(TELAAH PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN) SKRIPSI

advertisement
MEMBANGUN PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM
BERKEADILAN GENDER
(TELAAH PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN)
SKRIPSI
Disusun Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh:
ENDANG DWIJAYANTI
NIM: 111-12-147
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
“Sesungguhnya laki-laki muslim dan perempuan muslimah, laki-laki mukmin dan
perempuan mukminah, laki-laki yang taat dan perempuan yang taat, laki-laki
yang benar dan demikian juga perempuan yang benar, laki-laki penyabar dan
perempuan penyabar, laki-laki yang khusyu‟ dan perempuan yang khusyu‟, lakilaki yang gemar bersedekah dan perempuan yang gemar bersedekah, laki-laki
yang sering kali berpuasa dan perempuan yang sering kali berpuasa, laki-laki
yang selalu memelihara kemaluannya dan perempuan yang selalu juga
memelihara kehormatannya, laki-laki yang banyak berdzikir menyebut nama
Allah dan perempuan yang banyak berdzikir menyebut nama Allah, Allah telah
menyediakan untuk tiap-tiap orang dari mereka ampunan dan pahala yang
besar.” (Q.S. al-Ahzab: 35)
“Tidak ada hasil usaha, kerja keras, maupun jerih payah yang sia-sia.”
vi
PERSEMBAHAN
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan izin Allah SWT skripsi
ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Almarhum ayahku Subur Santoso yang dulu telah membiayai pendidikanku
sampai perguruan tinggi, kemudian ibuku Punarwati yang sabar dalam
membimbingku.
Adikku
tercinta
Angkus
Hadidayasa
yang
sangat
menyayangiku, tidak lupa juga kepada seluruh keluargaku phakdhe, budhe,
kakak-kakak sepupuku.
2. Dosen pembimbing skripsi Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si. yang sabar dalam
membimbing, mengarahkan, menghargai, memantapkan rasa percaya diri saya
dan mengerti akan keterlambatan saya dalam penyusunan skripsi ini.
3. Kepada Ahmad Dimyati dan Siti Alfijah yang sudah ku anggap sebagai orang
tuaku, terima kasih untuk semangat dan nasihatnya. Selalu memberi sambutan
hangat di setiap kunjungan saya.
4. Sahabat-sahabatku Fajri, Lia, Aisyah, Rouf, Anis, Wulan, Agus, Maftukhin,
Murni, yang selalu mendukung dan mendengarkan ceritaku.
5. Tentunya tidak lupa juga untuk keluarga besar LPM Dinamika mulai dari
alumniku Kang Akbar, Kang Singgih, Kang Syukron, kemudian kakak-kakak
angkatanku Kak Hasan, Kak Nazil, Kak Lasin, Mas Alif Habban, Mas oyon,
Mbak Ozi, yang sabar dalam membimbing dan mengajariku. Teman-teman
seangkatan dan tidak lupa juga untuk adik-adik angkatanku yang telah
vii
mendoakan dan memberi dukungan. Terima kasih karena sudah diizinkan dan
diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari LPM DinamikA. Tidak lupa juga
untuk kawan persma lainnya.
6. Teman seperjuangan di kampus khususnya mahasiswa/i PAI Angkatan 2012.
7. Almamaterku IAIN Salatiga.
viii
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini meski masih jauh dari kata sempurna. Sholawat serta salam selalu
tercurahkan pada junjungan Rasulullah Muhammad SAW sang revolusioner,
semoga kelak dapat berjumpa dan mendapat syafaatnya di hari akhir.
Penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari
beberapa pihak. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2.
Suwardi, M.Pd. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
3.
Siti Rukhayati, M.Ag. Ketua jurusan Pendidikan Agama Islam.
4.
Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si. dosen pembimbing skripsi yang telah
mencurahkan pikiran dan waktunya dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5.
Dra. Ulfah Susilowati, M. Si. selaku Pembimbing Akademik.
6.
Ibuku (Punarwati) dan adikku (Angkus Hadidayasa) saudara-saudaraku.
7.
Keluarga besar LPM DinamikA baik alumni, demisioner, teman-teman
seperjuangan, maupun adik-adik angkatanku yang selalu mendukungku.
8.
Sahabat-sahabat ku yang selalu sabar mendampingi dan menyemangatiku.
9.
Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu
selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.
10. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
ix
Terselesainya tulisan ini selain sebagai bentuk tanggung jawab
pengenyam perguruan tinggi tentunya kelak akan menjadi salah satu referensi.
Semoga dapat menjadi sumbangan pemikiran dan kajian literasi dalam
keberlangsungan pendidikan khususnya Perguruan Tinggi Islam. Semoga
bermanfaat.
Salatiga, 20 Maret 2017
Penulis
Endang Dwijayanti
NIM. 111-12-147
x
ABSTRAK
Dwijayanti, Endang. 2017. “Membangun Paradigma Pendidikan Islam
Berkeadilan Gender (Telaah Pemikiran Riffat Hassan)”. Skripsi.
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama
Islam,
Institut
Agama
Islam
Negeri
Salatiga.
Pembimbing: Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si.
Kata kunci: Pendidikan Islam, Gender, Riffat Hassan.
Salah satu penyebab yang melanggengkan konstruksi sosial budaya yang
mengakibatkan ketidakadilan gender adalah pemahaman agama. Istilah „bias
gender‟ yang berangkat dari pemahaman agama yang berat sebelah seolah
melanggengkan sebuah hegemoni yang didominasi pada salah satu jenis kelamin.
Minimnya pengetahuan tentang gender tanpa disadari mempengaruhi pola pikir
dan sikap dalam memandang realita. Meski tidak disebutkan secara eksplisit jika
menengok sejarah jelas terlihat bagaimana Islam datang untuk menegakkan
keadilan gender. Kalaupun benar ada ketimpangan dalam penafsiran maka harus
ditelaah kembali pijakan teologi Islam yang menjadi sumber Pendidikan Islam
yaitu al-Qur‟an dan hadis.
Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1)
Bagaimana konsep Pendidikan Islam yang berkeadilan gender; (2) Bagaimana
hubungan Pendidikan Islam dengan gender; (3) Kontribusi apa yang diberikan
Riffat Hassan untuk mewujudkan Pendidikan Islam yang berkeadilan gender.
Temuan penulis berkaitan pertanyaan yang ada yaitu (1) Konsep
Pendidikan Islam berkeadilan gender berangkat dari nilai persamaan,
kemanusiaan, dan keseimbangan. (2) Hubungan Pendidikan Islam dengan gender
menuntun untuk terwujudnya relasi antara laki-laki dan perempuan. Derajat
kemanusiaannya sama dimata Tuhan, bukan karena jenis kelaminnya melainkan
ketaqwaannya. (3) Kontribusi Riffat Hassan dalam rangka menegakkan keadilan
gender yaitu melakukan interpretasi ulang terhadap teks keislaman terutama alQur‟an sebagai sumber nilai tertinggi. Konsep dasar yang dibawanya adalah
persamaan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari bahan yang sama.
Kedudukannya setara di mata Sang Pencipta.
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL ................................................................................................................. i
LEMBAR BERLOGO .......................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN .......................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .............................................................v
MOTTO ................................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN ................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
ABSTRAK ............................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...............................................................................1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................8
C. Tujuan Penelitian .........................................................................................8
D. Manfaat Penelitian .......................................................................................9
E. Telaah Pustaka...........................................................................................10
F. Metode Penelitian.......................................................................................14
G. Penegasan Istilah ........................................................................................16
H. Sistematika Penulisan ................................................................................20
xii
BAB II KONSEP PENDIDIKAN ISLAM BERKEADILAN GENDER
A. Pengertian Pendidikan Islam ......................................................................21
B. Pengertian Keadilan Gender ......................................................................22
C. Tujuan Pendidikan Islam Berkeadilan Gender ..........................................30
D. Gender dalam Al-Qur‟an............................................................................31
E. Nilai-Nilai Keadilan Gender ......................................................................33
BAB III RIFFAT HASSAN DALAM TELAAH KEADILAN GENDER
A. Biografi Riffat Hassan................................................................................39
B. Latar Belakang Pendidikan ........................................................................42
C. Dasar Pemikiran Riffat Hassan ..................................................................45
BAB IV ANALISIS TRANSFORMATIF KEADILAN GENDER
A. Menyibak Eksistensi Perempuan ...............................................................54
B. Rekonstruksi Interpretasi Mitos Perempuan ..............................................64
C. Elaborasi Kajian Riffat Hassan dalam Pendidikan Islam ..........................78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................95
B. Saran ...........................................................................................................96
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENULIS
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar SKK
2. Nota Pembimbing Skripsi
3. Lembar Konsultasi
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gender bukanlah sebuah kajian baru, selain menjadi wacana
akademis kajian ini berkembang sebagai sebuah disiplin ilmu (perspektif).
Istilah responsif gender, sensitif gender, berwawasan gender, bias gender
bahkan diskriminasi gender merupakan bagian dari problematika sosial.
Meski istilah ini sering di dengar oleh khalayak umum akan tetapi belum
tentu setiap individu paham bagaimana hal tersebut bisa muncul. Apabila
rancu dalam memahami makna ini maka akan berdampak pada cara
pandang dimana nanti akan mempengaruhi sikap.
Gender menjadi sebuah permasalahan yang kompleks dan cukup
signifikan karena menyangkut kehidupan umat manusia. Pokok bahasan
yang menarik dan sering mendapat sorotan pada kajian ini yaitu
perempuan. Dunia perempuan memang menjadi pembahasan yang
menarik untuk dikaji atau diperbincangkan. Seringnya mendapat sorotan
layaknya seperti makhluk istimewa, bukan hanya keindahan yang selalu
dilekatkan pada dirinya melainkan ada sisi lain yang mungkin perlu
diungkap mengenai keberadaannya.
Kehidupan perempuan yang sering menjadi topik pembicaraan
yang menarik layak untuk diajukan. Maka perlu ditelusuri mengapa
pembahasan ini memasuki dan menjadi sebuah wilayah diskursus. Usaha
perempuan untuk melawan praktik diskriminasi yang menganggap
1
keberadaannya sebagai makhluk the second classmelewati proses yang
cukup panjang. Menghadapi sebuah struktur yang timpang dimana jenis
kelamin laki-laki lebih diunggulkan atau diutamakan, label inferior
(rendah) dilekatkan pada dirinya. Jika memang demikian maka perlu
dilakukan penelusuran mengapa hal tersebut terjadi bahkan memberi
dampak yang kurang menyenangkan. Terlebih lagi perempuan juga
makhluk ciptaan Tuhan yang tentunya memiliki nilai kemanusiaan sama
halnya laki-laki.
Ketimpangan ini menjadi problematika ketidakadilan sosial dimana
perempuan kurang mendapat tempat. Gender merupakan salah satu bagian
dari masalah ketidakadilan sosial, superioritas (pengunggulan jenis
kelamin) laki-laki melekat dalam budaya masyarakat. Sering mendapat
tempat sebagai pilihan utama dengan dalih memiliki keunggulan dan
keutamaan. Kemudian hal itu berdampak menjadi sebuah hierarki atau
hegemoni yang didominasi laki-laki.
Selain struktur sosial hal tersebut dipengaruhi pula oleh cara
pandang. Cara pandang inilah yang menjadi faktor pembentukan pola pikir
yang kemudian mempengaruhi tingkah laku/sikap. Selain perspektif sosial
akar persoalan diskriminasi gender juga dipengaruhi oleh faktor teologi.
Perspektif teologis meliputi legitimasi ajaran teologi dan tradisi
keagamaan, mulai dari sini ditelusuri apakah benar bahwa pada ajaran
keagaamaan kedudukan perempuan subordinat.
2
Pendidikan Islam dibangun berdasarkan dua landasan teologis
yang menjadi dasar utama yaitu al-Qur‟an dan hadis. Konsep Pendidikan
Islam dirumuskan melalui kerangka metodologi dan dihimpun berdasarkan
tema atau pokok bahasan tertentu. Perspektif agama selalu diutamakan
dalam menghadapi ataupun memecahkan problematika umat. Kemudian
perlu ditelusuri juga apakah memang benar dalam ajaran Islam pun
perempuan dalam posisi subordinat dan termarginalkan.
Sejarah menunjukkan bagaimana Islam memuliakan perempuan
dengan menghapuskan praktikdiskriminasi masyarakat Arab jahiliyah.
Sebelum Islam datang sungguh miris nasib perempuan saat itu, bayi
perempuan dikubur hidup-hidup. Perempuan menjadi bagian dari warisan
layaknya properti, maraknya praktik poligami banyaknya masyarakat Arab
yang memiliki istri lebih dari satu. Nilai kemanusiaan perempuan saat itu
kurang mendapat perlakuan baik, maka lahirnya Muhammad saw. sebagai
utusan Tuhan diperintahkan untuk membebaskan perempuan dari berbagai
praktik diskriminasi.
Di zaman Rasullah perempuan diberi hak untuk berpartisipasi
dalam aktivitas sosialnya, memberi ruang untuk hadir dalam majlis ilmu,
kehidupan publik bagai sebuah panggung dimana laki-laki dan perempuan
terlibat, bahkan rasulpun sangat mencintai dan menyayangi putrinya
Fatiman Az-zahra. Rasulullah juga terbiasa menggendong anak-anak
perempuannya di muka publik, melalui cara sederhana ini maka pesan
yang akan disampaikan yaitu laki-laki dan perempuan berhak memperoleh
3
perlakuan
yang
adil.
Tindakannya
ini
merupakan
salah
satu
wujudkomitmen dalam mengemban misi kemanusiaannya.
Islam menegaskan bahwa perempuan bagian dari ciptaan Tuhan,
pada kisah Siti Maryam yang tertulis pada Q.S. Ali-Imran: 195 ketika
Imran dan istrinya bernadzar maka muncullah redaksi,“Sesungguhnya Aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu,
baik seorang lelaki ataupun perempuan, (karena) sebagian kamu dari
sebagian yang lain...., dari ayat ini maka muncul bahwa dimata Tuhan
baik laki-laki dan perempuan kedudukannya sama. Disinilah tampak
bagaimana Islam pun memanusiakan manusia tanpa membedakan jenis
kelamin. Bahkan Islam pun mengakui intelektualitas kaum perempuan
salah satunya ibunda Aisyah ra sebagai representasi ulama‟ perempuan.
Pada nilainya ajaran Islam mengandung spirit persamaan dan nilai
kemanusiaan tanpa adanya diskriminasi salah satu jenis kelamin. Akan
tetapi, melihat fenomena sekarang dengan adanya istilah „bias gender‟
dalam penafsiran teks memicu para pemikir kontemporer untuk mengkaji,
meneliti, dan menelaah kembali sumber ajaran Islam. Adanya asumsi yang
mengatakan bahwa Islam memasung hak perempuan, membatasi ruang,
bahkan pada beberapa ayat menunjukkan superioritas kaum laki-laki yang
menyebabkan perempuan berada pada posisi subordinat. Sehingga
muncullah tokoh reformis Islam seperti Fatima Mernissi, Riffat Hassan,
Asghar Ali Engineer, Amina Wadud Muhsin, dll.
4
Setelah menelusuri dan mengkaji kembali teks keagaamaan yang
menjadi sumber pijakan Islam tokoh tersebut menemukan adanya
beberapa hasil penafsiran yang menunjukkan adanya superioritas yang
menjadi dominasi salah satu jenis kelamin. Mengingat banyaknya
kalangan mufasir, ulama‟, cendekiawan Islam didominasi laki-laki maka
tidak menutup kemungkinan adanya produk penafsiran yang kurang
mengakomodir topik yang menjadi isu perempuan. Maka usaha yang
dilakukan yaitu melakukan interpretasi terhadap teks-teks Islam klasik
sebagai usaha guna meluruskan pandangan yang menjadi kegelisahan
akademis.
Membahas diskursus keagamaan yang sama dengan interpretasi
yang berbeda, bukan merubah teks melainkan membongkar penafsiran
lama dan menata ulang kembali dengan pendekatan yang lebih egaliter.
Menelusuri kembali literatur Islam yang bertendensi mengandung muatan
misogini. Keempat tokoh tersebut memiliki kegelisahan masing-masing
dan tentunya dengan pengalaman yang berbeda, akan tetapi keyakinannya
selaras bahwa Islam pada nilainya memuat ajaran yang universal baik
persamaan, keadilan, maupun hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan.
Menjamin hak-hak makhluk hidup tanpa adanya subordinasi maupun
diskriminasi.
Disinilah kemudian muncul perspektif sosiologis dan teologis,
hubungan antara idealitas agama dengan realitas sosial. Ketika idealitas
agama lentur dan lebih terbuka dalam memberi ruang terkadang realitas
5
sosial kurang mendukung. Begitu juga sebaliknya, jika realitas sosial
mampu memberi ruang terkadang idealitas agama tertutup. Tidak bisa
dipungkiri bahwa pemahaman akan teks turut dipengaruhi oleh kultur
dengan kondisi sosial masyarakatnya. Tetapi di satu sisi teks tersebut
mengandung spirit pembebasan dan penghapusan hal-hal yang berbau
diskriminatif. Meskipun demikian, ajaran universal tetap berlaku dan dapat
diimplemantasikan.
Disinilah kemudian dialog dan relevansi antara teks dengan
konteks guna menemukan sebuah jalan keluar yang akan menjadi tawaran
ideologi perubahan. Baik Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Asghar Ali
Engineer, maupun Amina Wadud Muhsin merupakan sosok kontroversial
dan gagasannya sering dipertentangkan tetapi tidak sedikit pula yang
mengapresiasi karya-karyanya. Melihat dari beberapa tokoh feminis
muslim menurut penulis merekalah yang konsisten mengkaji teologi
dengan melibatkan kerangka metodologi dalam kancah pemikiran Islam.
Dimana pada ranah ini akan menjadi perspektif baru dalam rangka
membangun paradigma Pendidikan Islam yang lebih responsif gender.
Akan tetapi, penulis memilih satu diantara empat tokoh tersebut
maupun pemikir lainnya. Riffat Hassan adalah tokoh yang akan menjadi
bahan kajian dalam penulisan skripsi ini. Topik utama yang akan disoroti
adalah konsep penciptaan perempuan yang menjadi perdebatan di
kalangan mufasir maupun pemikir muslim. Meski bersifat akademis
menurut Riffat hal ini menjadi sangat mendasar dan penting baik secara
6
filosofis maupun teologis. Karena jika laki-laki dan perempuan telah
diciptakan oleh Allah Yang Maha Pencipta dari sesuatu yang sama maka
selanjutnya mereka tidak dapat diperlakukan tidak sama baik dalam
bentuk apapun maupun kapanpun.
Menurutnya, adanya diskriminasi terhadap perempuan berakar dari
asumsi-asumsi teologis yang keliru dan oleh karena itu harus dibongkar
melalui reinterpretasi terhadap al-Qur‟an yang merupakan sumber nilai
tertinggi bagi umat Islam. Riffat ingin membangun kerangka dasar
paradigmatik model kepercayaan baru dalam konteks Islam dan isu-isu
keperempuanan. Sebab ia merasa yakin bahwa selama ini telah terjadi
pencemaran dan distorsi historis antara ajaran Islam normatif yang
bersumber pada al-Qur‟an dengan Islam historis yang selama ini
dipraktikkan pada masyarakat patriarkhi. Konstruksi paradigmatik itu
kemudian diintrodusir oleh Riffat sebagai teologi feminis. Teologi feminis
dalam konteks Islam dimaksudkan oleh Riffat untuk membebaskan
(liberation; taharrur) bagi perempuan dan laki-laki dari struktur dan
sistem relasi yang tidak adil, dengan cara merujuk kitab suci yang diyakini
sebagai sumber nilai tertinggi (Mustaqim, tt: 174-175).
Problematika penafsiran umat Islam terhadap ayat-ayat yang
berkaitan dengan relasi laki-laki perempuan tanpa disadari mengandung
unsur patriarkis. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perempuan
ditafsirkan menggunakan sudut pandang laki-laki tanpa melibatkan
perempuan sebagai pihak pertama.
7
Berdasarkan pemaparan diatas penulis tertarik untuk mengkaji
konsep pemikiran Riffat Hassan salah satu tokoh feminis muslim dengan
melibatkan kerangka metodologinya. Keaktifannya dalam mengkaji isuisu gender dalam teks membuka sebuah kerangka pemikiran baru bagi
perkembangan ajaran islam, melalui tulisan ini akan diuraikan kajian
teologi dari kacamata perempuan. Penulis tidak menggunakan perspektif
Riffat Hassan melainkan menghubungkan kajian interpretasinya dalam
rangka
meluruskan
konstruksi
pemikiran
selama
ini
mengalami
penyesatan interpretasi. Melalui langkah inilah uraian pada skripsi nanti
penulis akan memaparkan hasil penelitian Riffat Hassan dalam proses
merekonstruksibangunan teologi Islam dalam rangka mewujudkan
Pendidikan Islam yang berkeadilan gender.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran pada latar belakang diawal, adapun
rumusan masalah yang menjadi pokok penelitian disusun sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep Pendidikan Islam yang Berkeadilan Gender?
2. Bagaimana hubungan gender dengan Pendidikan Islam?
3. Kontribusi apa yang diberikan Riffat Hassan untuk mewujudkan
Pendidikan Islam yang Berkeadilan Gender?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Menggali konsep Pendidikan Islam berkeadilan gender.
2. Mencarihubungan Pendidikan Islam dengan gender.
8
3. Memaparkan kontribusi pemikiran Riffat Hassan dalam mewujudkan
Pendidikan Islam Berkeadilan Gender.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
a. Rekomendasi tawaran pemikiran berperspektif feminis.
b. Memperbarui cara pandang yang selama ini mengakar menjadi
konstruksi pemikiran.
c. Membangun kerangka paradigmatikmelalui kajian teologi dari
kacamata perempuan dan penerapannya dalam pendidikan Islam.
d. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya isu-isu gender sehingga
mampu menjadi sarana untuk membangun paradigma baru
berwawasan gender serta menegaskan bahwa gender bagian dari
pendidikan Islam.
2. Secara Praktis
a. Menjadi salah satu bahan proses penyusunan kurikulum maupun
silabi dalam lembaga pendidikan yang responsif gender.
b. Memberi ruang dengan cara melibatkan perempuan dalam prosesproses pengambilan keputusan, dalam bidang legislasi seperti
penyusunan perencanaan penganggaran yang responsif gender,
perumusan undang-undang. Advokasi sosialisasi Pengarusutamaan
Gender (PUG)baik dalam organisasi kemasyarakatan maupun
aktivitas sosial lainnya.
9
E. Telaah Pustaka
Pemikiran Riffat Hassan cukup menarik beberapa penulis lainnya
sebagai bahan kajian, dan hal ini membuktikan bahwa hasil karyanya
mendapatkan
perhatian
dikalangan
akademis.
Untuk
menghindari
terjadinya plagiasi, maka penulis memaparkan beberapa karya ilmiah yang
sudah ada. Selain itu telaah pustaka juga untuk melihat orisinilitas
skripsi.Setelah membaca dan mengamati penulis menemukan beberapa
skripsi dengan kajian tokoh yang samanamun ada perbedaan dalam
penelitian skripsi ini, diantaranya:
Pertama, Miftah As‟adi Romadhoni mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta Fakultas Syari‟ah dan Hukum al-Ahwal alSyakhsiyyah, 2012 dengan judul “Pemikiran Riffat Hassan tentang Peran
Istri dalam Keluarga”. Pokok pembahasannnya mengenai konsepsi Riffat
mengenai peran istri dalam ikatan perkawinan dan kedudukannya dalam
keluarga.Menjabarkan konsepsi pada penetapan tugas dan peran masingmasing pihak antara suami istri. Skripsi ini mengkritisi argumentasi Riffat
mengenai peran domestik yang mempengaruhi kiprah perempuan (sebagai
istri) dalam ruang publik.
Kedua, skripsi karya Putut Ahmad Su‟adi Jurusan Sejarah
Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, 2008 dengan judul
“Pemikiran Fazlur Rahman dan Riffat Hassan tentang Kesetaraan Gender
dalam Islam”. Kajian bersifat komparatif karena menggunakan dua tokoh
ilmuwan yang sama-sama berasal dari Pakistan untuk memadukan atau
10
mencari persamaan dalam membangun konsep kesetaraan gender tentunya
dengan metode dan kerangka berpikir yang berbeda.
Ketiga, skripsi karya Siti Kusumaningsih Jurusan Aqidah Filsafat
Fakultas Ushuludin UIN Sunan Ampel, 2014 dengan judul “Pembebasan
Perempuan: Studi Komparasi Asghar Ali Engineer dan Riffat Hassan”.
Memaparkan konsep pembebasan perempuan dari dua perspektif beserta
upaya dari kedua tokoh tersebut dalam pembongkaran aspek teologi
dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan sebagai agenda baru
pemikiran Islam.
Tiga
judul
diatas
sama-sama
mengkaji
isu
perempuan,
perbedaannya tulisan Miftah As‟adi membidik satu persoalan khusus
mengenai peran perempuan sebagai istri dalam rumah tangga, hal ini
mengarah pada pembagian kerja antara ruang domestik dan publik. Selama
ini kegiatan domestik lebih dominan diampu oleh perempuan, adapun
salah satu problematikanya adalah ketika perempuan ingin berkiprah di
ruang publik. Pembahasan inimengantarkan pada kajian fiqh.
Al-Qur‟an memberi kesempatan yang sama bagi laki-laki dan
perempuan untuk mewujudkan potensi yang ada pada dirinya, termasuk
perempuan yang berstatus sebagai istri. Namun pendefinisian maupun
penetapan tugas sering kali tidak bisa terlepas dari kultur masyarakat.
Kesetaraan laki-laki dan perempuan berdasarkan pemikiran Riffat Hassan
memiliki segi positif tersendiri akan tetapi tulisan Miftah As‟adi memberi
sebuah batasan sebagai pertimbangan terkait dengan kewajiban maupun
11
tanggung jawab yang diemban seorang istri. Riffat memang menegaskan
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan potensi yang sama untuk
mencapai kesuksesan dalam bidang apapun, namun tidak mendefinisikan
secara baku peran apa yang dapat dimainkan oleh perempuan dalam
keluarga maupun masyarakat. Adanya pendefinisian atau penetapan tugas
dapat membatasi potensi dalam kehidupan modern saat ini.
Potensi dalam diri manusia sebuah anugerah yang diberikan oleh
Tuhan dan setiap orang berhak untuk mengaktualisasikannya, termasuk
seorang istri sekalipun. Meskipun demikian, beberapa tugas baik
kewajiban maupun tanggung jawab memang harus diemban serta
dilaksanakan. Dikhawatirkan karena mengatasnamakan hak dan kesetaraan
beberapa hal yang berkaitan dengan managemen keluarga terbengkalai.
Karena ada sesuatu yang secara khusus diemban, tulisan ini mengatakan
pemikiran Riffat Hassan tidak relevan terhadap konteks di Indonesia yang
masih menganut prinsip hierarkis dalam keluarga.
Kemudian, pada skripsi Putut Ahmas Su‟adi menggunakan
perbandingan gagasan dua tokoh pemikir mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan pokok permasalahan fiqh yang beranekaragam terkait isu
perempuan. Persoalan yang menjadi topik pembahasan dua tokoh berbeda,
adapun Fazlur Rahman memulai dari persamaan kedudukan manusia,
kesaksian wanita, hukum dan sistem warisan, kemudian konsep poligami
dan cadar/purdah. Sedangkan Riffat Hassan dimulai dari konsep
12
penciptaan laki-laki dan perempuan, konsep kejatuhan manusia dari surga,
tujuan penciptaan perempuan, konsep poligami dan sistem segregasi.
Kedua tokoh yang menjadi objek pembahasan skripsi ini memiliki
visi yang sama dalam permasalahan kesetaraan gender dalam Islam bahwa
perempuan yang menjadi korban ketidakadilan gender dengan basis
teologis
harus
diselamatkan.
Hanya
saja
Rahman
menggunakan
pembaharuan Islam versi Rahman dengan gerakan Neo-Modernisme Islam
dengan merumuskan tafsir baru keagamaan yang berorientasi pada
kesetaraan terutama pada bidang fiqh. Sedangkan Riffat memperbarui teks
Islam klasik menggunakan pendekatan teologi feminis.
Keduanya memiliki persamaan kesetaraan gender dalam Islam
menggunakan al-Quran sebagai acuan sentral, Rahman merepresentasikan
gagasannya dalam spektrum yang luas didukung dengan argumen yang
represesntatif tidak hanya dalam fokus feminisme saja. Riffat juga sedikit
terpengaruh pada gagasan Rahman hanya saja lebih memilih tema-tema
teologis penciptaan perempuan yang masih tabu diperbincangkan dan
diperdebatkan oleh beberapa kalangan dan membuka ruang untuk
didiskusikan karena juga memiliki refleksi teologis.
Terakhir,
skripsi
Kusumaningsih
mengenai
pembebasan
perempuan bahwa kedua tokoh memiliki gagasan teologi pembebasan
melihat dari fakta sejarah bagaimana Islam membebaskan perempuan dari
ketidakadilan, praktik diskriminasi, dan perbudakan. Pembahasan ini
mengarah pada ranah kedudukan, menurut Riffat keunggulan laki-laki atas
13
perempuan tidak dibenarkan atas Islam dan bukanlah sebuah kondisi yang
mutlak karena posisi keduanya setara. Berbeda dengan Asghar Ali
Engineer yang mengungkapkan ada kelebihan laki-laki atas perempuan
dalam beberapa hal. Secara normatif al-Qur‟an memihak kesetaraan lakilaki dan perempuan namun secara kontekstual dalam al-Qur‟an pun
dinyatakan ada kelebihan dalam hal tetapi itu didasarkan pada konteks
sosialnya.
Sedangkan untuk kajian skripsi ini penulis lebih memusatkan hasil
penelitian Riffat Hassan mengenai proses penciptaan perempuan sebagai
topik mendasar yang menuai perdebatan. Kemudian menghubungkannya
dengan konsep Pendidikan Islam mengenai hakikat manusia menurut
Islam dengan fitrah (potensi) yang dibawanya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu kajian
pustaka, suatu penelitian dimana data-datanya diperoleh dari literatur
baik kitab tafsir, buku karya feminis muslim sebagai sumber pustaka,
jurnal, maupun artikel tentang perempuan sebagai sumber sekunder.
2. Sumber Data
Adapun sumber data utama yang digunakan dalam tulisan ini
antara lain: Riffat Hassan Setara di Hadapan Allah (Relasi Perempuan
dan Laki-laki dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi) dan Abdul
Musaqim Paradigma Tafsir Feminis Membaca Al-Qur‟an dengan
14
Optik Perempuan. Sedangkan sumber data sekunder sebagai
penunjang topik pembahasan meliputi, buku Nasaruddin Umar
Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟an, Mansour Fakih
Analisis gender & Transformasi Sosial, Kadarusman Agama, Relasi
Gender & Feminisme,Siti Muslikhati Feminisme dan Pemberdayaan
Perempuan dalam Timbangan Islam, Muzayyin Arifin Kapita Selekta
Pendidikan Islam, Ahmad Tafsir Ilmu pendidikan dalam Perspektif
Islam, Ahmad Mutohar Manifesto Modernisasi Pendidikan Islam &
Pesantren, dll.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun bentuk pengumpulan data dalam proses penyusunan
skripsi ini yaitu kepustakaan. Teknik pengumpulan ini diperoleh
melalui telaah terhadap data-data tertulis seperti buku-buku, artikel
ilmiah, dan sumber tertulis lainya yang berkaitan dengan pokok
bahasan. Adapun langkah-langkah penelitian yang dilakukan penulis
sebagai berikut :
a. Mencari buku-buku di perpustakaan yang ada hubungannya
dengan pokok masalah, baik primer sebagai sumber utama
penelitian maupun buku pendukung (sekunder) yang berkaitan
dengan kajian skripsi.
b. Menghimpun kumpulan tulisan yang membahas topik pembahasan
kemudian membandingkan antara satu sudut pandang dengan
gagasan lain.
15
c. Mengkonsultasikan hasil penemuan berupa tulisan ilmiah tokoh
lain dengan pandangan berbeda maupun pengalaman penulis yang
berkaitan dengan pokok bahasan skripsi.
4. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik deskriptif analitik yaitu
penelitian untuk menyelesaikan masalah dengan cara mendeskripsikan
masalah melalui pengumpulan, penyusunan, dan penganalisaan data
untuk kemudian dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian (Adi,
2004: 128). Memaparkan beberapa deskripsi pemikiran kemudian
melakukan analisis sehingga terjadi hubungan bermakna di antara
berbagai komponen penelitian.
G. Penegasan Istilah
Penegasan istilah disini akan membantu pembaca memahami beberapa
istilah dalam skripsi ini. Adapun beberapa istilah pokok yang penulis
kemukakan sebagai berikut:
1. Paradigma
Paradigma dalam KBBI Edisi Ketiga didefinisikan sebagai daftar
semua bentukan dari sebuah kata yang memperhatikan konjungasi dan
deklinasi kata tersebut, model dari teori ilmu pengetahuan, dan
kerangka berpikir. Abdul Mustaqim melalui bukunya Paradigma Tafsir
Feminis mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat pra anggapan
konseptual, metafisik dan metodologis dalam tradisi kerja ilmiah.
16
Menurut Musthofa Rembangy paradigma secara sederhana dapat
diartikan sebagai kacamata atau alat pandang. Sedangkan menurut
Thomas Kuhn paradigma diartikan sebagai suatu kerangka referensi
atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan
suatu teori. Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan
seberapa jauh suatu paradigma mampu melakukan konsolidasi dan
mendapat dukungan dari berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan,
pengembangan dan penerapan kurikulum oleh masyarakat ilmiah
pendukungnya (Mutohar, 2013: 139).
Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat diartikan secara
singkatnya paradigma sebagai sebuah cara pandang melalui suatu
proses keilmuan.
2. Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam adalah
pendidikan
yang
bertujuan
untuk
membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh
potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah,
menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia
dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pendidikan Islam itu
bertolak dari pandangan Islam tentang manusia sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur‟an bahwa manusia itu makhluk yang
mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok.
Fungsi pertama, manusia sebagai khalifah Allah di bumi, makna ini
mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara,
17
merawat, memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua,
manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan
mengabdi kepadaNya. Selain dari itu, manusia adalah makhluk yang
memiliki potensi lahir dan batin (Daulay, 2009: 6).
Ahmad Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam yaitu bimbingan
yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang
secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Definisi ini digunakan
menyangkut pendidikan oleh seseorang terhadap seseorang yang
diselenggarakan di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki fitrah, dalam
konteks pendidikan Islam dimaknai sebagai potensi dan ada pula yang
memaknai suci. Setiap manusia lahir membawa potensi dalam diri
(baik laki-laki maupun perempuan) dan pembentukan karakter maupun
kepribadian manusia dipengaruhi pula oleh lingkungan sekitarnya.
Pengembangan diri dibentuk melalui proses pendidikan, dimana
peserta didik dibimbing, diarahkan dalam rangka menggali potensi
dalam dirinya. Pendidikan Islam memiliki tugas untuk mencerdaskan
anak manusia dengan fitrah potensinya tanpa adanya diskriminasi atau
marginalisasi (peminggiran) jenis kelamin.
3. Keadilan Gender
Keadilan
gender
adalah
keadilan
dalam
memperlakukan
perempuan dan laki-laki sesuai kebutuhan mereka. Hal ini mencakup
perlakuan
yang
setara
atau
18
perlakuan
yang
berbeda
tetapi
diperhitungkan ekuivalen dalam hak, kewajiban, kepentingan, dan
kesempatannya (UNESCO, 2002: 20-21). TIM PSGK STAIN dalam
buku berjudul Menelisik Gender dalam Konstruksi Sosial Salatiga
mendefiniskan keadilan gender adalah antara laki-laki dan perempuan
memiliki dan menikmati status yang sama, sama-sama memiliki
kesempatan yang sama untuk merealisasikan hak-haknya dan potensi
dirinya dalam memberikan kontribusi pada perkembangan politik,
ekonomi, sosial dan budaya serta sama-sama dapat menikmati hasilhasil pembangunan tanpa harus membedakan jenis kelamin.
Konsep keadilan gender dibangun atas dasar nilai kemanusiaan
dimana tujuannya adalah memanusiakan manusia. Bukan menuntut
50:50 menyamaratakan atau membuat struktur menjadi timpang
dengan membuat laki-laki menjadi inferior. Melainkan membuka dan
memberi ruang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam
rangka pengembangan potensi. Disinilah perempuan juga mendapat
akses dan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dalam dirinya.
4. Riffat Hassan
Salah seorang tokoh feminis muslim yang lahir di ujung Galee
(lorong), suatu daerah yang berdampingan dengan Temple Road
Lahore, Pakistan.Terkenal dengan gagasan interpretasi terhadap
landasan teologi Islam berkaitan dengan isu perempuan.Menggunakan
konsep feminisme dalam mengkritisi dan membangun paradigma baru
teologi Islam berwawasan gender.
19
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini akan memberikan gambaran terkait
dengan susunan laporan penelitian:
BAB I merupakan pendahuluan, meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka,
metode penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan.
BAB II memaparkan konsep Pendidikan Islam berkeadilan gender,
membingkai perbedaan seks dan gender,tujuan Pendidikan Islam
berkeadilan gender, dasar hukum keadilan gender, kemudian nilai-nilai
yang membangun keadilan gender.
BAB IIImemaparkan telaah keadilan gender Riffat Hassan, adapun
isinya meliputi biografi pribadi dan keluarga, latar belakang pendidikan,
kemudian dasar pemikirannya beserta karya yang dihasilkannya.
BAB IVanalisis keadilan gender transformatif, menguraikan usaha
Riffat Hassan dalam menyibak asal kejadian perempuan, membongkar dan
meluruskan mitos penciptaan perempuan, kemudianmengelaborasikan
dengan Pendidikan Islam.
BAB V PENUTUPmenyimpulkanhasil seluruh pemaparan dan
mengkorelasikan hasil kajian Riffat Hassan dalam rangka membangun
konsep Pendidikan Islam Berkeadilan Gender.
20
21
BAB II
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM BERKEADILAN GENDER
A. Pengertian Pendidikan Islam
Proses pendidikan merupakan rangkaian usaha membimbing,
mengarahkan
potensi
hidup
manusia
yang
berupa
kemampuan-
kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan
di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial serta
alam sekitar ia berada. Proses kependidikan Islam senantiasa berada di
dalam nilai-nilai Islam dan berupaya menanamkan akhlaqul karimah
(Anam, 2013: 37).
Pendidikan
Islam adalah
pendidikan
yang
bertujuan
untuk
membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi
manusia
baik
yang
berbentuk
jasmaniyah
maupun
rohaniyah,
menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia
dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pendidikan Islam itu bertolak
dari pandangan Islam tentang manusia sebagaimana dijelaskan dalam alQur‟an bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang
sekaligus mencakup dua tugas pokok. Fungsi pertama, manusia sebagai
khalifah Allah di bumi, makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi
amanah untuk memelihara, merawat, memanfaatkan serta melestarikan
alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi
untuk menyembah dan mengabdi kepadaNya. Selain dari itu, manusia
adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan batin (Daulay, 2009: 6).
22
Ahmad Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam yaitu bimbingan
yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang
secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Definisi ini digunakan
menyangkut pendidikan oleh seseorang terhadap seseorang yang
diselenggarakan di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah.
B. Pengertian Keadilan Gender
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas
masalah kaum perempuan adalah membedakan konsep sex dan gender.
Dalam kamus Bahasa Inggris gender dan seks mengandung pengertian
sebagai
jenis
kelamin.
Gender
secara
umum
digunakan
untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial
budaya.
Sementara
itu,
sex
secara
umum
digunakan
untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi
biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi
seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh,
anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu
gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya,
psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya (Umar, 1999: 35).
Pertama, kita perlu mengetahui konsep biologi dalam diri manusia.
Berikut uraiannya dikutip dari disertasi Nasaruddin Umar dalam buku
Wacana Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟an, penulis mengolah dalam
bentuk tabel supaya lebih mudah.
23
No
Sex (Laki-Laki)
1.
Mempunyai Penis
2.
Memiliki
hormon
Sex (Perempuan)
Mempunyai Vagina
testosterone Memiliki
ovarium,
memproduksi
(pembawa sifat-sifat kejantanan), hormon prolactin, extrogen, dan
berfungsi
untuk
memproduksi progesteron
pembentukan
sperma.
(berpengaruh
dalam
sifat-sifat
dasar
perempuan).
3.
Mempunyai dua jenis kromosom Perempuan
yang berbeda (XY), heterogametic kromosom
4.
5.
mempunyai
yang
sejenis
dua
(XX),
sex.
homogametic sex.
Mempunyai suara yang lebih
Suara lebih bening, buah dada
besar, berkumis, berjenggot, dada
menonjol, pinggul umumnya lebih
bidang atau datar.
lebar (mulai membentuk).
Haid,
-
nifas,
hamil,
melahirkan,
menyusui
Perlu diketahui perbedaan biologi pada tabel diatas merupakan kodrat,
mutlak ada dalam diri manusia tidak bisa dirubah dan tidak bisa dipertukarkan.
Berlaku sepanjang masa, dimana saja, murni ciptaan Tuhan bukan buatan
manusia. Hal ini sudah melekat pada diri setiap manusia.
24
Berbeda dengan sex, gender adalah suatu konsep tentang klasifikasi sifat
laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) yang dibentuk secara sosio-kultural.
Di dalam Women‟s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep
kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, posisi,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
dalam masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa gender itu tidak berlaku
universal. Artinya setiap masyarakat, pada waktu tertentu, memiliki sistem
kebudayaan (cultural systems) tertentu yang berbeda dengan masyarakat lain dan
waktu yang lain. Sistem kebudayaan ini menyangkut elemen dasar deskriptif dan
prekristif, yaitu mempunyai citra yang jelas tentang bagaimana “sebenarnya” dan
“seharusnya” laki-laki dan perempuan itu (Faqih, 2004: 20-21).
Gender bukanlah kodrat melainkan sebuah bentukan budaya (kultur
sosial), dapat berubah atau dipertukarkan, tergantung budaya setempat, bukan
kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Secara biologi laki-laki dan perempuan
memiliki bentuk tubuh serta fungsi beberapa organ yang berbeda. Adapun
mengenai peran, karakteristik, posisi, dipengaruhi oleh faktor di luar diri manusia.
Contohnya dalam hal sifat (feminin) perempuan dideskripsikan lemah lembut
dalam bertingkah laku atau berbicara, pemalu, tunduk, emosional, cengeng, tidak
dapat berpikir rasional, pasif, hal ini turut dipengaruhi oleh bentukan sosial/kultur.
Sedangkan laki-laki digambarkan dengan beberapa sifat maskulin seperti agresif,
tidak emosional, lebih objektif, rasional, jarang menangis, aktif, pemberani.
Disadari atau tidak beberapa sifat atau karakter ini terkadang bisa dipertukarkan,
misalkan dari suara ada laki-laki yang lemah lembut dan kalem. Ada juga
25
perempuan memiliki suara yang cukup keras atau lantang saat berbicara.
Mengenai rasio hal itu bisa dibantah karena saat ini banyak sekali perempuan
yang berprestasi dalam berbagai bidang bahkan mampu meraih pendidikan tinggi.
Sifat-sifat tersebut bisa terjadi dengan siapapun baik laki-laki atau perempuan
tergantung bagaimana kondisi sosial budaya mempengaruhinya baik dalam
lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Gender merupakan seperangkat analisis untuk membedakan laki-laki dan
perempuan. Perlunya memahami konsep sex merupakan kunci utama karena
sering dikonstruksikan untuk menentukan relasinya pada ranah sosial terutama
perempuan. Kodrat yang dibawa perempuan seperti haid, nifas, hamil,
melahirkan, dan menyusui digeneralisasi dan berimplikasi pada posisi atau letak
kedudukan perempuan. Hal-hal diluar kodrati dimungkinkan untuk bisa dirubah
baik mengenai peran maupun fungsi.
Kemudian pada pembagian kerja perempuan lebih sering dikondisikan
untuk mengampu pekerjaan domestik. Hal-hal yang berkaitan dengan tugas rumah
tangga seperti mencuci baju, piring, membersihkan rumah (menyapu, mengepel).
Bentukan budaya pada masyarakat lebih sering menempatkan perempuan pada
ranah domestik, hal ini turut mempengaruhi perempuan yang terlibat dalam
aktivitas sosial. Konteks ibu yang ada dalam benak masyarakat masih sering
dilekatkan dengan hal-hal yang bersifat domestik. Meski di salah satu sisi
perempuan juga bisa terlibat dan memiliki peran dalam ruang sosial (publik).
Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin
biologis merupakan pemberian, kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau
26
seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin
adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh
kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts) untuk diikuti
oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin atau maskulin,
sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak kita
bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan caracara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi lakilaki dan perempuan (Mosse, 1996: 2-3).
Gender kita membatasi dan mendahului kita. Kita lahir kedalamnya
sebagaimana halnya kita lahir ke dalam keluarga kita dan gender kita bekerja pada
suatu tingkat di luar tujuan-tujuan individu kita. Untuk itulah kita cenderung
menjalani peran gender sebagai sesuatu yang benar, alami dan baik. Peran gender
yang kita jalani dalam kehidupan sehari-hari merupakan bagian dari landasan
kultural kita dan tidak mudah diubah (Mosse, 1996: 7 mengutip buku Reeves
Sanday berjudul Female Power and Male Dominance).
Gender tidak akan menjadi masalah selama perempuan dan laki-laki
diperlakukan secara adil. Tidak masalah bagi perempuan dan laki-laki ketika
membuat klasifikasi “feminin” dan “maskulin” selama tidak digunakan untuk
memberikan perlakuan yang diskriminatif dan merugikan salah satu jenis kelamin.
Namun apabila pembedaan-pembedaan tersebut kemudian digunakan digunakan
sebagai dasar untuk memperlakukan kedua jenis kelamin secara berbeda dan
diskriminatif negatif, maka gender menjadi masalah (Nurhaeni, 2010: 25-26).
27
Gender akan menjadi masalah apabila masyarakat punya pandangan
bahwa pendidikan perempuan sebaiknya lebih rendah dari laki-laki karena ia
“hanya” bertanggung jawab di rumah. Gender juga menjadi masalah apabila
dalam masyarakat ada pandangan bahwa gaji perempuan dan jaminan sosial yang
diterimanya harus lebih rendah dari laki-laki karena perempuan “hanya” pencari
nafkah tambahan. Gender menjadi masalah apabila jabatan publik perempuan
seharusnya lebih rendah dari laki-laki karena perempuan bersifat feminin, tidak
mampu memimpin, kurang mandiri, dsb. Dengan kata lain, ketika masyarakat
memperlakukan perempuan dan laki-laki secara diskriminatif negatif bukan
karena kompetensinya, tetapi semata-mata karena jenis kelaminnya, maka bisa
dikatakan telah terjadi ketidakadilan gender (Nurhaeni,2010: 26).
Mansour
Fakih
memaparkan
perangkat
yang
digunakan
untuk
menganalisis bentuk ketidakadilan gender, yaitu marginalisasi (peminggiran
perempuan), subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban kerja majemuk
(ganda). Kemudian penulis meringkas hal tersebut dalam tiga bagian berkaitan
dengan gender, yaitu:
1. Kedudukan
Marginalisasi serta subordinasi menjadi faktor utama sebab
perempuan teralienasi, adanya efek dari pemahaman superioritas maka
keberadaan perempuan menjadi terpinggirkan. Karena laki-laki selalu
diutamakan dan hal ini sering diasumsikan bahwa kedudukan laki-laki
lebih tinggi dari perempuan. Sehingga ketika perempuan ingin
menunjukkan atau mengembangkan potensi pada dirinya terhambat.
28
2. Peran (fungsi)
Berbicara mengenai peran, salah satu yang sering dituju yaitu
ruang publik dan domestik. Kultur (budaya) mengkonstruksikan
domestik sebagai kodrat yang dilekatkan dan harus dilakukan oleh
perempuan. Ketika anak perempuan lahir maka akan menanggung dan
menjalankan tugas ini.
Menilik kembali pada pembahasan sebelumnya bahwa kodrat
sesuatu yang bersifat biologi dan tidak bisa berubah maupun
dipertukarkan, sedangkan hal ini dipengaruhi faktor yang berada di
luar diri manusia. Hal yang berada di luar diri manusia tidaklah
bersifat kodrati. Jika dikaitkan dengan masalah ini maka tidak ada
salahnya kalau laki-laki turut andil untuk membantu meringankan
tugas rumah baik posisinya sebagai anak laki-laki, suami, maupun
ayah.
Sering kali masyarakat menilai tidak lazim jika laki-laki membantu
mengerjakan pekerjaan domestik karena itu milik perempuan. Label
inilah yang sudah terkonstruksi dalam mindset masyarakat sehingga
ketika hal tersebut dilakukan menganggap seolah dunia terbalik.
Padahal tidak karena sifatnya fleksibel. Begitu juga mengenai profesi,
tidak ada yang mutlak menjadi milik laki-laki.
Perempuan juga berhak mendapat akses yang sama untuk meraih
pendidikan tinggi, mengembangkan potensi baik pada bidang sosial
29
politik, dilibatkan dalam pengambilan keputusan, maupun aktivitas
sosial lainnya.
3. Citra
Berbicara masalah citra maka hal ini berkaitan dengan cara
pandang, gambaran yang dimiliki oleh banyak orang mengenai pribadi
seseorang atau kelompok lainnya. Dalam analisis gender hal ini
disebut stereotype, yaitu pelabelan negatif atau penandaan terhadap
suatu jenis kelamin tertentu yang mengakibatkan diskriminasi.
Misalkan ketika menanggapi kasus pemerkosaan. Pertama kali
yang diduga adalah pihak perempuan yang berdandan atau berpakaian
minim (misalnya) yang memancing syahwat laki-laki. Tanpa adanya
analisa lebih jauh selalu saja perempuan menjadi korban sekaligus
pemicu terjadinya pemerkosaan.
Kemudian label pemalas yang juga sering diberikan kepada lakilaki. Baik dalam hal kebersihan maupun kegiatan pembelajaran, hal
tersebut tidaklah demikian. Karena masing-masing dari mereka juga
mampu merawat diri dan memenuhi tanggung jawab.
Satu
kesimpulan bahwa
yang membedakan laki-laki dan
perempuan selain bentuk tubuh yaitu reproduksi. Serta komponen
kimia dalam organ tubuhnya beserta fungsinya. Hal ini mutlak, tidak
bisa dipertukarkan atau dirubah, kalupun teknologi mampu melakukan
hanya terbatas batas perubahan jenis kelaminnya tapi tidak pada fungsi
reproduksi. Kemudian masalah gender merupakan sesuatu yang
30
berasal dari luar diri manusia, bentukan sosial budayanya dan bisa
dipertukarkan. Baik laki-laki maupun perempuan bisa saling bertukar
dan bekerja sama karena sifatnya yang fleksibel dan fungsional.
C. Tujuan Pendidikan Islam Berkeadilan Gender
Mengacu pada beberapa definisi diatas adapun tujuan Pendidikan
Islam yaitu membentuk pribadi muslim dengan jalan membimbing,
mengarahkan, mengembangkan potensi atau kemampuan dasar (fitrah)
sesuai dengan ajaran Islam. Laki-laki dan perempuan sebagai makhluk
ciptaan Allah diciptakan dari bahan yang sama melalui proses perpaduan
dari benih dua jenis kelamin. Mereka dibebani tanggung jawab sebagai
hamba,
mendapat
kesempatan
untuk
mengembangkan
potensi,
mengaktualisasi diri, mendapat pahala jika berbuat kebaikan, dan berdosa
ketika melanggar ketentuan Tuhan. Pada nilainya islam membawa misi
keadilan, membuka peluang yang sama kepada hambanya dalam rangka
pengembangan potensi dan hak aktualisasi diri tanpa adanya diskriminasi
atau menggunggulkan satu jenis kelamin. Karena Islam mengajarkan
kepada umatnya untuk menghargai hak sesama.
Perempuan
sebagai
makhluk
Tuhan
berhak
mendapatkan
pendidikan yang layak dan kesempatan yang sama dalam rangka
pengembangan diri dengan memperhatikan potensi individu. Pandangan
patrilineal yang menyatakan bahwa perempuan rendah akalnya harus
dibongkar. Tidak ada perbedaan karena keduanya memiliki akal dan
mampu menjadi pribadi yang berkembang jika difungsikan secara optimal.
31
Bumi ini diciptakan untuk laki-laki dan perempuan, selain beribadah
mereka juga mengemban tugas sebagai khalifatullah fil ardh.
Adapun tujuan Pendidikan Islam Berkeadilan Gender yaitu
menumbuhkembangkan
potensi
jasmani
dan
rohani
berdasarkan
kemampuan dasar (fitrah) tanpa adanya diskriminasi atau subordinasi
salah satu jenis kelamin. Perbedaan biologis bukan berarti menghambat
kiprah perempuan atau membatasi ruang gerak atas nama kodrat. Karena
Islam pun juga memberi celah dengan aturan yang lebih longgar untuk
memberi ruang maupun akses.
D. Gender dalam Al-Qur’an
Hakikat Pendidikan islam dalam konteks gender pada prinsipnya
sebagai usaha untuk memanusiakan manusia (secara keseluruhan) tanpa
memandang suku, ras, maupun jenis kelamin. Orientasi ini dilihat dari
dasar ayat al-Qur‟an sebagai berikut:
“Barang siapa yang mengerjakan amal-amak saleh, baik ia laki-laki
maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu
masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”
(Q.S. an-Nisa‟: 124)
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma‟ruf, mencegah dari yang munkar,
32
mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta‟at kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat)
syurga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka
didalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga „Adn.
Dan keridhaan Allah adalah lebih besar, itu adalah keberuntungan yang
besar.” (Q.S. at-Taubah: 71-72)
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.” (Q.S an-Nahl: 97)
“Sesungguhnya laki-laki muslim dan perempuan muslimah,laki-laki
mukmin dan perempuan mukminah, laki-laki yang taatdanperempuan
yang taat, laki-laki yang benardan demikian jugaperempuan yang benar,
laki-laki penyabar dan perempuan penyabar,laki-laki yang khusyu‟ dan
perempuan yang khusyu‟, laki-laki yang gemar bersedekah dan
perempuan yang gemar bersedekah, laki-laki yang sering kali berpuasa
dan perempuan yang sering kali berpuasa, laki-laki yang selalu
memelihara kemaluannya dan perempuan yang selalu juga memelihara
kehormatannya, laki-laki yang banyak berdzikir menyebut nama Allah dan
perempuan yang banyak berdzikir menyebut nama Allah, Allah telah
menyediakan untuk tiap-tiap orang dari mereka ampunan dan pahala
yang besar.” (Q.S. al-Ahzab: 35)
33
E. Nilai-Nilai Keadilan Gender
Keadilan
gender
adalah
keadilan
dalam
memperlakukan
perempuan dan laki-laki sesuai kebutuhan mereka. Hal ini mencakup
perlakuan yang setara atau perlakuan yang berbeda tetapi diperhitungkan
ekuivalen dalam hak, kewajiban, kepentingan, dan kesempatannya
(UNESCO, 2002: 20-21). TIM PSGK STAIN Salatiga dalam buku
berjudul Menelisik Gender dalam Konstruksi Sosial mendefiniskan
keadilan gender adalah antara laki-laki dan perempuan memiliki dan
menikmati status yang sama, sama-sama memiliki kesempatan yang sama
untuk merealisasikan hak-haknya dan potensi dirinya dalam memberikan
kontribusi pada perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta
sama-sama dapat menikmati hasil-hasil pembangunan tanpa harus
membedakan jenis kelamin.
Adapun beberapa nilai dalam Islam yang membangun keadilan gender,
yaitu:
1. Prinsip Keadilan
“Sesungguhnya
Allahmemerintahkanberlaku
adildanberbuat ihsan, pemberiankepada kaum kerabat, dan
Dia, melarangperbuatan kejikemunkaran, danpenganiayaan,
Dia memberi pengajarankepada kamukamu dapat selalu
ingat.” (Q.S. an-Nahl (16): 90)
Kata al-adl terambil dari kata „adala yang terdiri dari
huruf-huruf „ain, dal, dan lam. Rangkaian huruf ini
mengandung dua makna yang bertolak belakang, yakni lurus
dan sama serta bengkok dan berbeda. Seseorang yang adil
34
adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan
ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang
menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah
seorang yang berselisih (Shihab, 2002: 698).
Kemudian
Quraish
Shihab
juga
mencantumkan
pendapat beberapa pakar dalam mendefinisikan adil dengan
penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini
mengantar pada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas
boleh jadi tidak sama. Ada juga yang menyatakan bahwa adil
adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya melalui jalan
yang terdekat. Ini bukan saja menuntut seseorang memberi hak
kepada pihak lain, tetapi juga hak tersebut harus diserahkan
tanpa menunda-nunda. “Penundaan utang dari seseorang yang
mampu membayar utangnya adalah penganiayaan.” Demikian
sabda Nabi. Saw. Ada lagi yang berkata adil adalah moderasi:
”tidak mengurangi tidak juga melebihkan,” dan masih banyak
rumusan yang lain.
2. Musyawarah
Salah satu ayat yang populer dan berkaitan dengan ini yaitu:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,
dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
berikan kepada mereka.” (Q.S. Asy-Syuura (42): 38)
35
Asas ini memiliki peran penting karena memberi ruang bagi
setiap orang untuk menyalurkan gagasan, aspirasi, kritik dalam
rangka pengambilan keputusan maupun kebijakan. Disinilah akan
tercipta ruang demokratis dan menjadi lahan untuk menunjukkan
kemampuan diri baik bagi laki-laki maupun perempuan karena
keduanya sama-sama dilibatkan. Baik pada ranah pribadi seperti
keluarga maupun hal yang bersifat publik.
3. Kemanusiaan
Ayat ini menjadi prinsip dasar hubungan antar manusia.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah islah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(Q.S. al-Hujurat: 13)
Karena itu, ayat di atas tidak lagi menggunakan panggilan
yang ditujukan kepada orang-orang beriman, tetapi kepada jenis
manusia. Manusia lahir melalui proses percampuran benih laki-laki
dan perempuan. Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan adalah pengantar untuk menegaskan bahwa sesama
manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada
36
perbedaan antara satu suku dan yang lain. Tidak ada juga
perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan.
4. Keseimbangan
Disinilah maka akan terwujud sebuah relasi.
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (AdzDzaariyat (51): 49)
Segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan, ada lakilaki perempuan, siang malam, panas dingin, gelap terang, bahkan
hal yang berkaitan dengan gender seperti feminin maskulin, privat
publik, dll. Maka disinilah tersirat sebuah prinsip keseimbangan
bahwa segala yang ada dibumi memiliki antomin (lawan kata),
akan tetapi keduanya memiliki fungsi, peran, dan manfaat.
Sifat feminin memiliki kelebihan begitu juga sifat
maskulin, ruang publik bukanlah mutlak untuk laki-laki karena
perempuan pun mempunyai ruang untuk berkiprah maupun
berkontribusi pada aktivitas sosial. Laki-laki dan perempuan
mempunyai tanggung jawab, kewajiban, dan hak baik sebagai
hamba maupun dalam proses muamalah. Selain sebagai makhluk
individu, manusia sebagai makhluk sosial perlu berinteraksi
dengan manusia lain. Menjalin hubungan silaturahmi, saling
membantu, tolong-menolong, meringankan beban sesama sehingga
terwujudlah sebuah harmonisasi.
37
Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, dan
disinilah fungsi untuk melengkapi satu sama lain. Tidak ada yang
merasa unggul atau dalam posisi rendah, ditinggikan atau
direndahkan. Pada sebuah riwayat dikatakan “Kaum wanita adalah
saudara kandung kaum laki-laki.” (HR Abu Daud dan Al-Tirmidzi)
Sebagai “saudara” laki-laki dan perempuan menerapkan asas
kebersamaan, kasih sayang, penghormatan atas hak, pembelaan
atas orang-orang yang mengalami kezaliman, serta rasa senasib
dan sepenanggungan. Orang yang bersaudara akan bergerak
bersama dengan semangat dan jiwa demi kemaslahatan bersama.
Makna mendalam dari sabda Nabi di atas merupakan
semangat yang harus mendasari setiap gerak langkah masyarakat
yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Ini berarti bahwa ibarat
saudara, laki-laki dan perempuan harus bekerja sama dalam
seluruh aspek kehidupan agar cita-cita masyarakat bisa tercapai
dan dirasakan manfaatnya oleh semua. Laki-laki tidak boleh
meninggalkan atau memandang sebelah mata kepada saudaranya
yang perempuan. Demikian juga perempuan tidak boleh apatis dan
asyik dengan dirinya sendiri sehingga tidak tahu apa yang
dilakukan oleh saudaranya yang laki-laki. Dalam semangat
persaudaraan ini, laki-laki dan perempuan didorong untuk
bersama-sama dan bekerja sama menciptakan tatanan masyarakat
38
yang adil dan makmur dalam ridha Allah, baldatun thayyibatun wa
rabbun ghaffur (Q.S. Saba‟: 15) (Mulia, 2005: 35).
39
BAB III
RIFFAT HASSAN DALAM
TELAAH KEADILAN GENDER
A. Biografi Riffat Hassan
Kajian mengenai setting sosial-historis seorang tokoh merupakan
hal yang sangat penting dilakukan. Sebab ide dan gagasan pemikiran tidak
pernah lepas dari konteks sosio historisitas pencetus ide. Sebuah gagasan
pemikiran selalu based on historical problems. Riffat berasal dari keluarga
yang cukup terpandang, yakni keluarga sayyid (sebutan untuk keturunan
Nabi Muhammad dalam tradisi Arab) (Mustaqim (tt): 160-161). Salah satu
tokoh feminis muslim lahir pada tanggal 23 Juli 1943 di Lahore, Pakistan.
Selain faktor konstruksi budaya masyarakatnya, kehidupan dalam
keluarga juga memberi pengaruh yang cukup signifikan. Hampir dalam
setiap masalah ayah dan ibunya selalu menemui perbedaan, ada
pertarungan idiologi patriarki dan idiologi feminis. Ayahnya (Begum
Shahiba) orang yang sangat konservatif di daerahnya, pandangannya
tradisional dan patriarkhal. Menurutnya usia pernikahan terbaik bagi
perempuan 16 tahun dengan calon yang dipilihkan oleh orang tua
khususnya ayah.
Sedangkan ibunya yang bernama Dilara, cenderung berpandangan
feminis dan memiliki perhatian cukup besar terhadap nasib perempuan.
Semenjak kecil Riffat dididik supaya perempuan tidak bersikap inferior di
hadapan laki-laki. Ibunya berpandangan mendidik anak perempuan lebih
40
penting daripada laki-laki karena lahir dalam masyarakat muslim dengan
rintangan yang sangat hebat. Mulai dari sinilah benih-benih feminis Riffat
Hassan diperoleh dari ibunya. Mengkategorikan ibunya sebagai feminis
radikal. Tidak berkompromi dengan kebudayaan Islam tradisional yang
meneguhkan superioritas laki-laki dan ketundukan perempuan.
Melihat kuatnya hegemoni patriarki dalam kultur masyarakatnya
menumbuhkan kesadaran pada dirinya untuk mengatasi situasi yang
dihadapi perempuan muslim. Melalui bukunya berjudul Setara di hadapan
Allah: Relasi Perempuan dan Laki-Laki dalam Tradisi Islam Pasca
Patriarkhi yang ditulis bersama Fatima Mernissi dia menuturkan,
”Semakin banyak saya melihat keadilan dan kasih sayang Tuhan
yang tercermin dalam ajaran al-Qur‟an tentang perempuan, semakin
membuat saya sedih dan marah melihat ketidakadilan dan perlakuan tidak
manusiawi yang merendahkan perempuan Muslim yang lazim terjadi
dalam kehidupan nyata.”
Maka tumbuhlah kesadaran dalam dirinya untuk mengatasi situasi
perempuan muslim. Riffat sadar bahwa pada nilainya ajaran Islam
membawa misi keadilan, mengajarkan kepada pemeluknya untuk saling
menghormati, menyayangi, memanusiakan tanpa adanya diskriminasi.
Namun dalam praktiknya hal itu masih ada yang belum tercermin dalam
diri umat Islam. Ia yakin bahwa hal ini bukanlah bersumber dari ajaran
Islam melainkan faktor penafsiran teks serta kultur masyarakat sosial.
Sehingga hal itu memberi dampak terhadap citra Islam yang syarat dengan
ajaran universal.
41
Riffat juga ingin perempuan dinegaranya terbangun dari “tidur
dogmatis”, sadar akan realita, mengkritisi peraturan yang menyangkut
norma maupun nilai yang berkaitan dengan perempuan. Mengenai
undang-undang dinegaranya (seperti undang-undang mengenai perkosaan
terhadap perempuan atau kesaksian perempuan dalam masalah-masalah
keuangan dan masalah-masalah lainnya) dan undang-undang yang
mengancam (seperti usulan-usulan yang berkaitan dengan “uang-darah”
bagi pembunuh perempuan)telah digunakan untuk mereduksi perempuan
secara sistematis dan matematis sehingga bertendensi dan dikhawatirkan
mengurangi jumlah mereka menjadi lebih sedikit daripada laki-laki.
Masyarakat Pakistan pada saat itu memberlakukan undang-undang
yang meletakkan posisi perempuan -dalam hal mendasar- lebih rendah dari
laki-laki. Karena umat Islam pada umumnya menganggap perempuan
memang tidak setara dengan laki-laki. Kegelisahan ini diungkapkannya
lebih lanjut,
”Siapapun yang menyatakan bahwa di dunia sekarang ini
persamaan laki-laki dan perempuan bisa diterima oleh banyak
agama dan juga oleh masyarakat sekuler, dan ditemukan pula
bukti-bukti yang menegaskan persamaan laki-laki perempuan
dalam al-Qur‟an dan tradisi Islam. Mungkin akan segera
ditentang dengan kekerasan, dengan sejumlah dalil yang
digambarkan sebagai “bukti-bukti tak terbantahkan” yang diambil
dari al-Qur‟an, hadits dan Sunnah untuk “membuktikan” bahwa
laki-laki “di atas” perempuan” (Hassan, 1995: 42).
Melalui perjalanan itulahdirinya terdorong untuk membantu
perempuan Muslim yang berada dibawah kekuasaan patriarkhi. Salah satu
usaha yang dilakukannya yaitu menafsirkan al-Quran secara sistematis
42
dari persfektif non-patriarki. Riffat juga mendapat dorongan dari para
anggota komisi status perempuan Pakistan dengan mengupas satu persatu
untuk dibuktikan kepada masyarakat Pakistan bahwa perempuan tidak
selamanya menjadi sekunder, subordinatif dan inferiorterhadap laki-laki.
B. Latar Belakang Pendidikan Riffat Hassan
Riffat memiliki hobi membaca buku dan menulis. Pendidikannya
di sekolah menengah Bahasa Inggris yang menjadi sekolah unggulan
didaerahnya mengantarkannya memiliki bekal berbahasa asing yang baik.
Kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi Inggris di St. Mary‟s College
Universitas Durham, meraih predikat cumlaude (kehormatan) di bidang
sastra Inggris dan filsafat. Diusia 24 tahun berhasil mengantongi gelar
doktor di bidang filsafat (Ph.D), dalam disertasinya ia menulis tentang
filsafat Muhammad Iqbal (tokoh pemikir Islam Pakistan).
Tahun 1974 Riffat sedang menjadi penasihat guru besar
Perhimpunan Mahasiswa Islam (Muslim Studen‟t Association, MSA)
organisasi Mahasiswa Islam cabang Universitas Oklahoma di Stillwater
dan dari sini ia memulai karier sebagai teolog “feminis”. Suatu hari ia
mendapat undangan untuk mengisi seminar tahunan yang rutin
dilaksanakan dimana pada salah satu pidato disampaikan oleh penasihat
guru besar. Kebetulan pada masa itu ia satu-satunya guru besar muslim di
kampus tersebut. Kronologi peristiwa itu ia paparkan
”Saya diminta untuk berbicara tentang perempuan dalam Islam pada
seminar itu –di mana, sambil lalu, perempuan Muslim tidak akan
berpartisipasi- karena menurut pendapat kebanyakan anggota cabang,
43
sama sekali tidak tepat untuk mengharapkan seorang Muslimah, sekalipun
seseorang yang mengajar mereka studi-studi Islam, berkompeten
berbicara tentang objek lain yang berkaitan dengan Islam”(Hassan, 1995:
35).
Hal itu membuatnya tersinggung, terlebih lagi saat itu posisi
perempuan kurang mendapat tempat dan masih dipandang sebelah mata.
Ditambah lagi bahwa dirinya belum begitu tertarik dengan persoalan yang
menyangkut perempuan dalam Islam. Namun, akhirnya undangan tersebut
diterima dengan dua alasan. Pertama, berpidato di depan majelis yang
semuanya laki-laki dan sebagian besar kelompok muslim Arab yang
memiliki kebanggan patriarki. Hal ini dijadikannya sebagai peluang.
Kedua, ia bosan mendengar laki-laki Muslim mengajar tentang posisi,
status, atau peranan perempuan dalam Islam sementara sama sekali tidak
dipahami bahwa perempuan pun bisa berbicara tentang posisi, status atau
peranan laki-laki dalam Islam. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk
membuktikan
bahwa
seorang
perempuan
mampu
menyampaikan
pandangannya (termasuk berbicara teologi). Sebelum memulai, Riffat
sempat melakukan riset kemudian mempelajari teks ayat-ayat al-Qur‟an
secara cermat dan melakukan reinterpretasi khususnya yang berhubungan
dengan persoalan perempuan.
Mulai tahun 1976, Riffat Hassan sudah tinggal di Amerika Serikat
menjadi seorang profesor dan sekaligus menjabat sebagai Ketua Jurusan
Program Religious Study di Universitas Louesville, Kentucky. Ia juga
menjadi dosen tamu di Divinity School Harvard University, dan disinilah
dia menulis bukunya yang berjudul Equal Before Allah (Setara di Hadapan
44
Allah). Pada tahun 1979, ia mengikuti suatu „trialog‟ Yahudi, Kristen, dan
Islam (disponsori oleh Kennedi Institute of Ethies di Washington D.C.)
untuk menjelajahi isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dalam tiga
tradisi iman Ibrahimi. Saat itu ia menulis draf kertas kerja dengan judul
Woman in The Qur‟an dan menyampaikan paparan rinci tentang
lembaran-lembaran al-Qur‟an yang berhubungan dengan perempuan
dalam beragam konteks (misalnya, hubungan perempuan dengan Allah,
perempuan dalam konteks penciptaan manusia, dan cerita tentang
“kejatuhan”, perempuan sebagai saudara, sebagai istri, sebagai ibu,
perempuan dalam hubungannya dengan perkawinan, perceraian, warisan,
pemisahan, kerudung, kesaksian dalam hal perjanjian, hak-hak ekonomi,
kematian, dan lain-lain).
Secara khusus, ia memusatkan perhatian pada ayat-ayat yang
dianggap definitif dalam konteks antara perempuan dan laki-laki atas
perempuan. Setelah studinya selesai, ia datang ke Pakistan dan
menghabiskan waktu selama dua tahun untuk meneliti sekaligus
menyaksikan Pemberlakuan undang-undang anti perempuan atas nama
Islam dan banyaknya kegiatan dan kepustakaan anti-perempuan yang
melanda negeri tersebut sesudah “Islamisasi” masyarakat Pakistan dan
sistem undang-undangnya.
Karena ia satu-satunya perempuan Muslim dinegaranya yang
berusaha menafsirkan al-Qur‟an secara sistematis dari perspektif nonpatriarkhal, para pimpinan mendekati berkali-kali untuk mengklarifikasi
45
hasil temuannya dan memintanya membuktikan sebagai analisis apakah
temuannya sesuai dengan keberadaan perempuan dalam masyarakat
Pakistan. Ketika perempuan dinegaranya terdorong memobilisasikan dan
memimpin protes di jalan-jalan, iaturut bergabung membantu menyangkal
argumen-argumen yang membuat kemanusiaan mereka menjadi kurang
sempurna berdasarkan kasus perkasus atau masalah permasalah.
Kesadarannya muncul untuk membela saudaranya yang tersingkir dari
hak-hak kemanusiaan atas nama Islam.
C. Dasar Pemikiran Riffat Hassan
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan terhadap fenomena
disekitarnya, ia berpendapat bahwa yang pertama sekali harus dilakukan
adalah memeriksa landasan teologis di mana semua argumen anti
perempuan tersebut berakar, dan melihat apakah suatu kasus benar-benar
bisa dibuat untuk menegaskan bahwa dari sudut pandang Islam normatif,
laki-laki dan perempuan pada dasarnya setara, kendati ada perbedaan
biologis dan perbedaan lainnya.
Kondisi ini juga rupanya yang mendorong Riffat untuk
memecahkan masalah diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan
dalam masyarakat Islam, melalui reinterpretasi atas teks al-Qur‟an. Sebab
menurutnya, adanya diskriminasi terhadap perempuan berakar dari
asumsi-asumsi teologis yang keliru dan oleh karena itu harus dibongkar
melalui reinterpretasi terhadap al-Qur‟an yang merupakan sumber nilai
tertinggi bagi umat Islam (Mustaqim, tt: 172).
46
Pencariannya ke dalam akar teologis dan problem ketidakadilan
laki-laki
dan
perempuan
dalam
tradisi
Islam
menuntunnya
menindaklanjuti kajian studi dalam dua wilayah signifikan. Pertama,
melalui kepustakaan hadis terutama kitab shahih Bukhari dan Muslim
yang dianggap otoritatif setelah al-Qur‟an. Berkaitan dengan diskursus
perempuan dalam teologi Islam maka tergeraklah untuk memeriksa
dengan teliti hadis-hadis yang berkaitan dengan perempuan. Kemudian,
Riffat mengkaji karya penting yang ditulis oleh para teolog feminis
Yahudi dan Kristen yang secara kebetulan juga melacak sumber teologis
mengenai gagasan dan sikap anti feminis dalam tradisi mereka masingmasing.
Kesungguhannya untuk meneliti, mengkaji ulang, dan melakukan
interpretasi yang terdapat dalam prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai upaya
mewujudkan suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa
adanya diskriminasi (baik laki-laki maupun perempuan). Meluruskan
pandangan yang selama ini bertendensi mempengaruhi citra perempuan
dengan membongkar bangunan teologi yang mengakar pada narasi besar
Islam.
Membangun kerangka dasar paradigmatik dalam konteks Islam
mengenai isu gender, lebih peduli terhadap ketidakadilan, struktur dan
sistem relasi laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hasil penelusurannya,
ia berkesimpulan bahwa tidak hanya dalam tradisi Islam bahkan dalam
tradisi Yahudi dan Kristen terdapat tiga asumsi teologis yang
47
menunjukkan superioritas laki-laki atas perempuan ditegakkan. Ketiga
asumsi ini yaitu: (1) Ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, bukan
perempuan. karena mereka diyakini telah diciptakan dati tulang rusuk lakilaki, secara ontologis berfifat derivatif dan sekunder. (2) Perempuan
(bukan laki-laki) adalah penyebab utama dari apa yang biasanya
dilukiskan sebagai “kejatuhan” atau pengusiran manusia dari Surga Adn.
Maka semua “anak perempuan Hawa” harus dipandang dengan rasa benci,
curiga, dan jijik. (3) Perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki tapi
juga untuk laki-laki yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat
instrumental dan tidak memiliki makna yang mendasar.
Melihat tiga asumsi diatas muncullah tiga pertanyaan berkaitan
dengan eksistensi perempuan, yaitu bagaimana perempuan diciptakan,
apakah mereka bertanggungjawab atas kejatuhan manusia, dan mengapa
perempuan diciptakan. Disinilah Riffat bersikeras memusatkannya sebagai
perhatian utama mengenai isu penciptaan manusia karena baginya baik
secara filosofis maupun teologis hal ini lebih penting dan mendasar.
Menurutnya jika laki-laki dan perempuan diciptakan setara oleh Allah,
penentu nilai tertinggi, maka untuk selanjutnya secara hakiki mereka akan
setara pula. Disisi lain jika diciptakan berbeda oleh Allah maka tidak akan
setara pada waktu selanjutnya.
Berdasarkan hasil penelitiannya, mitos tersebut berakar dalam
Genesis 2: 18-24 tentang penciptaan, namun tidak ada sama sekali
dasarnya dalam al-Qur‟an. Cerita Injil mengenai penciptaan pasangan
48
manusia pertama dari dua sumber yang berbeda, yaitu Rahib (The
Yahwist) dan Pendeta (The Priestly), lahir dua tradisi yang menjadi
subyek dari banyak kontroversi ilmiah di kalangan Yahudi dan Kristen.
Ada empat rujukan bagi penciptaan perempuan dalam Genesis: (1)
Genesis 1: 26-27 abad ke-5 SM, tradisi Kependetaan, (2) Genesis 2: 7
abad ke-10 SM tradisi Kerahiban, (3) Genesis 2: 18-24 abad ke-10 SM
tradisi Kerahiban, (4) Genesis 5: 1-2 abad ke-5 SM tradisi Kependetaan.
Kajian terhadap teks-teks di atas menunjukkan istilah Ibrani “Adam”
(secara literal berarti tanah, berasal dari kata adamah: “tanah”) sebagian
besar berfungsi sebagai istilah generik untuk manusia. Dari keempat teks
yang mengacu pada penciptaan ini, tidak diragukan lagi yang paling
berpengaruh adalah Genesis 2: 18-24 yang menyatakan bahwa perempuan
tercipta dari laki-laki. Melalui teks ini disimpulkan tiga isu mendasar
tersebut (Hassan, 1995: 45).
Secara kronologis, asal-usul kejadian manusia tidak dijelaskan oleh
al-Qur‟an. Cerita penciptaan manusia banyak diketahui melalui hadis,
kisah isra‟iliyat, dan riwayat yang bersumber dari kitab Taurat, Injil, dan
Talmud. Substansi asal-usul kejadian Adam Hawa juga tidak dibedakan
secara tegas. Memang, ada isyarat bahwa Adam diciptakan dari tanah, dari
Adam ini diciptakan Hawa, namun isyarat ini diperoleh dari hadis. Kata
Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi istri
Adam, sama sekali tidak pernah disinggung dalam al-Qur‟an. Bahkan
49
klaim bahwa Adam sebagai manusia pertama dan berjenis kelamin lakilaki masih dipertanyakan oleh beberapa kalangan (Hassan, 2009: 174).
Kesungguhan Riffat meneliti dan mengkaji ulang prinsip-prinsip
ajaran al-Qur‟an demi mencapai tujuan yang diperintahkan agama adalah
bentuk personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya.
Sedangkan bahasa yang dipakai Riffat juga mencerminkan seorang aktor
dari dalam. Dia merasakan sebagai pelaku korban dari diskriminasi sistem
patriarkhi. Dari sini, maka dapat dilihat bahwa fundamental struktur dari
teologi feminisme yang hendak dibangun Riffat adalah bagaimana agar
terwujud suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di bawah sinar petunjuk alQur‟an (Mustaqim, tt: 177).
Usaha dalam rangka membangun paradigma teologi feminis yang
erat kaitannya dengan isu-isu keperempuanan, Riffat menggunakan dua
pendekatan, yaitu:
Pertama, pendekatan normatif-idealis, artinya bahwa teologi
feminis yang hendak dirumuskan itu mengacu kepada norma-norma yang
bersumber dari ajaran Islam yang ideal. Dengan kata lain pendekatan
normatif-idealis adalah suatu pendekatan di mana ketika seseorang peneliti
berkehendak mengkaji persoalan, maka ia perujuk kepada yang bersifat
ideal normatif. Menurut Riffat, sumber utama dan pertama yang dijadikan
rujukan itu adalah al-Qur‟an yang diyakininya sebagai sumber nilai
tertinggi. Model pendekatan ini bersifat deduktif, melihat sisi ideal
50
normatif dalam al-Qur‟an mengenai perempuan kemudian melihat
kenyataan empiris dalam masyarakat (Mustaqim, tt: 179-180).
Kedua, pendekatan historis-empiris. Setelah melihat secara cermat
dan kritis bagaimana sebenarnya pandangan ideal normatif al-Qur‟an,
Riffat mencoba melihat bagaimana kenyataan secara empiris historis
kondisi perempuan dalam masyarakat Islam. Sehingga di satu sisi Riffat
mendapatkan gambaran teoritis bersifat normatif-idealis mengenai
pandangan al-Qur‟an terhadap perempuan. Melihat nasib perempuan yang
masih memprihatinkan berarti ada something wrong dalam sejarah
keperempuanan (Mustaqim, tt: 180-180).
Dua pendekatan tersebut dilakukan secara dialektis-integratif dan
fungsional. Artinya, keduanya tidak dipisah-pisahkan. Berawal dengan
melihat sisi ideal normatif itulah, Riffat kemudian melihat sisi yang
empiris-realistis. Pada level normatif, Riffat merujuk kepada al-Qur‟an
sebagai sumber nilai tertinggi dalam Islam. Sedangkan pada level historis,
melihat bagimana praktik perlakuan terhadap perempuan yang terjadi
dalam masyarakat Islam (Mustaqim, tt: 182). Jika dalam al-Qur‟an
mengandung spirit pembebasan, keadilan, kesejajaran, penghormatan atas
hak asasi kemanusiaan maka seharusnya teraktualisasikan dalam
kehidupan nyata.
Selanjutnya, Riffat Hassan mencoba mengembangkan tiga prinsip
metodologis sebagai operasionalisasi metode yang ditawarkannya,
51
terutama ketika ia mencoba melakukan penafsiran tandingan (counter
exegeses). Ketiga prinsip metodologis tersebut yaitu:
1. Memeriksa ketetapan makna kata (language accuracy) dari
berbagai
konsep
yang
ada
dalam
al-Qur‟an
dengan
menggunakan analisis semantik. Mencari makna kata yang
sebenarnya dari konsep tertentu berdasarkan kata aslinya,
kemudian meletakkan pengertian tersebut sesuai dengan
konteks masyarakat di mana konsep tersebut digunakan. Hal ini
dimaksudkan untuk menguji konsep-konsep yang telah
terderivasi.
2. Melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran
yang telah ada. Ini berarti teori kebenaran yang dipakai adalah
teori koherensi. Memahami al-Qur‟an sesungguhnya harus
secara integral, sebab ia merupakan satu kesatuan makna yang
terenyam dan terajut secara dialektis. Sehingga kesan adanya
kontradiktif dapat dihindari atau minimal dapat dieliminir, dan
hal itu dijadikan untuk menilai dan menguji sumber dan sistem
nilai lainnya.
3. Menggunakan prinsip etis, yang didasarkan pada prinsip
keadilan yang merupakan pencerminan dari justice of God atau
keadilan Tuhan. Hasil penafsiran-penafsiran yang ada harus
diuji dengan prinsip etis yang menekankan aspek keadilan.
Suatu penafsiran akan dinilai benar secara metodologis, jika
52
selaras dengan prinsip-prinsip keadilan. Demikian sebaliknya,
suatu hasil penafsiran akan dinilai salah jika mengabaikan
prinsip-prinsip
keadilan.
Karena
dapat
menyebabkan
penindasan dan ketidakadilan bagi perempuan khususnya dan
manusia pada umumnya.
Secara terbuka Riffat melabeli dirinya sebagai feminis, terkait
dengan pendekatan feminis Saparinah Sadly mengungkapkan Feminist
Perspective yang didasarkan pada suatu kerangka teori feminis,
mengusulkan bahwa dalam suatu kegiatan penelitian perempuan perlu
diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang mempunyai potensi
(kemampuan) untuk berkembang. Kaum perempuan juga mempunyai
kemampuan untuk mengembangkan kondisi lingkungan hidupnya dan
sangat bisa ikut memberi arah kepada pengembangan masyarakat,
ekonomi, politik, dan pribadi. Kaum perempuan memiliki berbagai macam
kualitas manusia yang bisa meningkatkan mutu hidupnya, seperti yang
dimiliki kaum laki-laki.
Metodologi feminis diharapkan dapat mengatasi persoalan
androsentrisme dan representasi perempuan, mengakui perbedaan cara
berpikir
dan
berpengetahuan
perempuan
dan
laki-laki,
dan
mempertimbangkan pengalaman hidup perempuan beserta keseluruhan
sujektivitasnya mengartikan dunia dalam membangun pengetahuan. Kita
telah
menyaksikan
bagaimana
selama
ini
perempuan
tidak
terepresentasikan, tidak terdengar suaranya, dan terkooptasi oleh
53
interpretasi universal yang berstandar laki-laki dalam pembangunan ilmu
pengetahuan. Pengalaman itu menuntun kita untuk menggagas metodologi
yang lebih adil dan mampu menjawab keberbedaan yang tak terelakkan
antara laki-laki dan perempuan (Nurhayati, 2006: 12).
Adapun karya-karya Riffat Hassan baik dalam bentuk buku
maupun artikel, antara lain:
1. The Role and Responbilities of Women in The Legal and Ritual
Tradition of Islam.
2. Equal Before Allah?; Women-Man Equality in Islamic Tradition.
3. Feminis Theology and Women in The Muslim World.
4. What does it mean to be a Muslim To Day?
5. Women Living Under Muslim Laws
6. Muslim Women and Post Patriarchal Islam
7. The Issue of Women-Men Equality in Islamic Tradition.
8. Jihad fi Sabilillah; A Muslim Woman‟s Faith Journey from Struggle to
Struggle
9. Women‟s and Men‟s Liberation
10. Women‟s Rights in Islam
11. Women Religion and Sexuality
54
BAB IV
ANALISIS TRANSFORMATIF KEADILAN GENDER
A. Menyibak Eksistensi Perempuan
Seperti yang penulis singgung pada bab sebelumnya, Riffat
menemukan tiga asumsi teologis mendasar
yang mempengaruhi
kedudukan perempuan di dunia, yaitu:
1. Ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, bukan perempuan. Karena
mereka diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, secara
ontologis bersifat derivatif dan sekunder.
2. Perempuan (bukan laki-laki) adalah penyebab utama dari apa yang
biasanya dilukiskan sebagai “kejatuhan” atau pengusiran manusia dari
Surga Adn. Maka semua “anak perempuan Hawwa” harus dipandang
dengan rasa benci, curiga, dan jijik.
3. Perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki tapi juga untuk laki-laki
yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat instrumental dan
tidak memiliki makna yang mendasar.
Riffat Hassan bersikeras memfokuskan asal kejadian (penciptaan)
perempuan sebagai sorotan utama karena hal ini lebih penting dan
mendasar baik secara filosofis maupun teologis. Karena berkaitan dengan
eksistensi perempuan di dunia. Riffat menyangkal pendapat Maududi yang
menyatakan bahwa pembahasan persoalan yang menyangkut penciptaan
perempuan membuang-buang waktu. Juga isu yang dibicarakan tidak
55
memiliki nilai refleksi teologis yang serius atau tidak memiliki efek yang
berarti terhadap hidup manusia khususnya perempuan.
Menurutnya, jika laki-laki dan perempuan diciptakan setara oleh
Allah, penentu nilai tertinggi, maka untuk selanjutnya secara hakiki
mereka akan setara pula. Disisi lain jika diciptakan berbeda oleh Allah
maka tidak akan setara pada waktu selanjutnya. Meninjau cara penafsiran
terhadap sumber-sumber normatif Islam, orang muslim (awam) percaya
sebagaimana dari kalangan Yahudi dan Kristen bahwa Adam adalah
ciptaan Allah yang utama dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk.
Sebab itu, ada tiga hal yang harus dilakukan terhadap teologi
Islam. Pertama, membongkar mitos tentang teologi yang seolah-olah
terberi (taken for granted). Hal ini diperlukan guna menyadarkan umat
bahwa kemunculan teologi Islam tidak berada di ruang hampa, melainkan
penuh dengan kepentingan, baik kepentingan status quo maupun
pemberontakan. Dengan begitu diharapkan tidak ada fanatisme sempit
yang mencurigai dialog teologi dan persoalan perempuan sebagai
pendangkalan akidah.
Kedua, mengeksplorasi aspek feminin Tuhan demi kesetaraan
gender. Ini tidak dimaksudkan untuk membenturkan sifat feminin Tuhan
dengan sifat maskulinNya. Eksplorasi lebih dimaksudkan sebagai
pengungkapan bahwa sifat feminin tidak identik dengan kelemahan
sebagaimana dianggap oleh pendukung patriarki.
56
Ketiga, menjadikan teologi tidak sebatas keimanan, melainkan
meneruskannya pada aksi. Ukuran kesalehan dalam konteks gagasan ini
tidak diukur dari kepatuhan menjalankan ritual, tetapi pada kesalehan
sosial, yakni membela hak-hak perempuan dan menegakkan kesetaraan
gender (Hidayatullah, 2010: 29-30).
Penciptaan perempuan diterangkan dalam al-Qur‟an sama jelasnya
dengan penciptaan laki-laki dan pernyataan-pernyataan al-Qur‟an tentang
penciptaan manusia bermacam-macam sebagaimana adanya tanpa
keraguan mengenai satu hal baik laki-laki maupun perempuan diciptakan
dengan cara yang sama, dari substansi yang sama, pada waktu yang sama.
Ada rujukan khusus dalam Genesis mengenai penciptaan Adam
dan Hawa, sebaliknya dalam al-Qur‟an tidak ditemukan rujukan yang
berkaitan dengan itu termasuk pemaparan tentang Hawa. Menelusuri lebih
jauh Riffat mengutarakan bahwa ayat yang disebut untuk membuktikan
prioritas ontologis dan superioritas laki-laki atas perempuan yaitu Q.S. anNisa‟ (4): 1 yang merujuk pada penciptaan manusia dari satu sumber atau
satu diri (nafsin wahidatin). Kata tersebut diyakini bahwa satu sumber asli
yang dituju yaitu seorang laki-laki bernama Adam. Keyakinan ini
mengantarkan banyak penerjemah al-Qur‟an pada pemahaman yang
keliru.
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah
menciptakan kamu (jamak) dari yang satu, dan daripadanya Allah
57
menciptakan
isterinya;
dan
daripada
keduanya
Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
(Q.S. an-Nisa‟: 1)
Riffat
mengkritik
beberapa
mufasir
klasik
yang
menginterpretasikan kata nafsin wahidah sebagai Adam dan zauj sebagai
Hawa. Menurutnya, mengenai konteks penciptaan manusia al-Quran
menggunakan istilah yang benar-benar egaliter. Sebanyak tiga puluh juz
dalam al-Qur‟an atau ayat-ayat yang menggambarkan tentang penciptaan
manusia (yang ditunjukkan dengan istilah-istilah generik seperti an-nas,
al-insan, al-bashar). Tidak ada satupun ayat yang bisa ditafsirkan sebagai
menegaskan atau menyatakan bahwa laki-laki diciptakan lebih dulu
daripada perempuan atau perempuan diciptakan dari laki-laki. Sebenarnya
ada
beberapa
ayat
yang
bisa
–dari
sudut
pandang
murni
gramatikal/linguistik- ditafsirkan dan menyatakan bahwa ciptaan pertama
(nafsin wahidatin) adalah feminin bukan maskulin. Meskipun begitu, umat
Islam percaya bahwa Hawa yang tidak pernah disebut secara jelas dalam
al-Qur‟an diciptakan dari tulang rusuk Adam yang “bengkok”.
Selain itu, hadis yang mengatakan perempuan diciptakan dari
tulang rusuk diinterpretasikan untuk menafsirkan Q.S. an-Nisa‟: 1. Sahih
Bukhari dan Sahih Muslim, dua kumpulan hadis yang paling berpengaruh
dalam Islam Sunni dan memiliki pengaruh formatif terhadap pemikiran
58
umat Islam. Adapun hadis yang berkaitan dengan penciptaan perempuan
dipaparkan sebagai berikut:
1. Abu Karaits dan Musa bin Hazm menceritakan kepada kami: Husain
bin Ali menyampaikan kepada kami nahwa ia meriwayatkam dari
Za‟idah dari Maisarah al-Asyja‟i dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ra
yang berkata: Rasulullah saw telah bersabda:
Perlakukanlah perempuan dengan baik, karena perempuan diciptakan
dari tulang rusuk dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok
adalah bagian paling atas, maka jika kalian mencoba untuk
meluruskannya, ia akan patah. Tapi jika kalian membiarkannya
sebagaimana adanya, ia akan tetap bengkok. Maka perlakukanlah
perempuan dengan baik.
2. Abdul „Aziz menceritakan kepada kami bahwa dia telah meriwayatkan
dari Abdullah yang berkata: Malik telah menceritakan kepada kami
bahwa ia meriwayatkan dari Abu Zinad dari al-A‟raj dari Abu
Hurairah ra yang berkata: rasulullah saw telah bersabda:
Perempuan seperti tulang rusuk, jika kamu berusaha
meluruskannya, ia akan patah. Maka jika kamu ingin memperoleh
manfaat darinya, lakukanlah itu sedangkan dia tetap memiliki
beberapa kebengkokan.
3. Abu Bakar bin Abu Syaibah menceritakan kepada kami: Husan bin Ali
menceritakan kepada kami bahwa dia meriwayatkan dari Za‟idah dari
Maisarah dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ra yang berkata: Nabi
saw telah bersabda:
Orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, jika
menyaksikan masalah apapun hendaklah berbicara tentang masalah
itu dengan bahasa yang baik atau diam saja. Perlakukanlah
perempuan dengan baik karena perempuand iciptakan dari tulang
rusuk dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian
atas. Jika kamu berusaha untuk meluruskannya kamu akan
59
mematahkannya dan jika kamu membiarkannya, ia akan tetap
bengkok, maka berlaku baiklah terhadap perempuan.
Persoalan posisi perempuan dalam tradisi Islam berkaitan erat
dengan produk interpretasi terhadap teks-teks keagamaan. Di samping
masalah kesenjangan waktu dan semiotika dalam interpretasi, penafsir itu
sendiri juga merupakan masalah tersendiri bagi produk interpretasi.
Kecenderungan teologis dan dominasi kultur sangat mempengaruhi hasil
interpretasi. Dengan demikian, reinterpretasi terhadap teks-teks gender
merupakan keniscayaan (Kadarusman, 2005: 8).
Implikasi tulang rusuk membuat kedudukan perempuan lebih
rendah dari laki-laki. Kemanusiaannya tidak utuh hanya bersifat cabang
dan menimbulkan efek negatif dalam relasi gender. Respon filosofis
mengenai mitos tulang rusuk bila nafs wahidah adalah Adam dan Hawa
berasal dari tulang rusuk Adam, berarti embrio penciptaan laki-laki adalah
ruh dan embrio penciptaan perempuan adalah fisik (perangkat ruh).
Tulang rusuk merupakan sebuah bagian terkecil. Nafs atau ruh
diciptakan berpasangan. Kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama,
Allah mmeberi potensi dan kemampuan untuk memikul tanggung jawab
sebagai hamba. Manusia keturunan seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Stigma dari kata bengkok menimbulkan asumsi yang kurang
menyenangkan.
Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya al-Misbah menafsirkan
walaupun ayat ini menjelaskan kesatuan dan kesamaan orang per orang
dari segi hakikat kemanusiaan, konteksnya untuk menjelaskan banyak dan
60
berkembangbiaknya mereka dari seorang ayah, yakni Adam dan seorang
ibu
yakni
Hawa.
Ini
dipahami
dari
pernyatan
Allah
memperkembangbiakkan laki-laki yang banyak dan perempuan dan ini
tentunya baru sesuai jika kata nafsin wahidah dipahami dalam arti ayah
manusia seluruhnya (Adam as) dan pasangannya (Hawa) lahir laki-laki
dan perempuan yang banyak.
Memahami nafsin wahidah sebagai Adam as. Menjadikan kata
zaujaha, yang secara harfiah bermakna pasangannya, adalah istri Adam as.
yang popular bernama Hawa. Agaknya, karena ayat itu menyatakan bahwa
pasangan itu diciptakan dari nafsin wahidah yang berarti Adam, para
mufasir terdahulu memahami bahwa istri Adam diciptakan dari Adam
sendiri. Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap
perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari
lelaki. Banyak penafsir menyatakan bahwa pasangan Adam itu diciptakan
dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok dan karena itu-tulis alQurthubi dalam tafsirnya- perempuan bersifat „auwja/bengkok. Pandangan
ini mereka perkuat dengan hadis Rasul saw. Yang menyatakan:
“Saling berwasiatlah untuk berbuat baik kepada wanita karena mereka itu
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok kalau engkau membiarkannya,
ia tetap bengkok, dan bila engkau berupaya meluruskannya, ia akan
patah” (HR. at-Tirmidzi melalui Abu Hurairah).
Quraish Shihab juga mengutip pendapat Thabataba‟iyang dalam
tafsirnya menulis bahwa ayat tersebut menegaskan bahwa perempuan (istri
Adam as.) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan ayat
tersebut sedikit pun tidak mendukung paham yang beranggapan bahwa
61
perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Memang tidak ada
petunjuk dari al-Qur‟an yang mengarah ke sana atau bahkan mengarah
kepada penciptaan pasangan Adam dari unsur yang lain.
Ide kelahiran Hawa dari tulang rusuk Adam, menurut Sayyid
Muhamad Rasyid Ridha, timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian
Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa ketika Adam tidur
lelap, diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula
tempat itu dengan daging. Maka, dari tulang yang telah dikeluarkan dari
Adam itu dibuat Tuhan seorang perempuan. Tulis Rasyid Ridha:
”Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam
Perjanjian Lama, seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang
menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak
pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim.” (Shihab, 2009: 400).
Hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk menuai
perbedaan yang secara tidak langsung menimbulkan problematika. Ada
kelompok
yang
mengartikannya
secara
tekstual
dan
menginterpretasikannya untuk menafsirkan Q.S. an-Nisa‟ ayat 1 yang
diangkat sebagai salah satu bahasan penciptaan awal manusia. Sementara
ada yang mengartikannya secara metaforis supaya kaum laki-laki
memperlakukan perempuan dengan baik dan bijaksana mengingat ada
beberapa sifatnya yang lemah lembut, sensitif, dan peka.Begitu juga
pernyataan ini diikutsertakan oleh Quraish Shihab meski dilain sisi
mengakui menyetujui argumen yang menyatakan nafsin wahidah sebagai
Adam dan zauj sebagai Hawa.
62
Kelompok terakhir menolak hadis ini dengan argumen tidak sesuai
dengan ayat-ayat al-Qur‟an, salah satunya Riffat Hassan. Adapun
argumennya, pertama, cerita ini berasal dari Genesis 2 dan Adam tidak
disebutkan dalam hadis tersebut. Pengaruh androsentrisme para rahib yang
memaknai secara teoritis “tulang rusuk” sehingga mengisyaratkan bukan
manusia (utuh). Kedua, bertentangan dengan ajaran al-Qur‟an yang
melukiskan semua manusia diciptakan fi akhsan-i taqwim (dengan bentuk
yang sebaik-baiknya dan kemampuan yang paling tinggi). Ketiga, tidak
bisa memahami relevansi dari statemen tulang rusuk paling bengkok
bagian atas. Keempat, menimbulkan asumsi bahwa perempuan dilahirkan
dengan membawa rintangan yang berasal dari dirinya. Apakah
kebengkokan yang tidak bisa diperbaiki adalah sebuah rintangan?
Terakhir, jikapun memang memiliki kebengkokan, anjuran untuk
mengambil manfaatnya dari rintangan alamiah ini tidak tanpa berusaha
untuk menolong maka mendorong ke arah hedonisme.
Pemahaman bahwa Hawa (perempuan diciptakan dari tulang rusuk
Adam (laki-laki) –yang diyakini berasal dari hadis nabi- tersebut
kemudian menjadi doktrin teologi yang dipercayai oleh kebanyakan
masyarakat Islam. Konsepsi teologis ini jelas membawa implikasiimplikasi lebih lanjut, baik psikologis, sosial, budaya, ekonomis, maupun
politik yang bersifat “misoginis”. Kaum perempuan merupakan makhluk
sekunder yang keberadaannya hanya sebagai pelengkap dan untuk
63
melayani kaum laki-laki, dalam segala bidang baik pada wilayah domestik
maupun publik (Ilyas, 2003: 43).
Berkaitan dengan hadis ini, ada sebuah pemahaman yang menarik.
Apabila dicermati konteks hadis-hadis ini sebenarnya berisi anjuran, atau
bahkan perintah nabi kepada orang laki-laki waktu itu supaya saling
menasehati satu sama lain untuk berbuat baik kepada istri-istri mereka atau
kaum perempuan secara umum. Nabi kemudian mengibaratkan perempuan
seperti tulang rusuk yang tidak dapat diubah-ubah seenaknya mengikuti
kemauan laki-laki. Perumpamaan yang dikemukakan Nabi tersebut
mengisyaratkan laki-laki tidak boleh kasar atau melakukan kekerasan
terhadap perempuan, karena dengan tanpa menggunakan kekerasan lakilaki justru akan dapat saling mengisi dan hidup berdampingan secara baik
dengan perumpamaan.
Sabda nabi tersebut hanya ditujukan kepada kaum laki-laki, ini
sesuai dengan konteks masyarakat Arab ketika itu. Sabda nabi secara
implisit menunjukkan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan
ketika itu (bahkan sampai dengan sekarang) sangat kuat sehingga Nabi
merasa perlu untuk memerintahkan kaum laki-laki agar memerlakukan
perempuan secara baik dan bijaksana. Dengan demikian dominasi laki-laki
dan budaya patriarkhi inilah sesungguhnya yang hendak dihilangkan oleh
nabi
dengan
memerintahkan kaum
laki-laki
supaya
memandang
perempuan sebagai mitra yang sejajar. Pandangan ini diperkuat oleh
kenyataan bahwa para penulis kitab hadis menempatkan hadis-hadis ini
64
pada pembahasan mengenai anjuran untuk berbuat baik kepada istri, bukan
pada pembahasan mengenai awal penciptaan manusia (Ilyas, 2003: 46).
Quraish Shihab menambahkan Kata nafsin wahidah/jiwa yang satu
memberi kesan bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu menjadi
satu jiwa, arah, tujuan sehingga mereka benar-benar sehidup dan “semati”
bersama. Karena jiwa suami adalah juga jiwa istrinya, dan inti dari
penjelasan ini adalah bagian satu sama lain.
B. Membongkar Mitos Penciptaan Perempuan
Dibandingkan dengan Q.S an-Nisa‟: 34 yang sering dilegitimasi
sebagai bentuk keunggulan dan keutamaan laki-laki pada kata qawwam,
wacana mengenai asal usul perempuan dimasih dianggap kurang begitu
memberi dampak secara langsung dan di sentuh. Namun melihat usaha
dan keteguhan Riffat untuk menelusuri, mengkaji, dan melakukan
interpretasi
ulang terhadap teks
keislaman
mengenai
penciptaan
perempuan layak diapresiasi. Melacak kesejarahan yang timpang, begitu
juga ketika melakukan perbandingan dengan ajaran lainnya seperti Yahudi
dan Nasrani.
Isu ini jauh lebih mengglobal karena sudah tertanam dalam benak
individu. Namun, interpretasi tetap perlu dilakukan untuk memperbarui
cara pandang agar lebih bijak dalam menanggapi teks. Pendeta maupun
rahib memiliki otoritas sebagai penafsir kitab suci, kitab suci terdahulu
secara tidak langsung sudah membakukan patriarki (budaya). Sehingga
menjadi sebuah hierarki atau hegemoni yang didominasi oleh laki-laki.
65
Tidak menutup kemungkinan ada interpretasi yang memenuhi hasrat
kepentingan kaum laki-laki. Maka hal ini memberi pengaruh terhadap
keberlangsungan hidup manusia yang sampai sekarang pun masih
mengakar.
Sebelum Islam datang, orang-orang Yahudi dan Nasrani telah
menempati beberapa wilayah di jazirah Arab. Mereka diperkirakan sudah
berada di sana lebih dari seratus tahun sebelum Nabi Muhammad lahir.
Ada kemungkinan bahwa kedatangan mereka ke Arab di dorong oleh
sebuah ramalan yang berkembang di kalangan para rabbi Yahudi dan
rahib-rahib Kristen tentang kedatangan seorang “Juru Selamat” atau nabi
di daerah gurun yang kaya pohon kurma itu. Bangsa Arab mengenal
mereka sebagai Ahl al-Kitab, sebab mereka memiliki al-kitab dan ilmu
pengetahuan yang tidak dimiliki orang-orang Arab. Sebagian dari Ahl alKitab masuk Islam karena menemukan bukti kerasulan nabi Muhammad
saw. kebanyakan dari mereka tetap bertahan dalam agamanya (Abdullah,
2005: 32-34).
Ketika Islam telah menghapuskan dan membersihkan citra
perempuan dari berbagai asumsi negatif mengapa pada praktinya masih
ada yang belum mencerminkan sikap yang bersahabat terhadap
perempuan. Jika sebagai manusia Allah memberi kedudukan yang sama
terhadap laki-laki dan perempuan mengapa masih ada perlakuan
diskriminatif yang seolah tidak mencerminkan nilai Islam. Reinterpretasi
yang dilakukan sebagai usaha untuk menemukan makna dan jalan dalam
66
rangka menyibak makna. Membawa persoalan asal-usul manusia
(perempuan) sebagai bagian dari sebuah wacana ilmiah. Karena cerita ini
sudah tertanam dan menggejala sebagai cerita global.
Melalui inilah kita melihat bagaimana sejarah dan peradaban
memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan posisi perempuan
dalam
kehidupan
masyarakat.
Dogma-dogma
dan
mitos
tentang
perempuan tidak sedikit yang merupakan hasil karya pelaku sejarah dan
pemeran drama peradaban, yang kadang-kadang harus dibayar dengan
harga yang cukup mahal. Kisah tentang kejadian perempuan juga tidak
terlepas dari bias kecenderungan pihak-pihak tertentu yang mengarangnya
untuk tujuan-tujuan tertentu pula. Sebab, dalam masyarakat tradisional,
kisah-kisah memang memiliki kekuatan yang hebat sebagai alat penyebar
ideologi, paham, dan keyakinan (Abdullah, 2005: 20).
Oleh karena itu, kita tidak perlu heran ketika peradaban kita telah
menempatkan perempuan pada posisi marginal atau terpinggirkan. Juga
tidak perlu heran apabila kisah-kisah yang mendukung posisi perempuan
seperti itu menjadi laris manis. Kisah-kisah tentang asal dan kehidupan
awal perempuan di surga yang acapkali bernada diskriminatif telah
menjadi sangat populer. Popularitas itu pada gilirannya menyembunyikan
segala cacat pada dirinya dan menumpulkan rasa kritis kita yang telah
menjadi bagian dari peradaban itu sendiri (Abdullah, 2005: 20-21).
Mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan pengaruh mitos yang
mengakar pada penciptaan perempuan, melihat banyaknya tokoh feminis
67
dari golongan Yahudi dan Nasrani. Kita tengok bagaimana Islam datang
menghapuskan diskriminasi dan membebaskan perempuan dari perlakuan
masyarakat Arab jahiliyah yang seakan merusak nilai kemanusiaannya.
Pada tataran ini ada sinyal yang bisa ditangkap bahwa Islam peduli gender,
mengangkat kedudukan perempuan sebagai makhluk Tuhan yang setara
seperti laki-laki. Munculnya istilah bias gender yang didengungkan
sebagai salah satu faktor bentuk ketidakadilan sosial kiranya perlu dikritisi
serta dikaji ulang, jika benar demikian maka akan menggeser kedudukan
perempuan yang tidak sesuai dengan nilai normatif Islam.
Pengalaman keagamaan sebelumnya memberi pengaruh yang
cukup signifikan, Dzulkarnain Abdullah mengatakan ringkasnya kisah
dalam al-Qur‟an yang ringkas menimbulkan pertanyaan di kalangan kaum
muslim terlebih lagi setelah nabi wafat. Kepada Ahl al-Kitablah mereka
bertanya dan jawaban yang diberikan dianggap sebagai catatan penting
dalam rangka menjelaskan atau menafsirkan ayat al-Qur‟an yang kurang
jelas. Dari sinilah cerita Israiliyyat berkembang dan dikenal luas di
kalangan masyarakat Muslim.
Terdoronglah Riffat mengkaji dan menelusuri mengingat dampak
yang ditimbulkan memberi efek. Islam memandang sama kepada
perempuan dan laki-laki dari segi kemanusiaannya. Perempuan adalah
manusia
sebagaimana
laki-laki.
Islam
memberi
hak-hak
kepada
perempuan seperti yang diberikan kepada laki-laki dan membebankan
kewajiban yang sama kepada keduanya, kecuali terdapat dalil syara yang
68
memberi tuntutan khusus untuk perempuan dan laki-laki, yang jumlahnya
sangat sedikit, dan kebanyakan dalil syara tidak diciptakan khusus untuk
perempuan atau khusus untuk laki-laki, melainkan untuk keduanya sebagai
insan.
Maka usaha yang dilakukan yaitu dengan melakukan interpretasi
ulang guna memperbaiki cara pandang. Menyibak eksistensi perempuan
dalam narasi besar Islam. Karena sama halnya laki-laki perempuan juga
manusia makhluk ciptaan Allah, maka rancu sekali jika mendapat
perlakuan yang kurang baik. Banyaknya mufasir, cendekiawan, ulama
berjenis kelamin laki-laki mendominasi, dengan percaya diri Riffat terjun
mengkaji teologi baik al-Qur‟an maupun hadis yang dijadikan pijakan bagi
umat Islam.
Al-Qur‟an menggunakan istilah bashar, al-insan, dan an-nas saat
menggambarkan proses penciptaan manusia secara fisik. Al-Qur‟an
menggunakan istilah “Adam” lebih selektif untuk mengacu pada manusia
hanya apabila mereka menjadi representasi manusia yang sadar diri,
berpengetahuan, dan otonom secara moral. Sebagai ganti “Adam” dan
“Hawa”, al-Qur‟an berbicara tentang Adam dan zauj dalam Q.S. alBaqarah (2): 35, al-A‟raf (7): 19, Taha (20): 117. Orang Islam
beranggapan bahwa “Adam” adalah manusia pertama yang diciptakan
Allah dan dia laki-laki. Jika “Adam” adalah laki-laki berarti zauj Adam
adalah perempuan. Karena itu zauj yang dinyatakan dalam al-Qur‟an
menjadi sama dengan Hawa, namun baik asumsi pertama maupun
69
kesimpulan yang ditarik darinya tidak didukung oleh al-Qur‟an secara
jelas dan tegas (Hassan, 1995: 47).
Kisah kehidupan Adam yang tertera pada Q.S. al-Baqarah: 35 tidak
menyebutkan secara eksplisit bahwa Hawa diciptakan atau muncul melalui
tulang rusuk. Adapun redaksinya:
“Dan kami berfirman: “Hai Adam, diamlah oleh kamu dan isterimu
syurga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di
mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang
menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.”
“(Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan
istrimu di syurga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana
saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini,
lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.” (Q.S.
al-A‟raf: 19)
Kedua surat tersebut hanya menyebutkan istri Adam, pada surat alBaqarah ayat 34 diceritakan saat itu Iblis enggan hormat kepada Adam.
Sedangkan di surat al-A‟raf ayat 18 menceritakan bagaimana Allah
mengusir Iblis dari surga karena kesombongannya. Disinilah salah satu
faktor munculnya problematikanya ketika tidak ditelusuri secara cermat
atau melakukan interpretasi ulang.
Riffat
melanjutkan
pemaparannya
bahwa
al-Qur‟an
tidak
menyatakan bahwa Adam adalah manusia pertama dan tidak pula
menyatakan bahwa ia laki-laki. Istilah “Adam” adalah kata benda
70
maskulin, namun hanya menyatakan jenis secara linguistik bukan
menyangkut jenis kelamin. Jika “Adam” belum tentu laki-laki, zauj Adam
juga belum tentu perempuan. Sebenarnya istilah zauj juga merupakan kata
benda maskulin. Berbeda dengan istilah “Adam”, zauj memiliki bentuk
feminin yakni zaujatun.
Menurut Riffat, alasan mengapa al-Qur‟an membiarkan istilah
“Adam” dan zauj tidak jelas, bukan saja menyangkut jenis kelamin tapi
juga menyangkut jumlah, karena tujuannya tidak untuk menceritakan
peristiwa-peristiwa tertentu dalam kehidupan seorang laki-laki dan
seorang perempuan, tapi untuk mengacu pada beberapa pengalaman hidup
semua manusia, laki-laki dan perempuan secara bersama-sama.
Mengenai tiga isu sebelumnya kiranya tepat diletakkan sebagai
bahasan utama dan mendasar karena menyangkut eksistensi perempuan.
Kemudian, ketika dikaitkan dengan analisis gender maka akan mengacu
pada tiga hal, poin pertama dan ketiga berdampak pada subordinasi serta
marginalisasi. Keyakinan bahwa ciptaan Tuhan yang pertama laki-laki
maka akan memicu sikap superioritas. Menempatkan perempuan sebagai
makhluk kedua (second class), sehingga dalam hal apapun laki-laki lebih
diutamakan dan diunggulkan. Karena laki-laki dikatakan sebagai makhluk
yang pokok dan perempuan hanya cabang.
Kemudian jika perempuan diciptakan hanya untuk laki-laki maka
mereka hanya dianggap sebagai pelengkap bukan makhluk mandiri yang
memiliki otonomi. Sedangkan poin kedua mengarah pada stereotype atau
71
pelabelan negatif yang memberi efek buruk terhadap perempuan sebagai
penyebab dijatuhkannya hukuman atau sumber kesalahan. Sehingga
bertendensi memunculkan asumsi yang kurang baik dan lebih kebablasan
lagi (dikhawatirkan) ketika kerusakan dilabelkan kepada perempuan.
Pada bab sebelumnya (biografi) dituliskan bagaimana Riffat
pernah menghadiri trialog tiga agama Islam, Yahudi, dan Nasrani.
Penelitiannya juga berlanjut untuk mencari bagaimana kondisi perempuan
dari perspektif agamanya. Melalui penelitiannya itu tersusunlah tiga isu
teologis mendasar diawal disebutkan sebelumnya ada dalam ajaran Yahudi
dan Nasrani. Meski secara pribadi penulis tidak meneliti atau menelusuri
secara langsung maka akan mencantumkan dari beberapa literatur guna
menunjang pembahasan.
Menurut bangsa Yahudi, wanita adalah laknat atau kutukan.
Wanita -menurut kepercayaan Bangsa Yahudi- adalah penyebab utama
diturunkannya Adam dari surga ke bumi. Pada kondisi tertentu, wanita
diperjualbelikan oleh ayahnya, dan ayah mempunyai kekuasaan mutlak
untuk
mengawinkannya
dengan
laki-laki
yang
dikehendakinya
(Muhammad Ali al-Allawi mengutip dari Bill Deorant, Qisshatu alHadharah, Vol 1, juz 2, hlm. 32-33). Dalam pandangan Yahudi, martabat
wanita sama dengan pembantu. Mereka menganggap wanita adalah
sumber
laknat
karena-menurut
kepercayaan
mereka-dialah
menyebabkan Adam diusir dari surga (Shihab, 2009: 506).
72
yang
Wanita dalam komunitas Nasrani hidup dalam kondisi yang buruk
dan memprihatinkan. Ia dinyatakan sebagai perlambang keburukan dan
penyebab utama lahitnya bencana dan kejahatan. Wanita adalah
perwujudan setan dan diciptakan hanya untuk melayani kaum pria (Allawi,
2006: 21).
Kemudian pada penjelasan lanjut Muhammad Allawi juga
menambahkan, dalam bab kedua kitab perjanjian baru disebutkan bahwa
Paulus berkata,
”Aku tidak mengizinkan wanita untuk mencari ilmu atau beribadah dan
harus selalu berada dalam rumahnya. Karena, Adam diciptakan lebih
dulu dari Hawa. Adam tidak akan membangkang perintah tuhannya jika
tidak ada wanita yang menggodanya. Meski demikian, wanita akan
selamat dari dosanya apabila ia melahirkan anak-anaknya.” (kitab suci
perjanjian baru hlm.339).
Wanita adalah penyebab utama yang mengantarkan seseorang
untuk melakukan dosa. Dan oleh sebab itu, ia harus menebus kesalahankesalahan tersebut dengan melahirkan anak-anaknya.
Sebelum Islam datang, orang-orang Yahudi dan Kristen telah
menempati beberapa wilayah di Jazirah Arab. Mereka diperkirakan sudah
berada di sana lebih dari seratus tahun sebelum Nabi Muhammad lahir.
Ada kemungkinan bahwa kedatangan mereka ke Arab didorong oleh
sebuah ramalan yang berkembang di kalangan para rabbi Yahudi dan
rahib-rahib Kristen tentang kedatangan seorang “Juru Selamat” atau nabi
yang diramal itu diutus Tuhan (Abdullah, 2005: 33).
Orang-orang Yahudi (dan juga Nasrani) hidup di tengah-tengah
bangsa Arab sedemikian lama, sehingga peradaban dan kehidupan sosial
73
mereka sudah “ter-Arabkan”. Namun demikian, agama mereka tidak
banyak membawa pengaruh kepada orang-orang Arab. Agama mereka
dianggap asing, terutama sekali agama orang Yahudi, karena sikap mereka
yang eksklusif. Tetapi di sisi lain, orang-orang Arab tetap merasa kagum
kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, sebab mereka memiliki al-kitab
dan ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki oleh orang-orang Arab.
Kehidupan sosial di antara mereka dan orang-orang Arab berjalan dengan
baik. Beberapa orang di antara bangsa Arab pun ada yang memeluk agama
mereka. Melalui pemaparan ini, Zulkarnain Abdulllah mengungkapkan
mungkin saja sebagian dari dogma-dogma dan ajaran agama mereka mulai
dikenal dan bahkan telah menyebar di kalangan orang Arab sejak sebelum
Islam.
Kisah-kisah
al-Qur‟an
yang
disampaikan
secara
ringkas
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di kalangan kaum Muslim, terutama
sekali setelah nabi Muhammad saw. wafat dan kaum Muslim telah mulai
berinteraksi dengan masyarakat dan peradaban di luar Arab, seperti
Romawi dan Persi, yang pada umumnya telah terlebih dahulu mendapat
sentuhan tradisi Yahudi dan atau Nasrani. Tidak ada rujukan kaum
Muslim mengenai masalah tersebut yang lebih mudah dan dianggap
otoritatif pada waktu itu kecuali orang-orang yang berasal dari kalangan
Ahl al-Kitab. Kepada orang-orang inilah mereka bertanya, dan jawabanjawaban yang mereka berikan dianggap sebagai catatan-catatan penting
dalam rangka menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang
74
kurang jelas. Dari sinilah cerita-cerita Israiliyyat itu berkembang dan
dikenal luas di kalangan masyarakat muslim, termasuk kisah asal
penciptaan perempuan. jadi validitas atau keabsahan cerita-cerita tersebut,
dari sudut pandang ajaran Islam, tetap dapat dikritisi atau dipertanyakan
(Abdullah, 2005: 35).
Nasaruddin Umar menyebutkan beberapa hal yang menyebabkan
bias gender dalam penafsiran teks. Selain faktor kebahasaan, seperti
pembakuan tanda huruf, tanda baca, qira‟at, mufradat, kata ganti, batas
pengecualian, huruf-huruf „Athf, struktur Bahasa Arab, kamus Bahasa
Arab, Metode Tafsir, turut dipengaruhi juga oleh riwayat Israiliyyat
(cerita-cerita yang bersumber dari agama-agama Samawi sebelum islam,
seperti dari agama Yahudi dan Nasrani) dan mitos.
Kemudian pada cerita selanjutnya dijelaskan oleh al-Qur‟an
bagaimana Adam dan Hawa mengalami musibah karena melanggar
sesuatu yang sudah ditetapkan Allah.
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan
dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! Sebagian
kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman
di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (Q.S. alBaqarah: 36)
“Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada kesuanya untuk
menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu
75
auratnya dan syaitan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dari
mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi
malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam syurga).”
(Q.S. al-A‟raf: 20)
Maka ayat ini menerangkan keduanya tergelincir karena godaan
syaitan dan menyanggah bahwa pelaku jatuhnya Adam ke bumi karena
disebabkan oleh Hawa. Sekali lagi al-Qur‟an membersihkan asumsi yang
menyatakan perempuan sebagai sumber kesalahan. Karena konotasi
negatif tersebut berdampak pada pembentukan citra perempuan.
Riffat menyimpulkan, deskripsi al-Qur‟an mengenai penciptaan
manusia, perlu ditekankan bahwa al-Qur‟an secara adil menggunakan
term-term baik yang bersifat feminin maupun maskulin dan tamsil untuk
menggambarkan penciptaan manusia dari sumber yang satu. Jadi ciptaan
Allah yang asli tidak membedakan manusia, bukan perempuan dan bukan
pula laki-laki (yang muncul serempak pada waktu sesudah itu). Secara
implisit ditegaskan dalam sejumlah ayat al-Qur‟an khususnya Q.S. alQiyamah (75) 36-39:
”Apakah al-insan mengiran bahwa ia akan dibiarkan begitu saja?
Bukankah dia dulu setetes mani yang ditumpahkan kemudian mani itu
menjadi segumpal darah. Lalu Allah menciptakannya dan
menyempurnakannya dan lalu Allah menjadikan darinya (minhu)
sepasang (zaujain) laki-laki dan perempuan.”
Analisa mengenai gambaran al-Quran tentang penciptaan manusia
menurutnya cukup adil karena menggunakan term feminin maupun
maskulin dan perumpamaan yang dipakai untuk menggambarkan konsep
penciptaan
dari
sumber
yang
tunggal.
Proses
penelusurannya
menunjukkan bahwa selama ini pengaruh riwayat diluar konteks Islam
76
mempengaruhi penafsiran teks keislaman. Terlebih lagi menurut Riffat
masih sedikit sekali umat Islam yang pernah membaca Injil atau mungkin
kitab lainnya sebagai studi perbandingan. Sehingga banyak sekali
penyesatan interpretasi yang tanpa disadari membentuk cara pandang dan
berdampak dalam ranah praktis. Atas dasar kesadaranlah ia ingin nilainilai pada ajaran Islam yang selama ini kabur atau tersamarkan bersih dari
penyelewengan dan menekankan bahwa ajaran Islam lebih bijak dalam
menanggapi teks yang berkaitan dengan kemanusiaan.
Asumsi dan sikap patriarki yang tertancap dalam dan secara
universal hadir dalam kebudayaan Islam mengandung implikasi negatif
yang serius –baik secara teoritis maupun praktis- bagi perempuan Muslim
sepanjang sejarah Islam hingga kini. Al-Qur‟an bagi umat Islam pada
umumnya merupakan sumber ajaran yang paling otoritatif, tidak
mendiskriminasi perempuan kendatipun kenyataan sejarah yang pahit dan
menyedihkan karena bias-bias kumulatif (Yahudi, Nasrani, Hellenistik,
Bedouin, dll) yang berlaku dalam kebudayaan Arab Islam menginfiltrasi
tradisi Islam, sebagian besar melalui kepustakaan hadits dan merusak
maksud al-Qur‟an untuk membebaskan perempuan dari status sebagai
makhluk yang lebih rendah dan membuat mereka merdeka dan setara
dengan laki-laki (Hassan, 1995: 97-98).
Baginya al-Qur‟an tidak hanya menekankan bahwa kesalehan lakilaki dan perempuan itu sama, tapi juga menegaskan secara jelas dan
konsisten kesetaraan perempuan dengan laki-laki dan hak fundamental
77
mereka untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiaan mereka sama
dengan laki-laki. Bila dilihat melalui kaca mata non-patriarki, al-Qur‟an
bergerak egalitarianisme. Menunjukkan perhatian khusus pada perempuan
sebagaimana juga terhadap kelas masyarakat lain yang tidak diuntungkan
serta memberikan langkah pengamanan khusus untuk melindungi fungsifungsi seksual/biologis perempuan yang khas seperti mengandung,
melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak.
Pernyataan yang cukup menarik dari Riffat,
”bagi saya, patriarki bukanlah sesuatu yang merupakan bagian integral
dari Islam yang terwujud dalam al-Qur‟an. Tuhan juga bukan sebagai
laki-laki sebagaimana disangka oleh umat Islam pada umumnya.”
Tuhan yang berbicara melalui al-Qur‟an bercirikan keadilan dan
dinyatakan dengan sangat jelas dalam al-Qur‟an bahwa Tuhan tidak akan
pernah berbuat zulm (tidak jujur, tirani, pemerasan dan perbuatan yang
salah). Karenanya, al-Qur‟an, sebagai firman Tuhan tidak bisa dijadikan
sumber ketidakadilan manusia dan ketidakadilan yang membuat
perempuan Muslim ditundukkan, tidak bisa dianggap berasal dari Tuhan.
Dengan kekayaan Bahasa Arab yang luar biasa, dimana setiap kata
memiliki makna dan nuansa sangat banyak adalah mungkin –dan perluuntuk menginterpretasikan kembali ayat-ayat ini secara berbeda sehingga
makna dan implikasinya tidak bertentangan dengan keadilan Tuhan
(Hassan, 1995: 99).
78
C. Elaborasi Kajian Riffat Hassan dalam Pendidikan Islam
Semangat al-qur‟an merupakan satu hal yang lebih penting
daripada pendapat-pendapat para ahli hukum abad pertengahan dan
karenanya dalam hal ini seluruh kitab-kitab hukum syari‟ah harus diuji dan
dikaji ulang (Asghar, 2004: 16). Pengetahuan kita tentang asal kejadian
manusia amat penting, karena dalam konteks Pendidikan Islam
berpengaruh pada dirumuskannya tujuan pendidikan bagi manusia. Asal
kejadiannya menjadi pangkal tolak dalam menetapkan pandangan hidup
bagi orang Islam. Pandangan tentang kemakhlukan manusia cukup
menggambarkan hakikat manusia yang perkembangannya dipengaruhi
oleh pembawaan dan lingkungan.
Sebuah riwayat mengatakan,”Tiap orang dilahirkan membawa
fitrah, ayah ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, nasrani, atau Majusi
(Hadis riwayat Bukhari dan Muslim). Menurut hadis ini manusia lahir
membawa kemampuan-kemampuan, kemampuan inilah yang disebut
pembawaan. Fitrah dalam hadis tersebut berarti potensi (kemampuan).
Ayah dan ibu dalam hadis ini adalah lingkungan sebagaimana yang
dimaksud oleh para ahli pendidikan karena keduanya menentukan
perkembangan seseorang. Pengaruh itu terjadi pada aspek jasmani
(dipengaruhi oleh alam fisik selain oleh pembawaan), akal (dipengaruhi
oleh budaya), rohani (dipengaruhi oleh kedua lingkungan selain
pembawaan).
79
Pendidikan Islam sebagai ilmu, mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas, karena didalamnya banyak segi-segi atau pihak-pihak yang
ikut terlibat baik langsung atau tidak langsung (Muslihah, 2010: 9).
Masyarakat turut memikul tanggung jawab pendidikan, secara sederhana
masyarakat dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang
diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama. Setiap masyarakat
mempunyai cita-cita, peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu.
Berbicara mengenai fitrah, Allah memberikan kelebihan kepada
manusia. Pertama, manusia diciptakan Allah dengan bentuk yang paling
sempurna sebagaimana dalam Q.S. at-Tin:4. Kedua, manusia dianugerahi
akal oleh Allah SWT. Dengan akal itulah manusia dapat memiliki ilmu,
mampu membedakan mana yang baik dan tidak baik. Ketiga, manusia
dianugerahi nafsu oleh Allah agar dapat hidup dan menjalankan fungsi
sebagaimana mestinya. Keempat, manusia dianugerahi Allah berupa hati
nurani (qolbu) sebagai penengah antara akal dan nafsu. Selain bertindak
sebagai penilai sekaligus juga sebagai pengambil keputusan. Kelima
manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, dalam hal apapun,
kecuali takdir Allah. Manusia diberi kebebasan dalam hidup ini apakah
jalan keselamatan atau kesesatan (Muchtar, 2005: 7-10).
Ahmad Tafsir menambahkan manusia mempunyai banyak
kecenderungan, ini disebabkan oleh banyaknya potensi yang dibawanya.
dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi dua, yaitu
kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi
80
orang yang jahat. Berarti bisa dikatakan bahwa laki-laki maupun
perempuan memiliki sisi baik dan buruk, berpotensi untuk melakukan
kesalahan.
Padahal laki-laki sama halnya juga manusia tentunya memiliki
kecenderungan layaknya perempuan meski dalam bentuk yang berbeda.
Banyaknya definisi pemahaman kata fitrah yang beranekaragam
menimbulkan sebuah pemahaman yang tentunya beragam pula ketika
diinterpretasikan. Dalam konteks Pendidikan Islam manusia memiliki
potensi dalam diri, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga dalam
perjalanan hidupnya keduanya memiliki ruang untuk mengembangkan
potensi, mengaktualisasikan diri, mendapatkan pendidikan yang layak, dan
terhindar dari perlakuan diskriminatif.
Kedudukan laki-laki dalam Islam sama, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Etti Nurhayati dalam bukunya Psikologi
Perempuan menyatakan:
1. Posisi perempuan dan laki-laki hakikatnya sama sebagai
khalifah fil ardh (Q.S. al-Baqarah:30), menuntut kepatuhan
pada pemimpin (Q.S. an-Nisa:59), selain taat kepada ALLAH
(Q.S. an-Nisa: 59), menata urusan bersama diperintahkan
menggalang koordinasi dalam asas musyawarah (Q.S. Ali
Imran: 159 dan As-Syura: 38) yang berarti harus melibatkan
perempuan dan laki-laki secara sinergis.
81
2. Nilai kehormatan, jati diri kemanusiaan, hak dan kewajiban
perempuan setara dengan laki-laki (Q.S.al-Hujurat: 13, anNisa: 1, al-Isra: 70). Aspek kemanusiaan perempuan sama
sempurna “fi ahsani taqwim” dengan laki-laki (Q.S. at-Tin: 5).
Dalam situasi modern sekarang ini, dimana perempuan juga
mampu berperan seperti laki-laki sebagai tenaga profesional,
berkarier, menjadi manajer dan pemimpin, mereka dapat
mengembangkan segi-segi meskulinitas, seperti sikap proaktif,
dinamis, berorientasi kedepan, pemberani, tidak emosional, dan
sikap-sikap lain yang selama ini menjadi pelabelan (stereotype)
bagi laki-laki, dan laki-laki juga harus terbiasa memperhatikan
pengasuhan dan pendidikan anak di rumah, memiliki sifat kasih
sayang, penyabar, intuitif, dan segala sifat yang selama ini
dianggap sebagai karakteristik perempuan.
3. Islam memandang sama kepada perempuan dan laki-laki dari
segi kemanusiaannya. Perempuan adalah manusia sebagaimana
laki-laki. Islam memberi hak-hak kepada perempuan seperti
yang diberikan kepada laki-laki dan membebankan kewajiban
yang sama kepada keduanya, kecuali terdapat dalil syara yang
memberi tuntutan dan tuntutan khusus untuk perempuan dan
laki-laki, yang jumlahnya sangat sedikit, dan kebanyakan dalil
syara tidak diciptakan khusus untuk perempuan atau khusus
82
untuk laki-laki, melainkan untuk keduanya sebagai insan
(Q.S.al-Hujurat: 13, an-Najm: 45, al-Qiyamah: 39).
Secara umum “asal usul” memang dapat dikatakan tidak lagi
merupakan masalah yang begitu penting bagi kebanyakan masyarakat kita,
tetapi ketika ia diletakkan dalam konteks keagamaan atau memiliki
keterkaitan dengan agama, maka akan menjadi wacana yang sangat serius.
Inilah yang menjadi kasus “asal usul” penciptaan perempuan dan segala
karakteristik yang relevan dengannya. Ia memiliki dimensi teologis,
karena itu ia menjadi persoalan yang tidak bisa diabaikan.
Namun tidak menutup kemungkinan membuka celah untuk
didiskusikan dan menjadi sebuah kajian ilmiah karena menjadi dogma
yang seolah-olah memojokkan atau merendahkan perempuan. Kajian ini
perlu disosialisasikan sebagai sebuah diskursus dalam rangka membenahi
cara pandang yang sudah mengglobal dan menjadi telaah kritis. Bisa
dikatakan pembahasan ini juga berpengaruh pada munculnya diskursus
kajian perempuan.
Begitu juga usaha yang dilakukan Riffat Hassan tentunya memberi
kontribusi dalam kancah pemikiran Islam untuk memperbarui cara
pandang dimana hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap perempuan.
Selain sebagai makhluk individu, manusia juga mengamban tugas sebagai
makhluk sosial. Berinteraksi terhadap satu sama lain, saling tolong
menolong, dan mengemban tugas dalam pelaksanaan muamalah. Argumen
yang mengatakan bahwa ruang publik diutamakan sebagai area laki-laki
83
perlu dipatahkan. Bumi ini diciptakan untuk laki-laki dan perempuan
(makhluk ciptaan Allah), selain memiliki potensi keduanya diberi amanah
untuk menjaga dan melestarikan segala yang ada demi kepentingan
bersama.
Islam
mengajarkan
bahwa
seorang
muslim
tidak
hanya
memperhatikan kesalehan ritual semata (ibadah mahdah), namun juga
yang perlu diperhatikan adalah kesalehan sosial dengan cara menjalin
hubungan kerjasama yang harmonis dengan masyarakat sosial. Karena
seseorang tidak akan bisa berfungsi dengan baik dan mengaktualkan
kemanusiaannya secara sempurna jika tidak mampu menjalin kerja sama
antara satu dengan yang lainnya. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa
adanya manusia lain (Hasnah, 2011: 46).
Diakui atau tidak, pendidikan merupakan kunci utama bagi
terwujudnya keadilan gender dalam masyarakat, karena pendidikan
disamping mentransformasi norma-norma masyarakat, pengetahuan, dan
kemampuan mereka, juga sebagai alat untuk mengkaji dan menyampaikan
ide-ide dan nilai-nilai baru. Karena itu, dalam lembaga pendidikan,
sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan kepada masyarakat, sejak awal
perlu diusahakan terwujudnya keadilan gender (Solichin, 2006: 56).
Sudah tidak asing lagi bahwa pendidikan selain transfer of
knowledge (transfer ilmu), juga berfungsi sebagai transfer of value
(transfer nilai). Nilai disini juga dimaksudkan bahwa pendidikan sebagai
transfer untuk perubahan sosial. Lebih sempit pendidikan formal berfungsi
84
sebagai proses pembaharuan sosial (Rahmah, 2014: 354). Menilik kembali
pada penjabaran sebelumnya bahwa Riffat juga menyinggung al-Qur‟an
menggunakan istilah bashar, al-insan, dan an-nas saat menggambarkan
proses penciptaan manusia secara fisik. Jika ditarik pada pembahasan
dalam konteks Pendidikan Islam hal itu berkaitan.
Manusia dalam konsep al-basyr, dipandang dari pendekatan
biologis manusia terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan sosok
dalam bentuk fisik material berupa tubuh kasar. Berdasarkan konsep albasyr, manusia tak jauh berbeda dengan manusia biologis lainnya, terikat
kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak,
mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat
kematangan dan kedewasaan. Manusia memerlukan makanan dan
minuman untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk
melanjutkan proses pelanjut keturunannya. Memiliki dorongan biologis
seperti dorongan makan dan minum, dorongan seksual, dorongan
mempertahankan diri, dan dorongan mengembangkan diri, sebagai bentuk
dorongan primer makhluk biologis (Jalaludin, 2003: 19-20).
Demi
membutuhkan
menunjang
makan
dan
keberlangsungan
minum
untuk
hidupnya
menunjang
manusia
proses
pertumbuhannya. Selain itu Tuhan memberikan dorongan biologis dimana
ini nanti akan berfungsi untuk melanjutkan keturunan melalui proses
percampuran benih dari laki-laki (sperma) dan perempuan (sel telur).
85
Kemudian al-insan terbentuk dari akar kata nasiya yang berarti
lupa. Penggunaan kata al-insan sebagai kata bentukan yang termuat dalam
al-Qur‟an mengacu kepada potensi yang dianugerahkan Allah kepada
manusia, baik tumbuh kembang secara fisik maupun mental spiritual.
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan untuk
mematangkan potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai kematangan itu
ia mampu memerankan diri sesuai dengan amanah yang disandangnya,
serta mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan kepada Sang
Pencipta. Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya
mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi (Jalaludin, 2003: 2223).
Konsep al-nas selalu mengacu kepada peran manusia dalam
kehidupan sosial. Manusia diarahkan agar menjadi warga sosial yang
diharapkan dapat memberi manfaat bagi kehidupan bersama di
masyarakat. Kemampuan untuk memerankan diri dalam kehidupan sosial,
sehingga dapat mendatangkan manfaat, merupakan usaha yang sangat
dianjurkan. Dengan demikian, konsep al-nas, mengacu kepada peran dan
tanggung jawab manusia sebagai makhluk sosial dalam statusnya sebagai
makhluk ciptaan Allah SWT (Jalaludin, 2003: 25).
Al-Qur‟an menggunakan istilah “Adam” lebih selektif untuk
mengacu pada manusia hanya apabila mereka menjadi representasi
manusia yang sadar diri, berpengetahuan, dan otonom secara moral.
Mengutip pemaparan Jalaludin, peranan manusia selaku Bani Adam
86
mengacu kepada bagaimana upaya untuk menjaga kemuliaan dirinya, serta
memanfaatkan rezeki (pemberian) Allah sesuai ketentuan yang telah
disampaikan Allah kepadanya. Upaya seperti itu dimaksudkan sebagai
tindakan preventif (peringatan dini) bagi dirinya. Lebih dari itu, konsep
Bani Adam dalam bentuk menyeluruh mengacu kepada penghormatan
kepada nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini menitikberatkan pada upaya
pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia.
Sekarang ini sudah saatnya untuk melakukan dekonstruksi atas
pemikiran yang menyimpang dari prinsip keadilan yang merupakan citacita islam. Melalui pendekatan ini, setiap teks agama, al-Qur‟an maupun
al-Sunnah yang memperlihatkan makna diskriminatif dan misoginis harus
ditempatkan sebagai wahana sejarah yang sedang diupayakan menuju citacita yang lebih berkeadilan di persada bumi ini. Wacana sejarah senantiasa
meniscayakan watak sosiologisnya yang dinamis.
Pendidikan
sebagai
jalur
pengembangan
potensi.
Manusia
mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan sedangkan pendidikan
merupakan suatu proses untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi yang dimiliki dalam arti berusaha untuk menampakkan
dan mengembangkan (aktualisasi) berbagai potensi manusia yang dalam
Islam disebut juga dengan “fitrah” sebagai potensi dasar yang akan
dikembangkan bagi kehidupan manusia (Mutohar, 2013: 63).
Tidak ada superioritas maupun inferioritas. Derajat maupun
kedudukan manusia tidak dilihat dari jenis kelaminnya melainkan tingkat
87
ketaqwaannya kepada Tuhan. Keunggulan manusia dilihat dari kompetensi
atau keterampilan yang ada pada dirinya. Baik laki-laki maupun
perempuan memiliki kelebihan, sebagai manusia keduanya diciptakan dari
bahan yang sama dan mengemban misi kemanusiaan sebagai hamba. Bisa
dilihat pada ayat-ayat berikut:
“Barang siapa yang mengerjakan amal-amak saleh, baik ia laki-laki
maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu
masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”
(Q.S. an-Nisa‟: 124)
Dan orang-orang mukmin yang mantap imannya dan terbukti
kemantapannya melalui amal-amal saleh mereka, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka dengan sebagian yang lain, yakni menyatu hati mereka,
dan senasib serta sepenanggungan mereka sehingga sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain dalam segala urusan dan
kebutuhan mereka. Bukti kemantapan iman mereka adalah mereka
menyuruh melakukan yang ma‟ruf, mencegah perbuatan yang munkar,
melaksanakan sholat dengan khusyu‟ dan berkesinambung, menunaikan
zakat dengan sempurna, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya
menyangkut segala tuntunan-Nya. Mereka itu pasti akan dirahmati Allah
dengan rahmat khusus; sesungguhnya Allah Mahaperkasa tidak dapat
88
dikalahkan
atau
dibatalkan
kehendak-Nya
oleh
siapapun
lagi
Mahabijaksana dalam semua ketetapan-Nya (Shihab, 2002: 163).
Selanjutnya, ayat ini menjelaskan sebagian rahmat-Nya itu dengan
menegaskan bahwa Allah menjanjikan dengan janji yang pasti kepada
orang-orang mukmin yang mantap imannya, lelaki dan perempuan, bahwa
mereka semua akan dianugerahi surga yang dibawahnya mengalir sungaisungai, yang mereka nikmati secara terus-menerus, kekal mereka
didalamnya, dan ada juga tempat-tempat yang bagus, yakni istana-istana
hunian di surga „Adn. Di samping itu, mereka juga mendapat ridha Ilahi
dan keridhaan Allah, walau sedikit, lebih besar dan lebih agung daripada
surga dan tempat-tempat yang bagus itu; itu adalah keberuntungan yang
besar tiada keberuntungan yang melebihinya (Shihab, 2002: 163).
Allah memberi kedudukan bagi laki-laki dan perempuan untuk
menjalankan perintahnya, melakukan ritual peribadatan, menegakkan
amar ma‟ruf nahi munkar. Tuhan juga memberi kesempatan kepada
mereka untuk melakukan kebaikan. Saling menolong satu sama lain,
meringankan beban saudaranya, mendorong laki-laki dan perempuan
untuk bekerja sama dan saling bersinergi. Masing-masing mengemban
tugas kemanusiaan sebagai wakil Allah dibumi.
89
Ayat ini merupakan salah satu ayat yang menekankan persamaan
antara pria dan wanita. Sebenarnya, kata man/siapa yang terdapat pada
awal ayat ini sudah dapat menunjuk kedua jenis kelamin -lelaki dan
perempuan- tetapi guna penekanan dimaksud, sengaja ayat ini menyebut
secara tegas kalimat baik laki-laki maupun perempuan. Ayat ini juga
menunjukkan betapa kaum perempuan pun dituntut agar terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, baik untuk diri dan keluarganya
maupun untuk
masyarakat
dan bangsanya,
bahkan kemanusiaan
seluruhnya (Shihab, 2002: 720).
Allah akan memberi balasan dan kebaikan untuk laki-laki dan
perempuan yang melakukan amal-shaleh. Seperti juga yang pada Q.S. alHujurat: 13 dibawah ini:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah islah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat: 13)
Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar
90
untuk menegaskan bahwa sesama manusia derajat kemanusiaannya sama
di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dan yang lain. Tidak
ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan
(Shihab, 2009: 616). Proses terbentuknya manusia berasal dari perpaduan
benih laki-laki (sperma) dan perempuan (sel telur), manusia diciptakan
dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Derajat maupun kedudukan manusia
tidak ditentukan dari jenis kelaminnya melainkan ketaqwaannya kepada
Tuhan.
Al-Qur‟an menyatakan bahwa semua manusia berasal dari
keturunan yang sama, laki-laki dan perempuan, dan tidak ada perbedaan
sedikit pun satu sama lain yang dikarenakan oleh suku, bangsa, ras, atau
warna kulit. Perbedaan-perbedaan ini diciptakan agar manusia saling
mengenal. Orang yang paling mulia adalah yang paling adil dan saleh. Ini
merupakan konsep yang paling revolusioner, bukan hanya bagi bangsa
Arab, tetapi bagi seluruh manusia (Asghar, 2004: 47)
Sebagai makhluk sosial, manusia mau tidak mau harus berinteraksi
dengan manusia lainnya di lingkungan di mana ia berada. Ia menginginkan
adanya lingkungan sosial yang ramah, peduli, santun, saling menjaga dan
menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan, tertib, disiplin,
menghargai hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Lingkungan yang
demikian itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai
aktivitasnya dengan tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat
merugikan dirinya (Nata, 2004: 231).
91
Potensi manusia sebagai karunia Tuhan haruslah dikembangkan,
sedangkan pengembangan potensi yang sesuai dengan petunjuk Allah
merupakan ibadah. “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar
mereka menyembah (ibadah) kepada-Ku (Q.S. adz-Dzariyat, 51: 56). Jadi,
tujuan kejadian manusia dalam rangka ibadah adalah dalam pengertian
pengembangan potensi-potensi manusia sehingga menjadikan dirinya
mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi. Derajat ini dicapai dengan
mengaktualisasikan segala potensi yang dikaruniakan Tuhan kepadanya
(Mutohar, 2013: 64).
Demikian juga dalam hadis Nabi: an-Nisa‟ syaqa‟iq ar-rijal (kaum
perempuan adalah saudara kandung laki-laki). Dalam hadis lain
disebutkan ma akraman-nisa‟ illa karim wa la ahanahunna illa la‟im
(tidak menghargai/menghormati kaum perempuan kecuali mereka yang
memiliki pribadi terhormat dan tidak merendahkan kaum perempuan
kecuali orang-orang yang berjiwa rendah). Pada sisi lain fakta-fakta sosial
periode awal Islam memperlihatkan betapa banyak kaum perempuan, para
istri nabi, dan para sahabat Nabi yang memiliki intelektualitas melebihi
kaum laki-laki. mereka juga terlibat secara aktif dalam peran-peran sosial,
politik, dan kebudayaan. Aisyah adalah istri Nabi yang cerdas, guru besar,
dan pejuang. Demikian juga Ummu Salamah dan ummahatul mu‟minin
lainnya (Litbang, 2012: 16-17).
Al-Qur‟an
tidak
hanya
menegaskan
bahwa
laki-laki
dan
perempuan benar-benar setara dalam pandangan Allah tapi juga menjadi
92
„anggota-anggota‟ dan „pelindung‟ satu sama lain. Al-Qur‟an tidak
menciptakan
hirarki-hirarki
yang
menempatkan
laki-laki
diatas
perempuan, al-Qur‟an juga tidak menempatkan laki-laki dan perempuan
dalam suatu hubungan yang bermusuhan. Mereka diciptakan sebagai
makhluk-makhluk yang setara dari Pencipta alam semesta, yang Maha
Adil dan Maha Pengasih yang menginginkan mereka hidup dalam harmoni
dan kesalehan bersama-sama (Hassan, 1995: 98).
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah.” (Adz-Dzaariyat (51): 49)
Dibalik peran laki-laki dan perempuan baik sebagai anak, suami,
istri, ayah dan ibu diperlukan sistem kerja sama dengan dasar tolong
menolong. Suami sebagai imam (kepala rumah tangga) dan pemegang
keputusan final diharapkan mampu menggunakan sistem musyawarah
dalam proses pengambilan keputusan yang tentunya melibatkan istri,
begitu juga sebaliknya.
Orang tua baik ayah maupun ibu memikul sebuah tanggung jawab
untuk mendidik putra putrinya. Keduanya memiliki peran penting dalam
proses pembentukan karakter anak, sehingga mengharuskan untuk bekerja
sama. Tanggung jawab ini tidak bisa dipikul sendirian oleh perempuan
(ibu), meski dialah yang memegang kodrat mengandung, melahirkan, dan
menyusui. Tidak bisa dipungkiri bahwa ibu menjadi madrasah pertama
bagi anak-anaknya tetapi bukan berarti bahwa segala sesuatu yang
93
berkaitan dengan anak dilimpahkan sepenuhnya. Karena ayah juga
memiliki peran penting bagi anak-anaknya, sehingga laki-laki dan
perempuan harus bersinergi.
Secara eksplisit Riffat tidak menyebutkan bentuk-bentuk keadilan,
tetapi ketika melakukan interpretasi ulang terhadap teks keislaman
terutama al-Qur‟an patut untuk dihargai. Menelusuri dan memaparkan
secara rinci, tingginya pendidikan yang diraihnya dan menjadi seorang
muslimah yang aktif dalam mengkaji teologi mampu menjadi inspirasi dan
memotivasi perempuan lainnya supaya terus berkembang. Tidak takut
untuk menuangkan gagasannya karena sebagai manusia perempuan juga
diberi akal. Maka dari sini pun dapat ditegaskan bahwa teologi tidak
mutlak menjadi milik laki-laki atau area laki-laki. Bahkan ketika
perempuan pun memiliki skill dan bekal yang memadai dapat
diaplikasikan.
Adapun kekurangannya Riffat tidak menafsirkan hadis mengenai
perempuan dari tulang rusuk secara metaforis. Kemampuan linguistiknya
tidak diterapkan untuk menelusuri dan menggali makna dalam hadis
tersebut, berbeda jika dapat diuraikan secara rinci. Mengenai konsep
penciptaan perempuan penulis lebih sepakat dengan tafsiran metaforis
melihat konteks diturunkannya hadis tersebut, karena dalam al-Qur‟an
tidak dijelaskan. Pada proses penciptaan Adam dan istrinya sepakat bahwa
mereka diciptakan dari sumber yang sama (substansinya).
94
Kedudukan seorang hamba dilihat dari ketaqwaannya terhadap
Tuhannya, apapun jenis kelaminnya. Islam memang memuliakan wanita
dan mengangkat kedudukannya. Akan tetapi bukan berarti segala bentuk
penghormatan menjadikannya merasa tinggi. Begitu juga laki-laki, pada
beberapa ayat tertentu yang menyaratkan superioritas tetapi hal itu berlaku
pada konteks tertentu. Keduanya tetap harus saling melengkapi, menjalin
harmonisasi
sebagai
hamba
kemanusiaannya.
95
yang
dapat
mengemban
tugas
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai barikut:
1. Konsep Pendidikan Islam yang berkeadilan gender mencakup
unsur persamaan, kemanusiaan, dan keseimbangan. Nilai
kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama sebagai makhluk
Tuhan yang paling sempurna. Derajat kemanusiaannya tidak
ditentukan jenis kelaminnya melainkan ketaqwaan pada
Tuhannya.
Islam
mengajarkan
kepada
umatnya
untuk
menghargai hak sesama, saling melengkapi, menjadi pelindung
satu sama lain.
2. Hubungan gender dengan Pendidikan Islam yaitu menuntun
untuk terwujudnya relasi antara laki-laki dan perempuan agar
keduanya hidup dalam harmoni dan kesalehan bersama-sama.
3. Kontribusi pemikiran Riffat Hassan bagi Pendidikan Islam
berkeadilan gender yaitu melakukan reinterpretasi teks
keislaman salah satunya al-Qur‟an. Konsep dasar yang
dibawanya adalah persamaan bahwa laki-laki dan perempuan
diciptakan dari bahan yang sama. Kedudukannya setara di mata
Sang Pencipta.
96
B. Saran
Setelah memaparkan dan menarik kesimpulan, ada beberapa saran
yang penulis berikan. Diantaranya:
1. Mencantumkan kajian gender sebagai kurikulum pembelajaran pada
lembaga pendidikan terutama di perguruan tinggi Islam. Sebagai
sarana pemanusiaan, lembaga pendidikan yang menjadi wadah untuk
pengembangan diri manusia memberi pengaruh besar terhadap
perkembangan individu salah satunya perkembangan berpikir. Pada
nilainya Islam mengajarkan nilai kemanusiaan dan keadilan. Selama
masih ada kehidupan gender akan terus berpengaruh, setiap manusia
perlu mengetahui tentang dirinya baik laki-laki maupun perempuan,
termasuk perbedaan biologi maupun bentukan sosial maupun budaya
yang berada di luar dirinya.
2. Menghimpun teks keislaman (baik al-Qur‟an maupun hadis) yang
berkaitan dengan gender dan melakukan telaah kritis dengan
melakukan interpretasi ulang terhadap beberapa teks yang bertendensi
mengandung misogini. Salah satunya hadis, karena masih ada
beberapa hadis yang berseberangan dengan teks al-Qur‟an terutama
mengenai perempuan. Hal ini dilakukan untuk merubah atau
meluruskan cara pandang supaya individu lebih bijak dalam
menanggapi sebuah teks.
3. Kajian atau isu perempuan tidak mutlak wajib diketahui perempuan
saja tetapi laki-laki pun perlu mempelajari. Karena bagian dari
97
problem kemanusiaan maka hal ini menjadi permasalahan bersama dan
mengharapkan laki-laki dan perempuan terlibat untuk saling
membantu mengatasi problematika ini. Jika tidak dikhawatirkan hanya
satu pihak (perempuan) saja yang mengetahui dan bisa saja
menyebabkan
sebuah
ketimpangan.
Perempuan
diberdayakan
sedangkan laki-laki tidak diedukasi, maka perlu disosialisasikan dan
diketahui keduanya agar dalam menjalani kehidupan mampu
bersinergi karena mengetahui hal-hal
yang berkaitan dengan
kemanusiaan mereka.Ada beberapa klasifikasi mengenai tanggung
jawab, kewajiban, dan hak yang melekat pada diri masing-masing
yang perlu diketahui serta dipahami.
4. Melalui pendidikan berwawasan gender akan berdampak pula dengan
keberlangsungan hidup manusia, baik sebagai pendidik di lembaga
pendidikan, dalam keluarga maupun masyarakat. Ketika menjadi guru
ataupun dosen hal ini dapat menyampaikan materi yang responsif
gender begitu juga dalam praktiknya. Dalam keluarga seperti suami
istri maupun perannya sebagai ayah dan ibu keduanya mampu berjalan
sebagai mitra, membangun relasi yang bersinergi, saling tolong
menolong satu sama lain baik dalam pembagian kerja yang
menyangkut ruang publik maupun domestik. Tidak ada superioritas
maupun inferioritas karena keduanya sama sebagai makhluk Tuhan
yang berasal dari percampuran dua benih dari laki-laki dan perempuan
juga. Di masyarakat pendekatan ini bisa disampaikan melalui
98
pertemuan seperti majlis ta‟lim atau lewat organisasi kemasyarakatan
lainnya seperti LSM melalui sistem advokasi. Bahkan ketika
memangku jabatan dalam ranah politik pun, pengetahuannya akan
gender turut mempengaruhi kebijakan. Baik ketika perumusan undangundang maupun revisi.
99
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Zulkarnaini, 2003. Mengapa Harus Perempuan?. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Adi, Rianto. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.
Al-allawi, Muhammad Ali. 2006. THE GREAT WOMEN Mengapa Wanita Harus
Merasa Tidak Lebih Mulia. Jakarta Selatan: Pena Pundi Aksara.
Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Putra.
Engineer, Asghar Ali. 1999. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR.
Engineer, Asghar Ali. 2004. Islam Masa Kini. Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hasnah, Siti. 2011. Emansipasi Wanita dalam Kemitrasejajaran dan Pendidikan
Islam. Musawa. Vol. 3: 39-54.
Hassan, Riffat. 1995. Setara di Hadapan Allah (Relasi Perempuan dan Laki-laki
dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi). Yogyakarta: Lembaga Studi dan
Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA).
Hidayatullah, Syarif. 2010. Teologi Feminisme Islam. Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR.
Ihromi. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Ilyas, Hamim. 2003. Perempuan tertindas? Kajian Hadis-Hadis “Misoginis”.
Yogyakarta: ELSAQ Press dengan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Jalaludin. 2003. Teologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jurnal Perempuan. 2006. Metodologi dan Epistemologi Feminis. Jakarta:
YAYASAN JURNAL PEREMPUAN. No. 48.
100
Kadarusman. 2005. Agama Relasi Gender & Feminisme. Yogyakarta. KREASI
WACANA.
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Kementarian
Agama RI. 2012. Tafsir al-Qur‟an Tematik Kedudukan dan Peran
Perempuan. Jakarta: Penerbit Aku Bisa.
Mosse, Cleves Julia. 1996. Gender & Pembangunan. Yogyakarta: RIFKA
ANNISA Women‟s Crisis Centre dengan PUSTAKA PELAJAR.
Muchtar, Heri Jauhari. 2005. Fiqh Pendidikan. Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA.
Mulia, Siti Musdah. 2005. Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan.
Bandung: Mizan.
Mulia, Siti Musdah. 2006. Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender, Yogyakarta:
Kibar PRESS.
Muslihah, Eneng. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Diadit Media.
Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Timbangan Islam. Jakarta: GEMA INSANI.
Mustaqim, Abdul. Paradigma Tafsir Feminis Membaca Al-Qur‟an dengan Optik
Perempuan. Yogyakarta: LOGUNG PUSTAKA (tt).
Mutohar, Anam, dkk. 2013. Manifesto Modernisasi Pendidikan Islam &
Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurhaeni, Astuti Dwi Ismi. 2010. Kebijakan Publik Pro Gender. Surakarta: UPT
Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press).
Nurhayati, Elli. 2006. Ilmu Pengetahuan + Perempuan = .... Jurnal Perempuan.
No. 48: 7-15.
Nurhayati, Etti. 2012. Psikologi Perempuan dalam Berbagai Perspektif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Qibtiyah, Alimatul. 2006. Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam:
Teori & Praktik. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
Rohmah, Nur dan Labib Ulinnuha. 2014. Relasi Gender dan Pendidikan Islam.
Jurnal Pendidikan Islam. Vol. III No. 2: 345-364.
101
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. 2008. Pedoman Penulisan skripsi
dan Tugas Akhir, Salatiga.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur‟an. Jakarta: Lentera hati.
Solichin, Mohammad Muchlis. 2006. Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kesetaraan Gender. Tadris. Vol.1 No.1: 51-60.
Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
TIM PSGK STAIN SALATIGA, 2012. Menelisik Gender dalam Konstruksi
Sosial. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Umar, Nasaruddin, 1999. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟an.
Jakarta Selatan: Paramadina.
102
103
104
105
106
107
108
Download