Serambi Saintia, Vol. II, No. 2, Oktober 2014 ISSN : 2337 - 9952 GAMBARAN PENGETAHUAN ORANGTUA TENTANG DAMPAK KEKERASAN FISIK PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN DI DESA LAMBARIH JURONG RAYA KECAMATAN SUKAMAKMUR TAHUN 2014 Ryan Indrawan1, Hasnadi2, Mahlil Putra3 1,2,3) AKPER Tgk. Fakinah Banda Aceh Email: [email protected] ABSTRAK Kekerasan fisik memberikan dampak berupa rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat serta dapat mempengaruhi psikologi anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan orangtua tentang dampak kekerasan fisik pada anak usia 6-12 tahun. Penelitian ini bersifat deskriptif yang dilakukan di Desa Lambarih Jurong Raya Kecamatan Sukamakmur dengan jumlah populasi yaitu 53 orang, dalam pengambilan sampel menggunakan tehnik total populasi yaitu 53 orang. Alat pengumpulan data berupa kuesioner dalam bentuk pernyataan dengan pilihan jawaban ya atau tidak yang berjumlah 15 item pernyataan, selanjutnya data dianalisa secara manual dan menggunakan tabel distribusi frekuensi. Hasil dari penelitian didapatkan pengetahuan orangtua tentang dampak kekerasan fisik pada anak berada pada kategori tinggi. Pengetahuan orangtua tentang dampak kesehatan yang terjadi pada anak yang mengalami kekerasan fisik berada pada kategori tinggi dengan jumlah 40 orang (75,47%). Pengetahuan orangtua tentang dampak psikologis yang terjadi pada anak yang mengalami kekerasan fisik berada pada kategori tinggi dengan jumlah 31 orang (58,49%). Pengetahuan orangtua tentang cara mengatasi dampak kekerasan fisik pada anak berada pada kategori tinggi dengan jumlah 36 orang (67,92%). Kepada orangtua diharapkan dapat memberikan informasi kepada orangtua lainnya yang belum mengetahui tentang kekerasan fisik pada anak serta orangtua tidak memberikan sanksi secara fisik kepada anak karena akan menimbulkan rasa dendam pada anak. Orangtua seharusnya memberikan sanksi berupa edukasi pendidikan pada anaknya. Kata Kunci : Pengetahuan, Orang Tua, Kekerasan Fisik PENDAHULUAN Kekerasan anak adalah tindakan yang disengaja yang dapat menimbulkan sakit, cedera fisik atau emosional pada anak atau berisiko terhadap sakit atau cedera. Terdapat empat macam jenis penganiayaan pada anak di antaranya penganiayaan secara fisik, penganiayaan emosional, penganiayaan seksual dan pengabaian, kesemuanya dapat dipacu oleh lingkungan yang ada disekitar anak. Gejala dari jenis penganiayaan tersebut adalah apabila jenis penganiayaan fisik maka dapat terjadi cedera, apabila penganiayaan jenis emosional dapat terjadi keguncangan pada jiwa anak dan juga dapat menimbulkan kekacauan mental, kemudian penganiayaan seksual terjadi iritasi atau laserasi pada genital eksternal, infeksi saluran kemih atau penyakit genital serta adanya kehamilan dan gejala pada pengabaian adalah kurangnya perawatan pada diri anak 109 Ryan Indrawan, Hasnadi, Mahlil Putra dapat terjadi kegagalan untuk tumbuh, keterlambatan perkembangan, gangguan makan, kurang perawatan diri dan lain-lain (Hidayat, 2005). Pengetahuan orangtua sangat berpengaruh terhadap tindakan kekerasan pada anak karena bagi orangtua yang menganiaya anak mereka sering kali sedikit memiliki pengetahuan dan keterampilan menjadi orangtua. Mereka mungkin tidak memahami atau mengetahui kebutuhan anak mereka atau mereka mungkin marah atau frustrasi karena mereka secara emosional atau secara finansial tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Walaupun kurangnya pendidikan dan kemiskinan merupakan beberapa faktor yang menimbulkan penganiayaan dan pengabaian anak. Ada banyak insiden kekerasan dalam keluarga yang tampak memiliki segalanya, orangtua berpendidikan, memiliki karir yang sukses dan kondisi keuangan keluarga yang stabil. Banyak orang tua yang menampar anaknya kadang-kadang untuk mendisiplinkan anak mereka. Tetapi jika hukuman secara fisik tersebut menjadi lebih sering dan lebih berat, tindakan tersebut akan merusak kesehatan emosional anak. Beberapa anak juga dipukul sangat keras sehingga mereka mengalami patah tulang atau cedera serius (Patel, 2001). Dampak kekerasan fisik pada anak dari segi kesehatan berupa trauma akibat kecelakaan, memar yang tidak lazim atau tidak dapat dijelaskan, perubahan status mental, peristiwa mengancam jiwa yang akut (ALTE atau acute life-threatening event), gawat nafas, tidak menggunakan ekstremitas,keluhan nonspesifik penyakit gastrointestinal dan henti kardiorespirasi yang tak terduga (Schwartz, 2005). Dampak kekerasan fisik dari segi psikologis berupa anak terlihat takut, menarik diri dari teman-temannya dan tidak ingin bermain, agresif atau mengganggu anak lain, kabur dari sekolah atau rumahnya, berbohong atau mencuri, memiliki performa sekolah yang buruk (Patel, 2001). Kekerasan pada anak tidak hanya menimbulkan luka fisik dan mental tetapi juga menghambat kemampuan belajar dan bersosialisasi. Direktur Eksekutif United Nations Children Fund (UNICEF), Antony Lake mengatakan bahwa di setiap negara, di setiap kebudayaan pasti ada kekerasan terhadap anak. Kapanpun dan dimanapun dalam hal ini pasti anak-anak yang dirugikan. Kekerasan pada anak sering terjadi di berbagai belahan dunia contoh kasusnya adalah penembakan Malala Yousafzai (14) oleh tentara Pakistan, penembakan 26 murid dan guru di Newton Amerika Serikat pada bulan Desember lalu dan semakin maraknya kasus pemerkosaan pada anak perempuan di India dan Afrika Selatan. Menurut data organisasi kesehatan dunia PBB/ World Healthy Organization (WHO) ada 150 juta anak perempuan dan 73 juta diantaranya anak-anak masih di bawah usia 18 tahun yang mengalami kekerasan dan eksploitasi seksual. Sedangkan menurut data organisasi buruh internasional/International Labour Organization (ILO), setiap tahun diperkirakan ada 1,2 juta anak yang diperdagangkan (Indah, 2013). Tahun 2013 Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membeberkan laporan kasus pelanggaran yang melibatkan anak di Indonesia. Menurut Sekertaris Jenderal Komnas Anak Samsul Ridwan, angka pengaduan kasus pelanggaran hak anak meningkat tajam dibandingkan tahun lalu. Dan sepanjang tahun 2013 masih didominasi oleh kekerasan terhadap anak. Pengaduan sebanyak 3.023, angka ini menunjukan 60 % terjadi peningkatan dibandingkan tahun lalu dan kasus kekerasan terhadap anak masih mendominasi. Kekerasan terhadap anak sebanyak 1.620 kasus dengan rincian kekerasan fisik 490 kasus (30%), psikis 313 kasus (19%), dan paling banyak kekerasan seksual 817 kasus (51%). Artinya setiap bulannya hampir 70-80 anak menerima kekerasan seksual. Menurut Samsul kasus kekerasan 110 Serambi Saintia, Vol. II, No. 2, Oktober 2014 ISSN : 2337 – 9952 fisik berlatar belakang kenakalan anak 80 kasus (8%), dendam atau emosi 147 kasus (14%), ekonomi 62 kasus (6%), persoalan keluarga 50 kasus (5%) dan lain-lain 145 kasus (14%). Kekerasan fisik tersebut diantaranya dipukul 162 kasus, ditampar 12 kasus, disundut 4 kasus, dijewer 5 kasus, senjata tajam 103 kasus, dan lain-lain 245 kasus. Dampak dari kekerasan fisik tersebut diketahui menimbulkan luka ringan 97 kasus, luka berat 141 kasus, meninggal dunia 181 kasus dan lain-lain 71 kasus (Kusmiyati, 2013). Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir ini. Data menunjukkan peningkatan tesebut, yaitu tahun 2009 ditemukan 431 kasus, tahun 2010 terdapat 766 kasus, sedangkan tahun 2011 sampai dengan 2012 ditemukan 1956 kasus. Sementara ini, Kekerasan terhadap anak pada tahun 2009 ditemukan 278 Kasus, pada tahun 2010 ada 311 kasus dan pada tahun 2011 sampai dengan 2012 meningkat menjadi 468 kasus. Untuk kasus Traficking yang bisa ditangani pada Tahun 2011 sebanyak 20 kasus, tahun 2012 berjumlah 7 kasus. Pada awal 2013 sampai dengan Bulan Maret, sudah terjadi 9 Kasus (Badan Pemberdayaan Perempuan, 2013). Berdasarkan data awal yang diperoleh jumlah semua kepala keluarga adalah 133 KK dengan jumlah penduduk 687 jiwa dan yang mempunyai anak usia 6-12 tahun di Desa Lambarih Jurong Raya adalah sebanyak 53 KK. Studi pendahuluan dilakukan oleh peneliti pada 10 orang Ibu, 6 dari 4 Ibu mengatakan mencubit dan memukul dengan menggunakan tangan jika anak nakal, tidak mau belajar dan membantah, sehingga menurut mereka anak lebih takut dan mematuhi perintah orangtua, serta anak menjadi lebih disiplin dalam belajar. Menurut pendapat mereka tindakan yang dilakukannya wajar dan tidak berdampak apapun dengan anaknya. Meski demikian ada beberapa ibu yang berpendapat bahwa memukul akan membuat anak lebih bandel dan tidak menurut pada orangtua. Sedangkan berdasarkan data dari kepala Desa Lambarih Jurong Raya pada tahun 2012 lalu pernah terjadi 1 kasus kekerasan fisik yang dilakukan pada anak umur 7 tahun oleh ayahnya. Dengan adanya beberapa pandangan terhadap fenomena tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian. Peneliti berharap dapat menarik suatu kesimpulan berlandaskan teori atau ilmu terkait serta informasi yang dapat pada saat penelitian berupa “Gambaran Pengetahuan Orangtua tentang Dampak Kekerasan Fisik pada Anak Usia 6-12 tahun di Desa Lambarih Jurong Raya Kecamatan Sukamakmur tahun 2014”. KAJIAN PUSTAKA Pengertian Anak Masa kanak-kanak dibagi menjadi dua periode, yaitu awal masa kanak-kanak sekitar umur 2-6 tahun dan akhir masa kanak-kanak sekitar umur 6-12 tahun. Ada beberapa sebutan untuk masa kanak-kanak yang sesuai dengan sifat mereka. Misalnya, orangtua menyebutkan masa menyulitkan karena pada awal masa kanak-kanak mereka cenderung menolak ungkapan kasih sayang orangtua dan tidak mau ditolong. Sedangkan pada masa akhir kanak-kanak mereka tidak mau menuruti perintah orangtua dan senang mengikuti kelompoknya (Rumini & Sundari, 2004). Pandangan orangtua tentang masa awal kanak-kanak merupakan masa sulit karena hampir sebagian anak banyak mengalami kesulitan perkembangan kepribadian dan anak sering kali menuntut kebebasannya masih gagal diperoleh. Anak berperilaku lebih bandel, keras kepala, melawan, tidak patuh, tidak mau ditolong dan menolak ungkapkan kasih sayang. 111 Ryan Indrawan, Hasnadi, Mahlil Putra Sedangkan pada masa akhir kanak-kanak merupakan masa sulit diatur karena anak lebih banyak mengikuti aturan dari teman sebaya atau kelompok sosial. Masa bertengkar, anak selalu bertengkar dengan anggota keluarga lainnya, tetangga dan teman sebayanya (Pieter & Lubis, 2010). Pertumbuhan adalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yangbisa diukur dengan ukuran berat (gram, pon, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh) (Adriana, 2011). Menurut Whalley dan Wong Pertumbuhan merupakan bertambahnya jumlah dan besarnya sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur (Hidayat, 2005). Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang 1. Faktor Genetik Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalamsel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa (Soetjiningsih, 2002). 2. Faktor Lingkungan Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Lingkungan ini merupakan lingkungan “bio-fisiko-psiko-sosial“ yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya (Soetjiningsih,2002). Perkembangan Anak Usia 6-12 tahun Pada usia sekolah dasar (6-12 tahun) anak lebih suka meniru terutama dalam mengendalikan emosi. Anak biasanya lebih suka meniru orangtuanya dalam mengendalikan emosi. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang suasana emosinya stabil, maka perkembangan emosionalnya stabil. Akan tetapi apabila kebiasaan orangtua dalam mengekspresikan perasaannya emosionalnya kurang stabil atau kurang kontrol, maka emosi anak yang dialami pada tahap perkembangan ini adalah marah, takut, cemburu, iri hati, rasa ingin tahu dan kegembiraan (rasa senang, nikmat atau bahagia (Yusuf, 2011). Usia 6-12 tahun merupakan masa tersulit bagi orangtua karena hampir sebagian anak banyak mengalami kesulitan perkembangan kepribadian dan anak sering kali menuntut kebebasan meskipun kebebasannya masih gagal diperoleh. Anak berperilaku lebih bandel, keras kepala, melawan, tidak patuh, tidak mau ditolong dan menolak ungkapan kasih sayang. Selain itu, juga disebut sebagai masa bermain karena anak lebih suka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain (Pieter & Lubis, 2010). Kekerasan Fisik pada Anak Kekerasan anak adalah tindakan yang disengaja yang dapat menimbulkan sakit, cedera fisik atau emosional pada anak atau berisiko terhadap sakit atau cedera. 112 Serambi Saintia, Vol. II, No. 2, Oktober 2014 ISSN : 2337 – 9952 Terdapat empat macam jenis penganiayaan pada anak di antaranya penganiayaan secara fisik, penganiayaan emosional, penganiayaan seksual dan pengabaian, kesemuanya dapat dipacu oleh lingkungan yang ada disekitar anak. Gejala dari jenis penganiayaan tersebut adalah apabila jenis penganiayaan fisik maka dapat terjadi cedera, apabila penganiayaan jenis emosional dapat terjadi keguncangan pada jiwa anak dan juga dapat menimbulkan kekacauan mental, kemudian penganiayaan seksual terjadi iritasi atau laserasi pada genital eksternal, infeksi saluran kemih atau penyakit genital serta adanya kehamilan dan gejala pada pengabaian adalah kurangnya perawatan pada diri anak dapat terjadi kegagalan untuk tumbuh, keterlambatan perkembangan, gangguan makan, kurang perawatan diri dan lain-lain (Hidayat, 2005). Banyak orang tua yang menampar anaknya kadang-kadang untuk mendisiplinkan anak mereka. Tetapi jika hukuman secara fisik tersebut menjadi lebih sering dan lebih berat, tindakan tersebut akan merusak kesehatan emosional anak. Beberapa anak juga dipukul sangat keras sehingga mereka mengalami patah tulang atau cedera serius (Patel, 2001). Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan pada Anak Faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak disebabkan oleh stress dalam keluarga. Stress dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua (suami atau Istri), atau situasi tertentu. Stress berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Penyebab utama lainnya adalah kemiskinan, masalah hubungan sosial baik dalam keluarga atau komunitas, penyimpangan perilaku sosial (masalah psikososial). Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum dan pengaruh nilai sosial kebudayaan di lingkungan sosial tertentu. Faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak yaitu (Yohana, 2013): a. Kondisi Anak Anak yang mengalami cacat baik mental maupun fisik anak yang sulit diatur sikapnya, anak yang meminta permintaan khusus, ataupun berposisi sebagai anak tiri, anak angkat. b. Sosial Nilai/Norma yang ada dimasyarakat yang kurang menguntungkan terhadap anak, misalnya dalam praktek pengasuhan anak, pembiasaan bekerja sejak kecil kepada anak yang berlindung atas nama adat budaya, misalnya dalam pola pengasuhan anak yang menekankan dan menjunjung tinggi nilai kepatuhan yang acap kali masyarakat membiarkan dan mentolerir kekerasan fisik (cambuk, pukul, tending dan tempeleng), verbal (berkata-kata kotor, mengumpat, damprat atau cemooh) maupun kekerasan dalam pengisolasian sosial. c. Persepsi Masyarakat Masyarakat menilai bahwa persoalan kekerasan terhadap anak yang dilakukan keluarganya sendiri (orang tua) adalah urusan intern mereka sendiri. Mereka melakukan itu dalam rangka mendidik anak- anaknya yang bandel dan membangkang orang tua dan adanya anggapan bahwa anak adalah milik orang tuanya sendiri. d. Kondisi Orangtua 113 Ryan Indrawan, Hasnadi, Mahlil Putra Orangtua yang mengunakan alkohol, orangtua yang mengalami depresi atau gangguan mental, dan orangtua yang dulu dibesarkan dengan kekerasan cenderung meneruskan pendidikan tersebut kepada anaknya. e. Faktor Keluarga Keluarga yang cenderung berada dalam keadaan yang kacau secara ekonomi dan lingkungan seperti, perceraian, pengangguran dan keadaan ekonomi kacau. Karena adanya tekanan ekonomi bagi orang tua yang tidak kuat untuk menghadapi akan menjadikannya semakin sensitif sehingga menjadi mudah marah, anak sebagai pihak yang terlemah dalam keluarga menjadi sasaran kemarahan. f. Persepsi Orangtua Munculnya anggapan yang salah terhadap anak (wrong perception). Orangtua menganggap kehadiran anak sebagai hak paten yang dapat digunakan sesukanya sehingga pada akhirnya orangtua akan merasa bebas dalam memperlakukan anaknya sesuai dengan keinginannya, apapun yang dilakukan orangtua terhadap anak adalah hak orangtua. Dampak Kekerasan Fisik pada Anak 1. Dampak Kesehatan Mendiagnosis kekerasan fisik dapat merupakan suatu tantangan. Riwayat yang ada sering menyesatkan dan cedera dapat tidak patognomonik. Penampilan yang mungkin muncul adalah trauma akibat kecelakaan, memar yang tidak lazim atau tidak dapat dijelaskan, perubahan status mental, peristiwa mengancam jiwa yang akut (ALTE, acute life-threatening event), gawat nafas, tidak menggunakan ekstremitas, keluhan nonspesifik penyakit gastrointestinal dan henti kardiorespirasi yang tidak terduga. Beberapa dampak yang disebabkan oleh cedera fisik adalah (Schwartz, 2005): a. Memar Anak dengan riwayat trauma minor yang mengalami memar berlebihan atau memar di berbagai bagian tubuh sebaiknya dicurigai mengalami penganiayaan. Memar pada tahap penyembuhan berbeda, berlokasi di sentral atau berpola (contoh: berbentuk lengkung, bekas jari dan bekas tali pinggang) juga memberi kesan penganiayaan. b. Luka Bakar Luka bakar akibat penganiayaan paling sering dijumpai pada bayi dan anak balita. Beberapa pola luka bakar (missal, luka bakar akibat pencelupan) patognomonik untuk cedera yang ditimbulkan. Luka bakar akibat rokok berbentuk bulat dengan diameter sekitar 8 mm dan sering sembuh dengan indurasi dan parut. c. Fraktur Beberapa jenis fraktur yang sering dijumpai adalah: 1) Fraktur Diafisis, 2) Fraktur Spiral, 3) Fraktur Metafisis, 4) Fraktur Iga, 5) Fraktur Tengkorak dan 6) Tempat Fraktur Lain d. Trauma Abdomen Trauma abdomen berat merupakan penyebab utama kedua kematian yang disebabkan oleh penganiayaan. Yang paling sering dijumpai adalah cedera pada hati dan usus halus. Keluhan nonspesifik yang berkaitan dengan saluran pencernaan (seperti, muntah cairan empedu, nyeri abdomen dan anoreksia), 114 Serambi Saintia, Vol. II, No. 2, Oktober 2014 ISSN : 2337 – 9952 keluhan yang berkaitan dengan peritonitis (misal, demam, nyeri abdomen dan letargi), cedera kecelakaan, henti kardiorespirasi yang tidak dapat dijelaskan (disebabkan oleh kehilangan darah atau sepsis). e. Trauma Kepala/Sindrom Dampak Guncangan Cedera kepala, baik yang disebabkan oleh trauma tumpul, guncangan dengan kekuatan deselerasi yang mendadak atau keduanya merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan pada penganiayaan anak. Korban cedera kepala umumnya masih kecil, sering kali bayi dan balita. Anak berusia lebih tua yang meninggal akibat cedera SSP lebih sering memiliki tanda-tanda dampak trauma tumpul pada kepala. Keluhan utama yang terjadi adalah perubahan status mental, gawat nafas, mudah marah, letargi, kejang, ALTE, trauma kecelakaan minor dan penambahan lingkar kepala. f. Sindrom Munchausen By Proxy Sindrom ini tentang penyakit anak yang ditutup-tutupi atau disebabkan oleh orangtua. Anak berulang kali datang untuk mendapat perawatan medis dan orangtua menyangkal mengetahui etiologi penyakit yang sebenarnya. Gejala akut mereda saat pasien dipisahkan dari orangtuanya. Keluhan utamanya tergantung pada penyakit apa yang ditutup-tutupi. Keluhan utama adalah apnea, ALTE, pendarahan saluran cerna, hematuria, kejang, demam dan infeksi rekuren. 2. Dampak Psikologis Beberapa dampak psikologis penganiayaan secara fisik jika anak (Patel, 2001): 1. Terlihat takut 2. Menarik diri dari teman-temannya dan tidak ingin bermain 3. Agresif atau mengganggu anak lain 4. Kabur dari sekolah atau rumahnya 5. Berbohong atau mencuri 6. Memiliki performa sekolah yang buruk. Cara Mengatasi Dampak Kekerasan pada Anak Beberapa cara mengatasi dampak kekerasan pada anak, yaitu (Dyah, 2012): 1. Orangtua hendaknya lebih waspada terhadap orang-orang yang berada di sekeliling anaknya. 2. Mendampingi anak dalam beberapa kegiatan yang dilakukannya. 3. Menjauhkan anak dari lingkungan atau keadaan yang menyebabkan ia dapat mengingat kembali peristiwa kekerasan yang telah menimpanya. 4. Menjelaskan kepada anak tentang arti kekerasan, dengan cara mengatakan kepadanya bahwa tidak boleh membiarkan siapapun menggunakan kekerasan, terutama terhadap anak. 5. Melibatkan anak dalam berbagai macam kegiatan positif, seperti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. 6. Orang tua hendaknya jangan meninggalkan anaknya sendirian tanpa ada orang terdekat dan terpercaya yang mengawasinya. 7. Mengaktivasi otak kanannya dengan berbagai kegiatan seni seperti menggambar, melukis, dan bermain musik agar menjadi suatu bentuk trauma healing bagi anak-anak. 115 Ryan Indrawan, Hasnadi, Mahlil Putra 8. 9. Menggunakan terapi psikologis tertentu jika dibutuhkan. Mengenali rasa takut yang mungkin dialami anak dan bersikap peka terhadap apapun yang dirasakannya. 10. Membuat suasana yang aman dan nyaman bagi anak. Upaya perlindungan yang dapat dilakukan berkaitan dengan kekerasan pada anak ini dapat dilakukan dengan pendekatan kesehatan pada masyarakat (public health), yaitu melalui usaha promotif, preventif, diagnosis, kuratif, dan rehabilitatif. Dua usaha yang pertama ditujukan bagi anak yang belum menjadi korban (non-victim) melalui kegiatan pendidikan masyarakat dengan tujuan utama menyadarkan masyarakat (public awarness) bahwa kekerasan pada anak merupakan penyakit masyarakat yang akan menghambat tumbuh kembang anak yang optimal, oleh karenanya harus dihapuskan. Sedangkan dua usaha terakhir ditujukan bagi anak yang telah menjadi korban (victim) dengan tujuan utama memberikan tata laksana korban secara menyeluruh (holistic) meliputi aspek media, psikologis, sosial, termasuk di dalamnya upaya reintegrasi korban ke dalam lingkungannya semula. Upaya perlindungan di atas dapat dilaksanakan oleh profesional di bidangnya masing-masing di satu pihak dan media di pihak lain (Liunir, 2011). METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran suatu keadaan secara objektif, yaitu menggambarkan pengetahuan orang tua tentang dampak kekerasan fisik pada anak usia 6-12 tahun di Desa Lambarih Jurong Raya Kecamatan Sukamakmur tahun 2014. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lambarih Jurong Raya Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar mulai tanggal 4 Agustus sampai dengan 10 Agustus tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orangtua yang memiliki anak usia 6-12 tahun di Desa Lambarih Jurong Raya Kecamatan Sukamakmur yaitu 53 KK. Pengambilan sampel dilakukan secara total populasi, yaitu seluruh populasi yang berjumlah 53 KK dijadikan sampel. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa pengetahuan orangtua tentang dampak kesehatan yang terjadi pada anak yang mengalami kekerasan fisik berada pada katagori tinggi sebanyak 40 orang (75,47%). Pengetahuan orangtua tentang dampak psikologis pada anak yang mengalami kekerasan fisik berada pada kategori tinggi sebanyak 31 orang (58,49%). Pengetahuan orangtua cara mengatasi dampak kekerasan fisik pada anak berada pada katagori tinggi sebanyak 36 orang (67,92%). Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan orangtua tentang dampak kekerasan fisik pada anak usia 6-12 tahun di Desa Lambarih Jurong Raya Kecamatan Sukamakmur menurut persentasinya berada pada kategori tinggi sebanyak 30 orang atau 56,60% artinya banyak yang sudah memahami tentang dampak dari kekerasan fisik yang terjadi pada anak. Orangtua sudah lebih memahami tentang dampak kesehatan yang terjadi pada anak yang mengalami kekerasan fisik karena orangtua sudah mendapatkan informasi dari media massa seperti TV. Dampak kekerasan fisik pada anak dari segi kesehatan berupa trauma akibat kecelakaan, memar yang tidak lazim atau tidak dapat dijelaskan, perubahan status mental, peristiwa mengancam jiwa yang akut (ALTE atau acute life116 Serambi Saintia, Vol. II, No. 2, Oktober 2014 ISSN : 2337 – 9952 threatening event), gawat nafas, keluhan nonspesifik penyakit gastrointestinal dan henti kardiorespirasi yang tak terduga (Schwartz, 2005). Tingginya pengetahuan orangtua tentang dampak psikologis yang terjadi pada anak yang mengalami kekerasan fisik karena faktor pengalaman orangtua yang sangat berpengaruh dalam pengetahuannya termasuk dalam hal cara berfikir, serta perubahan sifat yang terjadi pada anaknya. Orangtua terutama ibu lebih peka terhadap perubahan perilaku yang dialami oleh anak. Dan banyaknya sumber pengetahuan yang bisa didapatkan oleh orangtua seperti: TV, radio dan koran. Dampak kekerasan fisik dari segi psikologis berupa anak terlihat takut, menarik diri dari teman-temannya dan tidak ingin bermain, agresif atau mengganggu anak lain, kabur dari sekolah atau rumahnya, berbohong atau mencuri, memiliki performa sekolah yang buruk (Patel, 2001). Tingginya pengetahuan orangtua tentang cara mengatasi dampak kekerasan fisik yang terjadi pada anak disebabkan karena adanya keinginan dari orangtua agar anaknya terhindar dari kekerasan yang bisa terjadi pada anak. Informasi yang didapatkan orangtua dari televisi. Cara mengatasi dampak kekerasan fisik pada anak ini dapat dilakukan dengan pendekatan kesehatan pada masyarakat, yaitu melalui usaha promotif, preventif, diagnosis, kuratif, dan rehabilitatif. Dua usaha yang pertama ditujukan bagi anak yang belum menjadi korban melalui kegiatan pendidikan masyarakat dengan tujuan utama menyadarkan masyarakat bahwa kekerasan pada anak merupakan penyakit masyarakat yang akan menghambat tumbuh kembang anak yang optimal, oleh karenanya harus dihapuskan. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka penulis dapat menyimpulkan dari hasil penelitian sebagai berikut: 1. Pengetahuan orangtua tentang dampak kesehatan yang terjadi pada anak yang mengalami kekerasan fisik pada anak usia 6-12 tahun di Desa Lambarih Jurong Raya Kecamatan Sukamakmur tahun 2014 termasuk dalam kategori tinggi yaitu berjumlah 40 orang (75,47%). 2. Pengetahuan orangtua tentang dampak psikologis yang terjadi pada anak yang mengalami kekerasan fisik pada anak usia 6-12 tahun di Desa Lambarih Jurong Raya Kecamatan Sukamakmur tahun 2014 termasuk dalam kategori tinggi yaitu berjumlah 31 orang (58,49%). 3. Pengetahuan orangtua tentang cara mengatasi dampak kekerasan fisik pada anak usia 6-12 tahun di Desa Lambarih Jurong Raya Kecamatan Sukamakmur tahun 2014 termasuk dalam kategori tinggi yaitu berjumlah 36 orang (67,92%). Saran 1. Bagi Orangtua Diharapkan kepada seluruh orangtua di Desa Lambarih Jurong Raya Kecamatan Sukamakmur agar tidak melakukan kekerasan pada anak sehingga tidak menimbulkan dampak terhadap kesehatan dan psikologi pada anak. 2. Bagi Pendidikan Keperawatan Diharapkan kepada Institusi Pendidikan Keperawatan agar dapat meningkatkan pengetahuan mahasiswa/i tentang dampak kekerasan fisik pada anak melalui proses mengajar. 117 Ryan Indrawan, Hasnadi, Mahlil Putra 3. Bagi Masyarakat Diharapkan kepada masyarakat agar lebih mengenal tentang dampak yang akan terjadi jika anak terkena kekerasan. Dan masyarakat diharapkan dapat mencegah dan melaporkan kepada pihak berwewenang jika terjadi kekerasan pada anak. 4. Bagi Peneliti Lain Diharapkan kepada peneliti lain untuk dapat melakukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan sampel dan daerah lebih luas sehingga dapat di peroleh hasil yang lebih bermakna mengenai pengetahuan tentang dampak kekerasan fisik. DAFTAR PUSTAKA Dyah, N. 2012. Kekerasan Terhadap Anak, http://meetdoctor.com/, diakses 10 Februari 2014. Hidayat., A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Indah, S. F. 2013. Konflik Salah Satu Pemicu Kekerasan pada Anak, http://satuharapan.com/ , diakses 11 Februari 2014 Kusmiyati. 2013. 1.600-an Kasus Kekerasan Anak di 2013 Meningkat 60 Persen,http://health.liputan6.com/ , diakses 12 Februari 2014 Liunir. 2011. Kekerasan Terhadap Anak Permasalahan dan Pemecahannya, http://makalahkekerasanterhadapanak.com/, diakses 1 April 2014 Patel, V. 2001. Ketika Tidak ada Psikiater, diterjemahkan oleh Vina, A., London: International Medical Corps Indonesia Programme. Pieter, H.Z dan Lubis, N.L. 2010. Pengantar Psikologi dalam Keperawatan. Jakarta: Kencana. Schwartz, W.M. 2005. Pedoman Klinis Pediatrik. Jakarta: EGC Soetjiningsih. 2002. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Bina Rupa Aksara Yohana. 2013. Penyebab Kekerasan Terhadap Anak, http://yosephineyohana.blogspot.com/, diakses 10 Februari 2014 Yusuf, S. 2011. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya 118