Gardjito. 2001. Pelatihan Aplikasi Teknologi

advertisement
PROPOSAL DISERTASI
PERAN SENYAWA BIOAKTIF TANAMAN SEBAGAI ZAT PENGATUR
TUMBUH DALAM MEMACU PRODUKSI UMBI MINI KENTANG
(Solanum tuberosum L.)
PADA SISTEM BUDIDAYA AEROPONIK
Oleh:
Fachirah Ulfa
P0100309018
PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNHAS
2013
0
ABSTRAK
Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah bahan pangan nomor empat
terpenting di dunia setelah gandum, beras dan jagung dan merupakan
komoditi yang dapat menunjang program penganekaragaman (diversifikasi
pangan), meningkatkan komoditas ekspor non-migas dan bahan baku
industri pangan serta mempunyai potensi nilai ekonomi yang tinggi.
Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra pengembangan kentang di
Kawasan Timur Indonesia. Produksi kentang di Indonesia khususnya di
Sulawesi Selatan dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami penurunan.
Penyebab penurunan produksi kentang di Indonesia antara lain ketersediaan
benih bermutu, teknik budidaya dan anomali iklim.
Di Indonesia, belum banyak petani penghasil benih kentang bermutu, sehingga
permintaan benih kentang belum dapat terpenuhi. Upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi hal tersebut adalah pemanfaatan jasa bioteknologi untuk
menghasilkan umbi mini dan peralihan sistem budidaya konvensional ke sistem
budidaya aeroponik. Teknologi aeroponik menghasilkan umbi sehat dan
bersih, produksi tinggi (10 x lipat dibanding cara konvensional).
Pemanfaatan zat pengatur tumbuh untuk meningkatkan produksi umbi mini
kentang merupakan salah satu teknologi yang dapat dipilih untuk diterapkan.
Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan saat ini adalah zat pengatur
tumbuh sintetik yang harganya mahal dan kadang langka ketersediaannya.
Indonesia sangat kaya dengan aneka ragam tanaman seperti kelapa,
kecambah kacang hijau, pisang ambon, jagung dan buncis serta bawang
merah. Setiap tanaman mengandung senyawa bioaktif (auksin, sitokinin dan
giberelin) yang dapat dimanfaatkan sebagai zat pengatur tumbuh dan
tentunya biaya yang dikeluarkan akan lebih murah. Namun demikian belum
diketahui kadar senyawa bioaktif yang dikandungnya dan apakah memiliki
pengaruh yang sama baiknya dengan zat pengatur tumbuh sintetik.
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap percobaan dengan menggunakan
rancangan acak kelompok.
Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam penyediaan stek tanaman
kentang, produksi umbi mini dan pemecahan masa dormansi benih.
Penelitian ini akan menghasilkan paket teknologi sederhana dan murah serta
mudah diterapkan dalam menunjang ketersediaan bahan tanam yang berasal
dari stek kentang dan memacu ketersediaan umbi mini.
Key Words: Kentang, zat pengatur tumbuh, perbanyakan setek, umbi mini,
dormansi benih, aeroponik.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 telah bertambah
menjadi 241 juta jiwa lebih (Anonim, 2011a),
sedangkan populasi dunia
sampai tahun 2050 diperkirakan akan meningkat menjadi 3 milliar orang dan
tentunya akan diperlukan tambahan lahan pertanian yang lebih luas. Masalah
lain adalah bahwa produksi tanaman sangat bergantung pada iklim, dimana
perubahan iklim akan mengurangi produksi sehingga akan timbul kasus
kelaparan di banyak wilayah dunia (Daegan Gonyer, Eric Ludovici, Laura
Shaddak, 2010).
Oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan pangan
penduduk dunia diperlukan beberapa alternatif bahan pangan selain beras
dan salah satunya adalah kentang (Solanum tuberosum L.).
Saat ini, kentang adalah bahan pangan nomor empat terpenting di
dunia setelah gandum, beras dan jagung. Kentang menduduki posisi penting
sebagai bahan pangan, karena nutrisinya cukup baik. Kandungan nutrisi
lengkap tiap 100 gram kentang segar adalah : energi 80 kal (320 kJ);
karbohidrat 19 gram; pati (15 gram); serat 2.2 gram; lemak 0.1 gram;
protein 2 gram; air 75 gram (75% dari total bobot); thiamin (vit. B1) 0,08
miligram; riboflavin (Vit. B2) 0,03 miligram; niacin (vit. B3) 1,1 miligram;
vitamin B6 0,25 miligram; vitamin C 20 miligram; kalsium 12 miligram; zat
besi 1,8 miligram; magnesium 23 miligram; fosfor 57 miligram; potasium
421 miligram; sodium 6 miligram (Anonim, 2012b). Protein pada kentang ,
seperti pada kacang-kacangan, mengandung lisin yang tinggi dan sulfur
rendah (asam amino), memberikan gizi yang baik untuk orang dewasa
(Woolfe, 1987 dalam Kenneth dan Ornelas, 2012).
Kentang berasal dari dataran tinggi Andes di Amerika Selatan (Peru,
Columbia, Equador dan Bolivia) dan pertama kali dibawa ke Eropa oleh
2
penjelajah Spanyol
di tahun 1537 (Mas Yamaguchi, 1983 dan Sumeru
Ashari, 1995). Di Indonesia, kentang dikenal sejak tahun 1794 di sekitar
Cimahi, Bandung. Perkembangannya dimulai sejak penjajahan Belanda, di
antaranya di Cibodas, Wonosobo, Karo dan Flores. Penanaman kentang
dilakukan oleh bangsa Belanda
untuk penyediaan stok pangan karena
kesulitan impor dari Eropa. Kini, tanaman kentang telah menyebar luas di
Indonesia (Hendro Sunarjono, 2007).
Tanaman kentang telah dikembangkan di Indonesia dan mendapat
prioritas untuk diteliti dan dikembangkan. Pengembangan agribisnis kentang
sangat strategis, karena dapat meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
petani, menunjang program penganekaragaman (diversifikasi pangan),
meningkatkan komoditas ekspor non-migas dan bahan baku industri pangan
serta mempunyai potensi nilai ekonomi yang tinggi (Rahmat Rukmana, 2006
dan Agus Surono, 2012).
Kentang telah menjadi bahan makanan masyarakat umum, baik
untuk pesta maupun makanan sehari-hari. Kentang goreng yang disajikan
restoran – restoran siap saji juga sangat populer dan sangat digemari oleh
seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Bagi penderita penyakit gula atau
diabetes millitus, kentang sangat dianjurkan sebagai pengganti nasi. Dengan
demikian kentang sangat berpeluang untuk dikembangkan karena hampir
setiap orang dari semua lapisan masyarakat mengenal dan suka makan
kentang. Konsumsi kentang nasional saat ini sekitar 2,02 kilogram per kapita
per tahun atau setara 479 ribu ton. Jumlah ini naik tipis dari 1,73 kg/kapita
pada 2009 dan sebesar 1,84 kg/kapita pada 2010 (Ainur Rahman , 2012).
Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra pengembangan
kentang di Kawasan Timur Indonesia yang tersebar di dataran tinggi wilayah
Kabupaten Gowa, Bantaeng, Enrekang, Tana Toraja, Pinrang, Jeneponto,
Luwu Utara, dan Sinjai serta Bone (Badan Pusat Statistik, 2011).
3
Produksi kentang di Sulawesi Selatan dari tahun 2008 sampai 2010
mengalami penurunan yang dapat dilihat secara berturut - turut yaitu pada
tahun 2008 produksi kentang mencapai 20.589 ton kemudian mengalami
penurunan produksi pada tahun 2009 menjadi 9.089 ton, dan pada tahun
2010 masih mengalami penurunan produksi menjadi 7.627 ton (Badan Pusat
Statistik, 2011a). Sedangkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(2011), di Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan produksi kentang
berfluktuasi mulai tahun 2007 sampai tahun 2010 secara berturut-turut:
338,7 ton (2007); 21.301,3 ton (2008); 3.971,16 ton (2009); dan 12.422 ton
(2010). Penyebab penurunan produksi kentang di Indonesia antara lain
kurangnya ketersediaan benih bermutu, serangan organisme pengganggu
tanaman, teknik budidaya yang kurang sesuai dan anomali iklim.
Ketersediaan
benih
bermutu
yang
disajikan
pada
Tabel
1
memperlihatkan bahwa Indonesia baru mampu menyediakan benih kentang
berkualitas sekitar 15 persen atau setara dengan 15.537 ton. Padahal pada
tahun 2011 dibutuhkan 103.582 ton. Selama empat tahun terakhir, data
Kementerian Pertanian menunjukkan jumlah benih selalu kurang. Pada tahun
2008, kebutuhan benih kentang 103.272 ton, namun ketersediaanya hanya
8.066 ton atau baru terpenuhi sekitar 8 persen. Pada 2009, kebutuhan benih
kentang 103.375 ton, namun ketersediaannya hanya 13.481 ton atau hanya
13 persen. Dan pada 2010, kebutuhan benih kentang 103.478 ton,
sedangkan ketersediaannya hanya 14.702 ton atau 14 persen.
4
Tabel 1. Produksi dan Kebutuhan Benih Kentang di Indonesia (Tahun
2008 – 2011)
Tahun
Produksi Benih
Kebutuhan Benih
Persentase
(ton)
(ton)
Ketersediaan Benih
2008
8.066
103.272
8
2009
13.481
103.375
13
2010
14.702
103.478
14
2011
15.537
103.582
15
Sumber: Rosalina, 2011.
http://www.tempo.co/read/news/2011/10/26/090363387/, diakses
Desember 2011.
Sektor perbenihan merupakan salah satu pendukung utama dalam
program pembangunan pertanian karenanya perbenihan merupakan masalah
yang perlu mendapat perhatian utama dalam memenuhi kebutuhan benih
berkualitas di Indonesia. Benih sangat mempengaruhi produktivitas dan
kualitas hasil produksi. Selama ini yang biasa digunakan petani sebagai bahan
tanam adalah umbi bibit turunan G5 bahkan G6 dan G7. Padahal bibit G2
biasanya sudah terkontaminasi
bakteri dan virus sehingga dianjurkan
menggunakan bibit G0 dan G1 (umbi mini).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah
pemanfaatan jasa bioteknologi kultur jaringan yang dilanjutkan dengan
perbanyakan cepat dari setek ke setek. Penggunaan teknik perbanyakan setek
di samping meningkatkan jumlah stek yang berkualitas, juga dimaksudkan
untuk mempersingkat masa penyediaan benih (Suyamto, Karyadi, dan
Nugroho, 2005). Dari teknik ini akan dihasilkan umbi mini yaitu umbi dengan
berat 1 - 10 gram yang merupakan umbi G0 dan G1 (dalam screen house)
bebas pathogen. Dengan demikian benih kentang bermutu diproduksi melalui
beberapa generasi, dimulai dari plantlet, G0, G1, G2, G3 sampai dengan G4.
Benih generasi keempat (G4) inilah yang merupakan benih sebar yang
digunakan oleh petani. Selain itu kebutuhan benih dapat diatasi dengan
5
pematahan dormansi umbi kentang agar pada saat dibutuhkan benih kentang
tersedia.
Sistem penanaman yang lazim digunakan dalam memproduksi benih
adalah menggunakan tanah sebagai media tanam. Sistem penanaman
seperti ini memberikan produksi yang belum dapat memenuhi harapan baik
dari segi kualitas maupun kuantitas. Salah satu cara untuk meningkatkan
produksi bibit kentang adalah dengan sistem aeroponik.
Aeroponik merupakan pengembangan dari teknologi hidroponik.
Hidroponik menggunakan air ataupun media lain selain tanah sebagai media
tanam, sedangkan aeroponik menggunakan udara sebagai media tanam,
dimana pada sistem ini larutan hara diberikan ke akar tanaman dengan cara
pengabutan (Jensen dan Collins, 2005). Akar tanaman menggantung, dan
melalui springkler dari bawah larutan hara disemprotkan ke akar dan akar
akan menyerap hara tesebut (Resh, 2004; Park Jong Sub, 2005).
Penanaman dalam rumah kasa tanpa tanah menyebabkan serangan
hama penyakit pada teknologi aeroponik relatif lebih rendah, sehingga
kualitas benih lebih baik dan lebih terjamin kemurniannya. Dengan aeroponik,
benih kentang dapat diproduksi kapan saja, sehingga produsen benih dapat
mengatur
sesuai
kebutuhan
konsumen
benih.
Selain
itu
dengan
menggunakan sistem aeroponik maka anomali iklim dapat ditanggulangi.
Anomali iklim berdampak pada munculnya berbagai hama dan penyakit
(Kunto Wibisono, 2010).
Teknologi aeroponik menghasilkan umbi mini yang sehat dan bersih,
produksi tinggi (10 x lipat dibanding cara konvensional), Kentang aeroponik
dapat dipanen dengan mudah dalam jangka waktu sekitar 50 hari. Tiap satu
tanaman kentang rata-rata mampu menghasilkan 30 umbi kentang, berbeda
dengan hasil penanaman kentang dengan teknik konvensional yang hanya
mampu menghasilkan tiga hingga lima umbi kentang per tanaman.
6
Peningkatan jumlah produksi yang diikuti dengan peningkatan
pendapatan telah dirasakan seorang petani penangkar benih kentang, Denny
Afrizal yang dengan total modal sekitar Rp 65 juta per 100 meter persegi,
mampu menghasilkan rata-rata 45.000 umbi setiap panen tiga bulan sekali.
Setiap satu umbi kentang harganya sekitar 2.500 rupiah (Wuri Rohayati.
2009). Namun demikian, produksi umbi kentang di Indonesia dengan sistem
aeroponik masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan di Huancayo
Peru, International Potato Centre, yang mampu menghasilkan produksi 100
umbi kentang per tanaman dengan menggunakan bahan relatif sederhana
(Victor Otazu. 2010). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak faktor yang
perlu dioptimalkan.
Pemanfaatan zat pengatur tumbuh untuk meningkatkan produksi
umbi mini kentang merupakan salah satu teknologi yang dapat dipilih untuk
diterapkan. Zat pengatur tumbuh ini diaplikasikan mulai dari perbanyakan
stek, penanaman sampai pada saat pemecahan dormansi.
Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan saat ini adalah zat
pengatur tumbuh sintetik yang harganya relatif mahal dan kadang langka
ketersediaannya. Untuk mengatasi hal ini perlu dipikirkan zat pengatur
tumbuh yang dapat diperoleh dengan mudah, murah namun memiliki
kemampuan yang sama atau lebih dari zat pengatur tumbuh sintetik dalam
memacu pertumbuhan tanaman yang dapat diekstrak dari senyawa bioaktif
tanaman. Pemanfaatan senyawa bioaktif tanaman sebagai zat pengatur
tumbuh tentunya sangat bermanfaat dalam mendukung pertanian ramah
lingkungan, pemanfaatan sumber daya alam dan peningkatan percepatan
swasembada benih.
Indonesia sangat kaya dengan aneka ragam tanaman dimana
tanaman – tanaman
ini mengandung senyawa bioaktif yang dapat
diekstraksi sebagai zat pengatur tumbuh (auksin, giberelin dan sitokonin).
Ekstraksi
senyawa
bioaktif
dapat
dilakukan
pada
air
kelapa
yang
7
mengandung auksin, sitokinin dan giberelin; kecambah kacang hijau
mengandung
auksin;
mengandung sitokinin;
(Edhi Sandra, 2011);
pisang
ambon
mengandung
auksin;
buncis
bawang merah mengandung mengandung auksin
biji jagung mengandung giberellin (Anonim, 2011c).
Namun demikian belum diketahui kadar senyawa bioaktif yang dikandungnya
dan apakah memiliki pengaruh yang sama baiknya dengan zat pengatur
tumbuh sintetik.
Hasil penelitian Ermiati (2009 dalam Deliah Seswita, 2010)
menunjukkan bahwa penggunaan media dasar cair yang diperkaya zat
pengatur tumbuh alami air kelapa konsentrasi 15% lebih efisien dari pada
media lain karena setelah dihitung lebih murah Rp. 8,- dibandingkan media
padat + BA 1,5 mg/l dan lebih murah Rp. 1, dan bila dibanding media dasar
padat maupun cair yang diperkaya
zat pengatur tumbuh sintetik Benzyl
Adenin (BA) 1,5 mg/l. Oleh karena itu, perlu dikaji penggunaan zat pengatur
tumbuh yang berasal dari tanaman sebagai substitusi zat pengatur tumbuh
sintetik.
Penggunaan umbi mini sebagai bibit belum banyak dilakukan karena
teknologi produksinya masih kurang tersedia. Berdasarkan hal yang telah
dikemukakan, maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan teknologi
yang tepat dalam upaya peningkatan produksi umbi mini kentang (Solanum
tuberosum L.) yang dibudidayakan secara aeroponik melalui pemanfaatan
senyawa bioaktif tanaman sebagai zat pengatur tumbuh.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah ekstrak senyawa bioaktif dari air kelapa, kecambah kacang hijau,
pisang
ambon,
jagung
dan
buncis
serta
bawang
merah
dapat
8
dimanfaatkan sebagai zat pengatur tumbuh (mengandung auksin, sitokinin
dan giberelin) yang dapat memacu pertumbuhan bibit kentang.
2. Apakah ekstrak senyawa bioaktif dari air kelapa, kecambah kacang hijau,
pisang
ambon,
jagung
dan
buncis
serta
bawang
merah
dapat
dimanfaatkan sebagai zat pengatur tumbuh (mengandung auksin, sitokinin
dan giberelin) dalam memacu produksi umbi mini yang diusahakan secara
aeroponik.
3. Apakah ekstrak senyawa bioaktif dari air kelapa, kecambah kacang hijau
dan
jagung
dapat
dimanfaatkan
sebagai
zat
pengatur
tumbuh
(mengandung auksin, sitokinin dan giberelin) yang dapat mematahkan
dormansi benih sehingga umbi mini dapat tersedia setiap saat.
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan mempelajari potensi ekstrak senyawa bioaktif (auksin,
sitokinin dan giberelin) dari air kelapa, kacang kacang hijau, pisang
ambon, jagung dan buncis serta bawang merah sebagai zat pengatur
tumbuh pemacu pertumbuhan bibit kentang.
2. Mengetahui dan mempelajari potensi ekstrak senyawa bioaktif (auksin,
sitokinin dan giberelin) dari air kelapa, kecambah kacang hijau, pisang
ambon, jagung dan buncis serta bawang merah sebagai zat pengatur
tumbuh yang dapat memacu produksi umbi mini kentang aeroponik serta
pematahan dormansinya.
D. Manfaat Penelitian
1. Menjadi bahan informasi bagi pemerhati kentang dalam pengembangan
kentang di Indonesia khususnya Sulawesi Selatan.
2. Merupakan paket teknologi khususnya dalam peningkatan kuantitas
produksi umbi mini kentang yang berkualitas.
9
E. Hipotesis
1. Terdapat ekstrak senyawa bioaktif tanaman sebagai zat pengatur tumbuh
terbaik untuk pertumbuhan bibit kentang.
2. Terdapat ekstrak senyawa bioaktif tanaman sebagai zat pengatur tumbuh
terbaik untuk produksi umbi mini kentang secara aeroponik dan pematahan
dormansinya.
10
F. Kerangka Pikir
PERTUMBUHAN PENDUDUK MENINGKAT MEMBUTUHKAN
PENGANEKARAGAMAN PANGAN
KENTANG SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF
PRODUKSI KENTANG NASIONAL TIDAK MENCUKUPI
PENGGUNAAN BENIH KENTANG BERKUALITAS RENDAH
USAHA PENINGKATAN KETERSEDIAAN UMBI MINI KENTANG
EKSTRAK SENYAWA
BIOAKTIF TANAMAN
SEBAGAI ZAT
PENGATUR TUMBUH
PERBAIKAN BUDIDAYA
TANAMAN
AEROPONIK
PENINGKATAN PRODUKSI UMBI MINI
KENTANG BERKUALITAS
Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir Penelitian
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kentang (Solanum tuberosum L.)
1. Karakteristik Kentang
Kentang termasuk tanaman setahun (annual) yang berbentuk semak
(herba), umumnya bereproduksi secara aseksual dengan umbi yang
terbentuk pada ujung batang dalam tanah yang disebut stolon (Mas
Yamaguchi, 1983) selain memiliki stolon dan umbi, susunan organ kentang
terdiri dari batang, daun, bunga, buah, biji serta akar (Setiadi dan Surya Fitri,
1994).
Perakaran tanaman kentang berstruktur halus, berwarna keputih –
putihan, dapat menembus kedalam tanah sampai 45 cm, namun umumnya
berkumpul sedalam kurang lebih 20 cm (Rahmat Rukmana, 1997). Kadangkadang akar juga dapat tumbuh di stolon. Dibandingkan dengan tanaman
lain, sistem perakaran kentang adalah lemah (Zozimo Huaman, 1986).
Batang kentang kecil, lunak, bagian dalamnya berlubang dan
bergabus. Bentuknya persegi, tertutup dan dilapisi bulu - bulu halus. Pada
dasar batang utama akan tumbuh akar dan stolon. Stolon yang beruas ini
akan membentuk umbi, tetapi ada yang tumbuh menjadi tanaman baru.
Dengan demikian, stolon merupakan perpanjangan dari batang. Dengan kata
lain umbi kentang merupakan batang yang membesar. Sementara itu,
akarnya bercabang membentuk akar rambut yang berfungsi menyerap hara
makanan dari dalam tanah (Hendro Sunarjono, 2007).
Helaian daun berbentuk lonjong, dengan ujung meruncing, memilki
anak daun primer dan sekunder, tersusun dalam tangkai daun secara
berhadap hadapan (daun majemuk) yang menyirip ganjil. Warna daun hijau
atau hijau keputihan. Posisi tangkai daun utama terhadap batang membentuk
12
sudut kurang dari 450. Pada dasar tangkai daun terdapat tunas ketiak yang
dapat berkembang menjadi cabang sekunder (Rahmat Rukmana, 2006).
Bunga kentang tumbuh di ketiak daun, dan berjenis kelamin dua
serta berwarna kuning keputihan atau ungu. Putik lebih cepat masak dari
pada benang sari dengan tangkai yang dilingkari oleh benang sari berwarna
kekuning-kuningan (Setiadi dan Surya Fitri, 1994).
2. Lingkungan Tumbuh Tanaman Kentang Yang Dibudidayakan Secara
Aeroponik
Tanaman yang dibudidayakan secara aeroponik biasanya ditanam di
dalam greenhouse yang berfungsi untuk melindungi tanaman dari faktor faktor iklim yang secara alamiah kurang menguntungkan. Pengertian
perlindungan disini berkaitan dengan masalah pengendalian lingkungan
mikro, yaitu lingkungan di dalam greenhouse dimana tanaman sengaja
dibudidayakan secara intensif.
Faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan aliran udara
termasuk konsentrasi CO2 yang berada di atas permukaan tanah sangat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kombinasi faktor - faktor lingkungan
tanaman yang optimum diperlukan untuk pertumbuhan tanaman yang
optimum (Gardjito, 2001).
Kisaran suhu lingkungan yang optimum berbeda antara satu tanaman
dengan tanaman lainnya. Kentang menghendaki iklim yang ideal dengan
suhu rata-rata harian 18 - 24°C, dan kelembaban 70 – 90%. Kombinasi suhu
rendah dengan penyinaran matahari yang relatif pendek dapat berpengaruh
baik terhadap pembentukan dan perkembangan umbi kentang (Hendra
Gunawan, 2009). Ketika umbi terbentuk, maka dibutuhkan suhu malam
optimum 10 – 150C dan suhu siang hari 200C. Suhu yang lebih rendah dapat
diperoleh dengan memberikan naungan berupa jaring (shading net) dan
13
umumnya digunakan jaring naungan berwarna hitam sehingga mampu
menahan cahaya masuk sampai 50% (Victor Otazu, 2010).
Di dalam greenhouse biasanya suhu udara lebih tinggi daripada suhu
di luar, sehingga panas merupakan faktor iklim yang membatasi. Greenhouse
dengan atap yang lebih rendah umumnya lebih panas daripada greenhouse
dengan atap yang lebih tinggi (Victor Otazu, 2010). Dan apabila tidak
memungkinkan penggunaan ventilasi alami maka zone cooling dapat
mengatasi masalah tersebut. Zone cooling menurut Gardjito (2001) adalah
pendinginan terbatas pada suatu daerah dimana suhu udara (lingkungan)
lebih tinggi. Apabila hal ini terjadi pada tanaman kentang yang ditanam
secara aeroponik, maka zone cooling dilakukan pada daerah perakaran
untuk merangsang tumbuhnya umbi. Menurut Victor Otazu (2010), sangat
penting untuk mengontrol suhu larutan nutrisi. Apabila suhu larutan nutrisi
terlalu tinggi (melebihi 200C) maka akan sangat membantu jika ke dalam
tangki larutan nutrisi dimasukkan es balok dalam kantong plastik.
Kelembaban sangat mempengaruhi laju evapotranspirasi. Pada
kelembaban yang terlalu tinggi, laju evapotranspirasi akan menurun. Jarak
tanam yang terlalu rapat dan tajuk tanaman yang terlalu rimbun dapat
menyebabkan tingginya kelembaban. Dan jika hal ini berlangsung lama
menyebabkan unsur hara yang terserap akan terhambat, dengan demikian
akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman (Lakitan, 1997).
Dengan demikian untuk menghindari kelembaban yang terlalu tinggi,
diperlukan ventilator (lubang ventilasi) di atap bangunan atau sisi kasa yang
memungkinkan udara keluar, dan untuk mengamati tingkat kelembaban di
dalam bangunan digunakan higrometer. Sebaliknya menurut Lakitan (1997),
kelembaban yang terlalu rendah, akan meningkatkan laju evapotranspirasi
sehinga akar akan kekurangan air yang dapat diserapnya, karena air yang
menguap lebih banyak. Hal ini mengakibatkan layunya tanaman. Untuk
mencegah penurunan kelembaban digunakan sistem springkler. Sistem ini
14
dibuat dengan menggunakan pipa paralon dengan selang polyetilen yang
pada jarak tertentu dipasangi springkler untuk memancarkan air.
Cahaya diperlukan oleh tanaman untuk fotosintesis. Intensitas
cahaya dan lama penyinaran akan mempengaruhi jumlah energi matahari
yang sampai ke bumi, bila intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman
terlalu besar, maka gelombang cahaya yang diterima oleh daun akan
berubah menjadi panas, akibatnya akan terjadi perubahan fisiologis dalam
jaringan sehingga klorofil akan rusak dan warna daun menjadi kuning atau
kebakar (Hendra Gunawan, 2009).
Intensitas cahaya akan rendah pada musim hujan atau pada saat
cuaca mendung, sehingga aktivitas fotosintesis tanaman menurun dan
tentunya akan menurunkan produksi umbi. Cahaya yang menembus masuk
ke dalam media nutrisi akan memperlambat proses pembentukan umbi
karena dibutuhkan suasana gelap tanpa cahaya di dalam box media
aeroponik untuk berkembangnya umbi lebih baik. Pada musim hujan
aeroponik masih dapat berproduksi baik dengan memperlebar arak tanam
untuk menghindari keadaan saling menaungi antar tanaman.
Curah hujan dapat mempengaruhi produksi aeroponik secara tidak
langsung. Curah hujan yang tinggi (>250 mm bulan -1) akan meningkatkan
kelembaban, dan jika hal ini terus berlangsungakan menyebabkan cendawan
penyebab busuk daun mudah menyerang tanaman (Res, 2004). Sebaliknya
kekurangan air mengakibatkan layu dan menguningnya tanaman (Suyamto,
2005). Pada kondisi kering, hama akan menyerang tanaman karena
mikroorganisme
patogen
yang
biasa
menyerang
hama
tidak
dapat
angin.
Angin
berkembang biak.
Konsentrasi
berpengaruh
C02
berkaitan
dengan
hembusan
terhadap perkembangan umbi kentang sistem aeroponik,
karena angin dapat membawa udara panas dalam greenhouse ke luar dan
angin juga dapat mengurangi kelembaban yang terlampau tinggi. Lancarnya
15
aliran udara segar akan menjamin tersedianya C0 2 yang sangat dibutuhkan
dalam proses fotosintesis (Mueller et al., 2002).
Pada sistem aeroponik dibutuhkan kemasaman (pH) larutan nutrisi
antara 5,5 – 6,5 dan optimal 6,0. Pada kisaran pH yang optimum, unsur
unsur akan mudah terserap oleh akar. Bila pH melebihi batas toleransi maka
tanaman akan memperlihatkan gejala kekurangan unsur hara tertentu.
Keadaan seperti ini menurut Jensen dan Collin (2005) dapat diatasi dengan
memberikan asam kuat seperti asam nitrat (HN03), asam sulfat (H2S04) atau
asam posfat (H3PO4).
Tingkat kemasaman yang rendah dapat ditingkatkan dengan
penambahan basa kuat seperti kalium hidroksida (KOH), dengan demikian
agar kemasaman larutan nutrisi yang digunakan dalam sistem aeroponik
dapat stabil dianjurkan menggunakan buffer. Dalam keadaan masam, buffer
dapat bersifat alkalis, sebaliknya dalam keadaan alkalis buffer dapat bersifat
masam. Monokalium posfat (KH2PO4) merupakan buffer yang dapat
menstabilkan pH larutan sekitar 6,0; sedangkan penggunaan buffer
monoamonium posfat (NH4H2PO4) untuk menstabilkan pH sekitar 5,5. Dan
untuk menstabilkan pH pada angka tertentu, campuran keduanya dapat
digunakan.
B. Sistem Perbenihan Kentang di Indonesia.
Benih kentang yang dipakai saat ini berupa organ vegetatif (umbi),
sehingga sekalipun diperbanyak berkali-kali tidak akan terjadi perubahan
secara genetis. Adapun kemerosotan produksi yang terjadi pada setiap
generasi benih kentang yang ditanam secara terus menerus disebabkan oleh
adanya investasi penyakit yang terakumulasi pada setiap generasi dan terus
terbawa pada regenerasi benih. Penyakit yang berkompeten dalam
degenerasi produksi ini adalah virus. Menurut Prakash (2007), serangan virus
ini akan menurunkan hasil umbi kentang tergantung dari jenis virus yang
16
menyerang, seperti virus X (PVX) akan menurunkan hasil 10 20%; virus Y
(PVY) akan menurunkan hasil sebesar 10 – 80%; Potato leaf Roll Virus
(PLRV) akan menurunkan hasil sebesar 50 – 90%. Semakin panjang
generasi benih maka semakin besar tingkat investasi virus pada generasi
benih tersebut, sehingga produksinya semakin rendah. Oleh karena itu hanya
benih yang sehat yang memiliki potensi produksi yang baik.
Benih kentang bersertifikat merupakan benih terseleksi yang
dihasilkan melalui serangkaian proses pemeriksaan menyeluruh terhadap
faktor-faktor yang akan mempengaruhi mutu benih yang dihasilkan, yaitu
tingkat infeksi dan investasi penyakit, hama dan kerusakan fisik atau fisiologis
lainnya serta campuran varietas lain yang mungkin ada. Pemeriksaan
dilaksanakan mulai dari benih sumber yang ditanam, lokasi/lahan yang akan
digunakan, pertanaman di lapangan dan umbi pasca panen di gudang (Willy
Bayuardi Suwarno, 2000).
Produksi bibit kentang dengan bahan stek asal kultur jaringan
bertujuan untuk mendapatkan umbi bibit G0 (benih sumber) yang merupakan
bibit berkualitas tinggi. Selanjutnya dari turunan G0 dihasilkan benih kelas G1
(benih penjenis), seterusnya menghasilkan benih kelas G2 (benih dasar),
selanjutnya menghasilkan benih kelas G3 (benih pokok) dan terakhir benih
kelas G4 (benih sebar) yang siap diperbanyak untuk kebutuhan konsumsi.
Tataran alur benih ini merupakan uurutan perbanyakan benih disetiap kelas
dan dijamin bebas virus (Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia,
2006).
C. Ektrak Senyawa Bioaktif Tanaman sebagai Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh yang juga dikenal dengan sebutan hormon
tumbuhan adalah senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian
tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain, dan pada konsentrasi yang sangat
rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis (Salisbury dan Ross,
17
1995). Istilah zat pengatur tumbuh lebih digunakan oleh umumnya ahli
fisiologi tumbuhan karena zat pengatur tumbuh bersifat endogenous
("endogen"), dihasilkan sendiri oleh individu yang bersangkutan, maupun
exogenous ("eksogen"), diberikan dari luar sistem individu (Wattimena, 1987).
Zat pengatur tumbuh yang dihasilkan oleh tanaman disebut fitohormon
sedangkan yang sintetik disebut zat pengatur tumbuh sintetik (Wattimena,
1987).
Zat pengatur tumbuh menentukan perkembangan tanaman, baik zat
pengatur tumbuh alamiah maupun sintetik. Ada 6 golongan zat pengatur
tumbuh yaitu auksin, sitokinin, giberelin, ethylen, abscisic acid dan retardan.
Senyawa-senyawa lain seperti poliamin, polidenolik dan triakontanol juga
digolongkan ke dalam zat pengatur tumbuh (Armini et al., 1992 dalam Diyah
Utami Widyaningrum, 2002).
Penggunaan air kelapa pertama kali dilaporkan oleh Van Overbeek
(1941) dalam kultur embrio Datura stramonium (Livy Winata Gunawan, 1988).
Lebih lanjut dikemukakan bahwa bahan-bahan yang terkandung dalam air
kelapa antara lain: asam amino, asam organik,asam nukleat, purin, gula, gula
alkohol, vitamin, mineral dan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh yang
ditemukan dalam air kelapa antara lain (Livy Winata Gunawan, 1988): 9-B-D
ribofuranosyl zeatin, zeatin, N-N-Diphenyl urea, 2(3-methyl but-2-enylamino)purin 6-one.
Mattjik, et al. (2000) mengemukakan bahwa zat pengatur tumbuh 2,4D (asam 2,4-dikoloropenoksiasetat), daminozide (asam suksinat) dan air
kelapa pada konsentrasi tertentu ternyata dapat meningkatkan jumlah umbi
per tanaman apabila diaplikasikan pada tanaman kentang yang berasal dari
stek mini dari 5-7 umbi per tanaman menjadi 17-33 umbi per tanaman.
Konsentrasi yang dipakai adalah 10 mg/l 2,4-D, 100 mg/l daminozide dan
10% (volume) air kelapa. Zat-zat tersebut kemudian dipekatkan menjadi 500
kali, sehingga untuk membuat larutan siap semprot sebanyak 1 liter hanya
18
memerlukan 2 ml larutan pekat. Air kelapa sebagai zat pengatur tumbuh juga
telah diteliti oleh Zamroni dan Darini (2009) untuk melihat pengaruhnya pada
tanaman cabe jamu dan hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan air
kelapa 25 persen berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan setek tanaman
cabe jamu.
Air kelapa mengandung hormon seperti sitokinin 5,8 mg/l, auksin 0,07
mg/l dan giberelin sedikit sekali serta senyawa lain yang dapat menstimulasi
perkecambahan dan pertumbuhan (Morel, 1974 dalam Yusnida Bey, Wan
Syafii dan Sutrisna, 2006). Perlakuan tunggal air kelapa 250 ml/l
menghasilkan munculnya plb, daun dan akar paling cepat dengan rentang
waktu 14-18, 31-48 dan 49-58 hsp, juga menghasilkan kecambah tertinggi
anggrek bulan (0,437 cm) (Yusnida Bey, Wan Syafii dan Sutrisna, 2006).
Pemberian ekstrak kecambah kacang hijau pada tanaman kentang
varietas granola yang diberikan dua kali menunjukkan pertumbuhan dan hasil
yang terbaik dibandingkan dengan zat pengatur tumbuh alami lain atau tanpa
zat pengatur tumbuh. Perlakuan frekuensi pemberian yang terbaik adalah
dua kali, yaitu pada 24 hst dan 31 hst (Ayu Mahanani, 2003).
Sitokinin atau kinin adalah hormon yang bekerja berlawanan dengan
hormon auxin yaitu merangsang pembelahan sel tunas lateral (samping).
Tingginya konsentrasi sitokinin membuat pembelahan sel terfokus pada
pertumbuhan mata tunas, mata tunas yang 'tidur' atau dorman akan aktif dan
pertumbuhan pucuk kian cepat. Senyawa sitokinin sangat baik diberikan
setelah pemberian senyawa auxin, dimana setelah akar disehatkan oleh
auxin maka sitokinin akan mengambil peran dalam memperbanyak daun dan
anakan (Anonim, 2012b).
Hasil
penelitian
Hu
Yunhai
dan
Jiang
Xianming
(2006)
menunjukkan bahwa, auksin, IAA dan NAA, dapat mempengaruhi jumlah dan
berat umbi mikro. Konsentarsi terbaik adalah 2 ppm sampai 3 ppm,
19
sebaliknya pengaruh aksin 2,4-D tidak berbeda nyata. Ezeibekwe, et al.
(2009) telah melakukan penelitian pada media MS invitro untuk mengevaluasi
pengaruh zat pengatur tumbuh auksin (NAA) dan sitokinin (BAP) yang
dikombinasikan dalam level yang berbeda terhadap Dioscorea rotundata.
Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi auksin dan sitokinin secara nyata
berpengaruh terhadap regenerasi tanaman. BAP (0,2 mg/l) dikombinasikan
dengan NAA (0,5 mg/l) menunjukkan peningkatan pada hampir seluruh
parameter. Sedangkan kontrol dalam hal ini kombinasi NAA (0 mg/l) + BAP (0
mg/l) menghasilkan planlet yang lebih tinggi daripada level yang lain. Dan jika
BAP ditingkatkan maka akan mengurangi tinggi dan menghasilkan ruas yang
lebih pendek. Media MS yang mengandung 0,5 mg/LNAA + 0 mg/L BAP
merupakan kombinasi yang optimal untuk memperoleh berat segar yang
lebih tinggi dibanding kombinasi lainnya.
C. Memproduksi Umbi Mini Kentang Dengan Teknologi Aeroponik
Umbi mini merupakan salah satu bahan tanam yang dapat digunakan
dalam perbanyakan tanaman kentang secara vegetatif
(Muchdat Widodo.
2012). Umbi mini adalah umbi yang dihasilkan di screen house yang berasal
dari stek mini, stek mikro atau umbi mikro. Umbi mini tersebut ditanam
kembali untuk menghasilkan beberapa generasi yang akan digunakan
sebagai umbi bibit kentang konsumsi (Armini et al., 1992 dalam Diyah Utami
Widyaningrum, 2002). Untuk produksi umbi mini diupayakan persentase umbi
terbanyak adalah umbi dengan berat 1-10 gram (Wattimena, 1995). Umbi
mini dengan berat 5 – 10 g per knol dihasilkan dari kerapatan stek 100-200
tanaman per m2 (Departemen Pertanian, 2008).
Saat ini pengusahaan tanaman kentang tidaklah semata-mata
bergantung pada media tanah tetapi dapat melalui sistem baru yang dikenal
sebagai aeroponik. Kata aeroponik adalah berasal dari Yunani yakni aero
berarti udara dan ponos berarti budidaya sehinggga aeroponik merupakan
20
proses pertumbuhan tanaman dalam lingkungan udara atau kabut tanpa
menggunakan tanah atau media agregat. Penanaman dengan menggunakan
tanah (konvensional), seringkali membawa penyakit (Navjeevan Gopal,
2011). Sistem konvensional tidak efektif menghindari atau mengurangi
patogen dan mempunyai konsekwensi mengurangi kualitas benih kentang
serta hasil tanaman. Sistem aeroponik dengan cepat menghasilkan kualitas
benih kentang yang berkualitas yang bebas kontaminasi dengan patogen
(Margaret Chiipanthenga, et al., 2012).
Dengan demikian menurut International Potato Centre (CIP, 2010)
tanah tidak lagi penting untuk menanam kentang, setidaknya untuk menanam
benih kentang. Lebih lanjut menurut International Potato Centre (CIP, 2010),
sistem ini lebih berkelanjutan karena mengurangi input air dan pupuk,
disamping itu aeroponik juga memungkinkan penggunaan air dan pupuk yang
dibutuhkan
tanaman
dalam
jumlah
yang
tepat
pada
setiap
fase
perkembangannya.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian akan dilaksanakan dalam bentuk percobaan di Kebun
Labiota Bulu Balea Desa Pattalassang Kecamatan Tinggi Moncong
Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Daerah ini merupakan salah
satu sentra pengembangan tanaman kentang di Sulawesi Selatan pada
ketinggian 1500 m diatas permukaan laut dengan suhu 18 – 260C.
Penanaman tanaman kentang akan dilakukan dalam screen house yang
berukuran 21 x 7 m. Penelitian akan dilanjutkan di laboratorium Divisi
Bioteknologi Pertanian, PKP Universitas Hasanuddin,
B. Bahan dan Alat:
Bahan – bahan yang akan digunakan pada percobaan I antara lain:
umbi mini kentang, sekam bakar, tanah, aquades, air, buah pisang ambon,
kecambah kacang hijau, air kelapa, buncis, bawang merah, gula pasir.
Sedangkan alat - alat yang akan digunakan antara lain adalah: saringan kain,
blender, bak semai (40 x 30 x 15 cm), polybag ukuran 10 x 15 cm, hand
sprayer, corong, ayakan tanah, botol plastik tertutup tidak tembus cahaya,
alat tulis.
Bahan-bahan yang akan digunakan pada percobaan II antara lain:
stek umbi mini kentang, sabut kelapa, larutan nutrisi, air, buah pisang ambon,
kecambah kacang hijau, air kelapa, buncis, bawang merah, gula pasir,
aquades. Sedangkan alat - alat yang akan digunakan antara lain adalah:
spons tipis, saringan kain, blender, corong, botol plastik tertutup tidak tembus
cahaya, gunting setek, box styrofoam ukuran 380 cm x 100 cm x 60 cm ,
mulsa hitam perak, tali, EC-meter, pH meter, mesin pompa nutrisi, pipa
polyethylene, timer, thermometer, timbangan, alat tulis.
22
Bahan-bahan yang akan digunakan pada percobaan III antara lain
adalah: umbi mini yang baru saja dipanen, aquades, bawang merah, biji
jagung, kecambah kacang hijau, fungisida akrobat. Sedangkan alat - alat
yang akan digunakan pada percobaan III antara lain adalah: keranjang
pertunasan ukuran 30 cm x 20 cm x 15 cm, kertas koran, saringan kain,
blender, corong, botol plastik tertutup tidak tembus cahaya, plastik bening,
thermometer, timbangan, alat tulis.
C. Metode Percobaan
 Percobaan I: Perbanyakan Stek Asal Umbi Mini di Screen House
Percobaan
ini akan menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) yang terdiri dari 7 perlakuan zat pengatur tumbuh (T), yaitu:
T0 = kontrol (tanpa zat pengatur tumbuh)
T1 = ekstrak bawang merah
T2 = ekstrak kecambah kacang hijau
T3 = ekstrak air kelapa
T4 = ekstrak pisang ambon
T5 = ekstrak biji jagung
T6 = ekstrak buncis
 Percobaan II: Penanaman Stek Asal Umbi Mini di Screen House
Percobaan II akan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
yang terdiri dari 7 perlakuan zat pengatur tumbuh (T), yaitu:
T0 = kontrol (tanpa zat pengatur tumbuh)
T1 = ekstrak bawang merah
T2 = ekstrak kecambah tauge
T3 = ekstrak air kelapa
T4 = ekstrak pisang ambon
T5 = ekstrak biji jagung
23
T6 = ekstrak buncis
 Percobaan III: Pematahan Dormansi Umbi Mini (Di Laboratorium
Divisi Bioteknologi PKP UNHAS)
Percobaan III akan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
yang terdiri dari 7 perlakuan, yaitu:
T0 = kontrol (tanpa zat pengatur tumbuh)
T1 = umbi mini umur panen 60 hst dengan ekstrak air kelapa
T2 = umbi mini umur panen 75 hst dengan ekstrak air kelapa
T3 = umbi mini umur panen 90 hst dengan ekstrak air kelapa
T4 = umbi mini umur panen 60 hst dengan ekstrak biji jagung
T5 = umbi mini umur panen 75 hst dengan ekstrak biji jagung
T6 = umbi mini umur panen 90 hst dengan ekstrak biji jagung
D. Pelaksanaan
 Percobaan I: Pembibitan (di Screen House)
1. Pesemaian benih dan pembibitan
Percobaan ini diawali dengan menyiapkan semua peralatan yang
diperlukan dalam keadaan bersih. Dilanjutkan dengan sterilisasi tanah yang
sudah diayak (ditapis). Kemudian membuat media tanam berupa campuran
sekam bakar dan tanah. Selanjutnya media tersebut dimasukkan ke dalam
wadah semai. Kemudian umbi mini kentang yang telah bertunas, sehat dan
tidak cacat ditanam. Setelah daun tumbuh dilakukan penyetekan dengan tiga
buku batang. Stek kemudian ditanam dalam polybag. Tiga hari setelah tanam
diberikan perlakuan zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi 5 ppm,
diberikan dua hari sekali sampai munculnya tunas dan akar, kemudian
menjadi seminggu sekali.
24
2. Ekstraksi Senyawa Bioaktif Tanaman Zat Pengatur Tumbuh
Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengekstrasi senyawa
bioaktif tanaman sebagai zat pengatur tumbuh adalah sebagai berikut:
Setiap sumber zat pengatur tumbuh alami tanaman (buah pisang ambon, air
kelapa, kecambah kacang hijau, bawang merah, biji jagung, buncis) dicampur
dengan aquades kemudian ditambahkan gula pasir. Dilakukan penyaringan
terhadap campuran bahan tadi dengan menggunakan kain saring. Kemudian
difermentasi dalam wadah tertutup tidak tembus cahaya yang berlangsung
sampai 15 hari. Kemudian dilakukan pemisahan cairan dan padatan dengan
centrifuge. Selanjutnya cairan zat pengatur tumbuh alamai tanaman
dimasukkan ke dalam botol tertutup terlindung cahaya.
Parameter Pengamatan
1. Stek yang hidup (%).
2. Pertambahan tinggi bibit (cm).
3. Jumlah daun (helai).
4. Pertambahan jumlah ruas (buah).
5. Pertambahan panjang ruas (cm).
6. Panjang akar (cm).
7. Volume akar (cm3).
 Percobaan II: Penanaman dengan Sistem Aeroponik (di Screen
House)
Penanaman dengan sistem aeroponik melalui beberapa tahapan
pelaksanaan yaitu:
1. Persiapan Larutan Nutrisi Aeroponik
Pembuatan larutan nutrisi diawali dengan menyiapkan satu buah
wadah yang
di isi air sebanyak 2 L kemudian kedalamnya dicampurkan
25
secara merata pupuk majemuk sebanyak 200 gram. Selanjutnya disediakan
ember berkapasitas ± 30 L yang selanjutnya ke dalam ember dimasukkan air
hingga terisi hampir penuh. Setelah ember terisi dimasukkan larutan awal
yang telah dibuat dan diaduk merata hingga kepekatan larutan (EC) 1,5 dan
keasaman larutan (pH) 6,5. Untuk mengukur kepekatan larutan (EC)
menggunakan alat EC-meter dan untuk mengukur kemasaman larutan (pH)
menggunakan pH-meter. Apabila kemasaman larutan (pH) tinggi, maka
larutan diberikan asam pospat untuk menurunkan keasaman larutan (pH).
Pada fase vegetatif digunakan pupuk majemuk Growmore (32-1010) sebagai larutan nutrisi. Pupuk Growmore untuk fase vegetatif memiliki
komposisi nutrisi nitrogen 32%, phospat 10%, kalsium 0,05%, kalium 10%,
magnesium 0,10%, sulfur 0,20%, boron 0,02%, cuprum 0,05%, besi 0,10%,
mangan 0,05%, molybdenum 0,0005%, dan zinc 0,05%. Sedangkan pada
fase generatif digunakan pupuk majemuk Growmore (6-30-30) yang memiliki
komposisi nutrisi (nitrogen 6%, pospat 30%, potash 30%, calsium 0,05%,
magnesium 0,10%, sulfur 0,20%, boron 0,02%, cuprum 0,10%, besi 0,05%,
mangan 0,0005%, molybdenum 0,05%).
2. Persiapan Media Tanam
Wadah tanam yang akan digunakan berupa box styrofoam
(berukuran 380 cm x 100 cm x 60 cm) yang bagian dasarnya diberi sabut
kelapa. Saluran irigasi dihubungkan dengan tandon penampung nutrisi
tanaman yang telah dipasangi pipa paralon berukuran 0,25 inch. Dari pipa
paralon akan mengalir nutrisi tanaman ke pipa berikutnya yang berada pada
bak tanaman yang telah dipasangi nozel yang dimaksudkan agar tanaman
dapat terkena nutrisi secara merata. Untuk mengalirkan dan mendorong
nutrisi tanaman digunakan pompa. Setiap 15 menit pompa tersebut bekerja
secara otomatis dan lama penyemprotan berlangsung selama satu menit.
26
3. Penanaman
Bibit setek ditanam pada penutup box styrofoam yang tebalnya 3 cm
yang telah dilubangi dengan diameter 1,5 cm yang merupakan lubang tanam
bibit kentang. Jarak tanam yang digunakan adalah 15 cm x 15 cm.
Selanjutnya plastik hitam perak dipasang menutupi seluruh box stryfoam.
Penanaman bibit dilakukan dengan melilit pangkal batang bibit kentang
menggunakan spons tipis (3 cm) untuk menyangga agar tanaman berdiri
tegak.
Parameter Pengamatan
 Komponen pertumbuhan:
1. Persentase tanaman hidup, dihitung pada 8 MST.
2. Pertambahan tinggi tanaman (cm).
3. Pertambahan jumlah daun majemuk (helai).
4. Kandungan klorofil, dianalisis pada minggu ke 8 setelah tanam.
 Komponen produksi :
1. Waktu terbentuknya umbi (hari).
2. Jumlah umbi pertanaman (buah)
3. Persentase bobot umbi < 1 g per unit percobaan.
4. Persentase bobot umbi 1 – 10 g (umbi mini) per unit percobaan.
5. Bobot kering umbi (g), untuk tiap individu tanaman sampel diukur setelah
dikeringovenkan selama 3 x 24 jam pada suhu 850C.
6. Bobot basah per umbi (g).
7. Bobot umbi pertanaman (gram).
8. Diameter Umbi (cm).
27
 Komponen Mutu Benih:
1. Kadar air (KA) umbi =
Bobot segar – bobot kering
x 100%
Bobot Segar
2. Kandungan karbohidrat.
3. Kandungan protein.
4. Kandungan vitamin C.
 Percobaan III: Pematahan Dormansi Umbi Mini (Di Laboratorium
Divisi Bioteknologi Pertanian, PKP Universitas Hasanuddin)
Umbi mini yang dipanen sesuai perlakuan terlebih dahulu dibersihkan
kemudian dimasukkan ke dalam keranjang lalu dikering dianginkan sehingga
air yang masih melekat pada umbi dapat menetes seluruhnya. Masing –
masing umbi sesuai umur panen direndam dalam larutan ekstrak sesuai
perlakuan. Setelah itu umbi mini diangkat dan ditiriskan, selanjutnya
dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam kemudian ujung
kantong plastik tersebut diikat agar umbi mini tidak berkontaminasi dengan
udara luar. Setelah 3 hari kemudian kantong plastik dibuka kembali. Umbi
mini, kemudian ditempatkan ke dalam keranjang pertunasan yang sebelumya
telah diberi alas kertas koran dan dibiarkan hingga bertunas.
Parameter Pengamatan
1. Persentase umbi yang bertunas.
2. Waktu bertunas (hari), diamati jumlah hari yang dibutuhkan oleh umbi
untuk bertunas mulai dari saat pendederan umbi sampai munculnya tunas.
3. Jumlah tunas (buah).
4. Panjang tunas (cm).
5. Persentase penurunan bobot umbi kentang.
28
Data Pendukung: analisa kandungan senyawa bioaktif (auksin, sitokinin dan
giberellin) yang terdapat dalam ekstrak tanaman.
29
DAFTAR PUSTAKA
Agus Surono. 2012. Masih Banyak Pengganti Nasi. Intisari Smart and
Inspiring. http://intisari-online.com/read/masih-banyak-pengganti-nasi,
diakses Pebruari 2012.
Ainur Rahman. 2012. Setelah Kentang Impor Merajalela. Majalah Stabilitas.
Selasa, 17 Januari 2012 | 10:39:06.
http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=391&article_ty
pe=0&article_category=8&md=54500f35a41d8d2ef85e67b60e908a8
b, diakses Februari 2012.
Anonim. 2011a. Prediksi BKKBN: 2011, Penduduk Indonesia 241 Juta Jiwa
Republika.Co.Id. Jakarta.
Anonim. 2011b. Indonesia Go Organik. Hormon/zat pengatur tumbuh
organik. http://hendycampgoblog.blogspot.com/2011/05/hormonzatpengatur-tumbuh.html, diakses Pebruari 2012.
Anonim. 2012a. Forum Kerjasama Agribisnis Kentang Sebagai Pangan
Alternatif . Http://Foragri.Blogsome.Com/Kentang-Sebagai-Pangan
Alternatif/, diakses Januari 2012.
Anonim. 2012b. Mengenal Zat Pengatur Tumbuh.
http://lembahpinus.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&i
d=124, diakses Februari 2012.
Ayu Mahanani, 2003. Pengaruh Macam Sumber Zpt Alami Dan Frekuensi
Pemberiannya Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Kentang(Solanum
Tuberosum L.) Varietas Granola.
Badan Pusat Statistik. 2011a. Sulawesi Selatan dalam Angka. Sulawesi
Selatan in Figures. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Selatan.
CIP. 2000. Potato and sweet Potato. http://www.cipotato.org/, diakses Januari
2012.
Daegan Gonyer, Eric Ludovici, Laura Shaddak. 2010. Investigation Into
Integrated Aeroponic Growth Systems. Laboratory Analysis. Lab-2.
Clarkson.
30
University.Http://Highrisefarming.Northshoresolutions.Com/Wp/Uploads/2011/03/Laboratory.Pdf, diakses Januari 2012.
Departemen Pertanian. 2008. Produksi Benih Kentang Berkualitas (G0).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian.
Departemen
Pertanian.
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/agritek/blitsa03.pdf,
diakses
Januari 2012.
Diyah Utami Widyaningrum. 2002. Pengaruh Perlakuan Ukuran Umbi G0 dan
B-Nine, Paclobutrazol, 2.4-D Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Umbi Bibit Kentang G1 Kultivar Granola dalam Rumah Ketat
Serangga. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Edhi Sandra. 2011. Hormon dan Pertumbuhan Tanaman.
http://eshaflora.blogspot.com/2011/04/hormon-dan-pertumbuhantanaman.html?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_ca
mpaign=Feed%3A+KulturJaringanEshaFlora+%28Kultur+Jaringan+E
sha+Flora%29, diakses 25 Oktober 2011.
Ezeibekwe, I. O; Ezenwaka, C. L; Mbagwu, F. N and Unamba, C. I. N. 2009.
Effects Of Combination Of Different Levels Of Auxin (Naa) And
Cytokinin (Bap) On In Vitro Propagation Of Dioscorea Rotundata L .
(White Yam). Department of Plant Science and Biotechnology, Imo
State University, Owerri, Nigeria New York Science Journal, 2009,
2(5), ISSN 1554-0200 http://www.sciencepub.net/newyork ,
[email protected] 1
Gardjito. 2001. Pelatihan Aplikasi Teknologi Hidroponik Untuk
Pengembangan Agribisnis Perkotaan. Pusat Pengkajian dan
Penerapan Ilmu Tenik untuk Pertanian Tropika (CREATA). Lembaga
Penelitian
- Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. Direktorat Pembinaan Sarana Akademis. Bagpro Peningkatan
Kualitas Sumberdaya Manusia.
Hendra Gunawan. 2009. Inovasi Baru Perbanyakan Bibit Kentang G-0
Sistem Aeroponik. Pusat Inkubator Agribisnis BBPP Lembang.
http://www2.bbpp-
31
lembang.info/index.php?option=com_content&view=article&id=307&It
emid=304, diakses Januari 2012.
Hendro Sunarjono. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya Kentang. AgroMedia
Pustaka. Jakarta.
Hu Yunhai Dan Jiang Xianming. 2006. The Effects Of Plant Hormones On
Tuberization Of Potato Microtubers In Vitro. Shandong Agricultural
University. Tsinghua Tongfang Knowledge Network Technology Co.,
Ltd.(Beijing)(Ttkn)
Jensen, M.H. and W.L. Collins. 1985. Hydroponic Vegetable Production.
Horticultural Reviews 7:483-558.
Kenneth F.K. dan K.C. Ornelas. 2012. World History of Food. Cambridge
University Press.
Kunto Wibisono. 2010. Anomali Iklim Turunkan Produktivitas Pertanian.
Antara News.
http://www.antaranews.com/berita/1280422000/anomali-iklimturunkan-produktivitas-pertanian, diakses 21 Maret 2012.
Lakitan, B. 1997. Dasar – Dasar Fisiologi Tumbuhan. Gajah Mada Ekspres.
Livy
Winata Gunawan. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan.
Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas
(PAU). Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tingggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mas Yamaguchi. 1983. World Vegetables. Principle, Production and Nutritive
Values. AVI Publishing Company, INC. West Port, Connecticut.
Printed in The United Sates of America.
Mattjik, Nurhayati A.; Purwito, Agus; Wattimena, G.A. 2000. Komposisi Zat
Pengatur Tumbuh Untuk Meningkatkan Produksi Umbi Mini Kentang.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/4116, diakses Pebruari
2012.
32
Mueller , D.S., Li, S. hartman, G.L. dan W.L. Pedersen. 2002. Use of
Aeroponic Chambers and Grafting to Study Partial Resistance to
Fusarium solani f.sp. glycines in soybean. Department of Crop
Science, University of Illionis, Urbana. Plant.Dis.86:1223-1226.
Navjeevan Gopal. 2011. CPRI develops tech to grow seed potatoes without
soil. indianexpress.com. Wed, 8 Februari 2012.
http://www.indianexpress.com/news/cpri-develops-tech-to-grow-seedpotatoes-without-soil/760848/0, diakses Januari 2012.
Park Jong Sub. 2005. Pengalaman Memproduksi Benih Kentang G0 dengan
Sistem Aeroponik. Korea International Cooperation Agency (KOICA).
Korea.
Prakash, S. 2007. Micropropagation For Production Of Quality Potato Seed In
Asia-Pasific.
Rahmat Rukmana. 2006.Usaha Tani Kentang Sistem Mulsa plastik. Penerbit
Kanisius.Yogyakarta.
Ress, H.M. 2004. Hydroponic Food Production. Woodridge Press, Santa
Barbara, California.
Rosalina, 2011. Indonesia Kekurangan Benih Kentang Unggul.
http://www.tempo.co/read/news/2011/10/26/090363387/IndonesiaKekurangan-Benih-Kentang-Unggul, diakses Desember 2011.
Salisbury, F.B. dan C.W.Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3.
Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan. Edisi keempat.
Penerbit ITB Bandung.
Setiadi dan Surya Fitri N. 1994. Kentang Varietas dan Pembudidayaan. PT
Penebar Swadaya, Anggota IKAPI. Jakarta.
Sumeru Ashari. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Suyamto, Karyadi, K.A., dan S.U. Nugroho. 2005. Teknologi Produksi Benih
Kentang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan
33
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
Jakarta.
Victor Otazu. 2010. Manual and Quality Seed Potato Prouction sing
Aeroponics. International Potato Centre. USAID From The American
People.
Wareing, P.E. dan I.D. Philips. 1981. Growth and Differentiation In Plants, 3 rd
ed. Pegamon Press. Oxford.
Willy Bayuardi Suwarno. 2008. Sistem Perbenihan Kentang di Indonesia.
[email protected]. http://www.situshijau.co.id. Diakses, Januari 2012.
Wuri Rohayati. 2009. Menanam Bibit Kentang di Media Udara. Tribun Jabar
(Rabu, 27 Mei 2009). Jawa Barat. http://www.tribunnews.com/,
diakses Januari 2012.
Yusnida Bey, Wan Syafii dan Sutrisna. 2006. Pengaruh Pemberian Giberelin
(Ga3) Dan Air Kelapa Terhadap Perkecambahan Bahan Biji Anggrek
Bulan (Phalaenopsis Amabilis Bl) Secara In Vitro. Jurnal Biogenesis
Vol. 2(2):41-46, 2006. © Program Studi Pendidikan Biologi FKIP
Universitas Riau ISSN : 1829-5460.
Zamroni dan Darini. 2009. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Alami Dan
Defoliasi DaunPada Pertumbuhan Setek Cabe Jamu. Fakultas
Pertanian. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta.
[email protected].
Zozimo Huaman.1986. Systematic Botany and Morphology of The Potato.
Training and Communication Departement,CIP, Lima Peru. Copies
Printed: 2000.
34
Lampiran I. Justifikasi Anggaran Penelitian.
1. Bahan Habis Pakai (Materi Penelitian ) dan Peralatan.
NO.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
NAMA BAHAN
Bibit stek
Plastik hitam perak
Bak Aeroponik dan peralatannya
Alat tulis menulis
Hand sprayer, jirigen, ember
Bahan zat pengatur tumbuh
Analisa auksin, sitokinin, giberelin
Analisa karbohidrat, protein dan
kandungan klorofil
Sub total
BIAYA (Rp)
500.000,500.000,5.000.000,100.000,500.000,500.000,14.500.000,1.500.000,23.100.000,-
2. Perjalanan
Kota/Tempat Tujuan
Biaya (Rp.)
Biaya perjalanan Makassar – 12.000.000,Malino, lokasi penelitian selama 8
bulan
Sub total
12.000.000,3. Lain – Lain
NO
KETERANGAN
1
Administrasi
2
Publikasi
3
Seminar dan lokakarya
4
Pemeliharaan dan pemakaian alat
5.
Penulisan disertasi
Sub total
BIAYA (Rp.)
400.000,1.000.000,2.000.000,1.500.000,2.500.000,7.400.000,-
Total anggaran = 1+2+3= Rp.42.500.000,- (Empat puluh dua juta lima
ratus rupiah).
35
Download