BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Loneliness Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan social yang kita inginkan dan jenis hubungan sosial yang kita miliki (Perlman & Peplau dalam Taylor, Peplau & Sears, 2012). Hampir semua orang pernah mengalami kesepian namun perasaan tersebut akan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Santrock (2002) juga mengatakan bahwa kesepian adalah ketika merasa bahwa tidak seorang pun memahami dengan baik, merasa terisolasi, dan tidak memiliki seorang pun untuk dijadikan pelarian, saat dibutuhkan atau saat stress. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesepian berarti suatu keadaan mental dan emosional, karena adanya perasaan terasing dan keadaan tidak menyenangkan yang dipersepsikan seseorang akibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan hubungan sosial ataupun hubungan interpersonal pada dirinya. 2.1.2 Komponen Loneliness Menurut Peplau dan Perlman (1982), dalam mempelajari kesepian terdapat tiga dimensi kesepian yang dikembangkan oleh para ahli, yaitu : a. Pendekatan Kebutuhan akan Keintiman Perasaan kesepian muncul ketika tidak terpenuhinya kebutuhan pada diri seseorang untuk merasakan kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain. Weiss (dalam Peplau & Perlman, 1982) mengatakan bahwa kesepian disebabkan bukan karena sendirian tetapi tidak adanya hubungan yang diperlukan, kesepian selalu terlihat sebagai tanggapan kepada ketidakhadiran dari beberapa jenis hubungan tertentu. b. Pendekatan Proses Kognitif. Kesepian timbul bila seseorang dalam mempersepsikan dan mengevaluasi hubungan sosialnya menemukan bahwa terdapat kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang berhasil ia capai. Sermat (dalam Peplau dan Perlman, 1982) menyatakan bahwa kesepian adalah suatu pertentangan pengalaman antara jenis hubungan antar pribadi, individu merasa dirinya dimiliki pada suatu ketika, dan jenis hubungan yang ingin dimilikinya, dalam kaitan dengan pengalaman masa lalunya atau beberapa status ideal yang tidak pernah dialaminya. c. Pendekatan Penguatan Sosial. Pendekatan penguatan sosial lebih menekankan bahwa kesepian disebabkan oleh kurangnya penguatan (reinforcement) dari lingkungan sosial. Hubungan sosial adalah suatu reinforcement, bila dalam interaksi sosial hal itu kurang diperoleh, maka akan mengakibatkan seseorang merasa kesepian. Young (dalam Peplau dan Perlman, 1982) mengemukakan definisi kesepian sebagai ketiadaan dalam memuaskan hubungan sosial, yang diikuti oleh gejala psikologikal distress yang dihubungkan dengan fakta atau perasaan ketiadaan, dalam mengusulkan hubungan sosial itu dapat diperlakukan sebagai kelas penguatan tertentu, oleh karena itu kesepian dapat dipandang pada sebagian orang sebagai tanggapan kepada ketiadaan penguatan sosial. 2.1.3 Tipe Loneliness Menurut Weiss (dalam Santrock, 2003) terdapat dua tipe loneliness yaitu : a. Emotional Loneliness (kesepian emosional) Kesepian emosional adalah kesepian yang disebabkan kurang dekat, intim, lekat dalam hubungan dengan seseorang. b. Social Loneliness (kesepian sosial) Kesepian sosial adalah merupakan hasil dari ketiadaan teman dan family atau jaringan sosial tempat berbagi minat dan aktivitas. 2.1.4 Faktor-faktor Penyebab Loneliness Terdapat dua kondisi yang menyebabkan terjadinya kesepian (Peplau & Perlman, 1982). Kondisi pertama adalah kejadian yang memicu terbentuknya perasaan tersebut. Kondisi Kedua adalah faktor-faktor yang mendahului dan yang mempertahankan perasaan kesepian dalam jangka waktu yang cukup lama. a. Faktor-faktor pemicu Di bawah ini yang termasuk dalam kejadian pemicu adalah adanya perubahan dalam hubungan sosial seseorang yang sebenarnya sehingga hubungan sosial yang dijalankan seseorang itu jauh dari apa yang diharapkannya, yaitu: 1) Berakhirnya suatu hubungan dekat seperti kematian, perceraian, putus cinta, serta perpisahan secara fisik yang kadang membawa kita ke arah kesepian. 2) Faktor kualitas dari hubungan sosial yang rendah. Perubahan dalam kebutuhan atau keinginan sosial seseorang juga dapat menyebabkan kesepian. 3) Lingkungan kehidupan berubah dalam kapasitas seseorang atau keinginan dalam hubungan sosial mungkin mempercepat munculnya kesepian, jika tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam suatu hubungan yang sebenarnya. 4) Faktor perubahan situasional juga dapat menimbulkan kesepian. b. Faktor-faktor yang mendahului dan mempertahankan. Faktor-faktor yang mendahului dan mempertahankan adalah faktor kepribadian dan situasional yang dapat meningkatkan munculnya kesepian. Faktor yang juga dapat mempersulit seseorang yang kesepian untuk membangun kembali hubungan sosial yang memuaskan. Karakteristik kepribadian yang berperan dalam berkembangnya perasaan kesepian pada diri seseorang diantaranya: 1) Harga diri yang rendah : Konsep harga diri berkaitan dengan konsep diri, yaitu prestasi, ide, dan sikap individu terhadap dirinya sendiri, harga diri adalah bagaimana seseorang menilai dirinya. Bila seseorang selalu merasa kesepian, maka ia akan bersikap sebagai orang yang kesepian. 2) Kecemasan sosial : Berdasarkan penelitian, orang yang merasa kesepian mengalami kesulitan bersosialisasi dan menggambarkan dirinya sebagai orang memiliki masalah perilaku, seperti merasa terabaikan dan kurang mampu membuka diri pada orang lain. 3) Perasaan malu : Berdasarkan penelitian, seseorang yang malu merasa lebih gugup bila berada ditengah orang dan situasi yang baru dikenalinya, karena sulit untuk menilai perkenalan baru. Perasaan malu tersebut akhirnya menimbulkan kesepian. Dalam hal ini, secara umum orang yang kesepian tampaknya terjebak dalam suatu spiral sosial. Ia menolak orang lain, kurang terampil dalam bidang sosial dan dalam kasus-kasus tertentu juga ditolak oleh orang lain. Tanpa memperhatikan dari mana pola ini berawal, semua komponen tersebut dapat membuat kehidupan sosial orang yang bersangkutan menjadi lebih sulit dan kurang menguntungkan. Selain dua kondisi yang dikemukakan oleh Peplau dan Perlman (1982) tersebut (precipitating factors & predisposing factors). 2.2 Psychological Well-Being Ryff (dalam Synder & Lopez, 2007) merumuskan konsepsi psychological well-being yang merupakan integrasi dari teori-teori perkembangan manusia, teori psikologi klinis, dan konsepsi mengenai kesehatan mental. 2.2.1 Definisi Psychological Well-Being Berdasarkan teori-teori tersebut, Ryff (dalam Papalia, Sterns, & Feldman, 2002) mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. 2.2.2 Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being Enam dimensi psychological well-being yang merupakan intisari dari teori- teori positive functioning psychology yang dirumuskan oleh Ryff (dalam Synder & Lopez, 2007), yaitu: 1. Dimensi penerimaan diri Dalam teori perkembangan manusia, berkaitan dengan penerimaan diri individu pada masa kini dan masa lalunya. Selain itu dalam literatur positive psychological functioning, self-acceptance juga berkaitan dengan sikap positif terhadap diri sendiri. Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri apabila ia memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri, menghargai dan menerima berbagai aspek yang ada pada dirinya, baik kualitas diri yang baik maupun yang buruk. Selain itu, orang yang memiliki nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat merasakan hal yang positif dari kehidupannya dimasa lalu. Sebaliknya, seseorang dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam dimensi penerimaan diri apabila ia merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya dimasa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya, dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri. 2. Dimensi hubungan positif dengan orang lain Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama dari kondisi mental yang sehat. Selain itu, teori aktualisasi diri mengemukakan konsep hubungan positif dengan orang lain sebagai perasaan empati dan afeksi kepada orang lain serta kemampuan untuk membina hubungan yang mendalam dan identifikasi dengan orang lain. Membina hubungan yang hangat dengan orang lain dapat dibangun dengan cara berbagi dan saling mengerti satu sama lain. Teori perkembangan manusia juga menekankan intimacy dan generativity sebagai tugas utama yang harus dicapai manusia dalam tahap perkembangan tertentu. Seseorang yang memiliki hubungan positif dengan orang lain mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain itu, individu tersebut memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan intimitas, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi. Sebaliknya, Ryff (dalam Synder & Lopez, 2007) mengemukakan bahwa seseorang yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, peduli, dan terbuka dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustrasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain. 3. Dimensi otonomi Teori aktualisasi diri mengemukakan otonomi dan resisitensi terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Teori perkembangan memandang otonomi sebagai rasa kebebasan yang dimiliki seseorang untuk terlepas dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari. Ciri utama dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik antara lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self-determining) dan mandiri. Ia mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan orang lain selain itu orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri dengan standar personal. Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial. 4. Dimensi penguasaan lingkungan Salah satu karakteristik dari kondisi kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikisnya. Dalam teori perkembangan juga disebutkan bahwa manusia dewasa yang sukses adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan perbaikan pada lingkungan dan melakukan perubahanperubahan yang dinilai perlu melalui aktivitas fisik dan mental serta mengambil manfaat dari lingkungan tersebut. Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Sebaliknya, seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada dilingkungannya, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan. 5. Dimensi tujuan hidup Kondisi mental yang sehat memungkinkan individu untuk menyadari bahwa ia memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani serta mampu memberikan makna pada hidup yang ia jalani. Teori perkembangan juga menekankan pada berbagai perubahan tujuan hidup sesuai dengan tugas perkembangan dalam tahap perkembangan tertentu. Seseorang yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup memiliki rasa keterarahan (directedness) dalam hidup, mampu merasakan arti dari masa lalu dan masa kini, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup. Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, memiliki sedikit tujuan hidup, kehilangan rasa keterarahan dalam hidup, kehilangan keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu. 6. Dimensi pertumbuhan pribadi Optimal psychological functioning tidak hanya bermakna pada pencapaian terhadap karakteristik-karakteristik tertentu, namun pada sejauh mana seseorang terus-menerus mengembangkan potensi dirinya, bertumbuh, dan meningkatkan kualitas positif pada dirinya. Kebutuhan akan aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan perspektif utama dari dimensi pertumbuhan diri. Teori perkembangan juga menekankan pada pentingnya manusia untuk bertumbuh dan menghadapi tantangan baru dalam setiap periode pada tahap perkembangannya. Seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik akan merasa dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik. 2.3 Usia Dewasa Muda Seorang individu yang berada pada tahap dewasa muda telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang matang, dimana pemikiran yang ada didasarkan pada pengalaman dan intuisi individu serta logika yang akan sangat bermanfaat ketika berhadapan dengan permasalahan atau situasi yang ambigu, tidak jelas, tidak konsisten, kontradiksi, tidak sempurna dan menuntut kompromi individu (Papilia, 2004). Menurut Erickson (dalam Santrock, 2002) orang yang dikatakan berada dalam usia dewasa muda adalah yang berusia 18-40 tahun. Tahap dewasa muda adalah seseorang bisa mengembangkan seluruh potensinya secara maksimal. Sebab di usia ini, keadaan fisik berada dalam posisi puncak. Masa ini juga merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan sosial baru. Individu dewasa muda diharapkan dapat memerankan peran baru dan mengembangkan sikap-sikap, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru sebagai individu dewasa. Erikson membahas tentang usia dewasa muda bahwa pada tahap ini, mereka berada pada krisis perkembangan antara intimacy versus isolation. Yang dimaksud intimacy adalah bahwa pada tahap ini seorang dewasa muda berada pada kebutuhan akan hubungan yang hangat, dekat, komunikatif dengan tidak melibatkan kontak seksual yaitu membentuk hubungan intim dengan orang lain. Jika intimacy gagal dicapai maka orang akan berada dalam suatu kondisi yang disebut isolation. Isolation adalah suatu kondisi dimana seseorang merasa kesepian, tersisihkan dan merasa berbeda dengan orang lain (Erickson dalam Santrock, 2002). Mereka yang berhasil melewati tahap Intimacy VS Isolation ini adalah orang-orang yang memiliki kualitas dalam hubungan interpersonal dan memiliki interaksi yang baik dengan lingkungan sekitarnya (mampu berbagi dan mengerti orang lain). 2.3.1 Tugas Perkembangan Dewasa Muda Tugas perkembangan usia dewasa muda menurut Havighurst (Turner & Helms, 1995) adalah: 1. Berpacaran dan memilih teman hidup 2. Belajar menyesuaikan diri dan hidup secara selaras dengan pasangan perkawinan 3. Memulai suatu keluarga dan menerima peran baru sebagai orangtua 4. Mengasuh anak dan memenuhi kebutuhan pribadi mereka 5. Belajar bertanggung-jawab pada rumah tangga yang dibina 6. Memulai karir (menentukan bidang pekerjaan dan/atau melanjutkan pendidikan) 7. Memikul tanggung-jawab sebagai warga Negara 8. Mencari kelompok sosial yang sesuai 2.4 Melajang Menurut Stein (dalam Turner & Helms, 1995) melajang (single) adalah individu yang tidak menikah atau tidak terlibat dalam hubungan homoseksual dan heteroseksual. a. Keuntungan Melajang Beberapa keuntungan melajang adalah (dalam DeGenova, 2008): 1) Lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri dan mengembangkan personal. 2) Adanya kesempatan untuk bertemu orang-orang yang berbeda dan untuk mengembangkan serta menikmati pertemanan yang berbeda. 3) Kebebasan secara ekonomi dan pembekalan diri. 4) Lebih tervariasi pengalaman seksualnya. 5) Kebebasan untuk mengontrol kehidupannya sendiri. 6) Lebih memiliki kesempatan untuk mengubah, mengembangkan karir. b. Kerugian Melajang Beberapa kerugian melajang adalah (dalam DeGenova, 2008): 1) Kesepian dan hubungan persahabatan yang kurang. 2) Kesulitan ekonomi. 3) Merasa terasing dalam beberapa pertemuan sosial. 4) Frustrasi seksual. 5) Tidak memiliki anak atau keluarga yang dapat membawa anak-anak. Beberapa individu merasakan banyak keuntungan dalam mempertahankan status lajang, yang meliputi: 1) Memiliki waktu dan kesempatan untuk membuat keputusan sendiri tentang tujuan hidup. 2) Memiliki waktu untuk mengembangkan diri dan finansial untuk mencapai tujuan. 3) Bebas untuk membuat keputusan sendiri dan menjalankan rencana dan minat yang telah direncanakan sendiri. 4) Memiliki kesempatan untuk mencari tempat-tempat baru dan mencoba sesuatu yang baru. 5) Mempertahankan privacy. 2.5 Karir Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2006), karir merupakan istilah yang didefinisikan sebagai perkembangan dan kemajuan baik pada kehidupan, pekerjaan atau jabatan seseorang. Biasanya pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang mendapatkan imbalan berupa gaji maupun uang. Gibson et. al. (2005) karir adalah rangkaian sikap dan perilaku yang berkaitan dengan pengalaman dan aktivitas kerja selama rentang waktu kehidupan seseorang dan rangkaian aktivitas kerja yang terus berkelanjutan. Dengan demikian karir seorang individu melibatkan rangkaian pilihan dari berbagai macam kesempatan. Jika ditinjau dari sudut pandang organisasi, karir melibatkan proses dimana organisasi memperbaharui dirinya sendiri untuk menuju keefektifan karir yang merupakan batas dimana rangkaian dari sikap karir dan perilaku dapat memuaskan seorang individu. 2.5.1 Tahapan Perkembangan Karir Teori tahapan perkembangan karir yang dikemukakan (Gibson et. al. 2005) menyatakan bahwa perkembangan karir seseorang telah dimulai sejak pertengahan masa remaja, dimana seseorang mulai menentukan jenis pekerjaan yang cocok untuk dirinya berdasarkan kenyataan yang dihadapi saat itu, proses pendidikan yang dijalaninya, hal-hal yang disukainya secara pribadi, kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. Gibson (2005) membagi tahap perkembangan karir secara umum kedalam 6 tahapan, yaitu: 1. Tahap Kristalisasi (14 – 18 tahun) Pada tahap inilah sebuah keputusan tentang karir yang akan dijalani ditetapkan berdasarkan hal-hal yang disukai oleh individu, kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. 2. Tahap Spesifikasi (18 – 21 tahun) Pada tahap ini individu mulai menjajaki tingkat pendidikan dan pengalaman yang dibutuhkan untuk dapat mencapai pilihan karir yang diinginkannya. Pada tahap inilah seseorang dapat dikatakan produktif. 3. Tahap Implementasi (22 – 25 tahun) Pada tahap ini individu mulai mencoba-coba merasakan ’bekerja’ dalam arti yang sesungguhnya berdasarkan pilihan karirnya. 4. Tahap Stabilisasi (26 – 35 tahun) Pada tahap ini individu berada jenjang dimana pekerjaan merupakan bagian dari kehidupan yang berjalan dengan menyenangkan. 5. Tahap Konsolidasi (36 – 40 tahun) Pada tahap ini Individu dapat dikatakan mulai melakukan rangkaian kompromi dalam pekerjaan yang dilakukannya, seperti berkompromi dengan promosi jabatan, kenaikan gaji yang minim, dan para pekerja baru yang berusia lebih muda dengan pendidikan yang lebih tinggi. 6. Tahap Persiapan Menuju Pensiun (55 tahun) Pada tahap ini, individu tidak lagi dapat dikatakan sebagai seseorang yang produktif dalam arti yang sesungguhnya, karena ia cenderung lebih terfokus pada masa pensiun yang akan dihadapi dari pada pekerjaan yang sedang dilakukannya. 2.6 Kerangka Berpikir Dewasa muda Karir/Bekerja Doesn’t have romantic partner (lajang) / ≠ menikah Psychological Well-being Loneliness Gambar 2.1 Kerangka berpikir Dewasa muda adalah usia dimana individu akan mengalami berbagai episode kehidupan seperti jatuh cinta, menyelesaikan pendidikan, memulai karir, menikah dan membentuk keluarga. Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004), tugas utama dalam tahap perkembangan dewasa muda adalah menyelesaikan krisis intimacy vs isolation. Intimacy dapat dicapai dengan menjalin hubungan interpersonal yang intim dan membuat komitmen dengan orang lain. Jika hal ini tidak terpenuhi maka seseorang akan rentan mengalami loneliness. Tetapi meniti karir menjadi hal yang utama bagi laki-laki maupun perempuan di era modern ini, dimana mereka lebih leluasa menyalurkan kemampuannya untuk meniti karir. Seseorang yang memiliki karir yang bagus akan memiliki psychological well-being yang baik. Berdasarkan fenomena dewasa muda lajang dan berkarir maka peneliti berasumsi terdapat keterkaitan antara loneliness dengan psychological well-being.