laksamana cheng ho dari tiongkok: pelayaran

advertisement
LAKSAMANA CHENG HO DARI TIONGKOK:
PELAYARAN MUHIBAH DAN SYIAR ISLAM DI
NUSANTARA
C
heng Ho (Zheng He) adalah seorang laksamana yang paling agung yang pernah
dimiliki Tiongkok yang hidup pada zaman Dinasti Ming. Ia dengan armada
besarnya, melakukan tujuh kali pelayaran besar ke Asia Tenggara dan Samudra
Hindia, sampai ke Afrika timur, dalam kurun 1405-1433 M. Dalam tiap pelayarannya,
armadanya selalu menyinggahi banyak pelabuhan di Nusantara dan peninggalannya banyak
yang masih bisa ditelusuri hingga sekarang.
Adalah hal yang menarik bahwa Cheng
Ho dapat menjadi laksamana yang begitu hebat
di Tiongkok padahal ia bererasal dari suku Hui
yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam,
dan hidup jauh di Asia Tengah di Daerah
Mongolia, yang ketika itu diperlukan waktu
berminggu-minggu
kampungnya
perjalanan
darat
dari
untuk bisa mencapai daerah
pesisir laut. Ia
dilahirkan dari marga Ma
(Muhammad), di propinsi Yunan. Ayahnya dan
kakeknya
adalah
muslim
yang
telah
menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Ketika
kecil, Cheng Ho menggunakan nama Ma He.
Ketika terjadi peperangan, dan pasukan
Ming menyerbu ke daerahnya, banyak yang
menjadi tawanan, termasuk anak-anak seperti
Cheng Ho, yang kemudian dibawa ke Nanjing,
Gambar 1. Laksamana Cheng Ho (Zheng
He) (1371-1433)
ibukota kekaisaran Tiongkok saat itu. Dengan
cara yang kejam dan keji anak-anak ini dikebiri, termasuk Cheng Ho yang ketika itu masih
berusia 12 tahun, hingga ia akhirnya hidup sebagai kasim (eunuch) yang tak dapat lagi
berketurunan. Cheng Ho kemudian diserahkan oleh Zhu Yuanchang, kaisar pertama Dinasti
1
Ming, untuk dijadikan pelayan pada putranya yang bernama Zhu De. Dalam perkembangannya
kemudian Cheng Ho senantiasa mendampigi Zhu De dalam berbagai peperangan dan selama itu
Cheng Ho yang berpostur tinggi besar itu, selalu menunjukkan prestasi yang luar biasa.
Gambar 2. Perbandingan ukuran antara kapal harta (baochuan) Cheng Ho
dengan kapal Santa Maria Columbus.
Gambar 3. Armada Cheng Ho terdiri dari sekitar 300 kapal dengan berbagai
jenis dan ukuran.
Ketika Zhu De kemudian menjadi Kaisar, ia menugasi orang kepercayaannya itu (Cheng
Ho) untuk menjadi laksamana yang akan membawa armada besar Tiongkok dalam ekspedisi2
ekspedisi pelayaran jarak jauh ke Samudra Hindia (= Samudra Barat, menurut versi Tiongkok).
Adapun tujuan pelayaran besar itu adalah untuk diplomasi muhibah, menggalang pesahabatan
dengan negeri-negeri yang dikunjungi, dan untuk mengembangkan perdagangan. Ada pula
disebutkan bahwa misi ekspedsisi ini adalah untuk memperkenalkan dan mengangkat prestise
Dinasti Ming ke seluruh dunia. Maksudnya agar negara-negara lain mengakui kebesaran Kaisar
Tiongkok sebagai Putra Dewata (the Sun of Heaven). Dalam kaitan itu, aspek ilmu pengetahuan
tidak ditinggalkan antara lain dengan pembuatan peta-peta laut, dan merekam kondisi geografi
dan budaya negara-negara yang dikunjungi.
Selain itu, seorang sejarawan, Kong (2005) menyebutkan bahwa tujuan sebenarnya
Cheng Ho melakukan pelayaran ini selain bersilaturahmi juga ingin menyebarkan dan
memperkenalkan agama Islam kepada penduduk yang dikunjungi, bahwa Islam merupakan
agama yang rasional dan universal. Dalam setiap pelayarannya, Cheng Ho pun telah melakukan
manajemen strategi Nabi Muhammad SAW., manajemen Tao Zhugong, manajemen
Confuciusme, dan manajemen Lautze. Dengan menerapkan empat manajemen tersebut, Cheng
Ho dapat mengatur dengan apik sistem kerja dari awak kapalnya sesuai dengan tugas masingmasing.
Gambar 4. Rute pelayaran armada Cheng Ho dalam kurun tahun 1405-1433.
Dalam tujuh kali pelayaran besarnya selama kurun waktu hampir 30 tahun, armadanya
telah mengunjungi lebih 30 negeri/ kerajaan, yang terbentang dari Asia Tenggara, Samudra
Hindia, Laut Merah, Afrika Timur, dan lain-lain. Tetapi ekspedisi-ekspedisinya tidak pernah
3
melakukan perebutan wilayah sejengkal pun untuk pendudukan atas wilayah yang dikunjungi.
Sangat berbeda dengan kedatangan para penjelajah dari Eropa, yang berdatangan ke Nusantara
mulai seabad sesudah Cheng Ho, yang selalu diiringi dengan nafsu kolonialisme dan
imperialisme untuk menjajah dan menguasai daerah yang dikunjungi.
Armada kapal-kapal Cheng Ho merupakan armada terbesar yang pernah tercatat dalam
sejarah maritim, dilihat dari banyaknya kapal dan personalia yang terlibat. Dalam pelayarannya
dapat dikerahkan lebih dari 60 buah “kapal harta” (baochuan), yang ukurannya meraksasa,
masing-masing dengan panjang 120 m, bagian terlebar 50 m, dengan sembilan tiang layar,
geladak utama seluas 4.600 m2 dan bobot sekurang-kurangnya 2.700 metrik ton. Ini membuat
kapal-kapal para penjelajah dari Eropa, yang mulai berlayar seabad atau lebih kemudian,
menjadi kecil dan tak ada artinya. Kapal terbesar dari armada Columbus (tahun 1492) Santa
Maria misalnya hanya berukuran 100 ton, kapal terbesar armada Vasco da Gama (tahun 1497)
120 ton dan Ferdinand Magellan (tahun 1519) sebesar 130 ton. Dari segi ukuran, seluruh empat
kapal dari dari armada Vasco da Gama bisa muat dalam satu bouchuan.
Kapal-kapal raksasa baochuan itu didampingi oleh kapal-kapal machuan yang lebih
kecil, yang berukuran panjang 110 m dengan delapan tiang layar yang merupakan kapal-kapal
cepat, yang diberi julukan “kuda-kuda yang berderap”. Di samping itu ada juga kapal-kapal
perbekalan, kapal pengangkut pasukan, dan kapal layar perang khas Tiongkok (jung) yang
berukuran lebih kecil dan lincah. Diperkirakan sekitar 300 kapal yang bisa terlibat dalam satu
pelayaran ekspedisi yang diawaki oleh sekitar 30.000 pelaut, dan disertai pula dengan ratusan
tabib, ahli nujum, tukang kayu, pandai besi, penjahit, koki, saudagar, dan penerjemah. Dalam
pelayaran itu dibawa pula beragam perbekalan termasuk hewan seperti sapi, kambing, ayam,
yang kemudian dapat disembelih untuk konsumsi para anak buah kapal selama dalam
pelayaran. Di samping itu banyak pula dibawa teh, minuman asli Tiongkok yang ternyata dapat
mencegah penyakit scurvy, penyakit yang sering melanda pelaut-pelaut Eropa dalam pelayaran
panjang mereka.
Dalam pelayaran-pelayarannya ke Nusantara, Cheng Ho membawa dari Tiongkok
barang-barang seperti sutra, keramik porselen, berbagai barang logam (emas, perak, besi,
perunggu), kertas, teh, obat-obatan, alat-alat pertanian, dan sebagainya. Sedangkan dari
Nusantara ia membawa berbagai hasil bumi, antara lain rempah-rempah, kemenyan, kapuk,
belerang, kayu cendana, sarang burung, dan lain-lain.
Dalam pelayarannya Cheng Ho juga membawa pasukan bersenjata tetapi tidak
dimaksudkan untuk memerangi atau menjajah negeri-negeri yang dikunjunginya. Pasukannya
lebih dimaksudkan untuk menjamin keamanan dalam pelayaran perniagaan. Cheng Ho pernah
4
memerintahkan tindakan militer untuk menyingkirkan kekuatan yang menghalangi kegiatan
perniagaan. Ia menumpas gerombolan bajak laut asal Canton, Chen Zhuji, yang terkenal ganas
beroperasi di perairan sekitar Palembang dan Selat Malaka. Hampir tiap pelayaran yang lewat
Selat Malaka dihadang oleh bajak laut Chen Zhuji, tetapi ia kemudian dapat ditangkap dan
ditawan, sampai akhirnya dieksekusi di hadapan masyarakat di Nanjing.
Dalam tujuh kali pelayaran besarnya, Cheng Ho selalu menyinggahi pelabuhanpelabuhan di Nusantara antara lain Palembang, Samudra Pasai, Lamiri, Nakur, Lide, di
Sumatra, sedangkan di Jawa antara lain antara lain Cirebon, Semarang, Tuban, Gresik,
Surabaya, Mojokerto.
Tentulah merupakan suatu ketakjuban tersendiri bila menyaksikan
kedatangan armada yang terdiri dari tiga ratusan kapal layar besar dan kecil, yang seolah-olah
memenuhi seluruh kaki langit di depan bandar yang disinggahi.
Gambar 5. Lonceng raksasa “Cakra Donya” di Museum Banda Aceh.
Pemberian Cheng Ho kepada Sultan Aceh.
Banyak peninggalan Cheng Ho di Nusantara yang masih bisa disaksikan sekarang ini
seperti genta atau lonceng raksasa Cakradonya yang kini disimpan di Museum Banda Aceh.
Ada pula piring keramik bertuliskan Ayatul Kursi di Keraton Kasepuhan Cirebon, dan beberapa
kelenteng terkenal seperti kelenteng Sam Po Kong di Semarang, kelenteng Sam Po Sui Siu di
5
Ancol, dan banyak lainnya. Berbagai peninggalannya juga dapat ditemui di banyak negeri
lainnya yang pernah dikunjunginya.
Sesungguhnya Cheng Ho juga berkontribusi sangat penting dalam pengetahuan kelautan.
Salah satunya adalah dalam ilmu pelayaran yang telah menunjukkan teknik navigasi yang
bermutu tinggi yang saat itu tiada tandingannya di dunia. Dari pelayaran-pelayarannya telah
dihasilkan 24 peta-peta pelayaran yang diterbitkan dalam buku bertajuk Peta Pelayaran Untuk
Menuju Negeri-Negeri Asing dari Dok Kapal Pusaka dan Berangkat dari Pelabuhan Sungai
Naga. Peta-peta ini berisi pokok-pokok mengenai arah pelayaran, pengukuran jarak di laut,
petunjuk pemakaian kompas, letak gosong atau terumbu yang dapat membahayakan pelayaran,
tanda-tanda letak bintang-gemintang yang penting untuk navigasi di laut. Buku tersebut
merupakan buku geografi kelautan yang pertama produksi Tiongkok, yang akurasi peta-petanya
tidak kalah dibandingkan dengan peta-peta yang dihasilkan dengan teknologi yang lebih maju.
Seorang sarjana Inggris, Mills (1937, dalam Kong, 2000) dalam kajiannya tentang peta-peta
laut Cheng Ho di perairan sekitar Malaysia dan Kepulauan Riau menyebutkan sedikitnya 40
nama lokasi di perairan ini yang tercantum dalam peta-peta tersebut. Nama-nama pulau ada
yang sepenuhnya diberi nama Tiongkok, tetapi banyak pula lainnya merupakan adopsi dari
Bahasa Melayu yang disesuaikan dengan dengan dialek Xiamen (Amoi). Misalnya “Pi Song
Yu” mengacu pada “Pulau Pisang” (“Pi Song” berasal dari bunyi “Pisang”, dan “Yu” bermakna
“Pulau”). Yang lainnya diterjemahkan dari bahasa Melayu, misalnya “Jiu Zou Yu” yang
mengacu pada “Pulau Sembilan” (“Jiu” dalam dialek Xiamen bermakna “sembilan”).
Gambar 6. Masjid Cheng Ho di Palembang dengan arsitektur bernuansa Tiongkok
6
Dengan prestasi pelayarannya boleh dikatakan Cheng Ho berhasil mengaitkan jalur laut
yang dikenal dengan “Jalur Rempah-Rempah” (Spice Route)
dengan jalur perdagangan
tradisional lewat daratan yang dikenal sebagai “jalur sutra” (Silk Route), dua jalur perniagaan
penting yang menghubungkan dunia Timur (Asia) dan dunia Barat (Eropa).
Dalam pelayarannya Cheng Ho dibantu oleh Ma Huan, seorang cendekiawan muslim
yang fasih berbahasa Arab dan menjadi penerjemah, yang menerbitkan bukunya Yung-Jai
sheng-lan: Survei Menyeluruh tentang Pantai-Pantai Samudra, tahun 1451. Dari pelayaran itu
Ma Huan juga menulis tentang ritual pernikahan dan pemakaman, arsitektur domestik,
kepercayaan keagamaan, bahasa dan dialek, praktek perdagangan, satuan berat dan ukuran yang
dipakai, flora-fauna setempat, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kekuatan dan kelemahan
pemerintahan negeri yang dikunjngi.
Selain itu, Cheg Ho juga mengenalkan kepada masyarakat Nusantara berbagai
pengetahuan misalnya berbagai teknik pertanian, penggunaan alat timbangan yang penting
dalam perniagaan, kalender untuk menemukan hari-hari penting, berbagai jenis makanan,
beragam bentuk kesenian, dan
sebagainya. Sebaliknya, ia pun
menerima
atau
menyerap
berbagai hal yang berasal dari
negeri
ini. Sebagai
muslim
yang
taat,
seorang
ia
pun
berperan dalam penyampaian
dakwah Islam di tempat-tempat
yang
dikunjungnya
di
Nusantara. Meskipun demikian
ia
sangat
toleran
berdampngan
hidup
Gambar 7. Perangko Indonesia (2005) memperingati 600
tahun Pelayaran Laksamana Cheng Ho (Zheng He)
dengan
masyarakat lingkungannya yang tetap menjunjung agama dan budaya tradisional Tiongkok.
Dalam pelayarannya yang terakhir, sebagian armadanya masuk sampai ke Jeddah di
Saudi Arabia, dan banyak awak kapal yang muslim berkesempatan menunaikan ibadah haji ke
Mekkah. Cheng Ho sendiri tidak ikut ke Mekkah tetapi mengutus sahabat dekatnya, Ma Huan,
ke sana, sementara Cheng Ho menunggu di Calicut (India Selatan).
Dalam pelayarannya yang ketujuh atau yang terakhir ini Cheng Ho wafat pada tahun
1433. Ini berarti
ia telah menghabiskan sekitar 30 tahun usianya untuk melaksanakan
pelayaran-pelayran kolosal, hampir tiada henti. Sebagian penulis biografi Cheng Ho
7
menyatakan bahwa laksamana agung itu kembali ke Cina dan meninggal dua tahun kemudian di
Nanjing. Namun batu nisan bertuliskan namanya di lereng bukit di pinggir kota Nanjing itu
tampak kosong. Ada spekulasi bahwa kemungkinan besar Cheng Ho wafat dalam perjalanan
pulang dan dimakamkan di lepas pantai Malabar, India.
Setelah Cheng Ho wafat, ekspedisi-ekspedisi kolosal dari Tiongkok tidak lagi diteruskan.
Setelah terjadi pergantian pemerintahan di Tiongkok, ekspedisi dengan pelayaran jauh ini
dipandang terlalu mahal, dan tidak sebanding dengan manfaaat yang diperoleh. Tetapi Cheng
Ho telah menorehkan sejarah penjelajahan maritim kolosal yang banyak membawa iklim
perdamaian dan pertukaran budaya di berbagai penjuru dunia , termasuk di Nusnatara. Cheng
Ho juga telah ikut menyebarkan syiar islam di Nusantara. Pada tahun 2005, Indonesia
menerbitkan perangko peringatan 600 tahun pelayaran Cheng Ho (Zheng He).
PUSTAKA
Kong, Y. 2005. Muslim Tinghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara.
Penyunting: Hembing Wijayakusuma. Pustaka Penerbit Obor: 299 hlm.
Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat
Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.
Tan Ta Sen. 2010. Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara. PT Kompas Media
Nusantara: 406 hlm.
-----
Anugerah Nontji
10/06/2017
8
Download