BAB 2

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
Loneliness
Definisi Loneliness
Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan
ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan social
yang kita inginkan dan jenis hubungan sosial yang kita miliki (Perlman & Peplau
dalam Taylor, Peplau & Sears, 2012). Hampir semua orang pernah mengalami
kesepian namun perasaan tersebut akan berbeda antara satu individu dengan
individu lainnya.
Santrock (2002) juga mengatakan bahwa kesepian adalah ketika merasa
bahwa tidak seorang pun memahami dengan baik, merasa terisolasi, dan tidak
memiliki seorang pun untuk dijadikan pelarian, saat dibutuhkan atau saat stress.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kesepian berarti suatu keadaan mental dan emosional, karena adanya perasaan
terasing dan keadaan tidak menyenangkan yang dipersepsikan seseorang akibat
tidak terpenuhinya kebutuhan akan hubungan sosial ataupun hubungan interpersonal
pada dirinya.
2.1.2
Komponen Loneliness
Menurut Peplau dan Perlman (1982), dalam mempelajari kesepian terdapat
tiga dimensi kesepian yang dikembangkan oleh para ahli, yaitu :
a. Pendekatan Kebutuhan akan Keintiman
Perasaan kesepian muncul ketika tidak terpenuhinya kebutuhan pada diri
seseorang untuk merasakan kepuasan dalam berhubungan dengan orang
lain. Weiss (dalam Peplau & Perlman, 1982) mengatakan bahwa kesepian
disebabkan bukan karena sendirian tetapi tidak adanya hubungan yang
diperlukan,
kesepian
selalu
terlihat
sebagai
tanggapan
kepada
ketidakhadiran dari beberapa jenis hubungan tertentu.
b. Pendekatan Proses Kognitif.
Kesepian timbul bila seseorang dalam mempersepsikan dan mengevaluasi
hubungan sosialnya menemukan bahwa terdapat kesenjangan antara apa
yang diinginkan dengan apa yang berhasil ia capai. Sermat (dalam Peplau
dan Perlman, 1982) menyatakan bahwa kesepian adalah suatu pertentangan
pengalaman antara jenis hubungan antar pribadi, individu merasa dirinya
dimiliki pada suatu ketika, dan jenis hubungan yang ingin dimilikinya, dalam
kaitan dengan pengalaman masa lalunya atau beberapa status ideal yang
tidak pernah dialaminya.
c. Pendekatan Penguatan Sosial.
Pendekatan
penguatan
sosial
lebih
menekankan
bahwa
kesepian
disebabkan oleh kurangnya penguatan (reinforcement) dari lingkungan
sosial. Hubungan sosial adalah suatu reinforcement, bila dalam interaksi
sosial hal itu kurang diperoleh, maka akan mengakibatkan seseorang merasa
kesepian. Young (dalam Peplau dan Perlman, 1982) mengemukakan definisi
kesepian sebagai ketiadaan dalam memuaskan hubungan sosial, yang diikuti
oleh gejala psikologikal distress yang dihubungkan dengan fakta atau
perasaan ketiadaan, dalam mengusulkan hubungan sosial itu dapat
diperlakukan sebagai kelas penguatan tertentu, oleh karena itu kesepian
dapat dipandang pada sebagian orang sebagai tanggapan kepada ketiadaan
penguatan sosial.
2.1.3
Tipe Loneliness
Menurut Weiss (dalam Santrock, 2003) terdapat dua tipe loneliness yaitu :
a. Emotional Loneliness (kesepian emosional) Kesepian emosional adalah
kesepian yang disebabkan kurang dekat, intim, lekat dalam hubungan
dengan seseorang.
b. Social Loneliness (kesepian sosial) Kesepian sosial adalah merupakan hasil
dari ketiadaan teman dan family atau jaringan sosial tempat berbagi minat
dan aktivitas.
2.1.4
Faktor-faktor Penyebab Loneliness
Terdapat dua kondisi yang menyebabkan terjadinya kesepian (Peplau &
Perlman, 1982). Kondisi pertama adalah kejadian yang memicu terbentuknya
perasaan tersebut. Kondisi Kedua adalah faktor-faktor yang mendahului dan yang
mempertahankan perasaan kesepian dalam jangka waktu yang cukup lama.
a. Faktor-faktor pemicu
Di bawah ini yang termasuk dalam kejadian pemicu adalah adanya
perubahan dalam hubungan sosial seseorang yang sebenarnya sehingga
hubungan sosial yang dijalankan seseorang itu jauh dari apa yang
diharapkannya, yaitu:
1) Berakhirnya suatu hubungan dekat seperti kematian, perceraian, putus cinta,
serta perpisahan secara fisik yang kadang membawa kita ke arah kesepian.
2) Faktor kualitas dari hubungan sosial yang rendah. Perubahan dalam
kebutuhan atau keinginan sosial seseorang juga dapat menyebabkan
kesepian.
3)
Lingkungan kehidupan berubah dalam kapasitas seseorang atau keinginan
dalam hubungan sosial mungkin mempercepat munculnya kesepian, jika
tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam suatu
hubungan yang sebenarnya.
4) Faktor perubahan situasional juga dapat menimbulkan kesepian.
b. Faktor-faktor yang mendahului dan mempertahankan.
Faktor-faktor
yang
mendahului
dan
mempertahankan
adalah
faktor
kepribadian dan situasional yang dapat meningkatkan munculnya kesepian.
Faktor yang juga dapat mempersulit seseorang yang kesepian untuk
membangun kembali hubungan sosial yang memuaskan. Karakteristik
kepribadian yang berperan dalam berkembangnya perasaan kesepian pada
diri seseorang diantaranya:
1) Harga diri yang rendah : Konsep harga diri berkaitan dengan konsep diri,
yaitu prestasi, ide, dan sikap individu terhadap dirinya sendiri, harga diri
adalah bagaimana seseorang menilai dirinya. Bila seseorang selalu merasa
kesepian, maka ia akan bersikap sebagai orang yang kesepian.
2) Kecemasan sosial : Berdasarkan penelitian, orang yang merasa kesepian
mengalami kesulitan bersosialisasi dan menggambarkan dirinya sebagai
orang memiliki masalah perilaku, seperti merasa terabaikan dan kurang
mampu membuka diri pada orang lain.
3) Perasaan malu : Berdasarkan penelitian, seseorang yang malu merasa lebih
gugup bila berada ditengah orang dan situasi yang baru dikenalinya, karena
sulit untuk menilai perkenalan baru. Perasaan malu tersebut akhirnya
menimbulkan kesepian. Dalam hal ini, secara umum orang yang kesepian
tampaknya terjebak dalam suatu spiral sosial. Ia menolak orang lain, kurang
terampil dalam bidang sosial dan dalam kasus-kasus tertentu juga ditolak
oleh orang lain. Tanpa memperhatikan dari mana pola ini berawal, semua
komponen
tersebut
dapat
membuat
kehidupan
sosial
orang
yang
bersangkutan menjadi lebih sulit dan kurang menguntungkan. Selain dua
kondisi yang dikemukakan oleh Peplau dan Perlman (1982) tersebut
(precipitating factors & predisposing factors).
2.2
Psychological Well-Being
Ryff (dalam Synder & Lopez, 2007) merumuskan konsepsi psychological
well-being yang merupakan integrasi dari teori-teori perkembangan manusia, teori
psikologi klinis, dan konsepsi mengenai kesehatan mental.
2.2.1
Definisi Psychological Well-Being
Berdasarkan teori-teori tersebut, Ryff (dalam Papalia, Sterns, & Feldman,
2002) mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana
individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat
membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat
menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya,
memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha
mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya.
2.2.2
Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being
Enam dimensi psychological well-being yang merupakan intisari dari teori-
teori positive functioning psychology yang dirumuskan oleh Ryff (dalam Synder &
Lopez, 2007), yaitu:
1. Dimensi penerimaan diri
Dalam teori perkembangan manusia, berkaitan dengan penerimaan diri
individu pada masa kini dan masa lalunya. Selain itu dalam literatur positive
psychological functioning, self-acceptance juga berkaitan dengan sikap
positif terhadap diri sendiri. Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang
tinggi dalam dimensi penerimaan diri apabila ia memiliki sikap yang positif
terhadap dirinya sendiri, menghargai dan menerima berbagai aspek yang
ada pada dirinya, baik kualitas diri yang baik maupun yang buruk. Selain itu,
orang yang memiliki nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat merasakan
hal yang positif dari kehidupannya dimasa lalu. Sebaliknya, seseorang
dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam dimensi penerimaan diri apabila
ia merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa
yang telah terjadi pada kehidupannya dimasa lalu, memiliki masalah dengan
kualitas tertentu dari dirinya, dan berharap untuk menjadi orang yang
berbeda dari dirinya sendiri.
2. Dimensi hubungan positif dengan orang lain
Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama dari
kondisi mental yang sehat. Selain itu, teori aktualisasi diri mengemukakan
konsep hubungan positif dengan orang lain sebagai perasaan empati dan
afeksi kepada orang lain serta kemampuan untuk membina hubungan yang
mendalam dan identifikasi dengan orang lain. Membina hubungan yang
hangat dengan orang lain dapat dibangun dengan cara berbagi dan saling
mengerti satu sama lain. Teori perkembangan manusia juga menekankan
intimacy dan generativity sebagai tugas utama yang harus dicapai manusia
dalam tahap perkembangan tertentu. Seseorang yang memiliki hubungan
positif dengan orang lain mampu membina hubungan yang hangat dan
penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain itu, individu tersebut memiliki
kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati,
afeksi, dan intimitas, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam
hubungan antar pribadi. Sebaliknya, Ryff (dalam Synder & Lopez, 2007)
mengemukakan bahwa seseorang yang kurang baik dalam dimensi
hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan tingkah laku yang
tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat,
peduli, dan terbuka dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustrasi dalam
membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi
dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.
3. Dimensi otonomi
Teori aktualisasi diri mengemukakan otonomi dan resisitensi terhadap
perubahan
yang
terjadi
dalam
lingkungannya.
Teori
perkembangan
memandang otonomi sebagai rasa kebebasan yang dimiliki seseorang untuk
terlepas dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari. Ciri utama
dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik antara lain dapat
menentukan segala sesuatu seorang diri (self-determining) dan mandiri. Ia
mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan
orang lain selain itu orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi
tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta dapat
mengevaluasi diri dengan standar personal. Sebaliknya, seseorang yang
kurang
memiliki
otonomi
akan
sangat
memperhatikan
dan
mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada
penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta bersikap
konformis terhadap tekanan sosial.
4. Dimensi penguasaan lingkungan
Salah satu karakteristik dari kondisi kesehatan mental adalah kemampuan
individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
kondisi psikisnya. Dalam teori perkembangan juga disebutkan bahwa
manusia dewasa yang sukses adalah seseorang yang memiliki kemampuan
untuk menciptakan perbaikan pada lingkungan dan melakukan perubahanperubahan yang dinilai perlu melalui aktivitas fisik dan mental serta
mengambil manfaat dari lingkungan tersebut. Seseorang yang baik dalam
dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam
mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal
yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan
situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di
lingkungannya, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Sebaliknya, seseorang yang
memiliki penguasaan lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan
dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah
atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya, kurang peka terhadap
kesempatan yang ada dilingkungannya, dan kurang memiliki kontrol terhadap
lingkungan.
5. Dimensi tujuan hidup
Kondisi mental yang sehat memungkinkan individu untuk menyadari bahwa
ia memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani serta mampu
memberikan makna pada hidup yang ia jalani. Teori perkembangan juga
menekankan pada berbagai perubahan tujuan hidup sesuai dengan tugas
perkembangan dalam tahap perkembangan tertentu. Seseorang yang
memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup memiliki rasa keterarahan
(directedness) dalam hidup, mampu merasakan arti dari masa lalu dan masa
kini, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan
dan target yang ingin dicapai dalam hidup. Sebaliknya, seseorang yang
kurang memiliki tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, memiliki sedikit
tujuan hidup, kehilangan rasa keterarahan dalam hidup, kehilangan
keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta tidak melihat makna yang
terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu.
6. Dimensi pertumbuhan pribadi
Optimal psychological functioning tidak hanya bermakna pada pencapaian
terhadap karakteristik-karakteristik tertentu, namun pada sejauh mana
seseorang terus-menerus mengembangkan potensi dirinya, bertumbuh, dan
meningkatkan kualitas positif pada dirinya. Kebutuhan akan aktualisasi diri
dan menyadari potensi diri merupakan perspektif utama dari dimensi
pertumbuhan diri. Teori perkembangan juga menekankan pada pentingnya
manusia untuk bertumbuh dan menghadapi tantangan baru dalam setiap
periode
pada
tahap
perkembangannya.
Seseorang
yang
memiliki
pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai
pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sendiri
sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari
potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri
dan tingkah lakunya setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang
lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya,
seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik akan
merasa dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan
pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap
kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan
tingkah laku yang lebih baik.
2.3
Usia Dewasa Muda
Seorang individu yang berada pada tahap dewasa muda telah mencapai
tahap perkembangan kognitif yang matang, dimana pemikiran yang ada didasarkan
pada pengalaman dan intuisi individu serta logika yang akan sangat bermanfaat
ketika berhadapan dengan permasalahan atau situasi yang ambigu, tidak jelas, tidak
konsisten, kontradiksi, tidak sempurna dan menuntut kompromi individu (Papilia,
2004). Menurut Erickson (dalam Santrock, 2002) orang yang dikatakan berada
dalam usia dewasa muda adalah yang berusia 18-40 tahun. Tahap dewasa muda
adalah seseorang bisa mengembangkan seluruh potensinya secara maksimal.
Sebab di usia ini, keadaan fisik berada dalam posisi puncak.
Masa ini juga merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola
kehidupan sosial baru. Individu dewasa muda diharapkan dapat memerankan peran
baru dan mengembangkan sikap-sikap, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru
sesuai dengan tugas baru sebagai individu dewasa. Erikson membahas tentang usia
dewasa muda bahwa pada tahap ini, mereka berada pada krisis perkembangan
antara intimacy versus isolation. Yang dimaksud intimacy adalah bahwa pada tahap
ini seorang dewasa muda berada pada kebutuhan akan hubungan yang hangat,
dekat, komunikatif dengan tidak melibatkan kontak seksual yaitu membentuk
hubungan intim dengan orang lain. Jika intimacy gagal dicapai maka orang akan
berada dalam suatu kondisi yang disebut isolation. Isolation adalah suatu kondisi
dimana seseorang merasa kesepian, tersisihkan dan merasa berbeda dengan orang
lain (Erickson dalam Santrock, 2002). Mereka yang berhasil melewati tahap Intimacy
VS Isolation ini adalah orang-orang yang memiliki kualitas dalam hubungan
interpersonal dan memiliki interaksi yang baik dengan lingkungan sekitarnya
(mampu berbagi dan mengerti orang lain).
2.3.1
Tugas Perkembangan Dewasa Muda
Tugas perkembangan usia dewasa muda menurut Havighurst (Turner &
Helms, 1995) adalah:
1. Berpacaran dan memilih teman hidup
2. Belajar menyesuaikan diri dan hidup secara selaras dengan pasangan
perkawinan
3. Memulai suatu keluarga dan menerima peran baru sebagai orangtua
4. Mengasuh anak dan memenuhi kebutuhan pribadi mereka
5. Belajar bertanggung-jawab pada rumah tangga yang dibina
6. Memulai karir (menentukan bidang pekerjaan dan/atau melanjutkan pendidikan)
7. Memikul tanggung-jawab sebagai warga Negara
8. Mencari kelompok sosial yang sesuai
2.4 Melajang
Menurut Stein (dalam Turner & Helms, 1995) melajang (single) adalah
individu yang tidak menikah atau tidak terlibat dalam hubungan homoseksual dan
heteroseksual.
a. Keuntungan Melajang
Beberapa keuntungan melajang adalah (dalam DeGenova, 2008):
1) Lebih
banyak
kesempatan
untuk
mengembangkan
diri
dan
mengembangkan personal.
2) Adanya kesempatan untuk bertemu orang-orang yang berbeda dan untuk
mengembangkan serta menikmati pertemanan yang berbeda.
3) Kebebasan secara ekonomi dan pembekalan diri.
4) Lebih tervariasi pengalaman seksualnya.
5) Kebebasan untuk mengontrol kehidupannya sendiri.
6) Lebih memiliki kesempatan untuk mengubah, mengembangkan karir.
b. Kerugian Melajang
Beberapa kerugian melajang adalah (dalam DeGenova, 2008):
1) Kesepian dan hubungan persahabatan yang kurang.
2) Kesulitan ekonomi.
3) Merasa terasing dalam beberapa pertemuan sosial.
4) Frustrasi seksual.
5) Tidak memiliki anak atau keluarga yang dapat membawa anak-anak.
Beberapa individu merasakan banyak keuntungan dalam mempertahankan
status lajang, yang meliputi:
1) Memiliki waktu dan kesempatan untuk membuat keputusan sendiri tentang
tujuan hidup.
2) Memiliki waktu untuk mengembangkan diri dan finansial untuk mencapai
tujuan.
3) Bebas untuk membuat keputusan sendiri dan menjalankan rencana dan
minat yang telah direncanakan sendiri.
4) Memiliki kesempatan untuk mencari tempat-tempat baru dan mencoba
sesuatu yang baru.
5) Mempertahankan privacy.
2.5
Karir
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2006), karir merupakan
istilah yang didefinisikan sebagai perkembangan dan kemajuan baik pada
kehidupan, pekerjaan atau jabatan seseorang. Biasanya pekerjaan yang dimaksud
adalah pekerjaan yang mendapatkan imbalan berupa gaji maupun uang.
Gibson et. al. (2005) karir adalah rangkaian sikap dan perilaku yang
berkaitan dengan pengalaman dan aktivitas kerja selama rentang waktu kehidupan
seseorang dan rangkaian aktivitas kerja yang terus berkelanjutan. Dengan demikian
karir seorang individu melibatkan rangkaian pilihan dari berbagai macam
kesempatan. Jika ditinjau dari sudut pandang organisasi, karir melibatkan proses
dimana organisasi memperbaharui dirinya sendiri untuk menuju keefektifan karir
yang merupakan batas dimana rangkaian dari sikap karir dan perilaku dapat
memuaskan seorang individu.
2.5.1 Tahapan Perkembangan Karir
Teori tahapan perkembangan karir yang dikemukakan (Gibson et. al. 2005)
menyatakan bahwa perkembangan karir seseorang telah dimulai sejak pertengahan
masa remaja, dimana seseorang mulai menentukan jenis pekerjaan yang cocok
untuk dirinya berdasarkan kenyataan yang dihadapi saat itu, proses pendidikan yang
dijalaninya, hal-hal yang disukainya secara pribadi, kemampuan dan keterampilan
yang dimiliki.
Gibson (2005) membagi tahap perkembangan karir secara umum kedalam 6
tahapan, yaitu:
1. Tahap Kristalisasi (14 – 18 tahun)
Pada tahap inilah sebuah keputusan tentang karir yang akan dijalani ditetapkan
berdasarkan hal-hal yang disukai oleh individu, kemampuan dan keterampilan
yang dimiliki.
2. Tahap Spesifikasi (18 – 21 tahun)
Pada tahap ini individu mulai menjajaki tingkat pendidikan dan pengalaman yang
dibutuhkan untuk dapat mencapai pilihan karir yang diinginkannya. Pada tahap
inilah seseorang dapat dikatakan produktif.
3. Tahap Implementasi (22 – 25 tahun)
Pada tahap ini individu mulai mencoba-coba merasakan ’bekerja’ dalam arti
yang sesungguhnya berdasarkan pilihan karirnya.
4. Tahap Stabilisasi (26 – 35 tahun)
Pada tahap ini individu berada jenjang dimana pekerjaan merupakan bagian dari
kehidupan yang berjalan dengan menyenangkan.
5. Tahap Konsolidasi (36 – 40 tahun)
Pada tahap ini Individu dapat dikatakan mulai melakukan rangkaian kompromi
dalam pekerjaan yang dilakukannya, seperti berkompromi dengan promosi
jabatan, kenaikan gaji yang minim, dan para pekerja baru yang berusia lebih
muda dengan pendidikan yang lebih tinggi.
6. Tahap Persiapan Menuju Pensiun (55 tahun)
Pada tahap ini, individu tidak lagi dapat dikatakan sebagai seseorang yang
produktif dalam arti yang sesungguhnya, karena ia cenderung lebih terfokus
pada masa pensiun yang akan dihadapi dari pada pekerjaan yang sedang
dilakukannya.
2.6
Kerangka Berpikir
Dewasa muda
Karir/Bekerja
Doesn’t
have
romantic
partner (lajang) / ≠ menikah
Psychological
Well-being
Loneliness
Gambar 2.1 Kerangka berpikir
Dewasa muda adalah usia dimana individu akan mengalami berbagai
episode kehidupan seperti jatuh cinta, menyelesaikan pendidikan, memulai karir,
menikah dan membentuk keluarga. Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, &
Feldman, 2004), tugas utama dalam tahap perkembangan dewasa muda adalah
menyelesaikan krisis intimacy vs isolation. Intimacy dapat dicapai dengan menjalin
hubungan interpersonal yang intim dan membuat komitmen dengan orang lain. Jika
hal ini tidak terpenuhi maka seseorang akan rentan mengalami loneliness. Tetapi
meniti karir menjadi hal yang utama bagi laki-laki maupun perempuan di era modern
ini, dimana mereka lebih leluasa menyalurkan kemampuannya untuk meniti karir.
Seseorang yang memiliki karir yang bagus akan memiliki psychological well-being
yang baik. Berdasarkan fenomena dewasa muda lajang dan berkarir maka peneliti
berasumsi terdapat keterkaitan antara loneliness dengan psychological well-being.
Download