BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Konsep Enam Benar Dalam

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Konsep Enam Benar Dalam Pemberian Obat
2.1.1 Prinsip Enam Benar
Prinsip enam benar merupakan serangkaian langkah atau tindakan yang dijadikan
pedoman sebelum obat diberikan kepada pasien yang mengedepankan keamanan demi
kesembuhan pasien (Kee dan Hayes, 2000). Menurut Kuntarti (2005) menyebutkan
prinsip enam benar merupakan prinsip yang harus diperhatikan oleh perawat dalam
pemberian obat untuk menghindari kesalahan pemberian obat dan keberhasilan
pengobatan perawat bertanggung jawab dalam pemberian obat-obatan yang aman.
Perawat harus mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan
mempertanyakan perintah tersebut jika tidak lengkap atau tidak jelas atau dosis yang
diberikan diluar batas yang direkomendasikan. Supaya dapat tercapainya pemberian
obat yang aman, seorang perawat harus melakukan prinsip enam benar yang meliputi:
benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar rute pemberian, dan benar
dokumentasi (Kee J. L & Hayes E.R, 2000).
Pemberian obat yang dilakukan oleh perawat adalah suatu bentuk pendelegasian
terhadap pemberian terapi obat kepada pasien dari dokter. Perawat yang dapat
melakukan tindakan invasif dan pemberian obat adalah perawat yang telah mendapat
ijin terdaftar atau register nurse. Penerima delegasi mendapat tanggung jawab untuk
10
11
melakukan tugas atau prosedur tersebut, yang dilaksanakan dengan tanggung gugat dan
tanggung jawab yang diterimanya (Kozier, 2004)
Pemberian obat yang aman dan akurat merupakan salah satu tugas terpenting perawat.
Obat adalah alat utama terapi yang digunakan dokter untuk mengobati klien yang
memiliki masalah kesehatan. Walaupun obat menguntungkan klien dalam banyak hal,
beberapa obat dapat menimbulkan efek samping yang serius atau berpotensi
menimbulkan efek yang berbahaya bila tidak tepat diberikan. Perawat bertanggung
jawab memahami kerja obat dan efek samping yang ditimbulkan, memberikan obat
dengan tepat, memantau respon klien, dan membantu klien menggunakannya dengan
benar dan berdasarkan pengetahuan (Potter & Perry, 2005).
Menurut Kozier (2004) dan Potter & Perry (2009) menyebutkan upaya dalam
menghindari kesalahan dalam pemberian obat dapat dilaksanakan dengan
mengidentifikasi indikator terhadap prosedur-prosedur yang berhubungan dengan
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pemberian obat. Pemberian obat harus
diperhatikan prinsip enam benar pemberian obat yaitu:
a. Benar Pasein
Obat diberikan kepada pasien yang tepat dengan memastikan gelang
identifikasi sesuai prosedur yang berlaku pada institusi tersebut . Kejadian
kesalahan pemberian obat terhadap pasien yang berbeda kadang-kadang bisa
terjadi. Sangat penting mengikuti langkah-langkah atau prosedur sehingga
memberikan obat kepada pasien yang tepat. Sebelum memberikan obat,
12
gunakan paling sedikit dua identifikasi kapanpun pemberian obat akan
diberikan (TJC, 2008) dalam Potter & Perry (2009).
Mengidentifikasi pasien yang dilakukan yaitu: nama klien, nomor telepon atau
identitas pribadi pasien. Jangan menggunakan identifikasi kamar atau ruangan
pasien. Melakukan identifikasi dilakukan pada saat berhadapan dengan pasien.
Mengidentifikasi pasien dapat dilakukan dengan memberikan tanda di lengan
pasien, kemudian menanyakan nama lengkap pasien dan agency nya sehingga
yakin bahwa perawat sudah berhadapan dengan pasien yang benar. Beberapa
rumah sakit menggunakan barcode sehingga perawat akan terhindar dari
kesalahan identifikasi pasien.
b. Benar Obat
Benar obat adalah obat yang diberikan sesuai dengan yang diresepkan. Kadangkadang perawat harus menuliskan resep yang ada dalam catatan medical record
pasien. Pada saat akan mempersiapkan obat, harus diperiksa sesuai dengan
catatan yang ada dalam medical record pasien. Hal yang dilakukan dalam
upaya mencegah kesalahan terhadap pemberian obat harus diperiksa ulang tiga
kali, yaitu: sebelum memasukkan dari kontainer, dan pada saat sebelum
disimpan di kontainer. Persiapan pemberian obat tidak boleh didelegasikan
kepada orang lain dan dikelola oleh sendiri kepada klien.
13
The Joint Commission (TJC, 2008) dalam Potter & Perry (2009), menyatakan
hal harus diperhatikan terhadap benar obat, yaitu:
1) Meyakinkan informasi pengobatan kapanpun terhadap obat yang baru atau
obat yang diresepakan pada saat pasien pindah ke ruang perawatan yang
lain.
2) Jangan Pernah menyiapkan obat yang berada dalam container yang tidak
diberi nama atau label yang tidak jelas.
3) Jika memberikan obat harus memperhatikan unuit dosis dalam kemasan
kemudian periksa kembali label pada saat memberikan obat.
4) Memeriksa kembali seluruh obat yang dibrikan pada klien sesuai dengan
catatan medicar=l record pasien.
5) Memeriksa dua identitas pasien sebelum obat diberikan pada pasein.
c. Benar Dosis
Dosis diberikan sesuai dengan karakteristik pasien sesuai hasil perhitungannya
dan jenis obatnya (tablet, cairan) dalam jumlah tertentu.
Unit dosis sistem sangat baik dilakukan untuk mencegah kesalahan perhitungan
obat. Perawat harus mampu melakukan perhitungan terhadap kalkulasi obat
yang dibutuhkan pasien.
Tindakan yang dilakukan supaya tepat dalam memperhitungkan dosis obat
yaitu:
14
1) Kemasan obat tablet dibuka hanya pada saat diberikan kepada pasien. Bila
dibutuhkan dosis obat hanya dosis tertentu, pemotongan tablet tersebut
dilakukan dengan ujung pisau atau alat potong obat. Beberapa rumah sakit
mengijinkan atau membiarkan perawat untuk menyimpan obat tablet yang
sudah terbuka untuk diberikan pada pemberian selanjutnya. Institute for
Save Medication Practise (ISMP, 2006) dalam Potter & Perry (2009)
menyatakan bahwa harus diperhatikan kebijakan yang berkaitan dengan
keterampilan memotong tablet yang dilakukan perawat, sehingga
menghindari kesalahan dosis obat.
2) Sebelum melakukan perhitungan dosis, alat standar digunakan sesuai
kebutuhan, seperti gelas ukur obat, syringe, dan skala tetesan, untuk
mendapatkan pengobatan dengan ukuran yang tepat.
d. Benar Waktu
Obat yang diberikan harus sesuai dengan program pemberian, frekuensi dan
jadwal pemberian. Perawat terus mengetahui jadwal pemberian obat dalam
setiap kali pemberian obat yang diberikan setiap 8 jam atau obat yang diberikan
tiga kali dalam satu hari. Hal tersebut dapat dijadwalkan dengan baik, sehingga
perawat dapat merubah waktu sesuai kebutuhan pasien.
Kebutuhan pasien terhadap obat terutama insulin, diberikan setengah jam
sebelum pasien makan. Berikan obat antibiotic sesuai jadwal yang benar, untuk
mempertahankan efek terapeutik dalam darah, rentang waktu pemberian obat
15
dilakukan dalam enam puluh menit sesuai jadwal pemberian obat (30 menit
sebelum atau setelah jadwal pemberian).
e. Benar Rute
Obat yang diberikan harus sesuai rute yang diprogramkan, dan dipastikan
bahwa rute tersebut aman dan sesuai untuk klien.
Selalu konsultasikan kepada yang meresepkan apabila tidak ada petunjuk rute
pemberian obat. Pada saat memberikan injeksi, yakinkan bahwa pemberian
obat benar diberikan dengan cara injeksi. Sangat penting diperhatikan dalam
melakukan persiapan yang benar, karena komplikasi yang mungkin terjadi
adalah abscess atau kejadian efek secara sistemik.
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat
kerja yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang
diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual, parentral, topikal, rektal,
inhalasi.
1) Oral, adalah rute pemberian yang paling banyak dipakai, karena
ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diarbsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tabler ISDN.
2) Parentral, kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping
enteron berarti usus, jadi parentral berarti diluar usus, atau tidak melalui
saluran cerna, yaitu melalui vena (preset/perinfus)
16
3) Topikal, yaitu pemberian obat melalui kulit atau membrane mukosa.
Misalnya salep, losion, krim, spray, tetes mata.
4) Rektal, obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau
suposutoria yang akan mencair pada suhu badan. Pemberian rektal
dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax
sup), hemoroid (anusol), pasien yang tidak sadar/kejang (stesolid sup).
Pemberian obat perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan
pemberian obat dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat
disediakan dalam bentuk suposutoria.
5) Inhalasi, yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran
nafas memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya, misalnya
salbutamol (ventolin) combivent, berotek untuk asma, atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen.
f. Benar Dokumentasi
Dokumentasi dilaksanakan setelah pemberian obat dan dokumentasi alasan
obat tidak diberikan. Perawat dan petugas kesehatan yang lain penting
melakukan dokumentasi untuk melakukan komunikasi. Beberapa kesalahan
pemberian obat disebabakan komunikasi yang tidak tepat.
Dokumentasi sebelum melakukan pemberian obat sesuai standar Medication
Administration Record (MAR), yang harus dilakukan: nama lengkap pasien
17
tidak ditulis dengan nama singkatan, waktu pemberian, dosis obat yang
dibutuhkan, cara pemberian obat dan frekuensi pemberian obat.
Masalah yang bisa muncul terhadap penulisan resep obat diantaranya informasi
yang tidak lengkap, tulisan yang sulit dibaca, tidak jelas, tidak dimengerti,
penempatan angka desimal, untuk dosis obat sehingga terjadi kesalahan dosis
dan tidak sesuai standar (Hughes & Ortiz, 2005 dalam Potter & Perry, 2005),
maka segera dilakukan kontak terhadap yang menulis resep tersebut. Pembuat
resep harus menulis resep secara akurat, lengkap, dan dapat dimengerti.
Dokumentasi setelah melakukan pemberian obat sesuai standar MAR, yaitu
mencatat segera pemberian obat yang telah diberikan kepada pasien,
ketidaktepatan pendokumentasian terhadap kesalahan pemberian dosis obat
sehingga menyebabkan penanganan yang kurang tepat terhadap koreksinya,
mencatat repson klien setelah pemberian obat apabila ada efek obat maka
pendokumentasian waktu, tanggal dan nama petugas yang memberikan dan
yang menulis resep dalam catatan medical record pasien.
2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Prinsip Enam Benar
Menurut Harmiady, Rauf (2014) dalam penelitianya yang berjudul Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Pelaksanaan Prosnsip Enam Benar Dalam Pemberian Obat Oleh
Perawat Pelaksana di Ruang Interna dan Bedah Rumah Sakit Haji Makasar,
mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan prinsip enam benar
yaitu: pengetahuan perawat, pendidikan perawat, dan motivasi kerja perawat. Hasil
18
penelitian tersebut menyatakan bahwa diantara faktor yang diteliti hanya faktor
pengetahuan dan motivasi kerja perawat yang mempengaruhi pelaksnaan prinsip enam
benar. Dalam penelitian Wardana R, Maria S, Sayono (2013) yang berjudul Hubungan
Karakteristik Perawat Dengan Penerapan Prinsip Enam Benar Dalam Pemberian Obat
di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. H. Soewondo Kendal mengidentifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan prinsip enam benar yaitu: umur, jenis kelamin,
pendidikan dan masa kerja perawat. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
diantara faktor yang diteliti hanya faktor umur yang mempengaruhi pelaksanaan
prinsip enam benar.
a. Umur Perawat
Usia dewasa awal responden cenderung lebih benar dalam menerapkan prinsip
enam benar bila dibandingkan dengan usia dewasa akhir dan usia tua (Wardana
R, Maria S, Sayono, 2013). Berdasarkan hasil analisis data dengan
menggunakan uji chi square dengan fisher exact test didapat nilai p value =
0,026. Karena nilai p < 0,05 maka dapat diasumsikan bahwa ada hubungan
umur dengan penerapan prinsip enam benar.
b.
Pengetahuan Perawat
Pengetahuan dalam hal ini merupakan hal-hal yang diketahui oleh perawat
tentang obat dan prinsip pemberian obat kepada pasien diantaranya adalah
benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar cara/rute pemberian,
dan benar dokumentasi. Hasil dari penelitian ini dari 46 perawat, yang
19
berpengetahuan baik sebesar 42 orang (91.3%) dimana yang mampu
melaksanakan prinsip enam benar dalam pemberian obat dengan tepat sebesar
41 orang (89,1%) dan yang tidak melaksanakan dengan tepat sebesar 1 orang
(2,2%). Sedangkan Perawat dengan pengetahuan yang kurang baik sebesar 4
orang (8,7%) dimana yang mampu melaksanakan prinsip enam benar dalam
pemberian obat dengan tepat sebesar 1 orang (2,2%) dan yang tidak
melaksanakan dengan tepat sebesar 3 orang (6,5%). Penelitian tersebut
menggunakan uji statistik dengan metode Fisher’s Exact Test dengan diperoleh
nilai ρ=0,001, yang berarti nilai ρ < α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan pengetahuan perawat dengan pelaksanaan prinsip enam benar
dalam peberian obat oleh perawat pelaksana di ruang interna dan bedah Rumah
Skait Haji Makasar. Berdasarkan dari hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa
perawat dengan pengetahuan yang baik akan cenderung untuk mampu
melaksanakan prinsip enam benar dalam pemberian obat dengan tepat
dibandingkan dengan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik.
c.
Motivasi Perawat
Motivasi kerja dalam hal ini merupakan tinglah laku seseorang didorong kearah
suatu tujuan tertentu karena adanya suatu kebutuhan. Motivasi dalam penelitian
ini merupakan sesuatu yang mampu mendorong seorang perawat untuk
melaksanakan tugasnya baik dari internal maupun dari eksternal. Berdasarkan
penelitian tersebut diperoleh hasil penelitian menunjukkan dari 46 perawat,
yang memiliki motivasi kerja baik sebesar 41 orang (89,1%) dimana semua
20
mampu melaksanakan prinsip enam benar dalam pemerian obat dengan tepat.
Sedangkan perawat dengan motivasi kerja kurang sebesar 5 orang (10,9%),
dimana yang mampu melaksanakan prinsip enam benar dalam pemberian obat
dengan tepat sebesar 1 orang (2,2%) dan yang tidak melaksanakan dengan tepat
sebesar 4 orang (8,7%). Hasil uji statistik dengna metode Fisher’s Exact Test
diperoleh nilai ρ = 0,000, yang berarti nilai ρ < α (0,05), maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan motivasi kerja perawat dengna pelaksanaan
prinsip enam benar dalam pemberian obat oleh perawat pelaksana di ruang
interna dan bedah Rumah Sakit Haji Makasar. Berdasarkan hasil tersebut maka
dapat diasumsikan bahwa perawat dengan motivasi kerja yang baik cenderung
untuk mampu melaksanakan prinsip enam benar dalam pemberian obat dengan
tepat dibandingkan yang memiliki mativasi yang kurang baik. Timbulnya
motivasi dalam diri seorang perawat bisa disebabkan oleh adanya rasa tanggung
jawab yang timbul dari diri seseorang perawat. Jika seseorang memiliki rasa
tanggung jawab yang tinggi terhadap pasien maka tentunya perawat akan
berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan tindakan yang cepat, tepat dan
terarah untuk mengatasi masalah pasien termasuk ketepatan dalam pemberian
obat. Aspek lain yang bisa menimbulkan motivasi dalam perawat adanya
rangsangan yang diterima dari Rumah Sakit. Rangsangan tersebut bisa dalam
bentuk penghargaan yang diterima, insentif kerja serta pujian. Hal inilah yang
menimbulkan suatu dorongan untuk selalu berbuat yang lebih baik.
21
2.1.3 Peran Perawat Terhadap Pemberian Obat
Pemberian obat terhadap klien yang dilakukan oleh perawat dibutuhkan pengetahuan
dan kemampuan sebagai fungsi unik yang harus dimiliki oleh perawat. Perawat yang
pertama kali melakukan pengkajian terhadap kebutuhan pengobatan klien. Perawat
melakukan pengkajian terhadap kemampuan klien terhadap pengobatan terhadap
dirinya, membantu memutuskan kapan klien menerima pengobatan sesuai dengan
waktunya, menerima obat yang tepat dan memonitor efek samping terhadap
pengobatan (Potter & Perry, 2009)
Klien dan keluarga diberi pengetahuan tentang administrasi pengobatan dan dilibatkan
dalam memonitor pasien sebagai bagian integral terhadap peran perawat. Jangan
mendelegasikan proses pemberian obat kepada asisten perawat dan gunakan proses
keperawatan sebagai bagian dan asuhan keperawatan (Potter & Perry, 2009)
2.2 Konsep Kesalahan Pemberian Obat (Medication Error).
2.2.1 Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Menurut World Health Organization (WHO, 2012) menyebutkan keselamtan pasien
tidak adanya bahaya yang dapat dicegah pada pasien selama proses perawatan
kesehatan. Disiplin keselamatan pasien merupakan upaya terkoordinasi untuk
mencegah kerusakan, yang disebabkan oleh proses perawatan kesehatan itu sendiri,
yang dapat terjadi kepada pasien.
22
Institute of Medicine (IOM) (2000) dalam (Zerwekh, J., Claborn, J.C., & Miller, C. J,
2009), mendefinisikan keselamatan pasien sebagai bebas dari keadaan cedera.
Kecelakaan cedera disebabkan karena kesalahan yang meliputi kegagalan suatu
perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai tujuan. Accidental
Injury juga akibat dari melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission).
Menurut WHO (2007) menyebutkan langkah-langkah pelaksanaan keselamatan
pasien, meliputi sembilan solusi keselamatan pasien di rumah sakit, yaitu:
a. Memperhatikan nama obat , rupa dan ucapan mirip (lool-alike, sound-alike
medication names)
b. Memastikan identifikasi pasien
c. Komunikasi secara benar saat serah terima pasien
d. Memastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
e. Mengendalikan cairan elektrolit pekat
f. Memastikan akurasi/ketepatan dalam pemberian obat
g. Menghindari salah kateter dan salah sambung slang
h. Menggunakan alat injeksi sekali pakai
i. Meningkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nosokomial
Indikator keselamatan pasien berdasarkan program akreditasi rumah sakit
(National Patient Safety Goals/NSPG) yang ditetapkan oleh The Joint Commission
(TJC, 2012) yang berlaku pada tanggal Januari 2012, adalah:
23
a. Tidak terdapat kesalahan pemberian obat terutama terhadap dua pasien yang
memiliki nama yang sama.
b. Tidak terjadi keselahan identifikasi terhadap pelaksanaan tranfusi darah.
c. Pemberian alasan yang tepat terhdap pemberian obat dalam durasi waktu kerja
obat.
d. Pemberian label pada obat, tempat obat, dan pencampuran obat yang tepat
ditempatkan dalam area yang steril terutama pada pasien perioperatif dan
prosedurnya.
e. Prosedur yang tepat untuk penanganan degan terapi antikoagulan.
f. Mempertahankan dan komunikasi yang akurat terhdap informasi pengobatan
pasien.
g. Adanya sistem pencegahan dan kontrol infeksi panduan mencuci tangan.
h. Adanya upaya penelitian dan penatalaksanaan pencegahan infeksi terhadap
pemasangan transfusi darah, infus dan vena sentral.
i. Penatalaksanaan evidence base practice terhadap upaya pencegahan infeksi.
j. Penatalaksanaan evidence base practice terhadap pencegahan infeksi
pemasangan cateter urine.
k. Identifikasi pasien terhadap risiko cedera
24
2.2.2 Jenis Insiden dan Keselamatan Pasien
a. Pengertian Insiden
Menurut Permenkes No 1691 tahun 2011, insiden keselamatan pasien yang selanjutnya
disebut insiden merupakan setiap kejadian yang tidak sengaja dan kondisi yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien.
Insiden keselamatan pasien juga merupakan akibat dari melaksanakan suatu tindakan
(commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission)
(Kemenkes, 2008).
b. Jenis-Jenis Insiden
Berdasarkan Permenkes No 1691 tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah
Sakit, menyebutkan insiden keselamatan pasien terdiri dari, yaitu:
1) Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
Merupakan suatu kejadian yang tidak diharapakan yang mengakibatkan cedera
pada pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil, dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi
pasien. Kejadian tersebut dapat terjadi di semua tahapan dalam perawatan dari
diagnosis, pengobatan dan pencegahan.
2) Kejadian Tidak Cedera (KTC)
Merupakan suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak
mengakibatkan cedera.
25
3) Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
Merupakan insiden yang belum sampai terpapar ke pasien. Misalnya suatu obat
dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan
membatalkannya sebelum obat diberikan kepada pasien.
4) Kejadian Potensial Cedera (KPC)
Merupakan suatu kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera,
tetapi belum terjadi insiden. Misalnya obat-obatan LASA (Look Alike Sound
Alike) disimpan berdekatan.
5) Kejadian Sentinel
Merupakan suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius.
2.2.3 Definisi Kesalahan Pemberian Obat (Medication Error)
Kesalahan pemberian obat (medication error) adalah suatu kejadian yang dapat
membuat klien menerima obat yang salah atau tidak mendapat terapi yang tepat
Kesalahan pengobatan dapat dilakukan oleh setiap individu yang terlibat dalam
pembuatan resep, transkripsi, persiapan, penyaluran dan pemberian obat (Edgar, Lee,
Cousins, 1994 dalam Potter dan Perry, 2005)
Menurut Institute of Medicine (IOM, 2011), kesalahan pemberian obat adalah difinisi
umum yang digunakan untuk kesalahan pengobatan, yaitu satu peristiwa yang dapat
dicegah dan dapat menyebabkan penggunaan obat yang tidak tepat atau
membahayakan pasien sedangkan pengobatan yang ada dikontrol dari ahli kesehatan,
pasien atau konsumen. Kejadian-kejadian tersebut mungkin berhubungan dengan
26
praktek profesional, produk perawatan kesehatan, prosedur, dan sistem, termasuk
resep, komunikasi ketertiban (label produk, kemasan, dan tata nama), peracikan,
pengeluaran, distribusi, administrasi , pendidikan, pemantauan, dan penggunaan.
Kesalahan pemberian obat, selain memberi obat yang salah, mencakup faktor lain yang
mengubah terapi obat yang direncanakan, misalnya lupa memberi obat; memberi dua
kali obat yang dilupakan sebagai kompensasi; memberi obat yang benar pada waktu
yang salah, atau memberi obat yang benar melalui rute yang salah (Tambayong, 2001).
Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada pasien,
mulai dari industri, dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan, penyerahan, dan
monitoring pasien. Di dalam setiap mata rantai pada beberapa tindakan mempunyai
potensi sebagai sumber kesalahan. Setiap tenaga kesehatan dalam mata rantai ini dapat
memberikan kontribusi terhadap kesalahan (Cohen, 1999).
Menurut Athanasakis (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Prevention of Medication
Errors Made by Nurses in Clinical Practise menyebutkan keamanan dalam pemberian
obat bertujuan untuk mengurangi tingkat kesalahan dalam pemberian obat, hal tersebut
dapat mengidentifikasi lebih awal sebelum pasien mendapat pengobatan yang
membahayakan mereka
2.2.4 Dampak dan Jenis Kesalahan Pemberian Obat (Medication Errors)
Menurut National Coordinating Council for Medication Error Reporting and
Prevention (NCC MERP), akibat dari terjadinya medication error dapat dibagi menjadi
27
tiga derajat yaitu; 1) tidak menyebabkan perubahan fisik, mental, dan psikologis, 2)
menyebabkan perubahan, serta 3) menyebabkan kematian. Derajat yang paling ringan
adalah kejadian medication error terdeteksi tetapi tidak mengakibatkan perubahan
apapun. Medication error derajat yang kedua akan menyebabkan perubahan yang dapat
sembuh dengan sendirinya atau memerlukan terapi baru. Derajat paling parah dalam
medication error yaitu dapat menyebabkan yang berakibat kematian. Tabel katagori
medication error berdasarkan dampak diperlihatkan sebagai berikut:
Tabel 1. Klasifikasi kesalahan pemberian obat (medication error) berdasarkan dampak. (Sumber:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan RI Tahun 2008)
Kesalahan (error)
Katagori
Hasil
No error
A
Kejadian atau yang berpotensi untuk terjadinya kesalahan
Error, no harm
B
Terjadi kesalahan sebelum obat mencapai pasien
C
Terjadi kesalahan dan obat sudah diminum /digunakan pasien
tetapi tidak membahayakan pasien
D
Terjadinya kesalahan, sehingga monitoring ketat harus dilakukan
tetapi tidak membahayakan pasien
Error, harm
E
Terjadi kesalahan, hingga terapi dan intervensi lanjut diperlukan
dan keslahan ini memberikan efek yang buruk yang sifatnya
sementara
F
Terjadi kesalahan dan mengakibatkan pasien harus dirawat lebih
lama di rumah sakit serta memberikan efek buruk yang sifatnya
sementara
28
G
Terjadi kesalahan yang mengakibatkan efek buruk yang bersifat
permanen
H
Terjadi kesalahan dan hampir merenggut nyawa pasein contoh
syok anafilaktik
Error, death
I
Terjadi kesalahan dan pasien meninggal dunia
Tabel 2. Jenis-jenis kesalahan pemberian obat (medication error) (berdasarkan alur jenis
pengobatan) (Sumber: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI Tahun 2008)
Tipe Medication Error
Keterangan
Unauthorized drug
Obat yang terlanjur diserahkan kepada pasien padahal
diresepkan bukan oleh dokter yang berwenang
Inmproper dose/quantity
Dosis, strength atau jumlah obat yang tidak sesuai
dengan yang dimaksud dalam resep
Wrong dose preparation method
Penyiapan/ formulasi atau pencampuran obat yang tidak
sesuai
Wrong dose form
Obat yang diresepkan dalam dosis dan cara pemberian
yang tidak sesuai dengan yang diperintahkan di dalam
resep
Wrong patient
Obat diserahkan atau diberikan pada pasien yang keliru
yang tidak sesuai dengan yang tertera diresep
Omission error
Gagal dalam memberikan dosis sesuai permintaan,
mengabaikan penolakan pasien atau keputusan klinik
29
yang mengisyaratkan untuk tidak diberikan obat yang
bersangkutan
Extra dose
Memberikan duplikasi obat pada waktu yang berbeda
Prescribing error
Obat diresepkan secara keliru atau perintah diberikan
secara lisan atau diresepkan oleh dokter yang tidak
berkompeten
Wrong administration technique
Menggunakan cara pemberian yang keliru termasuk
misalnya menyiapkan dengan teknik yang tidak
dibenarkan (misalkan obat im diberikan secara iv)
Wrong time
Obat diberikan tidak sesuai dengan jadwal pemberian
atau diluar jadwal yang ditetapkan
2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Insiden Kesalahan Pemberian Obat
(Medication Errors)
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap insiden medication error yang disampaikan
oleh Carayon & Smith (2000); AHRQ (2003); Depkes (2008); Henriksen, et al (2008);
Vincent (1998); dapat disimpulkan meliputi:
a. Karakteristik Individu
Karakteristik individu merupakan faktor yang berada pada barisan pertama
yang memiliki dampak secara langsung pada mutu pelayanan dan meskipun
mutu tersebut masih kemungkinan dipertimbangkan untuk dapat diterima atau
masih dibawah standar baku. Karakteristik individu termasuk diantaranya
30
adalah kualitas yang dibawa individu tersebut ke dalam pekerjaan seperti
pengetahuan, tingkat keterampilan, pengalaman, kecerdasan, kemampuan
mendeteksi, pendidikan dan pelatihan, dan bahkan sikap seperti kewaspadaan,
kelalaian, kelelahan, dan motivasi.
b. Sifat Dasar Pekerjaan
Sifat dasar pekerjaan merujuk pada karakteristik pekerjaan itu sendiri dan
meliputi pula sejauh mana prosedur yang digunakan terdefinisi dengan baik,
sifat alur kerja, beban pasien pada puncak dan tidak, ada atau tidak adanya
kerjasama antar tim, kompleksitas perawatan, fungsional alat dan masa
penyusutan, interupsi dan pekerjaan yang bersaing, dan persaratan
fisik/kognitid untuk melakukan pekerjaan. Meskipun penelitian empiric
terhadap dampak faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan tidak
sebanyak penelitian studi pada faktor-faktor manusia, faktor ini tetap ada
(Henrisken, Kem, et al. 2008).
c. Faktor Lingkuangan Fisik
Faktor lingkungan fisik meliputi diantaranya yaitu; pencahayaan, suara,
temperature atau suhu ruangan, susunan tata ruang, ventilasi. Pengelolaan
gedung rumah sakit harus benar-benar memikirkan keselamatan baik bagi
pasien maupun keselamatan staf didalamnya dengan dengan memperhatikan
syarat-syarat kesehatan lingkungan seperti yang sudah diatur dalam Permenkes
1204/SK/IX/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit.
d. Faktor Interaksi Antara Sistem dan Manusia
31
Yang termasuk dalam faktor ini meliputi perlengkapan atau peralatan medis,
lokasi atau peletakan alat-alat, pengontrolan alat. Interaksi sistem dan manusia
menunjuk pada tata dimana dua sistem berinteraksi atau berkomunikasi dalam
ruang lingkup sistem. Perawat menggunakan perangkat medis dan peralatan
secara intensif dan dengan demikian memiliki banyak pengalaman.
e. Faktor Organisasi dan Lingkungan Sosial
Lingkungan organisasi merupakan lingkungan manusia di dalam organisasi
melakukan pekerjaan mereka. Lingkungan pekerjaan yakni lingkungan
organisasi rumah sakit dapat menentukan kualitas dan keamanan pelayanan
perawat kepada pasien. Sebagai jumlah tenaga tersebar dalam ketenagaan
kesehatan,
perawat
mengaplikasikan
pengetahuan,
keterampilan,
dan
pengalaman untuk memerikan kebutuhan pasien.
f. Faktor Manajemen
Faktor ini terdiri dari budaya keselamatan pasien, kemudahan akses personal,
pengembangan karyawan, kemampuan kepemimpinan, kebijakan pimpinan
dalam hal SDM, finansial, peralatan dan teknologi. Membangun budaya
kesadaran akan nilai keselamatan pasien, menciptakan kepemimpinan dan
budaya yang terbuka dan adil merupakan langkah pertama dalam menetapkan
keselamatan pasien rumah sakit. Faktor manajemen sangat menentukan dan
mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan termasuk pada terjadinya insiden
keselamatan pasien.
g. Lingkungan Eksternal
32
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah pengetahuan dasar, demografi,
teknologi terbaru, kebijakan pemerintah , keadaan ekonomi, kebijakan
kesehatan, kesadaran masyarakat. Lingkungan eksternal dapat memberikan
dampak terhadap usaha meningkatkan keselamatan pasien. Tekanan eksternal
dapat berupa tuntutan hukum, tuntutan masyarakat terhadap mutu dan
keselamatan pasien. Lingkungan eksternal merupakan suatu hal yang sangat
dibutuhkan agar organisasi dapat memiliki komitmen yang tinggi dalam
menerapkan mutu melalui keselamatan pasien. Lingkungan eksternal lainnya
berupa regulasi nasional terhadap kompetensi SDM pada pelayanan kesehatan
(standarisasi profesi, penilaian kompetensi staf, sertifikasi) dan untuk institusii
berupa akreditasi rumah sakit.
2.2.6 Pencegahan Kesalahan Pemberian Obat (Medication Errors)
Perawat memainkan peran yang sangat penting dalam lingkaran esensial pencegahan
kesalahan pengobatan (Potter & Perry, 2005). Strategi pencegahan dalam kesalahan
pemberian obat meliputi standarisasi dan penyederhanaan prosedur pengobatan dan
lain-lain. Persiapan obat dan administrasi merupakan bagian dari prosedur pengobatan,
yang melibatkan langkah-langkah berikut: Menjamin atau memastikan lingkungan
yang aman untuk persiapan obat dengan menempatkan label ( “jangan masuk”, untuk
mencegah pengunjung mengganggu perawat waktu itu) dan juga mengigatkan perawat
pentingnya konsentrasi selama persiapan obat-obatan; mengurangi gangguan dan
interupsi selama pemberian obat; penggunaan alat bantu kalkulator untuk memfasilitasi
33
perhitungan obat.
Pengiriman obat dari apotek ke bangsal perawatan tanpa
membutuhkan setiap pemeriksaan lebih kanjut atau persiapan khusus oleh staf perawat
(terutama obat pediatrik yang membutuhkan presisi dalam perhitungan dosis). Wajib
melakukan pengecekan ulang obat oleh dua perawat yang terpisah (terutama dalam
obat yang berisiko tinggi, yang biasanya bertanggung jawab untuk efek samping atau
kesalahan). Pelaksanaan lima tepat (obat yang tepat, dosis yang tepat, rute yang tepat,
waktu yang tepat, pasien yang tepat) ketika mempersiapkan obat (meskipun faktor ini
berfokus pada kinerja individu dan tidak mencerminkan kompleksitas prosedur
pengobatan). Pemisahan obat yang jelas dengan kesamaan baik dalam warna atau
nama, dengan meletakan label pada obat tersebut; persiapan dan pemberian obat saat
yang sama; dan cek jika obat telah diadministrasikan dengan pasein yang tepat
(Athanasakis E, 2012).
Kesalahan yang terjadi harus segera diketahui dan dilaporkan kepada pegawai rumah
sakit yang tepat. Perawat memliki kewajiban etis dan profesi untuk melaporkan
kesalahan kepada dokter dan manajer keperawatan. Dokter dapat memutuskan untuk
menetralkan efek kesalahan dengan memberikan sebuah antidot ketika obat yang
diberikan salah, menunda pemberian obat apabila obat bila obat sebelumnya diberikan
terlalu dini, atau memantau efek obat ketika sebuah obat diberikan dalam dosis yang
tinggi yang tidak lazim. Perawat sebaiknya tidak menyembunyikan kesalahan
pengobatan. Pada catatan dalam status klien harus ditulis obat apa yang telah diberikan
kepada klien, pemberitahuan kepada dokter, efek samping yang klien alami sebagai
34
respons terhadap kesalahan pengobatan, dan upaya yang dilakukan untuk menetralkan
obat, misalnya memberikan antidot.
Perawat juga bertanggung jawab melengkapi laporan yang menjelaskan sifat insiden
tersebut. Laporan insiden merupakan bukan pengakuan tentang suatu kesalahan atau
menjadi dasar untuk memberi hukuman dan bukan merupakan bagian catatan medis
klien yang sah. Laporan ini merupakan analisis objektif tentang apa yang terjadi dan
merupakan penatalksanaan risiko yang dilakukan institusi untuk memantau kejadian
semacam ini. Laporan kejadian membantu komite interdisiplin mengidentifikasi
kesalahan dan menyelesaikan masalah sistem di rumah sakit yang mengakibatkan
terjadinya kesalahan
(Potter & Perry, 2005).
Tabel 3. Cara mencegah kesalahan pemberian obat ( Sumber: Potter & Perry, 2005)
No
1
Kewaspadaan
Baca label obat dengan teliti
Rasional
Banyak produk yang tersedia dalam kotak,
warna, dan bentuk yang sama
2
Pertanyakan pemberian banyak tablet
Kebanyakan dosis terdiri dari satu atau dua
atau vial untuk dosis tunggal
tablet atau kapsul atau satu vial dosis tunggal.
Interpretasi yang sa;ah terhadap program obat
dapat mengakibatkan pemberian dosis tinggi
berlebihan.
35
3
Waspadai obat-obatan bernama sama
Banyak nama obat terdengat sama (mis.
Digoksin, Keflex dan Keflin, Orinase dan
Orinade
4
Cermati angka di belakang koma
Beberapa obat tersedia dalam beberapa jumlah
yang merupakan perkalian satu sama lain
(contoh, tablet Coumadindalam tablet 2,5 dan
25 mg, Thorazine dalam spansules (sejenis
kapsul) 30 dan 300 mg.
5
Pertanyakan peningkatan dosis yang
Kebanyakan dosis diprogramkan secara secara
tiba-tiba dan berlebihan
bertahap supaya dokter dapat memantau efek
terapeutik dan responsnya.
6
7
Ketika suatu obat baru atau yang tidak
Jika dokter juga tidak lazim dengan obat
lazim diprogramkan, konsultasikan
tersebut maka risiko pemberian dosis yang
kepada sumbernya.
tidak akurat menjadi lebih besar.
Jangan beri obat yang diprogramkan
Banyak dokter menggunakan nama pendek
dengan nam pendek atau singkatan
atau singkatan tidak resmi untuk obat yang
tidak resmi
sering diprogramkan. Apabila perawat atau
ahli farmasi tidak mengenal nama tersebut,
obat yang diberikan atau dikeluarkan bisa
salah.
8
Jangan berupaya menguraikan dan
Apabila ragu, tanyakan dokter. Kesempatan
mengartikan tulisan yang tidak dapat
terjadinya salah interpretasi besar, kecuali jika
dibaca
perawat mempertanyakan program yang sulit
dibaca.
36
9
Kenali klien yang memeiliki nama
Seringkali, satu atau dua orang pasien memiliki
akhir sama. Juga, minta pasien
nama akhir yang sama atau mirip. Label khusus
menyebutkan
pada kardeks atau buku obat dapat memberi
nama
lengkapnya.
Cermati nama yang tertera pada tanda
peringatan tentang masalah yang potensial.
pengenal.
10
Cermati ekuivalen
Saat tergesa-gesa, salah membaca ekuivalen
mdah terjadi (contoh, dibaca milligram,
padahal milliliter).
Perbedaan mendasar antara reaksi obat yang merugikan dan kesalahan pemberian obat
adalah bahwa kesalahan pemberian dapat dicegah. Bila tujuan terapi obat yang optimal
adalah memberikan obat yang benar, untuk pasien yang benar, dengan dosis yang
benar, dengan cara yang benar, pada waktu yang benar, dan dengan indikasi yang
benar, akan terlihat adanya banyak potensi kesalahan dalam proses tersebut. Juga
terdapat banyak sekali titik tolok dalam proses pengobatan, dan begitu banyak orang
yang terletak pada titik tolok tersebut yang masing-masing mempunyai peran
mendeteksi potensi kesalahan, mencegah, dan mendokumentasikan setiap efek yang
muncul sebagai konsekuensinya. Karena perawat bertanggung jawab untuk
memberiakan obat, maka merekalah yang biasanya titik tolak terakhir dan terpenting
dalam sistem tersebut. Meskipun kesalahan dapat terjadi pada titik ini, namun hal
tersebut dapat juga dideteksi dan tentu saja dicegah. Rekomendasi tambahan berikut
ini dianjurkan untuk perawat.
37
a. Mengetahui dengan baik proses permintaan obat institusional dan sistem
pemberiannya (floor stock dibanding dosis unit).
b. Mengetahui kemana mencari informasi mengenai obat. Sumber informasi
termasuk dokter, apoteker, perpustakaan, dan refrensi obat.
c. Verifikasi setiap instruksi pemberian obat sesering mungkin. Proses
penyakinan harus lengkap sesuai potensi kesalahan.
d. Menggunakan waktu pemberian obat standar. Hal ini membantu menghindari
kebingungan, khususnya bila pemantauan tes laboratorium harus dilakukan
pada waktu tertentu setelah pemberian obat.
e. Pada saat memberikan obat, periksa produk obat untuk kemungkinan adanya
kerusakan (retak pada kapsul, obat suntik yang keruh, endapan dalam larutan).
Laporkan hal ini sesegera mungkin. Pastikan identitas pasien sebelum
pemberian obat. Jaga agar obat berlabel jelas selama mungkin (tempatkan
dalam kemasan dosis unit tepat di sisi tempat tidur). Dokumentasikan
pemberian obat dalam catatan yang tepat. Bila suatu obat ternyata tidak tersedia
pada saat pemberian, jangan meminjamnya dari pasien yang lain. Selidiki
mengapa obat tidak ada. Pasti ada alasan sehingga obat tidak diberikan sampai
diperoleh informasi yang pasti (interaksi potensial, riwayat reaksi sebelumnya).
f. Observasi adanya efek obat, termasuk reaksi merugikan. Mendokumentasikan
hasil terapeutik yang diinginkan merupakan hal yang sangat penting seperti
halnya melaporkan adanya ruam.
38
g. Bila kalkulasi obat diperlukan, sangat bijaksana untuk memeriksanya kembali
dengan orang lain (apoteker atau perawat). Penggunaan konsentrasi standar
atau tabel kecepatan infus sangat bermanfaat.
h. Biasakan diri dengan alat pemberian obat sebelum menggunakannya dan
pahami keuntungan dan kerugiannya. Berbagai sistem pemberian obat
berteknologi tinggi (pompa infus, inhaler, patch) membutuhkan perhatian
khusus mengenai penggunaan yang tepat.
i. Ajarkan pada pasien mengenai obat mereka sebanyak mungkin. Berikan
informasi ini dalam format yang dapat dipahami pasien. Berikan informasi ini
dalam format yang dapat dipahami pasien. Berikan informasi dengan huruf
berukuran besar, terjemahan, gambar, atau cara apapun agar pasien bener-benar
mengerti. Lakukan penyuluhan pada pemberian dosis pertama dan perkuat
informasi pada pemberian dosis berikutnya.
j. Bila obat tidak diberikan sesuai instruksi, untuk alasan apapun, hal ini harus
didokumentasikan.
(Deglin J.H & April H.V, 2004)
Menurut Joint Comission International JCI (2010), menyebutkan perencanaan yang
dilakukan dalam mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat adalah adanya suatu
rencana atau kebijakan atau dokumen lain yang mengatur bagaimana penggunaan obatobatan yang diatur dalam suatu pengorganisasian di semua tahapan yang ditinjau setiap
39
12 bulan, dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang berlaku dan menyediakan
informasi yang mudah bagi semua yang terlibat dalam penggunaan obat.
2.2.6 Hubungan Pelaksanaan Prinsip Enam Benar Terhadap Insiden Medication
Error
Penelitian yang dilakukan oleh Herwina E (2012) menggunakan variabel independen
yang berbeda, yaitu metode tim keperawatan. Berdasarkan tesisnya yang berjudul
hubungan pelaksanaan metode tim keperawatan dengan kesalahan pemberian obat di
RSUD Gunung Jati Cirebon menyatakan bahwa perawat yang mempersepsikan
pelaksanaan metode tim yang kurang baik melakukan kesalahan pemberian obat
maksimal hanya 45%. Sedangkan perawat yang mempersepsikan pelaksanaan metode
tim yang baik justru lebih tinggi, yaitu 79% untuk melakukan kesalahan pemberian
obat maksimal. Hasil analisis lebih lanjut menyatakan ada hubungan antara persepsi
pelaksanaan metode tim keperawatan yang baik dengan kesalahan pemberian obat (ρ
= 0,004; α = 0,005) sebesar 4,5 kali (95% CI 1,66; 12,38) dari persepsi pelaksanaan
metode tim yang kurang.
Download