STATUS PASIEN I. IDENTITAS Nama : An. A Jenis kelamin : laki-laki Usia : 8 tahun 9 bulan Tanggal lahir : 20 September 2005 Alamat : Sukoharjo RM : 01257649 Tanggal masuk : 7 Juni 2014 Tanggal periksa : 12 Juni 2014 II. ANAMNESIS A. Keluhan Utama Nyeri dada B. Riwayat Penyakit Sekarang (autoanamnesis dan alloanamnesis) Kurang lebih 12 hari SMRS pasien panas, terutama tiap malam dan menurun di pagi dan siang hari. Diperiksakan ke dokter dan diberi obat penurun panas tapi keluhan tidak berkurang. Batuk (-), pilek (-), nyeri perut (-), keluar cairan dari telinga disangkal, nyeri saat BAK (-), BAK 3-5x/hari, warna kuning jernih, BAB 1x/hari konsistensi lunak warna kuning kecoklatan. Nafsu makan masih baik. Kejang disangkal. Kemudian pasien dibawa ke Puskesmas, dirawat inap dan dikatakan menderita sakit tipus. Kurang lebih 7 hari SMRS pasien masih panas. Panas sumer-sumer tidak berkurang dengan obat penurun panas. Keluhan disertai muntah 1 kali, berupa makanan yang dimakan, ¼ gelas belimbing, tidak ada darah. Juga mengeluh nyeri dada terutama saat beraktivitas. Keluhan BAB dan BAK disangkal. Pasien juga mengeluh sariawan dan nyeri telan sehingga nafsu makan mulai berkurang. Karena keluhan memberat pasien dirujuk ke rumah sakit swasta di Solo. Pasien mondok selama 5 hari, mendapat obat (tidak tahu obat apa) dan di infus. Keluhan panas berkurang. Karena terkendala biaya maka APS. 1 1 hari SMRS pasien mengalami nyeri dada. Nyeri dada dirasakan semakin memberat saat beraktivitas sedang, membaik saat diistirahatkan. Pasien mengaku mudah lelah apabila beraktivitas sedang. Nafsu makan berkurang. Pasien lalu dibawa ke Sp.A diberi obat aspilet 1x1 tab, cefadroxil, ibuprofen, dan satu jenis lagi yang pasien tidak tahu namanya dan dirujuk ke IGD RSDM. Di IGD RSDM pasien mengeluh nyeri dada, tidak demam, lemah, sariawan. BAK (+) 2 jam sebelum ke IGD. C. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sakit dada sebelumnya : disangkal Riwayat alopesia areata : (+) sejak usia 2,5 tahun Riwayat nyeri tulang dan punggung : (+) Riwayat iritasi bila kena sinar matahari : disangkal D. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat sakit jantung : disangkal Riwayat hipertensi : (+) dari ibu Riwayat botak : disangkal E. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan Rumah Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Tinggal serumah dengan ayah ibu dan kakak perempuannya. Ayah bekerja sebagai pedagang, ibu tidak bekerja. Berobat menggunakan fasilitas BPJS non-PBI. Rumah keluarga pasien berukuran 100 m2, sudah memiliki jamban sendiri, air sehari-hari menggunakan air sumur. Air minum menggunakan air kemasan isi ulang. F. Riwayat Kehamilan dan Prenatal Pasien merupakan anak kedua. Ibu pasien hamil saat berusia 28 tahun. Saat hamil ibu pasien menyangkal pernah sakit. Rutin kontrol di bidan desa setempat. Trimester pertama 1x, trimester kedua 2x, trimester ketiga 3x. Riwayat konsumsi 2 obat-obatan disangkal, konsumsi jamu-jamuan disangkal, dipijet disangkal. Ibu pasien rutin mengkonsumsi vitamin dan tablet besi dari bidan. G. Riwayat Kelahiran Pasien lahir cukup bulan. Saat kelahiran ada riwayat KPD 1 hari, awalnya ibu pasien dirawat bidan dan sempat diberi obat perangsang namun gagal. Akhirnya pasien dirujuk ke rumah sakit dan proses persalinan ditangani dokter dengan bantuan vakum. Pasien lahir dengan BBL 3700 gram, panjang badan 50 cm, langsung menangis kuat, tidak biru, tidak ada kelainan bawaan lahir. H. Riwayat Pemeriksaan Post Natal Pasien rutin diperiksakan di posyandu desa setempat setiap bulan. I. Riwayat Imunisasi Menurut ibu pasien sudah mendapat imunisasi lengkap. Imunisasi dilakukan di posyandu atau puskesmas desa setempat. 0 bulan : hep B, polio 0 1 bulan : BCG 2 bulan : DPT 1, polio 1 3 bulan : DPT 2, polio 2 4 bulan : DPT 3, polio 3 9 bulan : campak Kesan imunisasi lengkap berdasarkan Kemenkes, tidak lengkap menurut IDAI 2014. J. Riwayat Nutrisi Pasien mendapat ASI hingga usia 2 tahun. Pasien sudah mendapat makanan pendamping ASI sejak 0 bulan dengan pisang yang dilumatkan. Mulai diberikan makanan menu keluarga sejak 10 bulan. Saat ini nafsu makan pasien dalam batas normal, makan sehari 3 kali, nasi, sayur, lauk pauk, terkadang minum susu. Kesan: kualitas dan kuantitas cukup 3 K. Riwayat Tumbuh Kembang BBL : 3700 gram ; PB : 50 cm BB saat ini : 25,5 kg ; TB saat ini : 116 cm Pasien bisa berjalan saat usia 11 bulan Pasien mulai bisa berkata-kata 11 bulan Saat ini pasien merupakan murid sekolah dasar negeri kelas 2. Pasien bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan dapat bergaul dengan teman sebayanya. Kesan tumbuh kembang sesuai dengan umur seusianya. L. Pohon Keluarga I II Ny. K 38 th Tn. S 39 th III An. P 16 th th An.A 8th9bl/25,5 kg III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum : pasien tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis, E4V5M6 VS : HR= 116 x/menit RR= 30 x/menit TD= 90/60 mmHg T= 36,8 ºC Kepala : mesocephal, tidak ada rambut, alis tidak tumbuh sempurna, bulu mata (+/+), lingkar kepala 51 cm 4 Mata : CA (-/-), SI (-/-), bulu mata (+), alis mata (+) bagian lateral belum tumbuh Hidung : NCH (-/-), sekret (-/-) Telinga : secret (-/-) Mulut : MB (+), sianosis (-), tonsil T2-T2 hiperemis (-/-), kripte melebar (+) stomatitis (+) Leher : KGB tidak ada pembesaran, JVP tidak meningkat Thoraks : retraksi (-) Cor : BJ I-II, interval normal, regular, bising (+) pericardial friction rub (+) Pulmo : SDV (+/+), ST (-/-) Abdomen : DP//DD, BU (+) normal, timpani, supel, hepar teraba 2 cm BACD dan 3 cm BPx, permukaan rata, tepi tumpul, konsistensi kenyal, nyeri tekan (-), lien tidak teraba Ekstremitas : akral dingin , CRT < 2 detik, ADP teraba kuat, bengkak sendi (-/-) - - - - Oedem - - - - Skor ACR: - Serositis (+) - Arthritis (+) - Stomatitis (+) Skor SLEDAI: - Alopesia (2) - Perikarditis (2) - Demam lebih dari 38ºC (2) - Arthritis (4) 5 Status gizi: BB= 25,5 kg ; TB= 126 cm BB/U= 25,5/28 x 100%= 91,07 % = P25 (normal) TB/U= 126/133 x 100%= 94,73% P10< TB/U<P25 (normal) BB/TB= 25,5/25 x 100%= 102 % P50<BB/TB<P75 (normal) Kesan gizi baik berdasarkan antropometri sesuai dengan Growth Chart CDC 2000. IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Hb Hct AL AT AE MCV MCH MCHC RDW HDW PDW Eosinofil Basofil Netrofil Limfosit Monosit HBsAg LED hs-CRP Anti streptolisin titer O 7 Juni 2014 Hasil 9 Juni 2014 Hasil 11.5 34 42.1 715 4.58 73.3 25.1 34.2 12.3 6.7 15 0.4 0.1 84.7 10.2 4.6 12 Juni 2014 Satuan 9.7 32 31.5 532 4.01 80.3 24.1 30 14.9 2.2 39 0.6 0.1 92.6 3.9 2.3 g/dl % ribu/ul ribu/ul juta/ul /um pg g/dl % g/dl % % % % % % nonreactive 2 16.31 200-400 mm/jam mg/l IU/ml Rujukan 11.5-15.5 35-45 4.5-14.5 150-450 4.00-5.20 80.0-96.0 28.0-33.0 33.0-36.0 11.6-14.6 2.3-3.2 25-65 0.00-4.00 0.00-1.00 29.0-72.0 30.0-48.0 0.00-5.00 nonreactive 0-15 <4.1 <200 V. DAFTAR MASALAH 1. Nyeri dada 2. Sariawan 3. Tonsilitis kronis 4. Demam 5. Alopesia areata 6 6. Hepatomegali 7. Leukositosis dengan neutrofilia 8. Trombositosis 9. EKG → menyokong perikarditis VI. DIAGNOSIS BANDING 1. DE : penyakit jantung didapat dd penyakit jantung rematik DA : tsk dd kardiomiopati, miokarditis, perikarditis, iskemia miokard, DF : NYHA II 2. Alopesia areata 3. Tsk SLE dd JRA 4. Tonsillitis kronis VII. PLANNING 1. DL2, GDT, GDS, SGOT/SGPT, ureum/kreatinin, elektrolit, HBsAg, ASTO 2. Ro thorax → sudah di RS swasta di Solo 3. EKG 4. Echocardiografi 5. Cek urinalisis dan feses rutin 6. Usap tenggorok 7. Konsul bagian alergi-imunologi → ANA test, anti dsDNA 7 Hasil planning: 1. Ro thorax Kesimpulan : thorax dalam batas normal 2. EKG Posisi jantung : normoaksis Irama : sinus Gangguan miokard: ST elevasi V2, V3, V4, V5, I, II ; ST depresi AVR, V1 Kesimpulan : tsk perikarditis dd iskemia miokard, miokarditis 3. Echocardiografi → dilated cardiomyopathy; PR dan TR mild 4. Pemeriksaan dsDNA hasil (-) 5. Pemeriksaan urinalisis: dalam batas normal 8 6. Pemeriksaan feses rutin: tinja lunak, warna coklat, tidak ditemukan parasit maupun jamur pathogen 7. Pemeriksaan usap tenggorok: ditemukan kuman gram positif coccus; organisme: streptococcus, beta haemolytic 8. GDT: gambaran darah tepi dengan netrofilia absolute dan trombositosis reaktif mengarah adanya proses infeksi VIII. DIAGNOSIS KERJA 1. DE: penyakit jantung rematik DA: dilated cardiomyopathy, PR dan TR mild DF: NYHA II 2. Alopesia areata 3. Tonsillitis kronik e.c Streptococcus β haemolyticus 4. Gizi baik IX. TATALAKSANA 1. O2 nasal 2 lpm 2. Diet jantung 1750 kkal/hari 3. Amoxicillin 25mg/kgBB → 3x500 mg p.o 4. Aspilet 1x1 tablet 5. Ibuprofen 3x250 mg p.o k/p 6. Furosemid 0,5 mg/kgBB → 2x12 mg p.o 7. Digoksin 2x0,025 mg p.o 8. Aldacton 2x12,5 mg p.o X. MONITORING KUVS/TD/4jam BC/D/8jam XI. PROGNOSIS Ad vitam : dubia ad malam Ad sanam : dubia ad malam Ad fungsionam: dubia ad malam 9 XII. MONITORING 8 Juni 2014 S O 12 Juni 2014 17 Juni 2014 Sesak (-), Sesak (-), Sesak (-), demam (-), demam (+), demam (-), BAK (+), BAB (+) lancar BAK (+), BAB (+) lancar BAK (+), BAB (+) lancar Nyeri Nyeri tulang (+) ↓↓ pada lengan dan Nyeri tulang (-) tulang (+) pada lengan dan punggung punggung CM,sakit sedang, gizi baik CM, sakit sedang, gizi baik CM, Sakit sedang, gizi baik, T: 90/65 mmHg T: 90/60 mmHg T: 90/60 mmHg HR :124x/menit (isi HR :120x/menit (isi cukup, HR :110x/menit cukup, tegangan kuat), tegangan kuat), tegangan kuat), RR : 30x/menit, RR : 30x/menit, RR : 30x/menit, 0 cukup, t :36,3 C. t :38,3 C. t :36,80C. kepala:mesocephal, kepala:mesocephal, alopesia (+) kepala:mesocephal, alopesia (+) alopesia (+) Mata: konjungtiva anemis (-/-), Mata: konjungtiva anemis (-/-), Mata: konjungtiva anemis sclera ikterik (-/-) sclera ikterik (-/-) (-/-), sclera ikterik (-/-) Mulut: MB (+), sianosis (-), tonsil Mulut: MB (+), sianosis (-), tonsil Mulut: MB (+), sianosis (- T2-T2 T2-T2 ), tonsil T2-T2 hiperemis (- melebar (+), sariawan (+) melebar (+), sariawan (+) /-), kripte melebar (+), Thorax : retraksi dinding dada (-) Thorax : retraksi dinding dada (-) sariawan (+) Pulmo Pulmo Thorax : retraksi dinding simetris kanan kiri, perkusi sonor- simetris kanan kiri, perkusi sonor- dada (-) sonor, suara dasar vesikuler (+/+), sonor, suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-) suara tambahan (-/-) dada simetris kanan kiri, Cor : bunyi jantung I dan II normal, Cor : bunyi jantung I dan II perkusi sonor-sonor, suara regular, normal, dasar vesikuler (+/+), suara friction rub tambahan (-/-) Abdomen:dinding Cor : bunyi jantung I dan II dinding normal, regular, bising (+) normal, timpani, supel, hepar teraba normal, pericardial friction rub 2 cm BACD dan 3 cm BPx, teraba 2 cm BACD dan 2 cm BPx, Abdomen:dinding konsistensi tepi konsistensi kenyal, tepi tajam, Pulmo : 0 (isi Pengembangan perut hiperemis : (-/-), kripte Pengembangan bising (+) dada pericardial hiperemis : (-/-), Pengembangan regular, kripte dada bising (+) pericardial friction rub dada, perut bising kenyal, sejajar usus (+) tajaml, Abdomen:dinding perut sejajar dinding dada, bising usus (+) timpani, supel, hepar sejajar dinding dada, bising permukaan rata, nyeri tekan (-) permukaan rata, nyeri tekan (-) usus (+) normal, timpani, Ext. Atas&bawah lembab (-), akral Ext. Atas&bawah lembab (-), akral supel, hepar teraba 2 cm dingin (-), sianosis (-), CRT < 2” dingin (-), sianosis (-), CRT < 2” BACD dan ADP kuat ADP kuat konsistensi tajam, 3 cm BPx, kenyal, permukaan tepi rata, nyeri tekan (-) Ext. Atas&bawah lembab (-), akral dingin (-), 10 sianosis (-), CRT < 2” ADP kuat Hasi 1. Usap tenggorok l kuman gram Lab/ organisme Radi haemolytic ditemukan positif coccus, streptococcus beta 1. Urinalisis dan feses rutin dalam batas normal 2. Anti ds-DNA (-) 3. Ekokardiografi: ologi dilated cardiomyopathy, PR dan TR mild Diag nosis 1. DE: penyakit jantung didapat dd PJR 1. DE: penyakit jantung didapat dd PJR 1. DE: penyakit jantung rematik DA: dilated cardiomyo pathy, DA: tsk perikarditis dd DA: tsk perikarditis dd iskemik PR dan TR mild iskemik myokard, myokarditis DF: NYHA II myokard, myokarditis DF: NYHA II DF: NYHA II 2. Alopesia areata 2. Alopesia areata 2. Alopesia areata 3. Tonsillitis 3. Tonsillitis kronis e.c Streptococcus β haemo lytics 3. Tonsillitis kronis kronis e.c Streptococcus β haemo lytics 4. Gizi baik 4. Tsk SLE dd JRA 4. Tsk SLE dd JRA 5. Gizi baik 5. Gizi baik Tera 1. O2 nasal 2 lpm 1) O2 nasal 2 lpm 1) O2 nasal 2 lpm pi 2. Diet 2) Diet jantung 1750 kkal/hari 2) Diet jantung 1750 kkal/hari 3) Aspilet 1x1 tablet p.o 3) Aspilet 1x1 tablet p.o 4) Ibuprofen 10mg/kgBB/8jam → 4) Ibuprofen 10mg/kgBB/8jam → jantung 1750 kkal/hari 3. Aspilet 1x1 tablet p.o 3x250 mg p.o 3x250 mg p.o 5) Amoxicillin 3x500 mg p.o 6) Furosemid 0,5 mg/kgBB → 2x12 mg p.o 7) Digoksin 2x0,025 mg p.o 8) Aldacton 2x12,5 mg p.o Plan 1) Ekokardiografi 1. Tunggu 2) Usap tenggorok untuk pemeriksaan ekokardiografi 3) Konsul bagian alergiimunologi jadwal tes 2. Cek LED, CRP, ASTO 3. Urinalisis dan feses rutin ANA dan anti dsDNA Mon 1. KU/VS/TD/4 jam 1) KU/VS/TD/4 jam 1) KU/VS/TD/4 jam itori 2. BCD / 8jam 2) BCD / 8jam 2) BCD / 8jam ng 11 TINJAUAN PUSTAKA I. DEMAM REUMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK A. Pendahuluan Salah satu penyakit jantung didapat yang sering didapatkan adalah demam reumatik akut (DRA) dan penyakit jantung reumatik (PJR). Setiap tahunnya rata rata ditemukan 55 kasus dengan DRA dan PJR1Diperkirakan prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 anak sekolah 515 tahun.2DRA merupakan penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak usia 5 tahun sampai dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan sosio ekonomi rendah dan lingkungan buruk.3-7 DRA adalah penyakit usia muda, terutama anak anak sebelum masa pubertas. Usia tersering DRA adalah 6-15 tahun dimana pada hampir 50% kasus ditemukan antistreptolisin O lebih dari 200 U Todd, yang menunjukkan seringnya infeksi berulang pada rentang umur ini. Insidensi jarang pada anak dibawah 5 tahun ataupun orang dewasa diatas 35 tahun. Seringnya infeksi berulang pada masa remaja dan dewasa muda serta efek kumulatif dari infeksi berulang ini diperkirakan menyebabkan penyakit jantung rematik 3-7 Pada banyak populasi kejadian DRA dan PJR sering pada wanita dengan alasan yang beraneka ragam, antara lain peningkatan paparan terhadap streptokokus grup A melalui mengasuh anak, ataupun kurang nya akses terhadap terapi pencegahan terhadap wanita pada kebudayaan tertentu3-7 B. Mortalitas/Morbiditas Keterlibatan jantung menjadi komplikasi terberat dari DRA dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Dengan 60% dari 470.000 kasus DRA pertahun akan menambah jumlah kejadian PJR yang 15 juta jiwa. Penderita PJR akan berisiko untuk kerusakan jantung akibat infeksi berulang dari DRA dan memerlukan pencegahan. Morbiditas akibat gagal jantung, stroke dan endokarditis sering pada penderita PJR dengan sekitar 1.5% penderita rheumatic karditis akan meninggal pertahun 3-7 Pada infeksi faringitis oleh streptokokus grup A 0.3% akan mengalami demam rematik, dan 39% penderita DRA akan mengalami pankarditis yang disertai dengan insufisiensi katub, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. PJR adalah komplikasi terberat dari DRA3-7 DRA dan PJR diperkirakan berasal dari respon autoimun, tetapi patogenesa pastinya belum jelas.Di seluruh dunia DRA diperkirakan terjadi pada 5-30 juta anak anak dan dewasa muda. 90.000 akan meninggal setiap tahunnya. Mortalitas penyakit ini 1-10% 3-7 12 C. Patofisiologi Patogenesis dari DRA tidak sepenuhnya diketahui.Walaupun sering streptokokus tidak ditemukan pada jaringan jantung penderita DRA, tetapi ada hubungan yang cukup kuat bahwa DRA adalah akibat respon imun yang berlebihan dari infeksi faring oleh streptokokus grup A.Bukti yang mendukung misalnya wabah DRA selalu mengikuti epidemic streptokokal faringitis dan demam scarlet, serta bila mendapat terapi yang adekuat pada infeksi streptokokal faring ternyata menyebabkan penurunan insidensi DRA. Selain itu profilaksis dengan antibiotik bisa mencegah rekuransi DRA, dan kebanyakan penderita DRA juga memiliki peningkatan titer dari satu atau lebih ketiga antibodi streptokokal (Sterptolisin O, hyaluronidase, dan streptokinase).3-7 Karakteristik DRA adalah lesi radang non supuratif pada persendian, jantung, jaringan subkutan dan sistem saraf pusat. Resiko DRA setelah infeksi faringitis dengan streptokokus grup A, sekitar 0.3-3%. Penelitian terbaru pada populasi aborigin di Australia mencurigai kemungkinan DRA bisa diakibatkan infeksi kulit oleh streptokokus3-7 Ada 2 teori utama tentang terjadinya DRA akut 1. Merupakan efek dari toksin streptokokus grup A pada target organ seperti otot jantung, katub jantung, synovium dan otak. 2. Merupakan respon abnormal sistem imun tubuh pada keadaan molekular mimikri dimana respon sistem imun tubuh gagal membedakan antara kuman dengan jaringan tubuh sendiri D. Gejala Klinis DRA memiliki tampilan klinis yang sangat bervariasi dan tidak ada pemeriksaan yang spesifik, sedangkan penegakkan diagnosa yang tepat sangat penting, bukan hanya untuk terapi tetapi juga untuk pemberian profilaksis untuk pencegahan infeksi berikutnya.3-7 Onset dari DRA biasanya disertai dengan demam akut 2-4 minggu setelah faringitis.Diagnosa utamanya klinis dan berdasarkan temuan dari beberapa gejala yang mulanya ditetapkan didalam kriteria Jones.3-7 E. Diagnosis Diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan kriteria jones dan salah satu kriteria mayor adalah karditis yang menunjukkan adanya keterlibatan katup jantung dan dapat diperkirakan secara klinis dengan terdapatnya murmur pada pemeriksaan auskultasi, namun seringkali klinisi yang berpengalamanpun tidak mendengar adanya murmur padahal sudah terdapat keterlibatan katup pada pasien tersebut. Keterlibatan katup seperti ini dinamakan karditis/ valvulitis subklinis.Saat ini, diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan Kriteria Jones.namun dalam praktek sehari- hari tidak mudah untuk menerapkankan hal tersebut. 8 13 Untuk Diagnosa diperlukan : 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dan bukti infeksi oleh sterptokokus grup A. Kecuali bila ada chorea atau karditis maka bukti infeksi sebelumnya tidak diperlukan8 Kriteria Jones telah mengalami beberapa revisi untuk meningkatkan nilai spesifitasnya.Untuk negara negara resiko tinggi demam rematik.World Health Organization (WHO) telah membuat kriteria yang lebih menitikberatkan pada sensitifitas dibandingkan spesifitas8 14 Manifestasi DRA bisa berupa variasi gejala yang bisa terjadi sendiri atau bersamaan8 F. Manifestasi DRA Nyeri tenggorokan : Hanya 35-60% penderita DRAyang ingat adanya infeksi saluran nafas atas pada beberapa minggu sebelumnya. Kebanyakan tidak mengobati keluhannya.3,7 Polyarthritis : Risiko artritis adalah 75% pada serangan pertama demam rematik, dan resiko ini semakin meningkat dengan peningkatan usia. Artritis merupakan manifestasi utama pada 92% usia dewasa. Artritis pada DRA biasanya simetris dan mengenai sendi utama seperti lutut, siku, pergelangan tangan, dan pergelangan kaki. Beberapa sendi sekaligus bisa terkena biasanya radang pada sendi lain akan mulai sebelum radang sendi sebelumnya mereda sehingga timbul gambaran seolah-olah nyeri sendi berpindah pindah (migratory). Radang biasanya akan mereda dalam hitungan hari sampai minggu dan umumnya sembuh sempurna.Pada keadaan yang sangat jarang bisa terjadi periartikular fibrosis setelah rematik artritis yang disebut sebagai sendi Jaccoud3,7 Atralgia yang merupakan suatu kriteria minor, juga sering menyebabkan seorang dokter mendiagnosa sebagai DRA terutama jika terdapat kriteria minor yang lain, seperti febris dan bukti adanya infeksi streptokukkus seperti ASTO.1 Sydenhamchorea Terjadi pada 25% kasus DRAdan sangat jarang pada dewasa.Terutama pada anak perempuan. Sydenham chorea pada DRA terutama karena molekular mimikri dengan autoantibodi yang bereaksi terhadap ganglion otak.3-7 Insidensi sydenham chorea muncul dalam 1-6 bulan setelah infeksi streptokokus, progresif secara perlahan dan memberat dalam 1-2 bulan.Kelainan neurologis berupa gerakan involunter yang tidak terkoordinasi (choreiform), pada muka, leher, tangan dan kaki. Disertai dengan gangguan kontraksi tetanik dimana penderita tidak bisa menggenggam tangan pemeriksa secara kuat terus menerus (milk sign). 3-7 Kelainan lain yang bisa muncul gangguan berbicara, dan gangguan motorik halus.Bila tidak ada riwayat keluarga berupa huntington chorea maka dengan munculnya chorea diagnosis DRA hampir bisa dipastikan. Dan pengamatan melalui pola tulisan tangan bisa digunakan untuk melihat perbaikan atau perburukan dari gejala ini. Kelainan ini tidak permanen dan bisa sembuh spontan setelah 3-6 bulan walau gejala bisa timbul lagi dalam 1 tahun pertama dan pada 20% penderita bisa hilang timbul sampai 2-3 tahun. 3-7 15 Erythema marginatum Muncul dalam 10% serangan pertama DRA biasanya pada anak anak, jarang pada dewasa.Lesi berwarna merah, tidak nyeri dan tidak gatal dan biasanya pada batang tubuh, lesi berupa cincin yang meluas secara sentrifugal sementara bagian tengah cincin akan kembali normal. 3-7 Nodul subkutan Nodul subkutan muncul beberapa minggu setelah onset demam rematik, dan biasanya tidak disadari penderita karena tidak nyeri.Biasanya berkaitan dengan karditis berat, lokasinya di permukaan tulang dan tendon, serta menghilang setelah 1-2 minggu.3-7Subkutaneous nodul dan erytema marginatum adalah salah satu kriteria major pada ckiteria Jones, tetapi pada kenyataannya sulit menetapkan kriteria ini. Karditis Frekuensi karditis 30-60% pada serangan pertama, dan sering pada anak anak.Karditis adalah satu satunya komplikasi DRAyang bisa menimbulkan efek jangka panjang.Kelainannya berupa pankarditis, yaitu mengenai perikardium, epikardium, miokardium dan endokardium. Pada DRAsering terjadi pankarditis yang ditandai dengan perikarditis, myokarditis dan endokarditis.3-7 Perikarditis ditandai dengan pericardial friction rub. Pada efusi perikard bisa didengar adanya muffled sound, dan pulsus paradoks ( penurunan tekanan sistolik yang besar di saat inspirasi)Karakterisitik miokarditis adalah infiltrasi sel mononuklear, vaskulitis dan perubahan degeneratif pada interstisial conective tissue. Bentuk endokarditis tersering adalah insufisiensi katub mitral.Katub yang sering terkena adalah katub mitral (65-70%) dan katub aorta (25%).Katub trikuspid hanya terganggu pada 10% dan hampir selalu berhubungan lesi pada katub mitral dan aorta.Sedangkan katub pulmonal sangat jarang terlibat.Insufisiensi katub yang berat pada fase akut dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian (pada 1% penderita). Perlengketan pada jaringan penunjang katub akan menghasilkan stenosis atau kombinasi antara stenosis dan insufisiensi yang muncul dalam 2-10 tahun setelah episode DRAakut. Perlengketan bisa terjadi pada tingkatan ujung bilah katub, bilah katub dan chorda atau kombinasi dari ketiga tingkatan tersebut. 3-7 Bising jantung yang sering pada demam rematik3-7 : - Bising mitral regurgitasi berupa bising pansistolik, high pitch, yang radiasi ke axilla. Tidak dipengaruhi oleh posisi dan respirasi. Intensitas 2/6. - Carey coombs bising : bising diastolik di apeks pada karditis yang aktif dan menyertai mitral insufisiensi berat. Mekanismenya berupa relatif mitral stenosis yang diakibatkan dari volume yang besar yang melalui katub mitral saat pengisian ventrikel. 16 - Bising aorta regurgitasi : bising awal diastolik yang terdapat dibasal, dan terbaik didengar pada sisi atas kanan dan kiri sternum saat penderita duduk miring kedepan. 3-7 Diagnosis karditis pada DRA ditegakkan apabila terdapat murmur baru yang tidak ada sebelumnya, kardiomegali, gagal jantung, dan suara gesekan perikardial yang terdengar pada saat auskultasi. Hal tersebut dibutuhkan ketrampilan klinis dari dokter yang melakukannya. Juga ditemukannya karditis yang kadang tidak disertai dengan auskultasi serperti diatas sehingga karditis tidak dapat didiagnosis dengan tepat secara klinis.1,3-7 Selain itu penemuan murmur baru yang tidak ada sebelumnya kurang dapat dipercaya di negara yang sedang berkembang, karena tidak adanya pemeriksaan kesehatan rutin selama masa bayi dan anak di seluruh negara sehingga menyulitkan penemuan kelainan jantung sebelumnya.1Sehingga di perlukan pemerikasaan penunjang lain untuk menegakkan diagnosis karditis pada DRA Gagal jantung adalah manifestasi klinis dari keterlibatan katup pada DRA, sehingga sering pasien dengan manifestasi klinis gagal jantung yang disertai febris dengan lekositosis dan LED yang meningkat didiagnosa sebagai DRA, karena terdapat 1 kriteria mayor 1 dan 2 kriteria minor. Regurgitasi katup mitral yang disertai febris pada anak anak jarang menyertai DRA tetapi berhubungan dengan miokarditis karena virus dan lupus eritematous.1 G. Pemeriksaan Laboratorium3-7 Kultur tenggorokan merupakan gold standard untuk konfirmasi infeksi strptokokus grup A. Pemeriksaan antigen cepat tidak sesenstif kultur tenggorokan, sehingga apabila hasilnya negatif tetap perlu dilakukan kultur tenggorokan. Dengan spersifitasnya yang tinggi apabila hasil pemeriksaan antigennya positif merupakan konfirmasi infeksi streptokokus grup A. Pemeriksaan titer antibodi menggunakan antistreptolisin O (ASO), antistreptococcal DNAse B (ADB) dan antistreptococcal hyaluronidase (AH). i. ASO untuk mendeteksi antibodi streptokokus terhadap streptokokus lysin O, peningkatan titer 2 kali lipat menunjukkan bukti infeksi terdahulu. ii. Pemeriksaan antibodi ini harus berhati hati pada daerah dengan infeksi streptokokus yang tinggi, karena kadar titer yang tinggi secara umum pada populasi tersebut. Reaktan fase akut : C reactive protein (CRP) dan lanju endap darah akan meningkat pada DRAakut, merupakan kriteria minor dari jones. Kultur darah berguna untuk menyingkirkan infektif endokarditis, bakteremia dan infeksi gonokokus. Foto toraks Pada pasien karditis dan gagal jantung foto thorak akan timbul kardiomegali3-7 17 Elektrokardiografi Kelainan yang terpenting adalah PR interval memanjang ( kriteria minor jones)tetapi bukan bukti adanya karditis. Kelainan lain yang bisa muncul : Blok derajat 2 dan 3. Pada penderita penyakit jantung rematik kronis bisa ditemukan pembesaran atrium kiri akibat dari mitral stenosis. 3-7 Ekokardiografi Ekokardiografi dapat disarankan dimasukkan dalam algoritma diagnosa DRA dengan menambahkan pemeriksaan ekokardiografi untuk menegakkan kriteria mayor karditis1 Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui peranan ekokardiografi pada karditis subklinis9-11. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekokardiografi memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang cukup tinggi untuk mendeteksi adanya karditis subklinis. Sampai saat ini penggunaan ekokardiografi untuk diagnosa DRA masih menimbulkan perdebatan. Ekokardiografi memang memiliki sensitifitas yang cukup tinggi dalam mendeteksi adanya regurgitasi katup, namun pemeriksaan tersebut sulit untuk membedakan antara regurgitasi patologis atau fisiologis.Walaupun demikian beberapa negara telah memasukkan ekokardiografi dalam algoritma diagnosis dan tatalaksana DRA. pemeriksaan ulang ekokardiografi juga dilakukan untuk menentukan prognosa karena terdapat beberapa laporan yang menunjukkan bahwa karditis subklinis dapat menetap selama 6 bulan sampai 8 tahun. 1 H. Terapi DRA8 Terapinya terbagi atas 4 bagian : 1. Terapi untuk streptokokus grup A, walaupun tidak meningkatkan prognosis dalam 1 tahun tetapi bisa untuk mencegah penyebaran strain rematogenik 2. Terapi umum untuk episode akut : Obat anti inflamasi digunakan untuk mengontrol artritis, demam dan gejala akut lainnya. Salisilat adalah obat yang direkomendasikan. Steroid hanya digunakan apabila tidak berhasil dengan salisilat. Tirah baring terutama pada pasien dengan karditis Chorea diatasi dengan asam valproat dan bila diperlukan diberi zat sedasi. 3. Gagal jantung disebabkan karditis diterapi sesuai terapi gagal jantung, dengan pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya aritmia 4. Profilaksis dengan penisilin, untuk penderita yang alergi penicilin bisa diberi eritromisin atau sulfadiazin 18 Terapi antibiotik Penggunaan antibiotik pada pencegahan primer ( pengobatan infeksi faringitis) akan menurunkan resiko DRA dan dianjurkan. Pencegahan sekunder bermanfaat untuk mencegah infeksi berulang terutama pada penderita dengan riwayat DRAsebelumnya.Terapi profilaksis mengikuti guidelineWHO. Lamanya terapi Bila tidak ada karditis : Diberikan minimal 5 tahun atau sampai usia 18 tahun (mana yang lebih lama) Bila karditis ringan (sudah sembuh) : Diberikan minimal 10 tahun atau sampai usia 25 tahun (mana yang lebih lama) Pada karditis berat atau perbaikan katub dengan operasi : Diberikan seumur hidup Pencegahan Primer8 Tujuan dari pencegahan primer adalah eradikasi streptokokus grup A, penderita dengan faringitis bakterial dan hasil test positif untuk streptokokus grup A harus diterapi sedini mungkin pada fase supuratif. Obat yang diberikan adalah penicillin oral diberikan selama 10 hari, atau benzathine penicilin untk intravena. Pencegahan sekunder8 Pencegahan sekunder diberikan segera setelah pencegahan primer. Metode terbaik untuk mencegah infeksi berulang adalah benzatin penicilin (iv) yang diberikan terus menerus setiap 4 19 minggu, dan pada daerah endemik disarankan setiap 3 minggu.Pemberian parenteral lebih disukai karena kepatuhan lebih baik dibandingkan pemberian oral 2x/hari, dan pemberian oral dianjurkan untuk pasien resiko rendah untuk infeksi berulang. Komplikasi Penyakit jantung rematik adalah komplikasi terberat dari DRA dan merupakan penyebab terbesar dari mitral stenosis dan insufisiensi di dunia. Beberapa variabel yang mempengaruhi beratnya kerusakan katub antara lain jumlah serangan DRAsebelumnya, lama antara onset dengan pemberian terapi, dan jenis kelamin (penyakit ini lebih berat pada wanita dibandingkan pria). Insufisensi katub akibat DRA akan sembuh pada 60-80% penderita yang menggunakan profilaksis antibiotik.3-8 II. ALOPESIA AREATA A. EPIDEMIOLOGI Alopesia areata paling sering disebabkan oleh inflamasi akibat kerontokan rambut, yang dipengaruhi kira-kira 4,5 juta orang di Amerika Serikat.11 Tergantung dari latar belakang suku dan area dunia, prevalensi dari alopesia areata adalah 0,1-0,2%,12 dengan menghitung risiko seumur hidup 2%. Alopesia areata mempengaruhi kedua-duanya baik anak maupun dewasa dan semua warna rambut.13 Walaupun gangguannya tidak umum pada anak dibawah usia 3 tahun, sebagian besar pasien relatif muda: hingga 66% lebih muda daripada usia 30 tahun, dan hanya 20% yang lebih tua daripada usia 40 tahun. Pada umumnya tidak berpredileksi pada jenis kelamin, tapi lebih ditemukan banyak pada laki-laki yang berpengaruh dalam satu studi yang termasuk dalam sebuah kelompok subjek yang berusia 21 sampai 30 tahun.14 Dalam sebuah studi dari 226 pasien masyarakat Cina dengan alopesia areata yang berusia 16 tahun, usia pertengahan onsetnya pada usia 20 10 tahun, dan laki-laki:wanita rasionya 1.4:1; gangguan lebih berat pada anak laki-laki dan dengan onset awal pada masa kanak-kanak.15 Alopesia areata dihubungkan dengan peningkatan segala risiko dari gangguan autoimun lainnya (16%).16,17 Sebagai contoh, ini dihubungkan dengan lupus erythematosus pada 0,6% pasien,18 vitiligo 4%,19 dan penyakit tiroid autoimmun 8-28%.20 B. GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS Manifestasi alopesia areata berupa kerontokan rambut membentuk kebotakan melingkarhingga kulit terlihat, terutama kulit kepala (Gb. 2 dan 3) dan pada region janggut (Gb. 3A). Onsetnya biasanya cepat, dan penyakit dapat berkembang hingga semua rambut rontok dari kulit kepala (alopesia areata universalis) (Gb. 2A, 2B, 2C). Variasi kelainan ini termasuk ophiasis, dimana kerontokan rambut terjadi di occipital (Gb 3B), rambut cadaver (Gb 3C), nail pitting (Gb 3D, dan pertumbuhan rambut putih pada lesi awal alopesia (Gb 3E), sering membantu menegakkan diagnosis. Hubungan antara area kerontokan rambut dengan gangguan autoimun, biasanya dengan dermatitis atopik (pada 39% kasus), merupakan poin lebih untuk menegakkan diagnosis dengan benar. Jika diagnosis belum jelas setelah evaluasi klinis (Tb.1 dan Gb.3), mungkin kasus dengan varian luas alopesia areata, biopsi kulit dapat dilakukan. Pada alopesia areata akut, pemeriksaan histopatologi menunjukkan karakteristik “pola sarang tawon” padat, infiltrasi limfosit perifolikular disekitar folikel rambut anagen; pada pasien dengan penyakit kronik, pola ini mungkin tidak muncul. 21 Gambar 2. Tipe Alopesia Areata dan manifestasi klinisnya C. MANAJEMEN Meskipun diagnosis alopesia areata biasanya mudah, namun penanganannya tidaklah mudah. Terapi kuratif tidak tersedia, dan terdapat kekurangan dari percobaan jangka panjang yang mengevaluasi terapi untuk alopesia areata dan pengaruh nyata terhadap kualitas hidup.21 Karena seringnya hasil yang tidak memuaskan pada terapi yang sudah ada, beberapa dokter bergantung pada tingkat remisi spontan yang tinggi pada pasien dan merekomendasikan wig jika remisi tidak terjadi.21 Namun, pilihan terapi yang cukup bermanfaat namun terbatas masih ada untuk alopesia areata akut, kronis dan kambuhan.21-24 Dokter memiliki dua pilihan prinsip manajemen utama: menggunakan regimen immunosupresif (cenderung untuk pasien dengan alopesia areata akut dan progresif cepat) atau strategi deviasi imun yang memanipulasi suasana inflamasi intrakutan (membantu bagi pasien dengan jenis kambuhan atau kronis25,26). Pada saat ini, hanya dua pendekatan yang mencapai tingkat pengobatan berbasis bukti (EBM): injeksi intralesi dengan glukokortikoid dan induksi kontak alergi.25,26 Penatalaksanaan immunosupresif yang paling baik terdiri atas injeksi intradermal triamcinolone acetonide (5 hingga 10 mg per milliliter) yang diberikan setiap 2 hingga 6 minggu. Agen ini merangsang pertumbuhan lokal kembali pada 60 hingga 67% kasus. Efek sampingnya meliputi nyeri, atrofi kulit lokal, dan depigmentasi, dan kekambuhan yang sering terjadi setelah pengobatan dihentikan.27Glukokortikoid topikal poten juga digunakan secara luas, terutama pada anak-anak dan dewasa dengan jumlah kerontokan kurang dari 50%.28 Glukokortikoid topikal potensi tinggi dengan penutupan oklusif adalah yang paling bermanfaat dan menunjukkan peningkatan pada 25% pasien yang terkena penyakit ini29; Namun, folikulitis yang diinduksi glukokortikoid merupakan efek samping paling umum dari ini.30,31 22 Tabel 1. Kriteria Diagnosis Alopesia Areata Gambar 3. Karakteristik Klinis dan Fitur Dermoskopik Alopesia Areata 23 Minoxidil topical, sebuah fasilitator kanal kalium yang telah lama digunakan sebagai stimulan pertumbuhan rambut pada alopesia androgenetik, dapat juga digunakan pada alopesia areata, idealnya pada kondisi yang bersamaan dengan pengobatan lainnya, seperti dithranol cream atau glukokortikoid oral.32 setelah penggunaan glukokortikoid oral selama 6 minggu, penggunaan topikal minodoxil 2% dapat membantu mencegah atau menunda kekambuhan pada pasien yang merespons terhadap glukokortikoid.32,33 agen topikal dan sistemik lainnya telah dicoba, namun mereka belum menunjukkan manfaat terapi yang jelas.32,33 D. PATOBIOLOGI ALOPESIA AREATA Peningkatan konsep patobiologi dapat membuka jalan pada manajemen dan hasil yang lebih baik pada alopesia areata. Penting untuk dicatat bahwa penyakit ini merupakan gangguan siklus folikel rambut yang bermakna ganda30; sel-sel inflamasi hanya menyerang folikel rambut anagen, dimana kemudian mendorong pada fase catagen lebih cepat (gambar 1B).30,31 kedua karena distrofi akibat inflamasi pada folikel, batang rambut tidak dapat lagi menempel pada kanal rambut dan menjadi mudah dicabut32; namun, folikel rambut mempertahankan kapasitasnya untuk beregenerasi dan melanjutkan siklus, sebagaimana pada alopesia areata— tidak seperti scarring alopecia— dimana sel stem folikel rambut secara umum tidak dihancurkan.32maka, hilangnya rambut pada penyakit ini pada prinsipnya bersifat reversibel. Seperti kebanyakan penyakit autoimun lainnya, alopesia areata adalah gangguan inflamasi kronis yang mudah kambuh dimana merujuk pada siklus kambuh pada penyakit ini. Juga, karena tidak adanya infiltrate perifolikuler, tidak ada kerontokan rambut.29-33 Tantangan terapi utama adalah untuk mengurangi infiltrat inflamasi yang sudah terjadi dan untuk mencegah timbulnya kekambuhan dan penyebaran ke daerah folikel rambut yang masih sehat. Sayangnya, terapi yang tersedia saat ini tidak terprediksi dan belum dapat memberi hasil yang memuaskan untuk menjawab tantangan ini.33 E. IMUNOPATOLOGI DASAR Pengetahuan dalam mekanisme imunopatologi pada alopesia areata dapat terbaik diperoleh dari pemeriksaan lesi kulit. Meskipun sel-sel T CD4 + mendominasi numerik dalam infiltrate perifolikular, Sel-sel T CD8+ tampaknya menjadi limfosit pertama untuk masuk ke epitel folikular proksimal (Gambar 1B, 1C, dan 1E dalam Lampiran Tambahan).33-35Selain itu, jumlah sel NK dan sel mast yang sangat meningkat di infiltrate perifolikular, meningkatkan pertanyaan apakah sel-sel ini juga terlibat dalam patogenesis alopesia areata.34,35 Autoantibodi terhadap autoantigen folikel sering ditemukan dalam serum dan kulit pasien dengan alopesia areata, 32,33 tetapi tidak ada bukti bahwa mereka adalah patogenik.34 24 Bahkan, dalam model murine dari alopesia areata, penyakit ini dapat ditransfer oleh sel T CD8+ sendiri, 35 terutama setelah sel T telah terjadi kontak primer dengan autoantigen terkait melanogenesis.34,35 Pemindahan sel T CD8+ bersama-sama dengan sel T CD4+ adalah cara yang paling efektif dalam menginisiasi penyakit, paling banyak digunakan pada model murine, 35 sedangkan transfer serum atau autoantibodi dari pasien dengan alopesia areata gagal untuk memperoleh kebotakan.34Sebaliknya, deplesi sel-sel T CD8+ mengembalikan pertumbuhan rambut pada model tikus alopesia areata.32 maka dari itu wajar untuk mempertimbangkan alopesia areata adalah sebuah penyakit autoimun organ-spesifik CD8 + T-dependent-sel, (Tabel 2 di Lampiran Tambahan). F. TERAPI MASA DEPAN Konsep patobiologi terakhir menginformasikan penelitian preklinik untuk mengembangkan pilihan terapi alopesia areata yang lebih baik. Strategi terapi yang mengembalikan atau mencegah imun khusus dalam rontoknya folikel rambut dan sebagai antagonis mediator NKG2D yang berlebihan atau interaksi patogenik dari sel T CD8+ dengan autoantigen MHC kelas I yang terpresentasi pada folikel rambut nantinya dapat menjadi manajemen yang lebih efektif dari kasus ini. 30-35 Strategi terapi baru sekarang telah dikembangkan di penelitian preklinik yang di deskripsikan pada bagian 3 pada lampiran tambahan. Kelainan autoimun umum ini telah memberikan hasil yang baik, akses model yang mudah dari penyakit yang dapat untuk menyelidiki prinsip-prinsip umum mengenai generasi, pemeliharan, kolaps dan pemulihan imunitas khusus. 32-35 Pengetahuan yang diperoleh dari beberapa penelitian mungkin juga dapat relevan kepada terapi penyakit autoimun lainnya yang mempunyai ciri kolapsnya sel imun khusus, seperti multiple sklerosis, aborsi imunitas, dan uveitis autoimun.30-35 25 DAFTAR PUSTAKA 1. Rahayuningsih SE, Farrah A. Role of echoacardiography in diagnose of acute rhematic fever Paediatrica Indonesiana Vol 50 no 2 (supplement) March 2010 2. Madyono B. Epidemiologi penyakit jantung reumatik di Indonesia. J Kardiol Indones 1995;200: 25-33 3. Turi, B.S.R.Z.G., Rheumatic Fever, in Braunwald’s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine, M.P.L. Eugene Braunwald, MD Robert O. Bonow, MD, Editor. 2007, Saunders Elsevier: Philadelphia 4. Alan Bisno, E.G.B., NK Ganguly, WHO Expert Consultation on Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease, inWHO technical report series. 2001,World Health Organization: Geneva. 5. Flyer DC. Rheumatic fever. Dalam: Keane JF, Lock JE, Flyer DC. Nadas’ pediatric cardiology.Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier; 2006. h. 387-400. 6. Mishra TK. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease: current scenario. JIACM. 2007;8(4):324-30. 7. WHO. Rhematic fever and rheumatic heart disease.-report of a WHO expert Consultation [Online]. [Diunduh tanggal 15 Juni 2014]. Tersedia dari: http://www.who.int/cardiovaskular_diseases/resources/trs 923/en/index.html. 8. Vijayalakshmi IB, Vishnuprabhu RO, Chitra N, Rajasri R, Anuradha TV. The efficacy of echocardiographic criterions for the diagnosis of carditis in acute rheumatic fever. Cardiol Young. 2008;18:586-92. 9. Marijon E, dkk. Prevalence of rheumatic heart disease detected by echocardiographic screening. NEJM. 2007;357:470-6. 10. Carapetis JR, Mc Donald M,Wilson NJ. Acute rheumatic fever. Lancet. 2005;366:155-68. 11. Pascher F, Kurtin S, Andrade R. Assay of 0.2 percent fluocinolone acetonide cream for alopesia areata and totalis: efficacy and side effects including histologic study of the ensuing localized acneform response. Dermatologica 1970;141:193-202. 12. Tosti A, Piraccini BM, Pazzaglia M, Vincenzi C. Clobetasol propionate 0.05% under occlusion in the treatment of alopecia totalis/universalis. J Am Acad Dermatol 2003;49:968 13. Kar BR, Handa S, Dogra S, Kumar B. Placebo-controlled oral pulse prednisolone therapy in alopesia areata. J Am Acad Dermatol 2005;52:287-90. 14. Luggen P, Hunziker T. High-dose intravenous corticosteroid pulse therapy in alopesia areata: own experience compared with the literature. J Dtsch Dermatol Ges 2008;6:375-8. 15. Goddard CJ, August PJ, Whorwell PJ. Alopecia totalis in a patient with Crohn’s disease and its treatment with azathioprine. Postgrad Med J 1989;65:188-9. 26 16. Farshi S, Mansouri P, Safar F, Khiabanloo SR. Could azathioprine be considered as a therapeutic alternative in the treatment of alopesia areata? A pilot study. Int J Dermatol 2010;49:1188-93. 17. Schmoeckel C, Weissmann I, Plewig G, Braun-Falco O. Treatment of alopesia areata by anthralin-induced dermatitis. Arch Dermatol 1979;115:1254-5. 18. Ohlmeier MC, Traupe H, Luger TA, B.hm M. Topical immunotherapy with diphenylcyclopropenone of patients with alopesia areata — a large retrospective study on 142 patients with a self-controlled design. J Eur Acad Dermatol Venereol 2011 May 14 (Epub ahead of print). 19. Fenton DA, Wilkinson JD. Topical minoxidil in the treatment of alopesia areata. BMJ 1983;287:1015-7. 20. Price VH. Double-blind, placebo-controlled evaluation of topical minoxidil in extensive alopesia areata. J Am Acad Dermatol 1987;16:730-6. 21. Messenger AG, Slater DN, Bleehen SS. Alopesia areata: alterations in the hair growth cycle and correlation with the follicular pathology. Br J Dermatol 1986;114: 337-47. 22. Harries MJ, Paus R. The pathogenesis of primary cicatricial alopecias. Am J Pathol 2010;177:2152-62. 23. Ferran M, Calvet J, Almirall M, Pujol RM, Maymó J. Alopesia areata as another immunemediated disease developed in patients treated with tumour necrosis factor-α blocker agents: report of five cases and review of the literature. J Eur Acad Dermatol Venereol 2011;25:479-84. 24. Agesta N, Zabala R, Díaz-Pérez JL. Alopesia areata during interferon alpha- 2b/ribavirin therapy. Dermatology 2002; 205:300-1. 25. Kumar V, Pedroza LA, Mace EM, et al. The autoimmune regulator (AIRE), which is defective in autoimmune polyendocrinopathy- candidiasis-ectodermal dystrophy patients, is expressed in human epidermal and follicular keratinocytes and associates with the intermediate filament protein cytokeratin 17. Am J Pathol 2011; 178:983-8. 26. Gregersen PK, Olsson LM. Recent advances in the genetics of autoimmune disease. Annu Rev Immunol 2009;27:363- 91. 27. Duvic M, Hordinsky MK, Fiedler VC, O’Brien WR, Young R, Reveille JD. HLA-D locus associations in alopesia areata: DRw52a may confer disease resistance. Arch Dermatol 1991;127:64-8. 28. Tazi-Ahnini R, Cork MJ, Wengraf D, et al. Notch4, a non-HLA gene in the MHC is strongly associated with the most severe form of alopesia areata. Hum Genet 2003;112:403. 27 29. Tazi-Ahnini R, Cox A, McDonagh AJ, et al. Genetic analysis of the interleukin-1 receptor antagonist and its homologue IL- 1L1 in alopesia areata: strong severity association and possible gene interaction. Eur J Immunogenet 2002;29:25-30. 30. Sundberg JP, Silva KA, Li R, Cox GA, King LE. Adult-onset alopesia areata is a complex polygenic trait in the C3H/HeJ mouse model. J Invest Dermatol 2004; 123:294-7. 31. Sun J, Silva KA, McElwee KJ, King LE Jr, Sundberg JP. The C3H/HeJ mouse and DEBR rat models for alopesia areata: review of preclinical drug screening approaches and results. Exp Dermatol 2008; 17:793-805. 32. Rodriguez TA, Fernandes KE, Dresser KL, Duvic M. Concordance rate of alopesia areata in identical twins supports both genetic and environmental factors. J Am Acad Dermatol 2010;62:525-7. 33. Betz RC, K.nig K, Flaquer A, et al. The R620W polymorphism in PTPN22 confers general susceptibility for the development of alopesia areata. Br J Dermatol 2008;158:389-91. 34. Kemp EH, McDonagh AJ, Wengraf DA, et al. The non-synonymous C1858T substitution in the PTPN22 gene is associated with susceptibility to the severe forms of alopesia areata. Hum Immunol 2006;67:535-9. 35. Martinez-Mir A, Zlotogorski A, Gordon D, et al. Genome wide scan for linkage reveals evidence of several susceptibility loci for alopesia areata. Am J Hum Genet 2007;80:316:28. 28