SISTEM PENILAIAN HASIL BELAJAR SENI RUPA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Oleh: Tri Hartiti Retnowati M.Pd Makalah disampaikan pada Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Berbasis Kompetensi Bagi Guru Kesenian SMP Se-Kabupaten Sleman Yogyakarta dalam rangka Pengabdian Masyarakat JURUSAN PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2005 SISTEM PENILAIAN HASIL BELAJAR SENI RUPA (Berdasar Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk SMP) A. Penilaian Hasil Belajar Penilaian merupakan komponen yang penting dalam suatu sistem pendidikan. Penilaian hasil belajar merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran, bahkan merupakan hal yang vital dalam sistem pendidikan dan pengajaran di lembaga pendidikan formal. Dengan adanya hasil penilaian akan dapat diketahui kemajuan dan perkembangan pendidikan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, melalui penilaian yang dilakukan oleh guru, guru akan mengetahui tingkat keberhasilan dari program pembelajaran yang direncanakannya dan mengetahui pula tingkat efisiensi dari pelaksanaan programnya Dalam hal ini efisiensi yang dimaksud akan dikaitkan dengan ketepatan dalam memilih pendekatan, strategi, metode, dan media yang pakai. (Depdikbud, 1997). Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan (KTSP, 2007). Sedangkan menurut Madaus penilaian adalah kegiatan yang dirancang untuk menunjukkan apa yang diketahui dan yang dapat dilakukan seseorang (Madaus & Kellaghan, 1998). Fokus penilaian adalah pencapaian standar kompetensi tiap individu atau peserta didik, sedangkan fokus evaluasi adalah program, kelompok atau kelas. Hasil penilaian dan evaluasi dapat digunakan untuk memperbaiki atau menyempurnakan strategi pembelajaran. Dalam standar Standar Penilaian Pendidikan (BSNP, 12), penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut: 1. menginformaskan silabus mata pelajaran yang di dalamnya memuat rancangan dan kriteria penialain pada awal semester. 2. mengembangkan indicator pencapaian KD dan memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran. 3. mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih. 4. melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/ atau bentuk lain yang diperlukan. 5. mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan belajar peserta didik 6. megembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik disertai balikan/komentar yang mendidik 7. memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran. 8. melaporkan hasil penilaian mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada pimpinan satuan pendidikan dalam bentuk satu nilai prestasi belajar peserta didik disertai deskripsi singkat sebagai cerminan kompetensi utuh. Untuk memperoleh informasi yang digunakan menilai hasil belajar dilakukan pengukuran. Dilihat dari jenisnya pengukuran ada yang melalui tes dan ada pula yang melalui nontes. Pengukuran melalui tes dibedakan menjadi tes verbal, termasuk di dalamnya adalah tes lesan dan tes tertulis, dan tes nonverbal atau tes perbuatan. Tes verbal dipakai untuk mengukur aspek kognitif dan aspek afektif dalam pengertian sikap. Untuk tes tertulis dikenal ada 3 jenis, yaitu (a) obyektif sederhana berupa jawaban singkat, benar-salah, dan menjodohkan, (b) obyektif pilihan ganda dengan alternatif lebih dari 2 pilihan jawaban, dan (c) essai atau uraian (Gronlund, 1977; Gronlund, 1981). Untuk mengukur sikap dikenal ada berbagai bentuk alat pengukur skala sikap seperti skala Likert, skala Thurstone, dan skala perbedaan semantik (Masri. Singarimbun dan Sofian Effendi, 1982; Eiss dan harbeck, 1969). Untuk mengukur kemampuan psikomotor melalui tes perbuatan dilakukan dengan (a) paper-and-pencil test, (b) uji identifikasi (identification test), (c) simulasi, dan (d) contoh kerja (work sample) (Lunneta dkk, 1981). B. Performance assessment Selanjutnya dalam kurikulum KTSP dikenal dengan teknik/cara penilaian sebagai berikut: unjuk kerja (performance), penugasan (proyek/project), hasil kerja (produk/product), tertulis (paper & pen), portofolio, sikap, penilaian diri (self Assesment). Dengan demikian penilaian hasil belajar seni rupa yang tepat adalah dengan performance assessment. Prestasi yang dicapai adalah prestasi yang diwujudkan dalam bentuk penanmpilan kinerja atau hasil karya, dan hanya akan tepat jika dinilai melalui asesmen dalam bentuk performance assessment. Performance assessment merupakan penilaian yang dilakukan melalui penyajian atau penampilan oleh peserta didik dalam bentuk pengerjaan tugas-tugas atau berbagai aktivitas tertentu, yang secara langsung mempunyai makna pendidikan. Performance assessment bertujuan untuk mengetahui seberapa baik subyek belajar telah mampu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan sasaran pembelajaran yang telah ditentukan dan berfokus pada penilaian secara langsung yakni dalam arti langsung dari kinerja atau apa yang ditampilkan oleh peserta didik, berlangsung kontinyu, dengan mengkaitkannya dengan berbagai permasalahan nyata yang dihadapi peserta didik. Menurut Griffin dan Nix (1991), tugas/kegiatan yang sesuai dengan asesmen adalah tugas/kegiatan yang hendaknya 1. menuntut peserta didik menggunakan pengetahuannya untuk mengerjakan tugas/kegiatan tersebut menjadi tugas yang benar-benar bermakna; 2. merupakan gabungan antara aspek pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan, dan menuntut para peserta didik untuk mengkobinasikan aspek-aspek tersebut dalam menyelesaikannya; 3. menuntut respons, tampilan atau produk yang akurat, cermat dan lengkap; 4. mempunyai standar dan kriteria yang spesifik dan jelas/tegas untuk memberikan penilaian atas berbagai jawaban, tampilan, atau produk yang dihasilkan; 5. menjadi contoh bagi peserta didik untuk menemukan cara mengkombinasikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuannya dalam dunia nyata; 6. mampu menunjukkan berbagai tantangan yang dihadapi dalam kehidupan nyata. Menurut Marsh (1996) jenis tugas/kegiatan yang sesuai dengan asesmen diantaranya yaitu portofolio, menulis jurnal/paper, simulasi, desain dan presentasi, observasi kritis, proyek individu dan kelompok, studi lapangan, pemecahan masalah, membuat peta konsep dan sebagainya. Menurut Marzano dkk (1993) performance assssment atau authentic assessment mengandung tiga unsur inovasi dalam bidang penilaian. Pertama, tidak mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran yang tradisional, tetapi lebih menekankan pada kemampuan nyata subyek belajar. Kedua, bersifat menyeluruh, mengembangkan seluruh kemampuan subyek belajar melalui kegiatan pembelajaran menurut paham konstruktivisme. Ketiga, tidak menggunakan sistem tes tradisional tetapi menggunakan berbagai cara. Sistem tes tradisional cenderung hanya mengukur ingatan, dan menurut Gronlund (1998) antara 80 % sampai 90% guru melakukan hal tersebut. Gronlund (1998) menambahkan perihal kelebihan performance assessment. Melalui performance assessment yang diperluas (extended performance assessment) guru dapat mengetahui berbagai kemampuan yang lebih kompleks yang dicapai siswa yang tidak dapat diukur dengan menggunakan tes tertulis dalam bentuk uraian saja. Dengan demikian performance assessment adalah suatu cara yang tepat untuk melihat proses kemajuan peserta didik dari waktu ke waktu, dan memberikan masukan kepada orang tua murid, serta membantu dalam proses manajemen kelas. Dalam pemilihan metode pengukuran Assesment dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kategori yang sudah terstandarisasi, dan dapat digunakan untuk membandingkan anak dengan perkembangan normal dengan anak lain. Sedangkan untuk kategori yang kedua adalah kategori yang berisi metode yang informal, salah satunya adalah observasi. Untuk metode ini, tidak ada standar atau norma yang baku. Sehingga untuk melakukannya harus orang yang memiliki keahlian, serta sudah terlatih untuk ini. Hal yang sama berlaku pula untuk kategori yang pertama. Akan tetapi ada kekurangan untuk kategori yang pertama, yaitu adanya culture bias dimana untuk tes yang sifatnya adaptasi, ada beberapa norma yang belum tentu cocok diterapkan dalam budaya lain. C. Penerapan Performance assessment dalam Penilaian Seni Rupa Pada dasarnya pendidikan seni disekolah diarahkan untuk menumbuhkan kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap kritis, apresiasif dan kreatif pada diri peserta didik secara menyeluruh. Sikap ini akan tumbuh, apabila dilakukan serangkaian proses kegiatan pada peserta didik yang meliputi kegiatan pengamatan, penilaian, dan pertumbuhan rasa memiliki melalui keterlibatan peserta didik dalam segala aktivitas seni di dalam kelas dan atau di luar kelas. Dengan demikian pendidikan seni melibatkan semua bentuk kegiatan berupa aktivitas fisik dan cita rasa keindahan yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berapresiasi dan berkreasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan peran (seni rupa,musik, tari, dan teater). Masing-masing mencakup materi sesuai dengan bidang seni dan aktivitas dalam gagasan-gagasan seni, keterampilan berkarya seni serta berapresiasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat.(Diknas, 2004:3). Sedangkan fungsi dan tujuan pendidikan seni adalah menumbuhkan sikap toleransi, demokrasi, dan beradab, serta mampu hidup rukun dalam masyarakat majemuk, mengembangkan kemampuan imajinatif intelektual, ekspresi melalui seni, mengembangkan kepekaan rasa, ketrampilan, serta mampu menerapkan teknologi dalam berkreasi dan dalam memamerkan dan mempergelarkan karya seni. Sedangkan pada pengorganisasian materi pendidikan seni menggunakan pendekatan terpadu, yang penyusunan kompetensi dasarnya dirancang secara sistemik berdasarkan keseimbangan antara kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terjabarkan dalam aspek apresiasi, dan produksi. Dalam PP 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 64 ayat (5) tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik sebagai berikut: Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika (seni rupa termasuk di dalamnya) dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotor peserta didik. Selanjutnya pada Bab IV: Standar Proses Pasal 22 dijelaskan sebagai berikut: (1) Penilaian hasil pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai. (2) Teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau kelompok. (3) Untuk mata pelajaran selain kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, teknik penilaian observasi secara individual sekurang-kurangnya dilaksanakan satu kali dalam satu semester. Berikut ini prinsip penilaian karya senirupa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, yang mengacu pada Peraturan Menteri No 20 tahun 2007: a. Sahih, berarti penilaian seni rupa didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur. b. Objektif, berarti penilaian seni rupa didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai. c. Adil, berarti penilaian seni rupa tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender. d. Terpadu, berarti penilaian seni rupa oleh pendidik seni rupa merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. e. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan, antara lain peserta didik. f. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik. g. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku. h. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapain kompetensi yang ditetapkan. i. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari teknik, prosedur, maupun hasil. Penilaian karya seni rupa peserta didik tentunya tidak tepat kalau hanya dilihat dari hasil karya saja, tetapi akan lebih lengkap dan baik bila dilengkapi dengan penilaian proses peserta didik pada waktu membuat karya tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Zainul (2005: 4), yang menyatakan bahwa asesmen kinerja secara sederhana didefinisikan sebagai penilaian terhadap proses perolehan, penerapan, pengetahuan dan ketrampilan, melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan peserta didik dalam proses dan produk. Dengan demikian sistem penilaian seni rupa di sekolah meliputi aspek apresiasi dan kreasi. Untuk aspek apresiasi menitik beratkan pada kognitif dan aspek kreasi penitik beratkan pada psikomotor. Namun demikian kedua aspek tersebut secara seimbang menjabarkan pada ketiga domain kemampuan yaitu, kognitif afektif dan psikomotor. D. Penutup Karya seni rupa tentunya tidak relevan diukur dengan alat tes saja yang hanya mengukur aspek kognitif, sedangkan penampilan peserta didik dalam aspek afektif dan psikomotor sangat sulit datanya diukur melalui tes. Tingkah laku peserta didik di luar situasi tes lebih menunjukkan penampilan yang wajar dan non artificial dalam mengaplikasikan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor yang banyak diantaranya tidak dapat terjaring oleh tes. Apalagi bila dikaitkan tujuan pendidikan seni rupa adalah membina kemampuan peserta didik ber- self expression secara kreatif-estetik lewat penggunaan media seni rupa. Dengan demikian untuk menilai karya seni lukis peserta didik diperlukan tidak hanya dari segi hasil saja tetapi juga proses pembuatan karya tersebut. PUSTAKA Asmawi, Zainul. (2005). Alternative Assesment . Jakarta: Universitas Terbuka. Assessment Performance (1983) APU: “ Aesthetic Development”, Crown. BSNP. (2006). Standar Nasional Pendidikan. (Jakarta): BSNP. Gronlund, N. E. (1998). Measurement and evaluation in teaching. New York: Macmillan Publishing Company. Dibawah ini tdk ada hubungannya dengan yang diatas CONTOH PEMETAAN STANDAR KOMPETENSI, KOMPETENSI DASAR, INDIKATOR, DAN ASPEK PENILAIAN Mata Pelajara Kelas Semester Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 1. Mengapresisi Karya Seni Rupa 1.1 Mengidentifikasi jenis karya seni rupa terapan daerah setempat 1.2 Menampilakan sikap apresiatip terhadap keunikan gagasan, teknik karya seni rupa terapan daerah setempat Indikator √ √ √ √ √ Mendiskripsikan beragam fungsi, bentuk dan makna pada keunikan karya seni rupa terapan daerah setempat √ √ Membuat tanggapan tertulis tentang keunikan karya seni rupa daerah setempat √ Membuat sketsa gambar benda silindris dan kubistis √ Mendiskripsikan jenis, bentuk, teknik pembuatan, fungsi dan makna karya seni rupa terapan 2.1 Menggambar bentuk dengan obyek karya seni Teknik Penilaian 1 Mengidentifikasi karya seni rupa terapan daerah setempat Aspek Apresiasi 2.Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa : Seni Budaya (Seni Rupa) : VII : 1 (Satu) Kreasi 2 3 4 5 √ √ √ √ √ 6 7 8 9 rupa terapan tiga dimensi dari daerah setempat 2.2 Merancang karya seni kriya dengan memanfataakan teknik dan corak daerah setempat 2.3 Membuat karya seni kriya dengan memanfaatkan teknik dan corak daerah setempat Membuat gambar kubistis dan silindris dari karya seni rupa terapan daerah setempat sesuai kaidah gambar bentuk √ Membuat disain benda pakai dengan teknik dan corak daerah setempat Membuat disain benda hias dengan teknik dan corak daerah setempat Membuat benda pakai dengan memanfaatkan teknik dan corak seni rupa daerah setempat √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Membuat benda hias dengan memanfaatkan teknik dan corak seni rupa daerah setempat KETERANGAN : 1. TES TULIS 2. PROSES 3. PRODAK 4. TUGAS INDIVIDU/ KELOMPOK 5. TES LISAN 6. KLIPING 7. JURNAL 8. PENILAIAN DIRI 9. PENILAIAN ANTAR TEMAN √ √ √ Merupakan salah satu tugas tersulit pendidik seni rupa adalah penilaian produk seni rupa. Seorang pendidik seni rupa sebelum melakukan penilaian produk seni, tentunya harus menentukan terlebih dahulu atas dasar apa hal tersebut dapat dilakukan. Karena sebagian besar definisi seni yang telah ada mencakup seni sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri, maka seni pada akhirnya menjadi bernilai atau memiliki nilai intrinsik. Bila aktivitas seni dikendalikan dan menghasilkan produk yang memiliki suatu kegunaan spesifik, maka ia menjadi bernilai secara instrumental atau memiliki nilai ekstrinsik. Hal ini mungkin dapat lebih disederhanakan dengan mengatakan bahwa hal-hal yang bernilai secara instrinsik dinilai demi dirinya sendiri dan hal-hal yang bernilai ekstrinsik diapresiasi dan dinilai karena kebermanfaatannya. Akan menarik dan menguntungkan bila menguji penerapan nilai-nilai ini atas seni dengan lebih dekat, yang dicontohkan dengan analogi-analogi dari kehidupan sehari-hari. Disini akan ditemukan bahwa hal-hal keseharian tersebut memiliki kedua nilai, salah satu nilai, atau tidak memiliki nilai sama sekali. B. Penilaian Hasil Belajar Dibawah ini diolah lagi di atas (pendahuluan sdh siiip) a. Bab IV: Standart Proses Pasal 22 a. Penilaian hasil pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai. b. Teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau kelompok. c. Untuk mata pelajaran selain kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, teknik penilaian observasi secara individual sekurangkurangnya dilaksanakan satu kali dalam satu semester. Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Jakarta, 2005, hal 24. Dibawah ini cuplikan dari ceramah ttg pend seni mau dmn???? Pada dasarnya pendidikan seni disekolah diarahkan untuk menumbuhkan kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap kritis, apresiasif dan kreatif pada diri siswa secara menyeluruh. Sikap ini akan tumbuh, apabila dilakukan serangkaian proses kegiatan pada siswa yang meliputi kegiatan pengamatan, penilaian, dan pertumbuhan rasa memiliki melalui keterlibatan siswa dalam segala aktivitas seni di dalam kelas dan atau di luar kelas. Dengan demikian pendidikan seni melibatkan semua bentuk kegiatan berupa aktivitas fisik dan cita rasa keindahan yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berapresiasi dan berkreasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan peran (seni rupa,musik, tari, dan teater). Masing-masing mencakup materi sesuai dengan bidang seni dan aktivitas dalam gagasan-gagasan seni, keterampilan berkarya seni serta berapresiasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat.(Diknas, 2004:3). Sedangkan fungsi dan tujuan pendidikan seni adalah menumbuhkan sikap toleransi, demokrasi, dan beradab, serta mampu hidup rukun dalam masyarakat majemuk, mengembangkan kemampuan imajinatif intelektual, ekspresi melalui seni, mengembangkan kepekaan rasa, ketrampilan, serta mampu menerapkan teknologi dalam berkreasi dan dalam memamerkan dan mempergelarkan karya seni. Sedangkan pada pengorganisasian materi pendidikan seni menggunakan pendekatan terpadu, yang penyusunan kompetensi dasarnya dirancang secara sistemik berdasarkan keseimbangan antara kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terjabarkan dalam aspek-aspek konsepsi, apresiasi, dan produksi yang meliputi: Assesing Young Children : What’s Old, What’s New, and Where Are we Headed? Mengapa Asesment? Assesment adalah suatu cara yang bagus untuk melihat proses kemajuan murid dari waktu ke waktu, memberikan masukan kepada orang tua murid, serta memebantu dalam proses manajemen kelas. Yang sering terjadi adalah asessment digunakan untuk melihat kelakuan yang baik, tetapi diwujudkan dengan cara yang salah. Selain itu, alasan lainnya adalah untuk melihat kesiapan murid pra sekolah dan TK, pengembangan kurikulum, serta melihat keefektifitasan suatu program. Pemilihan Metode Pengukuran Assesment dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kategori yang sudah terstandarisasi, serta dapat digunakan untuk membandingkan anak dengan perkembangan normal dengan anak lain. Sedangkan untuk kategori yang kedua adalah kategori yang berisi metode yang informal, salah satunya adalah observasi. Untuk metode ini, tidak ada standar atau norma yang baku. Sehingga untuk melakukannya harus orang yang memiliki keahlian, serta sudah teraltih untuk ini. Hal yang sama berlaku pula untuk kategori yang pertama. Akan tetapi ada kekurangan untuk kategori yang pertama, yaitu adanya culture bias dimana untuk tes yang sifatnya adaptasi, ada beberapa norma yang belum tentu cocok diterapkan dalam budaya lain. Judul : Evaluation of the Art Product ( EVALUASI PRODUK SENI) Penulis : Edward C. Waterman Sumber : Edward C. Waterman.(1979). Art Education. April. P. 379-383 Ringkasan: Berbicara dalam pengertian estetika, salah satu tugas tersulit pendidik seni adalah evaluasi produk seni. Sebelum produk seni dapat dikritik atau dievaluasi, harus menentukan terlebih dahulu atas dasar apa hal tersebut dapat dilakukan. Karena sebagian besar definisi seni yang telah ada mencakup seni sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri, maka seni pada akhirnya menjadi bernilai atau memiliki nilai intrinsik. Bila aktivitas seni dikendalikan dan menghasilkan produk yang memiliki suatu kegunaan spesifik, maka ia menjadi bernilai secara instrumental atau memiliki nilai ekstrinsik. Hal ini mungkin dapat lebih disederhanakan dengan mengatakan bahwa hal-hal yang bernilai secara instrinsik dinilai demi dirinya sendiri dan hal-hal yang bernilai ekstrinsik diapresiasi dan dinilai karena kebermanfaatannya. Akan menarik dan menguntungkan bila menguji penerapan nilai-nilai ini atas seni dengan lebih dekat, yang dicontohkan dengan analogi-analogi dari kehidupan sehari-hari. Disini akan ditemukan bahwa hal-hal keseharian tersebut memiliki kedua nilai, salah satu nilai, atau tidak memiliki nilai sama sekali. INI sambungannya atau alinea lain Ketika seseorang memeriksa suatu karya seni, ia sedang menilai dan bukannya sedang mengukur. Pengukuran melibatkan standar komparatif, sementara penilaian tidak. Ini merupakan perberdaan mendasar antara hal-hal yang kuantitatif dan kualitatif. Nilai ekstrinsik suatu objek bisa dinilai (judged) dengan pengukuranpengukuran kuantitatif dengan standar yang eksplisit di dalam pikiran. Nilai intrinsik suatu objek bisa dinilai (judged) dengan kritik kualitatif atas kualitas objek sebagaimana dihubungkan dengan pengalaman yang terkendali. Dalam pengertian ini, standar-standar untuk mengukur dan menilai sering bercampur-baur. Dalam pengertian pengukuran kualitatif, tidak ada standar untuk kritik atau penilaian. Tetapi, untuk mencegah kita agar tidak terjerumus ke jurang kritik teoretis impresionistik, ada sejumlah kriteria untuk penilaian, yang dapat diterapkan pada seni, yang secara implisit maupun eksplisit terlihat di dalam kritik analitis dan dapat dirumuskan. Kriteria-kriteria adalah eksplorasi total atas media, penggunaan media yang unik (ketika kita membaca sebuah soneta kita tidak ingin menjadi berpikir seberapa baik hal yang sama bila diterapkan pada cat minyak), subordinasi ornamentasi di bawah bentuk, hubungan bentuk dengan bahan, dan sebagainya. Namun, kriteria ini tidak “memastikan semua” atau “mengobati semua” penciptaan produk seni yang sempurna. Kriteria tersebut dapat membantu kita untuk memahami seni sebagai perwujudan pengalaman, yang juga sama pentingnya. Dalam melakukan hal ini, kita menjadi lebih sadar tentang apa yang kita alami. Dan produk seni sebagai sebuah pengalaman memberikan pengalaman khusus dari dunia seni spesifik yang relevan dengan poduk seni ketika dialami. Di luar inteligensia, pengalaman adalah suatu kekacauan semichaotik; gerakan tanpa arah, isi tanpa bentuk, bunyi-bunyi yang tak terkendali, warna tanpa pikiran, dan sebagainya. Namun, seniman dan penonton, dalam berurusan dengan fragmen-fragmen pengalaman, mengintensifkan, mengklasifikasikan, dan menafsirkan pengalaman tersebut. Seni menyarankan tujuan ultimate semua pengalaman yang ditata, yang merupakan konsep manusia yang hidup dalam sebuah masyarakat yang tertib dan kreatif. Kriteria untuk pengalaman yang lebih tertata di dalam seni secara alamiah mendahului penilaian disipliner. Kriteria tidak mengakhiri proses kreatif karena kriteria bukanlah batasan-batasan; mereka lebih cenderung membuka lorong-lorong baru kepada pemahaman, imajinasi, dan pengalaman. Masalahnya bukan apa yang tidak bisa kita lakukan, melainkan, lewat pemahaman, apa yang bisa kita lakukan Dibawah ini dari makalah papa . Pendahuluan Kualitas hasil penelitian ditentukan oleh kualitas data yang dioleh menjadi informasi baik dengan statistik maupun secara kualitatif. Analisis data dengan statistik digunakan pada metode penelitian kuantitatif. Kualitas data dipengaruhi oleh kualitas instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data. Kualitas suatu instrumen dapat dilihat dari kesahihan, keandalan, praktis dan ekonomis. Sahih berarti alat ukur mengukur seperti yang direncanakan, sedang instrumen yang andal berarti mengandung kesalahan pengukuran yang kecil. Praktis dan ekonomis berarti alat ukur mudah digunakan dan beaya untuk membuat dan menggunakan alat ukur tersebut murah Instrumen yang digunakan harus memiliki bukti kesahihan (validity) dan keandalan (reliability). Bukti kesahihan meliputi kesahihan konstruk, kesahihan isi, dan kesahihan terkait kriteria. Bukti keandalan instrumen dilihat dari besarnya indeks keandakan instrumen. Oleh karena itu instrumen yang digunakan harus sahih, andal, praktis, dan ekonomis.. B. Pengukuran Ada empat istilah utama yang terkait dengan pengukuran, yaitu tes, . pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Pertama, tes adalah bagian yang paling sempit pengertiannya, yaitu suatu pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar dan salah. Kedua, Pengukuran menurut Guilford (1954) adalah penetapan angka terhadap suatu objek menurut aturan tertentu. Pengukuran juga didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis untuk memperoleh informasi dalam bentuk kuantitatif, yaitu berupa angka. Ketiga, penilaian adalah kegiatan menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran, atau kegiatan untuk menentukan tingkat keberhasilan belajar peserta. Keempat, evaluasi adalah judgment terhadap hasil penilaian atau implikasi hasil penilaian. Perbedaan penilaian dan evaluasi terletak pada fokusnya. Fokus penilaian adalah peserta didik atau individu, sedang fokus evaluasi adalah kelompok. Tes merupakan alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran, yaitu mengumpulkan informasi mengenai suatu objek. Objek ini bisa berupa pendidik atau siswa, misalnya kemampuan siswa, ketrampilan siswa, dan sebagainya. Iventory adalah suatu alat ukur untuk mengumpulkan informasi tentang sikap, minat, motivasi belajar, dan sebagainya. Oleh karena itu alat ukur yang digunakan untuk menjaring informasi bisa berupa tes dan nontes. Untuk memperoleh hasil pengukuran yang akurat perlu diketahui sumber kesalahan pengukuran. Sumber tersebut terletak pada alat ukur, cara mengukur, orang yang mengukur, orang yang diukur, dan lingkungan saat pengukuran. Kesalahan pengukuran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu yang bersifat acak dan yang bersifat sistematik. Kesalahan yang bersifat acak disebabkan pemilihan materi pengukuran yang acak, kondisi yang diukur dan yang mengukur juga bersifat acak, misalnya kondisi fisik dan mental, serta emosi seseorang yang berubah secra acak. Kesalahan sistimatik disebabkan materi pengukuran terlalu mudah atau terlalu sulit, atau bisa disebabkan oleh sifat pendidik dalam memberi nilai, ada yang murah dan ada yang hemat. Pada makalah akan dibahas secara singkat dan praktis tentang pengembangan instrumen untuk penelitian. Instrumen yang digunakan untuk penelitian bisa berupa tes atau nontes. Oleh karena itu berikut ini akan dibahas pengembangan instrumen baik tes maupun notes. Selanjutnya ditulis karakter seni rupa dengan pengertian evaluasi, pengukuran dan penilaian C. KAJIAN PUSTAKA 1. Evaluasi dalam Pendidikan Evaluasi atau penilaian merupakan bagian yang integral dari suatu sistem pendidikan. Suatu pogram pendidikan yang diimplementasikan tidak akan dapat diketahui keberhasilannya jika tidak disertai dengan kegiatan evaluasi. Jadi evaluasi merupakan kegiatan yang sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi pelaksanaan suatu program pendidikan. Penilaian terhadap tingkat efisiensi pelaksanaan suatu program diperlukan untuk program yang diulang-ulang pelksanannya. Evaluasi yang dilakukan diharapkan didasarkan atas informasi dan data yang diperoleh melalui pengukuran, sehingga hasil evaluasi dapat dijadikan pijakan untuk mengambil kebijakan atau keputusan dengan benar (Depdikbud, 1997). Kaufman dan Thomas (1980) menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses yang dilakukan untuk membantu keberadaan seseorang atau alat tertentu agar menjadi lebih baik dari keadaan yang sebelumnya. Dengan demikian data dan informasi yang diperoleh melalui penilaian akan dapat dipakai untuk memperbaiki kondisi yang ada. Sementara Stufflebeam (Silverius, 1991) menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses memperoleh, menggambarkan, dan menyajikan informasi yang berguna untuk memberikan penilaian pada alternatif pengambilan keputusan. Sementara Roestiyah (1982) menyatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya yang bersangkutan dengan kapabilitas siswa guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa yang mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar. Dalam rangka pengembangan sistem instruksional, evaluasi merupakan kegiatan untuk menilai seberapa jauh program telah berjalan seperti yang direrncanakan. Pendapat lain yaitu dari Ahmann dan Glock (1981) bahwa evaluasi pendidikan adalah suatu proses sistematis guna mendapatkan bukti-bukti yang jelas tentang efektifitas dari kegiatan pendidikan. Dikemukakan pula bahwa evaluasi dapat dilaksanakan selama berlangsungnya program dan pada akhir program. Gronlund dan Linn (1990) mengemukakan bahwa penilaian merupakan tindak lanjut dari pengukuran, dan penilaian dapat dilaksanakan pada awal program untuk tujuan penempatan, pada saat berlangsungnya program sebagai evaluasi formatif, dan pada akhir program sebagai evaluasi sumatif. Dalam modul Evaluasi Hasil Belajar untuk Program Akta mengajar-V (Depdikbud, 1985) dinyatakan bahwa penilaian adalah pembandingan hasil pengukuran dengan patokan yang ditetapkan, dan dilihat dari tujuannya dibedakan antara penilaian formatif yang dilaksanakan selama proses pembentukan kurikulum dan selama proses belajar mengajar, evaluasi diagnosis yang dipakai untuk mendiagnosis sebab musabab kesulitan belajar peserta didik, dan evaluasi sumatif yang dipakai untuk mengetahui efektifitas kegiatan belajar dari suatu program yang diselenggarakan. Penilaian program pendidikan dalam skala makro, yaitu dari tingkat pusat sampai tingkat sekolah lebih berkait dengan permasalahan mekanisme pengelolaan dan tidak langsung berkait dengan interaksi antara pendidik dan peserta didik. Dalam skala mikro, evaluasi berkait dengan program pembelajaran dirancang dan dilaksanakan oleh guru. (sudah masuk di atas)Dengan demikian, melalui penilaian yang dilakukan oleh guru, guru harus mengetahui tingkat keberhasilan dari program pembelajaran yang direncanakannya dan harus mengetahui pula tingkat efisiensi dari pelaksanaan programnya Dalam hal ini efisiensi yang dimaksud akan dikaitkan dengan ketepatan dalam memilih pendekatan, strategi, metode, dan media yang pakai. (Depdikbud, 1997). Pendapat lain yaitu dari Nana Syaodih Sukmadinata (1999) bahwa evaluasi merupakan moral judgement yang berkait dengan nilai. Hasil evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan pada tindakan selanjutnya. Evaluasi melibatkan dua tahapan yaitu tahap pengumpulan informasi dan data, dan tahap kedua adalah tahap pengambilan keputusan. Karena program pendidikan melibatkan banyak pihak, maka setiap pihak akan dapat mengambil keputusan berdasarkan hasil penilaian yang ada sesuai dengan posisinya. Murid mengambil posisinya sebagai murid, guru mengambil posisinya sebagai guru. Besar kecilnya pengambilan keputusan juga tidak dapat lepas dengan lingkup tanggung jawab yang diambilnya. 2. Tes Prestasi hasil Belajar Untuk memperoleh data dan informasi yang digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar dilakukan pengukuran. Dilihat dari jenisnya pengukuran ada yang melalui tes dan ada pula yang melalui nontes. Pengukuran melalui tes dibedakan menjadi tes verbal, termasuk di dalamnya adalah tes lesan dan tes tertulis, dan tes nonverbal atau tes perbuatan. Tes verbal dipakai untuk mengukur aspek kognitif dan aspek afektif dalam pengertian sikap. Untuk tes tertulis dikenal ada 3 jenis, yaitu (a) obyektif sederhana berupa jawaban singkat, benar-salah, dan menjodohkan, (b) obyektif pilihan ganda dengan alternatif lebih dari 2 pilihan jawaban, dan (c) essai atau uraian (Gronlund, 1977; Gronlund, 1981). Untuk mengukur sikap dikenal ada berbagai bentuk alat pengukur skala sikap seperti skala Likert, skala Thurstone, dan skala perbedaan semantik (Masri. Singarimbun dan Sofian Effendi, 1982; Eiss dan harbeck, 1969). Untuk mengukur kemampuan psikomotor melalui tes perbuatan dilakukan dengan (a) paper-and-pencil test, (b) uji identifikasi (identification test), (c) simulasi, dan (d) contoh kerja (work sample) (Lunneta dkk, 1981). Kemampuan menguasai prosedur menurut Simpson (Lunneta dkk, 1981) dimasukkan ke dalam salah satu aspek psikomotor. Oleh karena itu untuk mengetahui penguasaan peserta didik terhadap suatu prosedur dapat dilakukan melalui tes verbal. Tes tertulis bentuk obyektif memiliki kelebihan dari segi kemampuan memenuhi keterwakilan bahan yang diujikan, netralitas pada saat dilakukan koreksi, juga lebih cepat dan lebih mudah dalam pemberian skornya, serta lebih mudah untuk memenuhi kesahihan dan kehandalannya. Namun demikian tes obyektif tidak dapat dipakai untuk jenjang sintesis ataupun evaluasi yang sifatnya kompleks Sementara bentuk uraian kelebihan mampu dipakai untuk mengukur jenjang sintesis dan evaluasi kompleks tetapi dari tidak mampu memenuhi keterwakilan bahan yang diujikan dan netralitas pada saat dilakukan koreksi, juga lebih lambat dan lebih sukar dalam pemberian skornya, serta lebih sukar dipenuhi kesahihan dan kehandalannya (Gronlund dan Linn, 1990). 3. Sistem Evaluasi dalam Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah Untuk mengimplementasikan Kurikulum 1994, di dalam buku Pedoman proses Belajar mengajar (Depdikbud, 1994) dan Petunjuk Teknis Mata Pelajaran IPA untuk SLTP (Depdikbud, 1995) maupun Biologi untuk SMU (Depdikbud, 1995) telah dikemukakan secara detail tentang pengertian garis-garis besar program pengajaran (GBPP) dan komponen-komponennya, juga prinsip-prinsip pembelajaran baik menyangkut pendekatan, metode, pengelolaan kelas, pengelolaan laboratorium, dan penilaiannya. Selain itu, dumuat tentang perencanaan pembelajaran yang memberikan arahan tentang cara membuat persiapan mengajar beserta contohcontohnya juga model-model pelaksanaan pembelajaran yang memberikan wawasan kepada guru tentang pelaksanaan pembelajaran yang baik. Dengan adanya Petunjuk Teknis Mata Pelajaran diharapkan guru dapat mengimplementasikan Kurikulum 1994 dengan baik. Dalam upaya untuk mendukung implementasi Kurikulum 1994, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Mengengah Depdikbud juga telah mengeluarkan buku tentang Petunjuk Pelaksanaan Penilaian. Hal-hal yang mendasar tentang penilaian yang ditulis dalam buku tersebut antara lain bahwa penilaian harus memperhatikan seluruh aspek pada diri siswa. Sementara itu, alat penilaian yang dipakai diharapkan dapat memakai tes tertulis, tes lesan, dan tes perbuatan, sedangkan untuk memperoleh gambaran tentang minat, sikap dan kepribadian dapat memakai pengamatan, skala sikap, dan angket (Depdikbud, 1995). Pada kenyataannya, Kurikulum Pendidikan dan Pendidikan Menengah juga memiliki mata pelajaran-mata pelajaran yang memang secara teoretik diharapkan mampu mengembangkan kemampuan psikomotor, misalnya mata pelajaran yang tergolong dalam IPA, baik Fisika, Kimia maupun Biologi. Ada mata pelajaran yang benar-benar memiliki bobot yang besar dalam mengembangkan aspek fisikomotor seperti mata pelajaran Olah Raga dan Kesehatan. Ada mata pelajaran yang diharapkan memiliki bobot yang besar untuk mengembangkan sikap, baik sikap yang bersifat universal seperti Pendidikan Agama, maupun sikap yang berkait dengan sikap nasionalisme dan kebangsaan seperti mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN). Bahkan, dalam perkembangannya banyak yang mengusulkan bahwa mata pelajaran Budi Pekerti harus masuk dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam Buku Petunjuk Teknis Mata Pelajaran, IPA sebagai bahan ajar, termasuk di dalamnya Biologi, Fisika dan Kimia, terdiri dari produk yang terdiri atas fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum; serta proses IPA yang meliputi keterampilan-keterampilan mengamati (menggunakan sebanyak mungkin penca indera, mengumpulkan fakta yang relevan, mencari kesamaan dan perbedaan, mengklasifikasikan), menafsirkan hasil pengamatan (mencatat secara terpisah setiap jenis pengamatan, menghubung-hubungkan hasil pengamatan, menemukan suatu pola dalam seri pengamatan, menarik kesimpulan hasil pengamatan), meramalkan apa yang akan terjadi berdasarkan hasil-hasil pengamatan, menggunakan alat/bahan dan mengapa alat/bahan itu digunakan, menerapkan konsep (penerapan konsep dalam situasi baru, menggunakan konsep dalam pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, menyusun hipotesis), merencanakan kegiatan (menentukan alat bahan yang akan digunakan, menentukan variabel, menentukan variabel tetap/bebas dan variabel berubah/tergayut, menentukan apa yang diukur dan diamati, menentukan cara dan langkah kerja, menentukan bagaimana cara mengorganisasi baik dalam bentuk grafik, tabel atau yang lainnya serta bagaimana cara mengolah hasil-hasil pengamatan), berkomunikasi (menyusun laporan secara sistematis, menjelaskan hasil percobaan atau pengamatan, mendiskusikan hasil percobaan, cara membaca grafik atau tabel) serta kemampuan mengajukan pertanyaan (bertanya apa, mengapa dan bagaimana, bertanya untuk meminta penjelasan, serta mengajukan pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis). Dalam buku Petunjuk Teknis Mata Pelajaran tersebut juga dijelaskan pula bahwa aspek dalam mata pelajaran IPA yang dinilai mencakup aspek kognitif, juga aspek-aspek dalam sikap ilmiah dan nilai-nilai IPA seperti ketelitian, kecermatan, kejujuran, penghargaan terhadap pendapat orang lain, kemauan menerima saran, kreativitas, imajinasi dan tanggung jawab. Selain itu, penilaian diharapkan mendasarkan pada pengenalan secara individual kepada setiap subyek belajar agar dapat dibandingkan satu dengan yang lainnya. Dari uraian di atas, maka penilaian yang holistik terhadap prestasi hasil belajar siswa memang memerlukan berbagai teknik dan harus mampu mencerminkan keseluruhan aspek yang dikembangkan yang menjadi tujuan pembelajaran. 4. Tindak Lanjut Hasil Evaluasi Dalam hal penyelenggaraan program perbaikan, perihal bagaimana cara menganalisis hasil ulangan sebagai salah satu langkah untuk mengetahui jenis kegagalan, cara mengungkap latar belakang penyebab kegagalan disajikan pada buku tentang Pedoman Analisis Hasil Evaluasi Belajar (Depdikbud, 1994), meskipun masih ada kelemahan yaitu baru sebatas untuk menyelidiki kegagalan secara umum dan belum untuk mengetahui subkonsep mana saja yang gagal dikuasai siswa. Berbagai metode untuk mengetahui jenis kegagalan serta metode untuk mengatasinya melalui program perbaikan, sudah diuraikan secara detail dalam buku Pedoman program Perbaikan dan Pengayaan (Depdikbud, 1994). Dalam hal ini, guru terlebih dahulu harus mengungkap apa sebenarnya yang menjadi penyebab faktor kegagalan, sehingga dapat mengambil langkah yang tepat untuk mengatasinya. Guru juga harus menawarkan berbagai alternatif kepada siswa agar dirinya dapat berhasil dalam memperbaiki diri. 5. Asesmen Sebagai Salah Satu Model Evaluasi Penilaian yang hanya didasarkan pada hasil tes tertulis akan mengalami banyak kelemahan. Sistem evaluasi yang dituntut di dalam Kurikulum 1994 sebenarnya juga tidak mengharapkan hanya mengandalkan hasil tes tertulis. Penilaian terhadap tugas-tugas yang diberikan harus menjadi bagian dari penilaian. Penilaian yang hanya mengandalkan hasil ulangan baik ulangan harian, ulangan catur wulan, ulangan kenaikan kelas, maupun Ebtanas juga hanya mengandalkan pada tes tertulis. Alat penilaian ini dipandang mengandung banyak kelemahan. Utamanya karena hanya mengukur sebagian kecil saja dari aspek (domain) prestasi yang dicapai oleh peserta didik. Aspek/domain yang lebih banyak diukur adalah aspek kognitif. Kenyataan di lapangan juga hanya mengukur jenjang yang rendah saja (knowledge dan comprehension). Akibatnya, hasil yang terukur kurang mencerminkan pencapaian hasil belajar yang sesungguhnya. Kegiatan penilaian yang berkait dengan prestasi dalam aspek psikomotor baik dalam bentuk aktivitas verbal seperti kemampuan berbicara menyampaikan pendapat/berargumerntasi, bertanya, berdiskusi, ataupun yang berkait dengan kegiatan menulis seperti mengarang, membuat desain percobaan, membuat puisi, serta kemampuan yang berkait dengan keterampilan dalam mempergunakan peralatan termasuk kegiatan menggunakan peralatan laboratorium, memang tidak akan dapat dinilai hanya dengan mengandalkan data yang dihimpun dari tes tertulis. Prestasi yang dicapai adalah prestasi yang diujudkan dalam bentuk penanmpilan kinerja atau hasil kerja, dan hanya akan tepat jika dinilai melalui asesmen dalam bentuk performance assessment atau authentic assessment. Performance assessment merupakan penilaian yang dilakukan melalui penyajian atau penampilan oleh peserta didik dalam bentuk pengerjaan tugas-tugas atau berbagai aktivitas tertentu, yang secara langsung mempunyai makna pendidikan. Performance assessment yang bertujuan untuk mengetahui seberapa baik subyek belajar telah mampu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan sasaran pembelajaran yang telah ditentukan dan berfokus pada penilaian secara langsung yakni dalam arti langsung dari kinerja atau apa yang ditampilkan oleh peserta didik, berlangsung kontinyu, dengan mengkaitkannya dengan berbagai permasalahan nyata yang dihadapi peserta didik. Menurut Griffin dan Nix (1991), tugas/kegiatan yang sesuai dengan asesmen adalah tugas/kegiatan yang hendaknya 1. menuntut peserta didik menggunakan pengetahuannya untuk mengerjakan tugas/kegiatan tersebut menjadi tugas yang benar-benar bermakna; 2. merupakan gabungan antara aspek pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan, dan menuntut para peserta didik untuk mengkobinasikan aspek-aspek tersebut dalam menyelesaikannya; 3. menuntut respons, tampilan atau produk yang akurat, cermat dan lengkap; 4. mempunyai standar dan kriteria yang spesifik dan jelas/tegas untuk memberikan penilaian atas berbagai jawaban, tampilan, atau produk yang dihasilkan; 5. menjadi contoh bagi peserta didik untuk menemukan cara mengkombinasikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuannya dalam dunia nyata; 6. mampu menunjukkan berbagai tantangan yang dihadapi dalam kehidupan nyata. Menurut Marsh (1996) jenis tugas/kegiatan yang sesuai dengan asesmen diantaranya yaitu portofolio, menulis jurnal/paper, simulasi, desain dan presentasi, observasi kritis, proyek individu dan kelompok, studi lapangan, pemecahan masalah, membuat peta konsep dan sebagainya. Menurut Marzano dkk (1993) performance assssment atau authentic assessment mengandung tiga unsur inovasi dalam bidang penilaian. Pertama, tidak mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran yang tradisional, tetapi lebih menekankan pada kemampuan nyata subyek belajar. Kedua, bersifat menyeluruh, mengembangkan seluruh kemampuan subyek belajar melalui kegiatan pembelajaran menurut paham konstruktivisme. Ketiga, tidak menggunakan sistem tes tradisional tetapi menggunakan berbagai cara. Sistem tes tradisional cenderung hanya mengukur ingatan, dan menurut Gronlund (1998) antara 80 % sampai 90% guru melakukan hal tersebut. Gronlund (1998) menambahkan perihal kelebihan performance assessment. Melalui performance assessment yang diperluas (extended performance assessment) guru dapat mengetahui berbagai kemampuan yang lebih kompleks yang dicapai siswa yang tidak dapat diukur dengan menggunakan tes tertulis dalam bentuk uraian sekalipun. Untuk mengetahui prestasi dalam bidang matematika misalnya, melalui paper-and-pencil test sebagai salah satu bentuk tes perbuatan dapat dipakai untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memilih diantara fakta-fakta yang tersedia untuk memecahkan permasalahan matematika yang dihadapi. Demikian pula dalam bidang IPA, melalui paper-and-pencil test dapat dipakai untuk mengetahui kemampuan testi dalam memilih prosedur untuk memecahkan permasalahan. Namun demikian dalam beberapa hal guru dapat mengkombinasikan tes perbuatan dengan tes tertulis. Menurut Gronlund, melalui performance essessment jakan dapat diketahui penampilan yang aktual dari siswa dalam menguasai keterampilan yang telah dipelajarinya seperti kemampuan memakai peralatan laboratorium, kemampuan melaksanakan eksperimen, kemampuan menjalankan mesin, dan sebagainya. Sementara istilah authentic assessment dipakai untuk suatu performance assessment yang difokuskan pada aplikasi atau dari pengetahuan yang dikuasai siswa atau untuk mengetahui keterampilan siswa untuk memecahkan problemproblem yang dihadapi dalam dunia nyata. Menurut Newman dan Wehlage (1993) authentic assessment adalah proses pengumpulan data dimana mahasiswa memahami dan menghasilkan pengetahuan yang berarti/bermakna. Authentic assessment disebut juga performance assessment karena didasarkan atas apa yang dapat dilakukan oleh subyek belajar. Marzano dkk. (1993) mengidentifikasi kegiatan authentic assessment sebagai berikut: 1. Peserta didik diberi kesempatan untuk mendemonstrasikan kebolehannya, pema-hamannya, keterampilannya secara kontekstual dan variatif. 2. Dilakukan secara kontinyu dan terstruktur menurut tujuan instruksional 3. Menghasilkan karya nyata (tangible product) dan penampilan yang dapat diamati (observable performance). 4. Memacu peserta didik untuk melakukan penilaian diri (self-assessment), menyadari kelebihan dan kelemahannya dan mampu mengembangkan kelebihannya tersebut dan memperbaiki kelemahannya. 5. Mengungkap kemampuan peserta didik berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. O’Neil (1992) menambahkan bahwa Authentic Assessment memberi data yang lebih lengkap tentang kemampuan peserta didik dan didasarkan atas kegiatan pembelajaran, menghargai produk dan proses sama baiknya Authentic assessment identik pula dengan outcomes-based education seperti yang diungkap oleh Spady (1993). Menurut Spady, Program Studi atau sekolah harus memiliki standar lulusan. Suatu program Studi atau sekolah mestinya telah mengembangkan standar kemampuan atau kapasitas lulusannya sebagaimana stanfar yang ditetapkan oleh lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian maka setiap mata pelajaran yang diselenggarakan memberi kontribusi dalam upaya untuk mengembangkan kemampuan peserta didik menuju standar yang telah ditetapkan. Fungsi authentic asessment ialah untuk melacak kemampuan standar mana yang telah dikuasai peserta didik dan kemampuan mana yang belum dikuasai peserta didik. Dengan demikian maka kualitas lulusan akan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Tugas-tugas peserta didik yang dikembangkan melalui authentic asessment bervariasi namum tidak terlepas dari tiga prinsip dasar. Pertama, tugas-tugas tersebut sangat berarti bagi peserta didik (meaningful). Kedua, senantiasa disertai dengan kriteria penilaian. Dan ketiga didasarkan atas apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik (Marsh, 1996). Adapun bentuk tugas-tugas tersebut meliputi: (a) portfolio, (b) pembuatan jurnal/paper/karangan, (c) simulasi, (d) membuat desain dan presentasi, (e) observasi kritis, (f) mengerjakan proyek individu dan kelompok, (g) melaporkan hasil studi lapangan, (h) melakukan kegiatan pemecahan masalah, (i) membuat peta konsep, dan sebagainya Dari hasil penelitian yang telah diselenggarakan seperti yang dilaporkan oleh Swanson dkk. (1995), menunjukkan bahwa selain ada kelebihan juga ada kendala dalam menyelenggarakan authentic assessment seperti (a) sukarnya membuat desain tes penampilan (performance), karena ternyata tidak lebih sederhana, (b) serealistik apapun hasil penampilan sifatnya tetap berupa simulasi, (c) sulitnya memberikan skor yang obyektif terhadap kinerja yang ditampilkan, (d) hasil penilaian pada suatu konteks berbeda dengan konteks yang lainnya sehingga terkesan tidak predictable, (e) hasil penilaian kinerja satu aspek tidak mesti berkorelasi dengan hasil kionerja pada aspek yang lain, (f) penilaian terhadap kinerja yang memang selalu cenderung bersifat komplek cenderung tidak mudah sehingga hasil tes tulis masih tetap diperlukan untuk mempoerkuat hasil penilaian. Penelitian Bambang Subali dkk (2000) yang mencoba menerapkan authentic assessment di FMIPA UNY yaitu pada mata kuliah Penilaian pencapaian Hasil Belajar Biologi pada program Strata-1 Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Biologi, menunjukkan bahwa dengan jumlah mahasiswa sebanyak 47 orang, penilaian terhadap kegiatan yang sifatnya mengarah kepada kinerja individual dalam bentuk kerja kelompok menjadi sukar dilaksanakan. Kepasifan mahasiswa serta ketidak siapan mahasiswa untuk menghadapi suatu tugas yang sifatnya berupa kegiatan lapangan yang harus terjun langsung ke sekolah untuk memperoleh data menjadi hambatan penerapan authentic assessment. 6. Realita Penyelenggaraan Evaluasi di Lapangan Meskipun secara teoretik penyelenggaraan sistem evaluasi beserta teknik evaluasi, termasuk program perbaikannya, yang digariskan dalam Kurikulum 1994 sudah cukup lengkap. Namun demikian, banyak kendala yang ditemukan di lapangan. Salah satu alasan yang mengemuka yang selalu terungkap melalui berbagai penelitian misalnya banyak guru yang memiliki beban tugas lebih dari yang diwajibkan sebanyak 18 jam per minggu. Bahkan akhir-akhir ini seperti yang diberitakan di media masa, Kanwil Depdiknas DKI Jaya menegaskan bahwa beban mengajar harus 24 jam. Banyak sekolah yang belum memiliki laboratorium yang memadai, misal di SMU masih berupa laboratorium IPA (satu lab dipakai untuk Fisika, Kimia dan Biologi), itupun umumnya hanya ada satu ruang. Akibatnya kegiatan praktikum dilaksanakan secara terpisah dengan pembelajaran di kelas. Penyelenggaraan program perbaikan secara klasikal sulit dilaksanakan karena padatnya materi/bahan ajar. Penyelenggaraan program perbaikan di luar jam pelajaran pada pagi hari praktis tidak dapat dilaksanakan, sementara penyelenggaraan pada sore hari tidak didukung ketersediaan finansial. Berkait dengan pelaksanaan sistem evaluasi hasil belajar di sekolah, penelitian dalam jangka waktu lima tahun terakhir yang sempat dihimpun menunjukkan kenyataan yang belum menggembirakan. Penelitian Toto Kuwato dan Djemari Mardapi (1999) yang diselenggarakan di Propinsi DIY, Sumatera barat, dan Kalimantan barat menunjukkan hasil sebagai berikut. 1. Sistem ujian yang ada selama ini belum seperti yang diharapkan. Masih banyak guru yang belum secara rutin menyusun kisi-kisi ulangan, menelaah soal, menganalisis butir soal, menganalisis hasil ulangan, menginformasikan kegagalan siswa kepada orang tua, dan belum sepenuhnya menindaklanjuti kegagalan siswa melalui program perbaikan. Guru belum diwajibkan menyusun kisi-kisi ulangan. 2. Dalam menyiapkan pelajaran umumnya para guru hanya mencontoh rencana pelajaran dan analisis materi pelajaran (AMP) yang disusun oleh MGMP. 3. Soal-soal ujian SMU belum dikalibrasi, sehingga sulit untuk membandingkan mutu sekolah baik antar wilayah maupun antar tahun. 4. Faktor finansial menjadi kendala pengembangan bank soal di tingkat wilayah. 5. Mutu alat tes belum baik karena tidak selalu disertai dengan penyusunan kisikisi soal. Mutu soal secara kualitatif juga belum baik, karena masih banyak yang belum memenuhi persyaratan baik dari aspek materi, konstruksi dan bahasa. Hasil tes belum sepenuhnya menggambarkan tercapainya pelaksanaan kurikulum. 6. Keterkaitan antara ulangan harian, ulangan cawu, ulangan kenaikan kelas belum baik akibat tidak adanya kisi-kisi ulangan. 7. Program perbaikan belum dilaksanakan secara terencana. Hanya sekedar menyelenggarakan ulangan susulan dalam selang waktu yang sangat pendek tanpa ada tindakan pembelajaran lagi oleh guru. 8. Kurangnya dorongan dari pihak kepala sekolah kepada guru yang telah mengikuti pelatihan untuk menerapkan pengetahuannya di sekolah. 9. Informasi hasil ujian bagi pihak-pihak terkait, baik siswa, orang tua siswa, sekolah, dan Kanwil Depdiknas sendiri, belum dapat diperoleh secara lengkap. Kalaupun ada dokumen, belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Penelitian Toto Kuwato dan Djemari Mardapi (1999) juga menyertakan program tindakan untuk meningkatkan sistem evaluasi di sekolah. Dengan melibatkan kepala sekolah dan pengawas bidang studi secara efektif, guru mampu merencanakan, melaksanakan dan menindaklanjuti hasil penilaian dengan baik. Namun demikian, taraf serap siswa tetap rendah dan rendahnya taraf serap siswa ditentukan oleh pandangan guru yang menganggap mudah suatu konsep atau memang karena kemampuan awal siswa yang rendah, jadi bukan karena rendahnya mutu soal yang dibuat guru. Hasil penelitian Bambang Subali (1997) menunjukkan bahwa kualitas alat uji yang dibuat guru Biologi SMU di Kodya Yogyakarta belum memuaskan. Masih ada kesalahan yang menonjol dari aspek materi, konstruksi maupun dari aspek bahasa. Guru tidak merumuskan pencapaian prestasi belajar yang lain selain prestasi kognitif. Hasil penelitian Bambang subali (1995) terhadap kualitas soal Biologi SMU yang ada dalam buku kumpulan soal yang dikeluarkan oleh Depdikbud dan yang ada di dalam buku ajar yang dipakai di lingkungan DIY masih menunjukkan adanya kesalahan dari aspek materi, konstruksi maupun bahasa. Sementara banyak guru dalam menyusun soal justru mengacu pada soalsoal yang ada dalam buku-buku tersebut. Dalam program penerapan IPTEK tentang pengembangan bank soal yang dilaksanakan oleh Djemari Mardapi dkk. (1997) salah satu kendala yang dijumpai saat melaksanakan penataran guru adalah adanya kesulitan guru untuk mengembangkan indikator dalam kisi-kisi soal, dan guru juga sulit menulis soal sesuai dengan tuntutan persyaratan yang ada. Penelitian Djemari Mardapi dkk. (1999) terhadap kegiatan guru dalam melakukan penilaian di kelas untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam Ebtanas di SD dan SLTP serta di SMU, hasilnya sebagai berikut. 1. Perencanaan guru dalam kegiatan penilaian cukup memadai, tetapi dalam hal penyusunan kisi-kisi masih tergolong rendah, dan kisi-kisi soal masih sulit dilacak arsipnya. 2. Teknik penilaian yang dipakai guru umumnya dalam bentuk tes dan pengamatan terhadap hasil pekerjaan rumah serta kegiatan di kelas. Guru belum terbiasa menggunakan angket dan skala sikap sebagai teknik penilaian. 3. Hanya sebagian kecil guru yang melaksanakan ujian keterampilan di laboratorium bagi mata pelajaran yang memiliki kegiatan laboratorium. 4. Laporan hasil ulangan belum disampaikan secara periodik oleh guru ke kepala sekolah maupun kepada pihak orang tua siswa. 5. Program perbaikan umumnya hanya ditujukan untuk memperbaiki nilai dengan menyelenggarakan ulangan perbaikan, bukan dilakukan dalam bentuk program pembelajaran yang terencana. 6. Sebagaian guru menyatakan melaksanakan analisis hasil ulangan, namun masih bersifat global (berupa analisis skor hasil ulangan), belum sampai untuk menemukan konsep/subkonsep yang belum dikuasai siswa. 7. Sebagian besar kepala sekolah menyatakan telah mendorong guru untuk menyusun kisi-kisi, menelaah soal, menganalisis butir soal, menganalisis hasil ulangan, melaksanakan kegiatan remediasi, disamping guru harus menyususn perencanaan pembelajaran. Namun demikian pemantauan oleh kepala sekolah belum berjalan dengan baik. Penelitian Wuryadi dan Bambang Subali (2000) yang menggunakan guru Biologi SLTP dan SMU juga siswa dan orang tua SLTP dan SMU sebagai responden menunjukkan bahwa: 1. pemahaman guru terhadap prosedur penilaian cukup baik dan merata, dan tidak begitu terkait dengan kefavoritan sekolah tempat mereka bekerja, latar belakang pengalaman ataupun jenjang pendidikan, namun data dokumen menunjukkan belum semua melaksanakannya; 2. keterlaksanaan penilaian proses belum baik, demikian pula dalam hal penerapan prinsip-prinsip penilaian untuk menilai prestasi belajar Biologi juga dalam memanfaatkan hasil ulangan untuk meningkatkan prestasi siswa; 3. strategi guru merencanakan penilaian, utamanya dalam menyusun kisi-kisi soal umumnya dibuat bersama melalui kegiatan MGMP dan menyatu dalam SAP; 4. dalam menyusun soal ulangan sebagian besar guru melakukannya sendiri dan dalam beberapa hal masih ada kesalahan dari aspek materi, konstruksi serta bahasa, 5. hanya sebagian kecil guru yang menambah bentuk pilihan ganda dengan bentuk lain untuk meningkatkan kemampuan siswa menempuh ujian; 6. lebih banyak guru yang menjadwalkan ulangan dibanding yang membuat kesepakatan dengan siswa, dan pelaksanaannya jika bahan sudah habis; 7. sebagian besar hanya mengukur aspek kognitif, dan banyak yang menyatakan sampai jenjang evaluasi walaupun dokumen menunjukkan hanya sampai jenjang pemahaman; 8. hampir semua guru hanya mengandalkan hasil ulangan harian dan ulangan cawu sebagai dasar pemberian nilai, dan dengan kriteria keberhasilan yang beragam, hampir semua guru berorientasi pada pengembangan TPK yang bersifat penguasaan (mastery objectives); 9. program pengayaan belum sesuai pedoman yakni belum untuk mermperkaya konsep namun masih ditujukan untuk meningkatkan penguasaan konsep; 10. guru kurang berorientasi pada pengembangan psikomotor melalui kegiatan laboratorium dengan alasan keterbatasan waktu dan tenaga dan banyak guru yang belum memakai hasil penilaian keterampilan laboratorium sebagai bagian dari penilaian; 11. semakin favorit sekolah semakin banyak orang tua yang menilai positif terhadap penyelenggaraan penilaian dalam mata pelajaran Biologi, namun menurut siswa justru semakin favorit sekolah semakin rendah persepsi siswa terhadap penyelenggaraan penilaian yang dilakukan guru. Penelitian yang dilaksanakan oleh FMIPA UNY dalam rangka program kerjasama dengan JICA (Sukirman, (2000) dengan menggunakan SD, SLTP dan SMU di Kodya Yogyakarta dan Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa pada dasarnya pemahaman guru MIPA dalam hal penyelenggaraan evaluasi sudah cukup memadai, namun belum sepenuhnya diimplermentasikan di lapangan, bahkan untuk aspek tertentu guru hampir tidak melaksanakannya, termasuk penilaian terhadap kemampuan proses sains/keterampilan psikomotor. Guru juga tidak secara rutin menyusun kisi-kisi soal, melakukan telaah soal, menganalisis butir soal, menganalisis hasil evaluasi ataupun menindaklanjuti dengan kegiatan perbaikan yang terprogram. Penelitian yang sama yang dilaksanakan oleh FMIPA Universitas Negeri Malang (Gatot Muhsetyo, 2000) menunjukkan secara umum guru sudah melaksanakan prosedur penilaian dengan baik, namun hanya 45-74% guru MIPA yang melakukan analisis item. Selain itu, hampir semua guru melaksanakan kegiatan laboratorium namun kurang dari setengahnya yang melakukan penilaian terhadapnya, dan hanya sedikit pula yang mempertimbangkan hasil kerja laboratorium untuk penilaian akhir siswa. Demikian pula penelitian yang sama yang dilakukan FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia (Utari Soemarmo, 2000) menunjukkan bahwa dalam menyelenggarakan penilaian hanya sebagian guru yang melakukan analisis butir soal, dan hanya sebagian yang memanfaatkannya untuk umpan balik. Dalam hal penyelenggaraan pelatihan/penataran termasuk di dalamnya dalam bidang evaluasi, sudah banyak diselenggarakan pelatihan/penataran pengujian baik yang berskala nasional, regional maupun lokal. Untuk keperluan tersebut Pusisjian Balitbang Depdiknas telah menerbitkan buku panduan dengan judul Penataran Pengujian Pendidikan. Namun demikian ada kritik Bahan terhadap penyelenggaraan kegiatan pelatihan, termasuk pelatihan evaluasi, yaitu adanya pembatasan umur peserta yaitu tidak boleh lebih dari 40 tahun, penyelenggaraan pelatihan/penataran yang diselenggarakan oleh Kanwil Depdiknas juga tidak berjalan secara efektif, banyak guru yang hanya sekedar mengikuti pelatihan/penataran (informasi dari beberapa guru inti di DIY). Hasil survei di DIY, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat ada yang sudah berkali-kali disertakan dalam penataran tetapi ada yang belum pernah mengikutinya, sementara semua guru sangat mengharapkan dapat mengikuti pelatihan (Toto Kuwato dan Djemari Mardapi, 1999). Di Jawa Timur diperkirakan berkisar antara 45 – 65% guru MIPA yang telah mengikuti penataran evaluasi, namun sebagian besar (75%) masih mengharapkan dapat mengikutinya lagi (Gatot Muhsetyo, 2000). Hasil identifikasi yang dilakukan oleh FMIPA UM (Lukman Hakim, 2000) menunjukkan bahwa selain Ebtanas, ulangan cawu pun hanya mengukur aspek kognitif dan untuk IPA tidak pernah menyangkut pengukuran terhadap kemampuan proses IPA. Guru jarang melakukan pengukuran untuk mengukur ketercapaian setiap tujuan pembelajaran khusus yang dirumuskan karena keterbatasan waktu, Jadi, masih bersifat sampling. Sementara hasil identifikasi yang dilakukan oleh FMIPA Universitas Negeri Padang (Idrus Ramli, 2000) menunjukkan bahwa bahan evaluasi tidak berorientasi pada kurikulum tetapi berorientasi pada Ebtanas dan UMPTN, bentuk soal obyektif tidak memotivasi siswa, nilai cawu I dan II tidak berperan untuk kenaikan kelas, demi prestise sekolah sering nilai siswa dimodifikasi (ditinggikan) yang justru berdampak negatif terhadap motivasi belajar siswa. 7. Ebtanas Sebagai Salah Satu Model Sistem Evaluasi Ebtanas diselenggarakan dengan tujuan antara lain sebagai berikut (Depdikbud, 1986). 1. Merintis terciptanya standar nasional mutu pendidikan dasar dan menengah. 2. Menyederhanakan prosedur penerimaan peserta didik baru pada sekolah yang lebih tinggi. 3. Mempercepat peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan dasar dan menengah. 4. Menunjang tercapainya tujuan kurikulum. 5. Mendorong agar proses belajar mengajar dilaksanakan berdasar kurikulum, buku, dan alat peraga yang telah ditetapkan. Melihat tujuan-tujuan di atas, tampak bahwa Ebtanas dilihat dari sudut pandang sebagai evaluasi program didudukkan sebagai penilaian dalam skala makro. Depdiknas sendiri berpendapat bahwa penilaian dalam skala makro sebaiknya tidak dilakukan sendiri oleh Depdiknas karena Depdiknas sebagai penyelenggara pendidikan. Sebaiknya penilaian dilakukan oleh lembaga lain yang idependen. Selama ini dalam jajaran Depdiknas, sudah ada Inspektorat Jenderal namun lebih berkaitan dengan tugas managerial, sementara hasil program pendidikan adalah perubahan perilaku yang sulit untuk diukur (Depdikbud, 1997). Namun demikian, pelaksanaan Ebtanas yang hanya mengandalkan pada ujian tertulis apalagi hsnys dalam bentuk obyektif dipandang oleh banyak pihak tidak akan dapat mencerminkan hasil pendidikan sebagaimana yang dirumuskan dalam tujuan institusional/lembaga. Kritik terhadap penyelenggaraan ujian yang sifatnya nasional salah satunya dikemukakan oleh Nitko (1996) yaitu bahwa: 1. hasil-hasil tes tampak tidak peka, baik terhadap perbaikan masukan (in-put) pendidikan, maupun terhadap persepsi guru dan orang tua perihal prestasi peserta didik; 2. laporan hasil tes tidak menerangkan tentang pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari oleh peserta didik. Akibatnya pengambilan keputusan/pengembang kurikulum tidak mengetahui aspek kurikulum mana yang harus diperbaiki; 3. hasil-hasil ujian memberikan dasar yang rapuh untuk membimbing peserta didik ke arah kejuruan dan pengembangan karir; 4. kesesuaian antara tujuan belajar yang dinyatakan dalam kurikulum resmi dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam setiap tahun dalam ujian seringkali tidak jelas bagi guru. Akibatnya para guru mengabaikan kurikulum resmi dan menggunakan soal-soal ujian yang telah lalu sebagai bahan ajar; 5. para pendidik di semua jenjang pendidikan menunjukkan kelemahan-kelemahan tersebut, bahkan ada yang menyandarkan pada hasil sekali ujian, sehingga beresiko tinggi karena mengabaikan kinerja peserta didik bertahun-tahun di kelas; 6. keluasaan dan kekayaan pembaharuan kurikulum diabaikan oleh para guru, yang atas kemauannya sendiri mempersempit kurikulum sehingga menjadi tugas-tugas yang bakal muncul dalam ujian. Dalam Petunjuk Pelaksanaan Penilaian untuk mendukung implementasi Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 1994, secara tegas ada delapan prinsip penilaian yang harus diperhatikan. Pertama yaitu prinsip menyeluruh dalam arti bahwa aspek yang dinilai harus mencakup aspek pengetahuan, sikap, perilaku dan nilai, serta keterampilan. Penilaian juga harus mencakup aspek proses dan hasil belajar dan mencakup seluruh bahan pelajaran yang telah dipelajari siswa. Kedua, prinsip berkesinambungan dalam arti harus dilakukan secara berencana, bertahap serta terus menerus untuk memperoleh gambaran perkembangan siswa. Ketiga, berorientasi pada tujuan dalam arti penilaian harus mencerminkan seberapa jauh tujuan pembelajaran telah dapat dicapai. Keempat prinsip obyektif dalam arti penilaian harus menghindarkan diri dari subyektivitas penilai dan mencerminkan tingkat keberhasilan yang sebenarnya. Kelima, prinsip terbuka dalam arti proses penilaian harus diketahui dan diterima oleh semua pihak yang terkait (siswa, orang tua, masyarakat, dan sekolah). Keenam, prinsip kebermakanaan dalam arti hasil penilaian harus bermakna dan berguna untuk meningkatkan hasil belajar siswa, memberikan laporan tentang kemajuan hasil belajar siswa dan harus bermakna untuk memperbaiki dan meningkatkan cara belajarnya, sedangkan bagi guru harus bermakna sebagai umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran yang diselenggarakan. Ketujuh, prinsip berkesesuaian dalam arti bahwa penilaian harus sesuai dengan pendekatan kegiatan pembelajaran yang diikuti dalam melaksanakan kurikulum. Apabila digunakan pendekatan eksperimen maka kegiatan melakukan percobaan harus menjadi salah satu obyek yang dinilai. Apabila menggunakan pendekatan keterampilan proses, maka keterampilan proses juga harus menjadi obyek penilaiannya. Kedelapan adalah prinsip mendidik. Dalam hal ini hasil penilaian harus dapat dipakai untuk memberikan dorongan kepada siswa agar dapat meningkatkan diri dalam belajarnya, sehingga hasil penilaian akan merupakan penghargaan bagi siswa yang berhasil dalam belajar dan sebagai peringatan bagi siswa yang tidak berhasil (Depdikbud, 1994). Kenyataan menunjukkan bahwa Ebtanas sebagai satu-satunya penilaian yang berskala nasional untuk menilai prestasi hasil belajar siswa belum sejalan dengan prinsip-prinsip penilaian yang diacu dalam pelaksanaan Kurikulum 1994. Dengan adanya Ebtanas yang hanya memfokuskan pada ujian tertulis yang hanya menguji penguasaan aspek kognitif, dan hasil Ebtanas dijadikan alat untuk seleksi (di SLTP dan SMU) memperkuat kritik yang yang dikemukakan oleh Nitko. Banyak guru yang menggunakan soal-soal Ebtanas sebagai acuan dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran peserta didiknya, hal ini didukung temuan penelitian Wuryadi dan Bambang Subali, (2000) yang menggunakan responden guru Biologi SLTP dan SMU di Propinsi DIY, yaitu bahwa sebagian besar guru menyelesaikan materi kurikulum untuk selanjutnya berkonsentrasi menghadapi Ebtanas dengan menyelenggarakan latihan soal-soal, padahal dalam buku Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Biologi di SMU (Depdikbud, 1995), bahwa guru tidak boleh mengubah tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan dalam GBPP. Penelitian Djemari Mardapi dkk. (1999) yang khusus mengenai Ebtanas menunjukkan hasil sebagai berikut. 1. Selama lima tahun terakhir sudah ada pedoman penyelenggaraan Ebtanas baik untuk pusat maupun wilayah, namun belum ada pedoman tentang pemanfaatan hasil Ebtanas. 2. Ebtanas cenderung memacu guru menyelesaikan KBM berdasar kurikulum untuk mata pelajaran yang diujikan melalui Ebtanas, tetapi tidak untuk mata pelajaran yang tidak diujikan melalui Ebtanas. 3. Ebtanas belum mampu mempercepat peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan dasar dan menengah. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan perkembangan skor hasil Ebtanas yang berfluktuatif. Guru belum menindaklanjuti umpan balik hasil Ebtanas dan belum ada pemantauan secara nasional khususnya untuk pendidikan di SD. 4. Ebtanas baru mampu menciptakan baku mutu pendidikan untuk SLTP dengan menggunakan soal yang sudah dikalibrasi, namun belum untuk SD dan SMU. 5. Untuk sementara hasil Ebtanas (NEM) dapat dijadikan alat seleksi, namun perlu dipikirkan alat seleksi yang lain seperti tes potensi akademik, mengingat: a. NEM merupakan alat seleksi yang obyektif dan efisien. b. Karakteristik alat tes untuk mengukur prestasi berbeda dengan alat tes untuk seleksi c. Tidak ada korelasi yang signifikan antara NEM dan prestasi siswa mengikuti pelajaran di sekolah selanjutnya. 6. Hampir semua responden berharap agar penyelenggaraan Ebtanas dilanjutkan namun perlu ada perbaikan terutama dalam obyektivitas pengawasan, sistem koreksi, dan penentuan NEM. Namun demikian, ada perbedaan pendapat di kalangan pakar. Sebagian pakar menyatakan bahwa Ebtanas memiliki manfaat seperti: (a) meningkatkan standar mutu pendidikan, (b) mendorong siswa meningkatkan KBM, dan (c) meningkatkan perhatian orang tua terhadap aktifitas belajar anak; namun ada sebagian yang lain menyatakan bahwa tidak ada manfaatnya diselenggarakan Ebtanas, dan guru belum mampu memanfaatkan informasi hasil Ebtanas dengan baik. 8. Pertanyaan Penelitian dari rumusan masalah dan kajian teori serta fakta-fakta yang selama ini sudah dapat dihimpun dari lapangan, dapat dirinci pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu untuk dijawab agar dapat dijadikan pijakan untuk membuat rumusan kebijakan tentang penyelenggaraan sistem ujian akhir yang bernuansa otonomi daerah. . 1. Apakah ujian akhir nasional yang selama ini dikenal dengan Ebtanas yang diselenggarakan dalam bentuk ujian tertulis dengan soal-soal bentuk pilihan ganda---yang semata-mata sebagai upaya untuk memenuhi kesahihan dan kehandalan suatu alat evaluasi---masih tetap harus dipertahankan? Jika masih dipertahankan apakah tidak dilengkapi dengan ujian perbuatan (nonverbal) untuk mata pelajaran-mata pelajaran yang melatih kemampuan psikomotor, juga ujian sikap untuk menilai sikap peserta didik? 2. Apakah mata pelajaran yang diujikan dalam ujian akhir nasional juga hanya mata pelajaran tertentu seperti yang selama ini diselenggarakan? 3. Apakah hasil ujian akhir nasional tetap akan dipakai sebagai alat seleksi masuk ke jenjang poendidikan yang lebih tinggi? Apakah tidak sebaiknya setiap daerah/sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan sistem seleksi yang bermutu yang didukung oleh adanya teknik dan alat seleksi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bernuansa otonomi daerah? 4. Apakah tidak sebaiknya hasil ujian akhir nasional hanya dijadikan alat pengendali mutu pendidikan, mengingat berdasar kondisi yang ada aspek yang dinilai hanya terbatas pada ranah kognitif? 5. Apakah tidak sedbaiknya pemerintah pusat merintis terciptanya standar nasional mutu pendidikan dasar dan menengah yang lebih baik daripada hanya melalui Ebtanas seperti yang sekarang ini diselenggarakan?. 6. Sistem ujian akhir nasional yang bagaimana yang dapat mempercepat peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan dasar dan menengah? 7. Sistem ujian akhir nasional yang bagaimana yang dapat menunjang tercapainya tujuan kurikulum yang bernuansa otonomi daerah?. 8. Sistem ujian akhir nasional yang bagaimana yang dapat mendorong agar proses belajar mengajar dilaksanakan berdasar kurikulum, buku, dan alat peraga yang telah ditetapkan tetapi yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah?. 9. Apakah tidak sebaiknya ada acuan bagi tiap daerah untuk mengembangkan sistem evaluasi maupun sistem ujian akhir yang sesuai dengan kondisi masingmasing daerah dalam upaya untuk meningkatkan motivasi belajar di masingmasing daerah sesuai dengan kondisi yang ada? 10. Apakah tidak sebaiknya sistem ujian akhir juga memperhatikan hasil-hasil asesmen yang dilaksanakan oleh sekolah? 11. Apakah tidak sebaiknya di setiap Kanwil ataupun Kandep Depdiknas hendaknya ada peta kemampuan guru dalam menyelenggarakan sistem evaluasi, sehingga kemerataan keikutsertaan guru dalam pelatihan/penataran, termasuk di dalamnya pelatihan evaluasi dapat terpantau secara baik? 12. Mengingat dalam skala mikro gurulah yang paling mengetahui kondisi dan prestasi siswa-siswanya, maka apakah tidak sebaiknya ada penyiapan kemampuan guru dalam bidang evaluasi untuk menyelenggarakan ujian akhir dapat dipertanggung jawabkan di masing-masing daerah, dalam hal ini pada tingkat Dati II? 13. Apakah tidak sebaiknya dipolakan sistem penilaian yang berkesinambungan yang dikerjakan oleh guru, dalam arti bahwa guru harus merencanakan, menyusun alat penilaian dan menelaahnya sebelum digunakan dan menganalisis setelah diujikan, serta melaksanakan dan menindaklanjuti hasil penilaian dalam upaya meningkatkan prestasi siswa dalam seluruh ranah yang dikembangkan?. C. METODE STUDI Studi ni dlakukan melalui tahapan: (a) studi lapangan, (b) sarasehan regional, dan (c) sarasehan nasional. Tahap studi lapangan mencakup (1) pembahasan instrumen, (2) pengumpulan data, (3) organisasi, analisis dan interpretasi data, dan (4) penyusunan draf untuk sarasehan. 1. Studi Lapangan a. Tampat dan Waktu Studi Kegiatan pembahasan instrumen di laksanakan di UNY, dengan peserta sebanyak 30 orang dari berbagai kabupaten. Kriteria peserta adalah para ahli pendidikan, yang memiliki kapabilitas dalam penelitian pendidikan, para pengamat pendidikan dan praktisi pendidikan yang memahami permasalahan sistem ujian akhir sebagai salah satu sistem penilaian dan masalah otonomi daerah hubungannya dengan reformasi pendidikan. Diharapkan melalui pembahasan instrumen akan terpenuhi kesahihan instrumen dan kekomunikatifan instrumen jika dipakai sebagai alat koleksi data. Tempat kegiatan koleksi data dilakukan di 20 propinsi di antara seluruh propinsi yang ada di Indonesia. Di tiap propinsi diambil 3 kabupataen, dan di tiap kabupaten diambil 4 sekolah. Organisasi, analisis dan interpretasi data, dan (4) penyusunan draf untuk sarasehan dilakukan di UNY dan keseluruhan kegiatan mulai dari pembahasan instrumen sampai tersusunnya draf untuk bahan sarasehan dilakukan mulai bulam Maret 2001 sampai Juli 2001. b. Populasi dan Sampel 1) Populasi Populasi dalam penelitian ini mencakup para ahli pendidikan, para pengamat pendidikan, para praktisi pendidikan dan tokoh masyarakat yang tersebar di seluruh propinsi, yang memahami permasalahan sistem ujian akhir sebagai salah satu sistem penilaian dan masalah otonomi daerah hubungannya dengan reformasi pendidikan. . 2) Sampel Sampel penelitian diambil dengan metode purposive sampling. Adapun pertimbangan yang dipakai adalah bahwa sampel penelitian tersebar di 20 porovinsi, dengan perbandingan 4 provinsi di P. Jawa dan 16 provinsi di luar P. Jawa. Mengingat di P. Jawa saat sekarang terdapat 4 provinsi, 1 daerah istimewa dan 1 daerah khusus ibu kota, maka diambil sampel propinsi dipilih DKI Jaya, Propinsi DIY, Banten, dan Jawa Timur. Sementara para ahli pendidikan/pengamat/praktisi pendidikan/tokoh masyarakat di Jawa Tengash dan Jawa Barat akan diundang untuk memberikan masukannya melalui kegiatan sarasehan regional.. Enam belas provinsi di luar P. Jawa mencakup 6 provinsi di P. Sumatera (Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Selatan), 4 provinsi di Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur), 3 provinsi di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya (Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara), serta 3 propinsi di Bali dan Nusatenggara (Provinsi Bali, NTB, NTT). Di masing-masing provinsi/daerah khusus/istimewa diambil 3 kabupaten/ kotamadya, dan ditiap kotamadya diambil 4 sekolah. Untuk setiap sekolah (seorang Kepala SD, seorang Kepala SLTP, seorang Kepala SMU, dan seorang Kepala SMK) diambil seorang rsponden, sehingga ada 4 x 3 x 20 = 240 responden yang mewakili sekolah. Untuk tiap kabupaten/kotamadya diambil seorang responden, sehingga ada 3 x 20 = 60 rsponden yang mewakili kabupaten/kotamadya. Untuk tiap provinsi/daerah khusus/istimewa diambil seorang rsponden, sehingga ada 20 responden yang mewakili provinsi/daerah khusus/ istimewa. Dengan demikian total responden sebanyak 320 orang. Responden yang mewakili sekolah adalah guru inti/kepala sekolah, responden untuk tingkat kabupaten/kotamadya adalah Kakandepdiknas setempat, responden untuk tingkat propinsi adalah para Kakanwil Depdiknas atau Kepala Dinas Pdan P setempat. Dari 20 provinsi yang ada diharapkan sepertiga dari jumlah rsponden adalah Kepala Dinas Pdan P setempat. c. Metode Pengumpulan data dan Instrumen yang Digunakan Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah dengan wawanacara yang bersifat mendalam (indepth interview). Agar pertanyaan dapat terfokus dengan baik dibunakan instrumen berupa pedoman wawancara yang telah divalidasi. Dalam hal ini pembakuan instrumen dilakukan melalui pembahasan instrumen dengan mengundag 30 peserta dari perguruan tinggi dan berbagai kabupaten. 2. Kegiatan Sarasehan Regional Kegiatan sarasehan .regional dilaksanakan di empat tempat, yaitu di Padang, Surabaya, Banjarmasin, dan Ujungpandang. Sarasehan Regional I di Padang melibatkan para ahli pendidikan dari perguruan tinggi dan para pengamat dan praktisi pendidikan dari Provinsi Daerah istimewa Aceh, Sumut, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, dan Sumbar. Sarasehan Regional II di Surabaya melibatkan para ahli pendidikan dari perguruan tinggi dan para pengamat dan praktisi pendidikan dari Provinsi Jatim, jateng, Jabar, DKI, Bali, dan NTB. Sarasehan Regional III di Banjarmasin melibatkan para ahli pendidikan dari perguruan tinggi dan para pengamat dan praktisi pendidikan dari Provinsi Kalbar, kalteng, kaltim dan Kalsel. Sarasehan Regional IV di Ujungpandang melibatkan para ahli pendidikan dari perguruan tinggi dan para pengamat dan praktisi pendidikan dari Provinsi Sulsel, Sulut, Sulteng, Sultra, Maluku, Irja, dan NTT. Bahan yang dibahas dalam kegiatan sarasehan regional selain hasil dari studi lapangan yang diperoleh dalam penelitian ini juga makalah yang disampaikan oleh para keynote speaker. Sarasehan regional ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2001. 4. Kegiatan Sarasehan Nasional Seminar nasional dilaksanakan di jakarta dan direncanakan pada Bulan September 2001. Bahan yang dibahas adalah draf rumusan kebijakan yang diperoleh dari Sarasehan Regional I sampai IV. Hasil akhir dari sarasehan nasional adalah diperolehnya draf kebijakan yang akan diambil oleh Mendiknas tentang sistem ujian akhir nasional yang bernuansa otonomi daerah. D. JADWAL WAKTU KEGIATAN. Secara keseluruhan jadwal waktu kegiatan mulai dari studi lapangan sampai dengan sarasehan nasional direncanakan sebagai berikut. BULAN NO 1 2. 3. 4 URAIAN KEGIATAN 3 Studi Lapangan a. Penyusunan proposal dan kontrak V penelitian b. Penyusunan dan pembahasan insdtrumen c. Koleksi data d. Organisasi, analisis data dan interpretasi hasil analisis e. Pembuatan draf laporan studi lapangan untuk sarasehan regional Sarasehan Regional I sampai IV Seminar nasional Pembuatan draf kebijakan dan laporan akhir studi 4 5 6 V V 7 8 V V 9 1 0 V V V V DAFTAR PUSTAKA Ahmann, J.S. dan Glock, M. (1981). Evaluating Student Progress: Principles of Tests and Measurement. Boston: Allyn and Bacon. Bambang Subali, Slamet Suyanto, dan Paidi. (2000). Peningkatan Kualitas Perkuliahan Melalui Authentic Assessment. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Jurdik Biologi FMIPA UNY. dkk. (1998). Survei Pelaksanaan Evaluasi dalam Mata Pelajaran IPA di SD dan SLTP serta Mata Pelajaran Biologi di SMU di Sekitar Kampus IKIP Yogyakarta. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Jurdik Biologi FPMIPA IKIP Yogyakarta. . (1997). Kualitas Alat Uji Formatif Mata Pelajaran Biologi SMA Kodya Yogyakarta Hubungannya Dengan Faktor Latar Belakang Guru. Laporan Penelitian. Yogyakarta: FPMIPA IKIP Yogyakarta. . (1995). Kajian Kualitas Butir Soal Biologi yang Dikeluarkan oleh Depdikbud maupun yang Ada pada Buku Ajar Beserta Peluangnya sebagai Sumber Belajar. Karya Ilmiah disampaikan dan dibahas dalam Sidang Senat Fakultas FPMIPA-IKIP Yogyakarta tanggal 21 Juli 1995. Depdikbud. (1998). Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Program Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Mengengah tahun 1994/1995 s.d. 1997/1998. Jakarta: Depdikbud. . (1997). Bahan Penataran Pengujian Pendidikan. Jakarta: Pusat pengembangan Sistem Ujian, Balitbangdikbud, Depdikbud. . (1994). Kurikulum 1994: Pedoman Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdikbud. . (1994). Kurikulum SMU 1994: Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Mata Pelajaran Biologi. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbuid. . (1994). Kurikulum SLTP 1994: Petunjuk Teknis Mata Pelajaran IPA. Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdikbud. . (1994) Kurikulum SMU 1994: Petunjuk Pelaksanaan Penilaian. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbud. . (1994). Kurikulum SLTP 1994: Petunjuk Pelaksanaan Penilaian. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbud. . (1994). Kurikulum SD 1994: Petunjuk Pelaksanaan Penilaian. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbud. . (1994). Petunjuk Teknis Penyusunan Kisi-Kisi Penulisan Soal Ebta/ Ebtanas. Jakarta: Ditjen Dikdasmen dan Balitbang Depdikbud. . (1994). Pedoman Penelaahan, Perbaikan dan Perakitan Soal. Jakarta: Ditjen Dikdasmen dan Balitbang Depdikbud. . (1994). Pedoman Analisis Hasil Evaluasi Belajar. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbud. . (1994). Pedoman Program Perbaikan dan Pengayaan. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbud. . (1986). Petunjuk Pelaksanaan Ebtanas. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdikbud. . (1985). Program Akta Mengajar V-B Komponen Dasar Kependidikan: Buku II Modul Evaluasi hasil Belajar. Jakarta: Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi depdikbud. Djemari Mardapi dkk. (1999). Survei Kegiatan Guru dalam Melakukan Penilaian di Kelas. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pusbangsisjian Lemlit IKIP Yogyakarta dan Pusisjian balitbang Depdikbud. . (1999). Evaluasi Penyelenggaraan Ebtanas. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pusbangsisjian Lemlit IKIP Yogyakarta dan Pusisjian balitbang Depdikbud. . (1997). Pengembangan Bank Soal Untuk SMU di Propinsi DIY. Laporan Program Penerapan IPTEKS DP3M Depdikbud. Yogyakarta: Pubangsisjian Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta. Eiss, A.F. dan Harbeck, M.B. (1969). Behavior Objective in the Affective Domain. Washington D.C.: National Science Teachers Association. Gronlund, N.E. (1977). Constructing Achievement Tests. Prentice hall, Inc., Englewood, N.J. dan Linn, R.L. (1990). Measurement and Evaluation in Teaching. Macmillan Publishing Company, New York. . (1998). Assessment of Student Achievement. Boston: Allyn and Bacon. Gatot Muhsetyo. (2000) JICA-IMSTEP: Final Report of Project Activities and Outcome FMIPA-State University of Malang. Griffin, P. dan Nix, P. (1991). Educational Assessment and Reporting.: A New Approach. Sydney: Harcourt Brace Jovanovich Idrus Ramli. (2000). Identifikasi Permasalahan Pendidikan MIPA. Padang: FMIPA Universitas negeri Padang. Lukman Hakim. (2000). Identifikasi Permasalahan Pendidikan MIPA. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang. Lunneta, V.N., Hofstein, A, dan Giddings, G. (1981). Evaluating Science Laboratory Skills. The Science Teacher, Januari 1981:22-25. Marsh, C.J. (1996). Handbook for Beginning Teachers. Melbourne, Australia: Longman. Marzano, R.J., Pickering, D., dan McTighe, J. (1993). Assessing Student Outcomes, Alexandria, VA: ASCD. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. (1982). Metode Penelitian Suevei. Jakarta: LP3ES. Nana Syaodih Sukmadinata. (1999) Remaja Rosdakarya. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Newman, F.M. dan Wehlage, G. (1993). Five standards of Authentic Instruction. Educational Leadership, vol. 50, No. 7. Pp. 8-12 Nitko, A.S. (1996). Workshop Papers No. 2. IKIP Yogyakarta, 22-24 Agustus 1996. O’Neil, J. (1992). Outting performance assessment to the test. Educational Leadership, vol. 49 no. 8 pp. 14-19 Pedoman Penilaian. Keputusan Mendikbud tanggal 25 Februari 1993. Pusisjian Depdikbud. (1998). Bahan Penataran Pengujian Pendidikan. Jakarta: Pusisjian Balitbang, Depdikbud. Spady, W. (1993). Outcome-Based Education. Report 5. Canberra: ACSA: Workshop Sukirman. (2000) JICA-IMSTEP: Final Report of Project Activities and Outcome FMIPA-Yogyakarta State University. Toto Kuwato dan Djemari Mardapi. (1999). Studi Pengembangan Sistem Ujian Berkesinambungan Sekolah mengengah Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas gadjah Mada dan Ditjen Dikdasmen, Depdikbud. Utari Soemarmo. (2000). JICA-IMSTEP: Final Report of Project Activities and Outcome FPMIPA-Indonesia University of Education. Wuryadi dan Bambang Subali. (2000). Profil Penyelenggaraan Kegiatan Penilaian Prestasi Belajar IPA-Biologi/Biologi Oleh Guru SLTP dan SMU di Propinsi DIY Ditinjau dari Latar Belakang Akademik Guru. Laporan Penelitian. Yogyakarta: FMIPA UNY. Swanson, D.B., Norman, G.R., dan Linn, R.L. (1995). Performance Based Assessment. Lesson from Health Professions. Educational Researcher, 24(5), 05-11. SISTEM PENILAIAN HASIL BELAJAR SENI RUPA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Oleh: Tri Hartiti Retnowati M.Pd Makalah disampaikan pada Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Berbasis Kompetensi Bagi Guru Kesenian SMP Se-Kabupaten Sleman Yogyakarta dalam rangka Pengabdian Masyarakat JURUSAN PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2005 PENGEMBANGAN RPP (RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN) MATA PELAJARAN SENI RUPA BERDASAR KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Oleh: Tri Hartiti Retnowati M.Pd Makalah disampaikan pada Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Berbasis Kompetensi Bagi Guru Kesenian SMP Se-Kabupaten Sleman Yogyakarta dalam rangka Pengabdian Masyarakat Tanggal 5-6 Mei 2004 JURUSAN PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2004