Status Pasien Anak Laki-Laki 8 Tahun 9 Bulan

advertisement
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama
: An. A
Jenis kelamin
: laki-laki
Usia
: 8 tahun 9 bulan
Tanggal lahir
: 20 September 2005
Alamat
: Sukoharjo
RM
: 01257649
Tanggal masuk
: 7 Juni 2014
Tanggal periksa
: 12 Juni 2014
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri dada
B. Riwayat Penyakit Sekarang (autoanamnesis dan alloanamnesis)
Kurang lebih 12 hari SMRS pasien panas, terutama tiap malam dan menurun di
pagi dan siang hari. Diperiksakan ke dokter dan diberi obat penurun panas tapi
keluhan tidak berkurang. Batuk (-), pilek (-), nyeri perut (-), keluar cairan dari
telinga disangkal, nyeri saat BAK (-), BAK 3-5x/hari, warna kuning jernih, BAB
1x/hari konsistensi lunak warna kuning kecoklatan. Nafsu makan masih baik.
Kejang disangkal. Kemudian pasien dibawa ke Puskesmas, dirawat inap dan
dikatakan menderita sakit tipus.
Kurang lebih 7 hari SMRS pasien masih panas. Panas sumer-sumer tidak
berkurang dengan obat penurun panas. Keluhan disertai muntah 1 kali, berupa
makanan yang dimakan,  ¼ gelas belimbing, tidak ada darah. Juga mengeluh
nyeri dada terutama saat beraktivitas. Keluhan BAB dan BAK disangkal. Pasien
juga mengeluh sariawan dan nyeri telan sehingga nafsu makan mulai berkurang.
Karena keluhan memberat pasien dirujuk ke rumah sakit swasta di Solo. Pasien
mondok selama 5 hari, mendapat obat (tidak tahu obat apa) dan di infus. Keluhan
panas berkurang. Karena terkendala biaya maka APS.
1
1 hari SMRS pasien mengalami nyeri dada. Nyeri dada dirasakan semakin
memberat saat beraktivitas sedang, membaik saat diistirahatkan. Pasien mengaku
mudah lelah apabila beraktivitas sedang. Nafsu makan berkurang. Pasien lalu
dibawa ke Sp.A diberi obat aspilet 1x1 tab, cefadroxil, ibuprofen, dan satu jenis
lagi yang pasien tidak tahu namanya dan dirujuk ke IGD RSDM.
Di IGD RSDM pasien mengeluh nyeri dada, tidak demam, lemah, sariawan. BAK
(+) 2 jam sebelum ke IGD.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit dada sebelumnya : disangkal
Riwayat alopesia areata
: (+) sejak usia 2,5 tahun
Riwayat nyeri tulang dan punggung
: (+)
Riwayat iritasi bila kena sinar matahari : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit jantung
: disangkal
Riwayat hipertensi
: (+) dari ibu
Riwayat botak
: disangkal
E. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan Rumah
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Tinggal serumah dengan ayah
ibu dan kakak perempuannya. Ayah bekerja sebagai pedagang, ibu tidak bekerja.
Berobat menggunakan fasilitas BPJS non-PBI.
Rumah keluarga pasien berukuran 100 m2, sudah memiliki jamban sendiri, air
sehari-hari menggunakan air sumur. Air minum menggunakan air kemasan isi
ulang.
F. Riwayat Kehamilan dan Prenatal
Pasien merupakan anak kedua. Ibu pasien hamil saat berusia 28 tahun. Saat hamil
ibu pasien menyangkal pernah sakit. Rutin kontrol di bidan desa setempat.
Trimester pertama 1x, trimester kedua 2x, trimester ketiga 3x. Riwayat konsumsi
2
obat-obatan disangkal, konsumsi jamu-jamuan disangkal, dipijet disangkal. Ibu
pasien rutin mengkonsumsi vitamin dan tablet besi dari bidan.
G. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir cukup bulan. Saat kelahiran ada riwayat KPD 1 hari, awalnya ibu
pasien dirawat bidan dan sempat diberi obat perangsang namun gagal. Akhirnya
pasien dirujuk ke rumah sakit dan proses persalinan ditangani dokter dengan
bantuan vakum. Pasien lahir dengan BBL 3700 gram, panjang badan 50 cm,
langsung menangis kuat, tidak biru, tidak ada kelainan bawaan lahir.
H. Riwayat Pemeriksaan Post Natal
Pasien rutin diperiksakan di posyandu desa setempat setiap bulan.
I. Riwayat Imunisasi
Menurut ibu pasien sudah mendapat imunisasi lengkap. Imunisasi dilakukan di
posyandu atau puskesmas desa setempat.
0 bulan : hep B, polio 0
1 bulan : BCG
2 bulan : DPT 1, polio 1
3 bulan : DPT 2, polio 2
4 bulan : DPT 3, polio 3
9 bulan : campak
Kesan imunisasi lengkap berdasarkan Kemenkes, tidak lengkap menurut IDAI
2014.
J. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapat ASI hingga usia 2 tahun. Pasien sudah mendapat makanan
pendamping ASI sejak 0 bulan dengan pisang yang dilumatkan. Mulai diberikan
makanan menu keluarga sejak 10 bulan. Saat ini nafsu makan pasien dalam batas
normal, makan sehari 3 kali, nasi, sayur, lauk pauk, terkadang minum susu.
Kesan: kualitas dan kuantitas cukup
3
K. Riwayat Tumbuh Kembang
BBL
: 3700 gram
; PB
: 50 cm
BB saat ini
: 25,5 kg
; TB saat ini
: 116 cm
Pasien bisa berjalan saat usia 11 bulan
Pasien mulai bisa berkata-kata 11 bulan
Saat ini pasien merupakan murid sekolah dasar negeri kelas 2. Pasien bisa
mengikuti pelajaran dengan baik dan dapat bergaul dengan teman sebayanya.
Kesan tumbuh kembang sesuai dengan umur seusianya.
L. Pohon Keluarga
I
II
Ny. K 38 th
Tn. S 39 th
III
An. P 16 th
th
An.A 8th9bl/25,5 kg
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
: pasien tampak sakit sedang
Kesadaran
: compos mentis, E4V5M6
VS : HR= 116 x/menit
RR= 30 x/menit
TD= 90/60 mmHg
T= 36,8 ºC
Kepala
: mesocephal, tidak ada rambut, alis tidak tumbuh sempurna, bulu mata
(+/+), lingkar kepala 51 cm
4
Mata
: CA (-/-), SI (-/-), bulu mata (+), alis mata (+) bagian lateral belum
tumbuh
Hidung
: NCH (-/-), sekret (-/-)
Telinga
: secret (-/-)
Mulut
: MB (+), sianosis (-), tonsil T2-T2 hiperemis (-/-), kripte melebar (+)
stomatitis (+)
Leher
: KGB tidak ada pembesaran, JVP tidak meningkat
Thoraks
: retraksi (-)
Cor
: BJ I-II, interval normal, regular, bising (+) pericardial friction rub (+)
Pulmo
: SDV (+/+), ST (-/-)
Abdomen
: DP//DD, BU (+) normal, timpani, supel, hepar teraba 2 cm BACD dan
3 cm BPx, permukaan rata, tepi tumpul, konsistensi kenyal, nyeri tekan
(-), lien tidak teraba
Ekstremitas : akral dingin , CRT < 2 detik, ADP teraba kuat, bengkak sendi (-/-)
-
-
-
-
Oedem
-
-
-
-
Skor ACR:
-
Serositis (+)
-
Arthritis (+)
-
Stomatitis (+)
Skor SLEDAI:
-
Alopesia (2)
-
Perikarditis (2)
-
Demam lebih dari 38ºC (2)
-
Arthritis (4)
5
Status gizi:
BB= 25,5 kg
; TB= 126 cm
BB/U= 25,5/28 x 100%= 91,07 % = P25 (normal)
TB/U= 126/133 x 100%= 94,73% P10< TB/U<P25 (normal)
BB/TB= 25,5/25 x 100%= 102 % P50<BB/TB<P75 (normal)
Kesan gizi baik berdasarkan antropometri sesuai dengan Growth Chart CDC 2000.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan
Laboratorium
Pemeriksaan
Hb
Hct
AL
AT
AE
MCV
MCH
MCHC
RDW
HDW
PDW
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
HBsAg
LED
hs-CRP
Anti streptolisin titer O
7 Juni
2014
Hasil
9 Juni
2014
Hasil
11.5
34
42.1
715
4.58
73.3
25.1
34.2
12.3
6.7
15
0.4
0.1
84.7
10.2
4.6
12 Juni
2014
Satuan
9.7
32
31.5
532
4.01
80.3
24.1
30
14.9
2.2
39
0.6
0.1
92.6
3.9
2.3
g/dl
%
ribu/ul
ribu/ul
juta/ul
/um
pg
g/dl
%
g/dl
%
%
%
%
%
%
nonreactive
2
16.31
200-400
mm/jam
mg/l
IU/ml
Rujukan
11.5-15.5
35-45
4.5-14.5
150-450
4.00-5.20
80.0-96.0
28.0-33.0
33.0-36.0
11.6-14.6
2.3-3.2
25-65
0.00-4.00
0.00-1.00
29.0-72.0
30.0-48.0
0.00-5.00
nonreactive
0-15
<4.1
<200
V. DAFTAR MASALAH
1. Nyeri dada
2. Sariawan
3. Tonsilitis kronis
4. Demam
5. Alopesia areata
6
6. Hepatomegali
7. Leukositosis dengan neutrofilia
8. Trombositosis
9. EKG → menyokong perikarditis
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. DE
: penyakit jantung didapat dd penyakit jantung rematik
DA
: tsk dd kardiomiopati, miokarditis, perikarditis, iskemia miokard,
DF
: NYHA II
2. Alopesia areata
3. Tsk SLE dd JRA
4. Tonsillitis kronis
VII. PLANNING
1. DL2, GDT, GDS, SGOT/SGPT, ureum/kreatinin, elektrolit, HBsAg, ASTO
2. Ro thorax → sudah di RS swasta di Solo
3. EKG
4. Echocardiografi
5. Cek urinalisis dan feses rutin
6. Usap tenggorok
7. Konsul bagian alergi-imunologi → ANA test, anti dsDNA
7
Hasil planning:
1. Ro thorax
Kesimpulan : thorax dalam batas normal
2. EKG
Posisi jantung
: normoaksis
Irama
: sinus
Gangguan miokard: ST elevasi V2, V3, V4, V5, I, II ; ST depresi AVR, V1
Kesimpulan
: tsk perikarditis dd iskemia miokard, miokarditis
3. Echocardiografi → dilated cardiomyopathy; PR dan TR mild
4. Pemeriksaan dsDNA hasil (-)
5. Pemeriksaan urinalisis: dalam batas normal
8
6. Pemeriksaan feses rutin: tinja lunak, warna coklat, tidak ditemukan parasit
maupun jamur pathogen
7. Pemeriksaan usap tenggorok: ditemukan kuman gram positif coccus; organisme:
streptococcus, beta haemolytic
8. GDT: gambaran darah tepi dengan netrofilia absolute dan trombositosis reaktif
mengarah adanya proses infeksi
VIII.
DIAGNOSIS KERJA
1. DE: penyakit jantung rematik
DA: dilated cardiomyopathy, PR dan TR mild
DF: NYHA II
2. Alopesia areata
3. Tonsillitis kronik e.c Streptococcus β haemolyticus
4. Gizi baik
IX.
TATALAKSANA
1. O2 nasal 2 lpm
2. Diet jantung 1750 kkal/hari
3. Amoxicillin 25mg/kgBB → 3x500 mg p.o
4. Aspilet 1x1 tablet
5. Ibuprofen 3x250 mg p.o k/p
6. Furosemid 0,5 mg/kgBB → 2x12 mg p.o
7. Digoksin 2x0,025 mg p.o
8. Aldacton 2x12,5 mg p.o
X.
MONITORING
KUVS/TD/4jam
BC/D/8jam
XI.
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanam : dubia ad malam
Ad fungsionam: dubia ad malam
9
XII.
MONITORING
8 Juni 2014
S
O
12 Juni 2014
17 Juni 2014
Sesak (-),
Sesak (-),
Sesak (-),
demam (-),
demam (+),
demam (-),
BAK (+), BAB (+) lancar
BAK (+), BAB (+) lancar
BAK (+), BAB (+) lancar
Nyeri
Nyeri tulang (+) ↓↓ pada lengan dan
Nyeri tulang (-)
tulang
(+)
pada
lengan dan punggung
punggung
CM,sakit sedang, gizi baik
CM, sakit sedang, gizi baik
CM, Sakit sedang, gizi baik,
T: 90/65 mmHg
T: 90/60 mmHg
T: 90/60 mmHg
HR
:124x/menit
(isi
HR
:120x/menit
(isi
cukup,
HR
:110x/menit
cukup, tegangan kuat),
tegangan kuat),
tegangan kuat),
RR : 30x/menit,
RR : 30x/menit,
RR : 30x/menit,
0
cukup,
t :36,3 C.
t :38,3 C.
t :36,80C.
kepala:mesocephal,
kepala:mesocephal, alopesia (+)
kepala:mesocephal, alopesia (+)
alopesia (+)
Mata: konjungtiva anemis (-/-),
Mata: konjungtiva anemis (-/-),
Mata: konjungtiva anemis
sclera ikterik (-/-)
sclera ikterik (-/-)
(-/-), sclera ikterik (-/-)
Mulut: MB (+), sianosis (-), tonsil
Mulut: MB (+), sianosis (-), tonsil
Mulut: MB (+), sianosis (-
T2-T2
T2-T2
), tonsil T2-T2 hiperemis (-
melebar (+), sariawan (+)
melebar (+), sariawan (+)
/-), kripte melebar (+),
Thorax : retraksi dinding dada (-)
Thorax : retraksi dinding dada (-)
sariawan (+)
Pulmo
Pulmo
Thorax : retraksi dinding
simetris kanan kiri, perkusi sonor-
simetris kanan kiri, perkusi sonor-
dada (-)
sonor, suara dasar vesikuler (+/+),
sonor, suara dasar vesikuler (+/+),
suara tambahan (-/-)
suara tambahan (-/-)
dada simetris kanan kiri,
Cor : bunyi jantung I dan II normal,
Cor : bunyi jantung I dan II
perkusi sonor-sonor, suara
regular,
normal,
dasar vesikuler (+/+), suara
friction rub
tambahan (-/-)
Abdomen:dinding
Cor : bunyi jantung I dan II
dinding
normal, regular, bising (+)
normal, timpani, supel, hepar teraba
normal,
pericardial friction rub
2 cm BACD dan
3 cm BPx,
teraba 2 cm BACD dan 2 cm BPx,
Abdomen:dinding
konsistensi
tepi
konsistensi kenyal, tepi tajam,
Pulmo
:
0
(isi
Pengembangan
perut
hiperemis
:
(-/-),
kripte
Pengembangan
bising
(+)
dada
pericardial
hiperemis
:
(-/-),
Pengembangan
regular,
kripte
dada
bising
(+)
pericardial friction rub
dada,
perut
bising
kenyal,
sejajar
usus
(+)
tajaml,
Abdomen:dinding
perut
sejajar
dinding dada, bising usus (+)
timpani,
supel,
hepar
sejajar dinding dada, bising
permukaan rata, nyeri tekan (-)
permukaan rata, nyeri tekan (-)
usus (+) normal, timpani,
Ext. Atas&bawah lembab (-), akral
Ext. Atas&bawah lembab (-), akral
supel, hepar teraba 2 cm
dingin (-), sianosis (-), CRT < 2”
dingin (-), sianosis (-), CRT < 2”
BACD dan
ADP kuat
ADP kuat
konsistensi
tajam,
3 cm BPx,
kenyal,
permukaan
tepi
rata,
nyeri tekan (-)
Ext. Atas&bawah lembab
(-),
akral
dingin
(-),
10
sianosis (-), CRT < 2”
ADP kuat
Hasi
1. Usap
tenggorok
l
kuman
gram
Lab/
organisme
Radi
haemolytic
ditemukan
positif
coccus,
streptococcus
beta
1. Urinalisis dan feses rutin dalam
batas normal
2. Anti ds-DNA (-)
3. Ekokardiografi:
ologi
dilated
cardiomyopathy, PR dan TR
mild
Diag
nosis
1. DE: penyakit jantung
didapat dd PJR
1. DE: penyakit jantung didapat dd
PJR
1. DE: penyakit jantung rematik
DA: dilated cardiomyo pathy,
DA: tsk perikarditis dd
DA: tsk perikarditis dd iskemik
PR dan TR mild
iskemik
myokard, myokarditis
DF: NYHA II
myokard,
myokarditis
DF: NYHA II
DF: NYHA II
2. Alopesia areata
2. Alopesia areata
2. Alopesia areata
3. Tonsillitis
3. Tonsillitis
kronis
e.c
Streptococcus β haemo lytics
3. Tonsillitis kronis
kronis
e.c
Streptococcus β haemo lytics
4. Gizi baik
4. Tsk SLE dd JRA
4. Tsk SLE dd JRA
5. Gizi baik
5. Gizi baik
Tera
1. O2 nasal 2 lpm
1) O2 nasal 2 lpm
1) O2 nasal 2 lpm
pi
2. Diet
2) Diet jantung 1750 kkal/hari
2) Diet jantung 1750 kkal/hari
3) Aspilet 1x1 tablet p.o
3) Aspilet 1x1 tablet p.o
4) Ibuprofen 10mg/kgBB/8jam →
4) Ibuprofen 10mg/kgBB/8jam →
jantung
1750
kkal/hari
3. Aspilet 1x1 tablet p.o
3x250 mg p.o
3x250 mg p.o
5) Amoxicillin 3x500 mg p.o
6) Furosemid 0,5 mg/kgBB →
2x12 mg p.o
7) Digoksin 2x0,025 mg p.o
8) Aldacton 2x12,5 mg p.o
Plan
1) Ekokardiografi
1. Tunggu
2) Usap tenggorok
untuk
pemeriksaan
ekokardiografi
3) Konsul bagian alergiimunologi
jadwal
tes
2. Cek LED, CRP, ASTO
3. Urinalisis dan feses rutin
ANA dan anti dsDNA
Mon
1. KU/VS/TD/4 jam
1) KU/VS/TD/4 jam
1) KU/VS/TD/4 jam
itori
2. BCD / 8jam
2) BCD / 8jam
2) BCD / 8jam
ng
11
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEMAM REUMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK
A. Pendahuluan
Salah satu penyakit jantung didapat yang sering didapatkan adalah demam reumatik akut
(DRA) dan penyakit jantung reumatik (PJR). Setiap tahunnya rata rata ditemukan 55 kasus
dengan DRA dan PJR1Diperkirakan prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 anak sekolah 515 tahun.2DRA merupakan penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak usia 5 tahun
sampai dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan sosio ekonomi rendah dan
lingkungan buruk.3-7
DRA adalah penyakit usia muda, terutama anak anak sebelum masa pubertas. Usia
tersering DRA adalah 6-15 tahun dimana pada hampir 50% kasus ditemukan antistreptolisin O
lebih dari 200 U Todd, yang menunjukkan seringnya infeksi berulang pada rentang umur ini.
Insidensi jarang pada anak dibawah 5 tahun ataupun orang dewasa diatas 35 tahun. Seringnya
infeksi berulang pada masa remaja dan dewasa muda serta efek kumulatif dari infeksi berulang
ini diperkirakan menyebabkan penyakit jantung rematik 3-7
Pada banyak populasi kejadian DRA dan PJR sering pada wanita dengan alasan yang
beraneka ragam, antara lain peningkatan paparan terhadap streptokokus grup A melalui
mengasuh anak, ataupun kurang nya akses terhadap terapi pencegahan terhadap wanita pada
kebudayaan tertentu3-7
B. Mortalitas/Morbiditas
Keterlibatan jantung menjadi komplikasi terberat dari DRA dan menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Dengan 60% dari 470.000 kasus DRA pertahun akan
menambah jumlah kejadian PJR yang 15 juta jiwa. Penderita PJR akan berisiko untuk
kerusakan jantung akibat infeksi berulang dari DRA dan memerlukan pencegahan. Morbiditas
akibat gagal jantung, stroke dan endokarditis sering pada penderita PJR dengan sekitar 1.5%
penderita rheumatic karditis akan meninggal pertahun 3-7
Pada infeksi faringitis oleh streptokokus grup A 0.3% akan mengalami demam rematik,
dan 39% penderita DRA akan mengalami pankarditis yang disertai dengan insufisiensi katub,
gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. PJR adalah komplikasi terberat dari DRA3-7
DRA dan PJR diperkirakan berasal dari respon autoimun, tetapi patogenesa pastinya
belum jelas.Di seluruh dunia DRA diperkirakan terjadi pada 5-30 juta anak anak dan dewasa
muda. 90.000 akan meninggal setiap tahunnya. Mortalitas penyakit ini 1-10% 3-7
12
C. Patofisiologi
Patogenesis dari DRA tidak sepenuhnya diketahui.Walaupun sering streptokokus tidak
ditemukan pada jaringan jantung penderita DRA, tetapi ada hubungan yang cukup kuat bahwa
DRA adalah akibat respon imun yang berlebihan dari infeksi faring oleh streptokokus grup
A.Bukti yang mendukung misalnya wabah DRA selalu mengikuti epidemic streptokokal
faringitis dan demam scarlet, serta bila mendapat terapi yang adekuat pada infeksi streptokokal
faring ternyata menyebabkan penurunan insidensi DRA. Selain itu profilaksis dengan antibiotik
bisa mencegah rekuransi DRA, dan kebanyakan penderita DRA juga memiliki peningkatan titer
dari satu atau lebih ketiga antibodi streptokokal (Sterptolisin O, hyaluronidase, dan
streptokinase).3-7
Karakteristik DRA adalah lesi radang non supuratif pada persendian, jantung, jaringan
subkutan dan sistem saraf pusat. Resiko DRA setelah infeksi faringitis dengan streptokokus
grup A, sekitar 0.3-3%. Penelitian terbaru pada populasi aborigin di Australia mencurigai
kemungkinan DRA bisa diakibatkan infeksi kulit oleh streptokokus3-7
Ada 2 teori utama tentang terjadinya DRA akut
1. Merupakan efek dari toksin streptokokus grup A pada target organ seperti otot jantung,
katub jantung, synovium dan otak.
2. Merupakan respon abnormal sistem imun tubuh pada keadaan molekular mimikri dimana
respon sistem imun tubuh gagal membedakan antara kuman dengan jaringan tubuh sendiri
D. Gejala Klinis
DRA memiliki tampilan klinis yang sangat bervariasi dan tidak ada pemeriksaan yang
spesifik, sedangkan penegakkan diagnosa yang tepat sangat penting, bukan hanya untuk terapi
tetapi juga untuk pemberian profilaksis untuk pencegahan infeksi berikutnya.3-7
Onset dari DRA biasanya disertai dengan demam akut 2-4 minggu setelah
faringitis.Diagnosa utamanya klinis dan berdasarkan temuan dari beberapa gejala yang mulanya
ditetapkan didalam kriteria Jones.3-7
E. Diagnosis
Diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan kriteria jones dan salah satu kriteria mayor
adalah karditis yang menunjukkan adanya keterlibatan katup jantung dan dapat diperkirakan
secara klinis dengan terdapatnya murmur pada pemeriksaan auskultasi, namun seringkali klinisi
yang berpengalamanpun tidak mendengar adanya murmur padahal sudah terdapat keterlibatan
katup pada pasien tersebut. Keterlibatan katup seperti ini dinamakan karditis/ valvulitis
subklinis.Saat ini, diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan Kriteria Jones.namun dalam praktek
sehari- hari tidak mudah untuk menerapkankan hal tersebut. 8
13
Untuk Diagnosa diperlukan : 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor
dan bukti infeksi oleh sterptokokus grup A. Kecuali bila ada chorea atau karditis maka bukti
infeksi sebelumnya tidak diperlukan8
Kriteria
Jones
telah
mengalami
beberapa
revisi
untuk
meningkatkan
nilai
spesifitasnya.Untuk negara negara resiko tinggi demam rematik.World Health Organization
(WHO) telah membuat kriteria yang lebih menitikberatkan pada sensitifitas dibandingkan
spesifitas8
14
Manifestasi DRA bisa berupa variasi gejala yang bisa terjadi sendiri atau bersamaan8
F. Manifestasi DRA
Nyeri tenggorokan :
Hanya 35-60% penderita DRAyang ingat adanya infeksi saluran nafas atas pada
beberapa minggu sebelumnya. Kebanyakan tidak mengobati keluhannya.3,7
Polyarthritis :
Risiko artritis adalah 75% pada serangan pertama demam rematik, dan resiko ini
semakin meningkat dengan peningkatan usia. Artritis merupakan manifestasi utama pada 92%
usia dewasa. Artritis pada DRA biasanya simetris dan mengenai sendi utama seperti lutut, siku,
pergelangan tangan, dan pergelangan kaki. Beberapa sendi sekaligus bisa terkena biasanya
radang pada sendi lain akan mulai sebelum radang sendi sebelumnya mereda sehingga timbul
gambaran seolah-olah nyeri sendi berpindah pindah (migratory). Radang biasanya akan mereda
dalam hitungan hari sampai minggu dan umumnya sembuh sempurna.Pada keadaan yang sangat
jarang bisa terjadi periartikular fibrosis setelah rematik artritis yang disebut sebagai sendi
Jaccoud3,7
Atralgia yang merupakan suatu kriteria minor, juga sering menyebabkan seorang dokter
mendiagnosa sebagai DRA terutama jika terdapat kriteria minor yang lain, seperti febris dan
bukti adanya infeksi streptokukkus seperti ASTO.1
Sydenhamchorea
Terjadi pada 25% kasus DRAdan sangat jarang pada dewasa.Terutama pada anak
perempuan. Sydenham chorea pada DRA terutama karena molekular mimikri dengan
autoantibodi yang bereaksi terhadap ganglion otak.3-7
Insidensi sydenham chorea muncul dalam 1-6 bulan setelah infeksi streptokokus,
progresif secara perlahan dan memberat dalam 1-2 bulan.Kelainan neurologis berupa gerakan
involunter yang tidak terkoordinasi (choreiform), pada muka, leher, tangan dan kaki. Disertai
dengan gangguan kontraksi tetanik dimana penderita tidak bisa menggenggam tangan
pemeriksa secara kuat terus menerus (milk sign). 3-7
Kelainan lain yang bisa muncul gangguan berbicara, dan gangguan motorik halus.Bila
tidak ada riwayat keluarga berupa huntington chorea maka dengan munculnya chorea diagnosis
DRA hampir bisa dipastikan. Dan pengamatan melalui pola tulisan tangan bisa digunakan untuk
melihat perbaikan atau perburukan dari gejala ini.
Kelainan ini tidak permanen dan bisa sembuh spontan setelah 3-6 bulan walau gejala
bisa timbul lagi dalam 1 tahun pertama dan pada 20% penderita bisa hilang timbul sampai 2-3
tahun. 3-7
15
Erythema marginatum
Muncul dalam 10% serangan pertama DRA biasanya pada anak anak, jarang pada
dewasa.Lesi berwarna merah, tidak nyeri dan tidak gatal dan biasanya pada batang tubuh, lesi
berupa cincin yang meluas secara sentrifugal sementara bagian tengah cincin akan kembali
normal. 3-7
Nodul subkutan
Nodul subkutan muncul beberapa minggu setelah onset demam rematik, dan biasanya
tidak disadari penderita karena tidak nyeri.Biasanya berkaitan dengan karditis berat, lokasinya
di permukaan tulang dan tendon, serta menghilang setelah 1-2 minggu.3-7Subkutaneous nodul
dan erytema marginatum adalah salah satu kriteria major pada ckiteria Jones, tetapi pada
kenyataannya sulit menetapkan kriteria ini.
Karditis
Frekuensi karditis 30-60% pada serangan pertama, dan sering pada anak anak.Karditis
adalah satu satunya komplikasi DRAyang bisa menimbulkan efek jangka panjang.Kelainannya
berupa pankarditis, yaitu mengenai perikardium, epikardium, miokardium dan endokardium.
Pada DRAsering terjadi pankarditis yang ditandai dengan perikarditis, myokarditis dan
endokarditis.3-7
Perikarditis ditandai dengan pericardial friction rub. Pada efusi perikard bisa didengar
adanya muffled sound, dan pulsus paradoks ( penurunan tekanan sistolik yang besar di saat
inspirasi)Karakterisitik miokarditis adalah infiltrasi sel mononuklear, vaskulitis dan perubahan
degeneratif pada interstisial conective tissue.
Bentuk endokarditis tersering adalah insufisiensi katub mitral.Katub yang sering terkena
adalah katub mitral (65-70%) dan katub aorta (25%).Katub trikuspid hanya terganggu pada 10%
dan hampir selalu berhubungan lesi pada katub mitral dan aorta.Sedangkan katub pulmonal
sangat jarang terlibat.Insufisiensi katub yang berat pada fase akut dapat menyebabkan gagal
jantung dan kematian (pada 1% penderita). Perlengketan pada jaringan penunjang katub akan
menghasilkan stenosis atau kombinasi antara stenosis dan insufisiensi yang muncul dalam 2-10
tahun setelah episode DRAakut. Perlengketan bisa terjadi pada tingkatan ujung bilah katub,
bilah katub dan chorda atau kombinasi dari ketiga tingkatan tersebut. 3-7
Bising jantung yang sering pada demam rematik3-7 :
- Bising mitral regurgitasi berupa bising pansistolik, high pitch, yang radiasi ke axilla. Tidak
dipengaruhi oleh posisi dan respirasi. Intensitas 2/6.
- Carey coombs bising : bising diastolik di apeks pada karditis yang aktif dan menyertai mitral
insufisiensi berat. Mekanismenya berupa relatif mitral stenosis yang diakibatkan dari volume
yang besar yang melalui katub mitral saat pengisian ventrikel.
16
- Bising aorta regurgitasi : bising awal diastolik yang terdapat dibasal, dan terbaik didengar
pada sisi atas kanan dan kiri sternum saat penderita duduk miring kedepan. 3-7
Diagnosis karditis pada DRA ditegakkan apabila terdapat murmur baru yang tidak ada
sebelumnya, kardiomegali, gagal jantung, dan suara gesekan perikardial yang terdengar pada
saat auskultasi. Hal tersebut dibutuhkan ketrampilan klinis dari dokter yang melakukannya.
Juga ditemukannya karditis yang kadang tidak disertai dengan auskultasi serperti diatas
sehingga karditis tidak dapat didiagnosis dengan tepat secara klinis.1,3-7 Selain itu penemuan
murmur baru yang tidak ada sebelumnya kurang dapat dipercaya di negara yang sedang
berkembang, karena tidak adanya pemeriksaan kesehatan rutin selama masa bayi dan anak di
seluruh negara sehingga menyulitkan penemuan kelainan jantung sebelumnya.1Sehingga di
perlukan pemerikasaan penunjang lain untuk menegakkan diagnosis karditis pada DRA
Gagal jantung adalah manifestasi klinis dari keterlibatan katup pada DRA, sehingga
sering pasien dengan manifestasi klinis gagal jantung yang disertai febris dengan lekositosis dan
LED yang meningkat didiagnosa sebagai DRA, karena terdapat 1 kriteria mayor 1 dan 2 kriteria
minor. Regurgitasi katup mitral yang disertai febris pada anak anak jarang menyertai DRA
tetapi berhubungan dengan miokarditis karena virus dan lupus eritematous.1
G. Pemeriksaan Laboratorium3-7

Kultur tenggorokan merupakan gold standard untuk konfirmasi infeksi strptokokus grup A.

Pemeriksaan antigen cepat tidak sesenstif kultur tenggorokan, sehingga apabila hasilnya
negatif tetap perlu dilakukan kultur tenggorokan. Dengan spersifitasnya yang tinggi apabila
hasil pemeriksaan antigennya positif merupakan konfirmasi infeksi streptokokus grup A.

Pemeriksaan titer antibodi menggunakan antistreptolisin O (ASO), antistreptococcal DNAse
B (ADB) dan antistreptococcal hyaluronidase (AH).
i.
ASO untuk mendeteksi antibodi streptokokus terhadap streptokokus lysin O,
peningkatan titer 2 kali lipat menunjukkan bukti infeksi terdahulu.
ii.
Pemeriksaan antibodi ini harus berhati hati pada daerah dengan infeksi streptokokus
yang tinggi, karena kadar titer yang tinggi secara umum pada populasi tersebut.

Reaktan fase akut : C reactive protein (CRP) dan lanju endap darah akan meningkat pada
DRAakut, merupakan kriteria minor dari jones.

Kultur darah berguna untuk menyingkirkan infektif endokarditis, bakteremia dan infeksi
gonokokus.
Foto toraks

Pada pasien karditis dan gagal jantung foto thorak akan timbul kardiomegali3-7
17
Elektrokardiografi
Kelainan yang terpenting adalah PR interval memanjang ( kriteria minor jones)tetapi
bukan bukti adanya karditis. Kelainan lain yang bisa muncul : Blok derajat 2 dan 3. Pada
penderita penyakit jantung rematik kronis bisa ditemukan pembesaran atrium kiri akibat dari
mitral stenosis. 3-7
Ekokardiografi
Ekokardiografi dapat disarankan dimasukkan dalam algoritma diagnosa DRA dengan
menambahkan pemeriksaan ekokardiografi untuk menegakkan kriteria mayor karditis1
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui peranan ekokardiografi pada karditis
subklinis9-11. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekokardiografi memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang cukup tinggi untuk mendeteksi adanya karditis subklinis. Sampai saat ini
penggunaan
ekokardiografi
untuk
diagnosa
DRA
masih
menimbulkan
perdebatan.
Ekokardiografi memang memiliki sensitifitas yang cukup tinggi dalam mendeteksi adanya
regurgitasi katup, namun pemeriksaan tersebut sulit untuk membedakan antara regurgitasi
patologis atau fisiologis.Walaupun demikian beberapa negara telah memasukkan ekokardiografi
dalam algoritma diagnosis dan tatalaksana DRA. pemeriksaan ulang ekokardiografi juga
dilakukan untuk menentukan prognosa karena terdapat beberapa laporan yang menunjukkan
bahwa karditis subklinis dapat menetap selama 6 bulan sampai 8 tahun. 1
H. Terapi DRA8
Terapinya terbagi atas 4 bagian :
1. Terapi untuk streptokokus grup A, walaupun tidak meningkatkan prognosis dalam 1 tahun
tetapi bisa untuk mencegah penyebaran strain rematogenik
2. Terapi umum untuk episode akut :

Obat anti inflamasi digunakan untuk mengontrol artritis, demam dan gejala akut lainnya.
Salisilat adalah obat yang direkomendasikan. Steroid hanya digunakan apabila tidak berhasil
dengan salisilat.

Tirah baring terutama pada pasien dengan karditis

Chorea diatasi dengan asam valproat dan bila diperlukan diberi zat sedasi.
3. Gagal jantung disebabkan karditis diterapi sesuai terapi gagal jantung, dengan pengawasan
terhadap kemungkinan timbulnya aritmia
4. Profilaksis dengan penisilin, untuk penderita yang alergi penicilin bisa diberi eritromisin atau
sulfadiazin
18
Terapi antibiotik
Penggunaan antibiotik pada pencegahan primer ( pengobatan infeksi faringitis) akan
menurunkan resiko DRA dan dianjurkan. Pencegahan sekunder bermanfaat untuk mencegah
infeksi berulang terutama pada penderita dengan riwayat DRAsebelumnya.Terapi profilaksis
mengikuti guidelineWHO.
Lamanya terapi
Bila tidak ada karditis : Diberikan minimal 5 tahun atau sampai usia 18 tahun (mana yang lebih
lama)

Bila karditis ringan (sudah sembuh) : Diberikan minimal 10 tahun atau sampai usia 25 tahun
(mana yang lebih lama)

Pada karditis berat atau perbaikan katub dengan operasi : Diberikan seumur hidup
Pencegahan Primer8
Tujuan dari pencegahan primer adalah eradikasi streptokokus grup A, penderita dengan
faringitis bakterial dan hasil test positif untuk streptokokus grup A harus diterapi sedini
mungkin pada fase supuratif. Obat yang diberikan adalah penicillin oral diberikan selama 10
hari, atau benzathine penicilin untk intravena.
Pencegahan sekunder8
Pencegahan sekunder diberikan segera setelah pencegahan primer. Metode terbaik untuk
mencegah infeksi berulang adalah benzatin penicilin (iv) yang diberikan terus menerus setiap 4
19
minggu, dan pada daerah endemik disarankan setiap 3 minggu.Pemberian parenteral lebih
disukai karena kepatuhan lebih baik dibandingkan pemberian oral 2x/hari, dan pemberian oral
dianjurkan untuk pasien resiko rendah untuk infeksi berulang.
Komplikasi
Penyakit jantung rematik adalah komplikasi terberat dari DRA dan merupakan penyebab
terbesar dari mitral stenosis dan insufisiensi di dunia. Beberapa variabel yang mempengaruhi
beratnya kerusakan katub antara lain jumlah serangan DRAsebelumnya, lama antara onset
dengan pemberian terapi, dan jenis kelamin (penyakit ini lebih berat pada wanita dibandingkan
pria). Insufisensi katub akibat DRA akan sembuh pada 60-80% penderita yang menggunakan
profilaksis antibiotik.3-8
II. ALOPESIA AREATA
A. EPIDEMIOLOGI
Alopesia areata paling sering disebabkan oleh inflamasi akibat kerontokan rambut, yang
dipengaruhi kira-kira 4,5 juta orang di Amerika Serikat.11 Tergantung dari latar belakang suku dan
area dunia, prevalensi dari alopesia areata adalah 0,1-0,2%,12 dengan menghitung risiko seumur
hidup 2%. Alopesia areata mempengaruhi kedua-duanya baik anak maupun dewasa dan semua
warna rambut.13 Walaupun gangguannya tidak umum pada anak dibawah usia 3 tahun, sebagian
besar pasien relatif muda: hingga 66% lebih muda daripada usia 30 tahun, dan hanya 20% yang
lebih tua daripada usia 40 tahun. Pada umumnya tidak berpredileksi pada jenis kelamin, tapi lebih
ditemukan banyak pada laki-laki yang berpengaruh dalam satu studi yang termasuk dalam sebuah
kelompok subjek yang berusia 21 sampai 30 tahun.14 Dalam sebuah studi dari 226 pasien
masyarakat Cina dengan alopesia areata yang berusia 16 tahun, usia pertengahan onsetnya pada usia
20
10 tahun, dan laki-laki:wanita rasionya 1.4:1; gangguan lebih berat pada anak laki-laki dan dengan
onset awal pada masa kanak-kanak.15
Alopesia areata dihubungkan dengan peningkatan segala risiko dari gangguan autoimun
lainnya (16%).16,17 Sebagai contoh, ini dihubungkan dengan lupus erythematosus pada 0,6%
pasien,18 vitiligo 4%,19 dan penyakit tiroid autoimmun 8-28%.20
B. GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS
Manifestasi alopesia areata berupa kerontokan rambut membentuk kebotakan melingkarhingga kulit terlihat, terutama kulit kepala (Gb. 2 dan 3) dan pada region janggut (Gb. 3A).
Onsetnya biasanya cepat, dan penyakit dapat berkembang hingga semua rambut rontok dari kulit
kepala (alopesia areata universalis) (Gb. 2A, 2B, 2C). Variasi kelainan ini termasuk ophiasis,
dimana kerontokan rambut terjadi di occipital (Gb 3B), rambut cadaver (Gb 3C), nail pitting (Gb
3D, dan pertumbuhan rambut putih pada lesi awal alopesia (Gb 3E), sering membantu menegakkan
diagnosis. Hubungan antara area kerontokan rambut dengan gangguan autoimun, biasanya dengan
dermatitis atopik (pada 39% kasus), merupakan poin lebih untuk menegakkan diagnosis dengan
benar.
Jika diagnosis belum jelas setelah evaluasi klinis (Tb.1 dan Gb.3), mungkin kasus dengan
varian luas alopesia areata, biopsi kulit dapat dilakukan. Pada alopesia areata akut, pemeriksaan
histopatologi menunjukkan karakteristik “pola sarang tawon” padat, infiltrasi limfosit perifolikular
disekitar folikel rambut anagen; pada pasien dengan penyakit kronik, pola ini mungkin tidak
muncul.
21
Gambar 2. Tipe Alopesia Areata dan manifestasi klinisnya
C. MANAJEMEN
Meskipun diagnosis alopesia areata biasanya mudah, namun penanganannya tidaklah
mudah. Terapi kuratif tidak tersedia, dan terdapat kekurangan dari percobaan jangka panjang yang
mengevaluasi terapi untuk alopesia areata dan pengaruh nyata terhadap kualitas hidup.21 Karena
seringnya hasil yang tidak memuaskan pada terapi yang sudah ada, beberapa dokter bergantung
pada tingkat remisi spontan yang tinggi pada pasien dan merekomendasikan wig jika remisi tidak
terjadi.21 Namun, pilihan terapi yang cukup bermanfaat namun terbatas masih ada untuk alopesia
areata akut, kronis dan kambuhan.21-24
Dokter memiliki dua pilihan prinsip manajemen utama: menggunakan regimen
immunosupresif (cenderung untuk pasien dengan alopesia areata akut dan progresif cepat) atau
strategi deviasi imun yang memanipulasi suasana inflamasi intrakutan (membantu bagi pasien
dengan jenis kambuhan atau kronis25,26). Pada saat ini, hanya dua pendekatan yang mencapai
tingkat pengobatan berbasis bukti (EBM): injeksi intralesi dengan glukokortikoid dan induksi
kontak alergi.25,26
Penatalaksanaan immunosupresif yang paling baik terdiri atas injeksi intradermal
triamcinolone acetonide (5 hingga 10 mg per milliliter) yang diberikan setiap 2 hingga 6 minggu.
Agen ini merangsang pertumbuhan lokal kembali pada 60 hingga 67% kasus. Efek sampingnya
meliputi nyeri, atrofi kulit lokal, dan depigmentasi, dan kekambuhan yang sering terjadi setelah
pengobatan dihentikan.27Glukokortikoid topikal poten juga digunakan secara luas, terutama pada
anak-anak dan dewasa dengan jumlah kerontokan kurang dari 50%.28 Glukokortikoid topikal
potensi tinggi dengan penutupan oklusif adalah yang paling bermanfaat dan menunjukkan
peningkatan pada 25% pasien yang terkena penyakit ini29; Namun, folikulitis yang diinduksi
glukokortikoid merupakan efek samping paling umum dari ini.30,31
22
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Alopesia Areata
Gambar 3. Karakteristik Klinis dan Fitur Dermoskopik Alopesia Areata
23
Minoxidil topical, sebuah fasilitator kanal kalium yang telah lama digunakan sebagai
stimulan pertumbuhan rambut pada alopesia androgenetik, dapat juga digunakan pada alopesia
areata, idealnya pada kondisi yang bersamaan dengan pengobatan lainnya, seperti dithranol cream
atau glukokortikoid oral.32 setelah penggunaan glukokortikoid oral selama 6 minggu, penggunaan
topikal minodoxil 2% dapat membantu mencegah atau menunda kekambuhan pada pasien yang
merespons terhadap glukokortikoid.32,33 agen topikal dan sistemik lainnya telah dicoba, namun
mereka belum menunjukkan manfaat terapi yang jelas.32,33
D. PATOBIOLOGI ALOPESIA AREATA
Peningkatan konsep patobiologi dapat membuka jalan pada manajemen dan hasil yang lebih
baik pada alopesia areata. Penting untuk dicatat bahwa penyakit ini merupakan gangguan siklus
folikel rambut yang bermakna ganda30; sel-sel inflamasi hanya menyerang folikel rambut anagen,
dimana kemudian mendorong pada fase catagen lebih cepat (gambar 1B).30,31 kedua karena distrofi
akibat inflamasi pada folikel, batang rambut tidak dapat lagi menempel pada kanal rambut dan
menjadi mudah dicabut32; namun, folikel rambut mempertahankan kapasitasnya untuk beregenerasi
dan melanjutkan siklus, sebagaimana pada alopesia areata— tidak seperti scarring alopecia—
dimana sel stem folikel rambut secara umum tidak dihancurkan.32maka, hilangnya rambut pada
penyakit ini pada prinsipnya bersifat reversibel.
Seperti kebanyakan penyakit autoimun lainnya, alopesia areata adalah gangguan inflamasi
kronis yang mudah kambuh dimana merujuk pada siklus kambuh pada penyakit ini. Juga, karena
tidak adanya infiltrate perifolikuler, tidak ada kerontokan rambut.29-33 Tantangan terapi utama
adalah untuk mengurangi infiltrat inflamasi yang sudah terjadi dan untuk mencegah timbulnya
kekambuhan dan penyebaran ke daerah folikel rambut yang masih sehat. Sayangnya, terapi yang
tersedia saat ini tidak terprediksi dan belum dapat memberi hasil
yang memuaskan untuk
menjawab tantangan ini.33
E. IMUNOPATOLOGI DASAR
Pengetahuan dalam mekanisme imunopatologi pada alopesia areata dapat terbaik diperoleh
dari pemeriksaan lesi kulit. Meskipun sel-sel T CD4 + mendominasi numerik dalam infiltrate
perifolikular, Sel-sel T CD8+ tampaknya menjadi limfosit pertama untuk masuk ke epitel folikular
proksimal (Gambar 1B, 1C, dan 1E dalam Lampiran Tambahan).33-35Selain itu, jumlah sel NK dan
sel mast yang sangat meningkat di infiltrate perifolikular, meningkatkan pertanyaan apakah sel-sel
ini juga terlibat dalam patogenesis alopesia areata.34,35 Autoantibodi terhadap autoantigen folikel
sering ditemukan dalam serum dan kulit pasien dengan alopesia areata,
32,33
tetapi tidak ada bukti
bahwa mereka adalah patogenik.34
24
Bahkan, dalam model murine dari alopesia areata, penyakit ini dapat ditransfer oleh sel T
CD8+ sendiri,
35
terutama setelah sel T telah terjadi kontak primer dengan autoantigen terkait
melanogenesis.34,35 Pemindahan sel T CD8+ bersama-sama dengan sel T CD4+ adalah cara yang
paling efektif dalam menginisiasi penyakit, paling banyak digunakan pada model murine,
35
sedangkan transfer serum atau autoantibodi dari pasien dengan alopesia areata gagal untuk
memperoleh kebotakan.34Sebaliknya, deplesi sel-sel T CD8+ mengembalikan pertumbuhan rambut
pada model tikus alopesia areata.32 maka dari itu wajar untuk mempertimbangkan alopesia areata
adalah sebuah penyakit autoimun organ-spesifik CD8 + T-dependent-sel, (Tabel 2 di Lampiran
Tambahan).
F. TERAPI MASA DEPAN
Konsep patobiologi terakhir menginformasikan penelitian preklinik untuk mengembangkan
pilihan terapi alopesia areata yang lebih baik. Strategi terapi yang mengembalikan atau mencegah
imun khusus dalam rontoknya folikel rambut dan sebagai antagonis mediator NKG2D yang
berlebihan atau interaksi patogenik dari sel T CD8+ dengan autoantigen MHC kelas I yang
terpresentasi pada folikel rambut nantinya dapat menjadi manajemen yang lebih efektif dari kasus
ini.
30-35
Strategi terapi baru sekarang telah dikembangkan di penelitian preklinik yang di
deskripsikan pada bagian 3 pada lampiran tambahan.
Kelainan autoimun umum ini telah memberikan hasil yang baik, akses model yang mudah
dari penyakit yang dapat untuk menyelidiki prinsip-prinsip umum mengenai generasi, pemeliharan,
kolaps dan pemulihan imunitas khusus.
32-35
Pengetahuan yang diperoleh dari beberapa penelitian
mungkin juga dapat relevan kepada terapi penyakit autoimun lainnya yang mempunyai ciri
kolapsnya sel imun khusus, seperti multiple sklerosis, aborsi imunitas, dan uveitis autoimun.30-35
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahayuningsih SE, Farrah A. Role of echoacardiography in diagnose of acute rhematic
fever Paediatrica Indonesiana Vol 50 no 2 (supplement) March 2010
2. Madyono B. Epidemiologi penyakit jantung reumatik di Indonesia. J Kardiol Indones
1995;200: 25-33
3. Turi, B.S.R.Z.G., Rheumatic Fever, in Braunwald’s Heart Disease A Textbook of
Cardiovascular Medicine, M.P.L. Eugene Braunwald, MD Robert O. Bonow, MD, Editor.
2007, Saunders Elsevier: Philadelphia
4. Alan Bisno, E.G.B., NK Ganguly, WHO Expert Consultation on Rheumatic Fever and
Rheumatic Heart Disease, inWHO technical report series. 2001,World Health Organization:
Geneva.
5. Flyer DC. Rheumatic fever. Dalam: Keane JF, Lock JE, Flyer DC. Nadas’ pediatric
cardiology.Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier; 2006. h. 387-400.
6. Mishra TK. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease: current scenario. JIACM.
2007;8(4):324-30.
7. WHO. Rhematic fever and rheumatic heart disease.-report of a WHO expert Consultation
[Online].
[Diunduh
tanggal
15
Juni
2014].
Tersedia
dari:
http://www.who.int/cardiovaskular_diseases/resources/trs 923/en/index.html.
8. Vijayalakshmi IB, Vishnuprabhu RO, Chitra N, Rajasri R, Anuradha TV. The efficacy of
echocardiographic criterions for the diagnosis of carditis in acute rheumatic fever. Cardiol
Young. 2008;18:586-92.
9. Marijon E, dkk. Prevalence of rheumatic heart disease detected by echocardiographic
screening. NEJM. 2007;357:470-6.
10. Carapetis JR, Mc Donald M,Wilson NJ. Acute rheumatic fever. Lancet. 2005;366:155-68.
11. Pascher F, Kurtin S, Andrade R. Assay of 0.2 percent fluocinolone acetonide cream for
alopesia areata and totalis: efficacy and side effects including histologic study of the ensuing
localized acneform response. Dermatologica 1970;141:193-202.
12. Tosti A, Piraccini BM, Pazzaglia M, Vincenzi C. Clobetasol propionate 0.05% under
occlusion in the treatment of alopecia totalis/universalis. J Am Acad Dermatol 2003;49:968
13. Kar BR, Handa S, Dogra S, Kumar B. Placebo-controlled oral pulse prednisolone therapy in
alopesia areata. J Am Acad Dermatol 2005;52:287-90.
14. Luggen P, Hunziker T. High-dose intravenous corticosteroid pulse therapy in alopesia
areata: own experience compared with the literature. J Dtsch Dermatol Ges 2008;6:375-8.
15. Goddard CJ, August PJ, Whorwell PJ. Alopecia totalis in a patient with Crohn’s disease and
its treatment with azathioprine. Postgrad Med J 1989;65:188-9.
26
16. Farshi S, Mansouri P, Safar F, Khiabanloo SR. Could azathioprine be considered as a
therapeutic alternative in the treatment of alopesia areata? A pilot study. Int J Dermatol
2010;49:1188-93.
17. Schmoeckel C, Weissmann I, Plewig G, Braun-Falco O. Treatment of alopesia areata by
anthralin-induced dermatitis. Arch Dermatol 1979;115:1254-5.
18. Ohlmeier MC, Traupe H, Luger TA, B.hm M. Topical immunotherapy with
diphenylcyclopropenone of patients with alopesia areata — a large retrospective study on
142 patients with a self-controlled design. J Eur Acad Dermatol Venereol 2011 May 14
(Epub ahead of print).
19. Fenton DA, Wilkinson JD. Topical minoxidil in the treatment of alopesia areata. BMJ
1983;287:1015-7.
20. Price VH. Double-blind, placebo-controlled evaluation of topical minoxidil in extensive
alopesia areata. J Am Acad Dermatol 1987;16:730-6.
21. Messenger AG, Slater DN, Bleehen SS. Alopesia areata: alterations in the hair growth cycle
and correlation with the follicular pathology. Br J Dermatol 1986;114: 337-47.
22. Harries MJ, Paus R. The pathogenesis of primary cicatricial alopecias. Am J Pathol
2010;177:2152-62.
23. Ferran M, Calvet J, Almirall M, Pujol RM, Maymó J. Alopesia areata as another immunemediated disease developed in patients treated with tumour necrosis factor-α blocker agents:
report of five cases and review of the literature. J Eur Acad Dermatol Venereol
2011;25:479-84.
24. Agesta N, Zabala R, Díaz-Pérez JL. Alopesia areata during interferon alpha- 2b/ribavirin
therapy. Dermatology 2002; 205:300-1.
25. Kumar V, Pedroza LA, Mace EM, et al. The autoimmune regulator (AIRE), which is
defective in autoimmune polyendocrinopathy- candidiasis-ectodermal dystrophy patients, is
expressed in human epidermal and follicular keratinocytes and associates with the
intermediate filament protein cytokeratin 17. Am J Pathol 2011; 178:983-8.
26. Gregersen PK, Olsson LM. Recent advances in the genetics of autoimmune disease. Annu
Rev Immunol 2009;27:363- 91.
27. Duvic M, Hordinsky MK, Fiedler VC, O’Brien WR, Young R, Reveille JD. HLA-D locus
associations in alopesia areata: DRw52a may confer disease resistance. Arch Dermatol
1991;127:64-8.
28. Tazi-Ahnini R, Cork MJ, Wengraf D, et al. Notch4, a non-HLA gene in the MHC is
strongly associated with the most severe form of alopesia areata. Hum Genet 2003;112:403.
27
29. Tazi-Ahnini R, Cox A, McDonagh AJ, et al. Genetic analysis of the interleukin-1 receptor
antagonist and its homologue IL- 1L1 in alopesia areata: strong severity association and
possible gene interaction. Eur J Immunogenet 2002;29:25-30.
30. Sundberg JP, Silva KA, Li R, Cox GA, King LE. Adult-onset alopesia areata is a complex
polygenic trait in the C3H/HeJ mouse model. J Invest Dermatol 2004; 123:294-7.
31. Sun J, Silva KA, McElwee KJ, King LE Jr, Sundberg JP. The C3H/HeJ mouse and DEBR
rat models for alopesia areata: review of preclinical drug screening approaches and results.
Exp Dermatol 2008; 17:793-805.
32. Rodriguez TA, Fernandes KE, Dresser KL, Duvic M. Concordance rate of alopesia areata in
identical twins supports both genetic and environmental factors. J Am Acad Dermatol
2010;62:525-7.
33. Betz RC, K.nig K, Flaquer A, et al. The R620W polymorphism in PTPN22 confers general
susceptibility for the development of alopesia areata. Br J Dermatol 2008;158:389-91.
34. Kemp EH, McDonagh AJ, Wengraf DA, et al. The non-synonymous C1858T substitution in
the PTPN22 gene is associated with susceptibility to the severe forms of alopesia areata.
Hum Immunol 2006;67:535-9.
35. Martinez-Mir A, Zlotogorski A, Gordon D, et al. Genome wide scan for linkage reveals
evidence of several susceptibility loci for alopesia areata. Am J Hum Genet 2007;80:316:28.
28
Download