Pelaksanaan Syaria'at Islam Aqidah Islam, Kapitalis dan Sosialis Aqidah secara istilah adalah pemikiran menyuluruh tentang manusia, alam semesta dan kehidupan, tentang sebelum kehidupan dan sesudahnya dan hubungan ketiganya (alam semesta, manusia dan kehidupan) dengan alam sebelum dan sesudahnya, dan aqidah ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan mendasar yang ada pada diri manusia (Uqdatul Qubro). Aqidah yang ada dan dianut oleh manusia di dunia ini terbagi menjadi tiga yaitu Aqidah Islam, Aqidah Kapitalis dan Aqidah Sosialis. Aqidah Islam adalah Aqidah yang memandang Allah SWT adalah Pencipta bagi segala sesuatu, oleh karena itu aturan hidup dibuat atas kekuasaan Allah yang disampaikan oleh Rasul-Nya, Muhammad saw kepada manusia. Untuk itu tolok ukur perbuatan seorang muslim adalah halal dan haram, yaitu perintah-perintah Allah yang harus dilaksanakan, dan larangan-larangan Allah yang harus ditinggalkannya.Prinsip ini tidak akan mengalami perkembangan maupun perubahan. Tidak juga mengambil manfaat sebagai tolak ukur, sebab Allah-lah yang telah menggariskan syari’at semata bagi manusia. Aqidah Kapitalis adalah aqidah yang mengharuskan adanya pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisasi). Aqidah ini mengakui adanya pencipta yang menciptakan manusia dan alam semesta, dengan kata lain pada hakekatnya aqidah ini mengakui keberadaan agama namun terbatas pada masalahmasalah ritual. Agama tidak boleh berperan dalam masalah kehidupan manusia seperti masalah sosial. Akibatnya lahirlah kehidupan ideologi sekuler yang memisahkan agama dengan negara. Peraturanperaturan hidupnya dibuat berdasarkan kehendak manusia karena manusia berhak sepenuhnya untuk mengurusi urusan dunia. Adapun aqidah Sosialis memandang bahwa segala sesuatu berasal dari materi, sehingga peraturan-peraturan yang dibuatnya bergantung pada evolusi materi. Dalam pandangannya materi ini bersifat azali (tak berawal dan tak berakhir), qodim (terdahulu) dan tidak sesuatu pun yang mengadakannya, dengan kata lain materi itu bersifat wajibul wujud (wajib adanya). Oleh karena itu, penganut ideologi mengingkari kalau alam ini diciptakan oleh Dzat yang Maha Pencipta. Mereka mengingkari aspek keruhanian dalam segala sesuatu, dan beranggapan bahwa pengakuan terhadap aspek ruhani merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan. Agama dianggap sebagai candu yang meracuni masyarakat dan menghambat aktivitas. Pelaksanaan Syari’at Islam Sebagai Konsekuensi Aqidah Islam Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada junjungan Nabi Muhammad saw, dimana ketika seseorang mengaku dirinya seorang muslim maka ia meyakini bahwa segala sesuatu adalah makhluk Allah, yang harus senantiasa mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini karena apabila dengan tinjauan yang mendalam tentang alam, manusia dan hidup serta apa-apa yang berada di sekitarnya yang berkaitan dengannya, maka manusia akan dapat membuktikan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan dirinya. Manusia dalam kehidupannya memerlukan suatu sistem yang mengatur naluri dan kebutuhan jasmaninya. Tentu saja aturan itu tidak mungkin berasal dari manusia karena ia lemah dan tidak mampu mengetahui segala sesuatu, juga karena pemahaman manusia terhadap tata aturan sangat mungkin sekali terjadi perbedaan, perselisihan dan pertentangan yang pada akhirnya membawa akibat kesengsaraan bagi manusia. Kita sering menjumpai manusia melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang mereka sangka sebagai perbuatan terpuji, atua sebaliknya mereka meninggalkan perbuatan-perbutan yang baik, karena menyangkanya sebagai perbuatan tercela. Demikian pula ketika mereka berusaha membuat aturan dalam hidupnya, dimana mereka menyangka apa yang dibuatnya berupa aturan merupakan sesitau yang baik, padahal apa yang dikatakan sebagian manusia itu baik, belum tentu baik menurut sebagian yang lain. Atau bisa saja suatu perkara dianggap terpuji pada suatu keadaan, tapi tercela pada keadaan lain, karena akal manusia kadangkala memuji suatu perbuatan dimasa sekarang, tapi esok hari dicelanya, belum lagi perbedaan pandangan karena tempat yang berbeda (daerah satu dengan daerah lainnya, negeri satu dengan negeri lainnya), Maka tepatlah firman Allah : ِ اّللُ يَ ْعلَ ُم َوأَنتُ ْم الَ تَ ْعلَ ُمو َن َو َع َسى أَن تَكَْرُهواْ َشْي ئًا َوُه َو َخْي ٌر لَّ ُك ْم َو َع َسى أَن ُُتبُّواْ َشْي ئًا َوُه َو َشٌّر لَّ ُك ْم َو ه "….. Boleh jadi kamu membenci sesutau, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". (QS. Al-Baqarah: 216) Sehingga sesuatu yang wajar apabila urusan pembuatan aturan bagi manusia diserahkan kepada manusia akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian, sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia yaitu lemah, tergantung kepada yang lain dan terbatas kemampuannya. Oleh karena itu, peraturan tersebut haruslah berasal dari Allah SWT, karena Dialah yang Maha Mengetahui hakekat manusia. Maka manusia harus menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan peraturan yang bersumber dari Allah SWT sebagai konsekuensi aqidah Islam yang diyakini dan difahaminya, sehingga kepahaman seorang muslim tentang posisi dirinya sebagai hamba, akan terlihat dari ketundukan dia kepada seluruh aturan yang datang dari kholiqnya. Islam, disamping mengandung hal yang harus diimani (aqidah/iman) juga berisikan hukumhukum untuk mengatur kehidupan. Hukum-hukum ini dikenal dengan syari'at Islam. Secara bahasa, syari'at (asy-syariah) berarti sumber air minum (mawrid al maa'i li istiqa) atau jalan lurus (ath-thariiq almustaqiim). Sedangkan pengertian secara istilah atau terminologi, syari'at itu bermakna: perundangundangan yang diturunkan Allah SWT bagi hamba-hambaNya, baik dalam persoalan ibadah, akhlak, muamalah, dan sistem kehidupan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Syari'at Islam merupakan syari'at Allah Yang Maha bijaksana yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya, dirinya sendiri, dan sesama manusia. Jadi setiap hukum yang digali dari sumber-sumber hukum Islam merupakan hukum syari'at (al- ahkam asy-syar’iyyah) atau biasa dikatakan syari'at saja. Karenanya, syari'at Islam meliputi berbagai macam hukum, mulai dari cara bersuci sampai mengatur masyarakat, pemerintahan dan negara. Atas dasar inilah, syari'at Islam bukan sekedar persoalan penerapan sanksi kriminal saja (hudud), melainkan seluruh hukum bagi semua aspek kehidupan. Dengan pandangan seperti ini, syari'at Islam sebenarnya datang dalam rangka memecahkan berbagai persoalan manusia, memecahkan persoalan bagi seluruh elemen masyarakat. Sekedar untuk contoh, ketika Islam menerapkan sebuah sistem, ekonomi yang berlandaskan syari'at Islam maka sistem itu ditujukan untuk seluruh masyarakat tanpa memandang muslim ataukah non-muslim. Ketentuan syari'at mengenai larangan riba dan judi serta penggunaan mata uang dinar dan dirham akan menjadikan ekonomi masyarakat tumbuh secara nyata. Sesungguhnya Islam tegak di atas pilar yang kokoh dan mendasar yaitu Al Qur-an yang mulia dan As Sunnah yang penuh hikmah. Islam akan memberikan kemuliaan kepada siapa saja yang penuh keimanan kepada aqidah Islam dan menjadikan syari'at Islam sebagai penuntunnya dalam mengarungi samudera kehidupan. Bahkan Islam telah menjadikan ummatnya sebagai ummat yang harus memberikan kebenaran ini kepada manusia yang lain. Dengan demikian, iman terhadap pengamalan syari'at Islam menghendaki penyerahan mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman Allah SWT: ِ ِ ِ ِ َ فَالَ وربِك الَ ي ؤِمنو َن ح ََّّت ُُي هِكم ِ يما َ َيما َش َجَر بَْي نَ ُه ْم ُُثَّ الَ ََِي ُدواْ ِِف أَن ُفس ِه ْم َحَر ًجا هّمَّا ق َ ضْي ً ت َويُ َسله ُمواْ تَ ْسل َ وك ف ُ َ َ َ ُ ْ ُ َ َ َه "Maka demi Rabbmu mereka itu pada hakikatnya tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus hukum) terhadap perkara yang mereka perselisihkan , kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa: 65) Keistimewaan Syari'at Islam Keterbelakangan ummat Islam dan cengkraman pemikiran-pemikiran asing membuat kaum muslimin beranggapan (sekaligus meyakini) bahwa Islam itu bersifat elastis, fleksibel dan berjalan sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi atau politik pada setiap waktu dan tempat dengan berpegang pada kaidah yang berbunyi: “Tidak tertolak adanya perubahan hukum karena adanya perubahan zaman” Kaidah ini keliru dan tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sebelumnya (masa Rasululah SAW dan para sahabatnya). Berdasarkan kaidah yang keliru inilah kaum muslimin kemudian beraktivitas berlandaskan realita yang ada. Mereka selalu bertindak untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Apabila mereka diingatkan dengan syari'at Islam mereka mengatakan bahwa hukum-hukum itu hanya khusus untuk waktu tertentu, sedangkan Islam mengharuskan ummatnya untuk terus menyesuaikan dengan zaman dan tempat. Disinilah pangkal kekeliruanya, syari'at Islam seharusnya difahami oleh kaum muslimin sebagai standar. Islam memang agama perubahan (dienul taghyir), yaitu mengubah segala sesuatu yang tidak Islami menjadi Islami. Islam bersikap tegas terhadap kondisi masyarakat jahiliyah yang bertuhan banyak (musyrik) dengan mentauhidkan Allah SWT. semata (QS. Al-Kafirun, QS. AlIkhlash). Syari'at Islam dengan tegas pula mengubah kondisi masyarakat yang berekonomi jahiliyah – dengan praktik penipuan, penimbunan harta, riba dan sejenisnya--kepada sistem Islam yang khas (QS AlMuthafifin: 1-6, QS Al-Baqarah: 278-279). Islam memerintahkan kaum muslimin untuk memiliki istilah kiblat dan keyakinan tersendiri yang berbeda dengan keyakinan dan istilah orang-orang jahiliyah pada saat itu . Islam tidak memerintahkan kaum Muslimin untuk mengikuti istilah-istilah atau opini umum yang terjadi pada masa itu tetapi sebaliknya memberikan opini yang sesuai dengan syari'at Islam . Inilah hakikat perubahan dalam Islam. Adapun keraguan terhadap syari'at Islam dalam mengantisipasi zaman yang terus berubah adalah kekhawatiran yang jelas tidak beralasan. Hal ini mengingat kekhasan syari'at Islam yang tidak akan pernah dimiliki aturan lain dikarenakan aturan Islam merupakan tuntunan yang berasal dari Al Khaliq. Keistimewaan itu antara lain: 1. Syari'at Islam bersifat menyeluruh. Artinya bahwa syari'at Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik hubungannya dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun hubungan manusia dengan sesamanya. Allah SWT berfirman : ِ ت َعلَْي ُك ْم نِ ْع َم ِِت ُ ت لَ ُك ْم دينَ ُك ْم َوأَْْتَ ْم ُ الْيَ ْوَم أَ ْك َم ْل "Pada hari ini telah kusempurnakan agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu." (QS. Al-Maidah: 3) ِ يدا َعلَى َه ُؤالء ً ك َش ِه َ َِوجْئ نَا ب Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia." (QS. An-Nahl: 89) 2. Syari'at Islam bersifat luas dan subur bagi pengembangan dan pengeluaran hukum-hukum baru. Hal ini dikarenakan syari'at Islam datang dengan uslub yang memungkinkan untuk digali ratusan bahkan ribuan hukum darinya (Al Qur-an dan Al hadits). Jadi masalah-masalah kontemporer seperti transplatasi organ tubuh , euthanasia, naik kapal terbang, naik kapal selam, PT, CV, dan lain sebagainaya akan dapat diberi status hukumnya oleh syari'at Islam dan ini bukan karena syari'at Islam berevolusi—menyesuaikan dirinya dengan zaman yang ada—melainkan karena tabiat syari'at Islam yang memang telah Allah SWT ciptakan mampu digali dan di-istinbatkan bagi berbagai kondisi— perbuatan tertentu—dengan jalan ijtihad. Adapun kewenangan melakukan ijtihad itu harus bersandar pada syarat-syarat yang telah dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan para ‘ulama salaf. Hal ini berarti seseorang yang akan berijtihad harus berkompeten dan memenuhi syarat-syarat seorang mujtahid, yaitu faqih dalam syari'at Islam, faqih dalam memahami fakta, serta menguasai bahasa Arab sebagai bahasa Al Qur-an dan Al hadits. Hal penting lainnya dalam masalah ijtihad ini adalah bahwa ia berijtihad dalam masalah yang Islam memang membolehkannya, yaitu bidang syari'at yang nash-nashnya masih dzanni (memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran). Adapun untuk nash yang telah qath’i, seperti aqidah dan syari'at dalam masalah hudud –misalnya—maka tidak diperkenankan. Penjagaan Kelestarian Pelaksanaan Syari'at Islam Dalam menciptakaan kelestarian pelaksanaan syari'at Islam tidak bisa hanya dilihat dari satu faktor penentu, tapi dari berbagai faktor berupa komponen terikat, yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lainnya, yaitu : 1. Individu, sebagai komponen terkecil yang merupakan bagian dari masyarakat harus berperan aktif dalam menjalankan dan menjaga syari'at Islam untuk diterapkan. Aturan Islam telah mewajibkan bagi setiap individu untuk menjalankan syari'at ini dengan adanya aturan yang mengatur masalahmasalah individu seperti : masalah menutup aurat, menuntut ilmu , munakahat, thalaq-rujuk , ibadah shalat, haji dan sebagainya. Juga dalam kewajiban lainnya sebagai individu yang harus menjaga sesamanya untuk berada dalam batasan syari'at Islam seperti berda’wah, mengoreksi penguasa yang melakukan kesalahan (Al Hadits), menjaga keluarga untuk tetap berada dalam aturan syara, dan sebagainya. Seorang individu harus berperan aktif dalam menjaga dan melaksanakannya, terutama jika ia mendapati bahwa hukum-hukum itu belum ditegakkan secara menyeluruh, maka ia wajib untuk mengusahakan dan mengembalikan hukum-hukum itu . Dan hal ini menuntut adanya kesadaran dalam diri setiap individu untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya terhadap syari'at Islam. 2. . 3. Masyarakat, yang terbentuk dari kesatuan pemikiran, kesatuan perasaan, kesatuan aturan dan individu-individu, dituntut untuk menciptakan suasana yang senantiasa berada dalam batasanbatasan -Nya, karena Islam telah mengatur masyarakat Islam dengan aturan yang khas yang berkaitan dengan penerapan sistem kemasyarakatan seperti sistem ekonomi, sistem pemerintahan, sistem hukum dan sistem politik. Rasulullah SAW. Mengibaratkan masyarakat itu seperti sekumpulan manusia yang berada dalam satu perahu yang mempunyai dua bagian yaitu bagian atas dan bagian bawah , maka jika bagian bawah hanya memikirkan kepentingannya sendiri dengan membocorkan dasar perahu karena ia menginginkan kemudahan membawa air maka itu tidak saja hanya akan mencelakai dirinya tapi juga mencelakai bagian atas. Oleh karenanya suatu masyarakat harus bertindak selektif, tepat dan penuh tanggung jawab dalam menjaga kelestarian pelaksanaan hukum syara’, terutama ketika terjadi penyelewengan hukum syara’ yang dilakukan oleh penguasa. Negara. sebagai pemberlaku (tathbiq) dan pelaksana operasional (tanfidz) hukum syara’ berperan sangat penting dalam mewujudkan kelestarian pelaksanaan hukum syara serta dalam memberikan gambaran yang jelas dan lengkap mengenai keharmonisan aturan Islam yang telah begitu sempurna dalam mengatur dan memecahkan problematika ummat manusia secara menyeluruh sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. dan para sahabatnya dulu. Sehingga dengan hal ini dapat menepis fitnah kaum kafir serta sikap apriori dan keraguan kaum muslimin sendiri terhadap keagungan dan kemuliaan syari'at Islam jika diterapkan dengan benar dan tepat. Tujuan-Tujuan Luhur Untuk Menjaga Masyarakat Islam Untuk menjaga kelestariannya masyarakat Islam, syari'at Islam telah menetapkan tujuan luhur yang dilekatkan pada hukum-hukumnya. Tujuan-tujuan luhur tersebut mencakup delapan tujuan, yaitu: 1. Pemeliharaan atas keturunan (al-muhafazhatu ‘ala an-nasl) Islam telah menurunkan hukum-hukum berikut sanksi-sanksi (‘uqubat) yang berfungsi sebagai pencegah, dalam rangka memelihara keturunan manusia dan nasabnya. Misalnya, Islam telah mengharamkan zina, dan mengharuskan dijatuhkannya sanksi bagi pelakunya. Hal ini bertujuan untuk menjaga lestarinya kesucian dari sebuah keturunan. Sehingga, seorang ayah akan tetap dapat memelihara anak-anaknya serta merawat mereka, dimana ia memastikan bahwa anak-anak tersebut merupakan bagian dari dirinya sendiri (darah dagingnya). 2. Pemeliharaan atas akal (al-muhafazhatu ‘ala al-‘aql) Dalam kaitan ini Islam telah mensyari'atkan hukum-hukum yang melarang pengkomsumsian segala sesuatu yang dapat mempengaruhi akal manusia. Misalnya, diharamkannya segala sesuatu yang dapat memabukkan dan melemahkan ingatan (membius). Pada saat yang sama Islam menganjurkan untuk menuntut ilmu, merenung (tadabbur), dan berijtihad sebagai usaha untuk mengembangkan kemampuan akal pada diri manusia. Selain itu Islam memuji orang-orang yang berilmu (‘ulama). Allah SWT berfirman: ِ َّ ِ َّ ين َال يَ ْعلَ ُمو َن َ ين يَ ْعلَ ُمو َن َوالذ َ قُ ْل َه ْل يَ ْستَ ِوي الذ “ Katakanlah, Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9) 3. Pemeliharaan atas kemuliaan (al-muhafazhatu ‘ala al-karamah) Islam telah mengatur masalah hadd al-qadzaf (menuduh berzina), yakni bagi siapa saja yang menuduh orang telah berbuat berzina tampa menbawa bukti, maka kepadanya akan dijatuhkan hukuman jilid (cambuk). Islam juga mendorong manusia untuk menolong orang-orang yang dianiaya, memuliakan tamu, mengharamkan tajassus (mata-mata), ghibah dan menganjurkan pembebasan budak. 4. Pemeliharaan atas jiwa (al-muhafazhatu ‘ala an-nafs) Islam telah menetapkan sanksi atas pembunuhan, terhadap siapa saja yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar. Hikmah dari perkara ini adalah menjaga kelestarian hidup manusia. Firman Allah SWT: ِ ِ ُوِل األَلْب ِ ص اب َ َولَ ُك ْم ِِف الْق َ ْ ِ اص َحيَاةٌ ََيْ أ “Dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal” (QS. Al-Baqarah: 179) 5. Pemeliharaan atas harta (al-muhafazhatu ‘ala al-mal) Islam telah mensyari'atkan sanksi atas kasus pencurian, yakni potong tangan bagi pencuri. Ini merupakan sanksi yang sangat keras untuk mencegah segala godaan untuk melakukan pelanggaran terhadap harta orang lain. Islam juga melarang pengelolaan harta oleh orang-orang yang bodoh (idiot). Hal ini dilakukan agar ia tidak mengeluarkan hartanya pada jalan yang tidak disayariatkan. Islam juga mengharamkan israf, yakni mengeluarkan harta pada jalan yang diharamkan. 6. Pemeliharaan atas agama (al-muhafazhatu ‘ala ad-din) Syari'at Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk masik ke dalam Islam. Firman Allah SWT: الَ إِ ْكَراهَ ِِف ال هِدي ِن “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al Baqarah: 256) Namun patut diketahui, bahwa seorang muslim yang murtad dari Islam, maka ia akan diajak berdiskusi dan diminta untuk bertaubat selama tiga hari. Apabila ia masih tetap dalam kemurtadannya maka ia dibunuh. Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia” 7. Pemeliharaan atas ketentraman dan keamanan (al-muhafazhatu ‘ala al-amn) Keamanan merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia. Seseorang tidak akan dapat hidup secara normal di dalam suasana yang penuh ancaman terhadap harta dan kehidupannya. Itulah sebabnya Islam menetapkan beberapa hukum untuk menghentikan siapa saja yang berpikir untuk mengganggu keamanan berbagai wilayah di dalam negeri. Dalam hal ini Islam telah menetapkan peraturan tentang had qaththa’ ath thuruq (hukum bagi para pembegal) yang berupa sanksi yang berfungsi sebagai tindakan pencegahan. 8. Pemeliharaan atas negara (al-muhafazhatu ‘ala ad-dawlah) Negara dalam pandangan Islam merupakan penanggungjawab bagi penerapan hukum syara terhadap rakyatnya, sekaligus bertanggungjawab untuk mengemban da’wah Islam ke luar wialyah daulah. Negara merupakan representasi dari umat Islam, sekaligus sebagai institusi yang diakui (legitimed) bagi mereka. Penentangan terhadap negara berarti penentangan terhadap agama Allah dan umat Islam. Oleh karena itu, Allah telah menetapkan beberapa hukum yang berguna untuk memelihara negara dan kesatuannya. Misalnya hadd ahl al baghyi (hukum bagi pelaku bughot) yakni mereka yang berusaha merampas kekuasaan khalifah (kepala negara) dengan menggunakan kekuatan senjata. Hukuman bagi mereka, khalifah menyatakan perang terhadap mereka hingga mereka mau menyerahkan diri dan kembali tunduk ke dalam kekuasaannya. Firman Allah SWT: ِ َّ َِّ ِ اّللَ َوَر ُسولَهُ َويَ ْس َع ْو َن ِِف األ َْر ْض فَ َس ًادا أَن يُ َقتَّلُوا ين ُُيَا ِربُو َن ه َ إَّنَا َجَزاء الذ “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah mereka dibunuh” (QS. Al-Maidah: 33) Rasulullah bersabda: “Apabila datang orang lain untuk merampas (kedudukan) khalifah maka penggallah lehernya” (HR. Muslim) “Apabila dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir diantara keduanya” (HR. Muslim)