Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Tanaman Tin (Ficus carica L.) Tanaman tin atau ara, dalam Bahasa Inggris dikenal dengan nama fig, tergolong famili moraceae. Tanaman ini berasal dari Timur Tengah dan sudah tersebar hingga dataran Eropa dan Amerika.(16) Namun, saat ini tanaman tin sudah menyebar hingga dataran Asia, bahkan Indonesia. Tanaman tin yang berada di Indonesia berasal dari Yordania.(15) Tanaman ini tidak dapat tumbuh di daerah yang beriklim sangat dingin, yaitu daerah dengan suhu di bawah 0°C. Namun, tanaman ini dapat tumbuh dengan cukup subur di dalam ruangan yang diberi panas buatan, dengan tetap mendapatkan sinar matahari.(17) II.1.1 Taksonomi Tanaman Tin Adapun taksonomi tanaman tin adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Rosales Famili : Moraceae Genus : Ficus Spesies : Ficus carica L.(18) II.1.2 Morfologi Tanaman Tin Tanaman tin dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 3 – 10 m. Dengan batang yang kurang kokoh, tanaman tin perlu disangga pada setiap percabangannya agar tidak mudah roboh. Batang tanaman tin mempunyai getah yang cukup banyak. Daun tanaman tin berwarna hijau, agak tebal dan umumnya bergerigi pada bagian pinggirnya. Permukaan atas daun tanaman ini agak kasar dan mempunyai bulubulu halus pada permukaan bawahnya. Tiap daunnya mempunyai 3 – 7 cuping. Adapun bentuk dan warna dari buah tanaman tin dapat dilihat pada Gambar II.1. 7 Buah muda dari tanaman ini berwarna hijau, seiring dengan matangnya buah, warna kulit akan berubah menjadi ungu kehitaman, sementara bagian dalamnya berwarna merah.(19) (b) (a) (c) Gambar II.1. Tanaman tin (Ficus carica L.) (a) pohon tin lengkap dengan daunnya yang bercuping (b) buah tin yang masih muda (berwarna hijau) (c) buah tin yang sudah matang (berwarna ungu) Buah dari tanaman tin mengandung sedikit air dan berbiji banyak, seperti yang dapat dilihat pada Gambar II.2.(20) Gambar II.2. Biji-biji berwarna merah yang terdapat di dalam buah tin segar yang sudah dipotong 8 II.1.3 Kandungan Nutrisi dan Khasiat Tanaman Tin Beragam nutrisi yang sangat bermanfaat terkandung di dalam buah tin. Berdasarkan data yang diperoleh dari USDA Nutrient Database, Tabel II.1 menjelaskan kandungan nutrisi di dalam setiap 100 gram buah tin kering.(21) Tabel II.1. Kadar nutrisi yang terkandung di dalam setiap 100 gram buah tin kering tanpa dimasak Jenis nutrisi Berat Karbohidrat Lemak Protein Thiamin (vitamin B1) Riboflavin (vitamin B2) Niacin (vitamin B3) Asam pantotenat (vitamin B5) Vitamin B6 Folat (vitamin B9) Vitamin C Kalsium Zat besi Magnesium Fosforus Kalium Zink 63,87 g 0,93 g 3,30 g 0,085 mg 0,082 mg 0,619 mg 0,434 mg 0,106 mg 0,009 mg 1,2 mg 162 mg 2,03 mg 68 mg 67 mg 680 mg 0,55 mg Kandungan serat (dietary fiber) buah tin tak kalah hebatnya dengan buah apel dan jeruk. Berdasarkan penelitian Californian Figs Nutritional Information, buah tin mengandung serat yang sangat tinggi. Dalam setiap 100 g buah tin kering terkandung 12,2 g serat, sedangkan apel hanya mengandung 2 g dan jeruk hanya mengandung 1,9 g.(15) Mengkonsumsi buah yang mirip jambu batu ini secara teratur, menurut para pakar kesehatan, dapat membantu membersihkan racun di dalam tubuh, mencegah kanker dan penyakit degeneratif lainnya.(15) 9 Sementara berdasarkan hasil penelitian di Universitas Rutgers, New Jersey, selain mengandung antioksidan yang dapat mengikat senyawa karsinogenik penyebab kanker, buah tin juga mengandung asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan bagi kesehatan, di antaranya yaitu omega–3 dan omega–6. Selain itu, buah tin juga tergolong buah rendah lemak, rendah kalori dan bebas kolesterol sehingga sangat cocok dikonsumsi para penderita diabetes melitus (DM).(15) II.2 Glukosa dalam Darah Secara umum, makanan manusia mengandung karbohidrat, lemak dan protein. Karbohidrat dalam makanan mempunyai beberapa fungsi utama yang tidak dapat digantikan oleh zat makanan yang lain. Gula di dalam tubuh berfungsi sebagai sumber tenaga atau energi gerak, sumber energi spesifik bagi sel otak dan jaringan syaraf. Di samping itu, gula juga berfungsi dalam produksi protein dan metabolisme lipid. Gula yang dimaksud adalah glukosa.(4) Berdasarkan strukturnya, glukosa merupakan karbohidrat yang tergolong monosakarida dengan rumus molekul C6H12O6. Struktur dari glukosa dapat dilihat pada Gambar II.3. H OH H O HO HO H H H OH HO Gambar II.3. Struktur glukosa dalam proyeksi Harworth dengan model konformasi kursi Glukosa diserap ke dalam peredaran darah melalui saluran pencernaan. Glukosa yang tidak digunakan sebagai bahan bakar disimpan dalam bentuk glikogen di dalam hati dan otot. Glikogen merupakan sumber energi cadangan yang akan dikonversi kembali menjadi glukosa pada saat dibutuhkan.(22) 10 Dalam proses penyediaan tenaga, glukosa merupakan bahan utama yang diperlukan dalam proses kimia untuk menghasilkan bahan energi tinggi yang dikenal sebagai adenosin trifosfat (ATP). Pada saat otot berkontraksi, otot memerlukan tenaga. Pada saat itu, ATP dipecah menjadi adenosin difosfat (ADP), sehingga dihasilkan energi yang dapat dipergunakan untuk beraktivitas.(4) Gambar II.4. Insulin manusia Kadar glukosa dalam darah akan dijaga keseimbangannya oleh hormon insulin yang diproduksi oleh sel β yang terdapat pada pulau Langerhans pada kelenjar pankreas.(5) Gambar II.4 memperlihatkan struktur hormon insulin manusia. Berdasarkan gambar tersebut, hormon insulin manusia terdiri dari rantai A yang mengandung 21 unit asam amino dan rantai B yang mengandung 30 unit asam amino. Rantai A dan rantai B dihubungkan dengan dua unit jembatan disulfida. Selain itu, terdapat pula jembatan disulfida internal pada rantai A.(23) Gambar II.5. Struktur hormon insulin: (a) model pengisi ruang; dan (b) model pita 11 Berdasarkan model pengisi ruang pada Gambar II.5, atom karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen berturut-turut diperlihatkan dengan warna hijau, putih, merah dan biru. Sementara berdasarkan model pita, unit monomer yang terdiri dari rantai A dan B masing-masing diperlihatkan dengan pita berwarna biru dan cyan, garis kuning menunjukkan jembatan disulfida, sedangkan bulatan magenta menunjukkan ion Zn2+.(24) Gambar II.6. Proses pengaturan keluar–masuknya glukosa ke dalam sel oleh hormon insulin Insulin dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, seperti yang terlihat pada Gambar II.6.(25) Selanjutnya glukosa akan dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, akibatnya glukosa akan tetap berada di dalam pembuluh darah. Dengan demikian, kadar glukosa dalam darah akan meningkat. Dalam kondisi seperti ini tubuh akan menjadi lemah karena tidak ada sumber energi di dalam sel.(5) II.3 Diabetes Melitus II.3.1 Pengertian Diabetes Melitus Kata diabetes berasal dari Bahasa Yunani, yaitu diabainein, yang berarti pancuran air, sedangkan kata melitus berasal dari Bahasa Latin, yaitu mellitus, yang berarti manis.(26) Penyakit yang lebih dikenal dengan kencing manis ini ditandai dengan hiperglikemia, yaitu peningkatan kadar glukosa darah yang terus-menerus dan tidak stabil, terutama setelah makan. Sumber lain menyebutkan bahwa diabetes 12 melitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolisme akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal atau pembuluh darah.(27) Menurut American Diabetes Association (ADA), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.(28) Sumber lain menyebutkan bahwa DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin, baik absolut maupun relatif.(10) DM ditemukan pada ± 3% populasi.(29) Gejala khas dari DM adalah adanya kehausan yang terus-menerus (polidipsi), banyak kencing (puliuri), cepat merasa lapar (polifagi) dan kehilangan berat badan yang cepat tanpa jelas penyebabnya. Gejala DM lainnya dapat berupa kesemutan, gatal-gatal terutama pada daerah genital, cepat lelah dan kaburnya penglihatan.(6) Sementara itu, komplikasi DM dapat terjadi secara akut maupun kronis. Komplikasi akut berupa hipoglikemia dan ketoasidosis diabetik, sedangkan komplikasi kronis dapat berupa makroangiopati seperti penyakit serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai, ataupun mikroangiopati seperti pada pembuluh darah kapiler retina mata, ginjal dan syaraf. Kontrol yang ketat terhadap kadar glukosa darah penderita dapat memperlama terjadinya komplikasi tersebut.(6,7,29) Tabel II.2. Kriteria diagnosis DM Jenis keluhan Kadar glukosa darah (mg/dL) Setelah 2 jam pada Sewaktu Puasa tes toleransi glukosa Keterangan Keluhan klinis khas DM (+) ≥ 200 ≥ 126 ≥ 200 – Keluhan klinis khas DM (–) ≥ 200 ≥ 126 ≥ 200 Pemeriksaan dilakukan 2 kali pada hari yang berbeda 13 Dalam menentukan diagnosis pasti DM, seperti yang tertera pada Tabel II.2 di atas, harus didasarkan pada pemeriksaan kadar glukosa darah.(6,30) Hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan ini adalah asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaannya. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan dengan cara enzimatik, yaitu dengan bahan darah plasma vena. Namun, dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler, dengan memperhatikan kriteria diagnostik yang berbeda sesuai standar dari WHO, sebagaimana yang dijelaskan melalui Tabel II.3.(1,6) Tabel II.3. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan screening dan diagnosis DM (mg/dL) Parameter kadar glukosa darah Bahan darah Bukan DM Belum pasti DM DM Sewaktu Plasma vena Darah kapiler < 110 < 90 110 – 199 99 – 199 ≥ 200 ≥ 200 Puasa Plasma vena Darah kapiler < 110 < 90 110 – 125 90 – 109 ≥ 126 ≥ 110 II.3.2 Jenis dan Penyebab Diabetes Melitus Terdapat beberapa tipe DM yang disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup. Secara garis besar penderita DM dapat dikategorikan ke dalam DM tipe 1 dan DM tipe 2.(30) II.3.2.1 Diabetes Melitus Tipe 1 Diabetes melitus (DM) tipe 1 bergantung pada insulin sehingga disebut sebagai Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau diabetes anak-anak. DM tipe ini ditandai dengan hilangnya sel β penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pada pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. DM tipe ini dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa. Sampai saat ini DM tipe 1 tidak dapat dicegah, bahkan diet dan olahraga tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah DM tipe 1.(3) 14 Kebanyakan penderita DM tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik pada saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respon tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita DM tipe ini, terutama pada tahap awal. Saat ini, DM tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap kadar glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar DM tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah dengan penggantian insulin.(3) Gejala DM baru timbul apabila ± 80% sel β pankreas telah rusak. Sisa sel β pankreas yang masih berfungsi baik tidak cukup untuk memertahankan toleransi glukosa.(30,31) Gejala yang timbul ini sama dengan gejala DM yang telah disebutkan sebelumnya. Apabila penyakit ini tidak diobati, dapat menimbulkan penurunan berat badan dan hambatan pertumbuhan pada anak yang menderita DM tipe 1. Kadar insulin yang lebih rendah dari normal akan terus turun sejalan dengan progresivitas penyakit. Pemberian terapi insulin dapat menghindari pasien DM tipe 1 jatuh ke kondisi yang lebih buruk.(29) II.3.2.2 Diabetes Melitus Tipe 2 Diabetes melitus (DM) tipe 2 tidak bergantung pada insulin sehingga disebut sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Jumlah insulin pada DM tipe 2 normal, bahkan mungkin lebih banyak, tetapi reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel kurang. Pada keadaan ini, meskipun insulinnya banyak, tetapi karena reseptornya kurang, maka glukosa yang masuk ke dalam sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar, dalam hal ini glukosa. Dengan demikian, kadar glukosa di dalam darah akan meningkat, seperti halnya yang terjadi pada DM tipe 1. Perbedaannya, pada DM tipe 2, di samping kadar glukosanya yang tinggi, kadar insulin juga tinggi atau bahkan normal. Kondisi seperti ini disebut juga sebagai resistensi insulin.(10) Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor berikut yang cukup berperan yaitu: (a) obesitas, terutama yang bersifat sentral; (b) diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat; (c) kurangnya pergerakan badan; dan (d) faktor 15 keturunan. Pada DM tipe 2, jumlah sel β pankreas berkurang 50-60% dari normal.(10) DM tipe 2 biasanya mula-mula diobati dengan cara peningkatan aktivitas fisik, diet ketat dan pengurangan berat badan. Jika diperlukan, maka dilakukan langkah pengobatan berikutnya, yaitu dengan mengkonsumsi obat antidiabet secara oral.(3) DM tipe 2 merupakan kasus DM yang paling banyak terjadi, yaitu ± 90% dari keseluruhan kasus DM, dan terutama terjadi di negara-negara berkembang di mana dalam masyarakatnya terjadi perubahan dari pola hidup tradisional ke pola hidup modern.(2) DM tipe ini biasanya terjadi pada usia dewasa, meskipun mungkin saja terjadi pada umur yang lebih muda. Pada usia dewasa timbul setelah usia 35 tahun, dan penderita umumnya mengalami obesitas.(29) Bila DM tipe 2 ini terjadi pada remaja atau anak muda, hal ini menunjukkan adanya faktor keturunan.(2) Berbeda dengan DM tipe 1, DM tipe 2 memiliki kadar insulin yang lebih tinggi dari normal.(29) Kerusakan primer yang mendasari DM tipe 2 masih dalam perdebatan, namun banyak penelitian mendukung pernyataan bahwa resistensi insulin terjadi lebih dahulu daripada kelainan sekresi insulin.(30) DM tipe 2 ditandai oleh tiga kelainan patofisiologi, yakni gangguan sekresi insulin, resistensi insulin perifer dan produksi glukosa hepatik yang berlebih.(28,30) Pada tahap awal kelainan, toleransi glukosa masih normal meskipun terdapat resistensi insulin, karena sel β pankreas dapat mengkompensasi dengan meningkatkan pengeluaran insulin. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia terus terjadi, sebaliknya pulau Langerhans semakin lama tidak dapat lagi menghadapi keadaan hiperisnulinemia. Terjadilah gangguan toleransi glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa setelah makan. Selanjutnya terjadi diabetes dengan hiperglikemia saat puasa.(28,30) Kondisi kadar glukosa tinggi dan kadar insulin tinggi atau normal inilah yang khas terjadi pada DM tipe 2.(10,30) 16 II.4 Pengaturan Kadar Glukosa Darah Kesuksesan dalam menjaga kadar glukosa darah pada batasan normal dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes melitus (DM). Faktor lainnya yang dapat mengurangi komplikasi yaitu berhenti merokok, mengoptimalkan kadar kolesterol, menjaga kestabilan berat badan, mengontrol tekanan darah dan melakukan olahraga secara teratur. Gambar II.7 menjelaskan perbedaan nilai Konsentrasi Gula Darah (mg/dL) toleransi glukosa antara darah normal dan darah penderita DM tipe 1 (IDDM).(32) 200 IDDM 180 160 140 120 Normal 100 80 1 2 3 4 5 6 Waktu (Jam) Gambar II.7. Nilai toleransi glukosa untuk darah normal dan darah penderita DM tipe 1 (IDDM) Insulin merupakan hormon anabolik yang menjadi regulator terpenting dalam menjaga keseimbangan antara produksi glukosa hepatik dan penyerapan serta penggunaan glukosa di perifer, selain dari faktor input neural, signal metabolik dan hormon-hormon lainnya yang pada akhirnya menghasilkan suatu kontrol terhadap kadar glukosa darah.(33,34,35) II.5 Pengujian Kadar Glukosa Darah Puasa Pengujian kadar glukosa dalam darah dapat dilakukan salah satunya melalui metoda pengujian kadar glukosa darah puasa (Fasting Blood Glucose, FBG). Pengujian FBG merupakan metoda pengujian yang sangat sederhana dan cepat dalam penentuan glukosa darah serta dalam melakukan diagnosis bahwa seseorang menderita penyakit DM. Sebelum darah dari seorang pasien diuji dengan metoda FBG, yang bersangkutan diharuskan untuk berpuasa selama 8 sampai 12 jam. Pasien tersebut kemudian akan dinyatakan menderita penyakit 17 DM jika nilai glukosa darah puasanya sebesar 126 mg/dL atau lebih tinggi. Supaya lebih akurat, pengujian dilakukan sebanyak dua kali pada waktu yang berbeda.(36) Tabel II.4 menjelaskan perbandingan kadar glukosa darah puasa dengan metoda pengujian FBG, baik pada darah normal, darah pra-DM, maupun pada darah penderita DM.(37) Tabel II.4. Nilai kadar glukosa darah puasa dengan metoda FBG sebagai ukuran diagnosis DM Diagnosis Normal Pra-DM DM Kadar glukosa darah puasa (mg/dL) (mmol/L) 70 – 99 100 – 125 > 126 3,9 – 5,5 5,6 – 6,9 > 7,0 II.6 Diabetes Aloksan Status diabetes yang terjadi pada manusia dapat ditiru dengan sejumlah prosedur eksperimental, salah satunya dengan menggunakan aloksan yang umumnya diberikan terhadap hewan uji, seperti kelinci, tikus atau mencit.(38) II.6.1 Kimia Aloksan Aloksan atau 2,4,5,6-tetraoksipirimidin memiliki rumus molekul C4H2N2O4 dengan struktur molekul seperti pada Gambar II.8. Senyawa ini merupakan hasil kondensasi yang berasal dari satu molekul urea dan satu molekul asam mersoksalat. Aloksan tergolong senyawa yang sangat tidak stabil dalam air pada pH netral, tetapi stabil pada pH 3. Selain itu, aloksan tergolong senyawa yang mudah larut dalam air, aseton, metanol, etanol dan asam asetat glasial. Namun, aloksan sedikit larut dalam kloroform, petroleum eter, toluena, asam asetat dan anhidrida asam asetat serta tidak larut di dalam eter. Dalam air panas larutannya berwarna kuning dan setelah dingin warnanya hilang. Aloksan yang sudah terurai berwarna merah jambu dan kelarutannya di dalam air akan semakin berkurang.(39) 18 O HN NH O O O Gambar II.8. Struktur molekul aloksan II.6.2 Farmakologi Aloksan Injeksi intravena aloksan dapat merusak secara cepat, langsung dan khas pada sel β pankreas, menyebabkan sel-sel mengalami degenerasi, sedangkan sel α tetap tidak terpengaruhi. Namun, hewan uji yang menderita diabetes aloksan tidak sama sekali kehilangan insulin. Efek cepat dari aloksan adalah meningkatkan kadar glukosa darah, tetapi kenaikan ini dapat dicegah oleh pemeliharaan serta pemberian insulin. Pencegahan dari tingkat hiperglikemia tidak dapat mencegah kerusakan pada sel β pankreas.(38,39) Metabolit aloksan memiliki kerja sitotoksik dan berkaitan dengan diabetes melitus (DM) pada manusia. Aloksan secara selektif bersifat toksik terhadap sel β pankreas dan tidak menyebabkan kerusakan pada sel endokrin lain maupun pada parenkim eksokrin.(33) Aloksan dengan cepat ditangkap oleh sel β pankreas dan berefek langsung pada permeabilitas membran, sehingga terjadi abnormalitas morfologi sel. Selain itu, aloksan juga bekerja pada transport heksosa, menghambat glukosa merangsang pelepasan insulin dan menghambat glikolitik serta oksidasi piruvat pada pulau Langerhans pankreas sehingga energi yang berasal dari glukosa berkurang.(40,41) Beberapa penelitian menggunakan dosis aloksan yang bervariasi yaitu 80 – 150 mg/kgBB baik secara intravena, intraperitoneal maupun subkutan untuk menimbulkan hiperglikemia pada hewan uji.(40,42) Dosis aloksan 125 mg/kgBB diteliti merupakan dosis optimal yang dapat menghasilkan sebanyak 80% tikus diabetes dengan kadar glukosa darah 200 – 400 mg/dL, di mana berdasarkan 19 pengamatan morfologi terhadap tingkat kerusakan sel β pankreas, menunjukkan masih terdapat sejumlah sel β yang masih baik. Sementara dosis aloksan 175 mg/kg BB menghasilkan keadaan diabetes dengan kadar glukosa darah 400 – 800 mg/dL dan tikus yang dapat bertahan hidup setelah 48 jam hanya 25%. Hal ini menunjukkan bahwa induksi aloksan pada hewan uji dapat menghasilkan model diabetes tipe 1 maupun tipe 2, bergantung pada tingkat kerusakan sel β pankreas.(43) II.7 Obat Hipoglikemik Oral Berdasarkan konsensus pengelolaan diabetes melitus (DM) tipe 1 di Indonesia, pengelolaan DM dapat dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu, yaitu 2 – 4 minggu. Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran yang diharapkan, maka perlu dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral atau dengan suntikan insulin.(6,30) Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral terbagi menjadi tiga golongan, yaitu: (a) pemicu sekresi insulin; (b) penambah sensitivitas terhadap insulin; dan (c) penghambat α– glukosidase.(10) II.7.1 Pemicu Sekresi Insulin II.7.1.1 Sulfonilurea Meskipun masih dalam perbedaan pendapat, cara kerja obat ini pada umumnya adalah sebagai berikut: a. meningkatkan jumlah reseptor insulin pada otot dan sel lemak; b. meningkatkan efisiensi sekresi insulin dan potensial stimulasi insulin yang tersimpan dari sel β pankreas; c. penurunan produksi glukosa oleh hati; dan d. memblok ATP–sensitive potassium channel pada sel β pankreas sehingga menghasilkan depolarisasi.(10,44) Obat yang tergolong sulfonilurea merupakan pilihan untuk pasien diabetes melitus (DM) dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Seluruh sulfonilurea dimetabolisme di hati, 20 sedangkan metabolitnya akan diekskresikan melalui urin. Sulfonilurea mempunyai efek samping di antaranya mual, muntah, anemia aplastik, hemolitik, serta hipersensitivitas. Sulfonilurea tidak boleh diberikan pada pasien yang menderita penyakit hati, ginjal dan gangguan tiroid, serta pasien yang sedang hamil.(10,44) Berdasarkan struktur kimianya, sulfonilurea dibagi menjadi dua generasi. Generasi pertama terdiri dari tolbutamid dan klorpropamid. Sementara generasi kedua terdiri dari glibenklamid, glipisid dan glikasid yang dianggap lebih potensial daripada generasi pertama. Adapun rincian dari berbagai obat hipoglikemik yang tergolong sulfonilurea adalah sebagai berikut: a. Tolbutamid Dosis inisial harian tolbutamid adalah 500 mg, dengan dosis maksimal efektif 3000 mg dapat digunakan 2 – 3 kali sehari, 30 menit sebelum makan. b. Klorpropamid Klorpropamid diekskresi melalui ginjal sehingga tidak dipakai pada gangguan faal ginjal dan oleh karena lama kerjanya lebih dari 24 jam, diberikan dosis tunggal. Obat ini tidak dianjurkan untuk pasien geriatri. c. Glibenklamid Obat ini mempunyai efek hipoglikemik yang paten, sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makanan yang ketat. Namun, obat ini dikatakan mempunyai efek terhadap agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu, glibenklamid masih dapat diberikan pada beberapa kelainan fungsi hati dan ginjal. Meskipun waktu paruhnya cukup pendek, yaitu 3 – 5 jam, akan tetapi efek glibenklamid dapat bertahan sampai 12 – 24 jam, sehingga dapat diberikan dalam dosis tunggal. Potensinya mencapai 100 kali potensi obat generasi pertama. d. Glikasid Berbeda dengan glibenklamid, obat ini mempunyai efek hipoglikemik yang sedang sehingga tidak begitu sering menyebabkan kondisi hipoglikemia. Namun, obat ini mempunyai efek anti agregasi trombosit yang paten. 21 Glikasid dapat diberikan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi hati dan ginjal yang ringan. e. Glipisid Glipisid mempunyai efek yang lebih lama dari glibenklamid tetapi lebih pendek dari klorpropamid serta mempunyai efek menekan produksi glukosa hati dan meningkatkan jumlah reseptor.(10,44) II.7.1.2 Glinid Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, yaitu dengan cara meningkatkan sekresi insulin pada fase pertama. Jika dilihat dari struktur kimianya, glinid tergolong derivat asam karboksilat. Obat antidiabet yang tergolong glinid di antaranya yaitu: a. Repaglinid Obat ini menstimulasi sekresi insulin dengan cara memblok ATP–sensitive potassium channel pada sel β pankreas. Repaglinid mempunyai efek hipoglikemik ringan sampai sedang serta diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresikan secara cepat melalui hati. Efek samping yang dapat terjadi pada obat ini adalah keluhan gastrointestinal. b. Nateglinid Cara kerja obat ini hampir sama dengan repaglinid, namun nateglinid merupakan derivat dari fenilalanin. Efek nateglinid dalam meningkatkan sekresi insulin lebih kecil jika dibandingkan dengan obat hipoglikemik oral lainnya. Metabolisme utamanya terjadi di dalam hati, sedangkan ekskresinya melalui ginjal, sehingga harus berhati-hati jika diberikan pada penderita gangguan hati dan ginjal. Obat ini akan efektif bila diminum 1 – 10 menit sebelum makan, dengan dosis 123 mg. Efek samping yang dapat terjadi adalah keluhan infeksi saluran napas atas.(10,44) II.7.2 Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin II.7.2.1 Biguanid Biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan menurunkan kadar glukosa darah sampai normal (euglikemia) serta tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Salah 22 satu contoh obat yang tergolong biguanid adalah metformin dengan berbagai karakteristik sebagai berikut: (a) menurunkan kadar glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam sel otot yang dirangsang oleh insulin; (b) memperbaiki ambilan glukosa sebesar 10 – 40%; (c) menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi glikolisis dan glukoneogenesis; (d) menurunkan kadar trigliserida hingga 16%, LDL kolesterol hingga 8% dan total kolesterol hingga 5% dan juga dapat menigkatkan LDL kolesterol hingga 2%; (e) berbeda dengan golongan sulfonilurea karena tidak meningkatkan sekresi insulin, jadi tidak dapat menyebabkan hipoglikemia, tidak menaikkan berat badan dan malah kadang-kadang dapat menurunkan berat badan; (f) menurunkan kadar glukosa puasa sebanyak 60 mg/dL; (g) meningkatkan jumlah reseptor insulin; dan (h) mempunyai efek samping berupa muntah-muntah, bahkan diare, sehingga lebih baik diberikan pada pasien yang gemuk, sebab tidak merangsang sekresi insulin.(10,44) II.7.2.2 Tiazolidinedion Tiazolidinedion berikatan dengan peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPARγ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Obat antidiabet yang tergolong tiazolidinedion di antaranya yaitu: a. Pioglitazon Obat ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah transporter glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat ini dimetabolisasi di dalam hati dan dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung karena dapat memperberat edema dan juga gangguan faal hati. Saat ini, pioglitazon tidak digunakan sebagai obat tunggal. b. Rosiglitazon Cara kerja obat rosiglitazon hampir sama dengan pioglitazon, diekskresikan melalui urin dan feses. Obat ini mempunyai efek hipoglikemik yang cukup baik jika dikombinasikan dengan metformin. Pada saat ini belum beredar di Indonesia.(10,44) 23 II.7.3 Inhibitor α–Glukosidase Inhibitor α–glukosidase atau acarbose merupakan inhibitor yang terletak pada dinding usus halus. Enzim α–glukosidase, yang terdiri dari maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase, berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida, trisakarida dan disakarida pada dinding usus halus. Inhibisi sistem enzim ini secara efektif dapat mengurangi digesti karbohidrat kompleks dan absorpsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada pasien diabetes melitus (DM). Acarbose juga dapat menghambat α–amylase pankreas yang berfungsi melakukan hidrolisis terhadap kompleks amilum di dalam lumen usus halus.(10) Obat yang tergolong acarbose merupakan obat oral yang biasanya diberikan dengan dosis 150 – 600 mg/hari. Obat ini efektif bagi pasien dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma kurang dari 180 mg/dL. Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah pengobatan lebih lama. Obat ini hanya memengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak memengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Bila diminum bersama-sama dengan obat sulfonilurea atau dengan insulin, dapat terjadi hipoglikemia yang dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi tidak dapat diatasi dengan pemberian gula pasir. Obat ini diberikan dengan dosis awal sebesar 50 mg dan dinaikkan secara bertahap, serta dianjurkan untuk memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan.(10) II.8 Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus L.) Lebih dari 90% dari semua hewan uji yang digunakan di dalam berbagai penelitian adalah binatang pengerat, terutama mencit (Mus musculus L.) dan tikus (Rattus norvegicus L.). Hal ini disebabkan karena secara genetik, manusia dan kedua hewan uji tersebut mempunyai banyak sekali kemiripan.(45) Jenis mencit dan tikus yang paling umum digunakan adalah jenis albino galur Sprague Dawley dan galur Wistar, seperti terlihat pada Gambar II.9. Kedua jenis hewan tersebut sering digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian dan pelatihan medis pada pengelolaan kesehatan gigi, obesitas, diabetes melitus dan hipertensi serta 24 digunakan dalam bidang gizi, terutama untuk mempelajari hubungan antara nutrisi dengan penuaan dini.(45) Gambar II.9. Tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus L.) Jika dibandingkan dengan tikus betina, tikus jantan lebih banyak digunakan sebab tikus jantan menunjukkan periode pertumbuhan yang lebih lama.(45) Adapun taksonomi dari tikus putih adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Divisi : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus L.(45) Tikus putih atau yang lebih dikenal dengan tikus albino ini lebih banyak dipilih karena tikus yang dilahirkan dari perkawinan antara tikus albino jantan dan betina mempunyai tingkat kemiripan genetis yang besar, yaitu 98%, meskipun sudah lebih dari 20 generasi. Bahkan setelah terjadi perkawinan tertutup di antara tikus albino ini, mereka masih mempunyai kemiripan genetis yang sangat besar yaitu 99,5%. Hal inilah yang menyebabkan mereka dikatakan hampir menyerupai hewan hasil klon.(45) 25