Ubah Orientasi Kurikulum

advertisement
Ubah Orientasi Kurikulum
DIDAKTIKA
SANGAT menyedihkan ketika membaca artikel yang berjudul "Bubarkan
Sekolah, Ganti dengan Bimbingan Belajar" (Kompas, 2 November
2001). Ide tersebut menunjukkan kekurangmampuan dalam memproses
pembelajaran sehari-hari di dalam kelas. Memang masalah pendidikan
di Indonesia sudah seperti benang kusut. Sulit untuk diurai. Namun, se
baiknya ada usaha keras untuk menguranginya dan bukan membuang
"benang kusut" tersebut.
Selama orientasi kurikulum nasional pendidikan di Indonesia hanya
mementingkan hasil, maka keberhasilan pendidikan di Indonesia hanya
ditentukan oleh nilai. Nilai tinggi berarti pintar dan nilai rendah berarti
sebaliknya. Bagaimana cara siswa tersebut mencapai nilai, menjadi
urusan lain yang sulit dipertanggungjawabkan. Celah tersebut menjadi
lahan subur untuk menarik keuntungan bagi segelintir orang, antara lain
dalam bentuk jual beli nilai.
ist
R Dony Novianto SPd Orientasi kurikulum harus mengacu kepada penguasaan ilmu secara
menyeluruh oleh siswa. Penekanan proses untuk menguasai ilmu
mendapatkan bagian yang layak dalam kurikulum pendidikan nasional. Jangan lagi mengedepankan nilai sebagai sega-lanya. Tidak semua proses pembelajaran di dalam kelas dapat
dinilai secara kuantitatif.
***
DALAM taksonomi Bloom dengan jelas memperhatikan tiga ranah yang saling terkait, yaitu ranah
kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. Dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah, ketiga
ranah tersebut harus ada. Kalau hanya nilai yang ditekankan, maka ada bagian dari taksonomi
tersebut yang ditinggalkan.
Para guru akan menyambut baik bila kurikulum mengalami perubahan orientasi. Namun,
mengubah pola pembelajaran seperti yang ditawarkan oleh PGSRI dan Direktur Tenaga
Kependidikan Depdiknas hanya akan membuang waktu. Perubahan pola pembelajaran tidak
menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Para guru sulit melepaskan diri dari kurikulum
karena kurikulum merupakan pegangan guru dalam melakukan proses belajar mengajar di
sekolah.
Menghapus ebtanas dari kurikulum yang sekarang berlaku (tentu saja) bukan wewenang guru
tetapi wewenang Depdiknas. Guru hanya sebatas melontarkan usulan untuk menghapus
ebtanas. Memang pada tingkat pendidikan tertentu ebtanas kurang diperlukan hasilnya, se-perti
ebtanas tingkat SMU/K. Kepekaan Depdiknas seharusnya mulai bekerja. Ada apa dengan
kurikulum pendidikan?
Menurut hemat penulis, tidak ada salahnya Depdiknas mencoba untuk menawarkan dua sistem,
yaitu jalur ebtanas dan non-ebtanas, sebagai jalan tengah sebelum menghapusnya sama sekali.
Penawaran tersebut akan memberikan keleluasaan kepada sekolah dan siswa untuk
menentukan langkah selanjutnya. Depdiknas tentu dapat mengkaji lebih mendalam tentang hal
ini sebelum segala sesuatunya terlambat. Banyak cara yang dilakukan oleh sekolah untuk
menyatakan peserta didiknya selesai menempuh belajarnya di sekolah tersebut.
Hal yang sering dilupakan dalam kurikulum pendidikan nasional, guru mengalami pengebirian
improvisasi dan kreativitas, walau jargon kurikulum menghendaki lain. Padahal kalau diberi
kebebasan untuk berimprovisasi dan berkreativitas dalam arti sesungguhnya maka pendidikan
akan menjadi penuh warna. Namun, tentu saja, tetap dalam kerangka kurikulum pendidikan yang
tidak mementingkan nilai sebagai hasil akhir.
Seorang guru seperti desainer. Kurikulum pendidikan merupakan polanya. Guru dapat
berimprovisasi dan berkreativitas dalam proses pembelajaran di sekolah selama berada dalam
kurikulum tersebut. Melalui cara tersebut, guru dapat menambah metode pengajaran di kelas,
seperti halnya desainer menambah pernik dalam rancangan bajunya tanpa keluar dari pola
dasarnya. Namun, dalam melakukan hal tersebut guru harus memahami materi pembelajaran
dengan baik. Ia tidak boleh hanya mengandalkan buku paket dan terikat atau mengikatkan diri
dengan aturan yang membelenggunya.
***
PENULIS berpendapat, fungsi guru dan sekolah tidak untuk men-drill siswanya untuk mengejar
nilai. Sekolah dan guru mempunyai fungsi sebagai tempat belajar untuk membawa perubahan
(tingkah laku, aktual, potensial), didapatnya kecakapan baru, dan karena ada usaha untuk
melakukan perubahan. Peran tersebut sangat sulit digantikan oleh lembaga lain kalau hanya
sekadar men-drill siswanya dalam hal akademik, walaupun lembaga lain tersebut jumlahnya
menjamur.
Alhasil, nilai bukan merupakan segalanya dalam ku-rikulum. Nilai hanya merupakan bagian dari
proses pembelajaran di kelas. Proses siswa dalam proses pembelajaran di kelas juga
menentukan pemahaman materi yang diterimanya. Sudah selayaknya orientasi kurikulum
pendidikan nasional berubah dari orientasi nilai menjadi proses menguasai ilmu. Ku-rikulum
mestinya dapat menciptakan nuansa belajar itu menyenangkan.
(R Dony Novianto SPd, guru asisten di Sekolah Global Jaya)
Download