendalian pencemaran udara akibat kendaraan bermotor - Pembatasan usia kendaraan - Pengaturan lalu lintas untuk mengurangi kemacetan - Uji emisi dilaksanakan secara berkala - Penghijauan atau penanaman pohon berdaun lebar di pinggir jalan untuk mengurangi polusi udara - Konversi bahan bakar menjadi bahan bakar gas untuk mengurangi polutan akibat bahan bakar bensin non timbal 2. Partisipasi Pemerintah Daerah, Swasta dan Masyarakat a. Pemeriksaan emisi kendaraan b. Pemantauan kualitas udara yang berasal dari sumber bergerak dan tidak bergerak c. Mengembangkan No Pressure g. State keanekaragaman hayati terancam punah matinya terumbuterumbu karang akibat adanya peningkatan temperatur laut walau hanya sebesar 2-3ºC. 2. Penipisan Lapisan Ozon 3. Efek Rumah Kaca Pemanasan Global & 4. Hujan Asam gas SO2 + NOx dengan air hujan asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3) (turun ke permukaan bumi sebagai deposisi basah) Data pH rata-rata tahunan air hujan: tendensi menurun, mengindikasikan adanya proses perubahan kualitas air hujan Response biodiesel. d. Pengembangan bahan bakar alternatif. e. Melaksanakan gerakan penghijauan kota f. Melaksanakan gerakan udara bersih 3. Pengelolaan Emisi Kendaraan Bermotor a) Perbaikan sistem pembakaran dan penggunaan katalis (catalytic converter) b) Pengendalian manajemen lalu lintas c) Kontrol kualitas emisi harus diimbangi dengan kontrol jumlah kendaraan. d) Jenis kendaraan bermotor (umum dan pribadi) wajib diuji kelayakan jalan secara Uji emisi. Usulan : Pengelolaan Pencemaran Udara Akibat Aktivitas Lalu Lintas Mengurangi jumlah pemakaian kendaraan dan meningkatkan daya angkut kendaraan. menyediakan transportasi umum masal 37