PROPOSAL DISERTASI PERAN SENYAWA BIOAKTIF TANAMAN SEBAGAI ZAT PENGATUR TUMBUH DALAM MEMACU PRODUKSI UMBI MINI KENTANG (Solanum tuberosum L.) PADA SISTEM BUDIDAYA AEROPONIK Oleh: Fachirah Ulfa P0100309018 PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN PROGRAM PASCA SARJANA UNHAS 2013 0 ABSTRAK Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah bahan pangan nomor empat terpenting di dunia setelah gandum, beras dan jagung dan merupakan komoditi yang dapat menunjang program penganekaragaman (diversifikasi pangan), meningkatkan komoditas ekspor non-migas dan bahan baku industri pangan serta mempunyai potensi nilai ekonomi yang tinggi. Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra pengembangan kentang di Kawasan Timur Indonesia. Produksi kentang di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami penurunan. Penyebab penurunan produksi kentang di Indonesia antara lain ketersediaan benih bermutu, teknik budidaya dan anomali iklim. Di Indonesia, belum banyak petani penghasil benih kentang bermutu, sehingga permintaan benih kentang belum dapat terpenuhi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah pemanfaatan jasa bioteknologi untuk menghasilkan umbi mini dan peralihan sistem budidaya konvensional ke sistem budidaya aeroponik. Teknologi aeroponik menghasilkan umbi sehat dan bersih, produksi tinggi (10 x lipat dibanding cara konvensional). Pemanfaatan zat pengatur tumbuh untuk meningkatkan produksi umbi mini kentang merupakan salah satu teknologi yang dapat dipilih untuk diterapkan. Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan saat ini adalah zat pengatur tumbuh sintetik yang harganya mahal dan kadang langka ketersediaannya. Indonesia sangat kaya dengan aneka ragam tanaman seperti kelapa, kecambah kacang hijau, pisang ambon, jagung dan buncis serta bawang merah. Setiap tanaman mengandung senyawa bioaktif (auksin, sitokinin dan giberelin) yang dapat dimanfaatkan sebagai zat pengatur tumbuh dan tentunya biaya yang dikeluarkan akan lebih murah. Namun demikian belum diketahui kadar senyawa bioaktif yang dikandungnya dan apakah memiliki pengaruh yang sama baiknya dengan zat pengatur tumbuh sintetik. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap percobaan dengan menggunakan rancangan acak kelompok. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam penyediaan stek tanaman kentang, produksi umbi mini dan pemecahan masa dormansi benih. Penelitian ini akan menghasilkan paket teknologi sederhana dan murah serta mudah diterapkan dalam menunjang ketersediaan bahan tanam yang berasal dari stek kentang dan memacu ketersediaan umbi mini. Key Words: Kentang, zat pengatur tumbuh, perbanyakan setek, umbi mini, dormansi benih, aeroponik. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 telah bertambah menjadi 241 juta jiwa lebih (Anonim, 2011a), sedangkan populasi dunia sampai tahun 2050 diperkirakan akan meningkat menjadi 3 milliar orang dan tentunya akan diperlukan tambahan lahan pertanian yang lebih luas. Masalah lain adalah bahwa produksi tanaman sangat bergantung pada iklim, dimana perubahan iklim akan mengurangi produksi sehingga akan timbul kasus kelaparan di banyak wilayah dunia (Daegan Gonyer, Eric Ludovici, Laura Shaddak, 2010). Oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk dunia diperlukan beberapa alternatif bahan pangan selain beras dan salah satunya adalah kentang (Solanum tuberosum L.). Saat ini, kentang adalah bahan pangan nomor empat terpenting di dunia setelah gandum, beras dan jagung. Kentang menduduki posisi penting sebagai bahan pangan, karena nutrisinya cukup baik. Kandungan nutrisi lengkap tiap 100 gram kentang segar adalah : energi 80 kal (320 kJ); karbohidrat 19 gram; pati (15 gram); serat 2.2 gram; lemak 0.1 gram; protein 2 gram; air 75 gram (75% dari total bobot); thiamin (vit. B1) 0,08 miligram; riboflavin (Vit. B2) 0,03 miligram; niacin (vit. B3) 1,1 miligram; vitamin B6 0,25 miligram; vitamin C 20 miligram; kalsium 12 miligram; zat besi 1,8 miligram; magnesium 23 miligram; fosfor 57 miligram; potasium 421 miligram; sodium 6 miligram (Anonim, 2012b). Protein pada kentang , seperti pada kacang-kacangan, mengandung lisin yang tinggi dan sulfur rendah (asam amino), memberikan gizi yang baik untuk orang dewasa (Woolfe, 1987 dalam Kenneth dan Ornelas, 2012). 2 Kentang berasal dari dataran tinggi Andes di Amerika Selatan (Peru, Columbia, Equador dan Bolivia) dan pertama kali dibawa ke Eropa oleh penjelajah Spanyol di tahun 1537 (Mas Yamaguchi, 1983 dan Sumeru Ashari, 1995). Di Indonesia, kentang dikenal sejak tahun 1794 di sekitar Cimahi, Bandung. Perkembangannya dimulai sejak penjajahan Belanda, di antaranya di Cibodas, Wonosobo, Karo dan Flores. Penanaman kentang dilakukan oleh bangsa Belanda untuk penyediaan stok pangan karena kesulitan impor dari Eropa. Kini, tanaman kentang telah menyebar luas di Indonesia (Hendro Sunarjono, 2007). Tanaman kentang telah dikembangkan di Indonesia dan mendapat prioritas untuk diteliti dan dikembangkan. Pengembangan agribisnis kentang sangat strategis, karena dapat meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, menunjang program penganekaragaman (diversifikasi pangan), meningkatkan komoditas ekspor non-migas dan bahan baku industri pangan serta mempunyai potensi nilai ekonomi yang tinggi (Rahmat Rukmana, 2006 dan Agus Surono, 2012). Kentang telah menjadi bahan makanan masyarakat umum, baik untuk pesta maupun makanan sehari-hari. Kentang goreng yang disajikan restoran – restoran siap saji juga sangat populer dan sangat digemari oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Bagi penderita penyakit gula atau diabetes millitus, kentang sangat dianjurkan sebagai pengganti nasi. Dengan demikian kentang sangat berpeluang untuk dikembangkan karena hampir setiap orang dari semua lapisan masyarakat mengenal dan suka makan kentang. Konsumsi kentang nasional saat ini sekitar 2,02 kilogram per kapita per tahun atau setara 479 ribu ton. Jumlah ini naik tipis dari 1,73 kg/kapita pada 2009 dan sebesar 1,84 kg/kapita pada 2010 (Ainur Rahman , 2012). Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra pengembangan kentang di Kawasan Timur Indonesia yang tersebar di dataran tinggi wilayah 3 Kabupaten Gowa, Bantaeng, Enrekang, Tana Toraja, Pinrang, Jeneponto, Luwu Utara, dan Sinjai serta Bone (Badan Pusat Statistik, 2011). Produksi kentang di Sulawesi Selatan dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami penurunan yang dapat dilihat secara berturut - turut yaitu pada tahun 2008 produksi kentang mencapai 20.589 ton kemudian mengalami penurunan produksi pada tahun 2009 menjadi 9.089 ton, dan pada tahun 2010 masih mengalami penurunan produksi menjadi 7.627 ton (Badan Pusat Statistik, 2011a). Sedangkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2011), di Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan produksi kentang berfluktuasi mulai tahun 2007 sampai tahun 2010 secara berturut-turut: 338,7 ton (2007); 21.301,3 ton (2008); 3.971,16 ton (2009); dan 12.422 ton (2010). Penyebab penurunan produksi kentang di Indonesia antara lain kurangnya ketersediaan benih bermutu, serangan organisme pengganggu tanaman, teknik budidaya yang kurang sesuai dan anomali iklim. Ketersediaan benih bermutu yang disajikan pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa Indonesia baru mampu menyediakan benih kentang berkualitas sekitar 15 persen atau setara dengan 15.537 ton. Padahal pada tahun 2011 dibutuhkan 103.582 ton. Selama empat tahun terakhir, data Kementerian Pertanian menunjukkan jumlah benih selalu kurang. Pada tahun 2008, kebutuhan benih kentang 103.272 ton, namun ketersediaanya hanya 8.066 ton atau baru terpenuhi sekitar 8 persen. Pada 2009, kebutuhan benih kentang 103.375 ton, namun ketersediaannya hanya 13.481 ton atau hanya 13 persen. Dan pada 2010, kebutuhan benih kentang 103.478 ton, sedangkan ketersediaannya hanya 14.702 ton atau 14 persen. 4 Tabel 1. Produksi dan Kebutuhan Benih Kentang di Indonesia (Tahun 2008 – 2011) Tahun Produksi Benih Kebutuhan Benih Persentase (ton) (ton) Ketersediaan Benih 2008 8.066 103.272 8 2009 13.481 103.375 13 2010 14.702 103.478 14 2011 15.537 103.582 15 Sumber: Rosalina, 2011. http://www.tempo.co/read/news/2011/10/26/090363387/, diakses Desember 2011. Sektor perbenihan merupakan salah satu pendukung utama dalam program pembangunan pertanian karenanya perbenihan merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian utama dalam memenuhi kebutuhan benih berkualitas di Indonesia. Benih sangat mempengaruhi produktivitas dan kualitas hasil produksi. Selama ini yang biasa digunakan petani sebagai bahan tanam adalah umbi bibit turunan G5 bahkan G6 dan G7. Padahal bibit G2 biasanya sudah terkontaminasi bakteri dan virus sehingga dianjurkan menggunakan bibit G0 dan G1 (umbi mini). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah pemanfaatan jasa bioteknologi kultur jaringan yang dilanjutkan dengan perbanyakan cepat dari setek ke setek. Penggunaan teknik perbanyakan setek di samping meningkatkan jumlah stek yang berkualitas, juga dimaksudkan untuk mempersingkat masa penyediaan benih (Suyamto, Karyadi, dan Nugroho, 2005). Dari teknik ini akan dihasilkan umbi mini yaitu umbi dengan berat 1 - 10 gram yang merupakan umbi G0 dan G1 (dalam screen house) bebas pathogen. Dengan demikian benih kentang bermutu diproduksi melalui beberapa generasi, dimulai dari plantlet, G0, G1, G2, G3 sampai dengan G4. Benih generasi keempat (G4) inilah yang merupakan benih sebar yang 5 digunakan oleh petani. Selain itu kebutuhan benih dapat diatasi dengan pematahan dormansi umbi kentang agar pada saat dibutuhkan benih kentang tersedia. Sistem penanaman yang lazim digunakan dalam memproduksi benih adalah menggunakan tanah sebagai media tanam. Sistem penanaman seperti ini memberikan produksi yang belum dapat memenuhi harapan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi bibit kentang adalah dengan sistem aeroponik. Aeroponik merupakan pengembangan dari teknologi hidroponik. Hidroponik menggunakan air ataupun media lain selain tanah sebagai media tanam, sedangkan aeroponik menggunakan udara sebagai media tanam, dimana pada sistem ini larutan hara diberikan ke akar tanaman dengan cara pengabutan (Jensen dan Collins, 2005). Akar tanaman menggantung, dan melalui springkler dari bawah larutan hara disemprotkan ke akar dan akar akan menyerap hara tesebut (Resh, 2004; Park Jong Sub, 2005). Penanaman dalam rumah kasa tanpa tanah menyebabkan serangan hama penyakit pada teknologi aeroponik relatif lebih rendah, sehingga kualitas benih lebih baik dan lebih terjamin kemurniannya. Dengan aeroponik, benih kentang dapat diproduksi kapan saja, sehingga produsen benih dapat mengatur sesuai kebutuhan konsumen benih. Selain itu dengan menggunakan sistem aeroponik maka anomali iklim dapat ditanggulangi. Anomali iklim berdampak pada munculnya berbagai hama dan penyakit (Kunto Wibisono, 2010). Teknologi aeroponik menghasilkan umbi mini yang sehat dan bersih, produksi tinggi (10 x lipat dibanding cara konvensional), Kentang aeroponik dapat dipanen dengan mudah dalam jangka waktu sekitar 50 hari. Tiap satu tanaman kentang rata-rata mampu menghasilkan 30 umbi kentang, berbeda dengan hasil penanaman kentang dengan teknik konvensional yang hanya mampu menghasilkan tiga hingga lima umbi kentang per tanaman. 6 Peningkatan jumlah produksi yang diikuti dengan peningkatan pendapatan telah dirasakan seorang petani penangkar benih kentang, Denny Afrizal yang dengan total modal sekitar Rp 65 juta per 100 meter persegi, mampu menghasilkan rata-rata 45.000 umbi setiap panen tiga bulan sekali. Setiap satu umbi kentang harganya sekitar 2.500 rupiah (Wuri Rohayati. 2009). Namun demikian, produksi umbi kentang di Indonesia dengan sistem aeroponik masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan di Huancayo Peru, International Potato Centre, yang mampu menghasilkan produksi 100 umbi kentang per tanaman dengan menggunakan bahan relatif sederhana (Victor Otazu. 2010). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak faktor yang perlu dioptimalkan. Pemanfaatan zat pengatur tumbuh untuk meningkatkan produksi umbi mini kentang merupakan salah satu teknologi yang dapat dipilih untuk diterapkan. Zat pengatur tumbuh ini diaplikasikan mulai dari perbanyakan stek, penanaman sampai pada saat pemecahan dormansi. Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan saat ini adalah zat pengatur tumbuh sintetik yang harganya relatif mahal dan kadang langka ketersediaannya. Untuk mengatasi hal ini perlu dipikirkan zat pengatur tumbuh yang dapat diperoleh dengan mudah, murah namun memiliki kemampuan yang sama atau lebih dari zat pengatur tumbuh sintetik dalam memacu pertumbuhan tanaman yang dapat diekstrak dari senyawa bioaktif tanaman. Pemanfaatan senyawa bioaktif tanaman sebagai zat pengatur tumbuh tentunya sangat bermanfaat dalam mendukung pertanian ramah lingkungan, pemanfaatan sumber daya alam dan peningkatan percepatan swasembada benih. Indonesia sangat kaya dengan aneka ragam tanaman dimana tanaman – tanaman ini mengandung senyawa bioaktif yang dapat diekstraksi sebagai zat pengatur tumbuh (auksin, giberelin dan sitokonin). Ekstraksi senyawa bioaktif dapat dilakukan pada air kelapa yang 7 mengandung auksin, sitokinin dan giberelin; kecambah kacang hijau mengandung auksin; mengandung sitokinin; (Edhi Sandra, 2011); pisang ambon mengandung auksin; buncis bawang merah mengandung mengandung auksin biji jagung mengandung giberellin (Anonim, 2011c). Namun demikian belum diketahui kadar senyawa bioaktif yang dikandungnya dan apakah memiliki pengaruh yang sama baiknya dengan zat pengatur tumbuh sintetik. Hasil penelitian Ermiati (2009 dalam Deliah Seswita, 2010) menunjukkan bahwa penggunaan media dasar cair yang diperkaya zat pengatur tumbuh alami air kelapa konsentrasi 15% lebih efisien dari pada media lain karena setelah dihitung lebih murah Rp. 8,- dibandingkan media padat + BA 1,5 mg/l dan lebih murah Rp. 1, dan bila dibanding media dasar padat maupun cair yang diperkaya zat pengatur tumbuh sintetik Benzyl Adenin (BA) 1,5 mg/l. Oleh karena itu, perlu dikaji penggunaan zat pengatur tumbuh yang berasal dari tanaman sebagai substitusi zat pengatur tumbuh sintetik. Penggunaan umbi mini sebagai bibit belum banyak dilakukan karena teknologi produksinya masih kurang tersedia. Berdasarkan hal yang telah dikemukakan, maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan teknologi yang tepat dalam upaya peningkatan produksi umbi mini kentang (Solanum tuberosum L.) yang dibudidayakan secara aeroponik melalui pemanfaatan senyawa bioaktif tanaman sebagai zat pengatur tumbuh. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah ekstrak senyawa bioaktif dari air kelapa, kecambah kacang hijau, pisang ambon, jagung dan buncis serta bawang merah dapat 8 dimanfaatkan sebagai zat pengatur tumbuh (mengandung auksin, sitokinin dan giberelin) yang dapat memacu pertumbuhan bibit kentang. 2. Apakah ekstrak senyawa bioaktif dari air kelapa, kecambah kacang hijau, pisang ambon, jagung dan buncis serta bawang merah dapat dimanfaatkan sebagai zat pengatur tumbuh (mengandung auksin, sitokinin dan giberelin) dalam memacu produksi umbi mini yang diusahakan secara aeroponik. 3. Apakah ekstrak senyawa bioaktif dari air kelapa, kecambah kacang hijau dan jagung dapat dimanfaatkan sebagai zat pengatur tumbuh (mengandung auksin, sitokinin dan giberelin) yang dapat mematahkan dormansi benih sehingga umbi mini dapat tersedia setiap saat. C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui dan mempelajari potensi ekstrak senyawa bioaktif (auksin, sitokinin dan giberelin) dari air kelapa, kacang kacang hijau, pisang ambon, jagung dan buncis serta bawang merah sebagai zat pengatur tumbuh pemacu pertumbuhan bibit kentang. 2. Mengetahui dan mempelajari potensi ekstrak senyawa bioaktif (auksin, sitokinin dan giberelin) dari air kelapa, kecambah kacang hijau, pisang ambon, jagung dan buncis serta bawang merah sebagai zat pengatur tumbuh yang dapat memacu produksi umbi mini kentang aeroponik serta pematahan dormansinya. D. Manfaat Penelitian 1. Menjadi bahan informasi bagi pemerhati kentang dalam pengembangan kentang di Indonesia khususnya Sulawesi Selatan. 2. Merupakan paket teknologi khususnya dalam peningkatan kuantitas produksi umbi mini kentang yang berkualitas. 9 E. Hipotesis 1. Terdapat ekstrak senyawa bioaktif tanaman sebagai zat pengatur tumbuh terbaik untuk pertumbuhan bibit kentang. 2. Terdapat ekstrak senyawa bioaktif tanaman sebagai zat pengatur tumbuh terbaik untuk produksi umbi mini kentang secara aeroponik dan pematahan dormansinya. 10 F. Kerangka Pikir PERTUMBUHAN PENDUDUK MENINGKAT MEMBUTUHKAN PENGANEKARAGAMAN PANGAN KENTANG SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF PRODUKSI KENTANG NASIONAL TIDAK MENCUKUPI PENGGUNAAN BENIH KENTANG BERKUALITAS RENDAH USAHA PENINGKATAN KETERSEDIAAN UMBI MINI KENTANG EKSTRAK SENYAWA BIOAKTIF TANAMAN SEBAGAI ZAT PENGATUR TUMBUH PERBAIKAN BUDIDAYA TANAMAN AEROPONIK PENINGKATAN PRODUKSI UMBI MINI KENTANG BERKUALITAS Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir Penelitian 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kentang (Solanum tuberosum L.) 1. Karakteristik Kentang Kentang termasuk tanaman setahun (annual) yang berbentuk semak (herba), umumnya bereproduksi secara aseksual dengan umbi yang terbentuk pada ujung batang dalam tanah yang disebut stolon (Mas Yamaguchi, 1983) selain memiliki stolon dan umbi, susunan organ kentang terdiri dari batang, daun, bunga, buah, biji serta akar (Setiadi dan Surya Fitri, 1994). Perakaran tanaman kentang berstruktur halus, berwarna keputih – putihan, dapat menembus kedalam tanah sampai 45 cm, namun umumnya berkumpul sedalam kurang lebih 20 cm (Rahmat Rukmana, 1997). Kadangkadang akar juga dapat tumbuh di stolon. Dibandingkan dengan tanaman lain, sistem perakaran kentang adalah lemah (Zozimo Huaman, 1986). Batang kentang kecil, lunak, bagian dalamnya berlubang dan bergabus. Bentuknya persegi, tertutup dan dilapisi bulu - bulu halus. Pada dasar batang utama akan tumbuh akar dan stolon. Stolon yang beruas ini akan membentuk umbi, tetapi ada yang tumbuh menjadi tanaman baru. Dengan demikian, stolon merupakan perpanjangan dari batang. Dengan kata lain umbi kentang merupakan batang yang membesar. Sementara itu, akarnya bercabang membentuk akar rambut yang berfungsi menyerap hara makanan dari dalam tanah (Hendro Sunarjono, 2007). Helaian daun berbentuk lonjong, dengan ujung meruncing, memilki anak daun primer dan sekunder, tersusun dalam tangkai daun secara berhadap hadapan (daun majemuk) yang menyirip ganjil. Warna daun hijau 12 atau hijau keputihan. Posisi tangkai daun utama terhadap batang membentuk sudut kurang dari 450. Pada dasar tangkai daun terdapat tunas ketiak yang dapat berkembang menjadi cabang sekunder (Rahmat Rukmana, 2006). Bunga kentang tumbuh di ketiak daun, dan berjenis kelamin dua serta berwarna kuning keputihan atau ungu. Putik lebih cepat masak dari pada benang sari dengan tangkai yang dilingkari oleh benang sari berwarna kekuning-kuningan (Setiadi dan Surya Fitri, 1994). 2. Lingkungan Tumbuh Tanaman Kentang Yang Dibudidayakan Secara Aeroponik Tanaman yang dibudidayakan secara aeroponik biasanya ditanam di dalam greenhouse yang berfungsi untuk melindungi tanaman dari faktor faktor iklim yang secara alamiah kurang menguntungkan. Pengertian perlindungan disini berkaitan dengan masalah pengendalian lingkungan mikro, yaitu lingkungan di dalam greenhouse dimana tanaman sengaja dibudidayakan secara intensif. Faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan aliran udara termasuk konsentrasi CO2 yang berada di atas permukaan tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kombinasi faktor - faktor lingkungan tanaman yang optimum diperlukan untuk pertumbuhan tanaman yang optimum (Gardjito, 2001). Kisaran suhu lingkungan yang optimum berbeda antara satu tanaman dengan tanaman lainnya. Kentang menghendaki iklim yang ideal dengan suhu rata-rata harian 18 - 24°C, dan kelembaban 70 – 90%. Kombinasi suhu rendah dengan penyinaran matahari yang relatif pendek dapat berpengaruh baik terhadap pembentukan dan perkembangan umbi kentang (Hendra Gunawan, 2009). Ketika umbi terbentuk, maka dibutuhkan suhu malam optimum 10 – 150C dan suhu siang hari 200C. Suhu yang lebih rendah dapat diperoleh dengan memberikan naungan berupa jaring (shading net) dan 13 umumnya digunakan jaring naungan berwarna hitam sehingga mampu menahan cahaya masuk sampai 50% (Victor Otazu, 2010). Di dalam greenhouse biasanya suhu udara lebih tinggi daripada suhu di luar, sehingga panas merupakan faktor iklim yang membatasi. Greenhouse dengan atap yang lebih rendah umumnya lebih panas daripada greenhouse dengan atap yang lebih tinggi (Victor Otazu, 2010). Dan apabila tidak memungkinkan penggunaan ventilasi alami maka zone cooling dapat mengatasi masalah tersebut. Zone cooling menurut Gardjito (2001) adalah pendinginan terbatas pada suatu daerah dimana suhu udara (lingkungan) lebih tinggi. Apabila hal ini terjadi pada tanaman kentang yang ditanam secara aeroponik, maka zone cooling dilakukan pada daerah perakaran untuk merangsang tumbuhnya umbi. Menurut Victor Otazu (2010), sangat penting untuk mengontrol suhu larutan nutrisi. Apabila suhu larutan nutrisi terlalu tinggi (melebihi 200C) maka akan sangat membantu jika ke dalam tangki larutan nutrisi dimasukkan es balok dalam kantong plastik. Kelembaban sangat mempengaruhi laju evapotranspirasi. Pada kelembaban yang terlalu tinggi, laju evapotranspirasi akan menurun. Jarak tanam yang terlalu rapat dan tajuk tanaman yang terlalu rimbun dapat menyebabkan tingginya kelembaban. Dan jika hal ini berlangsung lama menyebabkan unsur hara yang terserap akan terhambat, dengan demikian akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman (Lakitan, 1997). Dengan demikian untuk menghindari kelembaban yang terlalu tinggi, diperlukan ventilator (lubang ventilasi) di atap bangunan atau sisi kasa yang memungkinkan udara keluar, dan untuk mengamati tingkat kelembaban di dalam bangunan digunakan higrometer. Sebaliknya menurut Lakitan (1997), kelembaban yang terlalu rendah, akan meningkatkan laju evapotranspirasi sehinga akar akan kekurangan air yang dapat diserapnya, karena air yang menguap lebih banyak. Hal ini mengakibatkan layunya tanaman. Untuk mencegah penurunan kelembaban digunakan sistem springkler. Sistem ini 14 dibuat dengan menggunakan pipa paralon dengan selang polyetilen yang pada jarak tertentu dipasangi springkler untuk memancarkan air. Cahaya diperlukan oleh tanaman untuk fotosintesis. Intensitas cahaya dan lama penyinaran akan mempengaruhi jumlah energi matahari yang sampai ke bumi, bila intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman terlalu besar, maka gelombang cahaya yang diterima oleh daun akan berubah menjadi panas, akibatnya akan terjadi perubahan fisiologis dalam jaringan sehingga klorofil akan rusak dan warna daun menjadi kuning atau kebakar (Hendra Gunawan, 2009). Intensitas cahaya akan rendah pada musim hujan atau pada saat cuaca mendung, sehingga aktivitas fotosintesis tanaman menurun dan tentunya akan menurunkan produksi umbi. Cahaya yang menembus masuk ke dalam media nutrisi akan memperlambat proses pembentukan umbi karena dibutuhkan suasana gelap tanpa cahaya di dalam box media aeroponik untuk berkembangnya umbi lebih baik. Pada musim hujan aeroponik masih dapat berproduksi baik dengan memperlebar arak tanam untuk menghindari keadaan saling menaungi antar tanaman. Curah hujan dapat mempengaruhi produksi aeroponik secara tidak langsung. Curah hujan yang tinggi (>250 mm bulan -1) akan meningkatkan kelembaban, dan jika hal ini terus berlangsungakan menyebabkan cendawan penyebab busuk daun mudah menyerang tanaman (Res, 2004). Sebaliknya kekurangan air mengakibatkan layu dan menguningnya tanaman (Suyamto, 2005). Pada kondisi kering, hama akan menyerang tanaman karena mikroorganisme patogen yang biasa menyerang hama tidak dapat angin. Angin berkembang biak. Konsentrasi berpengaruh C02 berkaitan dengan hembusan terhadap perkembangan umbi kentang sistem aeroponik, karena angin dapat membawa udara panas dalam greenhouse ke luar dan angin juga dapat mengurangi kelembaban yang terlampau tinggi. Lancarnya 15 aliran udara segar akan menjamin tersedianya C0 2 yang sangat dibutuhkan dalam proses fotosintesis (Mueller et al., 2002). Pada sistem aeroponik dibutuhkan kemasaman (pH) larutan nutrisi antara 5,5 – 6,5 dan optimal 6,0. Pada kisaran pH yang optimum, unsur unsur akan mudah terserap oleh akar. Bila pH melebihi batas toleransi maka tanaman akan memperlihatkan gejala kekurangan unsur hara tertentu. Keadaan seperti ini menurut Jensen dan Collin (2005) dapat diatasi dengan memberikan asam kuat seperti asam nitrat (HN03), asam sulfat (H2S04) atau asam posfat (H3PO4). Tingkat kemasaman yang rendah dapat ditingkatkan dengan penambahan basa kuat seperti kalium hidroksida (KOH), dengan demikian agar kemasaman larutan nutrisi yang digunakan dalam sistem aeroponik dapat stabil dianjurkan menggunakan buffer. Dalam keadaan masam, buffer dapat bersifat alkalis, sebaliknya dalam keadaan alkalis buffer dapat bersifat masam. Monokalium posfat (KH2PO4) merupakan buffer yang dapat menstabilkan pH larutan sekitar 6,0; sedangkan penggunaan buffer monoamonium posfat (NH4H2PO4) untuk menstabilkan pH sekitar 5,5. Dan untuk menstabilkan pH pada angka tertentu, campuran keduanya dapat digunakan. B. Sistem Perbenihan Kentang di Indonesia. Benih kentang yang dipakai saat ini berupa organ vegetatif (umbi), sehingga sekalipun diperbanyak berkali-kali tidak akan terjadi perubahan secara genetis. Adapun kemerosotan produksi yang terjadi pada setiap generasi benih kentang yang ditanam secara terus menerus disebabkan oleh adanya investasi penyakit yang terakumulasi pada setiap generasi dan terus terbawa pada regenerasi benih. Penyakit yang berkompeten dalam degenerasi produksi ini adalah virus. Menurut Prakash (2007), serangan virus ini akan menurunkan hasil umbi kentang tergantung dari jenis virus yang 16 menyerang, seperti virus X (PVX) akan menurunkan hasil 10 20%; virus Y (PVY) akan menurunkan hasil sebesar 10 – 80%; Potato leaf Roll Virus (PLRV) akan menurunkan hasil sebesar 50 – 90%. Semakin panjang generasi benih maka semakin besar tingkat investasi virus pada generasi benih tersebut, sehingga produksinya semakin rendah. Oleh karena itu hanya benih yang sehat yang memiliki potensi produksi yang baik. Benih kentang bersertifikat merupakan benih terseleksi yang dihasilkan melalui serangkaian proses pemeriksaan menyeluruh terhadap faktor-faktor yang akan mempengaruhi mutu benih yang dihasilkan, yaitu tingkat infeksi dan investasi penyakit, hama dan kerusakan fisik atau fisiologis lainnya serta campuran varietas lain yang mungkin ada. Pemeriksaan dilaksanakan mulai dari benih sumber yang ditanam, lokasi/lahan yang akan digunakan, pertanaman di lapangan dan umbi pasca panen di gudang (Willy Bayuardi Suwarno, 2000). Produksi bibit kentang dengan bahan stek asal kultur jaringan bertujuan untuk mendapatkan umbi bibit G0 (benih sumber) yang merupakan bibit berkualitas tinggi. Selanjutnya dari turunan G0 dihasilkan benih kelas G1 (benih penjenis), seterusnya menghasilkan benih kelas G2 (benih dasar), selanjutnya menghasilkan benih kelas G3 (benih pokok) dan terakhir benih kelas G4 (benih sebar) yang siap diperbanyak untuk kebutuhan konsumsi. Tataran alur benih ini merupakan uurutan perbanyakan benih disetiap kelas dan dijamin bebas virus (Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia, 2006). C. Ektrak Senyawa Bioaktif Tanaman sebagai Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh yang juga dikenal dengan sebutan hormon tumbuhan adalah senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain, dan pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis (Salisbury dan Ross, 17 1995). Istilah zat pengatur tumbuh lebih digunakan oleh umumnya ahli fisiologi tumbuhan karena zat pengatur tumbuh bersifat endogenous ("endogen"), dihasilkan sendiri oleh individu yang bersangkutan, maupun exogenous ("eksogen"), diberikan dari luar sistem individu (Wattimena, 1987). Zat pengatur tumbuh yang dihasilkan oleh tanaman disebut fitohormon sedangkan yang sintetik disebut zat pengatur tumbuh sintetik (Wattimena, 1987). Zat pengatur tumbuh menentukan perkembangan tanaman, baik zat pengatur tumbuh alamiah maupun sintetik. Ada 6 golongan zat pengatur tumbuh yaitu auksin, sitokinin, giberelin, ethylen, abscisic acid dan retardan. Senyawa-senyawa lain seperti poliamin, polidenolik dan triakontanol juga digolongkan ke dalam zat pengatur tumbuh (Armini et al., 1992 dalam Diyah Utami Widyaningrum, 2002). Penggunaan air kelapa pertama kali dilaporkan oleh Van Overbeek (1941) dalam kultur embrio Datura stramonium (Livy Winata Gunawan, 1988). Lebih lanjut dikemukakan bahwa bahan-bahan yang terkandung dalam air kelapa antara lain: asam amino, asam organik,asam nukleat, purin, gula, gula alkohol, vitamin, mineral dan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh yang ditemukan dalam air kelapa antara lain (Livy Winata Gunawan, 1988): 9-B-D ribofuranosyl zeatin, zeatin, N-N-Diphenyl urea, 2(3-methyl but-2-enylamino)purin 6-one. Mattjik, et al. (2000) mengemukakan bahwa zat pengatur tumbuh 2,4D (asam 2,4-dikoloropenoksiasetat), daminozide (asam suksinat) dan air kelapa pada konsentrasi tertentu ternyata dapat meningkatkan jumlah umbi per tanaman apabila diaplikasikan pada tanaman kentang yang berasal dari stek mini dari 5-7 umbi per tanaman menjadi 17-33 umbi per tanaman. Konsentrasi yang dipakai adalah 10 mg/l 2,4-D, 100 mg/l daminozide dan 10% (volume) air kelapa. Zat-zat tersebut kemudian dipekatkan menjadi 500 kali, sehingga untuk membuat larutan siap semprot sebanyak 1 liter hanya 18 memerlukan 2 ml larutan pekat. Air kelapa sebagai zat pengatur tumbuh juga telah diteliti oleh Zamroni dan Darini (2009) untuk melihat pengaruhnya pada tanaman cabe jamu dan hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan air kelapa 25 persen berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan setek tanaman cabe jamu. Air kelapa mengandung hormon seperti sitokinin 5,8 mg/l, auksin 0,07 mg/l dan giberelin sedikit sekali serta senyawa lain yang dapat menstimulasi perkecambahan dan pertumbuhan (Morel, 1974 dalam Yusnida Bey, Wan Syafii dan Sutrisna, 2006). Perlakuan tunggal air kelapa 250 ml/l menghasilkan munculnya plb, daun dan akar paling cepat dengan rentang waktu 14-18, 31-48 dan 49-58 hsp, juga menghasilkan kecambah tertinggi anggrek bulan (0,437 cm) (Yusnida Bey, Wan Syafii dan Sutrisna, 2006). Pemberian ekstrak kecambah kacang hijau pada tanaman kentang varietas granola yang diberikan dua kali menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang terbaik dibandingkan dengan zat pengatur tumbuh alami lain atau tanpa zat pengatur tumbuh. Perlakuan frekuensi pemberian yang terbaik adalah dua kali, yaitu pada 24 hst dan 31 hst (Ayu Mahanani, 2003). Sitokinin atau kinin adalah hormon yang bekerja berlawanan dengan hormon auxin yaitu merangsang pembelahan sel tunas lateral (samping). Tingginya konsentrasi sitokinin membuat pembelahan sel terfokus pada pertumbuhan mata tunas, mata tunas yang 'tidur' atau dorman akan aktif dan pertumbuhan pucuk kian cepat. Senyawa sitokinin sangat baik diberikan setelah pemberian senyawa auxin, dimana setelah akar disehatkan oleh auxin maka sitokinin akan mengambil peran dalam memperbanyak daun dan anakan (Anonim, 2012b). Hasil penelitian Hu Yunhai dan Jiang Xianming (2006) menunjukkan bahwa, auksin, IAA dan NAA, dapat mempengaruhi jumlah dan berat umbi mikro. Konsentarsi terbaik adalah 2 ppm sampai 3 ppm, 19 sebaliknya pengaruh aksin 2,4-D tidak berbeda nyata. Ezeibekwe, et al. (2009) telah melakukan penelitian pada media MS invitro untuk mengevaluasi pengaruh zat pengatur tumbuh auksin (NAA) dan sitokinin (BAP) yang dikombinasikan dalam level yang berbeda terhadap Dioscorea rotundata. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi auksin dan sitokinin secara nyata berpengaruh terhadap regenerasi tanaman. BAP (0,2 mg/l) dikombinasikan dengan NAA (0,5 mg/l) menunjukkan peningkatan pada hampir seluruh parameter. Sedangkan kontrol dalam hal ini kombinasi NAA (0 mg/l) + BAP (0 mg/l) menghasilkan planlet yang lebih tinggi daripada level yang lain. Dan jika BAP ditingkatkan maka akan mengurangi tinggi dan menghasilkan ruas yang lebih pendek. Media MS yang mengandung 0,5 mg/LNAA + 0 mg/L BAP merupakan kombinasi yang optimal untuk memperoleh berat segar yang lebih tinggi dibanding kombinasi lainnya. C. Memproduksi Umbi Mini Kentang Dengan Teknologi Aeroponik Umbi mini merupakan salah satu bahan tanam yang dapat digunakan dalam perbanyakan tanaman kentang secara vegetatif (Muchdat Widodo. 2012). Umbi mini adalah umbi yang dihasilkan di screen house yang berasal dari stek mini, stek mikro atau umbi mikro. Umbi mini tersebut ditanam kembali untuk menghasilkan beberapa generasi yang akan digunakan sebagai umbi bibit kentang konsumsi (Armini et al., 1992 dalam Diyah Utami Widyaningrum, 2002). Untuk produksi umbi mini diupayakan persentase umbi terbanyak adalah umbi dengan berat 1-10 gram (Wattimena, 1995). Umbi mini dengan berat 5 – 10 g per knol dihasilkan dari kerapatan stek 100-200 tanaman per m2 (Departemen Pertanian, 2008). Saat ini pengusahaan tanaman kentang tidaklah semata-mata bergantung pada media tanah tetapi dapat melalui sistem baru yang dikenal sebagai aeroponik. Kata aeroponik adalah berasal dari Yunani yakni aero berarti udara dan ponos berarti budidaya sehinggga aeroponik merupakan 20 proses pertumbuhan tanaman dalam lingkungan udara atau kabut tanpa menggunakan tanah atau media agregat. Penanaman dengan menggunakan tanah (konvensional), seringkali membawa penyakit (Navjeevan Gopal, 2011). Sistem konvensional tidak efektif menghindari atau mengurangi patogen dan mempunyai konsekwensi mengurangi kualitas benih kentang serta hasil tanaman. Sistem aeroponik dengan cepat menghasilkan kualitas benih kentang yang berkualitas yang bebas kontaminasi dengan patogen (Margaret Chiipanthenga, et al., 2012). Dengan demikian menurut International Potato Centre (CIP, 2010) tanah tidak lagi penting untuk menanam kentang, setidaknya untuk menanam benih kentang. Lebih lanjut menurut International Potato Centre (CIP, 2010), sistem ini lebih berkelanjutan karena mengurangi input air dan pupuk, disamping itu aeroponik juga memungkinkan penggunaan air dan pupuk yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang tepat pada setiap fase perkembangannya. 21 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian akan dilaksanakan dalam bentuk percobaan di Kebun Labiota Bulu Balea Desa Pattalassang Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Daerah ini merupakan salah satu sentra pengembangan tanaman kentang di Sulawesi Selatan pada ketinggian 1500 m diatas permukaan laut dengan suhu 18 – 260C. Penanaman tanaman kentang akan dilakukan dalam screen house yang berukuran 21 x 7 m. Penelitian akan dilanjutkan di laboratorium Divisi Bioteknologi Pertanian, PKP Universitas Hasanuddin, B. Bahan dan Alat: Bahan – bahan yang akan digunakan pada percobaan I antara lain: umbi mini kentang, sekam bakar, tanah, aquades, air, buah pisang ambon, kecambah kacang hijau, air kelapa, buncis, bawang merah, gula pasir. Sedangkan alat - alat yang akan digunakan antara lain adalah: saringan kain, blender, bak semai (40 x 30 x 15 cm), polybag ukuran 10 x 15 cm, hand sprayer, corong, ayakan tanah, botol plastik tertutup tidak tembus cahaya, alat tulis. Bahan-bahan yang akan digunakan pada percobaan II antara lain: stek umbi mini kentang, sabut kelapa, larutan nutrisi, air, buah pisang ambon, kecambah kacang hijau, air kelapa, buncis, bawang merah, gula pasir, aquades. Sedangkan alat - alat yang akan digunakan antara lain adalah: spons tipis, saringan kain, blender, corong, botol plastik tertutup tidak tembus cahaya, gunting setek, box styrofoam ukuran 380 cm x 100 cm x 60 cm , 22 mulsa hitam perak, tali, EC-meter, pH meter, mesin pompa nutrisi, pipa polyethylene, timer, thermometer, timbangan, alat tulis. Bahan-bahan yang akan digunakan pada percobaan III antara lain adalah: umbi mini yang baru saja dipanen, aquades, bawang merah, biji jagung, kecambah kacang hijau, fungisida akrobat. Sedangkan alat - alat yang akan digunakan pada percobaan III antara lain adalah: keranjang pertunasan ukuran 30 cm x 20 cm x 15 cm, kertas koran, saringan kain, blender, corong, botol plastik tertutup tidak tembus cahaya, plastik bening, thermometer, timbangan, alat tulis. C. Metode Percobaan Percobaan I: Perbanyakan Stek Asal Umbi Mini di Screen House Percobaan ini akan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 7 perlakuan zat pengatur tumbuh (T), yaitu: T0 = kontrol (tanpa zat pengatur tumbuh) T1 = ekstrak bawang merah T2 = ekstrak kecambah kacang hijau T3 = ekstrak air kelapa T4 = ekstrak pisang ambon T5 = ekstrak biji jagung T6 = ekstrak buncis Percobaan II: Penanaman Stek Asal Umbi Mini di Screen House Percobaan II akan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 7 perlakuan zat pengatur tumbuh (T), yaitu: T0 = kontrol (tanpa zat pengatur tumbuh) T1 = ekstrak bawang merah T2 = ekstrak kecambah tauge T3 = ekstrak air kelapa 23 T4 = ekstrak pisang ambon T5 = ekstrak biji jagung T6 = ekstrak buncis Percobaan III: Pematahan Dormansi Umbi Mini (Di Laboratorium Divisi Bioteknologi PKP UNHAS) Percobaan III akan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 7 perlakuan, yaitu: T0 = kontrol (tanpa zat pengatur tumbuh) T1 = umbi mini umur panen 60 hst dengan ekstrak air kelapa T2 = umbi mini umur panen 75 hst dengan ekstrak air kelapa T3 = umbi mini umur panen 90 hst dengan ekstrak air kelapa T4 = umbi mini umur panen 60 hst dengan ekstrak biji jagung T5 = umbi mini umur panen 75 hst dengan ekstrak biji jagung T6 = umbi mini umur panen 90 hst dengan ekstrak biji jagung D. Pelaksanaan Percobaan I: Pembibitan (di Screen House) 1. Pesemaian benih dan pembibitan Percobaan ini diawali dengan menyiapkan semua peralatan yang diperlukan dalam keadaan bersih. Dilanjutkan dengan sterilisasi tanah yang sudah diayak (ditapis). Kemudian membuat media tanam berupa campuran sekam bakar dan tanah. Selanjutnya media tersebut dimasukkan ke dalam wadah semai. Kemudian umbi mini kentang yang telah bertunas, sehat dan tidak cacat ditanam. Setelah daun tumbuh dilakukan penyetekan dengan tiga buku batang. Stek kemudian ditanam dalam polybag. Tiga hari setelah tanam diberikan perlakuan zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi 5 ppm, diberikan dua hari sekali sampai munculnya tunas dan akar, kemudian menjadi seminggu sekali. 24 2. Ekstraksi Senyawa Bioaktif Tanaman Zat Pengatur Tumbuh Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengekstrasi senyawa bioaktif tanaman sebagai zat pengatur tumbuh adalah sebagai berikut: Setiap sumber zat pengatur tumbuh alami tanaman (buah pisang ambon, air kelapa, kecambah kacang hijau, bawang merah, biji jagung, buncis) dicampur dengan aquades kemudian ditambahkan gula pasir. Dilakukan penyaringan terhadap campuran bahan tadi dengan menggunakan kain saring. Kemudian difermentasi dalam wadah tertutup tidak tembus cahaya yang berlangsung sampai 15 hari. Kemudian dilakukan pemisahan cairan dan padatan dengan centrifuge. Selanjutnya cairan zat pengatur tumbuh alamai tanaman dimasukkan ke dalam botol tertutup terlindung cahaya. Parameter Pengamatan 1. Stek yang hidup (%). 2. Pertambahan tinggi bibit (cm). 3. Jumlah daun (helai). 4. Pertambahan jumlah ruas (buah). 5. Pertambahan panjang ruas (cm). 6. Panjang akar (cm). 7. Volume akar (cm3). Percobaan II: Penanaman dengan Sistem Aeroponik (di Screen House) Penanaman dengan sistem aeroponik melalui beberapa tahapan pelaksanaan yaitu: 1. Persiapan Larutan Nutrisi Aeroponik 25 Pembuatan larutan nutrisi diawali dengan menyiapkan satu buah wadah yang di isi air sebanyak 2 L kemudian kedalamnya dicampurkan secara merata pupuk majemuk sebanyak 200 gram. Selanjutnya disediakan ember berkapasitas ± 30 L yang selanjutnya ke dalam ember dimasukkan air hingga terisi hampir penuh. Setelah ember terisi dimasukkan larutan awal yang telah dibuat dan diaduk merata hingga kepekatan larutan (EC) 1,5 dan keasaman larutan (pH) 6,5. Untuk mengukur kepekatan larutan (EC) menggunakan alat EC-meter dan untuk mengukur kemasaman larutan (pH) menggunakan pH-meter. Apabila kemasaman larutan (pH) tinggi, maka larutan diberikan asam pospat untuk menurunkan keasaman larutan (pH). Pada fase vegetatif digunakan pupuk majemuk Growmore (32-1010) sebagai larutan nutrisi. Pupuk Growmore untuk fase vegetatif memiliki komposisi nutrisi nitrogen 32%, phospat 10%, kalsium 0,05%, kalium 10%, magnesium 0,10%, sulfur 0,20%, boron 0,02%, cuprum 0,05%, besi 0,10%, mangan 0,05%, molybdenum 0,0005%, dan zinc 0,05%. Sedangkan pada fase generatif digunakan pupuk majemuk Growmore (6-30-30) yang memiliki komposisi nutrisi (nitrogen 6%, pospat 30%, potash 30%, calsium 0,05%, magnesium 0,10%, sulfur 0,20%, boron 0,02%, cuprum 0,10%, besi 0,05%, mangan 0,0005%, molybdenum 0,05%). 2. Persiapan Media Tanam Wadah tanam yang akan digunakan berupa box styrofoam (berukuran 380 cm x 100 cm x 60 cm) yang bagian dasarnya diberi sabut kelapa. Saluran irigasi dihubungkan dengan tandon penampung nutrisi tanaman yang telah dipasangi pipa paralon berukuran 0,25 inch. Dari pipa paralon akan mengalir nutrisi tanaman ke pipa berikutnya yang berada pada bak tanaman yang telah dipasangi nozel yang dimaksudkan agar tanaman dapat terkena nutrisi secara merata. Untuk mengalirkan dan mendorong 26 nutrisi tanaman digunakan pompa. Setiap 15 menit pompa tersebut bekerja secara otomatis dan lama penyemprotan berlangsung selama satu menit. 3. Penanaman Bibit setek ditanam pada penutup box styrofoam yang tebalnya 3 cm yang telah dilubangi dengan diameter 1,5 cm yang merupakan lubang tanam bibit kentang. Jarak tanam yang digunakan adalah 15 cm x 15 cm. Selanjutnya plastik hitam perak dipasang menutupi seluruh box stryfoam. Penanaman bibit dilakukan dengan melilit pangkal batang bibit kentang menggunakan spons tipis (3 cm) untuk menyangga agar tanaman berdiri tegak. Parameter Pengamatan Komponen pertumbuhan: 1. Persentase tanaman hidup, dihitung pada 8 MST. 2. Pertambahan tinggi tanaman (cm). 3. Pertambahan jumlah daun majemuk (helai). 4. Kandungan klorofil, dianalisis pada minggu ke 8 setelah tanam. Komponen produksi : 1. Waktu terbentuknya umbi (hari). 2. Jumlah umbi pertanaman (buah) 3. Persentase bobot umbi < 1 g per unit percobaan. 4. Persentase bobot umbi 1 – 10 g (umbi mini) per unit percobaan. 5. Bobot kering umbi (g), untuk tiap individu tanaman sampel diukur setelah dikeringovenkan selama 3 x 24 jam pada suhu 850C. 6. Bobot basah per umbi (g). 27 7. Bobot umbi pertanaman (gram). 8. Diameter Umbi (cm). 28 Komponen Mutu Benih: 1. Kadar air (KA) umbi = Bobot segar – bobot kering x 100% Bobot Segar 2. Kandungan karbohidrat. 3. Kandungan protein. 4. Kandungan vitamin C. Percobaan III: Pematahan Dormansi Umbi Mini (Di Laboratorium Divisi Bioteknologi Pertanian, PKP Universitas Hasanuddin) Umbi mini yang dipanen sesuai perlakuan terlebih dahulu dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam keranjang lalu dikering dianginkan sehingga air yang masih melekat pada umbi dapat menetes seluruhnya. Masing – masing umbi sesuai umur panen direndam dalam larutan ekstrak sesuai perlakuan. Setelah itu umbi mini diangkat dan ditiriskan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam kemudian ujung kantong plastik tersebut diikat agar umbi mini tidak berkontaminasi dengan udara luar. Setelah 3 hari kemudian kantong plastik dibuka kembali. Umbi mini, kemudian ditempatkan ke dalam keranjang pertunasan yang sebelumya telah diberi alas kertas koran dan dibiarkan hingga bertunas. Parameter Pengamatan 1. Persentase umbi yang bertunas. 2. Waktu bertunas (hari), diamati jumlah hari yang dibutuhkan oleh umbi untuk bertunas mulai dari saat pendederan umbi sampai munculnya tunas. 3. Jumlah tunas (buah). 4. Panjang tunas (cm). 5. Persentase penurunan bobot umbi kentang. 29 Data Pendukung: analisa kandungan senyawa bioaktif (auksin, sitokinin dan giberellin) yang terdapat dalam ekstrak tanaman. 30 DAFTAR PUSTAKA Agus Surono. 2012. Masih Banyak Pengganti Nasi. Intisari Smart and Inspiring. http://intisari-online.com/read/masih-banyak-pengganti-nasi, diakses Pebruari 2012. Ainur Rahman. 2012. Setelah Kentang Impor Merajalela. Majalah Stabilitas. Selasa, 17 Januari 2012 | 10:39:06. http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=391&article_ty pe=0&article_category=8&md=54500f35a41d8d2ef85e67b60e908a8 b, diakses Februari 2012. Anonim. 2011a. Prediksi BKKBN: 2011, Penduduk Indonesia 241 Juta Jiwa Republika.Co.Id. Jakarta. Anonim. 2011b. Indonesia Go Organik. Hormon/zat pengatur tumbuh organik. http://hendycampgoblog.blogspot.com/2011/05/hormonzatpengatur-tumbuh.html, diakses Pebruari 2012. Anonim. 2012a. Forum Kerjasama Agribisnis Kentang Sebagai Pangan Alternatif . Http://Foragri.Blogsome.Com/Kentang-Sebagai-Pangan Alternatif/, diakses Januari 2012. Anonim. 2012b. Mengenal Zat Pengatur Tumbuh. http://lembahpinus.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&i d=124, diakses Februari 2012. Ayu Mahanani, 2003. Pengaruh Macam Sumber Zpt Alami Dan Frekuensi Pemberiannya Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Kentang(Solanum Tuberosum L.) Varietas Granola. Badan Pusat Statistik. 2011a. Sulawesi Selatan dalam Angka. Sulawesi Selatan in Figures. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Selatan. CIP. 2000. Potato and sweet Potato. http://www.cipotato.org/, diakses Januari 2012. Daegan Gonyer, Eric Ludovici, Laura Shaddak. 2010. Investigation Into Integrated Aeroponic Growth Systems. Laboratory Analysis. Lab-2. Clarkson. 31 University.Http://Highrisefarming.Northshoresolutions.Com/Wp/Uploads/2011/03/Laboratory.Pdf, diakses Januari 2012. Departemen Pertanian. 2008. Produksi Benih Kentang Berkualitas (G0). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/agritek/blitsa03.pdf, diakses Januari 2012. Diyah Utami Widyaningrum. 2002. Pengaruh Perlakuan Ukuran Umbi G0 dan B-Nine, Paclobutrazol, 2.4-D Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Umbi Bibit Kentang G1 Kultivar Granola dalam Rumah Ketat Serangga. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Edhi Sandra. 2011. Hormon dan Pertumbuhan Tanaman. http://eshaflora.blogspot.com/2011/04/hormon-dan-pertumbuhantanaman.html?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_ca mpaign=Feed%3A+KulturJaringanEshaFlora+%28Kultur+Jaringan+E sha+Flora%29, diakses 25 Oktober 2011. Ezeibekwe, I. O; Ezenwaka, C. L; Mbagwu, F. N and Unamba, C. I. N. 2009. Effects Of Combination Of Different Levels Of Auxin (Naa) And Cytokinin (Bap) On In Vitro Propagation Of Dioscorea Rotundata L . (White Yam). Department of Plant Science and Biotechnology, Imo State University, Owerri, Nigeria New York Science Journal, 2009, 2(5), ISSN 1554-0200 http://www.sciencepub.net/newyork , [email protected] 1 Gardjito. 2001. Pelatihan Aplikasi Teknologi Hidroponik Untuk Pengembangan Agribisnis Perkotaan. Pusat Pengkajian dan Penerapan Ilmu Tenik untuk Pertanian Tropika (CREATA). Lembaga Penelitian - Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Direktorat Pembinaan Sarana Akademis. Bagpro Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia. Hendra Gunawan. 2009. Inovasi Baru Perbanyakan Bibit Kentang G-0 Sistem Aeroponik. Pusat Inkubator Agribisnis BBPP Lembang. http://www2.bbpp- 32 lembang.info/index.php?option=com_content&view=article&id=307&It emid=304, diakses Januari 2012. Hendro Sunarjono. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya Kentang. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Hu Yunhai Dan Jiang Xianming. 2006. The Effects Of Plant Hormones On Tuberization Of Potato Microtubers In Vitro. Shandong Agricultural University. Tsinghua Tongfang Knowledge Network Technology Co., Ltd.(Beijing)(Ttkn) Jensen, M.H. and W.L. Collins. 1985. Hydroponic Vegetable Production. Horticultural Reviews 7:483-558. Kenneth F.K. dan K.C. Ornelas. 2012. World History of Food. Cambridge University Press. Kunto Wibisono. 2010. Anomali Iklim Turunkan Produktivitas Pertanian. Antara News. http://www.antaranews.com/berita/1280422000/anomali-iklimturunkan-produktivitas-pertanian, diakses 21 Maret 2012. Lakitan, B. 1997. Dasar – Dasar Fisiologi Tumbuhan. Gajah Mada Ekspres. Livy Winata Gunawan. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas (PAU). Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Pendidikan Tingggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mas Yamaguchi. 1983. World Vegetables. Principle, Production and Nutritive Values. AVI Publishing Company, INC. West Port, Connecticut. Printed in The United Sates of America. Mattjik, Nurhayati A.; Purwito, Agus; Wattimena, G.A. 2000. Komposisi Zat Pengatur Tumbuh Untuk Meningkatkan Produksi Umbi Mini Kentang. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/4116, diakses Pebruari 2012. 33 Mueller , D.S., Li, S. hartman, G.L. dan W.L. Pedersen. 2002. Use of Aeroponic Chambers and Grafting to Study Partial Resistance to Fusarium solani f.sp. glycines in soybean. Department of Crop Science, University of Illionis, Urbana. Plant.Dis.86:1223-1226. Navjeevan Gopal. 2011. CPRI develops tech to grow seed potatoes without soil. indianexpress.com. Wed, 8 Februari 2012. http://www.indianexpress.com/news/cpri-develops-tech-to-grow-seedpotatoes-without-soil/760848/0, diakses Januari 2012. Park Jong Sub. 2005. Pengalaman Memproduksi Benih Kentang G0 dengan Sistem Aeroponik. Korea International Cooperation Agency (KOICA). Korea. Prakash, S. 2007. Micropropagation For Production Of Quality Potato Seed In Asia-Pasific. Rahmat Rukmana. 2006.Usaha Tani Kentang Sistem Mulsa plastik. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. Ress, H.M. 2004. Hydroponic Food Production. Woodridge Press, Santa Barbara, California. Rosalina, 2011. Indonesia Kekurangan Benih Kentang Unggul. http://www.tempo.co/read/news/2011/10/26/090363387/IndonesiaKekurangan-Benih-Kentang-Unggul, diakses Desember 2011. Salisbury, F.B. dan C.W.Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan. Edisi keempat. Penerbit ITB Bandung. Setiadi dan Surya Fitri N. 1994. Kentang Varietas dan Pembudidayaan. PT Penebar Swadaya, Anggota IKAPI. Jakarta. Sumeru Ashari. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Suyamto, Karyadi, K.A., dan S.U. Nugroho. 2005. Teknologi Produksi Benih Kentang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan 34 Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta. Victor Otazu. 2010. Manual and Quality Seed Potato Prouction sing Aeroponics. International Potato Centre. USAID From The American People. Wareing, P.E. dan I.D. Philips. 1981. Growth and Differentiation In Plants, 3 rd ed. Pegamon Press. Oxford. Willy Bayuardi Suwarno. 2008. Sistem Perbenihan Kentang di Indonesia. [email protected]. http://www.situshijau.co.id. Diakses, Januari 2012. Wuri Rohayati. 2009. Menanam Bibit Kentang di Media Udara. Tribun Jabar (Rabu, 27 Mei 2009). Jawa Barat. http://www.tribunnews.com/, diakses Januari 2012. Yusnida Bey, Wan Syafii dan Sutrisna. 2006. Pengaruh Pemberian Giberelin (Ga3) Dan Air Kelapa Terhadap Perkecambahan Bahan Biji Anggrek Bulan (Phalaenopsis Amabilis Bl) Secara In Vitro. Jurnal Biogenesis Vol. 2(2):41-46, 2006. © Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau ISSN : 1829-5460. Zamroni dan Darini. 2009. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Alami Dan Defoliasi DaunPada Pertumbuhan Setek Cabe Jamu. Fakultas Pertanian. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. [email protected]. Zozimo Huaman.1986. Systematic Botany and Morphology of The Potato. Training and Communication Departement,CIP, Lima Peru. Copies Printed: 2000. 35 Lampiran I. Justifikasi Anggaran Penelitian. 1. Bahan Habis Pakai (Materi Penelitian ) dan Peralatan. NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. NAMA BAHAN Bibit stek Plastik hitam perak Bak Aeroponik dan peralatannya Alat tulis menulis Hand sprayer, jirigen, ember Bahan zat pengatur tumbuh Analisa auksin, sitokinin, giberelin Analisa karbohidrat, protein dan kandungan klorofil Sub total BIAYA (Rp) 500.000,500.000,5.000.000,100.000,500.000,500.000,14.500.000,1.500.000,23.100.000,- 2. Perjalanan Kota/Tempat Tujuan Biaya (Rp.) Biaya perjalanan Makassar – 12.000.000,Malino, lokasi penelitian selama 8 bulan Sub total 12.000.000,3. Lain – Lain NO KETERANGAN 1 Administrasi 2 Publikasi 3 Seminar dan lokakarya 4 Pemeliharaan dan pemakaian alat 5. Penulisan disertasi Sub total BIAYA (Rp.) 400.000,1.000.000,2.000.000,1.500.000,2.500.000,7.400.000,- Total anggaran = 1+2+3= Rp.42.500.000,- (Empat puluh dua juta lima ratus rupiah). 36