Bab II Tinjauan Pustaka

advertisement
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Tanaman Tin (Ficus carica L.)
Tanaman tin atau ara, dalam Bahasa Inggris dikenal dengan nama fig, tergolong
famili moraceae. Tanaman ini berasal dari Timur Tengah dan sudah tersebar
hingga dataran Eropa dan Amerika.(16) Namun, saat ini tanaman tin sudah
menyebar hingga dataran Asia, bahkan Indonesia. Tanaman tin yang berada di
Indonesia berasal dari Yordania.(15)
Tanaman ini tidak dapat tumbuh di daerah yang beriklim sangat dingin, yaitu
daerah dengan suhu di bawah 0°C. Namun, tanaman ini dapat tumbuh dengan
cukup subur di dalam ruangan yang diberi panas buatan, dengan tetap
mendapatkan sinar matahari.(17)
II.1.1 Taksonomi Tanaman Tin
Adapun taksonomi tanaman tin adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Rosales
Famili
: Moraceae
Genus
: Ficus
Spesies
: Ficus carica L.(18)
II.1.2 Morfologi Tanaman Tin
Tanaman tin dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 3 – 10 m. Dengan batang
yang kurang kokoh, tanaman tin perlu disangga pada setiap percabangannya agar
tidak mudah roboh. Batang tanaman tin mempunyai getah yang cukup banyak.
Daun tanaman tin berwarna hijau, agak tebal dan umumnya bergerigi pada bagian
pinggirnya. Permukaan atas daun tanaman ini agak kasar dan mempunyai bulubulu halus pada permukaan bawahnya. Tiap daunnya mempunyai 3 – 7 cuping.
Adapun bentuk dan warna dari buah tanaman tin dapat dilihat pada Gambar II.1.
7
Buah muda dari tanaman ini berwarna hijau, seiring dengan matangnya buah,
warna kulit akan berubah menjadi ungu kehitaman, sementara bagian dalamnya
berwarna merah.(19)
(b)
(a)
(c)
Gambar II.1. Tanaman tin (Ficus carica L.)
(a) pohon tin lengkap dengan daunnya yang bercuping
(b) buah tin yang masih muda (berwarna hijau)
(c) buah tin yang sudah matang (berwarna ungu)
Buah dari tanaman tin mengandung sedikit air dan berbiji banyak, seperti yang
dapat dilihat pada Gambar II.2.(20)
Gambar II.2. Biji-biji berwarna merah yang terdapat di dalam buah tin segar
yang sudah dipotong
8
II.1.3 Kandungan Nutrisi dan Khasiat Tanaman Tin
Beragam nutrisi yang sangat bermanfaat terkandung di dalam buah tin.
Berdasarkan data yang diperoleh dari USDA Nutrient Database, Tabel II.1
menjelaskan kandungan nutrisi di dalam setiap 100 gram buah tin kering.(21)
Tabel II.1. Kadar nutrisi yang terkandung di dalam setiap 100 gram buah tin
kering tanpa dimasak
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
Jenis nutrisi
Berat
Karbohidrat
Lemak
Protein
Thiamin (vitamin B1)
Riboflavin (vitamin B2)
Niacin (vitamin B3)
Asam pantotenat (vitamin B5)
Vitamin B6
Folat (vitamin B9)
Vitamin C
Kalsium
Zat besi
Magnesium
Fosforus
Kalium
Zink
63,87 g
0,93 g
3,30 g
0,085 mg
0,082 mg
0,619 mg
0,434 mg
0,106 mg
0,009 mg
1,2 mg
162 mg
2,03 mg
68 mg
67 mg
680 mg
0,55 mg
Kandungan serat (dietary fiber) buah tin tak kalah hebatnya dengan buah apel dan
jeruk. Berdasarkan penelitian Californian Figs Nutritional Information, buah tin
mengandung serat yang sangat tinggi. Dalam setiap 100 g buah tin kering
terkandung 12,2 g serat, sedangkan apel hanya mengandung 2 g dan jeruk hanya
mengandung 1,9 g.(15)
Mengkonsumsi buah yang mirip jambu batu ini secara teratur, menurut para pakar
kesehatan, dapat membantu membersihkan racun di dalam tubuh, mencegah
kanker dan penyakit degeneratif lainnya.(15)
9
Sementara berdasarkan hasil penelitian di Universitas Rutgers, New Jersey, selain
mengandung antioksidan yang dapat mengikat senyawa karsinogenik penyebab
kanker, buah tin juga mengandung asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan bagi
kesehatan, di antaranya yaitu omega–3 dan omega–6. Selain itu, buah tin juga
tergolong buah rendah lemak, rendah kalori dan bebas kolesterol sehingga sangat
cocok dikonsumsi para penderita diabetes melitus (DM).(15)
II.2 Glukosa dalam Darah
Secara umum, makanan manusia mengandung karbohidrat, lemak dan protein.
Karbohidrat dalam makanan mempunyai beberapa fungsi utama yang tidak dapat
digantikan oleh zat makanan yang lain. Gula di dalam tubuh berfungsi sebagai
sumber tenaga atau energi gerak, sumber energi spesifik bagi sel otak dan jaringan
syaraf. Di samping itu, gula juga berfungsi dalam produksi protein dan
metabolisme lipid. Gula yang dimaksud adalah glukosa.(4)
Berdasarkan strukturnya, glukosa merupakan karbohidrat yang tergolong
monosakarida dengan rumus molekul C6H12O6. Struktur dari glukosa dapat dilihat
pada Gambar II.3.
H OH
H O
HO
HO
H
H
H
OH
HO
Gambar II.3. Struktur glukosa dalam proyeksi Harworth dengan model
konformasi kursi
Glukosa diserap ke dalam peredaran darah melalui saluran pencernaan. Glukosa
yang tidak digunakan sebagai bahan bakar disimpan dalam bentuk glikogen di
dalam hati dan otot. Glikogen merupakan sumber energi cadangan yang akan
dikonversi kembali menjadi glukosa pada saat dibutuhkan.(22)
10
Dalam proses penyediaan tenaga, glukosa merupakan bahan utama yang
diperlukan dalam proses kimia untuk menghasilkan bahan energi tinggi yang
dikenal sebagai adenosin trifosfat (ATP). Pada saat otot berkontraksi, otot
memerlukan tenaga. Pada saat itu, ATP dipecah menjadi adenosin difosfat (ADP),
sehingga dihasilkan energi yang dapat dipergunakan untuk beraktivitas.(4)
Gambar II.4. Insulin manusia
Kadar glukosa dalam darah akan dijaga keseimbangannya oleh hormon insulin
yang diproduksi oleh sel β yang terdapat pada pulau Langerhans pada kelenjar
pankreas.(5) Gambar II.4 memperlihatkan struktur hormon insulin manusia.
Berdasarkan gambar tersebut, hormon insulin manusia terdiri dari rantai A yang
mengandung 21 unit asam amino dan rantai B yang mengandung 30 unit asam
amino. Rantai A dan rantai B dihubungkan dengan dua unit jembatan disulfida.
Selain itu, terdapat pula jembatan disulfida internal pada rantai A.(23)
Gambar II.5. Struktur hormon insulin: (a) model pengisi ruang; dan (b) model
pita
11
Berdasarkan model pengisi ruang pada Gambar II.5, atom karbon, hidrogen,
oksigen dan nitrogen berturut-turut diperlihatkan dengan warna hijau, putih,
merah dan biru. Sementara berdasarkan model pita, unit monomer yang terdiri
dari rantai A dan B masing-masing diperlihatkan dengan pita berwarna biru dan
cyan, garis kuning menunjukkan jembatan disulfida, sedangkan bulatan magenta
menunjukkan ion Zn2+.(24)
Gambar II.6. Proses pengaturan keluar–masuknya glukosa ke dalam sel oleh
hormon insulin
Insulin dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu
masuknya glukosa ke dalam sel, seperti yang terlihat pada Gambar II.6.(25)
Selanjutnya glukosa akan dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak
ada, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, akibatnya glukosa akan tetap
berada di dalam pembuluh darah. Dengan demikian, kadar glukosa dalam darah
akan meningkat. Dalam kondisi seperti ini tubuh akan menjadi lemah karena tidak
ada sumber energi di dalam sel.(5)
II.3 Diabetes Melitus
II.3.1 Pengertian Diabetes Melitus
Kata diabetes berasal dari Bahasa Yunani, yaitu diabainein, yang berarti pancuran
air, sedangkan kata melitus berasal dari Bahasa Latin, yaitu mellitus, yang berarti
manis.(26) Penyakit yang lebih dikenal dengan kencing manis ini ditandai dengan
hiperglikemia, yaitu peningkatan kadar glukosa darah yang terus-menerus dan
tidak stabil, terutama setelah makan. Sumber lain menyebutkan bahwa diabetes
12
melitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolisme akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi
kronik pada mata, ginjal atau pembuluh darah.(27) Menurut American Diabetes
Association (ADA), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya.(28) Sumber lain menyebutkan bahwa DM adalah suatu
kumpulan gejala yang timbul karena adanya peningkatan kadar glukosa darah
akibat kekurangan insulin, baik absolut maupun relatif.(10) DM ditemukan pada ±
3% populasi.(29)
Gejala khas dari DM adalah adanya kehausan yang terus-menerus (polidipsi),
banyak kencing (puliuri), cepat merasa lapar (polifagi) dan kehilangan berat badan
yang cepat tanpa jelas penyebabnya. Gejala DM lainnya dapat berupa kesemutan,
gatal-gatal terutama pada daerah genital, cepat lelah dan kaburnya penglihatan.(6)
Sementara itu, komplikasi DM dapat terjadi secara akut maupun kronis.
Komplikasi akut berupa hipoglikemia dan ketoasidosis diabetik, sedangkan
komplikasi kronis dapat berupa makroangiopati seperti penyakit serebrovaskular,
penyakit
jantung
koroner,
penyakit
pembuluh
darah
tungkai,
ataupun
mikroangiopati seperti pada pembuluh darah kapiler retina mata, ginjal dan syaraf.
Kontrol yang ketat terhadap kadar glukosa darah penderita dapat memperlama
terjadinya komplikasi tersebut.(6,7,29)
Tabel II.2. Kriteria diagnosis DM
Jenis keluhan
Kadar glukosa darah (mg/dL)
Setelah 2 jam pada
Sewaktu
Puasa
tes toleransi glukosa
Keterangan
Keluhan klinis
khas DM (+)
≥ 200
≥ 126
≥ 200
–
Keluhan klinis
khas DM (–)
≥ 200
≥ 126
≥ 200
Pemeriksaan
dilakukan 2 kali
pada hari yang
berbeda
13
Dalam menentukan diagnosis pasti DM, seperti yang tertera pada Tabel II.2 di
atas, harus didasarkan pada pemeriksaan kadar glukosa darah.(6,30) Hal yang perlu
diperhatikan dalam penentuan ini adalah asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaannya. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan dengan cara
enzimatik, yaitu dengan bahan darah plasma vena. Namun, dapat juga dipakai
bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler, dengan memperhatikan
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai standar dari WHO, sebagaimana yang
dijelaskan melalui Tabel II.3.(1,6)
Tabel II.3. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai
patokan screening dan diagnosis DM (mg/dL)
Parameter kadar
glukosa darah
Bahan darah
Bukan DM
Belum pasti
DM
DM
Sewaktu
Plasma vena
Darah kapiler
< 110
< 90
110 – 199
99 – 199
≥ 200
≥ 200
Puasa
Plasma vena
Darah kapiler
< 110
< 90
110 – 125
90 – 109
≥ 126
≥ 110
II.3.2 Jenis dan Penyebab Diabetes Melitus
Terdapat beberapa tipe DM yang disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara
faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup. Secara garis besar penderita DM dapat
dikategorikan ke dalam DM tipe 1 dan DM tipe 2.(30)
II.3.2.1 Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes melitus (DM) tipe 1 bergantung pada insulin sehingga disebut sebagai
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau diabetes anak-anak. DM tipe
ini ditandai dengan hilangnya sel β penghasil insulin pada pulau-pulau
Langerhans pada pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. DM
tipe ini dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa. Sampai saat ini DM
tipe 1 tidak dapat dicegah, bahkan diet dan olahraga tidak bisa menyembuhkan
ataupun mencegah DM tipe 1.(3)
14
Kebanyakan penderita DM tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik
pada saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respon
tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita DM tipe ini, terutama
pada tahap awal. Saat ini, DM tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan
insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap kadar glukosa darah melalui alat
monitor pengujian darah. Pengobatan dasar DM tipe 1, bahkan untuk tahap paling
awal sekalipun, adalah dengan penggantian insulin.(3)
Gejala DM baru timbul apabila ± 80% sel β pankreas telah rusak. Sisa sel β
pankreas yang masih berfungsi baik tidak cukup untuk memertahankan toleransi
glukosa.(30,31) Gejala yang timbul ini sama dengan gejala DM yang telah
disebutkan sebelumnya. Apabila penyakit ini tidak diobati, dapat menimbulkan
penurunan berat badan dan hambatan pertumbuhan pada anak yang menderita DM
tipe 1. Kadar insulin yang lebih rendah dari normal akan terus turun sejalan
dengan progresivitas penyakit. Pemberian terapi insulin dapat menghindari pasien
DM tipe 1 jatuh ke kondisi yang lebih buruk.(29)
II.3.2.2 Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus (DM) tipe 2 tidak bergantung pada insulin sehingga disebut
sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Jumlah insulin pada
DM tipe 2 normal, bahkan mungkin lebih banyak, tetapi reseptor insulin yang
terdapat pada permukaan sel kurang. Pada keadaan ini, meskipun insulinnya
banyak, tetapi karena reseptornya kurang, maka glukosa yang masuk ke dalam sel
akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar, dalam hal ini glukosa.
Dengan demikian, kadar glukosa di dalam darah akan meningkat, seperti halnya
yang terjadi pada DM tipe 1. Perbedaannya, pada DM tipe 2, di samping kadar
glukosanya yang tinggi, kadar insulin juga tinggi atau bahkan normal. Kondisi
seperti ini disebut juga sebagai resistensi insulin.(10) Penyebab resistensi insulin
pada DM tipe 2 tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor berikut yang cukup
berperan yaitu: (a) obesitas, terutama yang bersifat sentral; (b) diet tinggi lemak
dan rendah karbohidrat; (c) kurangnya pergerakan badan; dan (d) faktor
15
keturunan. Pada DM tipe 2, jumlah sel β pankreas berkurang 50-60% dari
normal.(10)
DM tipe 2 biasanya mula-mula diobati dengan cara peningkatan aktivitas fisik,
diet ketat dan pengurangan berat badan. Jika diperlukan, maka dilakukan langkah
pengobatan berikutnya, yaitu dengan mengkonsumsi obat antidiabet secara oral.(3)
DM tipe 2 merupakan kasus DM yang paling banyak terjadi, yaitu ± 90% dari
keseluruhan kasus DM, dan terutama terjadi di negara-negara berkembang di
mana dalam masyarakatnya terjadi perubahan dari pola hidup tradisional ke pola
hidup modern.(2) DM tipe ini biasanya terjadi pada usia dewasa, meskipun
mungkin saja terjadi pada umur yang lebih muda. Pada usia dewasa timbul setelah
usia 35 tahun, dan penderita umumnya mengalami obesitas.(29) Bila DM tipe 2 ini
terjadi pada remaja atau anak muda, hal ini menunjukkan adanya faktor
keturunan.(2) Berbeda dengan DM tipe 1, DM tipe 2 memiliki kadar insulin yang
lebih tinggi dari normal.(29)
Kerusakan primer yang mendasari DM tipe 2 masih dalam perdebatan, namun
banyak penelitian mendukung pernyataan bahwa resistensi insulin terjadi lebih
dahulu daripada kelainan sekresi insulin.(30) DM tipe 2 ditandai oleh tiga kelainan
patofisiologi, yakni gangguan sekresi insulin, resistensi insulin perifer dan
produksi glukosa hepatik yang berlebih.(28,30)
Pada tahap awal kelainan, toleransi glukosa masih normal meskipun terdapat
resistensi insulin, karena sel β pankreas dapat mengkompensasi dengan
meningkatkan pengeluaran insulin. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia terus
terjadi, sebaliknya pulau Langerhans semakin lama tidak dapat lagi menghadapi
keadaan hiperisnulinemia. Terjadilah gangguan toleransi glukosa yang ditandai
dengan meningkatnya kadar glukosa setelah makan. Selanjutnya terjadi diabetes
dengan hiperglikemia saat puasa.(28,30) Kondisi kadar glukosa tinggi dan kadar
insulin tinggi atau normal inilah yang khas terjadi pada DM tipe 2.(10,30)
16
II.4 Pengaturan Kadar Glukosa Darah
Kesuksesan dalam menjaga kadar glukosa darah pada batasan normal dapat
mencegah terjadinya komplikasi diabetes melitus (DM). Faktor lainnya yang
dapat mengurangi komplikasi yaitu berhenti merokok, mengoptimalkan kadar
kolesterol, menjaga kestabilan berat badan, mengontrol tekanan darah dan
melakukan olahraga secara teratur. Gambar II.7 menjelaskan perbedaan nilai
Konsentrasi Gula Darah (mg/dL)
toleransi glukosa antara darah normal dan darah penderita DM tipe 1 (IDDM).(32)
200
IDDM
180
160
140
120
Normal
100
80
1
2
3
4
5
6
Waktu (Jam)
Gambar II.7. Nilai toleransi glukosa untuk darah normal dan darah penderita
DM tipe 1 (IDDM)
Insulin merupakan hormon anabolik yang menjadi regulator terpenting dalam
menjaga keseimbangan antara produksi glukosa hepatik dan penyerapan serta
penggunaan glukosa di perifer, selain dari faktor input neural, signal metabolik
dan hormon-hormon lainnya yang pada akhirnya menghasilkan suatu kontrol
terhadap kadar glukosa darah.(33,34,35)
II.5 Pengujian Kadar Glukosa Darah Puasa
Pengujian kadar glukosa dalam darah dapat dilakukan salah satunya melalui
metoda pengujian kadar glukosa darah puasa (Fasting Blood Glucose, FBG).
Pengujian FBG merupakan metoda pengujian yang sangat sederhana dan cepat
dalam penentuan glukosa darah serta dalam melakukan diagnosis bahwa
seseorang menderita penyakit DM. Sebelum darah dari seorang pasien diuji
dengan metoda FBG, yang bersangkutan diharuskan untuk berpuasa selama 8
sampai 12 jam. Pasien tersebut kemudian akan dinyatakan menderita penyakit
17
DM jika nilai glukosa darah puasanya sebesar 126 mg/dL atau lebih tinggi.
Supaya lebih akurat, pengujian dilakukan sebanyak dua kali pada waktu yang
berbeda.(36) Tabel II.4 menjelaskan perbandingan kadar glukosa darah puasa
dengan metoda pengujian FBG, baik pada darah normal, darah pra-DM, maupun
pada darah penderita DM.(37)
Tabel II.4. Nilai kadar glukosa darah puasa dengan metoda FBG sebagai ukuran
diagnosis DM
Diagnosis
Normal
Pra-DM
DM
Kadar glukosa darah puasa
(mg/dL)
(mmol/L)
70 – 99
100 – 125
> 126
3,9 – 5,5
5,6 – 6,9
> 7,0
II.6 Diabetes Aloksan
Status diabetes yang terjadi pada manusia dapat ditiru dengan sejumlah prosedur
eksperimental, salah satunya dengan menggunakan aloksan yang umumnya
diberikan terhadap hewan uji, seperti kelinci, tikus atau mencit.(38)
II.6.1 Kimia Aloksan
Aloksan atau 2,4,5,6-tetraoksipirimidin memiliki rumus molekul C4H2N2O4
dengan struktur molekul seperti pada Gambar II.8. Senyawa ini merupakan hasil
kondensasi yang berasal dari satu molekul urea dan satu molekul asam
mersoksalat. Aloksan tergolong senyawa yang sangat tidak stabil dalam air pada
pH netral, tetapi stabil pada pH 3. Selain itu, aloksan tergolong senyawa yang
mudah larut dalam air, aseton, metanol, etanol dan asam asetat glasial. Namun,
aloksan sedikit larut dalam kloroform, petroleum eter, toluena, asam asetat dan
anhidrida asam asetat serta tidak larut di dalam eter. Dalam air panas larutannya
berwarna kuning dan setelah dingin warnanya hilang. Aloksan yang sudah terurai
berwarna merah jambu dan kelarutannya di dalam air akan semakin berkurang.(39)
18
O
HN
NH
O
O
O
Gambar II.8. Struktur molekul aloksan
II.6.2 Farmakologi Aloksan
Injeksi intravena aloksan dapat merusak secara cepat, langsung dan khas pada sel
β pankreas, menyebabkan sel-sel mengalami degenerasi, sedangkan sel α tetap
tidak terpengaruhi. Namun, hewan uji yang menderita diabetes aloksan tidak sama
sekali kehilangan insulin. Efek cepat dari aloksan adalah meningkatkan kadar
glukosa darah, tetapi kenaikan ini dapat dicegah oleh pemeliharaan serta
pemberian insulin. Pencegahan dari tingkat hiperglikemia tidak dapat mencegah
kerusakan pada sel β pankreas.(38,39)
Metabolit aloksan memiliki kerja sitotoksik dan berkaitan dengan diabetes melitus
(DM) pada manusia. Aloksan secara selektif bersifat toksik terhadap sel β
pankreas dan tidak menyebabkan kerusakan pada sel endokrin lain maupun pada
parenkim eksokrin.(33) Aloksan dengan cepat ditangkap oleh sel β pankreas dan
berefek langsung pada permeabilitas membran, sehingga terjadi abnormalitas
morfologi sel. Selain itu, aloksan juga bekerja pada transport heksosa,
menghambat glukosa merangsang pelepasan insulin dan menghambat glikolitik
serta oksidasi piruvat pada pulau Langerhans pankreas sehingga energi yang
berasal dari glukosa berkurang.(40,41)
Beberapa penelitian menggunakan dosis aloksan yang bervariasi yaitu 80 – 150
mg/kgBB baik secara intravena, intraperitoneal maupun subkutan untuk
menimbulkan hiperglikemia pada hewan uji.(40,42) Dosis aloksan 125 mg/kgBB
diteliti merupakan dosis optimal yang dapat menghasilkan sebanyak 80% tikus
diabetes dengan kadar glukosa darah 200 – 400 mg/dL, di mana berdasarkan
19
pengamatan morfologi terhadap tingkat kerusakan sel β pankreas, menunjukkan
masih terdapat sejumlah sel β yang masih baik. Sementara dosis aloksan 175
mg/kg BB menghasilkan keadaan diabetes dengan kadar glukosa darah 400 – 800
mg/dL dan tikus yang dapat bertahan hidup setelah 48 jam hanya 25%. Hal ini
menunjukkan bahwa induksi aloksan pada hewan uji dapat menghasilkan model
diabetes tipe 1 maupun tipe 2, bergantung pada tingkat kerusakan sel β
pankreas.(43)
II.7 Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan konsensus pengelolaan diabetes melitus (DM) tipe 1 di Indonesia,
pengelolaan DM dapat dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu, yaitu 2 – 4 minggu. Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran yang diharapkan, maka perlu dilakukan intervensi farmakologis
dengan obat hipoglikemik oral atau dengan suntikan insulin.(6,30) Berdasarkan cara
kerjanya, obat hipoglikemik oral terbagi menjadi tiga golongan, yaitu: (a) pemicu
sekresi insulin; (b) penambah sensitivitas terhadap insulin; dan (c) penghambat α–
glukosidase.(10)
II.7.1 Pemicu Sekresi Insulin
II.7.1.1 Sulfonilurea
Meskipun masih dalam perbedaan pendapat, cara kerja obat ini pada umumnya
adalah sebagai berikut:
a.
meningkatkan jumlah reseptor insulin pada otot dan sel lemak;
b.
meningkatkan efisiensi sekresi insulin dan potensial stimulasi insulin yang
tersimpan dari sel β pankreas;
c.
penurunan produksi glukosa oleh hati; dan
d.
memblok ATP–sensitive potassium channel pada sel β pankreas sehingga
menghasilkan depolarisasi.(10,44)
Obat yang tergolong sulfonilurea merupakan pilihan untuk pasien diabetes melitus
(DM) dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah
mengalami ketoasidosis sebelumnya. Seluruh sulfonilurea dimetabolisme di hati,
20
sedangkan
metabolitnya
akan
diekskresikan
melalui
urin.
Sulfonilurea
mempunyai efek samping di antaranya mual, muntah, anemia aplastik, hemolitik,
serta hipersensitivitas. Sulfonilurea tidak boleh diberikan pada pasien yang
menderita penyakit hati, ginjal dan gangguan tiroid, serta pasien yang sedang
hamil.(10,44)
Berdasarkan struktur kimianya, sulfonilurea dibagi menjadi dua generasi.
Generasi pertama terdiri dari tolbutamid dan klorpropamid. Sementara generasi
kedua terdiri dari glibenklamid, glipisid dan glikasid yang dianggap lebih
potensial daripada generasi pertama. Adapun rincian dari berbagai obat
hipoglikemik yang tergolong sulfonilurea adalah sebagai berikut:
a.
Tolbutamid
Dosis inisial harian tolbutamid adalah 500 mg, dengan dosis maksimal
efektif 3000 mg dapat digunakan 2 – 3 kali sehari, 30 menit sebelum makan.
b.
Klorpropamid
Klorpropamid diekskresi melalui ginjal sehingga tidak dipakai pada
gangguan faal ginjal dan oleh karena lama kerjanya lebih dari 24 jam,
diberikan dosis tunggal. Obat ini tidak dianjurkan untuk pasien geriatri.
c.
Glibenklamid
Obat ini mempunyai efek hipoglikemik yang paten, sehingga pasien perlu
diingatkan untuk melakukan jadwal makanan yang ketat. Namun, obat ini
dikatakan mempunyai efek terhadap agregasi trombosit. Dalam batas-batas
tertentu, glibenklamid masih dapat diberikan pada beberapa kelainan fungsi
hati dan ginjal. Meskipun waktu paruhnya cukup pendek, yaitu 3 – 5 jam,
akan tetapi efek glibenklamid dapat bertahan sampai 12 – 24 jam, sehingga
dapat diberikan dalam dosis tunggal. Potensinya mencapai 100 kali potensi
obat generasi pertama.
d.
Glikasid
Berbeda dengan glibenklamid, obat ini mempunyai efek hipoglikemik yang
sedang sehingga tidak begitu sering menyebabkan kondisi hipoglikemia.
Namun, obat ini mempunyai efek anti agregasi trombosit yang paten.
21
Glikasid dapat diberikan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi hati
dan ginjal yang ringan.
e.
Glipisid
Glipisid mempunyai efek yang lebih lama dari glibenklamid tetapi lebih
pendek dari klorpropamid serta mempunyai efek menekan produksi glukosa
hati dan meningkatkan jumlah reseptor.(10,44)
II.7.1.2 Glinid
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, yaitu dengan cara meningkatkan sekresi insulin pada fase pertama.
Jika dilihat dari struktur kimianya, glinid tergolong derivat asam karboksilat. Obat
antidiabet yang tergolong glinid di antaranya yaitu:
a.
Repaglinid
Obat ini menstimulasi sekresi insulin dengan cara memblok ATP–sensitive
potassium channel pada sel β pankreas. Repaglinid mempunyai efek
hipoglikemik ringan sampai sedang serta diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresikan secara cepat melalui hati. Efek
samping yang dapat terjadi pada obat ini adalah keluhan gastrointestinal.
b.
Nateglinid
Cara kerja obat ini hampir sama dengan repaglinid, namun nateglinid
merupakan derivat dari fenilalanin. Efek nateglinid dalam meningkatkan
sekresi insulin lebih kecil jika dibandingkan dengan obat hipoglikemik oral
lainnya. Metabolisme utamanya terjadi di dalam hati, sedangkan
ekskresinya melalui ginjal, sehingga harus berhati-hati jika diberikan pada
penderita gangguan hati dan ginjal. Obat ini akan efektif bila diminum 1 –
10 menit sebelum makan, dengan dosis 123 mg. Efek samping yang dapat
terjadi adalah keluhan infeksi saluran napas atas.(10,44)
II.7.2 Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin
II.7.2.1 Biguanid
Biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan menurunkan kadar glukosa darah
sampai normal (euglikemia) serta tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Salah
22
satu contoh obat yang tergolong biguanid adalah metformin dengan berbagai
karakteristik sebagai berikut: (a) menurunkan kadar glukosa darah dengan
memperbaiki transport glukosa ke dalam sel otot yang dirangsang oleh insulin; (b)
memperbaiki ambilan glukosa sebesar 10 – 40%; (c) menurunkan produksi
glukosa hati dengan jalan mengurangi glikolisis dan glukoneogenesis; (d)
menurunkan kadar trigliserida hingga 16%, LDL kolesterol hingga 8% dan total
kolesterol hingga 5% dan juga dapat menigkatkan LDL kolesterol hingga 2%; (e)
berbeda dengan golongan sulfonilurea karena tidak meningkatkan sekresi insulin,
jadi tidak dapat menyebabkan hipoglikemia, tidak menaikkan berat badan dan
malah kadang-kadang dapat menurunkan berat badan; (f) menurunkan kadar
glukosa puasa sebanyak 60 mg/dL; (g) meningkatkan jumlah reseptor insulin; dan
(h) mempunyai efek samping berupa muntah-muntah, bahkan diare, sehingga
lebih baik diberikan pada pasien yang gemuk, sebab tidak merangsang sekresi
insulin.(10,44)
II.7.2.2 Tiazolidinedion
Tiazolidinedion berikatan dengan peroxisome proliferator activated receptor
gamma (PPARγ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Obat antidiabet
yang tergolong tiazolidinedion di antaranya yaitu:
a.
Pioglitazon
Obat ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah transporter glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Obat ini dimetabolisasi di dalam hati dan
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung karena dapat
memperberat edema dan juga gangguan faal hati. Saat ini, pioglitazon tidak
digunakan sebagai obat tunggal.
b.
Rosiglitazon
Cara kerja obat rosiglitazon hampir sama dengan pioglitazon, diekskresikan
melalui urin dan feses. Obat ini mempunyai efek hipoglikemik yang cukup
baik jika dikombinasikan dengan metformin. Pada saat ini belum beredar di
Indonesia.(10,44)
23
II.7.3 Inhibitor α–Glukosidase
Inhibitor α–glukosidase atau acarbose merupakan inhibitor yang terletak pada
dinding usus halus. Enzim α–glukosidase, yang terdiri dari maltase, isomaltase,
glukomaltase dan sukrase, berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida,
trisakarida dan disakarida pada dinding usus halus. Inhibisi sistem enzim ini
secara efektif dapat mengurangi digesti karbohidrat kompleks dan absorpsinya,
sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada pasien
diabetes melitus (DM). Acarbose juga dapat menghambat α–amylase pankreas
yang berfungsi melakukan hidrolisis terhadap kompleks amilum di dalam lumen
usus halus.(10)
Obat yang tergolong acarbose merupakan obat oral yang biasanya diberikan
dengan dosis 150 – 600 mg/hari. Obat ini efektif bagi pasien dengan diet tinggi
karbohidrat dan kadar glukosa plasma kurang dari 180 mg/dL. Efek samping obat
ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare, yang
akan berkurang setelah pengobatan lebih lama. Obat ini hanya memengaruhi
kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak memengaruhi kadar glukosa
darah setelah itu. Bila diminum bersama-sama dengan obat sulfonilurea atau
dengan insulin, dapat terjadi hipoglikemia yang dapat diatasi dengan glukosa
murni, jadi tidak dapat diatasi dengan pemberian gula pasir. Obat ini diberikan
dengan dosis awal sebesar 50 mg dan dinaikkan secara bertahap, serta dianjurkan
untuk memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan.(10)
II.8 Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus L.)
Lebih dari 90% dari semua hewan uji yang digunakan di dalam berbagai
penelitian adalah binatang pengerat, terutama mencit (Mus musculus L.) dan tikus
(Rattus norvegicus L.). Hal ini disebabkan karena secara genetik, manusia dan
kedua hewan uji tersebut mempunyai banyak sekali kemiripan.(45) Jenis mencit
dan tikus yang paling umum digunakan adalah jenis albino galur Sprague Dawley
dan galur Wistar, seperti terlihat pada Gambar II.9. Kedua jenis hewan tersebut
sering digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian dan pelatihan medis pada
pengelolaan kesehatan gigi, obesitas, diabetes melitus dan hipertensi serta
24
digunakan dalam bidang gizi, terutama untuk mempelajari hubungan antara nutrisi
dengan penuaan dini.(45)
Gambar II.9. Tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus L.)
Jika dibandingkan dengan tikus betina, tikus jantan lebih banyak digunakan sebab
tikus jantan menunjukkan periode pertumbuhan yang lebih lama.(45) Adapun
taksonomi dari tikus putih adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Divisi
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus L.(45)
Tikus putih atau yang lebih dikenal dengan tikus albino ini lebih banyak dipilih
karena tikus yang dilahirkan dari perkawinan antara tikus albino jantan dan betina
mempunyai tingkat kemiripan genetis yang besar, yaitu 98%, meskipun sudah
lebih dari 20 generasi. Bahkan setelah terjadi perkawinan tertutup di antara tikus
albino ini, mereka masih mempunyai kemiripan genetis yang sangat besar yaitu
99,5%. Hal inilah yang menyebabkan mereka dikatakan hampir menyerupai
hewan hasil klon.(45)
25
Download