media massa dan sosialisasi politik: ( perspektif teori belajar sosial )

advertisement
MEDIA MASSA DAN SOSIALISASI POLITIK:
( PERSPEKTIF TEORI BELAJAR SOSIAL )
Oleh :
Abdul Syakur*
ABSTRACT :
Asumtion is society well-informed and responsilbility,
one pilar democracy, based investigation with mass media
in develop policy democracy system. Participated as news
form and report news.Effect urgent is sociology policy,
participation, pemilu ang decision makers.
Keywords : well-informed, participated, decision maker.
A.
PENDAHULUAN
Penelitian tentang pemanfaatn berita media massa
dalam proses sosialisasi politik telah banyak dilakukan,
khususnya di Barat. Dilihat dari temanya, penelitian tadi
dapat dikelompokkan ke dalam tiga pilihan tema. Pertama,
mengklarifikasi efek media massa terhadap penonjolan isuisu politk dalam masyarakat. Kedua, menegaskan peranan
media massa dalam membentuk tanggapan-tanggapan kognitif
tentang sistem politik dam sosial. Ketiga, menjelaskan
pengaruh
kognisi
politik
terhadap
penilaian
dan
partisipasi politik.
Sebagaimana media massa Barat, media massa yang
beredar di Indonesia pun sudah terbiasa menyajikan berita
politik “ Berita tentang politik dan pemerintahan “.
Kehadiran berita seperti itu telah memungkinkan khalayak
untuk menegoisasikan simbol-simbol politik yang hadir
setiap saat. Mulai dari simbol-simbol yang konkrit,
seperti bendera nasional, lagu kebangsaan dan wajah
presiden hingga isu-isu yang hanya tertangkap melalui
operasi formal dan sulit dihindarkan dari lingkungan
media
massa,
seperti
rapat
umum,
kebulatan
tekad
menjelang pemilu, hingga sampai pada krisis gobal yang
melanda negara-negara di dunia.
711
Bahasan berikut akan difokuskan pada satu dari empat
efek komunikasi politik, yakni sosialisasi politik,
khususnya tentang perubahan tanggapan kognitif adolesens
tentang fungsi-fungsi di dalam sistem politik Indonesia
karena aktivitas menyimak berita politik.
B. PEMBAHASAN
a. Sosialisasi dan Kognisi Politik
Intensitas terapan berita politik yang disajikan
media massa dalam merangsang perubahan tanggapan
kognitif adolesens dapat dijelaskan oleh teori belajar
sosial. Dalam perspektif teori ini, perubahan kognisi
politik sebagai suatu hasil belajar (sosialisasi)
poltik
bermula
dari
pengamatan
terhadap
sebuah
peristiwa, baik langsung maupun tidak langsung yang
disertai
peniruan
terhadap
model
yang
diamati
(modeling). Sebuah peristiwa yang diamati dan ditiru
mungkin melibatkan penampilan nyata perilaku atau
dapat
pula
menggambarkan
pola-pola
pemikiran.
Pengamatan
dan
peniruan
terhadap
peristiwa
yang
disebut terakhir yang lebih relevan dengan tulisan
ini. Kedalamnya dapat dimasukkan peniruan tentang
proses pengambilan keputusan, gaya bahasannya, skema
konseptual,
strategi
pengolahan
informasi
atau
operasi-operasi kognitif.
Teori belajar sosial berakar pada teori psikologi
aliran
perilaku
(Behaviorism)
yang
menyadarkan
konsepsinya
pada
empirisme
dan
pragmatisme.
Behaviorisme mengasumsikan manusia sebagai responding
mechanisms, perespon kekuatan eksternal yang terdapat
di lingkungan yang
menerpa manusia.
Asumsi ini
kemudian
mewarnai
corak
ontologism
behaviorisme
tentang
realitas
sosial
sebagai
sebuah
struktur
konkrit, “ keras” dan “ berada di luar sana” dan
mempengaruhi setiap orang.
Menurut teori ini,
cara seseorang mempelajari
perilaku baru dapat dibedakan menjadi dua cara, yakni
(1) belajar melalui konskuensi respon dan (2)belajar
melalui peniruan.
712
Belajar melalui konskuensi respon mengacu kepada
pengalaman langsung berkenaan dengan akibat suatu
respon (tindakan). Belajar melalui konskuensi respon
memainkan
tiga
fungsi,
yakni
(1)
menyediakan
informasi, (2) melahirkan motivasi, (3) memperkuat
respon otomatis. Ketika belajar berlangsung, seseorang
bukan
hanya
menciptakan
respon
tetapi
juga
memperlihatkan
akibat
yang
muncul.
Dengan
memperlihatkan akibat yang berada dari setiap respon,
seseorang akan memperoleh informasi tentang respon
yang paling cocok untuk setting tertentu. Itulah yang
disebut fungsi informasi belajar melalui konskuensi
respon.
Selain
menyediakan
informasi
Belajar
melalui
konskuensi respon dapat berfungsi sebagai pembangkit
motivasi. Dengan kemampuan antisipasinya, seseorang
dapat meramalkan akibat suatu tindakan : mendatangkan
pujian atau celaan. Dengan menghadirkan akibat yang
diramalkan tadi, seseorang dapat mengubah konskuensi
yang akan muncul menjadi motivasi untuk melakukan
suatu tindakan.
Fungsi ketiga, memperkuat respon secara otomatis,
berkaitan erat dengan dua fungsi di atas, karena
penguatan
akan
lebih
berencana
sebagai
operasi
informative dan motivasional, selain sebagai salah
satu bentuk pencocokan perilaku yang telah dipelajari.
Disamping melalui konskuensi respon, seseorang dapat
mempelajari perilaku baru dengan cara meniru model.
Dalam prosesnya, ia melibatkan empat komponen proses,
yakni attentional processes,
retention processes,
motor
reproduction
processes,
dan
motivational
processes.
Menaruh
perhatian
(attentional
processes)
dan
mengamati obyek merupakan permulaan proses belajar.
Obyek yang diamati mungkin hadir langsung di hadapan
pengamat, mungkin pula dihadirkan media massa. Orang
tidak dapat belajar dari sebuah peristiwa tanpa
memperhatikannya dan cara akurat menangkap gambaran
peristiwa secara tepat. Perhatian orang terhadap
713
peristiwa
ditentukan
oleh
dua
hal.
Yakni,
karakteristik peristiwa dan karakteristik pengamat.
Empat
karakteristik
peristiwa
yang
telah
diidentifikasi menentukan intensitas perhatian, yakni
(1) daya pembeda dan kesederhanaan, (2) kelaziman, (3)
kesempatan untuk mempelajari sebuah peristiwa yang
diperkuat oleh pengamatan yang berulang terhadap
peristiwa
tersebut,
(4)
valensi
afektif
dari
peristiwa, dimana peristiwa yang menimbulkan perasaan
positif akan lebih diperhatikan pengamat daripada
peristiwa yang mendatangkan perasaan negatif.
Selain
karakteristik
peristiwa,
karakteristik
pengamat juga menentukan perhatian. Sekurang-kurangnya
terdapat empat karakter pengamat yang diidentifikasi
berpengaruh terhadap intensitas perhatiannya terhadap
suatu peristiwa. Pertama, kemampuan seseorang untuk
mengolah
informasi,
yang
dalam
hal-hal
tertentu
berkaitan
dengan
usia
atau
intelejensi.
Kedua,
kerangka konseptual, yang ditentukan oleh kebutuhan,
suasana hati, nilai dan pengalaman terdahulu. Ketiga,
pengalaman lain yang dimiliki pengamat. Keempat,
tingkat “ketergetaran”, seseorang yang tergetar secara
emosional, marah, cemas atau takut mungkin menjadi
lebih atentif terhadap stimulus, sehingga menggeser
sumber pembangkit keengganan dan memperkuat pembangkit
positif. Dalam sebuah analisa dikatakan faktor arousal
ini dipandang sebagai sebuah fasilitator, daripada
sebagai sebuah kondisi yang diperlukan untuk belajar
dan peniruan, sebab kedua aktivitas ini dapat terjadi
tanpa faktor tadi.
Untuk mengklarifikasi intensitas terpaan berita
politik media massa dalam proses sosialisasi politik
dari prspektif teori belajar sosial tiga hal berikut
perlu diidentifikasi. Pertama, bahwa media mudah
didapat dan berguna menurut perspektif individu yang
menjalani proses belajar. Kedua, kandungan media massa
secara
langsung
berkaitan
dengan
orientasi
politiksebagai
respon
yang
dipelajari.
Ketiga,
714
mempelajari kandungan media massa akan mendatangkan
ganjaran baik dari dalam maupun dari luar individu.
b. Liputan Media Tentang Fungsi-Fungsi Sistem Politik
Istilah sistem politik digunakan sebagai pengganti
government,
nation
dan
state
(Almond
dan
Powell,1978:16), istilah ini telah diberi makna yang
luas karena mnunjuk kepada seluruh aktivitas politik
masyarakat, terlepas dari persoalan dimana masyarakat
itu berada. sistem politik berorientasi pada alokasi
nilai-nilai otoritatif di dalam masyarakat. Dalam
mekanismenya alokasi tadi dapat terjadi satu atau
lebih dari tiga cara berikut : (1) alokasi untuk
menghilangkan nilai-nilai yang sudah dimiliki oleh
masyarakat, (2) menghalangi proses perolehan nilainilai lain, (3) memberikan kepada sejumlah orang
peluang
untuk
menggunakan
suatu
nilai
sambil
mengesampingkan nilai yang lain.
Menganalisis
kehidupan
politik
sebagai
sistem
kegiatan yang saling berkaitan menimbulkan konskuensi
menyangkut cara yang dapat dipakai untuk menganalisis
bekerjanya suatu sistem. Ide utama suatu sistem
menyakatakan, kita dapat memisahkan kehidupan politik
dari kehidupan sosial lainnya, paling tidak untuk
kepentingan analisis, dan membahasnya seakan-akan ia
merupakan suatu tatanan yang dikelilingi oleh sistem
yang sedang bekerja.
Ide bahwa sistem politik merupakan suatu unit
tersendiri telah mengarahkan kita pada pemahaman bahwa
yang menjamin terus bekerjanya sistem adalah berbagai
macam input. Input inilah yang diubah oleh serangkaian
proses yang terjadi di dalam sebuah sistem menjadi
output, yang kemudian menimbulkan pengaruh terhadap
sistem itu sendiri dan terhadap lingkungan dimana
sistem itu berada. mekanisme tadi dapat dilukiskan
oleh Easton (1995 : 32) sebagai berikut :
715
Tuntutan
Keputusan
Dukungan
Dan Tindakann
Umpan Balik
Input
Output
Melalui sebuah model yang disederhanakan, Easton
melukiskan
atribut-atribut
utama
sistem
politik,
sekurang-kurangnya mengidentifikasi tiga hal, yaitu :
(1) interaksi antara lingkungan dengan sistem politik,
termasuk batas-batas dan tekanan lingkungan, (2)
proses transaksi input – sistem atau proses politik –
output, (3) umpan balik. Konsep lingkungan dalam
analisis sistem politik mencakup lingkungan fisik dan
sosial.
Dimaksud dengan lingkungan dalam masyarakat adalah
bagian dari lingkungan sosial dan lingkungan fisik
yang terletak di luar batas-batas sistem politik,
tetapi di dalam masyarakat dimana sistem itu berada.
lingkungan dalam masyarakat dapat menjadi sumber
tekanan terhadap sistem politik karena perubahanperubahan yang terjadi di wilayah bagian luar dari apa
yang secara umum akan diterima sebagai sistem politik,
tetapi maih berlangsung di dalam masyarakat dimana
sistem politik dikembangkan. Sedangkan lingkungan luar
adalah lingkungan yang berada di luar masyarakat
dimana sistem politik itu sendiri merupakan subsistem
sosial,
tetapi
berpengaruh
penting
terhadap
kelangsungan atau perubahan sistem politik.misalnya
sistem-sistem politik internasional, sistem ekologi
internasional
dan
sistem
sosial
internasional
digolongkan sebagai lingkungan luar masyarakat.
Input dapat dibedakan atas tuntutan dan dukungan.
Tuntutan diartikan di dalam pernyataan yang ditujukan
kepada penguasa tentang alokasi wewenang di dalam
masyarakat. Sebelum menjadi tuntutan pernyataan tadi
716
menampilkan
diri
dalam
bentuk
keinginan
sosial,
harapan, pilihan atau kehendak. Ketika hal-hal tadi
disuarakan bagi adanya berbagai keputusan dan tindakan
penting dari pihak penguasa, saat itulah menjadi
tuntutan politik.
Tipe kedua dari input adalah dukungan terhadap
berbagai aspek di dalam sistem, seperti dukungan
terhadap rezim, bentuk-bentuk kekuasaan, kaidah-kaidah
konstitusi atau dukungan dukungan terhadap komunitas
politik itu sendiri. Singkatnya dukungan adalah energi
yang terkandung di dalam aksi atau orientasi yang
menjamin kelangsungan sistem politik. Macam-macam
dukungan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (1)
dukungan material, (2) kepatuhan terhadap hukum atau
peraturan,
(3)
dukungan
partisipatif,
(4)
memperhatikan komunikasi tentang pemerintahan dan
menunjukkan rasa hormat atau penghargaan terhadap
kewenangan, simbol dan upacara-upacara publik.
Bila
mekanisme
input
berfungsi
sebagai
cara
mengorganisir
dan
mengkomunikasikan
akibat-akibat
perubahan lingkungan terhadap sistem politik, maka
output
dapat
dipandang
sebagai
unsur
berbagai
transaksi
yang
bergerak
dari
sistem
menuju
lingkungannya. Output sekurang-kurangnya menjalankan
dua
fungsi,
yaitu
:
(1)
menunjukkan
metode
penggabungan tuntutan yang masuk ke dalam sistem
melalui tindakan yang dihubungkan dengan pencapaian
nilai-nilai
otoritatif,
dan
(2)
menunjukkan
dan
meringkas akibat-akibat tindakan dan kejadian terhadap
lingkungan dan terhadap sistem itu sendiri.
Pembahasan tentang arus input dan output mengarahkan
kita pada pertimbangan tentang fungsi sistem politik,
yang sekurang-kurangnya dapat dibedakan menjadi dua
level fungsi, yaitu : (1) kapabilitas system dan (2)
proses konversi. Kapabilitas sistem adalah penampilan
sistem
politik
sebagai
satu
unit
di
dalam
lingkungannya. Pada level ini, fokusnya diletakkan
pada perilaku sistem sebagai sebuah
unit dalam
hubungannya
dengan sistem sosial yang lain dan
717
lingkungannya. Sedangkan level fungsi yang kedua,
proses konversi, merupakan fungsi internal sistem yang
mengubah input menjadi output. Fungsi ini mencakup
cara-cara
dimana
tuntutan
dan
dukungan
ditransformasikan menjadi sebuah keputusan yang sah
dan implementatif.
Atribut ketiga, sebagaimana tampak dalam model
adalah umpan balik yang tidak lain adalah informasi
tentang
keadaan
sistem
dan
lingkungannya
yang
dihubungkan
kembali
dengan
elemen-elemen
sistem,
sehingga berdasarkan informasi tadi sistem dapat
bereaksi untuk mengubah berbagai kondisi dimana ia
berada. oleh karena itu, agar sistem politik mampu
menanggapai dan menanggulangi tekanan para penguasa di
dalam sistem, yang memikul tanggung jawab dan wewenang
untuk
bertindak
atas
nama
sistem,
membutuhkan
informasi tentang tiga hal berikut : (1) keadaankeadaan umum lingkungan dan sistem itu sendiri,
sehingga dapat mengantisipasi lingkungan-lingkungan
yang mengarah pada penarikan kembali dukungannya, (2)
keadaan pikiran para anggota, paling tidak mereka yang
secara
politis
berpengaruh
terhadap
sistem,
dan
tuntutan yang akan dicetuskan dan (3) akibat-akibat
yang telah dihasilkan oleh output.
c. Adolesens dan Sistem Politik
Masa adolesens dinilai banyak pakar sebagai fase
penting dalam keseluruhan proses sosialisasi politik
yang mungkin dijalani seseorang dalam hidupnya. Hal
ini terkait dengan salah satu tugas perkembangan masa
adolesens,
yakni
mengembangkan
konsep-konsep
dan
ketrampilan intelektual yang diperlukan sebagai warga
negara yang kompeten.
Cook dan Sciolli ( 1991 :330 ) mengungkapkan bahwa
karena ketrampilan membaca yang sudah baik, masa
adolesens disebutnya sebagai masa dimana seseorang
memperoleh orientasi politik yang berimplikasi penting
terhadap perilaku politik pada masa berikutnya. Proses
komunikasi menyediakan validasi kuat asumsi tentang
sifat
pemanfaatan
media
secara
progresif
dan
718
akumulatif, dimana radio, televisi, surat kabar,
majalah bahkan sampai pada internet secara berturutturut memiliki daya tarik dan kekuatan yang berneda
dalam
menstruktur
kognisi
adolesens.
Radio
dan
televisi
menjadi
media
pertama
yang
digunakan
adolesens secara teratur. Bagi mreka yang memiliki
ketrampilan membaca lebih baik pengetahuan umum lebih
luas, mengkomsumsi berita yang disajikan media cetak
adalah aktivitas lazim dilakukan. Surat kabar adalah
media
yang
umum
digunakan
sebelum
adolesens
mengkonsumsi kandungan berita majalah.
Disisi lain keterlibatan lingkungan dini dalam
perkembangan adolesens juga telah menjadi salah satu
focus perhatian para ahli psikologi perkembangan.
C. PENUTUP
Bahwa
media
massa
memiliki
efek
terbatas
teridentifikasi dalam bahasan di atas. Hal ini berarti,
media
massa
bukan
satu-satunya
penyebab
perubahan
tanggapan kognitif adolesens. Pesan media massa sering
“hanya” menjadi pemula komunikasi antarpesona, sedangkan
mengubah
sikap
dan
membangkitkan
tindakan
politik
senbagian besar bergantung kepada variabel nonmedia.
Semakin digemarinya beberapa talkshow yang disiarkan
televisi
(dialog
partai-partai
di
stasiun-stasiun
televisi swasta) dapat mendorong para pengelola stasiun
televisi swasta untuk menambah program acara serupa, yang
isyarat tumbuhnya wacana demokratisasi politik di tengahtengah
publik.
Isyarat
tadi
adalah
kemauan
untuk
mencermati perkembangan politik dan pemerintahan, yang
disebutkan sebagai komponen kognitif orientasi kewenangan
Negara adalah merupakan komitmen warga Negara dalam arti
yang terbatas. Namun tanpa komponen budaya politik yang
memuat
kewajiban dan mengenali kompetensinya untuk
berpartisipasi dalam aktivitas politik tidak pernah akan
ada.
* Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial
Universitas Sultan Fatah Demak
719
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, 1991, Komunikasi Politik dan Sistem
Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Almond, Gabriel A, Comparative Politics
Approach, New Delhi, Primdani Co.
A
Politik
Development
Collins M. Andrew, 1994, Relationships During Adolesece :
Continuity and Change in Interpersonal Perspective,
California, Sage Publication.
Nimno, Dan D, 1998, Komunikasi Politik, Bandung, Remaja
Rosdakarya.
720
Download