1 BAB I PENDAHULUAN IA Latar Belakang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang
calon suami-istri dipertemukan secara formal di depan penghulu atau kepala agama
tertentu, para saksi dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai
pasangan suami-istri dengan upacara atau ritus-ritus tertentu (Kartono, 1992).
Pernikahan merupakan salah satu kriteria keanggotaan peran-peran spesifik bagi suamiistri sebagai bagian dalam keluarga (Burges & Locke dalam Dyer, 1983). Dalam
keluarga, seorang perempuan sebagai seorang istri memiliki peran sebagai pengasuh
anak dan mengurusi urusan-urusan rumah tangga, yang sering kali mengurangi
kesempatan mereka untuk bekerja di luar rumah, sedangkan seorang laki-laki sebagai
suami berkonsentrasi pada peran maskulinnya sebagai pencari nafkah bagi keluarganya
(Covan dkk., 1997).
Setelah menikah, orang-orang yang penting bagi seorang suami ataupun istri
adalah pasangannya, setelah itu anak, teman dan saudara (Johnson & Catalono dalam
Lemme, 1995). Seorang suami ataupun istri ini dapat kehilangan orang yang terpenting
dalam hidupnya ini (pasangannya) pada awal pernikahan, pertengahan pernikahan,
maupun ketika usia mereka telah tua. Salah satu hal yang dapat menyebabkan seorang
suami atau istri kehilangan pasangannya adalah kematian. Menurut Dayakisni (2003),
diantara orang-orang yang tidak menikah (yang belum menikah, ditinggal pasangan
karena bercerai dan juga karena kematian), yang paling kesepian adalah seseorang yang
menjadi sendiri karena kematian pasangannya. Selain itu, dari hasil penelitian Holmes
Universitas Sumatera Utara
2
dan Rahe (dalam Calhoun & Acocella, 1990) terlihat bahwa tingkat kesulitan
penyesuaian diri yang paling besar adalah penyesuaian diri terhadap kematian suami
atau istri. Hal ini berarti kehilangan pasangan karena kematian merupakan hal yang
paling menyebabkan seseorang mengalami stres. Kematian suami menyebabkan seorang
istri menjadi janda sedangkan kematian istri menyebabkan seorang suami menjadi duda.
Kehilangan pasangan, terutama karena kematian, lebih sering dialami oleh
perempuan. Hal ini dapat dilihat dari data Dinas Kependudukan Medan pada tahun 2005
dimana jumlah janda karena kematian suaminya sebesar 6,17%; sedangkan jumlah duda
karena kematian istrinya sebanyak 1,01%. Ada beberapa hal yang menyebabkan jumlah
janda lebih banyak dibanding jumlah duda, yaitu karena perempuan hidup lebih lama
daripada laki-laki, perempuan umumnya menikahi laki-laki yang lebih tua dari mereka
sendiri, adanya norma-norma sosial yang kuat yang menentang perempuan menikahi
laki-laki yang lebih muda, adanya norma-norma yang menentang perempuan yang telah
menjanda menikah lagi (Ollenburger & Moore, 1996)
Setelah pasangannya meninggal, seorang janda akan menghadapi beberapa
dimensi masalah. Bagi beberapa perempuan, penyesuaian mereka terhadap kehilangan
suami meliputi perubahan terhadap konsep diri mereka. Peran penting perempuan
sebagai seorang istri tidak akan ada lagi dalam kehidupan mereka setelah suaminya
meninggal dunia. Perempuan yang telah mendefinisikan dirinya sebagai seorang istri,
setelah kematian suaminya mengalami kesulitan untuk mendefinisikan dirinya sebagai
seorang janda. Oleh karena itu, bagi seorang perempuan, meninggalnya suami berarti
kehilangan orang yang mendukung definisi diri yang dimilikinya (Nock, 1987).
Secara finansial kematian pasangan selalu menyebabkan kesulitan ekonomi
walaupun dalam beberapa kasus istri merupakan ahli waris dari suaminya, namun selalu
Universitas Sumatera Utara
3
ada biaya yang harus dikeluarkan misalnya untuk biaya dokter dan pembuatan makam
(Kephart & Jedlicka, 1991). Bagi seorang janda, kesulitan ekonomi, dalam hal ini
pendapatan dan keuangan yang terbatas, merupakan permasalahan utama yang mereka
hadapi (Glasser Navarne, 1999). Ketidakhadiran suami sebagai kepala keluarga dan
pencari nafkah bagi keluarga menyebabkan seorang janda harus mampu mengambil
keputusan dan bertanggung jawab sendiri, termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan
juga anak-anaknya (Suardiman, 2001).
Dari segi fisik, kematian pasangan menyebabkan peningkatan konsultasi
medis, kasus rawat inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak
kesehatan, seperti merokok dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian
pasangan yang ditinggalkan (Santrock, 1995). Rosenbloom & Whitington (dalam
Scannell-Desch, 2003) menemukan bahwa gizi buruk berhubungan dengan perubahan
kebiasaan makan pada janda. Selain kehilangan teman saat makan, dia juga tidak
merasakan lagi suasana yang menyenangkan saat makan bersama suami, dia menjadi
tidak peduli terhadap pemilihan makanan dan kualitas nutrisi. Mereka juga dilaporkan
tidak makan sebanyak tiga kali sehari dan makanan mereka adalah makanan yang tinggi
kalori dan rendah lemak.
Kehidupan sosial mereka juga mengalami perubahan. Keluarga dan temanteman biasanya selalu berada di dekat janda pada masa-masa awal setelah kematian,
namun setelah itu mereka akan kembali ke kehidupan mereka masing-masing (Brubaker
dalam Papalia, Old & Feldman, 2001). Masalah yang sering muncul adalah tentang
hubungannya dengan teman dan kenalannya. Seorang janda sering tidak diikutsertakan
dalam suatu kegiatan sosial oleh pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai
ancaman oleh para istri (Freeman, 1984). Perempuan yang menjanda juga mengatakan
Universitas Sumatera Utara
4
bahwa mereka sering merasa aneh dan kurang nyaman ketika berada dalam situasi
dimana
dia
harus
bersama-sama
dengan
orang
yang
berpasangan,
yang
menyebabkannya semakin terpisah dari lingkungan sosialnya (Matlin, 2004).
Perempuan yang menjanda mungkin akan merasa tidak tertarik ataupun tidak nyaman
dalam situasi sosial dimana dulunya dia diterima. Hubungan dengan teman mungkin
akan rusak atau mengalami perubahan, terutama jika hubungan itu ada karena ada
kaitannya dengan pasangan yang telah meninggal (Belsky, 1990), misalnya seorang
janda mungkin tidak akan mengikuti lagi perkumpulan istri-istri di tempat suaminya
bekerja dahulu. Dia harus membangun hubungan sosial yang baru dan mencari teman
baru (Barrow, 1996).
Secara emosional, janda yang telah kehilangan suaminya juga kehilangan
dukungan dan pelayanan dari orang yang dekat secara intim dengannya (Barrow, 1996).
Selain itu, ada beberapa perempuan yang seolah-olah merasakan simptom-simptom
terakhir dari penyakit suaminya; ada yang mengenakan pakaian suaminya agar merasa
nyaman dan dekat dengan suaminya; dan beberapa lainnya tetap memasak dan mengatur
meja untuk suaminya walaupun suaminya itu telah meninggal (Heinemann dalam Nock,
1987). Beberapa janda mengatakan mereka tetap melihat dan mendengar suaminya
selama setahun. Mereka merasa marah pada suaminya karena telah meninggalkannya,
dan mencari-cari atau mengharapkan nasehat dari suaminya selama beberapa waktu
(Caine dalam Nock, 1987).
Kehilangan pasangan serta banyaknya masalah yang muncul menyebabkan
masa menjanda ini menjadi masa krisis. Seperti halnya masa krisis lainnya, dalam
menjalani masa menjanda ini seorang janda sangat membutuhkan dukungan sosial
(Lemme, 1995). Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun
Universitas Sumatera Utara
5
bantuan dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun dari
kelompok (Sarafino, 2002). Dukungan sosial yang dibutuhkan seseorang dapat berasal
dari keluarga, teman, perkumpulan di tempat kerja, dan dari anggota kegiatan-kegiatan
yang diikutinya (Lopata dalam Craig, 1996). Ada lima bentuk dukungan sosial yang
dapat diterima oleh individu, yaitu dukungan emosional, penghargaan, instrumental,
informasi, dan dukungan kelompok (Sarafino, 2002). Kelima bentuk dukungan sosial
inilah yang nanti digunakan untuk mengukur dukungan sosial yang diterima individu.
Hal yang paling penting dari suatu dukungan sosial adalah individu memiliki teman
berbicara, memiliki seseorang untuk memberikan nasehat, memiliki seseorang untuk
menghibur dan membangkitkan semangat.
Kematian pasangan yang dialami seorang janda menyebabkannya harus
mengatasi masalah seorang diri. Keadaan dimana seharusnya seorang perempuan dapat
berbagi beban dengan suami namun sekarang harus menghadapi semua masalah seorang
diri merupakan masalah terberat bagi seorang janda. Jika seorang perempuan merasa
terbebani dan memikirkan suatu permasalahan, dia sangat memerlukan orang lain untuk
diajak berbicara dan biasanya suamilah yang menjadi teman berbagi dan bertukarpikiran, namun suaminya sudah meninggal. Ketiadaan suami akan menyebabkannya
merasa tidak berdaya (An-Nuaimi, 2005). Karena suaminya telah meninggal, seorang
janda membutuhkan seseorang untuk berbagi, namun janda juga menghadapi
pemasalahan dalam kehidupan sosialnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
janda yang telah ditinggal mati pasangannya akan menghadapi masalah sosial. Keluarga
dan teman-teman biasanya selalu berada di dekat janda pada masa-masa awal setelah
kematian, namun setelah itu mereka akan menjauh darinya dan kembali ke kehidupan
mereka masing-masing. Mereka tidak akan selalu ada ketika dibutuhkan (Brubaker
Universitas Sumatera Utara
6
dalam Papalia, Old & Feldman, 2001). Dalam hubungannya dengan teman dan
kenalannya, seorang janda sering tidak diikutsertakan dalam suatu kegiatan sosial oleh
pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai ancaman oleh para istri (Freeman,
1984). Hubungan dengan teman mungkin akan rusak, terutama jika hubungan itu ada
karena ada kaitannya dengan pasangan yang telah meninggal (Belsky, 1990), misalnya
seorang janda mungkin tidak akan mengikuti lagi perkumpulan istri-istri di tempat
suaminya bekerja dahulu. Perempuan yang menjanda juga mengatakan bahwa mereka
sering merasa aneh dan kurang nyaman ketika berada dalam situasi dimana dia harus
bersama-sama dengan orang yang berpasangan, yang menyebabkannya semakin
terpisah dari lingkungan sosialnya (Matlin, 2004).
Orang-orang dengan dukungan sosial yang baik berkemungkinan kecil untuk
bereaksi secara negatif terhadap masalah-masalah hidup dibandingkan dengan orangorang yang mendapat dukungan sosial sangat sedikit (Lahey, 2007). Dalgard (dalam
Plotnik, 2005) mengatakan bahwa sistem dukungan sosial yang baik, misalnya memiliki
satu atau lebih teman dekat akan mengurangi efek dari kejadian yang menyebabkan
seseorang stres dan meningkatkan kesehatan mental individu. Jennison (dalam Plotnik,
2005) mengatakan bahwa kehadiran keluarga dan teman dapat meningkatkan
kepercayaan diri individu ketika menghadapi stres sehingga dia merasa mampu untuk
mengatasi masalahnya. Orang-orang yang kehilangan pasangannya berkemungkinan
besar untuk melakukan perilaku tidak sehat jika dia mendapatkan sedikit dukungan.
Menurut DiMatteo (1991), janda yang mendapatkan banyak dukungan akan merasa
bahwa dia memiliki banyak orang yang dapat dijadikannya teman untuk berbagi
sedangkan janda yang mendapatkan sedikit dukungan sosial akan merasa tidak berdaya
dalam mengatasi masalahnya dan merasa tidak ada orang yang memperhatikannya
Universitas Sumatera Utara
7
sehingga dia akan merasa tidak puas atas hubungan yang dimilikinya. Baron & Byrne
(2000) mengatakan ketika seseorang merasa kekurangan dan tidak puas atas hubungan
yang dimilikinya, dia akan kesepian. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dykstra
(1995) dapat dilihat bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting yang menentukan
kesepian yang dialami oleh seseorang yang hidup tanpa pasangan.
Kesepian merupakan suatu pengalaman subyektif dan tergantung pada
interpretasi individu terhadap hubungan sosial yang dimilikinya. Menurut Bruno (dalam
Dayakisni, 2003) kesepian dapat berarti suatu keadaan mental dan emosional yang
terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan
yang bermakna dengan orang lain. Kesepian timbul ketika seseorang memiliki
hubungan interpersonal yang lebih sedikit dibanding yang diinginkannya atau ketika
hubungan interpersonalnya tidak memuaskan keinginannya (Weiten & Llyod, 2006).
Orang yang merasa kesepian akan merasa ditiadakan dari kelompok, tidak
dicintai oleh orang-orang yang ada disekitarnya, tidak dapat berbagi tentang masalahmasalah pribadi, ataupun berbeda serta terasing dari orang-orang di sekelilingnya (Beck
& Young; Davis & Fanzoi dalam Myers, 1996). Selain itu, individu yang mengalami
kesepian memiliki pandangan negatif terhadap depresi yang mereka rasakan,
menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk, dan berbagai hal yang berada
di luar kendali (Anderson & Snoggrass, dalam Myers, 1999). Barg et al. (2006)
menemukan bahwa orang-orang yang mengatakan dirinya kesepian umumnya lebih
tertekan, ketakutan dan putus asa serta memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
merasakan kesedihan dan sulit untuk bersenang-senang dibandingkan dengan orang
yang tidak kesepian. Kesepian yang terjadi akibat berpisah dengan orang yang kita
cintai dapat membangun suatu reaksi emosional seperti kesedihan, kekecewaan, bahkan
Universitas Sumatera Utara
8
rasa geram yang membuat seseorang marah pada lingkungan dan juga pada dirinya
sendiri (Sears dkk., 1999). Menurut Rubeinstein, Shaver & Peplau (1979 dalam Brehm,
2002), ada 4 jenis perasaan yang dirasakan ketika seseorang kesepian yaitu putus asa,
depresi, impatient boredom, meyalahkan diri. Keempat perasaan inilah yang akan
digunakan untuk mengukur kesepian pada janda.
Menurut Brehm (2002), kesepian yang dialami oleh janda disebabkan oleh
keinginan-keinginan seperti keinginan untuk bersama dengan suaminya, keinginan
untuk dicintai oleh seseorang, keinginan untuk berbagi pengalaman sehari-hari dengan
seseorang, membutuhkan seseorang untuk berbagi beban dan pekerjaan, keinginan
untuk mencintai dan merawat seseorang, kerinduan terhadap masa lalu ketika bersama
suami, merasa kehilangan status, ketakutan akan ketidakmampuannya untuk
membangun hubungan pertemanan yang baru. Perasaan-perasaan ini akan menyebabkan
janda mengalami kesepian (Brehm, 2002).
Perasaan kesepian yang dirasakan laki-laki dan perempuan relatif sama,
namun perempuan lebih mengekspresikan dirinya sebagai orang yang kesepian
dibanding laki-laki. Hal ini disebabkan karena laki-laki dianggap kurang pantas untuk
mengekspresikan emosinya sehingga mereka tidak mau mengakui bahwa mereka
kesepian (Deaux, Dane, & Wrightsman, 1993). Selain itu, setelah istrinya meninggal,
duda cenderung untuk menikah lagi, sedangkan janda cenderung untuk tidak menikah
lagi. Janda cenderung merasakan kesepian dalam waktu yang lebih lama daripada duda
karena perempuan cenderung untuk tidak menikah lagi setelah pasangannya meninggal
(Lemme, 1995). Berdasarkan hasil penelitian Lopata, Heinnemann & Baum (dalam
Craig, 1996) ditemukan bahwa janda yang paling kesepian adalah janda yang telah
kehilangan suaminya selama kurang dari 6 tahun. Seperti yang dikatakan oleh
Universitas Sumatera Utara
9
Siegelman & Rider (2003) bahwa beberapa bulan setelah kematian pasangan, pasangan
yang ditinggalkan akan mengalami permasalahan psikologis yang serius, namun setelah
itu akan terjadi proses adaptasi sehingga kesedihan, penderitaan, dan masalah psikologis
lainnya yang timbul setelah ditinggalkan pasangan akan berkurang, begitu juga kesepian
yang dialami oleh janda.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa setelah pasangannya meninggal,
seorang janda akan menghadapi berbagai masalah yang menyebabkannya membutuhkan
dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Dukungan sosial yang diterima oleh janda
mungkin dapat mengurangi kesepian yang dialaminya. Berdasarkan penjelasan diatas,
maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan dukungan sosial dengan kesepian pada
janda yang ditinggal mati pasangannya.
I. B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan dukungan
sosial dengan kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya.
I.C. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis.
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi kepentingan ilmu
pengetahuan yaitu sebagai media pengembangan teori khususnya Psikologi Klinis
dan Psikologi Sosial, terutama yang berkaitan dengan dukungan sosial dan
kesepian janda yang ditinggal mati pasangannya.
Universitas Sumatera Utara
10
2. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini penulis berharap pembaca, terutama janda yang
ditinggal mati pasangannya, dapat mengetahui gambaran kesepian pada
janda
yang
ditinggal
mati
pasangannya
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya sehingga dapat memikirkan langkah yang dapat dilakukan
untuk mengurangi kesepian yang dialaminya.

Memberi masukan bagi janda yang ditinggal mati pasangannya tentang
pentingnya dukungan sosial untuk kesepian yang dialaminya.

Memberi masukan mengenai kesepian yang dialami oleh janda yang
ditinggal mati pasangannya bagi keluarga dan masyarakat yang ada di sekitar
janda yang ditinggal mati pasangannya, sehingga mereka mampu
memberikan dukungan yang dapat mengurangi kesepian yang dialami oleh
janda yang ditinggal mati pasangannya.

Memberi masukan bagi perempuan yang masih memiliki suami mengenai
gambaran kesepian yang dialami oleh janda yang ditinggal mati
pasangannya, sehingga sudah memiliki gambaran masalah yang akan
dihadapinya ketika suaminya meninggal.

Sebagai masukan kepada konselor pernikahan dalam menangani kesepian
yang dialami oleh klien yang ditinggal mati pasangannya.
Universitas Sumatera Utara
11
I.D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:
Bab I
: Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tetang latar belakang masalah penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II
: Landasan Teori
Bab ini memuat pembahasan secara teoritis tentang dukungan sosial,
kesepian, janda, serta hubungan antara stres dengan kesepian pada janda
yang ditinggal mati pasangannya.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini terdiri atas identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional
penelitian, sampel dan populasi, metode pengumpulan data, dan metode
analisa data.
Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian
Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subyek
penelitian, hasil penelitian, dan juga membahas data-data penelitian ditinjau
dari teori yang relevan.
Bab V
: Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, diskusi hasil
penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan
hasil penelitian atau untuk penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
Download