MEMBANGUN PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM BERKEADILAN GENDER (TELAAH PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN) SKRIPSI Disusun Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) Oleh: ENDANG DWIJAYANTI NIM: 111-12-147 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK) INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017 i ii iii iv v MOTTO “Sesungguhnya laki-laki muslim dan perempuan muslimah, laki-laki mukmin dan perempuan mukminah, laki-laki yang taat dan perempuan yang taat, laki-laki yang benar dan demikian juga perempuan yang benar, laki-laki penyabar dan perempuan penyabar, laki-laki yang khusyu‟ dan perempuan yang khusyu‟, lakilaki yang gemar bersedekah dan perempuan yang gemar bersedekah, laki-laki yang sering kali berpuasa dan perempuan yang sering kali berpuasa, laki-laki yang selalu memelihara kemaluannya dan perempuan yang selalu juga memelihara kehormatannya, laki-laki yang banyak berdzikir menyebut nama Allah dan perempuan yang banyak berdzikir menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk tiap-tiap orang dari mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. al-Ahzab: 35) “Tidak ada hasil usaha, kerja keras, maupun jerih payah yang sia-sia.” vi PERSEMBAHAN PERSEMBAHAN Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan izin Allah SWT skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada: 1. Almarhum ayahku Subur Santoso yang dulu telah membiayai pendidikanku sampai perguruan tinggi, kemudian ibuku Punarwati yang sabar dalam membimbingku. Adikku tercinta Angkus Hadidayasa yang sangat menyayangiku, tidak lupa juga kepada seluruh keluargaku phakdhe, budhe, kakak-kakak sepupuku. 2. Dosen pembimbing skripsi Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si. yang sabar dalam membimbing, mengarahkan, menghargai, memantapkan rasa percaya diri saya dan mengerti akan keterlambatan saya dalam penyusunan skripsi ini. 3. Kepada Ahmad Dimyati dan Siti Alfijah yang sudah ku anggap sebagai orang tuaku, terima kasih untuk semangat dan nasihatnya. Selalu memberi sambutan hangat di setiap kunjungan saya. 4. Sahabat-sahabatku Fajri, Lia, Aisyah, Rouf, Anis, Wulan, Agus, Maftukhin, Murni, yang selalu mendukung dan mendengarkan ceritaku. 5. Tentunya tidak lupa juga untuk keluarga besar LPM Dinamika mulai dari alumniku Kang Akbar, Kang Singgih, Kang Syukron, kemudian kakak-kakak angkatanku Kak Hasan, Kak Nazil, Kak Lasin, Mas Alif Habban, Mas oyon, Mbak Ozi, yang sabar dalam membimbing dan mengajariku. Teman-teman seangkatan dan tidak lupa juga untuk adik-adik angkatanku yang telah vii mendoakan dan memberi dukungan. Terima kasih karena sudah diizinkan dan diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari LPM DinamikA. Tidak lupa juga untuk kawan persma lainnya. 6. Teman seperjuangan di kampus khususnya mahasiswa/i PAI Angkatan 2012. 7. Almamaterku IAIN Salatiga. viii KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini meski masih jauh dari kata sempurna. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Rasulullah Muhammad SAW sang revolusioner, semoga kelak dapat berjumpa dan mendapat syafaatnya di hari akhir. Penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari beberapa pihak. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Suwardi, M.Pd. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. 3. Siti Rukhayati, M.Ag. Ketua jurusan Pendidikan Agama Islam. 4. Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si. dosen pembimbing skripsi yang telah mencurahkan pikiran dan waktunya dalam proses penyelesaian skripsi ini. 5. Dra. Ulfah Susilowati, M. Si. selaku Pembimbing Akademik. 6. Ibuku (Punarwati) dan adikku (Angkus Hadidayasa) saudara-saudaraku. 7. Keluarga besar LPM DinamikA baik alumni, demisioner, teman-teman seperjuangan, maupun adik-adik angkatanku yang selalu mendukungku. 8. Sahabat-sahabat ku yang selalu sabar mendampingi dan menyemangatiku. 9. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini. 10. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. ix Terselesainya tulisan ini selain sebagai bentuk tanggung jawab pengenyam perguruan tinggi tentunya kelak akan menjadi salah satu referensi. Semoga dapat menjadi sumbangan pemikiran dan kajian literasi dalam keberlangsungan pendidikan khususnya Perguruan Tinggi Islam. Semoga bermanfaat. Salatiga, 20 Maret 2017 Penulis Endang Dwijayanti NIM. 111-12-147 x ABSTRAK Dwijayanti, Endang. 2017. “Membangun Paradigma Pendidikan Islam Berkeadilan Gender (Telaah Pemikiran Riffat Hassan)”. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si. Kata kunci: Pendidikan Islam, Gender, Riffat Hassan. Salah satu penyebab yang melanggengkan konstruksi sosial budaya yang mengakibatkan ketidakadilan gender adalah pemahaman agama. Istilah „bias gender‟ yang berangkat dari pemahaman agama yang berat sebelah seolah melanggengkan sebuah hegemoni yang didominasi pada salah satu jenis kelamin. Minimnya pengetahuan tentang gender tanpa disadari mempengaruhi pola pikir dan sikap dalam memandang realita. Meski tidak disebutkan secara eksplisit jika menengok sejarah jelas terlihat bagaimana Islam datang untuk menegakkan keadilan gender. Kalaupun benar ada ketimpangan dalam penafsiran maka harus ditelaah kembali pijakan teologi Islam yang menjadi sumber Pendidikan Islam yaitu al-Qur‟an dan hadis. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana konsep Pendidikan Islam yang berkeadilan gender; (2) Bagaimana hubungan Pendidikan Islam dengan gender; (3) Kontribusi apa yang diberikan Riffat Hassan untuk mewujudkan Pendidikan Islam yang berkeadilan gender. Temuan penulis berkaitan pertanyaan yang ada yaitu (1) Konsep Pendidikan Islam berkeadilan gender berangkat dari nilai persamaan, kemanusiaan, dan keseimbangan. (2) Hubungan Pendidikan Islam dengan gender menuntun untuk terwujudnya relasi antara laki-laki dan perempuan. Derajat kemanusiaannya sama dimata Tuhan, bukan karena jenis kelaminnya melainkan ketaqwaannya. (3) Kontribusi Riffat Hassan dalam rangka menegakkan keadilan gender yaitu melakukan interpretasi ulang terhadap teks keislaman terutama alQur‟an sebagai sumber nilai tertinggi. Konsep dasar yang dibawanya adalah persamaan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari bahan yang sama. Kedudukannya setara di mata Sang Pencipta. xi DAFTAR ISI SAMPUL ................................................................................................................. i LEMBAR BERLOGO .......................................................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii PENGESAHAN KELULUSAN .......................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .............................................................v MOTTO ................................................................................................................ vi PERSEMBAHAN ................................................................................................ vii KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix ABSTRAK ............................................................................................................ xi DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...............................................................................1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................8 C. Tujuan Penelitian .........................................................................................8 D. Manfaat Penelitian .......................................................................................9 E. Telaah Pustaka...........................................................................................10 F. Metode Penelitian.......................................................................................14 G. Penegasan Istilah ........................................................................................16 H. Sistematika Penulisan ................................................................................20 xii BAB II KONSEP PENDIDIKAN ISLAM BERKEADILAN GENDER A. Pengertian Pendidikan Islam ......................................................................21 B. Pengertian Keadilan Gender ......................................................................22 C. Tujuan Pendidikan Islam Berkeadilan Gender ..........................................30 D. Gender dalam Al-Qur‟an............................................................................31 E. Nilai-Nilai Keadilan Gender ......................................................................33 BAB III RIFFAT HASSAN DALAM TELAAH KEADILAN GENDER A. Biografi Riffat Hassan................................................................................39 B. Latar Belakang Pendidikan ........................................................................42 C. Dasar Pemikiran Riffat Hassan ..................................................................45 BAB IV ANALISIS TRANSFORMATIF KEADILAN GENDER A. Menyibak Eksistensi Perempuan ...............................................................54 B. Rekonstruksi Interpretasi Mitos Perempuan ..............................................64 C. Elaborasi Kajian Riffat Hassan dalam Pendidikan Islam ..........................78 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................................95 B. Saran ...........................................................................................................96 DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP PENULIS LAMPIRAN-LAMPIRAN xiii DAFTAR LAMPIRAN 1. Daftar SKK 2. Nota Pembimbing Skripsi 3. Lembar Konsultasi xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender bukanlah sebuah kajian baru, selain menjadi wacana akademis kajian ini berkembang sebagai sebuah disiplin ilmu (perspektif). Istilah responsif gender, sensitif gender, berwawasan gender, bias gender bahkan diskriminasi gender merupakan bagian dari problematika sosial. Meski istilah ini sering di dengar oleh khalayak umum akan tetapi belum tentu setiap individu paham bagaimana hal tersebut bisa muncul. Apabila rancu dalam memahami makna ini maka akan berdampak pada cara pandang dimana nanti akan mempengaruhi sikap. Gender menjadi sebuah permasalahan yang kompleks dan cukup signifikan karena menyangkut kehidupan umat manusia. Pokok bahasan yang menarik dan sering mendapat sorotan pada kajian ini yaitu perempuan. Dunia perempuan memang menjadi pembahasan yang menarik untuk dikaji atau diperbincangkan. Seringnya mendapat sorotan layaknya seperti makhluk istimewa, bukan hanya keindahan yang selalu dilekatkan pada dirinya melainkan ada sisi lain yang mungkin perlu diungkap mengenai keberadaannya. Kehidupan perempuan yang sering menjadi topik pembicaraan yang menarik layak untuk diajukan. Maka perlu ditelusuri mengapa pembahasan ini memasuki dan menjadi sebuah wilayah diskursus. Usaha perempuan untuk melawan praktik diskriminasi yang menganggap 1 keberadaannya sebagai makhluk the second classmelewati proses yang cukup panjang. Menghadapi sebuah struktur yang timpang dimana jenis kelamin laki-laki lebih diunggulkan atau diutamakan, label inferior (rendah) dilekatkan pada dirinya. Jika memang demikian maka perlu dilakukan penelusuran mengapa hal tersebut terjadi bahkan memberi dampak yang kurang menyenangkan. Terlebih lagi perempuan juga makhluk ciptaan Tuhan yang tentunya memiliki nilai kemanusiaan sama halnya laki-laki. Ketimpangan ini menjadi problematika ketidakadilan sosial dimana perempuan kurang mendapat tempat. Gender merupakan salah satu bagian dari masalah ketidakadilan sosial, superioritas (pengunggulan jenis kelamin) laki-laki melekat dalam budaya masyarakat. Sering mendapat tempat sebagai pilihan utama dengan dalih memiliki keunggulan dan keutamaan. Kemudian hal itu berdampak menjadi sebuah hierarki atau hegemoni yang didominasi laki-laki. Selain struktur sosial hal tersebut dipengaruhi pula oleh cara pandang. Cara pandang inilah yang menjadi faktor pembentukan pola pikir yang kemudian mempengaruhi tingkah laku/sikap. Selain perspektif sosial akar persoalan diskriminasi gender juga dipengaruhi oleh faktor teologi. Perspektif teologis meliputi legitimasi ajaran teologi dan tradisi keagamaan, mulai dari sini ditelusuri apakah benar bahwa pada ajaran keagaamaan kedudukan perempuan subordinat. 2 Pendidikan Islam dibangun berdasarkan dua landasan teologis yang menjadi dasar utama yaitu al-Qur‟an dan hadis. Konsep Pendidikan Islam dirumuskan melalui kerangka metodologi dan dihimpun berdasarkan tema atau pokok bahasan tertentu. Perspektif agama selalu diutamakan dalam menghadapi ataupun memecahkan problematika umat. Kemudian perlu ditelusuri juga apakah memang benar dalam ajaran Islam pun perempuan dalam posisi subordinat dan termarginalkan. Sejarah menunjukkan bagaimana Islam memuliakan perempuan dengan menghapuskan praktikdiskriminasi masyarakat Arab jahiliyah. Sebelum Islam datang sungguh miris nasib perempuan saat itu, bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Perempuan menjadi bagian dari warisan layaknya properti, maraknya praktik poligami banyaknya masyarakat Arab yang memiliki istri lebih dari satu. Nilai kemanusiaan perempuan saat itu kurang mendapat perlakuan baik, maka lahirnya Muhammad saw. sebagai utusan Tuhan diperintahkan untuk membebaskan perempuan dari berbagai praktik diskriminasi. Di zaman Rasullah perempuan diberi hak untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosialnya, memberi ruang untuk hadir dalam majlis ilmu, kehidupan publik bagai sebuah panggung dimana laki-laki dan perempuan terlibat, bahkan rasulpun sangat mencintai dan menyayangi putrinya Fatiman Az-zahra. Rasulullah juga terbiasa menggendong anak-anak perempuannya di muka publik, melalui cara sederhana ini maka pesan yang akan disampaikan yaitu laki-laki dan perempuan berhak memperoleh 3 perlakuan yang adil. Tindakannya ini merupakan salah satu wujudkomitmen dalam mengemban misi kemanusiaannya. Islam menegaskan bahwa perempuan bagian dari ciptaan Tuhan, pada kisah Siti Maryam yang tertulis pada Q.S. Ali-Imran: 195 ketika Imran dan istrinya bernadzar maka muncullah redaksi,“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik seorang lelaki ataupun perempuan, (karena) sebagian kamu dari sebagian yang lain...., dari ayat ini maka muncul bahwa dimata Tuhan baik laki-laki dan perempuan kedudukannya sama. Disinilah tampak bagaimana Islam pun memanusiakan manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Bahkan Islam pun mengakui intelektualitas kaum perempuan salah satunya ibunda Aisyah ra sebagai representasi ulama‟ perempuan. Pada nilainya ajaran Islam mengandung spirit persamaan dan nilai kemanusiaan tanpa adanya diskriminasi salah satu jenis kelamin. Akan tetapi, melihat fenomena sekarang dengan adanya istilah „bias gender‟ dalam penafsiran teks memicu para pemikir kontemporer untuk mengkaji, meneliti, dan menelaah kembali sumber ajaran Islam. Adanya asumsi yang mengatakan bahwa Islam memasung hak perempuan, membatasi ruang, bahkan pada beberapa ayat menunjukkan superioritas kaum laki-laki yang menyebabkan perempuan berada pada posisi subordinat. Sehingga muncullah tokoh reformis Islam seperti Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud Muhsin, dll. 4 Setelah menelusuri dan mengkaji kembali teks keagaamaan yang menjadi sumber pijakan Islam tokoh tersebut menemukan adanya beberapa hasil penafsiran yang menunjukkan adanya superioritas yang menjadi dominasi salah satu jenis kelamin. Mengingat banyaknya kalangan mufasir, ulama‟, cendekiawan Islam didominasi laki-laki maka tidak menutup kemungkinan adanya produk penafsiran yang kurang mengakomodir topik yang menjadi isu perempuan. Maka usaha yang dilakukan yaitu melakukan interpretasi terhadap teks-teks Islam klasik sebagai usaha guna meluruskan pandangan yang menjadi kegelisahan akademis. Membahas diskursus keagamaan yang sama dengan interpretasi yang berbeda, bukan merubah teks melainkan membongkar penafsiran lama dan menata ulang kembali dengan pendekatan yang lebih egaliter. Menelusuri kembali literatur Islam yang bertendensi mengandung muatan misogini. Keempat tokoh tersebut memiliki kegelisahan masing-masing dan tentunya dengan pengalaman yang berbeda, akan tetapi keyakinannya selaras bahwa Islam pada nilainya memuat ajaran yang universal baik persamaan, keadilan, maupun hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan. Menjamin hak-hak makhluk hidup tanpa adanya subordinasi maupun diskriminasi. Disinilah kemudian muncul perspektif sosiologis dan teologis, hubungan antara idealitas agama dengan realitas sosial. Ketika idealitas agama lentur dan lebih terbuka dalam memberi ruang terkadang realitas 5 sosial kurang mendukung. Begitu juga sebaliknya, jika realitas sosial mampu memberi ruang terkadang idealitas agama tertutup. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman akan teks turut dipengaruhi oleh kultur dengan kondisi sosial masyarakatnya. Tetapi di satu sisi teks tersebut mengandung spirit pembebasan dan penghapusan hal-hal yang berbau diskriminatif. Meskipun demikian, ajaran universal tetap berlaku dan dapat diimplemantasikan. Disinilah kemudian dialog dan relevansi antara teks dengan konteks guna menemukan sebuah jalan keluar yang akan menjadi tawaran ideologi perubahan. Baik Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer, maupun Amina Wadud Muhsin merupakan sosok kontroversial dan gagasannya sering dipertentangkan tetapi tidak sedikit pula yang mengapresiasi karya-karyanya. Melihat dari beberapa tokoh feminis muslim menurut penulis merekalah yang konsisten mengkaji teologi dengan melibatkan kerangka metodologi dalam kancah pemikiran Islam. Dimana pada ranah ini akan menjadi perspektif baru dalam rangka membangun paradigma Pendidikan Islam yang lebih responsif gender. Akan tetapi, penulis memilih satu diantara empat tokoh tersebut maupun pemikir lainnya. Riffat Hassan adalah tokoh yang akan menjadi bahan kajian dalam penulisan skripsi ini. Topik utama yang akan disoroti adalah konsep penciptaan perempuan yang menjadi perdebatan di kalangan mufasir maupun pemikir muslim. Meski bersifat akademis menurut Riffat hal ini menjadi sangat mendasar dan penting baik secara 6 filosofis maupun teologis. Karena jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan oleh Allah Yang Maha Pencipta dari sesuatu yang sama maka selanjutnya mereka tidak dapat diperlakukan tidak sama baik dalam bentuk apapun maupun kapanpun. Menurutnya, adanya diskriminasi terhadap perempuan berakar dari asumsi-asumsi teologis yang keliru dan oleh karena itu harus dibongkar melalui reinterpretasi terhadap al-Qur‟an yang merupakan sumber nilai tertinggi bagi umat Islam. Riffat ingin membangun kerangka dasar paradigmatik model kepercayaan baru dalam konteks Islam dan isu-isu keperempuanan. Sebab ia merasa yakin bahwa selama ini telah terjadi pencemaran dan distorsi historis antara ajaran Islam normatif yang bersumber pada al-Qur‟an dengan Islam historis yang selama ini dipraktikkan pada masyarakat patriarkhi. Konstruksi paradigmatik itu kemudian diintrodusir oleh Riffat sebagai teologi feminis. Teologi feminis dalam konteks Islam dimaksudkan oleh Riffat untuk membebaskan (liberation; taharrur) bagi perempuan dan laki-laki dari struktur dan sistem relasi yang tidak adil, dengan cara merujuk kitab suci yang diyakini sebagai sumber nilai tertinggi (Mustaqim, tt: 174-175). Problematika penafsiran umat Islam terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi laki-laki perempuan tanpa disadari mengandung unsur patriarkis. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perempuan ditafsirkan menggunakan sudut pandang laki-laki tanpa melibatkan perempuan sebagai pihak pertama. 7 Berdasarkan pemaparan diatas penulis tertarik untuk mengkaji konsep pemikiran Riffat Hassan salah satu tokoh feminis muslim dengan melibatkan kerangka metodologinya. Keaktifannya dalam mengkaji isuisu gender dalam teks membuka sebuah kerangka pemikiran baru bagi perkembangan ajaran islam, melalui tulisan ini akan diuraikan kajian teologi dari kacamata perempuan. Penulis tidak menggunakan perspektif Riffat Hassan melainkan menghubungkan kajian interpretasinya dalam rangka meluruskan konstruksi pemikiran selama ini mengalami penyesatan interpretasi. Melalui langkah inilah uraian pada skripsi nanti penulis akan memaparkan hasil penelitian Riffat Hassan dalam proses merekonstruksibangunan teologi Islam dalam rangka mewujudkan Pendidikan Islam yang berkeadilan gender. B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran pada latar belakang diawal, adapun rumusan masalah yang menjadi pokok penelitian disusun sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep Pendidikan Islam yang Berkeadilan Gender? 2. Bagaimana hubungan gender dengan Pendidikan Islam? 3. Kontribusi apa yang diberikan Riffat Hassan untuk mewujudkan Pendidikan Islam yang Berkeadilan Gender? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Menggali konsep Pendidikan Islam berkeadilan gender. 2. Mencarihubungan Pendidikan Islam dengan gender. 8 3. Memaparkan kontribusi pemikiran Riffat Hassan dalam mewujudkan Pendidikan Islam Berkeadilan Gender. D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis a. Rekomendasi tawaran pemikiran berperspektif feminis. b. Memperbarui cara pandang yang selama ini mengakar menjadi konstruksi pemikiran. c. Membangun kerangka paradigmatikmelalui kajian teologi dari kacamata perempuan dan penerapannya dalam pendidikan Islam. d. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya isu-isu gender sehingga mampu menjadi sarana untuk membangun paradigma baru berwawasan gender serta menegaskan bahwa gender bagian dari pendidikan Islam. 2. Secara Praktis a. Menjadi salah satu bahan proses penyusunan kurikulum maupun silabi dalam lembaga pendidikan yang responsif gender. b. Memberi ruang dengan cara melibatkan perempuan dalam prosesproses pengambilan keputusan, dalam bidang legislasi seperti penyusunan perencanaan penganggaran yang responsif gender, perumusan undang-undang. Advokasi sosialisasi Pengarusutamaan Gender (PUG)baik dalam organisasi kemasyarakatan maupun aktivitas sosial lainnya. 9 E. Telaah Pustaka Pemikiran Riffat Hassan cukup menarik beberapa penulis lainnya sebagai bahan kajian, dan hal ini membuktikan bahwa hasil karyanya mendapatkan perhatian dikalangan akademis. Untuk menghindari terjadinya plagiasi, maka penulis memaparkan beberapa karya ilmiah yang sudah ada. Selain itu telaah pustaka juga untuk melihat orisinilitas skripsi.Setelah membaca dan mengamati penulis menemukan beberapa skripsi dengan kajian tokoh yang samanamun ada perbedaan dalam penelitian skripsi ini, diantaranya: Pertama, Miftah As‟adi Romadhoni mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Syari‟ah dan Hukum al-Ahwal alSyakhsiyyah, 2012 dengan judul “Pemikiran Riffat Hassan tentang Peran Istri dalam Keluarga”. Pokok pembahasannnya mengenai konsepsi Riffat mengenai peran istri dalam ikatan perkawinan dan kedudukannya dalam keluarga.Menjabarkan konsepsi pada penetapan tugas dan peran masingmasing pihak antara suami istri. Skripsi ini mengkritisi argumentasi Riffat mengenai peran domestik yang mempengaruhi kiprah perempuan (sebagai istri) dalam ruang publik. Kedua, skripsi karya Putut Ahmad Su‟adi Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, 2008 dengan judul “Pemikiran Fazlur Rahman dan Riffat Hassan tentang Kesetaraan Gender dalam Islam”. Kajian bersifat komparatif karena menggunakan dua tokoh ilmuwan yang sama-sama berasal dari Pakistan untuk memadukan atau 10 mencari persamaan dalam membangun konsep kesetaraan gender tentunya dengan metode dan kerangka berpikir yang berbeda. Ketiga, skripsi karya Siti Kusumaningsih Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuludin UIN Sunan Ampel, 2014 dengan judul “Pembebasan Perempuan: Studi Komparasi Asghar Ali Engineer dan Riffat Hassan”. Memaparkan konsep pembebasan perempuan dari dua perspektif beserta upaya dari kedua tokoh tersebut dalam pembongkaran aspek teologi dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan sebagai agenda baru pemikiran Islam. Tiga judul diatas sama-sama mengkaji isu perempuan, perbedaannya tulisan Miftah As‟adi membidik satu persoalan khusus mengenai peran perempuan sebagai istri dalam rumah tangga, hal ini mengarah pada pembagian kerja antara ruang domestik dan publik. Selama ini kegiatan domestik lebih dominan diampu oleh perempuan, adapun salah satu problematikanya adalah ketika perempuan ingin berkiprah di ruang publik. Pembahasan inimengantarkan pada kajian fiqh. Al-Qur‟an memberi kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan potensi yang ada pada dirinya, termasuk perempuan yang berstatus sebagai istri. Namun pendefinisian maupun penetapan tugas sering kali tidak bisa terlepas dari kultur masyarakat. Kesetaraan laki-laki dan perempuan berdasarkan pemikiran Riffat Hassan memiliki segi positif tersendiri akan tetapi tulisan Miftah As‟adi memberi sebuah batasan sebagai pertimbangan terkait dengan kewajiban maupun 11 tanggung jawab yang diemban seorang istri. Riffat memang menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan potensi yang sama untuk mencapai kesuksesan dalam bidang apapun, namun tidak mendefinisikan secara baku peran apa yang dapat dimainkan oleh perempuan dalam keluarga maupun masyarakat. Adanya pendefinisian atau penetapan tugas dapat membatasi potensi dalam kehidupan modern saat ini. Potensi dalam diri manusia sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan dan setiap orang berhak untuk mengaktualisasikannya, termasuk seorang istri sekalipun. Meskipun demikian, beberapa tugas baik kewajiban maupun tanggung jawab memang harus diemban serta dilaksanakan. Dikhawatirkan karena mengatasnamakan hak dan kesetaraan beberapa hal yang berkaitan dengan managemen keluarga terbengkalai. Karena ada sesuatu yang secara khusus diemban, tulisan ini mengatakan pemikiran Riffat Hassan tidak relevan terhadap konteks di Indonesia yang masih menganut prinsip hierarkis dalam keluarga. Kemudian, pada skripsi Putut Ahmas Su‟adi menggunakan perbandingan gagasan dua tokoh pemikir mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pokok permasalahan fiqh yang beranekaragam terkait isu perempuan. Persoalan yang menjadi topik pembahasan dua tokoh berbeda, adapun Fazlur Rahman memulai dari persamaan kedudukan manusia, kesaksian wanita, hukum dan sistem warisan, kemudian konsep poligami dan cadar/purdah. Sedangkan Riffat Hassan dimulai dari konsep 12 penciptaan laki-laki dan perempuan, konsep kejatuhan manusia dari surga, tujuan penciptaan perempuan, konsep poligami dan sistem segregasi. Kedua tokoh yang menjadi objek pembahasan skripsi ini memiliki visi yang sama dalam permasalahan kesetaraan gender dalam Islam bahwa perempuan yang menjadi korban ketidakadilan gender dengan basis teologis harus diselamatkan. Hanya saja Rahman menggunakan pembaharuan Islam versi Rahman dengan gerakan Neo-Modernisme Islam dengan merumuskan tafsir baru keagamaan yang berorientasi pada kesetaraan terutama pada bidang fiqh. Sedangkan Riffat memperbarui teks Islam klasik menggunakan pendekatan teologi feminis. Keduanya memiliki persamaan kesetaraan gender dalam Islam menggunakan al-Quran sebagai acuan sentral, Rahman merepresentasikan gagasannya dalam spektrum yang luas didukung dengan argumen yang represesntatif tidak hanya dalam fokus feminisme saja. Riffat juga sedikit terpengaruh pada gagasan Rahman hanya saja lebih memilih tema-tema teologis penciptaan perempuan yang masih tabu diperbincangkan dan diperdebatkan oleh beberapa kalangan dan membuka ruang untuk didiskusikan karena juga memiliki refleksi teologis. Terakhir, skripsi Kusumaningsih mengenai pembebasan perempuan bahwa kedua tokoh memiliki gagasan teologi pembebasan melihat dari fakta sejarah bagaimana Islam membebaskan perempuan dari ketidakadilan, praktik diskriminasi, dan perbudakan. Pembahasan ini mengarah pada ranah kedudukan, menurut Riffat keunggulan laki-laki atas 13 perempuan tidak dibenarkan atas Islam dan bukanlah sebuah kondisi yang mutlak karena posisi keduanya setara. Berbeda dengan Asghar Ali Engineer yang mengungkapkan ada kelebihan laki-laki atas perempuan dalam beberapa hal. Secara normatif al-Qur‟an memihak kesetaraan lakilaki dan perempuan namun secara kontekstual dalam al-Qur‟an pun dinyatakan ada kelebihan dalam hal tetapi itu didasarkan pada konteks sosialnya. Sedangkan untuk kajian skripsi ini penulis lebih memusatkan hasil penelitian Riffat Hassan mengenai proses penciptaan perempuan sebagai topik mendasar yang menuai perdebatan. Kemudian menghubungkannya dengan konsep Pendidikan Islam mengenai hakikat manusia menurut Islam dengan fitrah (potensi) yang dibawanya. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu kajian pustaka, suatu penelitian dimana data-datanya diperoleh dari literatur baik kitab tafsir, buku karya feminis muslim sebagai sumber pustaka, jurnal, maupun artikel tentang perempuan sebagai sumber sekunder. 2. Sumber Data Adapun sumber data utama yang digunakan dalam tulisan ini antara lain: Riffat Hassan Setara di Hadapan Allah (Relasi Perempuan dan Laki-laki dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi) dan Abdul Musaqim Paradigma Tafsir Feminis Membaca Al-Qur‟an dengan 14 Optik Perempuan. Sedangkan sumber data sekunder sebagai penunjang topik pembahasan meliputi, buku Nasaruddin Umar Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟an, Mansour Fakih Analisis gender & Transformasi Sosial, Kadarusman Agama, Relasi Gender & Feminisme,Siti Muslikhati Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Muzayyin Arifin Kapita Selekta Pendidikan Islam, Ahmad Tafsir Ilmu pendidikan dalam Perspektif Islam, Ahmad Mutohar Manifesto Modernisasi Pendidikan Islam & Pesantren, dll. 3. Teknik Pengumpulan Data Adapun bentuk pengumpulan data dalam proses penyusunan skripsi ini yaitu kepustakaan. Teknik pengumpulan ini diperoleh melalui telaah terhadap data-data tertulis seperti buku-buku, artikel ilmiah, dan sumber tertulis lainya yang berkaitan dengan pokok bahasan. Adapun langkah-langkah penelitian yang dilakukan penulis sebagai berikut : a. Mencari buku-buku di perpustakaan yang ada hubungannya dengan pokok masalah, baik primer sebagai sumber utama penelitian maupun buku pendukung (sekunder) yang berkaitan dengan kajian skripsi. b. Menghimpun kumpulan tulisan yang membahas topik pembahasan kemudian membandingkan antara satu sudut pandang dengan gagasan lain. 15 c. Mengkonsultasikan hasil penemuan berupa tulisan ilmiah tokoh lain dengan pandangan berbeda maupun pengalaman penulis yang berkaitan dengan pokok bahasan skripsi. 4. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik deskriptif analitik yaitu penelitian untuk menyelesaikan masalah dengan cara mendeskripsikan masalah melalui pengumpulan, penyusunan, dan penganalisaan data untuk kemudian dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian (Adi, 2004: 128). Memaparkan beberapa deskripsi pemikiran kemudian melakukan analisis sehingga terjadi hubungan bermakna di antara berbagai komponen penelitian. G. Penegasan Istilah Penegasan istilah disini akan membantu pembaca memahami beberapa istilah dalam skripsi ini. Adapun beberapa istilah pokok yang penulis kemukakan sebagai berikut: 1. Paradigma Paradigma dalam KBBI Edisi Ketiga didefinisikan sebagai daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperhatikan konjungasi dan deklinasi kata tersebut, model dari teori ilmu pengetahuan, dan kerangka berpikir. Abdul Mustaqim melalui bukunya Paradigma Tafsir Feminis mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat pra anggapan konseptual, metafisik dan metodologis dalam tradisi kerja ilmiah. 16 Menurut Musthofa Rembangy paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kacamata atau alat pandang. Sedangkan menurut Thomas Kuhn paradigma diartikan sebagai suatu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan seberapa jauh suatu paradigma mampu melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan dari berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan dan penerapan kurikulum oleh masyarakat ilmiah pendukungnya (Mutohar, 2013: 139). Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat diartikan secara singkatnya paradigma sebagai sebuah cara pandang melalui suatu proses keilmuan. 2. Pendidikan Islam Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pendidikan Islam itu bertolak dari pandangan Islam tentang manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟an bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok. Fungsi pertama, manusia sebagai khalifah Allah di bumi, makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara, 17 merawat, memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepadaNya. Selain dari itu, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan batin (Daulay, 2009: 6). Ahmad Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam yaitu bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Definisi ini digunakan menyangkut pendidikan oleh seseorang terhadap seseorang yang diselenggarakan di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki fitrah, dalam konteks pendidikan Islam dimaknai sebagai potensi dan ada pula yang memaknai suci. Setiap manusia lahir membawa potensi dalam diri (baik laki-laki maupun perempuan) dan pembentukan karakter maupun kepribadian manusia dipengaruhi pula oleh lingkungan sekitarnya. Pengembangan diri dibentuk melalui proses pendidikan, dimana peserta didik dibimbing, diarahkan dalam rangka menggali potensi dalam dirinya. Pendidikan Islam memiliki tugas untuk mencerdaskan anak manusia dengan fitrah potensinya tanpa adanya diskriminasi atau marginalisasi (peminggiran) jenis kelamin. 3. Keadilan Gender Keadilan gender adalah keadilan dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki sesuai kebutuhan mereka. Hal ini mencakup perlakuan yang setara atau 18 perlakuan yang berbeda tetapi diperhitungkan ekuivalen dalam hak, kewajiban, kepentingan, dan kesempatannya (UNESCO, 2002: 20-21). TIM PSGK STAIN dalam buku berjudul Menelisik Gender dalam Konstruksi Sosial Salatiga mendefiniskan keadilan gender adalah antara laki-laki dan perempuan memiliki dan menikmati status yang sama, sama-sama memiliki kesempatan yang sama untuk merealisasikan hak-haknya dan potensi dirinya dalam memberikan kontribusi pada perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta sama-sama dapat menikmati hasilhasil pembangunan tanpa harus membedakan jenis kelamin. Konsep keadilan gender dibangun atas dasar nilai kemanusiaan dimana tujuannya adalah memanusiakan manusia. Bukan menuntut 50:50 menyamaratakan atau membuat struktur menjadi timpang dengan membuat laki-laki menjadi inferior. Melainkan membuka dan memberi ruang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam rangka pengembangan potensi. Disinilah perempuan juga mendapat akses dan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dalam dirinya. 4. Riffat Hassan Salah seorang tokoh feminis muslim yang lahir di ujung Galee (lorong), suatu daerah yang berdampingan dengan Temple Road Lahore, Pakistan.Terkenal dengan gagasan interpretasi terhadap landasan teologi Islam berkaitan dengan isu perempuan.Menggunakan konsep feminisme dalam mengkritisi dan membangun paradigma baru teologi Islam berwawasan gender. 19 H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini akan memberikan gambaran terkait dengan susunan laporan penelitian: BAB I merupakan pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan. BAB II memaparkan konsep Pendidikan Islam berkeadilan gender, membingkai perbedaan seks dan gender,tujuan Pendidikan Islam berkeadilan gender, dasar hukum keadilan gender, kemudian nilai-nilai yang membangun keadilan gender. BAB IIImemaparkan telaah keadilan gender Riffat Hassan, adapun isinya meliputi biografi pribadi dan keluarga, latar belakang pendidikan, kemudian dasar pemikirannya beserta karya yang dihasilkannya. BAB IVanalisis keadilan gender transformatif, menguraikan usaha Riffat Hassan dalam menyibak asal kejadian perempuan, membongkar dan meluruskan mitos penciptaan perempuan, kemudianmengelaborasikan dengan Pendidikan Islam. BAB V PENUTUPmenyimpulkanhasil seluruh pemaparan dan mengkorelasikan hasil kajian Riffat Hassan dalam rangka membangun konsep Pendidikan Islam Berkeadilan Gender. 20 21 BAB II KONSEP PENDIDIKAN ISLAM BERKEADILAN GENDER A. Pengertian Pendidikan Islam Proses pendidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan- kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial serta alam sekitar ia berada. Proses kependidikan Islam senantiasa berada di dalam nilai-nilai Islam dan berupaya menanamkan akhlaqul karimah (Anam, 2013: 37). Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pendidikan Islam itu bertolak dari pandangan Islam tentang manusia sebagaimana dijelaskan dalam alQur‟an bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok. Fungsi pertama, manusia sebagai khalifah Allah di bumi, makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara, merawat, memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepadaNya. Selain dari itu, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan batin (Daulay, 2009: 6). 22 Ahmad Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam yaitu bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Definisi ini digunakan menyangkut pendidikan oleh seseorang terhadap seseorang yang diselenggarakan di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah. B. Pengertian Keadilan Gender Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan konsep sex dan gender. Dalam kamus Bahasa Inggris gender dan seks mengandung pengertian sebagai jenis kelamin. Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya (Umar, 1999: 35). Pertama, kita perlu mengetahui konsep biologi dalam diri manusia. Berikut uraiannya dikutip dari disertasi Nasaruddin Umar dalam buku Wacana Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟an, penulis mengolah dalam bentuk tabel supaya lebih mudah. 23 No Sex (Laki-Laki) 1. Mempunyai Penis 2. Memiliki hormon Sex (Perempuan) Mempunyai Vagina testosterone Memiliki ovarium, memproduksi (pembawa sifat-sifat kejantanan), hormon prolactin, extrogen, dan berfungsi untuk memproduksi progesteron pembentukan sperma. (berpengaruh dalam sifat-sifat dasar perempuan). 3. Mempunyai dua jenis kromosom Perempuan yang berbeda (XY), heterogametic kromosom 4. 5. mempunyai yang sejenis dua (XX), sex. homogametic sex. Mempunyai suara yang lebih Suara lebih bening, buah dada besar, berkumis, berjenggot, dada menonjol, pinggul umumnya lebih bidang atau datar. lebar (mulai membentuk). Haid, - nifas, hamil, melahirkan, menyusui Perlu diketahui perbedaan biologi pada tabel diatas merupakan kodrat, mutlak ada dalam diri manusia tidak bisa dirubah dan tidak bisa dipertukarkan. Berlaku sepanjang masa, dimana saja, murni ciptaan Tuhan bukan buatan manusia. Hal ini sudah melekat pada diri setiap manusia. 24 Berbeda dengan sex, gender adalah suatu konsep tentang klasifikasi sifat laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) yang dibentuk secara sosio-kultural. Di dalam Women‟s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, posisi, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa gender itu tidak berlaku universal. Artinya setiap masyarakat, pada waktu tertentu, memiliki sistem kebudayaan (cultural systems) tertentu yang berbeda dengan masyarakat lain dan waktu yang lain. Sistem kebudayaan ini menyangkut elemen dasar deskriptif dan prekristif, yaitu mempunyai citra yang jelas tentang bagaimana “sebenarnya” dan “seharusnya” laki-laki dan perempuan itu (Faqih, 2004: 20-21). Gender bukanlah kodrat melainkan sebuah bentukan budaya (kultur sosial), dapat berubah atau dipertukarkan, tergantung budaya setempat, bukan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Secara biologi laki-laki dan perempuan memiliki bentuk tubuh serta fungsi beberapa organ yang berbeda. Adapun mengenai peran, karakteristik, posisi, dipengaruhi oleh faktor di luar diri manusia. Contohnya dalam hal sifat (feminin) perempuan dideskripsikan lemah lembut dalam bertingkah laku atau berbicara, pemalu, tunduk, emosional, cengeng, tidak dapat berpikir rasional, pasif, hal ini turut dipengaruhi oleh bentukan sosial/kultur. Sedangkan laki-laki digambarkan dengan beberapa sifat maskulin seperti agresif, tidak emosional, lebih objektif, rasional, jarang menangis, aktif, pemberani. Disadari atau tidak beberapa sifat atau karakter ini terkadang bisa dipertukarkan, misalkan dari suara ada laki-laki yang lemah lembut dan kalem. Ada juga 25 perempuan memiliki suara yang cukup keras atau lantang saat berbicara. Mengenai rasio hal itu bisa dibantah karena saat ini banyak sekali perempuan yang berprestasi dalam berbagai bidang bahkan mampu meraih pendidikan tinggi. Sifat-sifat tersebut bisa terjadi dengan siapapun baik laki-laki atau perempuan tergantung bagaimana kondisi sosial budaya mempengaruhinya baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Gender merupakan seperangkat analisis untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Perlunya memahami konsep sex merupakan kunci utama karena sering dikonstruksikan untuk menentukan relasinya pada ranah sosial terutama perempuan. Kodrat yang dibawa perempuan seperti haid, nifas, hamil, melahirkan, dan menyusui digeneralisasi dan berimplikasi pada posisi atau letak kedudukan perempuan. Hal-hal diluar kodrati dimungkinkan untuk bisa dirubah baik mengenai peran maupun fungsi. Kemudian pada pembagian kerja perempuan lebih sering dikondisikan untuk mengampu pekerjaan domestik. Hal-hal yang berkaitan dengan tugas rumah tangga seperti mencuci baju, piring, membersihkan rumah (menyapu, mengepel). Bentukan budaya pada masyarakat lebih sering menempatkan perempuan pada ranah domestik, hal ini turut mempengaruhi perempuan yang terlibat dalam aktivitas sosial. Konteks ibu yang ada dalam benak masyarakat masih sering dilekatkan dengan hal-hal yang bersifat domestik. Meski di salah satu sisi perempuan juga bisa terlibat dan memiliki peran dalam ruang sosial (publik). Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian, kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau 26 seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts) untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin atau maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak kita bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan caracara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi lakilaki dan perempuan (Mosse, 1996: 2-3). Gender kita membatasi dan mendahului kita. Kita lahir kedalamnya sebagaimana halnya kita lahir ke dalam keluarga kita dan gender kita bekerja pada suatu tingkat di luar tujuan-tujuan individu kita. Untuk itulah kita cenderung menjalani peran gender sebagai sesuatu yang benar, alami dan baik. Peran gender yang kita jalani dalam kehidupan sehari-hari merupakan bagian dari landasan kultural kita dan tidak mudah diubah (Mosse, 1996: 7 mengutip buku Reeves Sanday berjudul Female Power and Male Dominance). Gender tidak akan menjadi masalah selama perempuan dan laki-laki diperlakukan secara adil. Tidak masalah bagi perempuan dan laki-laki ketika membuat klasifikasi “feminin” dan “maskulin” selama tidak digunakan untuk memberikan perlakuan yang diskriminatif dan merugikan salah satu jenis kelamin. Namun apabila pembedaan-pembedaan tersebut kemudian digunakan digunakan sebagai dasar untuk memperlakukan kedua jenis kelamin secara berbeda dan diskriminatif negatif, maka gender menjadi masalah (Nurhaeni, 2010: 25-26). 27 Gender akan menjadi masalah apabila masyarakat punya pandangan bahwa pendidikan perempuan sebaiknya lebih rendah dari laki-laki karena ia “hanya” bertanggung jawab di rumah. Gender juga menjadi masalah apabila dalam masyarakat ada pandangan bahwa gaji perempuan dan jaminan sosial yang diterimanya harus lebih rendah dari laki-laki karena perempuan “hanya” pencari nafkah tambahan. Gender menjadi masalah apabila jabatan publik perempuan seharusnya lebih rendah dari laki-laki karena perempuan bersifat feminin, tidak mampu memimpin, kurang mandiri, dsb. Dengan kata lain, ketika masyarakat memperlakukan perempuan dan laki-laki secara diskriminatif negatif bukan karena kompetensinya, tetapi semata-mata karena jenis kelaminnya, maka bisa dikatakan telah terjadi ketidakadilan gender (Nurhaeni,2010: 26). Mansour Fakih memaparkan perangkat yang digunakan untuk menganalisis bentuk ketidakadilan gender, yaitu marginalisasi (peminggiran perempuan), subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban kerja majemuk (ganda). Kemudian penulis meringkas hal tersebut dalam tiga bagian berkaitan dengan gender, yaitu: 1. Kedudukan Marginalisasi serta subordinasi menjadi faktor utama sebab perempuan teralienasi, adanya efek dari pemahaman superioritas maka keberadaan perempuan menjadi terpinggirkan. Karena laki-laki selalu diutamakan dan hal ini sering diasumsikan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Sehingga ketika perempuan ingin menunjukkan atau mengembangkan potensi pada dirinya terhambat. 28 2. Peran (fungsi) Berbicara mengenai peran, salah satu yang sering dituju yaitu ruang publik dan domestik. Kultur (budaya) mengkonstruksikan domestik sebagai kodrat yang dilekatkan dan harus dilakukan oleh perempuan. Ketika anak perempuan lahir maka akan menanggung dan menjalankan tugas ini. Menilik kembali pada pembahasan sebelumnya bahwa kodrat sesuatu yang bersifat biologi dan tidak bisa berubah maupun dipertukarkan, sedangkan hal ini dipengaruhi faktor yang berada di luar diri manusia. Hal yang berada di luar diri manusia tidaklah bersifat kodrati. Jika dikaitkan dengan masalah ini maka tidak ada salahnya kalau laki-laki turut andil untuk membantu meringankan tugas rumah baik posisinya sebagai anak laki-laki, suami, maupun ayah. Sering kali masyarakat menilai tidak lazim jika laki-laki membantu mengerjakan pekerjaan domestik karena itu milik perempuan. Label inilah yang sudah terkonstruksi dalam mindset masyarakat sehingga ketika hal tersebut dilakukan menganggap seolah dunia terbalik. Padahal tidak karena sifatnya fleksibel. Begitu juga mengenai profesi, tidak ada yang mutlak menjadi milik laki-laki. Perempuan juga berhak mendapat akses yang sama untuk meraih pendidikan tinggi, mengembangkan potensi baik pada bidang sosial 29 politik, dilibatkan dalam pengambilan keputusan, maupun aktivitas sosial lainnya. 3. Citra Berbicara masalah citra maka hal ini berkaitan dengan cara pandang, gambaran yang dimiliki oleh banyak orang mengenai pribadi seseorang atau kelompok lainnya. Dalam analisis gender hal ini disebut stereotype, yaitu pelabelan negatif atau penandaan terhadap suatu jenis kelamin tertentu yang mengakibatkan diskriminasi. Misalkan ketika menanggapi kasus pemerkosaan. Pertama kali yang diduga adalah pihak perempuan yang berdandan atau berpakaian minim (misalnya) yang memancing syahwat laki-laki. Tanpa adanya analisa lebih jauh selalu saja perempuan menjadi korban sekaligus pemicu terjadinya pemerkosaan. Kemudian label pemalas yang juga sering diberikan kepada lakilaki. Baik dalam hal kebersihan maupun kegiatan pembelajaran, hal tersebut tidaklah demikian. Karena masing-masing dari mereka juga mampu merawat diri dan memenuhi tanggung jawab. Satu kesimpulan bahwa yang membedakan laki-laki dan perempuan selain bentuk tubuh yaitu reproduksi. Serta komponen kimia dalam organ tubuhnya beserta fungsinya. Hal ini mutlak, tidak bisa dipertukarkan atau dirubah, kalupun teknologi mampu melakukan hanya terbatas batas perubahan jenis kelaminnya tapi tidak pada fungsi reproduksi. Kemudian masalah gender merupakan sesuatu yang 30 berasal dari luar diri manusia, bentukan sosial budayanya dan bisa dipertukarkan. Baik laki-laki maupun perempuan bisa saling bertukar dan bekerja sama karena sifatnya yang fleksibel dan fungsional. C. Tujuan Pendidikan Islam Berkeadilan Gender Mengacu pada beberapa definisi diatas adapun tujuan Pendidikan Islam yaitu membentuk pribadi muslim dengan jalan membimbing, mengarahkan, mengembangkan potensi atau kemampuan dasar (fitrah) sesuai dengan ajaran Islam. Laki-laki dan perempuan sebagai makhluk ciptaan Allah diciptakan dari bahan yang sama melalui proses perpaduan dari benih dua jenis kelamin. Mereka dibebani tanggung jawab sebagai hamba, mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensi, mengaktualisasi diri, mendapat pahala jika berbuat kebaikan, dan berdosa ketika melanggar ketentuan Tuhan. Pada nilainya islam membawa misi keadilan, membuka peluang yang sama kepada hambanya dalam rangka pengembangan potensi dan hak aktualisasi diri tanpa adanya diskriminasi atau menggunggulkan satu jenis kelamin. Karena Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menghargai hak sesama. Perempuan sebagai makhluk Tuhan berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan kesempatan yang sama dalam rangka pengembangan diri dengan memperhatikan potensi individu. Pandangan patrilineal yang menyatakan bahwa perempuan rendah akalnya harus dibongkar. Tidak ada perbedaan karena keduanya memiliki akal dan mampu menjadi pribadi yang berkembang jika difungsikan secara optimal. 31 Bumi ini diciptakan untuk laki-laki dan perempuan, selain beribadah mereka juga mengemban tugas sebagai khalifatullah fil ardh. Adapun tujuan Pendidikan Islam Berkeadilan Gender yaitu menumbuhkembangkan potensi jasmani dan rohani berdasarkan kemampuan dasar (fitrah) tanpa adanya diskriminasi atau subordinasi salah satu jenis kelamin. Perbedaan biologis bukan berarti menghambat kiprah perempuan atau membatasi ruang gerak atas nama kodrat. Karena Islam pun juga memberi celah dengan aturan yang lebih longgar untuk memberi ruang maupun akses. D. Gender dalam Al-Qur’an Hakikat Pendidikan islam dalam konteks gender pada prinsipnya sebagai usaha untuk memanusiakan manusia (secara keseluruhan) tanpa memandang suku, ras, maupun jenis kelamin. Orientasi ini dilihat dari dasar ayat al-Qur‟an sebagai berikut: “Barang siapa yang mengerjakan amal-amak saleh, baik ia laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (Q.S. an-Nisa‟: 124) “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma‟ruf, mencegah dari yang munkar, 32 mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta‟at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) syurga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka didalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga „Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar, itu adalah keberuntungan yang besar.” (Q.S. at-Taubah: 71-72) “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S an-Nahl: 97) “Sesungguhnya laki-laki muslim dan perempuan muslimah,laki-laki mukmin dan perempuan mukminah, laki-laki yang taatdanperempuan yang taat, laki-laki yang benardan demikian jugaperempuan yang benar, laki-laki penyabar dan perempuan penyabar,laki-laki yang khusyu‟ dan perempuan yang khusyu‟, laki-laki yang gemar bersedekah dan perempuan yang gemar bersedekah, laki-laki yang sering kali berpuasa dan perempuan yang sering kali berpuasa, laki-laki yang selalu memelihara kemaluannya dan perempuan yang selalu juga memelihara kehormatannya, laki-laki yang banyak berdzikir menyebut nama Allah dan perempuan yang banyak berdzikir menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk tiap-tiap orang dari mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. al-Ahzab: 35) 33 E. Nilai-Nilai Keadilan Gender Keadilan gender adalah keadilan dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki sesuai kebutuhan mereka. Hal ini mencakup perlakuan yang setara atau perlakuan yang berbeda tetapi diperhitungkan ekuivalen dalam hak, kewajiban, kepentingan, dan kesempatannya (UNESCO, 2002: 20-21). TIM PSGK STAIN Salatiga dalam buku berjudul Menelisik Gender dalam Konstruksi Sosial mendefiniskan keadilan gender adalah antara laki-laki dan perempuan memiliki dan menikmati status yang sama, sama-sama memiliki kesempatan yang sama untuk merealisasikan hak-haknya dan potensi dirinya dalam memberikan kontribusi pada perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta sama-sama dapat menikmati hasil-hasil pembangunan tanpa harus membedakan jenis kelamin. Adapun beberapa nilai dalam Islam yang membangun keadilan gender, yaitu: 1. Prinsip Keadilan “Sesungguhnya Allahmemerintahkanberlaku adildanberbuat ihsan, pemberiankepada kaum kerabat, dan Dia, melarangperbuatan kejikemunkaran, danpenganiayaan, Dia memberi pengajarankepada kamukamu dapat selalu ingat.” (Q.S. an-Nahl (16): 90) Kata al-adl terambil dari kata „adala yang terdiri dari huruf-huruf „ain, dal, dan lam. Rangkaian huruf ini mengandung dua makna yang bertolak belakang, yakni lurus dan sama serta bengkok dan berbeda. Seseorang yang adil 34 adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih (Shihab, 2002: 698). Kemudian Quraish Shihab juga mencantumkan pendapat beberapa pakar dalam mendefinisikan adil dengan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantar pada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Ada juga yang menyatakan bahwa adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya melalui jalan yang terdekat. Ini bukan saja menuntut seseorang memberi hak kepada pihak lain, tetapi juga hak tersebut harus diserahkan tanpa menunda-nunda. “Penundaan utang dari seseorang yang mampu membayar utangnya adalah penganiayaan.” Demikian sabda Nabi. Saw. Ada lagi yang berkata adil adalah moderasi: ”tidak mengurangi tidak juga melebihkan,” dan masih banyak rumusan yang lain. 2. Musyawarah Salah satu ayat yang populer dan berkaitan dengan ini yaitu: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S. Asy-Syuura (42): 38) 35 Asas ini memiliki peran penting karena memberi ruang bagi setiap orang untuk menyalurkan gagasan, aspirasi, kritik dalam rangka pengambilan keputusan maupun kebijakan. Disinilah akan tercipta ruang demokratis dan menjadi lahan untuk menunjukkan kemampuan diri baik bagi laki-laki maupun perempuan karena keduanya sama-sama dilibatkan. Baik pada ranah pribadi seperti keluarga maupun hal yang bersifat publik. 3. Kemanusiaan Ayat ini menjadi prinsip dasar hubungan antar manusia. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah islah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat: 13) Karena itu, ayat di atas tidak lagi menggunakan panggilan yang ditujukan kepada orang-orang beriman, tetapi kepada jenis manusia. Manusia lahir melalui proses percampuran benih laki-laki dan perempuan. Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar untuk menegaskan bahwa sesama manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada 36 perbedaan antara satu suku dan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan. 4. Keseimbangan Disinilah maka akan terwujud sebuah relasi. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (AdzDzaariyat (51): 49) Segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan, ada lakilaki perempuan, siang malam, panas dingin, gelap terang, bahkan hal yang berkaitan dengan gender seperti feminin maskulin, privat publik, dll. Maka disinilah tersirat sebuah prinsip keseimbangan bahwa segala yang ada dibumi memiliki antomin (lawan kata), akan tetapi keduanya memiliki fungsi, peran, dan manfaat. Sifat feminin memiliki kelebihan begitu juga sifat maskulin, ruang publik bukanlah mutlak untuk laki-laki karena perempuan pun mempunyai ruang untuk berkiprah maupun berkontribusi pada aktivitas sosial. Laki-laki dan perempuan mempunyai tanggung jawab, kewajiban, dan hak baik sebagai hamba maupun dalam proses muamalah. Selain sebagai makhluk individu, manusia sebagai makhluk sosial perlu berinteraksi dengan manusia lain. Menjalin hubungan silaturahmi, saling membantu, tolong-menolong, meringankan beban sesama sehingga terwujudlah sebuah harmonisasi. 37 Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, dan disinilah fungsi untuk melengkapi satu sama lain. Tidak ada yang merasa unggul atau dalam posisi rendah, ditinggikan atau direndahkan. Pada sebuah riwayat dikatakan “Kaum wanita adalah saudara kandung kaum laki-laki.” (HR Abu Daud dan Al-Tirmidzi) Sebagai “saudara” laki-laki dan perempuan menerapkan asas kebersamaan, kasih sayang, penghormatan atas hak, pembelaan atas orang-orang yang mengalami kezaliman, serta rasa senasib dan sepenanggungan. Orang yang bersaudara akan bergerak bersama dengan semangat dan jiwa demi kemaslahatan bersama. Makna mendalam dari sabda Nabi di atas merupakan semangat yang harus mendasari setiap gerak langkah masyarakat yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Ini berarti bahwa ibarat saudara, laki-laki dan perempuan harus bekerja sama dalam seluruh aspek kehidupan agar cita-cita masyarakat bisa tercapai dan dirasakan manfaatnya oleh semua. Laki-laki tidak boleh meninggalkan atau memandang sebelah mata kepada saudaranya yang perempuan. Demikian juga perempuan tidak boleh apatis dan asyik dengan dirinya sendiri sehingga tidak tahu apa yang dilakukan oleh saudaranya yang laki-laki. Dalam semangat persaudaraan ini, laki-laki dan perempuan didorong untuk bersama-sama dan bekerja sama menciptakan tatanan masyarakat 38 yang adil dan makmur dalam ridha Allah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur (Q.S. Saba‟: 15) (Mulia, 2005: 35). 39 BAB III RIFFAT HASSAN DALAM TELAAH KEADILAN GENDER A. Biografi Riffat Hassan Kajian mengenai setting sosial-historis seorang tokoh merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Sebab ide dan gagasan pemikiran tidak pernah lepas dari konteks sosio historisitas pencetus ide. Sebuah gagasan pemikiran selalu based on historical problems. Riffat berasal dari keluarga yang cukup terpandang, yakni keluarga sayyid (sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad dalam tradisi Arab) (Mustaqim (tt): 160-161). Salah satu tokoh feminis muslim lahir pada tanggal 23 Juli 1943 di Lahore, Pakistan. Selain faktor konstruksi budaya masyarakatnya, kehidupan dalam keluarga juga memberi pengaruh yang cukup signifikan. Hampir dalam setiap masalah ayah dan ibunya selalu menemui perbedaan, ada pertarungan idiologi patriarki dan idiologi feminis. Ayahnya (Begum Shahiba) orang yang sangat konservatif di daerahnya, pandangannya tradisional dan patriarkhal. Menurutnya usia pernikahan terbaik bagi perempuan 16 tahun dengan calon yang dipilihkan oleh orang tua khususnya ayah. Sedangkan ibunya yang bernama Dilara, cenderung berpandangan feminis dan memiliki perhatian cukup besar terhadap nasib perempuan. Semenjak kecil Riffat dididik supaya perempuan tidak bersikap inferior di hadapan laki-laki. Ibunya berpandangan mendidik anak perempuan lebih 40 penting daripada laki-laki karena lahir dalam masyarakat muslim dengan rintangan yang sangat hebat. Mulai dari sinilah benih-benih feminis Riffat Hassan diperoleh dari ibunya. Mengkategorikan ibunya sebagai feminis radikal. Tidak berkompromi dengan kebudayaan Islam tradisional yang meneguhkan superioritas laki-laki dan ketundukan perempuan. Melihat kuatnya hegemoni patriarki dalam kultur masyarakatnya menumbuhkan kesadaran pada dirinya untuk mengatasi situasi yang dihadapi perempuan muslim. Melalui bukunya berjudul Setara di hadapan Allah: Relasi Perempuan dan Laki-Laki dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi yang ditulis bersama Fatima Mernissi dia menuturkan, ”Semakin banyak saya melihat keadilan dan kasih sayang Tuhan yang tercermin dalam ajaran al-Qur‟an tentang perempuan, semakin membuat saya sedih dan marah melihat ketidakadilan dan perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan perempuan Muslim yang lazim terjadi dalam kehidupan nyata.” Maka tumbuhlah kesadaran dalam dirinya untuk mengatasi situasi perempuan muslim. Riffat sadar bahwa pada nilainya ajaran Islam membawa misi keadilan, mengajarkan kepada pemeluknya untuk saling menghormati, menyayangi, memanusiakan tanpa adanya diskriminasi. Namun dalam praktiknya hal itu masih ada yang belum tercermin dalam diri umat Islam. Ia yakin bahwa hal ini bukanlah bersumber dari ajaran Islam melainkan faktor penafsiran teks serta kultur masyarakat sosial. Sehingga hal itu memberi dampak terhadap citra Islam yang syarat dengan ajaran universal. 41 Riffat juga ingin perempuan dinegaranya terbangun dari “tidur dogmatis”, sadar akan realita, mengkritisi peraturan yang menyangkut norma maupun nilai yang berkaitan dengan perempuan. Mengenai undang-undang dinegaranya (seperti undang-undang mengenai perkosaan terhadap perempuan atau kesaksian perempuan dalam masalah-masalah keuangan dan masalah-masalah lainnya) dan undang-undang yang mengancam (seperti usulan-usulan yang berkaitan dengan “uang-darah” bagi pembunuh perempuan)telah digunakan untuk mereduksi perempuan secara sistematis dan matematis sehingga bertendensi dan dikhawatirkan mengurangi jumlah mereka menjadi lebih sedikit daripada laki-laki. Masyarakat Pakistan pada saat itu memberlakukan undang-undang yang meletakkan posisi perempuan -dalam hal mendasar- lebih rendah dari laki-laki. Karena umat Islam pada umumnya menganggap perempuan memang tidak setara dengan laki-laki. Kegelisahan ini diungkapkannya lebih lanjut, ”Siapapun yang menyatakan bahwa di dunia sekarang ini persamaan laki-laki dan perempuan bisa diterima oleh banyak agama dan juga oleh masyarakat sekuler, dan ditemukan pula bukti-bukti yang menegaskan persamaan laki-laki perempuan dalam al-Qur‟an dan tradisi Islam. Mungkin akan segera ditentang dengan kekerasan, dengan sejumlah dalil yang digambarkan sebagai “bukti-bukti tak terbantahkan” yang diambil dari al-Qur‟an, hadits dan Sunnah untuk “membuktikan” bahwa laki-laki “di atas” perempuan” (Hassan, 1995: 42). Melalui perjalanan itulahdirinya terdorong untuk membantu perempuan Muslim yang berada dibawah kekuasaan patriarkhi. Salah satu usaha yang dilakukannya yaitu menafsirkan al-Quran secara sistematis 42 dari persfektif non-patriarki. Riffat juga mendapat dorongan dari para anggota komisi status perempuan Pakistan dengan mengupas satu persatu untuk dibuktikan kepada masyarakat Pakistan bahwa perempuan tidak selamanya menjadi sekunder, subordinatif dan inferiorterhadap laki-laki. B. Latar Belakang Pendidikan Riffat Hassan Riffat memiliki hobi membaca buku dan menulis. Pendidikannya di sekolah menengah Bahasa Inggris yang menjadi sekolah unggulan didaerahnya mengantarkannya memiliki bekal berbahasa asing yang baik. Kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi Inggris di St. Mary‟s College Universitas Durham, meraih predikat cumlaude (kehormatan) di bidang sastra Inggris dan filsafat. Diusia 24 tahun berhasil mengantongi gelar doktor di bidang filsafat (Ph.D), dalam disertasinya ia menulis tentang filsafat Muhammad Iqbal (tokoh pemikir Islam Pakistan). Tahun 1974 Riffat sedang menjadi penasihat guru besar Perhimpunan Mahasiswa Islam (Muslim Studen‟t Association, MSA) organisasi Mahasiswa Islam cabang Universitas Oklahoma di Stillwater dan dari sini ia memulai karier sebagai teolog “feminis”. Suatu hari ia mendapat undangan untuk mengisi seminar tahunan yang rutin dilaksanakan dimana pada salah satu pidato disampaikan oleh penasihat guru besar. Kebetulan pada masa itu ia satu-satunya guru besar muslim di kampus tersebut. Kronologi peristiwa itu ia paparkan ”Saya diminta untuk berbicara tentang perempuan dalam Islam pada seminar itu –di mana, sambil lalu, perempuan Muslim tidak akan berpartisipasi- karena menurut pendapat kebanyakan anggota cabang, 43 sama sekali tidak tepat untuk mengharapkan seorang Muslimah, sekalipun seseorang yang mengajar mereka studi-studi Islam, berkompeten berbicara tentang objek lain yang berkaitan dengan Islam”(Hassan, 1995: 35). Hal itu membuatnya tersinggung, terlebih lagi saat itu posisi perempuan kurang mendapat tempat dan masih dipandang sebelah mata. Ditambah lagi bahwa dirinya belum begitu tertarik dengan persoalan yang menyangkut perempuan dalam Islam. Namun, akhirnya undangan tersebut diterima dengan dua alasan. Pertama, berpidato di depan majelis yang semuanya laki-laki dan sebagian besar kelompok muslim Arab yang memiliki kebanggan patriarki. Hal ini dijadikannya sebagai peluang. Kedua, ia bosan mendengar laki-laki Muslim mengajar tentang posisi, status, atau peranan perempuan dalam Islam sementara sama sekali tidak dipahami bahwa perempuan pun bisa berbicara tentang posisi, status atau peranan laki-laki dalam Islam. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk membuktikan bahwa seorang perempuan mampu menyampaikan pandangannya (termasuk berbicara teologi). Sebelum memulai, Riffat sempat melakukan riset kemudian mempelajari teks ayat-ayat al-Qur‟an secara cermat dan melakukan reinterpretasi khususnya yang berhubungan dengan persoalan perempuan. Mulai tahun 1976, Riffat Hassan sudah tinggal di Amerika Serikat menjadi seorang profesor dan sekaligus menjabat sebagai Ketua Jurusan Program Religious Study di Universitas Louesville, Kentucky. Ia juga menjadi dosen tamu di Divinity School Harvard University, dan disinilah dia menulis bukunya yang berjudul Equal Before Allah (Setara di Hadapan 44 Allah). Pada tahun 1979, ia mengikuti suatu „trialog‟ Yahudi, Kristen, dan Islam (disponsori oleh Kennedi Institute of Ethies di Washington D.C.) untuk menjelajahi isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dalam tiga tradisi iman Ibrahimi. Saat itu ia menulis draf kertas kerja dengan judul Woman in The Qur‟an dan menyampaikan paparan rinci tentang lembaran-lembaran al-Qur‟an yang berhubungan dengan perempuan dalam beragam konteks (misalnya, hubungan perempuan dengan Allah, perempuan dalam konteks penciptaan manusia, dan cerita tentang “kejatuhan”, perempuan sebagai saudara, sebagai istri, sebagai ibu, perempuan dalam hubungannya dengan perkawinan, perceraian, warisan, pemisahan, kerudung, kesaksian dalam hal perjanjian, hak-hak ekonomi, kematian, dan lain-lain). Secara khusus, ia memusatkan perhatian pada ayat-ayat yang dianggap definitif dalam konteks antara perempuan dan laki-laki atas perempuan. Setelah studinya selesai, ia datang ke Pakistan dan menghabiskan waktu selama dua tahun untuk meneliti sekaligus menyaksikan Pemberlakuan undang-undang anti perempuan atas nama Islam dan banyaknya kegiatan dan kepustakaan anti-perempuan yang melanda negeri tersebut sesudah “Islamisasi” masyarakat Pakistan dan sistem undang-undangnya. Karena ia satu-satunya perempuan Muslim dinegaranya yang berusaha menafsirkan al-Qur‟an secara sistematis dari perspektif nonpatriarkhal, para pimpinan mendekati berkali-kali untuk mengklarifikasi 45 hasil temuannya dan memintanya membuktikan sebagai analisis apakah temuannya sesuai dengan keberadaan perempuan dalam masyarakat Pakistan. Ketika perempuan dinegaranya terdorong memobilisasikan dan memimpin protes di jalan-jalan, iaturut bergabung membantu menyangkal argumen-argumen yang membuat kemanusiaan mereka menjadi kurang sempurna berdasarkan kasus perkasus atau masalah permasalah. Kesadarannya muncul untuk membela saudaranya yang tersingkir dari hak-hak kemanusiaan atas nama Islam. C. Dasar Pemikiran Riffat Hassan Berdasarkan pengalaman dan pengamatan terhadap fenomena disekitarnya, ia berpendapat bahwa yang pertama sekali harus dilakukan adalah memeriksa landasan teologis di mana semua argumen anti perempuan tersebut berakar, dan melihat apakah suatu kasus benar-benar bisa dibuat untuk menegaskan bahwa dari sudut pandang Islam normatif, laki-laki dan perempuan pada dasarnya setara, kendati ada perbedaan biologis dan perbedaan lainnya. Kondisi ini juga rupanya yang mendorong Riffat untuk memecahkan masalah diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat Islam, melalui reinterpretasi atas teks al-Qur‟an. Sebab menurutnya, adanya diskriminasi terhadap perempuan berakar dari asumsi-asumsi teologis yang keliru dan oleh karena itu harus dibongkar melalui reinterpretasi terhadap al-Qur‟an yang merupakan sumber nilai tertinggi bagi umat Islam (Mustaqim, tt: 172). 46 Pencariannya ke dalam akar teologis dan problem ketidakadilan laki-laki dan perempuan dalam tradisi Islam menuntunnya menindaklanjuti kajian studi dalam dua wilayah signifikan. Pertama, melalui kepustakaan hadis terutama kitab shahih Bukhari dan Muslim yang dianggap otoritatif setelah al-Qur‟an. Berkaitan dengan diskursus perempuan dalam teologi Islam maka tergeraklah untuk memeriksa dengan teliti hadis-hadis yang berkaitan dengan perempuan. Kemudian, Riffat mengkaji karya penting yang ditulis oleh para teolog feminis Yahudi dan Kristen yang secara kebetulan juga melacak sumber teologis mengenai gagasan dan sikap anti feminis dalam tradisi mereka masingmasing. Kesungguhannya untuk meneliti, mengkaji ulang, dan melakukan interpretasi yang terdapat dalam prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai upaya mewujudkan suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa adanya diskriminasi (baik laki-laki maupun perempuan). Meluruskan pandangan yang selama ini bertendensi mempengaruhi citra perempuan dengan membongkar bangunan teologi yang mengakar pada narasi besar Islam. Membangun kerangka dasar paradigmatik dalam konteks Islam mengenai isu gender, lebih peduli terhadap ketidakadilan, struktur dan sistem relasi laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hasil penelusurannya, ia berkesimpulan bahwa tidak hanya dalam tradisi Islam bahkan dalam tradisi Yahudi dan Kristen terdapat tiga asumsi teologis yang 47 menunjukkan superioritas laki-laki atas perempuan ditegakkan. Ketiga asumsi ini yaitu: (1) Ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, bukan perempuan. karena mereka diyakini telah diciptakan dati tulang rusuk lakilaki, secara ontologis berfifat derivatif dan sekunder. (2) Perempuan (bukan laki-laki) adalah penyebab utama dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai “kejatuhan” atau pengusiran manusia dari Surga Adn. Maka semua “anak perempuan Hawa” harus dipandang dengan rasa benci, curiga, dan jijik. (3) Perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki tapi juga untuk laki-laki yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat instrumental dan tidak memiliki makna yang mendasar. Melihat tiga asumsi diatas muncullah tiga pertanyaan berkaitan dengan eksistensi perempuan, yaitu bagaimana perempuan diciptakan, apakah mereka bertanggungjawab atas kejatuhan manusia, dan mengapa perempuan diciptakan. Disinilah Riffat bersikeras memusatkannya sebagai perhatian utama mengenai isu penciptaan manusia karena baginya baik secara filosofis maupun teologis hal ini lebih penting dan mendasar. Menurutnya jika laki-laki dan perempuan diciptakan setara oleh Allah, penentu nilai tertinggi, maka untuk selanjutnya secara hakiki mereka akan setara pula. Disisi lain jika diciptakan berbeda oleh Allah maka tidak akan setara pada waktu selanjutnya. Berdasarkan hasil penelitiannya, mitos tersebut berakar dalam Genesis 2: 18-24 tentang penciptaan, namun tidak ada sama sekali dasarnya dalam al-Qur‟an. Cerita Injil mengenai penciptaan pasangan 48 manusia pertama dari dua sumber yang berbeda, yaitu Rahib (The Yahwist) dan Pendeta (The Priestly), lahir dua tradisi yang menjadi subyek dari banyak kontroversi ilmiah di kalangan Yahudi dan Kristen. Ada empat rujukan bagi penciptaan perempuan dalam Genesis: (1) Genesis 1: 26-27 abad ke-5 SM, tradisi Kependetaan, (2) Genesis 2: 7 abad ke-10 SM tradisi Kerahiban, (3) Genesis 2: 18-24 abad ke-10 SM tradisi Kerahiban, (4) Genesis 5: 1-2 abad ke-5 SM tradisi Kependetaan. Kajian terhadap teks-teks di atas menunjukkan istilah Ibrani “Adam” (secara literal berarti tanah, berasal dari kata adamah: “tanah”) sebagian besar berfungsi sebagai istilah generik untuk manusia. Dari keempat teks yang mengacu pada penciptaan ini, tidak diragukan lagi yang paling berpengaruh adalah Genesis 2: 18-24 yang menyatakan bahwa perempuan tercipta dari laki-laki. Melalui teks ini disimpulkan tiga isu mendasar tersebut (Hassan, 1995: 45). Secara kronologis, asal-usul kejadian manusia tidak dijelaskan oleh al-Qur‟an. Cerita penciptaan manusia banyak diketahui melalui hadis, kisah isra‟iliyat, dan riwayat yang bersumber dari kitab Taurat, Injil, dan Talmud. Substansi asal-usul kejadian Adam Hawa juga tidak dibedakan secara tegas. Memang, ada isyarat bahwa Adam diciptakan dari tanah, dari Adam ini diciptakan Hawa, namun isyarat ini diperoleh dari hadis. Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi istri Adam, sama sekali tidak pernah disinggung dalam al-Qur‟an. Bahkan 49 klaim bahwa Adam sebagai manusia pertama dan berjenis kelamin lakilaki masih dipertanyakan oleh beberapa kalangan (Hassan, 2009: 174). Kesungguhan Riffat meneliti dan mengkaji ulang prinsip-prinsip ajaran al-Qur‟an demi mencapai tujuan yang diperintahkan agama adalah bentuk personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Sedangkan bahasa yang dipakai Riffat juga mencerminkan seorang aktor dari dalam. Dia merasakan sebagai pelaku korban dari diskriminasi sistem patriarkhi. Dari sini, maka dapat dilihat bahwa fundamental struktur dari teologi feminisme yang hendak dibangun Riffat adalah bagaimana agar terwujud suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di bawah sinar petunjuk alQur‟an (Mustaqim, tt: 177). Usaha dalam rangka membangun paradigma teologi feminis yang erat kaitannya dengan isu-isu keperempuanan, Riffat menggunakan dua pendekatan, yaitu: Pertama, pendekatan normatif-idealis, artinya bahwa teologi feminis yang hendak dirumuskan itu mengacu kepada norma-norma yang bersumber dari ajaran Islam yang ideal. Dengan kata lain pendekatan normatif-idealis adalah suatu pendekatan di mana ketika seseorang peneliti berkehendak mengkaji persoalan, maka ia perujuk kepada yang bersifat ideal normatif. Menurut Riffat, sumber utama dan pertama yang dijadikan rujukan itu adalah al-Qur‟an yang diyakininya sebagai sumber nilai tertinggi. Model pendekatan ini bersifat deduktif, melihat sisi ideal 50 normatif dalam al-Qur‟an mengenai perempuan kemudian melihat kenyataan empiris dalam masyarakat (Mustaqim, tt: 179-180). Kedua, pendekatan historis-empiris. Setelah melihat secara cermat dan kritis bagaimana sebenarnya pandangan ideal normatif al-Qur‟an, Riffat mencoba melihat bagaimana kenyataan secara empiris historis kondisi perempuan dalam masyarakat Islam. Sehingga di satu sisi Riffat mendapatkan gambaran teoritis bersifat normatif-idealis mengenai pandangan al-Qur‟an terhadap perempuan. Melihat nasib perempuan yang masih memprihatinkan berarti ada something wrong dalam sejarah keperempuanan (Mustaqim, tt: 180-180). Dua pendekatan tersebut dilakukan secara dialektis-integratif dan fungsional. Artinya, keduanya tidak dipisah-pisahkan. Berawal dengan melihat sisi ideal normatif itulah, Riffat kemudian melihat sisi yang empiris-realistis. Pada level normatif, Riffat merujuk kepada al-Qur‟an sebagai sumber nilai tertinggi dalam Islam. Sedangkan pada level historis, melihat bagimana praktik perlakuan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat Islam (Mustaqim, tt: 182). Jika dalam al-Qur‟an mengandung spirit pembebasan, keadilan, kesejajaran, penghormatan atas hak asasi kemanusiaan maka seharusnya teraktualisasikan dalam kehidupan nyata. Selanjutnya, Riffat Hassan mencoba mengembangkan tiga prinsip metodologis sebagai operasionalisasi metode yang ditawarkannya, 51 terutama ketika ia mencoba melakukan penafsiran tandingan (counter exegeses). Ketiga prinsip metodologis tersebut yaitu: 1. Memeriksa ketetapan makna kata (language accuracy) dari berbagai konsep yang ada dalam al-Qur‟an dengan menggunakan analisis semantik. Mencari makna kata yang sebenarnya dari konsep tertentu berdasarkan kata aslinya, kemudian meletakkan pengertian tersebut sesuai dengan konteks masyarakat di mana konsep tersebut digunakan. Hal ini dimaksudkan untuk menguji konsep-konsep yang telah terderivasi. 2. Melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran yang telah ada. Ini berarti teori kebenaran yang dipakai adalah teori koherensi. Memahami al-Qur‟an sesungguhnya harus secara integral, sebab ia merupakan satu kesatuan makna yang terenyam dan terajut secara dialektis. Sehingga kesan adanya kontradiktif dapat dihindari atau minimal dapat dieliminir, dan hal itu dijadikan untuk menilai dan menguji sumber dan sistem nilai lainnya. 3. Menggunakan prinsip etis, yang didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan pencerminan dari justice of God atau keadilan Tuhan. Hasil penafsiran-penafsiran yang ada harus diuji dengan prinsip etis yang menekankan aspek keadilan. Suatu penafsiran akan dinilai benar secara metodologis, jika 52 selaras dengan prinsip-prinsip keadilan. Demikian sebaliknya, suatu hasil penafsiran akan dinilai salah jika mengabaikan prinsip-prinsip keadilan. Karena dapat menyebabkan penindasan dan ketidakadilan bagi perempuan khususnya dan manusia pada umumnya. Secara terbuka Riffat melabeli dirinya sebagai feminis, terkait dengan pendekatan feminis Saparinah Sadly mengungkapkan Feminist Perspective yang didasarkan pada suatu kerangka teori feminis, mengusulkan bahwa dalam suatu kegiatan penelitian perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang mempunyai potensi (kemampuan) untuk berkembang. Kaum perempuan juga mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kondisi lingkungan hidupnya dan sangat bisa ikut memberi arah kepada pengembangan masyarakat, ekonomi, politik, dan pribadi. Kaum perempuan memiliki berbagai macam kualitas manusia yang bisa meningkatkan mutu hidupnya, seperti yang dimiliki kaum laki-laki. Metodologi feminis diharapkan dapat mengatasi persoalan androsentrisme dan representasi perempuan, mengakui perbedaan cara berpikir dan berpengetahuan perempuan dan laki-laki, dan mempertimbangkan pengalaman hidup perempuan beserta keseluruhan sujektivitasnya mengartikan dunia dalam membangun pengetahuan. Kita telah menyaksikan bagaimana selama ini perempuan tidak terepresentasikan, tidak terdengar suaranya, dan terkooptasi oleh 53 interpretasi universal yang berstandar laki-laki dalam pembangunan ilmu pengetahuan. Pengalaman itu menuntun kita untuk menggagas metodologi yang lebih adil dan mampu menjawab keberbedaan yang tak terelakkan antara laki-laki dan perempuan (Nurhayati, 2006: 12). Adapun karya-karya Riffat Hassan baik dalam bentuk buku maupun artikel, antara lain: 1. The Role and Responbilities of Women in The Legal and Ritual Tradition of Islam. 2. Equal Before Allah?; Women-Man Equality in Islamic Tradition. 3. Feminis Theology and Women in The Muslim World. 4. What does it mean to be a Muslim To Day? 5. Women Living Under Muslim Laws 6. Muslim Women and Post Patriarchal Islam 7. The Issue of Women-Men Equality in Islamic Tradition. 8. Jihad fi Sabilillah; A Muslim Woman‟s Faith Journey from Struggle to Struggle 9. Women‟s and Men‟s Liberation 10. Women‟s Rights in Islam 11. Women Religion and Sexuality 54 BAB IV ANALISIS TRANSFORMATIF KEADILAN GENDER A. Menyibak Eksistensi Perempuan Seperti yang penulis singgung pada bab sebelumnya, Riffat menemukan tiga asumsi teologis mendasar yang mempengaruhi kedudukan perempuan di dunia, yaitu: 1. Ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, bukan perempuan. Karena mereka diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, secara ontologis bersifat derivatif dan sekunder. 2. Perempuan (bukan laki-laki) adalah penyebab utama dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai “kejatuhan” atau pengusiran manusia dari Surga Adn. Maka semua “anak perempuan Hawwa” harus dipandang dengan rasa benci, curiga, dan jijik. 3. Perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki tapi juga untuk laki-laki yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat instrumental dan tidak memiliki makna yang mendasar. Riffat Hassan bersikeras memfokuskan asal kejadian (penciptaan) perempuan sebagai sorotan utama karena hal ini lebih penting dan mendasar baik secara filosofis maupun teologis. Karena berkaitan dengan eksistensi perempuan di dunia. Riffat menyangkal pendapat Maududi yang menyatakan bahwa pembahasan persoalan yang menyangkut penciptaan perempuan membuang-buang waktu. Juga isu yang dibicarakan tidak 55 memiliki nilai refleksi teologis yang serius atau tidak memiliki efek yang berarti terhadap hidup manusia khususnya perempuan. Menurutnya, jika laki-laki dan perempuan diciptakan setara oleh Allah, penentu nilai tertinggi, maka untuk selanjutnya secara hakiki mereka akan setara pula. Disisi lain jika diciptakan berbeda oleh Allah maka tidak akan setara pada waktu selanjutnya. Meninjau cara penafsiran terhadap sumber-sumber normatif Islam, orang muslim (awam) percaya sebagaimana dari kalangan Yahudi dan Kristen bahwa Adam adalah ciptaan Allah yang utama dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk. Sebab itu, ada tiga hal yang harus dilakukan terhadap teologi Islam. Pertama, membongkar mitos tentang teologi yang seolah-olah terberi (taken for granted). Hal ini diperlukan guna menyadarkan umat bahwa kemunculan teologi Islam tidak berada di ruang hampa, melainkan penuh dengan kepentingan, baik kepentingan status quo maupun pemberontakan. Dengan begitu diharapkan tidak ada fanatisme sempit yang mencurigai dialog teologi dan persoalan perempuan sebagai pendangkalan akidah. Kedua, mengeksplorasi aspek feminin Tuhan demi kesetaraan gender. Ini tidak dimaksudkan untuk membenturkan sifat feminin Tuhan dengan sifat maskulinNya. Eksplorasi lebih dimaksudkan sebagai pengungkapan bahwa sifat feminin tidak identik dengan kelemahan sebagaimana dianggap oleh pendukung patriarki. 56 Ketiga, menjadikan teologi tidak sebatas keimanan, melainkan meneruskannya pada aksi. Ukuran kesalehan dalam konteks gagasan ini tidak diukur dari kepatuhan menjalankan ritual, tetapi pada kesalehan sosial, yakni membela hak-hak perempuan dan menegakkan kesetaraan gender (Hidayatullah, 2010: 29-30). Penciptaan perempuan diterangkan dalam al-Qur‟an sama jelasnya dengan penciptaan laki-laki dan pernyataan-pernyataan al-Qur‟an tentang penciptaan manusia bermacam-macam sebagaimana adanya tanpa keraguan mengenai satu hal baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dengan cara yang sama, dari substansi yang sama, pada waktu yang sama. Ada rujukan khusus dalam Genesis mengenai penciptaan Adam dan Hawa, sebaliknya dalam al-Qur‟an tidak ditemukan rujukan yang berkaitan dengan itu termasuk pemaparan tentang Hawa. Menelusuri lebih jauh Riffat mengutarakan bahwa ayat yang disebut untuk membuktikan prioritas ontologis dan superioritas laki-laki atas perempuan yaitu Q.S. anNisa‟ (4): 1 yang merujuk pada penciptaan manusia dari satu sumber atau satu diri (nafsin wahidatin). Kata tersebut diyakini bahwa satu sumber asli yang dituju yaitu seorang laki-laki bernama Adam. Keyakinan ini mengantarkan banyak penerjemah al-Qur‟an pada pemahaman yang keliru. Artinya: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu (jamak) dari yang satu, dan daripadanya Allah 57 menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. an-Nisa‟: 1) Riffat mengkritik beberapa mufasir klasik yang menginterpretasikan kata nafsin wahidah sebagai Adam dan zauj sebagai Hawa. Menurutnya, mengenai konteks penciptaan manusia al-Quran menggunakan istilah yang benar-benar egaliter. Sebanyak tiga puluh juz dalam al-Qur‟an atau ayat-ayat yang menggambarkan tentang penciptaan manusia (yang ditunjukkan dengan istilah-istilah generik seperti an-nas, al-insan, al-bashar). Tidak ada satupun ayat yang bisa ditafsirkan sebagai menegaskan atau menyatakan bahwa laki-laki diciptakan lebih dulu daripada perempuan atau perempuan diciptakan dari laki-laki. Sebenarnya ada beberapa ayat yang bisa –dari sudut pandang murni gramatikal/linguistik- ditafsirkan dan menyatakan bahwa ciptaan pertama (nafsin wahidatin) adalah feminin bukan maskulin. Meskipun begitu, umat Islam percaya bahwa Hawa yang tidak pernah disebut secara jelas dalam al-Qur‟an diciptakan dari tulang rusuk Adam yang “bengkok”. Selain itu, hadis yang mengatakan perempuan diciptakan dari tulang rusuk diinterpretasikan untuk menafsirkan Q.S. an-Nisa‟: 1. Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, dua kumpulan hadis yang paling berpengaruh dalam Islam Sunni dan memiliki pengaruh formatif terhadap pemikiran 58 umat Islam. Adapun hadis yang berkaitan dengan penciptaan perempuan dipaparkan sebagai berikut: 1. Abu Karaits dan Musa bin Hazm menceritakan kepada kami: Husain bin Ali menyampaikan kepada kami nahwa ia meriwayatkam dari Za‟idah dari Maisarah al-Asyja‟i dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ra yang berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Perlakukanlah perempuan dengan baik, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian paling atas, maka jika kalian mencoba untuk meluruskannya, ia akan patah. Tapi jika kalian membiarkannya sebagaimana adanya, ia akan tetap bengkok. Maka perlakukanlah perempuan dengan baik. 2. Abdul „Aziz menceritakan kepada kami bahwa dia telah meriwayatkan dari Abdullah yang berkata: Malik telah menceritakan kepada kami bahwa ia meriwayatkan dari Abu Zinad dari al-A‟raj dari Abu Hurairah ra yang berkata: rasulullah saw telah bersabda: Perempuan seperti tulang rusuk, jika kamu berusaha meluruskannya, ia akan patah. Maka jika kamu ingin memperoleh manfaat darinya, lakukanlah itu sedangkan dia tetap memiliki beberapa kebengkokan. 3. Abu Bakar bin Abu Syaibah menceritakan kepada kami: Husan bin Ali menceritakan kepada kami bahwa dia meriwayatkan dari Za‟idah dari Maisarah dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ra yang berkata: Nabi saw telah bersabda: Orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, jika menyaksikan masalah apapun hendaklah berbicara tentang masalah itu dengan bahasa yang baik atau diam saja. Perlakukanlah perempuan dengan baik karena perempuand iciptakan dari tulang rusuk dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas. Jika kamu berusaha untuk meluruskannya kamu akan 59 mematahkannya dan jika kamu membiarkannya, ia akan tetap bengkok, maka berlaku baiklah terhadap perempuan. Persoalan posisi perempuan dalam tradisi Islam berkaitan erat dengan produk interpretasi terhadap teks-teks keagamaan. Di samping masalah kesenjangan waktu dan semiotika dalam interpretasi, penafsir itu sendiri juga merupakan masalah tersendiri bagi produk interpretasi. Kecenderungan teologis dan dominasi kultur sangat mempengaruhi hasil interpretasi. Dengan demikian, reinterpretasi terhadap teks-teks gender merupakan keniscayaan (Kadarusman, 2005: 8). Implikasi tulang rusuk membuat kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Kemanusiaannya tidak utuh hanya bersifat cabang dan menimbulkan efek negatif dalam relasi gender. Respon filosofis mengenai mitos tulang rusuk bila nafs wahidah adalah Adam dan Hawa berasal dari tulang rusuk Adam, berarti embrio penciptaan laki-laki adalah ruh dan embrio penciptaan perempuan adalah fisik (perangkat ruh). Tulang rusuk merupakan sebuah bagian terkecil. Nafs atau ruh diciptakan berpasangan. Kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, Allah mmeberi potensi dan kemampuan untuk memikul tanggung jawab sebagai hamba. Manusia keturunan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Stigma dari kata bengkok menimbulkan asumsi yang kurang menyenangkan. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya al-Misbah menafsirkan walaupun ayat ini menjelaskan kesatuan dan kesamaan orang per orang dari segi hakikat kemanusiaan, konteksnya untuk menjelaskan banyak dan 60 berkembangbiaknya mereka dari seorang ayah, yakni Adam dan seorang ibu yakni Hawa. Ini dipahami dari pernyatan Allah memperkembangbiakkan laki-laki yang banyak dan perempuan dan ini tentunya baru sesuai jika kata nafsin wahidah dipahami dalam arti ayah manusia seluruhnya (Adam as) dan pasangannya (Hawa) lahir laki-laki dan perempuan yang banyak. Memahami nafsin wahidah sebagai Adam as. Menjadikan kata zaujaha, yang secara harfiah bermakna pasangannya, adalah istri Adam as. yang popular bernama Hawa. Agaknya, karena ayat itu menyatakan bahwa pasangan itu diciptakan dari nafsin wahidah yang berarti Adam, para mufasir terdahulu memahami bahwa istri Adam diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Banyak penafsir menyatakan bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok dan karena itu-tulis alQurthubi dalam tafsirnya- perempuan bersifat „auwja/bengkok. Pandangan ini mereka perkuat dengan hadis Rasul saw. Yang menyatakan: “Saling berwasiatlah untuk berbuat baik kepada wanita karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok kalau engkau membiarkannya, ia tetap bengkok, dan bila engkau berupaya meluruskannya, ia akan patah” (HR. at-Tirmidzi melalui Abu Hurairah). Quraish Shihab juga mengutip pendapat Thabataba‟iyang dalam tafsirnya menulis bahwa ayat tersebut menegaskan bahwa perempuan (istri Adam as.) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung paham yang beranggapan bahwa 61 perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Memang tidak ada petunjuk dari al-Qur‟an yang mengarah ke sana atau bahkan mengarah kepada penciptaan pasangan Adam dari unsur yang lain. Ide kelahiran Hawa dari tulang rusuk Adam, menurut Sayyid Muhamad Rasyid Ridha, timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka, dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu dibuat Tuhan seorang perempuan. Tulis Rasyid Ridha: ”Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Perjanjian Lama, seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim.” (Shihab, 2009: 400). Hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk menuai perbedaan yang secara tidak langsung menimbulkan problematika. Ada kelompok yang mengartikannya secara tekstual dan menginterpretasikannya untuk menafsirkan Q.S. an-Nisa‟ ayat 1 yang diangkat sebagai salah satu bahasan penciptaan awal manusia. Sementara ada yang mengartikannya secara metaforis supaya kaum laki-laki memperlakukan perempuan dengan baik dan bijaksana mengingat ada beberapa sifatnya yang lemah lembut, sensitif, dan peka.Begitu juga pernyataan ini diikutsertakan oleh Quraish Shihab meski dilain sisi mengakui menyetujui argumen yang menyatakan nafsin wahidah sebagai Adam dan zauj sebagai Hawa. 62 Kelompok terakhir menolak hadis ini dengan argumen tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Qur‟an, salah satunya Riffat Hassan. Adapun argumennya, pertama, cerita ini berasal dari Genesis 2 dan Adam tidak disebutkan dalam hadis tersebut. Pengaruh androsentrisme para rahib yang memaknai secara teoritis “tulang rusuk” sehingga mengisyaratkan bukan manusia (utuh). Kedua, bertentangan dengan ajaran al-Qur‟an yang melukiskan semua manusia diciptakan fi akhsan-i taqwim (dengan bentuk yang sebaik-baiknya dan kemampuan yang paling tinggi). Ketiga, tidak bisa memahami relevansi dari statemen tulang rusuk paling bengkok bagian atas. Keempat, menimbulkan asumsi bahwa perempuan dilahirkan dengan membawa rintangan yang berasal dari dirinya. Apakah kebengkokan yang tidak bisa diperbaiki adalah sebuah rintangan? Terakhir, jikapun memang memiliki kebengkokan, anjuran untuk mengambil manfaatnya dari rintangan alamiah ini tidak tanpa berusaha untuk menolong maka mendorong ke arah hedonisme. Pemahaman bahwa Hawa (perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam (laki-laki) –yang diyakini berasal dari hadis nabi- tersebut kemudian menjadi doktrin teologi yang dipercayai oleh kebanyakan masyarakat Islam. Konsepsi teologis ini jelas membawa implikasiimplikasi lebih lanjut, baik psikologis, sosial, budaya, ekonomis, maupun politik yang bersifat “misoginis”. Kaum perempuan merupakan makhluk sekunder yang keberadaannya hanya sebagai pelengkap dan untuk 63 melayani kaum laki-laki, dalam segala bidang baik pada wilayah domestik maupun publik (Ilyas, 2003: 43). Berkaitan dengan hadis ini, ada sebuah pemahaman yang menarik. Apabila dicermati konteks hadis-hadis ini sebenarnya berisi anjuran, atau bahkan perintah nabi kepada orang laki-laki waktu itu supaya saling menasehati satu sama lain untuk berbuat baik kepada istri-istri mereka atau kaum perempuan secara umum. Nabi kemudian mengibaratkan perempuan seperti tulang rusuk yang tidak dapat diubah-ubah seenaknya mengikuti kemauan laki-laki. Perumpamaan yang dikemukakan Nabi tersebut mengisyaratkan laki-laki tidak boleh kasar atau melakukan kekerasan terhadap perempuan, karena dengan tanpa menggunakan kekerasan lakilaki justru akan dapat saling mengisi dan hidup berdampingan secara baik dengan perumpamaan. Sabda nabi tersebut hanya ditujukan kepada kaum laki-laki, ini sesuai dengan konteks masyarakat Arab ketika itu. Sabda nabi secara implisit menunjukkan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan ketika itu (bahkan sampai dengan sekarang) sangat kuat sehingga Nabi merasa perlu untuk memerintahkan kaum laki-laki agar memerlakukan perempuan secara baik dan bijaksana. Dengan demikian dominasi laki-laki dan budaya patriarkhi inilah sesungguhnya yang hendak dihilangkan oleh nabi dengan memerintahkan kaum laki-laki supaya memandang perempuan sebagai mitra yang sejajar. Pandangan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa para penulis kitab hadis menempatkan hadis-hadis ini 64 pada pembahasan mengenai anjuran untuk berbuat baik kepada istri, bukan pada pembahasan mengenai awal penciptaan manusia (Ilyas, 2003: 46). Quraish Shihab menambahkan Kata nafsin wahidah/jiwa yang satu memberi kesan bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu menjadi satu jiwa, arah, tujuan sehingga mereka benar-benar sehidup dan “semati” bersama. Karena jiwa suami adalah juga jiwa istrinya, dan inti dari penjelasan ini adalah bagian satu sama lain. B. Membongkar Mitos Penciptaan Perempuan Dibandingkan dengan Q.S an-Nisa‟: 34 yang sering dilegitimasi sebagai bentuk keunggulan dan keutamaan laki-laki pada kata qawwam, wacana mengenai asal usul perempuan dimasih dianggap kurang begitu memberi dampak secara langsung dan di sentuh. Namun melihat usaha dan keteguhan Riffat untuk menelusuri, mengkaji, dan melakukan interpretasi ulang terhadap teks keislaman mengenai penciptaan perempuan layak diapresiasi. Melacak kesejarahan yang timpang, begitu juga ketika melakukan perbandingan dengan ajaran lainnya seperti Yahudi dan Nasrani. Isu ini jauh lebih mengglobal karena sudah tertanam dalam benak individu. Namun, interpretasi tetap perlu dilakukan untuk memperbarui cara pandang agar lebih bijak dalam menanggapi teks. Pendeta maupun rahib memiliki otoritas sebagai penafsir kitab suci, kitab suci terdahulu secara tidak langsung sudah membakukan patriarki (budaya). Sehingga menjadi sebuah hierarki atau hegemoni yang didominasi oleh laki-laki. 65 Tidak menutup kemungkinan ada interpretasi yang memenuhi hasrat kepentingan kaum laki-laki. Maka hal ini memberi pengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia yang sampai sekarang pun masih mengakar. Sebelum Islam datang, orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menempati beberapa wilayah di jazirah Arab. Mereka diperkirakan sudah berada di sana lebih dari seratus tahun sebelum Nabi Muhammad lahir. Ada kemungkinan bahwa kedatangan mereka ke Arab di dorong oleh sebuah ramalan yang berkembang di kalangan para rabbi Yahudi dan rahib-rahib Kristen tentang kedatangan seorang “Juru Selamat” atau nabi di daerah gurun yang kaya pohon kurma itu. Bangsa Arab mengenal mereka sebagai Ahl al-Kitab, sebab mereka memiliki al-kitab dan ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki orang-orang Arab. Sebagian dari Ahl alKitab masuk Islam karena menemukan bukti kerasulan nabi Muhammad saw. kebanyakan dari mereka tetap bertahan dalam agamanya (Abdullah, 2005: 32-34). Ketika Islam telah menghapuskan dan membersihkan citra perempuan dari berbagai asumsi negatif mengapa pada praktinya masih ada yang belum mencerminkan sikap yang bersahabat terhadap perempuan. Jika sebagai manusia Allah memberi kedudukan yang sama terhadap laki-laki dan perempuan mengapa masih ada perlakuan diskriminatif yang seolah tidak mencerminkan nilai Islam. Reinterpretasi yang dilakukan sebagai usaha untuk menemukan makna dan jalan dalam 66 rangka menyibak makna. Membawa persoalan asal-usul manusia (perempuan) sebagai bagian dari sebuah wacana ilmiah. Karena cerita ini sudah tertanam dan menggejala sebagai cerita global. Melalui inilah kita melihat bagaimana sejarah dan peradaban memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan posisi perempuan dalam kehidupan masyarakat. Dogma-dogma dan mitos tentang perempuan tidak sedikit yang merupakan hasil karya pelaku sejarah dan pemeran drama peradaban, yang kadang-kadang harus dibayar dengan harga yang cukup mahal. Kisah tentang kejadian perempuan juga tidak terlepas dari bias kecenderungan pihak-pihak tertentu yang mengarangnya untuk tujuan-tujuan tertentu pula. Sebab, dalam masyarakat tradisional, kisah-kisah memang memiliki kekuatan yang hebat sebagai alat penyebar ideologi, paham, dan keyakinan (Abdullah, 2005: 20). Oleh karena itu, kita tidak perlu heran ketika peradaban kita telah menempatkan perempuan pada posisi marginal atau terpinggirkan. Juga tidak perlu heran apabila kisah-kisah yang mendukung posisi perempuan seperti itu menjadi laris manis. Kisah-kisah tentang asal dan kehidupan awal perempuan di surga yang acapkali bernada diskriminatif telah menjadi sangat populer. Popularitas itu pada gilirannya menyembunyikan segala cacat pada dirinya dan menumpulkan rasa kritis kita yang telah menjadi bagian dari peradaban itu sendiri (Abdullah, 2005: 20-21). Mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan pengaruh mitos yang mengakar pada penciptaan perempuan, melihat banyaknya tokoh feminis 67 dari golongan Yahudi dan Nasrani. Kita tengok bagaimana Islam datang menghapuskan diskriminasi dan membebaskan perempuan dari perlakuan masyarakat Arab jahiliyah yang seakan merusak nilai kemanusiaannya. Pada tataran ini ada sinyal yang bisa ditangkap bahwa Islam peduli gender, mengangkat kedudukan perempuan sebagai makhluk Tuhan yang setara seperti laki-laki. Munculnya istilah bias gender yang didengungkan sebagai salah satu faktor bentuk ketidakadilan sosial kiranya perlu dikritisi serta dikaji ulang, jika benar demikian maka akan menggeser kedudukan perempuan yang tidak sesuai dengan nilai normatif Islam. Pengalaman keagamaan sebelumnya memberi pengaruh yang cukup signifikan, Dzulkarnain Abdullah mengatakan ringkasnya kisah dalam al-Qur‟an yang ringkas menimbulkan pertanyaan di kalangan kaum muslim terlebih lagi setelah nabi wafat. Kepada Ahl al-Kitablah mereka bertanya dan jawaban yang diberikan dianggap sebagai catatan penting dalam rangka menjelaskan atau menafsirkan ayat al-Qur‟an yang kurang jelas. Dari sinilah cerita Israiliyyat berkembang dan dikenal luas di kalangan masyarakat Muslim. Terdoronglah Riffat mengkaji dan menelusuri mengingat dampak yang ditimbulkan memberi efek. Islam memandang sama kepada perempuan dan laki-laki dari segi kemanusiaannya. Perempuan adalah manusia sebagaimana laki-laki. Islam memberi hak-hak kepada perempuan seperti yang diberikan kepada laki-laki dan membebankan kewajiban yang sama kepada keduanya, kecuali terdapat dalil syara yang 68 memberi tuntutan khusus untuk perempuan dan laki-laki, yang jumlahnya sangat sedikit, dan kebanyakan dalil syara tidak diciptakan khusus untuk perempuan atau khusus untuk laki-laki, melainkan untuk keduanya sebagai insan. Maka usaha yang dilakukan yaitu dengan melakukan interpretasi ulang guna memperbaiki cara pandang. Menyibak eksistensi perempuan dalam narasi besar Islam. Karena sama halnya laki-laki perempuan juga manusia makhluk ciptaan Allah, maka rancu sekali jika mendapat perlakuan yang kurang baik. Banyaknya mufasir, cendekiawan, ulama berjenis kelamin laki-laki mendominasi, dengan percaya diri Riffat terjun mengkaji teologi baik al-Qur‟an maupun hadis yang dijadikan pijakan bagi umat Islam. Al-Qur‟an menggunakan istilah bashar, al-insan, dan an-nas saat menggambarkan proses penciptaan manusia secara fisik. Al-Qur‟an menggunakan istilah “Adam” lebih selektif untuk mengacu pada manusia hanya apabila mereka menjadi representasi manusia yang sadar diri, berpengetahuan, dan otonom secara moral. Sebagai ganti “Adam” dan “Hawa”, al-Qur‟an berbicara tentang Adam dan zauj dalam Q.S. alBaqarah (2): 35, al-A‟raf (7): 19, Taha (20): 117. Orang Islam beranggapan bahwa “Adam” adalah manusia pertama yang diciptakan Allah dan dia laki-laki. Jika “Adam” adalah laki-laki berarti zauj Adam adalah perempuan. Karena itu zauj yang dinyatakan dalam al-Qur‟an menjadi sama dengan Hawa, namun baik asumsi pertama maupun 69 kesimpulan yang ditarik darinya tidak didukung oleh al-Qur‟an secara jelas dan tegas (Hassan, 1995: 47). Kisah kehidupan Adam yang tertera pada Q.S. al-Baqarah: 35 tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa Hawa diciptakan atau muncul melalui tulang rusuk. Adapun redaksinya: “Dan kami berfirman: “Hai Adam, diamlah oleh kamu dan isterimu syurga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” “(Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan istrimu di syurga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-A‟raf: 19) Kedua surat tersebut hanya menyebutkan istri Adam, pada surat alBaqarah ayat 34 diceritakan saat itu Iblis enggan hormat kepada Adam. Sedangkan di surat al-A‟raf ayat 18 menceritakan bagaimana Allah mengusir Iblis dari surga karena kesombongannya. Disinilah salah satu faktor munculnya problematikanya ketika tidak ditelusuri secara cermat atau melakukan interpretasi ulang. Riffat melanjutkan pemaparannya bahwa al-Qur‟an tidak menyatakan bahwa Adam adalah manusia pertama dan tidak pula menyatakan bahwa ia laki-laki. Istilah “Adam” adalah kata benda 70 maskulin, namun hanya menyatakan jenis secara linguistik bukan menyangkut jenis kelamin. Jika “Adam” belum tentu laki-laki, zauj Adam juga belum tentu perempuan. Sebenarnya istilah zauj juga merupakan kata benda maskulin. Berbeda dengan istilah “Adam”, zauj memiliki bentuk feminin yakni zaujatun. Menurut Riffat, alasan mengapa al-Qur‟an membiarkan istilah “Adam” dan zauj tidak jelas, bukan saja menyangkut jenis kelamin tapi juga menyangkut jumlah, karena tujuannya tidak untuk menceritakan peristiwa-peristiwa tertentu dalam kehidupan seorang laki-laki dan seorang perempuan, tapi untuk mengacu pada beberapa pengalaman hidup semua manusia, laki-laki dan perempuan secara bersama-sama. Mengenai tiga isu sebelumnya kiranya tepat diletakkan sebagai bahasan utama dan mendasar karena menyangkut eksistensi perempuan. Kemudian, ketika dikaitkan dengan analisis gender maka akan mengacu pada tiga hal, poin pertama dan ketiga berdampak pada subordinasi serta marginalisasi. Keyakinan bahwa ciptaan Tuhan yang pertama laki-laki maka akan memicu sikap superioritas. Menempatkan perempuan sebagai makhluk kedua (second class), sehingga dalam hal apapun laki-laki lebih diutamakan dan diunggulkan. Karena laki-laki dikatakan sebagai makhluk yang pokok dan perempuan hanya cabang. Kemudian jika perempuan diciptakan hanya untuk laki-laki maka mereka hanya dianggap sebagai pelengkap bukan makhluk mandiri yang memiliki otonomi. Sedangkan poin kedua mengarah pada stereotype atau 71 pelabelan negatif yang memberi efek buruk terhadap perempuan sebagai penyebab dijatuhkannya hukuman atau sumber kesalahan. Sehingga bertendensi memunculkan asumsi yang kurang baik dan lebih kebablasan lagi (dikhawatirkan) ketika kerusakan dilabelkan kepada perempuan. Pada bab sebelumnya (biografi) dituliskan bagaimana Riffat pernah menghadiri trialog tiga agama Islam, Yahudi, dan Nasrani. Penelitiannya juga berlanjut untuk mencari bagaimana kondisi perempuan dari perspektif agamanya. Melalui penelitiannya itu tersusunlah tiga isu teologis mendasar diawal disebutkan sebelumnya ada dalam ajaran Yahudi dan Nasrani. Meski secara pribadi penulis tidak meneliti atau menelusuri secara langsung maka akan mencantumkan dari beberapa literatur guna menunjang pembahasan. Menurut bangsa Yahudi, wanita adalah laknat atau kutukan. Wanita -menurut kepercayaan Bangsa Yahudi- adalah penyebab utama diturunkannya Adam dari surga ke bumi. Pada kondisi tertentu, wanita diperjualbelikan oleh ayahnya, dan ayah mempunyai kekuasaan mutlak untuk mengawinkannya dengan laki-laki yang dikehendakinya (Muhammad Ali al-Allawi mengutip dari Bill Deorant, Qisshatu alHadharah, Vol 1, juz 2, hlm. 32-33). Dalam pandangan Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu. Mereka menganggap wanita adalah sumber laknat karena-menurut kepercayaan mereka-dialah menyebabkan Adam diusir dari surga (Shihab, 2009: 506). 72 yang Wanita dalam komunitas Nasrani hidup dalam kondisi yang buruk dan memprihatinkan. Ia dinyatakan sebagai perlambang keburukan dan penyebab utama lahitnya bencana dan kejahatan. Wanita adalah perwujudan setan dan diciptakan hanya untuk melayani kaum pria (Allawi, 2006: 21). Kemudian pada penjelasan lanjut Muhammad Allawi juga menambahkan, dalam bab kedua kitab perjanjian baru disebutkan bahwa Paulus berkata, ”Aku tidak mengizinkan wanita untuk mencari ilmu atau beribadah dan harus selalu berada dalam rumahnya. Karena, Adam diciptakan lebih dulu dari Hawa. Adam tidak akan membangkang perintah tuhannya jika tidak ada wanita yang menggodanya. Meski demikian, wanita akan selamat dari dosanya apabila ia melahirkan anak-anaknya.” (kitab suci perjanjian baru hlm.339). Wanita adalah penyebab utama yang mengantarkan seseorang untuk melakukan dosa. Dan oleh sebab itu, ia harus menebus kesalahankesalahan tersebut dengan melahirkan anak-anaknya. Sebelum Islam datang, orang-orang Yahudi dan Kristen telah menempati beberapa wilayah di Jazirah Arab. Mereka diperkirakan sudah berada di sana lebih dari seratus tahun sebelum Nabi Muhammad lahir. Ada kemungkinan bahwa kedatangan mereka ke Arab didorong oleh sebuah ramalan yang berkembang di kalangan para rabbi Yahudi dan rahib-rahib Kristen tentang kedatangan seorang “Juru Selamat” atau nabi yang diramal itu diutus Tuhan (Abdullah, 2005: 33). Orang-orang Yahudi (dan juga Nasrani) hidup di tengah-tengah bangsa Arab sedemikian lama, sehingga peradaban dan kehidupan sosial 73 mereka sudah “ter-Arabkan”. Namun demikian, agama mereka tidak banyak membawa pengaruh kepada orang-orang Arab. Agama mereka dianggap asing, terutama sekali agama orang Yahudi, karena sikap mereka yang eksklusif. Tetapi di sisi lain, orang-orang Arab tetap merasa kagum kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, sebab mereka memiliki al-kitab dan ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki oleh orang-orang Arab. Kehidupan sosial di antara mereka dan orang-orang Arab berjalan dengan baik. Beberapa orang di antara bangsa Arab pun ada yang memeluk agama mereka. Melalui pemaparan ini, Zulkarnain Abdulllah mengungkapkan mungkin saja sebagian dari dogma-dogma dan ajaran agama mereka mulai dikenal dan bahkan telah menyebar di kalangan orang Arab sejak sebelum Islam. Kisah-kisah al-Qur‟an yang disampaikan secara ringkas menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di kalangan kaum Muslim, terutama sekali setelah nabi Muhammad saw. wafat dan kaum Muslim telah mulai berinteraksi dengan masyarakat dan peradaban di luar Arab, seperti Romawi dan Persi, yang pada umumnya telah terlebih dahulu mendapat sentuhan tradisi Yahudi dan atau Nasrani. Tidak ada rujukan kaum Muslim mengenai masalah tersebut yang lebih mudah dan dianggap otoritatif pada waktu itu kecuali orang-orang yang berasal dari kalangan Ahl al-Kitab. Kepada orang-orang inilah mereka bertanya, dan jawabanjawaban yang mereka berikan dianggap sebagai catatan-catatan penting dalam rangka menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang 74 kurang jelas. Dari sinilah cerita-cerita Israiliyyat itu berkembang dan dikenal luas di kalangan masyarakat muslim, termasuk kisah asal penciptaan perempuan. jadi validitas atau keabsahan cerita-cerita tersebut, dari sudut pandang ajaran Islam, tetap dapat dikritisi atau dipertanyakan (Abdullah, 2005: 35). Nasaruddin Umar menyebutkan beberapa hal yang menyebabkan bias gender dalam penafsiran teks. Selain faktor kebahasaan, seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca, qira‟at, mufradat, kata ganti, batas pengecualian, huruf-huruf „Athf, struktur Bahasa Arab, kamus Bahasa Arab, Metode Tafsir, turut dipengaruhi juga oleh riwayat Israiliyyat (cerita-cerita yang bersumber dari agama-agama Samawi sebelum islam, seperti dari agama Yahudi dan Nasrani) dan mitos. Kemudian pada cerita selanjutnya dijelaskan oleh al-Qur‟an bagaimana Adam dan Hawa mengalami musibah karena melanggar sesuatu yang sudah ditetapkan Allah. “Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (Q.S. alBaqarah: 36) “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada kesuanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu 75 auratnya dan syaitan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam syurga).” (Q.S. al-A‟raf: 20) Maka ayat ini menerangkan keduanya tergelincir karena godaan syaitan dan menyanggah bahwa pelaku jatuhnya Adam ke bumi karena disebabkan oleh Hawa. Sekali lagi al-Qur‟an membersihkan asumsi yang menyatakan perempuan sebagai sumber kesalahan. Karena konotasi negatif tersebut berdampak pada pembentukan citra perempuan. Riffat menyimpulkan, deskripsi al-Qur‟an mengenai penciptaan manusia, perlu ditekankan bahwa al-Qur‟an secara adil menggunakan term-term baik yang bersifat feminin maupun maskulin dan tamsil untuk menggambarkan penciptaan manusia dari sumber yang satu. Jadi ciptaan Allah yang asli tidak membedakan manusia, bukan perempuan dan bukan pula laki-laki (yang muncul serempak pada waktu sesudah itu). Secara implisit ditegaskan dalam sejumlah ayat al-Qur‟an khususnya Q.S. alQiyamah (75) 36-39: ”Apakah al-insan mengiran bahwa ia akan dibiarkan begitu saja? Bukankah dia dulu setetes mani yang ditumpahkan kemudian mani itu menjadi segumpal darah. Lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya dan lalu Allah menjadikan darinya (minhu) sepasang (zaujain) laki-laki dan perempuan.” Analisa mengenai gambaran al-Quran tentang penciptaan manusia menurutnya cukup adil karena menggunakan term feminin maupun maskulin dan perumpamaan yang dipakai untuk menggambarkan konsep penciptaan dari sumber yang tunggal. Proses penelusurannya menunjukkan bahwa selama ini pengaruh riwayat diluar konteks Islam 76 mempengaruhi penafsiran teks keislaman. Terlebih lagi menurut Riffat masih sedikit sekali umat Islam yang pernah membaca Injil atau mungkin kitab lainnya sebagai studi perbandingan. Sehingga banyak sekali penyesatan interpretasi yang tanpa disadari membentuk cara pandang dan berdampak dalam ranah praktis. Atas dasar kesadaranlah ia ingin nilainilai pada ajaran Islam yang selama ini kabur atau tersamarkan bersih dari penyelewengan dan menekankan bahwa ajaran Islam lebih bijak dalam menanggapi teks yang berkaitan dengan kemanusiaan. Asumsi dan sikap patriarki yang tertancap dalam dan secara universal hadir dalam kebudayaan Islam mengandung implikasi negatif yang serius –baik secara teoritis maupun praktis- bagi perempuan Muslim sepanjang sejarah Islam hingga kini. Al-Qur‟an bagi umat Islam pada umumnya merupakan sumber ajaran yang paling otoritatif, tidak mendiskriminasi perempuan kendatipun kenyataan sejarah yang pahit dan menyedihkan karena bias-bias kumulatif (Yahudi, Nasrani, Hellenistik, Bedouin, dll) yang berlaku dalam kebudayaan Arab Islam menginfiltrasi tradisi Islam, sebagian besar melalui kepustakaan hadits dan merusak maksud al-Qur‟an untuk membebaskan perempuan dari status sebagai makhluk yang lebih rendah dan membuat mereka merdeka dan setara dengan laki-laki (Hassan, 1995: 97-98). Baginya al-Qur‟an tidak hanya menekankan bahwa kesalehan lakilaki dan perempuan itu sama, tapi juga menegaskan secara jelas dan konsisten kesetaraan perempuan dengan laki-laki dan hak fundamental 77 mereka untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiaan mereka sama dengan laki-laki. Bila dilihat melalui kaca mata non-patriarki, al-Qur‟an bergerak egalitarianisme. Menunjukkan perhatian khusus pada perempuan sebagaimana juga terhadap kelas masyarakat lain yang tidak diuntungkan serta memberikan langkah pengamanan khusus untuk melindungi fungsifungsi seksual/biologis perempuan yang khas seperti mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak. Pernyataan yang cukup menarik dari Riffat, ”bagi saya, patriarki bukanlah sesuatu yang merupakan bagian integral dari Islam yang terwujud dalam al-Qur‟an. Tuhan juga bukan sebagai laki-laki sebagaimana disangka oleh umat Islam pada umumnya.” Tuhan yang berbicara melalui al-Qur‟an bercirikan keadilan dan dinyatakan dengan sangat jelas dalam al-Qur‟an bahwa Tuhan tidak akan pernah berbuat zulm (tidak jujur, tirani, pemerasan dan perbuatan yang salah). Karenanya, al-Qur‟an, sebagai firman Tuhan tidak bisa dijadikan sumber ketidakadilan manusia dan ketidakadilan yang membuat perempuan Muslim ditundukkan, tidak bisa dianggap berasal dari Tuhan. Dengan kekayaan Bahasa Arab yang luar biasa, dimana setiap kata memiliki makna dan nuansa sangat banyak adalah mungkin –dan perluuntuk menginterpretasikan kembali ayat-ayat ini secara berbeda sehingga makna dan implikasinya tidak bertentangan dengan keadilan Tuhan (Hassan, 1995: 99). 78 C. Elaborasi Kajian Riffat Hassan dalam Pendidikan Islam Semangat al-qur‟an merupakan satu hal yang lebih penting daripada pendapat-pendapat para ahli hukum abad pertengahan dan karenanya dalam hal ini seluruh kitab-kitab hukum syari‟ah harus diuji dan dikaji ulang (Asghar, 2004: 16). Pengetahuan kita tentang asal kejadian manusia amat penting, karena dalam konteks Pendidikan Islam berpengaruh pada dirumuskannya tujuan pendidikan bagi manusia. Asal kejadiannya menjadi pangkal tolak dalam menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam. Pandangan tentang kemakhlukan manusia cukup menggambarkan hakikat manusia yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Sebuah riwayat mengatakan,”Tiap orang dilahirkan membawa fitrah, ayah ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, nasrani, atau Majusi (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim). Menurut hadis ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan, kemampuan inilah yang disebut pembawaan. Fitrah dalam hadis tersebut berarti potensi (kemampuan). Ayah dan ibu dalam hadis ini adalah lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan karena keduanya menentukan perkembangan seseorang. Pengaruh itu terjadi pada aspek jasmani (dipengaruhi oleh alam fisik selain oleh pembawaan), akal (dipengaruhi oleh budaya), rohani (dipengaruhi oleh kedua lingkungan selain pembawaan). 79 Pendidikan Islam sebagai ilmu, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, karena didalamnya banyak segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik langsung atau tidak langsung (Muslihah, 2010: 9). Masyarakat turut memikul tanggung jawab pendidikan, secara sederhana masyarakat dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama. Setiap masyarakat mempunyai cita-cita, peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Berbicara mengenai fitrah, Allah memberikan kelebihan kepada manusia. Pertama, manusia diciptakan Allah dengan bentuk yang paling sempurna sebagaimana dalam Q.S. at-Tin:4. Kedua, manusia dianugerahi akal oleh Allah SWT. Dengan akal itulah manusia dapat memiliki ilmu, mampu membedakan mana yang baik dan tidak baik. Ketiga, manusia dianugerahi nafsu oleh Allah agar dapat hidup dan menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Keempat, manusia dianugerahi Allah berupa hati nurani (qolbu) sebagai penengah antara akal dan nafsu. Selain bertindak sebagai penilai sekaligus juga sebagai pengambil keputusan. Kelima manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, dalam hal apapun, kecuali takdir Allah. Manusia diberi kebebasan dalam hidup ini apakah jalan keselamatan atau kesesatan (Muchtar, 2005: 7-10). Ahmad Tafsir menambahkan manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyaknya potensi yang dibawanya. dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi 80 orang yang jahat. Berarti bisa dikatakan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki sisi baik dan buruk, berpotensi untuk melakukan kesalahan. Padahal laki-laki sama halnya juga manusia tentunya memiliki kecenderungan layaknya perempuan meski dalam bentuk yang berbeda. Banyaknya definisi pemahaman kata fitrah yang beranekaragam menimbulkan sebuah pemahaman yang tentunya beragam pula ketika diinterpretasikan. Dalam konteks Pendidikan Islam manusia memiliki potensi dalam diri, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga dalam perjalanan hidupnya keduanya memiliki ruang untuk mengembangkan potensi, mengaktualisasikan diri, mendapatkan pendidikan yang layak, dan terhindar dari perlakuan diskriminatif. Kedudukan laki-laki dalam Islam sama, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Etti Nurhayati dalam bukunya Psikologi Perempuan menyatakan: 1. Posisi perempuan dan laki-laki hakikatnya sama sebagai khalifah fil ardh (Q.S. al-Baqarah:30), menuntut kepatuhan pada pemimpin (Q.S. an-Nisa:59), selain taat kepada ALLAH (Q.S. an-Nisa: 59), menata urusan bersama diperintahkan menggalang koordinasi dalam asas musyawarah (Q.S. Ali Imran: 159 dan As-Syura: 38) yang berarti harus melibatkan perempuan dan laki-laki secara sinergis. 81 2. Nilai kehormatan, jati diri kemanusiaan, hak dan kewajiban perempuan setara dengan laki-laki (Q.S.al-Hujurat: 13, anNisa: 1, al-Isra: 70). Aspek kemanusiaan perempuan sama sempurna “fi ahsani taqwim” dengan laki-laki (Q.S. at-Tin: 5). Dalam situasi modern sekarang ini, dimana perempuan juga mampu berperan seperti laki-laki sebagai tenaga profesional, berkarier, menjadi manajer dan pemimpin, mereka dapat mengembangkan segi-segi meskulinitas, seperti sikap proaktif, dinamis, berorientasi kedepan, pemberani, tidak emosional, dan sikap-sikap lain yang selama ini menjadi pelabelan (stereotype) bagi laki-laki, dan laki-laki juga harus terbiasa memperhatikan pengasuhan dan pendidikan anak di rumah, memiliki sifat kasih sayang, penyabar, intuitif, dan segala sifat yang selama ini dianggap sebagai karakteristik perempuan. 3. Islam memandang sama kepada perempuan dan laki-laki dari segi kemanusiaannya. Perempuan adalah manusia sebagaimana laki-laki. Islam memberi hak-hak kepada perempuan seperti yang diberikan kepada laki-laki dan membebankan kewajiban yang sama kepada keduanya, kecuali terdapat dalil syara yang memberi tuntutan dan tuntutan khusus untuk perempuan dan laki-laki, yang jumlahnya sangat sedikit, dan kebanyakan dalil syara tidak diciptakan khusus untuk perempuan atau khusus 82 untuk laki-laki, melainkan untuk keduanya sebagai insan (Q.S.al-Hujurat: 13, an-Najm: 45, al-Qiyamah: 39). Secara umum “asal usul” memang dapat dikatakan tidak lagi merupakan masalah yang begitu penting bagi kebanyakan masyarakat kita, tetapi ketika ia diletakkan dalam konteks keagamaan atau memiliki keterkaitan dengan agama, maka akan menjadi wacana yang sangat serius. Inilah yang menjadi kasus “asal usul” penciptaan perempuan dan segala karakteristik yang relevan dengannya. Ia memiliki dimensi teologis, karena itu ia menjadi persoalan yang tidak bisa diabaikan. Namun tidak menutup kemungkinan membuka celah untuk didiskusikan dan menjadi sebuah kajian ilmiah karena menjadi dogma yang seolah-olah memojokkan atau merendahkan perempuan. Kajian ini perlu disosialisasikan sebagai sebuah diskursus dalam rangka membenahi cara pandang yang sudah mengglobal dan menjadi telaah kritis. Bisa dikatakan pembahasan ini juga berpengaruh pada munculnya diskursus kajian perempuan. Begitu juga usaha yang dilakukan Riffat Hassan tentunya memberi kontribusi dalam kancah pemikiran Islam untuk memperbarui cara pandang dimana hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap perempuan. Selain sebagai makhluk individu, manusia juga mengamban tugas sebagai makhluk sosial. Berinteraksi terhadap satu sama lain, saling tolong menolong, dan mengemban tugas dalam pelaksanaan muamalah. Argumen yang mengatakan bahwa ruang publik diutamakan sebagai area laki-laki 83 perlu dipatahkan. Bumi ini diciptakan untuk laki-laki dan perempuan (makhluk ciptaan Allah), selain memiliki potensi keduanya diberi amanah untuk menjaga dan melestarikan segala yang ada demi kepentingan bersama. Islam mengajarkan bahwa seorang muslim tidak hanya memperhatikan kesalehan ritual semata (ibadah mahdah), namun juga yang perlu diperhatikan adalah kesalehan sosial dengan cara menjalin hubungan kerjasama yang harmonis dengan masyarakat sosial. Karena seseorang tidak akan bisa berfungsi dengan baik dan mengaktualkan kemanusiaannya secara sempurna jika tidak mampu menjalin kerja sama antara satu dengan yang lainnya. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa adanya manusia lain (Hasnah, 2011: 46). Diakui atau tidak, pendidikan merupakan kunci utama bagi terwujudnya keadilan gender dalam masyarakat, karena pendidikan disamping mentransformasi norma-norma masyarakat, pengetahuan, dan kemampuan mereka, juga sebagai alat untuk mengkaji dan menyampaikan ide-ide dan nilai-nilai baru. Karena itu, dalam lembaga pendidikan, sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan kepada masyarakat, sejak awal perlu diusahakan terwujudnya keadilan gender (Solichin, 2006: 56). Sudah tidak asing lagi bahwa pendidikan selain transfer of knowledge (transfer ilmu), juga berfungsi sebagai transfer of value (transfer nilai). Nilai disini juga dimaksudkan bahwa pendidikan sebagai transfer untuk perubahan sosial. Lebih sempit pendidikan formal berfungsi 84 sebagai proses pembaharuan sosial (Rahmah, 2014: 354). Menilik kembali pada penjabaran sebelumnya bahwa Riffat juga menyinggung al-Qur‟an menggunakan istilah bashar, al-insan, dan an-nas saat menggambarkan proses penciptaan manusia secara fisik. Jika ditarik pada pembahasan dalam konteks Pendidikan Islam hal itu berkaitan. Manusia dalam konsep al-basyr, dipandang dari pendekatan biologis manusia terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik material berupa tubuh kasar. Berdasarkan konsep albasyr, manusia tak jauh berbeda dengan manusia biologis lainnya, terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan dan kedewasaan. Manusia memerlukan makanan dan minuman untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan proses pelanjut keturunannya. Memiliki dorongan biologis seperti dorongan makan dan minum, dorongan seksual, dorongan mempertahankan diri, dan dorongan mengembangkan diri, sebagai bentuk dorongan primer makhluk biologis (Jalaludin, 2003: 19-20). Demi membutuhkan menunjang makan dan keberlangsungan minum untuk hidupnya menunjang manusia proses pertumbuhannya. Selain itu Tuhan memberikan dorongan biologis dimana ini nanti akan berfungsi untuk melanjutkan keturunan melalui proses percampuran benih dari laki-laki (sperma) dan perempuan (sel telur). 85 Kemudian al-insan terbentuk dari akar kata nasiya yang berarti lupa. Penggunaan kata al-insan sebagai kata bentukan yang termuat dalam al-Qur‟an mengacu kepada potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia, baik tumbuh kembang secara fisik maupun mental spiritual. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan untuk mematangkan potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai kematangan itu ia mampu memerankan diri sesuai dengan amanah yang disandangnya, serta mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan kepada Sang Pencipta. Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi (Jalaludin, 2003: 2223). Konsep al-nas selalu mengacu kepada peran manusia dalam kehidupan sosial. Manusia diarahkan agar menjadi warga sosial yang diharapkan dapat memberi manfaat bagi kehidupan bersama di masyarakat. Kemampuan untuk memerankan diri dalam kehidupan sosial, sehingga dapat mendatangkan manfaat, merupakan usaha yang sangat dianjurkan. Dengan demikian, konsep al-nas, mengacu kepada peran dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk sosial dalam statusnya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT (Jalaludin, 2003: 25). Al-Qur‟an menggunakan istilah “Adam” lebih selektif untuk mengacu pada manusia hanya apabila mereka menjadi representasi manusia yang sadar diri, berpengetahuan, dan otonom secara moral. Mengutip pemaparan Jalaludin, peranan manusia selaku Bani Adam 86 mengacu kepada bagaimana upaya untuk menjaga kemuliaan dirinya, serta memanfaatkan rezeki (pemberian) Allah sesuai ketentuan yang telah disampaikan Allah kepadanya. Upaya seperti itu dimaksudkan sebagai tindakan preventif (peringatan dini) bagi dirinya. Lebih dari itu, konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini menitikberatkan pada upaya pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia. Sekarang ini sudah saatnya untuk melakukan dekonstruksi atas pemikiran yang menyimpang dari prinsip keadilan yang merupakan citacita islam. Melalui pendekatan ini, setiap teks agama, al-Qur‟an maupun al-Sunnah yang memperlihatkan makna diskriminatif dan misoginis harus ditempatkan sebagai wahana sejarah yang sedang diupayakan menuju citacita yang lebih berkeadilan di persada bumi ini. Wacana sejarah senantiasa meniscayakan watak sosiologisnya yang dinamis. Pendidikan sebagai jalur pengembangan potensi. Manusia mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan sedangkan pendidikan merupakan suatu proses untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki dalam arti berusaha untuk menampakkan dan mengembangkan (aktualisasi) berbagai potensi manusia yang dalam Islam disebut juga dengan “fitrah” sebagai potensi dasar yang akan dikembangkan bagi kehidupan manusia (Mutohar, 2013: 63). Tidak ada superioritas maupun inferioritas. Derajat maupun kedudukan manusia tidak dilihat dari jenis kelaminnya melainkan tingkat 87 ketaqwaannya kepada Tuhan. Keunggulan manusia dilihat dari kompetensi atau keterampilan yang ada pada dirinya. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kelebihan, sebagai manusia keduanya diciptakan dari bahan yang sama dan mengemban misi kemanusiaan sebagai hamba. Bisa dilihat pada ayat-ayat berikut: “Barang siapa yang mengerjakan amal-amak saleh, baik ia laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (Q.S. an-Nisa‟: 124) Dan orang-orang mukmin yang mantap imannya dan terbukti kemantapannya melalui amal-amal saleh mereka, lelaki dan perempuan, sebagian mereka dengan sebagian yang lain, yakni menyatu hati mereka, dan senasib serta sepenanggungan mereka sehingga sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain dalam segala urusan dan kebutuhan mereka. Bukti kemantapan iman mereka adalah mereka menyuruh melakukan yang ma‟ruf, mencegah perbuatan yang munkar, melaksanakan sholat dengan khusyu‟ dan berkesinambung, menunaikan zakat dengan sempurna, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya menyangkut segala tuntunan-Nya. Mereka itu pasti akan dirahmati Allah dengan rahmat khusus; sesungguhnya Allah Mahaperkasa tidak dapat 88 dikalahkan atau dibatalkan kehendak-Nya oleh siapapun lagi Mahabijaksana dalam semua ketetapan-Nya (Shihab, 2002: 163). Selanjutnya, ayat ini menjelaskan sebagian rahmat-Nya itu dengan menegaskan bahwa Allah menjanjikan dengan janji yang pasti kepada orang-orang mukmin yang mantap imannya, lelaki dan perempuan, bahwa mereka semua akan dianugerahi surga yang dibawahnya mengalir sungaisungai, yang mereka nikmati secara terus-menerus, kekal mereka didalamnya, dan ada juga tempat-tempat yang bagus, yakni istana-istana hunian di surga „Adn. Di samping itu, mereka juga mendapat ridha Ilahi dan keridhaan Allah, walau sedikit, lebih besar dan lebih agung daripada surga dan tempat-tempat yang bagus itu; itu adalah keberuntungan yang besar tiada keberuntungan yang melebihinya (Shihab, 2002: 163). Allah memberi kedudukan bagi laki-laki dan perempuan untuk menjalankan perintahnya, melakukan ritual peribadatan, menegakkan amar ma‟ruf nahi munkar. Tuhan juga memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukan kebaikan. Saling menolong satu sama lain, meringankan beban saudaranya, mendorong laki-laki dan perempuan untuk bekerja sama dan saling bersinergi. Masing-masing mengemban tugas kemanusiaan sebagai wakil Allah dibumi. 89 Ayat ini merupakan salah satu ayat yang menekankan persamaan antara pria dan wanita. Sebenarnya, kata man/siapa yang terdapat pada awal ayat ini sudah dapat menunjuk kedua jenis kelamin -lelaki dan perempuan- tetapi guna penekanan dimaksud, sengaja ayat ini menyebut secara tegas kalimat baik laki-laki maupun perempuan. Ayat ini juga menunjukkan betapa kaum perempuan pun dituntut agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, baik untuk diri dan keluarganya maupun untuk masyarakat dan bangsanya, bahkan kemanusiaan seluruhnya (Shihab, 2002: 720). Allah akan memberi balasan dan kebaikan untuk laki-laki dan perempuan yang melakukan amal-shaleh. Seperti juga yang pada Q.S. alHujurat: 13 dibawah ini: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah islah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat: 13) Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar 90 untuk menegaskan bahwa sesama manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan (Shihab, 2009: 616). Proses terbentuknya manusia berasal dari perpaduan benih laki-laki (sperma) dan perempuan (sel telur), manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Derajat maupun kedudukan manusia tidak ditentukan dari jenis kelaminnya melainkan ketaqwaannya kepada Tuhan. Al-Qur‟an menyatakan bahwa semua manusia berasal dari keturunan yang sama, laki-laki dan perempuan, dan tidak ada perbedaan sedikit pun satu sama lain yang dikarenakan oleh suku, bangsa, ras, atau warna kulit. Perbedaan-perbedaan ini diciptakan agar manusia saling mengenal. Orang yang paling mulia adalah yang paling adil dan saleh. Ini merupakan konsep yang paling revolusioner, bukan hanya bagi bangsa Arab, tetapi bagi seluruh manusia (Asghar, 2004: 47) Sebagai makhluk sosial, manusia mau tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lainnya di lingkungan di mana ia berada. Ia menginginkan adanya lingkungan sosial yang ramah, peduli, santun, saling menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan, tertib, disiplin, menghargai hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Lingkungan yang demikian itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai aktivitasnya dengan tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat merugikan dirinya (Nata, 2004: 231). 91 Potensi manusia sebagai karunia Tuhan haruslah dikembangkan, sedangkan pengembangan potensi yang sesuai dengan petunjuk Allah merupakan ibadah. “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah (ibadah) kepada-Ku (Q.S. adz-Dzariyat, 51: 56). Jadi, tujuan kejadian manusia dalam rangka ibadah adalah dalam pengertian pengembangan potensi-potensi manusia sehingga menjadikan dirinya mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi. Derajat ini dicapai dengan mengaktualisasikan segala potensi yang dikaruniakan Tuhan kepadanya (Mutohar, 2013: 64). Demikian juga dalam hadis Nabi: an-Nisa‟ syaqa‟iq ar-rijal (kaum perempuan adalah saudara kandung laki-laki). Dalam hadis lain disebutkan ma akraman-nisa‟ illa karim wa la ahanahunna illa la‟im (tidak menghargai/menghormati kaum perempuan kecuali mereka yang memiliki pribadi terhormat dan tidak merendahkan kaum perempuan kecuali orang-orang yang berjiwa rendah). Pada sisi lain fakta-fakta sosial periode awal Islam memperlihatkan betapa banyak kaum perempuan, para istri nabi, dan para sahabat Nabi yang memiliki intelektualitas melebihi kaum laki-laki. mereka juga terlibat secara aktif dalam peran-peran sosial, politik, dan kebudayaan. Aisyah adalah istri Nabi yang cerdas, guru besar, dan pejuang. Demikian juga Ummu Salamah dan ummahatul mu‟minin lainnya (Litbang, 2012: 16-17). Al-Qur‟an tidak hanya menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan benar-benar setara dalam pandangan Allah tapi juga menjadi 92 „anggota-anggota‟ dan „pelindung‟ satu sama lain. Al-Qur‟an tidak menciptakan hirarki-hirarki yang menempatkan laki-laki diatas perempuan, al-Qur‟an juga tidak menempatkan laki-laki dan perempuan dalam suatu hubungan yang bermusuhan. Mereka diciptakan sebagai makhluk-makhluk yang setara dari Pencipta alam semesta, yang Maha Adil dan Maha Pengasih yang menginginkan mereka hidup dalam harmoni dan kesalehan bersama-sama (Hassan, 1995: 98). “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (Adz-Dzaariyat (51): 49) Dibalik peran laki-laki dan perempuan baik sebagai anak, suami, istri, ayah dan ibu diperlukan sistem kerja sama dengan dasar tolong menolong. Suami sebagai imam (kepala rumah tangga) dan pemegang keputusan final diharapkan mampu menggunakan sistem musyawarah dalam proses pengambilan keputusan yang tentunya melibatkan istri, begitu juga sebaliknya. Orang tua baik ayah maupun ibu memikul sebuah tanggung jawab untuk mendidik putra putrinya. Keduanya memiliki peran penting dalam proses pembentukan karakter anak, sehingga mengharuskan untuk bekerja sama. Tanggung jawab ini tidak bisa dipikul sendirian oleh perempuan (ibu), meski dialah yang memegang kodrat mengandung, melahirkan, dan menyusui. Tidak bisa dipungkiri bahwa ibu menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya tetapi bukan berarti bahwa segala sesuatu yang 93 berkaitan dengan anak dilimpahkan sepenuhnya. Karena ayah juga memiliki peran penting bagi anak-anaknya, sehingga laki-laki dan perempuan harus bersinergi. Secara eksplisit Riffat tidak menyebutkan bentuk-bentuk keadilan, tetapi ketika melakukan interpretasi ulang terhadap teks keislaman terutama al-Qur‟an patut untuk dihargai. Menelusuri dan memaparkan secara rinci, tingginya pendidikan yang diraihnya dan menjadi seorang muslimah yang aktif dalam mengkaji teologi mampu menjadi inspirasi dan memotivasi perempuan lainnya supaya terus berkembang. Tidak takut untuk menuangkan gagasannya karena sebagai manusia perempuan juga diberi akal. Maka dari sini pun dapat ditegaskan bahwa teologi tidak mutlak menjadi milik laki-laki atau area laki-laki. Bahkan ketika perempuan pun memiliki skill dan bekal yang memadai dapat diaplikasikan. Adapun kekurangannya Riffat tidak menafsirkan hadis mengenai perempuan dari tulang rusuk secara metaforis. Kemampuan linguistiknya tidak diterapkan untuk menelusuri dan menggali makna dalam hadis tersebut, berbeda jika dapat diuraikan secara rinci. Mengenai konsep penciptaan perempuan penulis lebih sepakat dengan tafsiran metaforis melihat konteks diturunkannya hadis tersebut, karena dalam al-Qur‟an tidak dijelaskan. Pada proses penciptaan Adam dan istrinya sepakat bahwa mereka diciptakan dari sumber yang sama (substansinya). 94 Kedudukan seorang hamba dilihat dari ketaqwaannya terhadap Tuhannya, apapun jenis kelaminnya. Islam memang memuliakan wanita dan mengangkat kedudukannya. Akan tetapi bukan berarti segala bentuk penghormatan menjadikannya merasa tinggi. Begitu juga laki-laki, pada beberapa ayat tertentu yang menyaratkan superioritas tetapi hal itu berlaku pada konteks tertentu. Keduanya tetap harus saling melengkapi, menjalin harmonisasi sebagai hamba kemanusiaannya. 95 yang dapat mengemban tugas BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai barikut: 1. Konsep Pendidikan Islam yang berkeadilan gender mencakup unsur persamaan, kemanusiaan, dan keseimbangan. Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna. Derajat kemanusiaannya tidak ditentukan jenis kelaminnya melainkan ketaqwaan pada Tuhannya. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menghargai hak sesama, saling melengkapi, menjadi pelindung satu sama lain. 2. Hubungan gender dengan Pendidikan Islam yaitu menuntun untuk terwujudnya relasi antara laki-laki dan perempuan agar keduanya hidup dalam harmoni dan kesalehan bersama-sama. 3. Kontribusi pemikiran Riffat Hassan bagi Pendidikan Islam berkeadilan gender yaitu melakukan reinterpretasi teks keislaman salah satunya al-Qur‟an. Konsep dasar yang dibawanya adalah persamaan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari bahan yang sama. Kedudukannya setara di mata Sang Pencipta. 96 B. Saran Setelah memaparkan dan menarik kesimpulan, ada beberapa saran yang penulis berikan. Diantaranya: 1. Mencantumkan kajian gender sebagai kurikulum pembelajaran pada lembaga pendidikan terutama di perguruan tinggi Islam. Sebagai sarana pemanusiaan, lembaga pendidikan yang menjadi wadah untuk pengembangan diri manusia memberi pengaruh besar terhadap perkembangan individu salah satunya perkembangan berpikir. Pada nilainya Islam mengajarkan nilai kemanusiaan dan keadilan. Selama masih ada kehidupan gender akan terus berpengaruh, setiap manusia perlu mengetahui tentang dirinya baik laki-laki maupun perempuan, termasuk perbedaan biologi maupun bentukan sosial maupun budaya yang berada di luar dirinya. 2. Menghimpun teks keislaman (baik al-Qur‟an maupun hadis) yang berkaitan dengan gender dan melakukan telaah kritis dengan melakukan interpretasi ulang terhadap beberapa teks yang bertendensi mengandung misogini. Salah satunya hadis, karena masih ada beberapa hadis yang berseberangan dengan teks al-Qur‟an terutama mengenai perempuan. Hal ini dilakukan untuk merubah atau meluruskan cara pandang supaya individu lebih bijak dalam menanggapi sebuah teks. 3. Kajian atau isu perempuan tidak mutlak wajib diketahui perempuan saja tetapi laki-laki pun perlu mempelajari. Karena bagian dari 97 problem kemanusiaan maka hal ini menjadi permasalahan bersama dan mengharapkan laki-laki dan perempuan terlibat untuk saling membantu mengatasi problematika ini. Jika tidak dikhawatirkan hanya satu pihak (perempuan) saja yang mengetahui dan bisa saja menyebabkan sebuah ketimpangan. Perempuan diberdayakan sedangkan laki-laki tidak diedukasi, maka perlu disosialisasikan dan diketahui keduanya agar dalam menjalani kehidupan mampu bersinergi karena mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan mereka.Ada beberapa klasifikasi mengenai tanggung jawab, kewajiban, dan hak yang melekat pada diri masing-masing yang perlu diketahui serta dipahami. 4. Melalui pendidikan berwawasan gender akan berdampak pula dengan keberlangsungan hidup manusia, baik sebagai pendidik di lembaga pendidikan, dalam keluarga maupun masyarakat. Ketika menjadi guru ataupun dosen hal ini dapat menyampaikan materi yang responsif gender begitu juga dalam praktiknya. Dalam keluarga seperti suami istri maupun perannya sebagai ayah dan ibu keduanya mampu berjalan sebagai mitra, membangun relasi yang bersinergi, saling tolong menolong satu sama lain baik dalam pembagian kerja yang menyangkut ruang publik maupun domestik. Tidak ada superioritas maupun inferioritas karena keduanya sama sebagai makhluk Tuhan yang berasal dari percampuran dua benih dari laki-laki dan perempuan juga. Di masyarakat pendekatan ini bisa disampaikan melalui 98 pertemuan seperti majlis ta‟lim atau lewat organisasi kemasyarakatan lainnya seperti LSM melalui sistem advokasi. Bahkan ketika memangku jabatan dalam ranah politik pun, pengetahuannya akan gender turut mempengaruhi kebijakan. Baik ketika perumusan undangundang maupun revisi. 99 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Zulkarnaini, 2003. Mengapa Harus Perempuan?. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Adi, Rianto. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit. Al-allawi, Muhammad Ali. 2006. THE GREAT WOMEN Mengapa Wanita Harus Merasa Tidak Lebih Mulia. Jakarta Selatan: Pena Pundi Aksara. Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Rineka Putra. Engineer, Asghar Ali. 1999. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. Engineer, Asghar Ali. 2004. Islam Masa Kini. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hasnah, Siti. 2011. Emansipasi Wanita dalam Kemitrasejajaran dan Pendidikan Islam. Musawa. Vol. 3: 39-54. Hassan, Riffat. 1995. Setara di Hadapan Allah (Relasi Perempuan dan Laki-laki dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi). Yogyakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA). Hidayatullah, Syarif. 2010. Teologi Feminisme Islam. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. Ihromi. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ilyas, Hamim. 2003. Perempuan tertindas? Kajian Hadis-Hadis “Misoginis”. Yogyakarta: ELSAQ Press dengan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jalaludin. 2003. Teologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Jurnal Perempuan. 2006. Metodologi dan Epistemologi Feminis. Jakarta: YAYASAN JURNAL PEREMPUAN. No. 48. 100 Kadarusman. 2005. Agama Relasi Gender & Feminisme. Yogyakarta. KREASI WACANA. Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Kementarian Agama RI. 2012. Tafsir al-Qur‟an Tematik Kedudukan dan Peran Perempuan. Jakarta: Penerbit Aku Bisa. Mosse, Cleves Julia. 1996. Gender & Pembangunan. Yogyakarta: RIFKA ANNISA Women‟s Crisis Centre dengan PUSTAKA PELAJAR. Muchtar, Heri Jauhari. 2005. Fiqh Pendidikan. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. Mulia, Siti Musdah. 2005. Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan. Bandung: Mizan. Mulia, Siti Musdah. 2006. Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender, Yogyakarta: Kibar PRESS. Muslihah, Eneng. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Diadit Media. Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: GEMA INSANI. Mustaqim, Abdul. Paradigma Tafsir Feminis Membaca Al-Qur‟an dengan Optik Perempuan. Yogyakarta: LOGUNG PUSTAKA (tt). Mutohar, Anam, dkk. 2013. Manifesto Modernisasi Pendidikan Islam & Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nurhaeni, Astuti Dwi Ismi. 2010. Kebijakan Publik Pro Gender. Surakarta: UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press). Nurhayati, Elli. 2006. Ilmu Pengetahuan + Perempuan = .... Jurnal Perempuan. No. 48: 7-15. Nurhayati, Etti. 2012. Psikologi Perempuan dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Qibtiyah, Alimatul. 2006. Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam: Teori & Praktik. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. Rohmah, Nur dan Labib Ulinnuha. 2014. Relasi Gender dan Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam. Vol. III No. 2: 345-364. 101 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. 2008. Pedoman Penulisan skripsi dan Tugas Akhir, Salatiga. Shihab, Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur‟an. Jakarta: Lentera hati. Solichin, Mohammad Muchlis. 2006. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kesetaraan Gender. Tadris. Vol.1 No.1: 51-60. Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. TIM PSGK STAIN SALATIGA, 2012. Menelisik Gender dalam Konstruksi Sosial. Salatiga: STAIN Salatiga Press. Umar, Nasaruddin, 1999. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟an. Jakarta Selatan: Paramadina. 102 103 104 105 106 107 108