KOMPARASI HAK JANDA MATI DALAM HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM Oleh : Fathul qorib Pendahuluan Dikalangan masyarakat perkawinan seolah-olah bukan merupakan suatu peristiwa yang sakral lagi. Kesucian perkawinan seringkali dinodai oleh ketidak setiaan salah satu pihak, sehingga seringkali pula menyebabkan pihak lainnya menderita dan tidak lagi merasakan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Pasal 1 Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, perkawinan adalah suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagai istri. dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1. Ketentuan di atas menampakkan bahwa pembentuk Undang-Undang berusaha membuat suatu perkawinan sebagai peristiwa yang sakral, terbukti dari adanya pernyataan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, akan tetapi ternyata didalam prakteknya, banyak kaum pria melakukan perkawinan baru secara diam - diam, baik secara sah maupun secara Islam (sirri). Kenyataan di atas menjadikan, bahwa penghargaan antara suami terhadap istrinya pada umumnya sudah menurun, bahkan keyakinan untuk membentuk rumah tangga/keluarga yang kekal abadi juga sudah berkurang. Alasan yang dinampakkan memang logis, bahkan seringkali sesuai dengan alasan kemungkinan dilakukan Poligami (beristri lebih dari satu), seperti istri mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri mandul dan lain sebagainya, tetapi tidak ada pernyataan tegas bagaimana yang terjadi apabila suami yang sakit atau suami yang mandul. Kebanyakan materi dalam UndangUndang perkawinan lebih mengutamakan kaum pria dan lebih memberikan peluang untuk berpoligami. Kebaikan dari itu semua, ada juga dalam suatu perkawinan, seorang suami benar-benar menyayangi istrinya, suami semacam ini tidak akan tenang di akhirat apabila melihat istrinya tidak bahagia. Suami semacam ini, disamping memikirkan masa depan anak atau anak-anaknya juga memikirkan masa depan istrinya (andanya). Dari sisi Islam yang seringkali menempatkan istri “di bawah” derajad suami, didalam hukumnya menyatakan ketegasannya untuk memasukkan istri sebagai ahli warisnya. Hukum perdata yang juga memberikan hak kepada seorang istri (janda) sebagai ahli waris suaminya, akan tetapi apabila dalam keluarga yang bersangkutan terdapat banyak anak kandung, sedangkan harta peninggalan yang ditinggalkan oleh suami selaku pewaris tidak banyak, maka bagian untuk jandanya juga terpengaruh. Seorang istri yang tidak bekerja sendiri, yang kemudian ditinggal mati oleh suaminya, maka sebenarnya penderitaanlah yang akan dialaminya, karena yang bersangkutan tetap harus memelihara dan memenuhi kebutuhan anak atau anak-anaknya secara memadai. Kedudukan Dan Hak Janda Mati Dalam Hukum Perdata Yang dimaksud dengan janda mati menurut ketentuan Hukum Perdata, adalah janda yang ditinggal mati suaminya dalam masa perkawinan atau masih belum bercerai. Apabila seorang suami meniggal dunia, maka diperlukan langkah-langkah yang berkaitan dengan 1 H. Junaedi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1999, halaman 38 harta kekayaannya (apabila ada) dan harta ini harus dibagi secara adil (sesuai dengan Porsi) diantara ahli waris agar tidak menyebabkan sengketa antar mereka. Pada Hukum Perdata terdapat pernyataan sebagai berikut : “Hukum Waris menurut Undang-Undang (Wettelijke Erfecht) hukum waris (Ab Intesto) (tanpa testament) (Ab lntestaat Efiecht), sebagai kebalikan dari Testamenter Erfrecht, yang berarti Hukum Waris menurut Testament, dan masih ada juga istilah yang dipergunakan dalam Bahasa Belanda, yakni Erfrecht Bij Vesterf) (Hukum Waris karena kematian)”2. Dengan demikian dikalangan masyarakat yang tunduk kepada Hukum Perdata ada tiga macam pewarisan, yaitu tanpa surat wasiat, dengan surat wasiat dan karena kematian. Apabila seorang suami bercerai dengan istrinya, maka istri tersebut akan menjadi janda cerai, dan terhadapnya akan memperoleh bagian harta Gono-gini yang diperoleh selama hidup dengan suaminya itu, akan tetapi untuk harta asal belum tentu. Ini merupakan pembagian harta tanpa testamen, apabila suami janda yang bersangkutan meninggal dunia, maka status janda akan menjadi janda mati, dan disamping harta Gono-gini , janda yang bersangkutan juga memperoleh bagian warisaan atas harta suaminya. Mengenai pewarisan ini bisa dengan testamen dan bisa pula tidak dengan testamen. Sesuai dengan ketentuan pasal 833 KUH Perdata, maka “sekalian ahli waris menurut hukum memperoleh hal milik atas semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia” 3. Bunyi pasal ini memunculkan adagium yang berbunyi Le Mort Saisit Le Vif, atau yang meninggal dunia berpegang pada yang masih hidup. Maksudnya adalah bahwa harta warisan dari si mati akan menjadi tanggungan atau menjadi suatu kewajiban bagi yang masih hidup untuk mengembangkannya. Hal ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan generasi berikutnya, kadangkala juga untuk modal berumah tangga dan lain sebagainya. Selanjutnya pada pasal 832 KUH Perdata, khususnya tentang pewarisan ab intestato yang berhak adalah keluarga sedarah dan istri (suami) yang hidup dan apabila semuanya itu tidak ada, maka yang berhak mewarisi adalah Negara. Dengan demikian, istri merupakan salah satu ahli waris dan suaminya. Kedudukan seorang istri untuk menjadi ahli waris suaminya menurut Hukum Perdata cukup kuat, bahkan pada pasal 852 a KUH Perdata dinyatakan, bahwa : “Bagian seorang istri (suami), kalau ada anak dari perkawinanya dengan yang meninggal dunia, adalah sama dengan bagian seorang anak”4. Bagian seorang istri yang ditinggal mati suaminya, sama dengan bagian warisan anak atau anak-anaknya, dan apabila tiada anak, maka bagiannya kan menjadi lebih besar dari itu. Bisa juga dinyatakan, bahwa bagian seorang istri yang ditinggal mati suaminya, tidak boleh lebih dari bagian terkecil anak-anak yang meninggal dunia. Walaupun demikian, maka bagian seorang iistri biarpun bagaimana tetap sama dengan bagian anak atau anak dari keluarga yang meninggal dunia. Apabila perkawinan yang bersangkutan bukan perkawinan yang pertama, dan pada perkawinan sebelumnya juga ada anak, maka bagian dari janda tidak boleh lebih dari bagian terkecil anak atau anak-anak dari pewaris. Bagaimanapun juga seorang janda mati tidak boleh menerima lebih dari seperempat bagian dari harta waris. 2 Ali Affandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina Aksara, Jakarta, 1998, halaman 34 Ibid. 4 Subekti dan Thitrosudibio, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, halaman 221 3 “Dengan dasar Statsblad tahun 1935 Nomor 486, bagian janda diberikan dengan maksud memperbaiki kedudukan seorang janda dengan adanya ketentuan yang dibuat, bagian janda dipersamakan dengan bagian seorang anak”5. Adanya ketentuan mengenai janda tersebut, penjagan terhadap kedudukan janda dilakukan dengan memberikan kapada janda tersebut hak mewaris jangan sarnpai mengurangi kepentingan dan dikurangi oteh kepentingan anak-anak pewaris, yang juga anak kandung janda, termasuk mendesak dan didesak oleh kepentingan anak pada perkawinan pewaris sebelumnya. Khusus untuk janda perolehan harta warisan dari sumai yang meninggal dunia dapat diperoleh dengan testamen ini berfungsi untuk mewujudkan keinginan suami yang telah meninggal dunia itu, apabila bersangkutan berkeinginan memberi kepada jandanya bagian yang lebih banyak atau untuk menghadiahkan barang-barang khusus yang tidak diinginkannya berpindah kepada orang lain. Sebagaimana yang disinggung pada pasal 852 a KUH Perdata, maka terdapat usaha untuk menjaga kepentingan seorang janda dan agar jangan didesak oleh kepentingan anak atau jangan sampai diganggu ketenangannya di rumah, yang berhubungan dengan barangbarang rumah tangga. Apabila seorang janda mewaris bersama-sama dengan orang lain, selain dengan anak-anaknya atau dengan anak-anak dari perkawinan sipewaris yang dahulu atau keuntungannya, maka janda dapat menarik seluruh atau sebagian dari perabot rumah tangga didalam kekuasannya. Dengan demikian nampak sekali bahwa ketentuan hukum perdata sangat memperhatikan keadaan dan kedudukan janda dalam pewaris setelah ditinggal mati suaminya yang berkedudukan sebagai pewaris. Secara logika yang dilakukan oleh Hukum Perdata ini dapat dibenarkan karena walaupun suami telah meninggal dunia, akan tetapi janda tersebut adalah ibu dari anak atau anak-anak kandung suaminya, kecuali apabila tidak ada anak, maka keadaan akan menjadi rumit. Didalam janda cerai hidup juga demikian, karena tidak ada seorangpun yang pada saat melangsungkan pernikahan mempunyai bayangan akan bercerai, akan tetapi karena keadaan atau faktor-faktor lain yang menjadi pendorong, baik yang berasal dari luar para pihak, suami dan atau istri, maupun yang disebabkan oleh ulah pada pihak sendiri. Di masa sekarang perselingkuhan banyak terjadi, pernikahan kedua dan ketiga juga banyak terjadi, suami istri hidup serba kekurangan juga banyak ditemui. Disamping itu, tidak jarang bagi mereka yang bercerai berebut harta Gono-gini. Padahal ada beberapa kedudukan yang menyebabkan beragamnya koefisien pemabagian harta Gono-gini diantaranya adalah suami dan istri telah bekerja pada posisi yang cukup baik, suami bekerja, istrinya tidak atau istri bekerja, suaminya tidak, ditambah dengan ada dan tidaknya anak, lalu siapa yang harus memelihara anak atau anak-anak setelah perceraian. Dengan berbagai keadaan di atas, maka pandangan antara Hukun Perdata dan Hukum Islam dimungkinkan juga berbeda, seperti adanya perkawinan yang sah menurut Islam, tetapi tidak sah secara Perdata, atau sebaliknya. Didalam perkawinan memang terdapat harta asal, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri di samping harta Gono-gini yang diperoleh keduanya selama perkaawinan, akan tetapi kedua hukum di atas juga memberikan pandangan yang berbeda, misalnya menurut Hukum 5 Perdata, harta asal bisa digabung atau dengan kata lain bisa menjadi harta Gono-Gini, sedangkan pada hukum lainnya tidak. Pertimbangan untuk memberikan kepada seorang janda bagian warisan bisa juga diperimbangkan dari perolehan harta Gono-gini dalam suatu perkawinan. Untuk harta bersama dalam perkaawinan, yang juga disebut dengan harta Gono-Gini, seringkali terjadi perlakuan yang kurang adil terhadap pihak yang bersangkutan, karena dalam prakteknya ada beberapa keadaan yang mempengaruhinya, yaitu : a. Suami dan istri bekerja b. Suami bekerja, istrinya tidak c. Suami tidak bekerja, istrinya bekerja. Dalam hal suami dan istri bekerja-sebenarnya semua urusan penghidupan adalah tanggung jawab suami, ditemukan suami bekerja ditempat yang "enak" sedangkan istrinya tidak, atau sebaliknya justru istrinya yang "kaya" karena memiliki penghasilan yang besar, sedangkan suaminya tidak. Apabila sudah demikian, maka permasalahan dalam hal pembagian harta Gono-gini seringkali semakin kompleks atau berat, padahal seharusnya pihak pemikir memperhatikan, bahwa didalam suatu perkawinan yang harus bertangung jawab untuk menghidupi keluarganya haruslah disuami, dengan kata lain apabila si istri berada dibawahnya atau si istri tidak bekerja, masalah Gono-gini tetap harus menurut ketentuan atau kebiasaan yang berlaku, sebaliknya apabila suami yang tidak bekerja atau suami berada di tingkat lebih bawah dari istrinya, maka logis apabila hak suami setelah perceraian dikurangi, yang disebutkan terakhir ini tidak pernah diperhatikan. Dengan demikian ada kemungkinan seorang suami yang pengangguran dan menikah dengan seorang istri yang bekerja ditempat yang "enak" memperoleh harta Gonogini setengah bagian. Ini tidak adil, karena dengan menganggurnya suami, maka ia seharusnya kehilangan jabatan sebagai Kepala Persatuan suami dan istri. Dari keseluruhan uraian di atas, maka dapatlah ditarik suatu perhatian, bahwa peranan suami dan atau istri didalam pengumpulan harta perkawinan ada beberapa kemungkinan, yaitu suami dan istri sama-sama memiliki peranan dalam pengumpulan harta perkawinan. Dalam peranan ini, bisa terjadi suami lebih dominan atau si istri yang lebih dominan. Adakalanya suami saja yang bekerja dan berperan dalam pengumpulan harta perkawinan, Apabila yang terjadi kenyataan ini, maka permasalahan tidak seharusnya muncul, karena suami memang bertanggung jawab untuk kehidupan dan penghidupan keluarganya. Selanjutnya ada pula istri yang berperan dalam pengumpulan harta perkawinan, sehingga pada keluarga ini hanya istri yang bekerja, dan keadaan seperti ini banyak ditemukan, baik di pedesaan maupun perkotaan. Banyak suami yang menganggur, sehingga istrinya terpaksa bekerja untuk memperpanjang kehidupannya. Tidak seharusnya suami semacam ini diperhitungkan dalam pembagian harta Gono-gini apabila berlangsung perceraian, karena seharsunyalah suami yang bertanggung jawab. Kemungkinan-kemungkinan tersebut menyebabkan perbedaan pula pada koefisien pembagiannya, termasuk pembagian harta asal menurut Hukum Perdata. Kedudukan Dan hak Janda Mati Menurut Hukum Islam Menurut Hukum Islam, janda mati adalah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya sepanjang belum bercerai. Apabila seorang suami (suku jawa) meninggal, maka tentunya akan terdapat pula harta kekayaan yang ditinggalkannya, dan harta ini harus dibagi secara adil terhadap ahli warisnya agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Istilah Balu ini dapat diartikan sebagai “Pria atau Wanita yang kematian istri atau kematian suami, jadi bukan sekedar duda atau janda karena perceraian hidup”6. Dengan demikian, janda adalah orang yang berpisah dengan suaminya, baik karena kematian dan bisa juga karena perceraian hidup. Yang disebutkan terakhir ini tidak memunculkan masalah rumit, lain dengan janda karena ditinggal mati, dimana janda yang hidup lebih lama harus menghidupi anak-anaknya dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan biaya ini antara lain juga diambil dari bagian warisan yang diterimanya. Salah satu pengertian warisan adalah “... soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu yang meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”7. Menurut Hukum Islam dinyatakan, bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah : a. Menurut garis bapak-anak (ke bawah) ialah juga anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki. b. Menurut garis anak-bapak (ke atas) ialah bapak, ibu, kakak, dari pihak bapak dan nenek perempuan dari pihak bapak maupun pihak ibu. c. Menurut garis. saudara (ke samping) ialah saudara kandung, saudara tiri dari pihak bapak, saudara tiri dari pihak ibu, juga duda dan janda8. Menurut Hukum lslam keturunan garis ke atas, ke bawah dan juga saudara-saudara garis ke samping dapat menjadi ahli waris, bahkan janda dan duda. Dengan demikian, di samping ketentuan Hukum Perdata, maka didalam ketentuan Hukum Islam kedudukan janda sebagai ahli waris suaminya sangatlah kuat, bahkan dapat dilakukan bersama-sama dengan atau anak-anak kandung pewaris. Selanjutnya ketentuan Hukum Islam juga menyatakan : a. Bagimu sepertiga dari harta peninggalan istri-istrimu, jika bagi istri-istrimu tidak ada anak. b. Bagimu seperempat harta peninggalan istri-istrimu, jika bagi istri-istrimu ada anak. c. Bagi istri-istrimu sebagai janda peninggalanmu, seperempat dari harta peninggalanmu, jika bagimu tidak ada anak. d. Bagi istri-istrimu sebagai janda peninggalanmu, seperdelapan dari harta peninggalanmu, jika bagimu ada anak9. Nampaklah, bahwa dalam Hukum Islam janda memperoleh warisan setelah suaminya meninggal dunia dengan bagian-bagian yang telah ditentukan pula. Bagi seorang janda akan mendapatkan seperempat bagian dari harta warisan, apabila suami yang meninggal atau pewaris tidak meninggalkan anak atau memperoleh seperdelapan bagian harta warisan, apabila suami yang meninggal dunia atau pewaris ada meninggalkan anak. Selain menentukan status janda, maka dalam Hukum Islam juga ditentukan dengan tegas (Surat An Nisa') tentang berapa besar bagian yang akan diperoleh janda dalam pewarisan atau yang akan diperoleh Balu dalam mewarisi istrinya. 6 Hilman Hadikusumo, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1998, halaman 94 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, 1998, halaman 103 8 Ibid., halaman 42 9 Hazarin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadist, Tinta Mas, Jakarta, tanpa tahun, halaman 6 7 Baik Hukum Perdata maupun Hukum lslam, rupanya janda juga menjadi pokok perhatian didalam pembagian warisan, karena begitu suaminya meninggal dunia maka janda yang bersangkutan harus rnengurusi hidupnya sendiri dan belum tentu dapat bekerja untuk mencari nafkah. Pengertian hukum waris menurut Islam adalah : “Rangkaian peraturan mengenai pembagian harta warisan orang yang meninggal kepada ahli warisnya berdasar atas syari’at Islam”10. Dengan demikian, hukum waris menurut Islam adalah suatu peraturan menurut ketentuan hukum (syari’at) lslam yang mengatur mengenai pembagian harta warisan orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Apabila seseorang membicarakan masalah pewarisan, maka orang akan sampai pada dua masalah utama, yaitu : Pertama, adanya seorang yang meninggal dunia dan Kedua, meninggalkan orang-orang yang berhak untuk menerima harta kekayaan/peninggalan tersebut. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksudkan dengan Warisan adalah merupakan harta kekayaan yang beralih atau pindah sehubungan dengan meninggalnya seseorang kepada keturunan atau ahli warisnya, seperti : anak, cucu dan sebagainya. Disamping itu ahli waris ini dapat terdiri dari saudara-saudaranya atau saudara-saudara bapak-ibu, atau kepada bapak-ibu sendiri dan walaupun bagaimana, anak kandung merupakan ahli waris yang utama dalam arti bahwa anak kandung itu berhak sepenuhnya atas harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Menurut Dzawil Furudl ditentukan ada l0 macam ahli waris perempuan, yang sesuai tingkatannya, adalah : a. Anak perempuan, b. Anak perempuan dari laki-laki dan seterusnya ke bawah berturut-turut dari jurusan laki-laki, c. Ibu, d. Nenek perempuan (ibunya ibu) dan seterusnya berturut-turut dari jurusan perempuan, e. Nenek perempuan (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas melalui jurusan laki-laki (ayah), f. Saudara perempuan yang seibu dan seayah, g. Saudara perempuan seayah, h. Saudara perempuan seibu, i. Istri, dan j. Orang perempuan yang memerdekakannya. Dengan demikian, bagian istri adalah : Asal masalah : 8 3 Bagian istri/janda 1/8 1 Bagian anak 7/8 7 3 Jumlah 8 Asal masalah : 4 3 Bagaian istri 1/4 1 10 Abdul Fakih, Hukum Islam dalam Prespektif Asal masalah : 3/4 3 3 Jumlah 4 Dalam hal yang ada hanya istri (janda), maka janda yang bersangkutan memperoleh bagian seperempat, sisanya dibagikan kepada ahli waris lain sesuai dengan tingkatannya. Yang menjadi landasan bagian harta warisan untuk suami (duda) dan istri (janda) ini, antara lain : a. Surat An Nisa’ Ayat 12, yang menyatakan : "Bagimu adalah separuh dari apa yang ditinggalkan istrimu apabila ia tidak mempunyai anak”11. b. Surat An Nisa’ Ayat 12, yang menyatakan : “Dan bagi dia (istri) adalah seperempat dari apa yang kamu tinggalkan apabila kamu tidak ada anak dan apabila ada anak, maka baginya seperdelapan”12. Sama halnya dengan ketentuaan Hukum Perdata, maka kedudukan dan hak janda didalam pewarisan Islam juga sangat kuat, bahkan termasuk ahli waris yang mendapatkan prioritas atau didahulukan pembagiannya. PERBANDINGAN KEDUDUKAN DAN HAK JANDA MATI MENURUT HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM Suatu perkawinan pastilah diharapkan dapat membentuk suatu keluarga atau rumah tangga kekal, abadi dan sejahtera, walaupun kesemuanya itu dibatasi dengan antara lain- kematian salah satu atau kedua pihak, suami dan atau istri. Didalam suatu perkawinan selalu diinginkan adanya hubungan yang harmonis antara suami dengan orang tua dan kerabat istri atau istri dengan orang tua atau kerabat suami. Harapan yang sama juga diharapkan terjadi terhadap anak-anak dari suami apabila suami telah pernah menikah dengan istrinya atau anak-anak dari istrinya yang pernah menikah dengan suaminya yang sekarang. Perkawinan memang bukan suatu perbuatan yang merupakan syarat saja, melainkan suatu perbuatan dengan tujuan kebaikan yang abadi. Namun demikian sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada akhirnya, antara lain adalah dengan meninggalnya suami. Secara ekonomis, bisa saja keadaan ekonomi keluarga termasuk baik, tetapi sebaliknyada pula yang keadaan ekonominya tidak sebaik pada umumnya suami yang meninggal dunia bisa saja meninggalkan harta dalam jumlah banyak dalam arti secara ekonomi mampu, akan tetapi sesuai keadaan ekonomi sekarang seorang suami merupakan orang yang tidak memiliki harta apapun juga atau justru sebaliknya, meninggalkan hutang dalam jumlah ynag tidak sedikit. Apabila sudah demikian, maka peran suami yang telah meninggal dunia tersebut tidak boleh tidak akan diambil alih atau berimbas pada istri (janda mati) yang ditinggalkannya. Perbedaan dasar pemikiran dan pandangan dari ketiga hukum yang ada juga berkaitan dengan masalah kewarisan. Secara garis besar, perbedaan dan persamaan yang ada dapat dilihat dari bagan berikut ini. Materi Hukum Perdata Hukum Islam 1. Sebutan Janda Janda 2. Kedudukan Mewaris Mewaris 11 12 Moch Anwar,Fara’idl Hukum Waris dalam Islam dan Masalah – masalahnya, Alikhlas Surabaya, 1999, halaman 10 Ibid, halaman 61 3. Garis keutamaan Golongan I Keutamaan pertama 4. Dasar hukum Pasal 852a yang dikuatkan dengan staatsblad Tahun 1935 Nomor 486 Qur’an IV : 12 5. Bagian waris Dapat mewaris bersama anak kandung pewaris 6. Gangguan besarnya bagian dan kedudukan dalam mewaris Tidak ada poligami, sehingga tidak ada gangguan kedudukan 7. Adanya pewaris Harus ada pewaris yang meninggal dunia Dapat mewaris bersama-sama dengan anak kandung dan orang tua pewaris Juga bias terjadi Poligami yang mengganggu kedudukan janda Harus ada pewaris yang meninggal dunia Dengan bagan di atas, maka dapat diketahui perbedaan prinsip atau persamaan antara kedua hukum yang dapat dipergunakan sebagai dasar pembagian warisan sebagaimana dikemukakan di atas. Komparasi Kedudukan dan Hak Janda Mati Menurut Hukum Perdata dan Hukum lslam. Walaupun didalam pelaksanaan perkawinan antara laki-laki dan wanita sudah didasarkan pada kodifikasi Hukum, yaitu dengan Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 akan tetapi untuk beberapa hal termasuk pewarisan, penentuan keududukan kerabat, perbuatan hukum oleh kerabat dan banyak lagi lainnya, masih terdapat beberapa dasar hukum atau kebiasaan yang dipergunakan masyarakat. Salah satunya adalah yang dipergunakan dalam menentukan kedudukan Janda Mati (Janda) atau Duda Mati (Balu). Berikut ini akan dikemukakan perbedaan kedudukan Janda Mati (Janda) menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam. Kedudukan Janda Dalam Keluarga Didalam Hukum keperdataan, kedudukan Janda didalam kekeluargaan dikaitkan dengan kepastian hukumnya, yaitu “bahwa yang bersangkutan harus melangsungkan pernikahan secara Hukum Perdata, atau dengan menggunakan ketentuan Undang-Undang Perkawinan atau Undang-Undang Nomor I tahun 1974 sebagai landasan”13. 13 R. Sutojo Prawirohamidjojo, Hukum Kekeluargaan, Universitas Airlangga University Press, Surabaya, 1998, halaman 78 Apabila hal sebagaimana dikemukakan di atas telah dilaksanakan dan dipenuhi segala persyaratannya, maka kedudukan istri atau janda didalam kekeluargaan cukup kuat dalam arti apabila tidak ada suami atau suaminya telah meninggal dunia, maka istri atau janda inilah yang menggantikan posisi suaminya. Didalam Hukum Islam, selain penggunaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai landasan pelaksanaan perkawinan juga dikenal adanya perkawinan “sirri” terhadap istri atau janda hasil perkawinan sirri ini, masyarakat mengakuinya hanya karena adanya rasa segan dan hormat kepada pihak suami, yang memunculkan masalah adalah apabila suaminya telah meninggal dunia maka kedudukan janda hasil perkawinan sirri ini sudah tidak begitu kuat lagi didalam segala hal, apalagi perkawinan sirri ini biasanya dilakukan karena si suami telah memiliki istri lain yang sah. Kedudukan istri hasil perkawinan sirri ini cukup kuat terhadap anak-anak kandungnya akan tetapi dalam bidang lain termasuk kewarisan sama sekali tidak mbmiliki kedudukan apa-apa secara keperdataan, sedangkan secara keagamaan apabila tidak didahului dengan istri lain bisa kuat tetapi apabila janda yang bersangkutan adalah istri yang kedua rnaka kedudukannya tidak kuat lagi. Kedudukan Janda Dalam Masyarakat Didalam masyarakat yang menggunakan Hukum Keperdataan sebagai landasan adalah setiap istri yang memiliki surat nikah yang sah. Sejalan dengan itu, maka hubungan antara istri dengan anak-anaknya dengan saudara suami juga tidak memunculkan masalah termasuk pula hal yang sama berkaitan dengan janda yang ditinggal mati suaminya. Pandangan masyarakat terhadap istri yang sah menurut hukum juga baik dan kuat, akan tetapi bagi istri yang tidak sah menurut hukum (Nasional), seperti hasil perkawinan sirri sebagaimana dikemukakan di atas, juga tidak atau sering tidak menjadikan kedudukan si istri atau janda menjaadi kuat bahkan seringkali justru cemoohan masyarakat yang muncul. Kedudukan Janda Dalam Pewarisan Kedua hukum baik Hukum Perdata maupun Hukum Islam sama sama memberikan pengakuan terhadap keberadaan janda, sebagaimana yang ditentukan dalam “pasal 652a maupun Al Qur'an IV : 12”14. Dengan kata lain, termasuk kedudukannya dalam warisan janda menurut Hukurn Perdata dan Hukum Islam juga memiliki kedudukan dan bagian yang pasti. Didalam ketentuan Qur'an : 11, ditentukan Garis-garis Keutamaan bagi ahli waris, yaitu : a. Garis Kutamaan Pertama, terdiri dari : 1. Anak laki-laki dan anak perempuan pewaris sebagai Dzawul lfaraid atau sebagai Dzawul lqarabat atau Mawali bagi anak-anak ahli waris golongan ini yang telah meninggal dunia. (Qur'an IV : 14 a, b, c, Jo. IV : 33a) 2. Orang tua (ayah dan mak) pevraris sebagai Dawul lfara'id (Qur'an IV : IId) 3. Janda dan Duda sebagai Dzawul lfara'id (Qur'an IV : l2) b. Garis Keutamaan Kedua, terdiri atas: 1. Saudara pewaris laki-laki atau perempuan sebagai Dzawul lfara'id atau Dzawul lqarabat (Qur'an IV : 12f, IV : 176 Jo.IV : 33a) 14 Isma’il Baisuni, Janda dan Bagiannya dalam Kewarisan, Politeia, Bogor, 1997, halaman 13 dan 24 2. Mak atau Ibu pewaris sebagai Dzawul lfara'id (Qur'an IV : ll f Jo. IV : 12 f, g dan IV : 176) 3. Ayah pewaris sebagai Dzawul lqarabat dalam hal Qalalah (mati semua) (Qur'an IV : l2 f, g) 4. Janda atau duda sebagai Dzawulfara'id (Qur'an IV : l2) c. Garis Keutamaan Ketiga, terdiri atas: 1. Mak atau ibu pewaris Dzawulfara'id (Qur'an IV : 11e) 2. Ayah pewaris sebagai Dzawul iqarabat (Qur'an IV : 11 e) 3. Janda atau duda sebagai Dzawul lfaraid (Qur'an IV: l2) d. Garis Keutarnaan Keempat, terdiri atas : 1. Janda atau duda sebagai Dzawul Ifara'id (Qur'an IV : l2) 2. Mawali untuk mak atau ibu pewaris (Qur'an IV : 11e) 3. Mawali untuk ayah pewaris (Qur'an IV : 11e)15 Nampak bahwa kedua janda atau duda dari pewaris dapat menduduki keseluruhan garis keutamaan dalam pewarisan dalam situasi dan kondisi tertentu yang menyebabkannya. Dan semua kedudukan janda atau duda tersebut terletak sebagai Dzawul lfara'id atau ahli waris yang terdekat dengan pewaris. Didalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau didalam teori Hukum Keperdataan dalam pewarisan, juga dikenal adanya golongan-golongan dalam mewaris, yaitu : a. Golongan Pertama, yang terdiri atas: 1. Anak kandung pewaris atau keturunannya 2. Janda atau duda pewaris b. Golongan Kedua, yang terdiri atas: 1. Orang tua pewaris 2. Saudara-saudara pewaris atau keturunannya c. Golongan Ketiga, yang terdiri atas: 1. Nenek dan atau kakek 2. Leluhur lainnya didalam genus ke atas d. Golongan Keempat, yang terdiri atas : sanak keluarga dalam Genus ke samping sampai tingkat keenam16. Nampak bahwa didalam Hukum Perdata, kedudkaan janda berada pada golongan ahli waris yang pertama, dalam arti kedudukannya didalam warisan keperdataan sangat kuat setelah anak kandung. Hanya saja apabila anak kandung masih memiliki “Mawali” atau Waris pengganti, maka janda tidak mungkin memilikinya. Maksudnya, apabila janda yang bersangkutan sudah meninggal, maka warisan juga tidak ada lagi. Kedudukan Janda Dalam Perbuatan Hukum Pada prakteknya, kedudukan seorang istri atau janda dalam melakukan perbuatan hukum juga bergantunag pada status perkawinan yang ada. Apabila dalam perkawinan tersebut pelaksanaan tunduk pada ketentuan Hukum Keperdataan, termasuk ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka kekuasaan istri atau janda juga cukup kuat. 15 16 Hazarin, Hukum Kewarisan Bilateral Qur’an dan Hadist, Tinta Mas, Jakarta, 1999, halaman 37 Mudofir Hadi, Hukum Waris Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1999, halaman 43 Dalam Hukum Perdata, sesuai dengan ketentuan pasal 108 dan 110 KUH Perdata sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 05 September Tahun 1963 Nornor: 1115lP/3292/M/1963, maka seorang istri dalam suatu perkawinan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum dan menghadap dimuka pengadilan, dengan demikian kekuasaan apabila ia menjadi janda lebih kuat lagi sepanjang untuk segala sesuatu yang menjadi haknya17. Pada perkawinan keperdataan terdapat tiga macam harta, yaitu : 1. Harta pribadi suami, 2. Harta pribadi istri dan, 3. Harta persatuan. Begitu seorang istri menjadi janda, maka ia dapat mempergunakan untuk apapun harta pribadinya dan setengah dari harta persatuan. Kesimpulan Kedudukan janda mati dalam hukum perdata dan hukum islam. Dalam hukum perdata janda mati adalah janda yang ditinggal mati suaminya dalam masa perkawinan atau masih belum bercerai sedangkan dalam hukum islam janda mati adalah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya sepanjang belum bercerai. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 kedudukan janda mati dalam pewarisan menurut hukum Perdata dan hukum Islam adalah sama-sama mempunyai kedudukan yang kuat dalam melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan ketentuan dalam hukum perdata maupun hukum islam. Perbandingan hak janda mati dalam hukum perdata dan hukum islam. Perbandingan hak janda mati dalam hukum perdata dan hukum islam adalah samasama sebagai ahli waris, melaksanakan perkawinan lagi setelah melaksanakan masa iddah, namun demikian dalam hukum islam dalam pembagian harta warisan ada ketentuanketentuan yang harus dipenuhi, misalnya apabila janda tersebut mempunyai anak maka bagiannya adalah spertdelapan sebaliknya apabila tidak mempunyai anak maka bagiannya adalah seperempat. 17 Iwan Setiawan, Hukum Kekeluargaan dan Waris, Politeia, Bogor, 1998, halaman 78