1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks
karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan
sistem angin pasat yang bergerak di atasnya, tidak seperti perairan Samudera
Pasifik dan Atlantik yang hanya dipengaruhi oleh sistem angin pasat saja. Di
perairan ini terdapat beberapa fenomena oseanografi yang mempunyai pengaruh
penting tidak hanya dalam masalah oseanografi tetapi juga dalam masalah
atmosfer. Fenomena ini antara lain Indian Ocean Dipole (Saji dkk. 1999 dalam
Martono dkk. 2008a), upwelling (Wrytki 1961) dan eddy (Robinson 1983).
Selanjutnya Martono dkk. (2008a) menyatakan bahwa di beberapa wilayah
perairan Samudera Hindia telah diketahui adanya eddy yang terbentuk. Wilayah
ini yaitu antara lain Laut Arab, sistem Arus Somali, pantai Barat Australia,
Selatan Jawa dan Sumatera dan beberapa tempat lainnya.
Perairan Selatan Jawa hingga Bali yang merupakan bagian dari Samudera
Hindia menarik untuk dikaji karena dinamika pergerakan air di perairan ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain sistem angin muson, El Niño
Southern Oscilation (ENSO), IOD (Indian Ocean Dipole), Arus Khatulistiwa
Selatan (AKS), dan arus dari Pantai Barat Sumatera. Selain itu, perairan ini juga
dipengaruhi oleh massa air Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang diantaranya
masuk melalui Laut Timor, Selat Lombok, Laut Sawu, dan Selat Sunda (Wyrtki
1961, Meyers et al. 1995, Quadfasel et al. 1996 dalam Tubalawony 2008).
Menurut Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut (1998),
perairan ini memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar. Tingkat
kesuburan suatu perairan dapat diindikasikan melalui kandungan klorofil-a nya
(Lalli dan Parson 1994 dalam Kunarso 2011), karena klorofil-a menggambarkan
besar biomassa fitoplankton, dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi
fenomena upwelling dan downwelling (Samawi 2007).
1
2
Upwelling merupakan pergerakan massa air lapisan bawah yang bersuhu
lebih rendah ke permukaan dan membawa serta nutrien-nutrien yang dibutuhkan
oleh fitoplankton, sehingga saat terjadi upwelling kandungan klorofil-a di
permukaan akan lebih tinggi dari perairan sekitarnya (Stewart 2008). Sebaliknya,
downwelling merupakan pergerakan massa air lapisan atas yang bersuhu lebih
tinggi ke bawah dan dapat menurunkan kandungan klorofil-a di permukaan
(Tilstone et al. 1994).
Proses upwelling dan downwelling dapat disebabkan antara lain karena
perbedaan densitas air laut (Wibisono 2005), tiupan angin di permukaan laut
(Stewart 2008) dan arus eddy (Martono 2008b). Menurut Wyrtki (1961), di selatan
Jawa Timur-Bali terutama musim timur sering terbentuk arus melingkar (arus
eddy), arus ini akibat pertemuan Arus Pantai Jawa (APJ) dengan Arus
Khatulistiwa Selatan (AKS). Adanya arus melingkar di lokasi tersebut tampak
jelas dari hasil penelitian pendahuluan dari riset yang dilakukan Prayitno (2008)
dalam Kunarso et al. (2011). Arus eddy di selatan provinsi Bali tampak lebih kuat,
hal ini bisa terjadi karena adanya ARLINDO yang keluar melalui Selat Lombok.
Arus eddy bisa mencapai kedalaman 500-1000 m yang disertai pengangkatan
nutrien dari lapisan dalam ke permukaan (Oey 2007 dalam Kunarso dkk. 2011).
Eddy merupakan salah satu fenomena oseanografi yang belakangan
banyak menarik perhatian para ahli oseanografi. Hal ini disebabkan eddy
mempunyai peranan besar terhadap aspek biologis, fisik laut dan dinamika
atmosfer antara lain dapat mempengaruhi kelimpahan fitoplankton (Ortner 1978
dalam Robinson 1983) dan mentransfer panas dalam interaksinya dengan
atmosfer (Robinson 1983).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penelitian mengenai arus eddy yang
terjadi di perairan selatan Jawa-Bali perlu dilakukan untuk mendukung
pemanfaatan potensi sumber daya perikanan laut yang tersimpan di dalamnya.
Pemanfaatan data-data yang diperoleh dari satelit merupakan salah satu alternatif
yang dapat dilakukan karena penelitian mengenai arus eddy dengan pengambilan
data secara langsung di lapangan sulit dilakukan karena membutuhkan waktu
yang lama.
3
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
(1) Bagaimana distribusi spasial dan temporal arus eddy di serairan selatan JawaBali dari tahun 2007-2011,
(2) Bagaimana hubungan arus eddy dengan fenomena upwelling/downwelling
serta konsentrasi klorofil-a.
1.3
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
(1) Mengetahui pola distribusi temporal dan spasial arus eddy di perairan selatan
Jawa-Bali dari tahun 2007-2011,
(2) Mengetahui hubungan arus eddy dengan fenomena upwelling/downwelling
serta konsentrasi klorofil-a.
1.4
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat :
(1) Memperkaya pengetahuan mengenai variabilitas arus eddy khususnya yang
terbentuk di perairan selatan Jawa-Bali,
(2) Memberikan informasi mengenai daerah-daerah dan waktu-waktu yang
berpotensi memliki kesuburan yang tinggi di perairan selatan Jawa-Bali,
(3) Memberikan
informasi
bagi
pemerintah
daerah
mengenai
wilayah
penangkapan ikan.
1.5
Kerangka Pemikiran
Penelitian pertama kali mengenai arus eddy di selatan Jawa dilakukan pada
bulan Januari sampai Maret 1977 oleh Creswell dan Golding dalam Robinson
(1983) dengan menggunakan trayektori drifter. Berdasarkan hasil analisis data
trayektori drifter diperoleh kesimpulan bahwa di perairan tersebut terbentuk arus
eddy yang bergerak searah jarum jam dengan diameter mencapai 100 km dan
periode selama 20 hari.
4
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kunarso dkk. (2011),
nilai Suhu Permukaan Laut (SPL) terendah ditemukan berkembang dari timur
(Bali) pada bulan Juni bergerak ke barat hingga Jawa Barat di bulan Oktober.
Nilai klorofil-a tinggi berkembang sesuai dengan perkembangan suhu terendah,
namun nilai klorofil-a tertinggi umumnya bergerak tidak sesuai dengan
perkembangan SPL terendah. Munculnya fenomena ini mengindikasikan adanya
peran faktor lain disamping upwelling monsunal yang mensuplai nutrien. Faktor
inilah yang membuat kadar klorofil-a khususnya di selatan Provinsi Bali dan Jawa
Timur umumnya mempunyai nilai tertinggi.
Arus melingkar (Eddy Current) di selatan Jawa Timur-Bali yang terekam
citra MODIS (Gambar 1), ditunjukkan berupa putaran massa air yang
mengandung kadar klorofil-a tinggi, terjadi pada tanggal 9 Juli 2007 (Prayitno
2008 dalam Kunarso dkk. 2011).
Gambar 1. Arus melingkar (Eddy Current) di selatan Jawa Timur-Bali yang
terekam citra MODIS (Sumber : Prayitno 2008 dalam Kunarso dkk.
2011)
5
Penelitian mengenai Eddy Mindanao dan Eddy Halmahera yang dilakukan
oleh Martono dkk. (2008b) menunjukkan bahwa Eddy Mindanao yang terletak di
belahan bumi utara sekitar 7° LU dan 128° BT bergerak berlawanan arah jarum
jam dan menyebabkan upwelling. Sebaliknya, Eddy Halmahera yang juga terletak
di belahan bumi utara sekitar 4° LU dan 130° BT dan bergerak searah jarum jam
menyebabkan downwelling.
Godfrey pada tahun 2001 menemukan bahwa ARLINDO yang keluar ke
Samudera Hindia melalui Selat Lombok akan bergabung dengan arus kuat yang
mengalir ke arah barat. Beberapa arus eddy kemudian terbentuk sepanjang arus
ini. Arus eddy tersebut tidak terlihat melalui visualisasi SPL, tetapi jelas tampak
dari data tinggi paras laut satelit altimetri (Gambar 2).
Longitude
Gambar 2. Peta tinggi paras laut menunjukkan arus eddy di selatan Indonesia
(Wijffells dalam Godfrey 2001)
1.6
Hipotesis
Berdasarkan kerangka penelitian diatas, maka dapat ditarik hipotesis
bahwa arus eddy dengan arah putaran searah jarum jam (clockwise) terbentuk di
perairan selatan Jawa-Bali sekitar bulan Januari-Juli. Arus eddy yang bergerak
searah jarum jam menyebabkan fenomena upwelling ditandai dengan tinggi paras
laut pusatnya lebih rendah, kandungan klorofil-a yang tinggi dan SPL rendah.
Download